Buku kecil yang selalu mengisi hari-hariku, dimana aku bisa bebas
melampiaskan perasaanku tanpa harus takut siapapun, mungkin aku
tipe orang yang lebih suka berkomunikasi lewat tulisan daripada
lisan langsung.
Selesai sholat shubuh aku sempatkan melantunkan beberapa
dari ayat dari alquran, tak lupa bacaan dzikir pagi selalu kuusahakan
agar tak terlewati. Cahaya sang surya mulai nampak kemerah -
merahan, aku bergegas meninggalkan masjid, tak lupa buku kecil
yang kuletakkan dirak alquran kuambil. Aku berjalan menyusuri
taman - taman disekitar masjid sambil menikmati sejuknya udara
dipagi hari dimana belum ada sesuatu yang mengotorinya. Berjejer
bangku - bangku memanjang, aku mencari tempat yang sekiranya
leluasa memandang kemanapun yang aku inginkan, sembari ku buka
lembaran buku kecilku, kucari halaman kosong dimana aku bisa
bebas menuliskan apa saja yang sedang memenuhi otakku. Setelah
dapat mulailah kugoreskan pena kesayanganku, mulai memenuhi
kertas-kertas kosong dibuku kecilku. Kutuliskan berbagai macam
target dan tujuan ku selama menempuh pendidikan disini, tak lupa ku
goreskan penaku menulis sedikit tentangku.
Dua tahun yang lalu, aku termasuk seseorang yang begitu
membenci kata bernama sekolah, dikelas dua dan tiga Aliyah
seringkali ku membuat masalah karena aku tak lagi ingin bersekolah
disana, banyak pelajaran-pelajaran yang membuatku muak
memandangnya, terkadang guru-guru yang mungkin pilih kasih
46
diantara murid-murid yang paham saja. Setiap aku membuat masalah
ayahku selalu menasehatiku, tak pernah sekalipun membentakku
dengan kata-kata kasar, tapi kata-kata itulah yang akhirnya
membuatku menerima untuk menyelesaikan pendidikan menengahku.
Lulus SMA aku sama sekali tidak ada keinginan untuk melanjutkan
pendidikanku, hampir satu tahun aku memutuskan untuk mengambil
tugasku. Hingga suatu hari ayahku menawarkan untuk melanjutkan
kuliah disebuah universitas berbasis pesantren, aku mengiyakan
walaupun tidak yakin saat itu. Qodarullah setelah berbagai macam
hal-hal yang harus kusiapkan terpenuhi namaku termasuk salah satu
diantara yang diterima diuniversita tersebut.
“ Oy man, jangan bilang kalau kau belum persiapan ya. ”
suara seseorang memecah keheninganku dalam menulis.
“ 20 menit lagi kita akan ada acara peresmian mahasiswa baru,
tentu kita tak mau dihukum dihari pertama kita resmi menjadi
mahasiswa bukan ? ” Lanjutnya.
“ Tentu saja kawan, ayo kita bergegas. ” jawabku.
Kututup lembaran buku kecilku. Kubergegas melangkahkan
kakiku mengikutinya. Jalan hidupku akan dimulai disini. Impian-
impian ku akan terwujud disini, yang berlalu biarlah telah berlalu,
aku sekarang bukan lagi yang membenci dunia pendidikan, aku yang
sekarang harus bisa menghancurkan gerbong kebodohan.
47
Menjadi Penulis Peradaban
Oleh: Krisna Wijaya / PAI - 3
“ Islam adalah peradaban literasi. ” statement yang
disampaikan dalam sebuah acara seminar kepenulisan yang diisi oleh
Dr. Muhammad Muslih (Dosen UNIDA Gontor) waktu itu telah
memberi sudut pandang baru kepadaku tentang dunia kepenulisan.
Maksud dari Islam adalah peradaban literasi adalah peradaban
Islam dibangun tidak lepas dari tradisi literasi didalamnya. Pernah
pada suatu waktu aku membaca karya beliau yang berjudul “Falsafah
Sains”, ketika aku membaca buku ini aku memikirkan bagaimana
bisa penulis ini memiliki pola pikir menulis buku yang begitu ribet
karena aku sendiri tidak kepikiran akan ada orang yang menulis
sesuatu seperti ini. Bukan hanya karya beliau saja yang menggelitik
pikiranku tentang tulis menulis, sebelumnya ada satu buku yang
menggelitik pikiranku tentang bagaimana ada orang yang menulis
karya yang begitu ribet tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Buku
itu berjudul “Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan?” karya Hamid
Fahmy Zarkasyi (Direktur INSISTS). Disaat aku membaca dan
berusaha memahami buku ini, sekali lagi aku memikirkan tentang
kok bisa ya ada orang yang menulis karya seperti ini yang diluar
jangkauan perkiraanku.
Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah pemicu pertama kali
untukku mengenal lebih dekat tentang dunia kepenulisan.
Ketertarikanku yang lain adalah bagaimana mereka menciptakan
48
karya yang tidak dipikirkan atau dibayangkan orang lain dan
meninggalkannya untuk kebermanfaatan kedepannya. Selain karena
hal itu, alasan lain adalah karena sejarah para Ulama yang
mencorehkan karya mereka begitu cemerlangnya dalam sejarah
peradaban Islam. Aku ingin mewarisi tradisi intelektual generasi
Salaf dalam berkontribusi kepada kemenangan peradabaan Islam
suatu saat nanti dengan pena dan kertas. Kalaulah saat ini aku tidak
bisa berkontribusi dengan mengangkat pedang di medan perang,
setidaknya aku ingin berkontribusi dengan mengangkat pena pada
sebuah tulisan yang bermanfaat bagi Ummat.
Harapan yang tidak selalu berjalan sesuai dengan realita
adalah hal yang wajar dalam kehidupan. Hal itu justru bisa menjadi
batu loncatan untuk melangkah lebih jauh kedepannya sekaligus
tantangan yang layak diperjuangkan. Begitu juga kisahku dengan
dunia kepenulisan yang kadang menemui tantangan dan hambatan
ditengah-tengah jalan. Tantangan dan hambatan terbesar dalam dunia
kepenulisan menurutku adalah diriku sendiri. Diriku kadang
memiliki keinginan kuat untuk maju dan berkembang, namun dilain
waktu memiliki keinginan untuk berhenti dan stagnan. Cara terbaik
untuk menghadapi diri sendiri adalah dengan memahami siapa diriku
dan berdamai dengan diriku sendiri. Sedangkan tantangan yang
bersifat ekternal yang paling besar menurutku adalah lingkungan.
Meskipun aku memiliki kemauan, namun bila tidak diimbangi
dengan lingkungan yang mendukung maka hal itu bisa saja sia-sia.
49
Untuk itulah membentuk komunitas ataupun kelompok yang khusus
difokuskan kepada aktivitas literasi adalah salah satu opsi yang
kulakukan saat ini untuk menjaga semangat dalam diriku agar bisa
tetap produktif dan menciptakan karya untuk membangun peradaban
Ummat.
“ Semua bisa karena terbiasa. ” kata-kata ini merupakan salah
satu semangatku untuk terus berkembang lebih baik. Aku tahu kita
sama-sama diberikan waktu 24 jam dalam sehari, namun kenapa ada
gap besar antara kita dengan mereka para Ulama? Mengapa
Muhammad bin Idris bisa dikenal sebagai Imam as-Syafi’ie dan
mewariskan karya fenomenal al-Umm? Mengapa Abdullah
Muhammad bin Ismail bisa dikenal sebagai Imam al-Bukhori dan
mewariskan karya fenomenal kitab tershahih kedua setelah Al-
Qur’an? Mereka adalah sedikit dari contoh Ulama Salaf kita yang
diberikan waktu sama 24 jam dalam sehari seperti kita, namun dapat
menciptakan karya fenomenal dalam sejarah peradaban Islam. Aku
tahu bahwa aku dan mereka para Ulama memiliki kesempatan yang
sama untuk berkarya. Karena sejatinya pemisah antara bisa dan tidak
bisa hanyalah tentang perkara belum dicoba.
Aku dengan mereka mengawalinya di start yang sama. Garis
start itu diperjelas oleh Allah dalam Q.S. An-Nahl ayat 78 “ Wallāhu
akhrajakum mim buṭụni ummahātikum lā ta'lamụna syai`a.” yang
berarti “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun”. Ayat ini telah menjelaskan
50
awal start kita dan mereka generasi Salaf adalah sama, namun yang
membedakan adalah mau mencoba atau tidak. Hal ini jugalah yang
mendorongku untuk lebih yakin bahwa aku memiliki kesempatan
untuk berkontribusi sebagaimana generasi Salaf berkontribusi sesuai
dengan kemampuanku. Point pentingnya adalah mencobanya tanpa
henti dan lihatlah apa yang akan terjadi.
Pada suatu kesempatan, aku mendapat kesempatan untuk
sekedar berbincang ringan dengan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi.
Beliau merupakan salah satu tokoh paling memotivasi dalam
hidupku untuk perlahan mendalami dunia pemikiran dan berkarya
untuk kemaslahatan ummat. Beliau pernah menyampaikan bahwa
“ potensi saya adalah menulis, maka apabila saya tidak menulis
artinya saya tidak potensial. ” Nasihat dari beliau inilah yang
mendorongku untuk lebih menggiati dunia kepenulisan. Dengan
menemukan passion pada dunia kepenulisan, akhirnya aku memiliki
visi dan misi baru dalam berkontribusi kepada ummat melalui
kepenulisan.
