Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
arah tertentu kepada masyarakat Using untuk selalu berbuat
baik. Mampu menyadarkan masyarakat Using akan suatu
kekuatan-kekuatan ajaib, bahwa di luar dirinya terdapat suatu
kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupannya. Mampu
membantu maayarakat Using untuk dapat menghayati
daya-daya sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan
menguasai alam, sehingga mampu menjaga keseimbangan
antara mikro kosmos dan makro kosmos. Karena, bagi
masyarakat Using keamanan desa dan kesejahteraan
masyarakatnya jauh lebih penting. Perilaku budaya demikain
secara utuh dalam konsep budaya Using merupakan tindakan
yang mengandung spirit Aclak. Bingkak. dan Ladak.
Sebagai masyarakat agamis dan mayoritas Islam, upacara
adat Barong Ider Bumi masyarakat Using desa Kemiren
sesungguhnya merupakan slamatan, sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkah
dan rahmat yang telah diterimanya. Seperti layaknya upacara
slametan di masyarakat Jawa. Slamatan bagi masyarakat
Using desa Kemiren memiliki istilah dan tata cara tersendiri
dengan kemasan lebih menarik. Sama-sama berintikan
salamatan, namun bagi masyarakat Using desa Kemiren
mampu melakukan adaptasi melalui kemampuannya secara
aktif dan kreatif sehingga menghasilkan sebuah karya yang
inovatif. Kemampuan dalam mengemas sebuah budaya
secara aktif, kreatif dan inovatif itu dipahami tidak terlepas
dari sifat, sikap dan perilaku yang dimiliki masyarakat Using
dengan sebutan Aclak, Bingkak, dan Ladak. Sifat, sikap dan
perilaku demikain itu menjadikan dasar atas pemahaman
akan sebuah keyakinan adanya keterkaitan antara satu
dengan yang lain. Artinya, aktifitas, kreativitas, dan inovasi
yang dimiliki masyarakat Using itu disebabkan oleh sifat,
sikap dan perilaku Aclak, Bingkak, dan Ladak dari masyarakat
Using itu sendiri.
32
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
D. Partisipasi Politik dan Perokonomian Masyarakat Using
Era tahun 2000-2005 dapat dikatakan sebagai era
kebangkitan etnik dan budaya Using. Pada era itu, seorang
putra asli daerah berasal dari keturunan etnis Using dipilih
menjadi bupati Banyuwangi, yang diusung oleh partai
politik kenamaan pada masanya. Kiprahnya sebagai bupati
sangat jelas ketika memunculkan slogan Jenggirat Tangi
menjadi viral untuk menggugah semangat membangun
disemua sektor. Pembangunan disektor fisik terlihat ketika
dibukanya jalan lingkar barat kota dan rintisan lapangan
terbang sebagai bandara Banyuwangi. Sementara di bidang
non fisik, di antaranya mengangkat budaya lokal dalam
kancah yang lebih luas, melalui etnis dan budaya Using,
sehingga Banyuwangi dikenal sebagai kota Gandrung dan
bersuku Using. Padahal jumlah penduduk etnis Using bukan
penduduk yang mayorita, masyarakat Using hanya 20% dari
jumlah penduduk Banyuwangi secara keseluruhan, bahkan
merupakan urutan ketiga dibandingkan etnis besar lainnya,
seperti Jawa Mataraman dan Madura Pandalungan..
Sejak masa pemerintahannya, etnik dan budaya Using
menjadi lebih diperhatikan. Bersamaan dengan itu, beragam
budaya dan seni budaya, diberikan kesempatan seluas-
luasnya untuk berekspresi. Slogan Jenggirat Tangi menjadi
jargon populer, patung Gandrung menjadi maskot kota
Banyuwangi, serta tarian Gandrung sebagai tarian resmi
penyambutan tamu. Sepekan berbahasa dan berbusana khas
Using, mewajibkan Bahasa Using sebagai muatan lokal.
Hal itu, secara politis memberikan warna bagi kemajuan
Banyuwangi melalui etnis dan kekayaan budaya Using.
Sampai suatu ketika dijadikannya desa Kemiren sebagai cagar
budaya etnis dan budaya Using. Hal demikian dalam konsep
budaya Using dikenal dengan spirit Aclak, Bingkak juga Ladak.
Secara politik sindirin dalam artikel tersebut di atas
mengandung dua makna. Pertama mengkritisi kinerja
33
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
pemerintahan era itu atas program-program bagus yang telah
dibuat, dalam implementasinya masih sebatas rintisan belum
sampai eksekusi paripurna. Seperti pembangunan jalan
lingkar kota Banyuwangi, dermaga penyebrangan Ketapang
hingga pembuatan Lapangan Pesawat Terbang Blimbingsari,
serta optimalisasi promosi budaya yang sudah menjadi
ikon Banyuwangi pada level global. Sasaran lainnya adalah
mengkritisi para lawan politik, ketika rezim era 2000-2005
mengalami glombang protes terhadap kebijakan-kebijakan
politiknya yang dirasa berpihak kepada etnis tertentu.
Oleh karena itu artikel yang berjudul ‘Osing, Suku Yang
Terasing di Tengah Modernisasi”oleh Imam D Nugroho itu
penting sebagai motivasi untuk penyilidikan dan memberi
masukan kepada pemerintah daerah. Padahal sesungguhnya
masyarakat Using sebagai suku atau etnis secara fakta mampu
beradaftasi dan akomodatif terhadap modernitas. Bukti itu
diperlihatkan beberapa alenia di bawah.
Dijadikannya desa Kemiren sebagai Cagar Budaya,
berdampak positif pada perekonomian masyarakat Using
di desa Itu. Ketika para wisatawan lokal dan manca negara
berkunjung sebagai tamu wisata, secara ekonomi terjadi
perputaran barang dan jasa. Mengalirnya sumber pendapatan
masyarakat, yang semula sumber pendapatan hanya dari
pertanian dan perkebunan, kemudian berkembang terdapat
sumber pendapatan lain dari sektor pariwisata budaya,
berdampak postif pada sirkulasi perekonomian masyarakat
Using desa Kemiren.
Gambaran masyarakat miskin yang hidup dari seni
budaya, seperti yang digambarkan oleh Nugroho (2006)
dalam artikelnya atau gambaran Tjetjep (2000) tentang
ekspresi seni masyarakat miskin di kelurahan Langenharjo
Kendal menjadi berbeda, ketika masyarakat Using desa
Kemiren, secara ekonomi seperti telah diutarakan di atas,
34
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
juga melalui seni budayanya mereka mampu mendapatkan
pendapatan tambahan ketika memenuhi undangan hajatan
pada level lokal, nasional maupun internasional.
Jika ditinjau dari kontur tanah, desa kemiren masuk
dalam kategori kontur tanah subur, banyak hasil sawah,
ladang dan perkebunan, seperti padi, jagung, ketela pohon,
ketela rambat, durian, pisang, kopi, dan lain sebagainya,
menunjukkan kemakmuran wilayah desanya. Di sisi lain,
mata pencaharian masyarakat desa Kemiren di samping
sebagai petani, juga ada yang berprofesi sebagai buruh tani,
berternak, pedagang, bekerja di pabrik atau perusahaan di
kota banyuwangi, ada juga yang menjadi guru dan pegawai
negri lainnya. Bahkan ada yang bekerja di wilayah lain, seperti
bekerja di pulau Bali.
Selain itu, secara ekonomi profesi sampingan masyarakat
Using selain sebagai petani, mereka juga berprofesi sebagai
pedagang dan wiraswasta dalam industri kerajinan tangan,
seperti membatik. Ada beberapa jenis kerajinan batik sebagai
kerajinan khas masyarakat Using, di antaranya terkenal
Batik motif Gjah Oling. Ciri khas batik masyarakat Using
Banyuwangi adalah motif sulur tanaman dan kembang di
ujungnya. Motif-motif batik demikian merupakan simbul
yang sarat makna.
Masyarakat Using menggunakan batik ini biasanya
pada busana tari Gandung, acara adat Manten, upacara adat
Seblang, dan upacara-upacara adat lainnya. Batik tenun khas
masyarakat Using ini terbuat dari serat pisang Abaca. Pisang
Abaca merupakan tanaman asli kepulauan Phillipines dan
Mindanao yang memiliki serat tipis tapi sangat kuat tidak
mudah putus, serat Abaca banyak dimanfaatkan untuk bahan
baku tali tambang, kerajinan dan mebel. Di desa Kemiren
sendiri tenunan dari Abaca ini dijadikan sebuah kerajinan
yang menarik, seperti kap lampu, tirai, taplak meja, dan
tatakan makan hingga bantalan kursi.
35
BAB III
BUDAYA USING DALAM
PERSILANGAN DUA KEBUDAYAAN
A. Kata Pengantar
PENGKAJI TERDAHULU telah menggambarkan bagaimana
interaksi sosial Masyarakat Blambangan saat itu, sehingga
dapat mempengaruhi dan membentuk karakteristik
masyarakat dan budaya Using sebagai pewaris peradaban
dan budaya masa lalu. Masyarakat Using adalah masyarakat
berdasarkan sejarahnya merupakan keturunan dari
masyarakat Blambangan (sekarang Banyuwangi). Nenek
moyang mereka penganut agama Hindu yang sangat kuat.
Tonggak kekuatan Hindu ditunjukkan ketika setelah dua
puluh lima hari prabu Tawang Alun wafat, mayatnya
dikremasi dalam sebuah sati raksasa bersama 270 orang dari
400 istrinya (Margana, 2012).
Namun, agama Islam satu abad sebelumnya (abad ke-
16), sebenarnya telah mempengaruhi Blambangan, sehingga
secara tidak langsung masyarakat Blambangan (kelak
masyaraka Using) telah mengenal agama Islam, hanya saja pada
saat itu pengaruh agama Islam belum menyeluruh. Pengaruh
Islam mulai menyebar secara menyeluruh ke masyarakat
37
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
Blambangan dan masuk dalam keluarga kerajaan setelah
dua abad kemudian, yaitu ketika kekuasaan Blambangan
dipegang oleh Pangeran Adipati Danuningrat atau Pangeran
Pati (1736-1764), sekitar abad ke-18 pertengahan, dan pada
akhirnya Pangeran Pati memeluk agama Islam.
Tetapi Utomo (2008) berpendapat lain, bahwa agama
Hindu bukan agama yang berpengaruh kuat bagi masyarakat
Blambangan saat itu. Agama Hindu hanya terdapat di
lingkungan Keraton. Justru menurutnya, agama Jawa Kuno
yang mewarnai kehidupan masyarakat. Agama Jawa Kuno
adalah kebatinan, yaitu gaya hidup manusia yang memupuk
bantinnya, seperti penafsiran terhadap lambang-lambang,
terhadap kesaktian barang-barang keramat, dan makam-
makam (Simanjuntak, 2016)
Keterangan di atas mengisyarakatkan, bahwa
kebudayaan masyarakat Using merupakan asimilasi dari
keduanya bahkan cenderung lebih dari dua budaya. Karena
ketika aktualisasi kebudayaan Using terlihat, tidak saja
mengandung unsur budaya Hindu dan Islam, juga terkadang
terlihat terdapat unsur budaya dari bangsa-bangsa lainnya;
seperti: Belanda, Inggris, Cina, Bali, Jawa dan bangsa-bangsa
lain yang pernah ikut serta melakukan perebutan secara
hegemoni terhadap Blambangan. Hal itu di antaranya menjadi
penyebab munculnya unsur budaya dari bangsa tertentu ke
dalam budaya Using baik secara tangibles maupun intangibles.
Beberapa nama-nama jenis budaya tangibles dan
intangibles milik masyarakat Using mengindikasikan ada
yang berasal dari unsur kebudayaan mirip bangsa lain.
