Cinta Jangan Kau Pergi
BHP Riau
ISBN:
Cetakan pertama, Februari 2020
Desain Cover, Guslaini
Editor, Yulismar (YSS)
Tata letak isi,
Diterbitkan oleh
ii
Novel
BHP Riau
iii
Kata Pengantar
Alhamdulillah, kata yang paling tepat penulis ucapkan
untuk memujiNya atas segala nikmat yang ia curahkan.
Sehingga naskah ini mampu saya selesaikan dengan
baik. Ide yang melatarbelakangi saya menulis novel ini
dari sebuah kisah nyata yang dikembangkan dan
ditambah dengan bumbu-bumbu agar lebih dramatis.
Novel “Cinta Jangan Kau Pergi” adalah karya novel
perdana saya. Novel ini saya tulis karena adanya
semangat setelah mengikuti komunitas 30 hari berkarya.
Ketika di putaran kedua ada jeda yang sangat panjang
untuk istirahat, justru saya kecanduan untuk menulis.
Akhirnya novel ini saya tuntaskan dalam 20 hari yang
terdiri dari 20 bagian. Kisah dalam novel ini adalah kisah
nyata, namun saya kolaborasi dengan berbagai gesekan
dan benturan yang lainnya.
Tentunya Novel ini jauh dari kata sempurna, yang
membutuhkan masukan dan krtitikan dari setiap
iv
pembaca, agar saya sebagai penulis bisa lebih baik lagi
ke depannya untuk menulis.
Terima kasih atas semua yang Engkau berikan ya Allah,
mengirimkan orang-orang hebat di sekitarku sehingga
banyak kebaikan yang dapat kuambil dari mereka yang
ada di sekitarku. Istriku Nike Kurnia Illahi yang selalu
menjadi motivator hebatku untuk terus berbuat dan
menulis, anakku Hafiza Sabiya Azahra semoga menjadi
anak yang sholeha. Terkhusus Bunda Yulismar (yss)
sebagai inspirator dan editorku, Bu Nurbadryah sebagai
PJ Sagusaku IGI, Bunda Nuraeni selalu mendukung
langkahku serta sahabat-sahabat dan keluargaku yang
tergabung dalam Ikatan Guru Indonesia (IGI), Komunitas
Penggiat Literasi dan Seni Inhil (KPLS Inhil), FLP Inhil,
FTBM Inhil, SMPN 4 GAS, MGMP Matematika. Semoga
Allah memberikan kebaikan disetiap aktivitas yang kita
lakukan.
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................... iv
Daftar Isi .............................................................. vi
Testimoni .............................................................. viii
Kesetiaan .................................................. 1
Harapan .................................................... 5
Luapan Kekesalan ...................................... 8
Dilema Kemenangan ................................ 11
Intensitas Kebersamaan .......................... 13
Hati yang Terabaikan .............................. 17
Pesan di WhatsApp ................................. 20
Zuno ...................................................... 23
Dua Hati ................................................. 28
Dinner ..................................................... 31
Di Persimpangan ..................................... 40
Kerinduan ............................................... 51
Keluarga ................................................. 55
vi
My Heart ................................................ 57
Messager ................................................. 61
Kesalahan ................................................ 65
Galau ...................................................... 68
My Time ................................................. 71
Nasehat Ibu ............................................ 74
Surat Terakhir ......................................... 78
Tentang Penulis ................................................. 90
vii
Testimoni
Setiap kalimat dalam cerita ini menuntun mata pembaca untuk
meneruskan telusuri cerita. Penasaran akhir dari cerita, cinta
siapakan yang dimaksud. Bahasanya yang ringan, cerita faksi ini
halus membawa pembaca hanyut di dalamnya. Tak butuh waktu
lama menghabiskan setiap halaman kisah yang digambarkan apik
oleh penulis dari sikap tokoh utama. Banyak pesan moral yang
tersirat dari torehan kisah yang sedap dalam novel ini. Novel ini
sangat tepat dikonsumsi para keluarga muda yang sukses, karena
sarat makna di dalamnya. Sukses untuk penulis.. teruslah berkarya,
berikan warna indah pada literasi Indonesia. Bangga IGI memiliki
pengurus hebat sepertimu.
Noerbad
PJ Sagusaku IGI
Sekretaris kaha 1 PP IGI
Pilihan kata, idiom dan struktur katanya seakan mengisi ruang
kosong dari bahasa. Kedalaman rasa seakan membuat setiap cerita
menjadi bernyawa. Perempuan seperti makhluk lemah dan rapuh.
Akan tetapi dibalik kelemahan dan kehampaannya, perempuan
menyimpan kekuatan dan ketegaran yang luar biasa. Dengan sangat
apik penulis bertutur tentang hati yang mendua. Cerita yang
mengharu kalbu. Siapapun yang membacanya niscaya seperti masuk
dalam alur cerita, ikut merasakan kegalauan yang luar biasa. Salut
akan perjuangan Ais yang mampu meluruskan hatinya untuk kembali
kepada suaminya.
Nuraeni. Pengawas Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur
Jawa Barat yang juga Penulis
viii
"Kisah Wily yang ingin menjadi anggota dewan dalam buku ini dapat
menjadi renungan bersama, bahwa menjadi wakil rakyat yang
amanah dan tak hobi mengobral janji itu berat, tapi harus tetap
diperjuangkan."
Sam Edy Yuswanto, penulis buku "Boleh Bersedih, tapi
Jangan Berlebihan" mukim di Kebumen.
Kisah pilu yang disajikan dalam alur novel ini mengalir seperti
tokohnya berkisah. Mampu membuat pembacanya terhenyak pada
akhir cerita yang ditutup dengan kisah tak terduga. Sebuah karya
sastra perdana Guslaini BHP Riau berjudul " ......." dituliskan dengan
sederhana walau tanpa konflik yang tajam tapi mampu membuat
penyuka novel cinta mengambil hikmahnya dan mengerti akan arti
kesetian dalam bahtera rumah tangga.
( Bunda Diana Masdik. Penulis, Pegiat Literasi dan Editor )
Menjadi istri seorang wakil rakyat tentu saja harus kuat mental dan
tahan godaan serta kesepian, karena banyaknya tugas dan amanah
yang harus dijalankan. Hal ini juga yang dialami tokoh "Ais", seorang
istri anggota dewan yang karena kesibukan suami merasa
terabaikan. Kehadiran PIL, telah membuatnya terperosok dalam
cinta terlarang. Saat dia menyadari, suaminya yang setia pada
cintanya, berpulang pada Ilahi pada sebuah kecelakaan. Akhirnya
hanya penyesalan yang tertinggal menemani hari-harinya. Rasa
bersalah yang begitu dalam pada penghianatan cinta.
Dalam novel ini, pengarang ingin menyampaikan sebuah pesan
moral, bahwa sebesar apapun godaan lawan jenis, jangan pernah
menghianati ikatan suci dari Allah yang sudah tertulis di lauhul
mahfudz, jika tak ingin menyesal berkepanjangan.
Buku yang layak dibaca dan harus dimiliki. Ayo pesan segera!
Laila Suryani Penulis Novel "Gadis Jerambah".
ix
Membaca novel "Cinta Jangan Kau pergi" karya BHP Riau seumpama
membaca kehidupan nyata. Cerita yang dihadirkan seolah-olah hidup
di tengah-tengah masyarakat saat ini. Menyuguhkan gaya bahasa
yang apik dan menarik serta mudah dicerna. Novel ini bisa
dikonsumsi oleh semua kalangan dan tumbuh subur kekuatan cinta
di dalam ceritanya.
Redovan Jamil, Konsultan Sekolah Literasi Dompet Dhuafa
Inhil, Penulis dan Pegiat Literasi
Cerita ini memberikan sebuah pelajaran hidup bagi pasangan suami
istri. Hubungan suami istri adalah perpaduan dua individu yang
berbeda. Begitu bayak riak bahkan gelombang yang menghadang.
Namun semua itu bisa dilalui dengan saling pengertian saling
memahami.
Godaan yang datang tidak saja pada istri juga pada suami, di sini
diperlukan komunikasi yang terbuka sehingga tidak salah jalan.
Sebagai wanita terutama sebagai istri kita harus bisa menjaga diri
dari godaan. Wanita makhluk lemah mudah tergoda.
Wirdayane, Penggerak Literasi Kab. Indragiri Hilir
Persoalan klasik dalam rumah tangga umumnya adalah kesibukan
masing-masing yang membuat kualitas pertemuan jadi menurun,
dan (biasanya yang sering) kehadiran orang ketiga, yang biasanya
hadir mengisi ruang kosong hati tokoh utama yang kesepian. Kedua
hal ini yang disampaikan pengarang lewat sudut pandang „aku‟ yang
seorang guru bersuamikan anggota dewan yang sibuk. Sempat
tergoda dengan pesona bujangan ganteng pada sebuah bimtek,
„aku‟ tersadar ia punya tanggung jawab sebagai istri dan ibu tiga
anak. Bahkan suaminya sendiri ikut sadar dan menyesali
kesibukannya yang mengabaikan keluarga. Sayangnya, di saat
x
kesadaran itu datang, terjadi sebuah peristiwa tak diharapkan.
Lantas berakhir „sad ending‟ kisah ini? Agaknya belum, karena
pengarang masih memberi label “bagian 1” pada judul. Pembaca
harus menunggu bagaimana kelanjutannya. Dengan alur penceritaan
maju dan bahasa yang ringan, novel ini bagus dibaca ibu-ibu muda
yang sedang asik berkarir di tengah kewajiban sebagai ibu rumah
tangga. Selamat membaca dan mengambil pelajaran di dalamnya!
