KATA PENGANTAR
Assalamulaikum Warrahmatullahi
Wabarakaatuh.
Buku “ Jejak Langkah Ibu Sumiati Slamet
Harjono” dibuat dalam rangka memperingati
Ulang Tahun yang ke – 90 Ibunda Sumiati Slamet
Harjono pada tanggal 4 September 2019.
Usia 90 tahun adalah merupakan suatu
periode panjang perjalanan kehidupan manusia
dan banyak peristiwa yang telah dilalui, baik suka
maupun duka. Rasa terima kasih kami haturkan
kehadiratMu ya Allah, atas karunia panjang umur
Ibunda tercinta, sehingga sampai saat ini Ibunda
masih Engkau berikan kesempatan untuk
mendampingi kami semua.
Penulisan buku ini berawal dari
mengumpulkan catatan-catatan yang dibuat oleh
Ibunda Sumiati sendiri mengenai kehidupan masa
kecil, remaja dan setelah menikah dan dan
beranak-cucu dan buyut. Kami bangga dengan
Ibunda Sumiati, karena pada umur jelang 90
tahun, masih tetap aktif menulis dan ingatannya
juga masih cukup tajam. Sebagian besar tulisan di
1
buku ini diambil dari catatan-catatan beliau.
Selain itu juga putra-putri Bapak Slamet Harjono
dan Ibu Sumiati turut juga berpartisipasi
melengkapi isi buku ini.
Semoga terbitnya buku ini menjadi hadiah
terindah untuk Ibunda tercinta.
Wassalamualaikum Warrahmatulahi
Wabarakaatuh.
2
JEJAK LANGKAH
IBU SUMIATI SLAMET HARJONO
A. Masa Kecil
Ibunda Sumiati dilahirkan di lereng
Gunung Slamet , kota Kripik Purwokerto Jawa
Tengah. di kota yang sangat indah dengan
udara yang segar dan dingin, pada tanggal 4
September 1929 hari Rabu Kliwon pukul 09.45
pagi.
Ibunda Sumiati adalah
anak ke- 10 dari 12
bersaudara putera-putri
Eyang Kakung Mas
Soepadi Wongsodipoero
dan Eyang Putri Mas Ayu
Satinah, dimana dua
kakak perempuan yang nomor satu dan nomor
5 meninggal pada waktu mereka masih balita,
sehingga setelah itu ibunda Sumiati tinggal
bersaudara 5 laki-laki dan 5 perempuan. Eyang
Soepadi Wongsodipoero pada waktu itu bekerja
sebagai Berherder Pandhuis (Kepala Pegadaian)
3
di Purwokerto dan karena gaji Eyang Soepadi
sudah lebih dari 100 gulden (100 rupiah), maka
ibunda Sumiati sudah dapat diberi Geboorte
Akte (Akte Kelahiran), sementara kakak-kakak
ibunda Sumiati tidak ada yang dapat Akte
Kelahiran.
Eyang Kakung Soepadi
Wongsodipoero & Eyang
Putri Satina
4
Putra-putri Soepadi
Wongsodipoero
Sewaktu ibunda Sumiati masih berumur 5
tahun, setiap hari pukul 04.30 pagi, gadis kecil
Sumiati dan kakak-kakaknya dibangunkan
5
oleh Eyang Soepadi, terus diajak mandi di
sungai terdekat disana, yaitu ke Kali Susukan
atau ke Kali Kranji. Sebelum mandi diajari oleh
Eyang Soepadi berenang dan harus tengkurap
di kedua lengan beliau yang badannya ada di
atas air, badan tangan dan kaki Sumiati
dikepak-kepakan di atas air, perlahan-lahan
tangan Eyang Soepadi dilepas, akhirnya
Sumiati dapat berenang.
Diusia yang ke 5 tahun itu juga, Sumiati
disekolahkan di Frobel School (taman Kanak-
kanak) dari Zusters Ursulinenschool (Santa
Ursula), karena tempatnya dekat dengan rumah
Eyang Supadi. Guru di Frobel School (taman
Kanak-kanak) Santa Ursula namanya Suster
Yosefa, orangnya baik sekali dan sangat
menyenangkan, oleh karena itu walaupun
sudah 85 tahun yang lalu, Ibunda Sumiati
masih saja terkenang. Bahasa yang
dipergunakan di sekolah adalah bahasa
Belanda dan Kepala Sekolah SR dan Guru Kelas
7 adalah Mere Marcella, orang Belanda.
Orangnya sangat baik, waktu itu usianya sudah
tua.
6
Di HIS walalupun bukan sekolah untuk
orang Belanda, Sumiati sehari-hari harus
belajar bahasa Belanda dan langsung
dipraktekkan, yang tidak melaksanakan
disetrap. Dengan demikian akhirnya Sumiati
dapat bicara dengan bahasa Belanda. Di
sekolah harus memakai bahasa Belanda, kalau
ada yang lupa meskipun tidak sengaja kalau
ketahuan kami disetrap dan harus maju ke
depan kelas dan tidak boleh mengikuti
pelajaran. Ada yang merasa senang, ada yang
merasa sedih. Senang karena tidak usah
mengikuti pelajaran, sedih karena akan
ketinggalan pelajaran. Yang paling
menyenangkan pada waktu sekolah di HIS (SR)
adalah setiap ada ulang tahun Raja/Ratu
Belanda, selalu diselenggarakan pesta dan
harus memakai baju putih-putih. Anak-anak
sekolah semuanya diberi pita merah, putih, biru
untuk dirambut dan selempang warna oranye
dan sepatu semua putih atau hitam.
