The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Shafa Cahya, 2022-06-28 07:20:32

Modul Perilaku Organisasi UAS

Modul Perilaku Organisasi UAS

David Mc. Clelland cs, telah berhasil menemukan cara-cara mengembangkan
kebutuhan untuk keberhasilan dan melalui kursus yang mereka dirikan, mereka
telah melatih sejumlah orang dengan maksud dapat membantu mengubah orang
dalam rang usaha mereka memberikan sumbangan kepada perbaikan manusia.

2.1.3 Jenis-Jenis Motivasi

Setiap kegiatan selalu dilandasi oleh suatu motivasi. Dimana motivasi dapat dibedakan
menjadi beberapa yaitu:

a. Motivasi Positif (Insentif Negatif), manager memotivasi bawahan dengan
memberikan reword kepada karyawan yang berprestasi baik. Dengan motivasi
positif ini, semangat kerja akan meningkat, karena manusia pada umumnya senang
menerima yang baik-baik saja.

b. Motivasi Negatif (Insentif Negatif), manager memotivasi karyawan dengan
memberikan hukuman kepada meraka yang pekerjaannya. kurang baik. Dengan
motivasi negatif ini, semangat bekerja bawahan dalam jangka waktu pendek akan
meningkat karena mereka takut dihukum, tetapi untuk jangka waktu panjang dapat
berakibat kurang baik.

Dalam praktiknya kedua jenis motivasi diatas sering digunakan manager dalam suatu
perusahaan. Dimana penggunaan harus tepat dan seimbang, agar dapat meningkatkan
semangat kerja karyawan. Yang menjadi masalah ialah kapan motivasi positif atau
motivasi negatif dapat efektif merangsang gairah kerja karyawan. Motivasi positif untuk
jangka panjang sedangkan motivasi negatif efektif untuk jangka pendek. Akan tetapi,
manajer harus konsisten dan adi lam menerapkannya.

2.1.4 Alat-Alat Motivasi

Ada tiga alat motivasi yaitu motivasi materiil insentif, non-materiil, insentif, kombinasi
materiil dan non-materiil.

1. Materiil insentif, ialah alat motivasi yang diberikan berupa uang dan atau barang
yang mempunyai nilai pasar, jadi memberikan kebutuhan ekonomis. Misalnya,
kendaraan, rumah dan lain-lainya.

2. Non-materiil insentif, ialah alat motivasi yang diberikan berupa barang atau benda
yang tidak ternilai, jadi hanya memberikan kepuasan atau kebanggaan rohani.
Misalnya, medali, piagam, bintang jasa, dan lain-lainnya.

3. Kombinasi materiil dan non-materiil insentif, ialah alat motivasi yang diberikan
berupa materi (uang dan barang) dan non-materiil (medali dan piagam), jadi
memenuhi kebutuhan ekonomis dan kepuasan atau kebanggaan rohani

51

2.1.5 Prinsip-Prinsip Dalam Motivasi
Terdapat beberapa prinsip dalam memotivasi kerja karyawan, yaitu:
a) Prinsip Partisipasi
Dalam upaya memotivasi kerja, pegawai perlu diberikan kesempatan ikut
berpartisipasi dalam menentukan tujuan yang akan dicapai oleh pemimpin.
b) Prinsip Komunikasi
Pemimpin mengkomunikasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha
pencapaian tugas, dengan informasi yang jelas, pegawai akan lebih mudah
dimotivasi kerjanya.
c) Prinsip Mengakui Andil Bawahan
Pemimpin mengakui bahwa bawahan (pegawai) mempunyai andil dalam usaha
pencapaian tujuan. Dengan pengakuan tersebut, pegawai akan lebih mudah
dimotivasi kerjanya.
d) Prinsip Pendelegasian Wewenang
Pemimpin yang memberikan otoritas atau wewenang kepada pegawai bawahan
untuk sewaktu-waktu dapat mengambil keputusan terhadap pekerjaan yang
dilakukannya, akan membuat pegawai yang bersangkutan menjadi termotivasi
untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh pemimpin.
e) Prinsip Memberi Perhatian
Pemimpin yang memberikan perhatian terhadap apa yang diinginkan pegawai
bawahan, akan memotivasi pegawai bekerja apa yang diharapkan oleh pemimpin.

52

BAB 5 PERILAKU KELOMPOK

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Jaringan komunikasi merupakan suatu pola yang teratur dari hubungan antar individu
yang dapat diidentifikasi sebagai pertukaran informasi yang dialami seseorang di dalam
sistim sosialnya (Berger dan Chaffe, 1987: 239). Sebuah jaringan komunikasi identik
dengan keterhubungan di antara dua aktor atau lebih. Studi jaringan komunikasi memberi
penekanan pada relasi antara satu actor dengan aktor yang lain dalam struktur sosial
tertentu. Wasserman dan Faust (1994: 2) lebih detail menjelaskan bahwa jaringan
komunikasi terdiri dari seperangkat aktor (node) dan hubungan (ties) di antara aktor. Aktor
(node) dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau masyarakat. Sedangkan
hubungan (ties) mungkin terjadi di antara individu dengan individu atau terjadi diantara
individu dengan kelompok tertentu dan seterusnya

1.2 Rumusan Masalah
1. Jaringan Komunikasi
2. Spam of Nets (Keterbatasan Jaringan)
3. Koalisi dan Kerjasama

1.3 Tujuan Pembahasan
1. Memahami tentang jaringan komunikasi
2. Mengetahui tentang Spam of Nets (Keterbatasan Jaringan)
3. Mengetahui manfaat dari Koalisi dan Kerjasama

53

PEMBAHASAN

2.1 Jaringan Komunikasi

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Peter R. Monge dan Noshir S. Contractor,
dimana ada satu cara lain untuk melihat struktur organisasi adalah dengan meneliti pola-
pola interaksi dalam organisasi guna mengetahui siapa berkomunikasi dengan siapa.
Karena tidak seorangpun mampu berkomunikasi secara persis sama dengan setiap anggota
organisasi lainnya, maka kita dapat melihat kelompok-kelompok komunikasi yang saling
berhubungan satu sama lain sehingga membentuk jaringan organisasi secara keseluruhan.
(Thomson Wadsworth, 2008).

Jaringan atau networks didefinisikan sebagai social structures created by
communication among individual and groups (struktur social yang diciptakan melalui
komunikasi di antara sejumlah individu dan kelompok). Ketika orang berkomunikasi
dengan orang lain, maka terciptalah hubungan (link) yang merupakan garis-garis
komunikasi dalam organisasi. Sebagian dari hubungan itu merupakan jaringan formal
(formal network) yang dibentuk oleh aturan-aturan organisasi seperti struktur organisasi.
Namun, jaringan formal pada dasarnya mencakup hanya sebagian dari struktur yang
terdapat pada organisasi. Selain jaringan formal terdapat juga jaringan informal (emergent
network) yang merupakan saluran komunikasi nonformal yang terbentuk melalui kontak
atau interaksi yang terjadi antara anggota organisasi setiap harinya.

Para individu yang saling berkomunikasi satu sama lain akan terhubung bersama-sama
ke dalam kelompok-kelompok yang pada gilirannya kelompok-kelompok itu akan saling
berhubungan membentuk jaringan keseluruhan. Setiap orang memiliki seperangkat
hubungan yang unik dengan orang lain yang disebut„ jaringan personal (personal
network). Jaringan dalam kelompok (group network) terbentuk karena individu cenderung
berkomunikasi lebih sering dengan anggota organisasi tertentu lainnya. Organisasi pada
dasarnya terbentuk dari kelompok-kelompok yang lebih kecil yang tterhubung bersama-
sama dalam kelompok yang lebih besar dalam jaringan organisasi (organizational
network).

Unit organisasi paling dasar, menurut teori jaringan, adalah hubungan diantara dua
orang. Sistem organisasi terdiri atas hubungan yang tak terhitung jumlahnya yang
membentuk kelompok-kelompok yang terhubung dengan organisasi. Suatu hubungan
ditentukan melalui jumlah tujuan yang ingin dicapai (apakah memiliki satu atau beberapa
tujuan), berapa banyak orang yang terlibat, dan fungsi suatu hubungan dalam organisasi.
Ketika anggota organisasi berkomunikasi satu sama lain, mereka melaksanakan atau
memenuhi berbagai peran dalam hubungannya dengan jaringan yang terdiri atas peran
sebagai jembatan, penghubung, dan pemisah.

54

2.1.1 Tujuh Peranan Jaringan Komunikasi

1) Anggota Klik
Klik adalah kelompok individu yang sedikitnya separuh dari kontaknya merupakan
hubungan dengan anggota-anggota lainnya. Farancedan rekan-rekannya (1977)
menunjukkan bahwa sebuah klik terbentuk bila lebih daripada separuh komunikasi
anggota-anggotanya berkomunikasi dengan sesama anggota, bila setiap anggotanya
dihubungkan dengan semua anggota lainnya, dan bila tidak ada satu hubungan pun
atau seorang anggota pun yang dapat dihilangkan sehingga mengakibatkan
kelompok terpecah (Pace, 2010:176)

2) Opinion leader/ Pemimpin Pendapat
Opinion leader disini adalah pimpinan informal dalam organisasi, mereka ini
tidaklah selalu orang-orang yang mempunyai otoritas formal dalam organisasi,
tetapi berpengaruh pada tingkah laku dan juga keputusan anggota organisasi.

3) Gate keepers/ Penjaga Gawang
Gate keepers adalah individu yang mengontrol arus informasi diantara anggota
organisasi. Mereka berada di tengah suatu jaringan dan menyampaikan pesan dari
satu orang kepada orang lain atau tidak memberikan informasi. Gate keepers
memiliki kekuasaan untuk menyampaikan atau tidak informasi yang di dapat,
tergantung dari penting atau tidak pentingnya informasi untuk organisasi. Nyatalah
Gate keepers memiliki peran yang sangat penting dalam jaringan komunikasi.

4) Cosmopolites/ Kosmopolit
Cosmopolites adalah individu yang menghubungkan organisasi dengan
lingkungannya. Mengumpulkan informasi yang ada dan memberikan informasi
mengenai organisasi kepada orang tertentu.

5) Bridge/ Jembatan
Bridge adalah anggota kelompok atau klik dalam satu organisasi yang
menghubungkan kelompok itu dengan anggota kelompok lainnya.

6) Liaison/ Penghubung
Sebenarnya liaison memiliki peran yang sama dengan bridge, hanya saja individu
itu bukanlah anggota dari satu kelompok, akan tetapi dia merupakan penghubung di
antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

7) Isolate/ Penyendiri
Isolate adalah anggota organisasi yang mempunyai kontak minimal dengan orang
lain dalam organisasi. Ini disebabkan mungkin karena dia sengaja menyembunyikan
diri atau memang di asingkan oleh teman-temannya dalam organisasi.

55

2.1.2 Jenis-Jenis Komunikasi Organisasi

a. Komunikasi ke Bawah

Komunikasi ke bawah (Downward Communication) yang berasal dari seseorang
yang mempunyai posisi yang lebih tinggi kepada orang yang mempunyai status
lebih rendah. Komunikasi ke bawah, biasanya berupa policy (kebijakan), perintah,
petunjuk dan informasi yang bersifat umum. Selain itu komunikasi ke bawah juga
biasanya berisi pesan yang berhubungan dengan pengarahan, tujuan, disiplin,
perintah, perintah dan kebijaksanaan umum.

b. Komunikasi ke Atas
Komunikasi ke atas (Upward Communication) adalah kebalikan dari komunikasi

ke bawah, biasanya berisi laporan, pengaduan, permohonan, tuntutan dan keinginan.
Komunikasi ini dapat dilakukan melalui tatap muka. Tujuan dari komunikasi ini
adalah untuk memberikan balikan, memberikan saran dan mengajukan pertanyaan.

c. Komunikasi Horizontal
Komunikasi horizontal (Horizontal Communication) yaitu komunikasi antar

status yang sama dalam jabatannya. Komunikasi horizontal mempunyai beberapa
tujuan diantaranya untuk mempercepat jalannya komunikasi antar bagian yang
memiliki status yang sama dan dapat menyatukan organisasi. Pesan yang mengalir
menurut fungsi dalam organisasi di arahkan secara horizontal, dan pesan ini
biasanya berhubungan dengan tugas-tugas atau tujuan kemanusiaan, seperti
koordinasi, pemecahan masalah, penyelesaian konflik dan saling memberikan
informasi.

2.1.3 Konsep Komunikasi Organisasi

Menurut Goldhaber organisasi adalah proses menciptakan dan saling menukar pesan
dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung sama lain untuk mengatasi
lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah.

1) Proses
Suatu organisasi adalah suatu sistem terbuka yang dinamis yang menciptakan dan

saling menukar pesan di antara anggotanya. Karena gejala menciptakan dan
menukar informasi ini berjalan terus menerus dan tidak ada henti-hentinya maka
dikatakan sebagai suatu proses. Dengan menggunakan serentetan komunikasi
sebuah kelompok secara tidak langsung akan membentuk sebuah organisasi sesuai
dengan kebutuhan dan keinginan lingkungan mereka. hal itu disebabkan oleh proses
komunikasi yang secara terus menerus mereka lakukan.

56

2) Pesan
Yang dimaksud dengan pesan adalah susunan simbol yang penuh arti tentang

orang, objek, kejadian yang dihasilkan oleh interaksi dengan orang. Dalam
komunikasi organisasi kita mempelajari ciptaan dan pertukaran pesan dalam seluruh
organisasi. Pesan dalam organisasi ini dapat dilihat menurut beberapa klasifikasi,
yang berhubungan dengan bahasa, penerima yang dimaksud, metode difusi dan arus
tujuan dari pesan. Dalam bahasa pesan dapat dibedakan menjadi pesan verbal dan
non verbal. Sedangkan dalam penerima yang diharapkan pesan dibedakan menjadi
dua yaitu internal dan eksternal.
3) Jaringan

Organisasi terdiri dari satu seri orang yang tiap-tiapnya menduduki posisi atau
peranan tertentu dalam organisasi. Ciptaan dan pertukaran pesan dari orang-orang
ini sesamanya terjadi melewati set jalan kecil yang dinamakan jaringan komunikasi.
Suatu jaringan komunikasi ini mungkin mencakup hanya dua orang, beberapa
orang, atau keseluruhan organisasi. Hakikat dan luas jaringan ini di pengaruhi oleh
banyak faktor antara lain, hubungan peranan, arah dan arus pesan,hakikat seri dari
arus pesan, dan isi dari pesan.
4) Keadaan Saling Tergantung

Konsep ini terjadi karena antara yang pertama dan seterusnya mengalami sebuah
Keadaan saling tergantung. Bila suatu bagian dari organisasi mengalami gangguan
maka akan berpengaruh kepada bagian lainnya dan mungkin juga kepada seluruh
system organisasi. Begitu juga halnya dengan jaringan komunikasi dalam suatu
organisasi, saling melengkapi.
5) Hubungan

Karena organisasi merupakan suatu system terbuka, system kehidupan sosial
maka untuk berfungsinya bagian-bagian itu terletak pada tangan manusia. Dengan
kata lain jaringan melalui mana jalannya pesan dalam suatu organisasi dihubungkan
oleh manusia. Oleh karena itu hubungan manusia dalam organisasi yang
memfokuskan kepada tingkah laku komunikasi dari orang yang terlibat dalam suatu
hubungan perlu dipelajari.
6) Lingkungan

Yang dimaksud dengan lingkungan adalah semua totalitas secara fisik dan faktor
sosial yang diperhitungkan dalam pembuatan keputusan mengenai individu dalam
suatu system. Lingkungan ini dapat dibedakan atas lingkungan internal dan
lingkungan eksternal.
7) Ketidakpastian

Yang dimaksud dengan ketidakpastian disini adalah perbedaan informasi yang
tersedia dengan informasi yang diharapkan. Maksudnya adalah, ketika informasi
yang diterima tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi maka akan berpengaruh
dalam organisasi. Ketidakpastian dalam suatu organisasi juga disebabkan oleh
terlalu banyak informasi yang diterima daripada sesungguhnya diperlukan untuk
menghadapi lingkungan mereka.