Suasana pandemi tidak selamanya membawa duka dan
bencana kepada umat manusia. Pandemi bisa membawa manfaat
tergantung dari bagaimana kita menyikapinya Seperti diriku yang
dapat mengambil manfaat dari pandemi dengan dapat mengenal lebih
dekat mengenai dunia kepenulisa. Melalui pandemi diriku bisa
bergabung dengan gerakan menulis ISFI (Islamic Studies Forum for
Indonesia) di IIUM. (International Islamic University Malaysia)
51
Melalui pandemi juga, diriku bisa belajar sekaligus tergabung
menjadi anggota redaksi majalah Madzhahir ISFI IIUM. Semua itu
semata-mata kulalui dalam rangka rihlah ilmiah untuk bisa menjadi
manusia yang lebih berarti dalam berkontribusi terhadap
perkembangan peradaban Islam melalui dunia kepenulisan.
Pertanyaan terakhir adalah “ Mengapa menjadi penulis ? ”
Menurutku menjadi penulis untuk menghasilkan tulisan bukanlah
pilihan, melainkan keharusan. Menjadi keharusan karena kita adalah
ummat Islam yang hidup dalam sejarah peradaban literasi yang
cemerlang. Ingat sekali lagi “ Islam adalah peradaban literasi. ”,
maka dari itu ketika kita tidak bisa berjuang dengan peluh darah dan
pedang di medan perang, maka akan pastikanlah kita
menyumbangkan ide dan gagasan dengan pena pada sebuah tulisan.
Urgensi berjihad dengan tulisan semakin nampak di zaman modern
saat ini. Bukan hanya tentang membagi ilmu atau informasi kepada
sesama ummat Islam, namun juga untuk menjaga kemuliaan Islam
dari serangan tulisan-tulisan mereka yang tidak menyukai Islam.
Sebagaimana pernyataan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam
bukunya (Misykat, INSIST, 2012), bahwa “setiap tulisan mau
pendek ataupun panjang masih dapat menyampaikan sebuah idea.
Bahkan sebuah ideologi atau teori ilmiah dapat diekspresikan dalam
satu kata atau satu kalimat. Sebab setiap kata berisi makna dan
setiap makna mengandung konsep dan setiap konsep dihasilkan oleh
worldview atau ideologi. Maka, kata atau kalimat itu bisa menjadi
52
medium penyampaian ide, pendapat dan paham. Bahkan gagasan
besar pun bisa dituangkan dalam bentuk puisi”.
“ Menulislah agar tulisanmu dibaca, membacalah agar tulisanmu
lebih bermakna. Temukan potensimu dan jadilah potensial dengan
sesuatu yang kamu miliki itu. ” Krisna Wijaya.
53
Ku Inggin Memakainkan Mahkota Di Kepalamu.
Oleh : Usamah Ash - Shiddiq / AFI
Sebut saja Addin, nama lengkapnya adalah Shalahuddin Al
Ayyubi, dia adalah anak bungsu dari empat bersaudara, semua
saudaranya adalah laki-laki dan sudah menempuh perjalanan
hidupnya masing-masing, ada yang sudah berkeluarga dan ada juga
yang masih kuliah sedangakan ia masih duduk di bangku sekolah,
kalau di jawa empat bersaudara disebut dengan istilah sekawan.
Addin hidup di lingkungan metropolitan, dia lahir di Jakarta dengan
persilangan antara sunda dan jawa, ibunya adalah adalah orang sunda
yang berasal dari Sumedang kemudian pindah ke Jakarta, sedangkan
ayahnya orang Jawa berasal dari Malang. Addin tmubuh dalam
keluarga yang religius, ayahnya bekerja di percetakan beliau adalah
tipe orang yang rajin sholat ke masjid walau banyak pekerjaan dunia
yang menghampiri, sedangkan ibunya adalah seorang guru, ibunya
adalah orang yang sangat rajin membaca quran dalam segala keadaan,
dan yang pertama kali mengajarkan al qura’an kepada addin adalah
ibu.
Kala itu selepas menunaikan sholat maghrib ayahnya
memberi nasihat kepada Addin
“Addin, ayah tidak banyak berharap kepada anak-anak ayah,
ayah hanya ingin addin bisa menghafal al quran serta mengamalkan
beserta isinya, ayah sudah tua dan ingin sekali memiliki anak yang
penghafal quran, jadikanlah ayah dan ibumu ini keluarga Allah.”
54
Ya, hampir setiap sehabis sholat Addin selalu mendapat
nasihat yang sama, begitu besar harapan kedua orang tuanya
kepadanya agar kelak Addin bisa menjadi penghafal quran dan
bermanfaat bagi sekitarnya. Tak lupa juga sang ayah dan ibu selalu
menanamkan ke hatinya agar mencintai al quran, selalu membacanya,
dan menghayati kandungannya.
Addin yang selalu mendapat nasihat yang berulang-ulang,
kata-kata ayahnya sampai masuk ke dalam alam bawah sadarnya,
menjadi tekat yang kuat, mimipi yang menjulang tinggi merobek
pintu-pintu semesta, dengan mantap dalam hatinya dia bertekad ingin
menjadi penghafal al quran.
“Aku akan menjadikan ayah dan ibu sebagai keluarga Allah”
gumamnya dalam mantapnya keyakinan.
Demi mewujudkan mimpinya Addin, maka orang tuanya
memasukkan Addin semenjak SD ke pesantren tahfidzul quran yang
berada di Karawang, dari situ Addin mulai menghafal al quran
dengan di damping oleh para musyrif yang sudah hafal quran 30 juz
yang sangat membantu Addin dalam menghafal quran. Namun jalan
untuk mewujudkan mimpi tak selamanya mulus.
Addin adalah anak paling kecil dibanding teman-temanya di
pesantren itu, maka tak luput pula ejekan-ejekan dan hinaan terlontar
dari mulut teman-temannya karna tubuhnya yang kecil, tapi Addin
berusaha untuk tetap maju, mendiamkan segala bentuk ejekan teman-
temanya. Pernah suatu ketika Addin sedang menghafal al quran, tiba-
55
tiba dia diganggu oleh temanya dan Addin mengacuhkan hal tersebut,
temannya yang merasa diacukan marah dan memukul Addin yang
membuat Addin menangsis. Tapi Addin memiliki tipikal orang sabar,
addin juga sadar dia gak mungkin bisa membalas perbuatan mereka
karna dia sadar akan postur tubuhnya, Addin hanya bisa berdoa
semoga temanya bisa menjadi anak yang baik.
Sejak SD Addin memiliki hobi menggambar dan menulis,
maka dikala ia sedang diganggu merasa sedih, ia memeilih untuk
menyendiri dan menggambar apa yang ada di benaknya, akan tetepi
setelah tahu menggambar makhluk hidup dilarang maka ia
membatasi hanya menggambar alam-alam saja. Maka dikala ia
suntuk ia akan mengambar jika sudah hilang ia akan Kembali
menghafal
“ Para penghafal al quran pada hari kiamat kelak akan
memakaian jubah kemulian dan mahkota kepada kedua orang
tuanya.” kala itu salah seorang ustadz menyampaikan dari penjelasan
sebuah hadits.
Dengan perasaan yang membara, Addin ingin membalas
semua kebaikan kedua orang tuannya, dan menurutnya hal yang bisa
dan menyamai kebaikan kedua orang tuanya adalah jubah dan
mahkota yang akan diberikan di akhirat kelak, dan yang hanya bisa
melakukan hal tersebut adalah para penghafal quran.
Keinginan yang menggebu memenuhi relung jiwa seorang
Addin menambah semangat dalam menghafal Al Quran, hari
56
berganti hari, bulan berganti, satu juz terlewati, dua juz, tiga juz,
hingga sepuluh juz. Setelah sampai di sepuluh juz addin
melaksanakan ujian sepuluh juz sekali duduk. Alhamdulillah hasil
yang memuaskan tak ada kesalahan yang fatal dilakukan oleh Addin,
dalam hatinya
“Ayah, ibu, aku sudah sepertiga perjalanan untuk menaruh
mahkota di kepala kalian.” sambil terharu.
Masa SD terlewati dengan keberhasilan Addin mendapatkan
sepuluh juz hafalan, tak terkira bangganya ayah dan ibunya, Ketika
Addin pulang ke rumah langsung di peluk erat oleh ayah dan ibunya,
berduannya bergumam “ Ya Allah aku meridhoi anakku, jagalah dia,
sertakanlah ia dalam keadaan apapaun.”
Tapi ada sesuatu yang disembunyikan oleh kedua orang
tuanya addin, mereka tidak akan memberitahu addin akan hal itu,
sesutau yang sangat menyakitkan jika didengar oleh telinga dan
sangat mengiris hati, karna ayah sudah merasakannya. Ibu sakit.
Addin yang sekarang menginjak jenjang Pendidikan
selanjutnya yaitu SMP selalu taat dan patuh kepada orang tuanya,
dan keduannya ingin memondokkan addin Kembali di pondok
tahfidz tingkat lebih tinggi, dan Addin sangat senang akan hal itu,
tanpa pikir panjang langsung mengiyakan tawaran ayah dan ibu
walaupun lokasinya begitu jauh, di Cirebon. Dan Addin belum
mengetahui tentang ibu.
