PENERBIT: EDITORIAL 2
Wisma Xaverian Jakarta
SAJIAN UTAMA 3
PENANGGUNG JAWAB: MISI “AD GENTES” SUDAH MATI
P. Vitus Rubianto, SX
CONFORTIANITAS 12
STAF REDAKSI: Santo Guido Maria Conforti:
Andreas Wijaya Pelopor Dalam Memakai Media Massa
SECUIL PENGALAMAN
Merasul: Antara Tantangan dan Keberanian 15
Johanes Sarorougot XAVERIANITAS 19
Di Sini dan Sekarang
EDITOR: POJOK RENUNGAN 22
Andreas Wijaya Ad Gentes Di Tengah Pandemi
Johanes Sarorougot
SEPUTAR JAKARTA
ARTISTIK: Semangat Kehidupan dan Iman
Andreas Wijaya dalam Pandemi 26
ENGLISH CORNER 29
Push To The Limit
DISTRIBUSI: SOPHIA
Johanes Sarorougot Manusia; Subjek Soliter dan Ubermensch 31
KISPEN
Antara dia dan Dia 35
ALAMAT REDAKSI:
Wisma Xaverian, SAJAK SAJA
Cahaya Pengharapan 38
Jl. Cempaka Putih Raya No.42 Semangat Ad Gentes 39
Jakarta Pusat - 10520
Telp. (021) 4240356 DIALOG ANTAR AGAMA 40
Fax. (021) 4240264 Dialog Kemanusiaan Dalam Sentralitas
Dan Bingkai Kasih Ilahi
INFORMATIF 44
Gereja Menutup Mata?
SEPUTAR MISI
Merasakan dan Mewartakan Kabar Gembira 48
GALERI 53
Warta Xaverian: Wacana komunikasi antar para frater Xaverian - Tunas Xaverian, Prano-
vis-Novis- Skolastikat Filsafat Teologi - dengan para seminaris, sahabat, dan para pen-
derma. Bertujuan sebagai sarana animasi panggilan misioner serta warta kehidupan
sehari-hari di rumah-rumah pendidikan Serika Misionaris Xaverian
EDITORIAL
Ad Gentes di Hadapan
Pandemi
Hello again sahabat-sahabat xaverian.
Pada edisi kali ini tim Warta Xaverian
akan menyajikan tulisan-tulisan para
frater Xaverian mengenai Ad Gentes yang
sekarang ini tengah menghadapi tantangan
besar yakni Covid-19. Selama pandemi
ini kita semua mengalami kesulitan untuk
melakukan banyak aktivitas. Kebijakan
pembatasan di berbagai negara tidak
hanya membuat kita tidak dapat banyak
beraktivitas di luar rumah namun juga
membuat perpindahan antar negara
terhambat. Demikian juga para misionaris
religius mengalami kesulitan untuk pergi
bermisi.
Nah, seperti biasa kita akan membahasnya
dari berbagai sudut pemikiran dan
pengalaman para frater Xaverian mengenai
kesulitan ini.
Selamat Membaca
2 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
SAJIAN UTAMA
MISI “AD GENTES”
SUDAH MATI
Fr. Michael Timothy S. Pratama Fenat, SX
Filosofan Tingkat III
Perutusan kepada Bangsa-Bangsa sudah mati. Ke-mati-an ini
menjadi pertanyaan mendalam bagi para misionaris dan para pewarta
misi awam mengenai identitas mereka sebagai perpanjangan tangan
Kristus. Apabila melihat jauh ke belakang, para misionaris telah berlari
cukup jauh dari masa-masa perutusan misioner zaman Bahari hingga
saat ini, di mana perutusan kepada mereka yang belum beriman menjadi
sasaran utama pertobatan iman akan Kristus. Cara-cara radikal, semacam
penaklukan bangsa hingga menyelipkan Injil dalam ekspansi negara-
negara Eropa kepada daerah-daerah misi, menjadi ciri khas zaman
tersebut. Idealisme misi semacam ini juga menjadi riskan apabila pola
lama dipraktekkan kepada perkembangan di setiap bangsa-bangsa yang
memiliki beragam corak kebudayaan dan agama-agama.
Pada zaman ini pula, usaha untuk pergi kepada bangsa-bangsa
(bdk. Mrk. 16:15) telah berpaling kepada perutusan kepada bangsa ‘maya’.
Terobosan teknologi dan arus informasi yang deras mendobrak corak misi
yang bersifat tradisionalis. Perkembangan ini akhirnya menjadi sesuatu
yang harus diterima karena pandemi COVID-19 yang menyerang segala
aspek kemanusiaan dan perkembangan zaman kita. Hal ini benar adanya,
karena situasi pandemi ini membatasi para misionaris untuk pergi kepada
bangsa lain dan dipaksa untuk masuk dalam dunia digitalisasi yang riskan
dengan pembobolan data, kualitas jaringan yang naik-turun, dan macam-
macam keriskanan lainnya. Dengan segala hormat, perutusan kepada
segala bangsa akhirnya menemukan jalan buntunya. Perutusan mandek
di hadapan jurang digitalisasi dan stagnan untuk berada di rumah saja
dengan kegiatan yang cukup monoton: makan, tidur, kerja seadanya,
dan berdoa agar situasi semakin membaik. Pertanyaannya adalah apakah
benar bahwa perutusan kepada bangsa-bangsa sudah mati? Apakah ada
“langkah mundur” yang bijaksana, yang menarik kita kepada pemikiran
akan kelahiran kembali atas kematian ini?1 Tulisan ini akan mencakup
1 Seri Dokumen Gerejawi, Humana Communitas Di Masa Pandemi: Refleksi-refleksi
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 3
beberapa hal penting. Pertama, memaparkan konteks misi dari zaman
ke zaman. Kedua, aktualisasi misi dalam tantangan zaman saat ini,
yakni dialog antar-agama dan pandemi COVID-19. Akhirnya, tulisan ini
diakhiri dengan refleksi pribadi mengenai keseluruhan tulisan ini.
Misi Selayang Pandang
Misi adalah perutusan, berasal dari akar kata missere, missa (Latin:
missio). Dalam ensiklik Ad Gentes, misi digambarkan sebagai “Prakarsa-
prakarsa khusus, yang ditempuh oleh para pewarta Injil utusan Gereja
dengan pergi ke seluruh dunia untuk menunaikan tugas menyiarkan Injil
dan menanamkan Gereja di antara para bangsa atau golongan-golongan
yang belum beriman akan Kristus.”2 Ada dua hal yang ditekankan oleh
Paus Paulus VI, yakni pergi ke seluruh dunia untuk mewartakan Injil
dan menanamkan Gereja di daerah misi tersebut. Tentu saja, apa yang
direfleksikan dalam dekrit ini menimba inspirasi dari karya keselamatan
Allah bagi sejarah hidup manusia.
Keterberian diri Allah dalam kesatuan Tritunggal Maha kudus
menjadi gambaran cinta kasih asali Allah Bapa kepada umat-Nya, di
mana Ia sendiri mengutus Putera-Nya ke dunia untuk menampakkan
wajah Allah yang penuh kasih, dan kemudian perutusan Roh Kudus
yang membimbing Gereja dalam menghadapi tantangan dunia ini3. “Ia
berkenan menghimpun mereka menjadi umat, supaya di situ para putera-
Nya, yang semula tercerai-berai, dikumpulkan menjadi satu” (lih. Yoh
11:52)4. Melihat sumber perutusan (missio) terpenuhi dalam diri Allah
kepada manusia, maka jelaslah perutusan Yesus kepada murid-Nya
untuk pergi ke segala bangsa (bdk. Mrk. 16:15) dan diperjelas kepada
para rasul dalam peristiwa kenaikan-Nya ke surga, “Tetapi kamu akan
menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan
menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan
sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8).
Perutusan tanpa batas ini melampaui ruang dan waktu, sebab
kepada manusia pula Allah memberi diri-Nya tak terbatas: dalam
yang Tidak Tepat Waktunya tentang Kelahiran Kembali Kehidupan, Akademi Kepausan untuk
Kehidupan, terj. Bernadeta Harini Tri Prasasti, Vatikan: 22 Juli 2020.
2 Dokumen Konsili Vatikan II tentang Ad Gentes (Kepada Bangsa-Bangsa) oleh Paus
Paulus VI, 18 November 1965, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1991,
art. 6. Untuk catatan kaki selanjutnya akan disingkat menjadi “AG”.
3 AG. art. 2.
4 AG. art. 2.
Ad Gentes di Hadapan Pandemi
4
segala kelemahan manusiawi bangsa Israel, perutusan para nabi-nabi
hingga kepada pemenuhan janji-Nya dalam Sabda utama dan terakhir,
yakni Yesus Kristus yang membangun Gereja di bawah kepemimpinan
Petrus, wafat demi menyelamatkan manusia dari perhambaan dosa dan
memperbaharui segala rencana Injili dalam bimbingan Roh Kudus.
Para rasul Kristus, termasuk rasul Paulus yang mengalami pertobatan
Injili, memberi dirinya sebagai pewarta radikal kepada bangsa-bangsa
non-Yahudi (bdk. Gal. 1:16). Tradisi Kristen yang berlangsung cukup
panjang ini memberi pemahaman kepada kita bahwa misi adalah pergi
kepada mereka yang belum mengenal Kristus dan Injil-Nya.
Kalau berbicara mengenai model-model misi5, Gereja mewarisi
sejarah penginjilan yang panjang seperti zaman Gereja Bahari (100-
301). Pada periode Gereja Bahari, misi dipelopori oleh orang-orang
yang sudah dibaptis yang diwarisi oleh tradisi para rasul. Pesan-pesan
Injil para rasul diwartakan kepada mereka untuk disebarluaskan kepada
semua orang. Dalam masa berikutnya, yakni masa Gereja Monastik (315-
907), misi dipelopori oleh kaum rahib dan rubiah, yakni mereka yang
mencoba melakukan kemartiran dengan cara menjauhi ‘dunia’. Mereka
ingin menghidupi kembali semangat iman akan Kristus dalam sebuah
komunitas dan keluar dari tembok biara dan melakukan pewartaan Injil.
Masa ini dapat diketahui melalui kehadiran para rubiah Benediktin.
Tentu saja, masa ini berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa ini
pembaptisan lebih dahulu dilakukan dan kemudian penginjilan.
Kemudian, misi berlanjut pada masa Milenium Kedua (1000-
1453), dimana misi Gereja menjadi suram dengan persaingan pewartaan
agama Islam yang memperluas layarnya dari semenanjung Arab sampai
di beberapa negara di Eropa. Misi menjadi stagnan dan ada problem di
dalam Gereja. Gereja berusaha untuk mempertahankan eksistensinya,
seperti menaklukan bangsa-bangsa dalam Perang Salib. Namun, perlu
disadari bahwa masa ini merupakan masa kelam Gereja yang ingin
mengembalikan jati dirinya sebagai wakil Kristus di dunia. Pada masa
ini muncul juga gerakan-gerakan monastik baru, seperti Fransiskan
dan Dominikan. Kedua tarekat ini adalah pelopor misi saat itu, yakni
berperang bukan dengan senjata, melainkan dengan cara hidup dan
pengasahan ilmu pengetahuan para pastor yang dipersiapkan untuk
5 Saduran dari beberapa paper Misiologi dan rangkuman perkuliahan daring dari mata
kuliah Misiologi oleh Dr. Fransiskus Sule, CICM. Materi yang ditawarkan adalah zaman Gereja
Bahari hingga Gereja masa Kemajuan (8-29 September 2020 via MS. Team).
5
Ad Gentes di Hadapan Pandemi
pewartaan Injil.
Beranjak dari misi ini, penemuan akan benua Amerika (misi
tahun 1492-1773) oleh Colombus membangkitkan semangat negara
Spanyol dan Portugis untuk ikut membentangkan layarnya ke daerah-
daerah lain. Gereja ikut ambil bagian dalam karya pewartaan Injil
dengan menyelipkan para misionaris ke daerah-daerah di mana kedua
negara tersebut berlayar. Didirikannya Propaganda Fide menjadi angin
segar bagi Gereja yang juga membentangkan pewartaan Injil di berbagai
negara. Pelopor misi semakin banyak dan mulai memperbaharui
corak-coraknya sesuai dengan daerah dimana mereka berada. Konsep
misionaris Barat yang diwartakan di daerah-daerah misi tidaklah mudah,
karena mereka sendiri terbatas soal inkulturasi budaya dan bahasa.
Pewartaan Injil dalam nuansa missio (perutusan) masuk pada
masa Kemajuan (1792-1914), di mana misi Gereja Katolik masih
bergulat dengan dirinya sendiri mengenai misi dan pewartaan yang sesuai
dengan konteks yang ada. Misi pada zaman ini ditekankan kepada misi
Protestanisme yang cukup deras dengan berbagai macam denominasi
yang ada. Pada kurun waktu 1800-1900, muncul tarekat-tarekat religius
yang mencoba menjawab tantangan misi Gereja dalam pewartaannya. Hal
ini ditegaskan kembali oleh Paus Benedictus XV dengan mengeluarkan
surat apostolik Maximum Illud (1919), yakni pewartaan kepada mereka
yang belum beriman. Gereja tetap menjadi pusat iman yang perlu
diwartakan kepada segala bangsa, dengan mendasarkan diri kepada pesan
Kristus kepada para murid-Nya. Seiring berjalannya waktu, dokumen Ad
Gentes, Apostolicam Actuotatem hingga Redemptoris Missio mencoba
menjawab pelbagai macam bentuk misi sesuai dengan konteks zaman
yang ada.
Sampai saat ini, terutama masa postmodern, kegiatan misioner
yang dilakukan oleh para misionaris, tarekat-tarekat misi dan misionaris
awam menemui cara-cara evangelisasi6 barunya yang berusaha
menyesuaikan dirinya dengan dunia digital yang mengalir deras dan
berbagai macam corak budaya dan agama yang juga mempertahankan
kebenaran imannya. Pewartaan kepada mereka yang belum beriman
Kristus hanya bisa dilalui dengan dialog antar agama, katekese iman bagi
katekumen, dan bentuk-bentuk pewartaan baru yang sudah diwadahi
6 Paus Paulus VI dalam Imbauan Apostolik Evangelii Nuntiandi (Mewartakan Injil) 8
Desember 1975, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003, art. 17.
