The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

E-book ini berisi bahan ajar Mata Kuliah Apresiasi Puisi Indonesia

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by imas.juidah, 2022-11-09 10:51:01

BUKU APRESIASI PUISI

E-book ini berisi bahan ajar Mata Kuliah Apresiasi Puisi Indonesia

Keywords: Apresiasi Puisi Indonesia

Sepisaupi
(Sutardji Calzoum Bachri)

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampia pisau-Nya ke dalam nyanyi
(O, Amuk Kapak, 1981)

Dalam puisi tersebut, penyair memainkan kata-kata sepi
dan pisau. Dalam puisi tersebut, permainan bunyi sangat
diperhatikan seperti halnya di dalam mantra. Puisi tersebut
menjelaskan tentang duka, sepi, dan luka hati menjelma
menjadi nyanyi.

2. Puisi Mbeling
Puisi mbeling adalah bentuk puisi yang tidak mengikuti

aturan. Aturan puisi yang dimaksud ialah ketentuan-ketentuan
yang umum berlaku dalam puisi. Ciri puisi mbeling yaitu: (1)
mengutamakan unsur kelakar; (2) penyair memanfaatkan
semua unsur bunyi berupa rima, irama, pilihan kata dan

92 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya

tipografi untuk mencapai efek kelakar tanpa ada maksud lain
yang disembunyikan (tersirat). Perhatikan contoh puisi
berikut.

Sajak Sikat Gigi
(Yudhistira Adinugraha Massardi)

Seorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka.

Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali
Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebih-lebihan.

Puisi tersebut dibuat dengan gaya prosa dengan tidak
memperhatikan verifikasi dan bahasa figuratif. Penyair
memainkan bayangan pikiran kita dengan permainan kata-
kata yang lincah.

3. Puisi Konkret
Puisi konkret adalah puisi yang disusun dengan

mengutamakan bentuk grafis berupa tata wajah hingga
menyerupai gambar tertentu. Puisi seperti ini tidak
sepenuhnya menggnakan bahasa sebagai media. Di dalam
puisi konkret pada umumnya terdapat lambang-lambang yang
diwujudkan dengan benda dan atau gambar-gambar sebagai
ungkapan ekspresi penyairnya. Perhatikan contoh puisi
berikut.

Imas Juidah 93

t
ttt
rrrrr
rrrrrrr
eeeeeeeee
???

Doktorandus Tikus I
(F. Rahardi)

selusin toga
me

nga

seratus tikus berkampus nga
di atasnya

dosen dijerat
profesor diracun

kucing
kawin
dan bunting

dengan predikat
sangat memuaskan

94 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya

D. Info Penyair

Acep Syahril (lahir di

Kuningan, Jawa Barat, 25

November 1963; umur 49

tahun) adalah sastrawan

Indonesia. Sekarang tinggal di

blok Senerang Desa

Sudikampiran, Indramayu,

Jawa Barat. satu-satunya

penyair yang

mempubplikasikan karya-

karya puisinya dengan cara

dibacakan di tempat-tempat

umum, diberbagai tempat di

Indonesia. Kumpulan puisinya
yaitu “Ketika Indonesia Berlar”i (Diterbitkan Bohemian
Jambi, 1995) dan “Negri Yatim” (Diterbitkan iph, 2009).

Emha Ainun Nadjib atau yang

lebih akrab dengan panggilan

Cak Nun merupakan budayawan

dan intelektual muslim asal

Jombang, Jawa Timur. Anak

keempat dari 15 bersaudara ini

pernah menjalani pendidikan di

Pondok Modern Gontor-

Ponorogo dan menamatkan

pendidikannya di SMA

Muhammadiyah I Yogyakarta.

Namun pendidikan formalnya di

Imas Juidah 95

UGM, tepatnya di Fakultas Ekonomi, hanya mampu Cak Nun
selesaikan 1 semester saja. Buku kumpulan puisinya berjudul
99 Untuk Tuhanku (1983), Lautan Jilbab (1993), Cahaya
Maha Cahaya (1991) dan trilogi Doa Mencabut Kutukan
(2001). Pada bulan Maret 2011, Cak Nun memperoleh
Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.

