44 menyamarkan suaranya ketika terjadi proses komunikasi. Untuk proses penyelidikan suaram dibutuhkan studi fonologis baik secara fonetis maupun fonemis yang mendalam. Juga diperlukan bantuan piranti lunak dan keras untuk membantu investigasi. Akan tetapi seorang liguis forensik yang terlatih dengan baik mampu melakukan ini tanpa bantuan piranti-piranti tersebut. Artinya, dengan bantuan peralatan ataupun tidak, seorang linguis forensik harus siap menghadapi segala situasi, baik kondisi investigasi yang ideal maupun tidak. Konsep sidik linguistik atau linguistc fingerprint juga berhubungan dengan gaya bahasa seseorang, pola pilhan kata, gaya frasa, dan klausa baik di tataran teks maupun ujaran langsung. Proses identifikasi pelaku dan pihakpihak terkait dengan suatu kasus perlu dimulai dengan mengumpulkan data yang berhubungan dengan aspekaspek kebahasaan ini. Segera tentukan sidik linguistik pelaku. Artinya, segera temukan ciri khusus pola kebahasaan pelaku di segala lini linguistik. Ini akan membantu mempelajari pelaku secara mendalam. Selanjutnya, data linguistik pihak-pihak yang terlibat pelu dikelola secara baik. Ini juga penting jika pelaku yang belum tertangkap meninggalkan ciri-ciri linguistik yang sama atau mirip dengan data yang telah dikumpulkan sebelumnya. Pelajari juga apakah data linguistik yang telah dikumpulkan memiliki keterkaitan dengan data baru jika diduga pelakunya sama.
45 Tentu saja setiap pelaku apalagi penjahat professional, seperti pembunuh bayaran atau oembunuh terlatih seringkali juga telah dilatih untuk menyamarkan atau mengkamuflasekan bahasanya ini mereka lakukan untuk mengaburkan sidik linguistik mereka. Akan tetapi, seorang linguis forensik terlatih tidak akan tertipu dengan permainan bahasa seperti itu. Perubahan gaya bahasa ujaran seradikal apapun tetap akan meninggalkan jejak karakteristik signatur (signature characteristics) di berbagai lini linguistik. Misalnya pada tahapan fonologis, kontur fonologis pelaku besar kemungkinan akan tetap membawa karakteristik kontur bahasa asli pelaku. Aspek kontur fonologis dan pola tekanan silaba lebih sulit diubah dan dikontrol secara sadar. Sehingga praktisi kejahatan terlatih pun seringkali luput mengontrolnya. Biasanya ketika mereka berkomunikasi jarak jauh dengan pihak keluarga korban atau kepolisian seperti dalam kasus penculikan mereka akan menggunakan instrument atau piranti untuk mengubah bunyi suara. Namun, ini tidak berlaku pada aspek fonologis pelaku. Oleh sebab itu, penyelidikan linguistik forensik ketika berhadapan dengan penjahat terlatih seperti ini perlu sampai pada level linguistik mikro. Tentu saja jika data dan bukti bahasa yang ditemukan lebih banyak dalam bentuk ujaran verbal. Gaya bahasa pelaku baik dalam wujud tulisan maupun lisan merupakan salah satu unsur kejahatan pelaku di tataran lingual. Hal ini juga merupakan sarana investigasi untuk mengidentifikasi karakteristik khusus
46 atau karakteristik spesifik bahasa pelaku yang akan mengarahkan alur investigasi dan analisis kejahatan pada individu-individu atau kelompok tertentu. Adalah fakta bahwa sidik linguistik (linguistc fingerprint) bisa perorangan maupun berkelompok. Kajian sidik linguistik di beragam lini dan tahap linguistik pada dasarnya berorientasi kuat untuk mengidentifikasi pelaku melalui karakteristik bahasa dan gaya bahasa pelaku secara spesifik. Seringkali kita menghadai situasi data-data bahasa atau simbol-simbol yang ditinggalkan pembunuh atau pelaku mirip dengan yang dimiliki oleh oelaku lain yang telah tertangkap. Dalam konteks situasi seperti ini kita perlu memahami bahwa dalam dunia kejahatan seringkali juga ada pengidolaan dan pengkultusan individu. Seorang penjahat atau pembunuh seringkali mengidolakan pembunuh lain yang hebat di matanya. Oleh sebab itu, ada kecenderungan seorang pembunuh atau penjahat akan meniru pola-pola simbol dan teks penjahat yang dia idolakan. Dalam investigasi kasus-kasus pembunuhan atau kejahatan seperti ini, tidak ada salahnya linguis forensik mewawancarai penjahat atau pembunuh yang berkemungkinan diidolakan jika „sang idola‟ ini telah tertangkap. Ini penting untuk menentukan pola motif dan modus pelaku yang berkemungkinan juga mirip dengan pelaku yang menjadi idola tersebut. Dan tidak menutup kemngkinan penjahat yang menjadi idola juga mengenal unsub yang mengidolakannya.
47 Sidik linguistik berhubungan erta dengan profilisasi penulis/pelaku. Salah satu tahap pertama prses profilisasi pelaku adalah dengan memetakan atau mengidentifikasi sidik linguistiknya dari data atau bukti bahasa yang terkait dengan kasus. Tahp ini kemudian dilanjutkan dengan memetakan sidik linguistik yang telah ditemukan. Segera hubungkan sidik linguistik tersebut dengan kemungkinankemungkinan identitas pelaku, motif, dan modus kejahatannya. Adalah sangat wajar ketika kita menemukan banyak kemungkinan. Oleh sebab itu kita perlu memetakan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Tampung dulu dan kelola sebagai data-data investigasi. Semakin mendalam suatu penyidikan maka kemungkinan akan makin mengerucut. Dalam mempelajari segala bentuk kemungkinan tersebut tidak ada salahnya mencoba berpikir seperti pelaku kejahatan itu sendiri. Coba posisikan diri kita sebagai penjahat, misalnya pembunuh, setelah membunuh apalagi yang akan kita lakukan, tentu saja menghilangkan jejak atau bukti-bukti yang bisa tertinggal.