Walaupun pada awalnya keluarga Soepadi
Wongsodipoero selalu berpindah-pindah
tempat, tetapi masa sekolah Sumiati dihabiskan
7
di kota Purwokerto, dimana tempat menuntut
ilmu Sumiati adalah di HIS St. Ursulinen Kelas
1 sampai dengan kelas 7 (zaman Belanda),
kemudian di SR. Sampurna di Jl. Gereja
Purwokerto (kelas 6 hanya beberapa bulan di
zaman Jepang), SMP Putri Purwokerto sampai
dengan tahun 1946 dan SMT (Sekolah
Menengah Tinggi) Purwokerto Bagian A/Sastra.
Pada tahun 1941, ibunda Sumiati masih ingat
betul karena waktu itu semua penduduk di kota
Purwokerto harus membuat lubang per-
lindungan, karena katanya Indonesia dalam
keadaan genting dan Jepang akan menyerang
hendak merebut Indonesia dari tangan Belanda,
dengan kata lain lagi Indonesia akan direbut
jadi jajahan Jepang. Jika nanti ada bunyi sirine
yang diikuti dengan raungan kapal terbang,
maka semua pendudk harus lari ke tempat
perlindungan di masing-masing rumah. Eyang
Soepadi membuat tempat perlindungan di
depan rumah, dan di dalam tempat
perlindungan dibuat tempat duduk dari bambu.
Eyang Soepadi membuat tempat
perlindungannya sebegitu rupa sehingga mirip
8
tempat untuk wisata, atapnya ditutup dengan
dedaunan yang setiap hari diganti supaya
masih terus kelihatan hijau seperti tanaman.
Sering-sering untung tak dapat diraih malang
tak dapat ditolak, karena waktu itu sering hujan
karena kebetulan musim hujan, maka tempat
perlindungan menjadi kolam. Adik-adik gadis
Sumiati 2 orang yaitu Soenarto dan Soewardi
yang duduk di Sekolah Rakyat senang sekali
karena punya kolam, mereka selalu main-main
disitu. Tetapi kalau mendadak ada bunyi sirine
yang diikuti bunyi kapal terbang yang menderu-
deru karena itu kapal perang, semua isi rumah
yang kurang lebih 15 orang lari ketempat
perlindungan yang kebetulan cukup besar
namun tetap kurang besar kalau untuk duduk
semua. Anak-anak yang masih kecil-kecil
senang sekali kalau ada sirine bunyi, tapi kalau
yang sudah besar-besar dan tua-tua pada
takut, karena kalau Belanda atau Jepang saling
ketemu, pasti akan saling serang, baik dengan
senjata maupun dengan bom. Ramai sekali
tetapi anak-anak yang kecil-kecil senang,
karena kalau yang tua-tua pada ketakutan dan
9
berdoa, kami yang kecil-kecil pada makan
makanan yang disiapkan oleh Eyang Satinah.
Lucu, takut dan menyenangkan.
Setelah keadaan darurat perang sudah agak
lama dan tidak menentu karena sebagian besar
penduduk Purwokerto mengungsi ke
pedalaman, maka Eyang Soepadi dan Eyang
Satinah beserta seluruh keluarga pergi
mengungsi. Karena rumah beliau disebelah
utara, maka mereka pergi ke sebelah utara ke
arah Gunung Slamet. Mereka pergi mengungsi
jalan kaki, karena tidak punya kendaraan
apapun, baik mobil, delman atau gerobak, jadi
pergi mengungsi dengan jalan kaki. Anak-anak
disuruh Eyang Satinah bawa baju secukupnya
yang dapat dibawa, karena semua harus dibawa
sendiri-sendiri. Eyang Satinah dan kakak-
kakak perempuan yang besar, disamping bawa
baju juga bawa makanan matang dan bahan
makanan. Adik Sumiati yang paling bontot yaitu
Soewardi, karena masih terlalu kecil disuruh
mengungsi dirumah kakak yang paling besar
ibu Sri Utami Martosiswoyo di daerah
Purbalingga di desa Penican bersama dengan
10
dua anak kakak Sumiati. Mereka lebih banyak
bawa mainan daripada baju atau yang lain.
Kalau gadis Sumiati sendiri karena ayahnya
punya toko buku, maka diam-diam lari ke toko
buku dan ambil buku-buku untuk dibaca
dipengungsian. Rumah dengan seisinya
ditinggalkan, demikian juga toko buku dengan
seisinya. Gramofoon antik kesayangan Eyang
Soepadi yang besar yang setiap hari dibunyikan
untuk hiburan dan memeriahkan suasana juga
tidak dibawa karena terlalu besar. Semua itu
ditinggalkan, air mata berlinang melihat itu
semua, apa yang disayangi tidak dapat dibawa,
hal itu hanya karena ada bangsa Jepang yang
mau merebut Indonesia dari tangan Belanda.