Linus Suryadi AG dilahirkan
di Sleman, Yogyakarta, 3
Maret 1951, dan meninggal di
kota kelahirannya, 30 Juli
1999. Mengikuti International
Writing Program di Iowa
University, Amerika Serikat
(1982) dan dua tahun
kemudian mendapat Hadiah
Seni dari Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Karya-
karyanya antara lain: Langit
Kelabu (1976), Pengakuan Pariyem (1981), Perkutut
Manggung (1986), Tugu (1986), Kembang Tunjung (1989),
Rumah Panggung (1989), Di Balik Sejumlah Nama (1989).
Karya-karyanya diangkat pula dalam Laut Biru Langit Biru
(1977: Ajip Rosidi [ed.]), Walking Westward in the Morning:
Seven Contemporary Indonesia Poets (1990; John H.
MacGlynn [ed.]), This Same Sky: A Collection of Poems from
Around the World (1992; Naomi Shihab Nye [ed.]).

96 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya

Bab 6

PENERAPAN APRESIASI
PUISI

Apresiasi biasanya dikaitkan dengan kegiatan seni.
Apresiasi puisi berkaitan dengan kegiatan yang ada sangkut
pautnya dengan puisi, yaitu mendengar atau membaca puisi
dengan penghayatan yang sungguh-sungguh, menulis puisi,
mendeklamasikan puisi, dan menulis resensi puisi. Kegiatan
ini menyebabkan seseorang memahami puisi secara
mendalam (dengan penuh penghayatan), merasakan apa yag
ditulis penyair, mampu menyerap nilai-nilai yang terkandung
di dalam puisi, dan menghargai puisi sebagai karya seni
dengan keindahan atau kelemahannya.

Dalam Kamus Istilah Sastra, Abdul Rozak Zaidan
(1991) membatasi pengertian apresiasi puisi sebagai
“penghargaan atas puisi sebagai hasil pengenalan,
pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan atas
karya tersebut yang didukung oleh kepekaan batin terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam puisi itu”. Dalam batasan
ini syarat untuk dapat mengapresiasi adalah kepekaan batin
terhadap nilai-nilai karya sastra, sehingga pembaca dapat
memahami menafsirkan, menghayati, dan menikmati puisi
tersebut.

Pada bab ini akan ditampilkan beberapa puisi untuk
diapresiasi dengan berbagai macam pendekatan. Kajian
apresiasi puisi ini dimaksudkan untuk memberikan bimbingan

Imas Juidah 97

atau pemahaman yang mendalam terhadap puisi. Berikut ini
contoh penerapan beberapa puisi dengan beberapa pendekatan
kajian sastra.

A. Kajian Struktural

Analisis puisi “Kuterjemahkan Pedih” karya Yanti Sri
Budiarti berdasarkan kajian struktural.

Kuterjemahkan Pedih
Karya Yanti Sri Budiarti
Pedih itu buih lautan yang tercipta dari sari gelombang
Berayun-ayun bersama sampan sepi
Tak ada tempat menepi
Pedih itu rumput ilalang di keremangan malam
Menari bersama angin menuju pangkalan sepi
Tak ada tempat berbagi
Pedih itu lambaian pohon nyiur pada pagi biru
Mengantarmu pergi seraya menanggalkan seragam putih abu
Tak tahu tempat menuju

Diksi yang digunakan penyair yaitu kata-kata yang
bernada muram. Diksi tentang kemuraman itu dipantulkan

98 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya

melalui kata-kata atau frase buih lautan, sari gelombang,
sampan sepi, rumput ilalang, keremangan malam, dan
lambaian pohon nyiur. Kata-kata atau frase tersebut adalah
kata-kata yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-
hari namun dikemas menjadi kaya makna. Penggunaan kata-
kata atau frase tersebut memberikan sugesti kepada pembaca
untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh penyair.

