i
ii Sekapur Sirih Assalâmu’alaikum warahmatullâhi wa barakâtuh, KH. Muchammad Fatkhulloh Sholeh, atau lebih kita kenal dengan Gus Loh, merupakan seorang tokoh yang luar biasa. Usianya memang relatif masih muda sebagai seorang kiai. Tapi selama menjadi nahkoda PCNU Trenggalek, beliau mampu menjadi pemimpin, bukan hanya bagi kader muda NU melainkan juga bagi kalangan kiai. Gus Loh tidak hanya dicintai dan dihormati oleh warga NU, tapi juga oleh segenap kalangan di luar NU. Maka tidak heran banyak orang dari berbagai kalangan merasa kehilangan dengan kewafatan beliau. Buku kecil ini merupakan catatan kesan dan kenangan dari sejumlah kader nahdliyin tentang sosok Gus Loh. Tentu catatan ini bukan untuk menggambarkan jejak pengabdian beliau yang panjang terhadap umat. Lebih lanjut, kita semua berharap agar ke depan, jejak perjuangan beliau dapat disarikan ke dalam sebuah buku tersendiri. Tujuannya agar khidmah beliau dapat terekam dengan baik, serta hikmah dan keteladanan beliau dapat diwariskan kepada generasi sekarang dan kemudian. Terima kasih disampaikan kepada para penulis serta segenap pihak yang membantu terbitnya buku ini. Semoga bermanfaat. Wassalâmu’alaikum warahmatullâhi wa barakâtuh, LTN NU Trenggalek
iii Daftar Isi Gus Loh, Khidmah, dan Nahdlatul Ulama (Prof. Dr. Ngainun Naim) 1 Gus Loh; Sosok Guru Neo-Sufism (Dr. M. Muntahibun Nafis) 5 KH. Fatchullah Sholeh: Sosok Kiai Yang Hobi Bersilaturahim (Dr. Afrizal El Adzim Syahputra) 19 Mengenang Gus Loh; Menggali Karisma dan Kepribadian Beliau (Androw Dzulfikar) 24 Dakwah Cinta ala Gus Loh (Kiai Ali Asmungi) 34 Mengenang Macan Trenggalek, KH Fatchulloh Sholeh (Priyo Pambudi Utomo) 38 KH Fatchulloh Sholeh, Sosok Pengganti Ayah (Madchan Jazuli) 43 Pemimpin Muda Nahdliyin Kharismatik di Kota Kecil (Ust. Rizal Furqan Ramadhan, S.Kom., M.T) 50 Lampiran: Biodata Penulis
Gus Loh di Mata Kita 1 Gus Loh, Khidmah, dan Nahdlatul Ulama Prof. Dr. Ngainun Naim Kematian merupakan rahasia Allah. Tidak ada satu pun manusia yang mengetahuinya. Ia, bersama dengan jodoh dan rezeki, merupakan misteri. Tugas manusia adalah menjalani hidup secara baik. Ikhtiar merawat kesehatan dilakukan sebaik mungkin. Hidup dengan gaya hidup sehat. Makan secara sehat. Hindari stres. Selanjutnya Allah yang akan menentukan takdir hidup kita. Kematian acapkali datang secara cepat. Beberapa saat sebelumnya masih sehat. Masih berbincang. Tahu-tahu ada informasi sakit lalu wafat. Informasi semacam ini yang saya terima terkait Almaghfurlah KH Fatkhulloh Sholeh. Beredar di berbagai grup WA beberapa waktu lalu bahwa beliau sakit dan dirawat di RSUD dr. Soedomo Trenggalek. Permintaan doa kesembuhan datang dari banyak pihak. Beberapa waktu kemudian beredar lagi informasi bahwa beliau dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Ikhtiar terus dilakukan agar beliau sembuh. Namun takdir menentukan bahwa jejak hidup beliau berakhir pada Hari Rabo tanggal 5 Oktober 2022. Ulama yang cukup berpengaruh itu menghadap ke hadirat Allah SWT.
Gus Loh di Mata Kita 2 Beliau orang baik. Jasanya sangat besar. Ribuan pelayat memenuhi sudut-sudut Desa Kedunglurah, tempat beliau tinggal. PP Bumi Hidayah Attaqwa tidak mampu menampung jumlah takziah yang datang dari berbagai wilayah. Saya menyaksikan sendiri dan menjadi salah seorang yang menyaksikan kesedihan mendalam atas wafat beliau. Aura kesedihan sangat terasa. Saya merinding mendengarkan upacara pemberangkatan. Saya berada pada jarak sekitar 100 meter dari lokasi upacara. Sudah agak sulit untuk mendekat lagi. Suara bergetar pembawa acara, sambutan syahdu Bupati Nur Arifin, dan doa khusyuk para kiai menjadikan suasana larut dalam haru. Beberapa orang yang berdiri di samping saya terlihat tidak mampu menyembunyikan kepedihan yang mendalam. Begitu jenasah diberangkat ke pemakaman, ribuan orang bergerak. Jalanan macet. Begitu banyak orang dari berbagai daerah bersama-sama mengiringi kepergian kiai muda kharismatik tersebut. Saya tidak kenal akrab dengan Gus Loh. Jika dihitung sampai beliau wafat barangkali tidak sampai sepuluh kali bertemu dan berdialog intensif. Komunikasi dengan beliau lebih sering via WA. "Dolan nyang pondok Mas", itu kosakata yang nyaris selalu beliau sampaikan setiap akhir perjumpaan. Saya selalu mengiyakan meskipun sangat jarang sowan. Pertengahan Maret 2022, saya sowan ke PP Bumi Hidayah Attaqwa Kedunglurah yang beliau asuh. Saat itu saya sowan
Gus Loh di Mata Kita 3 bersamaan dengan pulang kerja. Sayang saat itu beliau sedang ada acara keluar. Saya ditemui pengurus pondok. Hari Rabu tanggal 22 Maret 2022 merupakan perjumpaan fisik terakhir saya dengan beliau. Saat itu beliau hadir memenuhi undangan saya untuk sebuah acara. Tentu saya sangat bahagia dan menyampaikan terima kasih atas rawuh beliau. Beliau tokoh besar. Orangnya sangat baik dan ngemong. Saya merasakan sendiri. Pernah dalam suatu kesempatan saya bertemu beliau di kantor PCNU Trenggalek. Tahunnya saya tidak ingat persis. Satu yang saya ingat yaitu ajakannya untuk berkhidmah di NU. Saya pun mengiyakan. Sebagai orang yang lahir dari orang tua NU tulen, pernah sekolah di lembaga NU, dan hidup dalam tradisi NU, ajakan beliau saya sambut hangat. Meskipun bentuk khidmah yang saya bisa lakukan bukan dalam bentuk aktif total di NU. Saya tahu diri. Meskipun KTP saya Trenggalek tetapi kerja saya di Tulungagung. Aktivitas sehari-hari saya juga lebih banyak di Tulungagung. Saya berkhidmah di NU lewat banyak cara sesuai kemampuan. Kini Gus Loh telah berpulang. Jejak khidmah beliau menjadi eksemplar yang penting untuk kita teladani. Totalitasnya berkhidmah mewujud dalam organisasi PCNU Trenggalek yang semakin maju.