6 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
dengan model digital tanpa harus bertatap muka. Apalagi, dalam situasi
pandemi ini, usaha bertatap muka secara langsung sudah tidak relevan
lagi. Gereja seolah-olah mulai menarik diri dari kegiatan misionernya,
berdiam diri sejenak di dalam kamar-kamar pengakuan dan menyesali
segala dosanya yang mungkin menjadi salah satu penyebab munculnya
pandemi ini. Misionaris dan para pewarta juga gagap menghadapi
situasi ini: terbatas hanya di rumah saja, membatasi diri dari perjumpaan
sakramental dan hanya memberi pengharapan dalam satu kerinduan
mistik serta belum sepenuhnya menerima pewartaan digital sebagai
pewartaan misi baru.
Ada yang masih harap-harap cemas dengan situasi pandemi
ini: berdoa supaya perjumpaan secara langsung bisa dilakukan seperti
biasanya, menjadikan dirinya sebagai martir modern dengan berpegang
teguh pada pewartaan Injil di tengah orang-orang miskin dan terlantar,
ada pula yang mau membaharui diri dengan mengikuti arus zaman
digitalisasi dengan pewartaan dan pelayanan sakramental secara daring,
katekese daring dan rapat-rapat parokial dengan menggunakan media
sosial. Banyak hal yang dilakukan oleh para misionaris, pastor paroki
dan pewarta misi lainnya demi menjaga eksistensi misi kepada mereka
yang belum beriman. Namun, jelas bahwa misi Ad Gentes sudah mati.
Ia tidak lagi relevan secara radikal mewartakan misi dan mengambil
nilai kemartiran yang spektakuler, melainkan menjaga jarak dengan diri
sendiri dan orang lain dalam perjumpaan. Apakah benar demikian makna
dari ke-mati-an tersebut?
Mati Mendahului Kehidupan Baru
Menjawab pertanyaan mengenai ke-mati-an misi Ad Gentes,
saya akan mengajak Anda untuk merenungkan karya keselamatan
Allah yang termaktub sepenuhnya dalam diri Kristus. Injil Yohanes
menjelaskan begitu agung dan mulia peran Yesus dalam Perjamuan
terakhir hingga kematian-Nya di salib yang disempurnakan dalam
kebangkitan-Nya dari kubur (Yohanes 13-20)7. Ke-mati-an yang diambil
oleh Yesus sudah kepada perutusan-Nya ke bumi: menanggalkan status
ilahi-Nya dan masuk ke dalam bumi untuk berjalan bersama manusia,
memberi pengharapan dan hidup kepada mereka yang kehilangan arah.
7 Saduran dari Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Redemptoris Missio. Refleksi
diambil dari rangkuman BAB 1: Yesus Kristus Sang Penyelamat Satu-Satunya, Jakarta: Departe-
men Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1992.
7
Ad Gentes di Hadapan Pandemi
Ke-mati-an Yesus yang menjelma sebagai manusia seutuhnya memberi
satu pengertian penting kepada manusia, bahwa mereka diselamatkan
dari dekat, tidak jauh seperti yang dibayangkan umat Yahudi yang masih
berharap akan kedatangan Mesias, dan memberi Diri sepenuhnya dalam
satu kesaksian ketaatan total kepada Bapa.
Pembasuhan kaki para rasul pula menjadi satu tanda ke-mati-an
Yesus yang berlutut untuk membersihkan kaki-kaki rasul yang mungkin
sudah lelah berjalan mengikuti-Nya, kotor karena kedegilan hati mereka
yang belum paham mengenai kehadiran Allah dalam diri mereka hingga
mengeringkan kaki mereka dalam balutan kehangatan kasih-Nya. Tentu
saja, ini simbolisasi dari seruan Yesus kepada mereka yang menyebut-
Nya sebagai Guru dan Tuhan (Yoh. 13:13-15). Kepenuhan cinta kasih
Yesus kepada dunia sampai kepada salib yang menjadi perutusan akhir
di bumi: Ia kalah, mati dalam penghinaan. Ke-mati-an akan salib adalah
kebodohan bagi mereka yang bijak, kata Paulus. Namun, Ia mati dalam
satu perspektif iman yang hidup, yakni mati menyongsong kepada
sebuah kehidupan yang baru. Ia seperti benih yang mati di tanah yang
subur, dan kemudian memberi buah-buah bagi mereka yang percaya
kepada-Nya, begitulah ke-mati-an Yesus yang justru bangkit dalam
suasana kehidupan yang baru. Hal ini berdampak kepada para murid
yang juga mengalami ke-mati-an rohani: ditinggal sang Mesias yang
menjadi harapan pemimpin bangsa, kehilangan sosok pemimpin dan
arah hidup mereka. Namun, janji Yesus tentang Roh Kudus (Yoh. 14:26;
16:13) terpenuhi dalam peristiwa Pentakosta. Mereka dipenuhi oleh Roh
untuk pergi mewartakan Injil kepada segala makhluk. Para murid telah
mengalami kehidupan yang baru atas ke-mati-an mereka.
Ke-mati-an yang akhirnya bisa ditawarkan pada tulisan ini adalah
kehidupan yang baru, artinya memberi peluang kepada para rasul-rasul
Kristus zaman sekarang untuk memohon rahmat Roh Kudus, meminta
pencerahan daripada-Nya dan bergerak dalam semangat perutusan misi
kepada orang-orang belum beriman. Kita telah meninggalkan begitu
banyak sukacita dan dukacita dalam pelayanan sehari-hari, dari masa ke
masa dan akhirnya berjuang kembali untuk menemukan cara-cara baru
di tengah zaman yang terus berubah. Untuk saat ini, kita sedang mati
dalam pergumulan, keluh kesah, permohonan doa dan harapan-harapan
yang bergulir dari hati ke hati. Penantian akan datangnya Roh Kudus
adalah suatu penantian yang relevan dan tidak terburu-buru untuk jatuh
8 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
pada aktivisme tanpa arah.
Ada dua bagian yang saya tawarkan sebagai contoh kematian
yang menghidupkan, yakni relasi antar-umat beriman dan pandemi
COVID-19. Pertama, penghargaan dan rasa hormat kepada mereka
yang beragama lain adalah satu-satunya cara untuk berdialog dengan
mereka. Gereja tetap berpegang pada usaha cinta kasih yang berbuah
dengan berdialog dengan umat berbeda agama sekaligus mengusahakan
agar Kerajaan Allah tetap berakar di hati setiap manusia.8 Perjalanan
Gereja dalam bentuk ‘penaklukan’ bangsa-bangsa yang belum mengenal
Kristus telah mati (tidak relevan) lagi, melainkan menjadi hidup dengan
pendekatan-pendekatan relasional agama dan budaya, serta cara-cara
hidup yang sesuai dengan kemanusiaan kita.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh komunitas Skolastikat
Xaverian, semisal dialog interaktif-akademik, kerja bakti bersama warga
RT, karya karitatif dan sosial bagi mereka yang terlantar dan menjaga
relasi dengan organisasi-organisasi keagamaan menjadi beberapa contoh
yang masih dihidupi sampai saat ini. Perutusan para misionaris Xaverian
kepada mereka yang belum beriman9 (C.2) memiliki makna yang baru
dan berbuah cinta kasih yang berasal dari Allah. Tentu saja, sebagai
misionaris, usaha untuk menarik orang kepada kasih Kristus dalam
pembaptisan adalah kerinduan yang tak tertahankan lagi. Ada sebuah
konsep yang sungguh berubah dari kerinduan ini, yakni tidak dengan
memaksa mereka untuk mengambil bagian dalam Gereja Katolik,
melainkan membiarkan Roh bekerja di dalam hati mereka, menggerakkan
diri mereka berkat kesaksian hidup misionaris untuk menjadi pengikut
Kristus.
Menanggapi pandemi COVID-19 yang tidak menentu, pewartaan
misi menjadi sangat terbatas: tidak bisa lagi bertatap muka dalam satu
kesatuan sakramental, melainkan mendiamkan diri di rumah sambil
berharap dalam sebuah kerinduan mendalam untuk berjumpa lagi seperti
sedia kala. Bila memahami perasaan ini, maka akan tertangkap jelas
bahwa misi yang berarti pergi ke seluruh dunia secara langsung sudah
mati (tidak relevan). Misi sudah berganti layar kepada mereka yang
jauh di sana hanya dengan tangkapan layar komputer atau handphone.
Bukan hanya terdesak oleh tuntutan zaman dan pandemi ini, misi juga
8 AG. 21. 9
9 Konstitusi Serikat Misionaris Xaverian (C) no. 2.
Ad Gentes di Hadapan Pandemi
mengalami krisis ketika distansi sosial membatasi perjumpaan dengan
mereka yang terlantar, para buruh dan pekerja yang sudah menerima
pemutusan kerja secara sepihak dan anak-anak sekolah yang butuh
pelayanan rohani namun terdesak oleh kebutuhan sekolah yang belum
menentu. Sikap solidaritas dan peduli yang dilakukan oleh para dokter,
instansi pemerintah dan sukarelawan menjadi kebutuhan mendesak saat
ini.
Lantas, para misionaris bisa apa? Cukup sulit untuk menjawab
secara pasti, namun usaha untuk memberi ruang kepada mereka yang
ingin berbagi pengalaman iman dan meneguhkan mereka adalah sebuah
jalan yang semaksimal mungkin bisa dijalankan. Rasa solider dan peduli
kepada mereka yang bimbang dan susah menjadi kesadaran kita akan
kasih Kristus yang tidak terbatas jaraknya. Mewartakan Kristus dalam
bentuk peneguhan menjadi satu kesaksian nyata yang bisa dilakukan
para misionaris, sembari tetap menjaga semangat sense of belonging di
dalam komunitas tempat tinggalnya. Saya menawarkan kalimat yang
indah ini, “Hendaklah misionaris, diresapi oleh iman yang hidup dan
harapan yang takkan memudar, menjadi manusia doa. ia bernyala karena
semangat yang tangguh dan cinta kasih serta sifat ugaharinya, ia belajar
mencukupi diri di segala keadaan, ia mengemban kematian Yesus dalam
dirinya, supaya kehidupan Yesus berkarya pada mereka yang dilayaninya
dalam perutusannya, ia sukarela mengorbankan segalanya, bahkan
mengorbankan diri sendiri demi jiwa-jiwa.”10
Kesadaran akan perubahan zaman dan situasi seperti ini membuat
kita menyadari bahwa ke-mati-an akan perutusan (missio) telah
menemukan kehidupan barunya, yakni mengambil makna salib Kristus
dalam sebuah pengharapan akan kedatangan-Nya yang kedua (parousia).
Para misionaris “harus bersedia untuk seumur hidup bertahan dalam
panggilannya, merelakan dirinya dan segala sesuatu yang sampai kini
dimilikinya, dan “menjadikan diri segala-galanya bagi semua orang,”
serta “bertahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, dalam
kelapangan jiwa dan kemurahan hati, dalam kasih yang tidak munafik.”11
Pandemi yang Terberkati
Semua orang bergiat untuk menjalankan misi sesuai dengan
kemampuannya, dan demikianlah begitu supaya Kerajaan Allah dan
10 AG. 25.
11 AG. 25.
Ad Gentes di Hadapan Pandemi
10
perluasan kasih-Nya tetap meraja. Kasih Kristus yang telah hidup
bagi semua orang beriman telah melampaui batas-batas bangsa, dan
bisa katakan bahwa kehadiran Allah muncul dalam lintas-lintas iman
manusia. Situasi pandemi ini tidaklah perlu disesali keadaannya, kalau
pun kehadirannya juga atas nama alam yang sedang memperbaharui
dirinya. Bersama dengan alam semesta, mestinya kita mensyukuri situasi
pandemi ini untuk kembali menyelami diri, mengenal kembali cara-cara
kreatif dalam pewartaan Injil serta berani untuk mengorbankan diri
dalam hal-hal sederhana. Seperti semangat Sta. Threresia dari Kanak-
Kanak Yesus yang melakukan segala sesuatu dengan cinta, begitu pula
kita diajak untuk meneladani semangat para kudus yang menunjukkan
ketaatan dan komitmen mereka kepada Kristus yang Tersalib. Jadikanlah
pandemi ini sebagai berkat yang mendorong kita untuk hidup kembali
dengan perspektif yang baru. Kita berdoa agar Tuhan memberkati dunia
ini, keluarga-keluarga kita, para imam, misionaris dan pewarta misi
lainnya, dan saudara-saudari kita yang mengalami penderitaan fisik atau
finansial. Tuhan tidak mungkin lebih bermurah hati lagi pada kita, umat-
Nya.
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 11
CONFORTIANITAS
Santo Guido Maria
Conforti: Pelopor
Dalam Memakai
Media Massa
Fr. Riko Nababan, SX - Filosofan Tingkat I
Ad Gentes Misi yang Mutlak
Selain dari misi ad ekstra dan ad vitam, misi ad gentes juga
menjadi unsur yang mutlak bagi seorang Xaverian. Menghayati, isi
ad gentes berarti seorang Xaverian harus siap diutus kepada bangsa-
bangsa dan kelompok-kelompok orang bukan kristen di luar lingkungan,
kebudayaan, dan gereja asalnya. Di antara bangsa-bangsa dan kelompok-
kelompok yang bukan kristen itu secara khusus seorang Xaverian
mengabdikan diri kepada orang-orang yang diistimewakan dalam
kerajaan Allah, yaitu: kaum miskin, lemah, tersingkir dari masyarakat,
dan mereka yang menjadi korban ketidakadilan dan penindasan (bdk.
K9).
“Di dalam Gereja dan demi Kerajaan Allah, kita menerima
anugerah dari Roh untuk mewartakan Injil kepada orang-orang bukan
Kristen sebagai tugas khas dan satu-satunya” (K17). Tugas khas ini
menuntut keterlibatan seluruh hidup kita agar Yesus Kristus dikenal dan
dicintai oleh mereka yang belum mengenal dan mencintaiNya. Bapa
pendiri menegaskan bagi kita bahwa tugas ini adalah sesuatu yang esa
dan mutlak. Sangat penting menyadari bahwa pertama-tama tugas yang
kita terima ini bukan berasal dari kemauan kita pribadi, tetapi sungguh
anugerah Roh. Bapa pendiri mengajak kita untuk mau bersyukur atas
anugerah panggilan yang telah kita terima dari Tuhan. Dengan bersyukur
dan terus-menerus setia dengan misi ad gentes, misi kita akan berkenan
kepada Allah. Misi ini menjadi mutlak karena mewartakan Kristus
kepada orang yang belum mengenalNya adalah kharisma kita yang telah
diwariskan St Guido Maria Conforti.