Kata konkret yang digunakan penyair untuk
memperkonkret kesedihan dan kepedihannya terlihat dalam
larik-larik berikut ini.

Pedih itu buih lautan yang tercipta dari sari gelombang/ berayun-ayun
bersama sampan sepi/ tak ada tempat menepi.

Kepedihan yang sangat mendalam yang dialami oleh
penyair diibaratkan sebagai buih lautan yang tercipta dari sari
gelombang yang berayun-ayun bersama sampan sepi dan
tidak ada tempat untuk menepi. Kepedihan yang dilukiskan
adalah kepedihan yang sangat mencekam. Bagaimana
bayangan kita jika kita menjadi buih lautan yang berayun-
ayun bersama sampan sepi? Penyair merasakan sepi yang
penuh dengan kepedihan. Suasana yang semakin sedih dan
muram diperkonkret dengan: /rumput ilalang di keremangan malam/
menari bersama angin menuju pangkalan sepi/.

Pengimajian atau pencitraan ditumbuhkan melalui
kata konkret yang digunakan oleh penyair. Imaji visual
dilukiskan melalui kata-kata buih, gelombang, sampan,
rumput ilalang, pohon nyiur, biru, seragam, putih, abu.
Penggambaran imaji visual tersebut diperkuat dengan
penggunaan imaji gerak yang membuat pembaca ikut dalam
merasakan kesepian yang dirasakan penyair. Imaji gerak
terlihat pada larik /berayun-ayun bersama sampan sepi/ menari bersama
angin menuju pangkalan sepi/.

Imas Juidah 99

Bahasa figuratif yang digunakan penyair cukup
memperjelas perasaan yang ingin disampaikan penyair.
Ungkapan-ungkapan yang digunakan penyair cukup
menghidupkan suasana. Larik /berayun-ayun bersama sampan sepi/
menari bersama angin/ melambangkan suasana yang sepi dan
mencekam. Sementara itu, kata “buih, gelombang, sampan,
rumput ilalang, pohon nyiur, biru, seragam, putih, abu
melambangkan kepedihan hati penyair. Dengan demikian,
lambang benda, lambang alam, dan lambang suasana yang
dipadukan penyair menjadi sebuah keharmonisan untuk
mensugesti pembaca dalam menghayati kepedihan dan
kesepian yang mencekam. Gaya bahasa “paralelisme”
digunakan untuk mempertegas rasa kepedihan dan kesepian
yang mencekam tersebut. Gaya bahasa parelelisme terlihat
pada kutipan puii berikut ini.

Pedih itu buih lautan.....
Tak ada tempat menepi
Pedih itu rumput ilalang.....
Tak ada tempat berbagi
Pedih itu lambaian pohon nyiur...
Tak tahu tempat menuju

Verfikasi yang terdapat dalam puisi tersebut yaitu
terlihat dari adanya paduan bunyi disetiap akhir larik sehingga
menimbulkan pola persajakan /abb/ seperti tampak pada kata
....gelombang/ .....sepi/ .....menepi. Pada bait kedua pola
persajakan masih tetap /abb/ seperti tampak pada ...malam/
...sepi/ ....berbagi. Sedangkan pada bait ketiga pola persajakan
berubah menjadi /aaa/ seperti tampak pada kata .....biru/
.....abu/ .....menuju.

Tipografi puisi ini adalah tipografi puisi konvensional.
Hal ini dapat dilihat dari struktur baris dan baitnya yang

100 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya

masih dipengaruhi oleh puisi lama. Pada puisi tersebut
terdapat tiga bait yang terdiri dari tiga terzina.

Tema puisi tersebut yaitu bertemakan kesepian yang
menimbulkan kepedihan. Kepedihan hati penyair yang begitu
mendalam dapat dibuktikan melalui analisis struktur fisik
puisi yang telah dilakukan. Diksi, kata konkret, pengimajian,
bahasa figuratif, dan verifikasi puisi tersebut sangat
mendukung kepedihan penyair.

