The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by andhikafaiz53, 2021-06-06 09:14:35

Tugas Akhir ABS Offering A

TUGAS AKHIR ABS OFFERING A (1)

BAB 10

LIKING MUSIC: GENRES, CONTEXTUAL FAKTORS, AND INDIVIDUAL
DIFFERENCES

Abdi Galih Firmansyah, Andhika Mahardika Faiz, Audi Vidya Dwi Putri, dan Bica Irawati

Jumlah waktu dan uang yang dihabiskan maisng-masing individu untuk
musik memberikan banyak bukti bahwa mendengarkan musik itu sangat penting
bagi kebanyakan dari kita. Misalnya, memilih untuk mendengarkan musik di
konser, di radio, dan di pemutar media portabel (pemutar MP3), komputer, dan
pemutar CD. Bahkan kita juga mendengar musik yang dipilih orang lain untuk kita
di acara televisi, film, di pusat perbelanjaan, restoran serta di acara penting seperti
pernikahan dan pemakaman. Selain itu, pada tahun 2012, International Federation
of the Phonographic Industry melaporkan, bahwa pendapatan global dari
penjualan digital saja (tidak termasuk CD atau vinyl) mencapai sekitar $ 5,6 miliar,
sehingga dapat disimpulkan bahwa musik dihargai di seluruh dunia.

Secara umum, tiap individu menyukai jenis musik yang berbeda. Individu
yang sama mungkin menunjukkan apresiasi yang lebih besar atau lebih kecil untuk
genre serta karya musik tertentu, tergantung pada keadaan di mana musik
tersebut didengarkan. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dibahas mengenai, apa
yang membuat seseorang menyukai lagu atau genre musik tertentu?, bagaimana
perbedaan individu terkait dengan preferensi musik?, faktor apa saja yang
memengaruhi perkembangan atau perubahan dalam menyukai musik?.

1. Menyukai Genre Musik yang Berbeda

Sumber: https://klinikmusik.wordpress.com/2014/10/19/genre-musik/
Sebagian besar penelitian tentang preferensi musik berfokus tentang

mengkarakterisasi jenis orang yang menyukai genre musik yang berbeda (misalnya,
pop, rock, country, rap atau hip-hop, klasik, jazz, dll). Meskipun konsep genre mungkin

tampak tidak didefinisikan dengan baik, genre dapat langsung terlihat oleh pendengar
pada umumnya. Penelitian awal cenderung berfokus pada pendokumentasian
hubungan positif antara preferensi genre, terutama musik yang terdengar agresif atau
negatif, dan karakteristik kepribadian seperti pemberontak atau pencari sensasi, dan
baru-baru ini, para peneliti mulai mempelajari hubungan antara preferensi genre dan
kepribadian secara lebih komprehensif.

2. Struktur Preferensi Musik
Penelitian Rentfrow dan Gosling (2003) adalah yang pertama meneliti secara

sistematis struktur dasar preferensi musik dan apakah preferensi ini terkait dengan
konstruksi kepribadian kontemporer — "Lima Besar" (McCrae dan Costa 1987). Lima
Besar hasil penelitian menganggap perbedaan individu dalam kepribadian bervariasi
menurut lima dimensi utama, yakni keterbukaan terhadap pengalaman, kesadaran,
ekstroversi, keramahan, dan neurotisme. Sebuah studi pendahuluan menetapkan
keakraban peserta penelitian dengan berbagai genre dan subgenre. Para penulis
menggunakan data ini untuk membuat Tes Singkat Preferensi Musik (STOMP), dan
menggunakan daftar 14 genre yang akrab bagi sebagian besar mahasiswa di Amerika
Serikat. STOMP mengharuskan peserta memberikan peringkat dari 1 (sangat tidak
suka) hingga 7 (sangat suka) untuk setiap genre. Dalam sampel berbeda yang terdiri
dari ribuan peserta dari berbagai wilayah geografis di AS, Rentfrow dan Gosling
mengukur preferensi musik dengan STOMP, serta dengan menganalisis perpustakaan
musik online peserta studi penelitian.

