mereka, karena gua jadi teringat tugas kelompok PPKN yang dimana kita harus membuat
klipping-klipping bertema suku dan budaya di Indonesia.
Gua mencoba untuk kabur dengan bersembunyi dalam kerumunan, tapi ternyata
ekspektasi gua terlalu tinggi. Agam menemukan gua dengan mudah.
“AMPUN KAK!” gua berteriak sambil menutup wajah.
“Weh, tugasnya dek,” dengan nada merayu Agam menaikkan alisnya.
Dimas menghela nafas dan menghampiri kami. “Hari ini kita jadi pergi ke desa itu?”
Dimas melontarkan pertanyaan itu dengan tegas sambil melipat tangannya didada.
“Hah? Desa apa?” gua bertanya sambil menggaruk kepala.
“KE DESA CIBEO!” Agam dan Dimas nyolot.
Suasana hati gua menjadi buruk karena rasa malas yang menggebu-gebu untuk bekerja.
Hal itu membuat raut wajah gua cemberut dan langsung menuju ke kelas.
“MALES TAUUU,” teriakan gua membuat perhatian semua orang dikelas teralihkan
oleh gua.
“Lo kenapa Rik?” tanya teman gua.
“Tugas PPKN-“
“Sssttt, iya gua ngerti” jawabnya yang memotong perkataan gua.
7 menit kemudian bel masuk berbunyi, semua murid sudah duduk rapi di bangku
masing-masing. Sekarang adalah jam pelajaran Bahasa Indonesia, tapi guru mata pelajaran
belum memasuki kelas. Gua mudah bosan, jadi gua memutuskan jalan-jalan dikelas lalu
mengintip di jendela. Betapa terkejutnya gua akibat pak guru yang tiba-tiba melewati jendela
kelas menatap gua dengan tajam.
“WOY DUDUK!” teriak Agam yang melihat gua masih mengatur nafas sehabis kaget.
Gua berlari menuju kursi dan duduk.
46
Pak Hecan, guru Bahasa Indonesia yang baik dan asyik. Tapi jokes nya bapak-bapak
semua. Walau jokes nya terbilang cukup aneh, pak Hecan menjadi salah satu guru favorit di
sekolah.
“Selamat pagi!” sapa pak Hecan.
“Pagi pak~” sahut murid-murid dengan ceria.
“Ada yang masih ingat minggu lalu kita belajar apa?”
Tidak ada yang menjawab dan hening. Setelah beberapa saat pak Hecan melihat kearah
gua.
“Tumben, kok Riki tidak menjawab?”
“Trauma pak,” pertanyaan pak Hecan membuat gua menjawab apa adanya dengan
spontan.
***
1 Minggu yang lalu
“Nah, yang bisa menjawab bapak kasih nilai tambahan,” perkataan pak Hecan membuat
gua memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan yang diberikan.
“Paragraf deskripsi adalah paragraf yang menjelaskan suatu kejadian maupun peristiwa
baik bersifat EHH-“ Gua menyadari bahwa jawaban yang gua ucapkan adalah jawaban yang
salah karena gua juga salah baca catatan.
Semua murid dikelas menertawakan gua dengan puas.
“Bagaimana sih Rik? Begitu doang salah,” ejek Dimas yang membuat gua tambah malu.
Dengan cepat pak Hecan memukul meja, seketika suasana berubah menjadi sunyi.
“Tuhkan trauma, kalian tertawain sih,” keluh pak Hecan.
Walau omongan gua gak begitu serius, tapi tetap saja itu buat mereka menyesalinya.
Maaf adalah kata yang gua dengar berkali-kali saat ini, dan pada akhirnya gua mengiyakan dan
lanjut menyimak pembelajaran.
47
Tak terasa bel istirahat sudah berbunyi, membuat semua pelajar relax setelah otak kanan
mereka berpikir dan mengingat. Suasana jam istirahat tak pernah luput dengan suara canda
tawa dari kebanyakan pelajar. Ekspresi datar yang terlihat dari wajah Dimas mengusik gua
buat selalu menjahilinya.
Gua menghampiri Dimas yang sedang melamun lalu mendorongnya. Gua seketika lari
menjauh saat Dimas melihat gua dengan tatapan amarah.
“SINI LO!” Dimas mengejar gua.
“Ada-ada saja kelakuan para bujan,” Agam menggeleng kepala sambil tertawa.