Misi ad gentes menuntut seorang Xaverian terbuka pada budaya
12 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
dan agama lain. Kita tahu bahwa ketika kita diutus ke negara lain, kita
pasti akan bertemu dengan budaya dan agama lain. Tidak dapat dipungkiri
lagi, bahwa di zaman ini, kita akan diutus di negara yang hampir seluruh
penduduknya telah memiliki agama. Dalam situasi seperti ini kita perlu
membangun dialog dengan budaya dan agama yang kita jumpai. Melalui
dialog, kita bisa saling memperkaya dan mewartakan Kristus. Inilah
sikap dari seorang Xaverian yang menghayati misi ad gentes yaitu setia
pada kharisma dan terbuka dengan situasi dimana kita diutus.
Dalam situasi normal, kita bisa mewartakan Kristus kepada orang
lain secara langsung. Namun, bagaimana dalam situasi sulit yang kita
hadapi saat ini yakni pandemi COVID-19? Apakah misi ad gentes dapat
kita jalankan dengan efektif? Kita tahu apa akibat dari pandemi ini.
Salah satunya adalah sulitnya pergi ke negara lain. Kesulitan ini sangat
mempengaruhi pewartaan kita. Kesulitan ini dirasakan oleh semua orang,
secara khusus juga oleh kongregasi kita. Para pastor dan dan para frater
yang sudah siap untuk bermisi terpaksa batal berangkat karena pandemi
ini. Padahal sejatinya misi ad gentes adalah pergi ke negara lain untuk
bertemu dengan orang lain dan mewartakan Kristus. Apakah kesulitan
yang kita hadapi saat ini melemahkan semangat misi ad gentes?
Terbuka Terhadap Perkembangan Zaman
Dalam situasi ini yang bisa kita lakukan adalah berselancar
di media sosial. Media sosial dapat menjadi jalan bagi kita untuk
mewartakan Kristus. “Bapa pendiri kita, St Guido Maria Conforti,
bersikap sebagai pelopor dalam memakai media massa yang ditemukan
oleh teknologi, dalam rangka melayani pewartaan. Alat komunikasi
terbaru mempersembahkan kepada kita kemungkinan-kemungkinan
yang tidak dapat disangka dan harus dipergunakan, meskipun kita sadar
bahwa tidak pernah alat-alat itu akan dapat menggantikan pengantaraan
kesaksian hidup” (Ratio Missionis Xaveriana no. 60). Ternyata, sejak
awal bapa pendiri pun telah menuntut anak-anaknya untuk terbuka
terhadap perkembangan zaman. “Bapa pendiri menginginkan agar para
misionarisnya memiliki cakrawala yang luas, kemampuan menyesuaikan
diri yang ditopang oleh sikap kemanusiaan yang kaya dan seimbang serta
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan perutusan kita” (K4).
Terbuka terhadap perkembangan zaman menuntut keberanian
dari masing-masing pribadi. Tak dapat dipungkiri bahwa selama
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 13
pandemi ini, dan mungkin juga setelah pandemi, banyak orang akan
beraktifitas melalui internet mulai dari bekerja, belajar, pertemuan,
berjualan, dll. Orang yang belum siap akan perkembangan zaman, orang
yang masih mempertahankan tradisi lama, pasti akan tertinggal dari cara
modern yang sangat cepat dan efektif. Tuntutan ini juga berlaku dengan
seorang religius. Sejak awal St. Guido sudah melihat tanda-tanda zaman
ini sehingga ia meminta anak-anak untuk siap menggunakan internet
sebagai cara baru untuk mewartakan Kristus. Saya pribadi merasakan
tuntutan yang mendesak ini. Saya juga harus berani masuk dalam dunia
internet untuk menjangkau orang lain dalam pewartaan. Saya juga harus
belajar menggunakan media sosial dan menemukan cara yang efektif
mewartakan Kristus. Inilah kenyataan yang saya alami saat ini dimana
dalam karya kerasulan saya yaitu mengajar anak SD harus menggunakan
media sosial sebagai sarana pengajaran.
Penggunaan media sosial dapat menjadi jalur misi ad gentes. Kita
tahu bahwa dalam masa pandemi ini, hampir semua bentuk pewartaan
dilakukan secara daring, mulai dari misa, rosario, katekumen, dialog dll.
Harus disadari bahwa pada umumnya orang yang mampu menggunakan
media sosial adalah mereka yang mampu secara ekonomi. Jadi
bagaimana dengan orang kecil yang pastinya tidak mendapat pewartaan
melalui media sosial? Conforti sendiri meminta anak-anaknya untuk
mengutamakan orang kecil dalam pewartaan. Apakah dalam situasi ini
pewartaan kepada mereka harus berhenti? Inilah yang menjadi tantangan
bagi Seorang xaverian yang menghidupi Misi ad gentes. Yang dapat kita
lakukan saat ini adalah tetap terlibat dalam kegiatan sosial dan berdoa
kepada mereka yang saat ini rindu akan pengenalan Yesus lebih jauh.
St. Guido telah memilih iman sebagai tatanan hidupnya dan
sumber inspirasi bagi semua keputusannya. Ia berkeinginan menularkan
imannya kepada mereka yang belum mengenalNya. Jelas, bahwa bagi
seorang Xaverian, Yesus menjadi pusat hidup dan sumber inspirasi
dalam segala hal. Keberhasilan misi bergantung pada sejauh mana kita
terhubung dengan Yesus. Di tengah pandemi ini tak bisa dielakkan lagi
bahwa kita harus menggunakan media sosial sebagai sarana pewartaan
Kerajaan Allah. Kita akan jatuh bila dalam penggunaan media sosial
kehilangan tujuan utama yakni mewartakan Kristus. Oleh karena itu,
selain dari mewartakan Kristus melalui media sosial, kita harus tetap
berusaha mencari, melihat, dan mencintai Kristus dalam segala- galanya.
14 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
SECUIL PENGALAMAN
Merasul: Antara
Tantangan dan
Keberanian
Fr. Herybertus Jakpen Metta Ndeto, SX
Filosofan Tingkat I
“Gereja yang bergerak keluar adalah Gereja yang pintu-pintunya
terbuka “ (EG 46).
Tidak ada yang pernah menyangkakan situasi pelik yang saat
ini terjadi. Wabah virus COVID-19 telah merebak ke pelbagai penjuru
dunia. Situasi ini mengakibatkan persoalan-persoalan baru dalam banyak
aspek kehidupan manusia. Roda perekonomian beputar kian melambat
dan mandek. Imbasnya angka pengangguran meningkat. Banyak orang
mengalami kesulitan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap hari
media mengabarkan peningkatan kasus dan tak sedikit yang meregang
nyawa oleh musuh tak kasat mata ini. Inilah realitas dunia dewasa ini.
Dampak di bidang religiusitas dari wabah ini adalah terhentinya
aktivitas keagamaan yang bercorak persekutuan. Hiruk-pikuk aktivitas
di gereja tak terlihat lagi dan hal serupa terjadi di tempat-tempat ibadah
kepercayaan lain. Banyak yang mengurung diri agar terhindar dari
bahaya penyebaran virus ini.
Sejenak bernostalgia. Di tahun novisiat saya diutus untuk merasul
di Paroki Cilandak bersama seorang teman novis. Perutusan berdua-
dua menjadi ciri khas perutusan Yesus. Ia tidak mengutus muridnya
seorang diri saja, tetapi ada seorang lain yang mendampingi. Perutusan
berdua-dua menjadi ciri khas Xaverian juga. Rasanya, tidak ada frater
yang diutus seorang diri saja. Kalaupun ada, pasti dengan pertimbangan-
pertimbangan tertentu. Aku ada untuk yang lain, dan yang lain ada untuk
aku. Ada satu momen dalam perjalanan pergi, ban sepeda saya pecah.
Teman saya dengan setia menemani saya dan mencari bengkel untuk
menambal ban sepeda tersebut. Di sinilah saya merasakan manfaat dari
perutusan berdua-dua. Kesulitan yang saya alami diringankan dengan
keberadaan yang lain. Ada nilai solidaritas di balik perutusan itu dan
dipupuk dengan saling memperhatikan satu dengan yang lain.
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 15
Awal bulan Februari mulai terendus bau-bau COVID-19 di
Indonesia. Namun banyak yang tidak yakin akan hal tersebut. Ketika
banyak negara mengkonfirmasi penduduknya yang positif, Indonesia
sepertinya aman-aman saja. Karya kerasulan saban minggu tetap
kami jalankan. Teman kerasulan saya memutuskan memilih jalan
lain, meninggalkan Serikat. Katanya keputusan tersebut telah melalui
pertimbangan yang matang. Konsekuensinya saya menjalankan
perutusan saya seorang diri. “Tidak. Kamu tidak seorang diri. Bukankah
Yesus selalu ada mengiringi langkahmu,” tutur seorang pranovis yang
sangat religius. Saya mendapat peneguhan dari kata-kata saudara ini.
Yesus tak sejengkal pun membiarkan saya melangkah sendiri.
Pasca diberitakan tiga orang pertama yang terkonfimasi positif,
banyak orang mulai waspada. Aktivitas yang sifatnya kolektif perlahan-
lahan ditiadakan. Orang-orang menghindari kerumunan karena takut
diserang virus mematikan ini. Kegiatan ibadah pun ditiadakan. Perayaan
Ekaristi saban minggu tidak dirayakan lagi. Gereja-gereja menjadi sepi
seperti gereja-gereja di Eropa yang jarang dikunjungi. Semua mengurung
diri di dalam rumah. Namun, tak dapat dipungkiri masih banyak orang
yang mengais rezeki untuk sekedar mengisi perut kendati bahaya
penularan membayang-bayangi mereka.
Kegiatan kerasulan di tengah anak-anak pun turut ditiadakan.
Komunitas pun mulai berwaspada dan mengurung diri agar terhindar
dari penyebaran wabah ini. Lantas, apa yang dapat disumbangkan bagi
karya kerasulan di tengah situasi seperti ini? Barangkali banyak biarawan
ataupun biarawati keder di hadapan situasi seperti ini. Saya pun merasa
frustrasi karena tidak bisa berjumpa dengan rekan-rekan kerja dan anak-
anak yang merupakan objek dari pewartaan itu sendiri. Mereka pun pasti
demikian, kehilangan momen kebersamaan dan sukacita bersama dalam
kegiatan Bina Iman Anak. Virus telah merenggut kebersamaan dan
sukacita itu. Entah sampai kapan ia akan merajalela di bumi ini?
Paus Fransiskus dalam sebuah perayaan Ekaristi medio Maret
2020 mengajak umat kristiani agar berdoa bagi para imam. Ajakkan
itu bertujuan agar para imam memiliki keberanian untuk mengunjungi
mereka yang sakit seraya membawa kepada mereka “kekuatan sabda
Allah dan Ekaristi” dan keberanian untuk menemani mereka yang
berjibaku melayani orang-orang sakit. Dalam dari pada itu, doa menjadi
1k6ekuatan yang dapat menumpas musuAh.d SGaeynatebsedgiiHtuadaanptuasniaPsankdeetimkai
mengikuti doa kebangsaan lintas iman. Ada nilai positif yang bertumbuh
yakni toleransi. Semuanya menyadari berada pada kapal yang sama.
Kapal tengah melewati badai ganas. Kerja sama dan kebersamaan
melampauinya menjadi kunci.
Keberanian sepertinya menjadi pijakan refleksi saya atas
pengalaman kerasulan yang saat ini tengah saya jalankan. Di komunitas
Filsafat, saya mendapat perutusan untuk merasul bersama komunitas
Sant Egidio Mensa, kerasulan di tengah orang-orang miskin yang
semakin dipersulit di hadapan situasi ini. Ada satu pergolakan di dalam
hati saya ketika melihat wajah-wajah mereka. Saya beroleh kenyamanan
di komunitas sedangkan mereka harus berpikir keras untuk mendapat
sesuap nasi. Inilah yang menjadi motivasi dasar saya ingin merasul dan
melayani mereka.
Saya begitu kagum dengan rekan-rekan kerja di komunitas
tersebut yang sudah memulai lebih dahulu pelayanan tersebut. Mereka
memiliki suatu keberanian yang luar biasa dan menjadi teladan bagi
orang-orang yang cenderung memilih berada dalam zona nyaman.
Saya melihat sukacita di wajah mereka dan antusiasme dalam melayani
orang-orang kecil. Bagi saya, mereka sungguh menghayati sabda Yesus
ihwal solidaritas kepada orang-orang kecil. Dalam Matius 25:40, Yesus
berkata “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan bagi salah
seorang yang paling hina ini, kamu melakukannya juga untuk Aku.”
Yesus hadir dalam wajah-wajah lusuh orang-orang miskin, orang-orang
yang lapar, dan mereka yang selalu mendambakan uluran tangan kasih
sesama. Pelayanan mereka memuaskan, setidaknya sedikit, lapar dan
dahaga orang-orang kecil.
Ada seorang warga yang pernah berkata “senangnya bisa makan
enak tiap hari minggu,” seusai menerima tiga kotak makanan untuk
keluarga kecilnya. Dia tampak bersukacita menerima makanan itu dan
bergegas kembali ke rumah untuk menikmatinya bersama keluarga
kecilnya. Dia sangat mensyukuri rezeki tersebut. Benar, orang-orang
kecil dapat menjadi guru kehidupan. Ibu itu mengajarkan saya untuk
selalu bersyukur dan tidak mengeluh. Ada begitu banyak hal yang saya
peroleh dari Tuhan yang patut saya syukuri. Tidak ada sesuatu pun yang
semestinya membuat saya mengeluh dan bersungut-sungut. Tetapi toh,
sikap tersebut tetaplah mewarnai peziarahan hidup saya ketika bersua
AjudraGngenytaensgdicHuraadmapdainhaPdaanpdaenmsiaya. 17
Selain itu mayoritas warga penerima makanan beragama muslim.