Analisis komponen utama mengungkapkan empat faktor utama (yaitu variabel
laten) preferensi musik (Rentfrow dan Gosling 2003). Yang pertama, yang penulis
tunjuk sebagai Reflective and Complex, mewakili preferensi untuk genre klasik, jazz,
folk, dan blues, dimana dikaitkan secara positif dengan keterbukaan-pengalaman dan
pandangan politik liberal, hal itu juga terkait secara positif dengan laporan diri
kecerdasan, tetapi negatif dengan laporan diri kemampuan atletik/olahraga. Faktor
kedua, Intense and Rebellious, digambarkan lebih menyukai musik rock, alternatif,
dan heavy-metal. Preferensi ini juga berkorelasi secara positif dengan keterbukaan
terhadap pengalaman dan dengan laporan diri tentang kecerdasan dan kemampuan
atletik/olahraga. Faktor ketiga yakni Penggemar Upbeat dan Konvensional genre,
termasuk musik pop, soundtrack, religius, dan country. Preferensi ini menganggap diri
mereka menarik secara fisik dan atletis tetapi skor mereka rendah dalam keterbukaan
terhadap pengalaman. Faktor keempat dan terakhir, Energetic dan Rhythmic,
mencerminkan preferensi untuk musik rap atau hip-hop, soul atau funk, dan
electronica atau dance. Preferensi ini berkorelasi positif dengan ekstroversi,
keramahan, dan liberalisme politik, dan dengan laporan diri tentang daya tarik dan
kemampuan atletik atau olahraga.

Dalam beberapa contoh studi penelitian yang dilakukan di negara selain Amerika
Serikat telah menemukan hasil yang serupa dengan Rentfrow dan Gosling (2003)
mengenai struktur dimensi yang mendasari preferensi musik. Misalnya, Langmeyer

dan rekan (2012) dengan sampel penelitian remaja dewasa Jerman. Dalam sampel
besar remaja Jerman, struktur empat faktor preferensi musik muncul tetapi beberapa
genre dikaitkan dengan ciri-ciri karakter yang berbeda daripada di sampel penelitian
Amerika. Colley (2008) menemukan bahwa struktur preferensi musik mahasiswa
Inggris mirip dengan sampel Amerika Rentfrow dan Gosling (2003), tetapi dengan
beberapa tambahan perbedaan gender. Brown (2012) meminta mahasiswa di Jepang
untuk memberikan peringkat suka untuk 12 genre berbeda, enam di antaranya
diambil dari STOMP. Sebuah struktur empat faktor terungkap yang sangat mirip
dengan temuan asli Rentfrow dan Gosling (2003), Dalam studi lain yang dilakukan di
Jepang, bagaimanapun, STOMP asli mengarah ke struktur empat faktor tetapi
beberapa genre dimuat ke faktor-faktor yang berbeda dari yang ada di studi aslinya
(Oshio 2012).

3. Preferensi Genre dan Perbedaan Individu
Temuan dari studi asosiasi antara preferensi musik dan dimensi kepribadian

lebih konsisten, terutama untuk openness-to-experience dan ekstroversi. Dalam
sejumlah studi, keterbukaan terhadap pengalaman dikaitkan dengan preferensi untuk
genre elit atau kelas atas seperti klasik dan jazz, serta dengan genre yang intens dan
memberontak seperti rock. Preferensi musik dan keterlibatan remaja dengan musik
merupakan medium yang berguna bagi remaja dalam menyelesaikan tugas
perkembangan utamanya. Preferensi musik orang-orang dapat dilihat sebagai variabel
individu yang berbeda berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian(Delsing,dkk : 2008).
Meskipun remaja pada umumnya menunjukkan kefavoritannya pada musik,
preferensi musik mereka dapat berbeda-beda. Preferensi musik dapat mencerminkan
nilai-nilai, konflik, dan masalah perkembangan yang jalani oleh para remaja. Selain
daripada itu, preferensi musik pada remaja terkait dengan masalah identitas,
ketergantungan-kemandirian, dan keterpisahan-keterhubungan,nilai-nilai, gambaran,
kepercayaan, sertaidentifikasi dan persepsi diri (Sigg, 2009).