57
Maka dengan diantar oleh ayah Addin pergi ke Cirebon
menggunakan bis, diperjalan ayah tak berehenti-berhenti selalau
menasehati Addin agar selalu ingat Allah dalam keadaan apapau,
karna Addin sudah besar dan jauh dari orang tua, satu-satunya
pelindung Addin adalah Allah, “ Bahkan…,” kata ayah kala itu,
“ Sebelum Addin sadar bahwa Allah melindungi Addin, Allah sudah
selalu melindungi Addin, karna Addin adalah seorang penghafal Al
Quran”.
Addin terdiam dan meresapi nasihat dari ayah dia akan selalu
mengingat akan hal itu.
Resmi sudah Addin menjadi santri di pondok tahfidz itu,
setelah tes dan hal-hal yang lain yang Addin telah lakukan. Setelah
semua selesai ayah pun pamit untuk pulang, dengan berat hati yang
diringankan dengan tujuan hanya untuk Allah, ayah pamit memeluk
Addin erat, sangat erat, sang ayah menyembunyikan air matanya kala
itu.
Hari berlalau berganti bulan, penyakit yang diderita ibu
semakin parah, ibu selalu bilang ke ayah bahwa ia sangat kangen
Addin, tapi tidak membolehkan ayah untuk memberitahu addin, ibu
tidak mau mengganggu addin yang lagi fokus menuntut ilmu dan
menghafal quran di sana, ayah hanya bisa menuruti ibu yang ayah
juga sebenarnya kangen dan tidak mau mengganggu Addin.
58
Addin kala itu sudah hampir menyelesaikan hafalannya. Di
malam yang sunyi tiba-tiba salah satu ustadz memanggilnya, ternyata
Addin mendapat telpon dari ayahnya.
“Assalamulaikum, ”ayah memulainya,
“Waalaikumussalam, ayah, ibu apa kabar ?” jawab Addin,
dengan spontan Addin langsung menanyakan kabar ayah dan ibu
sebelum ditanya akan kabarnya terlebi dulu.
“Alhamdulillah kabar ayah sama ibu baik.” ayah
menutupinya, “Addin mau nelpon sama…”,
“ mau.” tanpa ragu “ Addin mau nelpon sama ibu. ”
ayah pun memberi telpon kepada ibu
“ Assalamualaikum, nak apa kabar.” berebeda dengan ayah,
ibu langsung menyambung salamnya dengan menanyakan kabar,
Addin kedahuluan sama ibu,
“ Baik bu, ibu apa kabar ? ” Addin bertanya,
“Alhamdulillah nak. ” jawab ibu
Obrolan akan kekangenan ibu dan ayah, dan Addin kepada
mereka berlangsung lama tak lupa Addin memberi tahu bahwa
sebentar lagi dia akan menyelesaikan hafalanaya, dan pada akhirnya
ibu dan ayah menutup dengan nasihat yang selalu aku simpan erat
dalam hati, yang selalu di ulang-ulang oleh ayah
“ Selalu ingat Allah, hafalakan Al Quran dan amalkan,
jadilah manusia yang bermanfaat.”
59
Terakhir ibu berkata, ” Ibu dan ayah sayang Addin, masalah
sebesar apapun addin masih punya Allah, terus fokus terus dalam
menghafal quran ya. Jangan lupa murajaahnya.”
Ibu menutup telpon dan bergumam dalam hatinya “ Ya Allah
aku meridhoi anakku, lindungilah anakku” sambil berlinang air mata.
Namun pada akhirnya Sakit yang diderita ibu kian parah hingga
akhirnya di bawa ke rumah sakit, ayah membuat keputusan yaitu
membawa addin pulang dan memberi tahu kepada saudara-
saudaranya akan kondisi ibu, semua keluarga addin berkumpul dan
mendampingi ibu, bergantian berjaga di rumah sakit, siang malam
bergantian. Addin anak paling bungsu yang tidak tahu-menahui
ibunya sudah sakit separah itu menangis tanpa suara, berlinang air
matanya, dari mulutnya hanya terucap doa-doa untuk kesembuhan
ibunya.
Namun pencipta semesta sangat mencintai ibu dan ingin
berjumpa, dalam kondisi yang kritis ibu memanggil anak-anaknya,
menatap satu perstu anaknya berlinang air mata dan berkata
“ Ya Allah aku sangat menyayangi anak-anakku, aku ridha, maka
lindungilah anakku, permudah dan batulah mereka dalam segala
urusannya.”
posisi Addin yang kala itu di samping kanan ibu menangis
sambil berkata
“ Ibu,…ibu jangan kemana-mana dulu, ibu addin sebebntar lagi
hafal al quran, ibu sebentar lagi addin bisa memakaikan ibu sama
60
ayah mahkota dan baju kemuliaan, ibu jangan pergi dulu, sebentar
lagi aja ibu, Addin mohon.”
Ayah dan saudara-saudaranya Addin yang berdada disekitar
ibu tak bisa menahan air mata mereka, semua menangis tak dapat
berucap, ibu langsung mengelus kepala Addin
“Addin jadilah anak yang soleh, ibu akan tunggu mahkota
dari Addin, tapi sepertinya ibu tidak bisa menunggu di sini, ibu yakin
Addin kuat, ibui sayang Addin, jangan tinggalkan Al Quran sampai
akhir hayat Addin ya”
Setelah itu ibu memeluk Addin dan semua anak-anaknya,
dalam suasana itu ibu tersenyum dan di akhir hayatnya dia
mengucapkan dua kalimat syahadat. Tak ada yang berucap, semua
menangis tersengguk, addin memeluk umi. Mungkin ini adalah ujian
terberat baginya dalam perjalanan menghafal al quran, namun
wafatnya sang ibunda tidak membuat Addin kehilangan semangat,
bermula dari situ walau sangat sedih ditinggal sang ibu semangatnya
tak pernah layu. ia berguama di atas pusara ibunya
“ Aku ingin meletakkan mahkota di kepalamu, tunggulah aku
ibu, aku sayang ibu. ”
Addin tahu apa yang mesti dilakukan, dia melangkah dengan
pasti menuju itu.
61
Si arman dan mimpinya.
Oleh : Muhammad Dwi Fajar / PAI - 1
Si arman, begitulah warga desa sekitar memanggil seorang
pemuda dari anak petani di desa sugengraya yang mempunyai mimpi
yang sangat besar, ia tingal bersama ayahnya di gubuk bambu pojok
desa, semenjak kecil ia tidak pernah melihat wajah dari ibunya.
Pernah suatu ketika ia bertanya kepada ayahnya tentang ibunya,
tetapi ayahnya hanya menjawah sekilas bahwa ibunya pergi
meninggalkan mereka berdua setelah melahirkannya. Sedangkan
para warga sekitar mengatakan ibunya meninggalkan si Arman
karena ia tidak mau hidup susah bersama ayahnya di desa terpencil
dan hidup hanya sebagai petani.
Sering sekali arman merenung apakah salah menjadi seorang
petani dan banyak orang yang menganggap remeh pekerjaan ini,
sampai-sampai ibu kandungnya meninggalkannya sejak kecil karena
takut hidup susah menjadi petani.
Malam itu setelah mengisi acara pengajian di masjid, si
arman memang dipercaya warga mengisi kajian-kajian di masjid desa
itu, karena setelah lulus dari sekolah dasar ia melanjutkan
pendidikannya di pondok pesantren yang cukup terkenal. Arman
sendiri yang meminta kepada ayahnya untuk menyekolahkannya di
pesantren, ia memang dikenal cukup pintar dan pandai dalam
pembelajaran di pesantrennya, bahkan liburan pertama setelah masuk
pesantren ia mulai mengisi kajian-kajian kecil di desanya itu dan
62
mengamalkan ilmunya untuk dirinya dan untuk orang lain. Setelah 6
tahun menimba ilmu di pesantren, kini ia membantu ayahnya di desa
dengan menjadi petani, belum terfikir oleh arman untuk mencari
pekerjaan lain dan mewujudkan mimpinya, lagipula si Arman belum
siap meninggalkan ayah tercinta untuk merantau.
Ditemani sepoi angin malam yang mulai menusuk tulang, ia
melihat jam tangan Q&Q di tangan kiri-nya yang ia beli ketika
menjadi santri dahulu, menunjukkan pukul 9 malam, ia pun menatap
ke sawahnya yang terletak dibelakang rumah ditemani secangkir kopi
panas dan sepiring singkong goreng. Si Arman bertekad akan
mewujudkan mimpinya menjadi seorang dokter yang akan
menyelamatkan banyak orang dan bermanfaat bagi sesama manusia,
tetapi yang hanya bisa arman lakukan hanya berusaha dan berdoa.
Tiba tiba ayahnya memanggil dari dalam rumah dan
memhamburkan lamunanya.
“Arman sini nak ! ” ayahnya memanggil dari dalam rumah.
“ Iya pak.” Arman menjawab dan langsung masuk kerumah
menuju keruang tamu, ia melihat ayahnya menunggunya serasa ingin
mengatakan sesuatu.
“Ada apa pak memanggil Arman ?” kata arman.
“ Begini, apa kamu tidak bosan sudah 3 bulan lebih setelah
kamu lulus dari pesantren membantu bapak sebagai petani? apa
kamu tidak ingin mencari pekerjaan yang lain di kota?” katanya
sambil melihat wajah arman dengan serius.
