The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Bahan Ajar MK Linguistik Forensik memberikan pemahaman dasar terkait konsep dan praktik Linguistik Forensik. Dengan hadirnya bahan ajar ini, diharapkan mahasiswa dapat lebih mudah memahami konsep dasar linguistik forensik. Tidak hanya itu, melalui bahan ajar ini, mahasiswa dapat mendapatkan wawasan umum tentang penelitian linguistik forensik.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Dr. Herman Didipu, S.Pd., M.Pd, 2023-09-04 09:30:19

Bahan Ajar MK Linguistik Forensik

Bahan Ajar MK Linguistik Forensik memberikan pemahaman dasar terkait konsep dan praktik Linguistik Forensik. Dengan hadirnya bahan ajar ini, diharapkan mahasiswa dapat lebih mudah memahami konsep dasar linguistik forensik. Tidak hanya itu, melalui bahan ajar ini, mahasiswa dapat mendapatkan wawasan umum tentang penelitian linguistik forensik.

Keywords: 01122008

i Dr. Herman Didipu, S.Pd., M.Pd. Bahan Ajar LINGUISTIK FORENSIK: STUDI BAHASA DALAM RANAH HUKUM FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2022


ii


iii KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas kuasa-Nya penyusunan bahan ajar ini dapat diselesaikan. Bahan ajar ini merupakan himpunan materi pokok yang digunakan dalam pembelajaran mata kuliah Linguistik Forensik. Sebagai mata kuliah baru, baik dosen maupun mahasiswa membutuhkan uraian mendasar tentang berbagai konsep linguistik forensik. Itulah sebabnya, bahan ajar ini dirasa sangat penting karena selain dapat dijadikan panduan perkuliahan, juga dapat dijadikan deskripsi yang bersifat dasar untuk bisa memahami linguistik forensik secara lebih komprehensif. Penyusunan bahan ajar ini membutuhkan waktu yang agak lama karena penyusun harus mengumpulkan terlebih dahulu buku, hasil penelitian, maupun artikel jurnal ilmiah sebagai referensi. Jujur harus diakui bahwa literatur yang secara spesifik membahas materi linguistik forensik masih sangat terbatas, terutama literatur yang berbahasa Indonesia. Itulah sebabnya, tim harus berusaha keras mencari yang mengumpulkan berbagai literatur tersebut sebagai referensi penyusunan bahan ajar. Syukurlah, selain literatur berbahasa Indonesia, tim penyusunan juga sangat terbantu dengan literatur berbahasa Inggris serta artikel jurnal ilmiah yang memuat hasil penelitian maupun nonpenelitian terkait linguistik forensik. Untuk itu, melalui kesempatan ini tim penyusun ingin menyampaikan terima kasih atas semua bantuan


iv yang telah diberikan oleh semua pihak sehingga bahan ajar ini dapat diselesaikan. Hanya kepada Allah SWT, penyusun memohon semoga segala bantuan yang telah diberikan akan mendapat ganjaran pahala yang berlimpah dari Allah SWT. Sebagai karya manusia biasa, tentu bahan ajar ini masih terdapat banyak kekeliruan, baik dari aspek pembahasan maupun pembahasaannya. Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif senantiasa tim penyusun nantikan untuk penyempurnaan pada masa yang akan datang. Semoga hadirnya bahan ajar ini dapat memberikan kontribusi positif bagi dosen dan mahasiswa yang akan mempelajari dan mendalami linguistik forensik. Sekian dan terima kasih. Gorontalo, Desember 2020 Tim Penyusun


v DAFTAR ISI Kata Pengantar ........................................................ iii Daftar Isi .................................................................. iv Bab I Hakikat Linguistik Forensik ........................ 1 A. Pengertian Linguistik Forensik .................. 1 B. Sejarah Linguistik Forensik ....................... 3 C. Manfaat Linguistik Forensik ...................... 4 D. Bidang Kajian Linguistik Forensik ............. 6 Bab II Ruang Lingkup Linguistik Forensik ........... 11 A. Kedudukan Linguistik Forensik................... 11 B. Linguistik Makro ......................................... 12 C. Linguistik Mikro .......................................... 13 D. Linguistik Terapan ..................................... 14 Bab III Konsep Interdisipliner Kajian Linguistik Forensik A. Sosiolinguistik ........................................... 17 B. Psikolinguistik ............................................ 22 C. Pragmatik .................................................. 26 D. Analisis Wacana ....................................... 30 Bab IV Bahasa dalam Ranah Hukum ................... 33 A. Pengantar ................................................. 33 B. Bahasa dalam Proses Hukum .................. 35 C. Bahasa sebagai Produk Hukum ................ 35 D. Bahasa sebagai Alat Bukti Hukum ............ 37 E. Sidik Linguistik .......................................... 41 Bab V Kejahatan Berbahasa ............................... 49 A. Pencemaran Nama Baik ........................... 49 B. Fitnah ........................................................ 50


vi C. Ancaman ................................................... 51 D. Penyuapan ................................................ 53 E. Kesaksian Palsu ....................................... 54 F. Penistaan .................................................. 55 G. Hasutan ..................................................... 57 H. Konspirasi ................................................. 58 I. Ujaran Kebencian ..................................... 59 J. Berita Bohong ........................................... 60 K. Penghinaan ............................................... 62 Bab VI Metodologi Penelitian Linguistik Forensik . 65 A. Bahan Penelitian Bahasa .......................... 65 B. Metode Penelitian ..................................... 72 C. Contoh Penelitian Linguistik Forensik ....... 75 Daftar Pustaka ......................................................... 83 Lampiran: RPS MK Linguistik Forensi


1 BAB I HAKIKAT LINGUISTIK FORENSIK A. Pengertian Linguistik Forensik Frasa „lingustik forensik‟ (forensic linguistik) dikonstruksi oleh dua terminologi disiplin ilmu pengetahuan yang berbeda, yaitu „linguistik‟ dan „forensik‟. Linguistik merupakan kajian ilmiah bahasa alami manusia (Akmajian, dkk, 2001:5), sedangkan forensik merupakan disiplin ilmu pengetahuan yang berfungsi dalam parameter sistem hukum (Siegel, dkk, 2000:1099). Secara harafiah, linguistik forensik dapat diartikan sebagai kajian ilmiah bahasa dalam ranah hukum. Sebagai disiplin ilmu, istilah forensik juga disandingkan dengan beberapa ilmu pengetahuan lain, seperti fisika forensik, kimia forensik, kedokteran forensik, dan antropologi forensik, yang kesemuanya berkaitan dengan dengan penegakan keadilan dan hukum sesuai kerangka kerja ilmu pendampingnya. Demikian pula dengan ilmu bahasa (linguistik), dapat disandingkan dengan beberapa ilmu pengetahuan lain, seperti sosiolinguistik, antropologi linguistik, psikolinguistik, dan neurolinguistik, sebagai kajian atau studi bahasa dalam kaitan dengan ilmu pendampingnya. Secara teoretis, studi linguistik forensik telah didefinisikan oleh banyak pakar. Di antaranya seperti diuraikan berikut ini.