Ini menandakan keterbukaan gereja melalui pelayanan Komunitas Sant
Egidio. Pelayanan ini melampaui pelbagai kepentingan dan agama. Kasih
tidak memandang adanya perbedaan. Kasih menyatukan perbedaan
menjadi lebih berwarna. Dialog dan keharmonisan semakin erat ketika
tidak ada syak wasangka di dalam jalinan persahabatan itu. Komunitas
merangkul mereka sebagai sahabat sejati yang hadir pertama-tama dalam
kesulitan dan kerasnya kehidupan. Kehadiran saya pun saya maknai
sebagai kehadiran seorang sahabat yang memancarkan wajah kasih
Tuhan kepada sesama.
Pandemi membuat kegiatan belajar bersama anak-anak
ditiadakan. Kegiatan makan malam bersama pun tidak ada. Seusai
menerima makanan, para warga langsung dipersilahkan kembali ke
rumahnya masing-masing. Momentum spesial ini pun direnggut wabah
ini. pelayanan kami akhirnya sekedar membagikan makanan kepada
mereka. Bagaimanapun saya tetap mensyukuri pengalaman ini. Saya
boleh keluar dan berjumpa langsung dengan mereka. Sebagaimana
refleksi Bunda Teresa, melayani mereka berarti melayani Yesus yang
hadir tersamar di wajah lusuh mereka.
Misi ad gentes menemui rupa-rupa tantangan yang khas di
setiap zamannya. Saat ini pandemi menjadi tantangan pelik. Tak sedikit
misionaris yang telah mendapat perutusan menunda keberangkatannya.
Namun apakah situasi ini harus membuat kita terus mengurung diri
dan hanya menjaga kesehatan diri pribadi? Kita perlu keluar dengan
pemaknaan yang kreatif. Ada yang tetap di rumah, namun ia ‘keluar’
melalui kerasulan via online—menebarkan benih-benih sabda Tuhan dan
setia memeliharanya. Saya bersyukur bisa mengalami kerasulan ‘ke luar’
yang saya jalani saat ini. Bagaimanapun, kehati-hatian dan mawas diri
menjadi prioritas agar tidak membahayakan orang lain dan pelayanan
tetap berlangsung dengan baik.
18 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
XAVERIANITAS
DI SINI DAN
SEKARANG
Fr. Johanes Sarorougot, SX
Filosofan Tingkat II
Saya duduk terdiam di dalam gereja Santo Matius Penginjil
Bintaro sambil menyaksikan konfrater saya yang akan ditahbiskan. Acara
ini dipimpin langsung oleh bapak kardinal. Saya bangga melihat konfrater
saya yang tetap gembira meskipun banyak kursi harus dikosongkan tetapi
tidak mengurangi sukacita yang mereka terima melalui rahmat tahbisan.
Cuaca sangat mendukung, dan hangatnya cahaya matahari senja tentu
menambah semangat yang berkobar-kobar dalam hati setiap orang
hadir dalam pesta. Bagi seluruh umat yang mengikuti acara ini secara
virtual pasti juga merasakan hikmat yang dianugerahkan Tuhan dengan
memandang anak-anak mereka yang akan ditahbiskan terutama keluarga
yang tidak memungkinkan bisa hadir dalam pesta yang sederhana dan
penuh hikmat ini.
Ketika acara tahbisan selesai beberapa teman mengirim pesan
kepada saya. Pesan tersebut menunjukkan betapa bersukacitanya
mereka atas tahbisan tersebut, sekaligus juga mereka merasa ngeri
ketika mendengar ke mana para imam baru ini akan diutus. Merinding,
itu yang mereka rasakan. Bagi keluarga Xaverian momen perutusan
ke tanah misi adalah anugerah karena itulah tugas seorang misionaris
mengutamankan pewartaan kerajaan Allah ke segala bangsa. Maka saya
katakan kepada teman-teman saya bahwa itulah alasannya doa-doa umat
sangat dibutuhkan.
Tugas perutusan kali ini memang tidak akan mudah karena
pandemi. Memang pandemi tidak mengurangi semangat para misionaris
untuk diutus ke tanah misi tetapi situasi sulit ini menuntut kita untuk
tetap rendah hati, sabar, dan tetap berpengharapan. Kita tidak tahu
entah sampai kapan situasi ini akan berakhir. Kali ini kesehatan dan
keselamatan yang diutamakan dengan tetap terus berdoa berharap jalan
untuk sampai ke tanah misi dibukakan oleh Tuhan. Saya juga melihat
kesulitan yang dialami oleh para teologan yang mau teologi internasional.
Ketidakpastian keberangkatan mungkin sedikit menjengkelkan tetapi
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 19
situasi yang memaksa untuk tetap sabar.
Situasi ini mengingatkan saya pada apa yang terjadi dengan Santo
Fransiskus Xaverius ketika ia harus bersabar menunggu kapal yang akan
membawanya ke daratan China. Matanya selalu tertuju ke tanah misi
yang menjadi kerinduan hatinya. Ia terus menunggu dan menunggu
dalam ketidakpastiaan. Apa yang membuatnya harus menunggu sesuatu
yang tidak pasti? Sama, situasi. Mungkin dalam kisah ini kita akan
menyalahkan pedagang yang telah berbuat curang, tetapi siapa yang tahu
apa yang sebenarnya terjadi pada si pedagang tersebut.Artinya, perjalanan
ke tanah misi pun tidak semudah yang kita bayangkan, apa lagi kalau kita
sudah ada di sana bersama mereka yang tidak kita kenal. Kita harus ingat
bahwa semua ini adalah rencana Allah maka kalau mengalami situasi
yang sulit seperti sekarang justru kita semakin memohon kepada Allah
tuntunan atau jalan yang harus kita lalui untuk tetap berkarya sambil
menunggu keberangkatan. Fransiskus tidak meninggalkan doanya
sampai ia wafat. Saya membayangkan bahwa ketika ia tahu bahwa ia
tidak akan sampai ke daratan China, Fransiskus telah memohon kepada
Allah supaya ada yang meneruskan misi ini. Karena ia seorang pendoa
jadi saya percaya doa itu ada.
Kita tidak bisa lari dari situasi ini. Pandemi telah mengacaukan
segalanya. Kita bayangkan kesedihan mereka yang kehilangan keluarga
tanpa pernah melihat keluarganya dikubur, perasaan mereka yang
kehilangan pekerjaan, korban covid19 yang terus meningkat. Maka kita
harus melakukan sesuatu ditempat di mana kita berada saat ini. Kita bisa
memberikan perhatian kepada mereka yang saat ini sedang mengalami
kemalangan yang tak tertahankan. Bisa melalui doa, atau kalau situasinya
masih memungkinkan kita bisa tetap menjalankan karya kerasulan di
tempat di mana kita dibutuhkan. Mungkin tidak harus seperti Fransiskus
yang nekat menjilat borok orang yang sakit. Kita lakukan apa yang
bisa kita lakukan meskipun sederhana karena yang paling diharapkan
orang seperti sekarang adalah sebuah kehadiran. Kalau orang-orang
berkecukupan saja mengalami kesulitan apalagi mereka yang kurang
mampu. Cara hidup berubah maka karya kerasulan kita pun harus
menyesuaikan. Kita harus membuka mata setiap orang untuk melihat
bahwa Tuhan sungguh tidak meninggalkan mereka. Kita berbagi wajah
Kristus yang berbelaskasih kepada semua orang. Tetap tinggal di rumah
bukan berarti tidak melakukan apa pun sama sekali.
Sekarang kita tahu bahwa media sosial sangat berperan penting
dalam karya kerasulan kita saat ini. Media tersebut bisa diakses oleh
20 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
orang-orang di seluruh dunia, untuk itu kita tetap bisa berkarya
mewartakan Kristus kepada segala bangsa meskipun kita tidak beranjak
dari daerah asal kita. Orang-orang yang ada dibelahan bumi lainnya
akan bisa melihat kita melalui sarana media tersebut. Kita bisa saling
menguatkan dengan berbagi pengalaman perjuangan kita melawan situasi
ini, saling memotivasi, saling mendoakan, dan saling mengingatkan
bahwa Tuhan tetap menyertai. Hal ini sangat penting karena bisa saja
orang kehilangan imannya ketika mengalami kesulitan, putus asa, dan
menyimpulkan bahwa Tuhan sungguh telah meninggalkan mereka. Saya
sendiri mengalami bagaimana sekarang ini kegiatan secara virtual sangat
dicari orang karena itu memang menjadi kesempatan untuk bertemu
dengan orang lain. Meskipun kita tidak bisa menyangkal bahwa ada
orang yang tidak peduli dengan situasi ini.
Gereja juga merespon dengan sangat spesifik tentang misi ad
gentes ditengah pandemi covid19. Sekarang tugas kita adalah mendorong
orang yang kebingungan untuk menemukan harapan akan Allah.
Yesus telah menunjukkan bahwa Allah mencintai umat-Nya dan tidak
meninggalkan mereka sendirian dalam penderitaan dengan kehadiran-
Nya sendiri ke dunia. Kita dipanggil untuk datang kepada-Nya. Misi ad
gentes adalah manifestasi dari kata-kata, karya dan sakramen. Gereja
mewartakan kematian Kristus di Kayu Salib, dan kematian yang sangat
menakutkan karena covid19 mengetuk pintu hati kita dalam situasi ini
dan menjadi pengalaman akan Allah yang bangkit dari kematian menuju
kehidupan kekal.
Sekarang kita lihat pengalaman hidup Fransiskus dalam misinya.
Tuhan melakukan banyak mukjizat penyembuhan melalui St. Fransiskus.
Di Malaka ia membangkitkan kembali seorang gadis muda yang tidak
saja sudah mati, tetapi sudah dikubur selama tiga hari. Ibu dari anak
tersebut datang kepada St. Fransiskus dan dengan penuh keyakinan akan
kuasa Allah ia memohon padanya untuk menghidupkan kembali anaknya.
Kagum akan iman ibu tersebut yang baru saja mengimani Kristus, St.
Fransiskus mendengarkan permohonannya. Ia menoleh kepada ibu
ini, meyakinkannya bahwa anaknya hidup, dan menyuruhnya pergi ke
kuburan untuk membuka kuburnya. Ibu itupun pergi dan melakukan apa
yang diperintahkan St. Fransiskus. Dan, ia menemukan bahwa anaknya
sungguh hidup. Kita saat ini tidak bisa melakukan hal besar itu tetapi
kita bisa membangkitkan kembali semangat orang untuk tetap bertahan
hidup, menyembuhkan mereka dari luka putus asa di sini dan sekarang.
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 21
POJOK RENUNGAN
AD GENTES DI
TENGAH PANDEMI
FR. Rafael Rupu Putra Watan Tapun, SX
Filosofan Tingkat II
Awal bulan januari 2020 kita semua mendengar tentang
penyebaran virus corona yang telah memakan banyak korban di Wuhan,
salah satu kota di China. Seturut dengan berita penyebaran virus ini,
pemerintah di beberapa di beberapa negara seperti di Filipina dan
Hongkong juga melaporkan adanya warga mereka yang meninggal akibat
terjangkit virus corona. Pemerintah china kemudian mengklarifikasi
tentang penyebaran virus ini yang dapat terjadi dengan sangat cepat
lewat kontak fisik dengan orang-orang yang terinfeksi virus tersebut.
Benar saja, tidak sampai tiga bulan sejak pertama kali munculnya virus
ini diumumkan, penyebarannya sudah hampir terjadi di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri kasus covid pertama terjadi pada bulan Maret.
Sudah berbulan-bulan yang lalu sejak wabah covid 19 merebak
di Indonesia, seluruh kegiatan mulai dari perkantoran sampai kegiatan
belajar mengajar menjadi tidak menentu, puncaknya adalah ketika
pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan di seluruh
Indonesia dengan tujuan menekan dan memutus penyebaran Covid-19.
Di mulai dengan semua instansi diliburkan selama dua minggu hingga
keluarnya keputusan pemerintah agar segala aktivitas masyarakat
dilakukan dari rumah (work from home). Akan tetapi hingga kini,
penyebaran covid-19 di Indonesia khusunya di Jakarta terlihat belum
akan berakhir.
Seperti yang kita ketahui bersama, Jakarta adalah kota yang
paling parah terpapar covid-19. Hampir setengah kasus covid yang ada
di Indonesia terjadi di Jakarta dan tentunya menelan banyak korban
baik mereka yang harus dikarantina sampai pada korban jiwa. Semua
ini kemudian mengubah wajah kota Jakarta. Jakarta yang adalah kota
metropolitan, yang penuh dengan hiruk-pikuk, mendadak jadi lengang.
Perkantoran dan sekolah-sekolah ditutup, jalanan umum dan jalan
22 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
tol yang biasanya macet menjadi lancar, langit Jakarta pun menjadi
terang-benderang karena kurangnya polusi. Saya sendiri yang melihat
pemandangan ini awalnya merasa aneh, terkadang juga muncul pikiran
apa yang akan terjadi ke depan, hal baikkah yang akan terjadi atau hal
buruk?
Segala sesuatu yang akan terjadi ke depan nampaknya masih abu-
abu. Mungkin satu yang perlu kita ingat di tengah berbagai persoalan
yang serba tidak pasti ini. Sesuatu yang sering kita lupakan. Dia adalah
Tuhan. Ketika menghadapi hal sulit, sebagai seorang beriman, kita perlu
kembali kepada Tuhan karena terkadang ada rencana besar Tuhan untuk
kita umat-Nya melalui wabah covid yang sedang melanda kita saat ini.
Benar, terkadang rencana Tuhan itu sulit kita pahami (Yesaya 55:8-9),
karena itu kita perlu kembali kepada-Nya.