Perasaan penyair pada saat menciptakan puisi tersebut
yaitu perasaan pedih, sepi, dan sendiri. Kepedihan tersebut
semakin mendalam diselimuti kesepian.

Nada puisi tersebut yaitu nada bercerita sambil meratap.
Penyair menceritakan kepedihan hatinya karena kesepian
melalui berbagai macam ungkapan.

Amanat puisi tersebut menyatakan bahwa penyair ingin
mengungkapkan kesepian yang dialaminya yang
menyebabkan hatinya pedih dan tercekam. Kesepian dapat
menyebabkan kepedihan.

B. Kajian Pragmatik

Nilai-nilai pragmatik dalam sebuah puisi “Suara dari
Bumi” karya Agus Nasihin.

Bagaimana mungkin kami dapat bersuara
Bukankah suara kami sudah diminta paksa
oleh mereka yang suka pelesiran ke mancanegara
oleh orang-orang yang fotonya terpampang di dinding
bersama garuda

Imas Juidah 101

oleh bapak-bapak yang memakai safari ke mana-mana
sambil meralat janjinya

Ketika sedih dan susah, kami menangis tanpa suara
Ketika riang dan gembira, kami tertawa tanpa suara

Di rumah-rumah dan di jalan-jalan rakyat jelata kehilangan suara
karena suara-suara itu riuh di gedung-gedung rapat para pejabat

Di ruang pengadilan saksi dan terdakwa kehilangan suara
karena suara-suara itu hanya milik hakim dan jaksa

Di ruang kelas anak-anak kehilangan suara
karena suara-suara itu adanya di ruangan kepala skolah

Kekasih, maafkan jika tak dapat kaudengar lagi kata cinta
karena aku sudah kehilangan suara

Kami sudah terbiasa mencium bau busuk sampah suara
karena kota dan negara kami
adalah tempat pembuangan sampah suara terbesar di dunia.

2010

Bagaimana mungkin kami dapat bersuara
Bukankah suara kami sudah diminta paksa
oleh mereka yang suka pelesiran ke mancanegara
oleh orang-orang yang fotonya terpampang di dinding
bersama garuda
oleh bapak-bapak yang memakai safari ke mana-mana
sambil meralat janjinya

102 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya

Bait pertama tersebut menggambarkan tentang sosok
seorang pemimpin yang lepas dari tanggung jawabnya sebagai
pemimpin dan para pejabat rakyat yang seharusnya menjaga
dan melindungi rakyatnya, tetapi para pemimpin dan pejabat
tersebut justru merampas hak rakyat kecil dan lebih memilih
jalannya sendiri dalam mengatur negara tanpa memberikan
kebebasan kepada masyarakat kecil dalam menyampaikan
aspirasi secara demokratis.

Melalui pendekatan pragmatik, pesan dan manfaat yang
tersampaikan kepada pembaca yaitu bahwa kita harus
berhati-hati dalam memilih pemimpin dn para wakil rakyat
yang baik dan bijaksana yang mau memberi kebebasan
aspirasi kepada rakyat, karena aspirasi masyarakat adalah
sebagai modal awal dalam mewujudkan negara yang baik.

Ketika sedih dan susah, kami menangis tanpa suara
Ketika riang dan gembira, kami tertawa tanpa suara

Pada bait kedua tersebut mengungkapkan bahwa dalam
situasi apa pun baik sedih, susah, riang, gembira rakyat kecil
tetaplah mederita. Penderitaan rakyat kecil digambarkan
sebagai tangisan tanpa suara dan kegembiraan rakyat kecil
pun digambarkan sebagai tertawa tanpa suara. Artinya,
kegembiraan dan kesedihan yang dirasakan oleh masyarakat
kecil tidak didengarkan.