Kami menghabiskan waktu dengan belajar dan bermain, hingga saat yang ditunggu-
tunggu tiba.
“Pulang! Hhhh.. akhirnya,” Dimas menghela nafas sembari mengemas barang-
barangnya.
“Jangan senang dulu, kita masih harus kerja.” nada bicara Agam yang dingin buat gua
dan Dimas gemetar.
“Besok saja-“ Dimas menolak namun pembicaraanya terpotong oleh Agam.
“Gak, kita harus kerjakan sekarang biar gak ketunda terus. Lagian hanya sebentar.”
Mendengar percakapan mereka gua hanya bisa menyimak sambil menguap.
“Kenapa? Mau pulang? Silahkan. Tapi lo gak bakal gua masukin namanya diklipping
nanti,” gua langsung membelalak dan menggeleng.
“ENGGAK KOK, SIAPA JUGA YANG MAU PULANG?” Mendengar jawaban dari
gua, Agam menepuk tangan sebagai apresiasinya.
***
Sampailah kami di desa Cibeo, jantung masyarakat suku Baduy dalam. Tempat yang
berada dalam hutan, namun keindahannya tidak pernah berkurang. Keasrian serta
pemandangan nya membuat jiwa menjadi tenang. Sungai di dalamnya seperti menggambarkan
dewa-dewa yang sedang menari dalam alunan suara aliran air. Sinar matahari menembus di
48
sela-sela pohon yang rindang dan tinggi, membuat pandangan teralihkan kepada ciptaan tuhan
yang sangat indah.
Dengan langkah kecil kami menikmati setiap detik keberadaan kami di sini. Rasa sedikit
penyesalan ada dalam hati yang berbisik, kemana saja dirimu? Kamu tidak pernah melihat alam
yang asri dan bersih seperti ini. Kami tersadar akan pentingnya mengenal suku bangsa di
Indonesia, karena keberadaan mereka juga yang menuntun kita semua kepada surga dunia.
“Hmh.. kenapa gua baru tau ada desa sebagus ini di Banten?” Dimas menghembuskan
napas dan melihat sekeliling.
“Iya, gua nyesel gak pergi-pergi ketempat begini dari dulu,” gua mendecak dan
menggaruk kepala.
“Ya sudah, kita jalan lagi. Di situ ada orang, ayo tanya-tanya,” Agam berjalan
mendahului kami.
Kami menghampiri pria berbadan kekar ditengah pedesaan. Sembari berjalan kami
melihat warganya yang ramah kepada pendatang luar. Senyuman lebar mereka seperti
mengartikan bahwa kami diterima disini. Terlihat suci, mereka mengenakan busana dan ikat
kepala berwarna putih.
“Permisi, pak,” sapa Agam dengan ramah.
“Eh, iya dek?” jawab pria kekar itu.
“Jadi, kami siswa SMP. Kedatangan kami kemari adalah untuk mengenal dan
mendokumentasi kan adat-adat suku Baduy. Mohon bantuannya ya, pak.”
“Ohh~ saya paham. Saya bisa bantu untuk mengenali upacara adat di sini.” jawabnya
dengan senyuman.
“Sebelumnya perkenalkan nama saya Agam, ini Dimas, dan itu Kendriki.”
“Iya, saya Anung,” Pak Anung menjabat tangan kami.
“Silahkan,” kami membungkuk dan mengikuti pak Anung yang memandu kami di depan.
Gua memperhatikan Dimas yang sejak tadi seperti meremehkan dari ekspresi wajahnya.
Tapi gua gak begitu peduli dan tetap enjoy dengan pemandangan desa.
49
“Orang-orang di sini agak serem. Bajunya putih semua kaya poc-“ dengan cepat gua
tutup mulutnya.
“Lo diem. Gak sopan ngomong sembarangan begitu.”
“Jadi di sini ada yang memakai busana hitam atau putih. Busana putih untuk suku baduy
dalam, dan yang hitam untuk suku baduy luar,” jelas pak Anung sambil menoleh ke arah kami.
“Oh, begitu. Lalu apakah masyarakat sedang melaksanakan upacara adat?” tanya Agam.
“Betul! Kami sedang menggelar upacara Kawalu.”
“Upacara Kawalu itu apa?” tanya gua.
“Upacara Kawalu adalah upacara untuk mengungkapan rasa syukur kepada Tuhan.
