The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Berjalan Bersama Demokrasi Indonesia

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by skolastikxavier, 2024-01-02 11:38:54

Warta Xaverian Edisi XLV

Berjalan Bersama Demokrasi Indonesia

Keywords: Demokrasi,Indonesia,Tahun Politik,Pemilu,Majalah Frater Xaverian

WARTA Ma X jalahPar A aFrater V Xaveria E n Tah R unXLV-E I disiD A esember N-Maret2024 BerjalanBersamaDemokrasiIndonesia


Warta Xaverian: Wacana komunikasi antara para frater Xaverian - Tunas Xaverian, Pranovis-Novis- Skolastikat Filsafat-Teologi - dengan para seminaris, sahabat, dan para penderma. Warta Xaverian bertujuan sebagai sarana animasi panggilan misioner serta warta kehidupan sehari-hari di rumah-rumah pendidikan Serikat Misionaris Xaverian. Table Of Content Sajian Utama Secuil Pengalaman English Corner Sophia Apa Kata Mereka Xaverianitas Memandang Dunia Seputar Misi Resensi Film Teologi Internasional Kispen Dialog Antaragama 4 12 15 18 31 34 38 42 46 50 23 - 28 8 Antara Politik, Pemilu, dan Kecemasan Memilih Perjumpaan Pribadi Being Catholic and Indonesian Masyarakat Indonesia Bebas Suri Teladan Vatikan dan Cina....... Mencintai Identitas Xaverian dalam Terang Kebangkitan The Ides Of March Antara Permenungan Awal dalam Balutan Senja Senja Di teras Rumah Kakek Desa Bulu Menjadikan Dunia Satu Keluarga: Impian St. Guido Maria Conforti


Warta Xaverian 2 S ebentar lagi bangsa kita tercinta akan mengadakan pesta rakyat terbesar setelah penantian 5 tahun terakhir. Mengapa disebut sebagai pesta rakyat terbesar? Tentu saja, pemimpin-pemimpin baru akan dipilih untuk mewakili rakyat dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Artinya jelas, setiap orang diundang secara khusus untuk memberi sumbangsih terbaiknya dalam dunia perpolitikan dengan mengikuti setiap arahan pemerintah dalam pesta demokrasi yang akan segera terselenggara. Kita diundang untuk tidak termakan dalam ganasnya permainan politik yang diprakarsai oleh pihakpihak yang tak bertanggung jawab, melainkan perlu mendukung keputusan pemerintah guna menjamin kesejahteraan bersama. Dalam edisi Warta Xaverian terbaru ini, para frater merasa amat perlu untuk ikut memberi sumbangsih sederhana dalam e d i tor i a l “Ter, sebenernya kalian pengen jadi romo atau politikus sih?” Barangkali semua orang akan bertanya demikian ketika membaca edisi terbaru Warta Xaverian kali ini. “Udehh… Teneng aje brohh… Panggilan kami nggak akan hilang karena topik politik yang lagi diangkat kok… Percaya dehh…”


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 3 e d i tor i a l dunia perpolitikan Indonesia. Emangnya bisa? Yah, kita bukan politikus sih… Hanya saja, sebagai generasi muda penerus bangsa, sudah layak dan pantaslah bagi kita untuk berefleksi sejenak di tengah ingar-bingarnya dunia perpolitikan saat ini. Para frater akan menanggapi secara sederhana melalui pengalaman iman dan pengalaman studinya mengenai fenomena politik yang tengah terjadi di Indonesia. Harapannya, kehadiran Warta Xaverian mampu memberikan titik terang bagi kita semua untuk semakin teguh dalam memberikan kontribusi pada pesta demokrasi yang akan segera diselenggarakan. Selamat Membaca! PENERBIT Wisma Skolastikat Xaverian KETUA REDAKSI Dionisius Fallo STAF REDAKSI Ichal Magung Ferdinand Darson LAYOUTER & COVER Petrus Rhein DISTRIBUSI Fritz Prasetyo PENANGGUNG JAWAB Rm. A. Rejino Santoso Wisma Xaverian, Jl. Cempaka Putih Raya No.42 Jakarta Pusat - 10520 Telp. (021) 4240356 Fax. (021) 4240264


Warta Xaverian 4 Sajian Utama Dalam menyambut perhelatan PEMILU 2024 yang akan datang, tentunya ada banyak berita dan kejadian yang menyita perhatian kita. Desas-desus politik kian menjadi santapan sehari-hari kita khususnya di sepanjang enam bulan terakhir. Kita yang menyukai pribadi tertentu tiba-tiba dikejutkan dengan keputusan-keputusan yang membuat kita menahan diri untuk percaya. Tetangga dan kenalan kita yang mengumbar-umbar kebaikan pasangan calon tertentu membuat kita berpikir kembali tentang jagoan kita. Pokoknya apapun kejadiannya tentang dunia politik dan pasangan calon presiden membuat kita terusik tanpa terduga. Pada periode 2019 lalu, agaknya terjadi perpecahan antara kubu pro pasangan calon (paslon) nomor 1 dan kubu pro paslon nomor 2. Entah atas dasar apa, toh pada akhirnya para jagoan kita dari kedua paslon itu bekerja dalam satu kabinet pemerintahan. Kita hanya dapat menggigit jempol sembari meratapi jerih payah kita mengagungagungkan jagoan kita masing-masing yang ternyata berjabat tangan erat saat pengangkatan dan pemilihan dalam kabinet presiden. Lantas di tahun ini, mungkinkah kita sibuk memperdebatkan dan berbincang banyak tentang ketiga pasangan calon presiden ini? Agaknya kita mesti belajar dari kejadian kali lalu, siapapun calonnya jangan sampai itu memecah belah relasi kita dengan sesama. Tentukan saja pilihan sesuai hati masing-masing dan pastikan tidak salah memilih. Selain itu serahkan seluruhnya pada Tuhan, entah mereka bekerja sama dalam kabinet yang sama lagi atau tidak, itu terserah mereka. Kita hanya perlu memilih calon terbaik. Dalam sebuah tulisan di majalah Tempo, ada suatu artikel menarik terkait presiden Jokowi dan anaknya, Gibran Rakabuming Raka. Dalam tulisan ini termuat bahwa presiden mendorong partai pendukung Antara Politik, Pemilu, dan Kecemasan Memilih “Lebih baik aku menderita ketidakadilan daripada berlaku tidak adil.” - Sokrates


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 5 Prabowo-Gibran untuk memenangkan pasangan tersebut. Kita tahu bahwa Jokowi berkiprah dari dan melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP); sedangkan anaknya dan Prabowo memancarkan sinarnya dari kubu lain. Situasi ini tentunya memunculkan banyak tafsiran dan kecurigaan. Akan tetapi sejauh apapun permainan politik tersebut, itu hanyalah “permainan di kalangan atas”. Untuk itu bagus juga kita mengutip perkataan Jokowi yang berkata “dalam pemilihan, baik pilkada maupun pemilihan presiden, yang memilih, menentukan, dan mencoblos itu rakyat, bukan elite, bukan partai. Itulah demokrasi.” Artinya semua dikembalikan pada kita yang akan memilih. Mereka di “kalangan atas” hanya mencocok-cocokkan antara pribadi tertentu dengan pribadi yang lain, tetapi keputusan ada di tangan pemilih. Namun, persoalan kita tidak sesederhana perkara ‘memilih’ semata. Kita tahu partai juga sangat berpengaruh besar dalam mengumpulkan suara. Terlepas dari itu, biasanya kelompok yang tidak menyukai Prabowo akan menyerang dengan mengungkit kisah pedih yang pernah ia lakukan dengan ‘tangan besinya’. Sedangkan wakilnya, Gibran kita tahu hanyalah seorang anak muda yang dengan yakin bisa memenangkan pemilihan ini. Biasanya para penolak pasangan ini akan menyerang dengan argumentasi ad hominem; dengan mengatakan bahwa ia hanyalah anak muda yang masih belajar berjalan, mustahil untuk diikutkan dalam ajang lomba lari. Ia belum banyak pengalaman dan minim pengetahuan. Sebaliknya dengan pasangan lain, seperti Ganjar. Para penolaknya akan mengatakan bahwa ia tidak memiliki prestasi sepanjang tugas yang ia emban selama ini. Demikian juga penolak Anies, mereka akan menyerang dengan mengatakan bahwa kehadiran dan kepemimpinannya hanya merusak tatanan DKI. Ia tidak bisa memimpin DKI seperti yang kita lihat, apalagi akan memimpin Indonesia. Apalagi Anies hanya pandai beretorika dan mengucap janji, soal pelaksanaan nihil. Omong kosong. Seseorang yang tidak terlalu ambil pusing dengan politik dan pemilu akan kebingungan ketika disodori pro-kontra terkait seluruh pasangan calon presiden seperti itu. Akan muncul pula berita-berita seperti di media sosial yang berusaha menjelek-jelekkan pasangan tertentu demi memenangkan dan mengunggulkan jagoannya. Sebenarnya kita tidak dapat apapun dari siapapun presidennya nanti, selain berharap bahwa mereka yang kita yakini terbaik bisa memenuhi janji-janji yang mereka ucapkan. Hanya itu milik kita, pengharapan akan pemenuhan janji itu. Kecuali jika demi memenangkan pasangan tertentu, ada kelompok yang menyelipkan sepeser uang ke kantong Anda


Warta Xaverian 6 atau mengiming-imingi akan melakukan pembangunan di daerah Anda. Terkait itu, kita bisa berimajinasi sendiri, mungkin saja terjadi, akan tetapi lebih mungkin itu tidak terjadi. Negara kita negara bersih, jadi tidak mungkin ada kelicikan semacam itu. Ini hanya satire, seolah tidak tahu. Meskipun terjadi banyak kebingungan, pada akhirnya kita mesti menentukan pilihan. Seperti ungkapan klise, satu suara menentukan wajah Indonesia di masa depan. Bukankah sebagai seorang yang beriman Katolik kita diajarkan untuk “memberi apa yang menjadi hak kaisar?” Salah satu cara mengidentifikasi ketaatan kita sebagai orang beriman ialah melakukan ajaran iman itu. Kitab Suci mengajar kita untuk ikut ambil andil dalam memajukan bangsa kita. Terlepas dari itu, kita memang wajib sebagai warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam negara dan acara yang diselenggarakan negara kita. Jika tidak, apa jadinya bangsa kita. Agama Katolik tidak pernah mengajarkan kita untuk menentang pemerintah jika itu demi kebaikan kita bersama. Terkadang memang kita bisa merasa muak karena ketidakpuasan akan pemimpin kita dari setiap periode. Apalagi ada hal-hal terutama janjinya yang tidak terealisasi. Padahal kita sangat mengharapkan hal itu bisa tercapai, karena kita yakin itu akan membuat kehidupan kita semakin baik. Namun jangan sampai kita berhenti pada kekecewaan yang demikian, karena itu menjadikan kita sebagai warga negara yang tidak baik. Sekalipun dengan sedikit terpaksa, kita mesti menjatuhkan pilihan kita. Adalah suatu ketidakadilan jika kita tidak menjatuhkan pilihan atau sama sekali tidak memilih. Kita perlu membangun untuk bisa benar-benar mencintai bangsa kita. Bukanlah hal yang baru jika tindakan faktual jauh dari kata ikrar atau sumpah. Dalam artian kegagalan itu bagian dari proses pemenuhan akan suatu tujuan. Kita masih memiliki banyak waktu untuk memulai dengan warna yang sesuai dengan kemajuan dan tuntutan zaman ini. Tapi di balik semua itu, apakah kita masih merasa bagian dari bangsa ini? Apakah jiwa patriot itu masih terpatri dalam jiwa kita? Jika tidak, dan tidak ingin menumbuhkannya, agaknya tulisan ini akan percuma. Sebab kehendak adalah jalan menuju suatu impian. Hak kita sebagai warga negara wajib terpenuhi. Jikalau tidak Terkait itu, kita bisa berimajinasi sendiri, mungkin saja terjadi, akan tetapi lebih mungkin itu tidak terjadi.