Setelah berangkat mengungsi, ternyata
dipengungsian banyak mendapatkan teman-
teman, karena semua penduduk di Purwokerto
harus meninggalkan rumahnya, disebabkan
adanya issue yang beredar adalah Purwokerto
mau di bom.
Di udara kapal terbang meraung-raung
dan berputar-putar terus di atas kota,
menakutkan sekali. Akhirnya setelah berjalan
11
beberapa jam rombongan Eyang Soepadi
sampai di desa Semampir, letaknya di pinggir
kota sebelah Utara Purwokerto. Setelah
beberapa hari berada di desa Semampir,
kelihatannya keadaan semakin gawat, banyak
serdadu Belanda berkeliaran dikampung-
kampung sehingga Eyang Soepadi merasa tidak
aman, karena banyak serdadu Belanda pada
colek-colek terutama anak perempuan, anak-
anak perempuannya disuruh cepat-cepat lari
dan bersembunyi. Gadis Sumiati dengan
seorang kakak perempuan lari dengan beberapa
teman perempuan dan akhirnya takut terkejar
oleh serdadu-serdadu Belanda, kemudian
masuk ke dalam gubug yang ada didepannya.
Ada kira-kira 10 anak perempuan yang masuk
ke dalam gubug kecil yang bau itu. Ternyata
gubug itu adalah WC tempat buat air besar,
pantaslah bau sekali tapi para pengungsi tetap
bertahan.
Dengan memakai keris saktinya di
pinggang Eyang Soepadi sebagai senjata,
akhirnya rombongan pindah lagi tempat
pengungsian yang lebih jauh sampai ke lereng
12
Gunung Slamet, entah ditempuh dalam berapa
hari. Rombongan Eyang Soepadi baru sampai
ke Karangmangu, disitu ada Sanatorium untuk
penyakit paru-paru, namun tidak berhenti
disitu tapi lebih ke atas lagi sedikit, karena
disitu ada saudara yang bekerja di tempat
pemerasan susu Meneer Balgooi di Baturaden.
Bertemu dipengungsian rasanya senang sekali.
Walaupun rombongan kami besar, tetapi tetap
diterima dengan senang hati. Yang tua-tua dan
anak-anak masuk ke kamar, sedang yang
muda-muda lain tidur di emperan rumah.
Udara disitu sangat dingin apalagi di waktu
malam karena dingin sekali kami diberikan
minum susu segar yang panas dengan singkong
rebus yang juga masih panas. Wah nikmat
sekali. Tapi di Baturaden rombongan Eyang
Soepadi tidak lama, karena merasa tidak enak
karena tidak dapat bekerja atau berbuat
apapun. Setelah kira-kira numpang 10 hari
disitu, akhirnya Eyang Soepadi mengambil
keputusan kami akan pulang ke Purwokerto,
apapun yang akan terjadi. Tidak seperti waktu
berangkatnya, pulangnya kami tidak buru-
13
buru, namun karena jalannya turun gunung
jadi cepat juga kami sampai di kota Purwokerto
tidak sampai 2 hari. Setelah kami sampai di
rumah, ternyata rumah dan toko buku kami
sudah terbuka dan isinya porak poranda.
Berbicara mengenai toko buku yang
dimiliki oleh Eyang Soepadi, toko buku tersebut
diberi nama “Sadria”. Nama itu berasal dari
namanya kakaknya Eyang Satinah, yaitu Eyang
Salam Atmodarono, disingkat Sadria. Toko
buku Sadria dulunya kepunyaan kakaknya
Eyang Satinah, tetapi setelah Eyang Soepadi
pensiun, maka toko buku tersebut diserahkan
kepada Eyang Soepadi untuk dikelola. Ternyata
setelah dipegang Eyang Soepadi, toko buku
Sadria maju sekali. Beliau rajin menghubungi
teman-temannya yang berada di kota-kota
besar, seperti Batavia (Jakarta), Semarang,
Surabaya, Yogyakarta, Solo, Madiun, Kediri dan
lain-lain dan menanyakan barangkali ada
buku-buku yang bagus dapat dibeli untuk
dapat dijual di toko buku Sadria. Ternyata
perhatian dari toko-toko buku dari daerah-
daerah di pulau Jawa besar sekali. Yang saya
14
masih ingat Balai Pustaka (toko buku dan
percetakan), toko-toko buku Madiun, Kediri
(Tan Koen Swie), Yogyakarta (buku-buku dan
majalah Panyebar Semangat) dan lain-lain.
Disitu ada juga buku-buku pelajaran, buku
bacaan dengan bahasa Jawa, Indonesia,
Belanda dan lain-lain.
Toko Buku Sadria,
Jl.Ragasemangsang No. 50,
Purwokerto (foto di tahun 1983)
Karena toko buku di Purwokerto hanya satu,
jadi banyak sekali yang datang untuk
meminjam buku, karena ada perpustakaannya
juga untuk semua umur. Teman-teman kakak
Gadis Sumiati juga banyak yang datang, apalagi
teman-teman Sumiati dan teman-teman dari
15
adik Sumiati jadi ramai terus. Yang ikut
menunggui toko buku adalah Embah Kakung
dari Eyang Satinah, yang membantu ada
saudara juga dari Eyang Satinah sekaligus
meladeni Eyang Soepadi. Saking terkenalnya
toko buku Sadria, setelah saya sudah
berkeluarga dan kalau ketemu teman-teman
atau teman-teman dari kakak-kakak Sumiati
selalu menanyakan mengenai toko buku Sadria.