Gus Loh di Mata Kita 4 Teladan beliau penting untuk ditulis dan disebarluaskan. Warga NU seharusnya mengetahuinya. Tradisi tulis perlu ditumbuhkembangkan karena warisan kebajikan lebih abadi dibandingkan dengan warisan lisan. Ini saya kira menjadi agenda penting yang harus diperjuangkan. ***
Gus Loh di Mata Kita 5 Gus Loh: Sosok Guru Neo-Sufism Dr. H. M. Muntahibun Nafis Kabar sakitnya Gus Loh sudah saya terima setelah selang beberapa saat beliau masuk RSUD dr. Soedomo Trenggalek. Tentu kabar yang menyedihkan bagi saya, namun saat itu belum sempat menjenguk ke rumah sakit dikarenakan tugas kantor dan mengajar yang lumayan padat. Tepatnya hari Rabu pagi, info tersebut saya dapatkan dari berbagai sumber baik secara langsung maupun via medsos. Setiap hari selalu saya update perkembangan kesehatan Gus loh, terutama info dari kakak saya sendiri. Sampai pada waktu dipindahkannya beliau ke RS Surabaya, saya pun belum sempat menjenguknya dan tentu ini sebuah kesedihan mendalam. Selama di Surabaya, setiap hari saya memantau kondisi beliau melalui kabar Gus Alwi, PP Al Falah Trenceng. Sempat heran dan tidak percaya bahwa setiap kali update informasi pasti jawaban sama, yakni bahwa Gus Loh belum sadarkan diri. Ini hal yang cukup menimbulkan keheranan bahwa beliau selama satu minggu belum sadarkan diri. Konon, seseorang yang tidak sadarkan diri paling lama mampu bertahan 4 sampai 5 hari. Sampai pada kabar sangat menyedihkan itu terbaca yakni informasi dari Gus Alwi. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn… Malam itu saya ikut hurmat terakhir janazah beliau beserta ribuan mu’azziyin- mu’azziyat dari berbagai daerah dan berbagai elemen masyarakat. Setelah salat janazah yang ke sekian kalinya, saya pun berbincang-bincang dengan
Gus Loh di Mata Kita 6 beberapa teman di salah satu sudut depan rumah duka, sambil menunggu jenazah diberangkatkan ke makam. Sesuai dengan permintaan keluarga, jenazah dimakamkan pukul 21.00 WIB. Tiba saatnya janazah diberangkatkan dengan ritual pemberangkatan sebagaimana galibnya di masyarakat. Ketika MC mulai membuka ritual pemberangkatan, janazah sudah berada di depan masjid dikelilingi ribuan jamaah, saat itu pula video HP saya nyalakan untuk mengabadikannya. Tak terasa air mata mulai tak terbendung, mengalir membasahi kedua kelopak mata dan menetes pelan. Di saat sambutan demi sambutan berjalan bergantian dengan suasana sangat menyedihkan, saat itu pula air mataku semakin deras susul-menyusul satu demi satu. Untungnya saya mengambil tempat yang agak di belakang namun bisa memvideo dengan jelas karena tempatnya lebih tinggi, yakni berada di bangunan sebelah timur masjid, timurnya posisi janazah dipanggul dan dikerumuni jamaah. Sedikit remangremang, bersembunyi di balik tembok, sambil terus mengabadikan momen sangat memilukan itu. Air mataku semakin deras seolah tak mau berhenti tuk mengiringi sosok guru yang bersahaja, kharismatik, sederhana namun sangat dekat dengan tidak mengambil jarak. Tiba sampai waktu jenazah harus diberangkatkan, semakin pilu mengharu biru, menyayat kalbuku dan nuraniku seolah meronta dan menolak atas kepergian Gus Loh. Di saat perpisahan fisik antara saya dengan Gus Loh malam itu, tetesan air mata ikut melepas kepergiannya. Setelah sekian menit berlalu, maka saya pun mulai menenangkan diri dan mencoba tenang, sabar dengan gejolak
Gus Loh di Mata Kita 7 batin saat itu. Setelah mulai tenang, ada teman dari LTN NU Trenggalek menghampiri. Setelah saling menyapa dan bincang-bincang sebentar, maka muncul ide dari benak saya untuk menuliskan kisah, kesan, dan pesan bersama Gus Loh. Kemudian saya lontarkan ide tersebut dan syukur gayung bersambut disetujui teman-teman LTN NU Trenggalek. Untuk mengenang tali silaturahmi saya dengan Gus Loh, berikut ini saya goreskan tinta, saya susun kalimat demi kalimat, saya rangkai kenangan demi kenangan walaupun saya yakin bahwa tidak sepenuhnya mewakili keindahan dan kedalaman kenangan saya bersama Gus Loh. Namun saya berharap semoga kenangan ini bisa sedikit mewakili dan semoga menjadi bukti bahwa saya adalah salah satu santri Gus Loh yang banyak mendapatkan berkah, bahkan karamah dari beliau. Berikut sekelumit untaian kata dan rasa dari saya, semoga bisa diterima khususnya oleh Gus Loh. Nyuwun izin, Gus, untuk menuliskan ini… *** Gus Loh—demikian saya memanggil KH Muhammad Fatchullah Sholeh—sudah saya kenal sejak saya masih usia sekolah antara SMP dan MAN. Kedekatan saya dengan Gus Loh semakin terasa manakala keluarga saya pindah rumah di Kedunglurah, yang sebelumnya masih di Alasmalang, Desa Ngadirejo. Kebetulan rumah saya dekat dengan rumah beliau dengan jarak bisa ditempuh 5 menit saja, terbatasi oleh sungai di belakang rumah saya. Hubungan keluarga saya dengan keluarga besar beliau terjalin sangat dekat karena berbagai alasan. Di antara alasan
Gus Loh di Mata Kita 8 tersebut yaitu keluarga besar Gus Loh adalah referensi masyarakat dalam pemahaman agama atau bisa dikatakan sebagai tokoh agama. Keluarga besar yang memiliki nasab dan keilmuan agama yang kuat, yakni para kiai yang memiliki pesantren. Pesantren keluarga Gus Loh ini sangat dikenal, karena termasuk salah satu pesantren tua di Kabupaten Trenggalek. Keluarga beliau merupakan para kiai dengan berbagai kompetensi keilmuan masing-masing. Artinya bahwa Gus Loh bersaudara merupakan para kiai yang memiliki keilmuan agama berbeda-beda. Ada yang fokus dalam keilmuan tahfidzul Qur’an, ada yang fokus dalam dunia tarekat, ada yang fokus dalam kepesantrenan, politik, dan lainnya. Di sini lah keluarga Gus Loh menjadi referensi umat sehingga keluarga saya pun juga selalu berkiblat kepada keluarga Gus Loh, termasuk Gus Loh sendiri. Selain itu pula, Gus Loh sangat sering ke rumah saya baik untuk sekedar ngopi dan mengobrol, karena juga dekat dengan kakak saya yang pernah satu pesantren dengan beliau. Kedekatan ini terjalin cukup lama bahkan sampai saat ini. Ketika beliau belum menikah sampai beliau menikah, kedekatan itu tidak luntur ataupun berubah. Istri beliau, Bu Nyai Ela, juga sangat dekat sehingga semakin menambah hubungan semakin erat. Bahkan seolah Gus Loh ini menjadi kakak kami karena ibu saya pun juga dekat dengan Gus Loh. Terkadang untuk mengobrol dan ngopi bisa berjam-jam di rumah saya dengan penuh santai dan guyon sana-sini. Hal ini terjadi karena Gus Loh tidak pernah mengambil jarak atau
Gus Loh di Mata Kita 9 pun perbedaan antara keluarga kiai dengan kami: jamaah dan santrinya. Hubungan saya dengan Gus Loh agak jauh karena saya kuliah di Yogyakarta. Namun jalinan itu tetap terjaga karena ketika saya pulang masih sering bertemu dan diskusi dengan beliau. Minimal ketika salat Jumat, saya menjalankannya di masjid beliau karena dekatnya jarak dengan rumah. Setelah selesai kuliah S1 dan S2, hubungan tersebut kembali menghangat. Setelah saya diterima menjadi CPNS di STAIN Tulungagung, maka intensitas komunikasi semakin banyak. Hal ini bisa berkaitan dengan sisi khidmah di NU, kemasyarakatan, maupun akademik. Pada satu kesempatan, saya mencoba ikut seleksi pengiriman kader muda pesantren ke luar negeri yang diadakan oleh Kemenag RI. Akhirnya saya diskusi dengan Gus Loh, dan tentunya langsung menyetujuinya dan saya mendapatkan rekomendasi dari PP. Bumi Hidayah Attaqwa di mana beliau menjadi pengasuhnya. Setelah bukti dan berkas dokumentasi saya kirimkan menjelang sehari ditutup, alhamdulilah saya lolos seleksi untuk ikut wawancara ke Jakarta. Tentunya hal yang menantang sekaligus membuat grogi bagi saya yang santri harus bersaing dengan para gus dan ustadz dari pesantren seluruh Indonesia. Namun ini malah menjadikan saya untuk semakin semangat dan bisa lulus. Alhamdulilah, setelah ujian tulis dan wawancara, dan tentunya berkutat dengan bahasa Arab, selang beberapa hari pelaksanaan seleksi, nama saya masuk dalam 20 peserta yang