63
Arman sontak terkaget dengan pertanyaan ayahnya seolah-
olah menginginkan anaknya merantau dan mencari pekerjaan yang
lebih baik.
“Eh, sebenarnya Arman punya mimpi untuk menjadi dokter
yang bisa bermanfaat bagi orang lain dan bisa meyelamatkan banyak
orang, tapi arman tidak keberatan membantu bapak menjadi petani.”
Jawab arman dengan gugup seraya menunduk.
“ Bukan begitu arman, bapak tidak keberatan kamu
membantu bapak sebagai petani, tetapi bapak tau kamu mempunyai
potensi yang jauh lebih daripada menjadi petani.” Kata ayahnya
dengan menyakinkan arman.
“Jika kamu mau merantau ke kota, bapak akan merestui kamu
mencari pekerjaan dan mewujudkan mimpi yang kamu cita-citakan
itu.” tegasnya.
Setelah pembicaran yang cukup lama arman pun masuk ke
kamar dan mulai memikirkan apa yang dikatakan ayahnya di ruang
tamu, sebenarnya arman ingin pergi ke kota untuk merantau, tetapi ia
tidak tega meninggalkan ayahnya seorang diri di desa. Sebelum tidur
ia sempatkan sholat 2 rakaat untuk menenangkan hati.
Keesokan harinya, si Arman menghampiri ayahnya yang sedang
makan sambil menjaga sawah dari burung-burung pemakan padi.
“ Pak, Arman sudah memutuskan ingin pergi merantau ke
kota dan ingin menggapai mimpi-mimpi Arman.” katanya penuh
keyakinan.
64
Ayahnya yang mendengar itu menghentikan makannya
seraya ingin menangis.
“ Syukurlah kalau kamu ingin begitu, bapak akan mendukung
kamu dan semoga mimpimu menjadi kenyataan.” jawabnya sambil
mengusap matanya yang tiba-tiba mengeluarkan air mata dengan
sendirinya.
Seminggu setelahnya, Arman bersiap-siap dengan membawa
uang yang cukup banyak untuk mendaftar fakultas kedokteran yag
berada di kota. Hanya bermodalkan niat dan doa arman ingin
menggapai mimpinya itu.
Setelah perjalanan yang lama, memang desa Arman sangatlah
jauh dari perkotaan sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk sampai di kota. Sampai di kota ia langsung bertanya kepada
supir bis itu tentang universitas yang ingin ia tuju.
“ Maaf pak, bapak tahu alamat universitas Prestasijaya?”
tanya Arman kepada supir bis itu.
“Tau mas ! ” jawab supir itu seraya mengangguk menjawab
pertanyaan Arman.
“ Setelah turun terminal, mas naik taxi menuju jalan Cendika
disitu ada universitas yang mas tuju. ” Katanya.
Segera Arman menuju alamat universitas yang ingin ia tuju,
ketika perjalanan Arman melihat para pedagang kakil lima mulai
menyiapkan dagangannya dan para karyawan yang berangkat pagi-
65
pagi buta untuk menghindari kemacetan, Sungguh pemandangan
yang jauh berbeda dari desa.
Tak terasa perjalanan menuju universitas itu sudah mau
sampai, Arman begitu menikmati perjalanan di kota yang baru ia
injak itu.
“ Kita sudah sampai mas. ” kata supir itu sampai
menghentikan arman menikmati pemandangan di kota.
Arman keluar dan memberikan ongkos dari kantong celana
kanannya.
“ Makasih pak ! ” kata arman sambil senyum kepada sopir
taxi itu, ia membalas senyum manis Arman dengan anggukan ramah.
Apa yang dilihat arman membuat matanya tak berkedip sama sekali,
yaitu sebuah bangunan yang indah dengan taman yang sangat luas,
banyak gedung di sana, tetapi ada satu bangunan yang lebih besar
dari yang lainnya mungkin itu pusat di kampus itu pikirnya.
Pembukaan pendaftaran mahasiswa baru di buka pukul 08.00,
itulah yang terpampang di gerbang universitas itu, dari kejauhan ia
melihat sebuah kedai kaki lima dan menyempatkan mengisi perutnya
yang sudah keroncongan dengan sepiring sate khas daerah itu dan
semangkok dawet yang berbeda dari dawet lainnya, orang setempat
menyebutnya dengan dawet Jabung.
Sambil makan ia meyiapkan persyaratan pendaftaran, 10
menit kemudian ia melihat gerbang universitas dibuka menandakan
pendaftaran telah di buka, tak lama kemudian para calon mahasiswa
66
mulai berdatangan dan arman pun langsung menuju stand pendaftran
yang terletak di gedung utama.
Ketika sedang mengantri, ia mengambil selembar brosur
fakultas kedokteran, Namun tiba-tiba ia kaget setengah mati melihat
rincian daftar harga pendaftaran jurusan dan rincian harga sampai
kelulusan nantinya, ia tidak menyangka bahwa harganya tidak yang
dibayangkannya.
Arman keluar kampus memikirkan harga pendaftarannya,
bisa saja ia membayar harga pendaftaran namun ayahnya harus
menjual setengah dari lahan sawahnya, belum lagi pembayaran tiap
bulannya dan per-setiap semester yang harus daftar ulang lagi.
Ia berfikir untuk mewujudkan mimpinya itu, ia tidak boleh
memaksakan kehendaknya untuk memaksa ayahnya menjual lahan
sawah dan bekerja keras untuknya.
Untuk meredakan kegelisahannya ia pergi ke masjid dekat
kampus untuk bersiap sholat dhuhur. Memang ketika datang suatu
permasalahan, arman selalu mencurahkan semuanya kepada yang
maha pencipta alam semesta.
Setelah sholat ia mendengarkan kajian kecil yang diadakan di
masjid itu oleh tokoh setempat yang membicarakan tentang
pekerjaan, arman medengarkan sejenak ceramah itu, ditengah-tengah
ceramah arman menangkap perkataan yang membuatnya sadar.
“ Bapak, ibu, dalam pribahasa Arab disebutkan bahwasannya
dokter dan guru merupakan profesi yang sangat mulia di mata tuhan
67
karena mereka telah berjasa menyelamatkan banyak orang, memang
gaji dokter dan guru sangat jauh berbeda bagaikan langit dan bumi,
tetapi tujuan mereka sama yaitu menyelamatkan sesama. ” Kata ustad
itu.
Sampai akhir ia mendengarkan ceramah tadi, hingga teringat
dahulu ia pernah mempelajarinya ketika waktu santri dulu dan
mengetahui bahwasannya derajat seorang dokter dan seorang guru itu
sama. Selesai sholat akhirnya arman bertekad bulat menjadi seorang
guru, walaupun dengan profesi yang berbeda ia yakin masih bisa
mewujudkan mimpinya.
40 tahun kemudian...
“ Assalamualikum kyai, ini kopinya ! ” kata seorang pemuda
yang sambil tersenyum menaruh secangkir kopi di atas meja kyainya
itu.
“ Wa’alaikumussallam, makasih ustad. ” kata kyai itu kepada
seorang pemuda itu.
Kyai itu duduk dan menatap dari kejauhan gerombolan santri
yang bermain bola di dekat masjid, dengan ditemani secangkir kopi
yang dibuatkan untuknya. Ia masih teringat ketika mimpinya waktu
muda bisa menjadi kenyataan, walaupun mimpinya untuk menjadi
dokter tidak tercapai, tetapi mimpinya untuk menyelamatkan orang
dan membantu manusia bisa tercapai.
Ia menyelamatkan dan membantu sesama dari segi
pendidikan, khususnya bagi warga desa sekitar, memberantas buta
68
baca qur’an, mengolah hasil pertanian di desanya, mengadakan
majlis ta’lim di berbagai tempat, bahkan mendirikan pesantren
modern di desanya
Sekarang desanya menjadi terkenal karena banyak santri
lulusan pesantren tersebut menjadi orang berpengaruh di banyak
tempat.
Sehingga, santrinya tidak hanya datang dari desa tersebut saja,
namun banyak yang berasal dari luar kota, bahkan ada yang berasal
dari luar pulau demi menimba ilmu di pesantrennya.
“Ketika kita mempunyai mimpi kita harus mencapainya dengan
usaha dan doa disertai ikhtiar kepada sang pencipta, percayalah
pasti tuhan akan mengabulkan permintaan kita, dan ingatlah tuhan
memberikan kepada hambanya apa yang kita butuhkan, bukan apa
yang kita inginkan.”
69
Dua Hati Bersemi
Oleh : Ryan Mulana Husen / ILKOM - 1
Denting piano mengalun-alun, senar bass meraung-raung,
diikuti suara saxophone yang terdengar indah, tanda merah pada
kalender digital menyala-nyala, seorang pria dewasa berkacamata
tebal mengeja tangga nada kemudian mengubahnya kedalam suara
klasik orkestra kelas atas. Tangannya menari-nari diatas papan
instrumen. Jika ada pertunjukan mewah, pasti dia dipanggil. Dalam
hitungan detik semua tangga nada diubahnya menjadi melodi,
marvelous kemudian jadilah sebuah rangkaian musik yang dinanti-
nanti oleh publik.
Keesokan harinya, pria itu melakukan pekerjaan yang serupa,
tak terkecuali. Begitu seterusnya setiap waktu, setiap saat, setiap hari.
