SUSUNAN REDAKSI Redaksi berkenan menerima karya berupa tulisan ilmiah populer, kolom, esai, maupun artikel di bidang sosial ekonomi politik, budaya, dan agama. Juga ilustrasi karikatur dan karya foto. Naskah dikirim ke Redaksi LPM Perspektif. Kiriman harap disertai identitas lengkap. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengurangi maksud dan tujuan tulisan Sekretariat Sekretariat Lembaga Semi Otonom (LSO) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB), Jalan Veteran, Malang, 65145 E-mail [email protected] Website www.lpmperspektif.com Facebook LPM Perspektif FISIP UB Youtube LPM Perspektif FISIP UB Twitter @lpmperspektif Instagram @lpmperspektif LINE @lpmperspektif PELINDUNG Tuhan YME PENANGGUNG JAWAB Dekan FISIP UB Dewan Penasihat Wakil Dekan III Pimpinan Umum Gratio Ignatius Pimpinan Redaksi Ulina Panjaitan Pimpinan Sastra Putri Gemilang Redaktur Pelaksana Clarence Subandi, Fadya Chorunnisa, Raynanda Zahra Editor Ulina Panjaitan, Gratio Ignatius, Darul Adinawa, Clarence Subandi, Yasmin Nawawi Reporter Ulina Panjaitan, Gratio Ignatius, Darul Adinawa, Clarence Subandi, Yasmin Nawawi, Fina Faizatin, Amelia Rahma, Nazhiffa Safinatunnajah Litbang Romi Arifin, Ferry Khusnul, Fadhil Naufal, Antonius Hendra, Zubaidah, Nazhiffa Safinatunnajah, Adam Maliki Sastra Putri Gemilang, Fadya Choirunnisa, Azizah Novi, Labib Fairuz, Yodha Ardel, Raynanda Zahra Tata Letak & Artistik Agmelia Nadya, Darul Adinawa, Fadya Choirunnisa, Gratio Ignatius Ilustrator Safira El, Labib Fairuz, Fizza Aqilla, Anggie Eka Fotografer Julian Saputra, Suci Dwi Febriyanti Marketing & Iklan Aurelia Lucretie, Afiqoh Azizah, Suci Dwi F., Alpha Raphaela, Julian Saputra STOP POLUSI IDE TETAP KRITIS
GUYON AJA 58 Siti dan Alexa SEJENAK 59 Jang Djelanta LABIRIN 60 Liang Lahatku Sendiri MOJOK 64 Be Yourself SEJENAK 69 Perjamuan Ratapan Pada Santapan Penghabisan CATATAN JEJAK 70 Pram dan Kretek Dalam Prosesi Kelahiran Karya Sastra LABIRIN 72 Tumbal Telaga Ular SELAKAR 77 Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir jaman DAFTAR ISI EDITORIAL LAPORAN UTAMA 4 Potret Penanganan HIV/AIDS Kota Malang 9 Belenggu Stigma dan Diskriminasi ODHA INFOGRAFIS 16 Menilik kasus HIV/AIDS Malang LAPORAN KHUSUS 18 Gandeng Tangan Tangani HIV/AIDS OPINI 24 Paranoia Medis HIV/AIDS: Kritik terhadap Pendidikan Indonesia RISET 27 HIV Menggerogoti Generasi KABAR KAMPUS 30 Jalan Senyap Satgas PPKS UB KABAR KOTA 36 Nasib Sekarat Angkutan Kota Malang TANDANG 45 Menilik Histori Panjang Umurnya Literasi Kota Malang ADA APA DENGAN SASTRA 51 Kenali Sastra Wangi Dengan Serba Serbi Belantikan Sastra Indonesia SELAYANG PANDANG 53 Pesona Sastra : Menyulam Cinta Melalui Bukubuku Desain oleh Zubaidah COVER EDISI INI
EDITORIAL MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 1 Lingkaran Setan: Stigma terhadap ODHA “Stigma itu sangat membunuh teman-teman. Bukan HIV-nya, tapi stigmanya.” Ujaran tersebut kami dengar dari salah satu pendamping penyintas human immunodeficiency virus (HIV). Menjadi salah satu isu kesehatan yang paling diperhatikan, fokus dari pemerintah dan masyarakat seharusnya bukan hanya sebatas penurunan angka positif HIV/AIDS, tapi juga cara menurunkan stigma dan diskriminasi yang dialami oleh para penyintas. Disingkirkan, dikucilkan, diasingkan dari kelompok masyarakat, bahkan
EDITORIAL 2 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 didiskriminasi menjadi nestapa bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang kerap kali dianggap wajar bagi masyarakat awam. Terkadang, ungkapan “virus” sudah tidak lagi merujuk pada penyakitnya, melainkan orangnya. Mirisnya, stigmatisasi dan diskriminasi juga menimpa kalangan anak-anak yang mungkin belum mengerti alasan mereka harus meminum obat setiap hari. Hal ini menjadi tantangan psikososial bagi para penyintas karena penghakiman tersebut tidak hanya datang dari orang lain, tapi justru dari orang terdekat seperti keluarga, tetangga, teman-teman, hingga guru. Jika lingkungannya sudah mengetahui akan status mereka sebagai penyintas, maka mereka akan cenderung menjauh. Padahal, salah satu yang dibutuhkan oleh para ODHA, terutama pada masa-masa awal terdiagnosis, adalah dukungan secara moral bahwa mereka bisa bertahan. Penyebaran informasi keliru dan kurangnya edukasi kepada masyarakat mengenai HIV/AIDS menjadi salah satu penyebab menjamurnya stigmatisasi dan diskriminasi kepada para penyintas. Ditambah lagi, masyarakat masih awam dan cenderung skeptis menyangkut informasi HIV/AIDS. Mulai dari penyebab, efek, cara penyebaran, hingga pengobatannya. Peristiwa tersebut biasanya terjadi karena ketakutan berlebih akan penularan HIV dan belum adanya obat yang bisa menuntaskan perkara ini. Bahkan, HIV/AIDS kerap kali dierat-kaitkan dengan perilaku menyimpang, nakal, dan dianggap menjadi aib yang sudah seharusnya ditutupi. Namun, nyatanya stigmatisasi dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam yang kurang mengerti tentang HIV, tetapi juga oleh para tenaga pengajar dan tenaga kesehatan yang notabene merupakan orang-orang yang lebih memiliki ilmu dan akses informasi layak. Akibatnya, bukannya fokus pada pengobatan yang seharusnya dilakukan, temanteman penyintas justru harus menanggung penghakiman masyarakat setiap harinya. Persoalan ini kemudian tidak hanya menjadi tantangan individu penyintas HIV, tapi juga menghambat penekanan angka positif yang dicanang-canangkan pemerintah. Familiar dengan tindakan stigmatisasi dan diskriminasi membuat ...stigmatisasi dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam yang kurang mengerti tentang HIV, tetapi juga oleh para tenaga pengajar dan tenaga kesehatan... “ “
EDITORIAL MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 3 teman-teman populasi kunci (rentan terpapar HIV) menjadi enggan untuk melakukan tes HIV. Takut akan hasil tes dan khawatir akan hal-hal yang akan menyertainya, termasuk buruknya pandangan masyarakat. Mereka “kabur”, tidak mendapatkan perawatan yang seharusnya, serta cenderung menutup status mereka sebagai penyintas. Fenomena ini kerap kali ditemukan dan kian mempersulit pengawasan serta evaluasi pemerintah untuk mengontrol penyebarannya. Majalah Persepsi hadir dengan keresahan yang telah memuncak sebagai upaya untuk bergerak bersama berbagai lapisan masyarakat demi mendukung usaha penekanan angka positif tanpa mengesampingkan keberadaan para penyintas. Dengan laporan yang disajikan secara eksklusif, kami mengangkat sudut pandang dari berbagai sisi untuk melihat wujud nyata dari stigmatisasi dan diskriminasi yang terbisukan. Majalah Persepsi juga turut menghadirkan bagaimana sastra menggaungkan perspektifnya terhadap keadaan dan tantangan psikososial dari para penyintas dan populasi kunci. Lewat bagaimana frasa dan umpama dirangkai, karya sastra ikut menghidupkan dan menyuarakan keindahan yang nyala lewat setiap diksi dan inisiasinya dalam beragam kritik yang dijiwai pada karya cerita pendek, opini hingga komik singkatnya. Karya sastra hadir sebagai penghiburan sekaligus renungan bagi siapapun yang membaca majalah ini. Bersamaan dengan pengadaan Majalah Persepsi juga, LPM Perspektif turut mendukung upaya peningkatan literasi bangsa dengan pengadaan kegiatan tandang komunitas literasi di Malang untuk memajukan pengetahuan dan perbaikan sendi-sendi dari lingkaran terkecil guna kemajuan anak negeri.
