The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by liluyohan, 2022-10-04 02:57:50

GABUNGAN CERPEN 9D KEL 3 PDF

GABUNGAN CERPEN 9D KEL 3 PDF

COVER

1

HALAMAN PRANCIS

2

HAK CIPTA

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Penulis: Minahu Saniyah, dkk.
Ilustrasi: Almayira Siti Az Zahra dan Alisya Salsabila Putri
Layout: Tsaqila Alicia Nandys dan Minahu Saniyah
Editor: Jihan Hasna Hamidah dan Kinaya Marcha Sastaviana Sumitra
Cover: Annisa Keisha Tama
Daftar Isi dan Kata Pengantar: Kevin Narendra Ananta Putra dan Muhammad
Ichsan Maulida

i

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat limpahan kenikmatan
dan karunia-Nyalah, kami dapat menyelesaikan penulisan buku Antologi Cerpen ini baik.
Namun sebagai manusia biasa, penulis tidak luput dari kesalahan baik dari segi teknik penulisan
maupun tata bahasa. Dalam menulis Antologi Cerpen ini, kami sadar bahwa kami tidak akan
bisa menyelesaikannya tanpa ada bantuan dan arahan dari guru-guru pembimbing. Untuk itu
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak dan ibu guru tercinta yang berperan
dalam pembuatan buku ini.

Antologi Cerpen ini berisikan kumpulan karya siswa yang diketik dalam wujud cerita
pendek yang bertemakan “Kebudayaan Banten”. Antologi ini ditulis oleh para peserta didik
yang duduk di kelas IX SMPIT Raudhatul Jannah, lebih tepatnya siswa kelas 9D kelompok 3.
Kiranya buku ini dapat membangkitkan minat membaca siswa-siswi dan menjadi sebuah
sumber inspirasi bagi pembacanya.

Demikian, semoga karya tulis ini dapat memberikan banyak manfaat dan menambah
wawasan bagi para pembaca buku ini.

Penyusun
Kevin Narendra Ananta Putra

ii

DAFTAR ISI

Hak Cipta ............................................................................................................. i

Kata Pengantar ................................................................................................... ii

Daftar isi .............................................................................................................. iii

Sejuta Makna .................................................................................... 1

Annisa Keisha Tama

Pertunjukan Debus.......................................................................... 7

Muhammad Ichsan Maulida

Lembaran Surat Untuknya ............................................................. 10

Almayira Siti Az Zahra

Tabuhan Senja .................................................................................. 19

Minahu Saniyah

Awal dari Persahabatan Sejati ...................................................... 24

Kevin Narendra Ananta Putra

Sepotong Kain Perca ....................................................................... 30

Tsaqila Alicia Nandys

Aku dan Tarian Banten................................................................... 37

Jihan Hasna Hamidah

Pentingnya Saling Menghargai..................................................... 45

Kinaya Marcha Sastaviana Sumitra

Kenangan Cita Rasa......................................................................... 54

Alisya Salsabila Putri

Biodata ............................................................................................... 61

iii

Sejuta Makna

Annisa Keisha Tama

Matahari menyambar hingga menembus jendela kamar seorang gadis berwajah bak
keturunan negara bagian barat, yang terlelap di ranjangnya. Mata serta rambut nya berwarna
kecoklatan. Tubuhnya diselimuti oleh benda putih berukuran panjang dan lebar yang selalu
membuat ia hangat. Zeanne Callista, nama yang indah dan layak untuk gadis sepertinya. Ia
Mahasiswi semester akhir Fakultas Kesehatan Masyarakat pada salah satu universitas negeri di
Ibu Kota. Ia biasa dipanggil dengan Zea.

“Kringgg...Kringgg...Kringgg,” jam weker berwarna putih kusam menggema seakan
berteriak membangunkan tidur nyenyaknya. Suara itu terus mengusiknya, membuat Zea
terbangun dari alam bawah sadar.

“Berisik banget sih,” keluhnya sembari melihat jarum jam pengganggu itu.
“Duh, udah jam 8?” Tanya nya dan terkejut.
Zea pun bersiap-siap menuju kampus dengan tergesa-gesa. Ia bergegas membersihkan
dirinya lalu berangkat ke kampus. Sesampainya di kampus, disana terlihat sangat sunyi. Ya,
semua orang sedang berada di gedung fakultas masing-masing.
*Gedung Fakultas Kesehatan Masyarakat*
“Permisi pak, maaf saya terlambat,” terang gadis itu kepada seorang dosen laki-laki, pak
Ammar.
“Kenapa kamu jam segini baru datang?” tanya pak Ammar sembari menatap heran.
“Maaf pak, saya kesiangan,” jelas Zea.
Seorang laki-laki tua berkacamata itu menyulurkan tangannya ke arah bangku kosong,
menyuruh Zea untuk duduk. Selanjutnya beliau membahas mengenai materi fakultasnya.
Selang beberapa jam, jam mata kuliahnya selesai. Ia pun merapihkan buku.

1

“Eh Zee, lo udah siapin apa aja untuk KKN nanti?” tanya seseorang sembari menepuk
pundak Zea.

“Ya ampun Cle, lo tuh kebiasaan kalo dateng kalem dikit kenapa, kaget nih gue. Gue sih
udah siapin beberapa materi tapi baru rencana.”

“Yaelah Ze biasanya gue juga begitu, yaudah gue minta maaf. Ngomong-ngomong lo
rajin juga ya, semoga gue sekelompok sama lo deh. Hehehe.”

Cleo Anastasya, itulah nama gadis mengejutkan itu. Ia adalah sahabat Zea saat SMA
hingga sekarang. Ia selalu membuatnya tertawa walau terkadang menyebalkan. Cleo
merupakan mahasiswi Fakultas Kedokteran pada universitas yang sama. Walaupun berbeda
fakultas, mereka tetap menjalani hubungan yang sangat baik.

Siang hari yang begitu menyengat. Panasnya seakan menembus hingga ubun-ubun.
Tetapi Zea masih harus melanjutkan mata kuliahnya.

“Selamat siang anak-anak,” pak Ammar berdiri di depan ruang kelas

“Siang pak!” jawab mahasiswa dan mahasiswi serentak

“Saya ingin memberi tahu bahwa kelompok KKN kalian sudah ada daftarnya, dan akan
saya sebutkan. Kelompok 1, yaitu ……,…..,….., Zeanne Callista, Cleo Anastasya, Ghazel
Baskara, …..,….,. Untuk kelompok ini kalian tempat KKNnya, yaitu Desa Baduy,” pak Ammar
menginformasikan terkait kegiatan KKN.

Desa Baduy, tempat KKN Zea dan rekan kelompok nantinya. Gadis bermata
kecokelatan itu sangat tertarik dengan desanya. Ia pernah mendengar tentang desa tersebut
yang masih memegang teguh aturan adat.

Hari-hari telah berlalu dan tibalah hari dimana Zea menjalani Kuliah Kerja Nyata
(KKN). Ia sangat bersemangat ingin berinteraksi dengan penduduk asli suku tersebut.

“Kringgg…kringgg…kringg,” suara jam pengganggu itu kembali berteriak
membangunkan gadis berambut hitam kecoklatan itu.

Ia menggeliat sembari melihat jarum jam, syukurlah hari ini ia tidak terlambat. Zea pun
bersiap-siap karena hari ini adalah hari pertama ia KKN (Kuliah Kerja Nyata). Ia berkumpul di

2

depan gedung fakultasnya bersama rekan kelompok. Setelah semuanya berkumpul, mereka pun
berangkat menggunakan bus.

Setelah beberapa jam, tibalah mereka di Desa Baduy tersebut. Disana mereka disambut
oleh Kepala Desa serta beberapa penduduk setempat. Tentunya, Zea dan kawan-kawan satu
kelompok memperkenalkan diri. Begitupun sebaliknya dengan penduduk disana. Zea dan rekan-
rekannya juga memberitahu maksud dan tujuan mereka. Selanjutnya, kepala desa setempat juga
menuturkan beberapa peraturan yang pastinya tidak boleh dilanggar oleh Zea dan rekan
kelompoknya.

Kemudian, mereka ditemani Kepala Desa ke sebuah rumah dengan model rumah
panggung, sehingga bagian bawah tak menyentuh permukaan tanah, yang berada di dekat
sungai. Rumah tersebut adalah tempat Zea dan kawan-kawan tinggali selama KKN disana.
Lalu, mereka pun beristirahat karena besok harus memulai KKN, yaitu penyuluhan mengenai
kesehatan. Mereka juga berdiskusi membuat materi untuk penyuluhan selama KKN
berlangsung.

***

Paginya, terdengar suara kicauan burung yang saling bersahutan. Samar-samar juga ia
mendengar seperti seseorang berteriak di telinganya. Suara itu terus berulang membuatnya
terbangun.

“Siapa si yang pagi-pagi teriak? Ooh jadi lo Cle yang teriak-teriak daritadi di telinga
gue? Ngapain si lo teriak-teriak?” tanya Zea dengan mendengus kesal.

“Eh gue tuh bangunin lo dari tadi. Tapi lo tuh tidurnya nyenyak banget gak bangun-
bangun. Coba lo liat tuh diluar udah terang,” jelas Cleo.

Rupanya Cleo yang mengusik tidur nyenyak Zea, ia ternyata berniat untuk
membangunkan Zea karena sudah pagi. Oleh karena itu, Zea pun langsung bergegas untuk
mandi di sungai dekat rumah yang ia dan kawan-kawannya tinggali. Setelah selesai mandi, ia
kembali ke rumah untuk bersiap-siap menuju tempat yang akan dilakukan penyuluhan olehnya
dan kawan-kawan.

Selama diperjalanan ia melihat penduduk sedang melakukan berbagai aktivitas. Ada
yang sedang bertani, menumbuk padi, mencuci baju dan aktivitas lainnya. Sedikit tentang suku

3

Baduy dalam yang masih memegang teguh adat, disana mereka pantang akan teknologi. Zea
juga menyadari sesuatu, masyarakat suku Baduy tidak mengenakan alas kaki. Selain itu,
masyarakat Baduy dalam juga tidak diperbolehkan mandi dan mencuci baju menggunakan
sabun atau bahan kimia lainnya.

Beberapa menit kemudian, Zea dan kawan-kawan sampai di tempat yang akan dilakukan
penyuluhan. Mereka mulai merapikan dan membersihkan sebuah rumah yang sudah disediakan
masyarakat untuk digunakan. Selang beberapa menit, masyarakat pun mulai berdatangan. Ya,
karena kemarin mereka meminta tolong kepada kepala desa untuk menyampaikan adanya hal
ini kepada masyarakat. Zea dan kawan-kawan pun mulai menyampaikan tentang materi yang
mereka diskusikan kemarin.

Saat materi telah disampaikan, Zea dan kawan-kawan berterima kasih kepada penduduk
karena sudah hadir untuk penyuluhan ini. Mereka pun kembali pulang ke rumah untuk
beristirahat.

Hari demi hari mereka jalani KKN dengan lancar. Sampai suatu hari, Ghazel sedang
berkeliling menikmati suasana desa baduy tersebut yang masih terjaga sekali keasriannya. Saat
sedang berkeliling, ia menemui sebuah hutan yang sepertinya disakralkan karena terdapat
sebuah tulisan yang menyatakan bahwa tempat tersebut disakralkan. Ia juga sebenarnya
mengetahui jika ingin memasuki suatu tempat harus meminta izin terlebih dahulu. Tetapi,
karena rasa penasaran yang tinggi, Ghazel memasuki hutan yang disakralkan tersebut tanpa
meminta izin.

Saat sedang melihat-lihat apa yang ada di dalam sana, tiba-tiba ada tangan yang
mendekap mulutnya oleh seseorang dari belakang. Ghazel memberontak sekuat tenaga.
Namun, sayangnya ia pingsan terkapar lemas ditangan seseorang yang mendekapnya.