Penelitian mengenai preferensi musik sangatlah jarang di Indonesia ini.
Beberapa penelitian yang berhubungan dengan preferensi musik diantaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Hutapea (2011) ia meneliti mengenai hubungan antara
preferensi musik dan personality pada anak muda di perkotaan. Berikutnya ada
penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dkk. (2014) yaitu meneliti mengenai musik
Jawa untuk mereduksi stres pada mahasiswa. Hasilnya adalah musik jawa secara
signifikan dapat menurunkan stres pada mahasiswa setelah mendengarnya. Selain itu,
ada juga penelitian yang dilakukan oleh Afandi (2015) mengenai terapi musik
instrumental dan efeknya untuk penurunan tekanan darah pada penderita stroke dan
darah tinggi. Hasilnya adalah musik instrumental dapat memiliki efek penurunan
tekanan darah pada pasien dengan pendampingan obat secara rutin. Sisanya
merupakan penelitian survei, seperti yang dilakukan oleh Prasetiyo (2013).

memetakan genre musik yang banyak digemari oleh siswa SMK. Hasilnya adalah
responden memilih genre musik pop, rock, jazz, dan klasik sebagai genre yang paling
banyak disukai.

Singkatnya, sejak tahun 2000, penelitian telah mengungkap banyak tentang jenis
orang yang menyukai genre musik yang berbeda. Salah satu masalah yang telah diakui
secara luas di lapangan adalah kesulitan dalam memilih genre mana yang akan
dimasukkan dalam penelitian empiris dan mana yang akan dikecualikan. Misalnya,
musik country populer di Amerika tetapi memiliki lebih sedikit penggemar di belahan
dunia lain. Sebagaimana dicatat, genre yang disertakan dalam penelitian apa pun
tampaknya memengaruhi struktur dimensi yang mendasari preferensi musik,
sehingga solusi dari analisis komponen utama gagal untuk dapat melakukan
generalisasi yang lebih luas. Dalam penelitian yang belum dipublikasikan yang
dilakukan di lab kami sendiri, kami memberikan versi STOMP kepada sekitar 2000
siswa yang terdaftar di psikologi pengantar selama beberapa tahun berturut-turut.
Struktur faktor yang mendasarinya berbeda dari tahun ke tahun dan tidak pernah
identik dengan yang dilaporkan oleh Rentfrow dan Gosling (2003).

4. Menyukai Karya Musik Individu
Studi tentang menyukai karya musik individu dapat mencakup kutipan yang

diambil dari berbagai genre atau banyak kutipan berbeda dari satu genre. Dalam
kedua kasus tersebut, peneliti dapat memeriksa faktor-faktor apa yang memengaruhi
respons yang disukai sementara (1) meminimalkan pengaruh konotasi sosial dan
budaya ekstra-musikal yang terkait dengan genre yang berbeda, dan (2) mengurangi
variasi acak yang muncul dari perbedaan individu (pendengar) serta pemahaman
tentang bagaimana genre berbeda menurut labelnya.

Pada umumnya, setiap individu pasti mempunyai selera musik yang berbeda-
beda dari individu lainnya. Misalnya, kita lebih menyukai genre musik pop, sedangkan
teman kita lebih menyukai genre musik rock. Dalam hal ini, biasanya bisa disebabkan
oleh preferensi dari masing-masing individu terhadap hal-hal tertentu, misalnya
genre, artis, makna lagu, ataupun hal-hal lain yang lebih mendetail daripada itu.
Biasanya rasa suka terhadap musik yang berbeda antar individu ini diakibatkan oleh
paparan atau eksposur, kompleksitas musik, perasaan dan perasaan yang lebih
spesifik tiap individu. Oleh karena itu, dari kasus tersebut akan dijabarkan sebagai
berikut:

