44 seseorang secara harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang timbul akibat respons tersebut. Skinner juga mengemukakan dengan menggunakan perubahanperubahan mental sebagai alat menjelaskan tingkah laku yang hanya menambah rumitnya masalah, sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan.22 4.3 Ciri-Ciri Teori Belajar Behavioristik Teori belajar behavioristik melihat semua tingkah laku manusia dapat ditelusuri dari bentuk refleks. Dalam psikologi teori belajar behavioristik disebut juga dengan teori pembelajaran yang didasarkan pada tingkah laku yang diperoleh dari pengkondisian lingkungan. Pengkondisian terjadi melalui interaksi dengan lingkungan. Hal ini dilihat secara sistematis dapat diamati dengan tidak mempertimbangkan keseluruhan keadaan mental. Menurut Ahmadi, teori belajar behavioristik mempunyai ciri-ciri, yaitu: 1) Aliran ini mempelajari perbuatan manusia bukan dari kesadarannya, melainkan mengamati perbuatan dan tingkah laku yang berdasarkan kenyataan. Pengalaman- pengalaman batin di kesampingkan serta gerakgerak pada badan yang dipelajari. Oleh sebab itu, behaviorisme adalah ilmu jiwa tanpa jiwa. 2) segala perbuatan dikembalikan kepada refleks. Behaviorisme mencari unsur-unsur yang paling sederhana yakni perbuatan-perbuatan bukan kesadaran yang dinamakan refleks. Refleks adalah reaksi yang tidak disadari terhadap suatu pengarang. Manusia dianggap sesuatu yang kompleks refleks atau suatu mesin. 3) behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu dilahirkan semua orang adalah sama. Menurut behaviorisme pendidikan adalah maha kuasa, 22 Novi Irwan Nahar,”Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran”. Nusantar ( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ). Vol.1 (2016).h.70-71.
45 manusia hanya makhluk yang berkembang karena kebiasaan-kebiasaan, dan pendidikan dapat mempengaruhi reflek keinginan hati.23 4.4 Analisis Tentang Teori Behavioristik Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek. Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh 23 Novi Irwan Nahar,”Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran”. Nusantar ( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ). Vol.1 (2016).h.67-68.
46 yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.24 Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu: a. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara. b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama. c. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya. Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat 24 Asfar, Iqbal, Mercy, Teori Behaviorisme. (Makassar : UNM, 2019).h.17.
47 positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.25 4.5 Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran Teori belajar behavioristik menekankan terbentuknya perilaku terlihat sebagai hasil belajar.Teori belajar behavioristik dengan model hubungan stimulus respons, menekankan siswa yang belajar sebagai individu yang pasif. Munculnya perilaku siswa yang kuat apabila diberikan penguatan dan akan menghilang jika dikenai hukuman. Teori belajar behavioristik berpengaruh terhadap masalah belajar, karena belajar ditafsirkan sebagai latihan-latihan untuk pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Dengan memberikan rangsangan, siswa akan bereaksi dan menanggapi rangsangan tersebut. Hubungan stimulus-respons menimbulkan kebiasaan-kebiasaan otomatis belajar. Dengan demikian kelakuan anak terdiri atas respons-respons tertentu terhadap stimulus-stimulus tertentu. Penerapan teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa komponen seperti: tujuan pembelajaran, materi pelajaran, karakteristik siswa, media, fasilitas pembelajaran, lingkungan, dan penguatan. Teori belajar behavioristik cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir. Pandangan teori belajar behavioristik merupakan proses pembentukan, yaitu membawa siswa untuk mencapai target tertentu, sehingga menjadikan siswa tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Pembelajaran yang dirancang pada teori belajar behavioristik memandang pengetahuan adalah objektif, sehingga belajar merupakan perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan kepada siswa. Oleh sebab itu siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang diterangkan oleh guru itulah yang harus dipahami oleh siswa. Hal yang paling penting dalam teori belajar behavioristik adalah masukan dan keluaran yang berupa respons. Menurut teori ini, antara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan diukur. Dengan demikian yang dapat diamati hanyalah stimulus 25 Asfar, Iqbal, Mercy, Teori Behaviorisme. (Makassar : UNM, 2019).h.17
48 dan respons. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan oleh guru dan apa saja yang dihasilkan oleh siswa semuanya harus dapat diamati dan diukur yang bertujuan untuk melihat terjadinya perubahan tingkah laku. Faktor lain yang penting dalam teori belajar behavioristik adalah factor penguatan. Di lihat dari pengertiannya penguatan adalah segala sesuatu yang dapat memperkuat timbulnya respons. Pandangan behavioristik kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun siswa memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan behavioristik tidak dapat menjelaskan dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relative sama. Di lihat dari kemampuannya, kedua anak tersebut mempunyai perilaku dan tanggapan berbeda dalam memahami suatu pelajaran.Oleh sebab itu teori belajar behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respons yang dapat diamati. Teori belajar behavioristik tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur- unsur yang diamati. Teori belajar behavioristik menekankan pada perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon, sedangkan belajar sebagai aktivitas yang menuntut siswa mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Menurut Mukinan, beberapa prinsip tersebut, yaitu: (1) teori belajar behavioristik beranggapan yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar jika yang bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku, (2) teori ini beranggapan yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus dan respons, karena hal ini yang dapat diamati, sedangkan apa yang terjadi dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati, dan (3) penguatan, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons, merupakan faktor penting dalam belajar. Pendidikan berupaya mengembangkan perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Pendidik berupaya agar dapat memahami peserta didik yang beranjak dewasa. Perkembangan perilaku merupakan objek pengamatan dari aliran- aliran behaviorisme. Perilaku dapat berupasikap, ucapan, dan tindakan seseorang sehingga perilaku ini merupakan bagian dari psikologi.
49 Oleh sebab itu, psikologi pendidikan mengkaji masalah yang memengaruhi perilaku orang ataupun kelompok dalam proses belajar.26 26 Novi Irwan Nahar,”Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran”...h.72.
50 DAFTAR PUSTAKA Asfar, Iqbal, Mercy. (2019). Teori Behaviorisme. Makassar: UNM. Bariyah, Anselmus, Susilaningsih. ( 2018 ). Studi Kasus Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Menumbuhkembangkan Perilaku Peduli Lingkungan Hidup Siswa Di SMKN 6 Malang. JKTP Vol. 1. No. 2. Elvia, F. R. (2020). Implementasi Teori Belajar Behavioristik Dalam Pembelajaran. Jurnal Serunai Administrasi Pendidikan , Vol. 9. No. 1. Novi, I. N. (2016). Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran. Nusantara ( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ), Vol. 1.