2 McMenamin (2002:67) berpendapat bahwa inguistic forensik merupakan kajian ilmiah bahasa yang diterapkan untuk tujuan dan konteks forensik. Ariani, dkk (2014:223) menyatakan bahwa linguistik forensik merupakan penerapan pengetahuan ilmiah kebahasaan dalam konteks hukum pidana maupun perdata. Menurut Correa (2013:5), linguistik forensik merupakan bagian dari linguistik terapan yang secara khusus mengkaji titik temu perbedaan antara bahasa dan bidang hukum, yang pada dasarnya sangat linguistik. Strazny (2005:350) mendefinisikan linguistik forensik sebagai kajian ilmiah bahasa yang diterapkan untuk tujuan dan konteks forensik – aplikasi pengetahuan linguistik untuk masalah-masalah hukum. Mahsun (2018) mendefinisikan linguistik forensik sebagai Pemanfaatan prinsip-prinsip dan metode-metode ilmiah kebahasaan untuk menelaah bukti bahasa dalam mendukung upaya penegakan hukum. Alhumsi (2019:83) menyatakan bawa linguistik forensik merupakan salah satu cabang linguistik terapan yang berhubungan dengan analisis bukti linguistik untuk menjelaskan ambiguitas dalam masalah hukum. Solihatin (2019:5) menyatakan bahwa linguistik forensik adalah kajian ilmiah bahasa dalam pembuktian hukum yang bertujuan memecahkan masalah hukum untuk membantu proses penegakan keadilan.


3 Susanto dan Nanda (2020:17) menyatakan bahwa linguistik forensik adalah penerapan ilmu linguistik yang dapat meliputi teori, metode dan analisis bahasa untuk keperluan di bidang hukum, misalnya hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum adat, hukum lingkungan, dan lain-lain. Umiyati (2020:28) berpendapat bahwa linguistik forensik merupakan bidang interdisipliner yang mengkaji, mendefinisikan, dan menyelidiki bahasa di pengadilan sebagai bukti bagi polisi, hakim, dan pengacara. Olson (2008:3) mencoba mendefinisikan linguistik forensik dalam arti yang lebih luas, yaitu hubungan antara bahasa, kejahatan dan hukum – di mana hukum mencakup penegakan hukum, masalah peradilan, undang-undang, perselisihan atau proses hukum, dan bahkan perselisihan yang hanya berpotensi melibatkan beberapa pelanggaran hukum atau beberapa kebutuhan untuk mencari upaya hukum. Gibbons dan Turell (2008:1) memandang linguistik forensik sebagai kajian multidisiplin yang menghubungkan antara bahasa dan hukum. B. Sejarah Linguistik Forensik Dimulai pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, beberapa ahli melakukan penelitian yang menekankan pada pengukuran atribut seperti panjang rata-rata kata, makna panjang kalimat, dan lain-lain. Aplikasi mengenai bahasa dalam kasus hukum saat itu masih sedikit


4 dilakukan. Istilah Linguistik Forensik sendiri baru muncul sejak tahun 1968. Seorang profesor bahasa Jan Svartvik merekam istilah tersebut pada analisis pernyataan yang diberikan pada polisi di Notting Hill Police Station tahun 1953. Jan Startvik melakukan analisis pada pernyataan yang dilakukan Timothy John Evans yang diduga membunuh istrinya dan bayinya. Dia dengan cepat menyadari bahwa pernyataan yang diberikan mengandung dua gaya dan dia mengatur tentang jumlah perbedaannya. Ada gaya menulis yang teredukasi dan ada gaya menulis berbicara. Di Australia, ahli bahasa memulai pertemuan pada tahun 1980, untuk membicarakan mengenai aplikasi linguistik dan sosiolinguistik pada masalah hukum. Mereka menekankan pada hak individual dalam proses hukum, khususnya kesulitan yang dihadapi tersangka dari kalangan Aborigil yang diberi pertanyaan oleh polisi. Bahasa Inggris yang dikuasai oleh orang Aborigin memiliki dialek tersendiri dan pengertian mereka terhadap bahasa Inggris yang digunakan orang kulit putih kadang tidak sesuai. C. Manfaat Linguistik Forensik Pengenalan linguistik forensik ini dilakukan mengingat perkembangan teknologi pada era digital sudah semakin berkembang. Hadirnya beragam media sosial di dalam kehidupan masyarakat memberikan


5 dampak yang berarti terhadap cara berkomunikasi yang dilakukan oleh masyarakat dewasa ini. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki pengguna media sosial paling produktif. Oleh karena itu, di Indonesia dikenal berbagai media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, serta aplikasi daring untuk berkirim pesan seperti Whatsapp, LINE, dan lainlain. Dalam aplikasi-aplikasi tersebut, komunikasi yang terjadi tidak hanya berguna untuk mengakrabkan hubungan, tetapi juga sering kali terjadi perpecahan dan konflik. Seperti yang dikemukakan oleh Wijana (2019) permasalahan yang terjadi dapat dimulai dari persoalan kecil yang relatif sepele sampai dengan kasus yang besar dan menimbulkan kegemparan karena ada muatan politik yang terbawa dalam masalah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut dengan UU ITE) Nomor 11 Tahun 2018 yang mengatur komunikasi masyarakat yang terjadi pada ranah elektronik, seperti media sosial. Perkembangan teknologi yang semakin marak di Indonesia hendaknya diiringi oleh kebijaksanaan masyarakat dalam penggunaan sarana-sarana komunikasi yang semakin beragam jenisnya tersebut. Oleh karena itu, kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan ini juga bertujuan untuk mewujudkan cita-cita pemerintah Indonesia untuk mencerdaskan masyarakat


6 dalam menggunakan berbagai media sosial yang ada di Indonesia. Sumbangan dari ilmu linguistik yang dapat diberikan adalah pengetahuan mengenai linguistik forensik pada badan negara yang bergerak dalam bidang hukum untuk membantu memahami situasi kebahasaan yang sering kali menimbulkan permasalahan dalam media sosial. Linguistik forensik membantu mengkaji tuturan yang muncul dengan konteks-konteks tuturan yang mendukungnya. Berkaitan dengan itu, tugas ahli bahasa sangat diperlukan dalam menganalisis hal-hal yang ada di dalam aspek kebahasaan ini. Namun, ahli bahasa tidak dapat menentukan jenis hukuman yang diberikan pada terdakwa karena hal tersebut merupakan hal yang ada di luar kebahasaan. D. Bidang Kajian Linguistik Terapan Dalam beberapa buku tentang linguistik forensik topik-topik yang muncul adalah sebagai berikut. Dalam buku ditulis Olsson & Luchjenbroers (2014), topik pertama yang dibahas adalah bahasa sebagai evidensi forensik yang membahas masalah kepengarangan (authorship), cybercrime, dan fonetik forensik. Topik kedua dalam buku tersebut berkaitan dengan evidensi bahasa yang berisi mengenai teks dan transkripsi forensik dan bahasa sebagai satu alat bukti di pengadilan. Topik ketiga dalam buku tersebut adalah mengenai proses hukum: bahasa dan hukum. Di dalamnya dibahas hal-hal mengenai peran