5. Kesukaan dan Paparan atau Eksposur
Saat mendengarkan suatu musik atau lagu yang baru pertama kali didengar, para

pendengar musik pasti pada awalnya akan mengatakan bahwa mereka tidak menyukai
musik atau lagu tersebut. Namun, setelah mereka mendengarkan musik tersebut
secara berulang kali, tidak menutup kemungkinan mereka akan semakin menyukai

musik tersebut. Karena pada awalnya, mendengarkan suatu musik atau lagu yang
diputar untuk pertama kalinya, para pendengar tidak akan langsung menyukai musik
tersebut. Hal ini terjadi karena, frekuensi eksposur atau keakraban dengan stimulus
yang memengaruhi rasa suka.

Sumber: https://productiveclub.com/mere-exposure-effect/

Pada tahun 1910, psikolog bernama Edward Bradford Titchener mengamati
bahwa objek yang sudah dikenal dengan baik atau sudah pernah dijumpai
sebelumnya, akan membuat kita “merasakan kehangatan, mempunyai rasa
kepemilikan, merasa santai, merasa betah, merasa nyaman”. Kemudian pada
tahun 1968, dalam makalah penelitian yang dilakukan oleh psikolog sosial
terkemuka, yakni Robert Zajonc yang menyebut fenomena ini dengan “efek
paparan belaka” (mere exposure effect). Menurut Zajonc, “kita semakin menyukai
sesuatu hal, karena kita telah terbiasa dengan hal itu”. Oleh karena itu, ketika
seseorang hanya terpapar sesuatu secara berulang sudah cukup untuk membuat
seseorang menyukai hal tersebut. Begitupun dalam kasus musik ini, ketika kita
mendengarkan musik yang awalnya kita tidak pernah mendengarkannya.
Kemudian, sehari-hari musik itu diputar secara berulang kali akan membuat kita
terbiasa mendengarkannya dan membuat kita menyukai musik tersebut.

Terdapat beberapa alasan exposure atau keterpaparan terhadap suatu hal
dapat membuat orang merasa suka. Salah satunya adalah rasa akrab. Semakin kita
akrab misalnya dengan angka, wajah, musik, suara, ataupun rasa, akan membuat
kita semakin menyukainya. Hal ini mengacu pada fakta, bahwa rangsangan yang
pada awalnya netral (misalnya, gambar garis) akan semakin atau lebih disukai
ketika pengamat telah menemukan sebelumnya. Begitupun dengan cuplikan
musik asing yang akan lebih disukai, apabila pendengar pernah mendengarkan
musik asing tersebut sebelumnya. Karena keakraban dengan suatu musik tertentu
akan meningkatkan kesukaan para pendengar, apabila telah sampai pada titik di
mana musik itu menjadi terlalu familiar. Oleh karena itu, semakin sering kita
melihat, mendengar, dan menyentuh, akan membuat kita semakin nyaman serta
menyukai sesuatu.

Namun demikian, beberapa orang masih sering mengeluh bahwa lagu-lagu
tertentu yang diputar, dinilai berlebihan atau membosankan karena terlalu sering
mereka dengar. Dengan kata lain, bahwa pendengar bisa jadi tidak menyukai lagu
atau musik yang terlalu sering mereka dengar, terlebih dalam waktu yang singkat.
Hal ini bisa terjadi karena adanya efek eksposur atau paparan pada stimulus yang
terus-menerus diterima oleh individu dalam jangka waktu tertentu, sehingga efek
paparan berlebih yang semakin meningkat akan membuat persepsi ketertarikan
terhadap stimulus menjadi menurun dan akhirnya menyebabkan rasa bosan serta
mengurangi rasa suka.

Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari mendengarkan musik terjadi dalam
suatu konteks. Misalnya, musik sering muncul atau diputar pada saat orang-orang
sedang mengemudi, berbelanja, melakukan pekerjaan rumah tangga, memasak,
menonton televisi, belajar, bekerja dan berolahraga. Oleh karena itu, dalam
konteks ini, perhatian akan dibagi antara mendengarkan musik dan tugas atau
pekerjaan yang sedang dilakukan, sehingga keakraban dengan musik mungkin
akan berkembang lebih lambat.