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 7 terpenuhi pun, kita bisa tetap menuntutnya. Namun di lain sisi, kita juga memiliki tanggung jawab terhadap bangsa kita. Kebiasaan dan kesukaan kita sebagai manusia adalah menuntut hak tetapi cenderung lari dari tanggung jawab. Bagaimana mungkin kita akan menerima dan mendapat hak kita secara adil apabila setiap orang tidak bertanggung jawab? Bukankah yang dapat memberi dan memenuhi hak itu adalah juga manusia seperti kita? Keduanya adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Berani untuk mengambil risiko. Ketika tidak mampu bertanggung jawab, maka tidak perlu menuntut hak. Agak miris, bukan? Bagaimana mungkin kita menuntut keadilan sedangkan kita berlaku tidak adil? Socrates berkata, “Lebih baik aku menderita ketidakadilan daripada berlaku tidak adil.” Hal ini bisa diinterpretasikan dalam berbagai macam sudut pandang. Namun sejatinya, segala sesuatu itu mesti kita mulai lebih dahulu dari diri kita masing-masing. Maka, kita harus tahu dan memastikan bahwa kita memilih orang yang tepat. Untuk itu, sebaiknya kita menghindarkan prasangka buruk soal terealisasi atau tidaknya janji-janji mereka. Itu urusan pribadi mereka. Kita mesti menjauhkan perpecahan dengan orang-orang yang berbeda pilihan dengan kita. Setiap orang memiliki keyakinan dan kepercayaan terkait jagoan mereka. Untuk itu kita perlu bijaksana sebelum menentukan pilihan. Tentu harus siap juga dengan segala risiko atau kekecewaan yang mungkin tercipta di kemudian hari. Mungkin ini kesimpulan yang terburu-buru, tetapi saya mau mengatakan bahwa itulah ritme kehidupan kita; terkadang bisa merasa begitu yakin, ragu, mengalami kekecewaan, bangga, dan bahkan putus asa (stagnant). Daniel Natalius Munthe Frater Tingkat III - @lius_mun Namun jangan sampai kita berhenti pada kekecewaan yang demikian, karena itu menjadikan kita sebagai warga negara yang tidak baik.


Warta Xaverian 8 Dialog Antaragama Dialog bagi Conforti Santo Guido Maria Conforti, Pendiri Serikat Misionaris Xaverian, adalah sosok yang visioner. Sejak pembinaan awal para calon misionarisnya, Guido Maria Conforti telah memikirkan dan memasukkan poinpoin yang akan berguna bagi para Xaverian dan misinya di masa-masa mendatang. Guido Maria Conforti menginginkan agar para Xaverian (anak-anaknya) memiliki wawasan, kemampuan, dan pengetahuan yang luas. Salah satu poinnya ialah “dialog”. Dialog (untuk memahami, menghargai, dan menerima yang berbeda) salah satu poin yang ditekankan St. Guido Maria Conforti kepada para anggotanya. St. Guido Maria Conforti telah melihat dan memahami bahwa dialog menjadi suatu cara yang efektif dalam menjalankan misi sebagai pewarta kabar gembira Kerajaan Allah di dunia yang plural ini. Benar saja bahwa apa yang dipandang oleh St. Guido Maria Conforti di masa yang lampau, sungguh dapat dilihat dan dirasakan oleh para anggotanya. Saat ini, dialog sungguh dibutuhkan dalam situasi dunia masa kini. Dialog menjadi hal yang penting bagi para Xaverian. Realitas dan Harapan Kembali mengingat peristiwa penting pada tanggal 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar; Sheikh Ahmed El-Tayeb telah menandatangani dokumen tentang “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Beragama”. Peristiwa baik itu kiranya dapat menjadi suatu tanda nyata dari yang namanya “kekeluargaan”. Dokumen yang telah ditandatangani itu menyerukan untuk terus mengembangkan budaya dialog sebagai jalan terbaik membangun kerjasama antar agama yang pada gilirannya membantu membuka wawasan pengetahuan yang lebih baik dan penghargaan terhadap yang lain, yang berbeda keyakinan. Dialog dilatarbelakangi dengan adanya sejarah yang menunjukkan tentang intoleransi, ekstremisme agama, ekstremisme nasional serta Menjadikan Dunia Satu Keluarga: Impian St. Guido Maria Conforti Dialog menjadi suatu cara yang efektif dalam menjalankan misi


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 9 juga konflik dan pertikaian antar kelompok. Dalam sejarah Indonesia, ada beberapa konflik besar antar agama yang pernah terjadi, diantaranya konflik di Poso, Ambon, Tolikara, Aceh, Lampung dan lain sebagainya. Sampai saat ini konflik mengenai agama masih kerap terjadi. Perbedaan budaya dan keyakinan individu dalam melihat nilainilai ketuhanan di setiap agama dan kepercayaan seringkali menjadi pemicu konflik ini. Meskipun pada dasarnya semua manusia tinggal dan hidup di dalam bahtera yang sama, yang penuh dengan kemajemukan. Keberadaan dalam satu bahtera yang sama dengan tujuan pelayaran yang sama pula yakni untuk mengarungi kehidupan di dunia ini, membuat manusia mau tidak mau pasti bertemu dengan orang yang berbeda dengan dirinya, iman dan keyakinannya, gaya hidupnya, dan hal-hal lainnya. Ini adalah sebuah realita. Namuna, keberadaan dalam perahu yang sama ini justru membuka jalan lebar-lebar bagi setiap manusia untuk dapat berjumpa, berpapasan, berkenalan, bersahabat, bekerjasama dan tolong-menolong dalam mengarungi hidup di dunia. Pada akhirnya dapat menjadi saudara bagi yang berbeda dan membangun dunia menjadi sebuah keluarga. Dialog; Jalan Mengaktualisasikan Karisma Serikat Misionaris Xaverian adalah anugerah Roh Kudus bagi Gereja. Sebagai serikat misi, Serikat Xaverian memiliki tujuan tunggal dan eksklusif yakni mewartakan Kabar Gembira Kerajaan Allah (Yesus Kristus) kepada orang-orang yang non-Kristiani; misi Ad Gentes (Kons.2). Karisma ini ditopang dengan spiritualitas yang khas dengan semangat untuk menjadikan dunia satu keluarga. Serikat Xaverian dan anggotanya memiliki komit untuk memahami dan menerima saudarasaudari yang bukan Kristen serta nilai-nilai kepercayaan dan agama mereka. Melalui dialog hidup dan iman yang bersifat persaudaraan dan berkualifikasi, para Xaverian mencoba megembangkan nilai-nilai umum Kerajaan Allah (Kons. 13). Dalam rangka mengaktualisasikan karisma Xaverian, yakni memperkenalkan Kristus kepada orang-orang non-Kristiani, Komunitas Skolastikat Xaverian memberi fokus untuk melaksanakan dialog antar iman. Dialog antar iman merupakan salah satu kegiatan yang rutin dan khas terkhususnya bagi komunitas Skolastikat Xaverian, Jakarta. Dialog menjadi wadah dan sarana perjumpaan bagi agama-agama dan aliran kepercayaan lainnya. Tujuan dari dialog ini selain menjadi sarana pewartaan akan Yesus Kristus, juga untuk saling mengenal sesama yang berbeda keyakinan dan membangun suatu relasi kekeluargaan yang didayai oleh semangat untuk menghargai,


Warta Xaverian 10 menerima, dan mencintai sesama sebagai saudara dalam kemanusiaan. Melalui seksi dialog, komunitas mengundang dan menghadirkan seorang pembicara dari agama ataupun aliran kepercayaan tertentu untuk menjadi narasumber. Selain itu, komunitas Skolastikat Xaverian juga mengadakan program kunjungan ke komunitas-komunitas agama dan kepercayaan lainnya. Pada tanggal 28 September 2023 komunitas Skolastikat Xaverian menerima kunjungan dari teman-teman Jamiah Ahmadiyah Indonesia. Perjumpaan itu terasa sangat hangat dan membahagiakan. Dalam kesempatan itu pula anggota komunitas Skolastikat dapat saling berbagi cerita dengan teman-teman Jamiah Ahmadiyah Indonesia yang merupakan calon-calon misionaris Ahmadiyah di masa mendatang. Pada tanggal 14 Oktober 2023, komunitas skolastikat memiliki kesempatan untuk mengunjungi Vihara Dhammacakka Jakarta. Selain bertemu dengan Bhante/Bhikkhu dan beberapa umat yang ada di sana, anggota komunitas skolastikat juga mendapat kesempatan untuk berkeliling Vihara terkhususnya melihat tempat ibadah mereka. Kunjungan itu membantu setiap anggota Skolastikat Xaverian untuk memiliki wawasan yang luas, penghargaan terhadap perbedaan, dan tentunya sikap toleransi. Dialog dan kunjungan ke komunitas-komunitas agama menjadi cara komunitas Skolastikat Xaverian dalam mengaktualisasikan karisma dan cita-cita bapa pendiri untuk “menjadikan dunia satu keluarga”. Selain itu, dialog dan kunjungan menjadi bentuk cinta akan tanah air yang memiliki banyak kekayaan dalam perbedaan. Semoga upaya untuk berdialog ini dapat menjadi usaha bersama dalam membangun, menjaga kesatuan dan keutuhan bangsa serta dalam melaksanakan misi Gereja di dunia. Jordan Bajodinata Purba Frater Tingkat I- @Jbpurbasx


Ku.pan.dang Kupandang ke dalam dan sedalam-dalamnya Kumencari apa isinya Kumerasakan sesuatu, tapi kutak tahu apa itu Terkadang juga aku tak merasakan apa-apa Tetapi semuanya ada dan menjadi bagian dari padaku Dan itu nyata, bahwa aku adalah ada apa-apa dan Aku adalah tak ada apa-apa Rasanya hidupku tak berguna memahami keduanya Apakah artinya? Terkadang aku mencari jawaban, namun pertanyaan yang kutemukan Apakah ini bagian dari kenikmatan hidup? Namun kataNya “Kamu mencari kenikmatan hidup?” “Jalanilah, jangan malas-malasan!” Kanisius Sudarmin: Frater Tingkat I - @frkanz_sx Politik Hidup


Warta Xaverian 12 Secuil Pengalaman Berbicara mengenai politik pasti tak bisa dilepaskan dari yang namanya perjumpaan. Perjumpaan memainkan peranan yang penting dalam dinamika perpolitikan di Indonesia. Seperti pada awal berdirinya negara kita, banyak perubahan maupun perkembangan yang terjadi yang dipengaruhi oleh perjumpaan dengan orang-orang baru. Misalnya bangsa-bangsa asing yang pernah menjajah negara kita sebelum berdirinya negara Indonesia yang merdeka. Meskipun hanya merdeka dari penjajahan bangsa asing namun tetap patut kita syukuri. Kemudian orang-orang dari bangsa asing inilah yang turut membawa pengaruh politisnya bagi perkembangan perpolitikan di negara kita. Pelajaran sejarah yang saya peroleh saat sekolah menengah membantu saya untuk mengenal dan mempelajari sedikit mengenai perkembangan sejarah bangsa kita termasuk dalam bidang politik. Beberapa bulan kedepan negara kita akan melangsungkan pesta demokrasi. Salah satu slogan yang sering saya dengar dari iklan yang saya tonton di televisi sehubungan dengan pesta demokrasi yang akan datang adalah “tolak uangnya, laporkan orangnya”. Iklan tersebut kurang lebih merumuskan secara singkat kebobrokan yang terjadi dalam sistem demokrasi di negara kita. Memiliki sosok pemimpin yang sesuai dengan ideal rakyat, sepertinya memang tidak akan ada. Namun sosok pemimpin yang mau terjun langsung dan mau mengalami perjumpaan pribadi dengan rakyat, mungkin bisa kita wujudkan jika kita mampu menentukan pilihan yang tepat. Saya sangat terkagum-kagum dengan Perjumpaan Pribadi “Perjumpaan pribadi dengan Kristus menjadi suatu tanda bahwa saya benar-benar terpanggil untuk menjadi seorang misionaris. Selain itu, perjumpaan pribadi dengan Kristus juga membantu kami para novis untuk mengenal lebih dekat pribadi Yesus Kristus yang hendak kami ikuti itu.”