57

2.1.4 Pendekatan yang Digunakan Dalam Komunikasi Organisasi

1) Pendekatan Makro
Dalam pendekatan makro organisasi dipandang sebagai suatu struktur global

yang berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam berinteraksi ini organisasi
melakukan aktivitas tertentu seperti memproses informasi dari lingkungan,
mengadakan identifikasi, melakukan integrasi dan menentukan tujuan organisasi.
a. Memproses informasi dan lingkungan
b. Identifikasi
c. Integrasi dengan organisasi lain
d. Penentuan Tujuan

2) Pendekatan Mikro
Pendekatan ini terutama memfokuskan kepada komunikasi dalam unit dan

subunit pada suatu organisasi. Komunikasi yang diperlukan pada tingkat ini adalah
komunikasi antar anggota kelompok, komunikasi untuk pemberian orientasi dan
latihan, serta komunikasi untuk melibatkan anggota kelompok dalam tugas
kelompok. Di dalam organisasi biasanya terdapat bermacammacam kelompok
sosial. Masing-masing kelompok ini memiliki tujuan mereka masing-masing.

Agar kelompok ini dapat menyokong pencapaian tujuan organisasi, sebagai
seorang pimpinan organisasi harus mampu memberikan informasi mengenai tujuan
organisasi dan penjelasan terkait dengan tujuan kelompok sehingga masing-masing
kelompok merasakan bahwa tujuan organisasi adalah tujuan mereka bersama.
Dibutuhkan ketrampilan khusus sebagai seorang pimpinan organisasi dalam hal ini

3) Pendekatan Individual
Pendekatan individual berpusat pada tingkah laku komunikasi individual dalam

organisasi. Kerja kelompok adalah pusat efektifnya kerja organisasi dan disini
memang sangat dibutuhkan ketrampilan berkomunikasi agar dapat mendapatkan
dan memberikan informasi yang diperlukan dari kelompok itu. Biasanya di dalam
organisasi banyak keputusan-keputusan penting yang di buat melalui perdebatan
yang terjadi diantara aggota kelompok, disinilah individu yang ada didalamnya
harus juga memiliki ketrampilan agar usulan atau program yang di ajukan bisa
diberikan dan diterima oleh semua anggota kelompok atau organisasi itu

2.1.5 Model Jaringan Komunikasi

Jaringan komunikasi adalah penggambaran “who say to whom” (siapa berbicara
kepada siapa) dalam suatu sistem sosial. Jaringan komunikasi menggambarkan
komunikasi interpersonal. Dimana terdapat pemuka- pemuka opini dan pengikut yang
saling memiliki hubungan komunikasi pada suatu topik tertentu, yang terjadi dalam
suatu sistem sosial tertentu seperti sebuah kelompok atau sebuah organisasi. Model
yang biasanya terdapat pada jaringan komunikasi diantaranya:

58

a. Model Jaringan Komunikasi Roda
Dalam model ini pemimpin sebagai pusat perhatian dan informasi. Pemimpin bisa

berkomunikasi dengan semua anggota kelompok, tetapi anggota kelompok hanya
bisa berkomunikasi dengan pemimpinnya.
b. Model Jaringan Komunikasi Rantai

Dalam model ini A bisa berkomunikasi dengan B, B dengan C, C dengan D dan
seterusnya. Yang dimaksudkan dengan A B dan seterusnya itu bisa berupa
kelompok. organisasi, pemimpin, atau anggota kelompok dan organisasi itu.
c. Model Jaringan Komunikasi Y

Dalam model ini ada beberapa anggota kelompok (tiga) yang bisa berkomunikasi
dengan anggota lain yang ada disampingnya seperti model rantai. Tapi ada dua
orang yang hanya bisa berkomunikasi dengan satu orang yang ada disampingnya.
d. Model Jaringan Komunikasi Lingkaran

Selanjutnya adalah model jaringan komunikasi lingkaran. Dalam model ini setiap
orang hanya bisa berkomunikasi dengan dua orang di sampingnya. Dengan kata lain
dalam model ini tidak terdapat pemimpin.
e. Model Jaringan Komunikasi Bintang

Yang terakhir ini adalah model jaringan komunikasi bintang, dalam model ini
bisa dikatakan sebagai model jaringan komunikasi semua jaringan/all channel. Yang
artinya semua orang yang ada dalam kelompok atau organisasi itu bisa
berkomunikasi dengan semua anggota kelompok atau organisasi lain.

2.2 Spam of Nets (Keterbatasan Jaringan)

Keunggulan sistem jaringan kerja adalah, apabila memiliki akses yang luas keluar
organisasi (Organization External), karena akses ini akan lebih banyak data yang dapat
diperoleh untuk diolah menjadi kebijakan (Decision Making). Siapa saja yang memiliki
akses jaringan kerja sampai ke tingkat dunia yang dapat dimonitor lebih banyak, maka dia
akan memilki kekuasaan lebih besar. Sebagai contoh, didalam organisasi pemerintahan
Republik Indonesia, departemen luar negeri merupakan departemen yang mempunyai
akses hampir ke seluruh dunia, dapat dilihat kenyataannya bahwa departemen ini
merupakan dominasi dibandingkan departemen lain yang ada didalam jaringan kerja.
Pengertiannya, departemen luar negeri merupakan pemegang kewenangan yang lebih
besar dibandingkan departemen lain yang ada, dimana departemen lain mempunyai
ketergantungan didalam mengakses data dari departemen luar negeri.

Kenyataannya, walaupun departemen luar negeri meiliki akses data yang lebih banyak,
tetapi tetap saja mempunyai masalah dengan keterbatasan jalur, seperti dengan tidak ada
jalur dengan Israel, terbatas jalur ke Amerika Serikat yang menyangkut hubungan dengan
kelompok yang dipimpin Amerika Serikat, seperti lepasnya Timor-timur dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang disebabkan terbatasnya jalur komunikasi dengan
Portugis yang termasuk kelompok Amerika Serikat.

59

Dengan demikian, dapat dikatakan setiap jaringan kerja (networking) akan tetap
memiliki keterbatasan jalur. Keadaan demikian disebabkan kurang modalnya investasi di
dalam pengembangan teknologi informasi, kesenjangan performa yang mampu mengelola
informasi, termasuk performa diplomat (intelijen, sandiawan, dan kurir informasi),
kemudian karena lebih cepatnya perubahan teknologi dibandingkan investasi yang
dilakukan tiap-tiap organisasi atau suatu negara.

Suatu organisasi atau negara yang lebih maju dengan tingkat kekayaan yang lebih tinggi
akan lebih baik basis data (data based) yang dimiliki dibandingkan negara yang sedang
berkembang apalagi dibandingkan dengan negara keterbelakang.

2.3 Koalisi dan Kerjasama
Orang atau pun organisasi yang memiliki jaringan kerja yang lebih luas akan lebih cepat

sukses didalam melaksanakan kegiatannya dibandingkan orang atau organisasi yang tidak
memilki atau kurang mempunyai akses didalam jaringan kerja. Jaringan kerja yang luas
akan lebih cepat mendapatkan isu yang baru (core issue) yang dapat dipergunakan didalam
pengembangan dan perubahan. Karena banyaknya keterbatasan jaringan kerja pada setiap
orang atau organisasi, jalan terbaik yang umumnya dilakukan adalah membentuk kerja
sama jaringan kerja.

Pengertiannya; dengan kerja sama jaringan kerja akan dapat membantu pada organisasi
yang memiliki keterbatasan yang lebih banyak dibandingkan organisasi yang memiliki
sedikit keterbatasan, keadaan demikian menggambarkan bahwa; siapa yang memiliki data
based dan jaringan kerja yang lebih luas, dapat dikatakan meiliki kekuasaan yang lebih
kuat didalam jaringan kerja.

Dengan demikian, apabila orang maupun organisasi dapat menjalin kerja sama jaringan
kerja (koalisi), maka mereka akan dapat menjadi kuat dan lebih berkuas dibandingkan
apabila mereka membuat jaringan secara sendiri-sendiri untuk menghdapi kelompok lain
yang mempunyai jaringan kerja yang lebih luas.

60

BAB 6 DASAR-DASAR PERILAKU KELOMPOK DAN KELOMPOK
KERJA

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kelompok sosial yang juga biasa disebut dengan komunitas merupakan setiap
kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling
berinteraksi (Horton & Hunt, 1984:215). Kelompok ini cenderung memiliki kesadaran
akan anggotanya dengan adanya kepentingan yang terbentuk oleh tujuan, pandangan, dan
pemahaman bersama. Kelompok sosial (social group) merupakan himpunan atau kesatuan
manusia yang menganggap diri mereka bagian dari suatu kebersamaan, dan mereka
berinteraksi satu dengan yang lainnya (Henslin, 2007:120). Kelompok sangat berpengaruh
terhadap hidup individu sehingga menentukan siapa individu itu. Kelompok merupakan
inti kehidupan dalam masyarakat, dari kelompok seseorang memperoleh orientasi ke
dunia. Keanggotaan dan partisipasi dalam kelompok sosial pun memberikan kepada
individu suatu perasaan memiliki.

1.2 Rumusan Masalah
1. Definisi Kelompok
2. Konsep Dasar Kelompok
3. Norma

1.3 Tujuan Pembahasan
Mengetahui dan memahami tentang kelompok dan norma

61

PEMBAHASAN

2.1 Kelompok

Kelompok adalah kumpulan dua orang atau lebih yang saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi untuk suatu tujuan tertentu yang dipahami bersama. Kelompok di buat
sosial dimana anggota-anggotanya yang saling tergantung, dan setidak-tidaknya memiliki
potensi untuk melakukan interaksi satu sama lain. kelompok disusun oleh organisasi
dengan tujuan untuk menjalankan berbagai pekerjaan atau tugas yang terkait dengan
pencapaian tujuan organisasi Kelompok merupakan kumpulan yang beranggotakan lebih
dari satu orang, yang berarti adanya karakteristik yang berbeda dari setiap orang, serta
adanya tujuan bersama yang ingin dicapai.

Ada beberapa ahli yang mendefinisikan tentang kelompok, diantaranya:

a. Hornby, A.S (1973: 441) berpendapat bahwa kelompok adalah sejumlah orang atau
benda yang berkumpul atau ditempatkan secara bersama-sama atau secara alamiah
berkumpul. (A number of persons or things gathered, or naturally associated).

b. Webster (1989: 425) ,mengatakan bahwa kelompok adalah sejumlah orang atau benda
yang bergabung secara erat dan menganggap dirinya sebagai suatu kesatuan.

c. (Sherif: 1962), berpendapat Kelompok adalah unit sosial yang terdiri dari sejumlah
individu yang mempunyai hubungan saling ketergantungan satu sama lain sesuai
dengan status dan perannya secara tertulis atau tidak mereka telah mengadakan norma
yang mengatur tingkah laku anggota kelompoknya.

d. Slamet Santosa (1992: 8), “Kelompok adalah suatu unit yang terdapat beberapa
individu yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan kesatuannya dengan
cara dan atas dasar kesatuan persepsi”.

e. Menurut Zaltman (1972: 75), bahwa Dinamika Kelompok adalah kekuatankekuatan
yang berlangsung dalam kelompok, kekuatan tersebut bertujuan memberikan arah
perilaku kelompok

Kelompok dibagi menjadi dua jenis yaitu, kelompok Formal dan Informal.

1) Kelompok Formal
Kelompok Formal adalah kelompok yang dibentuk atau disusun secara resmi oleh

manajer dimana kelompok tersebut diberikan tugas dan pekerjaan yang terkait dengan
pencapaian tujuan organisasi. Contoh kelompok formal: Organisasi badan-badan
pemerintah yaitu, Organisasi Badan Pengatur Penyediaaan dan Pendistribusian BBM.
2) Kelompok Informal

Kelompok Informal adalah kelompok yang disusun atau tersusun dengan sendirinya
ketika beberapa anggota dari organisasi yang kegiatannya biasanya tidak terkait
langsung dengan rencana-rencanarutin dari organisasi, namun secara tidak langsung
akan mempengaruhi kinerja dari orang-orang dalam organisasi. Contoh kelompok
informal: Kelompok yang dimiliki user dalam situs jejaring sosial seperti facebook

62

2.1.1 Peran Individu Dalam Kelompok

Kinerja organisasi sangat tergantung pada kinerja individu yang ada di dalamnya.
Seluruh pekerjaan dalam organisasi itu, para anggotalah yang menentukan
keberhasilannya. Sehingga berbagai upaya meningkatkan produktivitas organisasi
harus dimulai dari perbaikan produktivitas anggota. Oleh karena itu, pemahaman
tentang perilaku organisasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan
kinerjanya.

Anggota sebagai individu ketika memasuki organisasi akan membawa kemampuan,
kepercayaan pribadi, pengharapan-pengharapan, kebutuhan dan pengalaman masa
lalunya sebagai karakteristik individualnya. Oleh karena itu, maaf-maaf kalau kita
mengamati anggota baru di kantor. Ada yang terlampau aktif, maupun yang terlampau
pasif. Hal ini dapat dimengerti karena anggota baru biasanya masih membawa sifat-sifat
karakteristik individualnya.