LAPORAN UTAMA 4 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 Mirisnya, Jawa Timur sendiri tercatat sebagai provinsi dengan jumlah pengidap HIV/AIDS terbanyak kedua di Indonesia. “ “
LAPORAN UTAMA MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 5 Malang, PERSPEKTIF – Balai Kota Malang siang itu dipadati orang-orang berbusana putih. Mereka menggunakan hak sebagai warga negara untuk berunjuk rasa memperingati Hari Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) Internasional tahun 2022 pada Rabu (1/12). Massa aksi yang menyebut diri sebagai Jaringan Lintas Isu (JATI) Malang Raya tak lelah menyatakan tuntutan kepada pemerintah untuk aktif menangani kasus penularan human immunodeficiency virus (HIV) dan AIDS di Kota Malang serta penghapusan diskriminasi terhadap pengidapnya. Turunnya mereka ke jalan bukan didasari pada hal remeh. Data yang dilansir dari radarmalang.jawapos.com mencatat bahwa sepanjang tahun 2022, Kota Malang mengalami lonjakan jumlah pengidap HIV/ AIDS sebanyak 481 orang. Ini jauh meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencatat 329 orang. Hal tersebut menempatkan Kota Malang sebagai daerah dengan akumulasi tertinggi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jawa Timur setelah Kota Surabaya. Mirisnya, Jawa Timur sendiri tercatat sebagai provinsi dengan jumlah pengidap HIV/AIDS terbanyak kedua di Indonesia. Mendalami masalah ini, Tim Perspektif kemudian menemui salah seorang yang terlibat dalam aksi tersebut, yaitu Iwan Subagyo. Iwan dahulu merupakan Ketua Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Malang, sebuah lembaga yang mengkoordinasikan kebijakan dan rencana kegiatan pencegahan, pengendalian, serta penanggulangan AIDS Potret Penanganan HIV/AIDS Kota Malang
LAPORAN UTAMA 6 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 di Kota Malang. Namun, di tengah melonjaknya angka penularan virus ini, KPA malah dibubarkan oleh pemerintah kota pada awal tahun 2022 lalu. Iwan menyatakan, musababnya tak lepas dari perintah presiden untuk membubarkan KPA Nasional sehingga tugas-tugasnya dialihkan ke kementerian terkait. Oleh karena itu, KPA yang berada di provinsi dan kabupaten/kota juga terpengaruh. Sekarang, ungkap Iwan, penanggulangan HIV/AIDS tergantung komitmen dari daerah masing-masing. Bubarnya KPA di Kota Malang menyebabkan kondisi yang mengkhawatirkan. Iwan berujar dampak yang paling dirasakan setelah pembubaran lembaga ini adalah tidak ada yang mengkoordinasikan sumberdaya yang ada di Kota Malang untuk membahas situasi penanganan HIV/AIDS. “Biasanya kita ada pertemuan per tiga bulan atau sebulan. Akhirnya sekarang tidak ada, jadi kita tidak tahu apa yang terjadi pada masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD, red). Dulu dinas sosial misal memberi bantuan nutrisi dan pelatihan keterampilan, sekarang tidak ada karena KPA sudah dibubarkan,” jelas Iwan. Selain itu, KPA juga rutin mengadakan pertemuan dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), kader Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk melakukan pelatihan serta sosialisasi mengenai HIV/ AIDS. Mereka juga rutin bertemu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menyamakan persepsi dan sinkronisasi data, termasuk pencapaian yang diperoleh masing-masing klinik. “Kita khawatir karena kekosongan lembaga yang menjalankan tugas tersebut, semakin banyak anak muda yang terjebak dalam penyalahgunaan narkoba dan seks bebas. Apalagi dengan adanya dampak negatif media sosial,” tutur Iwan. Kondisi yang miris juga dihadapi oleh para ODHA. Mereka akan kekurangan akses terhadap pendamping karena LSM yang menangani hal tersebut sangat bergantung sumber dayanya dari donor luar negeri. Anggaran pemerintah daerah belum bisa diakses oleh lembaga-lembaga tersebut. Ini menjadi penting lantaran penanganan HIV/ AIDS tak cukup berhenti pada perkara medis semata, tetapi perlu pendampingan berkelanjutan karena masa Kita khawatir karena kekosongan lembaga yang menjalankan tugas tersebut, semakin banyak anak muda yang terjebak dalam penyalahgunaan narkoba dan seks bebas. Apalagi dengan adanya dampak negatif media sosial, “
LAPORAN UTAMA MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 7 pengobatannya seumur hidup. “HIV/AIDS ini tidak sama dengan penyakit lain. Hal ini juga berkaitan dengan hal privat, jadi datanya tidak bisa diketahui orang terdekat, misal tetangga. Jadi, ketika orang yang terkena HIV, tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana, harus berinteraksi dengan siapa, maka akan ada kejadian seperti dulu yaitu banyaknya kematian karena AIDS,” jelas Iwan. Melihat kondisi yang ada, Iwan mengingatkan Pemerintah Kota Malang untuk berkomitmen dalam penanganan AIDS lantaran angka kasus baru tidak menurun. Padahal harapannya di tahun 2030, Kota Malang mencapai target End AIDS dan Three Zero HIV/AIDS – penurunan infeksi baru, penurunan kematian akibat HIV/AIDS, dan tidak ada stigma serta diskriminasi. “Tapi di 2023 ini jumlah kasus terus meningkat. Jangankan nol persen, penurunan lima persen saja tidak tercapai. Apalagi waktunya tinggal tujuh tahun. Jadi, kita kita pesimis 2030 akan tercapai target tersebut,” ujarnya. Jawaban Pemerintah Kota Malang Sekelumit permasalahan mengenai penanganan HIV/AIDS di Kota Malang mengantarkan Tim Perspektif untuk menemui pihak pemerintah kota pada Rabu (5/4). Teriknya matahari saat siang tidak menghilangkan tekad kami untuk berangkat ke Kantor Dinas Kesehatan Kota Malang. Sesampainya di sana, Tim Perspektif kemudian bertemu dengan Bayu Tjahjawibawa selaku Kepala Seksi Sub Instansi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinas Kesehatan Kota Malang. Di awal, ia menanggapi ihwal peningkatan penemuan kasus baru HIV/ AIDS di Kota Malang. Menurut Bayu, masyarakat masih salah mengerti untuk membaca data kenaikan kasus karena angka yang tercatat tersebut berdasarkan lokasi tes, bukan alamat asli pasien yang melakukannya. “Jadi, kita (Dinas Kesehatan Kota Malang, red) tes semua orang yang berisiko. Mau dari Probolinggo, Surabaya, Blitar, tesnya di Malang. Kalau tesnya di sini, ya tercatat di temuan kita (Kota Malang, red). Jadi jangan beranggapan ‘wah, penemuannya meningkat akeh (banyak, red) di Kota Malang’,” tuturnya. Berkaitan dengan pembubaran KPA, Bayu menyatakan bahwa hal tersebut tidak terlalu berpengaruh pada usaha penanggulangan HIV/AIDS di Kota Malang. Pihak dinas kesehatan masih aktif bekerja sama dengan LSM-LSM seperti Yayasan IGAMA, Wamarapa, Paramitra, dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Netral Plus. Melalui hal ini, pemerintah kota dapat memfasilitasi pendampingan bagi para ODHA. Sedangkan untuk medis, di Kota Malang sendiri sudah ada enam belas Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang melayani tes HIV/AIDS. HIV/AIDS ini tidak sama dengan penyakit lain. Hal ini juga berkaitan dengan hal privat, “
LAPORAN UTAMA 8 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 “Semua layanan gratis. Obatnya gratis, pemeriksaannya gratis,” tambah Bayu. Meskipun begitu, ia mengakui masih ada beberapa kendala yaitu soal pendanaan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Malang hanya dapat menanggung pelaksanaan layanan HIV/AIDS sebanyak dua kali dalam setahun. Menurut Bayu, anggaran tersebut masih kurang sehingga tidak bisa mengadakan rapat koordinasi teknis dan rapat kerja daerah antara LSM dan pemerintah. “Dulu anggaran bisa 500 juta - 700 juta, maka sering mengadakan pertemuan. Karena kekurangannya disokong oleh Global Fund,” jelasnya. Pengurangan dana yang berasal dari donor seperti Global Fund (GF) inilah yang menjadi faktor pembubaran KPA di Kota Malang. Bayu menuturkan bahwa setiap tahunnya dana dari GF selalu membantu keuangan APBD. Sehingga, anggarannya cukup untuk melakukan pertemuan dan pengadaan kondom serta pelicin sebagai upaya penurunan angka kasus baru. Namun, pada tahun 2019, pendanaan dari GF dihentikan, dan pihak pemerintah mencoba menganggarkan KPA pada APBD. Upaya ini tak bisa bertahan lama karena secara kelembagaan, KPA masih tidak mempunyai dasar hukum. “Sebenarnya bisa, kalau mau KPA ini berbadan hukum, terus mengajukan hibah ke pemerintah kota,” ujarnya. Harapan untuk Malangnya Penanggulangan HIV/ AIDS Kota Malang Mencari solusi dari sengkarut penanggulangan HIV/AIDS di Kota Malang, Iwan bersama JATI Malang Raya mengharapkan penerbitan Peraturan Daerah tentang HIV/AIDS. Mereka telah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kota Malang, tetapi realisasi payung hukum tersebut dikatakan masih lama dan perlu anggaran yang besar. “Jadi kita akan mendorong di tahun 2023 ini, Peraturan Wali Kota (Perwali, red) bersama-sama dengan teman-teman LSM dan dinas kesehatan,” ujarnya. Iwan juga berharap Kota Malang menciptakan satu lembaga lain untuk penanggulangan HIV/AIDS yang bisa mengakses APBD. Hal tersebut diperlukan untuk melakukan upaya-upaya yang sebelumnya telah dilakukan oleh KPA seperti memperhatikan nutrisi untuk orang-orang terdampak HIV/AIDS, termasuk anakanak yang positif. Selain itu, lembaga tersebut juga berguna untuk menjamin kesehatan, pengobatan, pendidikan, dan penghapusan stigma serta diskriminasi. “Soalnya beberapa waktu lalu kita sering baca di koran bahwa banyak yang dikeluarkan (ODHA-nya, red) dari sekolah,” ungkap Iwan. Ia juga bersama jaringan sudah memberikan petisi ke Wali Kota dan DPRD Kota Malang. Alhasil, pada bulan Februari 2023, mereka dapat bertemu dengan pihak dinas kesehatan dan beberapa rekomendasi seperti pemenuhan nutrisi pada anak-anak positif HIV bisa diakomodasi pada tahun 2023 dan 2024. “Kalau Pemerintah Kota Malang tidak berkomitmen dalam hal ini, tahun 2023 kita akan mengadakan demo lagi untuk mengingatkan bahwa Kota Malang itu peringkat kedua di Jawa Timur yang merupakan urutan kedua juga kasus terbanyak HIV/AIDS di Indonesia,” tegasnya. (los/gra/cns)
