The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

04Panduan Pelayanan Gereja terima dari Pak Anton 15 April 2020edit JM 15 April 2020A

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Brigitta Ve, 2020-06-06 03:14:43

04Panduan Pelayanan Gereja terima dari Pak Anton 15 April 2020edit JM 15 April 2020A

04Panduan Pelayanan Gereja terima dari Pak Anton 15 April 2020edit JM 15 April 2020A

Buku Saku: Edisi 2 (edisi revisi) untuk Umum

PANDUAN PELAYANAN
GEREJA DI TENGAH WABAH

CORONA

Tim Penulis
Demianus Ice
Verdianus Guselaw
Sirayandris J. Botara
Trisan Wangka
Jerizal Petrus
Ferry Kabarey
Julianus Mojau

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun,
termasuk fotocopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.

(sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 49 ayat 1 UU No. 19 Tahun 2002)

Sanksi Pelanggaran
Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menj­ual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Jika Anda menemukan cacat produksi pada buku ini, silakan menukarkan
di toko buku BPK Gunung Mulia atau mengirimkan ke Logistik BPK Gunung Mulia
(Jl. Raya Bogor Km. 28, No. 43, Jakarta 13710). Kami akan mengganti buku tersebut.

Buku Saku: Edisi 2 (edisi revisi) untuk Umum

PANDUAN PELAYANAN
GEREJA DI TENGAH WABAH

CORONA

Tim Penulis
Demianus Ice
Verdianus Guselaw
Sirayandris J. Botara
Trisan Wangka
Jerizal Petrus
Ferry Kabarey
Julianus Mojau



DAFTAR ISI

Sambutan BPHS GMIH vii
Gereja sebagai Komunitas Cerdas di Tengah Pergulatan Zaman xi
Pengantar Gereja Tanggap Bencana xv
1. Iman, Corona & Pengharapan 1
2. Keprihatinan dan Kepedulian Sosial 7
3. Panduan Hidup Sehat Secara Medis 11
4. Panduan Meningkatkan Kesehatan Mental Melalui Self-Therapy 15
5. Panduan Hidup Sehat Secara Ekonomi 19
6. Memperkokoh Kerja Sama Lintas Unit Pelayanan Gmih dan Kemitraan 23
7. Ibadah – Ibadah dalam Situasi Darurat Covid-19 25
8. Pendampingan Pastoral Bagi Korban dan Keluarga Korban Covid-19 29
9. Iman dan Etika Pelayan Khusus 37

v



SAMBUTAN BPHS GMIH

Kehidupan sehari-hari orang beriman tidak mungkin lepas dari
tantangan. Apa pun bentuknya tantangan itu selalu ada. Sekarang
ini warga dunia diperhadapkan pada tantangan pandemik
corona virus disease 2019 (covid-19 ).

Para ahli menjelaskan ada jenis yang dapat disembuhkan dan
dalam kasus-kasus tertentu tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu,
kita tidak dapat menafikan dampak buruk dari tantangan pandemik
covid-19 tersebut. Tetapi melebih-lebihkan tantangan tersebut pun
bukanlah sikap bijak orang beriman karena dapat membuat orang
hidup mengambil sikap reaktif dan panik menghadapi krisis ke­
manusiaan tersebut. Juga dapat dengan gampang orang jatuh ke dalam
pandangan hidup pesimistik dan sikap hidup sosial yang apatis.

Seharusnya, warga gereja sebagai orang–orang yang beriman
kepada Allah Pencipta dan Pemelihara Hidup, menghadapi dan me­
nyikapi krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh pandemik covid-19

vii

viii Panduan Pelayanan Gereja di Tengah Wabah Corona

dengan tenang dan tidak panik. Tantangan atau krisis kemanusiaan
itu harus dihadapi dan disikapi dengan hidup dalam iman dan
pengharapan sehingga menyatakan keprihatinan dan kep­ edulian pun
tidak terkesan reaktif.

Badan Pekerja Harian Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera
(BPHS GMIH) berpendapat bahwa menghadapi krisis kemanusiaan
yang disebabkan oleh pandemik covid-19 tidak cukup hanya ber­
dasark­ an beberapa petunjuk-teknis. Sebagai orang beriman petunjuk-
teknis tersebut mengacu pada keyakinan teologis yang men­jadi dasar
tindakan solidaritas sosial etis. Diperlukan suatu panduan yang
mengintegrasikan keyakinan teologis dengan langkah-langkah teknis
medis dan penguatan solidaritas sosial secara mental dan ekonomi.

Menanggapi tantangan pelayanan terintegrasi tersebut BPHS
GMIH telah mengeluarkan buku saku edisi pertama dan berlaku
secara internal GMIH yang berisi: 1) Iman, Corona dan Pengharapan;
(2) Keprihatinan dan Kepedulian Sosial; (3) Panduan Hidup Sehat
Secara Medis; (4) Panduan Meningkatkan Kesehatan Mental Melalui
Self-Therapy; (5) Panduan Hidup Sehat Secara Ekonomi; (6) Memper­
kokoh Kerjasama Lintas Unit Pelayanan GMIH dan kemitraan; (7)
Ibadah-Ibadah dalam Situasi Darurat Covid-19; dan (8) Iman dan Etika
Pelayan Khusus.

Beberapa pembaca di luar warga jemaat dan pelayan khusus
GMIH menyambut positif usaha sederhana BPHS GMIH dalam
mempersiapkan warga jemaat GMIH menghadapi dan menyikapi
pandemik covid-19 yang belum dipastikan kapan akan berakhir.
Atas saran pembaca di luar GMIH tersebut maka BPHS GMIH telah
mengundang kembali tim kerja kecil untuk membaca kembali dan
menambahkan dua bagian yang belum sempat secara luas diberi
perhatian, yaitu: pendampingan pastoral konseling mengelola ke­
dukaan dan masa-masa perkabungan dalam situasi darurat pem­
batasan sosial (social-distancing) dan pembatasan fisik (physical-
distancing) serta pendampingan penguatan solidaritas sosial di mana
pembatasan sosial (social-distancing) dan pembatasan fisik (physical-
distancing) dapat saja mengakibatkan kelangkaan bahan-bahan

Gereja sebagai Komunitas Cerdas di Tengah Pergulatan Zaman ix

kebutuhan pokok sehari-hari. Selain itu, ditambahkan pen­dasaran
spiritualitas untuk menerjemahkan gagasan hidup meng­gereja:
Gereja Sahabat Alam yang telah menjadi perhatian Gereja-gereja di
Indonesia pada awal abad ini.

Maka buku saku edisi kedua ini berisi: 1) Iman, Corona dan
Pengharapan; (2) Keprihatinan dan Kepedulian Sosial; (3) Panduan
Hidup Sehat Secara Medis; (4) Panduan Meningkatkan Kesehatan
Mental Melalui Self-Therapy; (5) Panduan Hidup Sehat Secara
Ekonomi; (6) Memperkokoh Kerjasama Lintas Unit Pelayanan GMIH
dan kemitraan; (7) Ibadah-Ibadah dalam Situasi Darurat Covid-19; (8)
Pendampingan Pastoral Konseling Situasi Darurat Pandemik Covid-
19;(9) Iman dan Etika Pelayan Khusus; (10) Pandemik Covid-19 dan
Spiritualitas Keragaman-Hayati.

Buku saku: Panduan Pelayanan Gereja di Tengah Wabah Corona
ini merupakan langkah pastoral prefentif untuk memutus rantai
penularan covid-19 karena dapat mengancam kehidupan manusia
yang sangat rapuh dan rentan terhadap penyakit. Isi buku ini lebih
mencerminkan pergumulan kontekstual GMIH merespons pandemik
covid-19. Perbedaan konteks GMIH dengan konteks Gereja-gereja
Anggota PGI lain pasti akan menghasilkan perbedaan tanggapan
teologis dan liturgis secara berbeda. Sekalipun demikian kami mem­
beranikan diri memenuhi dorongan beberapa pembaca di luar GMIH
agar buku saku panduan pelayanan di tengah wabah corona ini dapat
menjadi bacaan umum.