Gus Loh di Mata Kita 10 lolos. Dengan bangga saya langsung sowan kepada Gus Loh dan matur bahwa saya lolos seleksi dan berangkat ke Syiria dan Yordania. Tentu kelulusan ini adalah rahmat dan berkah Allah yang sangat besar bagi saya pribadi, dan tentunya untuk banyak pihak. Secara pribadi, short course ini menjadi titik awal saya untuk penguatan akademik. Ternyata untuk proses perjalanan akademik saya sangat bermanfaat dan memberikan banyak pemahaman, terlebih di saat mengajar materi Sejarah Peradaban Islam. Awal mula short course ke Syiria dan Yordania berkah dari rekomendasi Gus Loh ini selanjutnya telah membuka pintu-pintu keberkahan selanjutnya. Setelah ke Syiria dan Yordania akhirnya saya mendapatkan berkah bisa short course ke Universitas Umm Al-Qurra, Makkah alMukaromah, selama 40 hari. Tidak berhenti di sana, saya kemudian mendapatkan kesempatan untuk kuliah Diploma Pascasarjana selama satu setengah tahun di Universitas King Saud Riyadh Saudi Arabia dengan program Tadrib alMu’allimin al-Lughah al-‘Arabiyyah lighairi al-Nathiqina Biha. Setelah ke Riyadh, kemudian mendapatkan berkah program Partnership in Islamic Education Scholarship (PIES) dari Australian National University Canberra, Australia, setelah lolos seleksi kompetisi di Diktis Kemenag Pusat. Berbagai proses akademik pribadi ini, saya meyakini tidak terlepas dari peran Gus Loh bagi saya dan keluarga saya. Pada suatu ketika, saat sowan beliau, keluar sebuah isyarah, semacam prediksi masa depan dari beliau untuk saya. Hal itu terjadi setelah saya dari Syiria. Di antara dhawuh beliau yaitu: “Pak Dosen (memanggil saya), suk iku sak keluargamu sing
Gus Loh di Mata Kita 11 haji dhisik ya sampeyan. Suk iku sing nduwe omah dhisik sangka dulur-dulurmu ya awakmu (nanti yang akan berangkat haji duluan dari keluargamu ya kamu. Nanti yang akan punya rumah duluan dari saudaramu itu ya kamu)”. Itu beberapa isyarat dari sekian isyarat yang selalu menemaniku di saat memiliki ikatan hubungan dengan Gus Loh. Subhanallah… Ternyata kedua isyarat tersebut benar dan sudah terwujud dalam hidup saya. Tentu pembaca bisa merasakan kira-kira sejauh apa hubungan dan kedekatan saya dengan Gus Loh. Sering kali di saat saya sowan, maka di situ pula dhawuh-dhawuh itu disampaikan. Terkadang juga diskusi serius membahas keilmuan, organisasi, khidmah, dan keluarga, namun juga tidak jarang hanya bersenda gurau, makan dan minum bersama. Gus Loh sudah menjadi kakak saya yang kedua selain kakak kandung saya sendiri. Bahkan kedekatan itu terwujud ketika beliau kirim Whatsapp ataupun membalas Whatsapp saya dengan sebutan “say” (sayang). Tentu panggilan ini tidak sama bagi seorang istri kepada suaminya atau kepada lawan jenisnya. Gus Loh bagi saya pribadi adalah seorang guru, karena memang banyak sekali ajaran dan ilmu yang diberikan kepada saya baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berbagai pengalaman kehidupan. Tidak jarang ketika mengobrol santai, beliau mengajak saya untuk berfikir dan menganalisa serta membaca proses kehidupan. Di sini lah sebenarnya beliau sedang mengajari saya banyak hal, seperti perpolitikan di NU, di Trenggalek, di kampus, bahkan dunia tasawuf. Di saat saya belum pindah ke Tulungagung, maka saya diajak untuk ikut khidmah di PC GP Ansor Trenggalek,
Gus Loh di Mata Kita 12 di mana beliau adalah ketuanya. Di saat saya sudah pindah ke Tulungagung, beliau pun masih mengajak saya untuk khidmah di sana. Dawuhnya: “Awakmu ki memang wis penduduk Tulungagung tapi tak jaluk melu-melu khidmah neng NU Nggalek sik (memang kamu sudah menjadi penduduk Tulungagung, tetapi masih saya minta untuk ikut khidmah di NU Trenggalek)”. Semakin terjalin kedekatan ketika saya ikut belajar dan nyantri di PCNU Trenggalek, bahkan sampai beliau tidak lagi menjabat Ketua PC GP Ansor namun menjadi Ketua PCNU Trenggalek. Sampai hari ini saya masih dimasukkan dalam kepengurusan LTN NU Trenggalek, sebagai salah satu Pembina. Intensitas komunikasi baik secara muwajjah (bertemu langsung) maupun via dunia maya semakin tinggi sehingga kedekatan pun juga semakin kuat. Saat itu pula “doktrin” dan “nilai” yang beliau tancapkan ke diri saya semakin dalam. Gus Loh adalah guru saya: guru secara keilmuan, pun guru secara spiritual atau batiniah. Kedekatan beliau dengan keluarga saya juga dikarenakan Bu Nyai Ella, istri Gus Loh, juga sering pesan berbagai kebutuhan seperti tas, baju, jilbab, dan asesoris lainnya. Sehingga hubungannya bukan hanya saya dengan Gus Loh namun juga keluarga saya dan Gus Loh. Sekian lama keluarga saya bersambung dengan beliau sehingga masing-masing bisa mengambil manfaat dan kebaikan terutama bagi keluarga saya pribadi. Dengan didukung kedekatan Gus Loh dengan kakak saya, Muhammad Muntahibun Najah, yang menjadi teman dekat di
Gus Loh di Mata Kita 13 pondok dan di rumah, maka semakin mendekatkan dan menguatkan pula dengan saya. Setelah saya pulang dari Mekah, kira-kira tahun 2010, beliau sudah memberikan salah satu pesan penting agar saya bisa membuat ladang dakwah dan pendidikan sendiri di rumah. Pesan tersebut berulang kali disampaikan kepada saya sewaktu ketemu dengan saya dengan bertanya: sudah sampai mana progresnya? Namun, saya baru bisa memulai mewujudkan pesan tersebut belum lama ini sekitar 4 bulan yang lalu. Saya sudah merintis yayasan dengan berbagai lahan garapan dakwah dan pendidikan. Proses pendirian yayasan tersebut sudah saya sampaikan kepada Gus Loh, dan beliau juga termasuk salah satu pembina yayasan saya, dengan nama Yayasan Nur Al-Shulthan AlHamidi. Setelah beliau menyetujuinya maka musala sebagai pondasi awal yayasan saya bangun. Alhamdulilah, hari ini sudah jadi dan sudah dimulai berbagai kegiatan keagamaan oleh jamaah sekitar rumah. Selawatan, hadrah, dan ngaji fikih sudah berjalan. Khataman al-Quran selapan sekali juga sudah berjalan kira-kira 4 bulan lebih. Gus Loh merasa senang dengan berbagai bukti ungkapan beliau yang disampaikan baik melalui telefon, pesan WA, maupun ketemu langsung saat hari raya Idul Fitri kemarin. Namun yang saya sayangkan, beliau belum sempat menengok rintisan tersebut secara langsung walaupun proses pengembangan yayasan sudah beliau sampaikan jauh sekali ke masa depan. Dari pengalaman bergaul dengan Gus Loh, saya merasa dan bisa menyatakan bahwa Gus Loh ini adalah sosok santri tulen yang nasionalis, humanis, dan humoris. Dari sisi lain,
Gus Loh di Mata Kita 14 Gus Loh merupakan sosok arif billah, dengan kedalaman ilmu hikmahnya. Mungkin sosok seumuran Gus Loh ini belum begitu banyak dirasakan sisi ilmu hikmahnya dan kedalaman tasawufnya. Namun pengalaman selama ini, dalam perjalanan kehidupan saya, dhawuh dan kata azimat Gus Loh banyak terbukti. Gus Loh memiliki pemikiran seorang sufi namun kontekstual, atau saya sebut dengan Neo-sufism. Seorang sufi yang mampu mendialogkan diri dan lingkungannya sehingga shâlihun li kulli zamân wa makân (sesuai dengan waktu dan tempatnya). Karakter seperti Gus Loh sangat dibutuhkan oleh NU dan bangsa ini. Bagi NU, ke depannya sangat membutuhkan santri yang bisa diterima oleh para generasi muda namun didukung oleh generasi seniornya. Merangkul generasi muda dengan karakternya hari ini sangat dibutuhkan oleh lembaga apapun, karena nantinya mereka lah yang meneruskan tongkat estafet perjuangan generasi sebelumnya sesuai dengan kondisi zaman mereka. Gus Loh salah satu generasi yang bisa memadukan keduanya. Gus Loh telah menerobos jauh ke depan setiap kali memiliki pemikiran dan pandangan. Cara pandang seperti ini tidak jarang mendapatkan tantangan dan bahkan halangan karena orang lain belum sampai pada pemikiran itu sehingga dianggap tidak relevan. Padahal, jika cara berpikirnya ditarik lebih jauh ke depan, maka pemikiran yang modernis-sufistik ini menjadi salah satu jawaban berbagai problem kehidupan saat ini. Dari kondisi pada penjelasan di atas, maka saya mengkategorikan bahwa Gus Loh ini termasuk generasi santri Neo-Sufism, yakni seseorang yang memiliki dasar dan
Gus Loh di Mata Kita 15 pondasi tasawuf yang kuat, yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari namun tidak meninggalkan dalam merespon perubahan dan kemajuan zaman. Cara Gus Loh merangkul anak jalanan, model BLK di dalam pesantrennya, mendampingi sahabat GP Ansor dengan berbagai kegiatannya, dan jamaah NU dengan kebijakan-kebijakan penguatan ekonomi adalah di antara sekian banyak contoh riil pemikirannya. Dari sisi personal, saya diarahkan untuk menyiapkan “lahan garapan” sendiri di rumah untuk masa depan saya dan anak cucu saya. Bahkan cara Gus Loh memberikan inspirasi dan motivasi kepada generasi muda NU untuk terus kontekstual serta upgrade keilmuan dan kompetensi masa depan. Itulah sekelumit kisah dan kesan saya selama bergaul dengan Gus Loh. Tentu masih banyak lagi kesan lainnya, namun belum sempat saya sampaikan dalam tulisan ini. Di akhir tulisan ini, saya menegaskan bahwa Gus Loh adalah sosok santri yang sangat baik, mengayomi, mengarahkan, memberikan solusi problem lahiriah dan batiniah, humanis, nasionalis, humoris, tegas, serta dekat dengan umat. Kedalaman keilmuannya lambat laun menjadikannya sebagai referensi banyak pihak dalam berbagai sisi kehidupan. Sugeng tindak, Gus, sowan dhateng Gusti Allah, kepanggih leluhur Panjenengan, para masyayikh, termasuk Mbah Hasyim Asy’ari dan funding father Nahdlatul Ulama. Gusti Allah langkung sayang Panjenengan, sehingga Panjenengan mendahului kami. Insyaallah surga sudah menunggu Panjenengan karena dosa-dosa diampuni Allah, dan Panjenengan termasuk mujâhid fî sabîlillâh dengan
Gus Loh di Mata Kita 16 predikat husnul khatimah. Amin. Semoga kami yang Panjenengan tinggalkan mampu meneruskan perjuangan dan pemikiran Panjenengan, yang selalu Panjenengan pesankan kepada saya, yakni khidmah kepada umat, di mana pun berada dan menjadi apa pun. Amin. Di akhir tulisan ini, ingin kupersembahkan puisiku untuk guruku: Gus Loh: Gus, benarkah Panjenengan meninggalkan kami? Gus, terlalu cepat Panjenengan sowan dhumateng Gusti Gus, kami masih sangat membutuhkan petuah dan kata azimat Panjenengan Gus, ayolah kita ngopi dan bersenda gurau kembali Gus, selama ini Panjenengan yang banyak memberi motivasi kami Gus, selama ini inspirasi banyak muncul di saat kita diskusi Gus, Njenengan matur dhateng Gusti Allah, bahwa umat masih membutuhkan. Gus, Panjenengan gadhah leluhur yang menjadi kekasihNya Gus, Panjenengan ugi hamba yang dekat denganNya Gus, kembalilah ke tengah-tengah kami Gus, tak ada lagi yang WA aku: “I lope u pull say” Gus, aku tahu bahwa semuanya tidak mungkin Tidak mungkin Panjenengan ada di tengah-tengah kami lagi… Gus Loh, manusia yang punya keterbatasan namun ilmunya sangat luas Gus Loh, manusia biasa namun bagiku pribadinya luar biasa Gus Loh, sosok santri tulen dengan jiwa patriot, nasionalisme, dan ksatria tinggi Gus Loh, adalah khadim umat yang sangat ikhlas dan mukhlis Gus Loh, memang belum doktor tapi pemikirannya bisa sejalan dengan doktor
Gus Loh di Mata Kita 17 Gus Loh, bukan pejabat parpol, namun para politisi banyak yang mengajaknya diskusi Gus Loh, bukanlah ahli nujum namun jika bertanya ilmu hikmah tentu banyak jawaban Tak akan kami sia-siakan semua petuahmu, Gus Pesan moral dan spiritual itu masih terus menggema dalam jiwaku Panjenengan bukan sekedar guru bagiku namun juga teman yang asyik Kesederhanaan dan ketawadukanmu mengajariku arti penting hidup memiliki guru Dengan caramu bergaul dan mengajari ilmu, tak ada kata canggung dan tak ada jarak Kecerdasanmu mampu mengurai benang kusut problem manusia sepertiku Keluargamu mengajariku arti sebuah cinta sejati Gus, tak ada kata ataupun sesuatu yang bisa membalas kebaikanmu Hanya doa yang bisa kupanjatkan dan kuhaturkan di peraduanmu Dengan penuh keyakinanku bahwa Panjenengan sekarang tersenyum bahagia Penjenengan sekarang telah bersama Mbah Hasyim dan masyayikh NU Namun, tak akan lekang kami yang engkau tinggalkan dengan kata azimatmu Kan kuteruskan perjuanganmu dan untaian-untaian harapan itu Injih Gus, saya akan meneruskannya Injih Gus, saya akan menjaganya Injih Gus, saya akan mengembangkannya Injih Gus, saya akan mewujudkannya Injih Gus, saya akan melestarikannya Injih Gus, saya tidak akan melupakannya
Gus Loh di Mata Kita 18 Karenamu aku mengenal dunia ini Dengan berkahmu kubisa mengembara ke Syiria dan Yordania Dengan isyarahmu aku berangkat haji dan umrah Berbekal doa kumulai mengembangkan Yayasan Kan kurengkuh kesuksesan bermodal ijazah dan doa restumu Kuharap engkau selalu menemani perjuangan dan ikhtiar-ikhtiarku Karena kuyakin engkau tak kan meninggalkanku. “I Lope u pull say Gus-kuh” ***
Gus Loh di Mata Kita 19 KH. Fatchullah Sholeh: Sosok Kiai Yang Hobi Bersilaturahim Oleh: Afrizal El Adzim Syahputra “Kullu nafsin dzâ’iqatul maût” (Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mengalami kematian). Penggalan firman Allah Swt ini merupakan isyarat bagi manusia bahwa jika ajal sudah tiba, semua makhluk hidup pasti akan mati. Manusia harus selalu siap saat ia ditinggal oleh seseorang, atau saat ia harus meninggalkan dunia yang fana ini. Seperti inilah kehidupan kita. Ada pertemuan, ada pula perpisahan. Ada kebahagiaan, ada pula kesedihan. Ada kegembiraan, ada pula kegelisahan. Malam itu, saya diajak oleh kang Abid sowan ke ndalem Gus Loh—nama panggilan akrab KH. Fathullah Soleh—untuk menanyakan kepada beliau perihal penerbitan dan launching buku “Senarai Gagasan Kader Muda NU Trenggalek” dalam rangka memeriahkan Hari Santri Nasional (HSN) 2022. Buku ini merupakan tulisan para kader NU Trenggalek yang disusun oleh Tim LTN NU Trenggalek. Tetapi, saat itu saya belum bisa menerima ajakan kang Abid karena saya dan beberapa dosen STIT Sunan Giri Trenggalek masih sibuk dengan berkas-berkas untuk pengajuan alih status kampus. Dua hari kemudian (kalau tidak salah) saya mendapatkan kabar bahwa Gus Loh dalam keadaan kritis dan harus dirawat di Rumah Sakit dr. Soedomo Trenggalek. Saat itu, lagi-lagi saya belum bisa menjenguk Gus Loh karena kebetulan saya juga sakit selama lebih dari tiga hari. Saat saya sudah sembuh,
Gus Loh di Mata Kita 20 Gus Loh sudah diberangkatkan ke Rumah Sakit Surabaya untuk mendapatkan pelayanan medis lebih lanjut. Sudah dua kali saya tidak sempat bersilaturahim dan bertemu dengan Gus Loh. Saya berharap saat beliau sembuh, saya ingin bersilaturahim sekaligus menanyakan tentang keadaan beliau. Selain itu, saya juga ingin mengobrol terkait rencana launching buku yang ditulis oleh para kader muda NU Trenggalek. Namun, harapan saya sirna saat mendengar kabar bahwa Gus Loh telah meninggal dunia. Hari Rabu, saat saya dalam perjalanan menuju UIN Tulungagung, mas Rizal Furqon, ketua PC JQHNU Trenggalek, tiba-tiba mengirim pesan WA yang membuat saya kaget seketika: “Gus, Gus Loh apa seda?” Awalnya saya tidak percaya dengan berita ini. Lalu saya mencoba mencari informasi lain dari beberapa grup WA, dan ternyata berita ini benar. Gus Loh telah meninggal dunia di Rumah Sakit dr. Seotomo Surabaya. Beliau akan dimakamkan pada pukul 21.00 WIB di pemakaman Jatikepluk, Kedunglurah, Trenggalek. Sosok Kiai yang Hobi Bersilaturahmi Gus Loh adalah sosok kiai yang hobi bersilaturahmi. Terbukti jaringan Gus Loh sangat luas, khususnya yang terkait dengan Asparagus (Asosiasi Para Lora dan Gus). Saya masih ingat saat beliau mengajak saya untuk ikut turnamen futsal antar Asparagus se-Jawa Timur yang diadakan di Simpang Lima Futsal Gumul, Kediri. Meski pada akhirnya tim dari Trenggalek harus rela menerima kekalahan, namun
Gus Loh di Mata Kita 21 pertandingan ini merupakan wasilah (perantara) sebagai ajang silaturahmi para asparagus. Diantara nasihat Gus Loh yang disampaikan saat itu kurang lebihnya seperti ini: “Para Gus sekalian, Njenengan semua yang belum ikut PKPNU harus ikut PKPNU. Ini penting sebagai penguatan kaderkader muda NU”. Nampak sekali dari ungkapan ini, Gus Loh sangat perhatian terhadap kaderisasi para kader muda NU. Jangan sampai para kader muda NU tidak tahu apa itu NU. Beberapa kali Gus Loh mengajak saya untuk hadir pada acara-acara NU yang berskala nasional. “Mangga Njenengan ndherek acara niki”. Begitu tulisan Gus Loh yang dikirim ke saya via WA. Salah satu acara nasional yang pernah saya ikuti berdasarkan undangan Gus Loh ini adalah Daurah Santri Muassis NU pada tanggal 31 Januari sampai dengan 2 Februari 2020, yang digelar di Pondok Al-Hamdaniyah, Siwalan Panji, Sidoarjo. Pondok ini dulunya adalah salah satu tempat Mbah Hasyim Asy’ari menimba ilmu. Saya sempat masuk dan tabarukan di salah satu kamar yang pernah digunakan oleh Mbah Hasyim. Di pondok ini, saya mengobrol dengan Gus Loh terkait dengan beberapa kajian Islam. Salah satunya, momen hijrah Nabi saw dari Mekah menuju Madinah. “Nabi itu saat hijrah sebenarnya melarikan diri, tapi itu bagian dari strategi beliau dalam berdakwah. Sebab saat itu kekuatan Nabi saw masih lemah. Maka butuh tambahan kekuatan dan dukungan. Makanya Nabi saw hijrah ke Madinah itu salah satu tujuannya nyari dukungan dan membangun kekuatan”. Begitu kurang lebihnya, penjelasan Gus Loh sambil sesekali beliau menyeruput kopinya.
Gus Loh di Mata Kita 22 Pertemuan terakhir saya dengan Gus Loh pun saat acara “Halaqah Nasional Nawaning Nusantara” yang diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 27 Agustus 2022. Seperti biasanya, Gus Loh mengirimkan undangan via WA: “Mangga nyaine atau mungkin saudaranya untuk ndhèrèk, merajut silaturahmi, menambah sedulur”. Undangan ini sebenarnya ditujukan kepada istri saya atau saudara perempuan saya, karena yang diundang dalam acara Halaqah adalah para Nawaning (Nawaning itu jamak dari Ning). Pada acara itu saya tidak sempat berbincang-bincang lama dengan Gus Loh. Namun Gus Loh mengajak saya untuk bertemu dengan Gus Nadirsyah Hosen (Rais Syuriah PCNU Australia). Kebetulan saya saat itu ingin ngalap berkah dengan beliau. Alhamdulilah, saya bisa masuk ke ruangan VIP dan bertemu dengan Gus Nadir, bahkan saya dan istri saya sempat berfoto dengan beliau. Saat di ruangan ini, saya melihat Gus Loh begitu akrab dengan Gus Nadir. Ini menunjukkan bahwa jaringan Gus Loh tidak hanya berskala nasional, tapi sudah internasional. Lalu, saat saya ingin pamitan, Gus Loh mempersilakan saya untuk menyantap hidangan terlebih dahulu: “Mangga didhahar sik”. Dari sini terlihat bagaimana pola interaksi Gus Loh yang begitu santun. Pertemuan saya dengan Gus Loh pada acara ini ternyata menjadi pertemuan terakhir bagi saya. Gus loh telah meninggal dunia. Meninggalkan keluarga beliau, para santri beliau, dan masyarakat NU Trenggalek. Umur beliau hanya sampai 50 tahun, tapi manfaat yang sudah beliau berikan kepada NU dan masyarakat begitu banyak. Saat saya beserta rombongan bertakziah ke rumah beliau, rumah beliau seperti
Gus Loh di Mata Kita 23 digeruduk oleh lautan manusia. Bahkan, keesokan harinya, ada rombongan dari PCNU dan PC GP Ansor Nganjuk yang bertakziah ke rumah beliau. Gus Subhan, salah satu Pengurus GP Ansor Nganjuk sempat menanyakan saya dimana lokasi pondok Gus Loh. Semua ini merupakan bagian dari berkah silaturahmi yang telah Gus Loh jalani selama hidup beliau. Gus Loh secara tidak langsung mengajarkan budaya silaturahmi kepada saya dan masyarakat NU Trenggalek. Dengan bersilaturahmi, kita akan mendapatkan pengalaman, menambah saudara, dan memperluas jaringan. Selamat jalan, Gus. Semoga Panjenengan selalu mendapatkan nikmat kubur, dikumpulkan bersama Mbah Hasyim Asy’ari, dikumpulkan dengan Kanjeng Nabi Muhammad saw, dan dimasukkan ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan. Amin, amin, Ya Rabbal ‘Alamin. ***
Gus Loh di Mata Kita 24 Mengenang Gus Loh: Menggali Karisma dan Kepribadian Beliau Oleh: Androw Dzulfikar “Bid, NU dan pesantren mau ndak mau harus menyesuaikan zaman. Dulu, pondok ini emoh-emoh tenan bikin sekolah umum. Sekarang ya harus menyesuaikan,” kata Gus Loh malam itu, saat mengungkapkan rencana beliau membuka sekolah umum di pesantren beliau, PP Bumi Hidayah Attaqwa. Malam itu Senin tanggal 26 September 2022. Saya yang hendak sowan ke beliau—setelah janjian pada siang harinya— seakan-akan sudah dinanti di emperan dapur pondok, tepat sebelum pintu masuk ndalem beliau. Kami pun berbincangbincang di sana, membahas hal-hal ringan, meski kadang agak serius. Tidak jarang beliau nggojlok seperti biasa hingga kami tertawa lepas karenanya. Gus Loh begitu bersemangat mengungkapkan rencana dan cita-cita beliau untuk jam’iyah Nahdlatul Ulama Trenggalek. Tak terkecuali tentang upaya pengembangan media digital—mengingat saya diberi mandat untuk memimpin Media Center PCNU Trenggalek. Gus Loh juga mengungkapkan sejumlah rencana mengenai pesantren yang beliau asuh, seperti rencana untuk membuka sekolah umum hingga perluasan area pesantren. Hingga tak terasa kami telah menghabiskan dua-tiga batang rokok di emperan itu. Gus Loh pun mengajak kami untuk masuk ke ndalem, meneruskan obrolan dengan lebih serius hingga menjelang larut.
Gus Loh di Mata Kita 25 Rabu pagi, dua hari setelahnya, saya benar-benar dikejutkan oleh kabar Gus Loh dibawa ke RSUD Trenggalek dalam keadaan tidak sadarkan diri. Terbayang seketika raut wajah beliau yang tampak begitu letih ketika mengobrol di ndalem beliau kemarin. Terbayang pula bagaimana beliau tampak sangat bersemangat mengungkapkan rencana, citacita, dan harapan beliau terhadap organisasi Nahdlatul Ulama dan pesantrennya sendiri. Suatu hal yang tidak seperti biasanya. Sepekan kemudian, tepatnya hari Rabu tanggal 5 Oktober jam 12 siang, saya kembali dikejutkan dengan kabar kewafatan beliau setelah beberapa hari dirawat di RS Surabaya. Masyâallâh… Innâlillâhi wainnâilaihi râjiûn… Saya sesungguhnya tidak begitu dekat dengan Gus Loh. Jika pun dikatakan akrab, itu semata karena pembawaan beliau yang—menurut saya—ngakrabi dengan siapapun, tidak hanya dengan kalangan kiai tetapi juga santri; tidak hanya dengan yang tua tetapi juga yang muda. Bahkan kalangan preman pun banyak yang merasa kenal dekat dengan beliau. Salah satu alasan kedekatan saya dengan beliau adalah mengenai dakwah media digital PCNU Trenggalek. Pada tahun 2017, saya—bersama Gus Zaki dan Mas Benu— mengikuti PKPNU yang diselenggarakan oleh PW IKA PMII Jawa Timur di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Forum pengkaderan tersebut kemudian menggelorakan hati saya untuk semakin intens berkhidmah di NU. Namun faktanya, saat itu saya merasakan persis dengan apa yang dikatakan Gus Yahya Cholil Staquf, bahwa forum-forum pelatihan di NU hanya menghasilkan kader-kader yang dadanya sesak penuh
Gus Loh di Mata Kita 26 rasa geregetan namun tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Hal ini dikarenakan ketidaktersediaan wadah atau saluran operasional untuk mentransformasikan konsep dan materi tersebut ke arah kerja-kerja riil (PBNU, hal. 86). Pada akhirnya, saya menemukan sarana khidmah yang menurut saya tepat—dengan kondisi NU Trenggalek—untuk menyalurkan ghirah yang menyala-nyala setelah mengikuti PKPNU: menginisiasi Media Center PCNU Trenggalek dengan ‘produk’ utamanya yaitu laman/website Soeara NU Trenggalek (www.nutrenggalek.or.id). Dari sini, dan relatif hanya dalam persoalan ini lah, saya kemudian dekat dengan Gus Loh. Kiai Muda yang Karismatik Tidak ada dari kalangan manapun yang tidak mengakui besarnya karisma Gus Loh. Seorang pengurus Lembaga di PCNU Trenggalek pernah nyeletuk bahwa beliau, Gus Loh, memiliki haibah yang besar. Dengan kemampuan khusus (wahyu, pulung) yang diperolehnya sebagai karunia Tuhan— merujuk Soekanto (2007), Gus Loh menjadi pribadi yang mampu memberikan motivasi dan inspirasi bagi para pengikutnya. Tapi yang barangkali menjadikan penasaran banyak orang adalah, bagaimana Gus Loh bisa sebegitu karismatiknya?
Gus Loh di Mata Kita 27 Salah satu faktor pembentuk karisma beliau adalah nasab atau keturunan. Gus Loh, yang lahir di Trenggalek tanggal 18 Februari 1973, adalah putra bungsu dari KH Muhammad Sholeh bin KH Abdullah Umar. Kiai Abdullah atau juga dikenal Mbah Mursam, kakek Gus Loh, adalah santri dari Syaikhana Kholil Bangkalan, seangkatan dengan Hadratussyaikh Hasyim Asyari dan Kiai Abdul Karim Lirboyo. Beliau lah yang merintis adanya pendidikan agama pertama di wilayah Kedunglurah saat itu—yang di generasi berikutnya diberi nama Pondok Attaqwa—dan pada gilirannya memimpin tarekat Naqsabandiyah-Kholidiyah. Kiai Abdullah mempersunting Nyai Ruminah (Nyai Fatimah), salah seorang putri dari Kiai Minhaj Kebonsari, Tugu. Kiai Minhaj adalah seorang mursyid tarekat Naqsabandiyah-Kholidiyah—menurut Gus Loh adalah utusan dakwah di era Mataram—dan menjadi salah satu simpul kiai di Trenggalek, bahkan hingga banyak daerah di Jawa Timur. Di antara cucu Kiai Minhaj adalah Kiai Munawwir Musthafa Tegalarum Kertosono, mursyid untuk tarekat yang sama. Dari perkawinannya dengan Nyai Ruminah, Kiai Abdullah memiliki 3 anak laki-laki dan 5 perempuan. Di antaranya adalah Kiai Sholeh (ayah Gus Loh) dan Kiai Siradj. Kiai Muhammad Siradj, seusai menjadi komandan Laskar Hizbullah dan sempat bertugas sebentar di kesatuan TNI di Tulungagung, hijrah ke Mekah bersama keluarganya dan menjadi salah satu guru atau syaikh di sana (www.nutrenggalek.or.id). Adapun Kiai Sholeh meneruskan estafet pesantren dan kepemimpinan tarekat dari ayahnya. Di
Gus Loh di Mata Kita 28 sisi lain, Kiai Sholeh juga menikahi Nyai Safuroh binti Kiai Badarudin bin Minhaj, yang artinya merawat koneksi kekeluargaan antara Kiai Abdullah dengan Kiai Minhaj. Dari pernikahan tersebut, Kiai Sholeh memiliki sejumlah anak, di antaranya Gus Loh. ‘Darah biru’ yang mengalir dari dua simpul kiai besar ini lah yang menjadi modal penting yang membentuk karisma Gus Loh. Ditambah dengan tersebarnya murid dari kakek dan ayah beliau, baik dalam ilmu agama maupun tarekat— termasuk murid beliau sendiri—yang pada gilirannya mengembangkan pengajaran ilmu agama Islam di daerahnya masing-masing. Selain karena darah biru kiai, faktor penting lain yang turut membentuk karisma Gus Loh adalah kepribadian beliau. Banyak sikap dan perilaku beliau yang patut kita teladani. Gus Loh, misalnya, dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sejak kecil, beliau dikenal sebagai sosok yang ènthèngan, suka membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan. Bantuan tersebut tidak jarang diberikan secara diam-diam, hingga yang bersangkutan tidak merasa dibantu tapi tahutahu masalahnya selesai, atau orang tersebut tidak mengetahui siapa yang membantu menyelesaikan permasalahannya. Ada banyak kesaksian tentang hal ini. Salah satunya datang dari seorang kemenakan beliau, Gus Badar. Karakter yang demikian, menurut Gus Badar, persis dengan Kiai Siradj, paman Gus Loh yang hijrah ke Mekah dan menjadi guru dari ulama-ulama Nusantara.
Gus Loh di Mata Kita 29 Sangat Husnudzan pada Allah Swt Gus Loh juga merupakan pribadi yang sangat husnudzan pada Allah Swt. Beliau sangat yakin akan takdir dan fadhal dari Allah Swt. Dua kata tersebut begitu sering beliau ungkapkan, tak terkecuali pada saat memberikan sambutan dan pengarahan di acara PCNU Trenggalek. Dalam arti, pentingnya adab kepada Allah Swt seperti husnudzan dan tawakal, bagi Gus Loh, tidak hanya harus dimiliki dalam kehidupan pribadi tetapi juga dalam berorganisasi. Kepada penulis, Gus Loh beberapa kali mengisahkan perjalanan hidupnya, mulai dari saat muda, dalam berumah tangga, hingga dalam mengelola pesantren, yang menunjukkan betapa husnudzannya beliau kepada Allah Swt. Di antara kisah yang bikin geleng-geleng kepala adalah ketika beliau hendak berhaji untuk pertama kali. Ketika ekonominya belum mapan, Gus Loh “nekat” daftar kuota haji bersama istrinya. Padahal dari mana uang pelunasannya kelak sama sekali belum tergambar oleh beliau. Walhasil menjelang pelunasan, pihak bank beberapa kali menghubungi dan meminta beliau untuk segera melunasi, atau porsi tersebut diberikan kepada CJH lain. Tapi dengan sangat percaya diri dan yakin, Gus Loh tetap bersikeras siap melunasinya, meski saat itu beliau tidak memegang uang sepeser pun. Yang bikin geleng-geleng kepala, pada hari terakhir jatuh tempo, Gus Loh tetap pergi ke bank tersebut, yang terletak di
Gus Loh di Mata Kita 30 Tulungagung, dengan mengendarai sepeda motor bersama istri. Padahal saat itu beliau tidak membawa uang, dan usahanya untuk mencari pinjaman ke teman-temannya tak membuahkan hasil. Kata Gus Loh, yang penting tetap pergi ke bank dan berniat untuk membayar pelunasan, sebagai syarat atau bentuk ikhtiar. Sesampai di bank, beliau dan istrinya hanya dudukduduk di emperan, sambil tetap yakin akan datangnya pertolongan Allah Swt. Kepada petugas keamanan yang beberapa kali menghampiri, beliau hanya katakan sedang menunggu ‘seseorang’ dan akan melunasi ongkos haji. Di emparan bank tersebut, beliau benar-benar “tidak ngapangapain”, kecuali sesekali melihat-lihat nomor kontak di handphone, barangkali ada sahabatnya yang terlewat belum dihubungi untuk dimintai bantuan. Hingga waktu menunjukkan jam 3 sore dan bank segera tutup. Ketika ada petugas bank yang mengingatkan, Gus Loh justru melobinya agar memberinya kesempatan barang 30 menit. Seperti sebuah keajaiban. Tiba-tiba handphone berdering pertanda ada panggilan masuk. Seorang sahabat yang sudah lama hilang kontak tiba-tiba menghubungi ingin bertemu beliau. Gus Loh pun setengah iseng menanyakan apakah sahabatnya membawa uang tunai atau tidak. Sungguh di luar akal, sahabatnya membawa uang tunai, dan jumlahnya pas dengan yang dibutuhkan Gus Loh. Tidak kurang dan tidak lebih. Kebetulan pula, sahabat tadi tengah berada tidak jauh dari bank tersebut. Gus Loh pun akhirnya bisa membayar pelunasan ongkos hajinya, di saat injury time! Mâsyâ Allâh…
Gus Loh di Mata Kita 31 Masih ada beberapa kisah serupa lainnya yang beliau ungkapkan kepada penulis, baik dalam rangka mengembangkan pesantren dan organisasi NU maupun dalam menata kehidupan pribadi seperti membeli kendaraan, rumah, hingga memilih calon istri. Kisah-kisah yang mencerminkan puncak optimisme dan kepercayaan diri yang tinggi, yang dilandasi oleh husnudzan dan yaqin akan fadhal Allah. Itu semua tidak mungkin terjadi tanpa dibarengi laku tirakat dan riyadah yang istikamah, yang menandakan tingginya spiritual serta kedekatan seorang hamba pada Tuhannya. Gus Loh, tampaknya meyakini betul firman Allah melalui hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Aku (Allah) sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku”. Mengenai pentingnya sikap yaqin akan fadhal Allah tersebut, penulis merasa bersyukur mendapat wejangan dari beliau. Selain itu juga diajari—kalau tidak bisa dikatakan sebagai ijazah—bagaimana cara menata dan memantapkan keyakinan tersebut dalam hati, hingga tanpa ada keraguan sedikit pun. Husnudzan dan yaqin akan fadhal Allah Swt, pesan beliau, harus ditanamkan dalam meraih cita-cita yang maslahat. Karakter lain yang menonjol dari pribadi Gus Loh adalah sosok pengayom. Beliau selalu menghindari perselisihan. Beliau juga selalu berhati-hati dalam menyikapi masalah, sekecil apa pun masalah yang muncul. Apabila ada masalah yang melibatkan dua pihak atau lebih, sebisa mungkin penyelesaiannya tidak mengecewakan satu pun pihak yang terlibat. Menurut Gus Badar, karakter yang demikian sudah
Gus Loh di Mata Kita 32 terlihat sejak Gus Loh masih remaja. Maka tidak heran jika Gus Loh seakan menjadi “juru damai” dan pengayom, tidak hanya di kalangan pengurus NU tapi juga di dalam keluarga besar, serta di lingkungan sekitar. Gus Loh juga senang menyambung silaturahmi. Kepada penulis, Gus Loh pernah berkisah bahwa pada saat masih muda, beliau gemar berkelana dari satu kota ke kota lainnya dengan mengendarai sepeda motor. Tujuannya merekatkan ikatan kekerabatan yang tersebar, termasuk dengan muridmurid dari ayah dan kakeknya. Tiap mendengar ada seorang kerabat yang tinggal di suatu kota, tanpa pikir panjang beliau tuju, meski ratusan kilometer jauhnya. Maka tidak heran apabila kemudian Gus Loh memiliki banyak relasi, atau bahkan membentuk satu circle (lingkaran jejaring) tersendiri. Tidak perlu heran pula apabila ada yang mengatakan bahwa beliau merupakan di antara pencetus istilah “habib Jawa” yang seakan menjadi komunitas tersendiri, juga aktif di Asparagus, sebuah komunitas yang dibentuk serta terdiri dari kalangan ‘darah biru’ kiai dan pesantren. Pada Konfercab 2016 yang dihelat di Pesantren Hidayatulloh Pule, beliau terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Trenggalek untuk periode 2016-2021. Di Konfercab berikutnya—di Pesantren Al-Anwar Ngadirenggo—untuk yang kedua kalinya beliau terpilih untuk periode 2021-2026. Namun belum genap separo periodenya yang kedua, Allah Swt terlebih dahulu memanggil beliau. Banyak keberhasilan yang diraih PCNU Trenggalek selama kepemimpinan beliau, bukan saja bagi organisasi
Gus Loh di Mata Kita 33 melainkan juga untuk warga nahdliyin dan umat Islam. Di antaranya adalah berdirinya NUsantara Mart di beberapa wilayah MWC, bertambahnya aset tanah wakaf, didirikannya mushala di kompleks Gedung NU Trenggalek, dibentuknya Media Center dan Aswaja NU Center, serta meningkatnya kader-kader NU melalui sejumlah pengkaderan. Banom dan Lembaga di lingkup PCNU pun makin menggeliat. Misalnya Lembaga LazisNU yang dikelola dengan lebih profesional, sebagai instrumen penting dalam mewujudkan kemandirian jam’iyah dan jamaah. Termasuk juga kultur organisasi yang semakin dinamis dan profesional. Capaian-capaian selama memimpin organisasi NU, serta kepribadian dan akhlakul karimah beliau, merupakan sumber motivasi dan inspirasi bagi generasi penerus, tidak hanya dalam berkhidmah di NU tapi juga dalam kehidupan pribadi. Semoga khidmah beliau, baik melalui organisasi NU, pesantren, maupun untuk umat dicatat sebagai amal jariyah oleh Allah Swt. Dan seperti yang sering beliau sampaikan di banyak kesempatan, semoga beliau diakui sebagai santri Hadratussyaikh Hasyim Asyari. Teringat pula doa Kiai Imron Rosyidi di acara tahlil dan kirim doa dalam rangka tujuh hari beliau: “Ya Allah, kula, pengurus NU, lan nahdliyin nyuwun ijol ingkang kados Gus Loh, Ya Allah…” Untuk Nabi saw dan Gus Loh, al-Fâtihah… ***