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 13 seorang tokoh yang pernah menjabat sebagai presiden Uruguay pada periode 2010-2015. Ia adalah Jose Mujica yang mendapat predikat sebagai presiden termiskin di dunia. Ia merupakan sosok sederhana yang memberikan 90% gajinya untuk rakyat. Ia pernah berkata pada sebuah surat kabar Uruguay “saya baik-baik saja dengan jumlah itu. Saya harus baik-baik saja karena ada banyak orang Uruguay yang hidup dengan penghasilan seperti itu”. Sosok pemimpin seperti ini memang tidak mungkin kita miliki di negara kita, seorang yang mau mengalami dan ikut merasakan penderitaan seperti yang dialami rakyatnya. Seorang sosok yang istimewa. Sebagian rakyat di negara kita pasti tidak mengenal dengan baik sosok pemimpinnya. “Berjumpa secara langsung saja tidak pernah apalagi kenal dengan baik” itulah jawaban dari beberapa orang yang pernah saya wawancarai dahulu ketika ditanya apakah mengenal presiden atau wapres kita. Oleh sebab itu, sosok pemimpin yang mau berjumpa dan ikut merasakan sedikit penderitaan yang dialami oleh rakyat sangat kita butuhkan. Semoga suatu saat akan lahir sosok pemimpin yang demikian. Dalam menjalani tahun novisiat, kami diajak untuk mengalami lebih banyak perjumpaan pribadi dengan Kristus. Sering diulang oleh Magister kami bahwa perjumpaan pribadi dengan Kristus menjadi suatu tanda bahwa saya benar-benar terpanggil untuk menjadi seorang misionaris. Selain itu perjumpaan pribadi dengan Kristus juga membantu kami para novis untuk mengenal lebih dekat pribadi Yesus Kristus yang hendak kami ikuti itu. Beberapa program yang kami jalani selama tahun novisiat telah membantu saya sedikit demi sedikit untuk mengenal lebih dekat pribadi Kristus, misalnya melalui lectio divina, retret maupun kegiatan yang kami jalani setiap di komunitas. Perjumpaan pribadi dengan Kristus menjadi hal yang paling fundamental bagi seorang religius sebab mustahil seseorang dapat mengenal dan mencintai Kristus, jika dia tak pernah mengalami perjumpaan pribadi dengan-Nya. Beberapa waktu yang lalu, kami telah mempelajari catatan otografik Bapa Pendiri dalam buku Konferensi-Konferensi Bapa Pendiri Kepada Para Novis tentang pengudusan melalui kegiatan-kegiatan Banyak perubahan maupun perkembangan yang terjadi yang dipengaruhi oleh perjumpaan dengan orangorang baru.


Warta Xaverian 14 yang biasa. Di sana dijelaskan bahwa ternyata mencapai kekudusan tidak melulu soal pelayanan atau pengorbanan yang besar. Menjadi kudus pada dasarnya soal disposisi hati yang senantiasa tertuju kepada Allah. Lihat saja apa yang ditekankan bapa pendiri dalam tulisannya, yakni dalam rutinitas biasa yang orang lakukan setiap harinya, seperti; makan, tidur ataupun rekreasi ternyata mampu membawa setiap orang pada kekudusan jika semuanya diarahkan kepada Allah. Sama seperti yang sering dihidupi oleh Santa Theresia dari kanak-kanak Yesus yaitu melakukan pekerjaan yang kecil dengan cinta yang besar. Jadi, cinta disini memainkan peranan yang penting, sebab cintalah yang telah menggerakkan Santa Theresia dan Santo Guido M. Conforti untuk mempersembahkan diri mereka bagi kerajaan Allah. Perlu digaris bawahi bahwa semuanya bermula dari perjumpaan mereka dengan Kristus. Bapa Pendiri telah melukiskan dengan sangat indah perjumpaannya dengan Kristus. Dikisahkan bahwa ketika dalam perjalanan ke sekolah Guido kecil suka singgah di Gereja Santa Maria Damai. Di sana ada sebuah salib besar yang menggantung di atas altar. Ia bisa berlama-lama menatap salib tersebut. Ia merasa bahwa Yesus di salib sungguh-sungguh berbicara kepadanya: “Yesus memandang aku dan aku memandang Dia. Ia mengatakan banyak hal kepadaku”. Demikianlah kesaksian Guido mengenai perjumpaan pribadinya dengan Kristus. Perjumpaan pribadi membawa saya untuk mengenal lebih jauh Yesus Kristus yang hendak saya ikuti. Perjumpaan pribadi juga yang memungkinkan seorang pemimpin mengenal dan memahami kebutuhan rakyatnya. Inilah yang menjadi poin penting dari secuil pengalaman yang saya bagikan kepada para pembaca yang terkasih. Untuk itu, saya berharap bahwa siapapun yang akan terpilih untuk periode yang akan datang mampu memahami dan memenuhi kebutuhan bangsa dan negara kita. Semoga. Gabriel Dasman Frater Novis - @gebiy_dasman


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 15 General elections are a state agenda that is held every five years. Elections are a means for people to elect leaders in a democratic manner. For the record, the 2024 elections consist of legislative elections to elect members of the DPR, DPD, Provincial DPRD, and Regency DPRD. Simultaneously, the President and Vice President of Indonesia for the period 2024- 2029 will also be elected. Ahead of the 2024 political year, the atmosphere of politics has begun to be felt today. The media is now filled with predictions, speculation, misinformation, disinformation, polarization, and imagination. Each group tries to spread the goodness, achievements, and greatness of the candidates they support. On the other hand, they try to corner their opponents by spreading hatred, hoaxes, and accusations so that their supporters switch. Anything can be justified in winning a candidate. The news that is currently trending is the election of a new president and vice president. Day after day, news about the candidates continues to fill the media homepage. Candidate No. 1 aspires to bring change to the Indonesian nation. Candidate No. 2 remains optimistic about the goal of achieving “ Indonesia Excellence” with a focus on building a just and sustainable maritime nation. Candidate No. 3 wants Being Catholic and Indonesian in the 2024 elections


Warta Xaverian 16 English Corner to strengthen the ideology of Pancasila, democracy and human rights. Behind that, there is a war of opinion and criticism with each other. Recently, the public has been stirred up by the issue of dynastic politics after candidate No. 3 picked the eldest son of the Indonesian president. People began to speculate that there was a nepotism movement in the electoral process. There are also criticisms of other candidates that promises should be kept, not just made and then gone back on. Pro Ecclesia et Patria As Christians, we must take full part in making the upcoming 2024 elections a success. However, we do not need to make it worse or be involved in spreading hatred towards certain parties or groups. Of course, we must be willing to set a good role model as St. Paul said in his letter to the Romans that we must submit to the government, which we believe to be an instrument in the hands of God. We as Catholics and Indonesians must take an active part in nation building. By voting in the upcoming general elections, we have contributed to our aspirations for our nation. “All citizens, therefore, should be mindful of the right and also the duty to use their free vote to further the common good. The Church praises and esteems the work of those who for the good of men devote themselves to the service of the state and take on the burdens of this office.” (Gaudium et Spes 75) Of course we can all take part in the development of our nation, but we must also be aware of our rights and obligations to freely exercise our right to vote in order to promote the general welfare. Dissolving in confusing information can ruin the unity of the nation so that as Catholics we must start a continuous good step by reducing our selfishness and greed. Mgr. Soegijapranata once said, “If we are true Catholics, we are also true patriots. Therefore, we feel that we are 100% patriots, precisely because we are 100% Catholic.” A sense of nationality must grow in us as true Catholics living in the homeland of Indonesia. We Behind that, there is a war of opinion and criticism with each other.


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 17 can be heroes of the nation without having to die on the battlefield, namely by being witnesses of Christ in the life of the state that together achieve common prosperity. Churches in the Archdiocese of Jakarta should be given appreciation by moving the Ash Wednesday mass schedule to coincide with the elections. This step shows an attitude of respect for national values without having to forget the value of Catholicism. The church is so open to the country by taking part in the success of the elections. A genuine Indonesian Xaverian As an Indonesian Xaverian we must foster the spirit of patriotism by taking part in building the nation. All the hustle and bustle about the 2024 elections must be faced with a missionary spirit to build the nation into one family. By voting with a sense of brotherhood and kinship, the 2024 elections will be well organized. Differences of opinion and choice are common and will always exist. Love for the Indonesian nation does not have to be shown like a soldier who is ready to die to defend the country. However, that love will be seen if we as Xaverians do our duties properly, especially by voting in the next election. Not only that, our votes must also be based on the state’s recommendations which are direct, general, free, secret, honest and fair. Erfin Fijay Siagian Frater Tingkat I - @erfinsiregar_10_


Warta Xaverian 18 Sophia Salah satu ciri khas manusia sebagai ‘ada’ yang berpikir adalah ia bebas untuk ber-logos (berkatakata). Ia bebas untuk mengatakan, mempersepsikan, mengkonsepkan, menafsirkan, memahami mengenai realitas yang ada. Kekhasannya ini pun tampak dalam cara bagaimana ia bereksistensi dalam hidup bersama dengan orang lain, termasuk dalam hidup berpolitik. Dalam konteks politik di Indonesia, Prabowo Subianto (PS), Anies Baswedan (AB) dan Ganjar Pranowo (GP), sebagai calon presiden (capres) tahun 2024 mendatang, pun tidak luput dijadikan sebagai objek dari kebebasan manusia/masyarakat yang bebas ber-logos tersebut. Masyarakat Indonesia yang Bebas Ber-logos dalam Ber-polis Ada beragam klaim kebenaran dari kubu pro dan kontra yang dicantolkan kepada ketiga capres Indonesia mengenai karakteristik serta kinerja mereka dalam memimpin negara Indonesia mendatang. Kubu pro PS mengklaim bahwa ia adalah pemimpin yang tegas dan berani. Sebagai seorang mantan perwira militer, pengalaman PS dalam bidang militer merupakan aset yang penting dalam memahami isu-isu keamanan dan pertahanan nasional dan sebagainya. Namun, dari kelompok kontra, mereka mengklaim bahwa PS tidak cocok menjadi presiden, misalnya karena PS memiliki sifat otoriter dan keras dalam pendekatannya terhadap politik, yang akan menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan berpendapat dan demokrasi. PS tidak memadai dalam mengatasi masalah ekonomi dan kemiskinan. Terhadap AB, kubu pro mengklaim bahwa misalnya, AB cocok menjadi Presiden Indonesia karena ia memiliki pendidikan dan intelektual tinggi, ia memiliki kemampuan retoris dan dapat menyampaikan pesan secara karismatik. Namun, dari kubu kontra tidak sedikit juga klaim negatif terhadap AB, yakni ia tidak cocok menjadi presiden karena ‘bagaimana mau jadi presiden, mengurus masalah banjir di kota kecil Jakarta saja sulit, apalagi mengurus satu negara’. Masyarakat Indonesia Bebas Ber-logos dalam berpolitik: Kebenaran adalah A-letheia (ketaktersembunyian) menurut Martin Heidegger