Tidak hanya itu, efek paparan pada rasa suka juga berinteraksi dengan faktor
kepribadian. Misalnya, memutar lagu yang sangat tidak disukai oleh pendengar
secara berulang kali, kemungkinan besar tidak akan mengubah ketidaksenangan
tersebut ke arah yang positif. Hal ini disebabkan oleh faktor kepribadian
seseorang. Selain itu, biasanya para pendengar akan lebih menyukai musik
bervalensi positif daripada musik bervalensi negatif. Namun tidak menutup
kemungkinan, apabila setelah berulang kali terpapar pada kedua jenis musik
tersebut, tanggapan akan menjadi lebih terpolarisasi.

Dengan demikian, efek paparan atau eksposur pada rasa suka ini
berinteraksi dengan berbagai faktor, yakni rasa suka awal, konteks
mendengarkan, dan kepribadian seseorang, sehingga jelas bahwa frekuensi
keterpaparan ini dapat memengaruhi perasaan suka yang berbeda antar individu,
sebagai akibat dari perbedaan kepribadian atau akibat dari variabel lainnya.

6. Kesukaan dan Kompleksitas
Menurut teori dari Berlyne (1970), saat seseorang mendengarkan musik, maka

ada beberapa faktor yang perlu diperhitungkan, salah satunya adalah kompleksitas.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kompleksitas berarti kerumitan.
Kompleksitas dalam musik dapat mencakup durasi, kenyaringan, perubahan ritme,
kecepatan ritme, dan melodi. Dalam hal ini, setiap orang menilai musik berdasarkan
kompleksitas yang mereka rasakan atau kompleksitas subyektif, sehingga hal ini akan
berbeda pada setiap individu.

Gambar grafik U-terbalik

Sumber: https://id.vvikipedla.com/wiki/File:Inverted_u.svg

Berlyne (1970) juga mengusulkan bahwa rasa suka atau menyukai harus
menunjukkan fungsi berbentuk U-terbalik sesuai dengan kompleksitas. Hipotesis
berbentuk U-terbalik ini menyatakan, bahwa tanggapan estetika dalam kaitannya
dengan kompleksitas akan memperlihatkan bentuk distribusi terbalik. Dimana
dalam hal ini, respon estetika tingkat rendah berkorelasi dengan tingkat
kerumitan yang tinggi dan rendah, yang menampilakan suatu penghindaran atau
ketidaksukaan. Sedangkan, respon estetika tingkat paling tinggi terjadi pada
tingkat kompleksitas menengah. Oleh karena itu, kecenderungan kompleksitas ini
dapat dikaitkan dengan kemampuan memahami, karena biasanya seorang
pengamat akan lebih menyukai karya seni yang tidak terlalu mudah dan tidak
terlalu sulit untuk dipahami.

Dalam kasus musik, hal yang paling disukai adalah ketika struktur melodi,
ritme, dan metriknya tidak terlalu sederhana, tidak terlalu mengejutkan, tidak
menentu, dapat diprediksi ataupun tidak dapat diprediksi dan seragam. Hal ini
dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Heyduk (1975), dimana
partisipannya menunjukkan lebih menyukai lagu yang memiliki tingkat
kompleksitas sedang, yakni menggunakan sejumlah akord berbeda dan jumlah
sinkopasi ritmik sedang, daripada lagu yang terlalu sederhana atau telalu
kompleks.