Gus Loh di Mata Kita 34 Dakwah Cinta ala Gus Loh Oleh: Kiai Ali Asmungi Persahabatan saya dengan beliau sudah cukup lama, sebelum saya menjadi Ketua Lembaga Dakwah atau LDNU Trenggalek. Kami pernah seperjuangan di salah satu organisasi beladiri pencak silat. Berawal dari situlah, saya mengenal siapa beliau: pribadi yang ramah, cerdas, berani tapi tetap santun. Dan yang membuat saya kagum, seperti yang saya kenal, beliau mempunyai jiwa petualang. Tetapi bukannya berpetualang umumnya anak muda zaman sekarang. Beliau berpetualang dalam thalabil 'ilmi. Bahkan bisa dikatakan, tiada hari dan waktu kecuali urusan ilmu. Karena besarnya himmah, tidak jarang beliau kecapekan, tapi tidak beliau hiraukan, bahkan tetap semangat dan tak kenal lelah. Nah... dari persahabatan kami itu, sekitar tahun 2005, kami jarang sekali ketemu, karena saya masih mondok di salah satu padepokan beladiri. Tentang bagaimana keadaan dan di mana keberadaan beliau, saya hanya mendapat kabar dari teman-teman. Tiba-tiba tanpa saya berharap dan bermimpi, setelah konfercab NU Trenggalek, ada salah satu utusan datang ke rumah saya. Utusan tersebut matur kalau disuruh Gus Loh, agar saya sowan kepada beliau. Esoknya saya sowan. Hemmmm... saya kaget (hampir lupa) melihat beliau. Karena, ketika dulu kami semasa saling kenal, kami sama-sama berambut gondrong. Eh ternyata, beliau sudah rapi, dan yang
Gus Loh di Mata Kita 35 membuat saya kagum, beliau tampak lebih dewasa. Dan yang tidak berubah dari beliau adalah punya kepribadian yang menarik, dan memiliki jiwa penyayang. Dari sini lah, kami seakan reuni setelah lama tidak bertemu. Setelah cukup lama kami berbincang dan bercerita perjalanan masing-masing, akhirnya beliau mengutarakan maksud nimbali (memanggil) saya untuk sowan. Beliau dhawuh: "Pak, saiki wis wayahé, ayo bareng-bareng berjuang lan khidmah neng NU (Pak, sekarang sudah saatnya, mari bersama-sama berjuang dan berkhidmah di NU).” Berawal dari situ, beliau banyak memberi saya ilmu tentang ke-NU-an. Dari cara penyampaiannya yang mudah diterima, tidak neka-neka dan tidak berbelit-belit (Jw: ndakikndakik), membuat hati saya mantap dan yakin. Saya menerima amanah sebagai ketua PC LDNU Trenggalek. Sejak dilantik menjadi ketua PC LDNU Trenggalek, persahabatan kami semakin erat. Selain pertemuanpertemuan secara formal di kantor PCNU, beberapa kali saya ndhèrèkné (mengawal) undangan ke Kantor PWNU Jatim dan ikut Muktamar NU di Lampung. Hampir tiap hari saya berkomunikasi lewat media sosial. Bahkan tiga malam (lewat tengah malam) sebelum beliau gerah (sakit), dan sesering mungkin saya sowan langsung. Dan kalau sudah jagongan (berbincang) sampai tengah malam, sambil menikmati hobi kami, yaitu ngopi sama merokok. Pernah juga ketika beliau capek, minta pijat sambil matur (bilang): "Pak, sampéyan kan rodok dhukun, tulung sampéyan pijet”. Sambil sama-sama
Gus Loh di Mata Kita 36 melepas tawa, saya menjalankan perintah beliau layaknya dhukun, hehe. Pokoknya, kalau sudah bersama beliau, semua masalah cair dan tercerahkan. Pembawaan beliau yang nyantai, dan dengan senyumnya yang khas namun penuh arti. Dan yang paling mendalam, tidak lepas dari kata mahabbah atau cinta. Dengan cinta ini pula, selalu beliau gaungkan kepada teman-teman pengurus NU. Cinta pada para masyayikh, pada organisasi, pada sesama pengurus, dan kepada umat. Dan kata cinta ini benar-benar tertanam dalam hati saya yang terdalam. Karena sesungguhnya, kita berasal dari Sang Mahacinta, hidup bersama cinta, dan akan kembali ke hadirat Sang Mahacinta pula. Dhawuh (cinta) beliau ini lah yang menjadi pegangan dan metode dakwah saya selama ini. Karena Islam akan mudah diterima, mendamaikan, dan menentramkan jiwa jika disampaikan dengan cinta dan kasih sayang. Dan inilah yang dinamakan dengan Islam rahmatan lil 'âlamîn. Sugeng tindak, guruku, saudaraku, dan sahabatku. Surga Allah menantimu. Baru Terasa Kalau Sudah Tiada Terdengar seperti lirik sebuah lagu. Inilah gambaran situasi warga NU, khususnya para punggawa PCNU Kabupaten Trenggalek saat ini, setelah kepergian beliau (Gus Loh). Namanya manusia, pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Namun, sosok Gus Loh sangat mewarnai NU
Gus Loh di Mata Kita 37 di Trenggalek. Bahkan, saya yakin, di luar kaum nahdliyyin pun terasa. Karena setahu saya, sosok beliau dikenal oleh kalangan luas. Terutama di kalangan kaum muda. Saya mengenal beliau. Jiwa mudanya masih membara, terutama dalam hal berdakwah. Kepribadian beliau yang menarik membuat simpati para muda. Sikap beliau yang mengayomi, merangkul, dan penyayang membuat orangorang di sekitarnya terasa nyaman dan terlindungi. Dapat saya katakan, beliau adalah motivator bagi semua kalangan. Ide-idenya selalu cemerlang, dan kecerdasannya begitu tampak dari cara beliau berbicara, cepat mengambil sikap sekaligus solusi. Bahasanya yang lugas dan tangkas (istilah Jawanya: dhasdhes) menunjukkan hati dan pikirannya selaras, dan semua tampak dari perilaku beliau yang nyantai, tegas, dan berani, namun tetap tetap menjaga norma. Sangat relevan dengan pesan beliau di setiap acara apa saja: jaga adab atau tawaduk. Saya, dan kita, sangat kehilangan serta merindukan seorang Gus Loh, sosok penyayang dan pengayom. Wahai Dzat Yang Mahahaq dan Mahacinta, saya menyaksikan Gus Loh adalah orang baik. Terimalah sowan beliau sebagai hambaMu yang salih. Dan dengan rahmatMu, jadikan beliau kekasihMu. Amin. ***
Gus Loh di Mata Kita 38 Mengenang Macan Trenggalek, KH Fatchulloh Sholeh Oleh: Priyo Pambudi Utomo Tanggal 5 oktober 2022 saat saya sedang ada tugas di lapangan dengan kondisi daerah sulit sinyal, tiba-tiba ada WA masuk. “Mas, ...” Pesan dari Mahatir, seorang sahabat lama di pendampingan yang sekarang menjadi staf Mas Emil, Wakil Gubernur Jatim. Saya mencoba menjawab pesan, tapi pending. Gelisah tiba-tiba menyergap, karena saya tahu jika Mahatir sudah japri, berarti ada sesuatu yang harus dibicarakan/diskusikan. Segera saya meluncur ke tempat yang diperkirakan banyak sinyal. Tak berapa lama, hape saya notifikasinya berbunyi tanda pesan-pesan WA, baik grup maupun pribadi, mulai masuk. Sepeda motor berhenti dan hape segera saya keluarkan dari saku jaket. “Innâlillâhi wainnâilaihi râjiûn, KH Fatchulloh Sholeh nembé kapundhut sowan dhumateng ngarsané Allah Swt... nyuwun ziyadah doa kagem beliau....” Lemas seketika, saya tiba-tiba bingung tak tahu harus bagaimana walaupun sejak awal tahu bahwa KH Fatchulloh
Gus Loh di Mata Kita 39 atau yang biasa akrab disebut Gus Loh masuk RS beberapa waktu lalu karena serangan stroke. Perkenalan saya dengan Gus Loh sebenarnya belum beberapa lama, karena saya sendiri merasa bukan apple to apple dengan beliau. Apalagi pendalaman saya tentang dogma bisa dibilang masih bau kencur atau level terendah. Sebagai mantan ketua GP Ansor era 2000-an yang tersohor sehingga mendapat julukan Macan Trenggalek hingga beliau menjabat ketua NU di bumi Menaksopal, jelas bukan bandingan saya yang kebetulan hanya berprofesi sebagai penjual ikan hias dan akuarium. Tetapi yang terjadi justru di luar ekspektasi saya yang sering memposisikan diri sebagai rakyat jelata saat beliau hadir pada acara Halal Bihalal IKA PMII Trenggalek tahun 2019. Beliau mendekati saya, dan setengah bercanda menegur, “Saya sudah lama mengamati Pak Priyo saat ada acara-acara PMII….” Kebetulan saya adalah alumni PMII Jember yang sering diajak kembali oleh aktivis-aktivis muda untuk ngumpul dan diskusi ringan. Di acara tersebut Gus Loh juga hadir, tetapi saya selalu berusaha jaga jarak dengan beliau. Entahlah, seringkali perasaan insecure saya muncul dan tidak pede untuk mendekat dengan orang-orang besar. Ketika Gus Loh menegur saya pada acara Halal Bihalal tersebut, memerah muka saya. Jujur tidak mengira jika piyantun sekaliber beliau mau mengamati sepak terjang saya yang merupakan remah-remah dalam dunia pergerakan.
Gus Loh di Mata Kita 40 Sejak saat itu, beliau tiba-tiba terasa dekat dengan hati saya. Apalagi beliau banyak memberikan surprise (kejutan) seperti akun Facebook beliau yang tiba-tiba meng-add akun saya. Dalam hati saya dengan perasaan tidak menentu malah justru bertanya, apa pantas saya berteman dengan beliau walaupun hanya dalam dunia maya? Mata saya mendadak perih sembari jari jemari gemetar mengonfirmasi pertemanan dengan beliau. Sungguh orang besar yang sangat bersahabat, bersahaja, dan egaliter. Kejutan selanjutnya adalah saat menghadiri resepsi pernikahan putri dari Ibu Khofifah Indar Parawansa di Surabaya. Saat bertemu di hotel tempat resepsi, beliau mengajak foto bersama dan meminta saya untuk mengirimkan gambarnya ke nomor WA beliau. Dan itu merupakan awal saya selalu mengikuti story WA yang beliau upload hampir tiap hari yang berisikan pesanpesan bijak dan sesekali menukil riwayat-riwayat para sufi dan ahli surga. Sungguh itu merupakan asupan ilmu yang sangat berharga bagi saya dan sangat sayang jika melewatkannya. Dan selanjutnya, ada lagi pertemuan demi pertemuan yang semakin meyakinkan diri saya bahwa beliau adalah betul-betul sesosok panutan yang semakin langka di negeri ini. Sikapnya yang luwes dalam menghadapi segala lapisan masyarakat, juga cara beliau menyelesaikan kasus-kasus SARA yang sempat marak dengan sikap asah, asih, asuh,
Gus Loh di Mata Kita 41 tanpa meninggalkan syiar agama, jelas sangat membuat nyaman bagi semuanya. Bahkan dalam WAG Pergerakan pun, saya menilai beliau bukan tipe jaim tapi jelas merupakan model pemimpin yang selalu merangkul semuanya dalam menyelesaikan konflik, baik di tingkat alumni, organisasi, maupun masyarakat. Kalimat-kalimat petuah yang mudah dipahami, menghindari konfrontasi ketika suasana memanas, dan selalu menasihati saat semuanya sudah kembali cooling down, menjadi magnet tersendiri bagi kekaguman saya terhadap sosok beliau yang karismatik. Februari 2022 (tanggalnya saya lupa) merupakan pertemuan secara fisik yang terakhir dengan beliau. Saat itu, saya bersama dengan teman pendamping sosial dan juga pendamping desa sedang mengadakan pertemuan rutin di salah satu tempat destinasi wisata yang baru dibangun di daerah Malasan, Durenan, Trenggalek. Tanpa dinyana, beliau dan rombongan kecil juga nampak hadir di tempat tersebut menikmati panorama khas suasana daerah terkenal di seberang sana. Saya dan mas Tri Andoko mencoba menghampiri beliau untuk bersalaman dan sekaligus penghormatan. Gus Loh, seperti biasa, selalu memberi kejutan setiap bertemu, bahkan dengan sengaja merangkul kami berdua saat sesi pemotretan. Canggung, saya dan Tri Andoko karena seperti santri yang suul adab. Tapi begitulah beliau yang selalu tidak mau menjaga jarak dengan kami karena menurut beliau, semua
Gus Loh di Mata Kita 42 adalah sama. Yang membedakan adalah nanti ketika dimintai pertanggungjawaban terkait amal baik saat masih hidup. Menangis rasanya jika teringat momen kebersamaan saat itu. Semoga Allah Swt menempatkan beliau di jannah-Nya bersama para ahli surga yang lainnya. Saya tak sanggup lagi berkata-kata. Alfâtihah… ***
Gus Loh di Mata Kita 43 KH Fatchulloh Sholeh, Sosok Pengganti Ayah Oleh: Madchan Jazuli “Ojo ndang sugéh dhisék, nikmati prosès-prosès. Ojo néng luar negeri”. Kalimat itu yang masih terngiang-ngiang saat sowan terakhir sekitar satu bulan yang lalu. Beliau mampu menerka-nerka mata batinku dan istriku. Mengenal KH Fatkhulloh Sholeh kurang etis sebenarnya jika harus menggambarkan sosok kiai kharismatik berusia 50 tahun. Mengapa? Ya karena pribadi baru hitungan bulan. Tapi tak apalah. Secuil coretan ini minimal mampu mengungkapkan waktu yang sebentar memiliki sosok bapak, sekaligus seperti sahabat yang menjadi tempat curhat. Saat matahari terik di atas bumi, tepat 21 Maret 2021 pukul 12.10 WIB, santri mbeling menghubungi beliau langsung lewat Whatsapp. "Assalamualaikum Gus, pangapunten. Kulo Jazuli saking Karanganom. Menawi mboten repot, kulo wawancara by phone nopo saget? Terkait kenangan panjenengan sebagi Ketua PCNU Kab. Trenggalek terhadap Almaghfurlah KH Cholil Madjid," chat-ku kepada beliau. "Kulo masih acara..mgkin satu jam lgi," balas beliau. Setelah waktu ditentukan, tak lama chat-ku lagi langsung menyetujui untuk dihubungi via telepon. Kesan pertama, langsung hati ini tak menyangka secepat itu Gus Loh menyambutku penuh ramah. Tanpa basa-basi,
Gus Loh di Mata Kita 44 atau seribu alasan apalah tokoh besar ketika dihubungi via Whatsapp—meski hanya by phone. Jadilah berita pertamaku: KH Cholil Madjid Wafat Ketua NU Trenggalek: Beliau Sosok Pengayom (https://jatim.nu.or.id/amp/matraman/kh-cholil-madjidwafat--ketua-nu-trenggalek--beliau-sosok-pengayom-146JR). Praktis ini tulisan pertama, sebagai arsip digital. Sowan kedua. Saat penulis masih aktif di Kota Malang, bertepatan ada acara di Trenggalek. Spontanitas: "Mumpung pulang dua hari, dan posisi di kota, sekalian ah sowan". Ada rasa ragu. Karena prèjèngan-ku (tampilanku) seperti preman: celana jeans, kaos oblong, dan jaket hitam. Tapi ada 'azm kuat, "Kapan lagi sowan ke Gus Loh? Wawancara by phone terus apa ya ndak su'ul adab?" Bismilah. Melangkahkan kaki sowan, masuk ruang depan sedikit ragu. Kakiku seperti terbebani berat. Tampak dari celah tirai, santri putri mengintip. Seperti ingin mencecar. Dinding pun ikut mencibir. Dengan mematung selepas salam, tak lama ada abdi ndalem, menanyakan. Akhirnya di-aturkan ke beliau. Beberapa menit, beliau menemui di ruang tamu. Tangannya langung kucium menginginkan berkah. Pertama yang aku lakukan memperkenalkan diri. Kedua, meminta maaf atas kelancangan sebelumnya: wawancara by phone. Gus Loh hanya menjawab santai dan ingin tahu lebih banyak. Hingga obrolan menjadi cair.
Gus Loh di Mata Kita 45 Lanjut ke kesempatan berikutnya. Banyak momen yang ingin saya sampaikan kepada beliau. Beberapa liputan yang pernah saya konfirmasi ke Gus Loh diantaranya: Sambut Satu Abad Ketua NU Trenggalek Ajak Adaptasi dengan Zaman (https://jatim.nu.or.id/read/sambut-satu-abad--ketua-nutrenggalek-ajak-adaptasi-dengan-zaman). Lalu pas ramai-ramainya pencegahan Covid-19 dengan vaksin, sebagai herd immunity: Vaksinasi Door to Door NU Trenggalek Minta Lebih Humanis (https://jatim.nu.or.id/read/vaksinasi-door-to-door--nutrenggalek-minta-lebih-humanis). Lanjut ke titipan rilis dari salah satu senior IPNU Trenggalek, pas ada giat di pondok Gus Loh: Ketua NU Trenggalek Ingin Pesantren Dikelola Berstandar Kesehatan (https://jatim.nu.or.id/read/ketua-nu-trenggalek-inginpesantren- dikelola-berstandar-kesehatan). Yang terakhir seputar peringatan Satu Abad NU yang dipusatkan di Ponorogo. Berhubung bersebelahan dengan Trenggalek, tak pelak banyak nahdliyin yang ikut berpartisipasi. Termasuk instruksi agar setiap MWCNU dan Ranting untuk hadir, dengan tulisan: PCNU Trenggalek Siap Berangkatkan Ribuan Kader di Mujahadah Kubro (https://jatim.nu.or.id/matraman/pcnu-trenggalek-siapberangkatkan-ribuan-kader-di-mujahadah-kubro-B0ZDp)/ Tepat 28 Agustus 2022, pascanikah, saya belum pernah mengajak istri sowan ke Gus Loh.
Gus Loh di Mata Kita 46 “Assalamu'alaikum. Mangke dalu panjenengan free dateng dalem antawis jam pinten Gus? Dalem kepingin sowan.” "Kulo di rumah..," balas Gus Loh. Masuk ke ndalem seperti biasa, aura adem. Beberapa santri sudah siap di depan ndalem yang juga digunakan untuk taklim. Ternyata di dalam sudah ada Gus Loh dan beberapa tamu. Maksud sowan kuhaturkan satu-persatu ke Gus Loh. Selain silaturahmi, juga doa restu manten anyar. Beliau dengan gaya nyentrik, menangkap dengan seksama maksud tujuanku. Tanpa kuutarakan, tersampaikan. “Ojo ndang sugéh dhisék, nikmati prosès-prosès. Ojo néng luar negeri”. Kalimat itu yang masih terngiang-ngiang saat sowan terakhir sekitar satu bulan yang lalu. Beliau mampu menerka-nerka mata batinku dan istriku. Saat itulah, beliau sudah kuanggap sebagai pengganti ayah. Selama ini akhirnya kutemukan semangat baru. Selanjutnya, ada kabar dan baru saja dihubungi Ketua Trenggalek Islamic Student Community (Triscom) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Bahwa Gedung PCNU Trenggalek mau dipakai untuk acara seminar. Tanggal sudah ditentukan. "Wah, ini. Kok ndak koordinasi dulu," gumamku.