Hingga suatu saat, seorang gadis remaja sedang memainkan seruling
sunda di pinggir jalan, para pejalan kaki yang melewatinya sempat
tertakjub-takjub karena mendengar suara yang sangat indah dari alat
tersebut, melodinya benar-benar mengalun membuat hati siapapun
tenang bila mendengarkannya.
Pria itu melihatnya dari jauh, masih menggunakan setelan
rapi, lantas mendekatinya. Gadis itu tidak terusik oleh kedatangannya,
dirinya masih menikmati suara yang dia hasilkan melalui serulingnya,
matanya ditutupi oleh kacamata berwarna hitam.
Gadis itu bernama Aini,
70
Seperti biasa Aini menjalani rutinitasnya sebagai seorang
gadis remaja, Dia hidup bersama ibunya seorang diri, ayahnya yang
telah tiada, sepuluh tahun yang lalunya ayahnya pergi merantau
meninggalkan mereka dengan sepucuk surat yang berisi tentang
kabar bahwasannya ia akan kembali suatu hari nanti. Tetapi, hari
demi hari, ayahnya tak pernah pulang, meskipun ibunya kini sering
sakit-sakitan lantaran memikirkan nasib ayahnya yang tanpa kabar
pergi dan tak pernah kembali.
Aini memutuskan untuk tidak melanjutakan studinya,
lantaran ekonomi yang terus mencekik sepanjang musim paceklik
melanda daerahnya, ditambah kesehatan ibunya yang saban hari kian
menurun akibat asupan gizi yang tidak teratur.
Kini ibunya tidak bisa pergi, ia terbaring diatas Kasur tipis
disebuah ruangan kecil yang minim ventilasi, sebuah rumah
peninggalan ayahnya sebelum dirinya menghilang entah kemana.
Setiap hari ibunya menangis meratapi nasib anak sulungnya yang
seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi, kondisinya saat ini memang
sangat memprihatinkan, sampai-sampai dirinya berfikir bahwa
kehadirannya hanya menjadi beban bagi putri semata wayangnya
Aini, mencari penghasilan dengan menjual bakatnya sebagai
peniup seruling. Ayahnya yang dulu pernah mengajarinya waktu
kecil, sampai Aini jatuh cinta pada serulingnya sendiri. Setiap malam
di tengah-tengah taman kota Aini memainkan serulingnya.
Menyebarkan melodi indahnya ke segenap penjuru taman.
71
Berbagai cobaan harus Aini hadapi, terutama ketika
menghadapi gerombolan preman yang hendak memalaknya dengan
dalih sewa tempat. Aini hanya bisa menurut, ia selalu menyisihkan
jatah hasil kerjanya kepada preman-preman itu. Itung-itung sedekah
lah, ya. Pikirnya waktu itu.
Hari demi hari, Aini masih dalam lingkup rutinitasnya, pagi
berjualan kue kering keliling komplek perumahan, dan malam
mencairkan suasana hati dengan bermain seruling di taman kota.
Pernah suatu hari dirinya bermimpi untuk menjadi salah satu pemain
alat musik dalam grup orkestra yang ada di Bandung. Tapi, lagi-lagi
dirinya harus mengurungkan mimpinya itu, lantaran melihat kondisi
kehidupannya saat ini.
Hingga suatu hari, penyakit yang diderita oleh ibunya
bertambah parah, Aini berlari keluar hendak mencari bantuan,
beberapa menit kemudian terdengar suara sirine mengaung-ngaung.
Ibu Aini dilarikan kerumah sakit menggunakan mobi ambulans.
Aini mengepalkan tangannya, berharap semua baik-baik saja,
dokter keluar mencari keluarga pasien, Aini mendekat, sang dokter
mengindikasikan adanya kanker otak yang sedang menyerang ibunya.
Air mata Aini meleleh, dokter memberitahu bahwa kanker yang ada
dalam otak ibunya sudah tumbuh sehingga terlambat untuk ditangani,
kemungkinan umur ibunya satu tahun lagi.
Sang dokter berkata bahwa biaya yang disanggupkan
kepadanya juga cukup besar, Aini menyanggupinya, dokter
72
mengiayakan kemudian mengerahkan seluruh tenaga medis untuk
membantu proses perawatannya.
Aini pulang dengan perasaan bimbang, dirinya tidak
mempunyai kerabat dekat yang bisa ia pinjam, meskipun bisa, biaya
yang dibutuhkan pun sangat besar. Sampai-sampai dirinya berniat
untuk menjual tubuhnya sendiri di pasar gelap kemayoran.
Tapi, hati kecilnya berusaha menentang keputusannya, Aini
tetap mencari jalan, tiba-tiba dia teringat akan kemampuannya dalam
memainkan serulinng, mungkin ini saatnya. Aini mencoba untuk
mencari informasi seputar audisi orkestra di kawasan Bandung.
Sampai suatu hari dirinya benar-benar menemukan peluang tersebut.
Aini mengikuti sebuah acara pencarian bakat nasional yang
diselenggarakan di studio ternama kota Bandung, dengan
bermodalkan tekad, Aini berlatih, pagi, siang, malam, tanpa kenal
lelah. Pikiran tentang kejuaraan itu masih terngiang-ngiang dalam
benaknya.
“Aku tidak boleh melewatkan kesempatan ini.”
Aini terus berlatih, meskipun nafasnya harus habis lantaran
terlalu banyak meniup seruling. Disaat yang sama, malam hari
seorang pria melewati Aini, mendengarkan melodi indah yang saban
hari semakin indah saja. Pria itu menunggu Aini di bawah lampu
taman, waktu menunjukan pukul sepuluh malam, Aini membereskan
peralatannya kemudian beranjak pulang.
73
Pria itu memanggilnya, Aini menoleh. Seorang pria tua
dengan kepala yang pelontos dibagian tengahnya. Aini menunjuk
dirinya sendiri dengan heran, “Bapak memanggil saya?”
Pria itu menganggukkan kepalanya, “Kamu memiliki bakat
spesial, Nak.”
Aini terdiam, merenungi perkataannya.
“ Seharusnya kamu tidak berada disini.” Sambungnya.
Aini masih tidak percaya, “Ma’af, Bapak siapa ya?”
“Perkenalkan, saya adalah konduktor orkestra ternama di
Bandung, Philharmonic.”
“Izinkan saya untuk merekrut anda, supaya menjadi salah
satu pemain seruling kami.”
Aini menahan tangis, “Terimakasih banyak, Pak. Saya tidak
tahu harus berbuat apa, lagi pula apakah saya pantas untuk menjadi
salah satu pemain disana?”
“Kalau belum dicoba, kamu tidak akan tahu.”
Aini terdiam, seketika ia teringat dengan pesan ayahnya dulu
sebelum pergi merantau.
Kalau belum dicoba, Aini tidak akan pernah tahu. Gurat
wajahnya masih sangat jelas di bayangannya. Sekilas Aini melihat
sosok ayah didepannya.
“Kalau saya boleh tahu, siapa nama kamu, dan siapa yang
mengajarimu memainkan seruling itu, Nak?”
74
Aini menatap serulingnya yang berkilau terkena cahaya
lampu taman, “Namaku Mutiara Aini, sebenarnya yang telah
mengajariku bermain seruling ini adalah ayahku sendiri.”
Pria itu tiba-tiba tersentak karena kaget, sambil bergetar
dirinya bertanya lagi, “Ma’af, boleh tahu siapa nama ayahmu?”
“ Nama ayahku adalah Kumbara, Kumbara Wicaksono.”
Pria itu menahan tangis, kemudian memeluk Aini seketika.
Aini tidak mengerti, kemudian bertanya kenapa pria dihadapannya
itu menangis.
“ Nak, sebenarnya namaku adalah Pak Kumbara Wicaksono,
dan kamu adalah putri sulungku.”
Aini tersentak kaget, tidak percaya kalau yang ada
dihadapannya itu adalah ayah kandungnya sendiri.
“Tapi bagaimana bisa, ayahku sedang merantau sepuluh
tahun yang lalu dan sekarang tidak ada kabar lagi darinya.”
“ Dulu saat ayahmu ini pergi merantau, ayah tidak tahu harus
pergi kemana, hingga sampailah ayah disebuah kapal pengangkut
barang, ayah ikut menumpang. Sepanjang perjalanan ayah menulis
bait-bait nada, karena ayah sangat mencintai musik. Hingga, salah
satu teman ayah mengetahuinya lalu mencoba untuk membujuk ayah
mengikuti panggung orkestra. Ayah masih belum terlalu yakin, tapi,
ayah ingin mencobanya terlebih dahulu. Hari demi hari terlewati, di
pulau seberang ternyata ayah diberi tugas menjadi salah seorang
75
kondaktur orkestra, ayah sangat menyukainya bahkan ayah
menemukan kehiupan baru disana.”
“ Ayah menikah lagi ? ”
Pria itu mengangguk, ” Karena ayah tidak yakin bisa pulang
dan menemuimu lagi. Ma’afkan ayahmu ini, Nak.”
“ Tidak, seharusnya ayah tidak meminta ma’af kepadaku,
tetapi kepada ibu.”
“ Dimana ibu sekarang?” Tanyanya penuh haru.
“ Dia dirumah sakit, terserang kanker otak.” Aini menangis
sejadi-jadinya.