Gambar orang mendengar musik Gambar orang bermusik

Sumber: https://pixabay.com

Selain itu, efek kompleksitas pada rasa suka mungkin tidak seragam pada

semua genre musik. Misalnya, pendengar mendengarkan dan melihat
penampilan genre musik jazz dan bluegrass (bentuk dari musik turunan Amerika
dan genre terkait musik country) dengan kompleksitas yang beragam. Pada genre
bluegrass, pendengar menunjukkan preferensi yang jelas untuk tingkat
kompleksitas sedang. Sedangkan, untuk genre jazz pendengar lebih menyukai
kesederhanaan, karena improvisasi jazz yang lebih sederhana. Improviasai jazz
yang lebih sederhana ini mungkin telah mengungkapkan peningkatan yang diikuti
dengan penurunan rasa suka saat kompleksitas meningkat. Oleh karena itu, efek
kompleksitas pada rasa suka berbeda di setiap genre. Bahkan mungkin saja karena
adanya faktor lain, seperti rasa suka awal atau keakraban dengan genre, sehingga
berinteraksi dengan efek kompleksitas pada rasa suka. Tidak hanya itu,
kompleksitas ini juga dapat memengaruhi rasa suka untuk semua pendengar
musik. Karena beberapa individu yang terlatih secara musik biasanya
menggunakan kriteria yang berbeda dalam memberikan penilaian estetika,
sehingga terkadang tidak terlalu mementingkan kompleksitas.

Selain itu, preferensi terhadap musik sederhana dan kompleks dapat
dipengaruhi oleh faktor situasional. Misalnya, pendengar lebih suka untuk
mendengarkan musik sederhana saat mereka melakukan tugas atau pekerjaan
sensorimotor yang sulit, begitupun sebaliknya ada pendengar yang lebih suka
musik kompleks saat melakukan tugas atau pekerjaan sederhana. Dengan
demikian, tingkat kompleksitas pada musik yang disukai dapat bervariasi dengan
kapasitas perhatian individu untuk memproses musik pada titik waktu tertentu.

7. Kesukaan dan Perasaan
Salah satu alasan paling umum yang diberikan orang untuk mendengarkan musik

adalah karena musik membuat mereka merasa, atau karena hal itu dapat mengubah
perasaan mereka saat ini (Jus lin dan Laukka 2004; Lonsdale dan North 2011). Dengan
kata lain, respon emosional pada level evaluatif dapat dipengaruhi oleh respon pada
level perasaan. Apakah itu emosional? Emosi dalam terminologi filsafat juga dikenal
sebagai objek yang disengaja, yaitu keterlibatan orang atau kejadian tertentu yang
berperan dalam memicu kondisi emosi misalnya rasa cemburu, frustasi terhadap
kejadian tertentu, berduka karena sebuah peristiwa kematian, dsb. Seseorang dapat
merasa sedih pada kejadian khusus tetapi dapat juga mempunyai perasaan yang sama
tanpa adanya pemicu, kondisi atau kejadian tertentu. Maka ada perbedaan antara
emosi yang memerlukan objek (yang disengaja) dan emosi yang dirasakan tanpa
pemicu khusus, baik disertai mood (aspek suasana hati) maupu tidak. Dari perspektif
fisiologis, masalah emosi adalah dasar dari semua analisis mengenai sifat dasar
manusia. Saat ini sudah banyak ahli memberi penekanan penting kepada emosi dan
menganggapnya sebagai motivator pokok dalam kehidupan manusia. Juga terdapat
kebutuhan untuk menyertakan pengalam subjek-subjek suatu hal yang diperlukan

dalam analisis proses emosi. Selain itu, emosi juga dapat ditinjau dari fungsi
biologisnya, yaitu bahwa emosi adalah bagian dari sumber bioregulasi sebagai
perlengkapan manusia untuk bertahan hidup.

Pembahasan tentang emosi dalam konteks musik dapat memiliki arti ganda,
karena proses interpretasi musik di bidang musikologi juga mengenal istilah “emosi”.
Sedikit berbeda dengan arti kata emosi dalam bidang psikologi, di kalangan
musikologi, emosi dimaknai sebagai cepat lambat (elemen tempo) atau keras dan
lembutnya (elemen dinamika) sebuah komposisi musik. Meski maksud
pengungkapannya sebenarnya tidak jauh berbeda, artinya bahwa emosi
menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan perasaan atau hal-hal yang dapat
dirasakan dari penyajian sebuah karya musik, namun penggunaannya perlu dilakukan
dalam konteks yang sinkron.