Hendri Burhan - Guru, Penulis, Desainer, dan Penikmat
Sastra
Membaca kisah abangda kami ini, maka kita akan selalu dibawa
pada kesan rasa yang alamiah, apa adanya dan juga natural. Liuk
liuk kisah yang diceritakan, memberi pengalaman menulis sekaligus
renungan membaca, untuk dibawa kedalam cerita yang membuat
hati bertanya. Apakah ini sungguh nyata?
HendroLisa Ketua FLP Inhil, Dosen STAI Tembilahan
xi
Bagian Pertama
Kesetiaan
Menjadi istri wakil rakyat yang selalu disorot segala
tindak-tanduknya sama sekali tidak pernah terpikir olehku.
Memang, jalan kehidupan terkadang tidak selalu sama dengan
ekspektasi. Sebagai istri pejabat tentu kesibukanku akan
bertambah padat. Jadwal pun harus benar-benar kubuat
dengan berpandu pada schedule suami.
Sebagai seorang istri, aku selalu memberikan
dukungan yang terbaik buat suami dalam mencapai semua
mimpi dan karirnya. Salah satu bukti dukungan tersebut
adalah saat beliau ingin mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Aku masih ingat bagaimana perjuangannya ketika itu. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa loyalitas terhadap partai dan
kemapanan keuangan menjadi syarat utama. Bicara tentang
loyalitas, suamiku sudah teruji. Tak ada yang bisa
meragukannya. Saat semua anggota lari meninggalkan partai
karena kemerosotan elektabilitas, suamiku dengan setia tak
berpindah. Dia tata perlahan-lahan partai yang sekarat
tersebut. Statusnya sebagai putra asli daerah
memudahkannya untuk itu. Semua dukungan mengalir, tetapi
itu saja tidak cukup. Semua baru bisa bergerak jika ada uang.
Itulah yang menjadi kendala terbesar.
Kendala seperti ini membuatku agak sedikit gugup
untuk mendukung rencana suami untuk mencalonkan diri.
Bagaimana tidak, kebutuhan keluarga masih sangat banyak,
mulai dari dana untuk perbaikan rumah, cicilan utang per
bulan ke bank, sampai kebutuhan sekolah anak-anak.
1|CJKP|Novel
Kebutuhan terakhir ini sangat mendesak. Syaiful, anak tertua
kami sebentar lagi akan melanjutkan ke perguruan tinggi,
Viola yang sekarang sudah kelas III SMP, sebentar lagi akan
melanjutkan ke SMA, dan Sheila yang saat ini berusia 2,5
tahun juga akan memasuki usia pra-TK. Tentu pendapatan
suami sebagai fasilitator desa dan pendakwah tidakkan cukup.
Semua tentang kekhawatiran ini pernah kuungkapkan pada
suami.
"Mas, aku tidak melarang Mas mencalonkan diri
menjadi anggota dewan, tetapi Mas juga harus pertimbangkan
matang-matang terkait itu semua. Maju sebagai calon
membutuhkan dana yang tidak sedikit Mas."
"Iya Dek. Mas sangat paham kekhawatiran Adek itu,
tetapi kita juga tidak bisa diam melihat kondisi saat ini yang
semakin semrawut. Para wakil rakyat yang duduk di atas sana
sudah melupakan janji-janji politik mereka saat maju sebagai
calon. Mereka sekarang duduk manis tanpa pernah
merealisasikan janji manisnya untuk masyarakat. Adek masih
ingat dengan Toha, Ario, Susi, Viona kan?”
Aku menggangguk pelan, wajah-wajah itu masih
kuingat dengan jelas. Dulu mereka sangat getol mendekati
masyarakat dan menjanjikan berbagai strategi manis untuk
meraih suara mereka. Janji untuk memperbaiki sarana dan
prasana umum di kecamatan. Mulai dari mushalla, jalan,
memberikan bantuan pendampingan melalui program ekonomi
kerakyatan dengan tujuan agar ekonomi masyarakat bisa
terangkat. Bahkan para calon wakil rakyat itu dengan suara
lantang berjanji akan membuka pintu rumah dan siap bertemu
rakyat 1x24 jam untuk pengaduan apapun.
"Adek bisa lihat sekarang. Janji manis mereka hanya
ingin meraup suara kita untuk kepentingan pribadi dan
2|CJKP|Novel
golongan mereka. Bodohnya lagi, kita tidak pernah mau
belajar dengan baik atas kasus-kasus yang sudah puluhan
tahun berulang terus sampai sekarang ini. Masyarakat butuh
kesadaran dan pendidikan politik yang tepat untuk
memberikan pemahaman bahwa janji manis politik dan praktik
uang hanya akan menyengsarakan mereka selama lima tahun.
Melakukan itu semua butuh tanggungjawab dan kesadaran
dari setiap anak bangsa termasuk Mas yang memandang jalan
satu-satunya adalah mencalonkan diri agar mudah bergerak.”
Lagi-lagi aku hanya bisa menggangguk. Apa yang
dikatakan suamiku itu benar. Harus ada yang memulai
kejujuran itu. Dengan tatapan memelas pria yang sudah
bersamaku puluhan tahun itu kembali meyakinkanku, "Dek,
Mas hanya ingin menjalankan amanah partai untuk mengubah
kondisi ini semua. Tidak lebih dari itu, Mas ingin menjadikan
diri Mas sebagai aset perubahan untuk negeri dan khususnya
daerah kita Dek. Tidak mudah menjalankan mekanisme partai
hingga Mas dipilih untuk maju. Mas yakin Mas juga didukung
penuh oleh partai, mereka juga membentuk para relawan
untuk perjuangan Mas. Mengubah itu semua Dek hanya
melalui partailah jalan satu-satunya yang bisa Mas lakukan.
Suara kita tidak akan pernah didengarkan sekalipun memaki,
teriakan akan diabaikan. Adek tahu kenapa, karena kita adalah
orang-orang di luar dan kita tidak punya lekuatan untuk
mengubah dan menyuarakannya. Jadi Mas saat ini
membutuhkan dukungan dari keluarga khususnya istri Mas
tercinta. Kekuatan itu harus dari keluarga dulu.”
Aku menarik nafas panjang. Penjelasan itu sudah
sangat cukup bagiku membuat sebuah simpulan bahwa
suamiku tetap dengan pendiriannya; maju. Apalagi yang bisa
3|CJKP|Novel
kulakukan, pria yang sudah puluhan tahun bersamaku itu
seorang yang kukuh pendirian.
"Dek, masihkah Adek tak dukung Mas maju?" tanyanya
sembari meraih tanganku dengan lembut. Aku tak mengelak,
tangan kokoh itu berusaha mendamaikan hatiku yang tengah
berkecamuk.
"Mas, jika ini sudah jadi keputusan Mas, aku akan
mendukung sepenuhnya dan berusaha melakukan yang
terbaik untuk Mas," kataku dengan nada bergetar.
Air mata yang sedari tadi kutahan tak terbendung lagi.
Tumpah bagai banjir bandang. Seketika laki-laki yang sudah
memberiku tiga orang anak itu memeluk erat tubuh kecilku.
"Dek, memang tidak mudah melakukan itu semua. Mas
butuh dukungan dari Adek terhadap apa saja yang harus Mas
lakukan. Ingatkan Mas jika nanti alpa dan lupa dengan apa
yang diucapkan," ujarnya lirih.
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja aku menjadi
kuat. Aku harus mendukung semua cita-cita mulia suamiku.
Aku harus siap dengan bayangan ke depan akan banyak ujian.
Aku juga harus makin memperbanyak amunisi kesabaran
untuk semua itu.
Hatiku mulai tenang, lalu kuberanikan menatap wajah
suamiku, wajah yang dulu membuatku mabuk itu. Kubalas
pelukannya dengan hangat. Ada janji yang kupatri dalam hati
untuknya. “Aku akan menjadi istrimu yang setia Mas”.
4|CJKP|Novel
Bagian ke Dua
Harapan
Tibalah saat pemberkasan. Luar biasa sibuk juga.
Namun, karena sudah terbiasa dengan administrasi yang tertib
dan kerja sama kami, proses ini berjalan lancar. Tak ada satu
pun berkas yang tercecer atau tidak lengkap. Hingga akhirnya
pengumuman dari penyelenggara pun tiba. Salah satu dari
nama yang terpampang adalah nama suamiku, Wily Anggara,
M.Si. Satu langkah telah dilewati dengan baik. Bersyukur
kepada Allah yang telah merestui perjuangan ini meski masih
pada tahap awal.
Sejak pengumuman itu, kesibukanku pun semakin
padat. Salah satunya adalah membantu menyosialisasikan
pencalonan suami. Undangan pun berdatangan. Berbagai
majelis taklim memintaku untuk hadir sebagai pengisi
kegiatan. Kesempatan ini tentu tidak kusia-siakan. Aku
berusaha menyampaikan sebaik mungkin apa yang kuketahui.
Biasanya aku selalu membawa ustadzah untuk membantuku
jika ada salah terkait materi agama sesuai kondisi dan
berdasarkan kaca mata Islam.
Sebenarnya sebelum pencalonan suami, aku juga
sudah aktif di berbagai kegiatan. Baik itu kegiatan di masjid
atau kegiatan yang bersifat sosial lainnya. Namun,
kehaidiranku tetap saja menarik perhatian orang banyak. Aku
menganggap hal itu adalah sebuah kewajaran. Mereka pasti
tidak ingin salah pilih. Maka setiap calon akan mereka lihat
dengan jeli dan memantau siapa yang pantas mereka usung
untuk menyampaikan aspirasi mereka nanti.
5|CJKP|Novel
Tak jarang juga aku mendengar kalimat-kalimat sinis
dan miring tentang seorang calon.