Pria itu memeluk erat Aini, Aini tak bisa berbuat apa-apa lagi,
selain mengikuti kemana pria itu pergi menggunakan mobil sedan
berwarna hitam. Hingga akhirnya, pria itu pergi ke rumah sakit
tempat dimana ibunya dirawat. Berlari diantara lorong-lorong
senggang. Kemudian masuk kesebuah ruangan UGD.
“ Dok, bagaimana kondisi istri saya ? ”
“ Bapak suaminya pasien ini ? ”
“ Iya, Dok, saya suaminya, bagaimana kondisi istri saya saat
ini?”
“ Cukup memprihatinkan, tapi kami tetap berusaha untuk
melakukan yang terbaik untuknya.”
“ Berapapun bayarannya Dok, saya akan tanggung.”
Aini tersenyum, Ayahnya sudah kembali, kini dia tidak perlu
khawatir lagi.
76
Satu bulan kemudian
Pertunjukan orkestra di sebuah aula di jalan Soekarno Hatta
akan segera dimulai, dari bangku pennonton terlihat dua orang
perempuan paruh baya yang tersenyum ke arah para pemain orkestra.
Aini menyiapkan serulingnya, Pak Kumbara siap dengan tongkatnya.
Pertunjukan dimulai, lantunan melodi yang klasik berpadu dengan
suara seruling yang ciamik, menciptakan sebuah maha karya yang
fantastis, berkat dua hati yang bersemi setelah lama raib pergi.
Hari itu, impian Aini menjadi nyata.
77
Sebuah Mimpi Yang Nyata Dari Seorang Alumni Pondok
Modern Yang Menjadi Mahasantri Di Universitas Darussalam
GONTOR.
Oleh : Rafif Fathin Ariaputra / PAI - 1
Pagi hari yang indah matahari bersinar menyinari pondok
modern. Ketika itu para siswa akhir KMI Pondok Modern 2021
berkumpul di depan balai pertumuan pondok modern menggunakan
kemeja angkatan 2021 dan celana bahan berwarna hitam serta
memakai songkok dan bersepatu. Mereka duduk dibangku dengan
hati yang bercampur aduk antara senang dan sedih.
Karena pada hari ini para santri akhir pondok modern
angkatan 2021 akan diyudisum dan disahkan menjadi alumni pondok
modern. Kejadian ini tidak bisa terulang kembali cukup sekali dalam
seumur hidup selama menjadi seorang santri. Di sana ada seorang
siswa akhir yang bernama Muhammad Samir.
Dia sedang menunggu giliran agar namanya dipanggil. Di
dalam hatinya dia berdoa: “Ya Allah Ya tuhanku aku memohon
kepadamu agar engkau berikan hasil yang terbaik untukku”. Pada
saat itu tiba-tiba saja namanya dipanggil “Muhammad Samir bin
Ahmad Dahlan”. Kemudian Samir bergegas memasuki balai
pertemuan dan diberikan 2 buah surat oleh ustadz dari staff KMI.
Di atas panggung telah menunggu pimpinan pondok dan
didrektur KMI. Kemudian Al-ustadz H.Masyhudi subari, M.A selaku
direktur KMI menyuruh para siswa akhir KMI agar membuka
78
suratnya masing-masing dan membacanya. Disambung dengan
nasehat dari Prof. KH.Amal Fathullah Zarkasyi untuk parasiswa
akhir KMI yang tugaskan untuk melanjutkan pengabdiaannya di
Universitas Darussalam Gontor Siman.
Setelah selesai pesan dan nasehat dari pimpinan pondok para
siswa akhir kmi yang ditugaskan mengabdi di unida gontor diarahkan
untuk menuju balai pertemuan robithoh bersama panitia mahasantri
dari unida gontor. Jumlah siswa akhir kmi yang mengabdi di unida
gontor berjumlah 250 orang termasuk Muhammad Samir didalamnya.
Setelah itu Samir dan teman-temannya masuk kedalam balai
pertemuan robithoh.
Dan samir melihat di depannya ada 3 Ustadz yang sedang
duduk sambil menunggu para alumni pondok modern yang baru saja
diyudisium. Samir kemudian diberikan oleh mahasantri sebuah paper
bag bergambar gedung yang indah. Di dalam paper bag tersebut
samir melihat terdapat beberapa formulir pendaftaran dan brosur
tentang fakultas yang ada di unida gontor.
Setelah itu ada pengarahan dari salah satu diantara 3 orang
ustadz tadi. Dia adalah ustadz yang berwawasan tignggi dan
berpenampilan sangat sederhana. Beliau menjelaskan tentang
suasana perkuliahan di unida gontor, tujuannya agar para alumni ini
semangat untuk melanjutkan studinya di unida gontor.
Dilanjut dengan pengarahan dari panitia mahasantri
bahwasannya bagi para calon mahasantri baru “ agar menguplodkan
79
fotonya di instragram @ospekunida2021 melaui aplikasi twibbon”.
Kemudian Samir kembali ke asrama aligarh lantai satu dan bertemu
teman-teman sekelasnya. Salah satu temannya ada yang bertanya
kepada Samir.
Yang bernama gifran “eh Samir, dimana kamu ngabdinya ?
Kemudian Samir menjawab “saya ngabdi di unida gontor”
Tiba-tiba saja Datang lagi temannya yang bernama fathul,
kemudian dia juga menyambar pertanyaan kepada Samir “yang
ngabdi di unida gontor dari kelas 6-M siapa saja?”
Samir menjawab pertanyaan fathul tersebut “ yang ngabdi di
unida gontor dari kelas 6-M ada 4 orang. Yaitu: arrafi, adam, tantayo,
dan saya.
Suara adzan pun berkumandang : Allahu Akbarullahu Akbar
Allahu Akbarullahu Akbar Asyhadu Anlaa Iilaaha Illaah Asyhadu
Anlaa Iilaaha Illaah .....dari menara masjid jami` yang baru
dipebaharui beberapa tahun yang lau. Dengan ketinggian 86 meter
dengan kuba yang berwarna kuning keemasan.
Para alumni 2021 pun langsung berangkat ke masjid jami`
dengan suasana yang baru, yaitu: sudah tidak memakai papan nama
lagi, dan tidak lagi memasukkan baju kokonya kedalam sarung, serta
sudah saling menyapa satu sama lain dengan panggilan “Al-ustadz”.
Samir berwudhu bersama teman-temannya, untuk
melaksanakan sholat dzuhur berjamaah.Setelah itu samir dan teman-
teman melakukan sujud syukur bersama atas segala nikmat yang
80
Allah telah berikan kepada angkatan 2021, yang dipimpin oleh Al-
ustadz Tajudin. Kemudian Al-Ustadz Tajudin mengawali
nasehatnya dengan awal kata yang membuat hati Samir bergetar
“ Alhamdulillah pada hari ini kalian sah menjadi alumni pondok
modern”.
pesan ustadz satu untuk kalian semua “ dimana pun kalian
ditempatkan kalian harus bersyukur. Dan Kalian akan membuka
lembaran yang baru, Maka tulislah lembaran yang baru tersebut
dengan tinta emas”.
Setelah itu perwakilan dari salah satu ketua angkatan
berbicara yang bernama arief di depan Samir dan teman-teman. Dia
berkata: “ maafkan kami bilamana ada kesalahan yang telah kami
perbuat selama dalam kepemimpinan kami diangkatan ini ”
Kemudian Samir dan teman-teman menjawab secara
seksama“ iya, kami semua sudah memaafkan kalian semua”
Arief melanjutkan perkataannya kembali “ dimana pun kalian,
kalian harus saling membantu satu sama lain” dan dia melanjutakan
perkataannya kembali Jika ada temannya yang tidak mampu maka
kita semua harus membantunya”.
Ingat satu pesan dari trimurti pendiri pondok ini “bondo bahu
pikir lek perlu saknyawane pisan”
Setelah itu ada pembagian album foto untuk para alumni,
album itu berbentuk persegi panjang berwarna biru dongker.
81
Didalamnya terdapat foto-foto kegiatan kelas 6 kmi, dari awal tahun
sampai akhir tahun.
Malam pun tiba Samir dan teman-temannya setelah
melaksanakan sholat isya dan tarawih berjamaah di masjid jami`.
Bergegas persiapan untuk perpulangan balik ke rumah. Oh iya Samir
ini berasal dari daerah yang dekat dengan kota jakarta dan juga dekat
dengan kota bogor, ia berasal dari kota bekasi. Pada saat itu terlihat
satu bis gunung harta dengan jenis tronton yang sedang terpakir
didepan gedung laboraturium.
Sebelum samir dan kawan-kawan pulang, mereka semua
mengambil gambar dengan background menara masjid jami` yang
indah. Mengeluarkan sebuah sinar cahaya merah, hijau, dan putih.
Setelah itu Samir dan teman-teman pergi meninggalkan pondok. Pagi
pun tiba Samir dan teman-teman sudah sampai di Islamic center
bekasi. Di sana Samir menunggu jemputan dari orangtuanya.
Tiba-tiba saja seorang wanita yang berpakain tertutup dan
seorang anak muda datang menghampir didepan gedung
laboraturium.yang ternyata itu adalah ibu dan adiknya Samir sendiri.
Ternyata Samir hampir lupa dengan keluarganya sendiri. Karena
sudah hampir dua tahun samir tidak dijenguk oleh keluarganya ketika
sedang di pondok. Samir kemudian menyalimi tangan ibunya dan
memeluk ibunya.