48
49 BAB V KEJAHATAN BERBAHASA A. Pencemaran Nama Baik Pencemaran nama baik terdiri atas dua unus, yakni tindakan pencemaran dan objek yang dicemarkan yaitu nama baik seseorang. pencemaran nama baik bisa diartikan sebagai perbuatan/tindakan seseorang yang mengakibatkan tercemarnya nama baik seseorang lain atau objek yang dihina. Pencemaran nama baik dapat dikelompokkan menjadi dua atas dasar saran yang digunakan yaitu pencemaran nama baik konvensional dan pencemaran nama baik melalui teknologi informasi. Pencemaran nama baik sevara konvensional dapat dialkukan secara langsung melalui lisan seseorang taupun tertulis yaitu dengan menyebarkan gambar atau tulisan kepada khalayak ramai agar semua mngetahui hal tersebut. Sedangkan pencemaran nama baik melalui teknologi informasi dilakukan denagn unggahan di media sosial baik secara lisan yaitu audio visual maupun secara tertulis melalui tulisan atau gambar. Contoh kasus:
50 Contoh dari kejahatan berbahasa pencemaran nama baik saya ambil dari platform DETIKNEWS yang memuat berita tentang salah satu public figure di tanah air. Jerinx didakwa menyebarkan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dakwaan ini didasarkan pada unggahan Jerinx yang menyebutkan bahwa 'IDI kacung WHO' pada tanggal 13 Juni 2020. B. Fitnah Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminto mengartikan fitnah dengan perkataan yang bermaksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan dan sebagainya). Ensiklopedi Agama dan Filsafat menjelaskan bahwa fitnah adalah perkataan bohong yang mencelakaakn orang. Atau maksud-maksud yang tidak baik, dari fitnah itu terhadap sasaran atau yang difitnah. (Poerwadarminto, 1986). Contoh kasus:
51 DETIKNEWS melalui artikelnya menyampaikan bahwa seorang pria berinisial F ditangkap polisi karena diduga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah terhadap anggota DPR Akbar Faisal. Seorang pria berinisial F ditangkap polisi karena diduga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah terhadap anggota DPR Akbar Faisal. Brigjen Fadil Akbar sebagai Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menjelaskan isi fitnah yang dilontarkan tersangka F adalah Akbar Faisal memiliki tabungan di sebuah bank Singapura serta memiliki rumah mewah yang berasal dari perbuatan korupsi pada proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Akhirnya Polisi menjerat F dengan Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 huruf b Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun. C. Ancaman Tindak pidana ancaman diatur dalam Pasal 368 dan 369 KUHP yang menjelaskan tentang tindak pidana pemerasan dan pengancaman. Keduanya berbeda dari cara-cara yang digunakan dalam kedua tindkan tersebut. Tindak pidana dalm Pasal 368 KUHP yang lazim disebut „pemerasan‟ menggunakan „kekerasan atau ancaman kekerasan‟, sedangkan tindak pidana dalam pasal 369 KUHP yang lazim disebut „pengancaman‟ menggunakan cara „pencemaran nama baik lisan maupun tertulis‟. Unsur obyektif dalam pengancaman yaitu memaksa, orang lain,
52 dengan pencemaran nama baik atau ancaman buka suatu rahasia, supaya memberi hutang, menghapus piutang. Dan unsur subyektifnya dengan maksud tertentu dan untuk mentungkan diri sendiri. Contoh kasus: Video berdurasi 19 detik dari seorang pemuda yang tidak memakai baju itu menunjukkan ungkapan tantangandyang dilontarkan terhadap Presiden Joko Widodo seraya memegang bingkai foto Jokowi. “Gue tembak lo ye. Jokowi, gua bakar rumahnya. Presiden gua tantang cari gua 24 jam, kalau nggak lo temuin gua, gua yang menang," kata pemuda tersebut dalam videonya. Pemuda tersebut menyampaikan ujarannya dengan nada yang mengancam lewat media sosial Instagraisdengan akun @jojo_ismyname. Pihak kepolisianpun melakukan penyelidikan mengenai video viral pemuda tersebut.
53 D. Penyuapan Penyuapan berasal dari kata suap yang berarti mengemis atau gelandangan dalam bahasa Perancis, dengan demikian seseorang yang terlibat dalam praktik suap-menyuap harusnya malu karena kehiduapnnya sangat tercela dan merendahkan martabat. Tindak pidana suap dapat berupa pemberian barang, uang sogok dan lain sebagainya. Adapun tujuan dari suap adalah untuk mempengaruhi pengampilan keputusan dari oang lain yang disuap. Qordhawi mengatakan bahwa suapa adlaah sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau jabatan yang menyukseskan perkaranya dan menyingkirkan musuhnya (Qodharwi, 1997:81). Contoh kasus: CNN Indonesia dalam artikelnya menyampaikan bahwa mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Papua Mikael Kambuaya dituntut hukuman 8 tahun penjara, denda Rp300 juta subsidair enam bulan
54 kurungan penjara karena korupsi yang dilakukan bersama bersama Komisaris PT Manbers Jaya Mandiri (MJM) David Manibui. Mikael dianggap terbukti bersalah dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pembangunan ruas jalan Kemiri-Depapre, Jayapura. Selain menuntut Mikael, Jaksa juga menuntut agar majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 8 tahun dan denda Rp300 juta subsidair 6 bulan kurungan penjara kepada David selaku penyuap dalam kasus pembangunan ruas jalan Kemiri-Depapre, Jayapura. Baik Mikael dan David dinilai telah terbukti melanggar pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. E. Kesaksian Palsu Keterangan saksi adalah aslah satu alat bukti dalm perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alaami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. Memberikan keterangan palsu saat menjadi saksi dipersidangan dapat diancam hukuman pidana yang diatur pasal 242 KUHP.