19 Terhadap GP, kubu pro mengklaim, misalnya GP sangat cocok menjadi presiden karena ia merupakan sosok pemimpin yang tegas, jujur dan bekerja keras dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Namun, dari kubu kontra mengklaim bahwa GP tidak cocok menjadi presiden karena ia belum mampu mengatasi masalah kemiskinan di daerah Jawa tengah selama ia menjabat sebagai Gubernur. Klaim-klaim kebenaran yang dicantolkan kepada ketiga capres tersebut semakin memperjelas karakteristik dari masyarakat yang bebas ber-logos. Namun ironisnya, setiap orang/ kubu, baik kubu pro maupun kontra, masing-masing meyakini bahwa apa yang di-logos-kannya adalah suatu kebenaran mutlak. Pertanyaannya adalah apakah klaim kebenaran intersubjektif tersebut dapat diterima sebagai kebenaran yang objektif? Tentu saja tidak. Menurut Martin Heidegger, klaimklaim yang menyatakan sebagai kebenaran m u t l a k [y a n g belum tentu benar] tersebut adalah apa yang tertampakkan saja, sebab masih banyak kebenaran lain yang belum tersingkap atau tersembunyi dalam ketersembunyiannya. Inilah yang disebut Heidegger bahwa kebenaran sebagai a-letheia (ketaktersembunyian). Apa maksud dari a-letheia tersebut? Mari kita bahas bersama pada bagian berikutnya. Kebenaran sebagai Aletheia (ketaktersembunyian) menurut Martin Heidegger (1886-1876) Pemikiran ontologis Heidegger berangkat dari intuisi gurunya Edmund Husserl (1859-1938) yang dengan fenomenologinya berupaya untuk mengatasi krisis modernitas di Eropa. Menurut Heidegger, obsesi manusia adalah mencari physis (keseluruhan realitas). Physis adalah apa yang dicari oleh para filsuf pra-sokratik. Misalnya, bagi Thales physis adalah air, bagi Anaximander physis adalah udara, sedangkan bagi Demokritos physis adalah atom. Dengan adanya physis segala sesuatu, para filsuf pra sokratik hendak menunjukkan arkhe (asal muasal, prinsip atau sebab utama, prinsip dasar realitas). Physis menjadi sesuatu yang mengomandoi, mengawali, sekaligus yang menyertai dan mengakhirinya.


Warta Xaverian 20 Heidegge lalu menerangkan bahwa physis/nature (benda-benda alam), yakni apa yang berkembang dan apa yang dari prinsipnya sendiri berkembang. Physis bukan sekedar merujuk pada binatang atau tumbuhan, tetapi merujuk pada keseluruhan realitas. Physis adalah sesuatu yang ada, berkembang dan tentu saja melingkupi serta menembus diri kita sebagai bagian dari diri kita. Physis merupakan sesuatu yang mengelilingi kita. Terhadap physis manusia sudah selalu bereaksi, sudah me-logoskan (mengatakan, mengapropriasi, menafsirkan, mengkonsepkan, memahami) sesuatu tentang physis tersebut. Manusia di depan physis selalu mengatakan apa itu physis. Itulah yang kita sebut sebagai is, be, ada. Misalnya, pada saat saya ada di perpustakaan saya mengatakan “itu adalah perpustakaan ( there is library).” Jadi mulai dari Thales, Demokritos, Platon, Aristoteles, dan tentu saja kita sebagai orang beragama, kita selalu berusaha me-logos-kan sesuatu dari apa yang ada/physis. Kita yang beragama mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada termasuk diri kita semuanya berasal dari Tuhan. Manusia dengan logos-nya selalu berusaha mengkonsepkan, menafsirkan, memahami apa yang ada di dunia ini. Namun, Heidegger memperingatkan kita bahwa dalam physis yang kita sebut sebagai air, udara, atom, dan Tuhan, ada sebagian besar dari physis ini yang masih tersembunyi. Baginya, apa yang kita katakan dalam seluruh tradisi filsafat sebetulnya hanyalah aspek tertampakkan saja dan dalam ketertampakkan itu selalu masih ada yang tersembunyi. Mengikuti Herakleitos, bagi Heidegger physis/ alam memang suka menyembunyikan dirinya. Kemudian lewat aktivitas logos kita, di mana kita selalu menamai atau mengkonsepkan segala sesuatu menunjukan karakter inti atau mengatakan sesuatu sebagai ada. Maka aktivitas merenggut fenomena dari asal usul yang asali ini terkait apa yang nampak, manusia lewat pemikirannya sendiri selalu merepresentasikan apa yang tertampakkan. Maka ketika manusia me-logos-kan tentang physis, sebetulnya ia sedang mengatakan apa yang tertampakkan di depan matanya. Dan aktivitas lewat logos itu hanyalah menunjukkan satu wajah saja karena physis memiliki wajah lain yang selalu tersembunyi. Yang asli adalah sesuatu yang masih tersembunyi, sehingga kalau kita kemudian mengatakan sesuatu sebagai air, udara, atau Tuhan maka kita mencerabut dari yang tersembunyi itu. Dan tentu saja ketika kita mengatakan sesuatu sebagai sesuatu, di situ ada pretensi yang namanya kebenaran. Jadi, Heidegger akan menunjukkan bahwa ketika logos mengatakan atau mengapropriasi sesuatu tentang physis, maka satu sisi dia hanya mengatakan bahwa apa yang tertampakan, tetapi sisi lain, manusia selalu punya pretensi bahwa apa yang dia


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 21 katakan adalah yang benar. Ketika Herakleitos mengatakan physis segala sesuatu adalah atom, ada pretensi kebenaran di situ. Ketika Platon mengatakan bahwa inti dari segala sesuatu adalah idea, tentu ada pretensi kebenaran dan persis di situ Heidegger mengatakan itulah kebenaran A-letheia. A-letheia (tersembunyi) berarti mengurangkan dari ketersembunyiannya. Sebenarnya dalam upaya me-logos-kan, manusia mencerabut sesuatu (physis) dari ketersembunyian, sementara physis juga selalu berusaha menyembunyikan dirinya. Demikianlah karakteristik kebenaran sebagai a-letheia, setidaknya menurut pemikiran ontologis Heidegger. Kebenaran adalah Aletheia (ketaktersembunyian) dalam ber-polis Klaim kebenaran sebagai a-letheia oleh Heidegger menjadi nyata dalam kehidupan berpolitik. Dalam hidup ber-polis manusia/ masyarakat selalu me-logos-kan, mengapropriasi, mempresentasikan mengenai segala sesuatu. Klaimklaim positif maupun negatif yang dicantolkan kepada ketiga capres Indonesia (PS, AB, dan GP) terkait karakteristik dan kinerja mereka sebagai pemimpin (yang seolaholah benar dan akan menjadi kenyataan) merupakan ciri dari manusia yang dengan logos-nya ia ingin memahami esensi dari objek yang ia konsepkan. Dalam aktivitas memahami ini pun, ia mencerabut esensi/physis dari objek yang ia logos-kan itu menjadi sekadar apa yang ia pikirkan, konsepkan, dan apropriasikan belaka. Ironisnya, dengan aktivitas me-logos-kan atau mengkonsepkan ini, kita sudah mencerabut dari yang tersembunyi dan di situ pun ada prestensi bahwa apa yang kita logos-kan adalah kebenaran. Maka dengan me-logos-kan bahwa [PS, misalnya sebagai calon pemimpin yang tegas, berani, atau PS pemimpin yang otoriter dan keras; AB sebagai capres cerdas dalam beretorika atau AS kurang mumpuni dalam mengatasi masalah banjir; GP merupakan capres yang tegas, jujur dan bekerja keras atau GP kurang mumpuni dalam mengatasi masalah ekonomi rakyat] kita sudah membatasi karakter dan kinerja mereka hanya sekadar pada apa yang kita konsepkan/persepsikan tersebut. Dengan me-logos-kan berarti kita sudah mencerabut atau melepaskan sebagian dari physis, esensi (karakter dan kinerja) lain dari ketiga capres yang sama sekali belum tertampakkan alias masih tersembunyi. Maka sebenarnya saat kita me-logoskan atau mengkonsepkan apa yang tertampakkan saja dari PS, AB, dan GP; hal itu hanyalah menunjukkan satu wajah saja, sebab masih ada sesuatu yang bersifat tersembunyi yang sama sekali belum kita ketahui mengenai siapa diri mereka. Oleh karena itu, menurut Heidegger,


Warta Xaverian 22 kebenaran pada dasarnya adalah a-letheia (ketaktersembunyian). Dalam pemikiran ontologis Heidegger, kebenaran tampak menjadi relatif. Dalam hal ini, kebenaran objektif pun sama sekali tidak ada. Namun, dalam hal ini kebenaran relatif bukan dalam arti bergantung pada persepsi subjektif [sebagaimana yang umum kita pahami]. Kebenaran dalam pemikiran ontologis Heidegger adalah apa yang sudah menyingkapkan diri dan belum menyingkapkan diri alias tersembunyi dalam ketersembunyiannya. Karena sifat physis (baca: kebenaran) menurut Heidegger adalah a-letheia (ketaktersembunyian). Kita tidak bisa mengklaim bahwa ada kebenaran objektif mengenai realitas yang ada. Dalam hal ini, terkait klaim kebenaran mengenai karakter dan kinerja dari ada, esensi (ketiga capres) Indonesia, baik PS, AB maupun GP, masih menyembunyikan kebenaran lain yang belum tertampakkan. Oleh karena itu, bagi pendukung yang mati-matian mengklaim pandangannya sebagai kebenaran mutlak terhadap capres yang didukungnya, Heidegger mengingatkan kita untuk berhatihati; kita perlu menunda (Yun. epoke) dulu seluruh persepsi kita, sebab masih banyak kebenaran yang belum tersingkapkan. Untuk mengatasi cara berpikir mengobjekkan/’kalkulatif’ ini, Heidegger menawarkan cara berpikir yang sebenarnya, yakni lewat ‘stimmung’ (rasa perasaan). Bagi Heidegger berpikir harus dipahami secara sama sekali baru: sebuah keterbukaan, meditasi, sikap menunggu di depan pewahyuan physis [kebenaran] sendiri, di mana manusia bukan lagi subjek, karena rasio tidak menjadi satu-satunya akses kepada physis yang selalu tersembunyi. Artinya, dengan sikap keterbukaan dan menunggu kita membiarkan ada (kebenaran yang tersembunyi) menyingkapkan diri. Mengikuti Heidegger kita pun diajak untuk membiarkan capres kita menyingkapkan esensi (‘karakter dan kinerja’) mereka (entah siapa yang bakal menang menjadi presiden) yang masih ‘tersembunyi dalam ketersembunyiannya’ dalam memimpin negara Indonesia kedepan. Ferdinand Darson Frater Tingkat III @ferdinand_tasir