LAPORAN UTAMA MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 9 Belenggu Stigma dan Diskriminasi ODHA Malang, PERSPEKTIF - “Aku cuma pengen sehat, kalau yang aku pengenin aku sakit yaudah aku tidur-tiduran saja menunggu ajal. Tapi aku nggak mau seperti itu, aku pengennya balik lagi ke masyarakat dengan aku yang dulu – aku yang bisa lebih berguna lagi dibandingkan aku yang sebelumnya,” ucap Zee. Pukul tiga sore hari Rabu (12/4), Tim Perspektif menyusuri sebuah gang mencari alamat yang diberikan via WhatsApp. Akhirnya kami menemui bangunan bercat putih dan diajak menaiki tangga menemui Zee. Tak disangka, perbincangan hampir tiga jam bersamanya membuat kami hampir meneteskan air mata. ….. Tok! Vonis HIV stadium tiga “seperti kena petir di siang hari yang puanas poll rek,” kalimat tersebut diu-
LAPORAN UTAMA 10 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 capkan Zee ketika ia harus mengingat kejadian yang menimpa dirinya enam tahun lalu. Berat badannya waktu itu hanya 25 kilogram. Tubuhnya seperti tulang dilapisi kulit saja. Dengan sepeda motornya, Zee mencoba bertahan sendirian pada saat itu dari kediamannya ke Rumah Sakit Universitas Islam Malang (Unisma) dengan harapan ingin sehat. “Jangankan untuk lari, untuk jalan saja aku susah. Jangankan untuk bisa ngomong, aku untuk nelan minuman saja susah,” kata Zee. Ketika vonisan tersebut jatuh, Zee hanya berpikir besok atau lusa ia akan meninggal, tetapi seorang berjas putih di rumah sakit itu meyakinkan Zee akan hidupnya. Ia masih bisa hidup sehat, masih bisa hidup lebih lama dari apa yang dibayangkan. Di Instalasi Gawat Darurat (IGD), ternyata Zee butuh seseorang untuk menemaninya. Zee tak bisa hanya dengan sepeda motornya. “Bisa tolong ditelepon Ibunya? Kan sampean rawat inap, yang namanya rawat inap itu kamu harus dalam pengawasan yang jaga. Mas ini harus ada satu orang yang tahu status HIVnya biar ada yang ngawasi sampean paling tidak ada yang bisa ingatkan jadwal minum obat biar bisa kayak sediakala,” tutur Zee menirukan perkataan perawat di RS Unisma waktu itu. Percakapan Zee dengan perawat tersebut membuat ia memilih ibunya sebagai orang pertama yang tahu status dirinya sebagai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). “Jadi aku berpikir ada benernya kalau aku gak ada yang mantau dari keluarga terdekat, malah nanti ada apa-apa siapa yang menjadi garda terdepan kalau kembali ke masyarakat? Akhirnya Ibuku tahu, Ibuku menangis. Beda cerita nangis waktu kamu pegang piala dengan kamu yang divonis HIV, sama-sama menangis, sama-sama keluar air mata, tapi beda perasaan,” kata Zee. Berdamai dengan diri sendiri dan tidak membiarkan HIV/AIDS menjadi penghalang masa depan jadi prinsip Zee hingga saat ini. Bahkan, tujuannya untuk tetap sehat didapatkan dari prinsip tadi. “Sekarang aku bisa di sini, jadi pendamping ODHA itu sebuah keajaiban. Aku sendiri nggak nyangka bisa melewati tanggaku yang sedemikian panjangnya, pintuku yang sedemikian beratnya,” kata Zee dengan mata berkaca-kaca. Jangankan untuk lari, untuk jalan saja aku susah. Jangankan untuk bisa ngomong, aku untuk nelan minuman saja susah “
LAPORAN UTAMA MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 11 Satu Dua Orang Saja Cukup Selain ibu, ketika kembali ke masyarakat, terutama ke lingkungan pertemanannya, Zee membutuhkan waktu untuk mengatakan bahwa ia ODHA yang membutuhkan obat setiap harinya, seumur hidup. “Waktu nongkrong sama mereka (teman, red), aku minum obat. Mereka kayak ‘kamu minum apa? Kok minum obat terus?’ Siapa yang bilang ini obat? Ini vitaminku,” cerita Zee. Minum obat secara berkelanjutan di depan temantemannya membuat Zee akhirnya memperlihatkan kartu pengambilan obat HIV yang telah dimilikinya selama empat tahun. Hal ini membuat orang terdekatnya tahu dan sekarang mereka menjadi sosok yang selalu menguatkannya. “Aku nggak butuh banyak orang sebagai yang aku pegang, cukup satu dua orang yang bisa percaya sama aku, yang bisa support aku. Mereka bisa jadi tempat buat aku cerita. Sampai sekarang tiga belas tahun sama mereka dan itu nggak ada masalah,” tuturnya. Adanya orang di belakang Zee (keluarga dan teman, red) membuatnya bisa berdiri dejngan kakinya sendiri layaknya orang pada umumnya. Keinginannya untuk sehat dan beraktivitas seperti biasa mengartikan bahwa tangganya bisa dilewati, pintunya bisa didobrak bersama-sama. “Kalau kamu lewati sendirian, otomatis kamu capek sendiri. Kalau kamu dobrak pintunya barengbareng, otomatis pintunya kebuka secara paksa dengan bantuan teman-teman yang lain,” katanya. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Imam selaku koordinator Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Netral Kota Malang. Saat diwawancara, ia mengatakan betapa pentingnya memiliki orang terdekat yang selalu memberikan dukungan kepada ODHA karena jalur penyembuhan bisa melalui apa saja, salah satunya den-
LAPORAN UTAMA 12 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 gan menjadi rumah yang nyaman bagi mereka untuk bercerita. “Dari teman-teman KDS Netral kita sebagai pendamping bukan untuk teman-teman HIV/AIDS saja melainkan pula bersama keluarganya mengenai bagaimana alur pengobatan supaya tepat sasaran. Separuh pengobatan dapat diterima dari dukungan orang sekitar dan mendukung psikososial, apa yang mereka hadapi, apa yang mereka rasakan, apa yang harus dilakukan, apa yang harus dihindari, dan lain-lain. Mereka ada wadah untuk tempat berce rita, berkeluh-kesah yang mereka rasakan. Jadi, kami sebagai penguatan dari teman-teman komunitas agar mereka punya rumah untuk tempat bercerita, mengeluarkan apa yang mereka rasakan,” ucapnya. Nyatanya Stigma dan Diskriminasi yang Masih Lekat Hak Asasi Manusia (HAM) seharusnya didapatkan oleh seluruh manusia tanpa terkecuali, tapi kenapa stigma dan diskriminasi tetap ada? Apa itu cuma bualan saja? Ternyata Zee belum siap untuk menceritakan kondisinya kepada masyarakat yang lebih luas seperti tetangga. Stigma dan diskriminasi yang masih melekat seolah membudaya itu membuat ia memiliki kekhawatiran akan hal tersebut. “Kalau aku cerita masih ke orang terdekat, terpercaya. Kalau cerita ke tetangga kita belum siap karena gak tahu penerimaan mereka kepada kita seperti apa, daripada kita mengambil risiko. Kalau orang dia HIV, kita HIV sudah biasa, tapi kalau yang belum tahu, kayak ada stigma,” ujar Zee. Zee yang juga jadi pendamping teman-teman ODHA juga tak jarang mendapatkan cerita dari kliennya yang mendapatkan stigma dan diskriminasi dari pihak layanan kesehatan yang notabene tahu bagaimana penanganan ODHA. “Kebetulan dia (ODHA klien Zee, red) hamil masih trimester awal. Namanya orang hamil trimester awal ada mualnya, ada segala macamnya. Ibunya masuk RS dan direkam medisnya tertulis ada HIV. Padahal kalau dipikir-pikir ada yang Pihak layanan kesehatan seharusnya membuat orang sehat, bukan membuat orang semakin sakit. Lagi-lagi stigma masih didapatkan teman-teman ODHA ketika ingin cek kondisi kesehatannya. “ “
LAPORAN UTAMA MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 13 namanya kode untuk pihak layanan kesehatan yang nggak seharusnya seperti itu,” ucap Zee. Diskriminasi tersebut memunculkan tanya bagi Zee. Pihak layanan kesehatan seharusnya membuat orang sehat, bukan membuat orang semakin sakit. Lagi-lagi stigma masih didapatkan teman-teman ODHA ketika ingin cek kondisi kesehatannya. “Ketika melakukan testing, kebetulan ini anak nonis (non-Islam, red) dia melakukan testing di salah satu Rumah Sakit Islam malah diceramahi, maksudnya ini anak ingin tahu kondisi kesehatannya malah dapat ceramah agama. Korelasinya di mana? Kasian loh dia cuma mau tahu status kesehatannya,” kata Zee. Selain Zee, Imam, Koordinator KDS Netral juga bercerita pernah mendapatkan kabar seorang ODHA mengalami diskriminasi di dunia pendidikan yang sedang ditempuhnya. Tanpa ayah dan ibu, hanya diasuh oleh neneknya, anak kecil tersebut mendapatkan kecaman dari gurunya. “Ternyata guru itu curiga si anak narkoba. Si guru cari tahu lah obat anak itu (obat HIV/AIDS, red) dan akhirnya anak itu distigma. Jadi diskriminasi itu datang bukan hanya dari orang-orang yang paham saja, tapi bisa juga dari yang tidak paham. Tidak boleh bercampur dengan temannya, sampai salat juga gak boleh. Salim tangan juga nggak boleh. Padahal itu guru. Terus bocor sampai ke orang tua wali murid, akhirnya anak itu terpaksa dikeluarkan,” kata Imam. “Belum tentu orang yang berpendidikan tinggi itu berperilaku baik, dan belum tentu juga orang yang berpendidikan rendah itu akhlaknya nggak bagus,” seperti itulah ucapan Zee ketika mendengar teman ODHA mendapatkan stigma dan diskriminasi. Hak
LAPORAN UTAMA 14 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan manusia lainnya sangat sulit didapatkan teman-teman ODHA. Minim Edukasi Penyebab Stigma terhadap ODHA Siang itu sekitar jam sebelas, kami berbincang-bincang dengan Ucca Arawindha, dosen Sosiologi Universitas Brawijaya (UB). Bertempat di dalam ruangan ber-AC yang dinginnya seolah perlakuan masyarakat umum terhadap ODHA. “Kalau saya melihat kecenderungannya manusia takut pada hal-hal yang dia itu tidak tahu atau sangat minim terhadap pengetahuan. Mereka cenderung menghindari atau cenderung menjauhi. Ketika kita nggak paham tentang sesuatu, kita juga nggak tahu cara menjaga diri kita terhadap sesuatu yang kita nggak pahami, atau lebih tepat nya kita takuti. Nah itu juga berakibat kita memberikan stigma buruk,” ucapnya. Minimnya edukasi masyarakat tentang HIV/ AIDS dari cara penularannya hingga bagaimana sebenarnya bersikap terhadap ODHA jadi masalah yang utama. Stigma masyarakat menganggap seorang ODHA disebabkan perilaku yang buruk, padahal itu belum tentu ada. Nyatanya ada kasus seperti ibu rumah tangga dan anaknya yang tidak melakukan perilaku beresiko tinggi, tapi positif HIV/AIDS maka dianggap karena seks bebas, penggunaan narkoba, dan homoseksual. “Kalau kita punya pengetahuan yang baik, kita akan tahu bagaimana cara