55 Contoh kasus: Contoh kasus kejahatan berbahasa kesaksian palsu kali ini dari perempuan bernama Miryam. Mantan politisi Partai Hanura itu dianggap dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar saat bersaksi di pengadilan kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik. F. Penistaan Penistaan seringkali dikaitkan dengan hal-hal yag berakitan dengan agama. Maka penistaan disini dikaitkan dengan penistaan agama. Penistaan agama adalah tindakan, tutur kata, sikap atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok atau orang atau lembaga. Penistaan tersebut bisa berwujud provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok
56 tertntu melalui berbagai aspek seperti suku, budaya, adat istiadat serta agama. Dalam hukum Islam, seseorang yang menistakan agama merupakan perbuatan yang dikatagorikan perusak akidah karena hal ini bertentangan dengan norma agama Islam yang ada dalam kitab suci AlQuran. Contoh kasus: Contoh kasus kejahatan penistaan datang dari Omar Farouq, bocah laki-laki berusia 13 tahun dihukum oleh Pengadilan Syariah Negara Bagian Kano, barat laut Nigelaki. Ia terancam 10 tahun penjara setelah didakwa melakukan penistaan agama dengan mengucapkan bahasa kotor terhadap Allah dalam sebuah pertengkaran dengan seorang teman.
57 G. Hasutan Hasutan berasal dari kata hasut yang artinya membangkitkan hati orang supaya marah (melawan, memberontak, dan sebagainya. Utamanya hasutan kebencian yang memang ditujukan untuk membuat ancaman nyataterhadap keamanan nyawa seseorang. Menurut definisi Komnas HAM (2016) yang mengartikan hasutan kebencian secara lebih luas yaitu segala bentuk komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung; didasarkan pada kebencian atas dasar suku, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, etnis dan identitas lainnya; yang ditujukan sebagai hasutan terhadap individu atau kelompok agar terjadi diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan konflik sosial dan dilakukan melalui berbagai sarana. Contoh kasus: Berdasarkan rekaman video yang beredar di media sosial serta berita sejumlah media online, Viktor Bungtilu Laiskodat diduga menghasut/memprovokasi rakyat untuk melakukan kejahatan yaitu membunuh. Berdasarkan hal
58 ini, maka Viktor Bungtilu Laiskodat terancam pidana penjara 6 (enam) tahun berdasarkan Pasal 160 KUHPidana. H. Konspirasi Konspirasi, menurut KBBI yaitu persengkokolan, komplota. Konspirasi adalah persengkokolan sekumpulan orang dalam merencanakan sebuah kejahatan yang dilakukan dengan rapi dan sangat dirahasiakan. Pelaku konpirasi disebut konspirator. Menurut kamus Oxford, pengertian konspirasi adalah suatu rencana yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu dengan tujuan illegal atau merugikan pihak-pihak tertentu. Secara umum konpirasi dilakukan untuk menyalahkan suatu pihak atau untuk membuat suatu alasan. Teori konspirasi seringkali membuat heboh masyarakat luas. Teori konspirasi berusaha untuk menjelaskan rencana-rencana atau fakta kejahatan yang sebenarnya terjadi dibalik suatu peristiwa. Contoh kasus:
59 Headline dari salah satu platform berita yang menyampaikan bahwa sebagian persen warga Sumatera Barat masih percaya bahwa Covid-19 sebagai konspirasi atau hanya berita yang dibuat oleh dunia tau negaranegara maju. Covid-19 pada kenyataannya adalah sebuah permasalahan dunia yang sangat berbahaya tetapi warga Sumbar lebih memilih untuk mempercayai bahwa hal ini adalah sebuah konspirasi. I. Ujaran Kebencian Pada dasarnya, ujaran kebencian berbeda dengan ujaran pada umumnya, walaupun di dalam ujaran tersebut mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-kobar. Perbedaan inti terletak pada niatan dari suatu ujaran yang memang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu. Menurut Susan Benesch, jika ujaran tersebut dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan kekerasan, menyakiti orang atau kelompok lain, maka ujaran kebencian itu berhasil dilakukan (Anam dan Hafiz, 2015). Contoh kasus:
60 Kasus kejahatan berbahasa ujaran kebencian yang saya dapat yaitu berita yang dimuat dalam Liputan6, Gus Nur dianggap sebagai tersangka karena dinilai telah menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kepada Nahdratul Ulama (NU) melalui pernyataan yang diunggah dalam akun Youtube Munjilat Channel pada 16 Okober 2020. Pihak kepolisian bukan hanya memeriksa Gus Nur sendiri tetapi juga anaknya yang berinisial M sebagai pemilik channel Youtube dimanana dia mengunggah video yang mengandung ujaran kebencian. J. Berita Bohong (Hoax) Dalam undang-undang ITE dijelaskan bahwa berita bohong bertujuan untuk menipu, menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasrkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), (UU No. 19 tahun 2016). Penyiaran berita bohong ini merupakan puncak dari perekayasaan berita. Hanya mereka yang tidak menggunakan akal sehat yang punya keberanian untuk menyiarkan kabar bohong. Penyiaran kabar bohong akan lebih membahayakan opini masyarakat apabila di-relay atau dikutip oleh media lainnya (Pareno, hal 73). Hoax adalah pemeberitaan palsu dan upaya penyebarannya yang bertujuan agar pembaca percaya terhadap berita palsu tersebut.