23 Kispen Berjalan bersama demokrasi Indonesia Lubuk Pakam, Juni 2024 Sore itu pelataran rumah kakek begitu lenggang. Bisu, kaku, dan penuh kenangan lama. Langit sore seakan bercerita padaku tentang keindahan rumah ini dahulu, penuh dengan kebisingan, canda tawa anak sepanjang hari dan berkumpulnya keluarga besar sekadar bersilaturahmi satu dengan yang lainnya. Setelah memarkirkan motor supra kesayangan bapak di halaman luas milik kakek, aku mencoba untuk melangkah sambil mengingat-ingat wejangan bapak dan ibu bila sudah sampai di sini. Rumah kakek terbilang cukup luas. Pohon-pohon cemara, jati, dan beberapa pohon nangka bercampur padu menutupi rumah agar tidak tersengat kalandara. Banyaknya rumput Jepang yang mengitari halaman depan rumah kakek memberiku kenangan indah saat Dimana aku belajar untuk bermain bola plastik, petak umpet, serta kelereng bersama saudara-saudaraku. Kami juga menggoda kakek untuk mencoba kembali ontel lapuknya. Tidak hanya itu, kami kerap membuatnya marah dengan sengaja merusak tanaman kesayangannya. Dan yang paling menarik dari rumah itu adalah teras rumah kakek yang luas, tempat di mana semua masalah diselesaikan, tempat para lelaki berkumpul untuk berdebat tentang politik sambil membanggakan parpol kesayangannya sambil ditemani saksang dan tuak buatan sendiri. Biasanya mereka dibubarkan oleh rasa kantuk yang tak tertahankan karena hanya di saat itulah mereka tidak dimarahi oleh para istri sebab kakek membela dan melindungi bapakbapak yang terlalu banyak minum dan begadang. Juga tempat ini pula menjadi saksi bisu jenazah kakek untuk terakhir kalinya disemayamkan pada saat acara adat penguburannya, enam bulan yang lalu. Sore ini terbilang cukup ramai. Kami berkumpul bersama membentuk setengah lingkaran dan sudah tersedia kue tahun baru yang dibawa keluarga ke kampung sebagai oleh-oleh. Ada saksang buatan ibu, juga kue bawang, kue salju, dan bolu kukus buatan tante. Perdebatan kami sore itu sangat panas. Bapak baru pulang dari kedai sambil membawa tuak sekantong plastik besar, katanya “Untuk Senja Di Teras Rumah Kakek


Warta Xaverian 24 persediaan sampai malam.” Sore ini sudah seperti di acara debat adu gagasan Capres di televisi, ada beberapa kubu yang menjagoi Capres pilihannya, tek terkecuali kakek dan aku yang kebetulan menjagokan Capres yang sama. “Kalau kupikir, persentase menangnya si Praka lebih besar dari punya kalian.” Kata bapak sambil meletakan tuak yang baru dibelinya. “Alah, palingan kalah lagi seperti yang sudah-sudah, bang.” Sambung paman sambil menerawang ke depan, “Kalau pakai beckingan pak lurah-nya sudah pasti naik elektabilitasnya.” Sambungnya. “Kalau ku bilang ya, pasti pak Gama yang menang, apalagi di sini parpol merah yang megang, kalau bapak, siapa nanti yang bapak dukung?” Tanya paman penasaran. “Aishh… orang awak yang kecil ini bisa apa? Hanya keladanglah yang kutahu pak Halomoan. Nggak ada lagi yang nyangkut di sini tentang jagoan kalian itu. Dan kalau menurutku ya, kita orang-orang sederhana ini susah mau masuk ke sana. Hanya orang dalam yang bisa muncul, dan kalaupun ada yang lain, besar itu pengeluarannya.” Jawab kakek sambil terbahak-bahak. “Lagian pun kalau kulihat pamflet di seberang jalan itu, sebenarnya bikin jalan penuh saja. Dan fungsinya, ya palingan kalau sudah selesai jadi terpal di pajak sana.” Sambungnya sambil menghidupkan rokok. “Dan saranku buat kalian ya, pilihlah yang banyak kerja, jangan banyak bicara. Di sini pun uang nya yang terus bicara. Dan nggak rahasia umum lagi kalau sekarang lagi panaspanasnya melobi anggota.” Timpalnya sambil makan kue bawang. “Tapi pung, kenapa nggak terjun lagi? ‘Kan opung dulu jurnalis ternama?” Tanya ku penasaran, sebab dari penuturan bapak dia dahulu paling suka jadi oposisi dan kritik sana-sini, tapi kini menjadi seorang petani dan pemelihara babi di kampung, sendirian. “Itu sudah masa lalu. Nanti kau juga tahu alasannya, Dev.” Jawabnya sambil menerawang buram jauh ke depan. “Tapi syukurlah kau tertarik dengan pekerjaan itu, ya aku tidak banyak berharap kalau kau akan selalu bahagia, tapi saranku berhati-hatilah untuk menulis sesuatu apalagi menyangkut mereka.” Jawab kakek sambil menunjuk pamflet di seberang jalan rumah. “Ayo makan dulu ini, nanti dulu kau bahas itu Dev.” Sahut bapak sambil mengalihkan topik pembicaraan kami. “Jadi menurutmu Pak Halomoan siapa nanti yang menang?” “Kalau aku ya bang, tetap Pak Praka, lebih berjiwa mudah, semoga…” Jawab paman mantap. “Apa nggak bahaya itu? Nanti seperti dahulu?” Tanya bapak menggoda. “Eh nggak lah bang, sekarang ini kita perlu orang muda, kayak si Devan


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 25 ini loh, energik dan percaya diri… itu menurutku loh.” “Paman, paman terlalu berlebihan kau…” pikirku. “Dan menurutmu Si Amin kayak mana? Ada nggak persentase kemenangan?” Timpal bapak ingin tahu. “Menurutku, susah bang. Gayanya masih kayak dahulu. Nggak ingat abang kejadian yang lewat?” “Iya sih, mungkin orang kepingin yang nasionalis sekarang ini, nggak tertarik lagi mereka sama jargon kayak begituan.” Jawab bapak dengan nada optimis. “Yang penting sekarang, besok ataupun seterusnya kita masih bisa makan, itu sudah lebih dari cukup. Capek kalian membahas mereka semua. Kalau kulihat ya semua punya niat baik buat bangsa. Semua punya porsi masing-masing, mau siapapun yang menang ya hanya Dia yang tahu. Daripada sibuk berdebat siapa yang akan menang lebih baik kita siap-siap buat misa di Gereja malam ini, lalu main kartu nanti malam, gimana?” Potong kakek karena perdebatan sudah terlampau jauh, dan sudah waktunya untuk mandi. “Politik tidak akan pernah ada habisnya, dan kita semua tahu itu. Jangan keluarga sampai rusak gara-gara ini ya… Pilihlah yang menurut kalian amanah bagi bangsa kita, jangan sampai Pancasila kita rusak karena intervensi ideologi yang lain, dan jangan mengkritik bila tidak ada data yang akurat, bisa jadi bumerang buat diri sendiri.” Sambungnya menutup perjumpaan kami sore ini. Sore terakhir bersama kakek. Ya kini aku teringat wejangan bapak dan ibu saat melihat buku kusam peninggalan kakek, Senandika si Arunika. Buku itu agak tebal dan kertas-kertasnya sudah mulai menguning, mungkin sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Saat membaca buku tersebut, perlahan air mata jatuh membasahi pipiku yang penuh debu. Gejolak yang dialaminya selama ini, kehilangan nenek, cinta serta kebenarannya, membuat ia pergi dari dunia perjunalistikan selama-lamanya… Ganda Rumapea Frater Pranovis- @gandaxe


Warta Xaverian 26 Kispen Desa Bulu hanyalah sebuah desa kecil yang nampak sedikit terisolir dari dunia luar. Dari kecamatan, orang perlu berjalan sejauh 5 km dengan menyusuri sebuah jalan kecil dengan bentangan puluhan hektare sawah di kanankirinya. Di belakang desa terdapat sebuah hutan luas yang setengah gundul akibat kebakaran yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Atau ketika masa tanam belum tiba, mereka membuat anyaman berbahan dasar bambu. Kehidupan mereka begitu sederhana dan bersahaja, dengan tetap memegang adat-istiadat. Dalam kehidupan penduduk Desa Bulu yang sederhana itu, tersimpan suatu ironi bahwa mereka diperbudak oleh tengkulak beras yang membuat hidup mereka menderita. Saat malam telah tiba, warga Desa Bulu lebih senang mitani rosa; duduk berdiam di depan teras dengan secangkir kopi dan klobot sembari merenungi kehidupan mereka. Kehidupan yang seolaholah hanya berjalan statis tanpa ada perubahan yang berarti. Namun, malam ini berbeda. tiba sebuah suara memecah suasana malam itu. “Bapak ibu, seperti yang kita ketahui, kondisi lumbung pangan kita begitu memprihatinkan. Hanya tersisa beberapa karung beras yang cepat atau lambat akan segera habis”. Ucap Pak Wongso, tetua Desa Bulu. Suasana menjadi sangat hening. Hanya terdengar suara burung Kuwek yang seolaholah ikut prihatin dengan apa yang dialami oleh penduduk Desa Bulu. “Leres Pak Wongso”. Sahut Yu Jiyem. “Kita perlu mencari solusi lain untuk masalah pangan kita. Nyuwun pangapunten, jika kita tidak segera menemukan solusi itu, kita bisa mati kelaparan…” sambungnya. “Situasi serba sulit saat ini. Harga barang di pasar kecamatan pun sedang naik drastis…” ujar Pak Paimin, penjual berbagai macam barang dari anyaman bambu. “Eh, dari mana jenengan tahu hal itu pak?” tanya Pak Wongso. “Saya tahu ketika saya pergi ke pasar untuk menjual hasil anyaman saya pak. Para pembeli begitu kaget ketika tahu bahwa harga satu liter beras sudah naik begitu tinggi…” jawab Pak Paimin. “Itu semua salah para tengkulak pak…” ucap Surip seorang Desa Bulu Semua penduduk desa berkumpul di balai pertemuan dengan wajah yang diliputi kegundahan. Para ibu sibuk menenangkan bayi-bayi yang terus menangis. Terdengar desas-desus dan gumaman di antara mereka terkait pertemuan yang dilaksanakan malam itu. Tiba-


Berjalan bersama 27 demokrasi Indonesia pemuda berusia tanggung memecah permenungan penduduk Desa Bulu. Mata semua penduduk lantas beralih menatap Surip. “Kita selama ini hanya dibuat dolanan oleh para tengkulak. Mereka memaksa kita menjual hasil panen kita dengan upah yang sangat kecil. Semua hasil panen kita diangkut ke kota untuk memenuhi pangan mereka, sedangkan kita pak? Kita dibiarkan kelaparan hingga pada akhirnya mati di sini…” ata Surip dengan berapi-api. Gumaman para penduduk terdengar, mereka pun turut mengiyakan apa yang dikatakan Surip. “Jaga perkataanmu Rip. Ora ilok…” tegur Pak Wongso. “Tapi mau bagaimana lagi pak? Kita tidak bisa terus-menerus seperti ini. Kita harus mengubah sikap kita pak…” jawab Surip dengan tegas. “Baik, baik… Kita sudahi pertemuan malam ini. saya akan bersemedi, meminta petunjuk Sang Hyang Akarya Jagad…” Penduduk Desa Bulu beranjak membubarkan diri. Keheningan mengiringi langkah mereka untuk pulang. Surip yang masih bersungut-sungut mengemasi barang-barangnya. Dengan segera, ia pergi dari Desa Bulu untuk mencari jalan keluar berbekal pengalamannya sewaktu menjadi buruh di kota dulu. Beberapa hari kemudian, hujan turun membasahi Desa Bulu. Para penduduk bersorak gembira. Ini tandanya masa tanam dapat segera dimulai. Pak Wongso memandangi halamannya yang mulai basah tersiram hujan dengan segurat senyum simpul di wajahnya. Malam harinya, semua penduduk kembali berkumpul. Tampak wajah mereka berseri-seri karena berkat yang diberikan oleh Sang Akarya Jagad. Namun di tengah mereka, hadir beberapa orang asing yang turut berkumpul bersama mereka. Mereka adalah kawan-kawan Surip dari kota yang berniat membantu para penduduk mengolah hasil pertanian. Malam itu pertemuan dibuka dengan tembangan kidung pujian yang dilantunkan secara bersamaan oleh para penduduk. Dalam suasana khidmat dan sakral itu, para penduduk Desa Bulu menghaturkan rasa syukur atas turunnya hujan pertama. Setelah kidung pujian dilagukan, Surip dan temantemannya berdiri. Dengan berapiapi mereka mengutarakan kalimatkalimat propaganda yang berusaha membangkitkan semangat para petani Desa Bulu. Mereka mengajak para petani untuk melawan para tengkulak jika tak ingin kondisi yang sama terus mereka alami. Pak Wongso, tetua Desa Bulu tak mampu membendung bara semangat Surip dan teman-temannya. Ia hanya terdiam sambil berdoa supaya sesuatu yang buruk tidak menimpa desanya. Salah seorang kawan Surip yang bernama Hadi, dengan penuh keyakinan dan optimisme berkata, “Bapak ibu, saya dan teman-teman dari kota sungguh prihatin akan