Di rumah-rumah dan di jalan-jalan rakyat jelata kehilangan suara
karena suara-suara itu riuh di gedung-gedung rapat para pejabat

Pada bait ketiga tersebut mengungkapkan bahwa semua
kalangan masyarakat sudah kehilangan hak dan

Imas Juidah 103

kebebasannya. Kebebasan masyarakat kecil sudah di rampas
oleh para pejabat di gedung-gedung rapat.

Di ruang pengadilan saksi dan terdakwa kehilangan suara
karena suara-suara itu hanya milik hakim dan jaksa

Pada bait keempat mengungkapkan bahwa di ruang
pengadilan saksi dan terdakwa tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Kebebasan mereka telah dirampas oleh hakim dan jaksa.
Sehingga kebenaran pun sudah tidak ada gunanya.

Di ruang kelas anak-anak kehilangan suara
karena suara-suara itu adanya di ruangan kepala skolah

Pada bait keempat tersebut mengungkapkan bahwa
dalam dunia pendidikan pun sudah tidak berfungsi sebagai
pendidikan lagi. Karena semuanya telah dikendalikan oleh
kepala sekolah.

Kekasih, maafkan jika tak dapat kaudengar lagi kata cinta
karena aku sudah kehilangan suara

Pada bait kelima tersebut mengungkapkan bahwa
penyair pun sudah kehilangan kebebasnnya untuk
mengekspresikan perasaannya.

Kami sudah terbiasa mencium bau busuk sampah suara
karena kota dan negara kami
adalah tempat pembuangan sampah suara terbesar di dunia.

Pada bait terakhir mengungkapkan bahwa masyarakat
dikalangan kecil sudah terbiasa menyaksikan kesewenang-
wenangan dan kezaliman para pemimpin karena negara ini

104 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya

hanyalah tempat pembuangan aspirasi rakyat saja tanpa
mendengarkan aspirasi para rakyat tersebut.

C. Kajian Intertekstualitas

Intertekstualitas puisi “Aku” karya Chairil Anwar
dengan puisi “Aku” karya Ajip Rosidi.

Aku
Karya Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

1943

Imas Juidah 105

Aku
Karya Ajip Rosidi

Tinju menghantam. Belati menikam.
Seluruh dunia bareng menyerang, menerkam.

Aku bertahan. Karena diriku
Dalam badai, gunung membatu.

Lengang sebatang pinang
Di padang pusaran topan

Segala arah menyerang. Dari luar, dalam.
Tikaman tiada henti. Siang, malam.
Aku bertahan. Karena hidup
Muatan duka nestapa
Yang kuterima ganda ketawa

1963

Persamaan puisi “Aku” karya Chairil Anwar
dengan puisi “Aku” karya Ajip Rosidi berdasarkan
struktur fisik dan struktur batin.
1. Kata Konkret

Untuk memperkonkret gambaran jiwa penyair yang
penuh dengan semangat perjuangan, Chairil Anwar dan
Ajip Rosidi menggunakan kata-kata konkret dalam
puisinya. Chairil Anwar menyatakan: /biar peluru
menembus kulitku/ aku tetap meradang menerjang/ untuk

106 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya

memperkonkret sikap perjuangannya. Ajip Rosidi
menggunakan frase “aku bertahan” untuk memperkonkret
sikap perjuangan dirinya dalam menghadapi hidup.

2. Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif yang digunakan Chairil Anwar dan

Ajip Rosidi yaitu gaya bahasa hiperbola. Gaya bahasa
hiperbola terlihat pada kutipan berikut.

Aku ingin hidup seribu tahun lagi
(puisi “Aku” Chairil Anwar)

Tinju menghantam. Belati menikam
Seluruh dunia bareng menyerang, menerkam.
Tikaman tiada henti. Siang, malam.
(puisi “Aku” Ajip Rosidi)

3. Tema
Puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi “Aku”

karya Ajip Rosidi bertemakan perjuangan. Puisi “Aku”
karya Chairil Anwar berisi perjuangan membela negara.
Sedangkan, puisi “Aku” karya Ajip Rosidi berisi
perjuangan terhadap diri sendiri untuk melawan segala
cobaan hidup yang kejam dengan duka nestapa. Hal
tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan berikut ini.

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
(Puisi “Aku” Chairil Anwar)

Aku bertahan. Karena diriku
Aku bertahan. Karena hidup
(puisi “Aku” Ajip Rosidi)

Imas Juidah 107

4. Nada
Nada puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi

“Aku” karya Ajip Rosidi yaitu nada bercerita dengan
penuh semangat. Penyair menceritakan kesungguhan
hatinya untuk melakukan sebuah perjuangan yang harus ia
lalui dengan tekad yang kuat.
5. Amanat

Amanat puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi
“Aku” karya Ajip Rosidi memiliki persamaan amanat
yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Manusia harus tegar, optimis, terus berjuang, jangan

mudah menyerah, pantang menyerah meskipun
rintangan menghadang.
b. Manusia harus berani mempunyai semangat untuk
maju dalam berkarya agar pikiran dan semangat selalu
hidup.

Perbedaan puisi “Aku” karya Chairil Anwar dengan
puisi “Aku” karya Ajip Rosidi berdasarkan struktur fisik
dan struktur batin.
1. Tipografi

Puisi “Aku” karya Chairil Anwar menggunakan
tipografi konvensional yang masih seperti puisi lama.
Sedangkan, tipografi puisi “Aku” karya Chairil Anwar
menggunakan tipografi non-konvensional.

2. Suasana
Suasana dalam puisi “Aku” karya Chairil Anwar

berisi suasana yang penuh semangat untuk membela
negara dengan tetap menumbuhkan jiwa patriotisme.
Berikut kutipan puisi “Aku” karya Chairil Anwar yang
penuh semangat.

108 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Sedangkan, suasana dalam puisi “Aku” karya Ajip
Rosidi yaitu menggambarkan suasana sedih yag dialami
oleh penyair. Berikut kutipan puisi “Aku” karya Ajip
Rosidi yang menggambarkan suasana sedih.

Muatan duka nestapa
Yang kuterima ganda ketawa

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa yang menjadi hipogram yaitu puisi
“Aku” karya Chairil Anwar”. Sedangkan, yang menjadi teks
transformasinya yaitu puisi “Aku” karya Ajip Rosidi.

D. Info Penyair

Sutardji Colzoum Bachri, pria
kelahiran 24 Juni 1941 di Rengat
(Riau) ini digelari ‘presiden penyair
Indonesia’. Menurut para seniman di
Riau, kemampuan Soetardji laksana
rajawali di langit, paus di laut yang
bergelombang, kucing yang mencabik-
cabik dalam dunia sastra Indonesia
yang sempat membeku dan membisu

Imas Juidah 109

setelah Chairil Anwar pergi.
Ia telah meraih sejumlah pengharaan atas karya-karya

sastranya. Antara lain Hadiah Sastra ASEAN (1979), Hadiah
Seni (1993), Anugerah Sastra Chairil Anwar (1998), serta
Anugerah Akademi Jakarta (2007). Kumpulan puisinya
berjudul O, Amuk Kapak (1981). Ia memiliki gaya tersendiri
saat membacakan puisinya, kadang kala jumpalitan di atas
panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap.

K.H.A. Mustofa Bisri, lahir di
Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus
1944, dari keluarga santri. Kakeknya,
Kyai Mustofa Bisri adalah seorang
ulama. Demikian pula ayahnya, KH
Bisri Mustofa, yang tahun 1941
mendirikan Pondok Pesantren
Roudlatut Thalibin, adalah seorang
ulama karismatik termasyur. Ia
adalah tamatan Universitas Al-Azhar,
Kairo. Puisi-puisinya memadukan
sikap religiusitasnya dengan kritik sosial terhadap
kepincangan kehidupan di negeri kita. Pada bulan April 2002
ia tampil membacakan puisi dalam acara Pertemuan Penyair
Dunia di Solo. Kumpulan puisinya dibukukan dalam
Pahlawan dan Tikus (1995).