Setiap anggota mempunyai karakteristik yang berbeda, karakteristik ini menurut
Thoha (1983), akan berinteraksi dengan tatanan organisasi seperti: peraturan dan
hirarki, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem kompensasi dan sistem
pengendalian. Hasil interaksi tersebut akan membentuk perilaku-perilaku tertentu
individu dalam organisasi. Oleh karena itu penting bagi manajer untuk mengenalkan
aturan-aturan organisasi kepada anggota baru.

Pada tingkat individu, jika anggota merasa bahwa organisasi memenuhi kebutuhan
dan karakteristik individualnya, ia akan cenderung berperilaku positif. Tetapi
sebaliknya, jika anggota tidak merasa diperlakukan dengan adil, maka mereka
cenderung untuk tidak tertarik melakukan hal yang terbaik (Cowling dan James, 1996)
Untuk itu, ketika seseorang mempunyai ketertarikan yang tinggi dengan pekerjaan,
seseorang akan menunjukkan perilaku terbaiknya dalam bekerja (Duran-Arenas et.al,
1998).

Selanjutnya menurut Cowling dan James; tidak semua individu tertarik dengan
pekerjaannya. Akibatnya beberapa target pekerjaan tidak tercapai, tujuan-tujuan
organisasi tertunda dan kepuasan dan produktivitas anggota menurun. Di lain pihak,
organisasi berharap dapat memenuhi standar-standar sekarang yang sudah ditetapkan
serta dapat meningkat sepanjang waktu.

Masalahnya adalah cara menyelaraskan sasaran-sasaran individu dan kelompok
dengan sasaran organisasi, dan jika memungkinkan, sasaran organisasi menjadi sasaran
individu dan kelompok. Untuk itu diperlukan pemahaman bagaimana orang-orang
dalam organisasi itu bekerja serta kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka dapat
memberikan kontribusinya yang tinggi terhadap organisasi.

63

2.1.2 Ciri-ciri Kelompok

1. Motif Yang Sama
Merupakan pengikat sehingga setiap anggota kelompok tidak bekerja sendiri-
sendiri,melainkan bekerja bersama untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Sikap In-Group Dan Out-Group
Manusia mempunyai tugas yang sulit atau yang mengalami hidup bersama mereka
akan menunjukkan tingkah laku yang khusus. Apabila orang lain di luar kelompok
bertingkah laku seperti mereka, akan menyingkirkan diri.

3. Solidaritas
Kesetiakawanan antar anggota kelompok social.

4. Struktur Kelompok
Suatu sistem mengenai relasi antara anggota-anggota kelompok berdasarkan
peranan dan status.

5. Norma Kelompok
Pedoman-pedoman yang mengatur tingkahlaku individu dalam suatu kelompok.

2.1.3 Bentuk-Bentuk Kelompok

1. Primer dan Sekunder
Kelompok primer merupakan yang merujuk pada kelompok kecil yang memiliki

ciri bersifat intimitas, asosiasi tatap muka, dan kerja sama. Kelompok primer
merupakan kelompok yang anggota-anggotanya sering berhadapan muka dan saling
mengenal dari dekat dan karena itu hubungannya lebih erat.

Kelompok sekunder merupakan kelompok yang merujuk pada sebuah kelompok
formal imersonal yang memiliki sedikit kedekatan sosial. Interaksi dalam kelompok
sekunder terdiri atas saling hubungan yang tidak langsung dan kurang bersifat
kekeluargaan hubungan-hubungan kelompok skunder biasanya lebih bersifat
objektif. Peranan atau fungsi kelompok sekunder dalam kehidupan manusia adalah
untuk mencapai tujuan tertentu dalam masyarakat dengan bersama, secara objektif
dan rasional.
2. Gemeinschaft & Gesellschaft
Gemeinschaft = Diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah juga
kekal (Paguyuban). Sedangkan Gesellschaft adalah ikatan lahir yang bersifat pokok.
Jangka waktunya pendek sebagai suatu sikap alam pikiran belaka.
3. Formal Group & Informal Group

Kelompok Formal adalah kelompok-kelompok yang mempunyai peraturan yang
tegas dan sengaja diciptakan oleh anggota-anggotanya untuk mengatur hubungan
antara anggota-angotanya terkoordinasi melalui usaha-usaha untuk mencapai tujuan
berdasarkan bagian-bagian organisasi yang bersifat spesialisasi. Kegiatannya
didasarkan pada aturan-aturan yang sebelumnya sudah ditentukan. Organisasi
biasanya ditegakkan pada landasan mekanisme administratif. Staf administratif
bertanggung jawab memelihara organisasi dan mengkoordinasikan kegiatan-
kegiatan organisasi.

64

Kelompok Informal merupakan suatu kelompok yang tumbuh dari proses
interaksi, daya tarik, dan kebutuhan-kebutuhan seseorang. Keanggotaan kelompok
biasanya tidak teratur dan keanggotaan ditentukan oleh daya tarik bersama dari
individu dan kelompok. Kelompok ini terjadi pembagian tugas yang jelas tapi
bersifat informal dan hanya berdasarkan kekeluargaan dan simpati. Misalnya,
kelompok arisan dan sebagainya.
4. Membership Group & Refrensi-Group

Membership Group merupakan suatu kelompok di mana setiap orang secara fisik
menjadi anggota kelompok tersebut. Sedangkan Reference Group adalah kelompok-
kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok
tersebut) untuk membentuk pribadi dan perilakunya.
5. In-Group & Out-Group

Kelompok Dalam (In-Group) adalah kelompok dalam merupakan bentuk
kesadaran seseorang tentang identitas dirinya dalam suatu kelompok, misalnya
keluargaku, negaraku, dan profesiku. Kata "ku" dalam pernyataan tersebut
menunjukan seseorang merasa menjadi bagian dalam kelompok. Dan kelompok
Luar (Out-Group) Dalam kelompok luar seseorang dapat merasa bahwa dirinya
bukan bagian dari suatu kelompok. Out-group dapat berubah in-group karena
adanya kontak dan komunikasi yang memungkinkan interaksi sosial antar kelompok
atau antar individu terjalin dengan baik sehingga muncul rasa simpati.

2.1.4 Syarat Terbentuknya Kelompok

1. Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari
kelompok yang bersangkutan.

2. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota lainnya.
3. Terdapat suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu,

sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi bisa merupakan nasib
yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama
dan lain-lain.
4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.

2.2 Norma

Norma berkaitan dengan aturan yang berlaku pada masyarakat tertentu. Aturan ini
berkaitan dengan tingkah laku manusia, jika melanggar dapat terkena sanksi. Norma
adalah aturan atau kaidah untuk perilaku manusia yang berisi perintah, larangan, dan
sanksi. Perintah ini merupakan sesuatu yang harus dilakukan, sementara larangan yaitu
sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Jika melanggar perintah dan larangan, maka
seseorang bisa terkena sanksi. Nama lain sanksi adalah hukuman yang diberikan ke
seseorang karena telah melanggar norma.

65

Norma bisa juga disebut sebagai petunjuk yang dibenarkan oleh kelompok, untuk
menjalani interaksi sosial. Perbedaan antara nilai sosial dan norma sosial terdapat pada
sanksinya. Seseorang yang melanggar norma akan dikenakan hukuman. Norma adalah
aturan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, berfungsi sebagai pengendali
dalam hidup. Aturan ini berisi petunjuk yang sifatnya mengikat dan wajib ditaati. Ada tiga
poin penting tentang norma yaitu kaidah, tingkah laku manusia, perintah berisi larangan,
dan sanksi.

Berikut pengertian norma menurut para ahli:

1) John J. Macionis - Norma adalah aturan dan harapan dalam masyarakat untuk
memandu perilaku anggota-anggotanya.

2) Robert Mz. Lawang - Norma merupakan gambaran mengenai apa yang diinginkan,
baik atau tidaknya. Sehingga anggapan yang baik perlu dihargai sebagaimana
mestinya.

3) Hans Kelsen - Norma adalah perintah yang tidak personal dan anonim.
4) Soerjono Soekanto - Norma merupakan suatu perangkat supaya hubungan

antarmasyarakat terjalin dengan baik.
5) Isworo Hadi Wiyono - Norma adalah peraturan atau petunjuk hidup yang memberi

perbuatan mana yang boleh dilakukan dan perbuatan yang harus dihindari.

2.2.1 Jenis-Jenis Norma

Berdasarkan jenisnya, norma dibagi menjadi 4 yaitu norma agama, norma kesusilaan,
norma kesopanan, norma kebiasaan, dan norma hukum.

1. Norma Agama
Jenis norma agama berdasarkan akidah atau aturan yang ada di dalam agama. Norma
ini sifatnya mutlak dan penganutnya harus menaati aturan dalam agama tersebut.
Jika tidak seseorang akan kehilangan iman dan keyakinan.

2. Norma Kesusilaan
Normal ini berdasarkan hati nurani atau akhlak manusia dan sifatnya umum. Arti
umum yaitu setiap orang memilikinya meski bentuknya bisa berbeda. Norma
kesusilaan berkaitan dengan nilai kemanusiaan. Jika melanggar akan terjerat hukum
pidana dan sanksi di masyarakat.

3. Norma Kesopanan
Asal norma kesopanan dari tingkah laku masyarakat yang berlaku di daerah tertentu.
Norma ini bersifat relatif, artinya penerapannya bisa berbeda satu sama lain.

4. Norma Kebiasaan
Merupakan perbuatan yang dilakukan dalam bentuk berulang-ulang, sehingga
menjadi kebiasaan. Dalam lingkungan tertentu, seseorang bisa dianggap aneh jika
tidak melakukan norma kebiasaan. Norma ini terjadi secara berulang sampai
menjadi ciri khas tertentu.

66

5. Norma Hukum
Norma hukum berfungsi mengatur tata tertib di suatu negara. Masyarakat akan
mendapat sanksi jika melanggar aturan yang sudah ditetapkan dalam negara. Sanksi
ini dilakukan oleh lembaga pemerintah resmi. Ciri-ciri norma hukum yaitu diakui
oleh masyarakat, adanya penegak hukum, dan pihak berwenang yang memberi
sanksi. Tujuan dari norma hukum ini untuk menciptakan lingkungan yang tertib dan
aman.

2.2.2 Fungsi Norma

• Untuk memastikan terciptanya kehidupan masyarakat yang lebih aman dan tertib.
• Untuk mengatur perbuatan masyarakat agar sesuai dengan nilai yang ada dan

berlaku.
• Agar dapat mencegah adanya benturan kepentingan antar masyarakat.
• Untuk membantu masyarakat dalam mencapai tujuan atau kesepakatan bersama.
• Digunakan sebagai petunjuk maupun pedoman yang dapat digunakan untuk

menjalani hidup di lingkungan masyarakat sebagai individu.
• Norma digunakan agar dapat mengatur perilaku masyarakat.
• Norma digunakan agar adanya suatu batasan untuk tidak dilanggar.
• Norma digunakan untuk mendorong individu untuk dapat beradaptasi dengan

lingkungan masyarakat yang ada berdasarkan nilai-nilai yang berlaku.

2.2.3 Macam-Macam Norma

1. Norma Formal
Norma formal, merupakan suatu aturan yang dijalankan oleh masyarakat yang
dirumuskan oleh pihak yang berwenang seperti pemerintah maupun lembaga
masyarakat atau institusi resmi yang berguna untuk mengatur masyarakat dan
memastikan adanya kesepakatan bersama yang sifatnya resmi maupun formal.

2. Norma Non-Formal
Norma non-formal, merupakan suatu bentuk ketentuan maupun aturan yang
dijalankan masyarakat dalam sebuah lingkungan tanpa diketahui siapa yang
merumuskannya dan biasanya bentuk dari norma non-formal ini tidak tertulis,
namun masyarakat menjalankannya karena kesadaran ataupun sudah menjadi
kebiasaan dalam diri untuk menjaga keharmonisan lingkungan masyarakat yang
sifatnya tidak resmi dan tidak memaksa masyarakatnya untuk menjalankan aturan
tersebut. Contoh dari norma non-formal yaitu, aturan-aturan yang ada di rumah
maupun keluarga, seperti bagaimana cara kita bersikap ketika makan maupun
minum, dan juga bagaimana cara kita berpakaian yang biasanya norma non-formal
ini berbentuk sebuah kebiasaan.

67

2.2.4 Jenis-jenis Norma Sosial Berdasarkan Tingkatan Daya Ikat

1. Cara / Usage
Norma sosial jenis ini memiliki daya pengikat yang paling lemah karena sanksi yang
diberikan jika dilanggar biasanya hanya berupa cemoohan. Contoh dari norma sosial
jenis cara adalah ketika kamu sedang makan tidak boleh berbicara, jadi ketika norma
tersebut dilanggar kamu akan ditegur atau diperingati oleh orang-orang yang ada.

2. Kebiasaan / Folkways
Normal sosial jenis ini memiliki daya pengikat yang lebih kuat daripada norma jenis
cara atau usage karena merupakan suatu aturan yang akan dilakukan secara
berulang-ulang. Contoh dari norma sosial jenis kebiasaan adalah kita sebagai
manusia harus menghormati orang yang lebih tua dibandingkan kita, jika norma
tersebut dilanggar maka sanksi yang diterima akan berbeda-beda tergantung
seberapa sering kita melakukan hal tersebut dan apakah ada niat untuk merubah diri
menjadi lebih baik.

3. Kelakuan / Mores
Norma sosial jenis ini memiliki daya pengikat yang lebih kuat daripada norma jenis
kebiasaan atau Folkways karena norma jenis merupakan suatu aturan yang telah
disepakati dalam lingkungan masyarakat dan dijadikan nilai standar bagi orang di
dalam lingkungan tersebut, jika norma sosial jenis tata kelakuan atau mores ini
dilanggar maka sanksi yang diterima akan lebih berat. Contoh dari norma sosial
jenis ini adalah larangan berzina atau hubungan terlarang, dimana jika dilanggar
maka akan diadili secara hukum yang berlaku di suatu daerah.

4. Adat Istiadat atau Custom
Dan yang terakhir, norma sosial ini memiliki daya pengikat yang paling tinggi
daripada normal sosial lain, karena memiliki sifat turun temurun yang sudah
menjadi kewajiban orang di lingkungan tersebut, dan jika normal sosial jenis adat
istiadat atau custom ini dilanggar maka akan mendapatkan sanksi yang berat.
Contoh dari norma sosial jenis ini adalah larangan orang Batak menikah dengan
orang yang memiliki marga sama.

