The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Agus Budiono, 2023-12-18 03:31:34

novel-gua-pdf_compress

novel-gua-pdf_compress

45 Waktu sudah menunjukan pukul lima sore, dan mobil kami tak juga keluar dari kapal. Sampai akhirnya saat matahari hampir tenggelam mobil kami baru bisa keluar. *** Setibanya dirumah, tanpa sempat berganti pakaian, aku langsung memindahkan barang-barang yang mau aku bawa ke asrama. Ya, asrama. Aku akhirnya memilih boarding school untuk menghabiskan masa SMA ku. Awalnya ragu, tetapi rasa ingin keluar dari zona nyamanku ini lebih besar. Mama dan papa seratus persen percaya kalau aku bisa memilih sekolah dengan baik. Dan tanpa kata tidak mereka setuju dengan pilihanku. Untuk masuk di sekolah itu banyak sekali tes yang harus aku lewati. Dari tes fisik, psikologi, kesehatan, dan tentunya tes akademik. Tes tersebut dilakukan karena


46 hanya siswa siswi unggul yang diterima di sekolah itu. Tak heran mengapa sekolah itu dijuluki SMA Unggulan. Dari sekitar 1500 orang yang mendaftar, hanya seratus orang yang diterima. Dan puji Tuhan, aku diterima di sekolah itu. Yang kurasakan saat itu adalah antara senang dan sedih. Senang karena bisa diterima di sekolah yang aku impikan. Sedih karena harus berpisah dari mama, papa, dan abangku. *** Semua barang sudah masuk ke dalam mobil, aku bersama papa dan mama langsung menuju ke sekolah baruku itu. Perjalanannya sangatlah jauh. Sekitar 3 jam baru bisa tiba disana. Dalam perjalanan, hatiku tiba-tiba menjadi dilema. Antara yakin atau tidak yakin bisa bertahan selama 3 tahun jauh dari orang-orang yang kusayangi ini. Semangatku menuju sekolah yang awalnya


47 membara semakin padam. Dan tibalah aku di sekolah baruku. Suasananya yang terasa asing, membuatku merasa tak ingin lama-lama disini. "Dek, sini, biar kakak yang bawakan kopernya ke kamarmu. Kamu boleh bersiap-siap untuk berganti pakaian dan ke ruang makan, karena teman-temanmu yang lain sedang apel disana." kata seseorang yang menyambut kedatanganku di asrama putri. "Baik, Kak." jawabku kepada perempuan itu. Sepertinya dia adalah kakak kelasku. Aku pun mengikuti dia ke kamarku untuk berganti pakaian. Seusai berganti baju aku kembali ke lobi dan mendatangi orang tuaku. Aku tak sanggup berlama-lama melihat wajah mereka. Aku takut tidak sanggup menahan air mataku. Aku takut mereka melihatku menangis. Aku takut mereka melihatku merasa tak nyaman di sini.


48 "Ma, Pa, hati-hati ya pulangnya. Mama sama papa jaga kesehatan.ya, Oke??" ujarku belagak sok kuat "Anna juga ya, jangan macem-macem, jaga diri, masih ingatkan pesan-pesan mama kemarin? Jangan lupa juga sama ibadahnya ya sayang." kata mama, sambil membendung air matanya "Anna, Anna tahukan kalau Anna itu anak perempuan papa satu-satunya, jangan kecewain papa sama mama yang sudah jauh-jauh menyekolahkan kamu di sini ya nak." sahut papa "Oke, sipp, mama sama papa tenang aja, percaya sama Anna, I'll do my best for you." Takut semakin larut dalam kesedihan, aku langsung bergegas menuju ruang makan ditemani kakak kelasku tadi. "Jangan sedih ya, Dek. Ini baru awal, kamu harus semangat." kata kakak kelasku tadi "Iya kak, terima kasih. Hmm. . . nama kakak siapa?"


49 "Oh, iya, kenalin nama saya Rina. Kalau kamu?" "Oo. . . Kak Rina, saya Anna, Kak." *** Sampai di ruang makan, tanpa sempat melihat mobil papa pergi dari sini aku langsung bergabung bersama teman-temanku. Aku belum tahu siapa mereka, asal sekolah mereka. Yang ku tahu mereka semua sama sepertiku, tinggal jauh dari orang tua. Suara Krik. . .krik. . .krik. . . menemani kami yang sedang mendengarkan amanat dari pembina. Dan tiba-tiba . . . "Eh, namamu siapa ?" tanya seseorang dibelakangku "Ha? Emm. . . aku Anna." "Ssttttt. . . eh dengerin dulu apa katanya pembina, jangan ngobrol." Ujar seseorang disampingku sewot.