Buku ini diterbitkan bersama Penerbit BPK Gunung Mulia sebagai
sumbangan pemikiran mengembangkan pelayanan gereja di tengah
wadah covid-19 yang menggetarkan kita yang bertolak dari konteks
pelayanan GMIH. Penerbitan ini juga sekaligus rasa syukur GMIH yang
boleh mengalami “Injil itu kekuatan Allah yang menyelamatkan dan
memberdayakan” yang memasuki usia ke 154 tahun (19 April 2020
sejak Zending UZV tiba di pulau Halmahera tanggal 19 April 1866
dan pernah mengalami tiga kali tantangan berat dalam sejarahnya,
yaitu: tahun 1999, 2013 dan sekarang ini (2020). Tentu saja latar
belakangnya berbeda. Tetapi pesannya sama, yaitu: bagaimana hidup

x Panduan Pelayanan Gereja di Tengah Wabah Corona

dalam iman, pengharapan dan kasih sebagai modal menghadapi
tantangan tersebut.

BPHS GMIH mengucapkan banyak terima kasih kepada tim
kerja/tim penyusun yang telah mengusahakan panduan ini. Juga
terima kasih kepada para pembaca yang sama-sama memiliki
keprihatinan dan kepedulian kemanusiaan berkenaan menyambut
positif buku sederhana ini di tengah kegamangan warga jemaat.
Secara khusus kepada Pdt (Em). Weinta Sairin, M.Th dan Pdt. Hariman
A. Pattianakotta, M.Th yang boleh berkenaan memberi dorongan
agar GMIH menerbitkan buku saku ini bagi kemanusiaan semesta.
Juga kepada Ibu Pdt. Dr. Aguswati Hildebrand-Rambe yang telah
melengkapi kerja tim/penulis GMIH, khususnya di bagian tentang
Pendampingan Pastoral dalam Situasi Darurat Covid-19.

Semoga buku panduan ini dapat menjadi berkat bagi siapapun
yang mencintai kehidupan manusia dalam terang iman, pengharapan
dan kasih (bnd. 1 Korintus 13:13).

Tobelo, 19 April 2020
BADAN PEKERJA HARIAN SINODE GMIH

Ketua Umum Sekretaris Umum

Pdt. Dr. Demianus Ice, M.Th Pdt. Verdianus Guselaw, M.Teol

GEREJA SEBAGAI KOMUNITAS CERDAS
DI TENGAH PERGULATAN ZAMAN

Dari perjalanan historis dan pergumulan teologis umat kristiani
di tengah realitas dunia, kita memahami bahwa terminologi.,
“Gereja” tak bisa lagi dirumuskan secara tunggal dan definitif.
Kata “Gereja” telah berangkat menjadi sebuah narasi elaboratif yang
didalamnya coba diakomodasi pikiran-pikiran telogis dari umat Tuhan
tentang dan seputar Gereja, yang lahir dari proses interaksi ditengah
perjalanan ziarah yang diiakukannya.

Dengan demikian Gereja bukan lagi hanya sebuah benda yang
“diam”, yang dalam posisi stagnasi, stagnan, tapi sebuah komunitas
yang bergerak, yang secara dinamik terarah dari gelap menuju
terang.

Gereja tidak lagi hanya difahami sebatas gedung atau rumah
ibadah, tempat umat melakukan ibadahnya kepada Tuhan; sebuah
kata benda. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil
keluar dari kegelapan dan masuk dalam.terangnya yang ajaib( 1
Pet 2: 9). Dengan demikian Gereja adalah persekutuan yang kreatif,

xi

xii Panduan Pelayanan Gereja di Tengah Wabah Corona

dinamis, yang masih berada di tengah jalan dan belum tiba di terminal
penghabisan. Oleh karena itu, Gereja tidak lagi.dimaknai sebagai
bukan semata-mata ‘kata benda” tetapi mengandung juga nuansa kata
kerja.

Dalam bahasa Dokumen Gereja. PGI, Gereja ad di tengh dunia
sebagai arak-arakan unat Allah yang yang terus bergerak menuju ke
kepenuhan hidup krrajaan Allah. Ia dituntut untuk selalu terbuka
kepada dunia ini agar dunia ini terbuka kepada undangan Allah untuk
turut serta di dalam arak-arakan orang percaya menuju pemenuhan
janji Allah akan kerajaan-NYa di dalam Yesus Kristus.

Kita juga perlu menyadari bahwa Gereja tidak hidup dalam
sebuah dunia yang kosong, putih dan steril. Unsur-unsur ipoleksosbud
hankam berpotensi untuk menggoda dan babahkan mempengaruhi
Gereja. Itulah sebabnya Gereja, komunitas yang sedang diutus ditengh
dunia, harus selalu sigap dan responsif membrri.jawab terhadap
perkmbmgn yang trjdi dan mmemandu umat.untuk memahami.
prkmbngn.itu dengan tepat dan cepat.

Tatkala virus Covid 19 muncul pada awalnya di Wuhan RRC,
mewabah bahkan menjadi pandemi dan mematikan ribuan orang di
berbagai belahan dunia, kita sebagai bangsa cemas, panik dan takut.
Respons banyak pihak di negeri ini juga amat beragam, ada yang
menganggap ini sebagai flu biasa ysng tidak perlu dikuatirkan, ada
yang mencoba memberi perspektif agama, ada juga kelompok yang
secara profesional melihat dari kacamata akademis.

Gereja-gereja dalam keterbatasan pemahaman tentang Covid 19
mendoakan dalam berbagai aktivitas ibadah agar wabah itu dapat
ditanggulangi dengan baik srhingga tidak makin menambah jumlah
korban. Warga Gereja mengangkat kasus Covid 19 dalam percakapan
dan diskusi selepas ibadah hari Minggu atau sesudah ibadah-ibadah
wilayah. Dari percakapan dan diskusi terekam adanya kegamangan
warga Gereja terhsdap merebaknya wabah Covid 19.

Dalam konteks itu ada warga Gereja yang melihat kasus Covid
19 sebagai peringatan atau hukuman Tuhan atas dosa-dosa bsngsa

Gereja sebagai Komunitas Cerdas di Tengah Pergulatan Zaman xiii

ini, semrntara ada juga yang memandangnya dari bingkai eskatologis
ketika Covid 29 dimaknai sebagai tanda-tanda kedatangan Yesus ysng
kedua kali. Perbedaan pandangan di kalangn Gereja nampak secara
kasat mata ketika pemerintah mengibau pelaksanaan ibadah tidak
di gereja tapi dipindahkan ke rumah-rumah untuk memutus rantai
persebaran Covid 19. Ada Gereja yang amat memahami imbauan
pemerintah itu apalagi kemudian pimpinan PGI juga membuat
imbauan penegasan, lalu Gereja-gereja melalukan ibadah secara on
line atau live streaming di kota-,kota dan di desa-desa yang belum
tersentuh internet digarap secara khusus oleh sinode masing-masing.
Namun pada pihak lain ada satu dua Gereja yang merasa harus tetap
melakukn ibadah di gedung Gereja antara lain dengan menyatakan
bahwa Corona bisa ditaklukkan oleh iman! Pada titik ini memang
terjadi kegamangan dikalangn warga Gereja, mereka gagap dan kelu
menghadapi realitas itu, semntara korban yang meninggal ada dari
warga Gereja. Literasi tentng keterhubungan antara teologi dan Covid
19 nyaris takada kecuali 1-2 artikel di media konvensional.

Dalam konteks kemangan seperti itulah kehadiran buku yg ditulis
oleh Tim GMIH ini menjadi amat penting dam relevan di tengah
kekosongan literasi dan kegamangan umat. Kita bersyukur bahwa
GMIH punya sense of emergrncy yang tinggi yang membakar semangat
untuk dengan cepat menghadirkn buku ini ke tengah khalayak. GMIH
yang berada di ujung Timur Nusantara membuktikan dirinya sebagai
Gereja yng tengah diutus, Gereja yg brada ditengah jalan, Gereja
ysng tidak tebelenggu dalam ghetto. GMIH juga menyadari bahwa
pengaturan teknis beribadah --- apakah di rumah maupun di Gedung
gereja --- dapat terpahami sesuai dengan koompleksitas konteks
Gereja-gereja anggota PGI.