Lucu tapi menyenangkan, bahkan ada yang
cerita zaman dulu mereka mereka banyak yang
mencuri buku. Keakraban waktu kecil sampai
kami sudah tua masih terus terpelihara dengan
baik sampai sekarang masih ada teman-teman
Sumiati dan teman-teman dari adik-adik
Sumiati.
Didepan rumah Eyang Soepadi di jalan
Ragasemangsang 50 Purwokerto, berdiam
seorang ibu berasal dari Yogyakarta bernama
Ibu Ambarliah Dani selalu memanggil beliau Ibu
Ambar. Beliau mempunyai keahlian menari
Jawa sehingga beliau membuka Sekolah Tari
Jawa. Eyang Soepadi waktu itu selalu
mengatakan, sebagai seorang Jawa kita harus
16
menghargai kebudayaan Jawa, Dengan
beberapa teman anak tetangga, maka anak-
anak Eyang Soepadi belajar menari Jawa yaitu
tari Serimpi, Tari Golek, Tari Cantrik dan lain-
lain. Berapa lama kemudian didatangkan juga
seorang guru tari seorang pria untuk anak laki-
laki, tarian prianya adalah seperti tari Anoman,
Gatotkaca dan banyak yang lain. Setelah mahir
menari putra-putri Eyang Soepadi sering
disuruh menari dimana-mana kalau ada pesta.
Ada hal yang sangat menyenangkan ialah setiap
disuruh menari kalau ada yang mengadakan
pesta, entah itu pesta pernikahan, sunatan atau
yang lain dimana harus menari, kalau pulang
dikasih oleh-oleh macam-macam, selain itu
juga dikasih uang sekedarnya untuk membeli
buku katanya., sangat senang karena tambah
pengalaman pula.
B. Kehidupan Berorganisasi Semasa Remaja
Saat masih duduk di bangku SMP, sekitar
tahun 1949, Sumiati aktif sebagai pengurus
PMI Jawa Tengah di Purwokerto dan IPPI
17
(Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) serta
menjabat sebagai Wakil Sekretaris Mobilisasi
Pelajar Wherkreise I Jawa Tengah. Dalam
melakukan aktifitas mobilisasi pelajar di
Purwokerto, oleh pimpinan Brigade VIII Gunung
Jati Purwokerto, mereka diberikan 1 (satu)
ruangan di kantor Brigade VIII.
Waktu Sumiati disuruh jadi Wakil
Sekretaris, namun tidak tahu juga tugas
Sekretaris itu apa, jadi ikut saja kesana kemari
kalau ada yang harus pergi kemana,
bergerombol ikut dan kemana-mana jalan
karena tidak ada kendaraan. Yang paling tidak
menyenangkan adalah kalau harus membantu
di Rumah Sakit terutama kalau di Poliklinik,
maunya sama-sama terus, tetapi sering
dibentak orang Nippon, “Orang Indonesia bodoh
deska”, karena Sumiati dan teman-temannya
masih kecil disuruh membuka perban kaki atau
tangan yang korengan dan bau dan apabila
tidak mau maka dibentak-bentak. Masih segar
dalam ingatan Ibunda Sumiati membuka
perban kaki yang korengan sampai muntah-
muntah, kenangan indah yang menyeramkan.
18
Akhirnya Sumiati sering mbolos, tidak mau
ikutan kalau ada acara ke Rumah Sakit.
Suatu hari Sumiati terpaksa harus ikut ke
Rumah Sakit lagi karena sakit gigi dan pipinya
bengkak. Eyang Soepadi menyuruhnya ke
Rumah Sakit, namun Sumiati gak mau karena
takut, akhirnya
Sumiati diantar teman-teman untuk beobat ke
Poli Gigi. Takutnya juga karena ditunggui oleh
dokter orang Nippon, yang ternyata dia
19
orangnya baik sekali, terus pipi Sumiatiku
dikompres dan diperbolehkan pulang. Ternyata
tidak semua orang jelek, ada yang baiknya juga.
Setelah zaman Jepang sudah usai hampir
saja Belanda mau kembali lagi untuk menjajah,
tapi tidak jadi karena Indonesia sudah keburu
merdeka. Setelah Indonesia merdeka pada
tanggal 19 Agustus 1945, ternyata masih
banyak keributan juga tetapi semua sudah lebih
aman dari sebelumnya. Organisasi-organisasi
macam-macam timbul seperti jamur banyak
sekali, baik untuk pelajar, untuk tentara, badan
keamanan rakyat dan lain-lain.