Orang berusia 15 tahun ke atas akan berpuasa.”
“Wah, sangat religius. Apa ada upacara lagi setelah upacara Kawalu?” tanya Agam lagi.
“Setelah Kawalu, masyarakat Baduy akan melanjutkan nya dengan upacara Ngalaksa.
Ngalaksa ini berupa silaturahmi kepada kerabat dan tetangga, seraya membawa hasil panen.
Dan setelah Ngalaksa usai maka upacara Seba akan dimulai.”
“Apalagi upacara Seba?” tanya Dimas dengan sombong.
“Masyarakat Baduy akan mempersembahkan hasil panen kepada pemerintah.”
Penjelasan pak Anung cukup jelas bagi Agam, ia pun mencatat apa yang telah dijelaskan
pak Anung. Walau tulisannya terbilang berantakan, tapi masih dapat dipahami. Setelah berjalan
agak lama kami terheran-heran melihat masyarakat Baduy membawa persembahan keluar desa.
“Loh, mereka mau kemana?” tanya gua.
“Kami akan menempuh perjalanan selama tiga hari untuk menuju ke Istana Merdeka,
karena kami akan melaksanakan upacara Seba disana.”
“Ooooooh.” kami mengangguk serentak.
Dimas langsung mengambil gambar dengan kamera miliknya. Awalnya pemotretan foto
pertama dan kedua normal-normal saja, saat pemotretan yang ketiga gua menghalangi kamera.
50
Gua terus bergaya didepan kamera agar Dimas jengkel. “MINGGIR!” teriakan Dimas buat
keributan di sekitar. “Stop! Bukan waktunya bercanda,” wajah Agam merengut.
*Pengambilan gambar selesai.
“Pak, kami tidak bisa pergi ke Istana Merdeka dalam 3 hari kedepan. Jadi, apa boleh
kami menitipkan kamera ini? Bantu kami untuk memperoleh foto-foto kegiatan upacara yang
akan dilakukan di sana,” mohon Agam.
“Boleh saja, saya tidak keberatan,” Agam merebut kamera Dimas dan memberikannya
kepada pak Anung.
“LOH” Dimas kaget tidak terima.
“Tenang saja, kalau rusak akan gua gantikan kamera nya.”
Setelah percakapan tersebut, kami berpamitan dengan pak Anung dan pulang ke rumah
masing-masing.
Setibanya Dimas dirumah, ia mendapatkan notifikasi pesan dari Agam. Ia langsung
melihat handphone nya dan membaca pesan tersebut.
“Dimas, lo tau kan kalau tadi kita harus menghargai suku dan budaya di Indonesia?”
“Iya, terus?”
“Tadi lo gak menghargai sama sekali. Mengejek busana khas mereka.”
“Iya, maaf banh,” pesan dari Agam membuatnya merasa terpukul.
Dimas melihat ke arah jarum jam yang menunjukkan pukul 16:20. Ia mematikan layar
handphone dan menemui ibu nya yang sedang membereskan rumah. Dimas mencium tangan ibu
nya lalu pergi ke kamar untuk mengganti baju.
Hela nafas yang kasar akan kekesalan membuat diri nya menjadi lebih egois. Pikiran
nya berkata bahwa saya bisa melakukan apa saja, dan untuk apa saya harus menuruti perkataan
mereka? “Pfftt.” Bunyi merujuk keluar dari mulut nya. Tanpa waktu lama untuk berdiam diri
dalam amarah, ia memutuskan untuk tidur.
51
***
Enam hari berlalu, pagi datang kembali di hari ini, dan entah mengapa setiap pagi gua
mendapatkan hal yang mengejutkan. Saat baru bangun gua pikir ini adalah pagi yang
menyenangkan, namun sudah diawali dengan kedatangan kecoak terbang. Kapan gua bisa
mendapatkan pagi yang gak suram adalah keputusan Tuhan, tapi ini sudah keterlaluan. Gua
menarik napas dan, “AAAAAAAAA KECOAK!”
Setelah mendapatkan pagi yang membagongkan alias membingungkan Agam mengabari
untuk datang ke lapangan basket perumahan. Ketika sudah berada di lapangan basket senyum
lebar terpancar diwajah Agam. Gua dan Dimas kebingungan. “Lihat!” Agam menunjukkan foto-
foto kegiatan upacara Seba.