Melalui buku ini kita akan lebih dalam memahami spektrum
yang luas apakah Covid 19 dan bagaimana Gereja mendekati kasus
itu dalam tuntunan hikmat Tuhan. GMIH akan tercatat dalam sejarah
bshwa ia telah menampilkan diri secara elegan sebagai komunitas
cerdas ysng memberikn pikiran bernas bagi.umat di zamsnnya.

xiv Panduan Pelayanan Gereja di Tengah Wabah Corona

Kita amat berterima kasih kepada Tim Penulis dan GMIH. Kiranya
buku ini diberkati oleh Tuhan dan menjadI sarana bagi pemuliaan
nama-Nya.

Jakarta, 6 April 2020.
Pdt Em.Weinata Sairin, M.Th

Mantan Sekum PGI dan Anggota Majelis Pendidikan Kristen
Indonesia (MPK)

PENGANTAR
GEREJA TANGGAP BENCANA

Bencana selalu menghadirkan kecemasan sekaligus tantangan.
Covid 19 yang mewabahi dunia, termasuk Indonesia kita, tidak
hanya telah mendatangkan ketakutan, tetapi juga menyediakan
peluang bagi gereja-gereja dan umat beragama di negara ini untuk
bergandeng-tangan mewujudkan praksis hidup beriman yang
relevan. Kecemasan atau pun ketakutan yang direspons dengan
iman dan hikmat akan ditransformasi menjadi sikap waspada yang
bertanggung-jawab bagi kemanusiaan dan keberlanjutan kehidupan.

GMIH, Gereja Tuhan di Timur-Utara Indonesia, mewujudkan
sikap waspada yang bertanggung-jawab itu lewat sebuah panduan
ringkas penuh bobot bagi umat dalam menyikapi pandemi Covid 19.
Basisnya jelas: Iman, pengharapan dan kasih alkitabiah; kemudian
diungkapkan dalam belarasa sosial-ekonomi secara sinergis, serta
tindakan merawat kesehatan tubuh dan psikis manusia sebagai insan
utuh ciptaan Tuhan . Buku kecil ini mencerminkan sikap tangkas yang
seharusnya dari gereja dan umat beriman di tengah situasi bencana.

xv

Melalui buku kecil ini, kiranya GMIH dan gereja-gereja kita di
Indonesia dapat menjadi gereja tanggap bencana, yakni gereja yang
waspada dan bertanggung-jawab secara sosial dalam situasi krisis
(seperti gadis-gadis yang bijaksana dalam Matius 25:1-13). Bukankah
kita ingin memiliki hidup yang berkenaan kepada-Nya, Pencipta dan
Pemilik kehidupan? Maka, inilah jalan sehat di tengah pandemi yang
mesti kita tapaki bersama dalam iman, pengharapan, dan kasih.

Pandemi ini pasti berlalu. Tuhan kiranya memberkati kita
semua.

Salam dan doa,

Pdt. Hariman A. Pattianakotta, M.Th
(Pendeta GKP, bertugas sebagai Pendeta Universitas Universitas

Kristen Maranatha, Bandung

1

IMAN, CORONA DAN PENGHARAPAN
Fides Quarens Intellectum
(Anselmus)

1. Sejatinya, misteri pandemik corona virus disease 2019 (covid-
19) mencerminkan kerapuhan manusia sebagai ciptaan. Bahwa
ternyata manusia itu rapuh dan rentan terhadap sakit-penyakit.
Dapat tertular berbagai jenis virus, termasuk virus corona (covid-
19). Pesan lain dari pandemik covid-19 ialah ternyata manusia
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun tidak
mampu mengungkapkan misteri berbagai peristiwa yang dialami
oleh umat manusia di dunia ini, termasuk mengatasi secara cepat
penularan covid-19.

2. Di tengah-tengah krisis kemanusiaan karena kerapuhan manusia
dan keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut kita
tidak boleh lemah dalam iman, sebaliknya kita harus kuat dan
tetap berpengharapan.“ Karena iman kita mengerti, bahwa alam
semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita
lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat” (Ibrani

1

11:3). Iman mencari pemahaman (fides quarens intellectum)
(Tony Lane, 1990). Dalam iman dan pengharapan itulah, kita
menyatukan semua potensi (karunia yang berbeda) menjadi satu
kekuatan dalam menghadapi krisis kemanusiaan ini.

3. Dalam iman dan pengharapan itu jugalah kita terus memohon
kuasa Roh Kudus agar kita diberi hikmat untuk menimbang
banyak cara tanpa kehilangan arah. Karena kita tahu bahwa Allah
tidak akan membiarkan kita di dalam kerapuhan dan kerentanan
kita. Ia adalah Allah pencipta dan pemelihara hidup manusia.
Itulah sebabnyaIa Ia rela memasuki kerapuhan manusia dan
menderita dalam penderitaan putra-Nya: Yesus Kristus untuk
mengalami kerapuhan dan kerentanan kita (bnd. Roma 5:5-11).

4. Dietrich Bonhoeffer (salah seorang teolog dan pendeta yang
mengalami penderitaan di Jerman pada zaman Hitler) pernah
berkata: “Hanya Allah yang menderita yang dapat menolong
manusia yang menderita”. Tentu saja konteks kata-kata Dietrich
Bonhoeffer ini berbeda dari konteks pandemik covid-19. Tetapi
kita boleh belajar dari Dietrich Bonhoeffer tentang pentingnya
iman dan pengharapan dalam situasi yang paling sulit dan tragis
dalam kehidupan kita (bnd. Harun Hadiwijono, 1985:50-54).

5. Kita percaya bahwa Allah kita adalah Allah yang penuh belas-kasih.
Allah adalah kasih (Deus caritas est). Kasih-derita, demikian C. S.
Song (Teolog Asia) dalam bukunya, Allah yang Turut Menderita
( C.S. Song, 1990). Allah penuh belas itu sedang ikut menderita
dan menangis bersama kita di tengah-tengah krisis kemanusiaan
yang kita hadapi. Itulah dasar pengharapan kita dalam situasi
krisis kemanusiaan sekarang ini (bnd. Julianus Mojau, 2019).

6. Kita menghargai semua upaya manusia. Tetapi kita juga sadar
dalam iman bahwa usaha manusia terbatas dalam segala hal.
Teknologi di satu pihak membantu manusia, tetapi pada pihak

yang lain bisa menghancurkan manusia. Contoh kemajuan bio-
teknologi di satu pihak dapat membantu kesehatan manusia
tetapi di pihak lain dapat menghancurkan kehidupan manusia
dalam senjata biologi. Jadi buatan manusia secanggih apapun
tetetap terbatas. Di sini letak perbedaan kualitatif antara Allah
itu Pencipta dan manusia itu ciptaan Allah sehingga Allah itu
abadi dan manusia yang fana/terbatas. Itulah diingakan oleh Karl
Barth bagi orang beriman (Harun Hadiwijono, 1985:24-35).

7. Di tengah-tengah ketidak-pastian ini, kita tidak boleh kehilangan
iman dan pengharapan pada Allah yang adalah Alfa dan Omega
(Yang Awal dan Yang Akhir) sambil memohon kuasa Roh Kudus
agar hati dan pikiran kita diterangi dalam mengambil langkah-
langkah konkret (refleksi-aksi). Bahkan dalam iman dan
pengharapan itulah kita terus menerus hidup dalam kasih yang
saling menguatkan satu dengan yang lain untuk keluar dari krisis
kemanusiaan global tersebut (bnd. 1 Korintus 13:1-13).

8. Sebagai orang percaya kepada kuasa Allah yang menyelamatkan
maka kita perlu menanggapi dan menyikapi krisis kemanusiaan
global yang sedang kita alami sekarang dengan iman dan
pengharapan sehingga selalu berpikir dan bertindak secara
rasional dan berhikmat. Hidup dalam iman dan pengharapan
bersama Allah adalah permulaan hikmat dan pengetahuan orang
percaya (bnd. Amsal 1:7).