61 Contoh kasus: KOMPAS.com dalam artikelnya menyatakan bahwa deredar narasi di media social bahwa Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyatakan bahwa virus Covid-19 tidak pernah menyebar ke udara sehingga penggunaan masker tidak diperlukan. Pada kenyataannya narasi tersebut tidak benar. CDC menegaskan, ada kemungkinan Covid-19 menyebar melalui tetesan dan partikel di udara. Ada juga bukti yang berkembang bahwa tetesan dan partikel di udara dapat tetap melayang di udara dan dihirup orang lain. CDC juga merekomendasikan penggunaan masker untuk menahan sebaran Covid-19. Adanya hoax ini terjadi karena didukung oleh narasi-narasi lain yang beredar di media sosial.
62 K. Penghinaan Penghinaan menurut pengertian umum adalah „menghina‟, yaitu menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Akibat dari serangan ini biasanya penderita akan merasa malu. Kehormatan seseorang yang diserang terkait nama baik dipertaruhkan. Pengertain penghinaan menurut kamus hukum, adalah penyerangan sengaja atas kehormatan atau nama baik secara lisan maupun secara tulisan dengan maksud untuk diketahui oleh orang banyak (Kamus Hukum, 2013). Tindakan penghinaan secara sederhana diartikan tindakan atau sikap yang melanggar nama baik atau sikap yang bertentangan dengan tata krama dalam mempehatikan kepentingan diri orag lain dalam pergaulan sehari-hari. Contoh kasus: Bareskrim Polri melakukan penangkapan terhadap Basmi karena ujaran kebencian yang terhadap Moeldoko
63 dan Polisi yang disampaikan melalui aku Facebooknya. Basmi diciduk di rumah indekos di kawasan Koja, Jakarta Utara. Basmi dijerat dengan tindak pidana Ujaran kebencian (SARA) Pasal 28 ayat 2 UU ITE, dan atau penghinaan Pasal 207 KUHP. Barang bukti yang diamankan antara lain satu unit HP, satu SIM card, dan satu akun Facebook Muhammad Basmi.
64
65 BAB VI METODOLOGI PENELITIAN LINGUISTIK FORENSIK Secara umum, metodologi penelitian linguistik forensik sesuai dengan panduan metodologi penelitian linguistik/bahasa pada umumnya. Perbedaan mendasar hanya terletak pada data penelitian dan lingkup kajiannya. Selebihnya, mengikuti pola metodologi penelitian linguistik pada umumnya. Untuk itu, pada bagian ini akan diuraikan secara singkat metodologi penelitian linguistik/bahasa yang dapat pula diterapkan dalam penelitian linguistik forensic. A. Bahan Penelitian Bahasa Pertanyaan penting untuk dijawab oleh para linguis, dosen, peneliti, peminat dan mahasiswa bahasa adalah apa sebenarnya bahan kajian bahasa? Dengan kata lain, ketika seseorang akan melakukan penelitian tentang bahasa dia harus memahami apa saja yang diteliti dan bagaimana menelitinya. Ini penting, sebab kesalahan menentukan objek kajian merupakan kesalahan amat fatal yang berdampak pada hasil penelitian yang bisa jadi berbeda dari maksud semula. Secara ontologik, ilmu bahasa mengkaji berbagai gejala bahasa, dan talitemali bahasa dengan gejala lain. Wardhaugh (1986: 1) menyebutkan “…a language is what the members of a particular society speak”. Sebelumnya
66 Saussure (1973: 16) mendefinisikan bahasa sebagai “.. a system of signs that express ideas”. Jadi, dari dua definsi tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya bahasa adalah lisan. Dengan demikian, bahan kajian primer ilmu bahasa adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa tulisan merupakan bahan kajian sekunder (Verhaar, 1976: 3). Mengapa bahasa tulisan menjadi sekunder? Para tokoh hermeneutika kontemporer seperti Gadamer memandang bahwa menurut kodratnya bahasa adalah “lisan”, kemudian disusul bahasa tulis demi efektivitas dan kelestarian bahasa tutur. Perubahan bahasa dari tutur ke tulis mengandung banyak kelemahan, misalnya kehilangan konteks dan daya ekspresi penuturnya (Rahardjo, 2005: 84). Pemikiran di atas tidak lepas dari gagasan dasar yang dikemukakan Ferdinand de Saussure lewat karyanya Cours de Linguistique Generale. Pemikiran Saussure yang kemudian disebut sebagai linguistik modern menekankan pada aspek struktur bahasa, sehingga paham ini disebut sebagai linguistik struktural. Saussure mengembangkan konsep tentang hakikat bahasa yang dibedakan atas tiga pengertian, yaitu langue, langage, dan parole. Menurut Saussure langue adalah keseluruhan kesan yang tersimpan dalam otak setiap orang serta merupakan perangkat konvensi yang kita terima dan siap pakai dari penutur terdahulu sehingga lahir sistem lambang tertentu, sehingga disadari atau tidak mengikat
67 tindak bahasa setiap orang, misalnya bahasa Indonesia, Inggris, Jepang Arab, dan sebagainya. Parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan seseorang secara kongkret, meliputi logat, ucapan, perkataan yang digunakan manusia dalam berkomunikasi, termasuk konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur. Dengan demikian, parole adalah manifestasi individu dari bahasa. Langage merupakan gabungan antara parole dan kaidah bahasa (Saussure, 1973: 74-83; Sarjono, 2001: 17). Berdasarkan pengertian di atas, objek kajian utama linguistik adalah bahasa sebagai suatu gejala empirik yang merupakan suatu sistem tanda. Oleh karena itu, secara epistemologik objek linguistik adalah bahasa sebagai bahasa yang lepas dari sejarah dan konteks sosial kehidupan manusia. Dengan demikian, kajian linguistik tidak berurusan dengan aspek-aspek apa pun di luar bahasa sebagai sistem tanda, misalnya aspek afeksi, emosi, konteks sosial, psikologis, seni, dan keagamaan (Verhaar, 1976: 5). Maka jelas bahwa gejala paling kongkret bahasa berupa ujaran (parole). Gejala lebih abstrak, karena menyangkut kaidah-kaidah bahasa tertentu secara tepat, berupa langue. Bahasa Inggris dengan segala kaidahnya, misalnya, merupakan langue. Sedangkan yang paling abstrak adalah langage, yang mencakup tidak hanya kaidah satu bahasa, tetapi kaidah umum berbagai bahasa.