“Ini semua pak Anung yang foto,” kata Agam sambil mengembalikan kamera Dimas.
“Coba gua liat.” Dimas mengambil kameranya dan melihat foto-foto itu.
Gua juga ikut melihat fotonya, tapi wajah Dimas seperti ingin meremehkan.
“Seriously? Aneh banget mereka,” Dimas tertawa dan puas setelah mengejek adat suku
Baduy.
Gua merasa tersinggung atas apa yang diucapkan Dimas. Walau kita bukan orang suku
Baduy, tapi tetap saja ini adalah kebudayaan Indonesia. Dimas sudah keterlaluan, gua gak akan
hanya diam. “DIMAS!” gua gak bisa mengontrol emosi lagi. “Sudah, cukup,” Agam mencoba
menjauhkan gua dan Dimas.
“Lo diajarkan sikap menghargai gak!? Kurang ajar banget lo!”
“Rik, tenang,” Agam mulai kewalahan hingga akhrinya genggaman nya terlepas dari
gua.
“Gua tau lo bukan orang suku Baduy, tapi kebiasaan lo yang jelek itu gak bikin diri lo
keren! Seharusnya lo malu karena tidak mencintai kebudayaan tahan air. Lo orang Indonesia
bukan!? Lo mengaku orang Indonesia, tapi buat apa kalau lo gak menghargai segala didalam
nya?”
Agam hanya terdiam karena takut akan kejadian ini, sedangkan Dimas hanya bisa
menatap gua. Pertemuan empat mata dengan emosi yang berbeda membuat suasana menjadi
52
tegang. Agam kembali berusaha menenangkan gua dari amarah yang membara. Penyesalan
tersirat dalam mata Dimas, ego hilang, keberanian mengecil. Hal yang hanya bisa Dimas
katakan adalah “Maaf” seketika juga amarah gua menghilang. Tak hanya Dimas, gua juga
merasa bersalah karena telah membentak teman sendiri.
“Gua juga minta maaf, Dimas,” gua mengulurkan tangan dan membantunya untuk
berdiri.
“Ayo baikan,” kata Agam sambil mengusap punggung kedua teman nya itu.
Gua dan Dimas berjabat tangan.
“Nah, begini kan enak,” Agam tertawa.
“Ngomong-ngomong itu ada cabe di gigi lo.”
Mendengar perkataan dari gua, kami pun tertawa bersama dan hubungan pertemanan
kami kembali seperti dulu.
***
53
Kenangan Cita Rasa
Alisya Salsabila Putri
Warna biru gelap menghiasi angkasa. Bulan menyinari sebagian muka bumi yang gelap
gulita. Kerlap kerlip bintang menambah keindahan langit malam. Gadis berkacamata itu
tertegun menatap langit. Mempersiapkan kamera dengan lensa panjang beserta tripod di
sampingnya. Mendekatkan benda tersebut ke matanya. Mengatur fokus, kemudian lensa dan
menekan tombol shutter untuk mengambil gambar.
“MasyaAllah... indahnya!” ucap sang gadis setelah melihat hasil foto langit malam yang
telah dipotretnya. Gadis dengan mata coklat dan satu tahi lalat khas di dekat matanya. Khayra
Azzahra atau kerap disapa Ara ini memang hobi memotret sejak kelas 9 SMP.
“Ara, masuk sayang, ini sudah malam. Besok kita harus ke rumah Eyang. Tanulira. Jadi
jangan tidur terlalu larut,” panggil perempuan berkepala empatparuh baya yang sedang
memerhatikannya.
“Iya, Bunda,” jawab Ara sambil membereskan kamera dan aksesorisnya. Sosok
perempuan itu tersenyum.
“Bunda, kenapa kita harus ke rumah Eyang?” tanya Ara menghampiri Bunda nya.
“Besok bulan Muharram, Nak. Jadi eyang mau memberi makanan untuk anak yatim.
Nah, kita bantu eyang mempersiapkan makanannya, ya.”
“Owalah, Eyang Tanulira yang punya toko sate bandeng itu kan, Bun?” tanya Ara
memastikan. Bunda nya mengangguk pelan.
“Oke deh, Ara masuk ya, Bun,” lanjut Ara.
“Iya, Nak. Ara langsung tidur ya, udah jam 9. Takut besok kesiangan.”
“Siap, laksanakan!”
