The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by rees.jati.prakasa, 2020-09-27 01:02:34

Kakawin Nilacandra Abad XX

Kakawin Nilacandra Abad XX

3. Yang manakah keempat cakra tersebut,
Cakra Jalakuta adalah bajra yang pertama,
Cakra Tarangga Bahu adalah yang kedua,
Cakra Naga Pasa adalah yang ketiga.

4. Dan yang keempat adalah Cakra Samirana,
demikian Cadu Sakti itu disebutkan,
yang berwujud Prabhu Sakti Wibhu Sakti,
itu yang menghukum orang yang durhaka.

5. Jika ada orang yang durhaka kepada pendeta,
di bumi inilah keberadaan orang durhaka itu,
Cakra Jalakuta Bajra yang dilepaskan-Nya,
itu digunakan menghukum orang durhaka itu.

6. Dan jika hal ini terjadi di alam sunia,
keberadaan orang durhaka terhadap beliau,
Cakra Naga Pasalah yang dilepaskannya,
itu yang dipakai menghukum di alam sunia.

7. Walaupun berlari mengarah empat tempat,
orang yang durhaka kepada maha pendeta,
Cakra Tarangga Bahu yang dilepaskannya,
hukuman bagi yang berada di catur desa itu.

8. Sekalipun itu menuju arah atas angkasa,
Cakra Samiranalah yang dilepaskannya,
itu hukuman bagi yang berani durhaka,
bagi mereka yang berada di atas angkasa.

9. Tiada pernah bebas orang yang durhaka padanya,
karena atas kehendak senjata beliau sang pendeta,
menggunakan Cadu Sakti yang sangat utama itu,
sama sekali tidak bisa terobati akibat senjata itu.

10. Tidak tertandingi keutamaan racun senjata itu,
itu sebabnya bagi para penekun ajaran dharma,
jangan lengah terhadap segala perkataan guru,
agar dapat meraih keselamatan dan kedamaian.

11. Manakah Cadu Sakti yang berupa senjata,
Jalakuta Bajra adalah racun dari Wibhu Sakti,
Tarangga Bahu adalah racun dari Kriya Sakti,
Cakra Naga Pasa adalah racun dari Prabhu Sakti.

388

12. Sedangkan sebjata Cakra Samirana itu,
berupa Jnana Sakti sebagai wujud beliau,
itulah Cadu Sakti yang berupa senjata,
senjata pasupati beliau agar dinda ketahui.

13. Itu senjata seorang yang bergelar Yogiswara,
dan senjata seorang raja penguasa jagat raya,
demikian wejangan dan nasihat Prabu Kresna”,
berkatalah Sang Arya Arjuna dengan santunya.

14. “Oh paduka Kresna kini dinda telah paham,
atas segala penjelasan paduka raja padaku,
tentang keutamaan pikiran sang maharesi itu,
hamba Arjuna telah merasa sangat yakin.

15. Kini ada lagi pertanyaan dinda prabu,
perihal sikap tangan seorang pendeta,
mohon beritahu hamba agar diketahui,”
demikian kata Arjuna dengan rasa tulus.

16. Lalu berkatalah Sang Prabu Kresna,
“Duh adikku Sang Arya Arjuna,
tiada pernah aku rahasiakan pertanyaanmu,
kakak paham tentang keutamaan mudra itu.

17. Hyang Iswara adalah Bajra mudranya,
Hyang Maheswara Sangka mudranya,
Hyang Brahma adalah dandha mudranya,
Hyang Rudra adalah keris mudra beliau.

18. Hyang Mahadewa (Naga) Pasa mudranya,
Hyang Sangkara adalah Duaja mudranya,
Hyang Wisnu adalah Cakra mudra beliau,
Hyang Sambhu adalah Trisula mudra beliau.

19. Sanghyang Siwa Padma mudra beliau,
memberi rasa suka kepada Hyang Indra,
untuk menyucikan para atma dan dewa”,
demikianlah penjelasan Maharaja Kresna.

20. Disetujui oleh Sang Panca Pandawa,
semua memuji penjelasan Kresna,
Maharaja Yudhistira lalu berkata,
“Duh adikku Sang Arjuna.

389

21. Janganlah dinda kurang waspada,
menerima segala wejangan Prabu Kresna,
betapa utamanya ajaran Sang Pandawa,”
begitulah perkataan Sang Yudhistira.

22. Lalu menghaturkan sembah sujud Sang Arjuna,
seraya mengakhiri percakapannya di balairung,
tidak diceritakan perihal suguhan para tamunya,
Prabhu Kresna pun pulang ke istana Dwarawati.
Ini adalah Kakawin Nilacandra, selesai ditulis pada Tumpěk Wariga,
panglong ke- 8, sasih ke- 9, tanggal 21 Maret 1998.