Ketika Juslin dan Laukka (2004) menganalisis tanggapan bebas pendengar
terhadap pertanyaan "mengapa Anda mendengarkan musik?" respon yang paling
umum (47 persen) adalah "untuk mengekspresikan, melepaskan, dan mempengaruhi
emosi", diikuti oleh emosi lain dan alasan yang berhubungan dengan rasa suka seperti
"untuk bersantai dan menenangkan diri", "karena itu membuat saya merasa baik",
“Karena saya suka / suka musik”, dan “menjadi energik”. Penelitian lain menegaskan
bahwa orang sangat menikmati musik yang membangkitkanintens perasaan(Ladinig
dan Schellenberg 2012; Schellenberg et al. 2012).

Salah satu respons positif yang sangat kuat terhadap musik adalah sensasi fisik
yang menggigil (atau sensasi; Goldstein 1980). Menggigil digambarkan sebagai
menggigil di tulang belakang, atau sensasi kesemutan yang biasanya dirasakan di
bagian belakang leher dan sering disertai merinding. Dalam studi pertama yang
mendeskripsikan jenis respons fisik ini terhadap musik, sekitar setengah dari peserta
melaporkan mengalami kedinginan yang disebabkan musik (Goldstein 1980).
Penelitian lanjutan mengungkapkan bahwa individu yang memiliki keterbukaan
terhadap pengalaman yang tinggi cenderung mengalami kedinginan lebih sering
daripada individu lainnya (McCrae 2007; Nusbaum dan Silvia 2011; Silvia dan
Nusbaum 2011). Ada juga beberapa bukti bahwa individu cenderung mengalami
kedinginan dalam menanggapi acara musik yang tidak terduga atau mengejutkan,
seperti harmoni yang tidak terduga atau perubahan tiba-tiba dalam volume atau
tekstur orkestra (misalnya Grewe et al. 2007; Guhn et al. 2007; Panksepp 1995;
Sloboda 1991). Karena menggigil merupakan indikasi pengalaman emosional puncak,
potongan-potongan yang menimbulkan kedinginan cenderung disertai dengan
peringkat yang lebih tinggi dari intensitas respons emosional pendengar, detak
jantung yang lebih cepat, dan respons konduksi kulit yang lebih intens (Grewe et al.
2009). Menggigil juga cenderung terjadi lebih sering dalam menanggapi musik yang
ekspresif secara emosional dibandingkan dengan musik santai atau membangkitkan
yang kurang ekspresif secara emosional (Rickard 2004). Kedinginan paling sering
terjadi sebagai respons terhadap musik yang akrab dan disukai (Grewe et al. 2009),

mungkin karena musik yang akrab lebih mungkin daripada musik yang tidak dikenal
untuk menginduksi emosi yang kuat. Konsisten dengan pandangan bahwa menggigil
mewakili pengalaman yang sangat emosional, beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa musik yang diinduksi menggigil dikaitkan dengan gairah
fisiologis.

8. Kesukaan dan Perasaan Tertentu
Pendengar cenderung mengalami emosi positif lebih sering daripada emosi

negatif dalam menanggapi musik dan mereka umumnya lebih suka musik yang
mengekspresikan emosi positif seperti kebahagiaan daripada musik yang
mengekspresikan emosi negatif seperti kesedihan. Preferensi musik yang positif dalam
valensi ini terbukti bahkan di antara individu yang telah mengalami kerusakan pada
pusat pemrosesan emosi otak, termasuk amigdala. Dengan demikian, munculnya
emosi positif tampaknya menjadi pusat daya tarik universal musik. Pada saat yang
sama, kita tahu bahwa orang sering mendengarkan musik yang terdengar sedih.