51 BAB V TEORI BELAJAR KOGNITIF 5.1 Pengertian Teori Belajar Kognitif Kognitivisme terkait kognisi (knowing) yaitu kegiatan untuk mengetahui sesuatu yang mencakup perolehan, pengorganisasian dan pemakaian pengetahuan. Artinya, kognisi fokus pada memori, atensi, persepsi, bahasa, rasio, pemecahan masalah dan kreativitas serta peran struktur mental atau pengorganisasiannya dalam proses mengetahui sesuatu27 . Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti sesuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempraktikkan sesuatu untuk mencapai suatutujuan tertentu. Para psikologi kognitif berkeyakinan bahwapengetahuan yang dimiliki sebelumnya dapat menentukankeberhasilan mempelajari informasi/pengetahuan yang baru.28 Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya . Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perceptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkahlaku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Perubahan Belajar merupakan persepsi 27 Ekawati, M. (2019). Teori belajar menurut aliran psikologi kognitif serta implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran. E-TECH: jurnal ilmiah teknologi pendidikan, 7(2),hal 2 28 Yuberti. (2014). Teori pembelajaran dan pengembangan bahan ajar dalam pendidikan. Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja (AURA). Hal 35
52 dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak.29 5.2 Tokoh-Tokoh Teori Belajar Kognitif 1. Jean Piaget (1896-1980) Jean Piaget mengemukakan bahwa proses belajar akan terjadi apabila ada aktivitas individu berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan dan perkembangan individu merupakan suatu proses sosial. Individutidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada di antara individu dengan lingkungan fisiknya. Interaksi Individu dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam.Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, individu yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif. Piaget mengemukakan bahwa, perkembangan kognitif memiliki peran yang sangat penting dalam proses belajar. Perkembangan kognitif pada dasarnya merupakan proses mental. Proses mental tersebut pada hakikatnya merupakan perkembangan kemampuan penalaran logis (Development of ability to respon logically). Bagi Piaget, berpikir dalam proses mental tersebut jauh lebih penting dari sekedar mengerti. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuan kognitifnya.30 Piaget membagi proses belajar kedalam tiga tahapan yaitu 1) Asimilasi, yaitu : Proses pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yangsudah ada. Contoh : seorang siswa yang mengetahui prinsip-prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip 29 Nurhadi. (2020).Teori kognitivisme serta aplikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Edukasi dan sains, 2(1) hal 80-81 30 Sutarto, (2017). Teori kognitif dan implikasinya dalam pembelajaran.Islamic counseling, 1(2). Hal 5
53 perkalian, maka terjadilah proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dipahami oleh anak) dengan prinsip perkalian (informasi baru yang akan dipahami anak) 2) Akomodasi,yaitu :Proses penyesuaian antara struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Penerapan proses perkalian dalam situasi yang lebih spesifik Contohnya : siswa ditelah mengetahui prinsip perkalian dan gurunya memberikan sebuah soal perkalian. 3) Equilibrasi. Yaitu : Proses penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Hal ini sebagai penyeimbang agar siswa dapat terus berkembang dan menambah ilmunya. Tetapi sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses penyeimbang. Tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur, sedangkan dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai informasi yang diterima dengan urutan yang baik, jernih, dan logis .31 Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harusdisesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Dalam konteks ini terdapat empat tahap yaitu Tahap sensori motor (anak usia 1,5 – 2 tahun) Tahap praoperasional (2-8 tahun) Tahap operasional konkrit (usia 7/8 tahun sampai 12/14 tahun) Tahap operasional formal (14 tahun atau lebih). Proses belajar yang dialami oleh seorang anak berbeda pada tahap satu dengan tahap yang lainnya, secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin teratur dan juga semakin abstrak cara berpikirnya. Karena itu seharusnya guru memahami tahap-tahap perkembangan kognitifanak didiknya, serta memberikan isi, metode, media pembelajaran sesuai dengan tahap-tahap tersebut.32 31 Nurhadi. (2020).Teori kognitivisme serta aplikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Edukasi dan sains, 2(1) hal 84-85 32 Yuberti. (2014). Teori pembelajaran dan pengembangan bahan ajar dalam pendidikan. Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja (AURA). Hal 38
54 2. J. S Bruner ( Belajar Penemuan) Teori kognisi J. S Bruner menekankan pada cara individu mengorganisasikan apa yang telah dialami dan dipelajari, sehingga individu mampu menemukan dan mengembangkan sendiri konsep, teoriteori dan prinsip-prinsip melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya.Untuk meningkatkan proses belajar, menurut Bruner diperlukan lingkungan yang dinamakan “discovery learning envoirment” atau lingkungan yang mendukung individu untuk melakukan eksplorasi dan penemuan-penemuan baru.33 Belajar penemuan (discovery learning) merupakan salah satu model pembelajaran atau belajar kognitif yang dikembangkan oleh Bruner. Menurut Bruner, belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan yang terjadi dalam proses belajar. Guru harus menciptakan situasi belajaryang problematis, menstimulus siswa dengan pertanyaanpertanyaan, mencari jawaban sendiri dan melakukan eksperimen. Bentuk lain dari belajar penemuan adalah guru menyajikan contoh-contoh dan siswa bekerja dengan contoh tersebut sampai dapat menemukan sendiri dan melakukaneksperiman.Salah satu model belajar penemuan yang diterapkan di Indonesia adalah konsep yang kita kenal dengan Cara Belajar Siswa Aktif atau CBSA. Dengan cara seperti ini, pengetahuan yang diperoleh oleh individu lebih bermakna baginya, lebih mudah diingat dan lebih mudah digunakan dalam pemecahan masalah. Dasar pemikiran teori ini memandang bahwa manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan, belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya.34 33 Sutarto, (2017). Teori kognitif dan implikasinya dalam pembelajaran. Islamic counseling, 1(2). Hal 9 34 Sutarto, (2017). Teori kognitif dan implikasinya dalam pembelajaran. Islamic counseling, 1(2). Hal9-10
55 Menurut Bruner, belajar pada dasarnya merupakan proses kognitif yang terjadi dalam diri seseorang. Ada 3 proses kognitif dalam belajar, yaitu: a. Proses pemerolehan informasi baru. Perolehan informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan/melihat audiovisual dan lain-lain. b. Proses mentransformasikan informasi yang diterima. Proses transformasi yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain. c. Menguji atau mengevaluasi relevansi dan ketepatan pengetahuan. Tahap selanjutnya adalah menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan atau informasi yang telah diterima tersebut atau mengetahui apakah hasil transformasi pada tahap kedua benar atau tidak. 3. Ausubel (Belajar Bermakna) Menurut Ausubel belajar haruslah bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan secara non arbitrer dan berhubungan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Ausubel seorang psikologis kognitif, ia mengemukakan bahwa yang perlu diperhatikan seorang guru ialah strategi mengajarnya. Contoh pelajaran berhitung bisa menjadi tidak berhasil jika siswa hanya disuruh menghafal formula-formula tanpa mengetahui arti formula-formula itu. Sebaliknya bisa lebih bermakna jika murid diajari fungsi dan arti dari formula-formula tersebut. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi belajar bermakna, yaitu struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasanpengetahuan.Semakin bagus dan stabil struktur kognitif serta semakin jelas pengetahuan atau informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif, maka akan semakin mudah terjadinya proses belajar bermakna, begitu juga sebaliknya.
56 Agar pembelajaran menjadi bermakna, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh guru, yaitu : a. Pengaturan awal (Advance organizer) Pengaturan awal ini bertujuan untuk mengarahkan siswa ke materi yang akan dipelajari dan menolong siswa mengaitkan dengan materi yang telah dipelajari. b. Diferensial progresif yaitu pengembangan dan elaborasi konsep-konsep yang tersubsumsi. Cara yang paling baik adalah bila unsur-unsur yang paling umum dan inklusif diperkenalkan terlebih dahulu, kemudian diberikan hal-hal yang lebih mendetail. Hal ini misalnya, dapat dilakukan peta konsep. d. Belajar super ordinat yaitu suatu proses belajar yang merangsang terjadinya perubahan struktur kognitif ke arah definisi sehingga menemukan hal-hal yang baru. e. Penyesuaian integrative yaitu membandingkan, mempertentangkan dan menghubungkan konsep baru dengan konsep sebelumnya, atau dengan konsepkonsep yang lebih tinggi lainnya.35 4. Gestalt Menurut teori Gestalt belajar adalah proses pengembangan yang didasarkan pada pemahaman atau insight.Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian dalam suatu situasi permasalahan. Teori Gestalt menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku. Teori belajar Gestalt pada dasarnya sebagai usaha untuk memperbaiki proses belajar dengan Rote learning dengan pengertian bukan menghafal.Dalam belajar, menurut teori Gestalt, yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat. 35 Sutarto, (2017). Teori kognitif dan implikasinya dalam pembelajaran. Islamic counseling, 1(2). Hal 17
57 Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan sejumlah kesan. Belajar dengan insight adalah sebagai berikut : a) Insight tergantung dari kemampuan dasar; b) Insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan; c) Insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa, sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati; d) Insight adalah hal yang harus dicari, tidak dapat jatuh dari langit; e) Belajar dengan insight dapat diulangi; f) Insight sekali didapat dapat digunakan untuk menghadapi situasisituasi baru. Keterlibatan seseorang secara langsung dalam situasi belajar sangat penting. Keterlibatan dalam belajar akan menghasilkanpemahaman (insght) yang dapat membantu individu dalam proses belajar. Dengan kata lain, yang terpenting dalam belajar menurut teori Gestalt adalah dimengertinya apa yang dipelajari oleh individu tersebut. Ada beberapa prinsip dalam belajar menurut teori Gestalt, yaitu : a) Tujuan belajar adalah untuk mendapatkan pemahaman atau insight b) Belajar dimulai dari keseluruhan. Keseluruhan yang menjadi permulaan, baru menuju ke bagian-bagian. Keseluruhan memberikan makna kepada bagian-bagian. c) Individuasi bagian-bagian dari keseluruhan. Mula-mula anak melihat sesuatu sebagai keseluruhan. Bagian-bagian dilihat dalam hubungan fungsional dengan keseluruhan. Tetapi lambat laun ia mengadakan diferensiasi bagian-bagian itu dari keseluruhan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil atau kesatuan yang lebih kecil.