Terdengar suara-suara yang ramai disekitar laki-laki muda yang terkapar lemas di
sebuah kasur. Tercium bau yang menyengat di hidung lelaki itu. Ia seperti mengigau hingga
akhirnya terbangun, Ghazel. Saat terbangun, ia terkejut karena dikelilingi oleh beberapa lelaki
berperawakan tua maupun muda.

“Saha anjeun?” tanya salah satu lelaki berperawakan tua itu.

“S… saya tidak mengerti,” jawab Ghazel dengan ragu.

4

“Kamu siapa?”

“Saya mahasiswa yang sedang KKN disini pak.”

“Kenapa kamu berada di hutan larangan itu? ada maksud apa kamu?”

“Saya di sana sedang berkeliling saja.”

Pada saat yang bersamaan, Zea dan Cleo sedang berkeliling juga di desa itu. Tetapi,
sebelumnya mereka sudah meminta izin terlebih dahulu. Selama perjalanan menuju rumah yang
mereka tinggali, mereka melihat beberapa orang sedang mengrumuni rumah kepala desa
setempat. Rasa penasaran yang tinggi, mereka pun menanyakan hal itu kepada salah satu lelaki.
Ternyata di rumah kepala desa itu ada seorang mahasiswa yang sedang KKN disini. Namun,
lelaki itu melanggar salah satu peraturan di suku baduy.

Zea meminta izin untuk melihat siapa mahasiswa itu. Apakah ia satu kelompok
dengannya? Setelah diizinkan, ia pun masuk ke dalam rumah itu. Betapa terkejutnya Zea karena
mahasiswa itu adalah Ghazel.

“Apakah kamu sudah meminta izin sebelumnya untuk memasuki hutan larangan itu?”
tanya kepala desa.

“Belum pak. saya meminta maaf,” Ghazel menyatukan kedua tangannya sembari
menunduk dihadapan kepala desa serta penduduk.

Melihat percakapan itu Zea ingin menjelaskan kepada kepala desa bahwa Ghazel adalah
rekan KKNnya.

“Punten pak, ini adalah teman KKN saya. Sebelumnya ini ada apa ya pak?” tanya Zea
pada Kepala Desa

Kepala Desa pun menjelaskan kepada Zea apa yang telah terjadi. Zea selaku rekan
kelompok KKN nya Ghazel merasa tidak enak akan kejadian itu. Ia pun berminta maaf kepada
kepala desa serta penduduk karena temannya tidak meminta izin terlebih dahulu. Begitupun
sang kepala desa serta penduduk karena sudah menduga bahwa temannya ingin merusak hutan
yang disakralkan itu. Penduduk disana sangat menjaga tempat atau hutan yang disakralkan dan
dilindungi. Oleh karena itu, jika ada orang lain memasuki kawasan yang disakralkan itu tanpa
meminta izin, penduduk setempat akan bertindak.

5

Akhirnya masalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Minggu bertemu minggu Zea dan
kawan-kawannya menjalani KKN dengan sangat lancar. Tidak ada lagi yang masalah di desa
tersebut hingga masa KKN selesai. Mereka pun kembali lagi ke kota asalnya. Desa Baduy,
banyak pelajaran yang dapat diambil hikmahnya. Zea berharap suatu saat ia dapat
mengunjunginya lagi.

***

6

Pertunjukan Debus

Muhammad Ichsan Maulida

Namaku Arya, seorang laki-laki punya mimpi yang besar, satu hal yang membuatku
termotivasi untuk menjadi ahli debus karena aku kesal melihat orang-orang disekitarku, disakiti
tanpa belas kasih dari kekejaman orang yang tak mereka kenal, mereka tak punya keahlian
dalam bela diri. Mereka hanya bisa berdoa semoga Tuhan menolong mereka. Namun apa daya,
kita haruslah punya benteng dalam diri agar selalu aman.

Aku lahir dari keluarga berada, alhamdulillah semuanya lengkap ada Mama dan Ayah
yang senantiasa mendidik dan mendukungku hingga aku berani dan menjadi diriku sendiri,
hingga pada suatu hari aku menemukan jati diri ku, secerah cahaya menuju jalan impianku.

“Hoam...” mataku terasa segar setelah tidur. Aku pun langsung mandi, saat itu aku
sedang memikirkan ekskul apa yang akan ku ikuti di sekolah, “Hmm, gimana kalo debus
kayaknya bakal seru, katanya berbahaya tapi, gak salah kan untuk dicoba dulu,” gumamku
dalam hati. Setelah mandi akupun memakai seragam.

Saat aku mau turun ke ruang tamu, aku melihat ada Debt collector yang sedang
menggedor-gedor pintu, lalu aku memanggil Ayah dan Mamaku, ternyata Ayah dan Mamaku
memiliki utang yang lumayan banyak.

Setelah itu aku nyalakan motorku dan saat aku melewati gang, aku melihat ada
seseorang sedang dipukuli, dengan hati-hati, aku memperhatikan apa yang terjadi ternyata
orang itu dipukuli karena ia dipaksa untuk mengeluarkan uang yang ia miliki.

Aku sebenarnya ingin membantu, tapi aku tak punya keahlian dalam membela diri.
Dengan sedikit keberanian, ku hampiri orang tersebut dan menyuruh mereka untuk pergi
dengan memberi mereka beberapa lembar uang. Setelah itu ku ajak orang yang habis dipukuli
itu, dan memberikannya air minum.

Setelah itu, aku kembali menaiki motorku dan pergi menuju sekolah, sesampainya di
sekolah aku langsung pergi ke kelas dan saat itu pula bel berbunyi yang menandakan pelajaran
telah dimulai. Dikelas aku melihat banyak orang yang sedang membahas apa yang akan mereka
ikuti untuk kegiatan ekskul sekolah.

7

Saat jam istirahat, aku keluar kelas dan keliling sekolah untuk melihat stand ekskul
debus yang berasal dari daerah Banten, aku pergi ke sana dan ada orang yang memberikanku
selembar kertas formulir pendaftaran dan ia berkata “Namaku Farel, kalo kamu mau tanya
tentang ekskul debus silahkan.” katanya dengan ramah.

“Emang debus berbahaya ya?” kataku.

“Memang sih kita selalu menampilkan dengan menggunakan benda tajam dalam
memperlihatkan debus pada orang-orang, Sebenarnya tidak seram kok,” katanya.

“Makasih penjelasannya, aku pergi dulu.”

“Batas waktu pengumpulannya besok ya, oh iya nama kamu siapa.”

“Arya.”

Setelah itu aku kembali ke kelas, dan setelah jam pelajaran berakhir, aku bersiap-siap
untuk pulang, saat aku mau jalan tiba-tiba ada Farel yang mengajakku untuk berkenalan
dengan temannya.

Dia juga bilang kalau temannya sudah sering mengikuti lomba debus tingkat nasional.
Dan sedang mencari anak dari sekolah untuk diwakilkan dalam kompetisi debus nasional bulan
depan. Dengan semangat aku menuruti ajakannya. Setelah itu aku dikenali oleh Farel dengan
temannya bernama Abid, Abid anak yang cuek dan tampan, namun setelah kami cukup
mengenal satu sama lain, aku jadi mengerti sifatnya.

“Ohh, jadi Arya kamu berminat sekali ya, diseni bela diri debus? Kalo begitu bagaimana
kalo kamu aku latih setiap dua hari sekali, di lapangan belakang dekat rumahku, kamu juga ikut
ekskul debus kan? Jadi pastinya bakalan makin optimal lagi latihannya,” kata Abid.

“Makasih ya Abid, aku jadi semangat buat latihannya,” kataku.

Setelah pertemuan dan latihan, aku langsung pulang kerumah, dan menceritakan
semuanya pada Ayah dan Mama, mereka setuju dan mendukungku. Namun ada rasa takut
mengecewakan mereka. Jadi aku latihan lebih keras lagi bersama Abid.

Hingga akhirnya pada saat itu waktu terlewati, dan tak terasa sudah sebulan aku
mempelajari ilmu seni bela diri debus. Akupun memberanikan diri untuk mengajukan mengikuti
kompetisi debus, mewakilkan nama sekolah diajang kompetisi debus nasional se Indonesia.

8

Sesaat sebelum perlombaan dimulai, aku ragu. Dan aku berkata pada Mama.
“Ma, doain Arya semoga bisa juara dikompetisi debus ini.”
“Iya nak, semoga kamu bisa juara dikompetisi ini.”
Setelah itu aku pergi bertanding. Pada akhirnya aku bisa memenangkan kompetisi
debus.
“Aku juara,” kataku sambil mengangkat piala serta medali dan sertifikat yang bernilai
700juta rupiah. Lalu akupun langsung memeluk kedua orang tua ku.
Lalu aku berkata pada Ayahku.
“Yah, ini sertifikat berisi uang tunai buat Ayah untuk melunasi utang Ayah.”
Ayah pun langsung menangis dan memelukku, ia berkata “Nak... makasih banyak, tanpa
kamu, Ayah dan Mama tidak bisa apa-apa, maafin Ayah nak yang sudah membebani kamu dan
kamu harus bekerja keras sampai sejauh ini, ayah sangat bangga padamu nak, pesan Ayah,
harus jadi diri sendiri dan jangan patah semangat, kamu harus jadi anak yang penolong jangan
sombong dengan keahlianmu ya, nak.”
Setelah kejadian itu aku menjadi semakin yakin dan percaya diri dengan kemampuanku,
asal diiringi dengan niat dan doa, serta usaha yang keras pastinya akan membuahkan hasil yang
besar.

***

9

Lembaran Surat untuk Sahabat

Almayira Siti Az-Zahra

Aku selalu menunggunya dan tak akan pernah bosan untuk menunggunya, karena dia
adalah sahabatku.

***

3 Tahun lalu

“Bas, lagi ngapain? lo tugasnya udah belom?” Aku melihat kearah samping kala suara
seorang lelaki sedang bertanya kepadaku membuat fokusku tergangu, Dafi teman sekelasku
ternyata. Aku dan dia tidak mengenal terlalu dekat hanya sebatas teman seangkatan saja. Sejak
dulu jarang-jarang ada yang mengajakku berbicara secara tiba-tiba apalagi kita juga tidak
terlalu dekat.

“Udah dari tadi malah, aku nggak suka nunda tugas,” jawabku seperlunya dan kembali
fokus pada buku yang sedangku baca, “Orang-Orang Biasa” karya Andrea Hirata. Kulihat
sekilas dia hanya mengangguk tanda paham.

Sunyi kembali melanda kami berdua, kami adalah teman sebangku yang kebetulan tidak
terlalu dekat dan nantinya akan dipisahkan kembali oleh undian tempat duduk yang dilakukan
dua minggu sekali.

“Btw…” aku melihat kearahnya lagi, kenapa dia memotong kalimatnya? Aku memutar
bola mataku malas, entah kenapa aku tertarik pada pembicaraanya yang “mungkin” akan
menarik.

“Lo tau nggak sih Keraton Surosoan sama Keraton Kaibon yang tadi dibahas sama bu
Ani dimana? lo mau kesana bareng gue nggak buat tugas nanti? Kan katanya sama temen
sebangku, okeh kalau diem berarti mau,” jelasnya kepadaku. Telingaku sedikit sakit mendengar
pertanyaan yang ia lemparkan secara bertubi-tubi kepadaku. Alisku sedikit terangkat

10

mendengar penuturannya itu, secara tiba-tiba dia mengajakku untuk ikut serta dalam
kelompoknya, sebenarnya ini adalah hal yang tidak bisa diubah lagi, karena ketika Bu Ani sudah
berkata A maka harus A.

“Wait... kita berdua cuma tau nama satu sama lain, nggak pernah ngobrol juga, dan lo
langsung nyimpulin gue mau satu kelompok sama lo?” seruku padanya dengan sedikit
meninggikan nada dan merubah bahasaku menjadi non-formal.