68 Ilmu bahasa (linguistik) tidak hanya mempelajari satu langue, tetapi juga tempat langue tersebut dalam khasanah langage. Dalam setiap bahasa, ada ciri tertentu yang juga ditemukan dalam bahasa-bahasa lain. Karena itu, akan lebih baik jika seorang sarjana bahasa juga menguasai satu atau lebih bahasa selain bahasanya sendiri, agar bisa mengungkap ciri yang sama maupun yang berbeda antara satu langue dengan langue lain, menuju penemuan kaidah-kaidah umum langage. Secara sederhana, ada lima wujud gejala langage. Karena kelahiran bahasa bermula dari ujaran (speech), maka gejala terkecil bahasa adalah bunyi (sound, phone) yang direpresentasikan dalam bentuk huruf. Gejala ini dipelajari oleh cabang kajian fonetik atau fonologi (phonetics or phonology). Gejala bahasa terkecil kedua berupa morfem (morpheme) dan kata (words). Serba-serbi kata dipelajari oleh morfologi (morphology), perbendaharaan kata ini dipelajari oleh leksikologi (lexicology), sedangkan kata sebagai tanda dikaji oleh semiotika (semiotics) atau semiologi. Gejala bahasa berupa kelompok kata, baik berupa frasa (phrase) maupun kalimat (sentence) yang tersusun secara tertentu (structure) dipelajari oleh cabang kajian sintaksis (syntax). Karena bahasa niscaya digunakan untuk bertukar pesan, maka unsur sangat penting bahasa berikutnya adalah makna (meaning). Gejala bahasa ini dipelajari oleh cabang kajian semantika (semantics). Selanjutnya, gejala bahasa berupa percakapan dan atau
69 wacana (conversation and or discourse) dipelajari baik oleh cabang kajian pragmatika (pragmatics), hermeneutika (hermeneutics), analisis isi (content analysis), maupun analisis wacana (discourse analysis). Seluruh cabang ilmu bahasa yang mempelajari sistematika bahasa tanpa mengaitkan dengan perkembangan atau sejarahnya disebut sebagai kajian linguistik sinkronik (synchronic-linguistik) (Rosidi, 2002: 4). Berbeda dengan fonem, kata dan sistem bahasa pada umumnya yang bersifat abstrak, kalimat dan wacana (teks) adalah peristiwa bahasa yang bersifat singular yang terikat pada ruang dan waktu (konteks). Artinya, orang tidak dapat mengucapkan kalimat di sembarang tempat dan waktu. Diperlukan pertimbangkan waktu dan tempat yang tepat kapan sebuah kalimat diucapkan, kepada siapa dan untuk maksud apa. Ini pula sebabnya kajian tentang wacana (teks), yakni analisis wacana menempatkan konteks sebagai bagian penting untuk memahami makna wacana (teks). Sebagai gejala khas manusia, bahasa juga tidak dapat dipisahkan dengan gejala khas manusia yang lain. Gejala ini melahirkan bidang kajian lintas disiplin (interdisciplinary study). Tali-temali bahasa dengan masyarakat, misalnya, dipelajari oleh cabang kajian sosiolinguistik dan sosiologi bahasa (sociolinguistik and sociology of language). Hubungan bahasa dengan jiwa manusia, termasuk proses pemerolehan bahasa pertama (first-language acquisition), speech comprehension and
70 production dipelajari oleh cabang kajian yang disebut psikolinguistik (psycholinguistik). Hubungan bahasa dengan ilmu pendidikan, misalnya, pembelajaran bahasa kedua (second-language learning), dipelajari oleh cabang kajian linguistik terapan (applied-linguistik). Kenyataan yang terkait dengan masa kuno dari sesuatu bahasa dengan sejarah atau perkembangan bahasa, dipelajari oleh linguistik diakronik (diachronic-linguistik). Bahasa juga bersentuhan dengan antropologi yang kemudian dipelajari oleh cabang kajian antropolinguistik (anthropolinguistik). Relasi bahasa dengan ilmu neurologi dikaji oleh cabang kajian yang disebut neurolinguistik (neurolinguistik), sedangkan kajian yang mempelajarai bahasa dengan kehidupan manusia pada umumnya (etnometodologi) disebut etnolinguistik (ethnolinguistik). (Tentang pemetaan objek dan wilayah kajian bahasa lihat lampiran I). Gejala baru dalam bidang kebahasaan dengan memanfaatkan piranti teknologi modern melahirkan cabang disiplin baru dalam ilmu disebut language computing. Language computing bukan komputerisasi bahasa, melainkan cabang linguistik dengan memanfaatkan komputer untuk memahami bahasa selain berfungsi sebagai alat bantu komunikasi, khususnya lewat internet. Di antara sekian banyak cabang interdisciplinary studies tersebut, tampaknya baru cabang sosiolinguistik dan psikolinguistik yang berkembang pesat.