58 d) Individu belajar dengan menggunakan pemahaman atau insight. Memahami sesuatu dapat dilakukan dengan melihat hubunganhubungan antara berbagai faktor atau unsur dalam situasi yang problematik, dan kemampuan menghubungkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan sebelumnya.36 5.3 Implikasi Teori Belajar Kognitif Dalam Pembelajaran Implikasi teori psikologi kognitif dalam proses pembelajaran adalah 1. Dorong siswa untuk berpikir tentang materi pelajaran dengan cara yang akan membantu mereka mengingatnya. Contoh ketika mengenalkan konsep mamalia, minta siswa untuk memberikan banyak contoh 2. Bantu siswa mengidentifikasi hal-hal yang paling penting bagi mereka untuk dipelajari. Contoh berikan pertanyaan kepada siswa yang harus mereka coba jawab sementara mereka membaca buku teks mereka. Masukkan pertanyaan yang meminta mereka menerapkan apa yang mereka baca dalam kehidupan mereka sendiri. 3. Berikan pengalaman yang akan membantu siswa memahami topik-topik yang mereka pelajari. 4. Kaitkan ide-ide baru dengan hal-hal yang telah diketahui dan diyakini siswa tentang dunia. 5. Pertimbangkan kelebihan dan keterbatasan dalam kemampuan pemrosesan kognitif siswa pada tingkat usia berbeda. Contoh Ketika mengajarkan anak-anak TK keterampilan hitung dasar, bantulah rentang perhatian mereka yang pendek dengan memberikan penjelasan verbal yang singkat dan libatkan anak-anak dalam beragam aktivitas berhitung aktif dan langsung. 6. Rencanakan kegiatan-kegiatan kelas yang membuat siswa secara aktif berpikir dan menggunakan mata pelajaran di kelas. Contoh untuk membantu siswa memahami garis lintang dan garis bujur, minta mereka 36Sutarto, (2017). Teori kognitif dan implikasinya dalam pembelajaran. Islamic counseling, 1(2). Hal 20
59 menelusuri jalur sebuah angin topan dengan menggunakan koordinat garis lintang dan garis bujur yang diperoleh dari internet.37 5.4 Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Kognitif Setiap teori pembelajaran pastilah di perbandingkan dengan teori pembelajaran yang lain. Selain itu setiap teori pembelajaran juga melengkapi dan menambah dari kekurangan teori-teori pembelajaran yang telah diungkapkan oleh para ahli sebelumnya.38 Teori pembelajaran kognitif memiliki kelebihan sebagai berikut : a) Menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri; membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah. b) Sebagian besar dalamkurikulum pendidikan negara Indonesia lebih menekankan pada teori kognitif yang mengutamakan pada pengembangan pengetahuan yang dimiliki pada setiap individu. c) Pada metode pembelajaran kognitif pendidik hanya perlu memberikan dasar-dasar dari materi yang diajarkan untuk pengembangan dan kelanjutannya diserahkan pada peserta didik, dan pendidik hanya perlu memantau, dan menjelaskan dari alur pengembangan materi yang telah diberikan. d) Dengan menerapkan teori kognitif ini maka pendidik dapat memaksimalkan ingatan yang dimiliki oleh peserta didik untuk mengingat semua materi-materi yang diberikan karena pada pembelajaran kognitif salah satunya menekankan pada daya ingat peserta didik untuk selalu mengingat akan materi-materi yang telah diberikan. 37 Anidar, J. (2017). Teori belajar menurut aliran kognitif serta implikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 3(2),hal 14 38 Nurhadi. (2020).Teori kognitivisme serta aplikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Edukasi dan sains, 2(1) hal 90
60 e) Menurut para ahli kognitif itu sama artinya dengan kreasi atau pembuatan satu hal baru atau membuat suatuyang baru dari hal yang sudah ada, maka dari itu dalam metode belajar kognitif peserta didik harus lebih bisa mengkreasikan hal-hal baru yang belum ada atau menginovasi hal yang sudah ada menjadi lebih baik lagi. f) Metode kognitif ini mudah untuk diterapkan dan juga telah banyak diterapkan pada pendidikan di Indonesia dalam segala tingkatan. Kekurangan teori belajar kognitif adalah sebagai berikut : a) Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan; sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut; beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas. b) Pada dasarnya teori kognitif ini lebih menekankan pada kemampuan ingatan peserta didik, dan kemampuan ingatan masing-masing peserta didik, sehingga kelemahan yang terjadi di sini adalah selalu menganggap semua peserta didik itu mempunyai kemampuan daya ingat yang sama dan tidak dibeda-bedakan. c) Adakalanya juga dalam metode ini tidak memperhatikan cara peserta didik dalam mengeksplorasi atau mengembangkan pengetahuan dan cara-cara peserta didiknya dalam mencarinya, karena pada dasarnya masing-masing peserta didik memiliki cara yang berbeda-beda. d) Apabila dalam pengajaran hanya menggunakan metode kognitif, maka dipastikan peserta didik tidak akan mengerti sepenuhnya materi yang diberikan. e) Jika dalam sekolah kejuruan hanya menggunakan metode kognitif tanpa adanya metode pembelajaran lain maka peserta didik akan kesulitan dalam praktik kegiatan atau materi. f) Dalam menerapkan metode pembelajaran kognitif perlu diperhatikan kemampuan peserta didik untuk mengembangkan suatu materi yang telah diterimanya.