Karena Purwokerto masih belum aman
benar-benar dan Belanda masih banyak, maka
penduduk Purwokerto tidak sepenuhnya di kota
tapi didesa dan di gunung juga. Eyang Soepadi
dan Eyang Satinah karena sudah tua jadi tidak
ikut ke pedalaman. Sumiati dan kakak
perempuannya diminta ikut kakaknya yang
tentara supaya lebih aman. Sumiati sebagai
pengurus IPPI mendapat tugas pergi ke kota
membawa obat-obatan untuk tentara-tentara
yang di kota dan juga surat-surat yang berisi
20
berita-berita. Sumiati disuruh berpakaian yang
sederhana saja tidak boleh mencolok. Kalau lagi
agak lama pergi kekota, Sumiati disuruh ikut
kegiatan kakaknya yang lain juga, misalnya
dengan ikut-ikut olahraga korfball, bulu tangkis
dan lain-lain. Ini juga kami sambil jadi kurir
untuk menyampaikan surat-surat dari mereka
yang ada di gunung ke kota. Pernah Sumiati
pergi sendiri naik sepeda (ini adalah satu-
satunya kendaraan), kemudian lihat serdadu
Belanda jalan masih jauh, tapi saya takut, jadi
Sumiati belok jalan dan karena buru-buru
malah jatuh, malah serdadu Belanda lari-lari
menolong Sumiati ,untung Sumiati bisa bicara
bahasa Belanda dan untung juga tidak masuk
ke sungai. Ada kenang-kenangan jari kelingking
kanan Sumiati seperti keceklik, untung juga
gak terlalu parah dan semenjak itu Sumiati
agak takut kalau naik sepeda. Tetapi meskipun
demikian Sumiati masih pergi lagi ke gunung
untuk berkumpul kembali dengan teman-teman
dan bersama kembali dengan kakaknya yang
tentara.
21
Setelah mendengar bahwa keadaan sudah
lebih aman dan tentara Jepang dan tentara
Belanda sudah akan pulang ke negara masing-
masing, maka Tentara Indonesia juga sudah
akan turun gunung. Demikian juga Sumiati
bersama dengan kakaknya akan ikut turun
kembali ke kota lagi. Dari tempat kami di desa
dekat Purbalingga rombongan kami Mobilisasi
Pelajar, tentara-tentara yang ada disana semua
turun gunung sampai ke kota kecil yang
namanya Desa Klampok dekat Banjarnegara.
Yang bersama-sama turun ke kota banyak
sekali. Tentara-tentaranya banyak, TKR, BKR,
Tentara Pelajar, Mobilisasi Pelajar dan lain-lain.
Dari Mobilisasi Pelajar yang dari daerah
Purbalingga, Klampok, Banjarnegara,
Wonosobo, Magelang, Cilacap semua pada
berkumpul di Purwokerto di Brigade Militer 8.
Ternyata jadi banyak sekali, sebagian besar
adalah mahasiswa-mahasiswa dan pelajar-
pelajar yang tidak tergabung di Tentara Pelajar
yang sudah punya kelompok sendiri. Semua
kegiatannya ditampung Komanda Brigade
Resimen 8 Purwokerto. Yang tempat tinggalnya
22
di Purwokerto atau sekitarnya dipersilahkan
pulang ke tempat dan daerahnya masing-
masing. Kalau yang masih harus berkantor dan
yang masih harus ngurus macam-macam
masih dipekenankan berkantor di Resimen dan
diberi satu kamar besar untuk kantor bersama.
Sebagian besar adalah mahasiswa-mahasiswa,
sarjana-sarjana, yang pelajar sedikit.
Setelah sebulan lamanya bertugas disitu,
akhirnya karena situasi sudah aman, maka
23
diadakanlah demobilisasi, semua pelajar dan
mahasiswa supaya kembali ketempatnya
masing-masing dan kembali ke sekolah.
Rasanya senang sekali karena nanti akan
sekolah lagi. Sumiati akhirnya akhirnya
sekolah lagi di SMA Bagian A (Bahasa) dan
mengambil bahasa Perancis, dimana salah satu
gurunya adalah Ibu S. Gandasubrata isteri
Residen Purwokerto waktu itu. Setelah tamat
SMA bagian A, Sumiati tidak dapat
meneruskan ke Universitas, karena di
Purwokerto belum ada Universitas waktu itu,
sedangkan Eyang Soepadi sudah mengatakan
berat kalau harus membiayai Sumiati di luar
kota, karena 2 adik laki-laki Sumiati sudah
sekolah di Semarang Jawa Tengah. Apa boleh
buat, Sumiati tidak meneruskan sekolah, tetapi
Eyang Supadi menyuruh Sumiati untuk belajar
di kursus-kursus, apa saja boleh. Beliau
menyuruh Sumiati untuk belajar mengetik
dengan 10 jari saampai selesai 3 bulan dan
berijasah, kemudian stenografi juga berijasah
sampai selesai 3 bulan. Mungkin kalau kursus
ini dilaksanakan sekarang, Sumiati barangkali
24
terus langsung kerja, tetapi keadaan waktu itu
lain, aku hanya dapat membantu Eyang
Soepadi di toko buku yang sudah tidak lengkap
seperti dulu, tetapi masih lumayan dan Sumiati
disuruh membantu memasak. Waktu itu
mungkin Sumiati sering menggerutu, tetapi
sekarang ibunda Sumiati mengatakan: “Untung
dulu Ibuku mengajari aku memasak, kalau
enggak khan aku gak bisa memasak”, Itulah
yang ibunda Sumiati merasa senang sekali,
karena ibunda Sumiati sekarang jadi pinter
macam-macam yang selalu diajari oleh Eyang
Soepadi dan Eyang Satinah.
C. Kehidupan Berumah Tangga Bersama Dengan
Bapak Slamet Harjono
Dalam kegiatan mobilisasi pelajar, gadis
Sumiati bertemu dan berkenalan dengan
seorang Perwira Keuangan Angkatan Darat
pada Brigade VIII Purwokerto yang bernama
Kapten Slamet Harjono.
25
Berawal dari
sering
bertemu dan
sering
mengadakan
rapat-rapat
bersama,
maka
bersemilah
rasa cinta antara
jejaka muda Slamet Harjono dan gadis hitam
manis Sumiati dan mereka sepakat berpacaran.
Tak lama kemudian pada tahun 1950. Kapten
Slamet dipindahkan ke Bandung.
Mengingat pacaran “long distance” antara
Purwokerto Bandung cukup menyulitkan,
apalagi di masa tersebut fasilitas komunikasi
belum sebaik sekarang, maka pemuda Slamet
Harjono memberanikan diri untuk melamar
sang pujaan hati dan pada hari Minggu tanggal
26
11 Maret 1951 di Purwokerto, resmilah
mereka sebagai pasangan suami isteri.
Ayahanda R. Slamet Harjono dilahirkan di
Kudus, Jawa Tengah, pada hari Kamis Legi
tanggal 6 Desember 1923 sebagai putra ke 5
dari 11 bersaudara keturunan pasangan suami
isteri Eyang Kakung Raden Suhardo
Harjowardoyo dan Eyang Putri Raden Ayu Sri
Patonah, dimana semasa hidupnya Eyang
Kakung Suhardo Harjowardoyo bekerja di
Jawatan Kereta Api.
27
Eyang Kakung Suhardo
Hardjowardojo dan
Eyang Putri Sri Patonah
28
Selepas dari SMA, pemuda Slamet Harjono
kemudian bekerja di Bank Rakyat Indonesia
cabang Tegal dari tahun 1941 – 1943. Pada
masa perang kemerdekaan, beliau
mendapatkan tawaran untuk bekerja di TNI
Angkatan Darat di Tegal mulai tahun 1945.
Pada tahun 1949, Kapten Slamet Harjono
dipindahkan ke Brigade VIII Gunung Jati
Purwokerto. Pada saat pemuda Slamet Harjono
bertugas di Purwokerto ini, bertemulah beliau
dengan gadis pujaan tambatan hati, Sumiati.
Setelah menikah, sang isteri kemudian
diboyong ke Bandung dan tinggal di jalan Ciung
Wanara No. 16, Bandung. Setelah 3 (tiga) bulan
tinggal di Bandung, kemudian keluarga Slamet
Harjono pindah ke Jakarta dan tinggal di Hotel
Budi Kemuliaan, untuk kemudian pindah ke
jalan Senopati No. 10, Kebayoran Baru. Setelah
2 (dua) bulan tinggal di jalan Senopati,
kemudian pindah lagi ke jalan Ciranjang no 12,
di daerah Kebayoran Baru pula. Di jalan
Ciranjang ini lahir putri pertama di Rumah
Sakit Budi Kemuliaan Jakarta Pusat pada hari
Sabtu Legi tanggal 29 Desember 1951 jam
29
08.30, yang diberi nama Anggraeni Esniastuti
(Naniek).
Pada tahun 1953, Mayor Slamet Harjono
mendapat tugas pendidikan di Bandung dan
untuk sementara sang isteri dan putri tercinta
dititipkan di Purwokerto. Dalam keadaan hamil
7 (tujuh) bulan anak kedua, sang isteri dan
anak tercinta dijemput kembali dan kemudian
untuk sementara tinggal di Hotel Orient,
kemudian pindah lagi ke hotel Helena. Pada hari
Rabu Wage tanggal 2 September 1953 jam
03.15, lahirlah putri kedua di Rumah Bersalin
30
Bidan Suti, Jalan Riau Bandung, yang diberi
nama Boedisoelistijowati Dwipoetranti
(Liliek). Setelah melahirkan putri kedua,
keluarga Slamet Harjono kemudian
mendapatkan rumah dinas di Jalan Aceh no.
125, Bandung.
Pada hari Minggu Pon tanggal 17 Juni
1956 jam 02.40, lahirlah anak ketiga laki-laki
di Rumah Bersalin Suster Liem (sekarang RS
Limiyati) di jalan Riau, yang diberi nama
Chrisnawan Triwahyuardhianto.
31
Kemudian pada bulan Juni 1957, keluarga
Slamet Harjono dipindahkan lagi ke Jakarta
dan menempati rumah dinas Angkatan Darat di
jalan Kesatrian Raya no. 14, Jakarta Timur.
32
Di Jakarta, dengan ditangani oleh Dr. Iman
Suyudi, yang asli Purwokerto, di Rumah Sakit
PGI Cikini, lahirlah anak keempat laki-laki
pada hari Rabu Kliwon tanggal 26 Oktober
1960 jam 02.15, yang diberi nama Dhaniswara
Kwartantyono (Deni).
33
Kemudian pada hari Sabtu Wage tanggal
22 Juni 1963 di Semarang, lahirlah anak
kelima laki-laki yang diberi nama Edijanto
Agung Widiartono (Edi).
34
Anak keenam perempuan lahir pada hari
Senin Legi tanggal 9 Mei 1966 yang diberi
nama Fyanthi Irma Sestiartini (Yanthi)
dilahirkan di Rumah Sakit PGI Cikini yang
ditangani pula oleh Dr. Imam Suyudi.
35
Anak ketujuh perempuan lahir pada hari
Kamis Wage tanggal 30 Juli 1970 jam 03.15
yang diberi nama Gutami Santi Sapta
Subawati (Ami) dilahirkan di Rumah Sakit PGI
Cikini yang juga ditangani oleh Dr. Iman
Suyudi.
36
Karir Bapak Slamet Harjono mencapai
puncaknya sebagai Direktur Keuangan
Angkatan Darat dengan pangkat terakhir
Brigadir Jenderal pada saat beliau pensiun
tahun 1975. Setelah pensiun Bapak Slamet
Harjono kemudian bekerja di Hotel USSU
selama 2 (dua) tahun sebagai Direktur
Operasional, namun oleh karena terlalu
melelahkan, beliau kemudian mengundurkan
diri dari Hotel USSU dan menekuni pekerjaan
sebagai Ketua Rukun Warga 03/01 Kelurahan
Kebon Manggis yang telah beliau jabat sejak
tahun 1969 sampai akhir hayatnya pada hari
Senin tanggal 18 Juli 1988.
Brigjen TNI AD Slamet
Harjono
37
Bpk. Slamet Harjono , sebagai
Inspektur Upacara dalam
Pembukaan Pekan Olah Raga
dalam rangka HUT RI di
lingkungan RW 03 Kel. Kebon
Manggis, 17 Juli 1988
Pemakaman Bpk. Slamet
Harjono di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, 18 Juli
1988
38
Sebagai isteri prajurit Angkatan Darat
Republik Indonesia, Ny. Sumiati Slamet Harjono
sejak menikah dengan Kapten Slamet Harjono,
otomatis tercatat sebagai anggota Persit
(Persatuan Isteri Prajurit) Kartika Chandra
Kirana hingga tahun 1975. Pada periode 1969-
1973, Ny. Sumiati Slamet Harjono tercatat
sebagai Ketua Persit (Persatuan Isteri Prajurit)
Kartika Chandra Kirana DITKUAD/JANKUAD
tahun 1969-1973.
Berbekal kesukaannya dalam berorganisasi
sejak masih belia, Ny. Sumiati Slamet Harjono
kemudian berkiprah diberbagai organisasi.
Sebagai anggota Persit, beliau kemudian
ditugaskan sebagai wakil Persit dalam
kepengurusan BPOW/BKOW (Badan
Penghubung Organisasi-organisasi Wanita/
Badan Kerjasama Organisasi-organisasi
Wanita) DKI Jakarta sejak tahun 1966 dan
mencapai karier puncaknya sebagai Ketua
Umum BKOW DKI Jakarta tahun 1980-1989.
39
Dengan Ibu
Yohannes,
sahabat Ibu
Slamet Harjono
di Gedung
Wanita
40
41
Dengan diangkatnya bapak Slamet Harjono
sebagai Ketua RW 03 Kelurahan Kebon Manggis
sejak tahun 1969, ibu Sumiati Slamet Harjono
juga aktif sebagai pengurus/Pembina PKK, baik
di tingkat RW, Kelurahan, Kecamatan bahkan
sampai di tingkat propinsi yang dijalaninya dari
tahun 1969 sampai dengan tahun 2004.
Setelah Bapak Brigjen TNI Slamet Harjono
memasuki masa pensiun pada tahun 1975,
kemudian ibu Sumiati Slamet Harjono aktif di
organisasi PERIP (Persatuan Isteri
Purnawirawan ABRI) sejak tahun 1978. Pada
periode tahun 1987-1997, beliau aktif di
Pengurus Pusat PERIP dan terakhir tercatat
Ketua I PP PERIP.
Dalam keanggotaan KOWANI yang
digelutinya sejak tahun 2001, berbagai macam
kegiatan dan kepengurusan telah dilakukan
oleh ibu Sumiati Slamet Harjono, antara lain
sebagai Ketua LBMK (Lembaga Bantuan
Masalah Keluarga) Kowani tahun 1980-1985,
Ketua Yayasan Seri Derma Kowani tahun 1990-
42
2000 yang menangani bea siswa keluarga
kurang mampu, Ketua GOTA PPN (Gerakan
Orang Tua Pencegahan Penyalahgunaan
Narkotika) Kowani tahun 1994-2000 dan
sebagai Wakil Ketua Badan Kontak Wanita
Koperasi.
43
Ibu Sumiati Slamet Harjono pada tahun 1987
mendapat penghargaan sebagai salah satu
Tokoh Wanita Tingkat Nasional yang
diberikan oleh Kementerian Negara Urusan
Peranan Wanita dan saat ini masih aktif di
lingkungan pengajian RW 03 Kelurahan Kebon
Manggis.