71 Dengan demikian jelas bahwa karena ilmu bahasa mempelajari parole, langue, dan langage, maka tidak dibenarkan penelitian bahasa dengan menggunakan topik kajian di luar ketiga bahan kajian tersebut. Ilmu bahasa tidak mempelajari sembarang lambang (symbols), sembarang isyarat (codes), dan tidak pula mempelajari sembarang tanda (signs), tetapi rangkaian lambang suara dan terucap (vocal and verbal symbol), yang kemudian berkembang menjadi lambang tertulis. Simbolisme pada upacara perkawinan, misalnya, sama sekali di luar kawasan kajian ilmu bahasa. Demikian pula berbagai bentuk komunikasi “bahasa isyarat” (non-verbal communication), tidak termasuk ke dalam kawasan kajian ilmu bahasa. Kalaupun diajukan sebagai topik kajian, harus tetap terkait dengan lambang terucap (Rosidi, 2002: 4). Mengapa tidak sembarang lambang merupakan objek kajian bahasa? Eco (1979) mengemukakan bahwa bahasa dicirikan oleh terdapatnya pengelompokan ganda. Pertama, dengan bantuan kata-kata dan semua perlengkapan gramatikal, bahasa membagi dunia dalam kesatuan berdasarkan isinya. Kedua, semua kata (signifikan) dalam suatu bahasa dihimpun dari unsurunsur fonem dalam jumlah terbatas yang pada dasarnya tidak bermakna. Kata “biru”, misalnya, pada pengelompokan pertama menunjukkan sebuah pembedaan dengan warna lain, kuning, hijau, hitam, putih dan sebagainya. Dalam pengelompokan kedua, kata “biru”
72 dihimpun dari unsur-unsur fonem /b/, /i/, /r/, dan /u/ yang masing-masing sebelum digabung dalam sistem bahasa tertentu (dalam hal ini bahasa Indonesia) tidak memiliki arti. Situasi ini yang membedakan antara bahasa dengan sistem nonbahasa. Misalnya, tanda lalu lintas dibedakan antara warna kuning, hijau dan merah. Signifikansi tanda-tanda tersebut tidak dapat dibagi lebih lanjut ke dalam unsurunsur lain sebagaimana tanda bahasa. Pengelompokan tanda lalu lintas terbukti dilakukan dengan sangat sederhana. Itu sebabnya, berbeda dengan sistem tanda bahasa, sistem tanda nonbahasa hanya berguna dan terbatas pada bidangbidang kehidupan tertentu. Sistem tanda lalu lintas hanya berlaku untuk lalu lintas jalan raya di darat dan tidak berlaku sebagai tanda lalu lintas di udara dan laut. Sedangkan sistem tanda bahasa dapat digunakan dalam semua bidang kehidupan manusia. B. Metode Penelitian Peran Metode Penelitian Bagian metodologi riset ini merupakan kunci utama rallisasi proposal ke dalam pelaksanaan riset .... (Aan, 2013:176). Dua masalah yang erat yaitu metode dan teknik; dua masalah inilah yang disebut dengan metode penelitian. Metode penelitian berakar pada suatu teori. Teori berfungsi sebagai sarana pemahaman atau sarana menjelaskan, sedangkan metodologi berfungsi sebagai sarana pengamatan
73 (Masinambow, 2000:8). Tujuan penelitian kebahasaa dicapai dengan pemilihan metode yang tepat. Komponenkomponen metode penelitian kebahasaan berikut ini yang perlu diperhatikan. (a) Lokasi penelitian Apabila penelitian kebahasaan dilakukan di masyarakat tertentu, maka peneliti harus mencari lokasi yang tepat. (b) Responden/Nara sumber Responden/Nara sumber dipilih sesuai dengan kriteria yang diperlukan dalam penelitian yang sedang dilaksanakan. Misal: usia, jenis kelamin, pekerjaan, (c) Data dan sumber data Data yang dikumpulkan wujudnya adalah elemen bahasa. Misal: kata, frase, klausa, atau kalimat. Data penelitian ini harus tegas dan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Sumber data penelitian kebahasaan ada dua yaitu sumber data tertulis dan sumber data lisan. (d) Objek penelitian Penelitian linguistik menempatkan peneliti tidak terpisah dari objek yang ditelitinya. Peneliti bisa melepaskan diri dari keterikatan ini dengan mengidentifikasi “apa” yang akan diteliti. (e) Teknik Pengumpulan Data “Sejalan dengan data yang akan dikumpulkan serta sumber data yang ada selanjutnya dikemukakakan teknik pengumpulan data” (Sutama dan Main, 2011: 54). Sumber data tertulis dikumpulkan dengan cara-cara yang bersifat dokumentatif. Sumber data lisan dikumpulkan dengan cara-cara yang bersifat interaktif. Misal: wawancara,
74 diskusi, interaksi yang telibat, dan keterlibatan percakapan secara langsung. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk memperoleh data yang dapat diandalkan. Peneliti harus turun sendiri ke lapangan dan melakukan pencatatan. Wawancara secara intensif sebaiknya dilakukkan hanya satu jam dalam sehari (Masinambow, 2000:7). (f) Teknik Analisis Data Teori kebahasaan yang digunakan menganalisis data berpengaruh terhadap metode yang dipilih. Ada aliran behavioristik, tagmemik, struktural, tranformasi, fungsionalisme, dan sebaginya. Data yang dianalisis sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian kebahasaan. Contoh: “Walaupun sasmita merupakan pengetahuan yang dimiliki anggota masyarakat Jawa tetapi mereka kesulitan memahami sasmita yang ada di dalam tuturan. Contoh: (1) Maaf, saya tidak pamit ibu tadi. (2) Wah, saya sudah berjanji akan mengantar anakanak ke Matahri nanti malam. Kalimat (1) memiliki sasmita si penutur ingin segera meninggalkan tempat itu. Dengan mengatakan “tidak pamit ibu” penutur bermaksud agar orang yang tiajak berbicara memaklumi kalau ia tidak bisa lebih lama bersamasama dan ingin segera pulang. Kalimat (2) memiliki sasmita menolak secara tidak langsung suatu ajakan atau keinginan seseorang.” (Setiyadi, 2009:326). (g) Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Sajian hasil penelitian bisa berupa pernyataan biasa dalam bentuk