2.2.5 Ciri-Ciri Norma

• Norma yang ada biasanya tidak tertulis dan dilakukan sebagai bentuk kebiasaan.
• Norma yang tercipta di suatu lingkungan masyarakat biasanya merupakan hasil

kesepakatan yang dapat diterima dan dijalankan setiap orang.
• Sebagai masyarakat dimana norma tersebut dijalankan, sudah menjadi kewajiban

untuk menaati norma yang ada.
• Jika seseorang melanggar norma yang sudah disepakati bersama, maka orang

tersebut akan mendapat sanksi maupun hukuman yang telah disepakati.
• Dengan semakin berkembangnya zaman, norma yang ada juga dapat berubah

seiring perubahan dan sifatnya menyesuaikan.
• Dan yang terakhir, norma yang berlaku di lingkungan masyarakat dibuat dan

disepakati secara sadar.

68

BAB 7 KEKUASAAN

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Gilbert W. Fairholm mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan individu untuk
mencapai tujuannya saat berhubungan dengan orang lain, bahkan ketika dihadapkan pada
penolakan mereka. Fairholm lalu merinci sejumlah gagasan penting dalam penggunaan
kekuasaan secara sistematik dengan menakankan bahwa kapasitas personal-lah yang
membuat pengguna kekuasaan bisa melakukan persaingan dengan orang lain.

Kekuasaan adalah gagasan politik yang berkisar pada sejumlah karakteristik.
Karakteristik tersebut mengelaborasi kekuasaan selaku alat yang digunakan seseorang,
yaitu pemimpin (juga pengikut) gunakan dalam hubungan interpersonalnya. Seseorang
bisa saja punya kekuasaan tetapi tidak menerapkannya. Kekuasaan punya fungsi
bergantung. Semakin besar ketergantungan B atas A, semakin besar kekuasaan A dalam
hubungan mereka. Ketergantungan, pada gilirannya, didasarkan pada alternatif yang ada
pada B dan pentingnya alternatif tersebut bagi B dalam memandang kendali A.

Esensi kekuasaan adalah kendali atas perilaku orang lain. Kekuasaan adalah kekuatan
yang kita gunakan agar sesuatu hal terjadi dengan cara disengaja, di mana influence
(pengaruh) adalah apa yang kita gunakan saat kita menggunakan kekuasaan. Seorang
manajer membiakkan kekuasaan dari aneka sumber, baik dari organisasi yang disebut
sebagai “power position” ataupun dari personalitasnya sendiri yang disebut “personal
power.”
1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian Kekuasaan
2. Sumber Kekuasaan
3. Karakteristik Bawahan
4. Faktor Situasi
5. Kekuasaan Paksaan
6. Kekuasaan dan Bawahan
1,3 Tujuan Pembahasan

Mengetahui dan memahami tentang macam kekuasaan dalam organisasi

69

PEMBAHASAN

2.1 Kekuasaan

Pada dasarnya yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan memengaruhi
orang lain untuk bersedia melakukan sesuatu yang diinginkannya. Penggunaan kekuasaan
oleh seorang pemimpin dalam menimbulkan dua dampak yaitu dampak positif dan
dampak negatif. Penggunaan kekuasaan yang efektif akan meningkatkan motivasi
bawahannya sehingga dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik, jika penggunaan
kekuasaan yang tidak efektif oleh seorang pemimpin akan mengakibatkan dampak negatif
sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik.

2.1.1 Jenis-Jenis Kekuasaan

1. Kekuasaan Balas Jasa (Reward Power)
Kekuasaan jenis ini merupakan kekuasaan yang menggunakan balas jasa atau

reward untuk mempengaruhi seseorang untuk bersedia melakukan sesuatu sesuai
keinginannya, Kekuasaan ini dapat berupa gaji, upah, bonus, promosi, pujian,
pengakuan atau penempatan tugas yang lebih menarik. Namun melalui kekuasaan
ini seorang pemimpin juga dapat menunda pemberian reward tersebut sebagai
hukumancjika bawahannya tidak melakukan apa yang telah diperintahkan.

2. Kekuasaan Paksaan (Coercive Power)
Kekuasaan ini lebih cenderung ke penggunaan ancaman atau hukuman untuk

mempengaruhi seseorang agar bersedia melakukan sesuatu sesuai keinginannya.
Kekuasaan paksaan ini adalah kebalikan atau sisi negatif dari kekuasaan balas jasa.
Contoh yang diberlakukan jika tidak mengikuti perintah yang diintruksikan, antara
lain pemberian surat peringatan, penurunan gaji, penurunan jabatan dan bahkan
pemberhentian kerja atau PHK.

3. Kekuasaan Rujukan (Referent Power)
Kekuasaan rujukan ini merupakan kekuasaan yang diperoleh atas dasar

kekaguman, keteladanan, kharisma dan kepribadian dari seorang pemimpin.
Contohnya si A yang memimpin banyak orang karena kepribadiannya dan
karismanya.

4. Kekuasaan Sah (Legitimate Power)
Kekuasaan ini berasal dari posisi resmi yang dijabat oleh seseorang, baik itu

dalam suatu organisasi, birokrasi ataupun pemerintahan. Kekuasaan sah adalah
kekuasaan yang diperoleh dari konsekuensi hirarki dalam organisasi. Seseorang
yang menduduki posisi itu memiliki hak dan wewenang untuk memberikan perintah
dan intruksi kepada bawahannya dan bawahannya berkewajiban untuk menjalankan
intruksi yang telah diberikan.

70

5. Kekuasaan Keahlian (Expert Power)
Kekuasaan Keahlian ini muncul karena adanya keahlian ataupun keterampilan

yang dimiliki oleh seseorang. Acap kali seseorang yang memiliki pengalaman dan
keahlian tertentu memiliki kekuasaan ahli dalam suatu organisasi meskipun orang
tersebut bukanlah manajer atau pemimpin. Individu-individu yang memiliki
keterampilan/keahlian tersebut biasanya dipercayai oleh Manajernya untuk
membimbing karyawan lainnya dengan benar.

Kemampuan untuk memengaruhi orang lain merupakan inti penting dari
Kepemimpinan. Pada dasarnya, Kekuasaan seseorang dalam suatu perusahaan berasal
dari posisi yang ditempatinya atau otoritas yang dimilikinya dalam organisasi. setiap
orang yang sudah bpada pucuk kepemimpinan pada suatu organisasi atau ke
pemimpinan lainnya, memiliki kekuasaan yang besar untuk mengatur orang di
bawahnya. Sebagian pemimpin harus menggunakan kekuasaan dengan efektif,
sehingga mampu menumbuhkan motivasi bawahan untuk bekerja dan melaksanakan
tugas dengan lebih baik lagi, dan menjunjung mutu dan kualitas dan selaksanakan
peraturan-peraturan yang sudah di tentukan.

2.1.2 Sumber Kekuasaan

Thomas (1995: 124-130) dan Mc Shane & Van Glnow (2010: 301 – 304)
mengemukakan lima sumber kekuasaan di dalam organisasi, yaitu legitimate power,
reward power, coercive power, expert power, dan referent power.

1. Legitimate power merupakan kesepakatan anggota organisasi bahwa individu dalam
peran-peran tertentu dapat menentukan prilaku tertentu dari orang lain. Legitimate
power biasanya ditentukan oleh deskripsi pekerjaan dalam suatu jabatan, misalnya
seorang atasan memiliki kekuasaan untuk meminta bawahannya melaksanakan
tugas-tugas organisasi sesuai dengan kapasitasnya.

2. Reward power adalah kekuasaan untuk mengontrol atau memberikan penghargaan
kepada pihak lain. Seorang manajer dapat mempromosikan bawahannya ke level
yang lebih tinggi, member bonus, atau member hak berlibur sebagai imbalan yang
diberikan kepada karyawan yang mencapai target kerja tertentu. Sebaliknya,
seorang bawahan dapat memberikan umpan balik atas kinerja atasannya.

3. Coercive power adalah kekuasaan untuk member sanksi atau hukuman. Contoh
coercive power adalah seorang atasan memiliki kekuasaan untuk memberikan
sanksi kepada bawahannya yang terbukti memiliki kesalahan fatal yang merugikan
organisasi.

4. Expert power adalah kekuasaan yang berhubungan dengan kemampuan, keahlian,
atau pengetahuan yang dimiliki oleh individu. Misalnya, tim peneliti yang dimiliki
oleh perusahaan pertambangan memiliki kekuasaan apakah sebuah projek dapat
dilanjutkan atau tidak.

71

5. Referent power adalah kekuasaan yang diasosiasikan dengan charisma seseorang.
Secara ilmiah, definisi referent power memunculkan perdebatan di kalangan para
ahli karena ukuran kharisma yang sulit untuk distandarkan. Namun, secara factual
referent power memang ada di dalam kehidupan berorganisasi. Di banyak
perkampungan di Indonesia ada tokoh-tokoh masyarakat yang disegani karena
memiliki kharisma. Hal itu merupakan contoh yang nyata dari referent power.

Dalam kenyataannya, kekuasaan memberikan beberapa keleluasaan bagi pihak yang
memiliki posisi superior. Keleluasaan tersebut dapat menentukan optimal atau tidaknya
kinerja sebuah organisasi.

2.1.3 Karakteristik Bawahan

Bawahan memainkan peranan penting dalam memengaruhi gaya kepemimpinan
manajer. Karakteristik bawahan memengaruhi gaya kepemimpinan manajer dengan
beberapa cara. Pertama, ketrampilan dan pelatihan bawahan memengaruhi pilihan gaya
manajer. Karyawan yang terampil biasanya kurang memerlukan pendekatan yang
bersifat perintah. Kedua, sikap bawahan juga akan menjadi sebuah faktor yang
berpengaruh. Tipe karyawan tertentu mungkin lebih menyukai pemimpin yang otoriter
sedangkan tipe karyawan yang lain mungkin lebih suka diberi tanggung jawab penuh
atas pekerjaannya sendiri.

Harapan bawahan adalah faktor lain yang menentukan apakah suatu gaya tertentu
akan cocok. Bawahan yang dimasa lampau pernah mempunyai seorang manajer yang
berorientasi pada karyawan mengharapkan manajer baru yang mempunyai gaya yang
sama dan mungkin akan memberikan reaksi negatif terhadap pemimpin yang
otoriter.demikian juga karyawan yang sangat terampil dan termotivasi mungkin
mengharapkan agar manajer tidak terlalu ikut campur. Sebaliknya, karyawan yang
dihadapkan dengan tugas baru yang menantang mungkin mengharapkan instruksi
manajer dan mungkin kecewa jika ternyata hal itu tidak kunjung tiba.

2.1.4 Faktor Situasi

Faktor situasional adalah faktor situasi yang konsumen miliki yang bersifat sementara
dalam aktivitas belanja konsumen yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Terdapat
tiga indikator faktor situasional berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Belk
(1975), yaitu ketersediaan waktu, ketersediaan uang, dan definisi tugas.

Beatty & Ferrel (1998) mendefinisikan ketersediaan waktu sebagai jumlah waktu
yang tersedia bagi pembelanja saat itu. Konsumen yang memiliki cukup waktu untuk
berbelanja akan mengalami sedikit tekanan ketika memilih produk dan memberi
perhatian lebih kepada lingkungan toko secara visual yang dapat menghasilkan rasa
santai dan respon emosional positif saat berbelanja.

72

Hal ini dapat mendorong terjadinya pembelian secara impulsif. Sebaliknya,
konsumen yang tidak memiliki cukup waktu untuk berbelanja akan mengurangi
kesempatan untuk melakukan pembelian secara impulsif (Chang et al., 2013).

Menurut Beatty & Ferrel (1998) ketersediaan uang didefinisikan sebagai jumlah
anggaran atau uang ekstra yang dimiliki seseorang untuk digunakan saat itu. Konsumen
dengan ketersedian uang yang lebih akan merasa lebih bahagia dan bereaksi lebih positif
terhadap perilaku pembelian secara impulsif, dibandingkan dengan mereka yang
memiliki ketersediaan uang rendah (Chang et al., 2013).

Punj (2011) dalam penelitiannya menemukan bukti nyata bahwa tugas atau
peran seseorang dalam pengambilan keputusan pembelian suatu produk dalam keluarga
akan menentukan jenis dan jumlah barang yang akan dibelinya. Jenis dan jumlah barang
yang dibeli dapat menjadi lebih banyak saat individu tersebut direspon secara positif
emosinya dalam berbelanja. Chang, et al (2013) menemukan bahwa ketika berbelanja
itu merupakan tugas tertentu, konsumen merasa bahagia terhadap pengalaman belanja
mereka dan dengan demikian cenderung untuk melakukan pembelian secara impulsif.

2.1.5 Kekuasaan Paksaan

Coercive power atau kekuasaan paksaan adalah kekuasaan pemimpin untuk
mempengaruhi orang lain dengan kekuatan memaksa, karena ia mempunyai kedudukan
dan posisi yang sangat kuat. Dengan posisi kuat tersebut maka seorang pemimpin dapat
memberikan perintah, dapat memaksa orang lain untuk bertindak tertentu. Bekerja di
bawah tekanan kekuasaan orang lain tentu kurang menarik bahkan membuahkan sebuah
resistensi. Hanya lantaran anak buah ketakutan, anak buah bersedia melaksanakan
perintah-perintah pemimpin. Suasana tersebut menjadi sangat tidak sehat dan tidak
efektif, meskipun pekerjaan rutin tetap berjalan seperti sediakala.

Kekuasaan paksaan adalah kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin karena
pemimpin tersebut memiliki posisi yang sangat kuat. Kekuasaan ini bertentangan
dengan kekuasaan penghargaan karena kekuasaan penghargaan memberikan hadiah
atau penghargaan sedangkan kekuasaan paksaan memberikan hukuman (punishment)
atas kinerja yang buruk dari bawahannya. Setiap pemimpin tentu harus berhati-hati
dalam menggunakan kekuasaan ini karena pada prinsipnya tidak ada orang yang
menginginkan mendapatkan hukuman.

73

2.1.6 Kekuasaan dan Bawahan
Kekuasaan mengacu pada kemampuan yang dimiliki seorang atasan untuk

mempengaruhi bawahannya sehingga bawahannya tersebut bertindak sesuai keinginan
atasan. Kekuasaan biasanya didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk
membuat orang lain atau sekelompok orang melakukan sesuatu yang jika tidak ada
pengaruh tersebut, maka tidak akan mereka lakukan (Kusdi, 2009).

Kekuasaan digunakan untuk menjelaskan kapasitas absolut seorang pemimpin untuk
mempengaruhi perilaku atau sifat bawahan pada satu waktu tertentu (Yulk, 2005).
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perilaku orang lain,
sehingga orang lain tersebut akan berperilaku sesuai dengan yang diharapkan oleh orang
yang memiliki kekuasaan (Robbins dan Judge, 2007).