110 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi, W.M. 1972. Laut Belum Pasang. Jakarta:
Pustaka Jaya.

Afrizal Malna. 1984. Abad yang Berlari. Jakarta: Yayasan
Lingkaran Merah Putih.

Ajip Rosidi. 1975. Ular dan Kabut. Jakarta: Pustaka jaya.
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.

Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.
Effendi, S. 2002. Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende Flores:

Nusa Indah.
Emha Ainun Najib. 1991. Cahaya Maka Cahaya. Jakarta:

Pustaka Firdaus.
Esten, Mursal. 2007. Memahami Puisi. Bandung: Angkasa.
Jakob Sumardjo dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesustraan.

Jakarta: Gramedia.
Kosasih, E. 2012. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra.

Bandung: Yrama Widya.

Imas Juidah 111

Mustofa Bisri, K. H.A. 1995. Pahlawan dan Tikus. Jakarta:
Pustaka Firdaus.

Nasihin, Agus dan Yanti Sti Budiarti. 2011. Suara dari Langit
Suara dari Bumi. Bandung: Radian Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Priyatni, Tri Endah. 2010. Membaca sastra dengan Ancangan
Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara.

Rahmanto, B. 2001. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta:
Kadisius.

Rendra. 1978. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.

Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta:
Elmaterapublishing.

Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur
Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.

Sutardji Colzoum Bachri. 1981. O, Amuk Kapak. Jakarta:
Sinar Harapan.

112 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa.

Taufiq Ismail. 1966. Tirani. Jakarta: Penerbit KAMI.

Taufiq Ismail. 1973. Sajak-Sajak Ladang Jagung. Jakarta:
Pustaka Jaya.

Tusthi, Eddy Nyoman. 1991. Kamus Istilah Sastra Indonesia.
Yogyakarta: Nusa Indah.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:
Erlangga.

Waluyo, Herman J. 2002. Apresiasi Puisi Panduan untuk
Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Wheeler, Charles B. 1966. The Design of Poetry An
Intelegent, Concise Guide to The Understanding and
Appreciation of Poetry. United States of America:
W.W. Norton & Company.

Wiji Thukul. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang:
Indonesia Tera.

Yudhistira Adinugraha. 1983. Sajak Sikat Gigi. Jakarta:
Pustaka Jaya.

Zaidan, Abdul Rozak, Anita K. Rustafa, dan Hani’ah. 2007.
Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

Imas Juidah 113

RIWAYAT HIDUP

Imas Juidah, lahir di Indramayu
pada 5 Februari 1989. Ia sekarang
tinggal di Desa Tegalgirang blok
Girang RT 09 RW 04 Kecamatan
Bangodua Kabupaten Indramayu.
Ia merupakan anak kedua dari
dua bersaudara, dilahirkan oleh
pasangan Ibu Juju Juariah dan
Bapak Kamid. Ia mengawali
pendidikannya di SD Karanggetas
II pada 1995-2001. Ia
melanjutkan pendidikannya di
SMP Negeri 2 Widasari pada 2001-2004.
Selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya di SMK
Negeri 1 Indramayu pada 2004-2007. Setelah lulus SMK,
selama 1 tahun ia bekerja di salah satu PT yang ada di
Purwakarta. Kemudian, 2008 ia melanjutkan Pendidikan di
Universitas wiralodra Indramayu mengambil Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan lulus menjadi
Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada 2012. Pada tahun yang sama,
ia menjadi dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia sembari melanjutkan Pendidikan S2 di
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon dengan mengambil
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Tepat dua tahun
kemudian, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya dan
meraih gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada 2014.

114 Apresiasi Puisi: Teori dan Penerapannya


Click to View FlipBook Version