“Ohh, iya hehehe,” ia tertawa dan tawanya itu membuatku sedikit jengkel.

“Nama gue Dafiandra Mahesa Putra, gue tinggal di...” dan terjadi lagi, kisah lama yang
terulang kembali.

“Ini bukan mau bikin KTP, jadi lo nggak perlu ngasih tau alamat rumah lo, lagipula gue
juga udah tau kali.” entah keberapa kalinya dia berkenalan denganku menggunakan alamat
rumahnya bahkan nantinya dia juga akan memberitahuku dimana tempat makan favoritnya.
Tapi ya aku tidak pernah menggubruisnya hanya kuanggap angin lewat saja.

“Hehehe, iyadeh maaf,” ucapnya dengan senyuman kikuk khasnya.

“Terserah lo lah ya mending gue pinjem buku ke perpustakaan buat tugas kita nanti,”
saat aku hendak berdiri dan pergi dia berbicara dengan nada yang sedikit tinggi.

“Jawab dulu dong lo jangan ninggalin gitu!” serunya membuatku memutar bola mata
malas lagi.

“Iya, gue terima! Inget ya ini karena Bu Ani yang mewajibkan buat satu kelompok!” aku
pergi meninggalkan kelas dengan hati yang kesal.

***

Hari ini adalah hari yang sudah direncanakan oleh kami berdua. Aku sudah menunggu
sekitar 10 menit dan belum ada sehelai rambutpun yang tampak darinya. Itu membuatku
menghela napas panjang berkali-kali dan membuat emosiku naik. Dengan segala keluhan yang
aku ucapkan, aku terus menerus mengirimkan pesan kepadanya tapi tak kunjung ia jawab.

“BAS,” aku menengok kearah sumber suara yang membuat sudut bibirku tertarik, itu
Dafi yang sedang berlari dengan cepat kearahku tak lama setelah aku menelponnya hingga 10

11

kali. Aku tersenyum senang karena akhirnya dia datang dan membuatku berhenti menunggu di
bawah sinar matahari terik yang mungkin nantinya akan membuatku dehidrasi.

“Katanya nggak telat,” sindirku padanya membuat senyuman kikuknya kembali
terpampang jelas di wajahnya.

“Sorry... tadi gue lupa naro hp dimana, udah dicari kemana-mana, taunya di pegang di
tangan hehehehe,” setelah mendengar alasannya, aku menghela napas panjang dan memutar
bola mataku malas, setelah itu ia mengotak-atik ponsel miliknya. Tubuhnya yang lebih pendek
10 cm dariku membuatku bisa melihat jelas apa yang ia mainkan di ponselnya. Ya walaupun
mengintip tidak sopan tapi aku sedikit penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya.
Ditambah dia terlambat dan aku berpikir “sempat-sempatnya bermain ponsel sedangkan aku
sedari tadi menunggu dengan kaki yang sudah lemas, sebaiknya dia memesan taksi online”
untungnya kalimatku diakhir itu benar adanya, ia membuka aplikasi taksi online dan
memesannya.

“Jadi kita pake taksi online nih?” tanyaku padanya membuat ia sedikit mengangkat
alisnya.

“Kok lo bisa tau gue lagi pesen taksi online?” aku menghela napas sebentar dan
mengumpulkan semangat untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Lo pendek, gue tinggi, ya keliatan lah,” ia menujukan raut wajah kekesalan, tapi belum
sempat ia membalas omongan pedasku.

“Mas, dengan Dafi ya?” tanya si supir dari mobil. “Iya pak,” balas Dafi, setelahnya aku
langsung masuk kedalam mobil.

***

Cukup ramai pengunjung yang datang ke Keraton Kaibon ini. Sambil menunggu Dafi
membayar taksinya, aku mengibas ibaskan tanganku dikarenakan cuaca yang panas dan
matahari yang cukup terik.

“Sorry, nunggu lama,” ucapnya kepadaku yang kubalas anggukan saja.

“Jadi mau mulai nih?” tanyanya membuatku menghela napas panjang.

12

“Ya iyalah, masa kita cuma diem aja ditengah,” senyuman terpatri di wajahnya, dengan
semangat ia melangkahkan kakinya masuk kedalam kawasan Keraton sambil membawa-bawa
ponsel yang siap untuk merekam.

“Di sini nih bagus,” ucapnya sambil menunjukan bangunan berbentuk gapura dan
mengarahkan kameranya kepadaku. Aku segera mempersiapkan bajuku dan merapihkan rambut
agar mendapat nilai plus nantinya.

“Siap...ready...action!”

“Hallo semuanya, nama saya Baskara dari kelas 12 Mipa 2. Kali ini saya sedang
mengunjungi situs bersejarah ikonik kerajaan Banten.” angin bertiup membuat rambutku
sedikit melambai lambai di udara. Pemandangan yang menyejukan mata serta pengunjung yang
tidak terlalu ramai membuat kami mudah untuk mengambil video. Dengan profesional, Dafi
mengambil video, aku berbicara cukup bagus katanya. Public speakingku memang sudah
terlatih karena sering mengikuti lomba-lomba yang mengharuskan berbicara di depan banyak
orang. Setelah selesai mengambil beberapa video sekelompok pengunjung berkumpul di
lapangan luas membuat kami penasaran. Ternyata terdapat pertunjukan kesenian khas daerah
Banten, seperti debus dan tari rampak bedug. Pertunjukan ini tentunya tidak luput dari kami
berdua, Dafi segera mengambil video semenarik mungkin, agar nantinya nilai kami bisa
bertambah. Pertunjukan yang menarik ini tampaknya memanggil hampir semua pengunjung
untuk mendekat.

Mereka semua berlomba lomba merekam pertunjukan ini yang nantinya mungin akan
dishare ke sanak saudara yang membuat pertunjukan ini semakin dikenal.

“Senang ya Fi, jika kebudayaan Banten terus dilestarikan seperti ini,” ujarku pada Dafi.

“Betul Bas, tentunya kita juga harus ikut melestarikan kebudayaan Banten ini,” aku
mengangguk setuju dengan omongannya barusan.

***

Kunjungan kami didua keraton sudah selesai, dan kami akan menuju tempat selanjutnya
yang terakhir yaitu Museum Kepurbakalaan Banten Lama. Memasuki museum tersebut kami
melihat berbagai macam benda-benda bersejarah yang terdapat diCdalamnya. Seperti koleksi
numismatika yang menjadi salah satu andalan museum ini karena Banten pada masa lalu sudah

13

mampu membuat uang sendiri. Selain koleksi mata uang Banten, terdapat juga berbagai jenis
koleksi mata uang asing seperti Caxa (mata uang China di zaman dulu), mata uang VOC, mata
uang Inggris, dan Tael. Dafi mulai merekam benda benda bersejarah yang ada di sana, aku
berdiri didepan salah satu koleksi uang koin yamng ada disana.

“Nah dibelakang saya terdapat uang koin masa peninggalan kerajaan Banten, di sini
bisa dilihat ada mata uang asing yang salah satunya adalah mata uang Inggris,” Dafi merekam
uang-uang logam itu sembari aku berbicara menjelaskan. Kami berpindah tempat menuju
tempat keris, alat musik tradisional dan diorama yang ada disana.

Tak terasa jarum jam menunjukan pukul 14.00 dan kami berdua belum makan siang.

*Kruyuk

Batinku sambil memegang perutku dan memperhatikannya, berpikir apa yang harus
kumakan agar bunyi perut yang tidak enak didengar ini segera berhenti.

“Lo laper?” aku menengok kearah sumber suara, Dafi dengan senyum teletubbiesnya
bertanya kepadaku.

“Iya,” jawabku seperlunya.

“Di deket sini ada rumah makan yang enak loh kesana yuk,” ujarnya sambil berjalan
pergi yang kubalas dengan anggukan.

Setelah berjalan beberapa meter dari kawasan museum, terlihat bangunan sederhana
yang dikelilingi tanaman bunga beraneka warna dengan pohon manga besar disebelah
kananannya. Kami berdua memilih meja paling pojok agar tidak terlalu bising untuk
mendiskusikan tentang editing video yang telah kami buat. Seorang pelayan membawakan buku
menu dan meletakannya didepan kami, ia berdiri kesamping meja yang kami tempati menunggu
apa yang kami pesan untuk segera ia catat.

“Umm... saya pesen Rabeg sama nasinya satu porsi, minumnya es teh manis satu ya,”
ucapku sambil tersenyum ramah kepada si pelayan.

“Saya sate bandeng satu porsi sama... nasi putih, minumnya es teh manis juga,” si
pelayan mengangguk lalu mencatat semua menu yang kami pesan. Setelahnya ia pergi
membawa buku menu yang tadi ia berikan kepada kami.

14

“Oke jadi gini,” aku memulai percakapan kali ini agar editing video cepat diselesaikan.

“Kalau menurutku, kita masukan background alat musik khas Banten gimana?” usulku
pada Dafi

“Wah boleh juga tuh,” ia mengambil pena dan kertas lalu mecatat usulku itu.

“Terus... jangan gede-gede nanti volumenya omongan gue nggak kedengeran, terus juga...
kayaknya udah sih itu aja, sama mungkin nanti dikasih efek pencahayaan aja sih, tadi tuh efek
pencahayaannya kurang bagus,” Dafi mengangguk paham dan menulis semua ucapanku. Kami
terus berdiskusi hingga tak terasa makanan kami berdua sudah siap disantap. Rabeg yang aku
pesan terlihat sangat enak dan juga sate bandeng milik Dafi tentunya tidak kalah menggiurkan.
Kami berdua makan dengan begitu lahap, dengan pemandanggan yang begitu asri aku tidak
menyesal makan di rumah makan ini. Lain kali aku akan mengajak Mama, Papa, dan juga
adikku kesini.

***

Video kami sudah ditampilkan dan kami mendapatkan nilai 98, ya tapi setidaknya kami
tidak mendapat nilai di bawah KKM, pelajaran Bu Ani memang sangat sulit untuk mendapat
nilai seratus, tapi tentunya kami sangat bersyukur dengan nilai kami. Setelahnya, kami tetap
berteman dan pertemanan kami kian hari kian semakin erat. Sekarang hatiku sangat bimbang.
Aku dipaksa memilih kemana aku akan melanjutkan perjalananku selanjutnya. Apa mengikuti
jejak ayahku untuk menjadi dokter? atau mengikuti mimpiku untuk menjadi pelukis sekaligus
penulis terkenal? disaat itu juga Dafi pergi membuat kebimbanganku, kegelisahan, kesedihan,
dan kemarahan menjadi satu. Bimbang dan gelisah karena harus memutuskan cita-citaku, sedih
sekaligus marah karena Dafi meninggalkanku. Dafi satu-satunya teman yang tulus berteman
denganku berbeda dengan yang lain. Ia akan pergi untuk pindah menuju Inggris karena
ayahnya di pindah tugaskan ke sana, dan ia juga memiliki rencana untuk menempuh pendidikan
selanjutnya disana.

Ini adalah hari terakhirku bertemu dengannya. Akan lebih baik kami berdua bertemu di
toko buku yang biasa kami datangi dibandingkan aku harus mengantaranya kebandara dan
membuatku semakin sedih.

“Lo jadi pergi?” tanyaku berharap jawabannya berubah. Namun sayangnya itu mustahil.

15

“Iya. Gue jadi pergi, tapi bakal balik,” ucapnya seraya mengelap air mata yang jatuh di
pipinya.

“Gue bakal kangen main bareng sama lo sih, makasih udah mau jadi temen baik gue
selama kelas tiga ini, lo jadiin tahun terakhir gue di SMA jadi tahun yang menyenangkan buat
gue,” ucapku padanya membuat air matanya menetes lagi.