61 DAFTAR PUSTAKA Anidar, J. (2017). Teori belajar menurut aliran kognitif serta implikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 3(2), 8-16 Ekawati, M. (2019). Teori belajar menurut aliran psikologi kognitif serta implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran. E-TECH: jurnal ilmiah teknologi pendidikan, 7(2), 1-12 Hascan Alpin dan suyadi. (2021). Penerapan Teori Belajar Kognitif Pada Mata Pelajaran PAI Tingkat SMP di SIT Bina Insan Batang Kuis. Jurnal Edumaspul. 5 (2), 138-144 Nurhadi. (2020).Teori kognitivisme serta aplikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Edukasi dan sains, 2(1), 78-92 Sutarto, (2017). Teori kognitif dan implikasinya dalam pembelajaran. Islamic counseling, 1(2), 1-21 Yuberti. (2014). Teori pembelajaran dan pengembangan bahan ajar dalam pendidikan. Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja (AURA)
62 BAB VI TEORI BELAJAR HUMANISTIK 6.1 Pengertian Teori Belajar Humanisik Pada dasarnya kata “Humanistik” merupakan suatu istilah yang mempunyai banyak makna sesuai dengan konteksnya. Misalnya, humanistik dalam wacana keagamaan berarti tidak percaya adanya unsur supranatural atau nilai transendental serta keyakinan manusia tentang kemajua melalui ilmu dan penalaran. Di sisi lain humanistik berarti minat terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang tidak bersifat ketuhanan. Sedangkan humanistik dalam tataran akademik tertuju pada pengetahuan tentang budaya manusia, seperti studi-studi klasik mengenai kebudayaan Yunani dan Roma.39 Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an. Adapun Humanistik memandang manusia sebagai manusia, artinya manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan fitrahfitrah tertentu. Ciri khas teori humanistik adalah berusaha untuk mengamati perilaku seseorang dari sudut si pelaku dan bukan si pengamat. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan, mempertahankan, mengembangkan hidupnya dengan potensipotensi yang dimilikinya.40 Teori humanistik merupakan konsep belajar yang lebih melihat sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi untuk mencari dan menemukan kemampuan dan mengembangkan kemampuan tersebut. Teori belajar humanistik sifatnya sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan dan bertujuan untuk memanusiakan manusia itu sendiri serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. 39 Abd. Qodir, “Teori Belajar Humanistik dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa”. Jurnal Pedagogik, Vol.4 No.2. .(2017).h.191. 40 Asrori, “Psikologi Pendidikan Pendekatan Multidisipliner”.(Purwokerto Selatan: Pena Persada, 2020).h.147
63 Tujuan humanistik dijabarkan sebagai perkembangan aktualisasi diri manusia automomous. Dalam humanisme, belajar adalah proses yang berpusat pada siswa dan dipersonalisasikan, dan peran pendidik adalah sebagai seorang fasilitator.41 Pembelajaran humanistik memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendidikan yang humanistik menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama adalah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antara pribadipribadi dan antar pribadi dan kelompok di dalam komunitas sekolah. Relasi ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh cinta kasih antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta, hati yang penuh pengertian (understanding heart) serta relasi pribadi yang efektif (personal relationship). Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaikbaiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.42 6.2 Tokoh Teori Belajar Humanistik 1. Abraham Maslow Abraham Harold Maslow adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Ia lahir di Brooklyn, New York, USA, pada tanggal 1 April 1908. Orang tuanya 41 Asrori, “Psikologi Pendidikan Pendekatan Multidisipliner”.(Purwokerto Selatan: Pena Persada, 2020).h.147-148 42 Abd. Qodir, “Teori Belajar Humanistik dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa”. Jurnal Pedagogik, Vol.4 No.2. .(2017).h.193
64 adalah imigran berkebangsaan Rusia-Yahudi yang pindah ke Amerika Serikat sebagai pembuat senjata. Abraham Maslow, seorang teoris kepribadian yang realistik, dipandang sebagai bapak spiritual, pengembang teori, dan juru bicara yang paling cakap bagi psikologi humanistik. Terutama pengukuhan Maslow yang gigih atas keunikan dan aktualisasi diri manusialah yang menjadi simbol orientasi humanistik. Maslow menyatakan manusia memiliki kodratnya sendiri yang hakiki, suatu kerangka struktur psikologis yang dapat dipandang dan dibicarakan secara analog dengan struktur fisiknya, yakni bahwa ia memiliki kebutuhan, kapasitas dan kecenderungan yang bersifat genetik, beberapa diantaranya merupakan sifatsifat khas dari seluruh spesies manusia, melintas semua batas kebudayaan, dan beberapa lainnya adalah unik untuk masing-masing individu. Kebutuhankebutuhan ini pada dasarnya baik atau netral dan bukan jahat. Humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang bebas dalam menentukan perkembangan dirinya menjadi manusia yang sehat mental bila ia mendapat kesempatan, sehingga ia dapat berperilaku optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Manusia dianggap sebagai makhluk bermartabat dan bertanggung jawab yang memiliki potensi-potensi yang perlu diusahakan pengaktualisasiannya. Tujuan akhirnya adalah agar individu dapat mengembangkan kemanusiaannya secara penuh. Abraham Maslow mengemukakan hal yang sama dalam teorinya tentang motivasi manusia yang tercantum dalam bukunya Motivation & Personality. Ia mengemukakan bahwa manusia memiliki sejumlah kebutuhan yang terbentuk secara hirarki dari kebutuhan dasar (basic need) sampai kebutuhan meta (meta besic). Maslow memunculkan teori baru yang menghindarkan kekurangan Freud dan Watson. Manusia akan berkembang menjadi pribadi yang utuh kalau dia berhasil mewujudkan bakatnya sebaik-baiknya. Freud berpendapat manusia yang sehat ialah orang yang menyesuaikan dirinya dengan baik.
65 Menurut Maslow bukan adaptasi yang menyelamatkan orang melainkan realisasi potensi. Orang yang hanya mencapai tingksat rata-rata yang sesuai dengan syarat-syarat lingkungan tidak akan menikmati kepuasan orang berani yang sesudah setiap frustasi memberanikan diri mencari tingkat yang tinggi. Menurut Maslow, motivasi manusia diorganisasikan kedalam sebuah hiraki kebutuhan yaitu suatu susunan kebutuhan yang sistematis, suatu kebutuhan dasar harus dipenuhi sebelum kebutuhan dasar lainnya muncul. Kebutuhan ini bersifat instinktif yang mengaktifkan atau mengarahkan perilaku manusia. Meskipun kebutuhan itu bersifat instinktif, namun perilaku yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan tersebut sifatnya dipelajari, sehingga terjadi variasi perilaku dari setiap orang dalam cara memuaskannya.43 Dalam perspektif humanistik (humanistic perspective) menuntut potensi peserta didik dalam proses tumbuh kembang, kebebasan menemukan jalan hidupnya. Humanistic menganggap peserta didik sebagai subjek yang merdeka guna menetapkan tujuan hidup dirinya. Peserta didik dituntun agar memiliki sifat tanggung jawab terhadap kehidupannya dan orang di sekitarnya.44 Pembelajaran humanistik menaruh perhatian bahwa pembelajaran yang pokok yaitu upaya membangun komunikasi dan hubungan individu dengan individu maupun individu dengan kelompok. Edukasi bukan semata-mata memindah khazanah pengetahuan, menempa kecakapan berbahasa para peserta didik, tapi sebagai wujud pertolongan supaya siswa mampu mengaktualisasikan dirinya relevan dengan tujuan pendidikan. Edukasi yang berhasil pada intinya adalah kecakapan menghadirkan makna antara pendidik dengan pembelajar sehingga dapat mencapai tujuan menjadi manusia yang unggul dan bijaksana. Maksudnya ialah menuntun peserta didik bahwa mereka butuh pendidikan karakter. Pendidik memfasilitasi siswa menggali, mengembangkan dan 43 Asrori, “Psikologi Pendidikan Pendekatan Multidisipliner”.(Purwokerto Selatan: Pena Persada, 2020).h.148-149 44 Budi Agus Sumantri, Nurul Ahmad, “Teori belajar Humanistik dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”. Fondatia : Jurnal Pendidikan Dasar.Vol.3.No.2 .(2019).h.6