***
Sosok lelaki tampan dengan hoodie hitamkaus lengan panjang berdiri di depan pintu
rumah. Melihat jam tangan yang dikenakannya telah menunjukan pukul 8 pagi. Tubuhnya
54
yang tinggi melambaikan tangan dan menunjukan senyum yang rupawan. Mata yang menyipit
saat lelaki itu tersenyum terlihat sangat indah. Warna kuning langsat yang melekat pada diri
laki-laki tersebut membuatnya semakin menawan.
Nama lelaki tampan itu Ali. Lebih lengkapnya Ghazali Zayed Pratama, sepupu Ara
selisih satu tahun lebih tua. Dahulu mereka sangat dekat. Namun karena sudah SMA, mereka
menjadi sibuk pada urusannya masing-masing. Ali merupakan siswa kelas 12 yang sibuk
dengan tes perguruan tinggi. Sedangkan Ara, siswi kelas 11 yang sibuk les dan
berorganisasi.organisasi sekolah.
“Mau gue bantu?” tanya Ali pelan. Memperhatikan Ara yang sedang mengikat tali
sepatun
ya. sepatunya.
Ara menggeleng pelan dan kembali sibuk dengan sepatu kesayangannya itu. Menyadari
bahwa suara itu tampak dikenali, Ara melihat lelaki yang sedang memperhatikannya.
“Loh, Ali? Kok di sini?”?” tanya nya terkejut.
“Lah? Kok kaget, Ra?” Ali bertanya balik.
“Parah, Lo. Tadi ga ngebales lambaian tangan gue,” lanjut Ali dengan wajah cemberut.
“Sorry, Li. Gue lagi ga pake kacamata. Jadi burem burem gitu.”
“Oh, gitu. Oiya, mana kacamata lo?”
“Mau ngapain?” jawab Ara cuek.
“Ya, dibersihin lah.”
“Eh, hari ini lo ke rumah eyang, kan? Gue anter ya?” tanya Ali berganti topik.
“Hah? Tau darimana?”
“Iya “Oh itu, tadi malam Bunda lo nge -chat gue, buat temenin lo ke rumah Eyang
Tanulira.”
“Owalah, begitu. Maaf ya Bunda gue malah nge chat dan ngeganggu waktu lo.”
55
“EnggakEngga ganggu, kok. Lagian lagi ngga sibuk juga. Malah gue seneng bisa
nemenin lo dan ketemu Eyang Tanulira.” Ali tersenyum mengacungkan jempolnya.
“YaudahYa udah, Alhamdulillah kalau gitu.”,” Suasana kembali lengang. Menyisakan
Ara yang sedang sibuk merapihkan barang dan Ali yang selalu menawarkan bantuan tetapi
selalu ditolakhanya diam memperhatikan Ara.
“Eh, Ali sudah datang,” sambut bunda Ara menepis kecanggungan di antara kedua
remaja tersebut. Ali tersenyum untuk kesekian kalinya. “Hehe, iya tante.”
“Tante titip Ara, ya. Kalian hati-hati di jalan.”,” Bunda tersenyum menatap
keponakannya itu. Ali mengangguk mantap.
“Iya, siap, Tan. Kita berangkat, ya. Assalamu‟alaikum.”,” Ali mengecup tangan
perempuan yang ia panggil „Tante‟ itu, disusul Ara yang sedari tadi sibuk merapihkan barang
bawaannya.
“Bunda, Ara berangkat, ya!”
“Iya, Nak. Hati-hati ya. Ali jangan ngebut!”
“Beres, Tante.”
***
Semilir angin menemani perjalanan kedua remaja itu. Ditemani motor ninja berwarna
hitam sedikit kelabu yang berjalan dengan kecepatan normal. Pengemudi membawa kendaraan
roda dua miliknya dengan hati-hati. Membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai di rumah
Eyang Tanulira.
“Assalamu‟alaikum, Eyang. Permisi...” ucap Ali mengetuk pintu kayu jati kokoh di
hadapannya.
“Eh? Ali dan Ara, sini masuk, Nduk.” Wanita lansia yang masih kokoh itu menyambut
kedua cucunya dengan ramah. Keduanya tersenyum sopan dan tak lupa pula mengecup tangan
wanita itu.
“Eyang, kita ke sini mau bantuin Eyang memasak sate bandeng.” Ara memulai topik
pembicaraan. Ali mengangguk setuju.