Sebagai seorang Xaverian yang tinggal di Jakarta, tentu Covid
ini juga sangat saya rasakan dampaknya. Seorang Xaverian, yang sejak
dini sudah dikenalkan mengenai ad gentes melalui kegiatan kerasulan di
luar komunitas, covid ini tentu saja menjadi sebuah tantangan. Tinggal
di dalam komunitas dengan jumlah penghuni yang cukup banyak, sekitar
dua puluh orang dan juga ada penghuni yang sudah lanjut usia, membuat
saya mengalami dilema ketika ingin melakukan kegiatan di luar
komunitas. Tentu saja ada keinginan besar untuk mengikuti kerasulan
karena kegiatan kerasulan yang saya lakukan adalah membagikan
makanan kepada orang di jalan yang tentu saja mengalami kesulitan
pada saat pandemi ini. Akan tetapi pada saat yang sama muncul juga
ketakutan jika saya keluar dan mengikuti kegiatan ini dan kemudian
tertular dari orang yang saya jumpai, tentu saja akan berbahaya bagi
komunitas tempat saya tinggal karena saya bisa menularkan virus
kepada orang-orang yang tinggal bersama saya. Saya kira kita semua
akan merasakan hal yang sama, dilema dan cemas berkaitan dengan
karya atau pekerjaan kita dan juga keluarga yang ada bersama kita. Jadi,
jika dilihat hanya sepintas setiap misi yang telah kita jalankan selama ini
menjadi kecil dihadapan suatu persoalan baru yang kita hadapi sekarang
ini yaitu Pandemi covid-19.
Ad Gentes yang Terhalangi
Pada 18 November 1965, Paus Paulus VI meresmikan salah satu
dokumen dari Konsili Vatikan Kedua yaitu Dekret tentang Kegiatan
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 23
Misioner Gereja atau Ad Gentes. Kepada para bangsa Gereja diutus oleh
Allah untuk menjadi “sakramen universal keselamatan untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan hakiki sifat katoliknya, menaati perintah Pendirinya
(bdk. Mrk 16:16), Gereja sungguh-sungguh berusaha mewartakan Injil
kepada semua orang. Sebab para Rasul sendiri, yang menjadi dasar
bagi Gereja, mengikuti jejak Kristus, “mewartakan sabda kebenaran
dan melahirkan Gereja-gereja”. Adalah tugas para pengganti mereka
melestarikan karya itu, supaya “sabda Allah terus maju dan dimuliakan”
(2Tes 3:1), dan Kerajaan Allah diwartakan dan dibangun di mana-mana.
Tahun ini dunia sedang dihadapkan pada masalah pandemi
yang membuat berbagai aspek kehidupan terganggu secara global.
Proses pemerintahan, pertumbuhan ekonomi, bahkan Gereja mengalami
penurunan bahkan bisa dikatakan lumpuh. Misi ad gentes Gereja
yang diutus kepada bangsa-bangsa untuk mewartakan Allah tidak
dapat dilakukan. Bagaimana tidak, hampir semua pemimpin negara
menerapkan PSBB dan mengisolasi diri dari negara lain. Jangankan
untuk pergi kepada bangsa-bangsa, untuk berkumpul bersama dalam
tempat ibadat untuk merayakan Ekaristi saja, sampai saat ini Gereja
masih mengalami kesulitan.
Akan tetapi, pandemi ini juga memberikan suatu warna baru
bagi dunia dan Gereja Universal. Gereja dalam masa pandemi ini, mulai
masuk dalam kehidupan baru dan dalam dunia baru yang selama ini
sudah hadir bersama kita tetapi belum terlalu dirasakan dampaknya oleh
gereja, Internet. Pandemi ini telah membuat banyak hal menjadi berubah,
Gereja yang sebelumnya terkesan kurang bisa menerima hal itu, seperti
menolak misa secara online, sekarang harus menggunakannya agar bisa
tetap menyapa umat. Pandemi telah membuat Gereja berubah. Tetapi
juga menjadi bukti bahwa Gereja sebenarnya selalu berusaha beradaptasi
dan hidup sesuai dengan perkembangan zaman.
Ad Gentes Di Tengah Pandemi
Paus Benedictus XV lewat Maximum Illud yang dialamatkan
kepada para misionaris dan umat katolik di seluruh dunia, telah mengajak
kita semua untuk pergi ke seluruh dunia dan mewartakan injil (bdk. Mark
16:15), tentu saja dengan cara dan keanggupan kita masing-masing.
Sampai dengan saat ini, Paus Fransiskus masih terus menggemakan
spirit tersebut. Beliau mengajak segenap umat Allah,baik imam maupun
24 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
awam untuk senantiasa membangkitkan semangat apostolik-misioner
yang menjadi jiwa dari perutusan Gereja di tengah dunia.
Dalam situasi pandemi ini pun, Gereja telah menunjukkan
bahwa Gereja masih tetap hadir untuk menyapa umat. Gereja masuk
ke dalam kebiasaan baru yang telah dibawah oleh pandemi dan tetap
berusaha menghadirkan Allah untuk senantiasa menguatkan umatnya
dalam situasi sulit ini.Seturut Dengan tindakan Gereja, kita pun sebagai
pengikut Allah diajak untuk senantiasa mampu mewartakan-Nya kepada
orang-orang yang belum mengenal-Nya. Salah satu cara yang bisa kita
lakukan adalah dengan mewartakan Kristus melalui media sosial yang
saya yakin telah kita semua miliki. Melalui media sosial, kita berusaha
untuk mewartakan hal-hal yang baik kepada orang-orang yang kita kenal.
Berusaha membawa kebaikan dan kebahagian bagi sesama seperti yang
kita rasakan ( bdk. Mat.22:39).
Inilah kenyataan yang sekarang ini sedang saya alami di masa
pandemi ini. jadi bukan saatnya untuk menghindar dan bahkan menolak
keadaan ini karena tidak akan merubah apa-apa. Untuk sementara ini
yang bisa saya lakukan adalah hidup berdampingan dengan keadaan ini
dan berusaha untuk berbuat yang terbaik untuk diri sendiri, komunitas,
dan orang-orang yang ada di sekitar kita.
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 25
SEPUTAR JAKARTA
Semangat
Kehidupan dan Iman
dalam Pandemi
Fr. Berthiniano Fidesto Gratias, SX
Filosofan Tingkat II
Tak terasa sudah hampir 10 bulan sejak pertama kali Covid-19
mewabah di Indonesia. Benar, saya tuliskan 10 bulan, yang berarti
dari bulan Maret 2019 sampai bulan Desember 2020, yaitu di saat
anda menerima majalah Warta Xaverian edisi ini. Dari grafik yang
saya lihat (tanggal 15 Oktober dari https://corona.jakarta.go.id/id/data-
pemantauan), saya memperkirakan kita masih, dan terus akan hidup
dalam situasi ini.
Ketika virus ini pertama kali merebak, ada harapan naif dalam
diri saya, yaitu semoga hanya ini problem di Ibu Kota sampai beberapa
bulan ke depan. Harapannya supaya semua orang bisa fokus dalam usaha
memperlambat laju penyebaran virus, baik itu dari pemerintah, maupun
dari masyarakat. Saya tahu betul kalau ini harapan yang mustahil. Saya
rasa kita semua sudah menyadarinya sejak awal, kehidupan tetap harus
berjalan, termasuk dengan semua masalahnya. Masalah akhir-akhir ini
selalu berkaitan dengan mata pencaharian; Undang-undang Cipta Kerja,
PHK, Kartu Prakerja, dan lain sebagainya.
Bahkan sebelum ada pandemi virus, banyak orang masih memiliki
kesulitan dengan biaya hidup. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari di Jakarta tidak rendah. Ketika mengikuti makan siang
Natal bersama Komunitas San’t Egidio, saya ngobrol dengan seorang
nenek. Ia mengatakan bahwa sehari-hari ia bekerja mencari barang-
barang bekas bersama cucunya. Dalam sehari mereka bisa mendapatkan
Rp. 50.000,00. Tidak perlu saya tanyakan, pasti tidaklah cukup untuk
kebutuhan sehari-hari. Syukurlah beliau masih dibantu oleh seorang
anaknya yang sudah bekerja.
Inilah yang membuat saya selalu membayangkan kondisi orang-
orang seperti nenek tersebut. Saya rasa mereka tidak bisa menjalankan
anjuran pemerintah untuk bekerja dari rumah. Kehidupan harus tetap
26 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
berjalan, mereka tetap harus bekerja. Sebelum pemerintah dan kita
semua memikirkan new normal, mungkin mereka sudah menemukan
sendiri makna new normal bagi hidup mereka sendiri.
Apakah masalah yang terjadi selama pandemi ini juga ada
kaitannya dengan penghayatan iman kita sebagai orang Kristiani?
Ketika pemerintah memerintahkan kita untuk tetap di rumah,
hal yang turut terpengaruh adalah mengenai peribadatan. Kita tidak
diperkenankan untuk mengikuti perayaan Ekaristi di gereja. Selama
beberapa minggu kita tidak mengikuti perayaan Ekaristi sama sekali.
Puji Tuhan Gereja mencari alternatif yaitu dengan misa secara daring.
Saya mendengar cerita-cerita dari orang tua dan teman-teman bagaimana
perasaan mereka mengikuti misa secara daring. Mereka sendiri
mengatakan bahwa rasanya sangat berbeda; seperti antara ikut-tidak ikut
misa.
Saya tidak bisa membantahnya. Pastilah diperlukan suatu
adaptasi dari kebiasaan baru ini. Memang ada perdebatan juga. Ada
yang bercerita kalau yang seperti itu bukan misa sesungguhnya, hanya
ibadat saja. Ada juga yang menghayati misa daring seperti misa yang
selama ini kita rayakan. Bagi saya sendiri, langkah beberapa Keuskupan
maupun Paroki-paroki adalah gerakan yang aktif untuk terus menghidupi
semangat iman umat.
Kita bisa melihat kalau apa yang dilakukan oleh nenek yang
saya temui di acara makan siang Natal sama seperti langkah gereja. Ada
nilai yang sama-sama diperjuangkan yaitu kelangsungan hidup. Situasi
yang terjadi di Jakarta, meskipun menuntut kewaspadaan dan ketaatan
yang ketat terhadap protokol kesehatan, tidak dapat memungkiri bahwa
semangat untuk meneruskan yang baik harus tetap dilaksanakan. Bahkan
lebih dari itu, situasi pandemi ini semakin menegaskan bahwa nilai-nilai
yang selama ini kita hidupi dalam masa normal, harus tetap kita hidupi
dalam masa new normal.
Yang membuat saya agak prihatin adalah semangat untuk
menghidupi iman secara terus menerus di masa pandemi. Ketika di awal-
awal masa lockdown, banyak umat yang begitu bersemangat mengikuti
misa daring. Jadi berubah ketika PSBB semakin lama, semakin tidak
jelas kapan selesainya. Hype yang begitu besar di awal, harusnya bisa
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 27
diteruskan sebagai tanda semangat dan perhatian pada kehidupan iman.
Unjuk rasa yang menentang Undang-undang Cipta Kerja di
Jakarta dan kota-kota lainnya setidaknya bisa saya petik sisi positifnya,
yaitu bahwa masyarakat masih memperhatikan kelangsungan kehidupan
bersama. Masyarakat tetap ingin agar kehidupan terutama mata
pencaharian mereka terjamin, terutama dalam situasi sulit seperti
pandemi ini. Itulah sebabnya ketika muncul wacana undang-undang ini,
inti permintaan masyarakat adalah agar undang-undang ini menjamin
kesejahteraan para pekerja.
Nilai semangat inilah yang kiranya bisa kita refleksikan pada
semangat iman kita. Saya tersentuh dengan langkah beberapa Paroki
yang mendirikan fasilitas agar bisa melayani misa daring. Contohnya
Paroki Santo Matius Bintaro yang langsung membuat satu ruangan
khusus multimedia. Gerakan ini adalah contoh semangat memelihara
kehidupan iman di Ibu Kota. Sebagai orang Kristiani semangat untuk
memelihara iman tentu harus disambut baik.
Tentu saja saya tidak menyarankan umat untuk kemudian protes
dan unjuk rasa ke Paroki dengan alasan menunjukkan perhatian pada
Paroki. Kita patut bersyukur berada di Ibu Kota yang memiliki akses
jaringan yang lancar dan sarananya yang mendukung. Memang bukan
saatnya adu nasib dengan umat lain di daerah, bahkan bisa jadi semangat
umat di daerah lebih tinggi. Beberapa lingkungan sudah mengadakan
Rosario daring dan pertemuan daring. Semangat yang sama saya temui
dalam komunitas San’t Egidio yang tetap pergi dalam pelayanan dengan
menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Manusia sejatinya bukan makhluk yang hanya akan diam. Ketika
dibatasi, meskipun demi kebaikan, kita akan tergerak untuk beradaptasi
untuk menerapkan nilai-nilai yang biasa kita lakukan dengan cara
baru. Inilah semangat kita sebagai manusia. Sebagai seorang Kristiani,
pandemi adalah sarana bagi kita untuk semakin menunjukkan kasih kita
kepada sesama, dan menunjukkan bahwa Tuhan bisa berkarya bahkan
dalam situasi sulit sekalipun.
28 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
ENGLISH CORNER
Push To The Limit
Fr. Andreas Wijaya, SX
Filosofan Tingkat I
Ad gentes is something difficult to conduct at a time like this. We,
Christians, are called to spread The Word to the nations, among peoples
or groups who do not yet believe in Christ. For us Xaverian, this is our
only purpose, to spread the Gospel to them who do not yet believe in
Him. However in a difficult time as it is now, a lot of us are forced to
be at home. Many kinds of activity can’t be held. Missionaries, whose
supposed to go oversees on his missions or studies, should stay. A priest
can’t gather His sheeps for the eucharist, sisters and brothers can’t do
any close range apostolic work. It make us to think what are we supposed
to do. What can we do?
On October 18th Christians around the world celebrate Mission
Sunday. On the message of his holiness pope francis for world mission
day 2020, He wrote: ‘In this year marked by the suffering and challenges
created by the Covid-19 pandemic, the missionary journey of the whole
Church continues in light of the words found in the account of the calling
of the prophet Isaiah: “Here am I, send me” (6:8).’ This is an invitation to
keep mission continue. Papa also said this: “Understanding what God is
saying to us at this time of pandemic also represents a challenge for the
Church’s mission. Illness, suffering, fear and isolation challenge us. The
poverty of those who die alone, the abandoned, those who have lost their
jobs and income, the homeless and those who lack food challenge us.
Being forced to observe social distancing and to stay at home invites us
to rediscover that we need social relationships as well as our communal
relationship with God. Far from increasing mistrust and indifference, this
situation should make us even more attentive to our way of relating to
others. And prayer, in which God touches and moves our hearts, should
make us ever more open to the need of our brothers and sisters for dignity
and freedom, as well as our responsibility to care for all creation. The
impossibility of gathering as a Church to celebrate the Eucharist has led
us to share the experience of the many Christian communities that cannot
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 29
celebrate Mass every Sunday.”