Warta Xaverian 28 kondisi yang bapak ibu alami. Apa yang bapak ibu alami ini semua karena permainan para penguasa yang tidak becus mengatur negeri ini. Maka, saya datang untuk menawarkan perubahan. Revolusi bapak ibu, revolusi…” pekik Hadi berapi-api yang disambut tepuk tangan dari Surip dan kawankawannya. Penduduk Desa Bulu pun bingung. Mereka tidak pernah mengenal apa itu revolusi dan sejauh yang mereka tahu hanyalah bagaimana bercocok tanam, mengolah gadung yang beracun agar bisa disantap dan mengamati tanda-tanda alam. Malam ini menjadi berbeda. Penduduk Desa Bulu mulai mengenal suatu kalimat berdaya magis yang akan merubah hidup mereka, revolusi. Dan sejak malam itu, revolusi seolah menjadi mantra bagi penduduk Desa Bulu untuk memperoleh kehidupan yang layak. Ketika masa tanam telah berlangsung dan bantuan beras dari teman-teman Surip mulai berdatangan, penduduk Desa Bulu mulai melanjutkan hidup seperti biasanya. Tak ada kegelisahan lagi tentang hari esok. Desa Bulu pun berubah, di sepanjang jalan desa mulai terpampang pamflet-pamflet yang menyuarakan tentang keadilan bagi para petani. Pamflet-pamflet tersebut seolah juga menjadi tanda bahwa kemakmuran Desa Bulu akan segera terwujud. Pak Wongso, tetua desa pun turut bahagia ketika melihat kehidupan penduduknya. Tidak ada lagi tangis dan kegundahan akan apa yang akan disantap di hari esok. Namun, semua itu tak bertahan lama ketika memasuki Bulan Jumadil Akhir pada tahun ke 1897 dalam kalender jawa. Lintang kemukus yang melintasi Desa Bulu seolah menjadi tanda akan datangnya malapetaka. Pagi harinya, segerombolan aparat datang mengepung Desa Bulu. Semua penduduk dikumpulkan di balai desa. Dengan todongan senapan mereka diminta bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di ibukota. Mereka tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi. Mereka hanya ingin hidup sejahtera dan menuntut keadilan. Sampai ketika salah seorang mengucapkan kalimat magis mereka, revolusi, harapan untuk hidup yang lebih baik telah sirna. Pamflet dengan semboyan keadilan petani yang berlambang alat kerja mereka adalah satu-satunya tanda bahwa mereka pernah bermimpi untuk hidup sejahtera. Filipus Dimas Prasetya Nugraha Frater [email protected]


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 29


Warta Xaverian 30


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 31 Apa Itu Politik? Kaum muda wajib terlibat aktif. Lantas, bagaimana tanggapan mereka terhadap fenomena politik masa kini? Apa Kata Mereka


Warta Xaverian 32 01 03 02 Maria Ricardona Fr. Andre Manalu, SJ Christin Siagian OMK Paroki Cempaka Putih, Gereja Paskalis. Mahasiswa Semester III STF Driyarkara Mahasiswi di London School of Public Relations Dinamika politik di tahun ini sangat membingungkan, dimana ada calon yang masih belum bisa dibilang siap untuk membawa negara ini agar maju kedepannya, tetapi sudah mencalonkan diri. Para calon penguasa negeri harus memikirkan nasib rakyat untuk kedepannya, bukan hanya kepentingan pribadi. Hal ini menjadi perhatian yang khusus dalam rangka kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. “Dalam politik, kita sering membicarakan tentang perubahan, namun tidak pernah melihat itu terjadi. Hal itu karena kita tidak lagi fokus pada ‘solusi’ melainkan ‘kolusi dan nepotisme’. Kami anak muda berharap politik bukanlah pertarungan kepentingan pribadi, melainkan panggung di mana ide-ide inovatif bisa tumbuh dari pemimpin kita untuk masa depan yang lebih baik. “Ad Majorem Dei Gloriam”. Negara Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia. Pada tahun 2023 ini, bagi negara Indonesia merupakan tahun politik dimana setiap partai bekerja keras untuk lolos dalam parlemen pemilu 2024. Akan tetapi, semuanya terlihat asing bagi masyarakat, permainan-permainan yg dimulai sangat terlihat dan memunculkan pemikiran-pemikiran negatif atas setiap partai (capres). Memang setiap hal yang menyangkut hidup kita berhubungan dengan politik; tapi sayangnya definisi politik yang seperti ini sudah kabur. Harapannya, setiap masyarakat dapat menggunakan hak suara dengan baik. Apa Kata Mereka 01 03 02


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 33 04 05 06 Fr. Geby Making, OFM. Sr. Ester Elida O. Harita, SCMM Fr. Ambrosius Otu, SDB. Mahasiswa Semester III, STF Driyarkara Mahasiswi Kedokteran Universitas Atmajaya Jakarta Utara Mahasiswa Semester III STF Driyarkara “Politik sebagai wadah yang mengatur kehidupan masyarakat. Sebagai generasi muda, kita harus berpartisipasi membangun politik yang sehat dengan daya kritis dalam memilih pemimpin yang benar-benar MEMILIKI HATI dan cerdas dalam melayani masyarakat dengan penuh ketulusan. Karena politik yang sehat dapat mewujudkan citra masyarakat yang sejahtera dan pemimpin yang bertanggung jawab. Inilah model pemimpin yang didambakan oleh masyarakat” Tahun 2023 dan 2024 ini adalah tahun kita masyarakat Indonesia untuk berpesta demokrasi. kita diberi kesempatan untuk memilih Pemimpin yang bisa membawa negara kita semakin maju. Hakikat demokrasi adalah pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka marilah kita menjalankan pesta demokrasi dengan memilih pemimpin yang kita lihat dan rasakan dapat membangun negara kita, memilih dan mendukung pilihan kita tanpa merendahkan, menjelekkan dan menghina pilihan orang lain. “Menyongsong tahun politik 2024, sebagai orang muda, kita wajib berpartisipasi. Suara kita turut menentukan wajah bangsa kita beberapa tahun mendatang. Mengingat masa depan akan dinikmati oleh generasi kita, kita perlu persiapan matang. Salah satunya adalah keterlibatan kita dalam tahun politik. Oleh karena itu, mari kita sambut pesta demokrasi ini dengan antusias, kritis dan visioner. ‘Votum tuum decernit futurum’, suaramu menentukan mimpimu!” ApaKataMereka04 05 06


Warta Xaverian 34 Xaverianitas Saat ini Negara Kesatuan Republik Indonesia sedang berada dalam situasi politik. Menjelang pemilu 2024 pasti muncul perbedaan dan gesekan yang dapat mengancam integrasi masyarakat. Sudah sering terdengar ada kontroversi politik yang memicu luapan kegusaran yang cenderung memecahbelah persatuan bangsa dan mengatasnamakan agama. Hal ini menjadi tantangan berat bagi para Xaverian Indonesia saat ini. Kontroversi politik ini bisa saja membuat para Xaverian tergoda untuk terlibat di dalamnya dan menimbulkan perpecahan baik dalam masyarakat maupun dalam komunitas Xaverian sendiri. Xaverian lebih baik bersikap netral sehingga tetap membangun relasi yang baik dengan semua pihak. Sebagai warga negara Indonesia tentunya para Xaverian ikut serta dalam menyukseskan Pemilu Tahun 2024 yang akan datang. Eksistensi Xaverian bukanlah sebagai pemicu masalah dan perpecahan dalam masyarakat maupun komunitas sendiri, melainkan sebagai “suri teladan” yang mampu membuat masyarakat berpartisipasi dalam pemilu dengan sikap adil dan jujur. Sebagai religius, pantaslah para Xaverian bersikap bijaksana dalam menghadapi situasi politik ini dan tidak memihak pada satu kelompok dengan memancing kegusaran pihak lain. Kebanyakkan orang telah memberi kesaksian bahwa Xaverian terkenal dengan kekeluargaan dan persaudaraannya. Situasi politik ini mestinya tidak mengubah kesaksian-kesaksian tersebut. Xaverian tetap mempertahankan misinya yakni “Menjadikan Dunia Satu Keluarga.” Suri Teladan Alfridus Jehadun Frater Tingkat I- @jehadunalfridus


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 35 Di tengah situasi politik yang memanas dan memicu perpecahan dalam masyarakat, Xaverian yang punya misi “Menjadikan Dunia Satu Keluarga” punya tanggung jawab untuk mengembalikan situasi yang tidak kondusif itu. Hal itu memang sulit dan mungkin tidak akan berhasil karena dalam hal politik banyak orang yang tertarik untuk membuat masalah dan perpecahan. Orang mungkin akan mengatakan, “Anda siapa? Mengapa Anda ikut campur dengan urusanku?” Hal itu tidak membuat Xaverian diam saja, tetapi tetap berusaha menghidupi misinya dengan menunjukan sikap yang bijaksana. Xaverian bertanggung jawab menampilkan sikap politik kebangsaan yang kecenderungannya tetap pada arah dan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok. Hal itu dapat menjadi contoh bagi masyarakat karena masih banyak pula yang menginginkan persatuan. Dalam mengupayakan perdamaian di tengah situasi politik ini, cara hidup Santo Fransiskus Xaverius patut menjadi teladan bagi para Xaverian. Santo Fransiskus Xaverius telah mengajarkan bagaimana membuat masyarakat bersatu dan berdamai. Beliau telah memberi contoh yang baik ketika menyebarkan agama Katolik di Indonesia, pertama kali di Sulawesi Utara, Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Cara beliau menyebarkan iman Katolik di sana, yaitu mengumpulkan anak-anak, remaja, kaum muda, orang dewasa yang kemudian diajarkan agama, diberikan pelatihan, seperti berdoa, dan bernyanyi. Dalam hal ini Fransiskus berusaha menarik perhatian masyarakat sekitar dengan cara berdamai, tanpa adanya kekerasan atau unsur pemaksaan sehingga sangat cepat baginya untuk dapat bersahabat dengan banyak orang. Dalam kaitan dengan situasi politik ini, Fransiskus mengajarkan supaya Xaverian tetap menunjukkan dirinya Sebagai religius, pantaslah para Xaverian bersikap bijaksana dalam menghadapi situasi politik ini dan tidak memihak pada satu kelompok dengan memancing kegusaran pihak lain.