9. Dalam terang iman dan pengharapan seperti inilah kita berbelas-
kasih yang melampaui batas-batas ikatan primodial suku, agama,
ideologi dan status sosial. Implikasi pastoral dari belas-kasih
seperti ini menegaskan bahwa tindakan-tindakan belas kasih kita
yang bersifat karitatif (emergensial) merupakan perwujudan dari
rasa syukur dan bukan pamer kebaikan hati kita kepada sesama
kita. Dengan kata lain: kepedulian sosial kemanusiaan kita adalah
buah-buah dari pertanggungjawaban iman dan pengharapan

kita. Atau dengan kata lain: kepedulian sosial kemanusiaan kita
adalah bentuk pertanggung-jawaban iman dan pengharapan
kepada Allah kehidupan (bnd. Yakobus 2:14-26; 1 Yohanes 4:21;
Kejadian 1:26-27).

10. Dalam kasus pandemik covid-19 tindakan belas-kasih kita adalah
bentuk nyata pertanggungjawaban iman dan pengharapan
kita kepada Allah yang adalah kasih. Salah satu wujud
pertanggungjawab tersebut ialah ikut serta memutuskan rantai
penularan virus corona (covid-19). Allah adalah kasih (Deus
caritas est). Maka melakukan langkah konkret mewujudkan
kasih dengan cara memutus rantai penularan covid-19 kita sudah
hidup dalam Allah yang adalah kasih itu. Karena itu barang siapa
hidup dalam kasih maka ia hidup dalam Allah dan Allah hidup
di dalam dia (bnd. 1 Yohanes 4:7-21). Sang Guru Kehidupan,
Yesus dari Nazareth, bersabda: “Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan pertama.
Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah
sesama manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah
tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius
22:37-40).

11. Inilah pegangan hidup kita di tengah-tengah krisis kemanusiaan
global sekarang. Kita harus berakar dalam iman dan pengharapan
kepada Allah Kehidupan yang menyelamatkan kita berdasarkan
kasih-Nya. Hiduplah dalam iman dan pengharapan sehingga kita
dapat bertindak secara rasional dan berhikmat dalam membagi
Kasih Penyelamatan Allah yang tak bertepi dalam situasi krisis
global sekarang. Karena Allah memang mengasihi semua
orang dan baik bagi semua orang tanpa membedakan identitas
keagamaan, kesuku-bangsa-an, dan identitas-identitas politik
(bnd. Mazmur 145:9a; Yohanes 3:16). Kita percaya sesungguhnya
Allah kehidupan itu sedang menderita dan menangis bersama

kita. Ia tidak meninggalkan kita. Itulah pokok pengharapan kita.
Oleh karena itu kita pun percaya bahwa Ia yang ikut menderita
ini akan mengangkat kita dari “Samudra raya pandemik
covid-19” sehingga corona tidak lagi berkuasa atas hidup kita
melainkan Kasih Allah yang Tak Bertepi itulah yang berkuasa
atas kehidupan kita setiap hari! (bnd. Mazmur 7:20b). Karena
Dia adalah “Alfa dan Omega”, “Yang Awal dan Yang Akhir” (bnd.
Wahyu 22:12-13).



2

KEPRIHATINAN DAN
KEPEDULIAN SOSIAL

Laborare Est Orare
(Benedictin)

1. Krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh pandemik covid-19
telah menyebabkan keprihatinan. Di mana-mana kita mendengar
jeritan kemanusiaan yang tak terperihkan lagi. Umat manusia
di seluruh dunia sedang merasakan situasi tersebut. Termasuk
kita di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, gereja-gereja di
Indonesia dan warga jemaatnya, sebagai bagian tak terpisahkan
dari masyarakat Indonesia, pun patut ikut prihatin dan peduli di
tengah-tengah krisis kemanusiaan semesta tersebut.

2. Seperti ditegaskan sebelumnya bahwa keprihatinan dan
kepedulian sosial gereja-gereja di Indonesia dan warga jemaatnya
itu bukan sekadar ikut-ikutan melainkan hal ini merupakan
bentuk konkret pertanggungjawab iman dan pengharapan
gereja dan warganya sebagai orang-orang beriman kepada Allah
kehidupan, Sang Pencipta dan Pemelihara kehidupan manusia.

7

3. Keprihatinan itu perlu diwujudkan secara konkret dengan
mengembangkan kepeduliaan sosial kemanusiaan yang dapat
membesarkan hati warga masyarakat di tengah-tengah pandemik
covid-19. Oleh karena itu, kita tidak boleh menyebarkan berita-
berita yang menyebabkan orang lain kehilangan harapan dan
tidak mau peduli terhadap usaha-usaha memelihara kehidupan
bersama.

4. Seperti ditegaskan sebelumnya bahwa mengasihi sesama saudara
kita di ruang publik keindonesiaan adalah bukti kita mengasihi
Allah yang telah lebih dulu mengashi kita yang penuh kerapuhan
dan kerentanan! Maka memutus rantai penularan virus corona
adalah wujud iman kita kepada Allah yang mengasihi! Termasuk
mengasihi warga Indonesia.

5. Keprihatinan dan kepedulian sosial juga dapat diwujudkan
dengan cara melakukan protokol pemutusan jaringan penularan
covid-19 sebagaimana diatur oleh Pemerintah Pusat dan imbauan
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Keprihatinan dan
peduliaan sosial itu pun dapat dinyatakan dalam bentuk saling
tolong menolong dengan cara saling berbagi kebutuhan pokok,
terutama dengan warga jemaat dan warga masyarakat yang
paling lemah secara ekonomi (Hariman A. Patianakotta, FB, 31
Maret 2010). Juga dengan menyiapkan relawan tenaga medis dan
tenaga teknis di lapangan untuk mengatasi penyebaran covid 19
di wilayah pelayanan masing-masing gereja anggota PGI. Kita
patut memberi apresiasi langkah konkret PGI dan gereja anggota
PGI seperti GKI.

6. Dalam kasus yang paling ekstrim maka pendeta dan anggota
Majelis Jemaat dapat mengambil inisiatif menunda ibadah rutin
di gereja dan membuka pintu-pintu gedung gereja menjadi
ruang pelayanan publik kesehatan bagi para korban covid-19
dan menjadi ruang konseling pastoral bagi pemulihan harapan

hidup dalam situasi krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh
pandemik covid-19.

7. Dalam kemitraan dengan pemerintah, Gereja-gereja dapat
medorong Pemerintah Daerah masing-masing untuk melakukan
langkah-langkah konkret pencegahan dan pemutusan jaringan
penularan virus corona (covid-19) sesuai dengan kompetensi dan
kewenangan Pemerintah Daerah. Juga meminta agar Pemerintah
Daerah dapat mengendalikan pasar dan menyediakan logistik
bagi kebutuhan pokok warga masyarakat secara terjangkau,
sehingga daya beli masyarakat sesuai dengan mandat kewenangan
konstitusional.



3

HIDUP SEHAT SECARA MEDIS

Di tengah-tengah pandemik covid-19 setiap warga jemaat dan
warga masyarakat dituntut untuk hidup sehat fisik secara
medis dengan memperhatikan petunjuk teknis medis tentang
pemeliharaan kesehatan dan pemutusan penularan covid-19 yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat 1dan Informasi Rumah Sakit GMIH
Bethesda2 sebagai berikut:
Jika Anda Merasa Tidak Sehat
1. Jika Anda merasa tidak sehat dengan kriteria:

a. Demam 38 derajat Celcius, dan
b. Batuk/pilek:
Istirahatlah yang cukup di rumah dan bila perlu minum obat/
vitamin. Bila keluhan berlanjut, atau disertai dengan kesulitan

1 Untuk bagian ini sepenuhnya diambil-alih dari http://ksp.go.id/wp-content/
uploads/2020/03/Protokol-Kesehatan-COVID-19.pdf
2 Untuk bagian ini sepenuhnya diambil-alih dari Surat Imbauan Direktur RS GMIH
Bethesda Tobelo, tanggal 21 Maret 2020.