D. Putra Putri Keluarga Slamet Harjono
1. Angraeni Esniastuti
Sebagai anak pertama, Anggraeni
Esniastuti (Naniek) mengawali
44
pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Cor
Yesu (tahun 1958), kemudian di SD
Marsudirini (tahun 1959- 1964) ,SMP
Marsudirini (tahun 1965- 1967) dan di SMA
Fons Vitae (tahun 1968 - 1970) yang
kesemuanya berlokasi di Jl. Matraman Raya
Jakarta Timur. Sempat menikmati
pendidikan di Akademi Bahasa Asing
Jakarta dan IKIP Jakarta, kemudian
menekuni diri memberikan les merias
pengantin dan mengukir sayur/buah
kepada masyarakat sekitar lingkungan
Kelurahan Kebon Manggis melalui kegiatan
PKK RW 03 Kel. Kebon Manggis. Pada tahun
1976 gadis Naniek berkenalan dengan
Kapten (Inf) Sutjahjono yang lahir di
Purwokerto pada hari Kamis Pon tanggal 11
Januari 1945, yang merupakan putra ke 4
dari Bapak Darsan Atmosukarto dan Ibu
Sumirah. Setahun kemudian Naniek dan
Tjahjo menikah di Jakarta pada tanggal 21
Juni 1977 dan resepsinya diselenggarakan
di Gedung Wanita Nyi Ageng Serang
Jakarta.
45
Setelah menikah kemudian Tjahjo
kemudian memboyong isterinya ke Ambon,
kota dimana Tjahjo ditugaskan sebagai Kasi
2/Ops di Ambon. Menjelang kelahiran anak
pertama, Naniek kemudian kembali ke
Jakarta pada bulan November 1977 dan
pada tanggal 26 Maret 1978 lahirlah putra
pertama keluarga Sutjahjono AS di Rumah
Sakit PGI Cikini ditangani oleh Dr. Iman
Suyudi yang diberi nama Andrianto Bagus
Cahyadi (Andri) pada hari Minggu
Kliwon.Setelah Andri berumur 3 bulan,
kemudian kembali diboyong ketempat tugas
sang ayah, yang ternyata telah dipindah
tugaskan ke Tual Maluku Tenggara sebagai
Kasi 1/Intel Kodim. Tidak lama tinggal di
Tual kemudian sang ayah mengikuti
pendidikan Suslapa di Bandung, sehingga
anak dan isteri kembali diboyong ke
Jakarta. Tak lama kemudian Ny. Sutjahjono
hamil kembali dan pada hari. Jum’at Pahing
tanggal 10 Agustus 1979 menyusul lahir
anak kedua Budi Setiawan Nurcahyo
46
(Budi) di Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta
Pusat yang juga ditangani oleh Dr. Iman
Suyudi. Setelah selesai mengikuti
pendidikan Suslapa, kemudian pada bulan
September 1979 Mayor (Inf) Sutjahjono
dipindah tugaskan sebagai Wakil
Komandan Batalyon 405 berkedudukan di
Cilacap. Kembali keluarga Sutjahjono
pindah ke Cilacap berserta 2 anak. Tidak
sampai 1 tahun bertugas di Cilacap
kemudian bapak Sutjahjono ditugaskan
sebagau PBU Atase Pertahanan pada
Kedutaan Besar Republik Indonesia di
Hanoi selama 3 tahun. Pada bulan April
tahun 1983 keluarga Sutjahjono kembali ke
Indonesia dan kemudian menetap di
Kompleks Jatibening I Bekasi. Anak ketiga
Cahyani Ayu Triastuti (Ayu) lahir di
Jakarta pada hari Selasa Kliwon tanggal 24
Januari 1984 di RSPAD Gatot Subroto
Jakarta. Andrianto Bagus Cahyadi
kemudian menikah pada tanggal 3
November 2006 di Bogor dengan Widia Dwi
Astuti yang lahir di Jakarta pada tanggal 12
47
September 1979, dan dikaruniai 1 orang
putri yang diberi nama Anindya Shakila
Candrahayu (Anin) yang lahir di Bogor pada
tanggal 22 Februari 2008. Budi Setiawan
Nurcahyo kemudian menikah pada tanggal
22 Februari 2009 dengan Nevita Widia
Karina yang lahir di Jakarta pada tanggal
25 November 1979, dan dikaruniai 2 orang
putri yaitu Shafa Tsabita Salsabilla (Billa)
yang lahir di Jakarta pada tanggal 4 April
2011 dan Shahira Tsabita Jannata (Jenna)
yang lahir di Jakarta pada tanggal 27 Juni
2015. Cahyani Ayu Triastuti kemudian
menikah pada tanggal 12 Mei 2012 dengan
Yuda Aria Hermana yang lahir di Jakarta
pada tanggal 5April 1983 dan dikaruniai 1
orang putra yang diberi nama Kynan
Almair Hayyu (Kynan) yang lahir di Jakarta
pada tanggal 7 Maret 2013.
Setelah pensiun pada tahun 2000, Tjahyo
dan Naniek kemudian pindah ke
Purbalingga pada tahun 2002 Pada hari
Senin Wage tanggal 17 Maret 2008 Kol Inf
(Purn) Sutjahjono meninggal dunia pada
48
saat sedang bermain tenis lapangan,
olahraga kegemarannya.
Jenazah kemudian dimakamkan di Tempat
Pemakaman Umum Desa Karang Anyar,
Jatilawang, Purwokerto, bersebelahan
dengan kedua orang tuanya. Karena isteri
dan anak-anak menetap di Jabodetabek,
untuk memudahkan melakukan ziarah,
kerangka alm Kol Inf (Purn) Sutjahjono
dipindahkan ke TPU Pondok Kelapa Tanah
Merah, Jakarta Timur pada tanggal 9
Januari 2015.
49
50