LAPORAN UTAMA MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 15 bersikap. Misalkan, saya nggak tahu bagaimana penularan HIV/AIDS, maka saya akan takut untuk bersentuhan, padahal itu kan tidak bisa menularkan. Kemudian makan bareng, itu juga bukan media penularan, tapi orang akan takut,” jelas Ucca. Sosialisasi dan WPA sebagai Cara Menghilangkan Stigma Stigma yang cukup kental kepada teman-teman ODHA membutuhkan berbagai usaha untuk menghilangkannya, baik mencegah atau mengurangi. Ucca menjelaskan sudah terdapat Satuan Tugas (Satgas) di level kecamatan yang memberikan sosialisasi atau pengetahuan ke beberapa daerah. Namun sayangnya, di beberapa daerah tidak semuanya berfungsi. Hal ini berarti lembaga itu ada, tetapi secara kelembagaan tidak terkelola dengan baik. “Jadi sebenarnya secara sosialisasi sudah banyak dilakukan, termasuk melalui media. Media massa dan media sosial itu sudah banyak. Tapi kalau media itu umumnya di event tertentu atau momen tertentu misalkan hari HIV/ AIDS sedunia itu baru sangat gencar dan masif. Tapi ketika event itu atau momen itu sudah lewat, maka mulai turun,” tambahnya. Bukan hanya di level kecamatan, Ucca mengatakan di level nasional hingga daerah juga terdapat Warga Peduli AIDS (WPA) yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi stigma terhadap ODHA. Namun, solusi tersebut belum mampu secara masif menghilangkan stigma yang ada. Ihwal masih gencarnya stigma dan diskriminasi, membuat teman-teman ODHA tidak bersedia membuka status mereka. Ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi yang akan menyerang membuat mereka menutup diri. “Dalam kehidupan bermasyarakat pun kita cukup menghargai saja perbedaanya. Cukup menghargai pilihan hidupnya. Itu yang mungkin bisa diupayakan untuk mengubah cara pandang masyarakat yang menyudutkan. Walaupun mereka berbeda, mereka juga punya hak asasi sebagai manusia yang sama,” tambah Ucca. (uaep/ars/ gra) Walaupun mereka berbeda, mereka juga punya hak asasi sebagai manusia yang sama, “
INFOGRAFIS 16 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1
INFOGRAFIS MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 17
LAPORAN KHUSUS 18 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 Malang, PERSPEKTIF – Gerimis sore itu mengantarkan Tim Perspektif menuju sebuah rumah di sudut Kota Malang. Berbekal arahan dari google maps, sampailah kami di rumah yang diyakini sebagai tempat aman bagi sebagian orang untuk mengadu dan bercerita tanpa dihakimi. Kedatangan kami hari itu disambut hangat oleh Heru selaku Koordinator Divisi Hukum dan HAM Yayasan Ikatan Gay Malang (IGAMA). Bukan tanpa sebab Yayasan IGAMA berdiri hingga 31 tahun lamanya. Yayasan IGAMA berfokus pada isu kesehatan khususnya penanggulangan human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/ AIDS) dan pemenuhan hak Lelaki Seks Lelaki (LSL) dan transgender bersama dengan komunitas Waria Malang Peduli AIDS (Wamarapa). Mereka bermisi untuk bisa membantu teman-teman komunitas dalam pemenuhan hak mereka di berbagai bidang, termasuk kesehatan dan kehidupan sosial. Naiknya kasus HIV di Gandeng Tangan Tangani HIV/AIDS
MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 19 LAPORAN KHUSUS Gandeng Tangan Tangani HIV/AIDS Kota Malang kerap dikaitkan dengan keberadaan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer (LGBTQ+) yang menyebabkan menempelnya stigma dan munculnya diskriminasi kepada teman-teman komunitas di lingkungan masyarakat. Joko Siswanto atau yang akrab dipanggil Bunda Rani menuturkan bahwa diskriminasi masih dapat dengan jelas dirasakan oleh teman-teman dari IGAMA. “Mungkin karena IGAMA ini menjadi wadah dan menaungi bagi LSL, kadang masih banyak di luar sana yang berpikir kita dapat menularkan (HIV, red) ke orang lain. Padahal bukan dari komunitas kita saja yang bisa menularkan virus ini, masih banyak orang orang yang dari kalangan hetero (heteroseksual, red) memiliki mindset seperti itu,” ujar Rani (25/3). Bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Malang serta pihak layanan lainnya, IGAMA melakukan usaha-usaha untuk menekan angka positif HIV/ AIDS di Malang Raya. Hal tersebut dilakukan dengan sosialisasi yang dilakukan untuk mengedukasi dan menaikkan kesadaran masyarakat tentang HIV/ AIDS. Selain itu, penjangkauan secara rutin juga dilakukan kepada populasi-populasi kunci, yakni transgender, LSL, pengguna narkoba suntik atau yang biasa dikenal sebagai Intravenous Drugs User (IDU), dan Wanita Pekerja Seks (WPS). Sosialisasi sebagai Langkah Preventif Dalam rangka menjemput teman-teman dengan pendekatan yang lebih personal, IGAMA melakukan penjangkauan pada titik-titik kumpul tertentu. Penjangkauan tersebut dilakukan oleh Petugas Lapangan (PL) yang memberikan informasi mengenai HIV, Infeksi Menular Seksual (IMS), dan juga alat kontrasepsi. Mereka hadir tidak hanya dengan informasi, tetapi juga membagikan paket Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yaitu satu buku edukasi tentang HIV/AIDS, satu kondom, dan satu pelumas. Penjangkauan tersebut dilakukan pada titik-titik tertentu yang biasa digunakan sebagai tempat nongkrong dan berkumpul teman-teman dari komunitas. “Kita biasanya ada yang disebut dengan radar, biasanya kita bisa tahu orangorang mana yang dapat Mereka hadir tidak hanya dengan informasi, tetapi juga membagikan paket Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yaitu satu buku edukasi tentang HIV/AIDS, satu kondom, dan satu pelumas. “
LAPORAN KHUSUS 20 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 dikatakan sebagai populasi kunci untuk diberikan KIE ini. Dengan begini diharapkan bisa tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan,” terang Heru. Heru dan kawan-kawan melakukan kegiatan penjangkauan dan sosialisasi tersebut selama lima hari dalam seminggu. Namun, tidak menutup kemungkinan hal tersebut dilakukan dengan mengorbankan hari libur mereka untuk menjangkau teman-teman populasi kunci yang berkumpul di hari-hari tersebut. Tak semudah yang dibayangkan, dalam prosesnya, mereka kerap kali mengalami penolakan dari orang-orang yang disambangi. Bukan karena identitas mereka, tapi justru karena seperangkat peralatan yang mereka bawa. Fakta tersebut juga menjadi perhatian mereka karena hal ini menunjukkan bahwa masyarakat awam masih skeptis dan menganggap bahwa edukasi seksual menjadi sesuatu yang tabu. “Mungkin informasi mengenai HIV akan tabu untuk orang-orang yang tidak bergerak di isu ini, tapi kalau orang yang terjun lama di isu ini, virus ini ya, ya sudah. Temanteman juga bisa bekerja sebagaimana mestinya ketika virus tidak ada di tubuhnya. Sebenarnya kalau aku bilang temen-temen yang HIV sakit, nyatanya mereka tidak sakit, mereka sehat-sehat saja, dan dapat beraktivitas seperti biasa. Sebenarnya kita lebih susah mengedukasi orang-orang yang awam akan isu ini,” jelas Heru. Mengingat hal tersebut, sosialisasi yang dilakukan IGAMA tidak terbatas pada penjangkauan melalui turun lapangan kepada populasi kunci, tepi mereka juga terjun ke sekolahsekolah dan masyarakat awam. Hal ini dilakukan melalui kerjasama dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Malang maupun lembaga-lembaga lain yang memiliki kepedulian yang sama seperti Warga Peduli AIDS (WPA) dan organisasi dalam kampus di Kota Malang. Strategi tersebut dilakukan untuk menghindari diskriminasi dan stigmatisasi terhadap orientasi seksual mereka. Mereka percaya bahwa identitas seksual tidak boleh menghambat pemberdayaan dan pergerakan komunitas mereka.
MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 21 LAPORAN KHUSUS “Jadi kalau membawa nama personal, takutnya orangorang akan berpikiran kita men-LGBT kan orangorang, mengajak menjadi gay dan sebagainya, kan enggak. Kita ini menjadi wadah bagi teman-teman berekspresi dan mendapatkan hak-haknya,” pungkas Heru. Pendampingan dan Controlling Tidak hanya memberikan sosialisasi cara mencegah penyebaran virus HIV, IGAMA juga bergerak di bidang pendampingan dan controlling untuk Orang dengan HIV/AID (ODHA). Pendampingan yang biasa disebut dengan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) ini sudah tidak lagi menjadi fokus program kerja dari IGAMA. Namun tidak menutup kemungkinan bagi teman-teman ODHA untuk meminta pendampingan ke IGAMA. “Di IGAMA dulu ada KDS, tapi untuk program saat ini memang fokusnya pendampingan ada di KDS Netral,” tutur Heru kepada Tim Perspektif. Berdasarkan penuturan Heru membawa kami untuk menyambangi KDS Netral Plus Malang untuk bertanya lebih lanjut terkait pendampingan dan controlling yang dilakukan. Di sana, kami bertemu dengan Imam, Zee dan Ve selaku pengurus dan pendamping di KDS Netral. Kepada Tim Perspektif, Imam menjelaskan peran KDS Netral bagi temanteman ODHA. “Gini, KDS Netral, kalau kita itu kan pendamping, ya. Pendamping teman-teman yang nggak cuma AIDS/HIV saja tapi juga keluarganya. Jadi kita dampingi masalah di pengobatan, untuk memberitahu alur pengobatan itu seperti apa supaya tepat sasaran,” jelasnya (12/4). KDS Netral juga berfokus untuk mendukung
LAPORAN KHUSUS 22 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 psikososial bagi temanteman ODHA. Secara sederhana, KDS Netral dibentuk sebagai wadah penampung keluh kesah dari teman-teman ODHA. Hal ini berpengaruh besar bagi teman-teman ODHA untuk meningkatkan kepercayaan diri, pengetahuan HIV, pencegahan HIV, dan akses layanan HIV. Hal ini disebabkan oleh kebijakan AIDS Indonesia wilayah yang memiliki KDS, proporsi kualitas hidup ODHA relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah yang tidak memiliki KDS. “Jadi fungsinya kelompok dukungan sebaya itu sebenarnya penguatan untuk teman-teman dari komunitas itu biar mereka (ODHA, red) itu merasa feel like home gitu loh. Kalau dipikir-pikir kan rumah nggak cuma yang satu KK (kartu keluarga, red) aja. Rumah kan tempat untuk mereka bercerita, berbagi kesedihan, untuk ngeluapin apa yang mereka rasain,” jelas Zee. Komunitas yang sudah bergerak sejak tahun 2005 ini, tidak hanya berfokus mendampingi temanteman ODHA, namun juga menyasar pendampingan pada keluarga dari ODHA itu sendiri. Pendampingan kepada keluarga dan teman dekat dari ODHA ini sangat penting dilakukan untuk mencegah penularan virus dan penanganan ODHA dengan tepat, karena sampai saat ini mereka masih lekat akan stigma. Namun, pendampingan kepada keluarga dari ODHA ini harus dengan persetujuan mereka. “Sebenarnya sih, bukan cuma di keluarga si kliennya juga ya. Maksudnya kan, orang-orang di lingkungan si kliennya juga, kalau tahu si kliennya juga orang dengan HIV, kan mereka juga dikasih edukasi. Jadi nggak melulu kita harus masuk ke keluarganya dulu. Jadi, yang penting orang-orang di sekitarnya tahu, bagaimana penularannya dan lain sebagainya,” terang Zee. Pendampingan kepada keluarga bisa dilakukan dengan berbagai cara, tapi umumnya dilakukan home visit dan sosialisasi kepada keluarga, teman dekat dan lingkungan sekitar ODHA tinggal. Mirisnya, diskriminasi yang dialami oleh ODHA kerap datang dari keluarga sendiri. Diharapkan dengan adanya pendampingan kepada keluarga dan teman dekat semakin meminimalisir diskriminasi pada ODHA. “Jadi kita harus membimbing, bukan dari kliennya saja, tapi juga dari si teman-temannya itu biar melek. Oh ternyata nggak segampang itu loh untuk penularannya, nggak segampang yang dipikiran dan yang diberitakan di masa lalu,” pungkas Imam. Imam menceritakan kepada Tim Perspektif ada kasus dimana pihak keluarga ODHA memerlukan waktu selama tiga bulan untuk menerima dan memahami proses penularan HIV. Sebelumnya, pihak keluarga membatasi kontak langsung dengan ODHA, seperti membedakan alat makan dan mandi. Hal ini dikarenakan berkembangnya perJadi kita harus membimbing, bukan dari kliennya saja, tapi juga dari si teman-temannya itu biar melek. “
MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 23 LAPORAN KHUSUS sepsi yang salah di masyarakat secara turun-temurun. Tidak mudah bagi komunitas-komunitas yang bergerak di isu HIV/AIDS menjalankan program pendampingan ini. Banyak hambatan dan kendala selama proses pendampingan hingga controlling yang dilakukan selama bertahun-tahun. Bagi IGAMA yang dulu pernah melakukan pendampingan dan controlling terhadap ODHIV, hambatan yang paling sering ditemukan adalah mengontrol mereka secara rutin dan berkala. “Lebih ke controlling, kita nggak bisa mengontrol selama 24 jam. Karena kita nggak bisa lihat tiap bulan datang ke layanan atau tidak. Mungkin karena terlalu banyak juga kali ya. Itu baru satu puskesmas, belum yang di puskesmas lain. Sedangkan petugas yang tersedia juga terbatas, apalagi wilayah kabupaten,” jelas Heru. Selaras dengan IGAMA, KDS Netral juga mengalami kendala yang hampir sama. “Banyak sih, tantangan terberat itu paling banyak dari diri si klien itu. Karena kita tidak bisa melawan apa yang mereka pikirkan.” ujar Ve. Kolaborasi dengan Pihak Pemerintah Usaha-usaha tersebut tentunya tidak lepas dari dukungan dan campur tangan pemerintah melalui Dinkes, puskesmas, dan rumah sakit di Kota Malang. Tidak hanya mendukung kegiatan sosialisasi, kolaborasi Dinkes dengan lembaga swadaya masyarakat seMalang Raya juga berupa pengumpulan data, supply alat tes, juga penyebaran obat-obat yang dibutuhkan. “Dari Dinkes pun sudah concern di isu ini (HIV/ AIDS, red). Ada enam belas puskesmas yang sudah bisa akses layanan HIV/AIDS itu, dan setidaknya ada enam layanan puskesmas yang sudah bisa akses pengobatan HIV. Di beberapa puskesmas bahkan bisa melihat viralut, melihat jumlah virus dalam tubuh, dan beberapa program-program lainnya,” ujar Heru. Selain itu, layanan pemerintah juga memperkenalkan LSM pendamping yang ada. “Nanti pihak layanan yang memperkenalkan kita sebagai temanteman sebaya yang samasama positif dan pernah melalui ini, sebagai wadah. Jadi pihak rumah sakit atau puskesmas itu selalu memberi informasi bahwa ada temen-temen yang akan mendukung kalian, termasuk permasalahan kalian itu mereka pernah mengalami seperti itu,” jelas Zee. Bayu Tjahjawibawa selaku Kepala Seksi Sub Instansi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinas Kesehatan Kota Malang juga melakukan usaha untuk menekan dan mengurangi penyebaran kasus positif HIV dengan melakukan triple eliminasi yakni tes HIV sifilis dan hepatitis B yang dilakukan kepada ibu hamil. “Sedangkan screening TBC merupakan program lanjutan, dimana jika seseorang positif TBC, ia diharuskan untuk tes HIV. Jika positif HIV, ia diwajibkan untuk screening TBC. Selain itu, pemerintah juga mencanangkan adanya tes yang sama bagi calon pengantin. Ini masih dalam tahap perencanaan,” ujarnya. (cns/fy/uaep)
OPINI 24 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 ODHA. Ia dipaksa keluar dari sekolah oleh guru dan para wali murid karena mereka takut jika anak itu akan menularkan virus tersebut ke siswa lain. Tak hanya mendapat perlakuan diskriminatif dari pihak sekolah, dalam pergaulannya, ia juga mendapat stigma sehingga dikucilkan oleh anak-anak sebayanya. Kisah tersebut diceritakan oleh mantan Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Malang kepada Tim Perspektif saat sedang melakukan liputan majalah ini. Hal tersebut menunjukan bahwa stigma Paranoia Medis HIV/AIDS: Kritik terhadap Pendidikan Indonesia Gratio Ignatius Seorang anak kelas tiga sekolah dasar (SD) di Kota Malang pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif karena statusnya sebagai orang dengan human immunodeficiency virus (HIV)/acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) atau biasa disebut
MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 25 OPINI dan perlakuan diskriminatif terhadap ODHA masih terus menjamur di masyarakat kita. Bahkan, ketidakadilan ini terjadi pada dunia pendidikan yang seharusnya menjadi sumber pengetahuan guna memutus mata rantai stigma terhadap ODHA. United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) – sebuah lembaga global yang menanggulangi epidemi HIV – sebenarnya telah menyusun rencana yang tertuang dalam Global Plan Towards the Elimination of New HIV Infections among Children by 2015 and Keeping Their Mothers Alive. Lewat rencana tadi, mereka menetapkan penguatan sektor pendidikan sebagai fokus utama penghentian kasus baru HIV pada anak dan penghapusan diskriminasi. Mengingat, menurut temuan mereka waktu itu bahwa setiap harinya 660 anak terinfeksi HIV dan hanya 24 persen yang mendapat akses pengobatan, sedangkan 530 lainnya meninggal dunia (Eviana Dewi, 2015). Di Indonesia sendiri kebijakan untuk menetapkan pendidikan sebagai garda terdepan pencegahan HIV/ AIDS sebenarnya telah lama ada. Dibuktikan dengan munculnya Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 9 Tahun 1997 tentang Pencegahan HIV Melalui Pendidikan serta Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nomor 303 Tahun 1997 tentang Pedoman Pencegahan HIV dan AIDS melalui Pendidikan. Sejak kurikulum 2006, Indonesia juga telah memasukan materi HIV/ AIDS dalam buku pelajaran siswa. Namun, terdapat kritik mendasar tentang perspektif pencegahan HIV/AIDS melalui pendidikan di Indonesia yaitu masih sekadar membahas aspek medisnya semata. Padahal, persoalan HIV/AIDS bersifat multidimensi karena berhubungan juga dengan aspek sosial yaitu stigma dan diskriminasi. Selaras, UNESCO dalam risetnya pada tahun 2012 berjudul Review of Policies and Strategies to Implement and Scale Up Sexuality Education in Asia and the Pacific menunjukkan jika strategi pendidikan di Indonesia masih belum menyentuh isu stigma dan diskriminasi terhadap HIV/ AIDS. Kita masih tertinggal dari negara-negara sekitar seperti India, Bangladesh, Laos, dan Vietnam yang memprioritaskan masalah hak, stigma, dan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakan pendidikan mereka untuk mencegah HIV. Maka tak heran, kisah anak SD di Kota Malang di atas masih marak juga terBahkan, ketidakadilan ini terjadi pada dunia pendidikan yang seharusnya menjadi sumber pengetahuan guna memutus mata rantai stigma terhadap ODHA. “ “
OPINI 26 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 jadi di kota-kota lain karena sejak di bangku pendidikan kita tidak pernah diberikan pemahaman bagaimana bersosialisasi dan berinteraksi dengan para ODHA. Kita hanya berkutat pada informasi-informasi biomedical seperti pengertian HIV, pengetahuan akan virus, jamur, dan bakteri di dalamnya, serta dampaknya terhadap kesehatan. Hal ini juga tak lepas dari sangat lengketnya pendidikan HIV dengan mata pelajaran biologi saat sekolah. Sehingga informasi mengenai HIV/ AIDS yang diterima oleh kita hanya berupa paranoia tentang seberapa mematikannya virus ini. Maka dari itu, pendidikan di Indonesia perlu untuk merubah sudut pandangnya mengenai pencegahan HIV/AIDS yang sebelumnya sangat sentral terhadap medis. Pemberian pemahaman mengenai HIV/AIDS harus melihat dari aspek sosialnya juga. Hal ini bisa ditempuh dengan menampilkan kisahkisah ODHA yang mengalami diskriminasi dalam kehidupan sosialnya, dan coba untuk menempatkan siswa di kelas pada posisi ODHA tersebut. Cara demikian efektif untuk menimbulkan kesadaran dan empati para siswa agar tidak berlaku diskriminatif. Penghapusan stigma dan diskriminasi perlu selalu digaungkan dalam proses pendidikan di Indonesia. Tak lepas dari peran pendidikan sebagai pusat pengetahuan dan pencerahan bagi sebuah masyarakat. Hal ini bisa sebagai upaya yang efektif dalam menjamin keadilan hak dan keterbukaan pada ODHA. Usaha ini juga dapat menghilangkan halangan orang-orang terhadap informasi kesehatan mengenai HIV dan AIDS. Tentunya stigma dan diskriminasi sering menjadi halangan orang-orang untuk mendapatkan tes HIV dan ketaatan mereka terhadap terapi yang harus dijalani seumur hidup (Chrysant Lily, 2015). Maka dari itu, tak hanya pemahaman medis yang perlu digalakkan, tetapi penghilangan stigma dan diskriminasi juga turut menjadi bagian penting keberhasilan pencegahan HIV/AIDS. Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya tahun 2020. Sekarang aktif sebagai Pimpinan Umum LPM Perspektif.
MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 27 RISET HIV Menggerogoti Generasi Human immunodeficiency virus atau yang biasa dikenal HIV adalah sejenis virus yang menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Sedangkan acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pengidap HIV bukan tentu merupakan penderita AIDS, namun penderita AIDS sudah pasti pengidap HIV. Penderita HIV memerlukan pengobatan dengan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS, sedangkan penderita AIDS membutuhkan pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya. HIV dalam penularannya dapat melalui beberapa media yaitu: 1. Darah, dalam hal ini darah yang masuk ke dalam sel darah lainnya atau ke dalam tubuh seperti perpindahan darah melalui jarum suntik. Oleh karena itu, darah yang menempel dikulit tidak menyebarkan virus HIV. 2. Air susu yang media ini kerap berpindah dari ibu menyusui ke anak yang disusui. 3. Cairan vagina dan cairan sperma. Perpindahan cairan vagina atau sperma dapat terjadi dengan mudah disaat adanya hubungan seksual tanpa pengaman atau kondom. Pada tahun 1987, HIV ditemukan pertama kali di Indonesia, tepatnya di Bali. Sejak saat itu, HIV terus bergerak secara masif, cepat dan tidak pandang bulu. Segala umur menjadi sasaran virus ini. Dari pertama kali ditemukan pada tahun 1987 hingga Maret 2022, menurut laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), HIV menginfeksi 329.581 orang dan AIDS ...HIV terus bergerak secara masif, cepat dan tidak pandang bulu. Segala umur menjadi sasaran virus ini. “ “
RISET 28 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 137.397 orang. Mengingat ini merupakan data yang diambil pada Maret 2022, kemungkinan besar jumlah pengidap HIV akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Jika melihat data dari katadata.co.id yang dirilis pada bulan September tahun 2022. Indonesia menduduki peringkat pertama pengidap HIV di Asia Tenggara. Diikuti dengan Thailand sebanyak 520.000 kasus dan Myanmar sebesar 270.000 kasus. Walaupun temuan kasus baru di Indonesia menurun pada tahun 2021, tetap saja kasusnya masih cukup tinggi. Dalam merespon masih tingginya kasus, Menteri kesehatan Budi Gunadi yang dilansir di katadata.co.id menjelaskan, “Upaya pencapaian target pengendalian HIV/ AIDS, TBC, malaria perlu terus dikejar di Indonesia hingga 2024”. Indonesia sendiri memiliki Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS dan PIMS di Indonesia pada tahun 2020-2024, yang memiliki target yaitu: 1. Infeksi baru HIV berkurang menjadi 0,18 per 1000 penduduk. 2. Infeksi baru HIV dan Sifilis pada anak mencapai kurang dari atau sama dengan 50/100.000 pada tahun 2022. 3. Infeksi Sifilis menjadi 5,3 per 1.000 penduduk tidak terinfeksi atau penurunan 30% di tahun 2024. Salah satu generasi yang paling banyak mengidap HIV adalah usia produktif yang berkisar pada umur 20-49 tahun. Temuan ini cukup miris, mengingat generasi di usia produktif lah yang menjadi aktor utama pembangunan negara, namun terbelenggu dengan permasalahan HIV. Dilansir dari laman berita republika. co.id, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Wiendra Waworuntu menjelaskan kelompok usia 20-29 tahun memiliki prevalensi HIV tertinggi. Hal ini tidak lepas dari adanya pemahaman yang kurang di masyarakat usia muda mengenai HIV. Laporan triwulan kedua tahun 2022 dapat dilihat bahwa dari periode Januari–Juni 2022. Dari 22.231 orang yang teridentifikasi HIV, 68,1% adalah masyarakat berumur 25-49 tahun, 17,5% adalah masyarakat berumur 20-24 tahun. Jika digabungkan, usia produktif yang mengidap HIV berkisar 19.029 atau 85.6% dari 22.231 orang. Bukan pada tahun 2022 saja, penderita HIV didominasi usia produktif. Menurut laporan triwulan pertama tahun 2022, sebanyak 329.581 orang penInfeksi baru HIV dan Sifilis pada anak mencapai kurang dari atau sama dengan 50/100.000 pada tahun 2022. “
MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 29 RISET derita HIV berhasil diidentifikasi sejak tahun 1987. Sebanyak 70.5% adalah penderita yang usianya berkisar 25-49 tahun dan posisi kedua diikuti oleh penderita berusia 20-24 tahun dengan persentase 15.4%. Maka jika diakumulasikan dari penderita rentang usia 20-49 tahun dengan jumlah penderita HIV dari 1987, ditemukan angka 279.814 dari 329.581 penderita HIV adalah penderita HIV berkisar usia produktif 20-49 tahun. Jawaban mengenai tingkat penularan HIV yang tinggi pada kalangan muda adalah masih kurangnya pemahaman rasa kesadaran generasi muda mengenai HIV/AIDS. Hal ini dibuktikan oleh survei Durex pada tahun 2019 yang melibatkan 1.500 responden dari beberapa kalangan di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya dan Yogyakarta. Dilansir dari liputan 6.com terdapat beberapa hasil survei yaitu: Topik pernikahan di bawah 20 tahun termasuk risiko kesehatannya hanya dibicarakan oleh 38% responden remaja dan 20% responden orang tua. 61% responden anak muda takut merasa dihakimi oleh orang tua, sedangkan 59% orang tua merasa khawatir jika mendiskusikan edukasi seksual karena seolah mengajarkan hubungan seks pra-nikah. Topik penyakit menular seksual termasuk cara pencegahannya hanya dibicarakan oleh 35% responden pasangan menikah. Pada responden anak muda, aktivitas seksual berisiko ditemukan pada kelompok usia 18-20 tahun dengan kemungkinan tertular penyakit menular seksual sebesar 50:50. Pada responden pasangan menikah, ditemukan adanya permasalahan isu transparansi antara pasangan yang bermanfaat untuk memutus rantai PMS. 66% pergi ke dokter tanpa memberi tahu pasangan dan hanya 21% pergi ke dokter dan memberi tahu pasangan. Permasalahan penderita HIV yang masih menyebar di masyarakat usia produktif harus menjadi perhatian bersama. Pemerintah dalam hal ini harus menyelenggarakan sosialisasi-sosialisasi secara masif mengenai pengetahuan HIV/AIDS ke masyarakat, termasuk dalam hal ini yang harus lebih masif adalah generasi-generasi muda. Hal ini bertujuan agar generasi muda memiliki kesadaran dan rasa perhatian terhadap HIV, dengan begitu dapat membangkitkan rasa kesadaran generasi muda. Lebih dari itu, dapat menumbuhkan sikap menghargai para penderita HIV, yang akan berdampak kepada kurangnya diskriminasi pada penderita HIV. HIV bukanlah permasalahan bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) semata, tetapi harus diselesaikan bersama-sama. (Litbang)
KABAR KAMPUS 30 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 Malang, PERSPEKTIF - “Lapor kekerasan seksual di kampus ke mana yah? Sebenarnya UB (Universitas Brawijaya, red) punya gak sih pelayanannya?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu masih kerap didengar oleh Adinda Valencia Herdianti dari teman-temannya. Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) UB 2019 ini menyatakan, hal tersebut disebabkan oleh mahasiswa di fakultasnya yang masih minim pengetahuan soal layanan pengaduan kasus kekerasan seksual di kampus. Termasuk pengetahuan mereka dengan lembaga baru bernama Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UB. “Masih minim banget yang kenal soal Satgas PPKS. Kecuali yang relate seperti anak Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), anak himpunan jurusan dan lainya. Apalagi temanteman dekatku. Di fakultasku belum ada sosialisasi yang menyeluruh begitu,” tutur perempuan yang akrab disapa Dinda ini saat diwawancarai Tim Perspektif. Jalan Senyap Satgas PPKS UB
MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 31 KABAR KAMPUS Pembentukan Satgas PPKS adalah amanat Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Seperti yang tertuang dalam aturan tersebut, Satgas PPKS merupakan bagian dari perguruan tinggi yang berfungsi sebagai pusat pencegahan dan penanganan kekerasan. Permendikbud Ristek ini juga mengharuskan setiap perguruan tinggi membentuk Satgas PPKS-nya masing-masing paling lambat satu tahun setelah aturan tersebut disahkan. UB sendiri secara resmi membentuk Satgas PPKSnya pada tanggal 1 September 2022 lewat Keputusan Rektor Nomor 9248 Tahun 2022 tentang Pengangkatan Satuan Tugas Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual pada Pusat Konseling, Pencegahan Kekerasan Seksual dan Perundungan. Satgas PPKS di UB yang dibentuk oleh Keputusan Rektor tersebut mempunyai masa tugas sampai 31 Desember 2023. Satgas PPKS yang belum populer dikenal oleh mahasiswa di UB menurut Dinda mempunyai dampak yang serius. Ia berpendapat hal tersebut karena fungsi Satgas PPKS sangat fundamental dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Alhasil, karena ketidaktahuan tersebut menyebabkan mahasiswa yang mengalami tindak kekerasan seksual menjadi bingung untuk bertindak. Dinda menyatakan, di fakultasnya sendiri sebenarnya sudah ada Unit Pelayanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Rektor (Pertor) UB Nomor 70 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan. Meskipun begitu, sosialisasi dan edukasi mengenai ULTKSP tersebut dianggapnya belum menyeluruh kepada mahasiswa FPIK. Lantas, dibentuk lembaga baru di lingkungan kampus juga, yaitu Satgas PPKS yang mempunyai fungsi sama sehingga membuat mahasiswa menjadi bingung. “Ada lagi Satgas PPKS sehingga mahasiswa awam masih meraba-raba. Akhirnya banyak kasus-kasus yang terpendam atau tak sempat disuarakan karena mereka bingung harus lapor ke mana,” tutur Dinda yang juga merupakan General Director di HopeHelps UB. Ia tak memungkiri, hal tersebut juga disebabkan FPIK bukan fakultas yang mempunyai budaya advokasi, sehingga mahasiswanya juga masih awam terkait penanganan hal-hal seperti kasus kekerasan seksual. Dengan demikian, Dinda berpendapat Satgas PPKS UB harus lebih gencar melakukan sosialisasi. Upaya tersebut dapat dilakukan berjenjang, tak hanya di tingkat universitas, melainkan juga di fakultas. Selain itu, ia juga menyarankan agar Satgas mengoptimalkan media sosial ...banyak kasuskasus yang terpendam atau tak sempat disuarakan karena mereka bingung harus lapor ke mana. “
KABAR KAMPUS 32 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 seperti Instagram untuk menyebarkan konten-konten edukasi mengenai kekerasan seksual. “Harus dua arah karena tidak bisa mahasiswa-nya sendiri yang mencari, tapi dari pihak sana (kampus, red) belum ada langkah konkritnya,” tambah Dinda. Ia juga mengharapkan transparansi dari pihak Satgas PPKS dalam penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Misal, transparansi soal berapa kasus yang telah diselesaikan secara penuh. Hal tersebut agar korban kekerasan seksual lebih percaya untuk melapor ke Satgas PPKS. Selain itu, Dinda juga menyatakan, Satgas PPKS perlu selalu berkoordinasi dengan setiap fakultas di UB agar timbul solidaritas bersama untuk mencegah kekerasan seksual di kampus. Di lain sisi, saat Tim Perspektif mewawancarai Kinanti Cintyanabilla selaku Direktorat Jendral (Dirjen) P3 BEM FISIP UB dan juga bagian dari anggota ULTKSP FISIP UB ia mengatakan bahwa sosialisasi pun masih sangat kurang sebab ULTKSP di tingkat fakultas saja itu hanya sebagian orang saja yang tahu, mungkin orang yang peduli dia akan mencari tahu, akan tetapi ULTKSP di sini bertanggung jawab untuk menyebarkan seluas-luasnya. “Sosialisasi yang kurang itu menjadi penyebab banyak penyintas yang kebingungan untuk meminta tolong kemana, ketika diadakan sosialisasi pun masih belum cukup maksimal karena yang datang hanya sedikit dan dari segi penyebaran informasi pun mungkin orang yang mengikuti akun media sosial BEM FISIP saja yang tahu, atau hanya sebagian orang yang aware,” ucap Kinanti. Sehingga, masalah sosialisasi yang kurang ini masih menjadi upaya yang harus dimaksimalkan khususnya oleh ULTKSP dari tiap fakultas dan juga Satgas PPKS UB. Namun, Kinanti juga memaparkan bahwa yang terdekat saat ini adanya upaya dari Satgas PPKS yaitu untuk mengenalkan pada tiap-tiap fakultas atau semacam mengadakan roadshow dan di FISIP itu sendiri akan menerima kunjungan roadshow kurang lebih di bulan Mei, sehingga hal ini merupakan upaya yang cukup baik untuk mengenalkan unit Satgas PPKS UB khususnya ke seluruh masyarakat FISIP. Menurut Kinanti, mahasiswa atau para sivitas akademika harus mengetahui tentang keberadaan Satgas PPKS ini karena tentunya ketidaktahuan ini bisa berdampak atau berisiko khususnya yang akan dihadapi nantinya oleh para penyintas karena adanya kebingugan untuk melapor dan juga kekhawatiran, bila sosialisasi ini tidak dilakukan dengan masif maka akan berbahaya khususnya bagi para penyintas nantinya untuk melapor dan adanya perasaan seperti tidak aman berada di kampus. “Dampaknya yaitu adanya penyintas yang tidak melapor karena takut, atau bisa jadi dari sisi psikologi itu belum siap, karena mereka mengalami kebingungan dan terkadang korban ini sudah mau melapor namun ada ketakutan dari mereka seperti apakah mereka akan aman bila melapor. Kemudian, bisa jadi karena adanya relasi kuasa dari kekerasan seksual yang dia dapatkan,” tutur Kinanti. Satgas PPKS UB: Kami Sudah Populer Melihat fenomena Satgas PPKS UB yang belum dikenal luas oleh mahasiswa, Tim Perspektif lalu
MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 33 KABAR KAMPUS menemui Ulifa Rahma, Ketua Satgas PPKS UB. Sehabis mengisi kelas pagi, Ulifa kemudian menyempatkan waktu untuk melaksanakan wawancara bersama Tim Perspektif di Departemen Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) pada Senin (10/4). Tim Perspektif mengutarakan keluhan mahasiswa dan menunjukan pengikut akun Instagram resmi @ satgasppks.ub yang masih berjumlah 67 orang sebagai bukti kurang populernya Satgas PPKS UB kepada Ulifa. Menanggapi hal tersebut, ia pun bingung mengapa jika dilihat dari jumlah pengikut di Instagram sedikit. Padahal, dari banyaknya kasus yang dilaporkan ke Satgas PPKS, menurutnya sudah mampu menunjukan jika lembaga tersebut sangat populer di lingkungan kampus. “Bahkan sampai kelimpungan kita karena saking banyaknya kasus yang masuk,” kata Ulifa. Ia menjelaskan, sejak dibentuk pada bulan September tahun lalu, Satgas PPKS telah melakukan beberapa upaya dalam rangka pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dan perundungan di UB. Seperti melakukan survei mengenai fenomena kekerasan seksual dan perundungan di lingkungan kampus setiap enam bulan sekali. “Jadi kita bisa melihat fenomena terkait kekerasan seksual dan perundungan di Brawijaya itu seperti apa, dampaknya seperti apa, kebutuhannya seperti apa. Jadi kita memetakan permasalahan dan juga kebutuhannya,” tutur Ulifa. Selain survei, Satgas PPKS juga telah melakukan sosialisasi melalui agenda-agenda Psikoedukasi kepada mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, dan juga pihak ULTKSP fakultas di UB. Sosialisasi juga dilakukan berkenaan dengan pengenalan Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan kepada pihak ULTKSP fakultas sehingga menjadi referensi dalam membuat SOP-nya masing-masing. “Kalau buat SOP tanpa sosialisasi pasti tidak matang. Jadi kita lakukan juga Focus Groups Discussion (FGD) bahas fenomena-fenomena soal kekerasan seksual dan perundungan di organisasi mahasiswa dan setiap ULTKSP fakultas,” tuturnya. Ulifa kemudian mengatakan, pihak Satgas PPKS akan melakukan sosialisasi penanganan kekerasan seksual dan perundungan secara tatap muka di masing-masing fakultas pada bulan Mei tahun ini. SosialDampaknya yaitu adanya penyintas yang tidak melapor karena takut, atau bisa jadi dari sisi psikologi itu belum siap, karena mereka mengalami kebingungan... “
KABAR KAMPUS 34 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 isasi tersebut menyasar kalangan dosen, tenaga pendidik, dan juga organisasi mahasiswa. “Karena kasus ini tidak hanya di lingkungan kampus, tapi organisasi kemahasiswaan juga kemungkinan terjadi,” imbuhnya. Selain sosialisasi, Ulifa dan rekan-rekannya menyusun Modul Panduan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan. Modul ini ditargetkan untuk mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik. Mengenai penanganan, Satgas PPKS UB dapat menerima laporan tidak hanya dari mahasiswa, tapi juga rujukan oleh ULTKSP fakultas. Satgas menerima laporan dari ULTKSP dapat disebabkan oleh kekurangan layanan yang disediakan oleh fakultas. Misal, layanan psikologis atau layanan bantuan hukum untuk penanganan kasus kekerasan seksual dan perundungan. Selain itu, Satgas PPKS juga terbuka untuk menerima laporan dari masyarakat di luar kampus jika berkaitan dengan sivitas akademika di UB. Setelah laporan tersebut diterima, Satgas PPKS kemudian melakukan asesmen yang terdiri dari asesmen utama dan lanjutan. Asesmen utama merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok yang diperlukan korban seperti pendampingan psikologis. Setelah itu, akan ada asesmen lanjutan seperti pemeriksaan kasus. “Kita lakukan sampai memberikan kesimpulan dan rekomendasi dari asesmen Satgas ke ULTKSP atau pimpinan fakultas untuk diberikan tindak lanjut mengenai sanksi akademik yang akan diberikan,” terangnya. Antara Satgas PPKS UB dan ULTKSP Fakultas Setelah berbincang mengenai masalah kepopuleran Satgas PPKS UB, Tim Perspektif kemudian menyampaikan ihwal kebingungan mahasiswa mengenai dua lembaga di kampus yang sama-sama menangani laporan kekerasan seksual dan perundungan yaitu Satgas PPKS dan ULTKSP. Ulifa menjelaskan, Satgas PPKS dibentuk atas dasar Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Hal ini membuat Satgas PPKS di UB memiliki peran untuk melakukan koordinasi antar-ULTKSP yang sudah ada di masing-masing fakultas. “Harus ada yang mengkoordinir di ranah yang lebih tinggi. Jadi ada yang melakukan pengawasan di tingkat universitas,” imbuhnya. Ulifa melanjutkan, wewenang Satgas PPKS UB lebih tinggi dari ULTKSP karena melakukan monitoring terhadap kinerja penanganan dan pencegahan kekerasan seksual dan perundungan di setiap fakultas UB. Satgas juga menerima rujukan dari ULTKSP fakultas jika mengalami kendala dalam melakukan proses penanganan. Hal ini karena bentuk layanan di Satgas PPKS lebih lengkap seperti layanan psikiater, psikolog, konsultan hukum, dan juga dokter medis. Karena kasus ini tidak hanya di lingkungan kampus, tapi organisasi kemahasiswaan juga kemungkinan terjadi, “
MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 35 KABAR KAMPUS “Kita juga melakukan asesmen ulang dan menjadi mediator jika ada kasus di fakultas yang tidak dilanjuti, maka kita ingatkan kepada pimpinan fakultas untuk menindaklanjuti halhal yang sudah direkomendasikan oleh ULTKSP,” ujar Ulifa. Berkenaan dengan pelaporan, ia mengatakan hal itu menjadi hak korban ingin melapor kepada Satgas PPKS atau ULTKSP fakultas. Jika korban melapor kepada Satgas PPKS, maka pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak ULTKSP fakultas korban tersebut. “Misal kita susah memanggil terlapor, maka kita minta tolong ULTKSP untuk bantu buat surat pemanggilan,” jelasnya. Saat ini, Ulifa mengatakan antara Satgas PPKS dan ULTKSP fakultas telah memiliki grup bersama untuk memudahkan koordinasi, pemantauan, dan juga evaluasi. Rencana Revisi Pertor UB Nomor 70 Tahun 2020 Salah satu hal yang disinggung Ulifa dalam wawancara dengan Tim Perspektif mengenai rencana revisi Peraturan Rektor (Pertor) UB Nomor 70 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan. Ia mengatakan rencana revisi tersebut berdasarkan pemetaan kebutuhan dari hasil survei yang dilakukan oleh Satgas PPKS UB. Perubahan yang mungkin akan dilakukan, kata Ulifa, adalah mengenai alur penindakan yang bisa dirampingkan agar prosesnya lebih cepat. Perubahan juga menyangkut definisi sanksi yang dibuat lebih spesifik agar ULTKSP dan Komite Etik fakultas bisa memberikan rekomendasi yang lebih konkrit. “Alurnya dari pemetaan analisis kebutuhan, baru kita sosialisasikan ke pimpinan universitas, kemudian sosialisasi ke ULTKSP, baru dibentuk Pertornya. Karena revisi Pertor tidak ujuk-ujuk bisa dilakukan,” ungkapnya. Ulifa berkata proses revisi tersebut akan dimulai bulan Mei tahun 2023. Namun, Satgas PPKS katanya masih sibuk untuk melaksanakan sosialisasi dan penanganan kasus kekerasan seksual dan perundungan. Sedangkan, menurut Kinanti mengenai amandemen Pertor ini merupakan penyesuaian dengan Permendikbud dan UU TPKS ini tak terlalu banyak perbedaan dengan Pertor, Kinanti beranggapan bahwa jika tidak adanya amandemen atas pertor sebenarnya tidak menjadi masalah sebab yang membedakan antara Pertor dan Permendikbud no.30 itu di penindakan. “Bila dalam Permendikbud penindakan itu dilakukan rektorat sedangkan kalau di pertor itu saksi dikembalikan ke fakultas masing-masing, padahal sebenarnya penyesuaian SOP saja itu sudah cukup dibandingkan harus realisasi Pertor dengan melewati jalan yang cukup panjang,” pungkasnya pada Tim Perspektif. (gra/zhf/cns) Kita juga melakukan asesmen ulang dan menjadi mediator jika ada kasus di fakultas yang tidak dilanjuti, “
KABAR KOTA 36 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 Nasib Sekarat Angkutan Kota Malang Malang, PERSPEKTIF – Ramai bunyi kendaraan yang hilir mudik menyapa telinga tatkala kami menemui Joko di halte dekat Stasiun Malang Kota. Joko merupakan seorang sopir angkutan kota atau angkot yang sudah malang-melintang menyusuri jalanan yang ada di Kota Malang. Tiga puluh tahun tentunya bukan waktu yang sebentar bagi Joko menjadi sopir angkot, selama itu pula ia melihat dan mengalami bagaimana banyaknya hal yang berubah tentang mata pencahariannya tersebut. Dari masa ketika angkot masih menjadi sahabat baik bagi segenap masyarakat di Kota Malang, hingga kini mulai tergerus dengan banyaknya transportasi online yang merajalela memenuhi setiap sudut kota. “Sudah tiga puluh tahun di Malang dan tentunya perbedaannya banyak, ka-
MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 37 KABAR KOTA lau masalah angkutan kota sekarang ini, ya, pendapatan kita saat ini turun sekali,” tutur Joko (28/3). Senasib dengan Joko, Yanto salah seorang sopir angkot lainnya turut merasakan hal yang sama dengan Joko. Yanto menuturkan terkait perbedaan yang dirasakannya ketika menarik penumpang angkot saat dahulu dan saat ini. “Ya jauh, kalau dulu ada sekitar lima menit saja sudah penuh karena belum ada Grab dan Gojek. Penumpangnya dulu nunggu mobil, sekarang mobilnya nyari penumpang, kebalik sekarang. Dulu dari Veteran, ITN, Arjosari itu banyak (penumpang, red). Sekitaran UB itu dulu penumpang wes cegat-cegatan,” jelasnya. Pusat-pusat kota yang dahulu ramai penumpang menaiki angkot, saat ini sudah tidak ada lagi. Masyarakat telah berpaling kepada moda transportasi lain. Angkot kini hanya menjadi hiasan-hiasan di jalanan Kota Malang yang mulai redup dan barangkali akan segera tergantikan seutuhnya apabila tidak ada upaya untuk membenahi sistem angkutan kota yang ada saat ini. “Titik paling ramai sudah gak ada. Kerja juga sekarang hanya berdasarkan perhitungan takdir saja, pasrah,” tutur Joko getir. Akar Masalah Menurunnya Minat Masyarakat Terhadap Transportasi Publik Sejatinya saat ini, apabila meninjau sistem transportasi yang ada di Malang masih lebih banyak terbatas pada sistem transportasi konvensional. Minto Rahardjo, Kepala Bidang Transportasi Dinas Perhubungan (Dishub) Malang, menuturkan transportasi yang ada masih berdasarkan pada jalurjalur yang sudah tersedia sebelumnya dan kemudian masyarakat membayar tarif yang telah ditentukan. “Sistem transportasi di Malang saat ini masih berbentuk sistem transportasi yang manual. Belum seperti yang sudah berjalan di Jakarta itu, di Kota Malang masih berdasarkan jalur-jalur dan masyarakat naik lalu bayar, model transportasi manual begitu,” tuturnya (12/4). Derasnya laju hilir mudik masyarakat yang ada di Kota Malang tentunya menjadikan transportasi merupakan suatu hal yang penting. Namun dengan semakin berkembangnya teknologi, sedikit demi sedikit mulai mengubah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan moda transportasi. Banyaknya pilihan moda transportasi pada saat ini lambat laun mulai membuat minat masyarakat terhadap transportasi umum seperti angkot mulai menurun. “Kalau saat ini karena memang kondisinya sudah berubah dan kondisi masyarakatnya juga sudah berubah. Juga karena ada transportasi-transportasi yang dalam hal ini menjadi kompetitornya transportasi manual. Itu yang menjadikan transportasi yang awalnya diminati publik, itu kemudian menjadi kurang diminati oleh masyarakat,” Titik paling ramai sudah gak ada. Kerja juga sekarang hanya berdasarkan perhitungan takdir saja, pasrah, “
KABAR KOTA 38 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 terang Minto. Pudarnya minat masyarakat menaiki transportasi publik seperti angkot tentunya bukannya tanpa sebab. Persaingan dengan transportasi online bukanlah satu-satunya hal yang menjadi kunci terkait permasalahan tersebut. Tidak adanya pembenahan kinerja angkot dalam melayani masyarakat menjadi faktor penting hilangnya minat masyarakat terhadap penggunaan transportasi umum seperti angkot. “Waktu itu seharusnya ketika mikrolet itu menjadi satu-satunya monopoli transportasi umum, itu harusnya ada perbaikan layanan. Kalau sekarang karena terlanjur ada online, sudah terlambat. Harusnya ada layanan yang baik yang dilakukan oleh mikrolet terkait dengan ketepatan waktu, itu yang dari awal start nya tidak pas,” jelas Minto. Dampak Menurunnya Minat Masyarakat Terhadap Angkot Nasib para sopir angkot tentunya tidak dapat kita kesampingkan tatkala berbicara mengenai menurunnya minat masyarakat untuk menggunakan transportasi publik semacam angkot. Penurunan jumlah penumpang angkot sangat berdampak pada berkurangnya pundi-pundi rupiah yang menjadi sumber penghidupan bagi para sopir angkot. Persaingan dengan moda transportasi online dan juga pandemi Covid-19 semakin menjerembapkan para sopir angkot ke dalam lubang kesulitan. Hal ini diakui oleh Joko. Ia mengatakan ketatnya persaingan yang ada membuat dirinya harus mengakali diri untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keluarganya. “Akhirnya mohon maaf, harus terpaksa gali lubang tutup lubang. Sekarang pinjam uang ke tetangga, besok kita kembalikan. Jadi gimana caranya anak-anak supaya tidak kelaparan lah,” tutur Joko. Hal serupa juga turut diakui oleh Minto. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) membuat para sopir angkot menjadi semakin terjepit. Akan tetapi menurut penuturan Minto sejatinya pemerintah kota tidak pernah menutup mata dengan kesulitan yang dialami oleh para sopir angkot tersebut. “Seperti pada tahun 2022 kemarin itu ada program bantuan sosial uang tunai pada bulan September. Kalau yang saat ini, kami sekitar bulan April ini selama seminggu akan memberikan bantuan berupa BBM di terminal-terminal. Kami akan memberikan kepada supir-supir itu sebagai bentuk mengurangi pengeluaran mereka untuk ...harus terpaksa gali lubang tutup lubang. Sekarang pinjam uang ke tetangga, besok kita kembalikan. Jadi gimana caranya anak-anak supaya tidak kelaparan lah, “
MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 39 KABAR KOTA operasional,” jelas Minto. Namun berdasarkan pengakuan Joko, tidak semua sopir angkot mendapatkan bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Permasalahannya lagi-lagi sama, bantuan yang diberikan kadang kala tidak secara merata terdistribusi kepada para sopir angkot yang membutuhkan. “Ya kemarin kita cuman dikasih BLT (Bantuan Langsung Tunai, red) khusus untuk sopir. BLT-nya itu enam ratus ribu per enam bulan, tapi nggak semua dapat. Nggak tepat sasaran bantuannya,” ujar Joko. Saat ini barangkali bagi Joko dan para sopir lainnya sudah tidak banyak yang bisa mereka harapkan dari menarik angkot setiap harinya, namun hal itu tidak menjadi alasan bagi mereka untuk melepas begitu saja profesi yang selama ini memberinya penghidupan untuk dirinya dan keluarganya tersebut. “Mau ninggalin itu berat, kenangan-kenangannya banyak. Kita mulai dari nol, sampai kita anak tiga kuliah satu semuanya dari angkot,” terangnya. Pemberdayaan Angkot Pemberdayaan angkot perlu dilakukan untuk menunjang sistem transportasi publik yang baik di Kota Malang ini, karena tentunya dengan transportasi publik yang mumpuni dapat mengurai berbagai sumber masalah lalu lintas yang sering terjadi seperti kemacetan. Hal tersebut tentunya tidak luput dari perhatian pemerintah Kota Malang. Minto mengungkapkan rencana yang akan dilakukan oleh Dishub Malang dalam menangani permasalahan transportasi
KABAR KOTA 40 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1 tersebut seperti pengaktifan halte dan juga terminal. Ini menjadi rencana jangka pendek yang akan dilakukan. “Kami sekarang dalam waktu dekat ini akan mengaktifkan kembali terminal-terminal yang ada. Terminal saat ini manual, tidak dilewati oleh mikrolet-mikrolet karena mereka berhenti di jalan, turun, dan balik lagi. Ini yang dalam waktu dekat kami akan memberdayakan lagi terminal-terminal yang ada agar semuanya itu masuk di terminal,” ucap Minto. Lebih jauh, Minto juga menjelaskan rencana jangka panjang mengenai pembenahan sistem transportasi. Ia menuturkan, kedepannya akan membuat sistem angkot yang terintegrasi dan tidak terbatas pada sistem konvensional. Sedikit demi sedikit, angkot Malang mulai beralih seperti moda transportasi publik yang ada di kota besar lainnya. “Nanti akan disesuaikan dengan kondisi jalan dan disesuaikan agar tidak menambah kemacetan. Namun, tetap bisa dilakukan dengan mode cashless. Itu juga akan menjadi bagian dari kami kedepannya, meskipun agak terlambat di Kota Malang, ini tetapi akan tetap kami lakukan,” jelas Minto. Pembenahan dan pemberdayaan angkutan kota juga menjadi hal yang dicita-citakan oleh para sopir angkot, karena turut membenahi kehidupan merekas. Bagaimana agar angkutan kota tetap hidup di tengah gempuran moda transportasi lain menjadi harapan kecil Joko. Ia berharap saat ini agar angkot senantiasa dilibatkan ke dalam acara-acara yang dilakukan oleh instansi pendidikan. “Harapannya tipis saja mbak, kita tidak mungkin dapat bersaing dengan kemajuan zaman saat ini. Yang mungkin, kita bisa MoU (Memorandum of understanding, red) dengan sekolah, TK (Taman Kanak Kanak, red), PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini, red), anak sekolah, agar kami bisa maju lagi,” tutup Joko. (yn/uaep)
Julian Saputra Sebuah wajah yang dulu tenar tetapi sudah tidak lagi disegani gayanya. Sebuah wajah yang semua pernah lihat tetapi jarang sekali dikenal namanya. Sebuah wajah tua yang dulu tampan, sekarang dijauhi Tidaklah aku kenal terhadap waktu dimana benda-benda ini masih sempurna, tetapi setiap lecet dan karat menunjukan sebuah cerita di masa emas mereka
Ray Nanda Zahra Di bawah payung keberagaman, pemuda berdiskusi, memperkuat literasi, dan menggugah semangat. Menjadi tempat di mana cakrawala berpadu, pikiran berbaur, dan peradaban berkembang Lupakan papermu tendang bolanya
Suci Dwi Pemandangan alam yang dipotret dari perkebunan di sebuah tempat wisata di Batu Pagi-pagi buta, kehidupan pasar makin terang bah - kan sebelum orang-orang beranjak dari kasurnya
TANDANG 44 MA JALAH PERSEPSI EDISI 1