75 kata-kata tanpa disertai dengan rumus-rumus tertentu. Sajian hasil analisis bisa pula dengan menyajian keduanya yang saling melengkapi. Peneliti hendaknya memilih secara cermat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. C. Contoh Hasil Penelitian Linguistik Forensik Pada bagian ini disajikan beberapa contoh hasil penelitian linguistik forensik. Sajian ini merupakan intisari dari hasil penelitian yang telah dipublikasikan di beberapa jurnal ilmiah. Publikasi lengkap dari masing-masing hasil penelitian tersebut dapat diunduh langsung dari laman yang disertakan dalam tulisan ini. 1. Studi Kasus Linguistik Forensi: Hoaks Rekaman Suara yang Diduga Gatot Nurmantyo, oleh Gozali Saputro Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbandingan bahasa pada rekaman Similar Voice Sample (SVS) karya Gatot Nurmantyo dengan bahasa pada rekaman Original Voice Sample (OVS) karya Gatot Nurmantyo. Sumber data adalah satu record SVS dan tiga record OVS (OVS01-OVS03). Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, penyalinan, dan pencatatan. Instrumen pengumpulan data berupa manusia, peneliti sendiri dengan alat perekam dan alat tulis. Analisis dilakukan secara komprehensif dengan mengkaji berbagai aspek yang meliputi Fonologi, Sosiolinguistik, Wacana,
76 dan Stilistika. Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, terdapat perbedaan yang signifikan antara bahasa pada SVS dan bahasa pada ketiga rekaman OVS ditinjau dari aspek Sosiolinguistik, Wacana dan Stilistika. Kedua, pada aspek Fonologi terdapat kecenderungan kesamaan bahasa pada rekaman SVS dan bahasa pada ketiga rekaman OVS di beberapa bagian antara lain durasi ujaran kata, intensitas energi ujaran kata, dan bunyi kata. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pada Skala Likelihood Klasik, rekaman SVS dan OVS tidak berasal dari pembicara yang sama. 2. Ambulans Pembawa Batu: Kajian Linguistik Forensik, oleh Ahmad Hamidi Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ujaran tentang “Ambulans Pembawa Batu” melalui analisis morfosemantik dan pragmatik yang dinaungi oleh paradigma linguistik forensik. Dalam penelitian ini, deskriptif kualitatif digunakan sebagai metode dan rancangan studi kasus. Ungkapan tentang “Ambulans Pembawa Batu” digunakan sebagai data, sedangkan sumber datanya adalah screenshot salah satu tweet influencer di Twitter yang kemudian dikenal dengan SP. Dalam penelitian ini, digunakan teori morfosemantik dan tindak tutur untuk menemukan hasil untuk mencapai tujuan penelitian. Hasil data menunjukkan bahwa (1) SP berusaha mengonstruksi interpretasi pendengarnya dengan menggunakan 'carrier' sebagai diksi terkait
77 ambulans yang membawa batu, (2) tuturan SP dapat disimpulkan tidak memenuhi salah satu syarat, dirumuskan oleh Austin (1962) dan Searle (1969) tentang syarat-syarat kelayakan, dan (3) hasil analisis kebahasaan dan unsur-unsur dalam dokumen hukum menunjukkan bahwa dokumen hukum tersebut dapat menjerat SP. 3. Ujaran Kebencian Facebook Tahun 2017-2019, oleh Devita Indah Permatasari dan Subyantoro Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasi dan menganalisis bentuk ujaran kebencian pada facebook Ahmad Dhani Prasetyo (ADP). Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan teoretis dan metodologis. Penelitian ini menggunakan pendekatan metodologis berupa metode deskriptif kualitatif dan pendekatan teoretis menggunakan pendekatan linguistik forensik dengan pisau bedah analisis pragmatik. Metode dan teknik yang digunakan dalam penyediaan atau pengumpulan data adalah metode simak dengan teknik sadap dan teknik catat. Metode dan teknik yang digunakan untuk menganalisis data menggunakan metode padan dengan subjenis padan pragmatis. Metode dan teknik yang digunakan untuk menyajikan hasil analisis data adalah metode formal dan informal. Hasil penelitian ini ditemukan ujaran kebencian bentuk memprovokasi, ujaran kebencian bentuk menghasut, ujaran kebencian bentuk menghina, ujaran kebencian bentuk menistakan, ujaran kebencian bentuk
78 pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian bentuk penyebaran berita bohong. 4. Implikatur Percakapan terhadap Siswa Pelanggar Aturan Sekolah (Kajian Linguistik Forensik Interogasi), oleh Karmila Indah Hasin Implikatur Percakapan terhadap Siswa Pelanggar Aturan Sekolah (Kajian Linguistik Forensik Interogasi). Penelitian ini mendeskripsikan fenomena kebahasaan siswa serta bentuk implikatur percakapan menggunakan kajian linguistik forensik. Penelitian ini menggunakan prinsip kerja sama Grice. Adanya pelanggaran prinsip kerja sama sebagai upaya pertahanan siswa untuk menutupi kesalahan. Hal ini merupakan daya tarik tersendiri dalam penelitian pragmatik terhadap kasus hukum. Tuturan yang menekan menyebabkan ketidaknyaman mitra tutur sehingga memilih menghindari percakapan dengan memberikan informasi berbelit-belit. Tuturan yang memanfaatkan prinsip percakapan pada teori pragmatik menghasilkan pola bahasa interogasi yang dapat dipakai untuk memperoleh informasi. 5. Linguistik Forensik terhadap Perbuatan tidak Menyenangkan di Media Sosial (Kajian Pragmatik), oleh Lilis Hartini, Aceng Ruhendi Saifullah, Dadang Sudana Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu
79 masyarakat. Berbagai macam permasalahan sosial dapat dipicu oleh kurangnya kesantunan dalam berbahasa, berawal dari caci maki, kemudian berujung pada kekerasan fisik dan akhirnya mengakibatkan pelanggaran hukum, seperti perbuatan tidak menyenangkan. Permasalahan inti dalam penelitian ini adalah bagaimana parameter B & L dalam menilai tindakan perbuatan tidak menyenangkan di media sosial dan situasi komunikasi yang bagaimana yang diperlukan dalam menciptakan kesantunan bahasa di media sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tindakan perbuatan tidak menyenangkan di media sosial dan ketidaksantunan berbahasa yang digunakan penutur di media sosial yang berakibat pada tindakan hukum. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pragmatik tentang kesantunan berbahasa dari B & L. Melalui metode kualitatif ditemukan bahwa media sosial merupakan sarana bergaulnya beragam komunitas sehingga tidak terlihat batasan kesantunan berbahasa maupun budaya berbahasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga parameter kesantunan berbahasa yang dilanggar oleh netizen, yaitu skala peringkat jarak sosial, skala peringkat status sosial, dan skala peringkat tindak tutur, kemudian kesantunan berbahasa di media sosial sudah semakin luntur sehingga dipandang perlu untuk menyosialisasikan nilai kesantunan berbahasa B & L.