56
“Aduh, jangan repot-repot, Nduk. Sudah banyak yang membantu, kalian santai saja di
sini. Kalau ada apa-apa, bilang saja. Eyang ada di dapur.”
Ali dan Ara saling menatap tak berkutik. “Kalau gak bantuin Eyang, ngapain kita
kesini?” hanya itu yang ada dipikiran mereka. Tak ada pilihan lain, mereka hanya menurut pada
apa yang dikatakan wanita lansia itu. Mengangguk pelan dan duduk di kursi yang disediakan.
“Li, terus kita ngapain ke sini kalau nggak bantuin Eyang?”
“Istirahat aja dulu, Ra.” Ara terdiam sejenak menatap Ali yang tengah berbaring di sofa.
“Oiya, lo bawa kamera kan? Boleh liat gak?” lanjut Ali mengganti topik.
“Boleh, sebentar ya.” Ara memberikan kamera kesayangannya itu kepada Ali.
“Gila, benda keramat Ara dari zaman SMP,” canda Ali. Keduanya tertawa dan lanjut
melihat hasil potret Ara selama 3 tahun ini.
Setelah sekian lama, akhirnya mereka selesai melihat hasil potretan Ara. Keduanya
kembali terdiam. Menatap ruang tamu rumah Eyang Tanulira yang tampak sunyi. Rasa bosan
hinggap di benak dua remaja SMA itu.
“Lo, bosen gak, Ra?”
“Tanpa ditanya juga lo udah tau,” jawab Ara ketus.
“Gimana kalau kita liat proses masak sate bandeng? Kayaknya dibolehin deh,” saran Ali.
Ara meng-iyakan apa yang dikatakan sepupunya itu. Ia pun segera menuju dapur dan
menghampiri wanita lansia yang sedang sibuk dengan kerjaannya.
“Eyang... Ara mau liat Proses masaknya, boleh kan?” bujuk Ara dengan suara memelas.
“Ali juga!”
“Boleh, Nduk. Sini, di samping Eyang.” Keduanya saling mengepalkan tangan dan
berbisik “Yes! Berhasil!”
Ara mengabadikan hal ini dengan kamera hitam miliknya. Melihat ikan bandeng yang
dipisahkan dari tulangnya. Mengeruk daging bandeng dari kulitnya, memisahkan bagian
daging dan duri. Membuat adonan dari campuran daging bandeng, kelapa sangrai, garam, gula
merah, dan air asam yang diaduk rata. Kemudian memasukkan adonan ke dalam kulit bandeng
57
sehingga berbentuk kembali seperti ikan. Menjepit bandeng dengan bambu dan
membungkusnya dengan daun pisang. Lalu, memanggang ikan di atas bara api sampai matang.
Setelah melalui banyak proses, akhirnya sate bandeng Eyang Tanulira sudah matang.
Ara dan Ali membantu membungkuskan makanan khas daerah banten itu menggunakan nasi
kotak. Terkumpul 150 nasi kotak untuk anak yatim yang siap diantar. Sekarang pekerjaan
mereka sudah selesai. Mereka berdua kembali ke ruang tamu dan istirahat sejenak sebelum
pulang. Sudah 30 menit mereka merehatkan badannya di ruang tamu. Karena sudah merasa
lebih baik, mereka pun memutuskan untuk pulang.
“Nduk, maaf kalau merepotkan...”
“Kenapa, Eyang?" sahut kedua cucunya bersamaan.
“Pak Kirman, yang seharusnya mengantar nasi kotak untuk anak yatim ada urusan
mendadak. Istri nya sakit parah dan harus ditemani. Jadi, tidak dapat mengantar makanannya.”
“Ali bisa bawa mobil?” tanya Eyang gelisah. Ali menganggukkan kepalanya. “Bisa, kok,
Eyang.”
“Sudah punya SIM?” Kini kedua kalinya Ali mengangguk-anggukan kepalanya. Eyang
menghela napas lega.
“Tolong diantar nasi kotaknya, ya, Nduk. Ini alamatnya, perjalanan dari sini
membutuhkan waktu 15 menit. Acara nya akan dimulai jam 11:40,” jelas Eyang memberikan
kunci mobil dan alamat yang di tuju.