Warta Xaverian 36 sebagai misionaris dan religius, dan juga sebagai orang Katolik yang lebih mengutamakan persatuan dan perdamaian. Itu tidak juga bermaksud untuk mengkatolikkan orang, tetapi hendak mengajarkan bagaimana cara yang baik dalam menghadapi situasi politik dan menuntun orang lain kepada proses pemilu yang jujur tanpa unsur paksaan. Dalam arti membiarkan orang lain mampu mengikuti suara hati nurani dan kehendak bebasnya untuk memilih seorang pemimpin. Namun, mereka tetap diajarkan untuk memilih dengan tujuan mengutamakan kepentingan bersama satu negara. Dalam hidup berkomunitas tidak ada alasan bagi Xaverian untuk menciptakan perdebatan politik yang berujung dengan saling membenci dan menghindar dari kebersamaan. Perbedaan pendapat pasti selalu terjadi tetapi sikap bijaksana tetaplah tegak. Di sini Santo Fransiskus secara tersirat mengharapkan supaya Xaverian tetap bijaksana dalam menghadapi masalah politik dan menjadi suri teladan bagi banyak orang. Berhubungan dengan hal itu Konstitusi Serikat Xaverian No. 35 yang membahas tentang kehidupan bersama, menjadi pegangan bagi para Xaverian. Memang ungkapan “menjadikan serikat sebagai keluarga” tidak menghilangkan perbedaan pendapat maupun karakter dari masing-masing pribadi. Namun dengan menjadikan serikat sebagai keluarga, perbedaan pendapat dan karakter itu dapat menjadi suatu kekayaan dalam komunitas. Sehingga dengan demikian pula Xaverian sungguh menjadi suri teladan bagi banyak orang dalam menghadapi situasi politik ini.


Aku termenung dalam kesedihan Melihat duniaku penuh perihatin Egoku menguasai segalanya Ingin menjadi penguasa Aku tidak peduli dengan sesamaku Siapakah mereka ? Apa urusanku? Ah, aku terlena dengan mimpiku Melupakan segala yang pernah kualami *** Dulu duniaku indah berseri Namun kini perlahan berubah menjadi kelabu Banyak hal yang terjadi , tak seperti yang diinginkan Ketidakadilan , konflik , penindasan, kebencian Terjadi merajalela Ah, duniaku tak layak untuk dihuni Semua telah berubah Kemana aku harus pergi ? Kepada siapa aku meratap? Aku rindu dengan duniaku yang harmonis Tertawa dan bercengkrama Senyum , bertegur sapa Aku ingin duniaku layak ditempati Semuanya belum terlambat Masih ada harapan untuk perubahan Memperbaiki diri dan duniaku Untukmu duniaku… aku MENCINTAIMU Duniaku Berbeda Paskalis Rifandi Kaut: Frater Tingkat I-@paskaliskaut


Warta Xaverian 38 Memandang Dunia Banyak negara di dunia yang menjalin kerja sama satu dengan yang lain. Ada yang bekerja sama dalam hal teknologi, ekonomi, pertahanan militer, dan lain sebagainya. Demikian pula dengan Vatikan, sebuah negara kecil yang menjalin kerja sama dengan banyak negara. Meskipun demikian, kita tak dapat menutup mata pada kenyataan bahwa Vatikan masih belum mampu menjalin kerja sama dengan beberapa negara lain, salah satunya adalah negara Cina. Pemimpin Vatikan, Paus Fransiskus mencoba untuk menjalin kembali relasi dengan Cina. Apakah dia akan berhasil? Jika relasi terjalin kembali, apakah ini merupakan suatu keputusan yang baik? Vatikan: Negara Kecil yang Diakui oleh Banyak Negara Vatikan adalah negara terkecil di dunia. Meskipun demikian, keberadaan Vatikan diakui oleh negara lain. Sebagai negara yang berlandaskan nilai-nilai kekatolikan, Vatikan menjalin relasi dengan banyak negara. Saat ini, Vatikan menjalin relasi dengan 176 negara, tergabung sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta badan-badan internasional lainnya. Kendatipun sebagai negara katolik, Vatikan juga menjalin hubungan diplomatik dengan negaranegara Muslim, Buddha, bahkan negara sekular seperti Iraq, Thailand, dan Jepang. Vatikan memiliki kantor kedutaan di setiap negara yang memiliki hubungan diplomatik dengannya. Para duta dari Vatikan disebut Nuntius. Selain itu, Vatikan juga mendapatkan status sebagai pengamat permanen dalam keanggotaan PBB. Keputusan yang Kontroversial Minggu (4/2/2018) lalu, Vatikan dan Cina membuat suatu keputusan yang kontroversial. Vatikan dan Cina membuat kesepakatan mengenai penunjukkan uskup di Cina. Paus Fransiskus tampaknya memiliki keinginan untuk mengembalikan hubungan diplomatik dengan Cina. Bahkan, Paus Fransiskus pernah menyatakan keinginannya untuk mengunjungi Cina. Apakah ini suatu tanda bahwa Vatikan akan mulai melakukan hubungan diplomasi dengan Cina? Apakah kesepakatan Vatikan dan Cina: Bisakah Kembali Seperti Dulu?


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 39 tersebut akan membawa angin segar bagi umat Katolik di Cina? Apakah kesepakatan ini akan menguntungkan Cina sehingga bisa mengendalikan umat Katolik bawah tanah juga? Ataukah mungkin kesepakatan ini akan membuat umat Katolik semakin terpisah dari Gereja? Banyak spekulasi yang tercipta karena keputusan kontroversial ini. Sejarah Hubungan Cina dan Vatikan Jika melihat kembali dalam sejarah, Cina dan Vatikan pada awalnya memiliki relasi yang baik. Banyak misionaris yang dikirim oleh Vatikan untuk menyebarkan Injil di Cina. Salah satu misionaris yang terkenal adalah Matteo Ricci. Dia bahkan diterima dengan sangat baik oleh kaisar. Bukan hanya misionaris Katolik, misionaris dari Protestan juga diterima oleh Cina. Akan tetapi, semua berubah ketika Cina berpindah haluan pada ideologi komunis di bawah pemerintahan Mao Zedong. Ketika Mao memimpin, dia tidak menerima tenaga asing seperti para misionaris. Mereka semua diusir dan dikejar-kejar. Bukan hanya misionaris, umat Katolik juga dilarang untuk melakukan ibadat atau perayaan keagamaan mereka sehingga harus bersembunyi. Kunjungan Paus Fransiskus ke Mongolia: Adakah Pesan Khusus untuk Negara Tetangga Mongolia? Beberapa bulan yang lalu (2/9/23), Paus Fransiskus mengunjungi Mongolia. Mongolia adalah negara yang diapit oleh Cina dan Rusia. Paus melaksanakan kunjungan ke Mongolia ketika Vatikan sedang memiliki ketegangan hubungan dengan kedua negara tetangga Mongolia. Cina dituduh melanggar perjanjian dengan Vatikan mengenai penunjukkan uskup. Rusia dan Vatikan sempat mengalami permasalahan ketika perang antara Rusia dan Ukraina terjadi. Selain itu, ketika Paus mengunjungi Mongolia, bukan hanya bendera Mongolia yang terlihat dikibarkan tetapi juga bendera Cina. Vatikan seperti mendekatkan diri atau membangun dialog dengan Cina tetapi tidak secara langsung. Bahkan, dalam pidatonya, Paus Fransiskus mengatakan bahwa spiritualitas itu sehat bagi masyarakat. Spiritualitas itu bukan sebuah ancaman. Hubungan Vatikan dengan Taiwan Sampai saat ini, Vatikan tidak memiliki kantor kedutaan di Cina. Vatikan hanya memiliki kedutaan di Taiwan dan Hongkong. Karena itu, jika warga Vatikan atau Paus sendiri ingin berkunjung ke Cina, mereka harus melalui Taiwan atau Hongkong. Akhir-akhir ini hubungan Cina dan negara Barat, khususnya


Warta Xaverian 40 Amerika sedang tidak baik-baik saja. Cina mulai mengembangkan teknologi dan inovasi dari dalam negeri dan perlahan-lahan meninggalkan produk dari Barat. Selain masalah dalam hal teknologi, Cina juga memiliki masalah dengan Amerika, khususnya mengenai kasus yang tengah terjadi di Taiwan. Menurut pemerintah Cina, Taiwan masih berada di bawah kekuasaan Amerika. Akan tetapi, Amerika justru mengakui Taiwan sebagai negara yang berdaulat dan bebas dari Cina. Selain Amerika, Vatikan juga mengakui Taiwan. Jika Vatikan ingin membuka hubungan diplomatik kembali dengan Cina, maka Vatikan harus melepaskan hubungan diplomatik dengan Taiwan sebab Cina tidak mengakui kemerdekaan Taiwan. Cina dan Vatikan: Memiliki Nilai, Ideologi dan Tujuan yang Berbeda Setiap negara memiliki nilai ideologi yang mereka hargai dan laksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Vatikan memiliki nilai-nilai Katolik yang mengandung cinta kasih terhadap manusia serta nilai-nilai Injili yang dibawa oleh Yesus Kristus. Cina memiliki nilai kemanusiaan serta tujuan besar untuk meningkatkan perekonomiannya di dunia. Pemerintahan Cina hendak menjadikan negaranya sebagai negara nomor satu di dunia dengan berlandaskan pada ideologi komunis. Segala hal yang bertentangan dengan tujuan tersebut akan ditolak, termasuk pengaruh dari negara Barat yang sering menganggap remeh negara-negara Asia. Inilah salah satu alasan mengapa sulit mempertemukan Cina dan Vatikan. Vatikan dianggap membawa pengaruh Barat terhadap Cina. Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut? Menurut saya, kita harus kembali pada jawaban klasik, yaitu berdoa kepada Tuhan dan selalu berharap Roh Kudus menuntun kedua negara tersebut untuk bisa mencapai kesepakatan yang terbaik. Kita perlu mendukun g upaya Vatikan untuk kembali membangun hubungan diplomatik dengan Cina. Semoga dalam perjalanan waktu usaha yang telah dilakukan oleh pihak Vatikan disambut dengan baik oleh negara Cina. Willy Silalahi Frater Tingkat III - @silalahi_willy


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 41 Frater Novis - @_ricky.sinaga Ricky Sinaga


Warta Xaverian 42 Seputar Misi Ketika saya diminta oleh Fr. Adrian (Frater Skolastikat) untuk menuliskan pengalaman misi saya sebagai seorang Misionaris Xaverian di Brasil Utara, spontan yang muncul pertama kali di benak saya adalah apakah saya bahagia dengan tugas misi saya menjadi seorang misionaris? Apakah saya dengan sungguhsungguh mencintai panggilan saya sebagai seorang xaverian muda yang menghidupi karisma dan spiritualitas sebagai seorang xaverian? Saya pun menemukan jawaban atas pertanyaan di atas dengan bertolak dari refleksi dua murid Emaus yang mengekspresikan kegembiraannya setelah sadar bahwa yang berjalan bersama mereka adalah Yesus Kristus yang bangkit. Kebetulan, kutipan ayat dari Injil Lukas yang saya pilih adalah tema umum konferensi Gereja Brasil tahun ini. Saya merasakan hal yang sama gembira dan sukacitanya dengan tugas misi yang dipercayakan kepada saya di bumi Amazon.Karena bersama Dialah seorang misionaris mampu menjalankan tugas misi dan pewartaan sukacita Injil kepada siapa saja yang mau mengenal dan mengikuti-Nya. Perkenalkan, Saya pastor Marselinus Yerisko. Saya berasal dari MaumereFlores, NTT. Saya ditahbiskan menjadi imam Misionaris Xaverian pada tanggal 15 juli 202, di Katedral Padang setelah menyelesaikan s t u d i teologi di Meksiko. Saat ini saya sedang menjalankan misi di Brasil Mencintai Identitas Xaverian Dalam Terang Kebangkitan “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” (Lukas 24:33).