74

BAB 8 KEKUASAAN DAN POLITIK

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Politik pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang berkaitan dengan manusia yang
selalu hidup bermasyarakat. Pada kodratnya ia adalah makhluk sosial yang selalu hidup
dinamis dan berkembang. Karena itulah politik selalu merupakan gejala yang mewujudkan
diri manusia dalam rangka proses perkembangannya. Karena manusia adalah inti utama
dari politik, maka apapun alasannya pengamatan atau telaah politik tidak begitu saja
meninggalkan faktor manusia. Dikemukakan Anton H. Djawamaku (1985: 144) "Bahwa
pribadi seorang manusia adalah unit dasar empiris analisa politik".
B. Rumusan Masalah
1) Pengertian Politik
2) Politik dalam Organisasi
3) Membangun Koalisi
4) Proses Pengambilan Keputusan
5) Faktor Pendorong Terjadinya Praktek Politik
C. Tujuan Pembahasan
1) Mengetahui tentang politik dan perannya dalam suatu organisasi
2) Mengetahui cara membangun koalisi dalam organisasi
3) Memahami proses dalam pengambilan keputusan
4) Mengetahui faktor pendorong praktek politik

75

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Politik

Politik (Andrik, 2011 : 1) adalah art to govern (seni memerintah), berasal dari bahasa
Yunani untuk menyebut suatu kegiatan manusia dalam hubungannya dengan persoalan
kenegaraan. Sebutan politik, pertama menunjuk pada persoalan kesejahteraan rakyat dan
kedua politik menunjuk pada perilaku pemerintah yang menjalankan kekuasaan untuk
memerintah yang diberikan oleh rakyat. Rakyat disebut sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi karena memberikan mandat kepada pemerintah untuk menjalankan kebijakan
negara demi kebaikan seluruh warga negara. Dengan kata lain, studi politik mengkaji
persoalan kekuasaan yang diberikan rakyat kepada pemerintah dengan segala
konsekuensinya.

Secara umum, politik adalah ilmu yang mengkaji tentang hubungan kekuasaan, baik
sesama warga negara, antar warga negara dan negara, maupun hubungan negara. Dalam
pengertian umum, politik berarti bermacam-bermacam kegiatan dalam suatu sistem politik
(negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Kegiatan tersebut meliputi:

1. Pengambilan keputusan (decision making): Menyangkut apa yang menjadi tujuan
sistem tersebut.

2. Kebijakan-kebijakan umum (public policy): Menyangkut distribusi dan alokasi nilai-
nilai di dalam masyarakat.

3. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut diperlukan kekuasaan (power) dan wewenang
(authority) untuk membina kerjasama dan mengatasi konflik yang muncul. (Fajar,
2020: 2)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai 1. (pengetahuan)
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar
pemerintahan), 2. segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya)
mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, 3. cara bertindak (dalam
menghadapi atau menangani suatu masalah).

Makna politik menurut Otto Von Bismarck adalah ilmu tentang yang mungkin, yang
dapat dicapai. Yang mungkin pasti 'dapat dicapai'. Pemaknaan ini membawa konsekuensi
bahwa dalam politik bergerak dalam siklus kemungkinan'. Karena itu, kesederhanaan dan
kemudahan dalam memahami politik.

76

Sementara Williard Gaylin mengartikan politik adalah menerjemahkan nilai-nilai ke
dalam kebijakan umum'. Nilai yang dalam perlu ditransformasikan dalam kebijakan
publik adalah kebajikan, keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan bagi warga negara.
Kebijakan umum sejatinya mengandung semangat populis dengan berpijak pada
bagaimana warganya bisa damai dan sejahtera.

Abdulkadir mengutip pendapat politik dari Deliar Noer menyatakan bahwa politik
adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang
bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu
macam bentuk, susunan masyarakat. Selanjutnya dimaknai bahwa konsep politik tidak
saja dilihat dari sudut perilaku, tapi melihat aspek sejarah yakni melihat dari perspektif
sejarah bangsa Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan sampai sesudah kemerdekaan,
di mana mempunyai konsep yang lebih luas. (2005 : 265-266)

Miriam Budiarjo (2008: 15) menyatakan bahwa politik usaha untuk menentukan
peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa
masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha menggapai the good life ini
menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan
tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Masyarakat mengambil
keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu dan hal ini
menyangkut pilihan antara beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan
yang telah ditentukan itu.

2.2 Politik Dalam Organisasi

Perilaku Politik merupakan kegiatan yang tidak dipandang sebagai bagian dari peran
formal seseorang di dalam organisasi, tetapi yang memengaruhi, atau berusaha
memengaruhi, distribusi keuntungan dan kerugian di dalam organisasi. Perilaku politik
berada di luar persyaratan kerja tertentu dari seseorang. Perilaku itu mensyaratkan suatu
upaya untuk menggunakan landasan kekuasaan seseorang. Serta mencakup berbagai
upaya untuk memengaruhi tujuan, kriteria, atau proses-proses yang digunakan dalam
pengambilan keputusan ketika kita menyatakan bahwa politik terkait dengan “distribusi
keuntungan dan kerugian di dalam organisasi”.

Definisi ini cukup luas untuk mencakup beragam perilaku politik seperti menahan
informasi kunci dari pengambilan keputusan, bergabung dalam koalisi, mencari-cari
kesalahan, menyebarkan rumor, membocorkan informasi rahasia tentang kegiatan
organisasi kepada media, saling menyenangkan ddengan orang laindi dalam organisasi
untuk memperoleh manfaat bersama, dan melobi atas nama atau melawanseseorang atau
alternative keputusan bersama.

77

Menurut Kacmar dan Baron (1999) yang dikutip dalam Andrews dan Kacmar (2001)
memberikan pengertian bahwa politik yang ada dalam suatu organisasi merupakan
tindakan individu yang dipengaruhi oleh tujuan pencapaian kepentingan pribadi tanpa
memperhatikan atau menghargai well-being orang lain atau organisasi. Greenberg dan
Baron (2000) mendefinisikan politik organisasional sebagai penggunaan kekuasaan secara
tidak resmi untuk meningkatkan atau melindungi kepentingan pribadi.

Politik keorganisasian adalah serangkaian tindakan yang secara formal tidak diterima
dalam suatu organisasi dengan cara mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
individu (Greenberg dan Baron, 2000). Kelaziman dan intensitas kemunculan politik
organisasi berbeda-beda mengikuti karakteristik struktur organisasi dan siklus khusus
(Drory, 1993). Pfeffer (1992) dikutip dalam Greenberg dan Baron (2000) mengemukakan
beberapa aspek situasi yang memunculkan aktivitas politik dalam organisasi, sebagai
berikut:

a. Perilaku politik biasanya muncul pada saat ada ketidakpastian, sumber daya yang
langka, unit-unit (individual dan kelompok) memiliki kepentingan yang terkonflik dan
saat anggota- anggota organisasi memiliki kekuasaan (power) yang hampir sama.

b. Perilaku politik yang muncul dalam bidang sumber daya manusia, seperti pada saat
penilaian kinerja, seleksi personel, dan keputusan kompensasi (Ferris dan Kacmar,
1992). Hal ini kemungkinan karena adanya ambiguity. Lingkungan organisasional
bersifat ambigu karena tidak adanya kriteria evaluasi yang jelas, sehingga organisasi
cenderung kurang bergantung pada hasil yang dapat diukur dan lebih pada usaha
pekerja, potensi yang dipersepsikan dan karakteristik, nilai, dan sikap personal. Semua
hal tersebut dapat diubah melalui manipulasi pertimbangan (Ferris & King, 1991).

c. Aktivitas politik biasanya tidak sama pada tahap hidup organisasi yang berbeda.
Menurut Greenberg dan Baron (1997) ada tiga tahapan dalam organisasi yang
memiliki perilaku politik yang berbeda-beda. Tahap pertama, saat organisasi baru
berdiri, pendiri organisasi memperoleh kekuasaan politik dengan menunjukkan ide
mereka kepada para bawahannya. Kedua, tahap pertumbuhan organisasi, anggota
organisasi cenderung terpisah-pisah karena kekomplekan tugas sehingga menciptakan
adanya kepentingan yang berbeda-beda dan dapat menimbulkkan konflik. Ketiga, saat
pertumbuhan organisasi mengalami penurunan, anggota- anggota merasa tidak aman
akan pekerjaannya dan memerlukan tindakan politik untuk mendapatkan kekuasaan
dalam pengendalian organisasi.

78

2.2.1 Elemen Politik Dalam Organisasi

Albrecht (1983) mengungkapkan ada lima elemen iklim politis dalam organisasi yang
hendaknya dapat dipahami manajer senior dalam mengendalikan organisasi, antara lain:

1. Inner Circle Relationship
Mengidentifikasi hubungan antara Manager Upper dengan Chief Executive ,

apakah hubungan tersebut bersifat kekeluargaan, kerabat atau pertemanan (
Friendlines ). Disamping itu apakah terjadi kolaborasi antar manajer dan apa ada
grup khusus baik dari dalam departemen maupun dari luar departemen yang dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan.
2. Axis of Influence

Mengidentifikasi hubungan pertemanan dari manager menengah / area yang
memiliki hubungan langsung ke Chief Executive tanpa melewati Manajer
Divisinya. Apakah ada hubungan khusus antara berbagai manajer level menengah
dengan pimpinan puncak sehingga dapat mengesampingkan peran manajer
divisinya. Bisa jadi hubungan tersebut timbul karena memang adanya special
expertise (keahlian khusus) yang dimilikinya dalam pengelolaan unit yang
dipimpinnya sehingga dapat melaksanakan tugas-tugas tanpa diperlukan manajer
divisi.
3. Informal Power Centers

Apakah ada karyawan level operasional yang memiliki hubungan khusus atau
pertemanan dengan manajer senior, sehingga melewati atasannya.
4. Polarizing Elements

Adakah ketidakcocokan antara Manajer dengan bawahannya dan dalam hal apa
sajakah itu terjadi, dalam semua aktivitas organisasi atau hanya perbedaan yang
tidak prinsip saja. Timbulnya hubungan antar personal yang saling berkompetisi
sehingga mempengaruhi interaksi emosional bila akan mempengaruhi pengambilan
keputusan maka akan menjadi kendala pelaksanaan tugas-tugas saja.
5. Informal Coalitions

Apakah ada grup manajer yang berkoalisi untuk menolak keputusan atau
mengambil keputusan yang lain dengan yang sudah ditetapkan manajer atasnya dan
sejauh mana hal ini akan diteruskan.

2.2.2 Taktik Memainkan Politik dalam Organisasi

Untuk memahami komponen politik dari organisasi, mengkaji taktik dan strategi
yang digunakan oleh seseorang atau subunit untuk meningkatkan peluangnya dalam
memenangkan permainan politik, individu atau subunit dapat menggunakan beberapa
taktik poltik untuk memperoleh kekuasaan dalam mencapai tujuan. Taktik memainkan
politik dalam organisasi adalah sebagai berikut:

79

1. Meningkatkan ketidakmampuan mengganti, misalkan jika dalam suatu organisasi
hanya ada satu-satunya orang atau subunit yang mampu melakukan tugas yang
dibutuhkan oleh subunit atau organisasi, maka ia atau subunit tersebut dikatakan
sebagai memiliki ketidakmampuan mengganti.

2. Dekat dengan manajer yang berkuasa. Cara lain untuk memperoleh kekuasaan
adalah dengan mengadakan pendekatan dengan manajer yang sedang berkuasa.

3. Membangun koalisi. Melakukan koalisi dengan individu atau subunit lain yang
memiliki kepentingan yang berbeda merupakan taktik politik yang dipakai oleh
manajer untuk memperoleh kekuasaan untuk mengatasi konflik sesuai dengan
keinginanya.

4. Mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Dua taktik untuk mengendalikan
proses pengambilan keputusan agar penggunaan kekuasaan nampaknya memiliki
legitimasi dan sesuai dengan kepentingan organisasi yaitu mengendalikan agenda
dan menghadirkan ahli dari luar.

5. Menyalahkan atau menyerang pihak lain. Manajer biasanya melakukan ini jika ada
sesuatu yang tidak beres atau mereka tidak dapat menerima kegagalannya dengan
cara menyalahkan pihak lain yang mereka anggap sebagai pesaingnya.

6. Memanipulasi informasi. Taktik lain yang sering dilakukan adalah manipulasi
informasi. Manajer menahan informasi, menyampaikan informasi kepada pihak lain
secara selektif, mengubah informasi untuk melindungi dirinya.

7. Menciptakan dan menjaga image yang baik. Taktik positif yang sering dilakukan
adalah menjaga citra yang baik dalam organisasi tersebut. Hal ini meliputi
penampilan yang baik, sopan, berinteraksi dan menjaga hubungan baik dengan
semua orang, menciptakan kesan bahwa mereka dekat dengan orang-orang penting
dan hal yang sejenisnya.

2.2.3 Asumsi Dasar Organisasi Sebagai Entitas Politik

1. Organisasi adalah koalisi yang terdiri dari berbagai individu dan kelompok dengan
berbagai kepentingan,

2. Dalam organisasi selalu ada potensi perbedaan menyangkut kepribadian, keyakinan,
kepentingan, sikap, persepsi, dan minat dari para anggotanya,

3. Kekuasaan memainkan peranan penting dalam memperebutkan sumber daya,
4. Tujuan organisasi, pengambilan keputusan dan proses manajemen lainnya adalah

hasil dari bargaining, negosiasi, dan brokering dari berbagai faksi peserta,
5. Karena keterbatasan sumber daya dan setiap aktor berebut kepentingan, maka

konflik adalah wajar (natural) dalam kehidupan organisasi.

2.2.4 Praktik Politik dalam Organisasi

Setiap aktor termasuk manajer menggunakan taktik dan strategi untuk mempengaruhi
aktor lain dengan menggunakan sumber kekuasaan yang dimiliki. Secara deskriptif,
beberapa taktik yang dipakai oleh para aktor adalah sebagai berikut:

80

1. Membentuk koalisi dengan pihak lain untuk meningkatkan dukungan dan sumber
daya.

2. Menciptakan suasana (seremoni dan simbol) untuk membentuk persepsi dan
perilaku orangorang sesuai dengan peran dan fungsinya.

3. Mentransformasikan kepentingan kita menjadi kepentingan pihak lain dengan
mengubah persepsi dan tindakan pihak lain.

4. Memperluas jumlah pemain yang terlibat dalam suatu isu yang menjadi kepentingan
kita untuk mendapatkan perhatian yang lebih luas.

5. Melaksanakan negosiasi dan tawar-menawar dengan pihak lain yang bersinggungan
dengan kepentingan kita untuk mendapatkan kompromi.