Ali melihat jam tangannya, sudah pukul 11:30! Belum lagi kalau jalannya macet. Ia
bergegas mengambil kunci yang telah diberikan dan bersiap-siap untuk pergi ke tempat yang
diperintahkan. Ara membantu membuka bagasi mobil kemudian memasukkan nasi kotak itu ke
dalamnya. Setelah siap dan berpamitan, kedua remaja itu pun berangkat dengan kecepatan
penuh. Menuju alamat yang sudah diberitahu Eyang Tanulira. Semuanya hanya bisa pasrah.
***
Sepulang mengantar makanan, wajah Ali hanya menunduk dikelilingi rasa bersalah,
begitu juga Ara. Makanan yang diantar nya tidak datang tepat waktu. Jalanannya macet dan
jalan pintas tidak cukup untuk dilewati mobil yang dikendarai nya.
58
“Sudahlah, Nduk. Tidak apa-apa. Hal itu bukan salah kalian,” ujar Eyang menenangkan kedua
cucunya.
“Hal ini bukan salah siapa-siapa. Sudah terjadi dan berlalu, jadikan pelajaran dan
renungan saja. Tidak usah sedih berlebihan begitu. Manusia itu wajar membuat masalah. Yang
tidak wajar, kalau tidak mau belajar dari kesalahan,” jelas wanita lansia itu meralat apa yang
dikatakan sebelumnya. Kedua cucunya mengangguk dan masih saja menunduk.
“Supaya tidak sedih, kalian makan sate bandeng dulu. Masih ada sisa tadi Eyang
memasak.”
Wajah kedua remaja itu kembali cerah. Senangnya bukan main. Siapa sih yang nggak
senang habis dimarahi malah dikasih makanan? Ini kejadian langka. Hanya dilakukan oleh
Eyang Tanulira. kedua remaja itu menuju dapur dan mengambil nasi serta lauk berupa sate
bandeng dengan kebahagiaan yang tak terungkap.
“Udah gue bilang, Eyang ga akan marah. Apalagi sama kita,” celetuk Ara. Ali menyetujui
apa yang dikatakan Ara dan kembali memakan sate bandeng.
“Sate bandeng enak banget, ya, Ra. Kalau temen-temen gue nyobain pasti bakal nambah
makan.”
“AHAHAHA, lo udah kayak promosiin makanan aja.”
“Tapi bener, enak, kan? Cuma, kebanyakan remaja sekarang lebih banyak suka fast food
atau makanan luar negeri. Padahal makanan dalam negeri juga ga kalah enak. Malahan enak
banget.” Ara mengangguk setuju pada opini sepupunya itu.
“Gue udah abis, Ra.” Ali meledek sepupunya itu. “Lama banget, kayak siput.”
“Enak aja, gue juga udah,” balas Ara tidak terima.
Selesai memakan makanan khas Banten itu mereka membantu Eyang Tanulira
membereskan dapur yang kotor. Kemudian melaksanakan salat zuhur secara berjamaah.
Kembali beristirahat di ruang tamu rumah Eyang Tanulira dan melihat hasil foto-foto yang
mendokumentasikan proses pembuatan sate bandeng.
59
Hari itu merupakan hari yang luar biasa untuk kedua remaja itu. Mungkin saja bagi
beberapa orang itu merupakan hari yang biasa saja.tidak bermakna. Namun, pada tanggal 1
Muharram telah mendekatkan dua sepupu yang jarang bertemu. Telah mempelajari proses
pembuatan sate bandeng yang termasuk sulit untuk remaja se -usia mereka. Melalui kamera
hitam milik Ara, menjadi saksi hal yang telah mereka jalani hari itu. Mungkin saja akan menjadi
kenangan cita rasa yang tidak akan pernah dilupakan sepanjang masa.
***
60
BIODATA PENULIS
Perkenalkan. Nama saya Kevin Narendra Ananta Putra biasa dipanggil Kevin. Saya
lahir pada tanggal 2 Februari 2008 di Cilegon. Hobi saya yaitu membaca komik dan novel. Saya
biasanya membaca buku-buku sambil mendengarkan musik. Saya merupakan penulis dari
cerpen yang berjudul "Awal dari Persahabatan Sejati" di buku ini. Motto hidup yang saya
tekuni adalah "Kesabaran dan kerja keras pasti akan membuahkan hasil, janganlah pernah ragu
untuk berusaha semaksimal mungkin." Semoga cerpen-cerpen di buku ini dapat menambah
ilmu kalian semua, selamat membaca.