80 6. Bahasa Ancaman dalam Teks Kaba Sabai Nan Aluih Berbasis Pendekatan Linguistik Forensik Penelitian ini difokuskan pada analisis bahasa ancaman dalam teks Kaba Sabai Nan Aluih. Penelitian ini bertujuan menjelaskan bentuk, makna dan motif bahasa mengancam dengan menggunakan beberapa teori, antara lain Searle (1969) dan Wijana (1996), Aminuddin (2008) untuk mengetahui maknanya, sedangkan bentuk motif menggunakan teori yang dikemukakan oleh Maslow (1943). Metode yang digunakan adalah metode observasional. Analisis data menggunakan metode distribusi dan identitas. Metode identitas yang digunakan meliputi metode identitas referensi dan pragmatis, sedangkan pada metode distribusi menggunakan teknik identifikasi penanda. Hasil analisis disajikan dalam metode informal. Metode dan teknik ini identik dengan yang dikemukakan oleh Sudaryanto (1993) dan Mastoyo (2007). Hasil analisis menunjukkan bahwa ada empat jenis bentuk ancaman bahasa; (1) tindak tutur langsung, (2) tindak tutur tidak langsung, (3) tindak tutur literal, dan (4) tindak tutur nonliteral. Makna bahasa mengancam dalam KSNA adalah (1) berpikir dalam setiap tindakan, karena jika tidak melakukannya akan merugikan diri sendiri; (2) kesombongan dan keangkuhan akan membawa kehancuran bagi mereka yang memiliki sikap; (3) setiap orang harus memiliki rasa kepedulian agar orang terdekat kita tidak salah dalam sikap dan keputusannya; (4) suatu
81 bentuk kesalahan harus diperbaiki meskipun kebenaran itu menyakitkan; (5) harga diri adalah segalanya, (6) untuk menyelamatkan diri dengan ancaman pidato dapat digunakan jika seseorang dalam bahaya dikalahkan; (7) tidak semua bentuk ancaman merupakan hal yang merugikan; (8) membangkitkan kesalahan terdekat yang telah dilakukan merupakan bentuk tanggung jawab; (9) mengancam motivasi bukan hal yang merugikan; (10) membangkitkan rasa bersalah orang terdekat adalah bentuk perbuatan benar; (11) harga tetap untuk biaya yang sesuai untuk harga diri yang telah ternoda, dan (12) emosi yang sangat tidak terkendali dapat menyebabkan kerugian. Motif bahasa ancaman dalam KSNA adalah (1) ketidakpuasan, (2) uji kecerdasan, (3) rasa sakit, (4) ketidaksenangan sikap seseorang, (5) harga diri, (6) balas dendam, ( 7) mekanisme pertahanan diri dengan ancaman, (8) motivasi, (9) ejekan untuk mengarahkan orang melakukan sesuatu, (10) sarkasme untuk meningkatkan semangat, (11) balas dendam, (12) motif bela diri, dan (13 ) kesedihan.
82
83 DAFTAR PUSTAKA Coulthard, Malcolm dan Alison Johnson (Ed). 2010. The Routledge Handbook of Forensic Linguistiks. London dan New York: Routledge. Coulthard, Malcolm, Alison Johnson and David Wright (Ed). 2017. An Introduction to Forensik Linguistiks: Language in Evidence. London dan New York: Routledge. Gibbons, John dan M. Teresa Turell (Ed). 2008. Dimensions of Forensic Linguistiks . Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Mahsun. 2018. Linguistik Forensik: Memahami Forensik Berbasis Teks dengan Analogi DNA. Jakarta: Rajawali Press. McMenamin, Gerald R. 2002. Forensic Linguistiks: Advances in Forensic Stylistics. London: CRC Press. Olsson, John. 2008. Forensic Linguistiks. New York: Continuum. Sawirman, dkk. 2014. Linguistik Forensik. Volume 1. Padang: Pusat Studi Ketahanan Nasional Universitas Andalas. Sawirman, dkk. 2014. Linguistik Forensik. Volume 2. Padang: Pusat Studi Ketahanan Nasional Universitas Andalas.
84 Sholihatin, Endang. 2019. Linguistik Forensik dan Kejahatan Berbahasa. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Shuy, Roger W. 2010. The Language of Defamation Cases. New York: Oxford University Press. Pendukung: Berbagai artikel yang dimuat dalam Prosiding Seminar Tahunan Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (SETALI 2016) Tingkat Internasional dengan tema “Analisis Bahasa dari Sudut Pandang Linguistik Forensik” Berbagai contoh kajian atau penelitian tentang linguistik forensik yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah.