ii https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id iii
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iv
Pendahuluan 1
Apa yang Dimaksud dengan Gratifikasi? 4
Landasan Hukum Tentang Gratifikasi Sebagai 6
Tindak Pidana Korupsi
1. Undang-Undang Republik Indonesia 6
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
2. Undang-Undang Republik Indonesia 8
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi 9
Daftar Isi Gratifikasi Dalam Praktik 10
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3.
Peraturan Komisi Pemberantasan Koripsi
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019
tentang Pelaporan Gratifikasi
A.
10
Gratifikasi yang Wajib Dilaporkan
B.
Gratifikasi yang Tidak Wajib Dilaporkan
C.
Gratifikasi yang Terkait dengan Kedinasan
18
23
Penerima Gratifikasi yang Wajib Melaporkan 14
Gratifikasi
1. Pegawai Negeri 24
2. Penyelenggara Negara 26
3. Konsekuensi Hukum Jika Tidak 30
Melaporkan Penerimaan Gratifikasi yang
Dianggap Suap
Mengapa Gratifikasi yang Diberikan Kepada 29
Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara Perlu
Diatur?
1. Perkembangan Praktik Pemberian Hadiah 29
2. Konflik Kepentingan Dalam Gratifikasi 32
iv https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
Bilamana Gratifikasi Dikatakan Sebagai Tindak 35
Pidana Korupsi?
Bagaimana Jika Saya Tidak Meminta Gratifikasi 37
Namun Masih Tetap Diberi. Bolehkah Saya
Menerimanya?
Jika Gratifikasi Tidak Mempengaruhi 39
Keputusan Saya, Apkah Saya Masih Dilarang
Untuk Menerimanya?
Jika Saya Menerima Gratifikasi Apa yang Harus 40
Saya Lakukan?
Apa yang Harus Saya Lakukan dan Siapkan 41
dalam Melaporkan Gratifikasi? 43
Daftar Isi Melaporkan Gratifikasi? 43
Apa yang DIlakukan Oleh KPK Setelah Saya
1.
Verifikasi Laporan Gratifikasi
43
Analisis Laporan Gratifikasi
2.
Penetapan Status Kepemilikan
45
3.
iiiiiiiiiiiiiiiiGratifikasi
Perlindungan Pelapor
50
Pemberi Gratifikasi 49
Contoh-Contoh Gratifikasi 51
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id v
Contoh 1 52
Pemberian Hadiah Tanda Terimakasih Dari
Mahasiswa Magang
Contoh 2 54
Pemberian Tiket Menonton dan Biaya
Perjalanan Oleh Rekanan Kepada Pegawai
Negeri/Penyelenggara Negara atau
Contoh-contoh kasus gratifikasi
Keluarganya Untuk Keperluan Pribadi
Contoh 3
Pemberian Tiket Perjalanan oleh 56
Pihak Ketiga Kepada Pegawai Negeri/
Penyelenggara Negara atau Keluarganya
Untuk Keperluan DInas
Contoh 4 58
Pemberian Insentif oleh BUMN/BUMD
Kepada Pihak Swasta karena Target
Penjualannya Berhasil Dicapai
Contoh 5 60
Penerimaan Honor sebagai Narasumber
Oleh Seorang Pegawai Negeri/
Penyelenggara Negara dalam Suatu Acara
Contoh 6 62
Pemberian Doorproze Kepada Pegawai
Negeri/Penyelenggara Negara Dari Bank
Contoh 7 64
Pemberian Barang (Souvenir, Makanan,
dll) Dari Teman Lama atau Tetangga
Contoh 8 66
Pemberian oleh Rekanan melalui Pihak
Ketiga
vi https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
Contoh 9 68
Pemberian Hadiah atau Uang sebagai
Ucapan Terima Kasih atas Jasa yang
Diberikan
Contoh 10 70
Pemberian Hadiah atau Uang oleh Debitur
kepada Pegawai Bank BUMN/BUMD
Contoh-contoh kasus gratifikasi
Contoh 11 72
Pemberian Cashback kepada Nasabah oleh
Bank BUMN/BUMD
Contoh 12 74
Pemberian Fasilitas Penginapan oleh
Pemda Setempat pada Pegawai Negeri/
Penyelenggara Negara Saat Kunjungan di
Daerah
Contoh 13 76
Pemberian Sumbangan atau Hadiah
Pernikahan Pegawai Negeri/ Penyelenggara
Negara Pada Saat Pegawai Negeri/
Penyelenggara Negara Menikahkan
Anaknya
Contoh 14 78
Pemberian Kepada Pensiunan Pegawai
Negeri atau Pasangan Pensiunan yang
Tidak Bekerja Sebagai Pegawai Negeri
Contoh 15 80
Hadiah karena Prestasi
Daftar Pustaka 81
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id vii
Pendahuluan
ada tahun 2001 dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang
PNomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Dalam Undang-
Undang yang baru ini lebih diuraikan elemen-elemen dalam pasal-
pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada awalnya
hanya disebutkan saja dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Dalam amandemen ini juga, untuk pertama kalinya istilah gratifikasi
dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang
diatur dalam Pasal 12B.
Dalam Pasal 12B ini, perbuatan penerimaan gratifikasi oleh Pegawai
Negeri/Penyelenggara Negara yang dianggap sebagai perbuatan
suap apabila pemberian tersebut dilakukan karena berhubungan
dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk
kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang negatif
dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan
pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan
mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika budaya pemberian
dan penerimaan gratifikasi kepada/oleh Pegawai Negeri/Penyelenggara
Negara dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat
diminimalkan atau bahkan dihilangkan.
Implementasi penegakan peraturan gratifikasi ini tidak sedikit
menghadapi kendala karena banyak masyarakat Indonesia masih
menganggap bahwa memberi hadiah (baca: gratifikasi) merupakan
hal yang lumrah. Secara sosiologis, hadiah adalah sesuatu yang bukan
saja lumrah tetapi juga berperan sangat penting dalam merekat ‘kohesi
sosial’ dalam suatu masyarakat maupun antar masyarakat bahkan antar
bangsa.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 1
Gratifikasi menjadi unsur penting dalam sistem dan mekanisme pertukaran
hadiah. Sehingga kondisi ini memunculkan banyak pertanyaan pada
penyelenggara negara, pegawai negeri dan masyarakat seperti: Apa yang
dimaksud dengan gratifikasi? Apakah gratifikasi sama dengan pemberian
hadiah yang umum dilakukan dalam masyarakat? Apakah setiap gratifikasi
yang diterima oleh Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara merupakan
perbuatan yang berlawanan dengan hukum? Apa saja bentuk gratifikasi
yang dilarang maupun yang diperbolehkan?
Jika istri seorang Penyelenggara Negara dari suatu lembaga di Indonesia
menerima voucher berbelanja senilai Rp. 2 juta, yang merupakan
pemberian dari seorang pengusaha ketika istri yang bersangkutan tersebut
berulang tahun, apakah voucher tersebut termasuk gratifikasi dianggap
suap? Istri seorang penyelenggara negara berada dalam kondisi ini apa
yang harus diperbuat? Apakah pemberian seperti ini harus dilaporkan
kepada KPK?
Dalam kasus lain, Pimpinan suatu lembaga penegak hukum, menerima
parsel pada perayaan Idul Fitri berupa kurma yang berasal dari Kerajaan
X dan Perusahaan Y. Dari kedua pihak tersebut tidak ada satu pun yang
sedang memiliki perkara di lembaga penegak hukum yang dipimpin
pejabat tersebut. Apakah pejabat tersebut harus melaporkan kepada
KPK terhadap penerimaan parsel tersebut? Apakah benar pejabat negara
dilarang menerima parsel pada hariraya keagamaan?
Kasus yang paling jamak terjadi adalah pengguna layanan memberikan
sesuatu sebagai ucapan terima kasih kepada petugas layanan misalnya
dalam pengurusan KTP, IMB, IUP, SIM, dll karena pengguna layanan
mendapatkan pelayanan yang baik (sesuai prosedur) dari petugas
sehingga KTP dapat selesai tepat waktu. Apakah pemberian pengguna
layanan kepada petugas termasuk pemberian yang dilarang? Apa yang
harus dilakukan pengguna layanan dan petugas pembuat KTP?
2 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
Pertanyaan-pertanyaan ini hanyalah beberapa pertanyaan yang sering
diajukan penyelenggara negara, pegawai negeri dan masyarakat.
Dengan latar belakang inilah KPK sebagai institusi yang diberi amanat
oleh Undang-Undang untuk menerima laporan penerimaan gratifikasi
dan menetapkan status kepemilikan gratifikasi, berkewajiban untuk
meningkatkan pemahaman penyelenggara negara, pegawai negeri, dan
masyarakat mengenai korupsi yang terkait dengan gratifikasi.
Buku Saku ini juga memaparkan tentang peran KPK sebagai lembaga
yang diberi kewenangan untuk menegakkan aturan tersebut. Contoh-
contoh kasus gratifikasi yang sering terjadi juga diuraikan dalam buku
ini, dengan disertai analisis mengapa suatu pemberian/hadiah tersebut
bersifat wajib dilaporkan dan tidak wajib dilaporkan, serta sikap yang
harus diambil (dalam hal ini Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara)
ketika berada dalam situasi tersebut.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 3
Apa yang Dimaksud
dengan Gratifikasi
4 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 5
Landasan Hukum Tentang
Gratifikasi Sebagai Tindak
Pidana Korupsi
engaturan tentang gratifikasi berdasarkan penjelasan
Psebelumnya diperlukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
melalui pengaturan ini diharapkan Pegawai Negeri/Penyelenggara
Negara dan masyarakat dapat mengambil langkah-langkah yang
tepat, yaitu menolak atau segera melaporkan gratifikasi yang
diterimanya. Secara khusus gratifikasi ini diatur dalam:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001,
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 12B:
1. Setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri/Penyelenggara
Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
2. Pidana bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana
denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
6 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
Pasal 12C:
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak
berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan
wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau
milik negara.
4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-
Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 7
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002,
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 16:
Setiap Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi
wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara
sebagai berikut:
a) Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir
sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan
gratifikasi.
b) Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-
kurangnya memuat:
1) Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
2) Jabatan Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara;
3) Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
4) Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
5) Nilai gratifikasi yang diterima
Penjelasan pasal 16 menyebutkan bahwa Ketentuan dalam Pasal ini
mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 17:
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak laporan diterima wajib menetapkan
status kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan.
(2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan
berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
(3) Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(4) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat berupa penetapan status kepemilikan
gratifikasi bagi penerima gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau
menjadi milik negara.
8 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
(5) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan
status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak tanggal ditetapkan.
(6) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri
Keuangan, dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak tanggal ditetapkan.
3. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi
Dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi dijelaskan lebih rinci
mengenai laporan gratifikasi, penanganan laporan gratifikasi (termasuk
di dalamnya penjelasan mengenai verifikasi laporan gratifikasi, analisis
laporan gratifikasi, penetapan status kepemilikan gratifikasi), kompensasi,
Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG), hak dan perlindungan pelapor,
ketentuan lain-lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 9
Gratifikasi dalam
Praktik
A. Gratifikasi yang Wajib Dilaporkan
“Pada dasarnya, mengacu pada Pasal 16 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK, semua gratifikasi yang diterima Pegawai Negeri/Penyelenggara
Negara wajib dilaporkan. Namun dikarenakan luasnya pengertian
gratifikasi, yakni pemberian dalam arti luas yang dapat berasal dari siapa
saja dan dalam bentuk apapun, maka perlu diberikan arahan karakter-
karakter pemberian yang sesungguhnya merupakan gratifikasi yang
berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugas Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara.”
Gratifikasi dalam kategori ini merupakan penerimaan dalam bentuk
apapun yang diperoleh Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara dari
pihak-pihak yang diduga memiliki keterkaitan dengan jabatan penerima.
Gratifikasi tersebut haruslah merupakan penerimaan yang dilarang atau
tidak sah secara hukum. Dengan kata lain, sesuai dengan rumusan Pasal
12B, hal itu disebut juga gratifikasi yang bertentangan dengan kewajiban
atau tugas Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara.
Dalam praktik, seringkali terdapat gratifikasi yang terkait dengan jabatan
penerima. Akan tetapi, penerimaan tersebut sah secara hukum. Contoh:
Seorang bendahara penerimaan yang menerima uang dari pihak lain
sebagai bagian dari pelaksanaan tugasnya yang sah. Jika dilihat dari dari
sudut pandang gratifikasi yang terkait dengan jabatan, maka penerimaan
tersebut telah memenuhi unsur “berhubungan dengan jabatan”. Akan
tetapi, penerimaan tersebut bukanlah hal yang dilarang dalam konteks
Pasal 12B, karena si bendahara memang mempunyai kewenangan untuk
menerima uang tersebut. Dengan kata lain, penerimaan tersebut sah
secara hukum sehingga tidak berlawanan dengan tugas dan kewajibannya.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 11
Contoh lain yang dapat dibandingkan dengan hal di atas adalah penerimaan
oleh petugas yang memang berwenang untuk menerima pungutan dari
masyarakat. Misalnya dalam pengurusan SIM, STNK, pernikahan, atau
surat lain yang berdasarkan peraturan yang ada dibebankan kepada
masyarakat sebagai PNBP. Logika yang sama dengan bendahara penerima
tadi dapat diterapkan di sini. Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
tidak dapat dikatakan melanggar Pasal 12B hanya karena ia menerima
sesuatu yang terkait dengan jabatannya. Jika penerimaan itu dibenarkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, maka hal tidak
dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang dianggap suap.
Di bawah ini adalah contoh-contoh gratifikasi yang berkembang dalam
praktik yang wajib dilaporkan oleh penerima gratifikasi pada KPK, antara
lain gratifikasi yang diterima:
Terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat.
Terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran.
Terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring
dan evaluasi.
Terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas (catatan: di luar
penerimaan yang sah/resmi dari instansi PN/Pn).
Dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai.
Dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan
pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
Sebagai akibat dari perjanjian kerjasama/kontrak/kesepakatan
dengan pihak lain yang bertentangan dengan undang-undang.
Sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses
pengadaan barang dan jasa dari Pejabat/pegawai atau Pihak Ketiga
pada hari raya keagamaan.
Dalam pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan
bertentangan dengan kewajiban/tugasnya.
Selain bentuk-bentuk gratifikasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas
Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara yang wajib dilaporkan seperti
disebut di atas, terdapat penerimaan lain yang berada dalam ranah adat
istiadat, kebiasaan, dan norma yang hidup di masyarakat yang perlu
dicermati.
12 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
Penerimaan terkait dengan adat dan kebiasaan tersebut dalam kondisi
tertentu memiliki potensi disalahgunakan pihak lain untuk mempengaruhi
Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara baik secara langsung atau tidak
langsung.
Di bawah ini adalah contoh penerimaan gratifikasi yang jika ditinjau dari
segala keadaan (circumstances) dapat dianggap terkait dengan jabatan
Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara yang menerimanya sehingga
wajib dilaporkan, antara lain :
1. Pemberian karena hubungan keluarga, yaitu dari kakek/nenek,
bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, cucu, besan,
paman/bibi, kakak/adik/ ipar, sepupu, dan keponakan yang
memiliki konflik kepentingan.
2. Penerimaan uang/barang oleh pejabat/pegawai dalam suatu
kegiatan seperti pesta pernikahan, kelahiran, aqiqah, baptis,
khitanan, potong gigi, atau upacara agama/adat/tradisi lainnya
yang melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per pemberian
per orang.
3. Pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh
penerima, bapak/ibu/mertua, suami/istri, atau anak penerima
gratifikasi yang memiliki konflik kepentingan, tidak memenuhi
kewajaran atau kepatutan.
4. Pemberian sesama pegawai dalam rangka pisah sambut, pensiun,
promosi jabatan, dan ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang
atau tidak berbentuk setara uang (cek, bilyet giro, saham, deposito,
voucher, pulsa, dan lain-lain) yang melebihi nilai yang setara
dengan Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per pemberian per
orang dengan total pemberian Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama.
5. Pemberian sesama rekan kerja tidak dalam bentuk uang atau tidak
berbentuk setara uang (cek, bilyet giro, saham, deposito, voucher,
pulsa, dan lain-lain) yang melebihi Rp200.000,00 (dua ratus
ribu rupiah) per pemberian per orang dengan total pemberian
maksimal Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun
dari pemberi yang sama;
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 13
Gratifikasi seperti yang disebut pada angka 1 ditekankan pada aspek ada atau
tidak konflik kepentingan dalam pemberian tersebut. Hal ini berangkat dari
pemahaman bahwa pemberian dari keluarga sedarah atau semenda dapat saja
menjadi gratifikasi yang dianggap suap jika ternyata ada hubungan pekerjaan
antara pemberi dan penerima dilihat dari jabatan, tugas dan wewenang
Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara. Contoh kasus: seorang ayah yang
bekerja sebagai Penyelenggara Negara menerima hadiah dari anaknya yang
berprofesi sebagai pengusaha yang lingkup pekerjaannya terkait dengan
kewenangan ayahnya.
Jika dilihat dari aspek hubungan keluarga sedarah antara ayah dan anak,
maka pemberian tersebut merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, pemberian
tersebut memiliki potensi konflik kepentingan dengan sang ayah dalam
pelaksanaan tugasnya, sehingga penerimaan itu haruslah dilaporkan.
Dalam momen lain seperti kematian keluarga, praktik penerimaan gratifikasi
juga patut diperhatikan. Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara tetap perlu
hati-hati karena adanya potensi penyalahgunaan situasi oleh pihak pemberi.
Putusan Mahkamah Agung No. 77 K/Kr/1973 tanggal 19 November 1974
memberikan contoh kasus yang konkret, ketika terdakwa dinyatakan bersalah
melakukan korupsi menerima hadiah walaupun menurut anggapannya uang
yang ia terima tersebut dalam hubungan dengan kematian keluarganya.
Bahkan uang tersebut tidak diterima langsung oleh terdakwa, melainkan
diterima oleh istri dan anak-anak terdakwa. Oleh karena itu perlu disampaikan
adanya kewajiban pelaporan gratifikasi dengan batasan jumlah tertentu yang
jika ditinjau dari segala keadaan (circumstances) dapat dianggap sebagai
jumlah yang wajar dan tidak akan mempengaruhi pihak penerima gratifikasi
seperti terdapat pada angka 3 dalam hal gratifikasi diterima terkait musibah.
Gratifikasi seperti yang disebut pada angka 2 sampai dengan angka 5 berada
di ranah adat istiadat dan kebiasaan. Pembatasan nilai perlu diatur untuk
mencegah praktik pemberian hadiah yang semula merupakan ekspresi dari
nilai-nilai luhur adat istiadat dan kebiasaan menjadi disalahgunakan untuk
mempengaruhi jabatan Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara baik secara
langsung atau tidak langsung. Sehingga, setiap pemberian dalam konteks
kultural, adat-istiadat dan kebiasaan yang melebihi batasan nilai seperti
terdapat di angka 2 sampai dengan angka 5 dapat dianggap terkait dengan
jabatan penerima.
14 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
B. Gratifikasi yang Tidak Wajib Dilaporkan
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bagian ini merupakan pengecualian
dari gratifikasi yang wajib dilaporkan. Hal ini menganut konsep “negative
list” secara murni, yakni konsep yang menegaskan pada dasarnya semua
gratifikasi yang diterima Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara wajib
dilaporkan pada KPK kecuali yang terdapat pada “negative list” atau
daftar gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan.
Mengingat begitu luasnya ruang lingkup gratifikasi, perlu juga diuraikan
bentuk-bentuk gratifikasi di luar yang wajib dilaporkan. Karena secara
prinsip terdapat begitu banyak bentuk pemberian yang sesungguhnya
tidak terkait sama sekali dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, sehingga gratifikasi tersebut tidak wajib
dilaporkan.
Mengingat begitu luasnya ruang lingkup gratifikasi, perlu juga diuraikan
bentuk-bentuk gratifikasi di luar yang wajib dilaporkan. Karena secara
prinsip terdapat begitu banyak bentuk pemberian yang sesungguhnya
tidak terkait sama sekali dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, sehingga gratifikasi tersebut tidak wajib
dilaporkan.
Karakteristik gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan secara umum adalah :
1. Berlaku umum, yaitu suatu kondisi pemberian yang diberlakukan
sama dalam hal jenis, bentuk, persyaratan atau nilai, untuk semua
peserta dan memenuhi prinsip kewajaran atau kepatutan.
2. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Dipandang sebagai wujud ekspresi, keramah-tamahan,
penghormatan dalam hubungan sosial antar sesama dalam batasan
nilai yang wajar.
4. Merupakan bentuk pemberian yang berada dalam ranah adat
istiadat, kebiasaan, dan norma yang hidup di masyarakat dalam
batasan nilai yang wajar.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 15
KPK menerbitkan Peraturan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi yang
menyebutkan beberapa jenis gratifikasi yang dikecualikan dalam Pasal 2
ayat (3) huruf a sampai dengan q dengan penjelasan sebagai berikut:
Jenis gratifikasi yang dikecualikan adalah sebagai berikut:
a. Pemberian dalam keluarga yaitu kakek/nenek, bapak/ibu/mertua,
suami/istri, anak/menantu, anak angkat/wali yang sah, cucu, besan,
paman/bibi, kakak/adik/ipar, sepupu dan keponakan, sepanjang tidak
terdapat konflik kepentingan;
b. Keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau
kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;
c. Manfaat dari koperasi, organisasi kepegawaian atau organisasi yang
sejenis berdasarkan keanggotaan yang berlaku umum;
d. Perangkat atau perlengkapan yang diberikan kepada peserta dalam
kegiatan kedinasan seperti seminar, workshop, konferensi, pelatihan,
atau kegiatan sejenis, yang berlaku umum;
e. Hadiah tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, yang
dimaksudkan sebagai alat promosi atau sosialisasi yang menggunakan
logo atau pesan sosialisasi, sepanjang tidak memiliki konflik
kepentingan dan berlaku umum;
f. Hadiah, apresiasi atau penghargaan dari kejuaraan, perlombaan atau
kompetisi yang diikuti dengan biaya sendiri dan tidak terkait dengan
kedinasan;
h. Hadiah langsung/undian, diskon/rabat, voucher, point rewards, atau
suvenir yang berlaku umum dan tidak terkait kedinasan;
i. Kompensasi atau honor atas profesi di luar kegiatan kedinasan yang
tidak terkait dengan tugas dan kewajiban, sepanjang tidak terdapat
konflik kepentingan dan tidak melanggar peraturan/kode etik
pegawai/pejabat yang bersangkutan;
j. Kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan seperti
honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan yang telah
ditetapkan dalam standar biaya yang berlaku di instansi penerima
Gratifikasi sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat
konflik benturan kepentingan, dan tidak melanggar ketentuan yang
berlaku di instansi penerima;
16 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
k. Karangan bunga sebagai ucapan yang diberikan dalam acara seperti
pertunangan, pernikahan, kelahiran, kematian, akikah, baptis,
khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya, pisah
sambut, pensiun, promosi jabatan;
l. Pemberian terkait dengan pertunangan, pernikahan, kelahiran,
akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama
lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) setiap pemberi;
m. Pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh
diri penerima Gratifikasi, suami, istri, anak, bapak, ibu, mertua,
dan/atau menantu penerima Gratifikasi sepanjang tidak terdapat
konflik kepentingan, dan memenuhi kewajaran atau kepatutan;
n. Pemberian sesama rekan kerja dalam rangka pisah sambut,
pensiun, mutasi jabatan, atau ulang tahun yang tidak dalam bentuk
uang atau alat tukar lainnya paling banyak senilai Rp300.000,00
(tiga ratus ribu rupiah) setiap pemberian per orang, dengan total
pemberian tidak melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam
1 (satu) tahun dari pemberi yang sama, sepanjang tidak terdapat
konflik kepentingan;
o. Pemberian sesama rekan kerja yang tidak dalam bentuk uang atau
alat tukar lainnya, dan tidak terkait kedinasan paling banyak senilai
Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) setiap pemberian per orang,
dengan total pemberian tidak melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama;
p. Pemberian berupa hidangan atau sajian yang berlaku umum; dan
q. Pemberian cendera mata/plakat kepada instansi dalam rangka
hubungan kedinasan dan kenegaraan, baik di dalam negeri maupun
luar negeri sepanjang tidak diberikan untuk individu Pegawai
Negeri/Penyelenggara Negara.
Pengecualian jenis gratifikasi tersebut tidak berlaku apabila gratifikasi
tersebut dilarang menurut peraturan yang berlaku di instansi Penerima
Gratifikasi.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 17
Contoh bentuk gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan:
1. Honorarium yang diterima pegawai di Kementerian atau Institusi
Negara/Daerah X yang tidak berhubungan sama sekali dengan
tugas dan fungsinya, seperti: honor menjadi guru mengaji yang
kegiatannya dilaksanakan di luar jam kerja di lingkungan rumah.
2. Honor yang diterima pegawai Kementerian atau Institusi Negara/
Daerah tertentu saat menjadi panitia 17 Agustus di kampungnya.
3. Dan bentuk lainnya sepanjang memenuhi syarat: dilakukan di
luar kedinasan, tidak terkait tupoksi, tidak memiliki unsur konflik
kepentingan, tidak melanggar/dilarang oleh peraturan internal/
kode etik yang berlaku di masing-masing Kementerian atau
Institusi Negara/Daerah.
Bentuk-bentuk gratifikasi di atas berangkat dari 4 (empat) karakteristik
umum yang perlu dilihat secara mendalam ketika mempertimbangkan
apakah sebuah gratifikasi perlu dilaporkan atau tidak. Pedoman ini
memberikan rincian seperti terdapat pada huruf a sampai dengan
huruf q dengan tujuan mempermudah Pegawai Negeri/Penyelenggara
Negara mengidentifikasi, apakah gratifikasi yang diterima perlu
dilaporkan atau tidak. Jika penerimaan masuk pada salah satu
bentuk gratifikasi sebagaimana diuraikan di atas, maka gratifikasi
tersebut tidak wajib dilaporkan, dan sebaliknya jika Pegawai Negeri/
Penyelenggara Negara menerima gratifikasi selain yang tercantum
pada “bentuk-bentuk gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan”, maka
secara a-contrario hal tersebut wajib dilaporkan pada KPK.
Akan tetapi, hal yang lebih mendasar yang tetap perlu diperhatikan
adalah meskipun penerimaan tersebut masuk pada bentuk gratifikasi
angka 1 sampai dengan angka 12, penerima tetap harus memperhatikan
4 (empat) Karakteristik umum Gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan
yang menjadi dasar penguraian lebih jauh. Jika penerima merasa
terdapat substansi yang meragukan yang tidak memenuhi salah satu
dari 4 (empat) karakteristik tersebut, maka gratifikasi itu sebaiknya
dilaporkan. Hal ini penting untuk melindungi penerima gratifikasi
sesuai dengan hukum yang berlaku.
18 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
C. Gratifikasi yang Terkait dengan Kedinasan
Dalam acara resmi kedinasan atau penugasan yang dilaksanakan oleh
Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara, pemberian-pemberian seperti plakat,
cinderamata, goodie bag/gimmick dan fasilitas pelatihan lainnya merupakan
praktik yang dianggap wajar dan tidak berseberangan dengan standar etika yang
berlaku. Penerimaan tersebut juga dipandang dalam konteks hubungan antar
lembaga/instansi. Bahkan pola hubungan seperti itu juga ditemukan dalam
relasi antar Negara. Seringkali dalam kunjungan-kunjungan kenegaraan Pegawai
Negeri/Penyelenggara Negara saling bertukar cinderamata.
Secara filosofis, gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri/Penyelenggara
Negara tersebut ditujukan atau diperuntukkan kepada lembaga/instansi,
bukan kepada personal yang mewakili instansi tersebut. Artinya siapapun yang
ditugaskan mewakili instansi tersebut mendapat perlakuan yang sama dari
lembaga/instansi pemberi.
Dalam praktiknya, kadangkala
menimbulkan kebingungan terkait
siapa yang berwenang untuk
memiliki atau menikmati penerimaan
tersebut. Karena pada kenyataannya
pihak yang menerima adalah pegawai
yang mewakili lembaga/instansi.
Sehingga seringkali terjadi pegawai
itulah yang menguasai atau bahkan
memiliki gratifikasi tersebut. Padahal,
secara prinsip penerimaan tersebut
ditujukan terhadap institusi/ lembaga
penerima.
Penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi terkait dengan
kedinasan adalah setiap penerimaan yang memiliki karakteristik umum sebagai
berikut :
1. Diperoleh secara sah dalam pelaksanaan tugas resmi.
2. Diberikan secara terbuka dalam rangkaian acara kedinasan. Pengertian
terbuka di sini dapat dimaknai cara pemberian yang terbuka, yaitu
disaksikan atau diberikan di hadapan para peserta yang lain, atau adanya
tanda terima atas pemberian yang diberikan,
3. Berlaku umum, yaitu suatu kondisi pemberian yang diberlakukan sama
dalam hal jenis, bentuk, persyaratan atau nilai (mengacu pada standar
biaya umum), untuk semua peserta dan memenuhi prinsip kewajaran atau
kepatutan.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 19
Contoh dari penerimaan dalam kedinasan antara lain:
1. Fasilitas transportasi, akomodasi, uang saku, jamuan makan,
cinderamata yang diterima oleh Pegawai Negeri/Penyelenggara
Negara dari instansi atau lembaga lain berdasarkan penunjukan dan
penugasan resmi.
2. Plakat, vandel, goodie bag/gimmick dari panitia seminar, lokakarya,
pelatihan yang diterima oleh Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
dari instansi atau lembaga lain berdasarkan penunjukan atau
penugasan resmi.
3. Hadiah pada waktu kegiatan kontes atau kompetisi terbuka yang
diselenggarakan oleh instansi atau lembaga lain berdasarkan
penunjukan atau penugasan resmi;
4. Penerimaan honor, insentif baik dalam bentuk uang maupun setara
uang, sebagai kompensasi atas pelaksanaan tugas sebagai pembicara,
narasumber, konsultan dan fungsi serupa lainnya yang diterima oleh
Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara dari instansi atau lembaga
lain berdasarkan penunjukan atau penugasan resmi.
Mengingat bahwa penerimaan gratifikasi dalam kedinasan dapat terjadi
ketika Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara menjalankan penugasan
resmi dari lembaga/instansinya, maka perlu adanya pengelolaan dan
mekanisme kontrol dari lembaga/instansi, melalui kewajiban pelaporan
setiap penerimaan gratifikasi terkait kedinasan kepada instansi/lembaga
yang bersangkutan.
Mekanisme kontrol tersebut tidak hanya untuk menempatkan secara
proporsional segala penerimaan yang secara nature menjadi hak instansi
ke dalam pengelolaan instansi, namun juga untuk mencegah ‘terjebaknya’
Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara dalam kondisi adanya pemberian
yang tidak sesuai dengan tujuan penugasan serta memutus potensi
terjadinya praktik korupsi investif dari pihak pemberi kepada Pegawai
Negeri/Penyelenggara Negara.
20 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
Mekanisme yang perlu dibangun adalah proses reviu, negosiasi dan
kesepakatan kepada lembaga/instansi/mitra terkait biaya dan pemberian
apa saja yang akan diberikan kepada Pegawai Negeri/Penyelenggara
Negara dalam pelaksanaan tugas atau kerja sama antar instansi tersebut.
Apabila lembaga/instansi asal, menilai bahwa pemberian tersebut
tidak memenuhi karakteristik sebagaimana disampaikan di atas, sudah
selayaknya lembaga/instansi menolak rencana penerimaan tersebut.
Untuk mendukung upaya kontrol tersebut, perlu didorong adanya
pengaturan penerimaan dan pemberian terhadap gratifikasi terkait
kedinasan, yang disesuaikan dengan kondisi/kebutuhan/etika yang
berlaku instansi. Sebagai salah satu upaya kontrol guna menghindari
terjadinya korupsi investif adalah dengan menentukan standar nilai
pemberian gratifikasi terkait kedinasan yang diberlakukan di masing-
masing lembaga/instansi atau standar nilai yang disepakati antara
lembaga/instansi, sehingga pemberian tersebut akan dipandang sebagai
pemberian yang dalam kondisi apapun tidak dianggap atau dimaksudkan
untuk mempengaruhi obyektifitas Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
dalam tugasnya sebagai wakil lembaga/instansinya.
Akan tetapi, potensi penyalahgunaan gratifikasi terkait kedinasan juga
perlu dicermati. Dalam kondisi ini, gratifikasi tersebut seolah-olah
merupakan gratifikasi kedinasan, padahal secara substantif dapat diduga
sebagai gratifikasi yang dianggap suap atau pelanggaran aturan lainnya
yang dibungkus dengan formalitas kedinasan. Penerimaan gratifikasi
seperti itu seringkali berasal dari pihak yang secara aktual maupun
natural memiliki benturan kepentingan, seperti hubungan antara
pengawas/pemeriksa dengan pihak yang diawasi/diperiksa, hubungan
antara pemberi layanan/perizinan dengan penerima layanan/perizinan,
hubungan antar pihak dalam koordinasi, supervisi dan monitoring
program dan kegiatan, hubungan antara pemberi kerja dengan pelaksana
kerja, dan lain-lain. Praktik-praktik penyelubungan seperti ini dapat
berbentuk antara lain :
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 21
1. Pemberian honor atau insentif lainnya dalam jumlah atau frekuensi
tidak wajar.
2. Pemberian honor dalam kegiatan fiktif.
3. Pemberian bantuan dalam bentuk uang, setara uang, barang bergerak
maupun barang tidak bergerak dari pihak lain kepada instansi untuk
menarik perhatian atasan.
4. Pemberian fasilitas hiburan/wisata di dalam rangkaian kegiatan resmi.
Contoh praktik pemberian honorarium, insentif atau penghasilan dalam
bentuk apapun tersebut misalnya: seorang Pegawai Negeri/Penyelenggara
Negara di Kementerian Kehutanan yang mendapatkan honorarium secara
rutin dari perusahaan yang bergerak atau terkait dengan bidang Kehutanan.
Hal yang sama dapat terjadi di Kementerian, Lembaga, Organisasi dan
Pemerintah (KLOP) lainnya. Isu mendasar dari contoh-contoh di atas adalah
adanya konflik kepentingan antara pihak pemberi dan penerima yang jika
dihubungkan dengan jumlah, baik secara tunggal atau kumulatif, ataupun
frekuensi pemberian dapat dianggap sebagai pemberian yang potensial
mempengaruhi penerima dalam menjalankan tugas dan jabatannya.
Terhadap penerimaan seperti di atas sudah sepatutnya instansi/lembaga
menerapkan prinsip kehati-hatian. Sehingga, akan lebih baik jika penerimaan
tersebut dihindari atau setidaknya dikoordinasikan dengan lembaga terkait
yang mempunyai kewenangan di bidang masing-masing.
22 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
Dalam konteks ini, penyelesaian atas penerimaan dengan modus
sebagaimana disebutkan di atas dapat ditindaklanjuti dengan
melaporkannya kepada KPK, untuk selanjutnya akan diproses oleh KPK
sesuai alur penerimaan, yaitu melalui penetapan status gratifikasi oleh
Pimpinan KPK maupun rekomendasi pengelolaan di instansi melalui
mekanisme yang berlaku sesuai ketentuan pengelolaan kekayaan dan
aset Negara/daerah/instansi.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 23
Penerima Gratifikasi
yang Wajib Melaporkan
Gratifikasi
Penerima gratifikasi adalah Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
yang menerima gratifikasi. Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara yang
menerima gratifikasi wajib melaporkan gratifikasi yang diterima. Apabila
gratifikasi tersebut dianggap pemberian yang berhubungan dengan
jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, Pegawai
Negeri/Penyelenggara Negara wajib menolak gratifikasi.
Penerima gratifikasi menyampaikan laporan Gratifikasi kepada:
a. Unit Pengendalian Gratifikasi dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal Gratifikasi diterima; atau
b. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam jangka waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal Gratifikasi diterima.
Unit Pengendalian Gratifikasi wajib meneruskan laporan Gratifikasi
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal laporan Gratifikasi diterima.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 12C ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 bahwa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh Penerima Gratifikasi paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 25
1. Pegawai Negeri
Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka (2) UU 31/1999:
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
tentang Kepegawaian. Saat ini berlaku Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana. Bagian ini mengacu pada perluasan
definisi pegawai negeri menurut Pasal 92 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), yaitu (PAF Lamintang, 2009:8-9):
(1) Termasuk dalam pengertian pegawai negeri, yakni semua
orang yang terpilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan peraturan umum, demikian juga semua
orang yang karena lain hal selain karena suatu pemilihan,
menjadi anggota badan pembentuk undang-undang,
badan pemerintah atau badan perwakilan rakyat yang
diadakan oleh atau atas nama Pemerintah, selanjutnya
juga semua anggota dari suatu dewan pengairan dan
semua pimpinan orang-orang pribumi serta pimpinan dari
orang-orang Timur Asing yang dengan sah melaksanakan
kekuasaan mereka.
(2) Termasuk dalam pengertian pegawai negeri dan hakim,
yakni para wasit; termasuk dalam pengertian hakim,
yakni mereka yang melaksanakan kekuasaan hukum
administratif, berikut para ketua dan para anggota dari
dewan-dewan agama.
26 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
(3) Semua orang yang termasuk dalam Angkatan Bersenjata
itu juga dianggap sebagai pegawai-pegawai negeri.
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang ini memperluas
pengertian Pegawai Negeri, yang antara lain adalah orang yang
menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 27
2. Penyelenggara Negara
a. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan
fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 1 angka (1) UU Nomor 28 Tahun 1999). Berdasarkan
Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, definisi
Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan
kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang
fungsi dan tugas berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 1 angka (2) UU No. 28 tahun 1999 di atas
menguraikan jabatan-jabatan lain yang termasuk kualifikasi
Penyelenggara Negara, yaitu meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara. Saat ini
berdasarkan Amandemen ke-4 Undang-undang Dasar 1945
tidak dikenal lagi istilah Lembaga Tertinggi Negara. Institusi
yang dimaksud disini adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku misalnya Kepala
Perwakilan RI di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai
Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh, Wakil Gubernur
dan Bupati/Walikota; dan
28 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku antara lain:
1) Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2) Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional;
3) Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4) Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di
lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
5) Jaksa;
6) Penyidik;
7) Panitera Pengadilan; dan
8) Pemimpin dan bendaharawan proyek. Dalam konteks
kekinian, Pejabat Pembuat Komitmen, Panitia Pengadaan,
Panitia Penerima Barang termasuk kualifikasi Penyelenggara
Negara
b. Penjelasan Pasal 11 huruf (a) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
menambahkan jabatan lain yang masuk kualifikasi Penyelenggara
Negara, yaitu: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pejabat Negara lain yang juga termasuk kualifikasi sebagai Penyelenggara
Negara diatur dalam Pasal 122 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara yaitu:
1. Presiden dan Wakil Presiden;
2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Ketua,
wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
4. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah
Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan
peradilan kecuali hakim ad hoc;
5. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
6. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
7. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
8. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 29
9. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
10. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh;
11. Gubernur dan wakil gubernur;
12. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
13. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-
Undang.
Dengan demikian, dasar hukum yang digunakan untuk menentukan
sebuah jabatan termasuk kualifikasi Penyelenggara Negara adalah:
● UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dari KKN;
● UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
● UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Putusan pengadilan
1. Arrest Hoge Raad tertanggal 30 Januari 1911, W.9149 dan
25 Oktober 1915, NJ 195 halaman 1205 W.9861 secara
umum menjelaskan sebagai berikut:
Pegawai negeri ialah orang yang diangkat oleh kekuasaan
umum dalam suatu pekerjaan yang bersifat umum, untuk
melaksanakan sebagian dari tugas negara atau dari
alat-alat perlengkapannya. Pegawai negeri bukan hanya
orang yang pada pekerjaannya oleh undang-undang telah
dikaitkan dengan pangkat seseorang pegawai negeri.
2. Arrest Hoge Raad tertanggal 18 Oktober 1949, NJ 1950
No. 177
Seorang yang mengadakan perjanjian kerja dapat
merupakan seorang pegawai negeri seperti yang dimaksud
dalam Pasal 209 KUHP, karena ketentuan ini menyatakan
dapat dipidananya tindakan-tindakan yang menghambat
lancarnya pekerjaan dari alat-alat negara, walaupun
perjanjian tersebut tidak dibuat secara tertulis.
30 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
3. Arrest Hoge Raad tertanggal 2 November 1925, NJ 1925
halaman 1254, W. 11471
Walaupun sebuah perusahaan gas dapat dijalankan
oleh seorang swasta, tetapi perusahaan tersebut tetap
termasuk dalam rumah tangga pemerintah daerah dan
tugas untuk menjalankan perusahaan itu tetap termasuk
dalam tugasnya yang bersifat hukum publik. Untuk maksud
tersebut kekuasaan umum itu dapat menerima orang-orang
untuk bekerja berdasarkan perjanjian kerja menurut hukum
perdata. Direktur dari suatu pabrik gas yang diangkat oleh
Dewan, dan yang perintah-perintahnya telah diatur oleh
Dewan dan menurut Dewan dapat melakukan tindakan-
tindakan untuk pemerintah daerah dengan pihak-pihak
ketiga, ia mempunyai pekerjaan yang bersifat umum. Ia
mempunyai tugas untuk melaksanakan sebagian tugas
yang bersifat hukum publik dari pemerintah daerah.
4. Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Oktober 1953
telah membenarkan perluasan definisi Pegawai Negeri
dengan menyatakan: Seorang Anggota DPR menurut
makna Pasal 92 KUHP adalah seorang Pegawai Negeri,
yang dapat dituntut karena melakukan kejahatan seperti
yang dimaksud dalam Pasal 418 dan Pasal 419 KUHP
Putusan Mahkamah Agung Nomor 81 K/Kr/1962 tanggal
1 Desember 1962 dengan terdakwa R.
5. Moetomo Notowidigdo, Direktur Percetakan R.I.
Yogyakarta.
Pasal 92 KUHP tidak memberi penafsiran mengenai
siapakah yang harus dianggap sebagai pegawai negeri,
tetapi memperluas arti pegawai negeri sedangkan menurut
pendapat Mahkamah Agung yang merupakan pegawai
negeri ialah setiap orang yang diangkat oleh Penguasa
yang dibebani dengan jabatan Umum untuk melaksanakan
sebagian dari tugas Negara atau bagian-bagiannya.
Terdakwa diangkat oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 31
3. Konsekuensi Hukum Jika Tidak Melaporkan Penerimaan
Gratifikasi yang Dianggap Suap
Sanksi pidana yang ditetapkan pada tindak pidana ini adalah
pidana penjara minimum empat tahun, dan maksimum 20 tahun
atau pidana penjara seumur hidup, dan pidana denda paling
sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), maksimum
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dari rumusan ini jelas sekali
bahwa penerimaan gratifikasi yang dianggap suap merupakan hal
yang sangat serius sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi,
dengan ancaman sanksi pidana yang sangat berat.
32 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
Mengapa Gratifikasi yang
Diberikan Kepada Pegawai
Negeri/Penyelenggara
Negara Perlu Diatur?
ratifikasi saat ini diatur di dalam Undang-Undang tentang
GPemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi. Berikut adalah beberapa gambaran yang
dapat digunakan pembaca untuk lebih memahami mengapa gratifikasi
kepada Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara perlu diatur secara tegas.
1. Perkembangan Praktik Pemberian Hadiah
Perkembangan praktik terkini pemberian hadiah di Indonesia
diungkapkan oleh Verhezen (2003). Verhezen dalam studinya
mengungkapkan adanya perubahan mekanisme pemberian hadiah
pada masyarakat jawa modern yang menggunakan hal tersebut
sebagai alat untuk mencapai tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintah
dan elit-elit ekonomi. Pemberian hadiah (Gratifikasi) dalam hal ini
berubah menjadi cenderung ke arah suap. Dalam konteks budaya
Indonesia dimana terdapat praktik umum pemberian hadiah pada
atasan dan adanya penekanan pada pentingnya hubungan yang
sifatnya personal, budaya pemberian hadiah menurut Verhezen lebih
mudah mengarah pada suap.
Catatan di atas paling tidak memberikan gambaran mengenai adanya
kecenderungan transformasi pemberian hadiah yang diterima oleh
pejabat publik. Jika dilihat dari kebiasaan, tradisi saling memberi-
menerima tumbuh subur dalam kebiasaan masyarakat. Hal ini
sebenarnya positif sebagai bentuk solidaritas, gotong royong dan
sebagainya. Namun jika praktik itu diadopsi oleh sistem birokrasi,
praktik positif tersebut berubah menjadi kendala di dalam upaya
membangun tata kelola pemerintahan yang baik.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 33
Pemberian yang diberikan kepada pejabat publik cenderung memiliki
pamrih dan dalam jangka panjang dapat berpotensi mempengaruhi
kinerja pejabat publik, menciptakan ekonomi biaya tinggi dan dapat
mempengaruhi kualitas dan keadilan layanan yang diberikan pada
masyarakat.
2. Konflik Kepentingan dalam Gratifikasi
Bagaimana hubungan antara gratifikasi dan pengaruhnya terhadap
pejabat publik? Salah satu kajian yang dilakukan oleh KPK (2009)
mengungkapkan bahwa pemberian hadiah atau gratifikasi yang diterima
oleh penyelenggara negara adalah salah satu sumber penyebab timbulnya
konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang tidak ditangani dengan
baik dapat berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi.
Definisi konflik kepentingan adalah situasi dimana seseorang
Penyelenggara Negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan
berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga
memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang
dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang
seharusnya.
Situasi yang menyebabkan seseorang penyelenggara negara menerima
gratifikasi atau pemberian/penerimaan hadiah atas suatu keputusan/
jabatan merupakan salah satu kejadian yang sering dihadapi oleh
penyelenggara negara yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Beberapa bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian
gratifikasi ini antara lain adalah:
1. Penerimaan gratifikasi dapat membawa Kepentingan tersamar
(vested interest) dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian
sehingga independensi penyelenggara negara dapat terganggu;
2. Penerimaan gratifikasi dapat mempengaruhi objektivitas dan
penilaian profesional penyelenggara negara;
3. Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk
mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi;
4. dan lain-lain.
34 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
Penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara dan
keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian
suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar, semakin lama akan menjadi
kebiasaan yang cepat atau lambat akan mempengaruhi Pegawai Negeri/
Penyelenggara Negara yang bersangkutan. Banyak yang berpendapat
bahwa pemberian tersebut sekedar tanda terima kasih dan sah-sah saja,
tetapi pemberian tersebut patut diwaspadai sebagai pemberian yang
berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena terkait dengan
jabatan yang dipangku oleh penerima serta kemungkinan adanya
kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat
penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai
balas jasa.
Korupsi
Kepentingan Konflik yang terkait
Pribadi Kepentingan Gratifikasi
Hubungan Afiliasi Declaration of Penyalahgunaan
1. Kekerabatan Interest : Wewenang
2. Kedinasan (Untuk Memutus
3. dan lain-lain Kepentingan
Pribadi)
Untuk Penerimaan Gratifikasi
Penyelenggara Negara dan Pegawai
Negeri Wajib Melaporkan
Gratifikasi yang Diterimanya ke KPK
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 35
Konflik Kepentingan yang Dapat Timbul dari Gratifikasi yang Diberikan
kepada Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara.
Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi dari pihak
yang memiliki hubungan afiliasi (misalnya: pemberi kerja-penerima kerja,
atasan-bawahan dan kedinasan) dapat terpengaruh dengan pemberian
tersebut, yang semula tidak memiliki kepentingan pribadi terhadap
kewenangan dan jabatan yang dimilikinya menjadi memiliki kepentingan
pribadi dikarenakan adanya gratifikasi. Pemberian tersebut dapat dikatakan
berpotensi untuk menimbulkan konflik kepentingan pada pejabat yang
bersangkutan.
Untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan yang timbul karena
gratifikasi tersebut, Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara harus membuat
suatu declaration of interest untuk memutus kepentingan pribadi yang
timbul dalam hal penerimaan gratifikasi. Oleh karena itu, Pegawai Negeri/
Penyelenggara Negara harus melaporkan gratifikasi yang diterimanya untuk
kemudian ditetapkan status kepemilikan gratifikasi tersebut oleh KPK,
sesuai dengan pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
36 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
Bilamana Gratifikasi
Dikatakan Sebagai Tindak
Pidana Korupsi?
Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat
rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
“Setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut: ”
Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
suatu gratifikasi berubah menjadi gratifikasi yang dianggap suap ketika
seorang Pegawai Negeri/ Penyelenggara Negara menerima pemberian yang
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya.
Salah satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian
tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas pelayanan
publik, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang. Hal ini merupakan
kebiasaan yang membawa dampak negatif dan berpotensi melahirkan
perbuatan korupsi. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, berapapun nilai
gratifikasi yang diterima seorang Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara,
bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan
yang dimilikinya, maka sebaiknya Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
tersebut segera melaporkannya pada KPK untuk dianalisis lebih lanjut.
38 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id
Jadi dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 12B dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak menghalangi budaya saling memberi
dalam konteks hubungan sosial kemasyarakatan. Akan tetapi ketika suatu
pemberian atau gratifikasi sudah bersinggungan dengan jabatan atau
kewenangan seorang Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara maka perlu
diatur ketentuan terkait larangan penerimaan gratifikasi tersebut agar
tidak menyebabkan terjadinya tindakan koruptif.
Pembahasan “Bagaimana mengidentifikasi gratifikasi yang wajib
dilaporkan?” akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian lain dalam buku
ini.
https://gol.kpk.go.id https://gratifikasi.kpk.go.id 39
Bagaimana Jika Saya Tidak
Meminta Gratifikasi, Namun
Masih Tetap Diberi.
Bolehkah Saya Menerimanya?
Jika pemberian tersebut berhubungan dengan jabatan kita atau ada
ketentuan yang melarang, maka pemberian tersebut harus DITOLAK,
walaupun kita tidak memintanya. Jika pada keadaan tertentu kita tidak
dapat menolaknya, seperti dikirimkan ke rumah, diberikan melalui anggota
keluarga, atau untuk menjaga hubungan baik antar lembaga, maka
pemberian tersebut wajib DILAPORKAN kepada KPK.
Berikut beberapa pertanyaan yang dapat diajukan kepada diri sendiri saat
mempertimbangkan apakah sebuah hadiah boleh kira terima atau tidak.
Metode ini disebut dengan istilah PROVE IT.
PROVE IT
40 https://gratifikasi.kpk.go.id https://gol.kpk.go.id