66 menerapkan kecakapan-kecakapan yang mereka miliki agar bisa memaksimalkan potensinya. Abraham Maslow membagi kebutuhan dasar manusia menjadi lima tingkat, yaitu:45 1) Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) Kebutugan yang paling dasar, paling kuat dan jelas dari antara sekalian keebutuhan manusia adalah kebutuhannya untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhannya akan makanan, minuman, teempat berteduh, seks, tidur dan oksigen. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri dan cinta pertama-tama akan memburu makanan terlebih dahulu. Ia akan mengabaikan atau menekan dulu semua kebutuhan lain sampai kebutuhan fisiologisnya itu terpuaskan. 2) Kebutuhan Rasa Aman (Safety Needs) Seorang anak membutuhkan suasana ketertiban, keserasian atau irama yang teratur. Keadaan-keadaan yang tidak adil, tidak wajar, atau tidak konsisten pada diri orang tua akan secara cepat mendapatkan reaksi dari anak. Ia akan merasa cemas dan tidak aman. Bahkan lebih jauh lagi, bagi seorang anak, kebebasan yang terbatas adalah lebih baik daripada kebebasan yang tak terbatas.46 3) Kebutuhan Untuk Diterima (Social Needs) Sesudah kebutuhan fisiologikal dan rasa aman tercukupi, maka fokus individu mengarah pada kemauan akan mempunyai teman, rasa cinta dan rasa diterima. Sebagai makhluk social, seseorang bahagia bila mereka disukai serta berupaya mencukupi kebutuhan bersosialisasi saat di lingkungan kerja, dengan cara meringankan beban kelompok formal atau kelompok non formal, dan mereka bergotong royong bersama teman setu tim mereka di tempat kerja serta mereka berpartisipasi dalam aktifitas yang dilaksanakan oleh perusahaan dimana mereka bekerja. 45 Asrori, “Psikologi Pendidikan Pendekatan Multidisipliner”......h.149 46 Asrori, “Psikologi Pendidikan Pendekatan Multidisipliner”......h.150
67 4) Kebutuhan Untuk Dihargai (Self Esteem Needs) Pada tingkat selanjutnya dalam teori hierarki kebutuhan, Nampak kebutuhan untuk dihargai, disebut juga kebutuhan “ego”. Kebutuhan tersebut berkaitan dengan keinginan guna mempunyai kesan positif serta mendapat rasa diperhatikan, diakui serta penghargaan dari sesama manusia. Pada pengorganisasian kebutuhan akan penghargaan memperlihatkan dorongan akan pengakuan, responsibilitas tinggi, status tinggi dan rasa akan diakui atas sumbangsih terhadap kelompok. 5) Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self Actualization) Kebutuhan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan akan pemenuhan diri pribadi, termasuk level kebutuhan teratas. Kebutuhan tersebut diantaranya yaitu kebutuhan akan perkembangan bakat dan potensi yang ada pada diri sendiri, memaksimalkan kecakapan diri serta menjadi insan yang unggul. Kebutuhan akan pengaktualisasian diri pribadi oleh kelompok mampu dicukupi dengan memberikan peluang untuk berkembang, tumbuh, berkreasi serta memperoleh pelatihan guna memperoleh tugas yang sesuai dan mendapat keberhasilan.47 Menurut Abraham Maslow “Self-actualization, namely, to the tendency for him to become actualized. This tendency might be hrase as the desire to become more and more what ne idiosyncratically is, to become everything that one is capable of becoming. Artinya bahwa kebutuhan aktualisasi diri adalah kecenderungan seseorang untuk mengerahkan semua kemampuan atau keinginannya secara terus menerus dalam menjadi pribadi yang lebih baik. Meskipun seseorang individu telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan diatas, baik kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan percintaan dan rasa mempunyai, meliputi kebutuhan akan rasa penghargaan, ia masih akan diliputi oleh emosi yang tidak puas. Ketidak puasan ini berasal dari dorongan dirinya yang terdalam, karena merasa ada kualitas atau potensi dirinya 47 Budi Agus Sumantri, Nurul Ahmad, “Teori belajar Humanistik dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”. Fondatia : Jurnal Pendidikan Dasar.Vol.3.No.2 .(2019).h.8
68 yang belum teraktualisasikan. Pada intinya seseorang individu akan dituntut untuk jujur terhadap semua potensi dan sifat yang ada pada dirinya.48 2. Carl Rogers Carl Rogers Carl Ransom Rogers dilahirkan pada tahun 1902 di Oak Park, Illinois, dan wafat pada tahun 1987 di Lajolla, California. Pada masa mudanya, Rogers tidak mempunyai banyak teman sehingga dia lebih banyak menghabiskan waktu-waktunya untuk membaca. Dia akan membaca buku apa saja yang ia ditemui termasuk kamus dan ensiklopedia, meskipun ia sebenarnya sangat menyukai buku-buku petualangan. Ia pernah belajar di bidang agricultural dan sejarah di University of Winconsin. Pada tahun 1928 rogers mendapatkan gelar Master di bidang psikologi dari Universitas Columbia dan kemudian ia mendapatkan gelar Ph.D, di bidang psikologi klinis pada Society for the prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada perhimpunan pencegahan kekerasan terhadap anak) di Rochester, NY. Salah satu ranah ide Rogers masih terus memiliki banyak pengaruh adalah dalam peraihan tujuan. Menetapkan dan meraih tujuan adalah suatu cara manusia untuk mengatur kehidupannya supaya dapat memberikan hasil yang diinginkan dan menambah arti pada kegiatan sehari-hari. Menetapkan tujuan merupakan hal yang mudah, namun menetapkan tujuan yang tepat dapat menjadi lebih sulit dari pada kelihatannya. Dalam pandangan Rogers lingkungan mempengaruhi kecenderungan. Pengalaman dan interpertasi terhadapnya menguatkan atau merintangi usaha bertumbuh. Seiring perkembangan, individu menjadi lebih menyadari diri dan gungsi mereka (Pengalaman diri). Teori belajar humanistik Rogers pada buku Freedom to learn, yaitu: a) Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami,belajar terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid relevan dengan hal-hal tersendiri 48 Budi Agus Sumantri, Nurul Ahmad, “Teori belajar Humanistik dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”......h.9
69 b) Adanya perubahan belajar dalam hal dirinya sendiri yang mengancam dan ditolak c) Belajar dengan penuh makna di peroleh siswa dengan mengerjakannya d) Siswa dilibatkan di proses pembelajan dan ikut dalam proses belajar itu.49 Carl Rogers menyatakan bahwa peserta didik yang belajar hendaknya tidak ditekan, melainkan dibiarkan belajar bebas, peserta didik diharapkan bisa mengambil sebuah langkah sendiri dan berani bertanggung jawab atas langkahlangkah yang diambilnya sendiri. Dalam konteks tersebut, Rogers menyatakan ada lima hal yang penting dalam proses belajar humanistik, yaitu sebagai berikut : 1. Hasrat untuk belajar: keinginan untuk belajar dikarenakan adanya dorongan rasa ingin tahu manusia yang terus menerus terhadap dunia sekelilingnya. Dalam proses memecahkan jawabannya, seorang individu mengalami kegiatan-kegiatan belajar. 2. Belajar bermakna: seseorang yang beraktivitas akan selalu mempertimbangkan apakah aktivitas tersebut mempunyai makna bagi dirinya. Jika tidak, tentu tidak akan dilakukannya. 3. Belajar tanpa hukuman merupakan belajar yang terlepas dari hukuman atau ancaman menghasilkan anak bebas untuk melakukan apa saja, dan mengadakan percobaan hingga menemukan sendiri suatu hal yang baru. 4. Belajar dengan daya usaha atau inisiatif sendiri: menunjukkan tingginya motivasi internal yang dimiliki. Siswa yang banyak inisiatif, akan mampu untuk memandu dirinya sendiri, menentukan pilihannya sendiri dan berusaha mempertimbangkan sendiri hal yang baik bagi dirinya. 5. Belajar dan perubahan: keadaan dunia terus berubah, karena itu peserta didik harus belajar untuk dapat menghadapi serta menyesuaikan kondisi dan situasi yang terus berubah. Dengan begitu belajar yang hanya mengingat fenomena atau menghafal kejadian dianggap tak cukup.50 49 Asrori, “Psikologi Pendidikan Pendekatan Multidisipliner”......h.151-152 50 Budi Agus Sumantri, Nurul Ahmad, “Teori belajar Humanistik dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”......h.14-15