This year, i get lucky to be able to run an apostolic work as a
teacher of 5th grade elementary school student. I teach religion with two
others. Unfortunately, as stated before, this pandemic situation make me
have to teach online. I can’t meet my pupils from the very beginning.
So, for me who just started, don’t even know them. Teach online make
me not able to tell if the children listen to my explanation or not. It make
can’t tell if the children do homework or exam by themselves or not.
I’m even more sure to believe that they do it with their parents or worse,
theirs parents do by themselves.
This situation push me to be more creative. I’ve been try many
teaching methods. In the first meeting, i was creating my own ten minutes
video using slides. I founded then it’s too boring and make a lot of the
students admit to being confused. I changed my method by giving them
video of bible story or a good film and also some questions about it to be
answered. In the 5th class, i also tried teaching by chat in class group. I
also threw some questions and offered an additional score. This method
made me able to reach them personally although not all of them.
So, creativity in this situation of difficulty is something needed.
This creativity shows how much our effort to push. We can’t let Covid-19
push our work to spread the love. On the contrary, we should push our
love creatively to the limit. It’s the same situation for everyone. We are in
the same boat facing a storm. We can see that people push their creativity
to survive the storm. A lot of people in spite of their inability to work their
usual job, make money from a posible side job. Therefore, spreading the
love just need the same effort, the same creativity. We can do a lot these
days with so many useful technology.
So how about ad gentes? We can’t go over the sea you said.
Well, it’s true but with the technologies we have, we shall be able to
meet people around the world no matter the distance. Covid-19 has been
breaking through the borders of countries so do we and our love. We
can spread our love without any boundaries. Therefore we should stop
thinking of the limitation and start to think about the posibility. We, the
children of God, are able to do the imposible because for God nothing
is imposible. Ask for the Holy Spirit to help us, to inspire us of what we
have to do for we can do nothing without Him. Amen
30 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
SOPHIA
Manusia; Subjek
Soliter dan
Ubermensch
Fr. Fransiskus Jawa A. Mbiru, SX
Filosofan Tingkat III
“Semua pemikir yang dalam lebih takut dipahami daripada disalahpahami.
Pada kasus yang terakhir, mungkin harga diri si pemikir akan menderita:
tetapi pada kasus pertama, hati dan rasa simpatinya akan mengatakan
tak henti-hentinya ‘Ya ampun, kenapa sih kamu ingin hidup sekeras yang
kualami?”
(Refleksi Nietzsche tentang kesendirian dalam Melampaui Baik dan Jahat) =MBJ § 290
Kini, realitas dunia sedang dalam situasi berbahaya yang
disebabkan oleh pandemi Covid-19. Manusia direpresentasi dalam ruang
dan waktu yang penuh derita dan duka nestapa. Di tengah penderitaan
ini, manusia bermawas diri, bermenung, dan mempertanyakan makna
hidupnya. Social distancing yang ditetapkan pemerintah membawa kita
dalam kesendirian. Di dalam kesendirian itu, kita mulai bertanya kepada
siapakah aku berharap? Atau siapakah yang menjadi sumber kekuatanku
di tengah penderitaan? Apakah aku harus membiarkan diriku tenggelam
dalam penderitaan? Hidupku sungguh-sungguh berubah dari realitas
yang ku jalani sebelum situasi berat ini.
Di tengah penderitaan ini, kita perlu melihat pemikiran seorang
Nietzsche (seorang pemikir soliter). Ada dua bagian yang perlu kita
refleksikan bersama dalam penderitaan ini. Pertama adalah subjek soliter
dan kedua adalah ubermensch.
Manusia sebagai Subjek Soliter
Bagi Nietzsche, setiap orang memiliki kebutuhan untuk percaya.
Kompas, Sabtu,18 November 2017, Yulius Tandyanto menuliskan tipe
manusia lemah dan manusia kuat yang berdasarkan pada buku “Gaya
Filsafat Nietzsche”. Ia menyebutkan bahwa manusia lemah yang
digambarkan Nietzsche sebagai orang-orang yang memiliki kebutuhan
untuk percaya yang sangat besar. Sedangkan tipe manusia kuat, ia
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 31
menggambarkan sebagai orang yang memiliki energi berlimpah dan
berani melepaskan keinginannya akan kepastian. Dengan keyakinan diri,
manusia dapat mengutuhkan dirinya di hadapan tegangan kehidupan.
Sikap subjek soliter melihat dirinya dari kedalaman untuk menemukan
eksistensinya sehingga ia mampu menerima dua tegangan kehidupan
tersebut.
Tajuk rencana, dalam kolom opini Kompas (Kamis, 22 Oktober
2020), menjelaskan bahwa tugas untuk mengatasi pandemi adalah
tugas kita bersama. Kita harus mengikuti protokol kesehatan. Sebagai
umat Katolik, kita mengikuti perayaan Ekaristi melalui virtual dari
rumah saja. Hidup kita berubah. Muncul rasa cemas, gelisah, dan
sedih. Memang hidup ini sungguh menderita. Di dalam penderitaan ini,
manusia sebagai subjek soliter juga tidak perlu mencari pegangan di luar
dirinya. Nietzsche mengatakan bahwa jadilah diri sendiri dengan melihat
nilai-nilai yang besar dalam dirinya. Subjek soliter berusaha untuk
menemukan kedalaman akhir atau dasar dalam dirinya sendiri. Namun,
Nietzsche masih mempertanyakan akan kedalaman akhir atau dasar dari
kedalaman tersebut. Pertanyaan tersebut yang akhirnya membuatnya
berani mengatakan bahwa verbalisasi (pengataan) kedalaman tidak akan
pernah mengatakan kedalaman itu sendiri. Dengan demikian, subjek
solilter terus bermeditasi dalam hidupnya di dunia ini dalam menemukan
jawaban atas realitas.
Dalam upaya menjadi diri sendiri dengan melihat dirinya
sebagai sumber nilai, manusia tidak terlepas dari kehendak kuasa.
Definisi kehendak kuasa Nietzschean menunjukkan bahwa kehendak
adalah sebuah gerak affectional, sebuah Affekt des Kommandos. Affect
dan Kommandos merupakan dorongan dari dalam diri manusia yang
menuju ke permukaan di mana telah berhasil melewati situasi teruji
dan melibatkan tubuh, pemikiran, dan seluruh ragam sentimen dalam
diri manusia. Kehendak kuasa Nietzschean adalah sebuah cara berpikir
yang tidak memaksa. Kehendak kuasa dilihat dalam pengalaman atau
aktivitas kita yang bergerak tanpa tenggelam dalam kata atau konsep.
Manusia tidak boleh memaksa suatu realitas untuk berubah sesuai
dengan apa yang dia inginkan. Manusia harus menyadari eksistensinya
dan hakikatnya sebagai manusia yang memiliki nilai yang lebih tinggi.
32 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
Manusia Ubermensch
Warta kematian Tuhan, merupakan seruan Nietzsche karena
melihat realitas dunia di mana manusia selalu berteriak mencari Tuhan.
Dalam penderitaan, manusia mencari pegangan sebagai kekuatan dalam
dirinya. Akan tetapi, Nietzsche mengatakan bahwa kepercayaan manusia
itu tidak ada. Tuhan sudah mati kata Nietzsche. Namun, Nietzsche tidak
pernah mengatakan bahwa “aku telah membunuh Tuhan”, melainkan
“kita telah membunuh-Nya”. Semua kata, konsep, rasio atau idea, bagi
Nietzsche tidak bermakna apa-apa (tidak ada). Nietzsche lebih percaya
pada realitas yang tersingkap yaitu diri manusia itu sendiri.
Doktrin Ubermensch terdapat dalam Thus Spoke Zarathustra
dan The Gay Science yang merupakan karya Nietzsche. Nietzsche
menampilkan diskursus-diskursus eksistensialisme berdasarkan pada
realitas hidup manusia yang dihadapkan pada kebebasan, kematian, rasa
takut-cemas-khawatir, penderitaan, dan idea manusia. Eksistensialilsme
Nietzsche merupakan penghayatan yang nyata dari kehidupan manusia.
Manusia adalah sesuatu yang harus dilampaui manusia yang mengatasi
dirinya dan berkedudukan sebagai manusia unggul (bdk. Kaufmann,
1950:272). Ubermensh mengandung arti sebagai manusia yang menilai
dirinya sebagai sumber nilai. Manusia ubermensch harus kuat, berani,
tegar, dan cerdas terutama dalam menghadapi penderitaan.
Pembahasan mengenai subjek soliter dan ubermensch, Nietzsche
sebenarnya mengajak manusia untuk mengenal diri sendiri lebih
mendalam. Cara yang tepat adalah menerima realitas hidup (bahagia
dan derita) dan melakukan penghayatan atasnya. Jangan tenggelam
pada ketiadaan atau kekosongan melainkan harus melampauinya. Ia
harus menyadari dirinya betapa ia memiliki nilai-nilai yang lebih tinggi.
Dengan demikian, dalam penderitaan itu pun manusia dapat menyadari
bahwa ia memiliki makna hidup.
Dalam penderitaan, justru subjek soliter dapat menemukan
kekuatan dari dalam dirinya sendiri. Kepercayaan Nietzsche pada
realitas yaitu diri manusia itu sendiri karena manusia memiliki nilai-
nilai yang tertinggi yang bersumber dari kedalaman manusia. Memang
nilai-nilai tertinggi yang dijunjung Nietzsche adalah nilai-nilai vital.
Namun ketika melihat lebih jauh bahwa nilai-nilail itu bersumber dari
kedalaman diri manusia. Nilai-nilai yang tertinggi itulah yang menjadi
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 33
kekuatan manusia. Dengan kata lain, Nietzsche sebenarnya tidak mau
melihat manusia hanya berteriak untuk mencari pegangan akan sesuatu
yang tidak bermakna. Bermawas diri untuk menemukan eksistensi dan
mengisi kekosongan dengan mengubah hidup menuju hidup baru. Itulah
manusia ubermensch.
Ubermensch merupakan manusia yang melampaui. Dalam
merefleksikan kematian Tuhan, Nietzsche sebenarnya mengajak kita
untuk menjadi pribadi yang berani, kuat, dan cerdas. Artinya, kita mampu
menciptakan sesuatu yang baru atau menemukan horizon baru di tengah
penderitaan ini. Dari dalam diri manusia ada daya atau energy positif
yang melimpah. Di dalam keber-ada-annya sebagai ubermensch, manusia
bertindak atas dasar energy positif yang melimpah (bakat/talenta).
Manusia ubermensch melakukan sesuatu yang positif dan bernilai tinggi
karena apa yang dilakukannya itu baik tanpa mengharapkan ada sesuatu
yang baik di masa yang akan datang. Nietzsche mengajak kita untuk
berbuat sesuatu yang positif dan bernilai baik pada saat sekarang. Dengan
demikian, manusia disebut subjek soliter dan ubermensch.
Sumber :
Setyo, A. Wibowo. Gaya filsafat Nietzsche. Yogyakarta: PT Kanisius, 2017.
Magnis, Frans Suseno. Menalar Tuhan. Yogyakarta: PT Kanisius, 2006.
34 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
KISPEN
Antara dia dan Dia
Fr. Marselus Masterdam, SX
Filosofan Tingkat II
Jatuh cinta untuk pertama kalinya memang terasa aneh dan selalu
membuat jantung kita berdetak begitu kencang dan tidak karuan. Setiap
insan yang masih memiliki rasa, pasti mengalami apa yang dinamakan
cinta pertama. Tetapi, kadang-kadang ada juga yang merasa bingung
dengan hal ini, khususnya mengenai kapan rasa itu disemai, kapan
bertumbuh menjadi benih yang siap untuk ditanam dan pada akhirnya
berbuah.Ada yang bilang bahwa cinta muncul karena memiliki kesamaan,
karena chemistry, ada juga yang bilang bahwa cinta muncul karena
ada rasa belas-kasihan. Tetapi, bagiku cinta muncul karena keseringan
berjumpa, atau karena pertemuan yang semakin intens. Silakan simak
cerita cintaku berikut ini.
Flora adalah nama seorang gadis di sekolahku, dia adalah adik
kelasku. Orangnya lumayan cantik, lumayan tinggi (lebih tinggi dariku),
kutu buku, setiap kali aku berkunjung ke Purpustakaan, pasti selalu ada
dia, dan berdasarkan kesaksian dari teman-temannya dia termasuk orang
yang lembut dan baik. Yang namanya adik kelas, pasti dia kurang terlalu
mengenalku atau bahkan tidak mengenalku sama sekali, begitupun aku
sebagai kakak kelasnya, hanya memandang dia dari kejauhan, kadang
berpapasan, tetapi itupun jarang.
Setiap hari Jum’at jam terakhir, aku dan teman-teman sekelas
mengikuti pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (PENJASKES).
Biasanya dalam mengikuti pelajaran ini, teori jarang kami peroleh,
karena lebih banyak turun ke lapangan untuk praktek. Aku tidak
tahu apakah ini suatu kejadian atau momen yang dibuat sengaja, atau
merupakan suatu kebetulan. Flora dan teman-teman kelasnya juga
mengikuti pelajaran yang sama (PENJASKES) seperti kelasku, tetapi
gurunya beda. Selama mengikuti pelajaran yang sama ini, praktisnya
aku dan dia sering bersua, tak jarang juga kami saling beradu pandang,
dan pada akhirnya berkomunikasi. Ketika mendapat rambu-rambu
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 35
darinya, aku memutuskan untuk mencoba mengenalnya secara lebih
dekat. Karena keseringan berjumpa, akhirnya benih-benih cinta antara
kami berdua mulai tumbuh. Semakin hari hubungan kami semakin
dekat dan akrab, aku memutuskan untuk mengungkapkan isi hatiku
kepadanya, dan pada akhirnya kami jadian. Setelah berpacaran dengan
dia, aku melalui hari-hariku dengan penuh senyuman dan ceria, banyak
pengalaman yang aku ukir bersamanya, bahkan aku sering mendapatkan
kata-kata motivasi dan semangat darinya, sehingga membuatku semakin
semangat dalam belajar, dan aktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan
di sekolah. Tetapi, semakin lama aku merasa ada suatu hal yang kurang
dalam hidupku, kebahagiaan yang aku peroleh bersama dia nampaknya
bukan lagi kebahagiaan yang nilainya lebih tinggi, ada kebahagiaan lain
yang nilainya lebih tinggi yang masih aku cari keberadaannya saat itu.