11

bernafas (sesak atau nafas cepat), segera berobat ke fasilitas
pelayanan kesehatan (fasyankes)

Pada saat berobat ke fasyankes, Anda harus lakukan tindakan
berikut:
a. Gunakan masker
b. Apabila tidak memiliki masker, ikuti etika batuk/bersin yang

benar dengan cara menutup mulut dan hidung dengan tisu
atau punggung lengan
c. Usahakan tidak menggunakan transportasi massal

2. Tenaga kesehatan (Nakes) di Fasyankes akan melakukan screening
suspect COVID-19:
a. Jika memenuhi kriteria suspect COVID-19, maka Anda akan
dirujuk ke salah satu rumah sakit (RS) rujukan yang siap
untuk penanganan COVID- 19.
b. Jika tidak memenuhi kriteria suspect COVID-19, maka Anda
akan dirawat inap atau rawat jalan tergantung diagnosa dan
keputusan dokter fasyankes.

3. Jika anda memenuhi kriteria Suspect COVID-19 akan diantar ke
RS rujukan menggunakan ambulan fasyankes didampingi oleh
nakes yang menggunakan alat pelindung diri (APD).

4. Di RS rujukan, akan dilakukan pengambilan spesimen untuk
pemeriksaan laboratorium dan dirawat di ruang isolasi.

5. Spesimen akan dikirim ke Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Balitbangkes) di Jakarta. Hasil pemeriksaan pertama
akan keluar dalam 24 jam setelah spesimen diterima.

a. Jika hasilnya positif;
i. Maka Anda akan dinyatakan sebagai penderita COVID-
19.
ii. Sampel akan diambil setiap hari

iii. Anda akan dikeluarkan dari ruang isolasi jika pemeriksaan
sampel 2 (dua) kali berturut-turut hasilnya negatif

b. Jika hasilnya negatif, Anda akan dirawat sesuai dengan
penyebab penyakit.

JIKA ANDA SEHAT, namun:
1. Ada riwayat perjalanan 14 hari yang lalu ke negara terjangkit

COVID-19, atau
2. Merasa pernah kontak dengan penderita COVID-19, hubungi

Hotline Center Corona untuk mendapat petunjuk lebih lanjut di
nomor berikut: 119 ext 9.

INFORMASI DAN PEDOMAN PENCEGAHAN VIRUS CORONA
RS. GMIH BETHESDA TOBELO

Apa itu Virus Corona?
Corona Virus adalah Virus yang menyerang system saluran nafas,
dengan gejala batuk, bersin, nyeri tenggorokan, sesak nafas, dan
disertai dengan demam.

Memperhatikan Cara Penularan Virus Corona
- Dari manusia ke manusia, yaitu penderita COVID-19
- Lewat droplet atau percikan saluran nafas seperti batuk dan

berin
- Kontak dari penderita dengan menyentuh atau berjabat tangan
- Menyentuh benda atau permukaan yang Sudan terkontaminasi

dengan virus
- Penularan lewat udara mungkin pada orang yang lama terpapar

pada ruangan tertutup

Sifat dari Virus Corona:
• Self Limited Disease: dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan
• Disertai dengan komplikasi dapat menyebabkan kematian

3-8%
• Sensitive terhadap sinar ultraviolet dan panas
• Dapat dinonaktifkan secara efektif dengan hampir semua

disinfektan kecuali klorheksidin.

Pedoman Pencegahan Virus Corona
1. Meningkatkan daya tahan tubuh, dengan cara:

✓ Tidur cukup + 8 jam/hari
✓ Olahraga teratur
✓ Minum air secukupnya

2. Selalu cuci tangan dengan desinfektan atau sabun sesering
mungkin

3. Hindari kontak langsung dari tangan ke mata, hidung dan
mulut

4. Hindari kontak langsung atau berjabat tangan

5. Hindari keramaian

6. Tutup mulut dan hidung dengan tissue atau lengan atas saat
bersin dan batuk

7. Berjemur dibawah sinar matahari sekurang-kurangnya 30
menit/hari

8. Makan dan minum: makanan dan minuman yang mengandung
bahan yang berefek panas seperti jahe, bawang dan cengkeh

9. Orang yang menderita penyakit Flu, batuk, sakit tenggorokan,
sebaiknya pakai masker, hindari tempat umum dan segera ke
dokter.

4

MENINGKATKAN KESEHATAN MENTAL
MELALUI SELF-THERAPY

1. Dalam situasi dan kondisi akhir-akhir ini dengan pemberitaan
di berbagai media cetak maupun elektronik virus corona benar-
benar mengancam kehidupan umat manusia.

2. Salah satu ancaman bagi kehidupan umat manusia ialah
mengalami gangguan kepanikan.

3. Kepanikan adalah kecemasan yang ditimbulkan dari perasaan
dengan membayangkan sesuatu yang akan terjadi atau
ketidakmampuan diri untuk menghadapi sesuatu yang
dibayangkan akan terjadi, padahal sesuatu yang dibayangkan itu
belum tentu terjadi.

4. Secara fisik orang yang mengalami kepanikan dan kecemasan yang
berlebihan biasanya merasa gelisah, nyeri atau sesak di bagian
dada, berkeringat, mual, perut bergejolak/tidak nyaman/mules
15

dan pusing, lemah-lesuh, sudah tidur (insomnia), ketakutan,
sulit/gagal fokus, mudah marah, mudah kaget, pikiran kosong,
sakit kepala, kehilangan keseimbangan, dan bisa kehilangan
kesadaran atau pingsan.

5. Kepanikan juga dapat menyebabkan ganguan mental seperti
ikut menyebarkan kepanikan dan berita-berita hoax.Salah
satu contoh kepanikan dan kecemasan yang berlebihan adalah
menyebarkan berita tentang virus corona tanpa membaca secara
teliti dan memastikan keakuratan sumber berita. Contoh konkret,
pada tanggal 26 Maret pada pukul 02.00 WIT hampir semua
masyarakat Maluku Utara yang di dalamnya ada warga gereja
mencari telur rebus untuk dimakan sebagai penangkal atau
anti virus corona. Lucunya, berita hoax ini dikonsumsi secara
mentah tanpa ada filter yang baik. Ini adalah salah satu bentuk
kepanikan dan kecemasan yang berlebihan yang berdampak pada
pengambilan keputusan perilaku yang negatif. Oleh karena itu,
untuk menghindari kepanikan dan kecemasan yang berlebihan
baiknya segala bentuk informasi yang diterima perlu diselidiki
tingkat kepercayaan sumber berita.

6. Kita dapat meningkatkan kesehatan mental di tengah -tengah
kepanikan banyak pihak karena krisis kemanusiaan yang
disebabkan oleh pandemik covid-19. Kemampuan kita
menghadapi krisis --- termasuk krisis pandemik covod-19---
akan meningkatkan imunitas kita dan berpikir rasional dalam
menghadapi krisis tersebut.

7. Dalam hal ini kita perlu mengembangkan sikap hidup WDEP
(want, doing, evaluation, dan planning), yaitu:

W = wants (keinginan); warga gerejatentu dalam memahami
dan menghadapi mewabahnya virus corona kita memliki
keinginan, kebutuhan, persepsi, dan komitmen terkait strategi
mempertahankan hidup di tengah-tengah tantangan yang

mematikan ini. Sebagai warga kita memproteksi diri dengan cara
mengeksplorasi keinginan dan kebutuhan yang paling prioritas
untuk dipenuhi dalam menghadapi tantangan ini.

D = doing (melakukan); setelah mengetahui apa yang menjadi
keinginan dan kebutuhan yang paling prioritas maka perlu
diindentifikasi apa saja yang hendak dilakukan dalam menghadapi
situasi mewabahnya virus corona. Dalam tahapan ini sebagai
warga gereja perlu mengambil keputusan perilaku yang menolong
dalam mencegah penyebaran virus corona baik pada diri sendiri
maupun orang di lingkungan sekitar.Tidak cukup hanya dengan
pengambilan keputusan perilaku, tetapi harus diikuti dengan
tindakan yang nyata dengan selalu memperhatikan protap yang
ditetapkan oleh pemerintah.

E = evaluation (evaluasi); setelah melakukan tindakan nyata
perlu dievaluasi sehingga dapat diketahui efektivitas perilaku
yang telah dilakukan. Tentu evaluasi perilaku ini sangat terkait
dengan konteks dimana warga gereja berada.

Planning (rencana); evalusi perilaku menolong dalam mencegah
penyebaran virus corona perlu dilakukan agar rencana tindak
lanjut perilaku menolong yang tidak efektif dapat diperbaharui
dengan perilaku yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi
sekitar.

8. Clinebell dan Van Beek menyebutkan bahwa melakukan ibadah
secara sepenuh hati dan bukan formalitas serta sekadar takut
dapat menjadi terapi kesehatan mental dengan doa dan pujian
serta rasa ucapan syukur yang tulus dalam menghadapi dan
menyikapi situasi kritis, termasuk pandemik covid-19.

9. Dengarkanlah music-musik yang meningkatkan imunitas/
kekebalan tubuh setiap hari secara teratur: subu, siang, dan
malam.

10. Sikap pastoral self-therapy dapat diperluas ke penguatan pastoral
bagi korban dan keluarga korban covid-19. Dalam hal ini para
pendeta perlu memainkan peranan sebagai counselor untuk
menumbuhkan iman dan pengharapan para korban dan keluarga
korban.

11. Dalam situasi paling sulit dimana Ibadah Pemakaman dan
Penghiburan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana lazimnya
maka peranan para pendeta sebagai konselor kesehatan mental
bagi keluarga para korban perlu mendapat perhatian serius
dengan tetap memperhatikan petunjuk teknis kesehatan agar
terhindari dari penularan covid-19.

12. Secara teologis dan litugis Panduan Pastoral Konseling dalam
Situasi Darurat Covid-19 di Bab 8 dapat membantu mengelola
secara mandiri kedukaan dan masa-masa perkabungan.
Kebesaran hati mengelola kedukaan dan masa-masa perkabungan
adalah salah satu bentuk kesehatan mental.

5

HIDUP SEHAT SECARA EKONOMI

1. Dalam situasi sulit seperti sekarang ini tidak terjadi kelangkaan
daya dukung ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-
hari. Situasi ini dapat dengan gampang menjadi pembenar bagi
perilaku menyelamatkan diri sendiri dan mengabaikan orang
lain.

2. Gereja sebagai sebagai anggota komunitas iman para murid
Yesus Kristus perlu menjadi teladan dalam hal memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam Perjanjian Lama ada cukup
contoh tentang pentingnya hidup secara adil di tengah-tengah
kesulitan hidup. Salah satu contoh tentang hal ini ialah pada
saat peristiwa keluaran dari Mesir. Ada orang yang dengan
serakah mengumpulkan manna dengan maksud mengamankan
diri sendiri. Tetapi apa yang terjadi ialah manna justru menjadi
berulat (bnd. Keluaran 16-20).Dalam Perjanjian Baru pun kita
menemukan contoh untuk selalu peduli terhadap sesama kita,
terutama mereka yang paling lemah dalam persekutuan dan

19

dalam masyarakat luas (bnd. Matius 25:31-46). Jadi, perlu ada
keseimbangan (bnd. Keluaran 16:18 dan 2 Korintus 8:15).

3. Gereja dan warganya sebagai komunitas iman para murid Yesus
Kristus dapat mengembangkan hidup sehat secara ekonomi
dengan meneladani rasa-sepenanggungan dalam kesulitan
sebagaimana diteladankan oleh jemaat mula-mula (bnd. Kisah
Para Rasul 2:41-47; 4:32-37; 5:1-11).

4. Itu hanya mungkin apabila warga jemaat dan warga masyarakat
memiliki keberanian mengembangkan “prinsip hidup sehat
secara ekonomi berbasis spiritualitas ugahari”.“Spiritualitas
ugahari adalah kebijaksanaan hidup bahwa rakhmat Tuhan
cukup untuk semua ciptaan-Nya. Karena itu kita didorong untuk
mengendalikan diri dan hidup sederhana dalam sikap kecukupan
dan sedia berbagi dengan orang lain agar semua ikut merayakan
kehidupan.” (A. A. Yewangoe; 2018). Hal ini telah menjadi
perhatian serius Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
sejak Sidang Raya XVI di Nias tahun 2014 dan ditegaskan kembali
pada Sidang Raya PGI XVII di Sumba tahun 2019.

5. Sejatinya, Sang Guru Kehidupan kita, Yesus dari Nazareth, pun
telah mengajarkan itu kepada kita ketika mengajar kita memohon
pemenuhan kebutahan sehari-hari kita: “Berilah kami pada hari
ini makanan kami yang secukupnya” (bnd. Matius 6:11). Maka
kecukupan kebutuhan hidup sehari-hari adalah salah satu bentuk
nyata spiritualitas ugahari.

6. Salah satu bentuk nyata dari spiritualitas ekonomi keugaharian
ialah mengembangkan dan membangun ketahanan ekonomi
keluarga, jemaat dan masyarakat melalui mendaya-gunakan
sumber-sumber ekonomi lokal yang sehat secara alamiah dan
tidak merusak lingkungan. Dalam hal ini pengembangan dan
pembangunan ekonomi warga jemaat berbasis pertanian organik
merupakan keharusan di tengah-tengah pandemik covid-19.

7. Penataan ekonomi rumah tangga yang terencana, teratur
dan disiplin --- baik dalam hal pengeluaraan uang tunai
maupun menggunakan sumber daya alam tanpa mengabaikan
kelestariannya --- adalah juga bentuk nyata dari tanggungjawab
hidup sehat secara ekonomi.



6

KERJA SAMA LINTAS SEKTOR

1. Menghadapi situasi krisis kemanusiaan sekarang ini unit-unit
pelayanan internal gereja dan hubungan–hubungan kemitraan
perlu diperkokoh. Karena tidak mungkin dapat mengatasi krisis
kemanusiaan global yang disebabkan oleh pandemik covid-19
dengan melakukan kerja sendiri-sendiri.

2. Kerja-kerja kolaboratif yang terencana dan teratur antarunit
pelayanan internal gereja sangat dibutuhkan sekarang. Bukan
saja bagi kepentingan internal hgereja melainkan juga bagi
kepeduliaan kemanusiaan secara menyeluruh.

3. Unit-unit pelayanan internal gereja selalu harus dalam koordinasi
yang intensif dengan internal pimpinan gereja sehingga
gereja dan unit-unit pelayanannya tetap sehati, sepikir dan
segerakan di tengah-tengah krisis kemanusiaan yang meminta
pertanggungjawaban iman dan pengharapan secara konkret.

23

4. Dalam situasi yang sangat darurat dan mendesak fasilitas unit-
unit pelayanan agereja dapat menjadi ruang pelayanan publik
bagi pelayanan kemanusiaan. Terutama sekali untuk tindakan
medis bagi pelayanan kesehatan dan para korban covid-19!

5. Setiap unit pelayanan internal gereja selalu harus dalam
koordinasi kemitraan yang intensif dan sistematis dengan
Pemerintah dan Non-Pemerintah sesuai bidang pelayanan
masing-masing bagi penyelamatan nyawa dan masa depan
umat manusia tanpa memandang latar belakang agama, suku-
bangsa, dan status sosial. Juga kerja-kerja lintas iman seperti
sudah dilakukan di beberapa tempat sangatlah baik. Ini patut
diteruskan. Karena kemitraan gereja dengan pemerintah, non-
pemerintah dan bersifat lintas iman, justru akan memperkokoh
solidaritas sosial keindonesiaan sekaligus menyatakan dimensi
universal dari Injil yang diwartakan oleh Yesus dari Nazareth.

6. Dalam melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan unit profesi
masing-masing haruslah memperhatikan protokol kesehatan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia secara
resmi.

7. Setiap pimpinan dan staf serta warga unit pelayanan gereja
tidak boleh menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan
kepanikan dan menyebabkan orang lain kehilangan harapan
hidup di tengah-tengah krisis kemanusiaan global ini!

7

IBADAH – IBADAH
DALAM SITUASI DARURAT COVID-19

1. Ibadah atau kebaktian adalah ruang persekutuan yang intim
dan intens antara orang percaya dengan Allah: Pencipta dan
Pemelihara hidup manusia.

2. Persekutuan dengan Allah itu terlaksana karena kesadaran iman
yang mensyukuri karya selamat Allah Bapa dalam Yesus Kristus
serta syukur atas pemeliharaan Allah dalam hidup dan kerja
yang mendatangkan berkat.

3. Ibadah hari Minggu adalah pemenuhan hukum atau sabat Tuhan
yang telah diperbarui berdasarkan hari kebangkitan Yesus
Kristus yang mengalahkan maut.

4. Ibadah adalah syukur atau perayaan hidup bersama Tuhan
karena itu orang percaya melakukannya dengan sukacita tanpa
tekanan atau paksaan dalam bentuk apapun.
25

5. Mengingat konteks pelayanan gereja-gereja di Indonesia
yang berbeda-beda maka perlu diatur ibadah-ibadah ritual
untuk masing-masing gereja secara kontekstual selama masa
pembatasan sosial dan fisik (social/physical distancing) yang
diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Pembedaan
ini bukan saja terkait dengan perbedaan fasilitas teknis secara
teknologi melainkan juga mengenai kultur warga gereja pun
berbeda, baik antar generasi maupun antar wilayah di Indonesia
(bnd. Rahma Sugihartati, 2014; Bambang Sugiharto, 2019).

6. Bagi Gereja-gereja dengan fasilitas teknologi dan telah familiar
dengan budaya digital dapat melaksanakan Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2020 dengan pilihan ibadah live-streaming dan
virtual-sakramental serta ibadah online bentuk lainnya.

7. Bagi Gereja-gereja yang masih terbatas fasilitas teknologi dan
belum terbiasa dengan budaya digital serta masih memiliki
penghayatan yang kuat tentang peran ibadah ritual sesuai tradisi
sebagai pembentukan mentalitas dan spiritualitas menghadapi
tantangan hidup dapat mengembangkan ibadah-ibadah kreatif
dan inovatif --- baik di rumah maupun di Gedung gereja--- dengan
memperhatikan protokol kesehatan pemutusan penularan covid-
19 seperti ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia.

8. Karena ibadah di manapun (harus) lahir dari kesadaran iman
dan pengharapan, maka yang dengan berat hati atau merasa
tidak nyaman dimungkinkan untuk beribadah baik Jumat Agung
maupun ibadah minggu di rumah dengan liturgi yang disesuaikan.
Kecuali Perjamuan Kudus karena hanya sidi jemaat, maka yang
dilayani di rumah hanya orang sakit atau lansia yang tidak bisa
berjalan ke gereja.

9. Bagi yang merasa tidak nyaman beribadah minggu di rumah
dan lebih merasa nyaman di gedung gereja (tanpa rasa takut

dan ragu-ragu), pintu gedung gereja terbuka dan para pelayan
khusus siap melayani dengan standar pelayanan darurat covid-
19.

10. Dalam hubungan dengan butir 7 (tujuh) dan 9 (sembilan) kami
mengajak untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

• Gedung gereja dan sarana penunjang ibadah sudah
disterilkan dengan menggunakan disinfektan dan/atau
campuran bayclean dengan air (takaran satu tutup bayclean
dengan lima liter air)

• Biasakan untuk mencuci tangan sebelum masuk dan sesudah
keluar dari gedung gereja di tempat dan wadah yang sudah
disiapkan.

• Jarak berjalan pada waktu masuk dan keluar serta tempat
duduk di dalam gedung gereja diatur 1,8 – 2 Meter (samping
kiri-kanan, muka - belakang).

• Jika karena jarak tempat duduk, daya tampung gedung gereja
tidak memungkinkan, maka majelis jemaat dapat mengatur
waktu ibadah beberapa kali.

• Untuk sementara tidak ada jabat tangan karena itu sesudah
kegiatan di dalam gedung gereja kita cukupkan dengan kata
‘syalom’ dan dibalas ‘damai di hati’--- atau bentuk salam
lain .

11. Bagi keluarga yang belum bisa melaksakan ibadah secara mandiri,
maka dapat melaporkan kepada Majelis Binaan untuk mengatur
dan melayaninya.

12. Maka seharusnya tidak perlu dipolemikan perbedaan pilihan
“tempat ibadah” seperti ramai di media sosial. Tempat ibadah itu
hanya sarana. Tetapi menghayati tempat ibadah secara fungsional
sangat terkait dengan kultur. Maka menyadari perbedaan kultur

kita perlu saling menghargai. Karena kita semua prihatin dan
berdoa agar krisis kemanusiaan global ini segera berakhir!

8

PENDAMPINGAN PASTORAL
SITUASI DARURAT PANDEMIK COVID-19

1. Pandemik covid-19 telah menyebabkan lahirnya kebijakan publik
Pemerintah Indonesia dan dunia Internasional pembatasan sosial
(social-distancing) dan pembatasan fisik (physical-distancing)
untuk memutus rantai penularan covid-19. Bahkan Pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Permerintah No. 21
Tahun 2020 tentang perlunya pemberlakukan pembatasan sosial
berskala besar untuk mempercepat penanganan covid-19. Kita
mendukung kebijakan pemerintah ini bagi kesehatan bersama.
Tetapi kita juga perlu menyadari bahwa kita sedang menghadapi
dilema-etis pastoral yang tidak gampang. Sejatinnya, ketika kita
melakukan pastoral-koseling kita dalam situasi yang kompleks
seperti kasus pandemik covid-19 kita diperhadapkan pada
permasalahan etis di satu pihak pandangan dan budaya konselor
dan pandangan dan budaya klien konselor. Oleh karena itu,
konselor tidak bisa mengambil langkah-langkah pastoral dengan

29

cara berpikir dan bertindak “hitam-putih”(bnd. John C. Hoffman,
1993).

2. Salah satu dilema ialah pelayanan kedukaan dan perkabungan
yang harus dilaksanakan secara liturgis. Gereja-gereja di Indonesia
belum begitu siap memikirkan pelayanan secara liturgis “situasi
darurat kesehatan” seperti yang sedang terjadi sekarang ini.
Kita bersyukur bahwa Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI) dan satu dua Gereja Anggota PGI telah membuat beberapa
panduan pelayanan perkabungan dengan memperhatikan secara
detail petunjuk medis dari pihak kesehatan (PGI, 2020, Sinode
GMIT, 2020).

3. Kita perlu mengapresiasi usaha PGI dan Sinode GMIT yang telah
membuat panduan pelayanan perkabungan yang sesuai dengan
standar pelayanan kesehatan medis. Tetapi situasi duka dan
masa-masa perkabungan tidak cukup hanya dengan menangani
secara teknis-medis. Itu memang penting bagi kesehatan
keluarga dan orang lain. Apalagi dalam kasus penyakit menular
seperti covid-19. Karena pengelolaan masa-masa perkabungan
bukan saja masalah teknis bangaimana merawat jenazah korban
secara medis melainkan juga sangat terkait dengan penghayatan
kelaurga korban tentang makna teologis dan eklesiologis tentang
kematian dan pengelolaan masa-masa perkabungan. Apalagi
bagi warga jemaat yang masih kuat menghayati bahwa kehadiran
fisik pendeta, anggota Majelis Jemaat dan sesama warga
Jemaat merupakan bentuk solidaritas untuk mengelola duka
yang mereka alami. Lebih-lebih bagi warga jemaat yang masih
menghayati secara kuat bahwa ritual perkabungan --- mulai dari
mengurus jenazah, pemakaman dan penghiburan--- merupakan
cara mengelola duku secara liturgis (Aguswati Hildebrandt-
Rambe, FB Circle of Friends Oase Intim, 27 Maret 2020).

4. Kita tidak menyangkal bahwa prosesi ritual (saat pemakamaan
dan malam-malam penghiburan) meruapakan sarana pastotal
pengelolaan kedukaan dan perkabungan agar seorang dan/atau
keluarga terus hidup dalam pengharapan tentang kuasa kasih
Allah yang melampaui kedukaan kita. Sekalipun demikian dalam
konteks pandemik covid-19 kita perlu membedakan kematian
yang disebabkan oleh covid-19 dari kematian biasa. Dalam hal
ini dua pertimbangan teknis pada butir 5 -6 berikut ini.1

5. Dalam kasus kematian biasa dalam situasi darurat covid-19 para
pendeta dan anggota Majelis perlu memperhatikan:

5.1. Gereja (diwakili oleh Pendeta) memberi penjelasan secara
pastoral kepada keluarga tentang situasi darurat dan
langkah-langkah apa yang bisa dilakukan untuk men­
dampingi keluarga yang berduka dengan menekankan
bahwa gereja/jemaat/ pendeta tetap “hadir“meski dalam
keterbatasan (jumlah atau jarak). Memberi nomor telefon
yang dapat dihubungi setiap saat oleh keluarga. Kepastian
tentang langkah-langkah yang akan diambil gereja sangat
membantu keluarga yang berduka di dalam menghadapi
„chaos“ (kekacauan psikologis) yang hebat akibat kehilangan
orang yang dikasihi terutama di saat situasi darurat seperti
ini.

5.2. Langkah-langkah pendampingan seandainya hanya ada
ibadah pemakaman di kubur yang dipimpin oleh pendeta
Jemaat dan tidak ada lagi ibadah pemakaman di rumah: (a)
Pendeta jemaat sebaiknya memberi ruang yang lapang (waktu
yang banyak) bagi anggota keluarga yang berduka yang hadir
dalam pemakaman untuk “mengungkap duka“ mereka – entah

1 Di sini kami berterima kasih kepada Pdt. Dr. Aguswati Hildebrand-Rambe di Jerman
yang berkenaan memberi masukan kepada tim penulis berdasarkan pengalaman mereka
di Jerman (file terkirim via e-mail anggota tim Pdt. Julianus Mojau). Sebagian besar untuk
bagian ini kami ambil-alih dari usulannya. Hanya sedikit modifikasi. Hal ini disebabkan
kami belum mempunyai pengalaman tentang hal ini.

melalui nyanyian, kisah/narasi, atau tangisan sekalipun; (b)
Pendeta Jemaat sebaiknya memberi kesempatan kepada
keluarga yang berduka untuk “merancang“ bersama liturgi
pemakaman dengan menggunakan nyanyian dan ayat nats
dari yang berduka atau kesayangan yang meninggal; (c)
Pendeta memandu keluarga yang berduka sebagai unit
gereja atau “jemaat mini” melakukan ritual-ritual ibadah di
rumah (lihat butir 7 ).

5.3. Setelah pemakaman pendeta dan anggota Majelis Jemaat
terus menerus melakukan pendampingan dan merencanakan
ibadah penghiburan (atau mengenang/komemorasi) setelah
situasi darurat berakhir.

5. Dalam kasus kematian karena covid-19 dapat menggunakan
panduan teknsi butir 7 di atas, sambil mengingat bahwa dalam
banyak kasus kematian karena covid-19 ini terjadi sangat tiba-
tiba. Itu berarti kesempatan perpisahan hampir tidak terjadi.
Seseorang yang terinfeksi covid-19 dalam kasus yang berat,
biasanya ditempatkan diisolasi yang ketat sampai pada akhirnya
meninggal dunia dan pemakaman dilakukan 1x 24 jam. Anggota
keluarga yang berduka mengalami perpisahan secara drastis
dan virus ini mengambil orang yang dikasihi secara brutal dan
tragis. Dalam kasus ini pendeta dan anggota Majelis Jemaat perlu
melakukan:

6.1. Memberi ruang bagi anngota untuk melakukan proses
“melepaskan“ atau perpisahan, juga ruang untuk “meratap“.
Pertanyaan-pertanyaan “mengapa“ harus diberi ruang tanpa
harus memberi jawaban yang murahan. Di situasi seperti ini,
pendeta melakukan pendampingan keluarga yang meratap.
Di hadapan Allah, pendeta bersama-sama keluarga yang
berduka berseru sebagaimana Kristus berseru di kayu salib:
“Ya Bapa, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Sambil
mengingat akan pesan kuat kebangkitan Kristus (Paskah)

sebagai harapan yang kuat ditengah penderitaan dan ketak-
berdayaan.

5.6. Pendeta dan anggota Majelis Jemaat sebaiknya menghindari
terlalu banyak memberi nasehat! Ini tidak menolong
jemaat sama sekali. Dalam banyak kasus, justru dengan
“menasehati“, pendeta menempatkan warga yang berduka
pada posisi yang lemah dan tak berdaya untuk kesekian
kalinya. Yang diperlukan adalah pendampingan meratap
dalam arti bersama-sama warga yang berduka meratap di
hadapan Allah. Hal lain yang mungkin muncul adalah “rasa
bersalah”. Bagaimana keluarga yang berduka mengolah
perasaan rasa bersalah dan tak berdaya, misalnya karena
tidak bisa menolong atau melindungi keluarga dari infeksi
virus tersebut. Perasaan gagal melindungi orang yang
dikasihi memerlukan mekanisme untuk mengatasinya.
Bukan dengan nasehat, melainkan pendeta dapat memandu
keluarga untuk membawa perasaan gagal dan tak berdaya
ini di bawah salib Kristus, dengan bersama berdoa memohon
pengampunan. Meletakkan rasa gagal ini di bawah salib
Kristus dan memperoleh pengampunan bisa meringankan
beban rasa bersalah dan tak berdaya tersebut.

7. Bagi mereka yang terbiasa dengan budaya digital dan telah
menghidupinya situasi darurat pembatasan sosial dan fisik dapat
diatasi dengan memanfaatkan fasilitas tekonologi informasi yang
sudah sangat maju. Mereka yang terbiasa dengan budaya digital
“ruang digital dapat menjadi ruang pengelolaan spiritualitas”
(bnd. Elizabeth Drescher, dalam Elsya Sohilait, 2011:37). Mereka
juga dapat mengalami makna persekutuan saling menguatkan
dan saling menghibur secara gerejawi melalui “ruang-ruang
virtual” dengan cara sharing isi postingan-postingan mereka di
media sosial baik WA maupun FB. Melalui media sosial mereka
---yang telah terhisap ke dalam budaya digital---tetap mengalami
makna gereja sebagai tubuh Kristus, sekalipun tidak bertemu

secara fisik. Mereka lebih fleksibel sesuai dengan budaya mereka
yang cair (bnd. Pete Ward, 2017).

8. Bagi mereka yang belum terbiasa dengan budaya digital perlu
juga dipikirkan pola pengelolaan masa-masa perkabungan dalam
situasi darurat pembatasan sosial karena alasan kesehatan.
Kita tidak boleh ceroboh untuk menyepelehkan protokal
penangan jenazah dan pembatasan sosial bagi kesehatan
keluarga dan orang lain. Di sini dibutuhkan kerativitas dan
inovasi untuk menciptakan ruang-ruang perjumpaan yang
memungkinkan keluarga korban dapat mengelola duka mereka
secara mandiri. Kita perlu membantu keluarga bisa mengelola
duka mereka secara mandiri dengan memberi petunjuk teknis
penataan rumah keluarga secara liturgis menjadi “ruang untuk
mengenang” (the space for commemoration) orang yang mereka
kasihi melalui simbol-simbol ritual (alkitab, salib dan lilin) dan
membunyikan nyanyian/musik gerejawi di ruangan keluarga
untuk menumbuhkan memori pengharapan tentang kasih
Allah yang tak bertepi dan memungkinkan keluraga mengalami
kehadiran kuasa kasih Allah yang memulihkan mereka dari
duka yang mereka alami. Di sini keluarga dapat menjadi “gereja
mini” di mana selalu mengalami persekutuan dengan Allah
kehidupan(bnd. Aguswati Hildebrandt-Rambe, FB Circle of
Friends, 27 Maret 2020).

9. Kita juga perlu memperhatikan dampak psikologis dari kematian
dan/atau mereka yang menderita covid-19. Apalagi dengan
begitu sederhana menghubungkan bahwa penyakit ini sebagai
kutukan atau peristiwa yang memalukan. Apalagi --- mengingat
sifat penyakitnya menular--- penerapan pembatasan sosial dan
fisik sangat ketat. Di sini pendeta dan anggota Majelis Jemaat
harus berperan sebagai pendampang anggota dan terus menerus
mengampanyekan solidaritas antarsesama manusia yang dicintai
oleh Allah dan menghapus stigma yang masih sangat kuat atas


Click to View FlipBook Version