390

REFERENSI

Kakawin Nilacandra (KN1), karya I Made Degung, selesai digubah
pada Jumat Paing Sinta pananggal ke-13 tahun Saka 1915
(1993 Masehi).

Kakawin Nilacandra (KN2), karya I Wayan Mandra, selesai digubah
pada Radite Kliwon Medangkungan Purnamaning Kalima
(November) tahun Saka 1919 (1997 Masehi).

Kakawin Nilacandra (KN3), karya I Wayan Pamit, selesai ditulis pada
Tumpek Wariga, Pangelong ke-8, Sasih ke-9 (bertepatan pada
21 Maret 1998).

Teeuw, A. dan Robson. 1981. Kunjarakarna Dharmakathana Liberation
Through The Law of The Buddha, an Old Javanese Poem by
Mpu Dusun. The Hague: Martinus Nijhoff.

Tim Penyusun. 1996. Dharma Kusuma Kakawin Miwah Teges Ipun.
Bali: Dinas Pendidikan Dasar.

391

BIOGRAFI SINGKAT

Dr. Drs. Anak Agung Gde Alit Geria, M.Si.,
lahir di Br. Petak, Desa Petak Kaja Gianyar Bali,
pada 21 April 1963. Menyelesaikan pendidikan
S1 (Bahasa dan Sastra Bali) pada Fakultas Sastra
Universitas Udayana tahun 1987. Meraih Master
of Cultural Studies pada Program Pascasarjana
Universitas Udayana tahun 2004. Meraih gelar
Doktor Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra
pada Program Pascasarjana Universitas Udayana
tahun 2012, dengan judul disertasi “Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin
Nilacandra: Analisis Resepsi”. Pernah bekerja di bagian Manuscript di
Perpustakaan Nasional RI Jakarta (1990--1996), juga sebagai Dosen Luar
Biasa pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta (1990--1996).
Pernah bekerja di Badan Perpustakaan Provinsi Bali (1997--2005) dan
di Art Center (2005--2006). Sejak tahun 2006, menjadi Dosen PNS Dpk
pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia dan Daerah, IKIP PGRI Bali, LLDIKTI Wilayah VIII.
Ketekunan di bidang manuscript (lontar) senantiasa digelutinya hingga
kini. Sejumlah lontar telah diteliti, dikatalog, ditransliterasi, diterjemahkan,
bahkan dikajinya. Buku yang telah dterbitkan, antara lain: Geguritan Uwug
Kengetan (2014), Musala Parwa (2015), Prastanika Parwa (2016), dan
Bhomakawya (2017). Di samping itu, ia juga mengajar Studi Pernaskahan
pada Program Studi Magister Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali
Pascasarjana IHDN Denpasar sejak tahun 2013. Di tengah kesibukannya
sebagai dosen, ia juga aktif menulis dan berkarya di bidang manuscript
(lontar), serta mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah baik nasional,
maupun internasional.

392

Tiga teks Kakawin Nilacandra
yang disatukan dalam buku ini,
merupakan karya dari tiga orang pangawi
yang mengabdikan dirinya pada Sang Hyang
Shastra. Pengabdian semacam itu adalah salah satu
cara untuk menyatu dengan "Ia" yang bersembunyi secara
halus. Persembunyian halus itulah yang disebut dengan rahasya
dalam lontar-lontar Bali. Karena ia halus, maka dengan yang halus
pulalah ia dicari. Menyatunya antara pencari dengan yang dicari
itu disebut sebagai kalangwan dalam studi Jawa Kuna.
Nilacandra yang dijadikan judul dalam tiga kakawin ini,
adalah tokoh sentral. Nila berarti hitam, sedangkan candra berarti
bulan. Nilacandra secara harfiah berarti bulan hitam. Tafsir atas
nama itu bisa beraneka. Salah satu di antaranya adalah Siwa-
Buddha. Siwa dianalogikan sebagai nila, sebab Siwa juga disebut
Nilakantha [berleher hitam]. Candra dianalogikan sebagai Buddha
sebab demikianlah pandangan kolektif yang didasarkan pada
keberadaan bulan.
Kakawin Nilacandra juga dapat dibaca sebagai kesusastraan.
Maksudnya, kakawin ini didudukkan sebagai karya estetis yang di
dalamnya sekaligus sebagai jembatan katharsis [lukat]. Pada
tingkatan inilah, sebuah kakawin mendapatkan posisinya sebagai
shastra dalam pengertian kesusastraan sekaligus ajaran. Jalan yang
ditempuh untuk menggapai pengertian shastra sebagaimana
dimaksudkan itu adalah nyastra. Aktivitas nyastra mestinya tidak
hanya berhenti pada apa yang dikatakan, tapi berlanjut pada apa
yang dimaksudkan. Tidak cukup sampai di sana, mestinya
dilanjutkan pada apa yang hendak dilakukan.


Click to View FlipBook Version