7 polisi dan hakim dalam pengadilan, serta tentang kedudukan saksi yang mudah diserang baik dalam proses penyidikan maupun di pengadilan. Topik terakhir dalam buku tersebut adalah tentang bahasa hukum yang berisi tentang bahasa undang-undang dan bahasa di pengadilan. Beberapa topik di atas juga dibahas dalam buku The Routledge Handbook of Forensic Linguistik (2010) yang diedit oleh Malcolm Coulthard dan Alison Johnson. Buku yang merupakan kumpulan artikel yang ditulis berbagai linguis tersebut terbagi bagian. Bagian pertama berbicara tentang bahasa hukum dan proses hukum. Di dalam bagian pertama ini ada empat subtopik: bahasa hukum; para pihak dalam investigasi, wawancara, dan interogasi kepolisian; laras bahasa hukum di pengadilan (courtroom genre); dan partisipan awam (lay participant) pada proses yudisial. Bagian kedua buku yang diedit oleh Malcolm Coulthard dan Alison Johnson tersebut berjudul “The linguist as expert in legal processes”. Bagian kedua ini terdiri atas tiga subbagian: tentang ahli dan proses (yang berisi artikel tentang bahasa merek dagang, peringatan untuk konsumen pada sebuah produk, fonetik forensik, dan linguis forensik); multilingualisme dalam konteks hukum; serta kepengarangan dan opini. Bagian ketiga berjudul “New debates and new directions” yang lima artikel tentang multimodalitas dan linguistik forensik, terorisme dan linguistik forensik, linguistik forensik komputasional, masa


8 depan linguis forensik di pengadilan, dan pernyataan penutup dari kedua editor buku ini. Selain menjadi editor buku The Routledge Handbook of Forensic Linguistik (2010) di atas, Coulthard & Johnson (2007) juga menulis buku An Introduction to Forensic Linguistik: Language Evidence. Buku ini terdiri atas dua bagian yaitu tentang bahasa dalam proses hukum dan tentang bahasa sebagai alat bukti (evidence). Bagian pertama terdiri atas lima bab yaitu tentang pendekatan terhadap teks forensik, bahasa hukum, genre hukum (legal genre), pengumpulan bukti, dan order in court. Bagian kedua buku tersebut berisi tentang kegiatan linguis forensik, kegiatan ahli fonetik forensik dan pemerika dokumen, idiolek dan keunikan pengkodean (encoding), peminjaman tekstual, dan linguis sebagail saksi ahli. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa topiktopik yang banyak dibahas dalam linguistik forensik terbagi atas dua bagian: bahasa dalam proses hukum dan bahasa sebagai alat bukti dalam sebuah perkara. Bahasa dalam proses hukum berkaitan dengan bahasa yang digunakan para pihak dalam sebuah proses hukum mulai dari penyidikan hingga di pengadilan, termasuk laras bahasa undangundang. Sebaliknya, bahasa yang menjadi alat bukti hukum berkaitan dengan penggunaan bahasa oleh masyarakat yang menyebabkan timbulnya masalah hukum, seperti bahasa mengandung ujaran kebencian,


9 dokumen palsu, plagiat (termasuk gaya bahasa, idiolek, dialek), dan lain-lain


10


11 BAB II RUANG LINGKUP LINGUISTIK FORENSIK A. Kedudukan Linguistik Forensik dalam Linguistik Beberapa pakar memandang linguistik forensik sebagai salah satu cabang ilmu linguistik. Dalam hal ini, linguistik forensik sejajar dengan sosiolinguistik, psikolinguistik, dan lain-lain. Namun, Sebagian pakar lain menyatakan bahwa linguistik forensik merupakan bagian dari bahasan linguistik terapan (applied linguistiks). Dalam praktiknya, linguistik forensik menerapkan berbagai kaidah ilmu kebahasaan (linguistik) seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantic, pragmatic, untuk menganalisis bahasa dalam ranah hukum. Pandangan kedua inilah yang paling banyak dianut oleh sebagain besar pakar linguistik. Linguistik forensik pada hakikatnya merupakan aplikasi dari berbagai aspek linguistik. Secara garis besar, aspek linguistik tersebut dibagi menjadi dua, yaitu linguistik mikro atau mikrolinguistik dan linguistik makro (makrolinguistik). Masing-masing memiliki cakupan yang secara keseluruhan menjadi elemen-elemen penting yang dijadikan bahan kajian atau analisis linguistik forensik. Untuk jelasnya bagian-bagian linguistik mikro dan linguistik makro sebagaimana diuraikan pada bagian selanjutnya.


12 B. Linguistik mikro Linguistik Mikro (Mikrolinguistik) merupakan bidang linguistik yang mempelajari bahasa dari dalam struktur bahasa itu sendiri. Linguistik mikro mengarahkan kajiannya pada struktur internal suatu bahasa tertentu atau struktur internal suatu bahasa tertentu atau struktur internal bahasa pada umumnya. Pada Mikrolinguistik terdapat beberapa pembidangan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi. 1. Fonologi Menurut Odden (2005:2), fonologi merupakan disiplin linguistik yang secara khusus mengkaji struktur bunyi dalam bahasa. 2. Morfologi Lieber (2009:2) menyatakan bahwa morfologi adalah studi tentang pembentukan kata, termasuk cara katakata baru diciptakan, serta cara bentuk kata bervariasi sebagaimana kata-kata itu digunakan dalam kalimat. 3. Sintaksis Sintaksis adalah tataran linguistik yang mengkaji frasa, klausa, hingga pola dan struktur kalimat. 4. Semantic Secara sederhana, dapat diartikan bahwa semantic merupakan kajian terhadap makna dalam bahasa (Hurford, dkk, 2007:1).


13 5. Leksikografi Teori, praktik, dan seni menyusun/membuat kamus (Bussmann, 1998:682; Richards dan Schmidt, 2002:307) C. Lingustik makro Linguistik Makro (Makrolinguistik) bersifat luas, sifat telaahnya ekternal. Linguistik makro mengkaji kegiatan bahasa dalam kaitannya dengan bidang-bidang lain di luar Bahasa, misalnya sosiologi, psikologi, antropologi, neurologi. Bahasa digunakan sebagai alat untuk melihat bahasa dari sudut pandangan luar bahasa. Pembidangan linguistik makro mencakup antara lain sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, etnolinguistik, stilistika, dan neurolinguistik. 1. Sosiolinguistik Menurut Wardhaugh (2006:13) bahwa sosiolinguistik menelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat dengan tujuan untuk memahami dengan lebih baik struktur bahasa dan bagaimana bahasa berfungsi dalam komunikasi. 2. Psikolinguistik Carroll (2008:3) mendefinisikan psikolinguistik sebagai studi tentang bagaimana individu memahami, menghasilkan, dan memperoleh bahasa. 3. Antropolinguistik Duranti (1997:2) secara sederhana mendefinisikan antropologi linguistik sebagai studi tentang bahasa


14 sebagai sumber budaya dan berbicara sebagai praktik budaya. 4. Etnolinguistik Etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan tata bahasa berbagai suku bangsa dan persebaranya. merupakan ilmu menelaah bahasa bukan hanya dari struktursemata,tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. 5. Stilistika Stilistika atau ilmu gaya bahasa merupakan cabang ilmu linguistik yang memfokuskan diri pada analisis gaya bahasa. 6. Neurolinguistik Ahlsen (2006:3) berpendapat bahwa neurolinguistik mempelajari hubungan bahasa dan komunikasi dengan berbagai aspek fungsi otak, atau dengan kata lain neurolinguistik mencoba mengeksplorasi bagaimana otak memahami dan menghasilkan bahasa sebagai komunikasi. D. Linguistik Terapan Linguistik terapan adalah bidang antardisiplin yang mengidentifikasi, menginvestigasi, dan menawarkan solusi bagi masalah dunia nyata yang terkait dengan bahasa. Beberapa bidang ilmu yang terkait dengannya antara lain adalah pendidikan, linguistik, psikologi, antropologi, dan sosiologi. Kajian linguistik yang bersifat terapan misalnya pengajaran bahasa, penerjemahan,