"Bu Ais, dengar-dengar suami Ibu maju pencalonan
untuk anggota dewan tahun ini ya?" Bu Nia bertanya di sela-
sela ibu-ibu sedang mempersiapkan acara maulid.
"Insya Allah Bu, jika Allah memberikan kesempatan
untuk suami saya mencalonkan diri."
"Kok Bu Ais mau suaminya maju? Padahal banyak
wakil rakyat yang janjinya hanya bohong melulu selama ini.
Kalau sudah naik juga lupa dengan janji-janji ya. Bahkan
parahnya lagi Bu Ais, kalau sudah jadi mana ingat lagi dengan
kampungnya sendiri. Boro-boro menegur, senyum aja malas.
Kalau sudah pake mobil lewat di depan, duh rasanya mau
nonjok aja tu si dewan."
"Benar tu Bu Risma, sombongnya nggak ketulungan."
Bu May ikut menimpali apa yang disampaikan Bu Risma.
“Sebelum jadi, manisnya masyaa Allah. Tapi, kalau
sudah jadi na'uzubillah. Benar-benar, kalau wakil rakyat
seperti itu pengen nyiram saja dengan air comberan agar
sadar bahwa ia duduk itu karena siapa,” sambung Bu Tika
lagi.
“Iya, mereka duduk pun karena keringat kita-kita.
Jangankan minta bantu, dipandang aja kagak. Belum lagi
pongah tingkah istrinya yang suka pamer barang mewah dan
liburan mulu ke luar negeri. Disapa aja ya Allah, sombong
bingit,” ujar Bu Dhesti juga mulai ikut-ikutan marah.
"Astagfirullah, Ibu-ibu jangan menggosip terus.
Istigfar. Do'akan mereka sadar jika memang itu yang terjadi,"
aku mencoba mengingatkan Ibu-ibu yang sudah mulai
memfitnah.
6|CJKP|Novel
"Ini bukan gosip Bu Ais!. Ini fakta yang kami lihat dan
rasakan sendiri," bantah Bu Tika dengan sengit.
"Iya Bu, mudah-mudahan saja langkah suami dan saya
tidak seperti yang Ibu pikirkan atau sama dengan dewan-
dewan lainnya. Do'akan kami ya Ibu-ibu," jawabku dengan
sabar.
“Aamiin ya Allah,” dengan serempak Ibu-ibu itu meng-
aamiin-kan doaku.
"Yang penting diingat Bu Ais, kalau sudah duduk
suaminya harus sadar diri. Jangan mikir diri sendiri, tapi
pikiran rakyat," sindiran keras dari Bu Dhesti.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Sebenarnya
apa yang dikhawatirkan ibu-ibu tersebut sudah terlebih dahulu
kurasakan. Bukankah itu pula yang kubincangkan bersama
suami sebelum mengajukan pemberkasan. Aku hanya bisa
berharap dan berdoa kepada Tuhan, bila nanti suamiku duduk
menjadi anggota dewan hal itu tidak terjadi dan kami benar-
benar mampu mewujudkan impian masyarakat.
7|CJKP|Novel
Bagian ke Tiga
Luapan Kekesalan
Perbincangan bersama ibu-ibu tadi masih mengganjal
di hatiku. Mereka seakan-akan menganggap semua anggota
dewan itu sama. Mau tak mau hal itu telah membuatku
badmood. Seandainya mereka tahu akan perasaanku, pastilah
mereka akan mengontrol ucapan mereka. Namun, kembali aku
sadar, inilah resiko punya suami yang akan maju
mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Masih calon saja
sudah begini cobaan. Apalah lagi nanti jika sudah duduk.
Panas telinga, lebih panas lagi hati yang kurasakan. Andaikan
saja ada pilihan yang lain aku lebih memilih untuk menjadi istri
orang biasa dari pada harus menampung semua hal yang
akhirnya menjadi beban pikiranku.
Kekesalanku rupanya dirasakan juga oleh suami, "Ada
apa Dek, kok mukanya kayak jeruk perut gitu, masam
banget.”
Aku memang tidak bisa menyembunyikan perasaanku
jika sudah berada di depannya.
"Siapakah yang telah merusak suasana hatimu,
katakan kepada Mas, biar Mas tonjok tu orang," katanya
sembari bergurau.
Aku masih memasang wajah dingin. Gurauannya
belum mampu melebur kekesalanku. Aku memang berharap
dia mampu menjadi oase bagiku yang saat ini seperti taman
yang telah kering dan rindu dengan sentuhan air.
"Kok masih cemberut gitu sayang, ada apa? Katakan
pada Mas, siapakah yang tega membuat wajah cantikmu
8|CJKP|Novel
berkerut seperti ini. Biar Mas kasih pelajaran, agar ia tahu
bahwa bidadari manis itu tidak boleh sedikitpun dilukai.”
Candaan suamiku kali ini mampu membuatku
tersenyum. Kata-katanya membuat es yang beku sekalipun
akan segera mencair. Godaan suamiku menjadi rindu yang
tiada pupus kurasakan. Akhirnya aku pun tak bisa menyimpan
kekesalanku.
"Mas, mundur sajalah dari pencalonan. Kan masih
banyak yang bisa kita lakukan untuk membantu masyarakat."
"Ada apakah Adindaku tersayang, kok tiba-tiba
berubah seperti ini. Bukankah kemarin sudah mendukung
penuh untuk suamimu maju dalam pencalonan. Sekarang tiba-
tiba berubah?”
"Itu lho Mas, waktu acara maulid nabi tadi, ibu-ibu
pada nanyain, tapi tujuannya sindiran tajam banget menusuk
kayak belati."
"Nanyaian apa sayang, Yang jelas dong ngomongnya.
Pasti tentang anggota dewan ya?” Mas Wily langsung
menebak.
“Iya Mas, mereka menganggap saat kampanye manis
banget tu janji-janji. Lebih manis lagi daripada madu. Terus
kalau sudah naik, pahitnya lebih dari empedu. Jangankan
menyapa masyarakat, melirik pun tidak. Bahkan parahnya
sapaannya pilih-pilih. Belum lagi banyaknya kasus anggota
dewan yang dipertontonkan secara terbuka. Mulai dari skandal
seks, penggelembungan, korupsi seperti kasus suap
pelayaran, e-KTP, dana sosial, pengadaan Al-Qur'an, Proyek
PLTU, pengadaan Damkar, dll. Semua yang ditampilkan
anggota dewan yang terlibat. Sehingga di mata masyarakat
mereka itu sudah buruk banget Mas. Panas rasanya telinga
9|CJKP|Novel
mendengar semua ocehan ibu-ibu yang menumpahkan
amarahnya ke Adek Mas.”
"Lalu salahnya di mana Dek?."
"Ya salahlah Mas, menumpahkan pada orang yang
belum jelas duduk, " ucapku menimpali tanda tidak setuju
dengan apa yang disampaikan suamiku.
"Istriku yang manis, apa yang disampaikan semua ibu-
ibu itu benar adanya. Tidak ada yang salah. Adek hari ini
menjadi tumpahan kekesalan mereka karena mata mereka
setiap saat disajikan dengan polah tingkah anggota dewan
yang tidak mencerminkan mereka sebagai wakil rakyat.”
“Gitu ya Mas?” tanyaku pura-pura tak paham.
“Bu Ais sebagai istri calon anggota, tentu apa yang
mereka sampaikan justru menjadi evaluasi bagi Mas jika nanti
terpilih. Karena yang baik saat ini tidak bersuara lantang
adanya. Kebaikan itu tetap masih ada di antara ribuan
anggota dewan yang duduk, tetapi tersembunyi sebab
mereka bagian dari sistem. Tapi bukan mereka yang baik tidak
berbuat atau menyuarakan. Namun suara mereka kalah
dengan yang lain,” jelas Mas Wily detail.
"Sekarang Adindaku sayang, lebih baik buatin Mas teh
es deh. Biar kerongkongan Mas bisa suejuk dan lancar untuk
bicara lagi," guraunya sembari mencubit hidungku.
10 | C J K P | N o v e l
Bagian ke Empat
Dilema Kemenangan
Tetesan bening itu terus mengalir tanpa bisa
kuhentikan. Pipiku yang tirus basah olehnya hingga make up
yang tadi begitu indah, mungkin kini berantakan. Bukan itu
saja, mataku juga sembab. Aku tak tahu apakah ini tangisan
bahagia atau tangisan was-was? Aku masih tak percaya
bahwa kesuksesan dan kemenangan akhirnya berpihak pada
mas Wily. Ya, Mas Wily bukan hanya menang perolehan suara,
tetapi juga telah memenangkan hati para pemilihnya.
Ternyata Allah memang menakdirkan itu. Berkat sabar, Allah
mendengarkan doa-doa disetiap sentuhan dahiku saat
bersujud.
Perjuangan ini memang tidak mudah. Dengan segala
kekurangan dan keterbatasan akhirnya suamiku bisa berhasil
meraup suara meskipun boleh dibilang tidak terlalu banyak
tapi mencukupi. Ini adalah untuk pertama kali Mas Wily
mencalonkan sebagai anggota dewan. Padahal selama ini
beliau lebih senang dengan pembinaan dan pendampingan
masyarakat atau lebih tepatnya fasilitator desa.
Memang tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah
sudah berkehendak maka apapun bisa terjadi. Jika mengingat
semua airmata ini tak akan berhenti. Bagaimana tidak, banyak
hati yang harus dijaga, disaat peran sebagai kader partai
sering berbenturan dan bergesekan dengan kepentingan
pribadi. Bagaimana harus mengontrol rasa tak enak diri disaat
keputusan partai yang menjadi acuan harus ditaati.
11 | C J K P | N o v e l
Tidak mudah memang mengontrol sikap dan hati yang
berseberangan dengan keinginan partai. Namun dari sinilah
aku dan suami juga belajar lebih dewasa menyikapi setiap
permasalahan yang menjadi sarana pembelajaran terbaik hati
dan sikap agar lebih dewasa. Apapun masalah dalam partai
tidak harus dikonsumsi sebagai masalah pribadi. Partai
menjadi saranaku untuk belajar menjadi lebih bijak dan
dewasa dalam menyikapi masalah yang mungkin tidak sesuai
dengan ekspektasi pribadi.
Jujur saja, apa yang Mas Wily dapatkan hari ini boleh
dibilang bukanlah sebuah kemenangan tetapi justru ini
menjadi sarana yang harus dimanfaatkan untuk belajar dan
bergerak memberikan pencerdasan pendidikan politik pada
masyarakat. Masyarakat hari ini sudah dibiasakan dengan
pendidikan politik uang, sehingga apa yang dilakukan oleh
seorang caleg tanpa uang memang sulit sekali merangkul
dengan baik. Dalam pikiran apa yang mereka dapatkan
sebagai relawan maupun pemilih tanpa diberikan uang. Inilah
yang sudah mengakar bagi masyarakat.
Aku sangat sadar sebagai istri Mas Wily aku belum
maksimal melayani dan membantunya dalam perjuangan.
Tetapi di sepanjang doaku hanya Allah yang memberikan
kekuatan, agar Mas Wily sekalipun tidak duduk harus tetap
berbuat. Jikalau duduk maka tetap istiqomah untuk kebaikan
dan kemajuan daerah. Di sinilah peranku sebagai istri tetap
memberikan dukungan penuh untuk suami tercinta.
***
12 | C J K P | N o v e l
Bagian ke Lima
Intensitas Kebersamaan
Hari pelantikan pun tiba. Ada rasa gugup saat aku
memikirkan pakaian apa yang akan kukenakan. Maklumlah,
aku bukan perempuan pesolek, jadi tidak ada memiliki koleksi
pakaian dan aksesoris lainnya. lagi pula profesiku sebagai guru
membuatku harus tampil sederhana, setiap mengajar aku
cukup mengenakan seragam yang diberikan sekolah. Kalau
pun ada pakaian lain, itu pun hanya berbentuk gamis. Lalu,
mengapa tidak beli saja? Pasti ada pertanyaan seperti itu.
Nah, yang ini aku harus bicara jujur, semua uang terkuras
untuk pemilihan. Jadi kami memang hidup dalam keprihatinan.
Jangankan untuk membeli pakaian baru, untuk membayar
uang sekolah anak saja sudah keteteran. Apa boleh buat,
tekad sudah di-aamiin-kan. Jadi harus maju terus. Lagi pula
bagiku masalah pakaian bukanlah nomor wahid.
Akan tetapi aku bersyukur karena mempunyai seorang
sahabat yang pengertian. Rindiani, temanku yang berprofesi
sebagai dokter itu menawarkan baju dan sepatunya.
Sebenarnya aku malu, tetapi dia mendesak agar bersedia
menerima tawarannya. Apa boleh buat, aku terpaksa
menerima. Alhamdulillah ukurannya pas. Kebaya putih dibalut
selendang di bahu, ditambah dengan kain batik berwarna
coklat tua sebagai rok, dan jilbab berwarna cream. Tak hanya
itu, ada juga aksesoris yang serasi dengan warna batik.
Sepasang high heels sangat pas dipasangkan dengan tas
tangan mungil. Wow, aku merasa seperti ratu dan semua
orang memandang ke arahku. Mudah-mudahan Mas Wily
bangga dengan penampilanku.
13 | C J K P | N o v e l
Pelantikan berlangsung dengan hikmat. Aku merasakan
pancaran kebahagiaan di mata Mas Wily. Usai acara banyak
yang memberikan ucapan selamat. Tidak ketinggalan ibu-ibu
yang waktu itu merumpi. Ada Bu Nia, Bu Risma, Bu Dhesti, Bu
Tika, dan ibu-ibu lainnya.
“Selamat ya Bu Ais, suami Ibu sudah berhasil menjadi
wakil rakyat, semoga bisa amanah,” ucap Nia.
“Tahniah Bu Ais, akhirnya suami Ibu berhasil menjadi
wakil rakyat. Semoga mampu membawa perubahan.
Barakallah,” kata Bu Risma.
Semua doa dari kawan-kawan itu kami aamiin-kan
karena itulah harapan kami. Harapan agar bisa menjadi wakil
rakyat yang baik, yang sesuai dengan keinginan mereka.
Tidak perlu menunggu waktu lama, begitu usai
pelantikan, Mas Wily pun mulai menjalankan amanahnya. Apa
yang akan menjadi program-programnya semua sudah
disusun. Hari-harinya kini makin sibuk. Inilah sekarang kondisi
sebagai seorang istri anggota dewan, sering ditinggal.
Kebersamaan semakin berkurang karena padatnya jadwal
kunjungan beliau ke lapangan menemui para konstituennya.
Belum lagi interaksi yang terbatas, ditambah lagi ketiga buah
hatiku butuh perhatian besar dari seorang ayahnya yang
menjadi panutan anak-anak. Aku memang harus siap dengan
segala konsekuensi yang ada. Bukankah aku sudah berjanji
akan memberi dukungan penuh untuk Mas Wily? Ya, aku
harus selalu mengingat hal itu agar hatiku bisa tenang.
Awalnya sangat susah sekali, karena aku dan suami
senantiasa terbiasa bersama. Tetapi sekarang dengan berubah
drastis aku lebih sering sendiri bersama anak anak. Aktivitasku
yang padat sebagai seorang guru dan keterlibatan dalam
berbagai komunitas atau organisasi sosial dan perempuan
14 | C J K P | N o v e l
membuatku harus pintar berbagi dan tidak mengabaikan buah
hatiku.
Lamanya kondisi seperti ini yang ditinggal suami
bertugas akhirnya menjadi dilematis. Kerjaan dan urusan
rumah tangga juga sosial tak mampu kuhindarkan dari
berbagai gesekan dan benturan. Sertifikasi yang selama ini
banyak diidamkan oleh setiap guru, terpaksa aku tinggalkan
semua demi perkembangan anak-anakku. Suami hanya bisa
mengarahkan dan memberikan dukungan atas keputusanku
mengambil sikap tersebut. Kondisi hatiku pun tak mudah
kukontrol. Hatiku semakin lama semakin hampa jauh dari
suami.
Awalnya aku berusaha menikmati kondisi ini, tetapi
semakin lama semakin banyak godaan yang kurasakan. Aku
pun terkadang terlintas dalam benakku, apakah suamiku
mampu menjaga hatinya dari setiap mata yang bisa
menggodanya. Tidak hanya uang tapi kebutuhan biologis
seorang suami pun aku takutkan. Apalagi suamiku termasuk
sosok laki-laki yang sangat cool dengan wajah oriental yang
ditumbuhi bulu halus disetiap bagian wajahnya, semakin
menambah penampilannya sebagai laki-laki yang perkasa.
Tubuh yang atletis dan proporsional membuat suamiku
menjadi dambaan bagi wanita yang haus dengan penampilan
fisik dan uang. Apalagi saat ini sebagai anggota dewan tentu
menambah nilai lebih bagi setiap wanita yang ingin
mendekatinya. Semakin aku berusaha mengabaikan pikiran
nyeleneh tersebut, semakin masuk dalam alam bawah sadarku
akan ketakutan dan kekhawatiranku sebagai seorang istri yang
selalu ditinggal. Belum lagi pemberitaan tentang kelakuan
seorang wakil rakyat yang punya peluang besar untuk berbuat
tak senonoh jika sering ke luar kota.
15 | C J K P | N o v e l
Ada lagi yang membuatku lebih sedih adalah saat anak
ke dua kami mendapatkan prestasi sebagai juara umum dan
sekaligus saat itu adalah hari ulang tahunnya. Awalnya Mas
Wily bisa menghadiri karena jadwalnya kosong. Namun
menjelang satu hari penyerahan siswa berprestasi, Mas wily
akhirnya membatalkan karena tidak bisa meninggalkan
pertemuan yang akan diadakan di luar kota. Betapa
kecewanya anakku. Wajahnya langsung berubah saat suami
mengatakan tidak bisa menghadiri acara yang akan diadakan
di sekolahnya. Dia pun langsung masuk kamar tanpa
menghiraukan reaksi ayahnya. Aku hanya bisa menahan nafas
yang serasa makin sesak. Padahal acara itu juga salah satu
menjadi harapan anakku bisa bersama dengan ayahnya.
"Mas, apa tidak bisa ditinggalkan, untuk saat ini saja."
"Dek, Mas sudah jelaskan acara ini tidak bisa
diwakilkan. Inilah resiko Mas sebagai wakil dan amanat partai
harus dilaksanakan."
Aku hanya bisa tertunduk lesu, tanpa terasa airmataku
pun menetes. Andai saja Mas Wily tahu, bagaimana hancurnya
perasaan anaknya yang berharap. Ini menjadi momentum
baginya sebagai kebanggaan bahwa ayahnya seorang anggota
dewan yang hebat. Tetapi apalah dayaku yang tak bisa
menghentikan langkah Mas Wily.
"Sabar ya Dek, berikan kekuatan kepada anak kita.
Sampaikan salam sayangku padanya bahwa ayahnya
mencintainya."
“Andai saja aku bisa memilih, tentu menjadi istri
anggota dewan bukanlah suatu pilihan. Namun Allah sudah
menentukan langkahku untuk aku jalani,” aku membatin.
16 | C J K P | N o v e l
Bagian ke Enam
Hati yang Terabaikan
Aku masih juga belum bisa menerima kenyataan. Kian
hari permasalahan makin rumit. Selalu mencoba menjalaninya
dengan rasa syukur dan sabar. Lagi-lagi aku harus bisa
menerima semua ini adalah sebuah skenario Allah untuk kami.
Selesai satu masalah, muncul masalah lainnya. Kini
berhubungan dengan tim sukses yang dulu mendukung Mas
Wily saat pemilihan. Tentu ini akan jadi dilematika jika mereka
diabaikan. Pernah salah satu tim sukses butuh dana yang
mendesak. Jumlahnya tidak sedikit tetapi puluhan juta. Hal ini
kuketahui saat Mas Wily kedatangan tamu. Secara tidak
sengaja aku mendengar pembicaraan mereka.
"Pak Wily, bolehkah saya meminjam dana untuk
kebutuhan yang saat ini sangat mendesak," ucap Pak Rizal
tanpa basa basi.
"Butuh berapa Pak Rizal?"
"Dua puluh juta saja Pak Wil."
"Sebentar ya Pak. saya tanya dulu dengan istri. Pak
Rizal nanti saya hubungi segera," ucap suamiku sebelum
memberi persetujuan pinjaman.
"Baik Pak Wily. Saya berharap kemudahan diberikan
Pak Wil. Insya Allah akan saya kembalikan satu bulan setelah
ini."
"Baiklah Pak."
Pak Rizal pun mohon pamit segera, setelah
mengutarakan keinginannya kepada suami. Tidak terlalu lama
Mas Wily pun menghampiriku dan menyampaikan keinginan
Pak Rizal tersebut.
17 | C J K P | N o v e l
"Dek, apakah tadi mendengar percakapan Mas dengan
Pak Rizal?” tanya suami.
“Nggak Mas, memangnya ada apa?” tanyaku pura-pura
kaget.
"Itulah Dek yang ingin Mas sampaikan dengan Adek,
terkait kedatangan beliau. Tadi ia mengungkapkan ingin
meminjam dana sekitar dua puluh juta," ungkap mas Wily
sambil menjelaskan alasan Pak Rizal meminjam.
"Woow, dana yang besar Mas!" aku masih
memperlihatkan kekagetanku. "Mas yakin dia akan mampu
melunasi tepat waktu seperti yang dijanjikannya? Apakah Mas
nggak bisa menolak dengan memberikan alasan yang tepat
kepadanya?" kataku bertubi-tubi pada Mas Wily.
"Mas nggak bisa menolak permintaannya Dek! Adekkan
tahu bagaimana bantuannya untuk Mas saat pencalonan
ketika itu?"
"Hmmm, aku sudah menduga, Mas pasti tidak akan
mampu menolak setiap permintaannya. Padahal Mas tahu juga
kan, berapa banyak uang kita dengan teman-teman Mas yang
sampai hari ini belum mampu melunasi. Berapa banyak janji
yang mereka ucapkan sampai akhirnya Mas sendiri pun tidak
enak hati jika bertemu dengannya. Mana Rodi, Wita, dan
lainnya. Berapa uang kita harus terbenam dengan mereka.
Jika mereka tidak mampu membayar, tetapi mereka mampu
membeli sesuatu seperti tanah, mobil, dan lainnya. Kenapa
Mas masih saja mau meminjamkannya. Sementara kita sendiri
juga kekurangan?” Aku sudah tak sabar melihat loyalitas Mas
Wily terhadap tim suksesnya itu. "Mas, aku juga heran dengan
Mas. Kenapa Mas membiarkan semua, padahal keluarga kita
sangat membutuhkan itu semua?" desakku kepada Mas Wily.
18 | C J K P | N o v e l
"Dek, Mas malas berdebat denganmu sayang. Kali ini,
Mas mohon Adek bisa melakukannya."
Kulihat wajah Mas Wily dengan ekspresi serius. Jika
sudah seperti ini, aku pun tak bisa mengatakan tidak.
Meskipun dalam hatiku benar-benar berat melakukannya. Aku
sangat memahami bagaimana sifat suamiku itu jika sudah
mengatakan sesuatu ya harus kulakukan.
"Baiklah Mas, mudah-mudahan saja mereka bisa
menepati sesuai janjinya."
Aku pun memohon kepada Mas Wily ke luar rumah
menuju ATM untuk mengambil sesuai kebutuhan yang
disampaikannya. Ada rasa kesal saatku melangkahkan kaki
mengambil uang itu. Apalagi ada timses yang meminjam dana
besar, tetapi saat ditagih selalu tidak ada. Sementara
kebutuhan mewah terbeli oleh mereka. Bahkan ada salah satu
pengutang juga mencalonkan diri dengan partai yang sama,
tetapi hutangnya sampai saat ini tidak dibayar. Sudah
bertahun-tahun berlalu.
“Astagfirullahalaaziim,” aku hanya bisa menahan sesak
di dada jika sudah berhubungan dengan masalah uang.
***
19 | C J K P | N o v e l
Bagian ke Tujuh
Pesan di WhatsApp
Pagi ini, aku dan anak-anak pun kembali ditinggal oleh
Mas Wily. Baru kemarin petang beliau tiba dari Jakarta dan
baru juga beberapa jam kami menikmati kebersamaan.
Namun, pagi ini ia berpamitan karena harus segera berangkat
lagi ke sebuah lokasi yang akan mengadakan sebuah kegiatan
sosial.
“Mas, berangkat ya Sayang, hati-hati dan jaga anak-
anak kita ya,” kata Mas Wily sembari mengecup keningku.
“Ya Mas, hati-hati di jalan. Hati-hati juga dengan hati,”
jawabku menggoda Mas Wily.
Sebenarnya di balik kalimatku itu tersirat sebuah
kecemasan, apalagi kalau bukan rasa cemburu. Lama kutatap
kendaraan yang membawanya meninggalkan pekarangan
rumah. Suara khas dari gawai, membuyarkan lamunanku. Aku
segera sadar dan melirik jam di dinding, saatnya siap-siap
berangkat ke sekolah. Sebelum berangkat, kusempatkan
membuka sebuah pesan. Dari sekian banyak pesan aku
tertarik untuk membuka sebuah pesan berbentuk file yang
dikirim di grup sekolah. Tertera judul 'Pelatihan Bimbingan
Teknis Peningkatan Kompetensi Pembelajaran Guru Zonasi
untuk Guru SD/SMP'. Satu per satu mataku menelisik daftar,
apakah namaku ada tertera di sana atau tidak. Agak lama juga
karena selain tulisannya kecil, daftar nama peserta cukup
banyak. Akhirnya mataku tertuju pada sebuah nama yang
mirip namaku. Kubaca sekali lagi, karena bisa saja nama sama
tempat tugas beda. Aku perhatikan dengan saksama, ternyata
benar namaku. Kini mataku beralih ke lembaran berikutnya,
20 | C J K P | N o v e l
yaitu tentang informasi semua kebutuhan saat pelatihan.
Orang yang pertama kuhubungi tentu Mas Wily, karena aku
takkan bisa berangkat jika tak ada izin darinya. Aku pun
segera memberi kabar hanya melalui chat di WhatsApp saja
karena aku yakin pasti Mas Wily masih di jalan.
"Mas, jangan lupa dimakan ya sarapan yang Adek
bungkuskan tadi,” tulisku berbasa-basi memulai percakapan.
Benar, walaupun sudah menjadi anggota dewan, aku
masih selalu membekali suamiku dengan sarapan jika beliau
tidak sempat sarapan di rumah. Itu salah satu kiat agar Mas
Wily selalu mengingatku.
"Iya Sayang. Sudah Mas habiskan, barusan.”
Alangkah bahagianya aku, ternyata Mas Wily telah
menyantap roti yang kubuatkan khusus untuknya. Pasti saat
ini beliau sedang di parkiran. Memang itu kebiasaan Mas Wily
jika membawa sarapan dari rumah. Beliau akan menyantapnya
sebelum masuk kantor atau sebelum melangkah ke tempat
acara. Setelah kuyakin Mas Wily sudah selesai menyantap
sarapan, aku pun segera menyampaikan tentang isi WhatsApp
yang baru saja kubaca, tentang pelatihan. Aku ingin sekali
mengikutinya untuk menambah ilmu tentunya.
"Mas, alhamdullillah, nama Adek lulus sebagai peserta
bimtek untuk pelatihan di Jakarta selama satu minggu dari
tanggal 21-27 September 2019. Pelatihan akan dilaksanakan
di Hotel Passer Baroe Jakarta. Adek butuh izin Mas, bolehkan
Mas?"
Tak perlu menunggu lama, Mas Wily segera membalas
chat-ku, "Silakan Dek, jaga diri dan kesehatan."
Hanya jawaban singkat yang kuterima dari Mas Wily.
Ada perasaan tidak enak dan sesuatu yang akhirnya
21 | C J K P | N o v e l
terpikirkan. Tetapi aku pun tak berani membalasnya,
kemungkinan Mas Wily lagi sibuk.
22 | C J K P | N o v e l
Bagian ke Delapan
ZUNO
'Bukan kesendirian yang membuatku sedih, tetapi
menghilangnya arti sebuah kebersamaan yang selalu mencuri
hatiku'
Itulah perasaan yang mengganjal di hati saat ini
sehingga membuatku selalu ingin mencari kesibukan dengan
berbagai aktivitas. Tentu saja dengan harapan bisa melupakan
semua arti kesendirian. Saat Mas Wily harus ke luar kota, aku
pun harus mengikuti bimtek pendidikan. Bersyukur Mas Wily
mengizinkan walaupun slow respon saat kuberitahu. Ya, aku
maklum, Mas Wily pasti sibuk.
Ada perasaan tidak nyaman dengan kondisi ini semua
yang semakin lama intensitasku dengannya semakin
berkurang. Perhatian kepada anak-anak pun berimbas atas
padatnya jadwalnya ke luar kota. Ya sudahlah, inilah
konsekuensi dari keputusan yang sudah diambil.
Sebelum berangkat untuk mengikuti bimtek, akupun
segera menghubungi ibu untuk bisa menemani anak-anak di
rumah. Bersyukur rumah ibu dari tempatku hanya berjarak
sekitar enam kilo meter saja. Sebenarnya nggak enak hati
juga menyusahkan ibu terus. Setiap ada kegiatan selalu ibu
yang dilibatkan, tetapi mau gimana lagi, ibulah satu-satunya
yang bisa membantu di saat seperti ini. Mau dibawa ke lokasi
acara tidak mungkin. Mau dititip di tempat penitipan pun tidak
mungkin. Apalagi untuk Sheila yang baru dua setengah tahun.
Aku sadar, dengan menitipkan anak-anak aku sudah
23 | C J K P | N o v e l
merampas kebahagiaan ibu di masa tuanya. Semoga setelah
ini akan ada jalan lain yang Allah berikan untuk tidak lagi
merepotkan ibu.
Perjalananan ke lokasi lumayan memakan waktu.
Bayangkan, dari rumah menuju bandara saja empat jam.
Sebelum sampai bandara, aku kembali menghubungi Mas Wily
untuk memberi tahu bahwa aku sudah berangkat.
"Assalamualaikum, Adek sudah jalan menuju bandara.
Mas lagi sibuk, boleh Adek bicara sebentar?"
Wa'alaikumsalam. Iya Dek. Mas lagi acara. Hati-hati
saja di jalan, kabari kalau sudah sampai ya."
Begitulah jawaban Mas Wily tanpa basa-basi. Sampai-
sampai lupa menanyakan bagaimana kabarku dan kabar anak-
anak. Ia tidak tahu bagaimana aku harus mengantisipasi dulu
sebelum pergi agar kebutuhan anak-anak terpenuhi.
Kucoba membuang pikiran buruk dan hati yang
semakin runyam karena hubungan dengan Mas Wily semakin
hampa. Jangankan menanyakan kabar, membalas chat-ku pun
Mas Wily sepertinya tidak punya waktu.
Sepanjang perjalanan pikiranku bermain dengan
sendiri. Apakah di matanya, aku bukan lagi wanita yang
menarik dan butuh perhatian. Apakah cahaya dari wajahku
sudah pudar atau memang usia yang semakin menua
membuatku tidak lagi menarik di matanya. Meskipun usiaku
sudah beranjak memasuki 38 tahun tetapi fisik dan kulitku
masih bisa kujaga dengan baik. Pernah aku diet, justru
membuat aku tak bisa aktivitas secara maksimal. Yang ada
bawaan badanku lemas. Aku tetap makan seperti biasa, tetapi
kuiringi dengan olahraga yang rutin tiap minggu.
24 | C J K P | N o v e l
Hari pertama kegiatan membuatku semangat. Banyak
materi kegiatan yang membuka pikiran betapa pentingnya
menambah pengetahuan demi kemajuan pendidikan. Di sisi
lain, aku pun bisa banyak mengenal dan mendapat teman
baru dari berbagai daerah.
Dari sekian banyak peserta, ada satu yang menarik
perhatianku, yaitu seorang laki-laki yang bertubuh atletis. Dia
mengenalkan dirinya dengan sangat ramah.
"Zuno," katanya sembari mengulurkan tangan
kepadaku.
"Ais," akupun menyebutkan namaku.
Ah, aku tidak tahu mengapa saat itu pandangan kami
saling bertemu. Sumpah, tak ada kesengajaan untuk menatap
mata itu. Apakah ini yang namanya pandangan pertama?
Menyadari pandanganku padanya adalah sebuah kekeliruan,
maka segera ku alihkan walaupun ada sesuatu yang
membekas di hati. Ia tersenyum hingga terlihat susunan gigi
putihnya yang rapi, ditambah lagi dua buah lesung pipinya kiri
dan kanan membuat senyumannya semakin manis. Lebih
manis lagi dari rasa madu yang biasa kukonsumsi. Ia terlihat
sangat elegan dari kebanyakan laki-laki yang berprofesi
sebagai guru. Rambutnya yang tertata rapi dan alis mata yang
tebal, semakin menambah daftar kesempurnaannya di
mataku. Sesaat aku masih terdiam, tiba-tiba ia pun
membangunkan kesadaranku.
“Ais, boleh minta nomor teleponmu?”
“Boleh Zun,” balasku.
Tak lama setelah berbincang, aku pun
meninggalkannya karena kegiatan akan segera dimulai.
25 | C J K P | N o v e l
Pasca perkenalan, ia semakin aktif menghubungiku
melalui WhatApp. Awalnya bagiku biasa saja, hanya sekadar
diskusi. Namun akhinya aku merasakan berbeda dan merasa
nyaman setiap komunikasi dengannya. Hingga ia pun terbuka
denganku tentang keluarganya. Zuno, laki-laki Minang yang
satu provinsi denganku, hanya beda kabupaten saja.
Perawakannya yang tinggi besar dan rahangnya yang tegas
semakin mempertegas, ia memang laki-laki yang bisa
memberikan kebahagiaan fisik bagi setiap wanita yang
memang menyukai fisik laki-laki keren. Belum lagi lesung
pipinya akan menambah nilai lebih.
Di hari ketiga, saat ada bangku kosong di sebelahku.
Ia pun langsung menghubungiku melalui WhatApp.
Menanyakan kesediaanku. Jika boleh, ia mau duduk di
sebelahku. Aku pun mengiyakannya. Hingga jarakku
dengannya tanpa batas sedikitpun. Ada getaran hati yang tak
biasa kurasakan. Salah tingkah saat berada di dekatnya
memang tak bisa kuhindari. Ia selalu mencuri dan
memperhatikanku, saat mataku serius mengikuti kegiatan.
Sampai tiba waktu istirahat, ada banyak waktu luang untukku
dan Zuno bisa berbicara banyak. Entah apa yang membuatku
berani berbicara dan sedekat ini dengannya.
"Zun, tanpa terasa sudah tiga hari kita memasuki acara
ini. Tiga hari juga kita berkenalan," kataku memulai
pembicaraan.
"Hmmm, aku bahagia bisa mengenalmu dan duduk di
sebelahmu. Ternyata Ais merupakan wanita yang baik dan
ramah, cantik serta smart," ungkapnya memujiku.
Pujian Zuno membuatku tak berani menatap wajahnya.
Bagaikan terbang dan bertengger di singgasana emas
rasanya. Selintas terpikir andaikan saja bisa terus bersama... .
26 | C J K P | N o v e l
Namun belum sampai pikiranku jauh berkelana, sebuah
tepukan lembut di pundak dari Zuno menyadarkanku.
"Ais, jika malam ini ada waktu, aku ingin bisa bicara
banyak denganmu."
Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaannya.
Sebelum berpisah, ia hanya mengisyaratkan lewat
mata bahwa ia menyukaiku. Aku pun hanya bisa memberi
sinyal lewat senyuman. Rasanya, rasa yang kubangun
bersamanya seperti anak muda yang baru jatuh cinta. Ia pun
berlalu dalam pandangan setelah semua peserta satu per satu
meninggalkan tempat.
Indahnya bunga rose, tak seindah wajahmu yang
dihiasi bola matamu berwarna coklat. Langit bisa saja berubah
gelap, tetapi tidak dengan hatiku. Kehadiranmu membuat
warna hidupku semakin indah. Ais... andai saja rasa ini bisa
bertahan dan kau mau menerimanya, aku ingin setiap goresan
perjalanan hati yang kita bangun adalah mimpi yang akan kita
usahakan sempurna.
Pengagummu
Zuno
Kalimat mesra ini mengakhiri pertemuan kami dalam
WhatApp. Aku merasakan keromantisan hatinya. Namun, aku
hanya bisa membalas dengan emoticon hati dan senyuman.
Terserah pada Zuno bagaimana memaknai.
27 | C J K P | N o v e l
Bagian ke Sembilan
Dua Hati
'Wahai Edelweis di pegunungan, pernahkah kau tahu begitu
bermakna dan berharganya dirimu dibandingkan bunga
lainnya. Aku bahagia mengenalmu sebagaimana tanah tandus
yang telah membiarkan tubuhnya untukmu'
Tak ada putusnya Zuno mengirimkan kalimat-kalimat
puitisnya. Seperti pagi buta begini. Apakah dirinya tidak tidur,
apakah dirinya sepanjang malam memikirkanku? Entahlah,
yang pasti sepagi ini dia sudah bangun. Aku tak mampu
membalas kalimat indah itu, biarlah hanya emoticon wajah
penuh cinta yang mewakili kesukaanku. Aku tak pernah
menyangka pertemuan dengannya tanpa sengaja dalam
kegiatan, membuatku selalu memikirkannya. Setiap kalimat
dan kata-kata yang dituliskannya untukku tidak pernah
kuabaikan sedikitpun. Berbeda dengan kata-kata mas Wily,
bagiku hanya melepaskan kewajiban saja. Seakan ia sudah
tidak peduli lagi denganku. Ia semakin menjauh, sibuk dengan
pekerjaannya.
Dapat dibayangkan dalam satu sampai dua hari, ia bisa
tidak memberikan kabar denganku. Padahal aku
membutuhkan perhatiannya. Aku ingin tahu apa saja
kegiatannya. Namun setiap komunikasi yang ada justru aku
hanya 'kecewa'. Kata yang belakangan ini semakin akrab
denganku. Hingga akhirnya aku merasakan kekosongan hati
untuk bisa berkeluh-kesah dengan yang aku alami. Aku tidak
tahu harus bagaimana lagi menyikapi jiwaku yang kosong. Aku
28 | C J K P | N o v e l
butuh perhatian walaupun yang kuterima hanya kecewa.
Kuberikan perhatianku padanya tetapi yang kuterima hanya
kehampaan hingga akhirnya aku menjadi biasa tanpa kabar
lagi darinya. Aku tidak menampik bahwa kehadiran Zuno
sangat berpengaruh terhadap hilangnya rasa pada Mas Wily.
Aku menemukan apa yang kuinginkan, yaitu perhatian.
Kehadirannya telah mampu mengisi ruang kosong di sudut
hatiku. Hingga hati ini kini penuh dengan bunga-bunga.
Zuno, seorang laki-laki Minang, masih single yang
berprofesi sama denganku. Kehadirannya seakan
mengisyaratkan sebagai malaikat yang diutus Tuhan.
Meskipun usia Zuno terpaut lebih muda dua tahun dariku
tetapi kedewasaannya tak diragukan lagi. Ia pun tahu kondisi
dan posisiku saat ini yang masih berstatus sebagai istri orang.
Awalnya Zuno dan aku hanya menjadi teman sharing saja,
tetapi intensitas percakapan dan pertemuan yang semakin
sering membuat benih-benih hati semakin mengantarkan pada
harapan besar untuk bisa memiliki. Tidak bisa dihindarkan lagi,
perasaan ini memang sudah hadir untuknya. Mataku selalu
memperhatikan dan mengharapkannya, sekalipun hanya
sebuah pesan yang masuk melalui ponsel.
Seperti pagi ini, aku mencarinya di ruang makan, tetapi
aku tak menemukannya. Padahal aku berharap dia
menemuiku di sini. Hingga piringku kosong, ia belum muncul
juga. Gelisah, aku beranjak dari kursi, lalu celingukan. Mataku
pun menyapu semua ruangan. Tetapi tetap aku kecewa, aku
tak menemukannya. Keadaan ini membuatku putus asa.
Kenapa ia belum juga muncul. Ada apa?. Pikiranku melayang
memikirkannya. Di mana Zuno yang setiap saat selalu
bertemu di ruang makan denganku. Kutarik nafas dalam-
dalam, setiap tarikan hanyalah kekecewaan yang kurasakan.
29 | C J K P | N o v e l
Kemana dia? Itu saja yang ada di benakku saat ini hingga tak
sadar menubruk seseorang di belakangku.
"Maaf," kataku terburu-buru dan tanpa melihat siapa
orang yang kutabrak.
"Mau ke mana, Ais?"
"Zuno! kok baru datang?" aku bertanya penuh selidik.
"Maaf, Ais, aku tadi harus menyelesaikan tugas
sehingga tidak sempat melihat ponsel," dia menjelaskan
kondisinya.
"Iya Zun."
Kini senyum kembali mengembang di bibirku. Kutatap
Zuno dengan serius. Alis matanya yang tebal dan senyuman
dengan dua lesung pipinya membuatku semakin terpesona
dengan ketampanannya.
"Ais, kok senyum-senyum sendiri. Bagi-bagi dong kalau
lagi bahagia," candanya.
Pipiku seketika memerah dengan kata-kata yang
disampaikan oleh Zuno. Aku khawatir ia juga memperhatikan
dan tahu apa yang aku rasakan.
"Ais, ntar malam kita jalan ya, kebetulan aku bawa
mobil sendiri. Malam ini kita kan free. Mumpung ada waktu,
jadi kita bisa ngobrol banyak."
"Ok Zun, boleh bawa teman?"
"Ups, berdua aja kita Ais. Banyak hal yang ingin aku
diskusikan denganmu."
"Ok."
Aku langsung mengiyakan apa yang diinginkan oleh
Zuno. Sebenarnya baru kali ini juga aku mau jalan berdua
dengannya. Beberapa hari ini aku selalu ditemani dengan
Desta, teman satu kamar dalam kegiatan. Mungkin inilah
saatnya juga aku bisa serius berdiskusi dengan Zuno.
30 | C J K P | N o v e l
Bagian ke Sepuluh
Dinner
Menjelang maghrib aku sibuk mencari pakaian yang
akan kukenakan nanti bersama Zuno. Desta, teman
sekamarku memperhatikan apa yang kulakukan.
"Kayaknya mau jalan ya Ais?”
"Hehehe, iya Des, mau ikut?”
Desta hanya tersenyum kemudian menggeleng.
Perempuan Sunda itu begitu lembut, wajahnya juga cantik.
Sikapnya membuatku semakin mudah untuk akrab meskipun
hanya beberapa hari baru kenal.
"Ntar malam ada keluargaku yang akan datang.”
"O ya? tanyaku kaget. Ternyata Desta punya keluarga
di sini.
“Rencana mau ngenalin kamu ke mereka,” kata Desta
seperti kecewa.
"Maaf banget ya Des, kebetulan aku sudah buat janji
untuk acara malam ini. Mudahan saja untuk malam berikutnya
masih bisa bertemu dengan keluargamu," ucapku dengan raut
wajah menyesal.
"Iya Ais, hati-hati aja di jalannya. Salam buat
temanmu.”
„Insya Allah akan aku sampaikan Des. Salam juga buat
keluargamu ya. Sampaikan maafku yang belum bisa
menemuinya untuk silaturahmi."
Ponselku berbunyi, ternyata ada pesan masuk. Segera
ku buka notifikasi. Di pesan tersebut jelas tertulis Zuno.
"Sudah di mana Ais?, aku sudah di lobi."
"Baik Zuno, aku segera turun," balasku.
31 | C J K P | N o v e l
Serta-merta aku pun pamit dengan Desta untuk turun
duluan.
"Des, aku pamit dulu. Ia sudah menunggu di lobi.
Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, hati-hati di jalan," jawabnya.
Bergegas aku menemui Zuno yang sudah menunggu di
lobi. Kulihat ia duduk di deretan kursi berwarna merah dengan
hiasan bunga yang indah. Ia sibuk melihat ponselnya tanpa
memperhatikan bahwa aku sudah di dekatnya. Penampilannya
malam ini terkesan berbeda dari biasanya. Celana Levis
berwarna biru kuat sangat serasi dengan baju levis warna biru
muda. Aksesoris gelang kayu melingkar di sebelah
pergelangan tangan kanannya dan arloji Alexander Cristie (AC)
sebelah pergelangan tangan kiri. Di jari manisnya pun
melingkar cincin bermata delima dengan pengikatnya
berwarna kuning.
Malam ini penampilannya lebih rapi. Sepatu yang ia
gunakan pun lebih casual. Penampilannya semakin menambah
ketampanannya sebagai seorang laki-laki. Kuperhatikan lebih
detail setiap apa yang melekat di badannya. Bahkan aroma
wangian yang ia gunakan sangat lembut tetapi mampu
menembus hidungku. Aku suka aromanya.
"Zun,” sapaku saat tiba di depannya.
Ia pun kaget, karena sibuk dengan ponselnya.
Wajahnya kemudian tengadah, dan mata itu segera
menatapku dengan tajam. Memperhatikan dengan detil aku
yang berdiri di depannya. Pandangannya itu membuatku salah
tingkah. Aku hanya bisa tertunduk malu.
"Wooow!" kata itulah pertama yang keluar dari lisan
Zuno saat menatapku.
32 | C J K P | N o v e l
Aku berpikir apakah kata-kata “wow” itu menandakan
ada yang salah dengan penampilanku?
"Ais, dirimu begitu cantik malam ini. Anggun dengan
pakaian yang kau kenakan. Tidak salah aku menilaimu, kau
begitu pandai menyelaraskannya," pujian dari Zuno membuat
hatiku bagai bunga yang bermekaran di taman. Tidak
kusangka Zuno memperhatikan setiap pakaian yang aku
kenakan.
"Zun, jadikah kita berangkat?" aku mencoba
mengalihkan pembicaraan agar aku tidak salah tingkah
dengan pujiannya yang semakin membuatku ingin terbang.
"Jadilah Ais, tunggu di depan lobi saja ya. Aku ambil
mobil dulu di parkiran."
Sementara Zuno ke parkiran, pikiranku masih mencari-
cari apa yang akan kubicarakan nanti. Kuambil segera cermin
kecil dari dalam tas. Kuperhatikan keringat yang mengucur di
wajahku. Ada rasa nervous saat bersama Zuno. Lalu dengan
tangan yang agak gemetar aku menghapus setiap butiran
keringat itu.
Tit, tit. Aku yakin itu pasti klakson mobil Zuno.
Ternyata benar, sebuah mobil avanza putih tepat berhenti di
depan pintu lobi hotel. Zuno turun dan membukakan pintu
mobil untukku. Bagai seorang tuan putri yang dilayani.
Senyumku pun merekah dengan pelayanan yang dilakukan
Zuno untukku.
Sepanjang jalan aku hanya diam dan menjawab
seperlunya apa yang ditanyakan Zuno. Suasana terasa begitu
kaku, meski Zuno sudah mencoba mencairkan dengan
beberapa pertanyaan. Aku masih kikuk dengan kondisi kami
yang hanya berdua.
"Ais, kok kamu diam saja, ada yang salah denganku?”
33 | C J K P | N o v e l
"Nggak apa-apa Zun. Aku hanya malu kita pergi
berdua begini, padahal kita baru kenal," ucapku pelan.
"Oooo, aku kira ada yang salah dengan perlakuanku
terhadapmu."
"Tidak Zun." jawabku tanpa melihat ke arah dia.
"Btw kita ke mana nih Ais?" tanya Zuno.
"Rencanamu mau ke mana Zun?” aku balik bertanya.
"Kamu sudah makan Ais?"
"Belum Zun, kan tadi nggak turun untuk makan."
"Ya sudah, kalau begitu kita makan dulu, kemudian
baru kita ngobrol panjangnya. Mau menu apa Ais?"
"Aku ngikut aja Zun."
"Ok dech, kita cari seafood saja ya."
Ketika sampai di lokasi, Zuno kembali membukakan
pintu mobil untukku.
"Silakan turun tuan putri!" Zuno berkelakar bagai
seorang pelayan yang melayani majikannya.
Aku hanya tersenyum bahagia sambil menatap mata
Zuno dan wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
Kuperhatikan sesaat kafe yang kami tuju.
Pengunjugnya cukup ramai. Sebuah papan berukuran tiga kali
satu meter bertulis “Kafe Kampoeng Kita” terpampang di pintu
masuk. Di bagian kiri dan kanan pintu bergantungan bunga
anggrek warna ungu dan putih yang ditata dalam jambangan
rotan. Beberapa sudut bagian dalam kafe dihiasi juga dengan
bunga pakis alami berwarna hijau. Hmm, sungguh sebuah
tempat bersantap yang nyaman. Kami pun segera mengambil
tempat duduk di bagian sudut. Sebuah meja kayu bulat
dengan hiasan anggrek ungu di atasnya. Suasana makin
sahdu ketika sayup-sayup terdengar instrumen My Heart Will
Go On-nya Celine Dion.
34 | C J K P | N o v e l
Kafe yang mengangkat tema nuansa kampung ini
terbuat dari bambu, atapnya dari daun rumbia, dan alasnya
juga semua dari bambu yang disusun. Piring dan aksesoris
lainnya juga bernuansa kampung. Meskipun begitu, menu
yang disajikan beragam, ada menu lokal dan nasional.
"Ais, pesan apa?" Zuno mengagetkanku yang masih
terkesima.
Aku segera mengambil kertas pesanan dan menuliskan
menu yang diinginkan. Zuno hanya pesan kepiting blackpaper
dan ice lemon tea. Sementara aku memesan strawberry
smoothy, udang saos padang, capcay, cumi masak tepung,
dan 1 botol air mineral.
Pramusaji pun segera mengambil kertas pesanan kami,
“Tunggu sekitar 20 menit ya Mbak."
Kuperhatikan Zuno sangat lahap menyantap menu
yang dipilihnya. Sadar dirinya kuperhatikan, dia pun menatap.
Tatapan kami saling bertemu. Kulihat tatapan yang begitu
dalam dari matanya. Aku tak kuat, segera kualihkan
pandanganku pada makanan yang tadi kupesan. Rasa
terhadap Zuno makin membesar. Rasa ini dulu pernah
kurasakan saat bersama Mas Wily. Namun sayangnya mas
Wily makin menjauh sejak dirinya sibuk sebagai anggota
dewan. Jangankan untuk menelepon, membalas chat-ku saja
dia tidak sempat hingga aku pun tidak begitu memikirkannya
lagi.
Sudah lama rasa kesendirian dan kekosongan ini
kutahan. Ingin bercerita dengannya tetapi tidak ada respon
dengan alasan klasik “sibuk”. Rumah pun baginya hanya
sebagai dermaga persinggahan. Setelah itu semua waktunya
dihabiskan untuk lautan lepas. Di saat seperti ini, aku tidak
hanya butuh sosoknya saja. Namun kuinginkan adalah kabar
35 | C J K P | N o v e l
dan perhatiannya. Ini jugalah alasan mengapa Zuno bisa hadir
memberi ruang tersendiri untukku. Ia dengan sabar
mendengarkan ceritaku. Selalu memberikan perhatian
meskipun hanya menanyakan kabar. Perasaanku pada lelaki
berbintang Virgo itu pun semakin membesar. Benih-benih itu
kian bersemi bak mekarnya cendawan di musim hujan. Tidak
ada yang terlewatkan bersamanya. Hari-hariku diisi dengan
kedekatanku dengannya. Seperti malam ini, kedekatanku
dengannya tidak lagi berjarak. Dinner berdua yang memang
menjadi impian setiap wanita. Suasana romantis sangat
terasa. Tidak hanya cahaya yang temaram dengan lilin-lilin
yang sengaja disetting oleh pihak hotel, tetapi juga iringan
musik pengiring membawaku pada puncak kebahagiaan.
Saat asiknya menikmati suasana romantis itu, ponselku
pun berdering. Pada layar jelas tertulis my husband. Hanya
kupandang saja. Tak sedikit pun niat untuk menerima. Hanya
dalam hati bertanya mengapa Mas Wily menelepon. Apakah
ada sesuatu yang urgen, sehingga ia menelepon terus-
menerus? Ini adalah panggilan ke empat. Aku mulai cemas,
jangan-angan telah terjadi sesuatu pada anak-anakku atau
pada ibu, atau pada Mas Wily sendiri.
"Ais, kok tidak diangkat telponnya, mana tahu ada
yang penting," Zuno mengingatkanku.
"Hanya teman yang telpon Zun. Nanti saja akan saya
telepon balik."
Ya Allah, aku sudah berbohong untuk menjaga hati
orang yang baru kukenal. Ada rasa bersalah yang kurasakan.
Akhirnya dinner kami hanya kulewati dengan memikirkan Mas
Wily.
36 | C J K P | N o v e l
"Ais, ada apa? Aku perhatikan sepertinya ada yang lagi
dipikirkan. Jika ada yang telepon, angkat saja. Mana tahu itu
hal penting dan mendesak," kalimatnya masih sama agar aku
menerima telepon itu.
Aku hanya membalas dengan senyuman seolah-olah
tidak ada sesuatu yang penting. Dalam kondisi seperti ini aku
berada di posisi yang gundah. Pikiranku tak fokus dengan
yang dibicarakan. Tiba-tiba ponselku berdering kembali,
sebuah pesan masuk via wa. Lagi-lagi notifikasi memberiku
informasi bahwa yang mengirimkan pesan itu my husband.
"Apa kabar Dek? Bagaimana kabar anak-anak?.
Maafkan mas."
Tidak seperti biasanya. Ia meminta maaf dan
menanyakan kabar anak-anak. Perasaanku pun kian
berkecamuk antara dua hati. Antara Mas Wily yang makin
menjauh dan Zuno yang hadir mengisi kekosongan. Namun
aku tidak bisa mengabaikan rasa bahagia bersama Zuno. Dia
telah memberiku bulir-bulir kebahagiaan yang kuinginkan. Di
saat yang sama aku juga memikirkan anak-anak yang saat ini
memang terabaikan oleh ayahnya. Aku harus selalu
berbohong kepada si bungsu setiap kali dia bertanya
keberadaan ayahnya. Entah bagaimana aku harus bersikap di
antara dua hati yang saling terkait. Gundah gulana itu pun
hadir bersamaan. Satu di antara dua memberi makna yang
berbeda. Aku seakan tidak mau melepaskan keduanya. Tetapi
aku juga sadar apa yang kulakukan salah. Pesan dari mas Wily
pun ku abaikan hingga akhirnya aku lebih banyak diam ketika
Zuno bercerita.
"Ais, apa kamu sakit?"
37 | C J K P | N o v e l
"Ti.. ti.. tidak," jawabku gugup.
"Kuingin tahu Ais, bagaimana perasaanmu
terhadapku?" Zuno mulai bicara serius.
"Maksudmu Zuno?" tanyaku berpura-pura tidak
mengerti.
"Aku mencintaimu Ais, sangat mencintaimu. Aku ingin
serius denganmu. Maukah kau menjadi istriku?"
Nyaris aku tersedak, gelas yang kupegang hampir
terlepas. Pertanyaan Zuno bagai petir di siang bolong. Tak
pernah kusangka dan tiba-tiba.
"Kamu tidak apa-apa, Ais? Apa ada yang salah dengan
pertanyaanku? Maafkan aku, Ais." katanya dengan wajah
memelas.
Permintaan maaf Zuno semakin membuatku merasa
bersalah. Aku hanya diam dan tidak mampu menatap
wajahnya yang penuh harap.
"Ais, apa jawabanmu?"
"Maafkan aku Zuno. Untuk saat ini aku belum bisa
memberikan jawaban yang kau minta. Berikan aku waktu
untuk berpikir terlebih dahulu. Tetapi jika kau tanya
perasaanku padamu, kau tentu telah tahu jawabnya."
"Baiklah Ais, aku tidak memaksamu untuk menjawab
saat ini tetapi aku akan menunggu jawabanmu secepatnya."
Kutatap wajah Zuno. Mata itu menatap tajam. Tiba-tiba saja
tangannya yang kekar itu menyentuh jemariku lalu
menggenggamnya. Ada desiran mengalir lembut, entah apa
namanya. Yang kutahu desiran ini dulu pernah kurasakan
tetapi bukan dengan Zuno.
38 | C J K P | N o v e l
“Ais, maafkan aku."
Aku sadar apa yang kulakukan salah, maka segera
kutepis tangan itu.
"Zun, yuk, kita kembali ke hotel. Sekarang sudah pukul
sepuluh, sudah malam, nggak enak nanti sama Desta,"
alasanku untuk mengalihkan pertanyaannya.
"Baiklah Ais, kamu tunggu di sini ya, aku ambil mobil
dulu!"
Seperti biasa Zuno pun langsung membuka pintu
mempersilakan aku masuk. Dalam perjalanan suasana terasa
kaku karena ada beberapa yang tak mampu kusembunyikan.
39 | C J K P | N o v e l