Setelah sekian lama aku mencari, akhirnya aku menemukan
kebahagiaan itu. Kebahagiaan itu aku temukan ketika aku berkumpul
bersama teman-teman untuk mengikuti acara promosi panggilan yang di
buat oleh sebuah Serikat Missionaris. Aku memutuskan untuk mengikuti
apa kata hatiku dengan mendaftarkan diri untuk masuk serikat tersebut.
Keputusan ini aku ambil tanpa sepengetahuannya, bukan karena aku
ingin meniru St. Yosep yang ingin sembunyi-sembunyi darinya, tetapi
lebih karena aku tidak ingin membuatnya sedih dan menangis. Setelah
aku selesai ikut test masuk dan dinyatakan lolos, hari demi hari kembali
berjalan normal, tetapi kali ini aku lebih sering menghindar darinya.
Karena curiga dengan sikapku, akhirnya ia (Flora) memutuskan untuk
pergi menemuiku di kelas, ia mulai menginterogasiku, mengenai apa
alasan saya sehingga menghindar darinya. Karena tidak ingin membuatnya
penasaran, akhirnya aku menceritakan semuanya kepadanya. Tanpa
aku sadari, ternyata sambil mendengar penjelasan dariku air matanya
jatuh membasahi pipinya. Aku memutuskan untuk menyeka air matanya
dengan menggunakan sapu tanganku, aku bergumam kepadanya “Flor
(panggilan kesanyanganku untuknya) kamu jangan bersedih, maafkan
aku karena tidak memberitahumu mengenai keputusanku untuk masuk
biara, tetapi semuanya aku kembalikan kepadamu, kalau kamu merestui
keinginanku ini, aku akan pergi, tetapi kalau kamu ingin agar aku
tetap berada di sampingmu, aku akan tinggal.” Sambil menggosok air
matanya yang masih tersisa, dengan nada lirih, ia berkata kepadaku “Aku
tidak akan menghalangi niat baikmu, pergilah, aku akan selalu berdoa
untukmu, semoga kamu berhasil dalam menggapai cita-citamu yang
36 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
mulia ini.” Setelah mendengar perkataan ini, aku langsung merangkulnya
sambil membisikan ucapan terima kasih kepadanya.
********
Setelah di biara, bunyi bel membangunkan aku dari lamunan,
aku bergegas menuju sumber bunyi, yaitu gerbang masuk, eh ternyata si
tukang pos yang datang mengantar surat.
Dear Fr.
Siang Frat, apakah Frater masih kenal dengan aku? maaf ya
apabila kedatanganku melalui surat ini dapat menganggu aktivitasmu.
Kedatangan suratku ini hanya ingin menanyakan bagaimana keadaan
frater sekarang, aku harap frater baik-baik saja, dan semoga
panggilannya tetap tumbuh subur. Oh ya frat, aku mau memberitahumu
bahwa tidak lama lagi aku akan wisuda, jangan lupa berdoa untukku
semoga segalanya berjalan lancar. Aku sebenarnya ingin mengundangmu
untuk hadir dalam acara wisudaku nanti, tetapi aku tahu kamu pasti
sibuk. Aku tunggu undangan tahbisannya.
Salam, Flora
********
Keputusan yang paling sulit dalam urusan cinta adalah ketika
kamu harus memilih antara tetap bertahan atau harus pergi dan
meninggalkannya. Tetapi, meskipun begitu janganlah takut untuk
menjadi insan pencinta, karena kita semua terpanggil untuk mencintai
semua orang. Pergilah, dan pilihlah pilihan hidup yang sesuai dengan
kata hatimu, dan yang dapat membuat engkau bahagia dan bersukacita,
aku yakin orang yang kamu cintai akan merelakan engkau pergi, karena
orang yang engkau cintai juga ingin melihat orang yang dia cintai
bahagia.
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 37
SAJAK SAJA
Cahaya Pengharapan
Stanislas Fritz Prasetyo, Pranovis
Ku masuk dalam ruang gelap nan luas
Tidak ada yang dapat ku lihat
Kaki dan tangan pun tidak dapat ku lihat
Terasa sesak oleh bau-bau yang tak sedap
Sedikit berjalan, ku terantuk pada sebuah meja
Di atasnya ada sebuah lentera tua dengan alat pemantiknya
Segera aku menyalakan lentera itu
Segera pula lentara itu menyala
Cahaya yang memancar sangat besar
Aku dapat melihat dengan jelas sekarang
Senang rasanya
Tapi.……..
Keteledoran ku membuat cahayanya menjadi redup
Bukan lagi cahaya yang besar
Melainkan cahaya yang kecil
Perlahan ku melangkah
Dengan sangat hati-hati
Ku sadari ujung ruang terasa sangat jauh
Dan debu terasa sangat mengganggu hidung
Harapanku hanya pada cahaya kecil
Dari lentera di tangan
Berjuang mencari apa yang menjadi tujuanku disini
Waktu terus berlalu dan aku pun mulai putus asa
Kulihat cahaya kecil itu yang setia menemani
Seolah-olah berkata “jangan putus asa”
Mulai lagi mencari dan aku temukan apa yang menjadi tujuan
Ku sangat berterima kasih pada cahaya kecil ini
Bersama dia ku temukan apa tujuan
Tak sia-sia aku berharap padanya
Karena cahaya itu adalah Allah ku – Allah yang Besar.
“In te Domine speravi, non confundar in aeternum”
“Kepada-Mu aku berharap ya Tuhan, aku tak akan dikecewakan selamanya”
38 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
Semangat Ad Gentes
Felix Ega Ramjavin, Pranovis
Merdunya kidung ayah oleh Ebiet Gade
Menambah syahdunya perasaanku
Mengingat segala kisah kasih dan sejarah hidupmu
Santo Guido Maria Conforti
Diam, dan rasakan debaran jantung
yang sedang kurasakan
Saat kau ulurkan tangan untuk menolongku
Kepakkan sayapmu, tuk membawa aku terbang
Luka yang tersisa luruh dalam dekapmu
Pernahkah kau terjatuh dalam sukarela?
Engkau singsingkan lengan bajumu
Menyongsong hari dengan seutas tenaga
Terik matahari menjadi menu harianmu
Hujan dapat dibilang teman perjuanganmu
Meskipun sering mengalami kesulitan dan rintangan
Kucoba telusuri lorong-lorong gelap
Antara ada dan tiada
Di tengah suasana masa pandemi
Ke mana….
Bisikku dalam hati
Dulunya langkah kaki begitu leluasa
Menghampiri niat yang direncanakan
Kini semuanya diam….
Seperti patung yang tak bergerak
Kucoba rileks
Menahan gejolak jiwaku
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 39
DIALOG ANTAR AGAMA
Dialog Kemanusiaan
Dalam Sentralitas
Dan Bingkai Kasih
Ilahi
Fr. Yosep Sepis Jandung, SX
Filosofan Tingkat II
Secarik Citra Realitas
Rasio manusia mengakui bahwa realitas kemanusiaan selalu
memberi tantangan dan peluang ekses kemajuan atau kemundurannya.
Kenyataan ini meminta manusia untuk jeli melihat fakta dan menerap-
kan sikap yang komprehensif, aktual, serta relevan dalam setiap masa
dan situasinya. Dalam konteks tulisan ini, kehidupan pluralitas Indonesia
secara khusus dilihat dan menjadi basis penilaian komprehensif, aktual-
isasi, dan relevansi motto para Xaverian, “Menjadikan dunia satu kelu-
arga”. Menyoal fakta ambivalensi agama dan aliran kepercayaan, dalam
hal ini ajaran, komunitas, dan sejarah yang bisa digunakan sebagai sum-
ber aksi-aksi kekerasan maupun bina damai, Xaverian melihatnya se-
bagai tantangan dan peluang menyebarkan kasih Kristus dan menjadikan
dunia satu keluarga. Xaverian melihat pentingnya memahami fundamen
etis dari prinsip dan ajaran dalam setiap agama dan aliran kepercayaan.
Dalam terang Kristus dan mottonya, Xaverian bergulat dalam problem
kemajuan atau kemunduran kemanusiaan yang diasumsikan sebagai ba-
gian integral dari manusia beriman.
Sejarah indonesia mencatat adanya konflik besar agama yang
berlangsung antara 1998 dan 2003 atau 2005, dan, kita bersyukur
kemudian, tidak ada lagi hingga sekarang. Akan tetapi konflik-konflik
berskala kecil terus terjadi di wilayah pasca konflik. Kita mengakui bahwa
intervensi negara cukup efektif dalam mencegah konflik berskala besar
tetapi belum berhasil mengatasi akar-akar masalah yang menjadi sumber
konflik kekerasan. Definisi agama yang kurang terbuka, kebebasan versus
kerukunan dari perspektif mayoritas realitas, diskriminasi atas kelompok
minoritas realitas, politisasi agama, terorisme, ujaran kebencian, dan
rekayasa kebencian, serta ketersinggungan yang didukung konotasi
40 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
pemaknaan demokrasi menjadi indikasi. Demokrasi berimplikasi
ganda, menjadi arena baik untuk ekspresi kebebasan maupun ekspresi
lawannya, ekstremisme. Meski demikian, tantangan dan peluang kita
adalah demokrasi. Demokrasi adalah pilihan terbaik dari yang terburuk
menurut Romo Magnis Suseno. Ada dilema munculnya problem,
tetapi masalah demokrasi harus diatasi secara demokratis pula. Semua
fakta ini jelas menjadi bahan pertimbangan yang relevan bagi konsep
persaudaraan sejati para Xaverian yang percaya bahwa rasa persaudaraan
dan kekeluargaan tertanam dalam setiap sanubari personal.
Rekan atau Serigala Bukan Dideterminasi
Manusia adalah rekan bagi sesamanya. Semboyan ini telah
dieksplisitkan sejak Zaman Yunani oleh para pemikir filsafat zaman
itu dan menurut saya masih sangat relevan hingga saat ini. Merupakan
kesadaran bahwa sesama bukanlah saingan yang saling menyerang dan
menjatuhkan melainkan rekan sejawat yang saling menolong dalam
bertumbuh dan berkembang untuk menjadi semakin lebih baik dari hari
ke hari. Manusia terarah pada yang baik dan selaras dengan itu manusia
juga selalu menginginkan yang terbaik untuk pribadinya. Kesadaran ini
mengindikasikan bahwa sejatinya kita semua menghendaki kebaikan.
Terlepas dari rasa cinta dan setia kepada kelompok, agama, dan latar
hidup, manusia sejatinya tercipta untuk mencintai dan setia kepada
kemanusiaannya. Meski demikian, semboyan dan argumen ini bukan
tanpa tantangan nyata. Perspektif lain justru menganut semboyan negasi
ekstrem, “manusia adalah serigala bagi sesamanya.”Argumen ini berpijak
pada realitas kehidupan yang seringkali memperlihatkan manusia yang
saling menyakiti, saling menyingkirkan, dan bahkan saling meniadakan
dengan dalil egoistik seperti ras, agama, atau perbedaan keyakinan, dan
diasumsikan dikehendaki oleh Yang Absolut.
Kenyataan hidup manusia memang seringkali mencitrakan dua
fenomena dan dinamika seperti yang dirangkum oleh dua semboyan itu.
Meski demikian, pertama-tama yang perlu disadari pula ialah kenyataan
bahwa manusia yang menentukan perealisasian dari dua semboyan tadi.
Sedikit instingtif tentu saja ada; tetapi bahwa dengan penuh kesadaran
manusia menentukan sikap dan pilihan perealisasian diri sangatlah jamak
serta pada umumnya terjadi. Begitu pula, bersosialisasi dengan cinta
kasih atau melakukan imperialisme kepada sesama tidak bisa dipungkiri,
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 41
selalu dalam kesadaran penuh sebagai pribadi yang berkesadaran dan
mampu berpikir. Manusia secara terberikan memiliki akal dan hati yang
mampu bahkan secara mendasar mengarahkan kita kepada yang baik.
Tetapi, kita juga manusia yang terberikan bebas berkehendak. Manusia
mengambil pilihan menjadi pribadi yang mengoptimalkan kesadaran
dan perealisasian sebagai rekan atau serigala tergantung manusia itu
sendiri sebagai persona yang independen dan berakal. Berdasarkan
kesadaran ini, dan terinspirasi dari pertanyaan etika tentang apa yang
seharusnya dilakukan dan apa yang boleh kita harapkan sebagai manusia,
munculah suatu ide optimis yang seyogyanya mengamini semboyan,
manusia adalah rekan bagi sesamanya yakni dialog.
Dialog Xaverian dan Visi Kekeluargaan
Para Xaverian menghendaki kekeluargaan yang luhur dan untuk
semua. Motto yang selalu disodorkan oleh para Xaverian, “menjadikan
dunia satu keluarga”, selalu komprehensif dan aktual dalam segala masa
dan situasi. Motto yang sama kemudian secara eksplisit dipraktikkan
Komunitas Skolastikat Xaverian Cempaka Putih, Jakarta, dengan
mengadakan program “Dialog Lintas Iman” rutin setiap dua bulan sekali
selama satu tahun ajaran dengan mengundang pembicara dan peserta
dari lintas agama (selama pandemik, dialog pasif, mengikuti webinar
dialog lintas iman). Dialog berpretensi memberi tempat bagi perjumpaan
Katolik dan Islam, akan tetapi beberapa tema terkait agama lain seperti
Hindu, Buddha, Parmalim, denominasi Kristen dan aliran kepercayaan
lainnya juga ada untuk menambah keluasan perspektif dan pengakuan
kemajemukan agama dan kepercayaan di Indonesia. Tema yang diangkat
biasanya terkait ajaran-ajaran agama atau aliran kepercayaan dan
mengenai ‘agama dan dampak sosialnya’.
