Papua [Nestapa] yang Istimewa
Separatis, terbelakang, rusuh, dan keras, merupakan sejumlah kata yang tak jarang kita dengar dan bahkan menjadi stigma yang “dilegalkan” bagi rakyat Bumi Cendrawasih.Tak ayal, stigma inilah yang kemudian membuat celah terbentuknya diskriminasi sosial dan ketidakadilan dalam ruang-ruang sosial masyarakat terkhusus bagi masyarakat Papua. Beberapa puncak gambaran mengenai diskriminasi terhadap masyarakat Papua pun dapat kita lihat dari beberapa kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Pertama, prahara pada tahun 2018 yang menjadi konflik panas antara sekelompok Organisasi Masyarakat (Ormas) dengan mahasiswa penghuni asrama Papua di kota Surabaya. Konflik ini disebabkan atas anggapan dari sekelompok Ormas mengenai mahasiswa Papua yang dinilai melanggengkan aksi separatisme. Selain itu, pada tahun 2021 lalu, terjadi penangkapan mahasiswa Papua yang ikut dalam aksi International Women’s Day di Kota Malang. Akankah konflik-konflik serupa akan terus terjadi kedepannya hingga menjadi sebuah suguhan hangat bagi masyarakat yang konon hidup dalam kebhinekaan? Atau sebaliknya?
Tak kalah menarik dengan buletin edisi sebelumnya, buletin edisi kali ini akan membahas mengenai ragam permasalahan, duka, dan nestapa yang dialami oleh masyarakat Papua. Isu-isu penting dan krusial dalam buletin edisi 2 ini diantaranya meliputi stigma dan diskriminasi sosial yang dialami masyarakat Papua di tanah rantau, ketimpangan pendidikan di Papua, serta kemunculan konflik baru sejalan dengan adanya revisi Undang-Undang Otonomi Khusus. Buletin ini juga turut dilengkapi dengan adanya liputan khusus yang akan mengulik bagaimana seruan kemerdekaan rakyat Papua yang menjadi sebuah kemelut stigmatisasi separatisme. Melalui isu-isu tersebut, ragam seruan dan aspirasi yang kian hari kian tenggelam akan menjadi sebuah cerita nestapa yang istimewa bagi Ibu Pertiwi.
-
Follow
-
0
-
Embed
-
Share
-
Upload