“Iya, gue juga bangga punya temen kayak lo,” ucapannya itu baru kali ini membuatku
tersentuh. Aku menatapnya dan memberikan senyuman terakhirku sebelum ia pergi.

“Semoga lo cepet tinggi ya Daf, nggak cebol kayak gini,” ia sedikit tertawa saat
mendengar penuturanku.

“Hahaha iya, nanti kalau gue balik, gue pasti tinggi kok, gue kan ntar bergaul sama bule-
bule,” kami berdua tertawa bersama untuk yang terakhir kalinya.

***

Baskara menyelsaikan tulisan di atas kertas dengan pena kesayangannya, suara musik
menggema diseluruh ruangan memutarkan lagu Lana Del Rey.

“Like the stars miss the sun in the mornin‟ sky.”

Itu adalah judul dari lukisan Baskara kali ini. Lukisan kali ini memiliki makna tentang
seorang remaja perempuan yang menunggu sahabatnya kembali tak menyadari bahwa
sahabatnya sudah berada di tempat yang lebih baik. Ia tersenyum berpikir bahwa sebaiknya ia
berhenti untuk menunggu Dafi untuk kembali dan menemuinya. Terkadang Baskara membuat
lukisan tentang sahabatnya itu. Bagaimana masa-masa dulu mereka bermain bersama dan
berbagi cerita bersama.

Sekarang Baskara adalah seorang mahasiswa Sastra Indonesia tahun ketiga dan
merupakan seorang pelukis piawai yang digemari banyak orang. Setelah melewati berbagai
macam cobaan, perdebatan, dan hal-hal yang membuatnya jatuh dan bangkit, akhirnya cita-cita
yang selama ini ia dambakan membuahkan hasil. Karyanya sering sekali di pajang di dalam
pameran membuat semakin banyak orang yang mengenalnya. Karya tulisannya juga sudah
dikenal banyak orang. Novel-novel buatannya mengantarnya menuju penghargaan penulis
terbaik tahun lalu. Ia masih sering mengunjungi tempat wisata di tanah kelahirannya, Banten.

16

Walau tidak bersama sahabat karibnya, hingga kini tempat tempat itu masih saja tak bosan ia
datangi. Dengan mendatangi tempat tempat wisata yang ada di Banten, ia dapat mendukung
pertumbuhan ekonomi yang ada di Banten.

Saat ini Baskara sedang memandangi lukisan miliknya di dalam pameran karya seni
yang sebentar lagi akan tutup karena hari semakin malam. Ia memandangi lukisan buatannya
itu sampai ia mendengar suara langkah kaki yang membuat Baskara bersiap untuk angkat
bicara bahwa ia pelukis dari lukisan ini dan ingin melihatnya sebentar lagi sebelum museum
ditutup.

“Saya kan sudah bilang saya ingin meli-“ belum sempat Baskara melanjutkannya, saat ia
berbalik ia mendapati seorang lelaki yang kira-kira tingginya 180 cm dan tersenyum
kearahnya. Sejenak ia berpikir dan mengerutkan dahinya karena benar-benar tidak tahu siapa
lelaki tinggi di hadapannya. Baskara sangat was-was, takut kalau itu adalah hantu museum
seperti difilm yang ia tonton 3 hari lalu ditambah pria itu berpakaian serba hitam.

“Hahaha, lo nggak tau siapa gue?” lelaki itu bertanya dengan percaya diri membuat
Baskara menggelengkan kepalanya.

“Gue Dafi, sohib lo masa lo lupa?” Baskara yang mendengar itu mengangkat sebelah
alisnya. Mata Baskara membelak kaget mendengar hal itu. Temannya Dafi yang sering ia katai
cebol sekarang jauh lebih tinggi dari baskara yang tingginya berhenti di 173 cm sejak SMA. Ia
mendekati Dafi dan melakukan tos khas keduanya semasa SMA dulu sambil tersenyum.

“Sombong amat lo Daf, kemana aja lo? kayak ngilang ditelen bumi aja,” tutur Baskara
yang membuat Dafi tertawa kencang.

“HAHAHAHAHA. Sorry, gue lupa ngasih tau alamat rumah baru gue di Inggris sama
nomor baru gue. Gue tau lo sering ngirim surat kerumah gue yang lama Bi Inah bilang ke gue,”
ucap Dafi yang dibalas anggukan oleh Baskara.

“Memang, baguslah kalau lo udah baca, jadi lo nggak ketinggalan berita penting,”
sebenarnya ia selalu mengirim pesan ke Dafi, tapi tidak pernah ia balas karena ternyata nomor
yang dipakai Dafi telah berganti. Bi Inah pun kurang bisa menggunakan ponsel dan tidak bisa
membaca, jadi ia susah sekali menghubungi Dafi tapi ia menitipkan surat yang ia tulis ke Bi
Inah, kalau sahabatnya itu pulang dan membavca surat-surat darinya. Tak disangka sahabatnya

17

itu benar benar pulang ke Indonesia dan kembali menemuinya. Benar-benar pertemuan yang
mengahrukan seperti yang ada di dalam drama.

“Surat-surat yang lo kirim adalah surat paling gila dan fantastis yang pernah gue baca,
perjalan hidup lo tuh udah kayak yang di novel-novel tau nggak,” ucap Dafi.

“Tadinya gue pengen nyari sahabat baru aja Daf, tapi setelah gue cari kesana-kemari
nggak ada yang pas,” ucap Baskara dengan sejujur jujurnya, akhirnya mereka berdua kembali
bertemu.

Kisah persahabatan Baskara tidak menjadi akhir yang buruk. Tidak Baskara sangka
bahwa jalan hidupnya benar benar fantastis dan gila seperti apa yang Dafi bilang.

***

18

Tabuhan Senja

Minahu Saniyah

Suara rintik hujan malam menembus kehampaan kamar seorang lelaki berperawakan
tinggi yang sedang menatap lamat-lamat cahaya lampu jalanan yang masuk melalui jendela
kamarnya. Mata tajam itu menatap kosong, tetapi pikiran akan kesepian terus berkecamuk,
teringat kedua mendiang orang tuanya yang meninggal empat tahun lalu akibat tragedi
kecelakaan yang menimpanya.

Rasa kesepian dan bosan saat liburan tanpa kedua orang tercinta terus menghantui
pikirannya. Tanpa ampun ia mengasihi dirinya sendiri dan terus menggerutu takdirnya yang
malang itu. Pemuda yang terlihat menyedihkan itu ialah Diren Akadera seorang anak SMA
yang sekarang tinggal di rumah megah milik ketua yayasan sekolah yang sekarangnya
mengurusnya.

Setelah beberapa saat bergulat dengan pikirannya guratan wajah yang semula suram
silih berganti menjadi cerah, ia teringat memiliki sahabat pena di Banten. Tanpa basa-basi
Diren membulatkan tekad untuk tidak mengisi libur pergantian caturwulan dengan terlarut
dalam kesedihan yang menghantuinya seperti tahun-tahun sebelumnya.

***
Tak terasa waktu makan malam pun tiba. Setelah beberapa sendok nasi masuk ke
mulutnya, akhirnya Diren menyingkirkan rasa gugupnya, dengan penuh keyakinan dan
harapan Diren meminta izin kepada wanita paruh baya itu untuk menemui sahabat penanya di
Banten.
Wanita itu menghela nafas pelan, ia tahu mengapa pemuda itu bersikeras untuk pergi.
“Baiklah ibu perbolehkan kamu pergi, namun dengan satu syarat, jaga dirimu baik-baik
dan makan dengan teratur ibu tidak mau melihatmu sakit saat pulang.”
Senyuman manis mengembang saat ia diperbolehkan untuk pergi, wanita paruh baya
itu tidak keberatan dan bersedia menyiapkan kebutuhannya.
Tentu saja Diren tidak lupa memberi tahu sahabatnya bahwa dia akan pergi kesana
dengan kobaran semangat.
“Lo baik-baik aja kan, Let?”
“Gue baik-baik aja kok, Ren. Lo kenapa sih? Kok kayak seneng banget?”

19

“Akhirnya, ibu udah ngebolehin gue pergi Let!” pekik Diren lewat sambungan telepon.
Terdengar tawaan bahagia dari seberang sana. “Hahahaha selamat ya, gue tunggu
kedatangan lo di sini.”

***
Hari yang di tunggu-tunggu pun tiba „Hari keberangkatan‟. Semua perlengkapan sudah
siap, dengan seseorang yang sekarang ia panggil ibu. Terlihat segelintir air mata di pipi wanita
paruh baya itu. Sedangkan paman Kay supir baik hati itu hanya melihat dengan takzim. Baiklah
sudah saatnya pergi, pilot dan penumpang lainnya tidak akan menunggu jika terlambat.
Diren melambaikan tangan terakhir kalinya untuk beberapa hari kedepan.

***
Sesampainya Diren di Bandara Soekarno-Hatta dia menyibak keramaian di waiting
room demi melihat sahabat jauhnya itu. Aulet lebih dulu menyapa Diren dengan hangat.
Mungkin kalian bertanya-tanya apa tujuan Diren datang ke Banten, Apakah dia hanya
ingin bertemu dengan Aulet atau ada hal lain? Begitu pun dengan mulut Aulet yang sudah
terasa gatal ingin bertanya ke pada Diren yang tak kunjung memberi tahu.
Dengan wajah penasaran Aulet bertanya. “Ren, tujuan lain lo ke sini ngapain?”
“Mau menjelajah budaya banten,” Seketika muka sahabatnya itu tersenyum.
Sepertinya waktu sedang mendukung Diren, tak disangka ternyata sebentar lagi akan
diadakan perayaan Hari Besar Maulid Nabi. Aulet memberi tahu bahwa sekarang warga tengah
bergotong-royong menyiapkan persiapan untuk hari Maulid Nabi nanti.
Sekarang kebahagiaan Diren menjadi berlipat ganda, karena sudah bertemu sahabat
yang ia nantikan dan datang bertepatan dengan diadakannya acara besar itu.

***
Esoknya dengan wajah yang semringah Diren diantar Aulet ke balai desa, tempat warga
bergotong-royong mempersiapkan properti endog-endogan dan arak-arakan panjang untuk
acara muludan. Banyak anak perempuan yang sibuk membuat bunga yang terbuat dari kertas
krep warna-warni berisikan telur rebus, ada yang ditusuk dengan batang lidi untuk disusun
nantinya, dan ada juga telur yang diletakkan di keranjang kecil yang yang terbuat dari kertas
karton dan diberikan rumbai-rumbai di bagian bawahnya. Sedangkan orang dewasa bertugas
untuk merangkai bongkahan balok kayu menjadi berbentuk seperti perahu. Begitu juga dengan
para anak lelaki yang sibuk menyiapkan obor dari talang lemang yang malam nanti akan
dibakar menggunakan minyak tanah.

20

Seketika mata Diren berbinar saat melihat rangkaian kayu yang sudah berbentuk perahu
itu ditempel banyak uang biru melapisi seluruh bagiannya, tak lupa uang berwarna ungu, hijau,
dan merah pun ikut ditempel.

“Woahh, apakah itu uang sungguhan?” batin Diren.
Berbeda dengan Aulet yang termangu melihat bedug yang berjejer rapih. Ini memang
bukan pertama kalinya Aulet melihat itu tetapi tetap saja pemandangan itu terlihat menarik
baginya.
Di sisi lain terdengar tabuhan merdu dan alunan sholawat dari dalam. Mereka adalah
anak-anak terpilih untuk memeriahkan acara muludan besok malam. Tentu saja mereka sedang
berlatih supaya penampilan akan berjalan dengan lancar.

***
Tiba di malam acara perayaan muludan. Meja makan malam dipenuhi dengan suara
dentingan sendok, melihat makanan di piringnya yang hampir habis Diren pun bertanya.
“Hei! Jam berapa pertunjukan itu lewat bakal depan rumah,” kesalnya.
“Sabar lah, bentar lagi juga pasti lewat,” ketus Aulet yang mulai kesal dengan Diren
yang cerewet.
Suara riuh motor samar-samar terdengar dari ruang tempat mereka makan. Aulet pun
bergegas menarik Diren ke luar rumah.
Di bawah sinar rembulan Diren dan Aulet berdiri di atas teras menyaksikan banyak
motor yang menggiring empat mobil pick-up yang sudah dihias itu membawa rangkaian kayu
berbentuk perahu yang seluruh bagiannya ditutupi uang dan rangkaian bunga telur rebus yang
sudah dihias sedemikian rupa. Dua mobil pick-up lainnya berisikan anak-anak yang melakukan
qosidahan, mereka menabuh gendang dan bersholawat dengan merdunya mengisi ke hampaan
malam desa.
Rangkaian acara belum berakhir sampai di sini.
“DUARRR,” suara ledakan petasan membuat pekak telinga.
Demi mendengar suara ledakan petasan itu Diren terlonjak kaget di atas teras. Aulet
yang sudah biasa mendengar itu hanya menertawakan Diren yang mukanya pucat pasi tak
meyangka aka ada suara ledakan yang besar dan hampir membuatnya terjatuh dari teras.
Setelah asap mulai memudar terlihat dua pemuda yang melakukan sedikit atraksi untuk
menyambut warga desa yang membawa obor di tangan mereka. Menyinari jalanan yang
tadinya gelap gulita menjadi terang.

21

“Wahh, indah banget ngeliat banyak orang bawa obor dari atas gini.”
“Kira-kira ada berapa banyak orang yang ikut bawa obor, Let?”
“Entah, tapi yang gue tau kalo acara kaya gini yang ikut satu kampung.”
“Beuhh, mantap walau satu kampung ikut tapi tetep terkordinasi.”
Aulet pun hanya meng iya-kan saja. Setelah para pembawa obor sudah selesai, acara itu
ditutup kembali dengan rombongan motor yang jumlahnya lebih banyak dari awal.
Acara yang meriah itu berlangsung selama kurang lebih lima belas menit saking
panjangnya.
“Ayo cepat ke balai desa lagi,” gegas Aulet.

***
Masih dengan lantunan sholawat yang merdu dan tabuhan rebana yang syahdu. Di sana
terlihat banyak anak kecil hingga remaja terllihat berkerumun. Ternyata mereka mengambil
uang saweran yang dicopot dari perahu yang terbuat dari kayu itu, sesuai ekspektasi. Tak lama
setelah melihat ada saweran dengan sigap Diren langsung ikut mengambil uang yang
bertebaran dan diikuti Aulet.
Dengan mata yang berbinar bak anak kecil yang diberi permen Diren dan Aulet
menghitung jumlah uang yang ada di tangan mereka.
“Lumayan, dapet empat puluh dua ribu nih,” ucap Aulet menunjukkan uang di
genggamannya.
“Hahaha, gue dong dapet lima puluh tujuh ribu,” balas Diren dengan muka mengejek.
Tak hanya sampai situ, sebelum mereka melangkahkan kaki tuk kembali pulang
seorang wanita paruh baya yang terlihat cantik itu memberikan dua tangkai bunga bunga
berisikan telur rebus kepada Diren dan Aulet.

***
Akhirnya acara itu telah selesai, berkat kerja keras dan kekompakan warga satu desa itu
acara hari besar maulid nabi atau yang biasa di sebut Muludan bisa berjalan dengan lancar dan
meriah.

***
Tak terasa sudah tiga hari Diren menghabiskan waktu di desa yang damai dan dipenuhi
petak sawah hijau yang terletak di Banten itu.

22

“Sampai ketemu lagi Aulet,” dengan raut muka yang siap menangis kapan saja diren
berpamitan dengan sahabatnya itu. Sebagai balasannya Aulet melambaikan tangan tuk terakhir
kalinya kepada Diren.

Apakah kalian bertanya-tanya sudak berakhirkah cerita ini atau kalian bertanya-tanya
apa hanya sampai sini Diren mengeksplorasi budaya dan daerah nusantara? Tentu saja tidak
cerita ini hanyalah potongan pendek kisah awal petualangannya.

Hingga kini jika ada libur panjang Diren masih terus mengunjungi dan mengeksplorasi
budaya unik yang ada di tiap daerah sahabat penanya yang tersebar di seluruh nusantara.

***

23

Awal dari Persahabatan Sejati

Kevin Narendra Ananta Putra

Pada suatu pagi yang cerah, ada seorang anak yang bernama Baki sedang tertidur
dengan pulas di kamarnya. “Kringgg...Kringgg,“ suara alarmpun berbunyi. Kemudian Baki
melihat ke arah jam alarmnya yang menunjukkan pukul 07:00.

“Waduhh, aku telat gimana ini?” Ucap Baki dengan nada yang khawatir. Baki kemudian
bergegas untuk mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah nanti.

Baki merupakan anak remaja yang sangat mencintai budaya-budaya di Indonesia dan
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadapnya. Bahkan hal itulah yang membuatnya telat,
Baki begadang semalaman karena penasaran mengenai kebudayaan di Indonesia yaitu wayang
garing.

“Mama, aku berangkat dulu, ya!” pamit Baki kepada ibunya.
“Iya, hati-hati di jalan ya, nak!” sahut ibunya dari rumah.
Baki berangkat sekolah menggunakan sepeda roda dua yang dia dapatkan dari Ibunya
sebagai hadiah setelah mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Baki terus mengayuh
sepedanya dengan kencang supaya tidak telat sampai di sekolah.
“Hah, akhirnya sampe juga…” ucap Baki dengan nada yang kelelahan.
Kemudian dia bergegas untuk memarkirkan sepedanya dan segera menuju ke kelas
karena pelajaran sudah mau dimulai.
“Hai Baki, tumben kamu telat padahal biasanya datang awal,” ucap Galih sambil
menepuk punggung Baki dari belakang.
“Iya, tadi malem begadang soalnya,” jawab Baki.
“Ohh, begadang ngapain emang Ki?” tanya Galih penasaran.
”Nggak kok, cuman keasyikan baca buku tentang wayang aja hehe, kemarin aku minjem
dari perpustakaan.”

24

“Hah, wayang? emang apa menariknya Ki, cuman boneka mainan doang.”
“Halah, belum liat aja udah bilang gitu.”
Galih merupakan anak remaja gaul yang kekinian, dia tidak tertarik sama sekali dengan
budaya-budaya di Indonesia. Padahal, Galih belum pernah melihat budaya-budaya di Indonesia
sebelumnya. Galih tidak tertarik, karena terpengaruh temannya yang lain menganggap bahwa
budaya-budaya Indonesia itu membosankan.
Percakapan mereka berdua kemudian terpotong oleh Bu Rika yang baru saja datang ke
kelas untuk mengajar.
“Halo anak-anak, Ibu hari ini ada informasi buat kalian semua mengenai festival sekolah
yang sebentar lagi akan diadakan, jadi simak dengan teliti ya!” ucap Bu Rika.
“Nanti kalian semua akan dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok berisi dua
orang. Setiap kelompok nanti akan menampilkan sebuah pertunjukan, jadi tampilkan sekreatif
mungkin ya!”
“Baik bu!” seru Baki dan teman sekelasnya.
Kemudian semua murid di kelas membuat kelompoknya masing-masing.
“Eh Galih, sekelompok yuk,” ucap Baki kepada Galih yang sedang melamun.
“Boleh aja sih, tapi emang kita nanti mau tampil apa?” tanya Galih.
“Gimana kalo kita tampilin budaya di Indonesia ini? guru-guru pasti suka.”
“Ehh nggak deh, mendingan kita tampilin yang kekini-kinian aja.”
“Wah, kenapa? Padahal banyak yang seru lho.”
“Iya tah, emang apanya yang seru?”
“Yaudah kalo gitu nanti abis selesai sekolah ke rumah ku deh, aku bakal liatin.”
“Hah, liatin apa Ki?”
“Liat aja nanti, jangan lupa ya dateng ke rumahku!”

***

25

Tok...tok...tok.
“Baki, ini Galih bukain pintunya dong,” seru Galih dengan kencang.
“Iyaa, bentar siap-siap dulu!” jawab Baki.
“Jadi… kamu mau liatin apa emang Ki?”
“Ayo sini dong ke kamarku.”
Baki kemudian menunjukkan sebuah video di galeri handphonenya ke Galih.
“Lihat ini!” sahut Baki sambil menunjukkan videonya.
“Hah, video apa ini Ki?” tanya Galih kebingungan.
“Ini video aku sama ayahku Galih, pas lagi nonton pertunjukkan wayang garing di
lapangan deket rumahku. Keren kan?”
“Wahh, wayang tuh gini yaa… baru tau aku ki, geraknya lucu gitu. Ada yang bercerita
juga jadi lebih menarik ya.” Balas Galih terpukau dengan apa yang dilihatnya.
“Iya dong, udahku bilang kan! kamunya gak percaya sih Galih.”
“Ehh, itu pasti videonya udah lama ya, kamu keliatan masih kecil disitunya haha.”
“Hehe, iya Galih ayahku ngerekam video ini pas aku masih 10 tahun.”
“Wah, kok bisa inget banget Ki?”
“Iya Galih, soalnya di video ini pertama kalinya aku diperlihatkan budaya Indonesia
yang menarik banget, jadinya pasti inget dong.”
Galih mulai tersadar akan keindahan budaya-budaya di Indonesia ini. Dia langsung
tertarik terhadap keindahan budaya wayang garing, walaupun itu pertama kali Galih
melihatnya.
“Baki… makasih ya, udah tunjukkin aku video ini. Ternyata wayang garing itu seru
juga ya!”
“Haha, iya kan. Kalo begitu, mau nggak kalo kita tampilin wayang garing buat
pertunjukan kita nanti.”

26

5“Wahh boleh tuh, bakalan seru pasti. Tapi… buat naskahnya gimana ya Ki?”
“Gini aja, aku yang bikin naskah buat pertunjukannya, kamu yang buat wayangnya
gimana? seingatku kamu jago ngedesain bukan?”
“Bener sih Ki, tapi aku gak tau cara buat wayangnya sih.”
“Gapapa kok, ayahku lumayan jago bikin wayang garing. Nanti biar aku tanya ke
ayahku biar diajarin.”
“Gapapa beneran Ki?”
“Iya gapapa kok. Yaudah kalo gitu aku buat naskahnya, semoga aja nanti hasilnya bagus
ya!”
“Pasti, dong Ki.”
*Satu Minggu Kemudian
“Mama, aku berangkat duluan ya!” seru Baki kepada Ibunya sambil menaiki sepedanya.
“Nggak sarapan dulu nak? Nanti di sekolah malah lapar,” tanya Ibu Baki.
“Udah telat ini soalnya Ma, nanti Baki sarapan di sekolah aja pas jam istirahat.”
“Yaudah nak, hati-hati di jalan ya.”
Baki segera menaiki sepedanya dan bergegas menuju ke sekolah.
Hari ini adalah hari dimana festival sekolah akan diadakan. Ada banyak kelompok yang
akan menampilkan sebuah pertunjukan hari ini. Baki dan Galih merupakan salah satunya.
“Dari mana aja sih Ki, dari tadi aku cari gak ada,” ucap Galih dengan nafasnya yang
terengah-engah.
“Hehe maaf, tadi bangunnya kesiangan,” balas Baki.
“Jadi gimana Galih, udah siap kan buat tampil?” Lanjut Baki.
“Yap, kita udah latihan berhari-hari masa gak siap. Nah, ini wayangnya ya Ki, tadi
malem udah aku bagusin sedikit lagi.”

27

“Oh, dan juga terimakasih ya Baki. Kalo kamu tidak menunjukan video wayang itu,
mungkin saja aku masih akan menganggap kalo kebudayaan Indonesia itu tidak menarik.”

“Iya Galih, aku juga senang kok bisa membantu kamu.”

Setelah mendengar tanggapan dari Baki, Galih sangat terkagum dengan sosok Baki
yang senantiasa membantu temannya dengan antusias dan tanpa rasa pamrih. Galih juga
menyadari bahwa Indonesia merupakan negara yang indah karena memiliki budaya yang
berbeda-beda dengann keunikan masing-masing. Galih sungguh bersyukur karena bisa
bertemu dengan orang yang baik hati seperti Baki.

“Baki dan Galih sudah hampir giliran kalian, jangan lupa siap-siap ya!” seru Bu Rika
kepada dua sahabat itu.

“Baik bu, kita bakal siap-siap sekarang,” jawab Baki dengan percaya diri.

“Yaudah Galih ayo siap-siap sekarang, kita tampilkan sebaik mungkin ya!” ucap Baki.

“Pasti dong Ki, kita pasti bakal juara,” jawab Galih.

***
“Baiklah, untuk pertunjukan selanjutnya, yaitu adalah pertunjukan wayang golek yang
akan ditampilkan oleh Baki dan Galih, ayo beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka!” seru
Pembawa Acara kepada seluruh penonton festival sekolah.

Lampu spotlight menyala dengan terang, suara tepuk tangan dari penonton
menggemuruh. Pertunjukan kedua sahabat itu akan segera dimulai.

Mereka berdua kemudian tampil di atas panggung dengan percaya diri dan kompak. Bu
Rika bahkan tersenyum bahagia ketika melihat mereka berdua tampil di panggung tersebut.
Para penonton yang lainnya juga terpukau dengan kekompakan mereka berdua.

Semua peserta dari festival sekolah sudah menampilkan pertunjukannya dan para juri
akan segera mengumumkan juara-juara dari festival sekolah kali ini.

“Juara pertama festival sekolah kali ini… jatuh kepada… Baki dan Galih, dengan
pertunjukan wayang garingnya!” ucap Juri dengan lantang.

28

Baki dan Galih pun terkejut ketika mendengar perkataan dari juri. Dan kemudian
mereka berdua bersyukur karena mendapatkan juara satu di festival sekolah.

Seluruh penonton kemudian bertepuk tangan dengan kencang dan ikut bahagia atas
kemenangan yang diraih oleh Baki dan Galih.

Kemudian mereka berdua mengambil hadiahnya dan berfoto bersama untuk merayakan
kemenangan mereka.

***

29

Sepotong Kain Perca

Tsaqila Alicia Nandy

Langit kuning keemasan masih menggantung indah. Jalanan yang padat disertai
klakson kendaraan. Netra pemuda itu tidak terlepas dari pemandangan itu. Ia bergumam
apakah langit senja selalu indah seperti ini? Pandangan nya terfokus pada meja yang
berantakan di penuhi berlembar-lembar kertas gambaran. Ia menatap sendu pada selembar
kertas poster festival apakah usaha nya akan sampai disini?

“Ah... tidak ada harapan lagi aku mengikuti kompetisi ini,” Ia segera membereskan
lembaran kertas yang berserakan sambil melihat satu persatu gambar yang ia buat, mata nya
melihat gambar desain kostum. Indah sekali

Denting notifikasi menyadarkan juan dari lamunan nya. Pesan masuk dari seseorang
“Juan tiba-tiba saja aku memiliki ide brilliant. Besok kita bertemu di lantai 4 sekolah
oke.”
Pesan itu dari sahabat nya Eliza. Ia hanya membalas dengan emot jempol.
“Hey balasan mu seperti cowok cool saja,” Juan terkekeh dengan balasan Eliza.
“Tidak seperti mu cewek KOCE (kocak cerewet), sudah ah aku ingin bermimpi indah
malam ini.”
“Hey, balasan mu seperti cowok cool saja,” Juan terkekeh dengan balasan Eliza.
“Tidak seperti mu cewek KOCE (kocak cerewet). Sudah ah aku ingin bermimpi indah
malam ini.”
“Boleh juga singkatan nya. Selamat bermimpi menjadi pohon beringin,” Juan mematikan
ponsel nya lalu berlayar ke alam mimpi.

***
“Ikan hiu makan melon, kenapa melamun sih si kasep juan Juan”
Juan hanya memasang wajah senyum nya. “Jadi apa ide brilliant mu eliza?”

30

“Pantun ku di abaikan. Jadi begini semalam aku melihat berita tentang memanfaatkan
barang bekas menjadi karya.”

Juan memperhatikan eliza dengan seksama. “Nah bagaimana kalau kamu memakai
barang bekas untuk membuat kostum nya,” Juan berpikir sejenak, apakah barang bekas bisa
menjadi bahan alternative untuk membuat kostum.

“Eum mungkin kamu bisa menggunakan beberapa kain yang dijadikan satu,” eliza
memberi saran. Ide yang bagus kenapa juan belum terpikirkan ide itu

“Menggunakan kain perca dan sedikit di modif apakah itu akan bisa?” sebenarnya juan
agak ragu dengan ide Eliza karena yang ia akan buat baju adat. Apakah tidak masalah
menggunakan berbagai macam kain kemudian dibentuk menjadi kostum?

“Aku tidak tahu itu akan bisa atau tidak, tapi apa salah nya kan kalau mencoba dulu,”
Eliza menanggapi pertanyaan juan itu. Eliza benar, di dunia ini kalau kita tidak berani mencoba
kita tidak akan tahu hasilnya akan bagaimana. “Baiklah, aku akan mencobanya, terimaksih
untuk ide nya aku jadi punya harapan untuk kompetisi ini,” Eliza mangganguk senang karena ia
berhasil.

***
Sepulang sekolah Eliza membantu juan mengumpulkan kain-kain sisa dari berbagai toko
jahit. Sore hari itu terasa sangat menyenangkan. Mereka bercanda gurau sembari
mengumpulkan barang-barang bekas untuk bahan membuat kostum. Juan sangat bersyukur
mempunyai sahabat yang selalu membantunya di kala ia kesusahan.

Tak terasa senja sudah tenggelam berganti menjadi malam. Bahan-bahan yang juan cari
sudah cukup. Juan dan Eliza berpisah untuk pulang kerumah masing-masing. “Terimakasih
banyak liz aku tidak tahu tahu harus membalas kebaikan kamu bagaimana,” Juan terus menerus
mengucap terimakasih sampai Eliza pun bosan mendengar nya “sans aja kali juan lagian kaya
kita baru kenal aja hahaha,” di malam itu kebahagiaan terpancar dalam lubuk hati Juan.

“Aku akan berjuang keras untuk ini, sekali lagi terimakasih Liz.”

“Semangat Juan!! Jika butuh bantuan panggil saja aku si wonder Eliza.”

31

Perpisahan yang mengundang kelak tawa dari keduanya seperti senyuman bulan yang
menyinari malam itu.

***
Festival Custome Cilegon (FCC) seminggu lagi akan di mulai. Juan masih berkutat
dengan alat jahit nya menyatukan berbagai macam kain sisa. Desain yang ia pillih kostum
untuk wanita. Eliza bersedia menjadi model untuk kostum juan. Kain per kain sudah di satukan
membentuk sebuah model baju. Sisa kain perca di buat menjadi seledang yang di taruh di kedua
sisi baju. Untuk aksesoris mahkota Juan menggunakan kaleng bekas yang di potong
membentuk mahkota dan di beri pewarna menggunakan Pilox. Pembuatan kostum ini
membutuhkan lamanya 5 hari agar semua nya selesai.

“Akhinya jadi. Capek banget loh aku jadi model, sampai encok badan ku,” Eliza
meregangkan badan nya yang pegal. Juan hanya tertawa kecil melihat tingkah Eliza

“Padahal aku lebih capek yang menjahit baju dan memikir desain nya,” Juan tersenyum
seperti kemenangan ia dapatkan

“Terimakasih Liz udah mau jadi model dadakan,” sontak Eliza tertawa akan pernyataan
Juan tadi.

“Haha oke deh santai saja. Jadi tidak sabar deh untuk acara besok, Pasti meriah akan ada
banyak kostum yang unik di Festival Custome Cilegon.”

“Benar semoga acaranya berjalan lancar dan aku bisa jadi pemenang nya,” percakapan
itu berakhir dengan di akhiri segelas susu hangat buatan Ibunda Juan.

Juan hanya memasang wajah senyum nya. “Jadi apa ide brilliant mu Eliza?”

“Pantun ku di abaikan. Jadi begini, semalam aku melihat berita tentang memanfaatkan
barang bekas menjadi karya.”

Juan memperhatikan Eliza dengan saksama. “Nah, bagaimana kalau kamu memakai
barang bekas untuk membuat kostum nya?” Juan berpikir sejenak apakah barang bekas bisa
menjadi bahan alternative untuk membuat kostum.

“Em… Mungkin kamu bisa menggunakan beberapa kain yang dijadikan satu,”Eliza
memberi saran. Ide yang bagus, kenapa Juan belum terpikirkan ide itu.

32

“Menggunakan kain perca dan sedikit di modif apakah itu akan bisa?” Sebenarnya Juan
agak ragu dengan ide Eliza karena yang akan ia buat baju adat. Apakah tidak masalah
menggunakan berbagai macam kain kemudian dibentuk menjadi kostum?

“Aku tidak tahu itu akan bisa atau tidak, tapi gak ada salahnya kan kalau mencoba
dulu?” Eliza menanggapi pertanyaan Jan itu. Eliza benar, di dunia ini kalau kita tidak berani
mencoba kita tidak akan tahu hasilnya akan bagaimana. “Baiklah, aku akan mencobanya.
Terima kasih untuk ide nya, aku jadi punya harapan untuk kompetisi ini,” Eliza mangganguk
senang karena ia berhasil.

***

Sepulang sekolah Eliza membantu Juan mengumpulkan kain-kain sisa dari berbagai
toko jahit. Sore hari itu terasa sangat menyenangkan. Mereka bercanda sembari
mengumpulkan barang-barang bekas untuk bahan membuat kostum. Juan sangat bersyukur
mempunyai sahabat yang selalu membantunya di kala ia kesusahan.

Tak terasa mentari sudah tenggelam, siang menjadi malam. Bahan-bahan yang Juan cari
sudah cukup. Juan dan Eliza berpisah untuk pulang kerumah masing-masing. “Terima kasih
banyak, Liz, aku tidak tahu harus membalas kebaikan kamu bagaimana,” Juan terus menerus
mengucap terima kasih sampai Eliza pun bosan mendengar nya. “Sans aja kali, Juan, lagian kaya
kita baru kenal aja hahaha.” Di malam itu kebahagiaan terpancar dalam lubuk hati Juan.

“Aku akan berjuang keras untuk ini, sekali lagi terima kasih, Liz.”

“Semangat, Juan! Jika butuh bantuan panggil saja aku, si wonder Eliza.”

Perpisahan yang mengundang tawa dari keduanya seperti senyuman bulan yang
menyinari malam itu.

***

Festival Costume Cilegon (FCC) seminggu lagi akan di mulai. Juan masih berkutat
dengan alat jahit nya, menyatukan berbagai macam kain sisa. Desain yang ia pillih kostum
untuk wanita. Eliza bersedia menjadi model untuk kostum Juan. Kain per kain sudah di satukan
membentuk sebuah model baju. Sisa kain perca dibuat menjadi selendang yang ditaruh di kedua
sisi baju. Untuk aksesoris mahkota, Juan menggunakan kaleng bekas yang di potong

33

membentuk mahkota dan diberi pewarna menggunakan cat semprot. Pembuatan kostum ini
membutuhkan lamanya 5 hari agar semuanya selesai.

“Akhinya jadi. Capek banget aku jadi model, sampai pegal badan ku,” Eliza
meregangkan badan nya yang pegal. Juan hanya tertawa kecil melihat tingkah Eliza.