Samir memberitahu kepadanya ibunya “ bu.. .. alhamdulillah
aku sudah lulus dan menjadi alumni pondok modern. Kemudian ia
82
melanjutaka perkatannya alhamdulillah bu… aku mengabdi di unida
gontor”
Sang ibu pun tak bisa berkata apa-apa ketika melihat si samir
yang telah menjadi alumni pondok modern, beliau hanya bisa
meneteskan air matanya karena terharu dan bersyukur karena
alhamdulillah anaknya bisa menyelesaikan belajarnya di pondok
selama 6 tahun lamanya. Ibunya pun bahwasannya tahu karena
belajar di pondok itu tidak mudah di sana banyak ujian dan cobaan
yang harus Samir hadapi dengan kesabaran dan perjuangan.
Di rumah selama masa liburan Samir pun tidak diam diri.
Dia pun mempersiapkan segala persyaratan untuk pendaftaran
menjadi mahasantri di universitas darussalam gontor.
Seperti pendaftaran dan mengirim berkas lewat online,
menguplod foto aplikasi twibbon di instagram, serta membuat satu
makalah. Kemudian Samir sempat bertanya kepada orangtuanya.
Samir bertanya kepada ibunya “ibu.. kira-kira jurusan yang
mana ya, yang cocok untuk Samir?
Ibunya menjawab “Samir...ambillah jurusan agama islam saja.
Samir berterus terang bertanya kepada ibunya“Tapi Samir
sebelum lulus dari pondok ingin ngambil jurusan ilmu qur`an dan
tafsir ketika kuliah nanti bu...”
Ibu memberikan nasehat kembali unutuk anak kesayangannya
“Samir ambillah jurusan yang dimana kamu ketika di pondok
mendapatkan nilai bagus terus..!!
83
Kemudian Samir berfikir, Samir berkata lagi “mungkin Samir
cocoknya dengan jurusan tarbiyah bu... karena Samir selama di
pondok senang dengan pelajaran tarbiyah dan Samir di pelajaran
tarbiyah pernah mendapatkan nilai 9 bu..”
Ibu berkata “ ya sudah nak... sekarang kamu sholat istikhoroh
saja!! Memohon petunjuk dari Allah subhanahu wata`ala.”
Dimalam yang gelap dan sunyi ketika keluarga samir sedang
tertidur. Samir pun melaksanakan nasehat dari orangtuanya, yaitu
melaksanakan sholat istikhoroh dan berdoa memohon kepada Allah
agar diberikan petunjuk antara dua pilihan. Yaitu jurusan pendidikan
agama islam atau ilmu qur`an dan tafsir. Waktu liburan Samir pun
telah habis. Dia pun sudah mempersiapkan segala kebutuhan untuk
menjadi mahasantri baru di unida gontor. Seperti pakaian, buku-buku,
dan alat tulis.
Pada waktu itu Samir telah sampai di unida gontor ketika
waktu maghrib, suasana tidak jauh berbeda dengan pengalamannya
selama di pondoknya selama menjadi santri. Yaitu, custome house
dengan segala protkol kesehatan. Kemudian setelah custome house,
Samir di arahkan menuju gedung abu bakar as-siddiq. Di
pertengahan perjalanan menuju Gedung abu bakar, ia melihat suatu
gedung yang sangat besar.
Di sana tertulis university of darrussalam gontor. Samir
teringat Kembali dengan gambar yang ia pernah lihat di paper bag
ketika berada di balai pertemuan robithoh. Megah sekali gedung ini
84
dalam hati samir. Dia kemudian bertanya-tanya didalam benaknya,
apa sebutan gedung ini???
Setelah itu samir sampai di gedung abu bakar, kemudian
diperintahkan untuk oleh kakak tingkat untuk mengumpulkan segala
persyararatan unuk calaon mahasantri. Kemudian Samir mengambil
barang-barangnya dan mebawanya ke kamar yang sudah ditentukan
oleh panitia. Samir dan kawan-kawan barunya tiba-tiba saja
dipanggil dan dikumpulkan di lapangan badminton. Di sana ada
salah satu dari kakak tingkatnya yang mengarahkan kepada mereka
semua. Salah satu kakak tingkat itu berdiri dan berbicara di hadapan
Samir dan kawan-kawan.
Dia berkata “ kalau mau memanggil kakak tingkat diatas
kalian, panggilah dengan sebutan “ sayyid”. Samir berifikir lagi jadi
ada kesamaannya juga dengan yang ada di pondoknya dulu. Ketika
ada anggota yang dibawah kelasnya seperti kelas 5 yang ingin
memanggil kelas 6 pasti dengan panggilan “al-akh” ataupun
sebaliknya. jadi di sini kalau manggil kakak tingkat “sayyid”
tujuannya untuk saling menghormati.
Kemudian sayyid tersebut melanjutkan perkataannya “ besok
pagi kalian semua akan mengikuti acara orientasi pengenalan kampus,
yang diselenggarakan di gedung termegah di unida gontor (getter)”
Samir pun akhirnya tahu bahawasannya yang selama ini ia
tanya-tanykan di dalam benaknya, tentang nama gedung yang megah
itu adalah gedung terpadu (getter).
85
Kemudian sayyid tersebut melanjutkan perkataanya lagi
“panggilan ustadz kalau di sini untuk para dosen yang mengajar
kalian”
Masa orintasi pengenalan kampus pun tiba.
Pada masa-masa ini biasanya yang Samir ketahui dari kakak
perempuannya adalah masa-msa yang paling sengsara. Karena
bisaanya kalau di universitas lain para calon mahasiswa-
mahasiswinya merasa terbebani sekali. Tapi di unida gontor ini
Samir tidak menemukan suasana yang seperti itu. Dalam hatinya
berkata“Alhamdulillah”. Karena di unida gontor ini bahasanya kita
memanusiakan manusia. Justru lebih teratur di unida ini.
Ditengah-tengah ospek ini Samir dan kawan-kawan harus
mengikuti ujian interview dan ujian kepribadian yang belokasi di
gedung terpadu. Dalam ujian interview ini Samir mengambil jurusan
pendidkan agama islam (PAI). Setelah masa-masa orientasi
pengenalan kampus telah selesai. Ada suatu malam yang disebut
makrab. Yang dimana para panitia ospek dan calon mahasantri baru
berkumpul di depan gedung CIES
86
Tujuannya untuk mengesahkan Samir dan kawan-kawan
menjadi mahasantri baru. Di sana Samir beserta kawan-kawannya
mengucapkan dua kalimat syahadat, serta janji tridarma yang
dipimpin oleh 2 orang teman Samir. Yaitu ryan dan danu.
Alhamdulillah sekarang seorang alumni pondok modern yang
bernama Muhammad Samir telah tercapai mimpinya menjadi
mahasantri di universitas darussalam gontor.
87
Jika Tidak Bisa Terbang, Berlarilah, Jika Tidak Bisa Berlari
Berjalanlah, Jika Tidak Bisa ? Apapun Itu Bergeraklah.
Oleh : Ziyad Safirul Aulia / HI - 7
Lambat matahari ini menuju puncaknya, pagi dengan
hembusan angin yang sepoi sepoi menemani hari sabtu diujung
lorong. Tersentak nafas tergesa - gesa, pagi cerah sudah
mendapatkan penyakit dari umur yang tua kini, Lemoti tak tahu malu
dirinya yang sudah penyot tulang punggungnya bertahan lebih lama
dari sangkar burung yang terbuat dari kayu pohon nangka. Sepanjang
jauh mata memandang, ia hanya bisa menatap dirinya sebagai orang
tua yang taka ada kontribusi pada lingkunganya. Orang orang hanya
ingin memberinnya makan ketika benar benar merenggek kelaparan.
Keberadaanya di pulau mentawai hanya bisa menjulurkan tanganya
ke tangan orang orang yang ada didepanya.
Sangat memalukan!!!
Surau tua yang biasanya ditempatinya tak lebih bisa untuk
ditempat tinggali lebih dari dua orang. Kini tinggal semangat yang
ada dibenaknya, taka da yang dibanggakan selain pekerjaan sehari
hari yang dilakukanya. Menodong tangan orang!!!!
“ Pak apakah anda ingin membagikan harta kalian.” sambil
menjulurkan tangan
“Aku akan memberikan sebagian jika kau mau membersihkan
sebagian sampah disekelilingmu” jawab pak tua
88
Setelah lama dalam membungkuk untuk mengambil
sececeran sampah, imbalan yang tak banyak dari pak tua itu diterima.
Lemoti bisa menggebuskan nafas seketika itu. Dengan hasil upa itu
ia membeli sebungkus makanan yang ia akan santap. Menghabiskan
hari harinya dengan terus berulang ulang kali seperti itu, berulang
kali, setiap hari, sepanjang minggu dan bertahun tahun.
Lama menikmati kebobrokan sang maestro handal
menjulurkan tangan, Lemoti tersentak diatas tulisan wadah
makananya yang terbuat dati kertas Koran harian kota nabuleda.
“Kaa....u yangggg taks maghir dihkehidupanx mugh ini,
munskin cheehidupan dilaing inih kauw machir.”
Tersentak pikiran serta tubuhnya tak bergerak. Berkali kali ia
baca dengan sungguh sungguh, karna bacaanya yang tak terasah kini
mulai tau apa yang dipikirkanya.