6. Memilih waktu yang tepat untuk setiap tindakan agar situasi menguntungkan kita
(manajer).

2.2.5 Etika Berpolitik dalam Organisasi

Etik adalah standar moral apakah suatu perilaku baik atau buruk menurut norma
masyarakat. Perilaku politik yang etis adalah perilaku yang bermanfaat untuk individu
dan organisasi, sedangkan perilaku politik yang tidak etis adalah perilaku yang
bermanfaat untuk individu tetapi melukai organisasi.

Setidaknya terdapat tiga kriteria untuk menilai apakah cara kita bertindak etis atau
tidak etis yaitu prinsip utilitarianisme, hak dan keadilan. Prinsip utilitarianisme
mengajarkan bahwa keputusan yang kita ambil haruslah ’memberikan manfaat terbesar
untuk jumlah orang terbesar’. Pandangan demikian menekankan pada kinerja kelompok
(kinerja organisasi).

Dengan kata lain, pengambilan keputusan adalah dalam rangka efisiensi dan
produktivitas organisasi, bukan untuk mengambil keuntungan sepihak. Prinsip ’hak’
menekankan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan untuk mengemukakan
pendapat dan berbicara, sebagaimana diatur dalam Piagam Hak Asasi Manusia. Prinsip
’keadilan’ mengisyaratkan individu untuk memberlakukan dan menegakkan
aturanaturan secara adil dan tidak berat sebelah sehingga terdapat distribusi manfaat dan
biaya yang pantas.

Tampak bahwa ketiga kriteria penilaian etis dan tidak etis tersebut bersifat bersaing
(trade-off), satu kriteria dapat saling melemahkan atau meniadakan kriteria lainnya.
Misalnya, dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas organisasi, perusahaan
memecat 10% karyawan yang kurang produktif.

Dalam pandangan utilitarianisme, keputusan ini bermanfaat untuk jumlah terbanyak,
namun boleh jadi mengabaikan hak-hak individu (hak mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan) dan rasa keadilan (adanya perlakukan diskriminatif yaitu adanya
pemecatan sebagian kecil karyawan). Dalam melakukan tindakan politik, siapapun
aktornya (bisa manajer atau staf) haruslah berpedoman pada tiga kriteria etis tadi.

81

Di samping ketiga kriteria tersebut, ada the golden rule dari perilaku politik, yaitu
”Perlakukan orang lain sebagaimana kamu menginginkan orang lain
memperlakukanmu” (Do unto others as you want them to do unto you) atau ”Jangan
lakukan sesuatu pada orang lain yang mana kamu tidak menginginkan orang lain
melakukan hal itu kepadamu” (Don’t do anything to anyone that you wouldn’t want
them to do to you).

2.3. Membangun Koalisi

Koalisi merupakan sebuah atau sekelompok persekutuan, gabungan, atau aliansi
beberapa unsur yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri.

Kepemimpinan koalisi berarti kepemimpinan yang melibatkan pengembangan anggota
tim dan membangun koalisi orang-orang yang mendukung tujuan pemimpin dan dapat
membantu memengaruhi orang lain dalam pengimplementasian keputusan pemimpin dan
mencapai tujuan. Berikut adalah hal-hal yang dilakukan pemimpin untuk menciptakan
koalisi yang efektif:

1. Pemimpin harus mengumpulkan informasi internal terlebih dahulu, dapat dilakukan
dengan melakukan wawancara non formal kepada anggota timnya. Informasi yang
dibutuhkan oleh pemimpin biasanya seputar sejauh mana pemahaman anggota tim
terhadap tujuan, masalah yang mereka hadapi, dan peluang apa yang mereka lihat.
Pembicaraannya juga tidak perlu kaku, seperti contohnya dapat dilakukan ketika
sedang coffee break, atau sedang makan bersama yang sifatnya non formal.

2. Pemimpin juga harus mengumpulkan informasi dari pihak eksternal, dalam hal ini
yakni pelanggan dan pemangku kepentingan yang sekiranya berpotensi berpengaruh.
Informasi yang dibutuhkan yakni terkait pandangan mereka terhadap perusahaan atau
tim dan meminta umpan balik serta masukan dari mereka yang dapat beguna untuk
kemajuan tim.

3. Di dalam tim, pasti ada yang mendukung dan menentang gagasan dan perubahan.
Pemimpin koalisi harus mengembangkan peta keterlibatan pemangku kepentingan, di
dalam peta ini terdapat empat bagian. Yang pertama, terdapat sekitar 10% orang yang
dapat diklasifikasikan sebagai pendukung, lalu yang kedua terdapat sekitar 10% yang
diklasifikasikan sebagai mitra. Yang ketiga, sekitar 20% orang yang menentang
perubahan, dan yang terakhir 60% orang yang tergolong hanya menjadi seorang
pengamat karena bersikap netral terhadap gagasan dan perubahan yang ada.

4. Pemimpin harus melawan hambatan-hambatan yang terjadi dan meningkatkan kerja
sama serta meningkatkan kolaborasi yang baik. Kolaborasi dapat dilakukan antar
departemen, antar divisi, maupun antar tingkat dalam perusahaan.

Ketika seorang pemimpin gagal dalam membangun koalisi dalam tim, hal tersebut
malah dapat berujung blunder dan dapat menimbulkan konflik dalam tim.

82

2.4 Proses Pengambilan Keputusan

Menurut Ralp C. Davis, keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapinya
dengan tegas. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan.
Keputusan harus dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dalam
hubungannya dengan perencanaan. Keputusan dapat pula berupa tindakan terhadap
pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana semula. Sedangkan menurut Mary
Follet, keputusan adalah suatu atau sebagai hukum situasi. Apabila semua fakta dari situasi
itu dapat diperolehnya dan semua yang terlibat, baik pengawas maupun pelaksana mau
mentaati hukumnya atau ketentuannya, maka tidak sama dengan mentaati perintah.
Wewenang tinggal dijalankan, tetapi itu merupakan wewenang dari hukum situasi.

Pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari
beberapa alternative secara sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara
pemecahan masalah.

Pada hakikatnya, pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis
terhadap hakikat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan data, penentuan yang
matang dari alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan
merupakan tindakan yang paling tepat (Siagian 1986). Pengambilan keputusan merupakan
suatu proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan sebagai cara pemecahan
masalah (Stoner 1990; Abdul Mukhyi 2008).

Pengambilan keputusan mempunyai arti penting bagi maju atau mundurnya suatu
organisasi. Pengambilan keputusan yang tepat akan menghasilkan suatu perubahan
terhadap organisasi ke arah yang lebih baik, namun sebaliknya pengambilan keputusan
yang salah akan berdampak buruk pada roda organisasi dan administrasinya.

2.4.1 Fungsi dan Tujuan Pengambilan Keputusan

Fungsi pengambilan keputusan:

Pengambilan keputusan sebagai suatu kelanjutan dari cara pemecahan masalah
memiliki fungsi antara lain sebagai berikut:

1. Pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah, baik secara
individual maupun secara kelompok, dan secara institusional maupun secara
organisasional.

2. Sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan
hari depan, masa yang akan datang, di mana efeknya atau
pengaruhnya berlangsung cukup lama.

83

Tujuan Pengambilan Keputusan:

Tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan atas dua, yaitu sebagai berikut:

1. Tujuan yang bersifat tunggal
Tujuan pengambilan keputusaan yang bersifat tunggal terjadi apabila keputusan

yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah, artinya bahwa sekali diputuskan,
tidak akan ada kaitannya dengan masalah lain.
2. Tujuan yang bersifat ganda

Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan
yang dihasilkan itu menyangkut lebih dari satu masalah, artinya bahwa satu
keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua masalah (atau lebih), yang
bersifat kontradiktif atau yang bersifat tidak kontradiktif.

2.4.2 Langkah-Langkah Mengambil Keputusan

Siagian (1986) mengungkapkan delapan langkah pengambilan keputusan, yaitu: (1)
definisi masalah, (2) pengumpulan data, (3) analisis data, (4) penentuan alternatif, (5)
pemilihan alternatif yang terbaik, (6) putuskan, (7) implementasikan dan monitor hasil,
dan (8) evaluasi.

Sujak (1990) memperkenalkan proses pengambilan keputusan normatif yang meliputi
tujuh tahap, yaitu: (1) mengklarifikasi dan mendefinisikan problem, (2)
mengembangkan kriteria pemecahan masalah yang baik, (3) mengembangkan alternatif,
(4) membandingkan alternative dengan kriteria, (5) pemilihan alternatif pemecahan, (6)
implementasi keputusan, dan (7) monitoring keputusan dan balikan.

Stoner (1990) mengidentifikasi empat langkah dalam proses pemecahan masalah
rasional, yaitu: (1) selidiki situasi, (2) kembangkan alternatif, (3) evaluasi alternatif dan
pilih yang terbaik, (4) laksanakan dan adakan tindak lanjut.

Dalam mengelaborasi langkah pengambilan keputusan, Simon (1977) (dalam Turpin
and Marasis 2004) mengemukakan 4 tahap model rasional pengambilan keputusan yang
disebut IDCR, yaitu (1) Intelligence, yakni menemukan kesempatan untuk membuat
keputusan, (2) Design, meliputi kegiatan menciptakan, mengembangkan, dan
menganalisis kemungkinan sejumlah tindakan, (3) Choice, yakni memilih tindakan
tertentu dari alternatif yang tersedia, (4) Review, yakni menilai pilihan masa lalu.

Gibson, dkk (1992) menemukan tujuh tahap dalam proses pengambilan keputusan
yang meliputi: (1) menetapkan tujuan dan sasaran khusus dan mengukur hasilnya, (2)
mengidentifikasi persoalan, (3) mengembangkan alternatif, (4) menentukan alternatif,
(5) memilih satu alternatif, (6) menerapkan keputusan, (7) mengendalikan dan
mengevaluasi.

84

2.4.3 Proses Dan Langkah-Langkah Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan adalah suatu usaha yang rasional untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada bagian awal dari fungsi perencanaan.
Prosesnya mulai dan berakhir dengan pertimbangan. Ia memerlukan kreativitas,
keterampilan kuantitatif dan pengalaman.Secara umum para pakar sepakat bahwa
pengambilan keputusan meliputi langkah-langkah antara lain; pemahaman terhadap
masalah/identifikasi tujuan, membaca kriteria, membuat prioritas kriteria, membuat
alternatif, seleksi alternatif yang mendekati solusi, menetapkan alternatif, pelaksanaan,
memodivikasi evaluasi alternatif.

1. Identifikasi Tujuan
Menentukan tujuan dan sasaran khusus dan mengukur hasilnya. Organisasi

memerlukan tujuan dan sasaran dalam setiap bidang dimana hasil karya
mempengaruahi efektivitas organisasi. Jika tujuan dan sasaran ditetapkan secara
memadai, maka ia akan menentukan hasil yang harus dicapai dan ukuran yang
digunakan untuk mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut. Pendefinisian masalah
serta identifikasi informasi yang dibutuhkan yang berkaitan dengan persoalan yang
dihadapi serta keputusan yang akan diambil. Menetapkan tujuan dan sasaran khusus
dan mengukur hasilnya.
2. Membaca Kriteria

Mengidentifikasi persoalan.Buat satu set matriks perbandingan berpasangan.
Setiap elemen diatas level digunakan untuk membandingkan unsur – unsur di level
yang berada dibawahnya.
3. Membuat Prioritas Kriteria

Susun hirarki keputusan dengan menetapkan tujuan keputusan, lalu tujuan dari
tujuan perspektif tingkat menengah (melalui kriteria), lalu tingkat terendah (yang
berupa seperangkat alternatif).
4. Membuat Alternatif

Setelah masalah dirinci dengan tepat dan tersusun baik, maka perlu dipikirkan
cara-cara pemecahannya. Cara pemecahan ini hendaknya selalu diusahakan adanya
alternatifalternatif beserta konsekuensinya, baik positif maupun negatif. Oleh sebab
itu, seorang pimpinan harus dapat mengadakan perkiraan sebaik-baiknya. Untuk
mengadakan perkiraan dibutuhkan adanya informasi yang cukup dan metode
perkiraan yang baik.
5. Melakukan Uji Alternatif

Tahap ini merupakan suatu proses untuk merepresentasikan model sistem yang
akan dibangun berdasarkan pada asumsi yang telah ditetapkan. Dalam tahap ini,
suatu model dari masalah dibuat, diuji dan divalidasi. Melakukan pengujian dan
memilih keputusan terbaik berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditentukan dan
mengarah kepada tujuan yang akan dicapai.

85

6. Menetapkan Alternatif
Fase ini merupakan bagian tersulit yang harus dilakukan oleh seorang pengambil

keputusan. Namun, dengan mengikuti prosedur yang runtut dan rinci dan
berorientasi pada penyelesaian masalah, dapat diyakini akan mengahsilkan
keputusan yang memuaskan.Pemilihan satu alternatif yang dianggap paling tepat
untuk memecahkan masalah tertentu dilakukan atas dasar pertimbangan yang
matang atau rekomendasi. Dalam pemilihan satu alternatif dibutuhkan waktu yang
lama karena hal ini menentukan alternatif yang dipakai akan berhasil atau
sebaliknya. Pengambilan keputusan oleh pimpinan, kaitannya dengan pemilihan
alternatif pemecahan masalah, akan melibatkan semua pihak yang terlibat. Hal ini
karena kekuasaan pimpinan tidak dapat dioperasionalkan apabila tidak didukung
dan dibantu oleh seluruh personal yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
berbeda-beda. Pimpinan harus mengembangkan konsep kerja sama antar personal
agar pelaksanaan alternatif pemecahan masalah lebih cepat dan mudah. Kerja sama
dapat diciptakan jika pimpinan memiliki keterampilan.
7. Pelaksanaan

Dalam pelaksanaan keputusan berarti kita harus mampu menerima dampak yang
positif atau negatif. Ketika menerima dampak yang negatif, kita juga harus
mempunyai alternatif yang lain. Pelaksanaan pengambilan keputusan sering
menjadi masalah karena keputusan yang mesti ditanggapi oleh banyak orang malah
ditangani oleh sedikit orang. Hal sebaliknya juga sering terjadi. Keputusan yang
seharusnya dapat ditangani oleh 2-3 orang diserahkan kepada sebuah tim yang
terdiri dari 40 orang atau lebih. Akibatnya timbul perdebatan yang tak henti-
hentinya. Jadi tentukan dulu cara pengambilan keputusan yang paling cocok dengan
situasi dan masalah yang ada: individu, tim, musyawarah, voting, dan lain-lain.
8. Memodivikasi Evaluasi Alternatif

Setelah keputusan dijalankan seharusnya pimpinan dapat mengukur dampak dari
keputusan yang telah dibuat. Penilaian ulang perlu diadakan. Faktor-faktor penentu
yang akan dinilai harus diputuskan sejak awal dan tidak setelah pelaksanaan
berjalan. Dengan cara ini memang akan mudah terjadi debat yang hangat, namun
akurasi akan lebih terjamin.

86

BAB 9 KONFLIK

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Konflik adalah pertentangan atau pertikaian antar individu maupun kelompok sosial
yang terjadi karena adanya perbedaan kepentingan, serta adanya usaha untuk memenuhi
tujuan dengan jalan menentang pihak lawan disertai dengan ancaman atau kekerasan,
mengutip Soerjono Soekanto dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar.

Konflik adalah gejala sosial yang pasti akan hadir dalam setiap kehidupan karena konflik
bersifat inheren. Artinya, konflik akan senantiasa ada di mana saja, kapan saja, dan dalam
setiap ruang dan waktu.

Masyarakat sendiri merupakan arena pertarungan atau pertentangan dari konflik, oleh
sebab itu,konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap
kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya
persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.
B. Rumusan Masalah
1) Perubahan Pandangan Tentang Konflik
2) Konflik Fungsional dan Disfungsional
C. Tujuan Pembahasan
1) Mengetahui tentang perubahan pandangan tentang konflik
2) Memahami tentang fungsional dan disfungsional

87

PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Pandangan Tentang Konflik

2.1.1 Definisi Konflik

Menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah suatu keadaan pertentangan antara dua
pihak untuk berusaha memenuhi tujuan dengan cara menentang pihak lawan. Alabaness
mendefinisikan konflik sebagai keadaan masyarakat yang mengalami kerusakan
keteraturan sosial yang dimulai dari individu atau kelompok yang tidak setuju dengan
pendapat dan pihak lainnya sehingga mendorong terjadinya perubahan sikap, perilaku,
dan tindakan atas dasar ketidaksetujuannya. Sedangkan menurut Robbins, konflik
adalah proses sosial dalam masyarakat yang terjadi antara pihak berbeda kepentingan
untuk saling memberikan dampak negatif, artinya pihak-pihak yang berbeda tersebut
senantiasa memberikan perlawanan.

2.1.2 Perubahan Pandangan tentang Konflik

Robbins dan Judge dalam Wibowo 2013 juga membedakan perkembangan
pandangan tersebut dalam tiga kategori:

1. The Traditional View of Conflict - Keyakinan bahwa semua konflik adalah menyakitkan
dan harus dihindari. Konflik dipandang negatif dan didiskusikan dengan terminologi seperti
kekerasan, perusakan, dan tidak rasional. Konflik bersifat disfungsional sebagai hasil dari
buruknya komunikasi, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan di antara orang, dan
kegagalan manajer merespon pada kebutuhan dan aspirasi pekerja.

2. The Interaction View Of Conflict - Keyakinan bahwa konflik tidak hanya merupakan
kekuatan positif dalam kelompok, tetapi juga kebutuhan mutlak bagi kelompok untuk
berkinerja secara efektif. Menurut pandangan ini tingkat konflik minimal dapat membantu
kelompok bergairah, melakukan kritik diri, dan kreatif. Menurut pandangan interactionist
tidak semua konflik baik. Functional conflict yang mendukung tujuan kelompok dan
memperbaiki kinerja merupakan bentuk konflik yang konstruktif. Sedang konflik yang
mengganggu kinerja kelompok bersifat destruktif dan dinamakan dysfunctional conflict.

3. Resolution Focused View Of Conflict - Pandangan bahwa konflik mungkin tidak dapat
dihindarkan dikebanyakan organisasi dan lebih memfokus pada penyelesaian konflik
produktif. Pandangan ini menemukan metode konstruktif untuk menyelesaikan konflik
secara produktif sehingga pengaruh yang mengganggu dapat diminimalkan.

2.1.3 Sumber Konflik

Munculnya konflik dalam organisasi pelayanan tidak terlepas dari penyebab atau
sumber konflik. Manajer harus mampu mengenali sumber konflik sehingga pemecahan
masalah dapat dilakukan secara efektif. Sumber konflik dapat dikategorikan menjadi
tiga macam, yaitu:

88

1. Variabel Komunikasi
Penyampaian informasi yang tidak jelas akibat kesalahan semantik, saluran

informasi yang terganggu, dan kemampuan komunikasi menerima pesan dapat
menyebabkan kesalahpahaman yang menjadi potensi konflik.
2. Variabel Struktur

Konflik yang didasarkan atas variabel struktur adalah konflik yang terjadi antara
bagian satu dan bagian yang lain, bukan didasarkan atas konflik pribadi. Menurut
Robbins (2003 dalam Asmuji, 2012) struktur yang digunakan dalam konteks ini
mencakup variabel ukuran kelompok, derajat spesialisasi dalam tugas yang
diberikan ke anggota kelompok, kecocokan anggota, gaya kepemimpinan, system
imbalan, dan derajat ketergantungan antar-kelompok.

Semakin besar ukuran kelompok, semakin besar pula potensi konflik. Hal tersebut
disebabkan semakin besar kelompok, semakin banyak ide dan kemauan sehingga
semakin sulit untuk disatukan. Kelompok muda mempunyai potensi konflik lebih
besar dibandingkan kelompok tua karena kelompok muda lebih idealis dan lebih
menyukai tantangan. Ketidakjelasan peran dan tanggung jawab juga meningkatkan
konflik dalam organisasi.

Gaya kepemimpinan menentukan pula timbulnya konflik. Gaya kepemimpinan
tertutup dan pengamatan ketat secara terus-menerus dapat meningkatkan potensi
konflik. Akan tetapi, gaya kepemimpinan yang terlalu mengandalkan partisipasi
juga dapat merangsang konflik. Ketidakadilan dalam sistem imbalan meningkatkan
potensi konflik. Kelompok yang sangat tergantung dengan kelompok lain (tidak
saling tergantung) merangsang timbulnya konflik.
3. Variabel Pribadi

Sistem nilai dan karakteristik yang dimiliki setiap individu dapat menyebabkan
timbulnya perbedaan antar-individu yang secara nyata dapat menyebabkan
timbulnya konflik.

2.1.4 Jenis Konflik

Menurut Asmuji (2012) konflik dalam kehidupan berorganisasi dibagi menjadi lima
jenis sebagai berikut:

1. Dalam Diri Individu (Intrapersonal)
Konflik yang terjadi dalam diri individu dapat terjadi karena adanya

ketidakcocokan antara keinginan dan kenyataan, status pekerjaan yang tidak pasti,
ketidakmampuan individu untuk berbuat sesuai tanggung jawabnya, dan lain-lain.
2. Antara Individu dan Individu (Interpersonal)

Kesalahpahaman, pertentangan dan perbedaan pendapat antar-individu dapat
menyebabkan konflik.
3. Antara Individu dan Kelompok

Konflik ini dapat terjadi jika ketidakcocokan atau pertentangan antara keinginan
individu dan kelompok. Individu melanggar kesepakatan kelompok juga dapat
menyebabkan konflik.

89

4. Antara Kelompok dan Kelompok
Konflik ini dapat terjadi karena kesalahpahaman, pertentangan dan juga

perbedaan pendapat antar-kelompok.
5. Antara Organisasi dan Organisasi

Konflik ini dapat ditimbulkan karena adanya persaingan terhadap produk-produk
yang dihasilkan oleh organisasi. Dengan adanya konflik ini, akan berdampak ke
arah pengembangan produk yang dihasilkan. Organisasi akan bersaing untuk
menghasilkan produk yang berkualitas, efisien dan terjangkau.

2.1.5 Proses Konflik

Proses konflik dalam Asmuji (2012) terdiri dari lima tahap berikut.

1. Tahap I : Potensi Oposisi atau Ketidakcocokan
Tahap pertama dalam proses konflik adalah adanya kondisi yang menciptakan

kesempatan munculnya konflik. Pada tahap ini, kondisi yang memengaruhi
timbulnya konflik adalah variabel komunikasi, struktur, dan variabel individu.
Variabel-variabel tersebut mendorong terjadinya konflik.
2. Tahap II : Kognisi dan Personalisasi

Tahap kedua merupakan wujud adanya oposisi dan ketidakcocokan pada kondisi
anteseden. Pada tahap ini, terdapat dua macam konflik, yaitu konflik yang
dipersepsikan dan konflik yang dirasakan. Kesadaran individu diperlukan untuk
dapat memersepsikan adanya konflik.
3. Tahap III : Menentukan Maksud

Maksud (keinginan, niat) merupakan keputusan untuk bertindak dalam cara
tertentu guna menangani konflik yang dirasakan. Penanganan konflik yang
dirasakan dan sengaja dimunculkan untuk dicari solusinya dapat dilakukan dengan
cara bersaing, kerja sama, berkompromi, menghindar, atau mengakomodasi.
4. Tahap IV : Perilaku

Tahap ini merupakan upaya-upaya nyata dari individu-individu yang mengalami
konflik. Upaya ini dapat berupa pernyataan, tindakan, atau juga reaksi terhadap
terjadinya konflik.
5. Tahap V : Hasil

Tahap ini menghasilkan konsekuensi yang telah dibuat oleh pihak yang terlibat
konflik. Hasil yang diperoleh dapat bersifat fungsional (meningkatkan kinerja) atau
disfungsional (merintangi kinerja kelompok).

90

2.1.6 Gaya Manajemen Konflik

Menurut Hendricks (2008) bahwa ada 5 (lima) gaya manajemen konflik yang dapat
dilakukan untuk menangani konflik yaitu:

1. Gaya Penyelesaian Konflik dengan Mempersatukan (Integrating)
Individu yang memilih gaya ini tukar menukar informasi. Di sini ada keinginan

untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima semua
kelompok. Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan (integrating)
mendorong tumbuhnya creative thingking (berpikir kreatif). Mengembangkan
alternatif adalah salah satu kekuatan gaya integrating. Penyelesaian konflik dengan
model mempersatukan menekankan diri sendiri dan orang lain dalam
mensintesiskan informasi dari perspektif yang divergen (berbeda). Namun
demikian, penyelesaian konflik gaya ini menjadi tidak efektif bila kelompok yang
yang berselisih kurang memiliki komitmen atau bila waktu menjadi sesuatu yang
sangat penting, karena penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan itu
membutuhkan waktu yang panjang. Penyelesaian cara ini juga dapat menjadi
penyelesaian yang menimbulkan frustasi terutama dalam konflik tingkat tinggi
karena penalaran dan pertimbangan rasional seringkali dikalahkan oleh komitmen
emosional untuk suatu posisi.

2. Gaya Penyelesaian Konflik dengan Kerelaan Untuk Membantu (Obliging)
Kerelaan membantu menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara

dirinya sendiri dinilai rendah. Gaya ini mungkin mencerminkan rendahnya
penghargaan terhadap diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Gaya ini dapat
juga dipakai sebagai strategi yang sengaja digunakan untuk mengangkat atau
menghargai orang lain, membuat mereka merasa lebih baik dan senang terhadap
suatu isu. Penggunaan gaya penyelesaian konflik “rela membantu orang lain”
(obliging) dengan menaikkan status pihak lain adalah bermanfaat, terutama jika
peran individu dalam organisasi secara politis tidak berada dalam posisi yang
membahayakan.

Strategi rela membantu berperan dalam menyempitkan perbedaan antar kelompok
dan mendorong mereka untuk mencari kesamaan dasar. Perhatian tinggi kepada
orang lain menyebabkan seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya
terpenuhi oleh pihak lain, kadang-kadang mengorbakan sesuatu yang penting untuk
dirinya sendiri. Gaya penyelesaian konflik “rela membantu orang lain”, bila
digunakan secara efektif, dapat mengawetkan dan melanggengkan hubungan. Gaya
ini dengan tidak disadari, dapat dengan cepat membuat orang untuk rela mengalah
misalnya ungkapan yang bernada mengalah “tidak usah menunggu saya”. Dengan
menggunakan gaya rela membantu, individu dapat menerima kekuasaan orang lain,
luangkan waktu untuk memperkirakan situasi dan menyurvei kemungkinan-
kemungkinan.

91

3. Gaya Penyelesaian Konflik dengan Mendominasi (Dominating)
Gaya ini tekanannya pada diri sendiri. Dimana kewajiban bisa diabaikan oleh

keinginan pribadi, gaya mendominasi ini meremehkan kepentingan orang lain. Gaya
ini adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat dibutuhkan atau jika
persoalan tersebut kurang penting. Strategi ini dapat menjadi reaksioner, yang
digerakkan oleh mekanisme mempertahankan diri. Gaya ini tercermin dalam sebuah
penyerangan untuk menang yang diekspresikan melalui falsafah “lebih baik
menembak daripada ditembak”. Bila isu itu penting, gaya individu mendominasi
akan memaksa orang lain untuk menaruh perhatian pada seperangkat kebutuhan
spesifik.

Gaya mendominasi sangat membantu jika individu kurang pengetahuan atau
keahlian tentang isu yang menjadi konflik. Ketidakmampuan untuk menyediakan
tenaga ahli yang memberikan nasihat atau yang dengan tegas menyampaikan isu
inilah pangkal gaya mendominasi. Gaya mendominasi juga paling banyak
diasosiasikan dengan gertakan dan “hardball tactic” dari pialang kekuasaan. Strategi
penyelesaian konflik dengan gaya mendominasi paling baik dipakai bila dalam
keadaan terpaksa. Dipergunakan sepanjang individu merasa memiliki hak dan
sesuai dengan pertimbangan hati nurani individu.

4. Gaya Penyelesaian Konflik dengan Menghindar (Avoiding)
Para penghindar tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain.

Gaya ini adalah gaya menghindar dari persoalan. Aspek negatif gaya menghindar
termasuk diantaranya menghindar dari tanggungjawab atau mengelak dari suatu isu.
Bila suatu isu tidak penting, tindakan menangguhkan dibolehkan untuk
mendinginkan konflik – inilah penggunaan gaya penyelesaian konflik menghindar
yang paling efektif. Gaya ini juga efektif bila waktu memang dibutuhkan. Di lain
pihak, gaya ini dapat membuat frustasi orang lain karena penyelesaian konflik
demikian lambat. Rasa kecemasan biasanya berpangkal dari gaya penyelesaian
konflik dengan menghindar, dan konflik cenderung meledak bila gaya ini dipakai.

5. Gaya Penyelesaian Konflik dengan Kompromis (Compromising)
Dalam gaya ini perhatian pada diri sendiri maupun pada orang lain berada dalam

tingkat sedang. Ini adalah orientasi jalan tengah. Dalam kompromi, setiap orang
memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima sesuatu. Kompromi akan menjadi
salah bila salah satu sisi itu salah. Tapi kompromi akan menjadi kuat bila kedua sisi
adalah benar.