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 43 Utara, Tepatnya di Kota Belem. Saat ini saya tinggal di rumah Tunas Xaverian di kota Belem yang dikenal dengan nama CXAM (Centro de Animação e Formação Missionária) dan mengemban tugas sebagai Animator panggilan provinsi Xaverian Brasil Utara sekaligus sebagai ekonom rumah. Pengalaman misi saya di Brasil selama 2 tahun ini sungguh menggembirakan karena dipenuhi dengan pengalaman-pengalaman baru yang berkesan, menyenangkan, juga menantang. Saya tiba di Brasil pada tanggal 28 Oktober 2021 setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan selama 32 jam dengan rute; Jakarta-QatarSao Paulo-Belem. Ketika tiba di Bandara Val -de Caes Belem, saya dijemput oleh Pastor Provinsial, Pastor Saul. Lalu, saya tinggal di rumah Provinsialat selama 2 bulan untuk menyelesaikan administrasi kenegaraan dan melanjutkan kursus bahasa Portugis. Bahasa Portugis merupakan salah satu bahasa yang sangat indah. Saya tidak terlalu kesulitan dalam memahaminya karena memiliki kemiripan dengan bahasa Spanyol yang telah saya pelajari sebelumnya. Namun, harus saya akui bahwa justru karena mirip, saya kersap mencampuradukan kedua bahasa yang sering disebut (portunhol) ketika berkomunikasi. Setelah periode adaptasi dimulai, awal bulan maret tahun 2022, saya bersama seorang pastor Xaverian yang berasal dari Burundi (Pastro Jean) dikirim ke pusat bahasa dan budaya di Kota Brasilia. Pusat studi ini memang dikhususkan kepada semua misionaris yang baru tiba di Brasil guna mempelajari secara mendalam bahasa portugis, budaya, serta konteks gereja di Brasil secara umum. Pengalaman selama 3 bulan di CCM (Centro Cultural Missionario) sungguh membantu saya untuk lebih mengenal lebih dekat konteks gereja Katolik di Brasil. Setelah kurang lebih 3 bulan di Brasilia, saya kemudian dikirim ke Paroki São Félix do Xingu (paroki Xaverian yang paling jauh). Jaraknya sekitar 1.030 km dari Kota Belem. Kurang lebih 4 bulan pengalaman di Paroki São Félix membantu saya belajar lebih dekat dengan umat dan juga mengenal kehidupan berparoki. Kebetulan paroki ini cukup luas dan besar karena memiliki jumlah stasi cukup banyak (26 stasi) dengan jarak yang cukup jauh antara satu stasi dengan stasi yang lain. Selain mengalami kehidupan berpastoral (misa, kursus, dan pendalaman iman), saya juga menaruh perhatian pada orang muda katolik yang dikenal dengan nama Pastoral Juventude di


Warta Xaverian 44 tempat tersebut. Pengalaman di Paroki São Félix mengajarkan saya untuk berani berkorban dalam tugas dan pelayanan kepada mereka yang kecil dan terpinggirkan. Stasi-stasi yang ada di Paroki São Félix do Xingu merupakan stasi-stasi kecil dengan mayoritas umat yang berprofesi sebagai peternak sapi. Setelah bermisi di Paroki São Félix, saya diminta untuk mengenal dan mengalami pengalaman misi di Paroki Santa Rosa Abaetetuba yang letaknya hanya sekitar 2 jam dari Belem. Di paroki ini saya diminta untuk menjadi pastor rekan sekaligus menghidupkan kembali OMK dan membentuk kelompok untuk animasi panggilan misioner. Pengalaman di Paroki Santa Rosa sungguh menghidupkan semangat saya sebagai pastor muda. Kebetulan di paroki ini banyak sekali anak-anak muda yang berpartisipasi dalam kegiatan gereja (sebagai misdinar, tatib, dan juga katekese). Selama saya berada di paroki ini, saya sering mengadakan pertemuan, retret juga animasi panggilan kongregasi Xaverian. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN” (Yesaya 55, 8). Sebenarnya saya ingin tetap bertugas sebagai pastor rekan di Paroki Santa Rosa karena merasa sangat at home. Paroki ini memiliki masa depan yang cerah, ditandai dengan animasi panggilan misioner yang hidup, OMK yang penuh dengan antusiasme, dan umat yang sangat at home. Namun, kadang rencana Tuhan berbeda dengan rencana kita sebagai manusia. Tuhan sudah lebih dahulu mempersiapkan rancangan hidup kita sesuai dengan kehendak-Nya. Bulan Januari tahun 2023 setelah mengikuti Kapitel Provinsi Brasil Utara, saya diminta untuk mengemban tugas menjadi Animator misi dan panggilan sekaligus ekonom rumah Tunas Xaverian di Kota Belem. Saya merefleksikan bahwa tugas tersebut sungguh mulia dan membutuhkan dedikasi serta kesabaran sebagai pastor muda. Dengan senang hati saya menerima tugas ini, karena sebagai seorang Xaverian, saya dituntut untuk siap sedia diutus ke mana saja. Saat ini di komunitas rumah Tunas Xaverian terdapat 7 konfrater (3 orang pastor, 1 orang bruder dan 3 tunas). Dalam permenungan, saya menyadari bahwa pengalaman iman dua murid di Emaus akan Kristus yang bangkit menghidupkan


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 45 harapan dan iman saya untuk berani mewartakan kabar gembira kepada siapa saja dalam tugas pewartaan saya. Saya menyadari bahwa iman akan Kristus yang bangkitlah yang semakin menguatkan saya untuk menerima tugas dan tanggung jawab baru dengan penuh iman dan harapan. Pengalaman selama kurang lebih 1 tahun 5 bulan memperkaya saya dengan hal-hal baru. Saya dapat berkontribusi secara penuh dalam karya misi keluarga Xaverian di Brasil Utara. Misi Xaverian di Brasil Utara Di akhir tulisan singkat ini, saya mengajak dan mengundang kepada orang-orang muda, para frater yang sedang di rumah pendidikan, untuk memiliki mimpi berkarya di Brasil Utara. Xaverian Brasil Utara menunggu kehadiran Anda, para misionarismisionaris muda untuk kabar sukacita Injil dan semangat Xaverian MENJADIKAN DUNIA SATU KELUARGA. Saat ini karya misi Xaverian di Brasil Utara dibagi dalam 3 bagian, yakni Karya Misi Pastoral (ada 5 paroki yang dilayani Xaverian); Karya Misi Animasi Misioner dan Panggilan; dan Karya Misi bersama Suku Indian. Semoga Tuhan Yesus yang bangkit memberikan harapan dan motivasi baru untuk mewartakan kabar gembira ke seluruh dunia. «Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?» Dengan ini, kita sebagai misionaris-misionaris muda dituntut melanjutkan semangat kedua murid emaus yang setelah mengenal Yesus kembali ke Yerusalem mewartakan kabar sukacita Yesus yang bangkit kepada murid-murid yang lain.


Warta Xaverian 46 The Ides Of March “The Ides of March” adalah film drama politik Amerika Serikat yang dirilis pada tahun 2011. Film ini disutradarai oleh George Clooney dan dibintangi oleh Ryan Gosling, George Clooney, Philip Seymour Hoffman, Paul Giamatti, Evan Rachel Wood, dan Marisa Tomei. Film ini mengisahkan tentang seorang konsultan kampanye bernama Stephen Meyers (diperankan oleh Ryan Gosling) yang terlibat dalam kampanye presiden yang sengit antara dua kandidat Partai Demokrat. Namun, ketika Meyers menemukan bahwa kandidat yang ia dukung memiliki rahasia gelap yang dapat menghancurkan kampanyenya, ia terlibat dalam konspirasi politik yang berbahaya dan harus memilih antara kesetiaannya pada kandidat atau pada prinsip-prinsipnya sendiri. Secara keseluruhan, “The Ides of March” adalah film yang sangat menarik dan menegangkan. Plotnya yang kompleks dan penuh intrik politik membuat penonton terus tertarik dan penampilan para aktor yang hebat membuat film ini layak ditonton. Selain itu, film ini memberikan gambaran yang realistis tentang dunia politik dan kampanye presiden yang keras dan penuh tekanan. Bagi penggemar film drama politik, “The Ides of March” adalah sebuah pilihan yang tepat. Genre: Drama Politik Sutradara: George Clooney Pemeran: Ryan Gosling, Marisa Tomei Tanggal Liris: 7 Oktober 2011


Berjalan bersama demokrasi Indonesia 47 Filsafat Politik Machiavelli Inti filsafat politik Machiavelli terkait dengan pandangan bahwa tujuan negara adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan stabilitas, bahkan jika itu berarti harus menggunakan cara-cara yang tidak bermoral atau kejam. Menurut Machiavelli, seorang penguasa harus tidak hanya mempertahankan kekuasaannya, tetapi juga harus memperluas dan memperkuatnya. Ia berpendapat bahwa penguasa harus memahami kekuatan dan kelemahan musuhnya, dan harus siap untuk menggunakan kekuatan militer atau diplomasi untuk mencapai tujuannya. Machiavelli juga menekankan pentingnya kekuatan politik dan kebijakan dalam mempertahankan stabilitas negara. Ia berpendapat bahwa penguasa harus menghindari tindakan yang dapat memicu pemberontakan atau kekacauan, dan harus memperkuat sistem hukum dan keamanan dalam negara. Selain itu, Machiavelli juga menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam memilih penasihat dan bawahannya, dan menghindari pengaruh dari kelompok-kelompok kepentingan yang dapat mengancam kekuasaan penguasa. Dalam pandangan Machiavelli, moralitas dan etika tidak selalu menjadi faktor penting dalam politik. Menurutnya, seorang penguasa harus siap untuk menggunakan cara-cara yang tidak bermoral atau kejam jika itu diperlukan untuk mempertahankan kekuasaannya. Namun, ia juga menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam menggunakan kekuasaan dan memperhatikan kepentingan rakyat dalam kebijakan politiknya. Telaah film “The Ides of March” dari sudut pandang Filsafat Politik Machiavelli Dalam sudut pandang Filsafat Politik Machiavelli, film The Ides of


Warta Xaverian 48 March dapat dilihat sebagai contoh yang baik dari kekuasaan politik dan ambisi yang kuat yang dihadapi oleh para politisi. Dalam film ini, karakterkarakter politisi menunjukkan sifat-sifat Machiavellian seperti keinginan untuk mempertahankan kekuasaan dan stabilitas, bahkan jika itu berarti harus menggunakan cara-cara yang tidak bermoral atau kejam. Karakter utama, Stephen Meyers (diperankan oleh Ryan Gosling), adalah seorang konsultan kampanye yang cerdas dan ambisius yang bekerja untuk kandidat presiden Partai Demokrat. Meyers menunjukkan sifat Machiavellian dalam keinginannya untuk mempertahankan kekuasaan dan memenangkan kampanye dengan cara apa pun yang diperlukan. Hal yang sama berlaku bagi karakter lain dalam film, seperti Senator Pullman (diperankan oleh Michael Mantell) dan Tom Duffy (diperankan oleh Paul Giamatti). Mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk mempengaruhi dan memanipulasi orang lain, bahkan jika itu berarti harus melakukan tindakan yang tidak bermoral atau kejam. Namun, dalam sudut pandang Machiavelli, kekuasaan politik juga harus diimbangi dengan kebijaksanaan dan kepentingan rakyat. Dalam film ini, karakter-karakter politisi seringkali mengabaikan kepentingan rakyat dan hanya memikirkan kepentingan pribadi mereka. Hal ini dapat dilihat pada tindakan Meyers yang mengkhianati teman dan koleganya dan dalam tindakan Senator Pullman yang mengabaikan janjinya kepada para pemilih. Dalam kesimpulannya, film The Ides of March dapat dilihat sebagai contoh yang baik dari kekuasaan politik dan ambisi yang kuat yang dihadapi oleh para politisi, yang sesuai dengan pandangan Machiavelli. Namun, film ini juga menunjukkan bahwa kekuasaan politik harus diimbangi dengan kebijaksanaan dan kepentingan rakyat, yang seringkali diabaikan oleh para politisi yang hanya memikirkan kepentingan pribadi mereka. Tarsisius Saul Darma Frater Tingkat III - @tarsy_darma_sx


Click to View FlipBook Version