“ Berubah. ”
Lemoti menatap kedepan melonggo beberapa detik, meratapi
selama ini yang ia kejakan tepat atau tidak tepat. Ia terus membaca
diteks selanjutnya, ia semakin pusing karna tak bisa membaca
dengan benar tapi terus berusaha. Ia memanggil disekelilingnya
untuk membantunya
“ Pak apa ini.” Tanya lemoti
Pria itu kemudian membantunya dalam membaca ia
menjelaskan dengan singkat karna Nampak pria itu akan pergi
meninggalkanya karna ada kesibukan dalam pekerjaanya.
89
Tak selang sore hari loncat, Lemoti melangkahkan kakinya
untuk mengambil wadah. Cara ini pasti berhasil. Jika tak berhasil
menggemis dari tanganku mungkin aku akan menjulurkan tanganku
memakai wadah.
Selang minggu berhasil cara itu. Dia tak puas apa yang selam
ini lakukan. Ia mengganti caranya dengna bermain gitar, bakat yang
dulu terpendam memainkan gitar muncul seketika. Menggemis
dengan cara bermain gitar belum ada sama sekali di pulau ini. Hebat
pikirnya.
Oooo hati ini terayu rayu dengan penghasilan ini. Lama dan
panjang ia bermain gitar, peningkatan cara bermain gitar pun melejit
banyak yang menyukainya. Hati yang senandu mendengarnya luluh
dilahap irama gitar tersebut. Tak lama kemudia dipersimpangan ada
seorang kakek tua wangi tinggi, hidung mancung, kaca mata hitam
rambut diikal menghampirinya.
“ Kau bermain sangat exotic memainkan gitar tersebut
kawan.” sapaan dari kakek tua
Lama berbicara, ia pun ditawari untuk memainkan gitar
tersebut di restoranya. Tersorak selama ini dia hanya menikmati
sentikan gitarnya di pinggir jalan, kini ia bisa memainkanya di kelas
atas. Terhibur orang mendengarkan gitar yang ia mainyak. Dalam
perjalanan pulang ia bertanya kepada pak tua tersebut sipemilik
tokoh.
Terlihat ia menggeluarkan sepotong Koran dari sakunya.
90
“ Apa, apa maksud dari kalimat tersebut pak ? ”
Ia pun membaca
“ Kau yang tak mahir dikehidupanmu ini mungkin dilain
kehidupanmu dilain ini kau mahir.” ia membaca dengan seksama
“ Kau dulu seorang penngemis nak ? ” Tanya pak tua tersebut
“ Iya. ” kemudian ia menceritakan. Bahwa ketika menggemis
ia hanya menjulurkan tangannya kemudian, mengganti caranya
dengan wadah, kemudia gitar.
“ Wow, kau mengganti cara menggemismu karna kau tidak
sengaja membaca kata kata ini dari bungkus makananmu, itu sangat
luar biasa nak, lanjutkan.”
91
Pandemi.
Oleh : Muhamad Izudin Al - Qossam / AFI - 3
“Selesai, kau bisa pulang sekarang,” seorang berjas putih
mengelap peluh di dahinya. Ia mencabut jarum yang ada di suntikan,
mengganti dengan yang baru.
“Terima kasih dok, sungguh, terima kasih.” pria paruh baya di
hadapannya berkaca-kaca. Ia mengusap wajah kusamnya dengan
ujung ‘kaos’ yang dikenakan. Yah, meski tidak tepat disebut kaos,
dengan lubang dan bekas robekan yang menghiasinya.
“Berterimakasihlah pada Tuhan, saya hanya perantara bagi
karunia Tuhan atas kesehatan kalian semua. Sudah, pulanglah. Lihat,
kasihan yang mengantri, mereka juga memiliki hak yang sama
denganmu. Dan jangan lupa, nanti kembalilah 6 bulan lagi untuk
mendapatkan tahap kedua pada tahun ini.”
Seorang papa itu bergegas meninggalkan ruangan kecil nan
sederhana tersebut. Sambil mengenakan kacamata di wajahnya – dan
tak lupa maskernya, ia sekali lagi mengucap terima kasih kepada
dokter yang sekarang sibuk mencatat entahlah apa itu. Hatinya
sungguh bahagia, haru, dan merasa berhutang. Namun ia tidak ingin
mengganggu pekerjaan mulia dokter tersebut, maka ia segera
membuka pintu dan keluar ruangan.
Belasan hingga puluhan orang tampak sabar menunggu giliran
mereka, tertib dengan protokol kesehatan yang baru-baru ini
diperketat lagi oleh pemerintah. Dengan masker 3 lapis, jaga jarak
92
antar sesama sejauh dua meter, dan dengan kacamata anti-virus. Yah,
varian baru dari virus yang sedang menyerang dunia ini dapat
menyebar hanya dengan tatapan mata saja.
Entahlah, sudah varian keberapa virus yang menjelma menjadi
pandemi ini. Bahkan hampir tiap tahunnya selalu ada satu atau dua
varian baru yang muncul. Tak ayal lagi, vaksin akan selalu menjadi
prioritas kesehatan dunia untuk menjaga kekebalan tubuh dari virus
yang tak kunjung hilang.
“Berikutnya,” seru dokter dari dalam ruangan.
Salah seorang perempuan muda dengan anak balita di
sampingnya masuk ke dalam ruangan tersebut, mengambil jatah
mereka untuk dapat vaksin gratis.
***
Lelaki itu menghela napas lega. Seharian ini saja sudah ada
sekitar 40 pasien yang mengantri untuk mendapat vaksin gratis. Ia
melepas jasnya dan melemparkannya sembarangan ke atas meja. Ia
duduk di kursi kayu yang sudah hampir lapuk. Kemudian ia melepas
kacamata anti-virus yang selalu ia kenakan kemanapun ia pergi,
lantas mengusap wajahnya pelan.
Sekali lagi ia menghela napas, kali ini lebih pelan.
“Hei, tampaknya kau begitu lelah ya?” Entah dari mana
munculnya, kini di hadapannya berdiri seorang tua – jauh lebih tua
darinya. Ia bertumpu pada sebatang tongkat kayu dengan ukiran yang
sangat indah.
93
“Hei anak muda, janganlah kau melamun. Bagaimana ini,
ditanya kok malah diam saja.” Kini seorang tua renta tersebut
terkekeh pelan.
“Eh, i..iya, bagaimana tadi?” dokter itu bertanya balik.
“Ah, sudahlah, tampaknya kau sedang banyak pikiran. Mari
kita bahas masalah lain saja.” Pak tua itu terdiam sebentar. “Sebelum
itu, tidakkah kau mempersilakanku untuk duduk?”
Dokter itu sedikit gelagapan. Bodohnya ia, bagaimana
mungkin etika sesederhana itu ia lupakan. Ia beranjak dari kursinya
dan mengambil kursi yang biasa digunakan untuk pasien, kemudian
menyerahkannya ke pak tua. “Silahkan duduk, Pak.”
Lagi-lagi kakek tua itu terkekeh pelan.
“Pak, ini tolong digunakan dulu kacamatanya, untuk menjaga
kesehatan kita.” Dokter itu menyodorkan sebuah kacamata, yang
lazim digunakan tiap orang.
Bukannya mengambil kacamata anti-virus itu, kakek itu malah
tertawa cukup renyah. Tidak lagi dengan kekehan pelan seperti
sebelumnya. Tangannya memberi isyarat untuk meletakkan lagi
kacamata tersebut.
“Buat apa anak muda?” Kakek itu tersenyum takzim.
Eh, dokter itu sedikit bingung, sekaligus kesal. Bagaimana
mungkin ada orang yang tidak mau menjalankan protokol kesehatan?
Mungkin iya, ada orang yang masih ngeyel dan berontak kepada
segala peraturan kesehatan di awal munculnya pandemi ini. Tapi itu
94
dulu. Seiring berjalannya waktu, manusia mulai bosan melawan
peraturan yang dianggap mengekang dan merepotkan itu. Disamping
varian baru virus yang terus bermunculan, semakin menyadarkan
orang-orang yang tidak percaya akan bahaya pandemi itu.
“Wahai, ini ditanya kok malah melamun lagi.” Senyuman
kakek itu belum hilang dari wajahnya.
Dokter itu gelagapan lagi, untuk kemudian ikut tersenyum.
“Kan tadi sudah saya katakan, ini untuk menjaga kesehatan kita
semua, Pak. Agar kita terhindar dari varian baru virus yang dapat
menular lewat kontak mata.”
Pak tua itu mengangguk pelan. “Baik anak muda, demi
kemurahan hatimu aku akan memakai kacamata itu.” Ia meraih
kacamata yang sudah diletakkan di atas meja.
“Kacamata ini didesain sedemikian rupa untuk dapat
menghindarkan kita dari virus, bukankah begitu anak muda?” tanya
pak tua sambil memposisikan kacamata di wajahnya.
“Tentu saja, Pak. Bahkan sekaligus kacamata tersebut bisa
digunakan oleh orang dengan penyakit rabun dan silinder, meski bagi
orang biasa juga bagus. Karena ia anti radiasi dan ultraviolet,
sehingga akan semakin menjaga mata kita.” Dokter itu tampak
dengan semangat menjelaskan.
“Sudahlah, apapun itu, orang tua ini tidak paham penjelasanmu.
Intinya kacamata ini untuk menjaga kita, bukan?”
95