Kompromi adalah paling efektif sebagai alat bila isu kompleks atau bila ada
keseimbangan kekuatan. Kompromi dapat menjadi pilihan bila metode lain gagal
dan dua kelompok mencari penyelesaian jalan tengah. Kompromi bisa menjadi
pemecah perbedaan atau pertukaran konsesi. Kompromi hampir selalu diarahkan
oleh semua kelompok yang berselisih untuk memberikan sesuatu untuk
mendapatkan jalan keluar atau pemecahan.

92

2.2 Konflik Fungsional dan Disfungsional
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi dua macam,

yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfiunctional
Contlict). Kontlik fungsional adalah kontlik yang mendukung pencapaian tujuan
kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah
konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.

Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu
kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat
fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang
membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik
tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika kontlik tersebut
dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka
konflik tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut
disfungsional.

Konflik Fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan
kelompok.Konflik fungsional bersifat konstruktif dan membantu dalam meningkatkan
kinerja organisasi. Konflik ini mendorong orang untuk bekerja lebih keras, bekerja sama
dan lebih kreatif. Konflik kini berdampak positif atau dapat memberi manfaat atau
keuntungan bagi organisasi yang bersangkutan.

Konflik Disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Konflik disfungsional bersifat destruktif dan dapat menurunkan kinerja organisasi.
Konflik disfungsional dapat diartikan setiap konfrontasi atau interaksi diantara kelompok
yang merugikan organisasi atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi.

93

BAB 10 KELOMPOK DAN PRESTASI KERJA

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Adanya keanekaragaman sumber daya manusia dari latar belakang yang berbeda-beda
bisa memicu timbulnya konflik. Marquis dan Houston dalam Nursalam (2012:117)
mendefinisikan konflik sebagai masalah internal dan eksternal yang terjadi sebagai akibat
dari perbedaan pendapat, nilai-nilai, atau keyakinan dari dua orang atau lebih. Konflik
dapat terjadi pada semua tingkatan organisasi. Konflik adalah suatu keadaan yang dialami,
dirasakan dan dapat diciptakan. Konflik dapat berdampak positif yang berguna untuk
peningkatan kinerja. Prestasi kerja merupakan tolak ukur keberhasilan atau keberhasilan
pekerjaan selama pekerjaan telah dilakukan. Mengelola konflik menjadi salah satu
terobosan baru untuk menaikkan prestasi kerja. Konflik harus berada pada keadaan optimal
yang pada akhirnya akan memunculkan perubahan-perubahan baru bagi peningkatan
prestasi dan kemajuan.
B. Rumusan Masalah
1. Hubungan Konflik dan Prestasi Kerja
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami hubungan antara konflik dan prestasi kerja

94

PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Konflik dan Prestasi Kerja

2.1.1 Konsep Konflik

Rivai (2003:507) mendefinisikan konflik merupakan ketidaksesuaian antara dua atau
lebih anggota-anggota atau kelompok (dalam suatu organisasi/perusahaan) yang harus
membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan atau karena
kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi.
Sedangkan menurut Stephens P Robbins (2006:545), konflik adalah proses yang
bermula ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara
negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi
kepedulian pihak pertama.

Anwar Prabu Mangkunegara (2005:21) konflik adalah suatu pertentangan yang
terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain,
organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkannya. Dengan memperhatikan apa
yang dikemukakan tentang konflik, Stephen P Robbins (2006: 546-547) merumuskan
transisi konflik atas tiga macam, yaitu:

1. Pandangan Tradisional
Pandangan tradisional menyatakan bahwa konflik dipandang secara negative dan

disinonimkan dengan istilah seperti kekerasan, pengrusakan, dan transionalitas demi
memperkuat konotasi negatifnya.
2. Pandangan Hubungan Manusia

Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa
yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi.
3. Pandangan Interaksionis

Pendekatan interaksionis mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang
kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis dan tidak
tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi.

Untuk itu Ivancevich, dkk (2006:43-44), membagi konflik menjadi dua bagian yaitu:

1. Konflik fungsional adalah konfrontasi antarkelompok yang dapat meningkatkan dan
menguntungkan kinerja organisasi. Konflik fungsional dapat meningkatkan
kesadaran organisasi akan masalah-masalah yang harus diatasi, mendorong
pencarian solusi-solusi secara lebih luas dan lebih produktif, dan lazimnya
memfasilitasi perubahan yang positif, adaptif dan inovatif.

2. Konflik disfungsional adalah setiap konfrontasi atau interaksi antarkelompok yang
membahayakan organisasi atau menghambat organisasi dalam mencapai tujuan-
tujuannya.

Untuk itu, dimensi konflik dapat dilihat dari sumber konflik seperti yang dipaparkan
oleh Stephen P Robbins (2006:549-552), bahwa ada tiga faktor penyebab konflik yaitu:

95

1. Komunikasi
Komunikasi dapat merupakan sumber konflik. Komunikasi menyatakan

kekuatan-kekuatan berlawanan yang timbul dari dalam kesulitan semantik,
kesalahpahaman, dan ‘kebisingan’ dalam saluran komunikasi
2. Struktur

Istilah struktur, digunakan dalam konteks ini, mencakup variabel seperti ukuran,
derajat spesialisasi dalam tugas yang diberikan ke anggota kelompok, kejelasan
jurisdiksi, kecocokan anggota/sasaran, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan
derajat ketergantungan antar kelompok.
3. Pribadi

Kategori terakhir potensi sumber konflik adalah faktor-faktor pribadi. Faktor itu
mencakup sistem nilai individu setiap orang dan karakteristik kepribadian yang
menyebabkan idiosinkrasi dan perbedaan individu.

Sedangkan Alex Nitisemito (1986:212-213) menyebutkan sebab-sebab yang dapat
menimbulkan konflik yaitu:

1. Perbedaan Pendapat
Suatu konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat, di mana masingmasing

pihak merasa dirinyalah yang paling benar.
2. Salah Paham

Salah paham juga merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik.
Bagi yang merasa dirugikan menimbulkan rasa yang kurang enak, kurang simpati
atau justru kebencian.
3. Salah Satu atau Kedua Belah Pihak Merasa Dirugikan

Tindakan salah satu mungkin dianggap merugikan yang lain atau masingmasing
merasa dirugikan oleh pihak lain.
4. Perasaan yang terlalu sensitif terhadap tindakan seseorang adalah wajar, tetapi oleh
pihak lain hal ini dianggap merugikan.

Pandangan terhadap konflik juga disebutkan oleh Kenneth Wexley dan Gary Yukl
(1998:231-236) bahwa sumber-sumber konflik dapat dilihat dari faktor-faktor berikut
ini:

1. Persaingan Terhadap Sumber-Sumber (Competition for resources)
Salah satu sumber konflik penting dalam organisasi adalah persaingan terhadap

sumber-sumber seperti dana anggaran, ruang pengadaan bahan, personalia serta
pelayanan pendukung.
2. Ketergantungan Tugas (Task Interdependence)

Jika dua individu atau kelompok tergantung satu sama lain dalam cara sedemikian
rupa untuk keberhasilan pelaksanaan tugasnya, maka konflik mungkin terjadi jika
keduanya mempunyai tujuan-tujuan atau prioritasprioritas yang berbeda.

96

3. Kekaburan Batas-Batas Bidang Kerja (Jurisdictional Ambiquity)
Konflik mungkin sekali terjadi bilamana batasan-batasan bidang kerja tidak jelas

dikarenakan adanya tumpang tindih (overlaping) tanggung jawab atau ketimpangan
dalam tanggung jawab.
4. Masalah Status (Status Problem)

Adanya persepsi atas ketidakadilan dalam hal ganjaran, penugasan kerja, kondisi-
kondisi kerja serta simbol status.
5. Rintangan-Rintangan Komunikasi

Tidak adanya sarana-sarana komunikasi yang memadai dapat menghambat usaha-
usaha untuk mencapai koordinasi dua kelompok yang tugas pekerjaannya
bergantungan.
6. Sifat-Sifat Individu

Kemungkinan terjadi konflik sebagian ditentukan oleh sifat kepribadian masing-
masing pihak. Kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai dapat juga menopang
berkembangnya konflik

2.1.2 Prestasi Kerja

Bagi organisasi, pencapaian atas semua usaha dan upaya atas pekerjaan yang telah
dilakukan oleh karyawan adalah prestasi kerja. Menurut Hasibuan (2001:94), prestasi
kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai dalam melaksanakan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan
serta waktu.

Prestasi kerja juga berarti sebuah keberhasilan dalam bekerja seperti yang dikatakan
oleh Maier (Wijono, 2010:59) prestasi kerja diartikan sebagai suatu keberhasilan dari
suatu individu dalam suatu tugas dalam pekerjaannya. Sedangkan menurut Sri Budi
Cantika Yuli (2005:89) prestasi kerja (Job performance) merupakan hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Porter dan Lawler
dalam Wijono (2010:59) menyatakan prestasi kerja sebagai successful role achievement
yang diperoleh dari hasil pekerjaan yang dikerjakan oleh individu.

Jadi prestasi kerja merupakan hasil yang dicapai oleh seorang individu untuk ukuran
yang telah ditetapkan dalam suatu pekerjaan. Untuk mengetahui seberapa besar prestasi
kerja karyawan maka harus ada suatu penilaian khusus. Penilaian ini memiliki sejumlah
manfaat guna memajukan prestasi kerja organisasi secara keseluruhan. Penilaian ini
bertujuan untuk melihat prestasi kerja karyawan.

97

Menurut Sedarmayanti (2009:22-23), manfaat penilaian prestasi kerja dalam suatu
organisasi antara lain sebagai berikut:

1. Peningkatan prestasi kerja. Dengan adanya penilaian, baik manajer maupun
pegawai memperoleh umpan balik dan mereka dapat memperbaiki pekerjaan
mereka.

2. Kesempatan kerja yang adil. Adanya penilaian kerja yang akurat dapat menjamin
pegawai untuk memperoleh kesempatan menempati posisi pekerjaan sesuai dengan
kemampuannya.

3. Kebutuhan pelatihan pengembangan. Melalui penilaian prestasi kerja akan dideteksi
pegawai yang kemampuannya rendah sehingga memungkinkan adanya program
pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka.

4. Penyesuaian kompensasi. Penilaian prestasi kerja dapat membantu para manajer
untuk mengambil keputusan dalam menentukan perbaikan pemberian kompensasi,
gaji, bonus dan sebagainya.

5. Keputusan promosi dan demosi. Hasil penilaian prestasi kerja terhadap pegawai
dapat digunakan untuk mengambil keputusan dalam rangka mempromosikan
pegawai yang berprestasi kurang baik.

6. Kesalahan desain pekerjaan. Hasil penilaian prestasi kerja dapat digunakan untuk
menilai desain kerja. Artinya, hasil penilaian prestasi kerja dapat membantu
mendiagnosis kesalahan desain kerja.

7. Penyimpangan proses rekrutmen dan seleksi. Penilaian prestasi kerja dapat
digunakan untuk menilai proses rekruitmen dan seleksi pegawai yang telah lalu.

Untuk mengetahui tingkat prestasi kerja harualah ada indikator dalam pengukurannya
agar dihasilkan suatu kesimpulan yang relevan dengan kebutuhan organisasi. Ada
beberapa macam faktor yang diukur untuk mengetahui tingkat prestasi kerja yang dapat
digunakan oleh organisasi, salah satunya adalah dari Flippo dalam Sunyoto (2012:199),
mengemukakan bahwa prestasi kerja seseorang dapat diukur melalui:

1. Mutu kerja, dalam hal ini berkaitan dengan ketepatan waktu, ketrampilan dan
kepribadian dalam melakukan pekerjaan.

2. Kualitas kerja, berkaitan dengan pemberian tugas-tugas tambahan yang diberikan
oleh atasan kepada bawahan.

3. Ketangguhan, berkaitan dengan tingkat kehadiran pemberian waktu libur dan jadwal
mengenai keterlambatan hadir ditempat kerja.

4. Sikap, merupakan sikap yang ada kepada karyawan yang menunjukkan seberapa
jauh sikap dan tanggung jawab mereka kepada sesama teman dan atasan serta
seberapa jauh tingkat kerja sama dalam mengevaluasi tugas.

98

Menurut Rivai (2005:324) adapun unsur-unsur yang dinilai dari karyawan dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kemampuan Teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik

dan peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman dan
pelatihan yang diperolehnya.
2. Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan individu dalam memahami tugas, fungsi
serta tanggung jawabnya sebagai karyawan.
3. Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan untuk bekerja
sama dengan orang lain, memotivasi karyawan, melakukan negosiasi dan lain-lain.
2.1.3 Hubungan Konflik Terhadap Prestasi Kerja
Ida (2017) mendapatkan hasil bahwa konflik kerja berpengaruh negatif terhadap
prestasi kerja. Prestasi kerja merupakan suatu kuantitas dan kualitas yang dicapai
pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab. Semakin tingginya
konflik yang ada dalam perusahaan akan mengakibatkan menurunnya prestasi kerja
karyawan. Newstorm dan Davis (2017) menyatakan bahwa konflik merupakan warisan
kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada
berbangkitnya keadaan keditaksetujuan, kontroversi dan pertentangan antara dua pihak
atau lebih secara berkesinambungan

99

BAB 11 DASAR ORGANISASI DAN DESAIN ORGANISASI

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Setiap jalannya organisasi selalu memiliki sebuah perencanaan yang dijadikan panduang
dalam dalam menjalankan usaha. Organisasi tanpa perencanaan tidak akan dapat membuat
sebuah ketentuan tentang arah tujuan yang akan dicapainya. Tujuan organisasi inilah yang
nantikan akan menentukan adanya sebuah struktur dalam organisasi yang memberikan
gambaran mengenai tugas fungsi pekerjaan para anggotanya. Sehingga disini pentingnya
membuat struktur organisasi sangat menentukan arah capaian tujuan yang ditetapkan oleh
organisasi tersebut. Artinya struktur organisasi disusun guna memperjelas fungsi-fungsi
setiap bagian dan sifat hubungan antar bagian tersebut. Gambaran ini merupakan salah satu
proses pengorganisasian sebagai fungsi dasar dalam manajemen untuk mencapai sasaran
yang ditetapkan organisasi.
B. Rumusan Masalah
1) Bagian Dasar Organisasi
2) Desain Organisasi
3) Struktur Organisasi Sederhana dan Modern
4) Keunggulan Struktur Organisasi Besar
C. Tujuan Pembahasan
1) Untuk memahami mamfaat desain dan struktur organisasi

100


Click to View FlipBook Version