Seperti budaya material dalam wujud “Kiling”, nama
budaya material itu berasal dari bahasa Cina Kai-ling, kata
Kai berarti berputar dan ling berarti kayu, jadi Kiling artinya
kayu berputar. Budaya Kiling merupakan kebudayaan khas
masyarakat Using desa Kemiren, yang berfungsi sebagai
38
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
sarana pengusir burung di sawah. Di samping itu, beberapa
kata-kata Using dalam budaya non material juga ada yang
merupakan sentuhan budaya dari bangsa lain, seperti banyak
dibahas oleh Herusantoso S (1987) dalam disertasinya.
Misalnya, kata kadung berarti kalau atau bilamana, bersentuhan
dengan bahasa Jawa dan Bali, kata kadung, diartikan sebagai
terlanjur. Kata solong berarti nanti dulu, berasal dari kata-kata
bahasa Inggris show long, dan lain sebagainya.
Agama Hindu identik dengan budaya Bali dan agama
Islam identik dengan budaya Jawa. Dalam aktualisasi budaya
Using, keduanya terlihat sangat dominan dalam mewarnai
budaya Using. Faktor lamanya penguasaan terhadap
perebutan hegemoni Blambangan melalui sang aktor kolonial
Belanda menjadi indikaasi penyebabnya. Akhirnya terjadilah
apa yang disebut denga akulturasi dua arus nilai, yaitu
asimilasi antara ajaran Islam dengan Hindu atau kebudayaan
leluhur masyarakat Using yang sudah mengakar itu. Namun
karakteristik masyarakat Using yang akomudatif dan egaliter,
mampu beradaptasi terhadap perubahan global.
Benturan dua kebudayaan itu, dalam pandangan Shorter
(1985) mengakibatkan culture contact. Artinya pertemuan
antara dua kebudayaan sebagai proses yang muncul dalam
lingkungan sosial tertentu karena dihadapkan dengan
beberapa unsur budaya asing. Namun, unsur budaya asing
itu lambat laun diterima secara berangsur-angsur dan diolah
disesuaikan dengan keinginan kebudayaannya sendiri. Proses
akulturasi yang berangsur-angsur sedemikian rupa membuat
Islam sebagai ajaran agama dan Hindu sebagai entitas budaya
menyatu.
Hal itu, yang menyebabkan aktualisasi budaya dalam
pandangan Geertz, (1981) : Hasnan S, (1989) dan Beatty A,
(2001), sebagai budaya Sinkretisme. Pengaruh Islam yang
begitu besar di Blambangan, dan juga kuatnya masyarakat
39
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
mempertahankan kebudayaan nenek moyang, mengharuskan
keduanya melebur menjadi satu. Namun, peleburan dan
pencampuran yang merupakan ciri khas sinkretisme dua
kebudayaan itu berlangsung secara damai.
B. Budaya Using dalam Wujud Budaya Material (Tangibles)
Mengacu pada pengertian tentang budaya material atau
tangibles dikemukakan oleh Liliweri (2014), dan pengertian
para arkeolog, bahwa budaya matrial atau tangibles merupakan
artefak atau benda-benda nyata yang ditinggalkan oleh budaya
masa lalu. Artefak atau benda-benda peninggalan leluhur itu
diasumsikan selalu tunduk pada para pembuatnya, dengan
kata lain keberadaan artefak atau benda-benda tersebut tidak
dapat dipisahkan dari konteksnya. Oleh karena itu, budaya
matrial yang dimiliki etnik Using dalam bentuk artefak tentu
memiliki kandungan makna dalam sisi kehidupan sosial
masyarakat Using sebagai pewaris budaya material atau
tangibles.
Keberagaman budaya tangibles menandakan leluhur
masyarakat Using memiliki peradaban yang maju. Kemudian
mampu di uri-uri oleh pewarisnya melalui pemeliharaan dan
pemertahanan budaya tua itu. Seperti rumah tinggal adat
Using desa Kemiren, warisan budaya tangibles ini masih tetap
di dipertahankan sampai sekarang. Oleh karena itu sangat
bermakna secara budaya ketika desa Kemiren dijadikan cagar
budaya.
Seperti kekayaan budaya tangibles gaya rumahnya.
Model rumah adat Using dapat dilihat dari model
atapnya, masing-masing memiliki arti dan makna, bahkan
menunjukkan status sosial masyarakat Using tersebut. Model
atap rumah Crocogan, bercirikan mempunyai dua buah sisi
atap. Artinya, sebagai perlambang bahwa penghuni rumah
tersebut adalah sepasang suami istri yang mempunyai status
sosial sebagai keluarga tergolong ekonomi masih rendah.
40
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
Model atap rumah Tikel Balung, yaitu atap rumah bercirikan
atap memiliki tiga buah sisi, perlambang bahwa kehidupan
rumah tangga yang telah mengalami liku-liku dalam status
ekonomi tergolong sedang. Model atap rumah Baresan yang
mempunyai empat buah sisi melambangkan rumah tangga
sudah berjalan dengan baik atau sudah beres tergolong
memiliki ekonomi sudah mapan. Selain atap rumah, bentuk
ruang dalam bangunan rumah juga memiliki arti dan fungsi,
seperti ruang serambi, yaitu balai-balai yang biasa digunakan
untuk pertemuan atau menerima tamu. Ruang jerumah atau
ruang tengah digunakan untuk ruang keluarga atau tempat
untuk beristirahat. Ruang pawon atau dapur biasa digunakan
untuk memasak. Juga tentang perabot rumah tangga. Sebagai
budaya tangibles perabot rumah tangga masyarakat Using
memiliki arti dan makna sesuai dengan motif perabotan
tersebut. Motif matahari atau srengenge, melambangkan
sebuah harapan cerah sebuah rumah tangga. Motif bunga pare
melambangkan rumah tangga yang menjalar atau berkembang
kehidupannya. Motif kawung melambangkan pasangan
yang sudah menikah tidak boleh mencari lagi pasangan lain
(melambangkan kesetiaan). Motif selimpet dengan garis-garis
berpola yang saling menghubungkan melambangkan kasih
sayang yang tidak berujung.
Kiling, merupakan wujud budaya material masyarakat
Using juga sangat digemari. Kiling berasal dari kata Kai-ling
dari bahasa Cina, Kai berarti berputar dan ling berarti kayu.
Jadi Kailing berarti kayu yang berputar, selanjutnya dikenal
dengan sebutan Kiling. Kiling yaitu baling-baling khas Using
biasanya dipasang di tengah sawah atau di pasang pada
pohon hidup di sawah, kemudian disebut Panjer Kiling. Panjer
Kiling merupakan tradisi yang berhubungan erat dengan
kehidupan masyarakat Using sebagian besar adalah petani.
Berdasarkan sejarahnya, Kiling merupakan permainan
para petani di sawah, dipelopori atau diciptakan oleh buyut
41
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
Wongso Karyo, kemudian digunakan untuk menghalau
burung pemakan padi di sawah, dengan harapan hasil
panen padi melimpah. Kiling di panjer atau dipasang di
tengah sawah dan tertiup angin dapat menghasilkan bunyi
atau suara keras, sehingga membuat takut burung pemakan
padi. Sekarang Panjer Kiling tidak saja dipasang di tengah
sawah, melainkan sudah berkembang dipasang di tanah
lapang atau dipasang dipohon perkampungan penduduk,
bahkan sekarang berkembang menjadi ajang perlombaan
Panjer Kiling dan telah membudaya di kalangan masyarakat
Using Banyuwangi. Sebagaimana budaya wujud material
lainnya, Panjer Kiling juga memiliki arti dan makna. Makna
filosofis dari Panjer Kiling adalah berkaitan dengan falsafah
perkawinan, bahwa, dalam suatu ikatan perkawinan, suami
istri harus bisa selaras dalam menjalani biduk rumah tangga,
antara suami istri harus tahu peran masing-masing.
Angklung dan perangkatnya merupakan budaya tangible
atau wujud material khas masyarakat Using. Scara fisik,
Angklung memang terdapat dibeberapa tempat di nusantara
dan banyak ragam, seperti Angklung Bumbung di Bali,
Angklung Ujo Bandung dan sebagainya. Di Banyuwangi
Angklung masyarakat Using merupakan alat musik pengiring
dalam pertunjukkan dan upacara adat, terkadang digunakan
dalam mengiringi gerak ani-anian padi seperti Anglung
Paglak. Prinsipnya semua Angklung etnik Using sama, tetapi
jika ditinjau dari kelengkapan perangkat musik dan jenis
nadanya terdapat beberapa macam. Seperti; Angklung Paglak
itu sendiri, Angklung Tetak, Angklung Dwi Laras dan Angklung
Blambangan.
Angklung paglak, Angklung merupakan alat musik
terbuat dari bilah-bilah bambu yang kemudian diatur dalam
pangkan dengan nada slendro (Jawa). Paglak adalah sebuah
bangunan sederhana atau gubuk kecil dibangun dengan
bahan dasar potongan pohon bambu, beratapkan anyaman
42
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
pelepah daun kelapa biasanya dibangun di tengah sawah
sebagai alat untuk menghalau burung-burung pemakan padi,
atau untuk sekedar pelepas lelah ketika petani mengakhiri
kerjanya. Namun, sekarang ada yang dibangung di didekat
pemukiman, bahkan dibangun di tepi-tepi jalan raya. Paglak
ini dibuat dengan empat buah tiang bambu sebagai penyangga
dengan tinggi tiang mencapai 10 meter, jadi bila ingin masuk
ke paglak harus memanjatnya dengan menggunakan alat
bantu tangga.
Barong merupakan artefak kebudayaan khas masyarakat
Using desa Kemiren selain Rumah, Kiling dan Angklung,
berdasarkan wujudnya termasuk dalam budaya tangibels.
Ia termasuk dalam artefak atau benda-benda peninggalan
leluhurnya sebagai budaya khas masyarakat Using. Bentuknya
berbeda dengan Barong-barong etnis lain di Banyuwangi,
bahkan berbeda dengan Barong Bali maupun Barong dari
daratan Cina. Meskipun menurut sejarahnya memiliki kaitan
di antara keduanya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa
kebudayaan Using dipengaruhi oleh persilangan dua budaya
besar bahkan lebih. Begitu juga budaya Using dalam wujud
Barong Kemiren. Beberapa sumber mengatakan bahwa
Barong kemiren dipengaruhi oleh budaya Bali, sebagian
juga menyatakan Barong Kemiren dipengaruhi budaya Cina.
Versi pertama mengatakan, bahwa Barong Using, memiliki
keterkaitan dengan Bali, sehingga Barong Using mirip dengan
Barong Bali. Kemiripan itu dikaitkan dengan cerita pertarungan
dua bangsawan sakti asal Blambangan dan Pulau Dewata,
yaitu Minak Bedewan dan Alit Sawong, yang masing-masing
berubah wujud sebagai harimau dan burung garuda raksasa.
Versi kedua, bahwa Barong Kemiren terkait dengan Negeri
Tirai Bambu, China, yang masuk ke Tanah Jawa pada zaman
Majapahit. Anggapan ini, karena Barong Kemiren mirip tarian
yang pernah ada di negri tersebut pada zaman Dinasti Tang.
43
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
Versi ketiga, bahwa Barong Kemiren berkaitan dengan buyut
Cili sosok danyang desa Kemiren, juga disebut-sebut sebagai
pendiri desa Kemiren. Berdasar ceritera dari Subyek, bahwa
Barong Kemiren dibuat beradasarkan mimpi salah seorang
warga desa Kemiren bernama buyut Tompo, bersama-sama
temannya bernama buyut Soeb diminta membuat Barong.
Keduanya menjalankan perintah berdasarkan mimpi tersebut,
akhirnya jadi wujud Barong seperti yang diinginkan dalam
mimpi tersebut. Versi keempat, dari sumber subyek, bahwa
Barong Kemirendibuat oleh orang Kemiren kuno pada abad
ke-16 bernama mbah Sanimah. Barong yang dibuat oleh orang
Kemiren pertama kali itu buruk rupa. Barong itu kemudian
diwariskan kepada anaknya bernama mbah Tompo. Selang
waktu lama mbah Tompo pergi meninggalkan desa Kemiren
sambil membawa Barong yang buruk rupa tersebut. Suatu
ketika mbah Tompo ketemu dua orang ahli ukir bernama
Sukip dan Win, keduanya diminta membuatkan Barong yang
lebih bagus. Jadilah Barong baru buatan dua orang tersebut
atas permintaan mbah Tompo. Pulang ke desanya kembali
mbah Tompo dengan membawa Barong yang baru dibut.
Sejak itu Barong kemiren terkenal sampai sekarang hingga
diwariskan ke generasi ketujuh.
Ciri khas Barong kemiren menjadi pembeda dengan
Barong-barong lainnya, terdapat pada mahkota atau
teropong yang dilengkapi dengan gelung seperti supit udang,
bentuknya semacam mahkota biasa dipakai oleh tokoh raja
dalam wayang dan bersayap di sebelah kiri dan kanan.
Sedang ciri-ciri lainnya hampir mirip dengan ciri-ciri Barong
pada umumnya, seperti mata melotot, bercula, berkumis,
bertaring, berjambang, kepala berambut dan sebagainya.
Gambaran wujud budaya Using tangibles sebagaimana
diuraikan di atas menunjukkan karakter etnis dan budaya
Using yang mengandung spirit Aclak, Ladak dan Bingkak.
44
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
C. Budaya Using dalam Wujud Budaya Non-Material
(Intangibles)
Ciri khas budaya Using adalah sinkritisme. Wujud
sinkritis terletak pada bentuk budaya non-material atau
intangible, seperti jenis upacara-upacara adat. Yaitu upacara
adat Kebo-keboan, upacara adat Seblang, upacara adat Mepe
Kasur, dan banyak lagi lainnya, termasuk upacara adat
Barong Ider Bumi.
Barong Ider Bumi merupakan upacara adat yang
dilaksanakan oleh masyarakat Using desa Kemiren. Dalam
pelaksanaannya, Barong Ider Bumi terdapat indikasi adanya
perpaduan budaya, unsur Islam, unsur Hindu dan atau
kebudayaan Jawa. Semacam proses asimilasi yang berujung
pada peleburan kebudayaan. Oleh karena itu, nuansa sinkritis
pada upacara adat Barong Ider Bumi tidak dapat dielakkan.
Ciri sinkritis pada budaya ini, tampak pada acara slamatan di
makam buyut Cili, meskipun pembacaan do’a menggunakan
bacaan Bahasa Arab seperti biasa dipakai para imam do’a di
Masjid maupun di Musholla. Namun sesajen-sesajen dengan
nuansa mistik jelas kelihatan. Begitu juga slamatan di rumah
Barong, ada sesajen-sesajen disekitar Barong yang akan
digunakan utuk Ider Bumi, di dahului dengan bacaan do’a
atau mantra tidak jelas apa yang dibaca, berbeda dengan do’a-
do’a yang dibacakan pada saat di makam buyut Cili, do’a di
makam buyut Cili suaranya lebih keras dan cukup didengar
dibandingkan yang di rumah Barong.
Usai melakukan acara sakral, kirab Barong mengelilingi
desa Kemiren di mulai. Acara kirab ini sepertinya banyak
dinantikan oleh pengunjung atau wisatawan, jika dilihat dari
jumlah pengunjung atau wisatawan yang menyaksikan. Acara
kirab Barong Ider Bumi ini cenderung lebih propan, lebih
banyak hiburan. Semua jenis seni budaya yang dimiliki ikut
ditampilkan dalam kirab tersebut. Urutan kirab pun tertata
45
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
sedemikian rupa, menyemarakkan acara kirab upacara adat
Barong Ider Bumi. Di Ujung acara upacara, ditutup dengan
selamatan, tetapi lebih kepada acara makan bersama. Semua
warga baik yang ikut kirab maupun penonton, turut serta
duduk bersila disepanjang jalan desa yang sudah ditata tikar
dan sajian hidangan makanan pecel pitik untuk siap dimakan
bersama. Sebelum dimulai makan bersama, dipimpin do’a
oleh tokoh agama desa Kemiren.
Upacara adat Kebo-keboan Ider Bumi. Kebo-keboan Ider
Bumi Alasmalang dan Aliyan. Meskipun hamper mirip cara
pelaksanaan termasuk cara kirab, namun ada beda dengan
upacara adat Barong Ider Bumi desa Kemiren. Ritual Kebo-
keboan Ider Bumi Alasmalang merupakan warisan dari
leluhur masyarakat dusun krajan desa Alasmalang kecamatan
Singojuruh, bernama buyut Karti, ia orang pertama yang
melaksanakan upacara adat Kebo-keboan Ider bumi, di
samping merupakan lelulur desa Alasmalang yang juga
dikenal sebagai pawang sakti. Asal mula upacara adat Kebo-
keboan Ider Bumi desa Alsmalang dan Aliyan ini memiliki
kemiripan dengan yang di desa Kemiren, yitu terkait dengan
danyang desa dan pageblug. Bahwasanya danyang siapa dan
wabah penyakit apa serta medianya apa menjadi suatu hal
yang beda. Kalau di Kemiren medianya Barong, sedang di
Alasmalang dan Aliyan medianya kepala Kerbau.
Upacara adat Seblang. Upacara ini intinya juga slamatan,
mohon kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keselamatan
desanya. Upacara adat ini juga merupakan upacara adat
tahunan yang dilaksanakan di dua desa yaitu desa Olehsari
dan desa Bakungan kecamatan Glagah. Upacara adat Seblang
merupakan tarian sakral untuk permohoanan kepada Sang
Maha Pencipta agar terhindar dari malapetaka. Yaitu, bentuk
tradisi yang bermotiv masyarakat agraris bertujuan untuk
kesuburan tanah dan mengusir penyakit sehingga masyarakat
desa setempat makmur. Istilah Seblang, beberapa sumber
46
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
mengatakan dengan maksud supaya“sebele ilang” maksudnya
adalah hilangnya permasalahan. Namun, ada juga yang
mengatakan bahwa istilah Seblang berasal dari bahasa Using
kuno, yang berarti hilangnya segala permasalahan dan
kesusahan.
Masih banyak lagi budaya Intangibles lainnya yang
dimiliki oleh masyarakat Using Banyuwangi, semuanya
tentu memiliki arti dan makna masing-masing, sesuai misi
pembuatnya, dan semua itu intinya adalah slamatan. Seperti
upacara adat Mepe Kasur, Upacara adat Tumpeng Sewu,
Upacara adat Nyukit Lemah, Tradisi Gredoan, Tradisi Puter
Kayun, Upacara adat Petik Laut, Tradisi Mantu Kucing,
Tradisi Gitikan, Tradisi Bintean, Tradisi Perang Bangkat,
Tradisi Ruwatan atau Rokat, Tradisi Rebo Wekasan, Tradisi
Modun Lemah, Tradisi Mitoni / Tingkeban, Tradisi Tublek
Ponjen.
Inti budaya Intangles adalah slamatan, namun ada
yang sangat unik untuk dikaji ketika budaya Tangibles dlam
wujud slamatan itu dikemas sedemikian rupa sehingga
melibatkan banyak orang. Hal itu, menimbulkan interaksi
sosial dalam skala yang lebih luas. Aktivitas kegiatannya,
kreatifitas tampilan, dan inovasi gagasan atau ide yang
memunculkan symbol- symbol sarat makna, sebagaiman
konsep interaksionis simbolik Mead, bahwa aktivitas dan
kreatifitas itu memunculkan arti dan makna (Ritzer, 2010).
Aktifitas, kreatifitas dan inovasi dalam konteks ini
dipahami merupakan spirit yang melekat pada setiap
kebudayaan Using, dimana spirit itu merupakan manifestasi
dari karakter masyarakat Using itu sendiri. Artinya, karakter,
sifat dan sikap masyarakat Using dalam berinteraksi sosial
teraktualisasi ke dalam setiap kebudayaan yang mereka
ciptakan kemudian ditunjukkan untuk ditampilkan kepada
khalayak dalam suatu even tahunan, seperti upacara adat
Barong Ider Bumi dan upacara adat lainnya.
47
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
Fenomena upacara adat dalam wujud slamatan yang
dikemas sedemikian rupa, mengandung makna spirit, yang
berisi motivasi-motivasi aktivitas, kreatifitas dan inovasi
dalam setiap budaya Using yang mereka presentasikan,.
Realitas sosial masyarakat dan budaya Using itu tentu
menyangkut tindakan-tindakan sosial individu masyarakat
Using itu sendiri selaku aktor yang tentunya memiliki tujuan-
tujuan. Spirit itu kemudian dalam konsep budaya Using
sering disebut Aclak, Bingkak dan Ladak.
D. Budaya Using dalam Wujud Budaya Kontemporer
Ciri khas masyarakat dan budaya Using adalah
akomudatif dan fleksibel terhadap budaya global. Bagaimana
suatu masyarakat dan budaya Using mampu beradaptasi
tanpa harus meninggalkan budaya klasik (tua), melalui
aktivitas, kreativitas dan inovasi bergandengan secara damai
dan harmonis, bahkan menghasilkan karya budaya melenial
sesuai dengan selera masyarakat modern.
Benturan peradaban akibat budaya global, bukan
merupakan penghalang dalam beraktualisasi. Spirit Aclak,
Bingkak dan Ladak telah membudaya dalam diri masyarakat
dan budaya Using itu justru menghasilkan karya positif.
Munculnya Gandrung sewu yang dielu-elukan oleh
pemirsa dan penikmat budaya Using adalah wujud spirit
Aclak, Bingkak dan Ladak ketika mengimbangi kebutuhan
masyarakat modern. Berbeda sama sekali (keluar dari
pakem) dengan Gandrung klasik ketika berekspresi dalam
pementasan, dengan mengikuti pola baku pementasan
Gandrung pada umumnya.
Budaya tangibles Angklung Paglak klasik biasanya
dimainkan di tengah sawah pada saat para petani melepas
lelah sambil mengalunkan gending-gending khas Using
mengiringi suasana sore hari. Kini menjadi ajang pementasan
48
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
dipinggir jalan raya dengan ketinggian mencapai 10 meter,
sama sekali keluar pakem histori budaya. Juga, ketika
budaya tangibles Barong Kemiren menjadi budaya intangibles
upacara adat Barong Ider Bumi, kemudian menjadi Barong
Etnocarnival adalah wujud diplomasi budaya dengan spirit
Aclak, Bingkak dan Ladak dalam bingkai budaya temporer.
49
BAB IV
NILAI-NILAI SPIRIT PADA BUDAYA USING
A. Kata Pengantar
KATA SPIRIT dipadankan pengertiannya dengan istilah
Jenggirat Tangi dalam konteks budaya Using. Berarti semangat
menggelora dalam pemeliharaan dan pemertahanan budaya
tua sebagai wujud uri-uri budaya Using atas weluri. Spirit
memlihara dan mempertahankan budaya leluhur bagi
masyarakat Using merupakan keniscayaan. Karena itu
memodifikasi warisan budaya tangibles maupun intangibles
merupakan bagian dari penghormatannya. Modifikasi yang
dimaksud adalah, menciptakan sesuatu yang sudah ada.
Realitas sosial masyarakat Using menghendaki demikian
seiring kemajuan budaya dan peradaban dunia global dan
pengaruhnya terhadap budaya Using.