Hillow! Nama saya Minahu Saniyah biasa dipanggil Sani. Saya lahir di Cilegon, Banten
pada 21 July 2008. Hobby saya di bidang seni rupa, musik, sastra, dan tertarik dalam dunia
memasak. Cerpen 'Tabuhan Senja' adalah karya saya. Motto saya " Gausah malu toh ga ada
yang peduli " Anw jangan lupa mampir ke @sniyz._.mii yaa!
Hii semuanya. Aku Tsaqila Alicia Nandys biasa di panggil sesuka hati yang manggil.
Aku lahir di bumi yang indah ini yaitu di Sukabumi, 28 april 2008. Hobi ku membaca novel,
manga jepang karna aku wibu. Motto hidup ku simple aja sih "pikirkan sebelum bertindak"
oiyaa kalau kalian kepo penulis cerpen yang cantik ini kepoin ig @tsaqilacia. Sekian terimakasih
telah membaca karya ku "Sepotong Kain Perca"!!
Haloo teman-teman! Perkenalkan saya Alisya Salsabila Putri, bisa dipanggil Lisya. Saya
lahir di Cilegon, 6 Mei 2008. Hobi saya menggambar, melukis dan membaca buku. „Kenangan
Cita Rasa‟ yang menjadi penutup dari cerpen-cerpen sebelumnya merupakan karya saya. Motto
hidup saya adalah “Jangan pernah takut kegagalan, karena kegagalan merupakan awal dari
kesuksesan.” Okee, segitu dulu ya perkenalannya! Oiya, kalau kalian ingin mengenal saya lebih
dekat, bisa mampir ke instragram dengan akun @lisyasals yaa! Terimakasih sebelumnya karena
sudah mau membaca karya kami. Sampai jumpa!
61
Hallo kawan!!! Perkenalkan nama saya Jihan Hasna Hamidah, bisa dipanggil Hasna.
Saya lahir di Cilegon 6 September 2007. Hobi saya menulis dan berolahraga bulutangkis. „Aku
dan Tarian Banten‟ adalah cerpen karya saya. Motto hidup saya yaitu “Jangan banding-
bandingkan dirimu dengan kesuksesan orang lain, biarkan orang lain merendahkan mu, kau
buktikan bahwa dirimu bisa sukses darinya.” Oke segitu dulu perkenalan saya, jangan lupa
mampir ke Instagram @jhannnss ya!!! Salam Sukses.
Halooo!!! saya Annisa Keisha Tama panggil aja Nisa. Saya lahir di Bandar Lampung,
pada tanggal 28 Oktober 2008. Hobi saya yaitu, menyanyi. 'Sejuta Makna' adalah cerpen karya
saya. Motto yaitu "Tetaplah berbuat baik walaupun orang itu berbuat jahat kepada kita". Oiya,
jangan lupa follow @nniisas di instagram yaa!!! <3 Instagram: @nniisas. Tetap semangat yaa!!!
Yo, perkenalkan nama saya Muhammad Ichsan Maulida biasa di panggil Ichsan atau
Ican. Lahir di Cilegon, 7 Agustus 2008. hobi saya adalah bermain game. 'Pertunjukan Debus'
adalah cerpen saya. Motto hidup saya adalah "Bermimpilah sesuka hati tentang apa yang kamu
inginkan, sebab itu hanya mimpi" @ichsannnnns
Hallo teman teman slayy semuaa!!! Nama saya Almayira siti az zahra biasa dipanggil Ira
atau May. Saya lahir di Cilegon, 22 Maret 2008. Hobi saya menulis cerita dan menggambar.
"Lembaran surat untuknya" adalah salah satu tulisan buatan saya. Moto hidup saya ingin
menjadi animeh, mohon do'a nya biar saya bisa ketemu husbu sama waifu saya. Tak kenal maka
tak sayang, kalau gitu teman teman semua bisa stalk intagramku di @2.mayra.2 salam hangat
untuk semuaaa.
Kinaya Marcha, 17th March 2008. Saya lahir di Cilegon, Kecamatan Kertasana. Hobi
saya mendengar lagu dan berimajinasi. Pecinta motor tapi bukan ngabers, gitar listrik, lelaki
cantik dan benda-benda berwarna hitam. Akun ig @Kinayamarchas
62