Jelas tujuan yang ingin dicapai dari acara dialog ini yakni
memberi ruang atau alternatif lain dalam hidup beragama yang rata-rata
eksklusif dan kurangnya penghargaan dan pengakuan. Penghargaan dan
pengakuan tidak mungkin terjadi tanpa mengenal yang hendak dihargai
dan diakui. Rasa kemanusiaan kita secara instingtif meminta kita untuk
saling mengakui. Semua itu bisa dimulai dengan saling mengenal
dan memahami. Pepatah lama, “Tak kenal maka tak sayang,” relevan
untuk dipikirkan dalam realitas bersama. Tidak bisa dipungkiri, saling
mengenal dan memahami hanya bisa terealisasi apabila perjumpaan dan
42 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
dialog dilakukan dalam sikap terbuka memaknai diri dan sesama sebagai
manusia yang manusiawi serta bersentralisasi kasih Ilahi. Secara khusus
dalam konteks yang lebih kecil, di Indonesia ini, kesadaran untuk saling
berjumpa, berbicara, dan saling mendengarkan antar penganut agama
atau kepercayaan sangat diperlukan untuk membangun sikap inklusif,
terbuka, dan toleran. Secara rasional kita sadar, justru karena kita hidup
dalam konteks masyarakat yang majemuk, kita seyogyanya berhasrat
untuk saling menghargai dan mengakui. Kita memiliki hasrat untuk
dihargai dan diakui dan itu bisa terwujud dalam pribadi yang saling
menghormati dan mengakui. Jelas, relasi resiprokal mutlak ada.
Prospek Relevan
Kita butuh usaha dan kolaborasi untuk menciptakan realitas
menghargai dan mengakui itu. Manusia adalah rekan bagi sesamanya.
Meskipun dogma dan pemahaman dengan latar belakang agama berbeda,
tidak menjadi penghalang bagi kita untuk menjadi rekan bertumbuh dan
berkembang sebagai manusia yang dicintai oleh Allah. Kemanusiaan
kita akui bersama dan kemanusiaan itu tidak terlepas dari cinta yang
mendalam kepada Allah. Menemukan kesamaan dan kolaborasi ide
yang saling mengoptimalkan kemanusiaan kita dalam terang kasih Allah
bukan suatu pengkhianatan kepada kemanusiaan melainkan sebaliknya
mengangkat kemanusiaan itu menjadi kemanusiaan yang ilahi, yang
dipenuhi dengan kekeluargaan sejati. Kekeluargaan sejati bagi yang
beriman merangkumi rasa kemanusiaan dalam sentralitas dan bingkai
kasih Allah yang menganugerahkan kemanusiaan itu kepada manusia.
Harapan yang hendak dicapai kemudian tentu bukan hanya sebuah
konsep berharap melainkan hidup kekeluargaan tanpa prasangka dalam
realitas harmoni yang saling menghargai, menghormati, dan mengakui
keunikan masing-masing. Jelas tersirat pesan penting dari pernyataan
menghargai, menghormati, dan mengakui keunikan masing-masing ini
yakni dalam pergaulan dan relasi resiprokal dengan latar belakang yang
berbeda tentu ada batasan dan esensi yang harus diperhatikan. Batasan
ini penting untuk menjadi penjaga penyamarataan yang tidak relevan
sebagai manusia yang unik. Batasan yang tidak jelas justru pada akhirnya
adalah tidak mengindahkan keunikan itu sendiri dan saling menyalahkan
lantaran tidak sama. Tentu saja harapan kita bukan seperti itu, melainkan
suatu bentuk perealisasian cita-cita kemanusiaan yang sama yakni
memanusiakan manusia supaya semakin manusiawi.
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 43
INFORMATIF
Gereja Menutup
Mata?
Fr. Firminus Bonitra, SX
Filosofan Tingkat II
Berbicara mengenai misi tidak terlepas dari berbicara mengenai
perutusan. Sebab kata misi itu sendiri berasal dari bahasa Latin
“missio” yang berarti mengirimkan atau mengutus. Paus Yohanes
Paulus II dalam Ensiklik Redemptor Hominis menuliskan, “Misi berarti
usaha melintasi rintangan-rintangan dari Gereja kepada non-Gereja
untuk memproklamirkan Injil dalam kata dan karya.” Pertanyaannya,
“Bagaimana misi ini dijalankan di tengah pandemi covid-19?” Masa
pandemi covid-19 menjadi masalah yang dihadapi oleh dunia hingga
saat ini. Segalanya berubah terutama dimensi kedalaman hidup manusia.
Mulai dari yang kelihatan, misalnya menjaga kebersihan
hingga yang paling terdalam, yaitu soal hati. Banyak orang yang saling
memerhatikan, berbela rasa, peduli, dan tidak egois. Artinya semakin
banyak orang menyadari dan membuka hatinya untuk orang lain dan
memandang sesama sebagai ciptaan yang patut dihargai, dicintai dan
dikasihi. Hal inilah yang dapat penulis lihat bahwa tugas manusia
pada umumnya memang mesti saling menghargai, menghormati dan
mencintai seperti mencintai diri sendiri.
Menjalani misi dalam situasi ini memang suatu tantangan
yang dihadapi Gereja sebab pelayanan sakramental dan pelayanan
lainnya tidak seperti lazimnya dilakukan. Pastor Yohanes Don Bosko
Bakok, SVD menerangkan suatu cara yang selama ini belum maksimal
diperhatikan. Ia mengatakan, “Tujuan awal misi adalah mewartakan
iman kepada orang Kristiani dan non-Kristiani. Iman tidak harus disebar
hanya melalui homili, katekese, sharing Kitab Suci, tetapi juga lewat
kesaksian hidup dalam menjalankan tugas.”
Senada dengan ungkapan ini, Mgr. Sutrisnaatmaka mengatakan,
“Di tengah pandemi kita tidak sekadar memberi pengertian kepada
masyarakat tentang bahaya covid-19. Kita harus memberi contoh dengan
44 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
pakai masker, jaga jarak, cuci tangan dan sebagainya.” Hal ini menjadi
sangat jelas bahwa menjalankan misi mesti beriringan kata-kata dengan
tindakan. Dan pewartaan bukan melulu soal berkhotbah, melainkan
bagaimana aksi nyata yang bisa dilihat dan dirasakan oleh orang yang
ada di sekitar.
Menanggapi pandemi covid-19, Mgr. Samuel Oton Sidin,
OFMCap menulis, “Inilah panggilan Gereja, hadir dan terlibat dalam
situasi kehidupan umat yang menderita sebagaimana yang ditunjukkan
Yesus.” Mgr. Samuel begitu prihatin dengan situasi ini sehingga beliau
banyak menggerakkan umatnya agar tetap bersolider dengan sesama.
Contoh gerakannya yaitu, menanam tanaman-tanaman, lalu hasilnya
dibagikan kepada mereka yang membutuhkan.
Sementara itu, paus Fransiskus mengajak Gereja atau umat
Allah untuk senantiasa mendoakan segenap umat manusia di dunia
ini, “Mari kita tetap bersatu. Mari kita rasakan kedekatan kita dengan
orang-orang yang paling kesepian dan sedang berusaha. Di masa-masa
sulit ini, sementara umat manusia bergetar karena ancaman pandemi,
saya ingin mengusulkan kepada semua orang Kristen agar bersama-
sama kita mengangkat suara kita ke surga.” Tegasnya. Paus Fransiskus
melanjutkan, “Misi yang dipercayakan Tuhan kepada kita masing-
masing membawa kita dari rasa takut dan introspeksi kepada kesadaran
baru bahwa manusia menemukan dirinya ketika ia memberikan diri
kepada orang lain.”
Di situasi ini, para frater Xaverian, selain mendoakan dunia,
ikut membantu sahabat-sahabat San’t Egidio terjun kelapangan untuk
membagikan makanan kepada orang-orang yang membutuhkan. Dan
masih banyak lagi gerakan-gerakan yang Gereja lakukan sebagai
bentuk pewartaan. Hal ini sangat jelas bahwa Gereja tidak menutup
matanya untuk melihat dan memandang sesama sebagai ciptaan yang
paling sempurna dan patut dihargai dan dicintai seperti Allah mencintai
umatNya.
Selain itu, situasi ini memaksa manusia untuk bertolak ke hal-
hal yang lebih mendalam perihal media digital. Banyak orang yang
berselancar untuk mencari dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan
secara cepat dan mudah. Tidak hanya itu, media ini juga menjadi wadah
untuk menjalin relasi dengan orang-orang yang jauh menjadi dekat. Hal
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 45
demikian patut disyukuri. Mengikuti perkembangan zaman ini, penulis
bertanya, “Bagaimana Gereja menanggapi hal ini?”
Melihat kenyataan sekarang, pelayanan-pelayanan dalam Gereja
secara tatap muka memang tidak dilaksanakan. Ini semua demi menjaga
kesehatan setiap umat Allah dan mengurangi angka penularan covid-19.
Perayaan ekaristi, pertemuan-pertemuan di gereja dan kunjungan
pastoral ditiadakan atau dibatasi untuk orang dalam jumlah kecil saja.
Media digital yang selama ini jarang dipakai, kini justeru menjadi alat
utama untuk mengikuti aktivitas kerohanian. Kenyataan ini memang
tidak terbantahkan. Gereja menanggapi dengan cepat peralihan ini
dengan menyesuaikan diri agar penyebaran injil ke seluruh dunia tetap
aktif.
Paus Fransiskus menanggapi hal tersebut dengan mengatakan,
“Dalam jaringan sosial kita selalu dan dalam hal apapun bertemu dengan
orang lain yang bahkan jika tidak kelihatan, tetaplah nyata.” Nampaknya
paus Fransiskus mengimbau umatnya agar umatAllah bisa memanfaatkan
media komunikasi untuk tetap menjalin relasi yang baik dengan setiap
orang, memperkenalkan wajah Kristiani melalui cara bertutur kata yang
baik dalam media digital.
Seruan bapa suci ini disambut baik oleh kaum muda. Mereka
memperkenalkan iman Katolik dengan berani melalui media digital.
Salah satunya Herlina—pemudi dari paroki st. Theresia Menteng—
menggunakan akun instagramnya sebagai ajang penyebaran iman
Katolik. Ia mengajak orang-orang yang ada di akunnya untuk mengirim
intensi agar didoakan. Ia mengaku, “Banyak orang yang ikut mengirim
intensi dan mengsharingkan pergulatannya bahkan dari orang yang
tidak saya kenal. Tindakan ini suatu tindakan yang menantang karena
ada orang yang bertanya tentang iman Kristiani.” Paus Fransiskus juga
mengungkapkan, “Kita berada di dalam perahu yang sama, kita semua
rapuh dan tidak tahu arah, akan tetapi pada waktu yang sama penting
dan perlu, kita semua dipanggil untuk mendayung bersama, kita masing-
masing perlu saling menghibur.”
Gerakan ini tentu menumbuhkan tanggapan positif dari umat
Allah lainnya. Sebab mereka menampilkan wajah Kristiani dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi. Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF
merasa bangga atas keterlibatan kaum muda dalam penyebaran sukacita
46 Ad Gentes di Hadapan Pandemi
Injil, ia mengatakan “Senang melihat semangat orang muda berusaha
memberikan apa yang mereka miliki. Dengan gaya orang muda juga
mereka meng-update dan ada sesuatu yang dikomunikasikan berkaitan
dengan iman Kristiani.”
Pastor Antonius Gregorius Angelo Lalu juga mengaku, “Saya
bersyukur ada anak-anak muda yang terpanggil dan meunjukkan
tanggung jawabnya untuk berkatekese dan berevangelisasi melalui media
sosial.” Banyak tanggapan positif lainnya yang mengungkapkan bahwa
pewartaan sukacita injil, meski di tengah situasi pandemi covid-19—
tetap bisa dilakukan.
Pandemi covid-19 memang suatu tantangan besar yang dunia
hadapi sekaligus mengubah cara pandang dan hidup setiap umat
manusia. Meskipun demikian, Gereja selalu mempunyai cara atau celah
untuk tetap memperkenalkan wajah Kristiani dengan caranya masing-
masing. Tentu ini suatu panggilan untuk selalu memperkenalkan Kristus
dalam berbagai bidang, dalam situasi apapun dan tetap mengikuti
perkembangan zaman. Gereja selalu membuka matanya untuk tetap
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan bersolider dengan
sesama. Sebab Gereja sadar bahwa semuanya berharga di mata Sang
Pencipta.
Ad Gentes di Hadapan Pandemi 47
SEPUTAR MISI
Merasakan dan
Mewartakan Kabar
Gembira
P. Ignatius Washington Hendruma, SX
Kali ini kita akan mendengarkan cerita dari P. Ignatius Washington
Hendra Kusuma atau yang biasa akrab dipanggil P. Washington. Pada
tahun 2013 ia diutus ke Bonggor Chad sampai 2016. Ia membantu regio
Kamerun-Chad dalam urusan ekonomi dan dalam animasi misioner dan
panggilan selama 3 tahun di Douala Kamerun, ia menerima tahbisan
diakon di Bafoussam Kamerun pada bulan Juli 2019 dan kembali lagi
ke Bonggor Chad untuk menghidupi masa diakonat sampai akhirnya
ditahbiskan menjadi imam pada 21 Agustus 2020. Berikut dituliskan
hasil wawancara penulis dengannya.
Kesulitan seperti apa yang ia alami selama bermisi di Chad-
Kamerun?
Seharusnya yang menjadi pertanyaan kita adalah kesempatan
macam apa yang ada di sana sebagai misionaris dalam berjumpa dengan
Yesus. Seperti ragi yang mentransformasi hidup, kami mengalami
perubahan dengan merasa sukacita dan damai sehingga menjadi berani,
setia, dan mengabdi pada Yesus dengan hidup miskin.
Wajah Yesus seperti apa yang Romo temukan di sana?
Orang-orang ini mempertemukan saya dengan Allah,
kesederhanaan mereka, mereka yang haus akan sabda Allah, haus akan
cinta allah, haus akan kesetiaan.
Kehausan seperti apa yang dirasakan?
Mereka melihat hidup kami bersama dalam keberagaman dan
tertarik untuk mengenal lebih dalam nilai apa yang ditawarkan oleh
Kristen, oleh Kristus. Kami menawarkan Yesus, kesempatan berjumpa
dengan Allah, merasakan kasih. Inilah warta kabar gembira. Kabar
gembira ini pertama-tama juga harus kami rasakan, yang lain adalah
tawaran. Ada 1000 alasan untuk mengeluh dan lelah, tapi kalau kita
48 Ad Gentes di Hadapan Pandemi