“Padahal aku lebih capek yang menjahit baju dan memikir desain nya,” Juan tersenyum
seperti kemenangan ia dapatkan.

“Terima kasih, Liz udah mau jadi model dadakan,” sontak Eliza tertawa akan pernyataan
Juan tadi.

“Haha, ok deh santai saja. Jadi tidak sabar deh untuk acara besok, pasti meriah. Akan ada
banyak kostum yang unik di FCC.”

“Benar, semoga acaranya berjalan lancar dan aku bisa jadi pemenang nya.” Percakapan
itu berakhir dengan di akhiri segelas susu hangat dibuatkan oleh ibunda Juan.

***
Hari festival tiba, Juan dan Eliza datang dengan perasaan kagum. Ada pertunjukan
debus, tarian grebeg terbang gede dan lain sebagainya. Kompetisi costume sebentar lagi akan
dimulai. Seluruh peserta akan bersiap di tenda masing-masing.

Eliza sebagai model harus bersiap-siap untuk kostum yang akan ia tampilkan. Juan
membantu Eliza memasangkan aksesoris nya, memakai mahkota, selendang dan yang lainnya.

“Duh aku deg-deg an nih pertama kali jadi model,” sedari tadi Eliza meremat kostum
nya karena sangat gugup.

“Tenang Liz kamu pasti bisa karena kostum nya buatan Juan sang desainer low budget,”
Eliza tertawa sampai hampir terjungkal. Untung saja Juan menahan Eliza

“Duh, aku deg-degan, nih, pertama kali jadi model,” sedari tadi Eliza meremat kostum
nya karena sangat gugup.

“Tenang, Liz, kamu pasti bisa karena kostum nya buatan Juan ,sang desainer low
budget,” Eliza tertawa sampai hampir terjungkal. Untung saja Juan menahan Eliza.

34

“Waduh ngakak sampai hampir terjungkal,” sang pelaku yang hampir terjungkal hanya
tersenyum memperlihatkan deretan giginya.

“Pengumuman. Acara Festival Costume Cilegon akan segera dimulai. Di mohon untuk
para peserta berkumpul di panggung.”

Para peserta sudah berbaris rapih di atas panggung kecil itu. Para penonton mulai ramai
mendekati catwalk.

Acara resmi dimulai. Para model mulai berjalan di atas panggung kecil sambil
memperlihatkan kostum nya masing-masing. Selesai sudah acara runaway memperlihatkan
model kostum. Sekarang penilaian untuk kostum terbaik. Para desainer akan speech terlebih
dahulu menjelaskan detail-detail kostum yang mereka buat.

Giliran Juan tiba. Ia menyiapkan sebuah kertas kecil berisi speech yang akan ia
sampaikan.

“Perkenal kan nama saya Juan dari peserta nomor 14. Saya akan menjelaskan detail-
detail dari kostum yang saya buat ini. Dimulai dari mahkota nya, saya memakai barang bekas
dari kaleng yang saya modif menjadi mahkota seperti ini. Kemudian saya membuat atasan nya
menggunakan kain perca yaitu sambungan dari beberapa kain sisa. Saya menambah variasi
selendang agar terkesan kostum ini punya daya Tarik yang kuat. Cukup sekian dari speech saya
ini, terimakasih” para penonton bertepuk tangan, kagum atas speech yang di sampaikan Juan.

Selesai sudah acara penjurian. Kini para peserta saling merapalkan doa agar menjadi
yang terbaik.

“Sebelum pengumuman hasil yang terbaik saya selaku dewan juri dari kompetisi Festial
Custome Cilegon mengucapkan banyak-banyak terimakasih keppada peserta yang antusias
mengikuti kompetisi ini. Alhamdulillah semoga dengan adanya FCC ini, anak bangsa bisa
melestarikan budaya-budaya Indonesia,” surakan tepuk tangan yang meriah.

“Baiklah agar tidak membuang waktu mari kita umumkan siapa pemenang dari
kompetisi ini,”.” deg, semua peserta saling merapalkan doa, begitu juga Juan. Juan hanya bisa
pasrah karena ia minder dengan hasil kostum yang terlihat biasa saja dari yang lain.

35

“Selamat kepada peserta no 14, diraih oleh ananda Juan,” sorakan tepuk tangan saling
bersahutan. Sorakan terpuk tangan yang saling bersahutan. Juan seakan membeku di tempat.
Tolong bangunkan Juan dari mimpi ini.

“Pshttt Juan, maju itu,” Eliza menyikut lengan Juan. Juan tersadar ternyata ini bukan
mimpi. Ia berjalan menaiki podium dengan tangan yang begetar memegang piala.

“Selamat untuk ananda Juan yang telah memenangkan kompetisi ini,” semua orang
bertepuk tangan atas kemenangan ini.

“Walaupun desain kostum nya yang sederhana, tetapi kostum nya sangat unik. Terbuat
dari kain perca dan memanfaatkan barang-barang bekas. Sungguh ide yang cemerlang.”

***
Acara telah usai. Juan masih tidak menyangka ia berhasil membawa piala yang ia
idamkan sejak masih kecil.
“Aku bangga kepadamu Juan. Kerja keras mu membawakan hasil yang indah.”

***
Tidak semua barang bekas tidak memiliki nilai karya. Sepotong kain perca saja bisa di
sulap menjadi kostum yang sangat indah. Terkadang kita berpikir bahwa membuat karya itu
harus terbuat dari barang-barang berkualitas. Nyata nya banyak barang-barang bekas yang
bisa kita daur ulang menjadi sebuah karya seni yang luar biasa.

***

36

Aku dan Tarian Banten

Jihan Hasna Hamidah

Langit yang cerah menandakan bahwa hari sudah tak lagi pagi. Alarm yang berkali-kali
terus berdering, membangunkan seorang gadis dari alam mimpinya. Ia pun membuka jendela,
hingga sinar matahari memasuki kamar gadis itu melalui celah-celah jendela. Menghirup udara
segar membuat ia semangat untuk melakukan hal positif dihari ini.

Gadis itu bernama Adiba Salwa, sebut saja Adiba, gadis dengan bola mata kecokelatan
dan tubuh yang tinggi. Ia lebih mudah untuk bergaul dengan orang yang baru dikenal.

Hari ini adalah hari pertama Adiba mengikuti ekskul menari. Ia bisa bertemu dengan
teman-teman barunya. Ia berkenalan dengan seorang gadis yang sangat pendiam dan pemalu,
namanya Thalia. Ia berteman dekat dengan Adiba. Ia pun mengajak Thalia pergi keluar
sanggar untuk sekedar mengobrol saja.

“Thalia, kenapa kamu diam saja, apakah kamu ada masalah?” tanya Adiba dengan
penasaran.

“Eee...a…aku tidak apa-apa kok Adiba,” gugupnya Thalia dengan wajah yang tampak
muram.

Setelah sekian lama mereka mengobrol, akhirnya mereka pun masuk kembali ke
sanggar, dan Sang Pelatih pun datang sambil memperkenalkan dirinya. “Hai semuanya. Selamat
datang di Sanggar Tari Bu Tuti. Perkenalkan nama Ibu Tuti Hasanah.”

Setelah Sang Pelatih memperkenalkan dirinya, tibalah giliran anak-anak yang
mengikuti ekskul menari memperkenalkan diri dan kebetulan Adiba adalah orang pertama yang
memperkenalkan diri.

“Hai semuanya. Perkenalkan nama aku Adiba Salwa, kalian bisa panggil aku, Adiba.
Semoga bisa berteman baik dengan kalian semua,” Adiba memperkenalkan dirinya dengan
senyum yang merekah didepan Sang Pelatih dan teman-temannya. Ya, siapa yang tidak bahagia
untuk menjalani hari pertama ekskul? Tentu saja Adiba merasa sangat bahagia.

“Terimakasih Adiba sudah memperkenalkan diri. Selanjutnya setelah Adiba. Silahkan,”
ucap Sang Pelatih dengan wajah yang sangat ramah.

37

Thalia melangkah maju, walaupun malu-malu. Namun, tak butuh waktu lama, ia sudah
punya teman yang diajak bermain ke sana ke mari.

“Eee…Iya Bu, Perkenalkan nama aku Thalia Sodi, panggil aja Thalia,” saut Thalia
dengan gugup.

Setelah semua anak-anak yang mengikuti ekskul menari memperkenalkan dirinya.
Latihan menari dimulai.

“Baik, semuanya sudah memperkenalkan diri ya, kita akan latihan menari tarian Rampak
Bedug dari Provinsi Banten, apakah kalian sudah tahu tari itu?” ucap Sang Pelatih dengan
sangat lembut.

Anak-anak yang sangat penasaran dengan tarian itu, dan terkejut ketika mendengar
tarian itu karena belum pernah mendengar tarian tersebut sebelumnya.

“Hah, tarian apa itu? Aku belum pernah mendengarnya,” serentak anak-anak.
Sang Pelatih menjelaskan makna dari tari Rampak Bedug.
“Kalian belum tau tarian Rampak Bedug dari Provinsi Banten?” terkejut Sang Pelatih
sembari menempelkan telapak tangan kanan di dahi.
“Oke baik, karena semua belum mengetahui apa itu tari Rampak Bedug, akan Ibu
jelaskan, jadi tari Rampak Bedug mempunyai makna religius, makna kultural, dan makna sosial
yang memiliki nilai bagi kehidupan masyarakat, sampai sini paham semua?”
“Paham, Bu...” sorak anak-anak.
Lalu Sang Pelatih menjelaskan kembali fungsi dari tari Rampak Bedug.
“Anak-anak, kita bisa simpulkan bahwa nilai religi itu menyemarakan bulan suci
Ramadhan dengan alat-alat yang memang dirancang oleh para ulama pewaris Nabi.”
Setelah Sang Pelatih menjelaskan makna dari tari Rampak Bedug, latihan menari
dimulai. Adiba yang sangat senang karena latihannya sudah dimulai, ia langsung mencobanya
dengan penuh semangat.

38

Berbeda dengan Thalia, ia sangat kebingungan untuk memulai darimana latihannya.
Karena ia belum pernah latihan menari sebelumnya. “Duh, gimana, aku tidak bisa menari,” ucap
Thalia dalam hati.

Perlahan demi perlahan, Thalia pun berusaha untuk mencoba latihan menari, tetapi
tetap saja, dia tidak bisa menari

“Duh, gimana ini, sulit sekali gerakan nya,” bingung Thalia.

Setelah Thalia berusaha latihan untuk bisa menari, Adiba pun datang dengan wajah
yang sangat kelelahan.

“Thalia, ayo coba lagi, kamu pasti bisa, jangan menyerah.” ucap Adiba dengan napas
yang turun naik.

Setelah selesai latihan menari, mereka pun pulang bersama, dan ternyata rumah mereka
berdekatan.

“Thalia kenapa kamu tadi malu-malu untuk latihan menari ini?” tanya Adiba.

Lalu disaut oleh Thalia, “Aku tidak bisa Adiba, aku tidak bisa menari.”

“Thalia, kamu pasti bisa, kamu harus percaya diri, jangan malu-malu, lagi pula wajar
kalau pertama kali latihan pasti belum bisa, latihan menari itu bukan hanya untuk menjadi bisa
menari, tetapi juga untuk kesehatan, di majalah ini ditulis kalau menari bisa melatih otak juga.”

Thalia yang terheran-heran dengan omongan Adiba, ia langsung meminta Adiba untuk
menjelaskan apa yang dimaksud omongannya tadi.

“Kok, bisa? Kan, yang bergerak itu tangan, kaki, dan badan, Adiba. Otaknya ikut
goyang-goyang gitu?” tanya Thalia dengan polos.

Adiba pun tertawa kecil melihat kepolosan Thalia.

“Kalau kita olahraga, badan kita sehat, termasuk otak. Nah, kalau nari, kita juga harus
mengingat gerakan, musik, dan posisi, itu juga melatih otak mengingat.” Kata Adiba
menjelaskan.

Setelah mereka saling mengobrol sembari jalan, mereka menemui tukang bakso, dan
mereka membelinya.

39

“Pak, beli.” panggil Adiba dengan suara yang cukup lantang.

Dan tukang bakso tersebut mendekati Adiba. “Pak, baksonya beli 2 ya, jangan pakai
sambel sama saus ya pak.”

Adiba pun mencari tempat duduk untuk memakan bakso.

„Thalia, ayo kita duduk disebelah sana, agar ngobrol nya lebih enak.” ucap Adiba
sembari menunjukkan telunjuknya kepada Thalia.

“Ayo Adiba, kita duduk disana saja.” saut Thalia.

Setelah mereka duduk, makanan itu pun datang. “Ini, Nak, pesanannya.” kata Bapak
Tukang Bakso dengan sangat ramah.

“Ohh, iya pak terimakasih.” kata Adiba.

Mereka pun memakan makanan yang dipesannya itu dengan sangat lahab. Setelah
mereka menghabiskan makanannya itu, Adiba bertanya-tanya kepada Thalia.

“Ohh, iya, Thalia, kenapa kamu tidak ikut ekskul yang lain saja?” tanya Adiba.

“Sebenarnya, aku tidak mau mengikuti ekskul menari, tetapi orangtua ku memilih untuk
mengikuti ekskul menari saja.” ucap Thalia dengan wajah muram.

“Ohh, gitu, tapi kamu hebat lho, kamu menuruti apa yang orang tua kamu pilih, dan itu
membuat kamu lebih percaya diri, banyak teman baru, jadi kamu bisa akrab sama mereka.”

“Hehe, iya sih, orangtua aku juga bilang gitu, agar aku bisa percaya diri. Tetapi aku
tidak bisa melakukan itu.”

Ketika mereka asik mengobrol, ia tidak sadar bahwa makanan yang dimakannya itu
belum dibayar, mereka tertawa.

“OHH, IYA, Thalia, bakso ini kan belum dibayar, kita terlalu asik mengobrol.” ucap
Adiba dengan tertawa lepas.

“Maaf ya pak, kami lupa membayar makanan ini, jadinya berapa pak?” tanya Adiba.

“Ohh, iya tidak apa-apa kok, Nak, jadinya Rp 18.000 ya.” saut Bapak Tukang Bakso
dengan senyum kecil melihat mereka lupa membayar makanannya.

40

Setelah mereka membayar makanannya. Adiba dan Thalia saling bertukar kontak agar
memudahkan mereka untuk berkomunikasi satu sama lain.

“Thalia, aku boleh minta nomor handphone kamu tidak?” tanya Adiba.

Setelah Adiba mendapatkan nomor handphone Thalia. Ia langsung menyimpan nomor
handphone nya itu ke dalam kontak.

Sesampai mereka dirumah masing-masing. Adiba pun mencoba untuk video call dengan
Thalia.

“Thalia, sudah tidur belum ya.” ucap Adiba sembari memegang handphone didepan
wajah.

Adiba tidak mengetahui bahwa teman dekatnya itu sedang berada di kamar mandi.

Adiba sedih karena ia mengira bahwa Thalia sudah tidur. Ia menelepon kembali, sudah 3
kali Adiba menelepon Thalia berturut-turut, tetapi tidak di respon oleh sang pemilik nomor itu.
Akhirnya Adiba pun memutuskan untuk tidur.

“Mungkin, dia sudah tidur kali ya, makanya dia tidak mengangkat teleponku.” ucap
Adiba dengan wajah yang muram.

Setelah 5menit kemudian, Thalia terkejut ketika melihat handphone nya, bahwa Adiba
sudah meneleponnya 3 kali berturut-turut. “Hah, aduh, Adiba menelepon ku sebanyak ini?”

Ia menelepon Adiba kembali, “Duh, semoga dia tidak marah denganku karena aku tidak
mengangkat teleponnya.”

Handphone Adiba berdering, ia langsung mengecek siapa yang meneleponnya itu. Adiba
sangat senang ternyata Thalia yang meneleponnya. Ia langsung bergegas untuk mengangkat
teleponnya.

“Hai, Thalia, aku pikir kamu tadi sudah tidur.”

Thalia merasa bersalah karena tidak mengangkat telepon dari Adiba.

“Hehe, maaf ya, soalnya tadi aku sedang di kamar mandi, makanya aku tidak
mengangkat teleponmu.”

41

“Ohh, gitu, yaudah deh.”

Thalia yang penasaran kenapa Adiba meneleponnya malam-malam.

“Adiba, ada apa kamu menelepon aku malam-malam begini?”

“Maaf ya kalau mengganggu waktu kamu, sebenarnya aku ingin ngomong sesuatu sama
kamu.”

“Tidak apa-apa kok, Adiba, kamu mau ngomong apa?”

Adiba mengusulkan ide nya untuk bisa membuat Thalia percaya diri dan tidak malu-
malu didepan banyak orang.

“Thalia kamu harus percaya diri ya, jangan malu-malu, percaya diri juga sama halnya
dengan kamu presentasi didepan kelas, dan dilihat semua teman sekelas kamu.” ucap Adiba
yang sangat mempercayai Thalia bisa.

Thalia yang tersenyum karena kesadarannya untuk masa depan nanti dan akan dipakai
ketika ia sedang menjelaskan hasil tugas yang diberikan.

“Eee... iya Adiba, terimakasih ya atas supportnya, aku usahain aku bisa melakukan itu
semua, dengan penuh percaya diri.”

“Kamu juga harus bisa berbicara dengan orang yang baru dikenal, karena itu juga ada
hubungannya dengan masa depan kamu, ketika kamu menjelaskan apa yang sudah kamu
kerjakan dengan tugas itu, semangat kamu pasti bisa Thalia.”

Thalia pun menangis terharu, baru kali ini ia menemukan teman yang saling support
untuk masa depan, percaya bahwa bisa melakukannya.

Setelah itu, Thalia memikirkan omongan yang Adiba bilang sejak video call tadi, ada
benarnya juga. Ia mulai memperbaiki diri dari sekarang, karena jika tidak percaya diri
bagaimana dengan masa depan nanti ketika menjelaskan hasil tugas apa yang diberikan tidak
tahu. Ya, siapa yang tidak memikirkan masa depan jika dari sekarang tidak percaya diri? Tentu
saja jika tidak percaya diri maka akan kesusahan untuk menjelaskan hasil tugas yang diberikan.

***

42

Keesokan harinya mereka berlatih menari lagi. Adiba langsung menuju ke rumah Thalia
untuk menjemput Thalia ke sanggar.

Tok...tok..tok.
“Assalamualaikum, Thalia... berangkat bareng aku yu.” ucap Adiba sembari mengetuk
pintu rumah Thalia.

“Waalaikumussalam, Oh iya, Adiba, sebentar ya, aku siap-siap dulu, sini masuk, duduk
dulu.” saut Thalia sembari mempersilahkan Adiba duduk.

Thalia langsung menuju ke kamar untuk bersiap-siap apa yang harus dibawa ke
sanggar.

“Aku sudah selesai siap-siapnya, ayo, kita berangkat Adiba.” ucap Thalia dengan wajah
yang sangat bahagia.

“Thalia, kamu kenapa, sepertinya bahagia sekali?” tanya Adiba dengan wajah yang
penasaran.

“Hehe, nanti saja aku ceritakan di sanggar.”

Sesampainya mereka di sanggar, ternyata belum ada yang datang satu orang pun, hanya
mereka berdua saja.

“Thalia, tadi katanya kamu ingin cerita, kenapa kamu bahagia sekali.” ucap Adiba.

Sang Pelatih dan anak-anak yang mengikuti ekskul menari pun datang, ketika Thalia
ingin bercerita tentang percakapan yang tadi dirumah, ia terkejut.

“Sebenarnya, semalam aku..” terkejut Thalia Sang Pelatih datang sambil menoleh ke
belakang.

“Sudah lengkap ya.” kata Sang Pelatih.

Percakapan mereka pun terpotong. Adiba dengan sangat penasarannya ingin
mengetahui hingga terheran-heran. “Kenapa dia bahagia sekali ya, aku sangat penasaran.”

Adiba memperhatikan Thalia dari barisan depan dengan wajah yang sangat merekah
melihat Thalia ingin berusaha untuk bisa menari.

43

“Dia sudah mulai berusaha untuk latihan kali ini.” kata Adiba dalam hati dengan sangat
bahagia.

Setelah selesai latihan menari, Adiba masih sangat penasaran dengan percakapan tadi di
rumah.

“Thalia, aku mau melanjutkan percakapan yang tadi kita bicarakan dirumah, kenapa
kamu kelihatan bahagia sekali?”

Thalia pun tersenyum manis dengan pertanyaan Adiba itu.
“Kamu sepertinya sangat penasaran ya, hehe, oke deh aku akan cerita ini sama kamu.”
Adiba yang sangat senang karena Thalia ingin memulai cerita nya.
“Ayo, cepat ceritakan.”
“Aku, tersadarkan oleh kata-kata mu tadi malam sejak video call, bahwa memang sudah
saatnya aku untuk berubah memperbaiki diriku, karena akan berpengaruh juga terhadap masa
depanku nanti, jika aku tidak bertemu denganmu, aku tidak akan berubah seperti ini,
Terimakasih Adiba, kamu memang terbaik.” ucap Thalia sembari menangis terharu.
Akhirnya mereka semakin dekat, dan bersahabat. Thalia sadar, bahwa masa depan juga
butuh usaha dan percaya diri yang tinggi.

***

44

Pentingnya Saling Menghargai

Kinaya Marcha Sastaviana S.

Hari senin, dimana semua pelajar dan pekerja menjalankan aktivitasnya kembali.
Semangat ataupun kemalasan ada pada diri mereka. Burung-burung berkicauan, ayam
berkokok, juga hewan-hewan lain yang terbangun oleh cahaya matahari, dan aura fajar
memanggil mereka untuk menjalani hari-hari seperti biasanya.

Nyatanya gak semua orang terbangun oleh suara bising dipagi hari, termasuk gua,
Kendriki Dior. Semalam gua nonton bola bareng bokap sampai-sampai gak sadar kalau waktu
sudah sangat larut. Jangan ditiru begadangnya, gak baik untuk kesehatan. Tapi, gak sia-sia gua
begadang. Tim sepak bola favorit gua menang.

Stop dulu membahas bola. Ceritanya gua lagi enak-enak tidur, tapi… “Sari roti.. roti sari
roti.. TERORET TET TERORET,” suara speaker pedagang roti keliling sangat keras sehingga
buat gua lompat dari kasur. “Astaghfirullah! ya Allah! Kaget..” kata gua sambil mengusap dada.

Dengan nyawa yang belum terkumpul dan tubuh lemas, ibu buat gua kaget lagi dengan
mendobrak pintu kamar. Brak! “KENDRIKI DIOR! Ini udah jam 6 lewat.. CEPET MANDI!”,
ibu berteriak sambil menunjuk pintu kamar mandi. “I- IYA MAK”, dengan reflek gua langsung
buru-buru.

***
Akhirnya gua sampai disekolah. Dengan penuh gaya gua menyapa teman-teman, adik
kelas dan guru-guru disekitar. Pandangan para gadis tertuju kepada gua, sambil senyum
miring gua menyibak rambut layaknya artis terkenal yang berkarisma. Mayoritas laki-laki
tertawa sambil membuat tanda metal pada jari mereka.

Gak lama setelah gua banyak gaya, disitu gua lihat orang. Ya, maksudnya teman dekat
gua. Mereka adalah Agam Dirgantara dan Nauzan Dimas Hafiz. Gua sangat gak senang melihat

45


Click to View FlipBook Version