70 6.3 Impelentasi Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan untuk mencapai pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini sangat besar, dapat membantu para guru dan pendidik memahami hakikat kejiwaan manusia. Dapat menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, pemilihan strategi pembelajaran serta pengembangan alat evaluasi kearah pembentukan manusia yang dicitakan. Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling tidak langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan dapat digunakan sebagai acuan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut: a) Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran. b) Menetukan materi pelajaran. c) Mengidentifikasi kemampuan awal siswa. d) Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.51 6.4 Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanistik 1. Kelebihan teori humanistik Asri Budiningsih mengemukakan pendapatnya mengenai kelebihan teori humanistik sebagai berikut: 51 Aris,Meira,Sri, “Impelentasi Teori Belajar Humanistik Dalam mengembangkan Bakat Dan Kreativitas Anak”. Seminar Nasional Pendidikan Guru Sekolah Dasar.Vol.1. (2021).h.25
71 Teori ini pantas untuk diimplementasikan dalam materi pembelajaran yang bertujuan untuk membentuk kepribadian, perubahan tingkah laku, hati nurani dan pandangan terhadap fakta sosial. Menurut aliran humanisme: seseorang lebih mempunyai keinginan atau kesanggupan untuk mengembangkan potensi dirinya dan percaya pada takdir biologis dan ciri lingkungan. Keberhasilan dari menerapkan teori belajar humanistik adalah peserta didik merasa dirinya bergembira sehingga ada gairah atau inisiatif dalam belajar serta terjadinya perubahan dalam daya pikir, sikap dan tingkah laku atas keinginan diri sendiri. Berharap peserta didik menjadi manusia yang leluasa, sehingga tidak terbelenggu dengan pandangan orang lain dan dapat mengelola individualitas diri sendiri secara bertanggung jawab dengan tidak mengambil hak - hak orang lain, serta tidak melanggar aturan hukum, norma, maupun etika yang berlaku. Aliran humanisme menolak sifat tidak percaya diri, dengan kata lain aliran humanisme mengarahkan individu untuk memiliki sifat percaya diri. Teori Humanistik sangat menolong pendidik dalam mengetahui arah belajar pada aspek yang lebih besar, sehingga terwujudnya hal-hal yang ingin dicapai serta membantu pendidik untuk memahami dan mengetahui hakikat dari jiwa manusia. 2. Kekurangan teori humanistik Asri Budiningsih mengemukakan pendapatnya mengenai kekurangan teori humanistik sebagai berikut: Peserta didik yang tidak ada keinginan untuk memahami potensi dirinya akan tertinggal dalam proses belajar Peserta didik terlalu diberi kebebasan Teori humanisme sangat percaya diri secara alamiah dan tidak berhasil memberikan pengetahuan pada bagian buruk dari sifat asli manusia Teori humanisme tidak dapat diuji dengan mudah
72 Teori humanisme dikritik karena jarang dipakai dalam konteks yang lebih mudah. Sehingga teori ini dapat diibaratkan lebih akrab dengan dunia filsafat melainkan dunia pendidikan. Pendidik lebih membimbing peserta didik untuk berpikir induktif, mengutamakan pengalaman serta memerlukan keikutsertaan peserta didik untuk aktif dalam proses pembelajaran dengan teori humanisme. Teori humanisme masih sulit dimaknai ke dalam kegiatan yang mudah dan dapat diterapkan.52 52 Sela Saputri, “Pentingnya Menerapkan Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Pada Jenjang Sekolah Dasar”. EduBase : Journal of Basic Education.Vol.3.No.1.(2022).h.54-55
73 DAFTAR PUSTAKA Abd Qodir.(2017). "Teori Belajar Humanistik dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa". Jurnal Pedagogik, Vol.4 No.2. Aris,Meira,Sri. (2021). "Impelentasi Teori Belajar Humanistik Dalam mengembangkan Bakat Dan Kreativitas Anak". Seminar Nasional Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Vol. Asrori. (2020). "Psikologi Pendidikan Pendekatan Multidisipliner". Purwokerto Selatan: Pena Persada. Budi A.S, Nurul .A.(2019). "Teori belajar Humanistik dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam". Fondatia : Jurnal Pendidikan Dasar, Vol.3.No.2 . Mutik Nur Fadhilah. (2021). "Impelentasi Teori Belajar Humanistik Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia Di Kelas III Islamiyah Malang". Ibtida’: Media Komunikasi Hasil Penelitian Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Vol.2. No.1. Sela Saputri. (2022). "Pentingnya Menerapkan Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Pada Jenjang Sekolah Dasar". EduBase : Journal of Basic Education, Vol.3.No.1.
74 BAB VII TEORI KONTRUKTUVISTIK 7.1 Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme Teori belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah laku pada pelajar. Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan tingkah laku kepada pelajar, contohnya dari tidak tahu kepada tahu. Hal ini, kemudiannya beralih kepada teori pembelajaran Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui struktur mental dikenal sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima, difahami oleh manusia. Jika ide tersebut sesuai dengan skema, ide ini akan diterima begitu juga sebaliknya dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting. Jadi, Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang
75 dilalui dakehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.53 Menurut para penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau pengalaman yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui berintekrasi sosial dengan peserta didik lain atau dengan gurunya.54 Konsep teori belajar konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam. Belajar merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan pengetahuan.Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja. 7.2 Konsep Teori Belajar Konstruktivisme menurut Para Ahli Saat ini, salah satu teori belajar yang banyak dipakai dalam proses pembelajaran adalah konstruktivisme. Di antara berbagai variasinya, terdapat dua jenis konstruktivisme yang paling menonjol yaitu konstruktivisme sosial (social constructivism) yang sering dikatakan sebagai kelanjutan dari hasil kerja 53 Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 23. 54 Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi, (Bandung: Pakar Raya, 2004), h. 53.
76 Vygotsky serta konstruktivisme kognitif (cognitive constructivism) yang dipercaya berakar pada hasil kerja Piaget.55 A. Teori Belajar Konstruktivisme Kognitif menurut Jean Piaget Teori belajar konstruktivisme kognitif disumbangkan oleh Jean Piaget, yang merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor konstruktivisme. Yang mengatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Pandangan-pandangan Jean Piaget seorang psikolog kelahiran Swiss (1896-1980), percaya bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.56 Belajar menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna Karena menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahamanpemahaman baru. 55 Liu, Charlotte H., and Matthews, Robert. (2005). Vygotsky’s philosophy: Constructivism and its criticisms examined. International Education Journal. 6 (3). hal 386-399. 56 Bambang Riadi, Teori Belajar Konstruktivisme dari Jean Piaget, dalam http/www Teori Belajar Konstruktivisme. Diakses pada hari Kamis 01 Desember 2011.
77 Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri. Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan keseimbangan.Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Pembentukan pengetahuan menurut Jean Piaget memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut: Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang
78 binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.57 Atau proses kognitif di mana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skema melainkan perkembangan skema. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru. Dalam perjumpaan individu dengan lingkungan, akomodasi menyertai asimilasi. Terkadang, ketika dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru, seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium)58 . 57 Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 56-57. 58 Hamzah, Teori Belajar Konstruktivisme, dalam http/www. Teori Belajar Kostruktivisme. Diakses Pada Hari Kamis 01 Desember 2011.
79 Sebagai Contoh, seorang anak yang merasa sakit karena terpercik api. Berdasarkan pengalamannya terbentuk skema kognitif pada diri anak tentang ”api”, bahwa api adalah sesuatu yang membahayakan oleh karena itu harus dihindari. Dengan demikian ketika ia melihat api, secara refleks ia akan menghindar. Semakin dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula. Ketika anak melihat ibunya memasak dengan menggunakan api, atau ketika ayahnya merokok; maka skema kognitif tersebut akan disempurnakan, bahwa api tidak harus dihindari akan tetapi dimanfaatkan. Ketika anak melihat banyak pabrik atau industri memerlukan api, kendaraan memerlukan api, maka skema kognitif anak semakin berkembang/sempurna menjadi api sangat dibutuhkan untuk kehidupan manusia.berpikir peserta didik. Skema ini membentuk pandangan (persepsi) peserta didik terhadap sesuatu. Ketika peserta didik menerima informasi, maka akan disesuaikan dengan persepsi yang yang dimiliki peserta didik. Proses penyesuaian ini melibatkan proses asimilasi dan akomodasi. Melalui proses pengulangan dan pemantapan, skema membentuk konsep. Dari Penjelasan di atas, menunjukkan penekanan Piaget terhadap pemahaman yang dibentuk oleh seseorang, sesuatu yang berhubungan dengan logika dan konstruksi pengetahuan universal yang tidak dapat dipelajari secara langsung dari lingkungan. Pengetahuan seperti itu berasal dari hasil refleksi dan koordinasi kemampuan kognitif dan berpikir serta bukan berasal dari pemetaan realitas lingkungan eksternalnya. Dengan ini, piaget menjelaskan pentingnya berbagai faktor internal seseorang seperti tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan dalam proses belajar. Berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang, serta bagaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif, dan emosinya59 . Hal yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan 59 Bambang, Teori Belajar, dalam http/www
80 sesuatu padanya, Piaget percaya bahwa belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan secara aktif darinya, dan ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan pilihan tentang hal yang dipelajari. Hal ini tidaklah meniadakan faktor guru dalam proses pembelajaran, justru sebaliknya lah yang terjadi. Pengajaran oleh guru yang mengajak siswa untuk bereksplorasi, melakukan manipulasi, baik dalam bentuk fisik atau secara simbolik, bertanya dan mencari jawaban, membandingkan jawaban dari siswa lain akan lebih membantu siswa dalam belajar dan memahami sesuatu. B. Teori Belajar Konstruktivisme Sosial menurut Lev Vygotsky Secara umum, pendekatan konstruktivisme sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikontruksi secara bersama (mutual). Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama. Dengan cara ini. Dari Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individu ke kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dalam pendekatan konstruktivisme Piaget, murid mengkonstruksi pengetahuan dengan menstransformasikan, mengorganisasikan, dan mengoraginsasi pengetahuan sebelumnya. Konstruktivisme Vygotsky menekankan bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/ketrampilan.60 Maka bagi Vygotsky, ada dua prinsip penting berkenaan dengan teori konstruktivisme sosialnya, yaitu: a. Mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, 60 Margaret E. Bell Gredler, Buku Petunjuk Belajar dan Membelajarkan, (Jakarta: Depdiknas, 1988), h. 257. 11 Ibid
81 b. Zona of proximal development. Pendidik sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi. Konstruktivisme Vygoskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memulai adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual. Salah satu prinsip kunci yang diturunkan teori Konstruktivisme sosial adalah penekanan pada hakikat sosial dari pembelajaran. Vygotsky mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Berdasarkan teori ini dikembangkanlah pembelajaran kooperatif, yaitu siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Selain itu, Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) Siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) Siswa gagal meraih keberhasilan. Jika siswa tidak mampu memecahkan masalahnya, maka guru/pendidik harus menggunakan scaffolding. Scaffolding, berarti memberikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
82 Teori Konstruktivisme Vygotsky yang lain mengatakan bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam daerah perkembangan terdekat atau zone of proximal development siswa. Daerah perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Tingkat perkembangan seseorang saat ini adalah tingkat pengetahuan awal atau pengetahuan prasyarat itu telah dikuasai, maka kemungkinan sekali akan terjadi pembelajaran bermakna. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masingmasing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Karena menurut teori ini bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain, mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
83 7.3 Hakikat Pembelajaran menurut Teori Belajar Konstruktivisme Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Akan tetapi siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pendidik atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Dalam hal ini, hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan siswa memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apa pun asal tujuan belajar dapat tercapai. Selain itu, Nickson mengatakan bahwa pembelajaran dalam pandangan konstruktivime adalah membantu siswa untuk membangun konsep-konsep dalam belajar dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep itu terbangun kemabli melalui transformasi informasi untuk menjadi konsep baru. Konstruk sebagai salah satu paradigma dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi proses belajar. Peran guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk pengetahuan.
84 Sehubungan dengan hal di atas, Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu: 1. Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, 2. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, 3. Strategi siswa lebih bernilai, 4. Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya. Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: 1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, 2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, 3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
85 4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, 5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, 6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Oleh Brooks & Brooks mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Atas dasar ini, maka peran kunci pendidik dalam interaksi pembelajaran konstruktivisme adalah pengendalian, yang meliputi: 1. Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak; 2. Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa. 3. Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih. Ada beberapa ciri-ciri dalam pembelajaran model konstruktivisme, yaitu: 1. Mencari tahu dan menghargai titik pandang/pendapat siswa 2. Pembelajaran dilakukan atas dasar pengetahuan awal siswa 3. Memunculkan masalah yang relevan dengan siswa 4. Menyusun pembelajaran yang menantang dugaan siswa
86 5. Menilai hasil pembelajaran dalam konteks pembelajaran sehari-hari 6. Siswa lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengalaman/pengetahuan lama yang mereka miliki · Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan. Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi 7. Proses belajar harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan siswa untuk mengingat pelajaran lebih lama 8. Kontrol kecepatan, dan fokus pembelajaran ada pada siswa 9. Pendekatan konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan apa yang dialami langsung oleh siswa Selanjutnya ada empat komponen dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu: 1. Pengetahuan Awal (Prerequisite), 2. Fakta Dan Masalah, 3. Sistematika Berfikir, 4. Kemauan Dan Keberanian. 7.4 Aplikasi Teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran Dalam belajar sesuatu peserta didik telah mempunyai prakonsep berdasarkan pengalaman yang telah di perolehnya. Untuk itu, guru perlu mencermati prakonsep ini dalam menanamkan konsep-konsep baru. Apabila prakonsep ini tidak diperhatikan, kemungkinan akan terjadi miskonsepsi atau konsep yang salah. Apabila peserta didik mempunyai miskonsepsi yang tidak dikoreksi atau dibiarkan, maka akan menyulitkan peserta didik untuk belajar sesuatu secara benar. Dalam menerapkan teori kontruktivisme dalam belajar dapat digunakan model pembelajaran yang melibatkan beberapa tahap, yaitu: 1. Pengenalan
87 2. Pembelajaran kompetensi 3. Pemulihan 4. Pendalaman 5. Pengayaan Tahap pengenalan merupakan pemberian hal-hal yang konkrit dan mudah dengan contohcontoh sederhana yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini, guru perlu mencermati melalui penilaian prakonsep atau kompetensi awal yang dimiliki peserta didik untuk maju ke tahap berikutnya. Tahap pembelajaran kompetensi merupakan tahap di mana peserta didik mulai beranjak dari mengenali kompetensi baru ke menguasai kompetensi dasar. Hasil penilaian akan menunjukkan apakah peserta didik perlu diberi tahapan pemulihan, yaitu tahap di mana peserta didik memulihkan prakonsep menjadi suatu konsep/kompetensi secara benar. Bila peserta didik telah menguasai kompetensi secara benar, guru dapat menilai sejauh mana minat, potensi, dan kebutuhan dalam penguasaan kompetensi dasar. Apabila peserta didik cukup berminat dan kompetensi dasar telah dikuasai secara tuntas, tahap pemulihan dapat dilewati dan maju ke tahap berikutnya yaitu tahap pendalaman. Apabila tahap pendalaman telah dilaksanakan, tedapat otomatisasi berpikir dan bertindak sebagai perwujudan kompetensi. Selanjutnya, dapat diberikan tahap pengayaan agar peserta didik memperoleh variasi pengalaman belajar. Berbagai latihan dapat digunakan untuk mendalami atau memperkaya kompetensi.
88 DAFTAR PUSTAKA Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 23. Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi, (Bandung: Pakar Raya, 2004), h Liu, Charlotte H., and Matthews, Robert. (2005). Vygotsky’s philosophy: Constructivism and its criticisms examined. International Education Journal. 6 (3). Bambang Riadi, Teori Belajar Konstruktivisme dari Jean Piaget, dalam http/www Teori Belajar Konstruktivisme. Diakses pada hari Kamis 01 Desember 2011. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), Hamzah, Teori Belajar Konstruktivisme, dalam http/www. Teori Belajar Kostruktivisme. Diakses Pada Hari Kamis 01 Desember 2011. Margaret E. Bell Gredler, Buku Petunjuk Belajar dan Membelajarkan, (Jakarta: Depdiknas, 1988),
89 BAB VIII INTELEGENSI 8.1 Definisi Intelegensi Inteligensi adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir dan dianggap sebagai kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia, yang dengan kemampuan iteligensi ini memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu.61 Inteligensi dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir secara abstrak, memecahkan masalah dengan menggunakan simbol-simbol verbal dan kemampuan untuk belajar dari dan menyesuaikan diri dengan pengalaman hidup sehari-hari. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Inteligensi sendiri dalam pespektif psikologi memiliki arti yang beraneka ragam antara lain yang paling pokok adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi baru secara cepat dan efektif. Dengan demikian, inteligensi dapat disinonimkan dengan kecerdasan.62 Inteligensi sangat erat kaitannya dengan kemampuan mental anak (bukan kemampuan psikomotorik). Sedangkan IQ atau singkatan dari intelligence Quotient adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan.63 Istilah intelegensi ini sudah menjadi bahasa umum bagi masyarakat, hanya saja sebagian masyarakat menamakannya kecerdasan, kecerdikan, kepandaian, ketrampilan dan istilah lainnya yang pada prinsipnya bermakna sama. Istilah intelegensi dapat diartikan dengan dua cara, yaitu: 61 Abdul Rahman S, Psikologi: Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 176 62 Muhibin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 82 63 Dwi Sunar Prasetyono, Super Lengkap Tes IQ – CQ, (Jogjakarta: DIVA Press, 2010), hal. 6
90 1. Arti luas: kemampuan untuk mencapai prestasi yang di dalamnya berpikir memegang peranan. Prestasi itu dapat diberikan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pergaulan, sosial, tekhnis, perdagangan, pengaturan rumah tangga dan belajar di sekolah. 2. Arti sempit: kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah yang di dalamnya berpikir memegang peranan pokok. Intelegensi dalam arti ini, kerap disebut “kemampuan intelektual” atau ”kemampuan akademik”.64 Berdasarkan uraian dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir untuk bertimdak secara terarah, berpikir secara rasional dan mampu menyesuaikan diri dengan cara yang tepat. Sedangkan IQ adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. 8.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Taraf Intelegensi Menurut Bayley faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan intelektual individu, yaitu: 1. Keturunan Studi korelasi nilai-nilai tes intelegensi diantara anak dan orang tua, atau dengan kakek-neneknya menunjukkan adanya pengaruh faktor keturunan terhadap tingkat kemampuan mental seseorang sampai pada tingkat tertentu. 2. Latar belakang sosial ekonomi Pendapatan keluarga, pekerjaan orang tua dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya, berkorelasi positif dan cukup tinggi dengan taraf kecerdasan individu mulai 3 tahun sampai dengan remaja. 3. Lingkungan hidup Lingkungan yang kurang baik akan menghasilkan kemampuan intelektual yang kurang baik pula. Lingkungan yang dinilai paling buruk bagi 64 W.S.Winkel, Psikologi Pengajaran, (Yogyakarta : Media Abadi, 2004), h. 156
91 perkembangan intelegensi adalah panti-panti asuhan serta institusi lainnya, terutama bila anak ditempatkan disana sejak awal kehidupannya. 4. Kondisi fisik Keadaan gizi yang kurang baik, kesehatan yang buruk, perkembangan fisik yang lambat, menyebabkan tingkat kemampuan mental yang rendah. 5. Iklim emosi Iklim emosi dimana individu dibesarkan mempengaruhi perkembangan mental individu yang bersangkutan.65 Sebagaimana telah diuraikan diatas, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi taraf intelegensi seseorang. Maka sebagai seorang guru, salah satu tugas serta kewajiban yang harus dipenuhi adalah membantu mempengaruhi kemampuan intelektual siswa agar dapat berfungsi secara optimal dan mencoba melengkapi program pengajaran yang ditujukan bagi mereka yang lambat dalam belajar. Adapun cara yang dapat dilakukan oleh guru yaitu dengan memperhatikan kondisi kesehatan fisik siswa, membantu pengembangan sifat-sifat positif pada diri siswa, memperbaiki kondisi motivasi siswa, menciptakan kesempatan belajar yang lebih baik bagi siswa. Dalam membantu mengembangkan sifat-sifat positif pada diri siswa seperti percaya diri, perasaan diri dihargai, guru dapat melakukan dengan cara menaruh respect terhadap pertanyaan-pertanyaan serta gagasangagasan yang diajukan siswa sehingga dapat membantu meningkatkan keyakinan diri siswa serta perasaan bahwa dirinya dihargai. Selain itu agar perasaan-perasaan cemas, rendah diri, tegang, konflik atau salah dapat dihindari oleh siswa. Sedangkan untuk memperbaiki kondisi motivasi siswa, guru dapat melakukannya dengan memberikan insentif atas keberhasilan yang diraih siswa yaitu dapat berupa pujian atau nilai yang baik. Selain itu guru juga dapat memberikan kesempatan melaksanakan tugas-tugas yang relevan, seperti di dalam 65 Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta : PT.Rineka Cipta, 2003), h. 131
92 kelompom diskusi, di muka kelas, pembuatan karya tulis, dan lain-lain untuk menciptakan kesempatan belajar yang lebih baik bagi siswa. 8.3 Teori – Teori Intelegensi a. Teori Alfred Binet Alfred Binet (1857 – 1911) termasuk salah satu ahli psikologi yang mengatakan bahwa inteligensi bersifat monogenetic, yaitu berkembang dari satu faktor satuan atau faktor umum. Menurut Binet, inteligensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang. sebagaimana dalam definisinya yang telah dikemukakan terdahulu, Binet menggambarkan inteligensi sebagai sesuatu yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan menilai tingkat perkembangan individu berdasar suatu kriteria tertentu. Jadi, untuk melihat apakah seseorang cukup inteligen atau tidak, dapat diamati dari kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan dan kemampuannya untuk mengubah arah tindakannya itu apabila perlu. Inilah yang dimaksud dengan komponen arah, adaptasi, dan kritik dalam definisi inteligensi. b. Teori Edward Lee Thorndike Thorndike, bapak psikolog pendidikan yang juga tokoh aliran psikologi fungsionalisme. Pada dasarnya, teori Thorndike menyatakan bahwa inteligensi terdiri atas berbagai kemampuan spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku intelgen. Oleh karena itu, teorinya dikategorikan kedalam teori inteligensi faktor ganda. Formulasi teori Thorndike didasari oleh bukti-bukti riset. Ia mengklasifikasikan inteligensi kedalam tiga bentuk kemampuan, yaitu (a) kemampuan abstraksi yakni suatu kemampuan untuk bekerja dengan menggunakan gagasan dan simbol-simbol, (b) kemampuan mekanik yaitu suatu kemampuan untuk bekerja dengan menggunakan alat-alat mekanis dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang memerlukan aktivitas
93 indera-gerak (sensory-motor), dan (c) kemampuan sosial yaitu suatu kemampuan untuk menghadapi orang lain di sekitar diri sendiri dengan cara-cara efektif. c. Teori Charles E. Spearman Pandangan Spearman (1927) mengenai inteligensi ditunjukkan dalam dalam teorinya mengenai kemampuan mental yang popular dengan nama teori dua faktor (two-factor theory). Awal penjelasannya mengenai teori ini berangkat dari analisis korelasional yang dilakukannya terhadap skor seperangkat tes yang mempunyai tujuan dan fungsi ukur yang berlainan. Hasil analisisnya memperlihatkan adanya interkorelasi positif diantara berbagai tes tersebut. Menurut Spearman, interkorelasi positif itu dikarenakan masing-masing tes tersebut memang mengukur suatu faktor umum yang sama, yang dinamainya faktor-g. Namun demikian korelasikorelasi itu tidaklah sempurna disebabkan setiap tes, disamping mengukur faktor umum yang sama, mengukur pula komponen tertentu yang spesifik bagi tes masing-masing. Faktor yang spesifik dan hanya diungkap oleh tes tertentu saja ini disebut faktor-s.66 d. Teori Louis Leon Thurstone Louis Leon Thurstone telah berusaha menjelaskan tentang organisasi inteligesi yang abstrak, ia dengan menggunakan tes-tes mental serta teknik-teknik statistik khusus membagi inteligensi menjadi tujuh kemampuan primer, yaitu: 1. Kemampuan numerikal matematik 2. Kemampuan verbal atau bahasa 3. Kemampuan abstraksi berupa visualisasi atau berpikir 4. Kemampuan menghubungkan kata-kata 5. Kemampuan membuat keputusan baik induktif maupun deduktif 6. Kemampuan mengenal atau mengamati 7. Kemampuan mengingat 66 Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologo Inteligensi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hal 14-23