Sebagaimana teori interaksionis simbolik Mead, bahwa
realitas sosial sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata,
melainkan secara aktif diciptakan ketika manusia bertindak
“di dan terhadap” dunia. Masyarakat Using melakukan hal
itu melalui para aktornya. Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
dimunculkan tidak saja dalam perilaku individu etnis, juga
dimunculkan dalam budaya Using itu sendiri ketika mereka
mengambil peran.
51
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
Mengakomudasi budaya dan peradaban global
kemudian memodifikasi nya, adalah budaya warisan, dengan
istilah Aclak, Ladak dan Bingkak. Budaya Aclak, Ladak dan
Bingkak sesungguhnya sangat jelas dipertontonkan dalam
komunikasi dan interaksi sosial mereka dalam keseharian.
Namun beberapa pemerhati masyarakat dan budaya Using
menggambarkan melalui hasil penelitiannya yang beraneka
ragam itu, tidak lain adalah gambaran budaya Aclak, Ladak dan
Bingkak. Seperti: Wolbers (1985) tentang “Maintaining Using
Identity Through Musical Performance Seblang and Gandrung Of
Banyuwangi, East Java, Indonesia”. Anoegrajekti (2003) tentang
“Seblang Using: Studi tentang Ritus dan Identitas Komunitas
Using, Sulistyani (2007) tentang “Upacara Ider Bumi di Desa
Kemiren di kecamatan Glagah kabupaten Banyuwangi”.
Anoegrajekti (2011) tentang “Gandrung Banyuwangi:
Kontestasi dan Representasi Identistas Using”, Kholil A
(2011) tentang Upacara Ider Bumi yang terkait dengan budaya
Kebo-keboan, Rochsun & Lilis L (2012) tentang Tanggapan
Masyarakat Using Desa Kemiren terhadap Upacara Adat
Barong Ider Bumi, Sari A M, dkk (2015) tentang Dinamika
Upacara Adat Barong Ider Bumi Sebagai Obyek Wisata
Budaya, Darmana K, (2015) tentang: Upacara Barong Ider
Bumi Masyarakat Using Desa Kemiren Banyuwangi-Jawa
Timur.
Kajian-kajian di atas sarat makna. Makna, dalam
pandangan teori interaksionis simbolik Mead merupakan
produk interaksi sosial, oleh karena itu makna tidak melekat
pada obyek melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan
Bahasa. Seperti ungkapan kata Aclak, Ladak dan Bingkak
sesungguhnya Bahasa verbal yang penuh arti. Kata-kata
itu biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam
nuansa keakrabban. Namun, dalam penggunaan yang lebih
luas kata-kata itu membudaya dalam diri masyarakat dan
budaya Using menjadi suatu karakter, sifat dan sikap yang
52
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
sarat makna. Bahkan menjadi nilai spirit yang terkandung di
dalam budaya tangibles maupun budaya intangibles.
B. Nilai Spirit pada Budaya Intangibles
Produk budaya tua Gandrung Banyuwangi adalah salah
satu identitas etnik Using, merupakan budaya intangibles
tertua dari sejumlah budaya yang dimiliki oleh masyarakat
Using setelah budaya dalam wujud Bahasa Using. Budaya
Gandrung merupakan seni pertunjukan yang diekspresikan
melalui olah tubuh atau olah tari, terkadang sambil bernyanyi.
Spirit budaya Gandrung terlihat, ketika budaya ini dielu-
elukan sebagai maskot dan menjadi tarian resmi penyambutan
tamu pada era tahun 2000-2005 di kabupaten Banyuwangi.
Gambar dan patung Gandrung menghiasi setiap ruang
terbuka strategis pelosok desa dan kota kabupaten, sehingga
Banyuwangi sering dikenal dengan sebutan kota Gandrung.
Sebagai budaya tertua, sejak tahun 1774 eksistensi
Gandrung sudah dijadikan sarana perjuangan. Budaya
Gandrung saat itu, mampu berperan sebagai penyampai
pesan-pesan perjuangan. melalui syair-syair lagu yang
dinyanyikan dalam setiap pertunjukan. Juga berperan sebagai
alat untuk menghimpun logistik keperluan geriliyawan di
pedalaman, terkadang juga dijadikan mata-mata geriliyawan
dalam mengintai gerak penjajah Belanda. Namun, dalam
perkembangannya, Gandrung tidak saja berubah dalam hal
peran penarinya, juga berubah dalam hal jumlah penari. Pada
awalnya, penari Gandrung diperankan oleh orang laki-laki,
karena sesuatu hal seiring perjalanan waktu penari diperankan
oleh wanita. Jumlah penaripun semula diperankan oleh satu
orang penari, mengikuti perubahan peradaban dan budaya
global, jumlah penari menjadi lebih dari satu orang. Bahkan
di era melenial, penari Gandrung mencapai 1000 orang penari
wanita, kemudian dikenal dengan sebutan Gandrung Sewu.
53
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
Perubahan misi Gandrung terasa sejak pertama kali
dijadikan pengisi acara ketika pembukaan hutan untuk
dijadikan pusat pemerintahan. Nuansa Gandrung menjadi
lebih meriah, kesan propan lebih menonjol dari nilai sakral.
Sejak itu, sampai pada jaman di ujung berakhirnya penjajahan
Belanda hingga sekarang, budaya Gandrung sering diundang
dalam acara-acara resepsi untuk menampilkan suatu
pertunjukkan tari Gandrung menjadi ajang pengisi acara
pesta, Oleh karena itu, dalam penelitiannya Anoegrayeksi
(2011) kemudian budaya Gandrung semacam ada perebutan
kepentingan terhadap eksistensinya, bahkan dijadikan obyek
perebutan di antara tiga kelompok sosial. Yaitu; Pemerintah,
Agama dan Masyarakat.
Selain budaya Gandrung, tidak kurang dari 17 budaya
intangibles lainnya telah dimiliki oleh masyarakat Using
yang dalam implementasinya terkandung nilai-nilai spirit,
termasuk di dalamnya adalah budaya berbahasa Using.
Bahasa Using merupakan Bahasa komunikasi yang digunakan
oleh etnik Using untuk berinteraksi sosial oleh dan dengan
masyarakat Using itu sendiri. Spirit budaya ini terlihat, ketika
memasukkan Bahasa Using dalam kurikulum sekolah SD
hingga SMP di Banyuwangi sebagai muatan lokal. Padahal
masyarakat Banyuwangi merupakan masyarakat majemuk
dan etnik Using bukan etnik mayoritas. Bahkan intruksi sehari
berbahasa Using untuk semua pegawai negri dan swasta dan
seminggu berbusana adat Using pada hari jadi kabupaten
Banyuwangi di setiap tahunnya, adalah nilai-nilai spirit yang
melekat dalam budaya dan individu aktor.
Upacara adat Barong Ider Bumi merupakan budaya
khas masyarakat Using desa Kemiren kecamtan Glagah
Banyuwangi. Sebagai budaya intangibles, ia memiliki tata
cara yang hampir sama dengan upacara-upacara adat lainnya
di Banyuwangi, hanya saja latar belakang sejarah yang
membedakanmya. Semua upacara-upacara adat itu intinya
54
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
adalah Slamatan. Slamatan pada umumnya masyarakat Jawa,
merupakan sebuah upacara yang sakral, karena menyangkut
relasi dua dimensi yang berbeda, yaitu dimensi makro kosmos
dengan dimensi mikro Kosmos, menyangkut relasi batiniah
makhluk dengan Yang Maha Khalik. Begitu juga Slamatan
bagi masyarakat Using, mereka meyakini ada dimensi
lain diluar dirinya yang dapat mempengaruhi keamanan,
kesejateraan, keselamatan dalam kehidupannya.
Sebagai warga masyarakat beragama, mayoritas
masyarakat Using desa Kemiren beragama Islam. Kepatuhan
terhadap keyakinan agamanya sangat kuat. Syariat-syariat
wajib mereka ikuti secara baik, tetapi keyakinan terhadap
mitologi juga kuat. Mereka meyakini secara mitologi
bahwa kekuatan alam bukanlah suatu yang berdiri sendiri
(imanen), melainkan merupakan ungkapan dari alam ghaib,
yaitu mesteri yang melindungi (harmonisasi). Alam adalah
ungkapan kekuasaan yang akhirnya diyakini menentukan
kehidupannya. Mereka juga meyakini, bahwa kehidupan
manusia akan berjalan dengan baik manakala keharmonisan
dalam masyarakat dan alam tetap terjaga. Ungkapan rasa
untuk mewujudkan keharmonisasian tersebut antara lain
melakukan acara slametan atau upacara adat atau ritual.
Upacara adat Barong Ider Bumi desa Kemiren, spiritnya
adalah Slamatan. Latar historis upacara adat itu berkaitan
dengan danyang desa Kemiren, bernama buyut Cili. Mitos buyut
Cili melegenda di kalangan masyarakat Using desa Kemiren.
Meskipun mayoritas keyakinan agama yang dianut tidak
mengajarkan adanya itu, tetapi mereka mampu mengatasi
paradok yang ada. Hal itu, seperti kesaksian Beatty dalam
Variasi Agama, bahwa di pedesaan Banyuwangi (masyarakat
Using) menemukan pertemuan yang selaras mistisisme,
pantiesme, pemujaan roh halus dan ketaatan agama normatif
dalam sebuah kerangka sosial. Bagi masyarakat Using desa
Kemiren, buyut Cili diyakini sebagai sosok yang mampu hadir
55
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
dalam kepercayannya, memberikan pedoman bagi seluruh
warga untuk berbuat baik. Kehadirannya dalam even budaya
diyakini sebagai pengingat bahwa di luar dirinya ada sesuatu
kekuatan yang mempengaruhi. Oleh karena itu, ketika ada
warga masyarakat desa Kemiren akan menyelenggarakan
suatu hajatan, seperti pernikahan, sunatan atau jenis hajatan
lainnya, mereka yang meyakini selalu melibatkan sosok buyut
Cili untuk hadir, dengan cara melakukan acara ritual atau
kirim do’a di makam buyut Cili sebelum hajatan utamanya
berlangsung.
Spiritnya adalah, ketika upacara adat Barong Ider Bumi
ini dikemas sedemikian rupa sehingga memunculkan nuansa
berbeda, cenderung lebih propan daripada sakral. Skenario
acara ditata secara rapi. Mulai dari personil pengisi kirab,
urutan baris peserta kirab mengelilingi bumi desa Kemiren
hingga puncak acara slamatan. Di mana seluruh peserta kirab
membaur dengan masyarakat duduk bersilia di sepanjang
jalan desa sambil menikmati makan bersama, makanan khas
masyarakat Using berupa pecel pitik. Pelaksanaan upacara
didesain sedemikian rupa dengan menonjolkan kesan meriah
dan glamor.
Perbedaan mencolok terletak pada dominasi nilai,
sebelumnya nilai sakral menjadi prioritas, seiring berjalannya
waktu dan perkembangan jaman, nilai sakral dibalut dengan
memunculkan unsur propan. Sehingga menimbulkan daya
tarik tersendiri bagi kebanyakan masyarakat lainnya untuk
ikut terlibat ataupun sekedar menyaksikan.
Budaya tangibles lainnya adalah upacara adat Kebo-
keboan Alasmalang dan Aliayan, upacara adat Seblang
Olehsari dan Bakungan dan masih banyak budaya non
material lainnya milik masyarakat Using, sebagai kekayaan
budaya daerah dan menjadi alternatif pendapatan asli
daerah Banyuwangi yang bersumber dari pariwisata budaya.
56
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
Karakteristik akomodatif masyarakat dan budaya Using
terhadap kebutuhan pasar, ketika upacara adat Kebo-kebodan
atau upacara adat Sebalang memunculkan nilai propan
daripada nilai sakral. Sehingga banyak para pengusaha ikut
terlibat berpartisipasi dalam menseponsori kegiatannya.
C. Nilai Spirit pada Budaya Tangibles
Benda-benda kuno atau artefak peninggalan leluhur,
kemudian dalam tulisan ini disebut dengan budaya tangibles,
yaitu budaya dalam bentuk materi atau benda sengaja dibuat
oleh seorang tokoh desa Kemiren yang berwujud Barong.
Empat versi cerita tentang asal-usul dibuatnya budaya tangibles
berwujud Barong. Masing-masing versi memiliki kekuatan
argument untuk menetapkan versi yang mana sesungguhnya
lebih dekat kepada tingkat kebenaran. Jika ditinjau dari sisi
historis, Barong Kemiren dibuat terkait dengan cerita mitos
buyut Cili, didasarkan pada adanya benang merah antara
penciptaan Barong Kemiren dengan fenomena sosial saat itu,
yaitu fenomena Pageblug di akhir abad ke-18 atau tahun 1800-
an.
Pabeglug adalah wabah penyakit yang mematikan, jika
ada anggota masyarakat sakit di pagi hari, umumnya warga
tersebut meninggal di sore hari, dan begitu juga sebaliknya.
Situaasi dan kondisi Pageblug berjalan cukup lama, sampai
suatu ketika ada cerita mitos tentang wangsit melalui
mimpi seseorang warga desa yang terkait dengan perintah
buyut Cili untuk membuat Barong. Barongpun dibuat dan
menghasilkan Barong yang buruk rupa. Meski buruk rupa,
dalam pandangan arkeolog benda-benda kuno demikian
biasanya mampu tunduk terhadap eksistensi pembuatnya.
Oleh karena itu, meskipun mengalami perbaikan-perbaikan
atau renovasi terhadap wujud Barong Kemiren, kenyataanya
Barong Kemiren eksis hingga sekarang sampai generasi
ketujuh.
57
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
Jika mengikuti versi lainnya, bahwa Barong Kemiren
dikait-kaitkan dengan kebudayaan bangsa lain, seperti
Bali dan Cina. Dalam versi yang berbeda, Barong Kemiren
dikaitkan dengan budaya Bali, didasarkan atas cerita pada
pementasan Barong Kemiren mirip dengan pementasan
cerita Barong Bali. Yaitu cerita pertarungan dua bangsawan
sakti asal Blambangan dan pulau Bali, Minak Badewan dan
Alit Sawung. Barong Kemiren dikatakan berasal dari budaya
Cina, karena Barong Kemiren mirip tarian yang pernah ada di
negri tersebut pada zaman Dinasti Tang.
Ketika Barong kemiren menjadi pembeda dengan
Barong-barong lainnya, terdapat pada mahkota atau
teropong yang dilengkapi dengan gelung seperti supit udang,
bentuknya semacam mahkota biasa dipakai oleh tokoh raja
dalam wayang dan bersayap di sebelah kiri dan kanan.
Sedang ciri-ciri lainnya hampir mirip dengan ciri-ciri Barong
pada umumnya, seperti mata melotot, bercula, berkumis,
bertaring, berjambang, kepala berambut dan sebagainya.
Hal itu, merupakan spirit yang melekat pada karakteristik
masyarakat dan budaya Using itu sendiri.
Spirit budaya Using lainnya adalah Kiling. Kiling
berasal dari kata Kai-ling dari bahasa Cina, Kai berarti
berputar dan ling berarti kayu. Jadi Kailing berarti kayu
yang berputar, selanjutnya dikenal dengan sebutan Kiling.
Kiling yaitu baling-baling khas Using biasanya dipasang di
tengah sawah atau di pasang pada pohon hidup di sawah,
kemudian disebut Panjer Kiling. Panjer Kiling merupakan
tradisi yang berhubungan erat dengan kehidupan masyarakat
Using sebagian besar adalah petani. Awal keberadaan Kiling
merupakan permainan para petani di sawah, kemudian
digunakan untuk menghalau burung pemakan padi di
sawah, dengan harapan hasil panen padi melimpah. Kiling
biasanya di panjer atau dipasang di tengah sawah dan tertiup
58
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
angin dapat menghasilkan bunyi atau suara keras, sehingga
membuat takut burung pemakan padi.
Spirit budaya Using dalam wujud Kiling terletak pada
acara Panjer Kiling. Panjer Kiling tidak saja dipasang di tengah
sawah, melainkan sudah berkembang dipasang di tanah
lapang atau dipasang dipohon perkampungan penduduk,
bahkan sekarang berkembang menjadi ajang perlombaan
Panjer Kiling dan telah membudaya di kalangan masyarakat
Using Banyuwangi. Sedangkan makna filosofi Kiling adalah
panjer Kiling berkaitan dengan falsafah perkawinan yang
dijabarkan melalui makna masing-masing bagian dari Panjer
Kiling. Bahwa, dalam suatu ikatan perkawinan, suami istri
harus bisa selaras dalam menjalani biduk rumah tangga,
antara suami istri harus tahu peran masing-masing.
Angklung merupakan budaya tangible atau wujud
budaya material khas masyarakat Using Banyuwangi.
Budaya Angklung memang terdapat dibeberapa tempat dan
sangat banyak ragamnya, seperti Angklung Bumbung di Bali,
Angklung khas Sunda Bandung. Tetapi Angklung masyarakat
Using Banyuwangi merupakan alat musik pengiring dalam
pertunjukkan dan upacara adat, terkadang digunakan dalam
mengiringi gerak tari. Angklung masyarakat Using awalnya
sebagai pengisi luang saat petani melepas lelah setelah bekerja
seharian di sawah, dengan memainkan musik Angklung.
Bahkan Angklun saat itu di samping sebagai alat pelepas
lelah, juga sebagai pengusir burung atau ani-anian padi.
Dalam perkembangannya, Angklung lebih variatif, seperti
Angklung Paglak, Angklung Tetak, Angklung Dwi Laras
dan Angklung Blambangan. Berbagai macam jenis Angklung
tersebut berbeda terletak pada kelengkapan perangkat musik
dan jenis nada yang dibawakannya.
Spirit yang paling menonjol dari budaya Angklung
adalah keberagaman jenis Angklung. Seperti Angklung
paglak, alat busik terbuat dari bambu dengan nada selendro,
59
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
ditempatkan pada suatu bangunan sederhana atau gubuk
kecil, dengan bahan dasar potongan pohon bambu, beratapkan
anyaman pelepah daun kelapa biasanya dibangun di tengah
awah diberi nama Paglak. Seiring perkembangan jaman dan
berjalannya waktu, Angklung Paglak disimpan dalam suatu
bangunan paglak di didekat pemukiman, bahkan dipamerkan
dalam suatu Paglak di tepi-tepi jalan raya, dibuat dengan
empat buah tiang bambu sebagai penyangga dengan tinggi
tiang 10 meter.
Sekarang Aklung Paglak sering menghiasi jalan raya
khususnya di desa Kemiren saat akan dilaksanakan upacara
adat Barong Ider Bumi. Perkembangan budaya Angklung
bagi masyarakat Using Banyuwangi menjadi beragam.
Selain Angklung Paglak, dikenal juga Angklung Dwi Laras,
Angklung Tetak, Angklung Blambangan, dan Angklung
Caruk, masing-masing mempunyai peran dan fungsi. Dari
sejumlah budaya tangibles wujud Angklung, Angklung
Caruk lebih menonjolkan spirit Aclak, Ladak dan Bingkak.
Spirit ini yang menimbulkan daya tarik, ketika Angklung
caruk dilombakan dalam suatu ajang perlombaan dua grup
musik Angklung. Masing-masing menampilkan kostum
yang glamor tarian diiringi musik Angklung serta jenis lagu
yang dibawakan turut serta dilombakan, dalam nuansa yang
meriah dan propan.
Spirit budaya Using yang dimunculkan dari budaya
rumah tinggal Using terdapat pada macam bentuk atap,
masing-masing memiliki perlambang dan mengandung arti
dan makna, juga penanda status sosial penghuninya. Yaitu:
bentuk atap rumah Crocogan, bercirikan mempunyai dua
buah sisi atap. Artinya, sebagai perlambang bahwa penghuni
rumah tersebut adalah sepasang suami istri yang mempunyai
status sosial sebagai keluarga tergolong ekonomi masih
rendah. Bentuk rumah dengan atap Tikel Balung, yaitu atap
rumah bercirikan atap memiliki tiga buah sisi, perlambang
60
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
bahwa kehidupan rumah tangga yang telah mengalami lika-
liku dalam status ekonomi tergolong sedang. Atap rumah
Baresan yang mempunyai empat buah sisi melambangkan
rumah tangga sudah berjalan dengan baik atau sudah beres
tergolong memiliki ekonomi sudah mapan. Bentuk-bentuk
rumah adat Using ini dibangun dalam tiga bagian ruang,
yaitu; ruang serambi, yaitu merupakan balai-balai yang biasa
digunakan untuk pertemuan atau menerima tamu, ruang
jerumah atau ruang tengah digunakan untuk ruang keluarga
atau tempat untuk beristirahat, dan ruang pawon atau dapur
biasa digunakan untuk memasak. Begitu juga dengan
perabotan rumah tangga.
Spirit budaya Using Budaya Using dalam hal perabotan
rumah tangga. Spirit yang dimunculkan adalah arti dan
makna sesuai dengan motif perabotan tersebut. Seperti
motif matahari atau srengenge, motif bunga pare, motif kawung,
dan motif selimpet. Keempat motif tersebut masing-masing
mempunyai makna. Yaitu, moti matahari melambangkan
sebuah harapan cerah sebuah rumah tangga, motif bunga pare
melambangkan rumah tangga yang menjalar, motif kawung
melambangkan pasangan yang sudah menikah tidak boleh
mencari lagi pasangan lain (setia) atau tidak boleh selingkuh,
dan motif selimpet dengan garis-garis berpola yang saling
menghubungkan melambangkan kasih sayang yang tidak
berujung.
Budaya tangibles seperti Batik. Memunculkan spirit
yang menambah khasanah kekayaan budaya masyarakat
Using Banyuwangi. Motif terkenal budaya Batik Using adalah
motif Gjah Oling. Ciri terdapat sulur tanaman dan kembang di
ujungnya. Masyarakat Using menggunakan batik ini biasanya
pada busana tari Gandung, adat Manten, Seblang, dan lain
sebagainya. Batik tenun khas masyarakat Using Using ini
terbuat dari serat pisang Abaca. Pisang Abaca merupakan
tanaman asli kepulauan Phillipines dan Mindanao yang
61
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
memiliki serat tipis tapi sangat kuat. Karena tidak mudah
putus, serat Abaca banyak dimanfaatkan untuk bahan baku
tali tambang, kerajinan dan mebel. Di desa Kemiren sendiri
tenunan dari Abaca ini dijadikan sebuah kerajinan yang
menarik, seperti kap lampu, tirai, taplak meja, dan tatakan
makan hingga bantalan kursi.
62
BAB V
ACLAK BINGKAK DAN LADAK SEBAGAI NILAI
SPIRIT BUDAYA USING
A. Kata Pengantar
SEBAGAI MAKHLUK sosial, setiap manusia butuh bergaul
dengan manusia lain, melalui pergaulan itu tercipta interaksi
sosial. Untuk melakukan interaksi sosial perangkat utamanya
adalah simbol, karena simbol merupakan tanda untuk
mengartikan sesuatu, suatu makna dapat ditunjukkan
oleh simbol. Simbol bisa Bahasa verbal, bisa lambang,
misalnya tentang warna. Warna putih dimaknai sebagai
simbol kesucian, warna merah dimaknai sebagai simbol
keberanian. Begitu juga konteks budaya material masyarakat
Using, misalnya “Barong”, dimaknai simbol kebersamaan.
Budaya material “Kiling” dimaknai sebagai keselarasan
dalam mahligai rumah tangga, budaya material atap rumah
“Baresan” dimaknai sebagai keluarga berekonomi mapan,
dan lain sebaginya, maka simbol mempunyai banyak arti
tergantung pada siapa yang menafsirkan apa terhadap simbol
atau lambang tersebut.
Semua kata yang digunakan adalah simbol, karena dia
mempunyai banyak arti. Simbol adalah sarana komunikasi
yang kompleks dan sering kali memiliki beberapa tingkatan
makna. Budaya manusia menggunakan simbol-simbol
untuk mengungkapkan ideologi tertentu. Artinya, simbol
63
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
menghadirkan makna dari latar belakang budaya seseorang.
Maka budaya Aclak, Bingkak dan Ladak adalah kata-kata
yang merupakan simbol identitas masyarakat dan budaya
Using, dan kata-kata itu menghadirkan makna, tetapi
tergantung dari sisi mana memaknai kata Aclak, Bingkak dan
Ladak dalam budaya komunikasi masyarakat Using tersebut.
Karena ketika aktualisasi budaya Acalak, Bingkak dan Ladak
mengandung dua peran atau dua makna..
Selain kata-kata Aclak, Bingkak dan Ladak sebagai
budaya komunikasi, kata-kata itu juga merupakan
satu kesatuan karakter masyarakat dan budaya Using
dalam mengaktualisasikan diri. Aktualisasi berbicara,
berkomunikasi, bertingkah laku maupun aktualisasi ekspresi
seni budaya, baik budya tangibles maupun intangibles.
Oleh karena itu aktualisasi diri masyarakat dan budaya
Using sebagaimana dijelaskan bab-bab sebelumnya adalah
spirit yang dimunculkan oleh nilai-nilai Aclak, Ladak dan
Bingkak. Nilai-nilai spirit Aclak, Bingkak, dan Ladak itu yang
memotivasi suatu budaya Using eksis dan bertahan.
Pemahaman terhadap konsep nilai spirit Aclak, Bingkak
dan Ladak pada dasarnya dapat dijelaskan menggunakan
teori interaksionis simbolik Mead ketika berbicara tentang
Mind (pikiran), Self (diri) dan Society. Teori ini menjelaskan
bahwa Mind adalah tindakan yang menggunakan simbol-
simbol dan mengarahkan simbol-simbol tersebut menuju
self. Mind bersifat sosial, ia hidup di luar individu, tetapi
suatu ketika dimasukkan individu dalam dirinya. Artinya,
simbol-simbol yang beragam itu dapat dimanipulasi,
aktivitasnya berupa komunikasi dengan orang lain, tetapi
bisa juga merupakan percakapan dengan self (diri), dengan
diri kita, atau dengan simbol-simbol yang dipahami atau
akan dimanipulasi. Self bersifat dinamis, ia akan mengalami
perubahan-perubahan setiap saat ketika individu-individu
atau suatu itu berinteraksi. Karena Self atau Diri berperan
64
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
ganda, suatu ketika menjadi “I” sebagai subyek, yaitu menjadi
diri yang aktif, bersifat spontan dan independen atau bebas,
tidak terkekang, tidak terkendali dan maunya sendiri. Suatu
ketika menjadi “Me” sebagai objek, yaitu bersifat dependen,
terkekang, tidak bebas, mengikuti lingkungan, terkendali.
Begitu juga dengan nilai spirit Aclak, Bingkak dan
Ladak dalam konsep budaya Using, di mana spirit ini melekat
pada diri individu masyarakat dan budaya Using itu sendiri
sebagai mana konsep Self dalam teori interaksionis simbolik
Mead. Ia juga berperan ganda, suatu ketika berperan sebagai
subyek, artinya berkonotasi dan bersifat negatif. Suatu ketika
berperan sebagai obyek, artinya berkonotasi dan bersifat
positiff. Bedanya adalah ketika spirit ini terkadang secara
bersama-sama mengambil peran dalam saat yang bersamaan.
Artinya, secara bersamaan ia mengambil peran sebagai
subyek dan sekaligus sebagai obyek.
Memang dalam teori dasar interaksionis simbolik
Mead menstatuskan individu sebagai individu aktif kreatif.
Namun, dalam konteks budaya Using individu lebih kepada
individu masyarakat sebagai aktor dan budaya Using yang
Aclak, Bingkak dan Ladak, yaitu suatu spirit yang memiliki
peran ganda.
B. Nilai Spirit Aclak pada Budaya Using
Kita sepakati saja bahwa karakteristik masyarakat dan
Budaya Using merupakan dua hal yang saling berkaitan satu
dengan yang lain. Bahwa, ekspresi Budaya Using di satu sisi
merupakan cerminan dari karakteristik masyarakat Using,
namun sisi lain karakteristik masyarakat Using merupakan
bentukan budaya Using. Budaya Aclak merupakan nilai spirit
sebagaimana konsep Self dalam teori interaksionis simbolik
memunculkan semangat dengan peran ganda. Suatu ketika
independen sebagai tindakan tidak terkendali, juga terkadang
dependen sebagai tindakan terkendali. Ketika spirit budaya
65
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
Aclak berperan sebagai suatu tindakan tidak terkendali maka
spirit Aclak lebih kepada konotasi negatif, seperti suatu
tindakan sok tahu (merasa lebih tahu), sok hebat (merasa
lebih hebat), dan kata-kata merasa-merasa lainnya. Namun,
ketika spirit budaya Aclak berperan sebagai suatu tindakan
terkendali, maka spirit Aclak lebih kepada pengertian
berkonotasi positif. Seperti, tindakan ekspresif, dinamis,
dramatis dan semua tindakan bernilai aktif dan positif
lainnya. Spirit Aclak bisa saja muncul pada suatu budaya
tangibles seperti budaya Barong, budaya Kiling, budaya
Angklung dalam konteks budaya wujud materi lainnya. Serta
budaya dalam wujud intangibles, seperti upacara adat Barong
Ider Bumi, upacara adat Kebo-keboan, upacara adat Seblang
dalam konteks budaya non-materi serta budaya wujud non
materi lainnya..
Misalnya spirit Aclak pada budaya Barong Kemiren.
Semangat yang ditimbulkan dari tindakan-tindakan
Aclak aktor, sebagai repesentasi masyarakat Using untuk
menghasilkan karya Budaya Barong Kemiren. Juga secara
tangibles memunculkan spirit Aclak pada wujud materi Barong
itu sendiri, yaitu ketika pembuat Barong mengatasnamakan
wangsit dari danyang desa Kemiren mbah buyut Cili untuk
membuat Barong. Melalui panduannya terciptalah Barong
Kemiren yang diakui sebagai karya terbaik. Namun suatu
ketika harus direproduksi melalui jasa orang lain, ialah
seorang ahli pembuat Barong dari wilayah lain, akhirnya
terciptalah Barong Kemiren terbaru.
Iring-iringan sejumlah seni budaya Using atau semacam
kirab sebagai rentetan acara upacara adat Barong Ider Bumi
adalah suatu skenario yang ditata sedemikian rupa untuk
menimbulkan daya tarik pengunjung adalah suatu realitas
sosial, dalam konsep interaksionis simbolik realitas sosial
sejati tidak pernah ada dalam dunia nyata, melainkan secara
aktif diciptakan ketika manusia bertindak. Rentetan acara
66
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
upacara ditata sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan
paling bagus, dan segala macam bentuk narsis lainnya, apa
lagi ketika menetapkan budaya materi Barong harus berada
paling depan sendiri dalam kirab tersebut mencerminkan
spirit Aclak dalam peran positif maupun negatif.
Spirit Aclak pada kirab Barong Ider Bumi dalam
kesan negatif adalah kesan “sok”, namun disisi lain justru
menimbulkan citra positif melalui strategi mempromosikan
dirinya supaya Barong lebih dikenal sehingga mampu
bertahan sesuai weluri para leluhurnya melalui falsafah
Uri-uri. Urutan kirab yang memposisikan Barong dalam
urutan paling depan dari sejumlah peserta kirab memang
menimbulkan kesan narsis. Tetapi memposisikan diri untuk
menjadi urutan terdepan itu juga merupakan wujud menguri-
uri budaya Barong sehingga tetap terpelihara dan mampu
dipertahankan.
Obyek Subyek
Aktif A Narsis
B
C
Model Spirit Aclak Budaya Using
Keterangan:
A. Masyarakat Using
B. Budaya Using
C. Spirit Aclak
Uraian di atas menggambarkan suatu aktivitas
masyarakat dan aktualisasi budaya Using dalam kerangka
sosial. Aktivitas demikian dalam bahasa Using disebut Aclak.
67
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
Yaitu suatu sifat yang mengarah kepada sikap sok tahu dan
mempermudah persoalan, ialah suatu kebiasaan masyarakat
Using dalam memosisikan diri di depan lawan bicara. Sifat
dan sikap tersebut merujuk kepada perilaku dan tindakan
seseorang yang memosisikan dirinya sebagai sosok yang
lebih tahu atau lebih hebat dalam banyak hal daripada lawan
bicaranya atau orang-orang disekelilingnya, dalam konteks
Bahasa modrn disebut narsis. Bagi masyarakat Using desa
Kemiren label atau cap atau stereotif negatif yang melekat
pada dirinya (aclak) tampaknya bukan menjadi persoalan,
lebih kepada bagaimana aktivitas mereka yang diwujudkan
dalam suatu karya budaya itu lestari dan bertahan dalam
rangka memperkaya khasanah budaya bangsa. Aclak adalah
suatu sikap dan perilaku yang merujuk kepada perilaku
atau ucapan dan tindakan seseorang dengan memposisikan
dirinya sebagai seseorang yang lebih tahu atau lebih hebat
dalam banyak hal daripada lawan bicaranya atau orang-
orang disekelilingnya.
C. Nilai Spirit Bingkak pada Budaya Using
Kedamain, kesejahteraan, keamanan, ketentraman,
keharmonisan merupakan dambaan bagi setiap anggota
masyarakat. Bagi masyarakat Using, untuk meraih semua itu,
tampaknya memiliki cara tersendiri sebagai wujud kreativitas.
Hal itu, merupakan cermin sebuah karakteristik dari nenek
moyang mereka yang diwariskan kepada penerusnya
hingga sekarang sebagai masyarakat yang akomodatif.
Artinya, masyarakat Using merupakan masyarakat yang
mampu dan sanggup menerima perbedaan dalam suatu
wadah kebersamaan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Ciri khas masyarakat yang akomodatif dimaksud dalam
perpektif masyarakat Using desa Kemiren adalah masyarakat
yang adaptable, lemesan, dan rahaban. Yaitu suatu perilaku
masyarakat Using yang pandai menyesuaikan diri terhadap
lingkungan, masyarakat yang ringan tangan atau suka
68
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
membantu terhadap sesama, dan masyarakat yang mudah
bergaul dengan siapapun.
Ciri khas perilaku masyarakat Using demikian
menghasilkan suatu tindakan sosial, yaitu suatu tindakan
individu manusia di mana tindakannya itu mempunyai
makna subyektif (dipahami stereotif negatif), juga dapat
bermakna obyektif (dipahami stereotif positif). Sebagai
contoh upacara adat Barong Ider Bumi merupakan salah satu
produk budaya peninggalan leluhur masyarakat Using desa
Kemiren bercirikan sinkritis. Di satu sisi hal itu berlawanan
dengan keyakinan agama yang dianut oleh kebanyakan
masyarakat Using, karena keyakinan agama yang dianut
tidak mengajarkan demikian. Di sisi lain sebagai masyarakat
sosial dan telah tertanam sifat dan sikap sebagaimana warisan
leluhur sebagai masyarakat yang akomodatif terhadap
masuknya beragam budaya. Di mana masing-masing
budaya memiliki nilai-nilai karakteristik yang khas seperti
karakteristik yang melekat pada upacara adat Kebo-keboan,
Seblang, Mepe Kasur, Tumpeng Sewu, dan lain sebagainya
masih aktif dan berjalan secara massif melalui sentuhan
kreatif.
Aktivitas Barong Ider Bumi sebagai suatu budaya kreatif
khas masyarakat Using desa Kemiren kegiatannya masih bisa
dinikmati oleh pelaku kehidupan hingga sekarang, artinya,
Barong Ider Bumi masih aktif dijalankan meskipun derasnya
pengaruh budaya global. Mereka tidak begitu risau bahkan
tidak dihiraukan bersikap acuh tak acuh terhadap masuknya
pengaruh global, justru mereka mumunculkan kreatifitas
akibat dari desakan budaya luar tersebut dalam sebuah
budaya baru yang menarik, seperti Angklung Paglak Hadrah
Kuntul dan sebagainya karena adanya Spirit Bingkak.
Spirit Bingkak, menurut definisi merupakan semangat
yang mengarah kepada perilaku acuh tak acuh atau kurang
69
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
memperdulikan atau dalam konteks lain diartikan tidak
memiliki sopan santun, karena berpandangan bahwa manusia
memiliki derajat yang sama. Spirit Bingkak mencerminkan
perilaku dan tindakan kesetaraan sehingga tidak terdapat pada
mereka bentuk penghormatan seperti layaknya masyarakat
Jawa atau Bali, meskipun orang lain tersebut berusia lebih tua
atau berkedudukan tinggi. Berdasar pada ulasan definisi itu,
kesan negatif tampak dipermukaan. Namun, sesungguhnya
apa yang diaktualisasikan masyarakat Using dalam konteks
budaya mengandung taste positif atau motivaasi postif, yaitu
pemeliharaan dan pemertahanan budaya Using, melalui
spirit egaliter dan kreatif sebagai karakteristik yang melekat
pada masyarakat dan budaya Using sebagai pewaris budaya
leluhur.
Artinya spirit Bingkak memiliki dua peran yang harus
dimunculkan secara parsial maupun berkolaborasi. Ketika
spirit Bingkak berperan sebagai subyek, maka tindakan
tidak terkendalai menjadi lebih dominan, dan hal itu akan
menagarah kepada konotasi negatif. Jika spirit Bingkak
berperan sebagai obyek, maka tindakan terkendali menjadi
lebih menonjol sehingga cenderung berkonotasi positif.
Seperti tindakan Usil ketika sekelompok masyarakat
Using Kemiren memainkan musik di atas paglak dengan
ketinggian sekitar tiga sampai 10 meter, sementara banyak
orang lainnya berlalu lalang dibawahnya, adalah merupakan
tindakan yang acuh tak acuh atau tidak punya tata krama
atau tidak sopan. Tetapi dibalik usil itu ada spirit Bingkak
lainnya yang justru menimbulkan budaya Angklung Paglak
yang kreatif. Aktualisasi spirit Bingkak tidak saja terjadi pada
Barong Ider Bumi, juga terdapat apada upacara adat Seblang,
upacara adat Kebo-keboan dan sebaginya. Sebagaimana
sesaji pada upacara adat Barong Ider Bumi, upacara Seblang
spiritnya adalah lebih kepada nuansa alami dan fenomena
trance, kemasan sakral dan profan terkesan membaur menjadi
70
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
satu. Hal itu ditunjukkan melalui sesaji yang masing-masing
sesaji punya nama sesuai tujuannya, seperti sesaji buangan,
sesaji peras, sesaji kinang, sesaji poro bungkil, mencerminkan
nuansa alami dan sakral, namun juga pementasan di atas
panggung dengan kesan meriah dengan amprog dihias dari
hasil panen melalui gerak tari trance seorang gadis kecil belum
balig (desa Aliyan) dan seorang wanita janda yang sudah
menaupus (desa Bakungan) merupakan percampuran sakral
dan profan menjadi konsumsi publik pemirsa.
Spirit Bingkak dalam budaya sinkritis masyarakat
Using terlihat juga pada tradisi Mepe Kasur dan Tumpeng
Sewu. Di mana pada fenomena ini, semua masyarat Using
Desa Kemiren secara serentak menjemur kasur di depan
rumahnya masing-masing yang menghadap ke jalan raya
desa terlihat berjajar rapi. Simbol-simbol yang dipertontonkan
oleh masyarakat Using ini tentu sarat makna, seperti motif
kasur terlihat seragam dan berwarna sama, yaitu warna dasar
hitam dengan kombinasi warna merah dipinggirannnya.
Ketika kasur dijemur sejak matahari terbit hingga tengah hari.
Dimana dimulai dari mata hari terbit secara serentak kasur-
kasur dikeluarkan untuk dijemur sambil membaca do’a dan
memercikkan air bunga di halaman rumah masing-masing,
kemudian kasur akan dimasukkan kembali ketika tengah
hari. Tepat pukul 14.00, usai warga memasukkan kasurnya,
dilakukan arak-arakan Barong mengelilingi desa Kemiren
sepanjang jalan raya desa.
Sebelumnya sesepuh desa melakukan ziarah ke makam
leluhur Desa Kemiren, buyut Cili. Kemudian menggelar
selamatan didepan rumahnya masing-masing. Upacara
ini dimulai sesudah adzan maghrib, yang didahuli sholat
berjamaah di Masjid. Selesai shalat berjamaah sebelum
makan tumpeng, dilanjutkan menyalakan oncor ajug-ajug
(obor bambu berkaki empat) sepanjang jalan desa didepan
rumah warga, lalu warga di ajak berdo’a. Selesai berdo’a
71
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
tumpeng yang sudah digelar didepan rumah mereka, untuk
dimakan bersama-sama. Perilaku sosial masyarakat Using
penuh dengan simbol dan perlambang yang memiliki nilai
spirit Bingkak dengan peran ganda.
Obyek
Subyek
Kreatif A Acuh tak acuh
Egaliter B Usil
C
Model Spirit Bingkak Budaya Using
Keterangan:
A. Masyarakat Using
B. Budaya Using
C. Spirit Bingkak
Sesungguhnya keunikan budaya Using merupakan
hasil kreatif masyarakat Using yang egaliter bahkan sering
diekspresikan dalam interaksi sosial, dalam bentuk bahasa
tutur atau bahasa verbal yang khas dan terkesan kasar.
Tutur yang spontan, tanpa membedakan tingkatan lawan
bicara dalam canda dan serius sulit debedakan. Tetapi itu
sesungguhnya merupakan ruh, jiwa, atau spirit yang melekat
pada masyarakat dan budaya Using. Karakteristik masyarakat
Using dalam sebuah tutur yang khas dan egaliter sejalan dan
menyatu dalam sebuah tindakan pada diri masyarakat Using
72
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
dalam wujud budaya Using teraktualisasi dalam seni budaya
Using tetapi tetap patuh pada nilai kesopanan.
Seperti perbincangan dalam sebuah momen wawancara
santai dengan salah seorang subyek dari etnik Using dalam
sebuah acara latihan Angklung. Rupanya latihan Angklung
tersebut menyonsong acara Barong Ider Bumi, kesan acuh
tak acuk ketika memperkenalkan identitas dirinya sebagai
individu sekali gus aktor dalam kebudayan Using sangat
terlihat. Namun, semangat tutur dan bahasa verbal terkesan
kasar namun egaliter. Mereka masa bodoh, acuh tak acuh atas
persepsi kebanyakan orang terhadap diri dan budayanya,
tidak begitu risau dengan kesan negatif atas tindakannya,
mereka lebih memilih bagaimana sebuah kebudayaan
itu dapat aktif dan kreatif bisa diskspresikan kemudian
bermanfaat dan dapat dinikmati banyak orang.
Barong Ider Bumi yang dimeriahkan oleh berbagai seni
budaya seperti Angklung Paglak, Gandrung, dan lainnya.
Di samping sebagai simbul identitas sebuah karya budaya
lokal kreatif (bingkak), merupakan karya berbeda made-in
masyarakat Using desa Kemiren. Jaman dahulu mungkin
dapat dipahami keinginan aktor budaya karena terbatasnya
alat penguat suara. Namun, dijaman serba teknologi sekarang
ini harusnya tidak berlaku lagi fenomena bermain Angklung
di atas Paglak pada acara-acara upacara seperti Barong Ider
Bumi, karena cukup tersedia teknologi penguat suara sebagai
tujuan semula dari aktor. Tetapi, justru dalam konteks ini
menunjukkan kreatifitas dan keunikan sebuah budaya khas
yang masih tetap dilestarikan.
D. Nilai Spirit Ladak pada Budaya Using
Nilai spirit Ladak terkandung dalam ungkapan
kalimat “upacara adat Barong Ider Bumi tetap dijalankan
dengan berbagai cara meskipun keyakinan yang dianut
tidak mengajarkan demikian”, kalimat itu merupakan
73
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
intensionalitas dari pernyataan-pernyataan penting (esensi).
Maksudnya adalah, dengan segenap keberanian berinovasi,
masyarakat Using tetap dan gigih untuk tetap menjaga
dan melestarikan suatu budaya sekalipun itu berlawanan
dengan syariat agama yang dianutnya. Sikap demikian, tentu
dalam pandangan umum merupakan sikap mengandung
pengertian keluar dari pakem yang ada, karena tindakan
yang dilakukan bukan merupakan tindakan sebagaimana
keyakinan ajaran agamanya, yaitu Islam. Namun, mereka
tetap mengekspresikan tindakannya itu dalam wujud upacara
adat Barong Ider Bumi (sinkritis) sebagai kebudayaan khas
mereka yang secara turun-temurun diwariskan.
Spirit Ladak individu masyarakat Using tampaknya
terbentuk secara turun-temurun dari nenek moyangnya.
Berdasarkan sejarah, nenek moyang mereka terkenal sebagai
masyarakat tangguh dan berani (ladak) melawang bentuk-
bentuk penjajahan yang merebut kedaulatannya, sebagaimana
yang digambarkan spirit itu kemudian terbentuk sedemikian
rupa sehingga menyatu dalam diri individu masyarakat
Using. Persoalanya adalah ketika kedigdayaan atau kegigihan
terbentuk menjadi sifat dan sikap, perilaku dan tindakan itu
berujung pada suatu pandangan dalam taste stereotif negatif.
Obyek
Subyek
Inovatif
A Sombong
B Angkuh,
C
Model Spirit Ladak Budaya Using
74
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
Keterangan:
A. Masyarakat Using
B. Budaya Using
C. Spirit Ladak
Spirit Ladak didefiniskan sebagai spirit sombong
atau angkuh, yaitu suatu kebiasaan masyarakat Using
dalam memandang orang lain tidak lebih hebat dari
pada dirinya, yaitu suatu kebiasaan menganggap orang
lain dalam kedudukan yang sederajad dalam pergaulan
sosial kemasyarakatan. Maksudnya adalah di antaranya
dari sikap hidup masyarakat Using desa Kemiren ketika
melakukan interaksi dan berkomunikasi menggunakan
bahasa verbal (bahasa Using) yang tidak memiliki herarki
seperti bahasa Jawa atau bahasa Bali dengan menggunakan
hirarki kebahasaan, misalnya ngoko, kromo atau kromo
inggil. Namun, disisi lain spirit Ladak juga berarti inovatif
atau dalam perilaku memiliki sifat teguh pendirian, dalam
memperjuangkan kebudayaannya melalui berbagai strategi
sebagaimana kepatuhannya terhadap petuah atau weluri
leluhurnya, sehingga budaya itu terpelihara dan bertahan.
Spirit Ladak dipertontonkan ketika upacara adat
Barong Ider Bumi, merupakan budaya khas desa Kemiren
terindikasi merujuk pada ciri-ciri seperti persilangan antara
dua kebudayaan besar sebagaimana telah dijelaskan di
atas. Barong Ider Bumi dan segala keyakinannya terhadap
adikodrati merupakan representasi dari keyakinan Hindu,
menjalankan upacara sebagaimana masyarakat Hindu
meyakini, dan slamatan dengan berbagai tata cara dan do’a
nya sebagai representasi dari kebudayaan Islam. Keduanya
membaur menyatu dalam satu rangkaian yang dilaksanakan
secara khidmat dalam suatu kerangka upacara adat, atau para
peneliti terdahulu menyebutnya sebagai upacara. Terlihat
ketika upacara adat Barong Ider Bumi yang diselenggarakan,
75
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
prosesi penyajian sesajen di makam buyut Cili dan di rumah
Barong dengan segala properti, ubo rampe (perlengkapan),
sarana prasarana yang digunakan, menunjukkan cara-
cara kebudayaan Hindu, namun mantera yang dibaca
menggunakan tata cara bacaan do’a yang bernafaskan Islam,
seperti ketika mereka mengawali berdo’a dengan membaca
basmallah, dilanjutkan bacaan surat Yusuf dalam kitab suci
Alqur’an. Begitu juga ketika mengakhiri prosesi upacara,
ditutup dengan do’a bersama. Mereka duduk bersila
disepanjang jalan desa dengan berbagai sajian makanan
khususnya pecel pithik.
Hal itu merupakan cara-cara yang biasa dilakukan
oleh adat budaya kejawen yang bernafaskan Hindu, namun
kumandangan adzan, merupakan cara-cara masyarakat Using
yang bernafaskan Islam, seperti adzan biasa dikumandangkan
untuk panggilan waktu shalat lima waktu. Adalah merupakan
akulturasi nilai-nilai dari keduanya kemudian menghasilkan
sebuah budaya yang masih bertahan sampai sekarang, yaitu
Barong Ider Bumi. Upacara adat Barong Ider Bumi dan dan
fenomena budaya lokal desa Kemiren lainnya, bagi beberapa
kalangan masyarakat Banyuwangi yang berpaham berbeda
terhadap fenomena itu, bisa jadi mengatakan sebagai suatu hal
yang ironis (melanggar syariat Islam atau perbuatan syirik),
apalagi penduduk desa Kemiren mayoritas (99%) beragama
Islam. Seharusnya, kebiasaan masyarakat Islam, selesai
menjalankan ibadah puasa di hari raya Iedul Fitri melakukan
silaturrahim atau anjangsana kepada sanak saudara dan
kerabat. Justru, masyarakat Using desa Kemiren berbeda,
mereka menjalankan sebuah kegiatan yang oleh beberapa
kalangan dikatakan bentuk penyimpangan terhadap syariat
Islam.
Bagi masyarakat Using Desa Kemiren, fenomena upacara
adat Barong Ider Bumi itu dianggap sebagai refleksi dasar
pada pola kehidupannya, yang pada hakekatnya merupakan
76
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
wujud slamatan. Bagi masyarakat Using desa Kemiren,
slametan memiliki dua dimensi, yaitu ketika ungkapan rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan
keselamatann dan kesejahteraan kepada seluruh warga
masyarakat Using desa Kemiren yang bermuara pada pola
kehidupan transenden, kemudian disebut sebagai dimensi
vertikal, dan ketika tumbuhnya kepedulian sosial pada setiap
individu masyarakat Using, yang merupakan konsekuensi
logis dari pelaksanaan pola hubungan sosial yang didasari
tentang suatu sifat atau sikap kemudian berujung kepada
suatu perilaku dan tindakan yang mereka istilahkan dengan
istilah kata rahab, kemroyok dan lemesan, selanjutnya disebut
dengan dimensi vertikal.
Upacara adat Barong Ider Bumi atau slametan, bagi
masyarakat Using Kemiren prinsipnya merupakan cara untuk
menjaga equilibrium atau keseimbangan antara mikro kosmos
(jagad cilik) dan makro kosmos (jagad gede). Artinya menjaga
keseimbangan antara apa yanga ada di dalam batin individu
masyarakat Using Kemiren dengan seluruh lingkungan
tempat masyarakat Using itu hidup, yang mencakup segala
macam unsur, baik tampak maupun tidak tampak oleh mata.
Berdasar pada penjelasan tersebut, maka dapat dipahami
bahwa keyakinan masyarakat Using desa Kemiren, ketika
terjadinya suatu musibah dipahami sebagai tanda adanya
suasana ketidakharmonisan atau ketidakseimbangan antara
jagad cilik dan jagad gedhe (mikro dan makro kosmos).
Masyarakat Using tanpa meninggalkan keyakinannya
sebagai pemeluk agama Islam yang ditunjukkan dalam
identitas diri dalam Kartu Tanda Penduduk, juga ditunjukkan
melalui kepatuhannya dalam menjalankan syariat Islam
ketika setiap lima waktu pergi ke Masjid atau Musholla.
Namun, dalam praktik rutinitas kehidupannya masih tetap
menjalankan kebiasaan yang pernah dilakukan para leluhur
sebagai warisan budaya. Misalnya membuat slamatan daur
77
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
hidup, seperti upacara perkawinan, kelahiran, selapanan,
nyukit lemah, sunatan dan kematian. dan tradisi lainnya.
Seperti tradisi Mepe Kasur, tradisi Tumpeng Sewu, dan
sebagainya, sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya.
Bagai masyarakat Using Kemiren memang merupakan
peristiwa komunal, tetapi tidak mendefinisikan komunitas
secara tegas. Artinya siapapun bisa menghadiri slamatan
tersebut meskipun para hadirin secara perorangan belum
tentu sepakat akan maknanya, namun mereka menjaga dan
mengutamakan kebersamaan jauh lebih penting. Oleh karena
itu fenomena Barong Ider Bumi di desa Kemiren yang juga
merupakan slamatan, beragam lapisan masyarakat turut
serta menghadiri fenomena itu, meskipun kehadiran mereka
secara individu bisa jadi tidak sepakat dengan makna dibalik
kegiatan tersebut. Namun faktanya mereka hadir dan turut
serta dalam rangkain kegiatan Barong Ider Bumi. Hal itu
kemudian di definisikan sebagai spirit Ladak.
Aktualisasi spirit Ladak tercermin ketika Barong Ider
Bumi mampu mencitrakan dirinya dari panggung lokal ke
panggung Internasional. Sedangkan dikatakan kemunduran,
karena Barong Ider Bumi dalam pelaksanaan upacara adat
telah keluar dari nilai sakral dan berbeda dengan awal
keberadaannya. Namun, bagi masyarakat Using, sakral dan
profan bukan menjadi persoalan. Masyarakat Using lebih
kepada bagaimana sebuah budaya leluhur itu terus eksis
secara sosiologis dan bermanfaat bagi dirinya (individu
masyarakat Using itu sendiri sebagai aktor) dan bisa dinikmati
seluruh masyarakat pendukungnya serta bermanfaat bagi
peminat dari komunitas lainnya. Sepertinya masyarakat
Using patuh terhadap konsep Weber terkait dengan tindakan
sosial, yaitu suatu tindakan individu sepanjang tindakannya
itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan
diarahkan kepada tindakan orang lain. Jadi, spirit Ladak
78
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
dapat dipahami, pada titik tertentu mengarah kepada sifat
dan sikap berpola steriotif negatif, namun pada titik tertentu
lainnya, yaitu ketika teraktualisasi dalam konteks ekspresi
budaya merupakan stereotif positif.
Berdasarkan urain di atas, maka nilai-nilai spirit budaya
Using Aclak, Bingkak dan Ladak secara bersama sama dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, modifikasi teori interaksionis simbolik Mead
dalam konsep Mind, Self, dan Society adalah. Bahwa, Mead
menggambarkan manusia merupakan individu yang aktif dan
kreatif, Mead melihat bahwa manusia merupakan individu
yang dinamis dalam masyarakat organisasi. Meskipun
terdapat kesamaan dalam hal masyarakat organisasi, tetapi
masyarakat organisasi Mead adalah masyarakat Amirika
yang tentu berbeda secara budaya dengan masyarakat Using
Kemiren yang lemesan, rahaban itu. Sehingga jiwa gotong
royong dan keramahan menjadi pembeda.
Oleh karena itu, disepakati saja gambaran model Mead
dalam menilai manusia sebagai individu yang aktif dan
kreatif adalah sebagai berikut:
Aktif
A Kreatif
B
Keterangan: Model Aktif Kreatif Mead
A = Manusia
B = Individu 79
Spirit Aclak, Bingkak dan Ladak
Tetapi, dalam konteks masyarakat Using dengan jiwa lemesan
dan rahaban membentuk masyarakat yang selalu “Barong” atau
“Bareng” atau bersama atau “kemroyok” sehingga spirit Ladak
menjadi lebih dominan. Ladak dalam konsep ini adalah “sombong”
atau membanggakan diri. Sifat dan sikap ini, kemudian menjadi
perilaku dan tindakan masyarakat Using dalam wujud budaya.
Seperti menjadi suatu trend (kecenderungan) di era melenial atau
jaman “now” terkait dengan itu. Dalam temuan penelitian ini, sifat
sikap serta perilaku dan tindakan demikian sudah menjadi suatu
spirit dan membudaya.
Jadi dapat dikatan bahwa eksis dan bertahannya
budaya Using itu dalam hal ini adalah Barong Ider Bumi
dikarenakan spirit dari sifat sikap serta perilaku dan tindakan
Ladak itu. Kemudian dalam analisis ini spirit Ladak diartikan
sama dengan sombong atau angkuh atau membanggakan
diri sekali gus sebagai tindakan Aktif, Kreatif dan Inovatif.
Berikut modelnya yang disebut dengan model aktif kreatif
inovatif Using
Aktif
Inovatif A Kreatif
B
C
Model Aktif Kreatif Inovatif Using
Keterangan:
A = Masyarakat Using
B = Budaya Using
C = Spirit Aclak, Bingkak, Ladak
80
Interaksi Simbolik Upacara Adat Barong Ider Bumi
Sebagaimana paparan di atas, ketika spirit Aclak.
Bingkak dan Ladak berperan sebagai obyek atau takbebas
atau terkendali maka individu masyarakat dan budaya Using
itu sebagai individu yang aktif, kreatif dan inovatif, begitu
juga sebaliknya. Hal itu dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel Konversi Spirit Budaya Using
Adaptasi Konsep Self
Interaksionis Simbolik Mead
Spirit Peran Tak Terkendali Peran Terkendali
Budaya Using Peran Subyek Peran Obyek
Independen Dependen
Bebas Tergantung
(Konotasi Negatif) (Konotasi Positif)
Aclak Narsis Aktif
Sok Tahu Dinamis
Sok Hebat Ekspresif
Bingkak Usil Kreatif
Acuh tak acuh Egaliter
Ladak Sombong Inovatif
Angkuh Teguh Pendirian
Konversi spirit Budaya Using memertegas kedudukan
spirit budaya Using Aclak, Bingkak dan Ladak ketika dalam
tindakannya melakukan peran ganda. Peran tak terkendali
memunculkan nilai narsis, sok tahu, sok hebat, usil, acuh tak
acuh, sombong, angkuh dan konotasi dan negatif lainnya.
Peran terkendali memunculkan aktif, dinamis, ekspresif,
kreatif, egaliter, inovatif, teguh pendirian dan peran positif
lainnya. Namun peran-peran itu dalam aktualisasinya
terkadang muncul secara bersama-sama.
81