Dalam satu studi perkembangan, orang dewasa dan anak-anak berusia 5, 8, dan
11 tahun diminta untuk menilai seberapa banyak mereka menyukai kutipan musik
pendek (Hunter et al. 2011b). Kutipan dipilih untuk terdengar dengan tegas bahagia,
sedih, menakutkan, atau damai. Emosi khusus ini bervariasi pada dua dimensi yang
relevan dengan penelitian emosi: gairah dan keberanian (Russell 1980). Gairah
mengacu pada aktivasi atau tingkat energi, sedangkan valensi mengacu pada
kesenangan. Kebahagiaan memiliki gairah tinggi dan valensi positif, kesedihan memiliki
gairah rendah dan valensi negatif, ketakutan memiliki gairah tinggi dan valensi negatif,
dan kedamaian memiliki gairah rendah dan valensi positif. Orang dewasa menunjukkan
preferensi untuk kutipan dengan valensi positif (kebahagiaan dan kedamaian), tetapi
gairah tidak mempengaruhi peringkat yang mereka sukai. Sebaliknya, anak-anak dari
segala usia memiliki tingkat kesukaan yang meningkat untuk kutipan yang
mengekspresikan emosi gairah yang tinggi (kebahagiaan dan ketakutan), tetapi
keberanian tidak masalah. Karena tempo musik (cepat atau lambat) dikaitkan dengan
gairah, sedangkan mode (utama atau kecil) dikaitkan dengan valensi (Husain et al.
2002), hasil ini menunjuk ke preferensi dasar untuk musik yang lebih cepat di masa
kanak-kanak, yang berubah menjadi preferensi untuk musik kunci utama di masa
dewasa.

Fenomena menyukai musik yang terdengar sedih, yang telah didokumentasikan
secara empiris, sangat menarik bagi psikolog karena menunjukkan bahwa musik yang
mengekspresikan perasaan negatif tetap dapat dievaluasi secara positif. Bahkan,
meskipun musik yang terdengar sedih mungkin dianggap terdengar tragis, itu dapat
secara bersamaan mengurangi perasaan tragis tetapi meningkatkan perasaan romantis
dan blithe.

Lalu mengapa individu sangat menimati mendengarkan musik yang
mengekpresikan emosi negatif? Salah satu faktor yang penting adalah karakter
emosional dari lagu-lagu yang terdengar sebelumnya. Schellenberg dan kolega (2012)
mengumpulkan intensitas emosi dan menyukai peringkat kutipan musik piano klasik
yang mengungkapkan kebahagiaan atau kesedihan secara tidak ambigu. Kutipan yang
terdengar bahagia berada di kunci utama dengan tempo cepat. Kutipan yang terdengar
sedih kecil dan lambat. Untuk setiap peserta, salah satu emosi ini ditetapkan sebagai
emosi "latar belakang" dan yang lainnya sebagai emosi "kontras". Kutipan yang
mengungkapkan emosi kontras disajikan setelah berbagai jumlah kutipan berbeda yang
mengekspresikan emosi latar belakang. Penelitian lain menunjukkan bahwa musik yang
terdengar sedih mungkin lebih disukai setelah pendengar lelah atau dalam suasana hati
yang negatif. Schellenberg dan kolega (2008) mengumpulkan peringkat kutipan musik
yang menyukai yang mengungkapkan kebahagiaan atau kesedihan setelah mereka
didengar 0, 2, 8, atau 32 kali sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Djohan. 2009. Psikologi Musik. Terjemahan Mardiyanto. Yogyakarta: Galangpress Group.
2016

Grant, Adam. 2016. Originals: Tabrak Aturan, Jadilah Pemenang. Terjemahan Mursid
Wijanarko Jakarta: Noura Publishing. 2017

Huston, J. P., Nadal, M., Mora, F., Agnati, L. F., & Conde, C. J. C. 2015. Art, aesthetics, and the
brain. OUP Oxford.

Prasetiyo, A. (2013). Preferensi musik di kalangan remaja. PROMUSIKA: Jurnal
Pengkajian, Penyajian, dan Penciptaan Musik, 1(1), 75-92. Dari
http://journal.isi.ac.id/index.php/promusika/article/view/541/753

Wood, Wendy. 2019. Good Habits, Bad Habits: Cara Membentuk Kebiasaan Baik untuk
Menghasilkan Perubahan Positif. Terjemahan Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2020


Click to View FlipBook Version