15 perkamusan, linguistik forensik, terapi wicara, linguistik edukasional, dan perencanaan bahasa. Kata terapan/menerapkan, berpadanan dengan to apply, yang artinya memakai atau menggunakan bisa juga dimaknai menginjak, mempergunakan, dan mengerahkan. Makna kata Applied = put to practical use. Dari kata applied lahir gabungan kata applied linguistik yang sepadan dengan linguistik terapan. Linguistik terapan adalah terapan ilmu bahasa dalam bidang praktis. Ilmu ini dapat dipandang sebagai disiplin baru yang dapat berkembang dan diakui keberadaannya. Penulis menganggap bahwa linguistik terapan sudah merupakan suatu disiplin ilmu yang memenuhi berbagai fungsi bahasa dan memiliki dasar ilmu yang saling berkaitan, serta terbuka, sehingga dapat dikatakan bahwa leksikografi, penerjemahan, patologi, dan terapi wicara adalah bagian dari Linguistik terapan. Khusus dalam bidangpengajaran bahasa penulis menyarankan bahwa seorang guru hendaknya dibekali dengan bekal ilmu yang cukup, mencakup ilmu bahasa itu sendiri dan kemampuannya mengajarkan bahasa. Linguistik terapan menjembatani antara ahli bahasa, peneliti bahasa, dan pelaksana di lapangan, yaitu guru bahasa. Linguistik terapan juga dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang berusaha menerapkan hasil penelitian dalam bidang linguistik untuk keperluan praktis. Linguistik terapan dapat juga dimanfaatkan untuk memecahkan


16 persoalan-peroalan praktis yang banyak sangkut pautnya dengan bahasa. Jadi, linguistik hanya dipakai sebagai alat. Misalnya, dalam pengajaran bahasa, linguistik dapat di manfaatkan untuk mengajarkan bahasa agar perolehan anak akan lebih meningkat. Adapun objek kajian linguistik terapan tidak lain adalah bahasa, yakni bahasa manusia yang berfungsi sebagai (1) sistem komunikasi yang menggunakan ujaran sebagai medianya; (2) bahasa keseharian manusia, (3) bahasa yang dipakai sehari-hari oleh manusia sebagai anggota masyarakat tertentu, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan an ordinary language atau a natural language. Ini berarti bahasa lisan (spoken language) sebagai obyek primer linguistik, sedangkan bahasa tulisan (written language) sebagai obyek sekunder linguistik, karena bahasa tulisan dapat dikatakan sebagai “turunan” bahasa lisan.


17 BAB III KONSEP INTERDISIPLINER KAJIAN LINGUISTIK FORENSIK A. Sosiolinguistik Sosiolinguistik bersasal dari kata “sosio” dan “linguistik”. Sosio sama dengan kata sosial yaitu berhubungan dengan masyarakat. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari dan membicarakan bahasa khususnya unsur- unsur bahasa dan antara unsur- unsur itu.Jadi, sosiolinguistik adalah kajian yang menyusun teoriteori tentang hubungan masyarakat dengan bahasa. Berdasarkan pengertian sebelumnya, sosiolinguistik juga mempelajari dan membahas aspek –aspek kemasyarakatan bahasa khususnya perbedaanperbedaan yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor- faktor kemasyarakatan ( Nababan 1993:2). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik tidak hanya mempelajari tentang bahasa tetapi juga mempelajari tentang aspekaspek bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dengan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan erat. Sosiologi merupakan kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, lembaga- lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui


18 bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga- lembaga, proses social dan segala masalah social di dalam masyarakat, akan diketahui cara- cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing- masing di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari tentang bahasa, atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisipliner yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat (Chaer dan Agustina 2003: 2). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah antardisipliner yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan tersebut. Selain sosiolinguistik ada juga digunakan istilah sosiologi bahasa. Banyak yang menganggap kedua istilah itu sama, tetapi ada pula yang menganggapnya berbeda. Ada yang mengatakan digunakannya istilah sosiolinguistik karena penelitiannya dimasukii dari bidang linguistik, sedangkan sosiologi bahasa digunakan kalau penelitian itu dimasuki dari bidang sosiologi. Fishman (dalam Chaer 2003: 5) mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif.Jadi sosiolinguistik berhubungan dengan perincian- perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola


19 pemakaian bahasa atau dialek tertentu yang dilakukan penutur, topic, latar pembicaraan. Sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu.Sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkrit. Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti mempelajari tentang bahasa yang digunakan dalam daerah tertentu atau dialek tertentu. Ditinjau dari nama, sosiolingustik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat, dan linguistik adalah kajian bahasa.Jadi kajian sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (Sumarsono 2004:1). Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat tertentu. Sosiolinguistik cenderung memfokuskan diri pada kelompok sosial serta variabel linguistik yang digunakan dalam kelompok itu sambil berusaha mengkorelasikan variabel tersebut dengan unit- unit demografik tradisional pada ilmu-ilmu sosial, yaitu umur, jenis kelamin, kelas sosio- ekonomi, pengelompokan regioanal, status dan lain- lain. Bahkan pada akhir-akhir ini juga diusahakan


20 korelasi antara bentuk-bentuk linguistik dan fungsi- fungsi sosial dalam interaksi intra-kelompok untuk tingkat mikronya, serta korelasi antara pemilihan bahasa dan fungsi sosialnya dalam skala besar untuk tingkat makronya (Ibrahim, 1995:4). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang memfokuskan diri pada kelompok sosial serta variabel linguistik. Alwasilah (1993:3-5) menjelaskan bahwa secara garis besar yang diselidiki oleh sosiolingustik ada lima yaitu macam-macam kebiasaan (convention) dalam mengorganisasi ujaran dengan berorientasi pada tujuantujuan social studi bagaimana norma- norma dan nilainilai sosial mempengaruhi perilaku linguistik. Variasi dan aneka ragam dihubungkan dengan kerangka sosial dari para penuturnya, pemanfaatan sumber-sumber linguistik secara politis dan aspek- aspek sosial secara bilingualisme. Sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup perilaku bahasa saja, melainkan juga sikap-sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakaian bahasa.Dalam sosiolingustik ada kemungkinan orang memulai dari masalah kemasyarakatan kemudian mengaitkan dengan bahasa, tetapi bisa juga berlaku sebaliknya mulai dari bahasa kemudian mengaitkan dengan gejala-gejala kemasyarakatan.


21 Sosiolinguistik dapat mengacu pada pemakian data kebahasaan dan menganalisis kedalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut kehidupan sosial, dan sebaliknya mengacu kepada data kemasyarakatan dan menganalisis ke dalam linguistik. Misalnya orang bisa melihat dulu adanya dua ragam bahasa yang berbeda dalam satu bahasa kemudian mengaitkan dengan gejala sosial seperti perbedaan jenis kelamin sehingga bisa disimpulkan, misalnya ragam (A) didukung oleh wanita ragam (B) didikung oleh pria dalam masyarakat itu. Atau sebaliknya, orang bisa memulai dengan memilah masyarakat berdasarkan jenis kelamin menjadi priawanita, kemudian menganalisis bahasa atau tutur yang bisa dipakai wanita atau tutur yang bisa dipakai pria. Trudgill (dalam Sumarsono 2004: 3) mengungkapkan sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala social dan gejala kebudayaan.Bahasa bukan hanya dianggap sebagai gejala sosial melainkan juga gejala kebudayaan.Implikasinya adalah bahasa dikaitkan dengan kebudayaan masih menjadi cakupan sosiolinguistik, dan ini dapat dimengerti karena setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan tertentu. Sebagai anggota masyarakat sosiolinguistik terikat oleh nilai-nilai budaya masyarakat, termasuk nilai-nilai ketika dia menggunakan bahasa. Nilai selalu terkait dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan ini diwujudkan dalam kaidah- kaidah yang sebagian besar


22 tidak tertulis tapi dipatuhi oleh warga masyarakat. Apa pun warna batasan itu, sosiolinguistik itu meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasadan masyarakat. Berdasarkan batasan-batasan tentang sosiolinguistik di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik itu meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik membahas atau mengkaji bahasa sehubungan dengan penutur ,bahasa sebagai anggota asyarakat. Bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya untuk saling bertukar pendapat da berinteraksi antara individu satu dengan lainnya. B. Psikolinguistik Berikut ini disajikan beberapa definisi psikolinguistik dari para pakar sebagai bahan pemahaman. “Psycholinguistik investigates the interrelation of language and mind in processing and producing utterances and in language acquisition” [Psikolinguistik membahas hubungan bahasa dengan otak dalam memroses dan menghasilkan ujaran dan pemerolehan bahasa]. (Hartley, 1982:16) Psycholinguistik deals directly with the processes of encoding and decoding as they relate states of message to states of communicators” [Psikolinguistik secara langsung berhubungan dengan proses penyandian dan


23 pemahaman sandi seperti pesan yang disampaikan oleh para pelibat komunikasi]. (Osgood & Sebeok, dalam Stern, 1983:296) Psikolinguistik adalah pendekatan gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi telaah atau studi pengetahuan bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan bahasa, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, yang tidak mudah dicapai atau didekati melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisan atau sendirisendiri‖ (Lado, 1976:220) Psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana pemakai suatu bahasa membangun dan memahami kalimatkalimat bahasa tersebut‖ (Emmon Bach, 1964:64). Psycholinguistik is the study of language acquisition and linguistik behavior, as well as the psychological mechanisms responsible for them”. Psikolinguistik adalah telaah pemerolehan bahasa dan perilaku linguistik, terutama mekanisme psikologis yang bertanggung jawab atas kedua aspek itu. (Langacker, 1973:6) Psycholinguistik is concerned in the broadest sense with realtions between messages and the characteristics of the human individuals who select and interpret them”. [Psikolinguistik dalam pengertian luas membicarakan hubungan antara pesan dan watak kemandirian manusia yang menyeleksi dan manfsirkan pesan itu]. (Diebold, dalam Slama, 1973:39)


24 Psychoinguistics is the study of relations between our needs for expression and communication and the means offered to us by a language learned in one‟s childhood and later”. [Psikolinguistik adalah telaah tentang hubungan antara kebutuhan kita untuk berekpresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang dipelajari sejak kecil dan tahap selanjutnya]. (Paul Fraisse, dalam Slama, 1973:39) Psikolinguistik adalah telaah mengenai perkembangan bahasa anak; suatu pengenalan teori linguistik ke dalam masalah psikologis (Palmatier, 1972:140). Psikolinguistik adalah telaah mengenai produksi (sintesis) dan rekognisi (analisis) bahasa (Lyons, 1968:160). Psikolinguistik merupakan suatu ilmu yang mencoba menguraikan proses psikologis yang terjadi apabila seseorang mengucapkan kalimat-kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana cara pemerolehannya oleh manusia (Simanjuntak, 1987:1). Berdasarkan batasan di atas dapat disebutkan beberapa ciri psikolinguistik. Psikolinguistik adalah ilmu antardisiplin antara psikologi dan linguistik, yang memiliki ciri-ciri, antara lain: a) membahas hubungan bahasa dengan otak; b) berhubungan langsung dengan proses penyandian (encoding) dan pemahaman sandi (decoding);


25 c) sebagai suatu pendekatan; d) menelaah pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa, dan peru-bahan bahasa; e) membahas proses yang terjadi pada pembicara dan pendengar di dalam kaitannya dengan bahasa; f) menitikberatkan pembahasan mengenai pemerolehan bahasa dan perilaku linguistik; g) merupakan hubungan kebutuhan berekspresi dan berkomunikasi, h) berhubungan dengan perkembangan bahasa anak; dan i) berkaitan dengan proses psikologis dalam membangun atau memahami kalimat. Lingkup Psikolinguistik Objek psikolinguistik adalah bahasa, gejala jiwa, dan hubungan di antara keduanya. Bahasa yang berproses dalam jiwa manusia yang tercermin dalam gejala jiwa. Bahasa dilihat dari aspek psikologis, yakni proses bahasa yang terjadi pada otak (mind), baik pada otak pembicara maupun otak pendengar. Aspek-aspek yang penting dalam garapan psikolinguistik, antara lain: (1) kompetensi (proses bahasa dalam komunikasi dan pikiran) (2) akuisisi (pemerolehan bahasa) (3) performansi (pola tingkah laku berbahasa) (4) asosiasi verbal dan persoalan makna (5) proses bahasa pada orang abnormal (6) persepsi ujaran dan kognisi


26 (7) pembelajaran bahasa C. Pragmatik Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian bahasa yang dikaitkan dengan konteks pemakaiannya. Makna bahasa tersebut dapat dimengerti bila diketahui konteksnya. Batasan pragmatik adalah aturan-aturan pemakaian bahasa mengenai bentuk dan makna yang dikaitkan dengan maksud pembicara, konteks, dan keadaan. Parera (2001:126) menjelaskan pragmatik adalah kajian pemakaian bahasa dalam komunikasi, hubungan antara kalimat, konteks, situasi, dan waktu diujarkannya dalam kalimat tersebut. Definisi yang dikemukakan oleh Parera selengkapnya dapat dilihat pada berikut ini: (a) Bagaimana intepretasi dan penggunaan tutur bergantung pada pengetahuan dunia nyata. (b) Bagaimana pembicara menggunakan dan memahami tindak pertuturan; (c) Bagaimana struktur kalimat dipengaruhi oleh hubungan antara pembicara atau penutur dan pendengar atau petutur. Pengertian dan pemahaman bahasa mengacu pada fakta bahwa untuk mengerti suatu ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya. Berdasarkan definisi beberapa ahli, peranan konteks sangat penting dalam ilmu bahasa. Akan tetapi, berbeda dengan pendapat yang dikemukakan


27 oleh beberapa ahli,“Yule menjelaskan pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna yang dikehendaki oleh penutur” (via Cahyono, 2002:213). Penjelasan tersebut mengarah pragmatik pada aspek maknanya, yaitu maksud yang akan disampaikan penutur melalui hadirnya konteks. Hal ini berarti pragmatik berusaha menggambarkan sebuah ujaran yang disampaikan oleh penutur atau pembicara dengan mengetahui makna tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari bahasa dalam pemakaiannya serta makna yang dihasilkan oleh kalimat yang dapat diketahui dengan melihat konteks yang ada saat tuturan tersebut berlangsung. maka kita dapat mengetahui makna yang diinginkan oleh pembicara dengan memperhatikan konteks yang melingkupi peristiwa tutur tersebut. Ada dua hal penting yang perlu di cermati dari pengertian pragmatik di atas, yaitu penggunaan bahasa dan konteks tuturan. Penggunaan bahasa di sini menyangkut fungsi bahasa (language functions). Untuk apa orang menggunakan bahasa? Beberapa ahli menjelaskan fungsi bahasa tersebut. Di antaranya adalah Van Ek dan Trim (1991), yang mengkategorikan fungsi bahasa menjadi 6 (enam) macam yaitu: 1) menyampaikan dan mencari informasi faktual, 2) Mengekspresikan dan mengubah sikap, 3) Meminta orang lain berbuat sesuatu,


28 4) Sosialisasi, 5) Membangun wacana, dan 6) Meningkatkan keefektifan komonikasi. Masing-masing kategori tersebut di atas, dijabarkan kedalam beberapa subkategori yang lebih rinci dan praktis. Fungsi pertama, misalnya, dijabarkan menjadi 5 (lima) sub-kategori, yaitu: 1) mengidentifikasi atau mendefinisis, 2) melaporkan, mendeskripsikan atau menceritakan, 3) mengoreksi, 4) bertanya, dan 5) menjawab pertanyaan. Adapun masalah konteks, menurut Dell Hymes (dalam James, 1980), meliputi 6 (enam) dimensi, yaitu: 1) tempat dan waktu (setting), seperti ruang kelas, di masjid, di ma‟had, di perpustakaan, dan di warung makan, 2) pengguna bahasa (participants), seperti dokter dengan pasien, ustadz dan santri, penjual dengan pembeli, 3) topik pembicaraan (content) seperti politik, seks, pendidikan, kebudayaan, 4) tujuan (purpose) seperti bertanya, menjawab, memuji, menjelaskan, mengejek, dan menyuruh, 5) nada (key) seperti humor, marah, ironi, sarkasme, dan lemah lembut, dan 6) media/saluran (channel) seperti tatap muka, melalui SMS, melalui telepon, melalui surat, E-mail, dan, melalui tangan. Dimasukkannya konteks dalam memahami dan atau menghasilkan ujaran dimaksudkan untuk membangun prinsip-prinsip kerjasama dan sopan santun dalam proses komunikasi, sehingga tujuan komunikasi dapat dicapai secara efektif. Konteks itu sendiri terkait erat dengan budaya, yang berbeda dari satu masyarakat ke


29 masyarakat lain. Apa yang dianggap sebagai topik pembicaraan yang wajar oleh masyarakat Arab misalnya, mungkin dianggap sebagai topik pembicaraan yang absurd oleh masyarakat Indonesia, atau sebaliknya. Oleh karena itu, pengertian pragmatik yang diberikan oleh Levinson di atas, menurut hemat penulis, pada prinsipnya memberikan kerangka umum tentang bagaimana berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Kenyataan bahwa konteks itu bisa berbeda-beda dari masyarakat satu ke masyarakat lain, dan hal ini tidak menjadi fokus bahasa Levinson. Itulah sebabnya, Leech (1983) lebih suka menggunakan istilah Pragmatik umum (general pragmatics) untuk mengacu pada kajian tentang kondisi umum penggunaan bahasa untuk komunikasi. Ia mendasarkan gagasannya pada kenyataan bahwa prinsip kerjasama dan sopan santun dalam berkomunikasi berlaku secara berbeda–beda dalam setiap masyarakat. Dalam pragmatik umum sama sekali tidak mengatur masalah itu. Bahkan menurut Leech, hal-hal yang bersifat lokal dan situasional dapat diatur dalam sosiopragmatik (sociopragmatics) dan pragmalinguistik (pragmalinguistik), karena kedua bidang ini merupakan cabang dari pragmatik umum. Sosio-pragmatik yang telah dikelaskan Leech (1983) memiliki kesamaan dengan istilah yang oleh Michael Canale (1983) di sebut dengan ketepatan isi (appropriateness in meaning), yaitu sejauh


30 mana fungsi komunikasi tertentu, sikap dan gagasan dianggap tepat sesuai dengan situasi yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan aspek sosiologi. D. Analisis Wacana Kata wacana atau sering pula disebut diskursus mengandung beberapa pengertian yang kadang-kadang membingungkan, dan mempengaruhi pemahaman kita tentang analisis wacana. Dalam kalimat 'Di Indonesia, konsep masyarakat madani baru dalam taraf wacana', kata wacana di sini dapat dimaknai sebagai 'pemikiran' yang ingin diperlawankan dengan 'praktek nyata' atau 'aplikasi'. Pengertian yang mirip termaktub dalam kalimat 'Apakah semua hal yang kita rancang sebulan lalu sudah diwacanakan?' Kata 'diwacanakan' dalam kalimat ini dapat dipahami sebagai 'dinyatakan' atau 'disebarluaskan sebagai pemikiran bersama', yang agak melenceng dari pemahaman mengenai analisis wacana yang hendak kita pelajari dalam makalah kecil ini. Ada banyak pengertian lain mengenai wacana yang secara rinci akan diungkapkan di bawah ini. Pengertian yang mana yang kita gunakan atau pahami akan mempengaruhi cara analisis wacana tersebut diterapkan. Namun demikian sekalipun memiliki pengertian yang berragam, analisis wacana pada umumnya menarget language use atau bahasa yang digunakan seharihari, baik yang berupa teks lisan maupun tertulis, sebagai objek kajian atau penelitiannya. Jadi objek kajian


31 atau penelitian analisis wacana adalah unit bahasa di atas kalimat atau ujaran yang memiliki kesatuan dan konteks, bisa berupa naskah pidato, rekaman percakapan yang telah dinaskahkan, percakapan langsung, catatan rapat, debat, ceramah atau dakwah agama dsb. yang tidak artifisial dan memang eksis dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan analisis kebahasan biasa, analisis wacana tidak bisa disempitkan sebagai analisis lapisan atau kulit luar penggunaan bahasa, sekalipun banyak peneliti yang terjebak dalam kajian yang dangkal. Analisis wacana seharusnya menelusuri lebih jauh (beyond) ke dalam unit bahasa tersebut guna mengungkap hal-hal yang tidak tertampak oleh analisis kebahasaan atau analisis gramatika biasa. Analisis wacana digunakan secara meluas di berbagai bidang ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan, dan sering digunakan secara lintas disipliner. Banyak analisis wacana yang tidak lagi bisa dipilah secara jernih dan tegas masuk ke dalam bidang ilmu yang mana. Analisis wacana orde baru dapat sekaligus dikategorikan pada kajian bidang-bidang ilmu sejarah, politik, sosial, budaya dan bahkan psikologi sosial, hal yang sama terjadi pada analisis wacana gender, gender dalam media massa dsb.


32


33 BAB IV BAHASA DALAM RANAH HUKUM A. Pengantar Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Alasan yang mendukung pengikraran itu di antaranya adalah bahasa Indonesia telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan Nusantara. Kedudukannya makin kuat manakala bahasa Indonesia dijadikan bahasa negara dan bahasa resmi negara Indonesia di dalam Pasal 36 UUD 1945 (Sugono 2009). Meskipun sudah menjadi bahasa negara, bagi hampir sebagian orang di Indonesia bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa ibu, melainkan bahasa kedua yang hanya dipelajari di bangku sekolah. Dalam pemakaiannya di masyarakat, muncul berbagai ragam atau variasi bahasa Indonesia. Variasi bahasa yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut dinamakan ragam bahasa (Kridalaksana 1984 dalam Nasucha 2009:12). Ragam bahasa dikelompokkan menjadi ragam bahasa formal/resmi dan tidak formal/tidak resmi. Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap berprestise tinggi dan digunakan oleh kalangan terdidik disebut ragam bahasa baku/formal. Ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut


34 Mahadi (1983:215), bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November 1954 di Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan simposium bahasa dan hukum di kota yang sama, Medan. Simposium tahun 1974 tersebut menghasilkan empat konstatasi berikut (Mahadi dan Ahmad 1979 dalam Sudjiman 1999). 1. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia. 2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi, serta gayanya. 3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat estetika. 4. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum yang sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk, dan komposisi kalimat.


35 B. Bahasa dalam Proses Hukum Yang dimaksud bahasa dalam proses hukum adalah penggunaan bahasa (Indonesia) dalam proses pemeriksaan atau pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) serta penggunaan bahasa saat proses persidangan. Dalam proses pemeriksaan di kepolisian, penelitian dapat dilakukan untuk mengetahui strategi penyidik polisi dalam memeriksa sebuah kasus kejahatan (Baldwin, 1993; Gibbons, 1996; Gregory, 2011; Heydon, 2012). Sedangkan dalam proses persidangan di pengadilan, penelitian dapat dilakukan untuk mengetahui cara berkomunikasi hakim, jaksa, pengacara, saksi dan terdakwa (Shuy, 1993; Solan, 1993; Susanto, 2016). Perangkat yang berada dalam ruang sidang dan terlibat dalam pembicaraan adalah saksi, pengacara, dan hakim. Penelitian linguistik forensik lebih memfokuskan pada wacana dan penggunaan pragmatisme bahasa dalam ruang sidang dan berpotensi mempengaruhi putusan pengadilan (vonis bebas atau kurungan penjara). Studi bahasa dalam ruang sidang mencakup: (1) bahasa saksi (language of witnesses): pemeriksaan saksi (witness examination), kekerasan seksual korban (sexual assault victims), (2) bahasa pengacara (language of lawyers), (3) bahasa hakim (language of judges). C. Bahasa sebagai Produk Hukum Yang kedua adalah kajian bahasa dalam produk hukum. Kajian ini dicontohkan dalam penelitian bahasa


36 perundang-undangan dan juga penelitian bahasa keputusan pengadilan. Penelitian dalam kajian ini dapat dilakukan untuk memahami penggunaan bahasa yang secara khusus dipakai dalam produk hukum (Carpenter, 1981; Wagner & Cacciaguidi, 2006). Ada beberapa faktor yang perlu dicermati sebelum suatu istilah hukum akan dilahirkan. Pertama, para pembentuk hukum harus menyimak filosofi di balik suatu konsep hukum. Istilah strafbaarfeit yang diterjemahkan menjadi peristiwa pidana tentu berangkat dari filosofi yang berbeda dengan perbuatan pidana dan tindak pidana. Dalam konteks ini juga termasuk penelaahan atas latar belakang keluarga sistem hukum. Konsep „mortgage‟ dalam sistem Anglo Sakson tidak bisa serta merta diidentikkan dengan konsep „hipotek‟ yang ada dalam sistem hukum Indonesia. Kedua, para pembentuk hukum juga harus menyimak kesesuaian istilah itu dengan kelaziman yang sudah diterima lama dalam doktrin hukum. Misalnya, kata „oneerlijke concurrentie‟ atau „unfair competition‟ sudah cukup lama dimaknai dalam buku-buku teks hukum berbahasa Indonesia menjadi „persaingan curang‟. Entah mengapa, tiba-tiba dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 muncul istilah baru: „persaingan tidak sehat‟. Ketiga, pembentuk hukum perlu mempertimbangkan faktor efisiensi berbahasa sebagaimana diajarkan dalam teknik perundangundangan. Kendati hukum dalam satu sisi adalah produk


37 politik, tetapi terkadang pertimbangan politik yang terlalu menonjol dapat menyebabkan bahasa hukum kita menjadi tidak tampil elegan di dalam perbendaharaan hukum positif kita. Sebagai contoh kasus, pernah terjadi dinamika politik yang membuat pembentuk hukum kita harus memilih apakah akan menggunakan istilah „serikat pekerja‟ atau „serikat buruh‟ sewaktu menyusun peraturan di bidang ketenagakerjaan. Jalan keluarnya terbilang unik (dan notabene “sangat Indonesia”), yaitu bahwa setiap kata „serikat pekerja‟ di dalam keseluruhan naskah peraturan ketenagakerjaan akan selalu diikuti tanda garis miring dan ditambah kata „serikat buruh‟. Pembentukan terma hukum yang boros seperti ini jelas tidak direkomendasikan dalam teknik perundang-undangan. D. Bahasa sebagai Alat Bukti Hukum Yang ketiga adalah kajian bahasa dalam alat bukti hukum. Kajian ini dapat dilakukan dalam penelitian bahasa terhadap dokumen yang menjadi penyebab kasus persengketaan misalnya dokumen kontrak kerja (Fawzy & Eladaway, 2012; Watts & Scrivener, 1993) atau dokumen hak paten (McJohn, 2017). Selain itu, juga dapat dilakukan dalam penelitian bahasa pada pengidentifikasian suara percakapan telepon (Künzel, 2001; Rathborn, Bull, & Clifford, 1981). Melalui percakapan telepon, pesan yang disampaikan mungkin dapat menyebabkan masalah hukum jika pesan tersebut


38 mengandung hal-hal yang dilarang hukum seperti ancaman, pemerasan, atau penghinaan. Bahasa yang dituturkan oleh penutur bahasa mempunyai nilai-nilai dan norma dalam bahasanya. Bukan hanya berbahasa dalam forum resmi, tetapi juga dalam forum non resmi atau dalam kehidupan sehari-hari, baik dalm bentuk lisan ataupun lisan. Berbahasa tidak hanya memilahmilah bahasa sesuai kondisinya, namun juga mempertimbangkan norma sosial dan nilai-nilai dalam setiap pengucapannya. Suatu nilai-nilai merujuk pada sesuatu yang bermakna baik. Sesuatu yang baik, tentunya akan melahirkan suatu padangan yang buruk. Dalam berbahasa, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, misalnya umpatan, ancaman, gertakan, ujaran persekusi, ujaran kebencian dan lain sebagainya. Beberapa waktu banyak sekali kebahasaan yang hadir dan berkembang di masyarakat. Malahan sesuatu untuk belum tentu layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum, khususnya anak-anak usia sekolah. Hal ini berdampak pada penanaman nilai kognitif bernuansa negatif pada diri mereka. Kejahatan moral seperti ini merupakan aktivitas berbahaya yang dapat merugikan orang lain. Berbahasa seperti ini dalam dunia linguistik forensik cenderung mengandung unsur kriminalitas karena secara tidak langsung bisa menyebabkan kerugian bagi petutur atau lawan tuturnya. Menurut paparan Dumas dalam Mcmenamin (2002:87) linguistik forensik itu


39 berfokus pada bahasa hukum, interpretasi, bahasa ruang sidang, bahasa Inggris murni, pragmatik/kias, instruksi juri, bahasa dalam pengaturan hukum serta prosesnya, dan bahasa peringatan produk konsumen. Dapat dikatakan juga, bahwa dalam linguistik forensik tidak hanya fokus pada kasus yang diangkat dalam sebuah persidangan namun juga pada kasus atau masalah yang belum diangkat ke persidangan dan telah melanggar normanorma sosial masyarakat seperti penghinaan, berbohong, peringatan, penipuan. Melihat keadan bahasa Indonesia saat sekarang ini yang telah banyak dimarkahi salah oleh sebagian orang, maka linguistik forensik dirasa perlu untuk dipakai oleh beberapa ahli bahasa. Pertimbanganya adalah keilmuan ini merupakan ilmu multi disipliner, yakni Ilmu bahasa dan ilmu hukum. Linguistik forensik adalah salah satu cabang linguistik baru. Linguistik forensik adalah ilmu multidisiplin karena analisisnya dapat diperbantukan dengan bidang ilmu lain seperti ilmu bahasa, ilmu hukum, ilmu kejiwaan, ilmu sosial dan bidang ilmu lain yang mampu memecahkan suatu masalah kriminal. Seperti yang disebutkan oleh Olsson (2008:3) linguistik forensik adalah hubungan antara bahasa dengan penegakan, masalah, perundang-undangan, perselisihan atau proses dalam hukum yang berpotensi melibatkan beberapa pelanggaran terhadap hukum atau keharusan untuk mendapatkan penyelesaian hukum.


40 Dalam sejarahnya, bidang ini telah disebut linguistik forensik sejak 1980. Linguistik forensik merupakan ilmu multidisiplin berasal dari linguistik dan hukum yang telah dikembangkan di Amerika dan Eropa sejak tahun 1997 (Momemi, 2011). Sejak itu, ahli bahasa menawarkan bukti mereka di pengadilan untuk mendeteksi realitas dan lebih berhati-hati penghakiman sebuah kasus. Kejahatan yang terbentuk melalui bahasa adalah kejahatan yang dapat dipelajari dari sudut pandang linguistik. Kejahatan berbahasa tersebut dapat berupa penghinaan, ancaman, penipuan, bahasa palsu (pragmatik). Bahkan kejahatan seperti pencurian, penculikan dan pembunuhan yang melibatkan bahasa sebelum terjadinya kejahatan, dapat dianggap sebagai kejahatan berbahasa. Linguistik forensik biasanya digunakan dalam menganalisis aksi kejahatan yang berkaitan dengan penggunaan berbahasa, baik itu lisan maupun tulisan. Coulthard and Johnson (2010) menyebutkan bahwa linguistik forensik itu dapat memfokuskan kajiannya pada bahasa proses hukum dan bahasa sebagai bukti, baik lisan maupun tulisan. Untuk melihat sebuah kasus linguistik forensik, dapat dipakai klasifikasi teks untuk mengetahui bentuk linguistik sebagai bukti investigasi fungsi teks tersebut (Rahmat, 2014). Di Amerika linguistik forensik sudah masiv dipakai untuk menyelesaikan banyak masalah, seperti beberapa kasus persidangan yang menggunakan ahli bahasa. Smith (2002) menyebutkan bahwa hal pokok yang belum


41 menjadi fokus seseorang dalam meneliti suatu tindak kriminal adalah meneliti bahasa seseorang. Perilaku pelaku di TKP (tempat kejadian perkara) dan interaksi dengan para korban dapat membantu mengungkapkan motif kejahatan. Hal ini juga dapat membantu peneliti membangun sebuah deskripsi kepribadian dan karakteristik pelaku. Kepribadian dan karakteristik pelaku tersebut dapat dilihat dalam bahasa-bahasa pelaku tersebut. Penulis sependapat dengan Smith yang menyebutkan bahwa untuk meneliti pengancam dapat diketahui dari bahasa yang ia gunakan dan dari bahasa tersebut, seperti FBI yang dapat mengungkap motif pelaku dalam aksi kejahatannya. Aplikasi linguistik forensik juga telah memasuki Indonesia. Sudah banyak penelitianpenelitian dan tulisan mengenai bentuk aplikasi atau pendekatan yang digunakan melalui linguistik forensik. Melihat tersebut, maka dapat disimpulkan linguistik forensik adalah sebuah ilmu yang dapat mengungkap suatu kejahatan berbahasa. Baik kejahatan berbahasa berwujud lisan ataupun tulisan. E. Sidik Linguistik Pembahasan tentang konsep linguistik fingerprint atau sidik linguistik yang salah satunya dibahas oleh Olsson dalam bukunya berjudul Forensic Linguistik (2008:25-26). Basis awal dari kajian ini adalah keunikan berbahasa setiap orang yang dianalogikan setara dengan keunikan sidik jari manusia. Dengan kata lain, ketika


42 mereka terlibat dalam suatu kejahatan, karakteristik unik lingual tersebut bisa menjadi salah satu material analitik untuk mengidentifikasi pelaku (modifikasi ide konseotual dari penulis). Sekalipun tema sidik linguistik ada dalam buku Olsson, dia bukan pendukung setia konsep ini. Dengan alasan keraguan Olsson seputar pernyataan keunikan level praktik kebahasaan manusia masih perlu diperdebatkan. Hal itu berbeda dengan sidik jari atau sidik DNA misalnya. Sekalipun demikian, pertanyaan Olsson ini sesungguhnya bisa dijawab bila teknologi di bidang linguistik terus dikembangkan. Setidak-tidaknya, banyak ahli sependapat bahwa setiap bahasa dengan penutur yang berbeda akan menghasilkan pola lingustik yang berbeda jika diukur dengan teknologi. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa kajian sidik linguistik dapat dijadikan sebagai materi identifikasi tahap awal yang memungkinkan pola-pola linguistik selanjutnya untuk dipelajari. Dengan demikian, sekalipun Olsson tidak begitu setuju dengan konsep linguistc fingerprint (sidik linguistik), hal itu bukan berarti kajian sidik linguistik mengalami “mati suri”. Konsep sidik lnguistik perlu dikembangkan di berbagai ranah linguistik serta selalu ditopang dengan proses analisis investigatif kejahatan yang intensif dan akurat. Seiring dengan proses ini, maka konsep linguistc fingerprint tidak perlu diragukan lagi. Pada hakikatnya, karakteristik sidik linguistik pelaku kejahatan akan terlihat


43 dengan melakukan analisis mendalam terhadap materimateri kebahasaan terkait pelaku tersebut. Sidik linguistik merupakan ciri-ciri khusus dalam bahasa pelaku, saksi, dan termasuk juga korban. Ciri ini merupakan kaarkteristik khusus yang hanya dimiliki oleh subjek. Secara linguistis tidak ada bahasa orang yang identik sama walaupun mereka saudara kembar. Perbedaan inilah yang mendasari berkembangnya konsep linguistc fingerprint dalam linguistik forensik. Mengidentifikasi karakteristik khusus pola-pola lingual bahasa terkait kasus kejahatan baik dari pelaku maupun bukan pelaku yang belum dikenal (unknow subject/unsub) penting untuk mempelajari motif, modus operandi, dan perilaku kejahatan mereka di samping juga untuk membantu proses identifikasi identitas pelaku sendiri. Sidik linguistik (linguistc fingerprint) bisa diidentifikasi pada setiap level linguistik. Mulai dari aspek fonologis, semantis, pragmatis, sampai dengan wacana. Di samping itu masalah dialek dan isolek seorang pelaku juga perlu diselidiki. Kemudian aspek sosiolinguistik dan neurolinguistik mereka juga penting untk dipetakan. Dengan demikian jelaslah bahwa proses investigasi kasus membutuhkan linguistik secara multidispliner baik sesama bidang linguistik maupun bidang ilmu lain. Ada beberapa tipe pelaku yang telah memiliki kecerdasan pikiran kejahatan tingkat tertentu, mereka memahami pola-pola investigasi sama seperti para investigatr memahami pola kejahatan. Hal ini menyebabkan mereka


Click to View FlipBook Version