50 Setelah apel malam selesai, kami kembali ke asrama. Saat masuk ke dalam kamar aku terkejut, ternyata sudah ada anak lain yang "Eh, hmmm, haii." kataku sok asik "Hai, kamu teman kamarku ya? Aku Andin dari Aceh." ujar teman kamar baruku "Aku Anna dari Balikpapan." Setelah berkenalan kami saling bercerita tentang asal sekolah, cita-cita, dan juga tujuan masuk ke sekolah ini. Setelah lelah bercerita, kami pun tertidur lelap. *** Keesokan harinya dan selama dua hari selanjutnya , kami mengikuti orientasi peserra didik baru oleh kakak kakak osis dan bapak ibu guru. Pada hari keempat, kamar kami di rolling, dalam


51 satu kamar ada dua orang kelas sepuluh dua orang kelas sebelas, dan satu orang kelas dua belas. Aku mendapat kamar nomor 1, dan ternyata aku sekamar dengan kak Rina. Waaahhhh . . . senangnya hatiku. Setidaknya aku tidak sekamar dengan kakak kelas yang judes. Hehe . . . 6. Peringkat Dua Hari senin, hari pertama masuk sekolah. Dan upacara pagi ini sangat terik. Sampai-sampai ingin jatuh pingsan rasanya. Huhh . . . panas sekali. Aku tadi pagi bangun lebih cepat dari biasanya. Biasanya sih jam enam pagi. Gak tau kenapa tadi bisa bangun jam setengah lima. Mungkin karena terlalu semangat mau pakai seragam baru. Mama pasti kaget, dengar aku bisa bangun jam segitu wkwkwk. Kriiinnngggg . . . bel jam pertama sudah berbunyi. Suasana kelas baruku tidak ada yang terasa spesial, kayak


52 kuburan sepi sekali. Hanya yang berasal dari SMP yang sama yang mengobrol. Sisanya? Ya, hanya duduk pura-pura baca buku atau menulis sesuatu. Gak ada suara. Satu minggu. Kelas kami sudah mulai ada kehidupan di dalamnya. Satu bulan. Kami sudah tidak canggung satu sama lain. Ya, walaupun ada beberapa diantara kami yang masih menutup diri. Tiga bulan. Dan aku hampir setiap hari selalu duduk satu bangku dengan Wina. Wina, satu-satunya temanku yang bisa dibilang paling akrab. Kami banyak melakukan kekonyolan bersama. Lima bulan. Tiba saatnya ujian semester ganjil. Aku


53 benar-benar menyiapkan semuanya matang-matang. Aku tidak mau hasil ujianku nanti mengecewakan. *** Ujian semester selesai. Selanjutnya pembagian raport. Walaupun sudah belajar maksimal, tetap saja aku merasa belum puas dengan jawaban-jawabanku kemarin. "Kelas sepuluh IPA dua ayo masuk kelas, wali kelas kita sudah menunggu." teriak ketua kelas memanggil kami yang cemas di luar. Setelah mendengarkan beberapa amanat, akhirnya wali kelas kami, Pak Musim membagikan raport. "Permisi, Pak, apa kami boleh tahu ranking kami, Pak?" tanya ketua kelas. "Oh, iya, saya lupa nak, kalau begitu salah satu


54 perwakilan dari kelas ini ikut saya ke kantor untuk melihat ranking kalian, dan nanti tolong beritahu ke yang lain ya.” Ujar Pak Musim. "Baik, Pak." Suasana di kelas pun semakin tegang, dan gelisah. Aku hanya duduk diam dan berdoa dalam hati agar setidaknya aku mendapat ranking sepuluh besar. Tak lama kemudian ketua kelas kembali ke kelas, dan mengumumkannya di depan kelas. "Jadi, saya akan mengumumkan yang ranking tiga besar saja, sisanya bisa liat sendiri nanti ya. Oke! Ranking satu Fadhia, ranking dua Anna, rangking tiga Kevin. Selamat ya buat kalian." Apa? Aku ranking dua? Ini gak salah kan? Aku lagi gak mimpi kan?, gumamku. Ngalahin 23 dari 25 siswa yang semuanya siswa


55 unggulan itu. Sebenarnya akunya terlalu alay. Dan, perasaanku saat itu tidak bisa kudeskripsikan. Tanpa satu kata yang keluar dari bibirku, aku langsung meninggalkan kelas dan pergi ke toilet. ”Halo, Ma.” Sapaku mengawali percakapan kami dalam sambungan telepon “Iya, halo, Nakku, ada apa?” “Ma, ada kabar gembira, nih, Ma. Aku dapat ranking dua di kelas, Ma.” Ujarku seperti ingin meledak-ledak rasanya. “Puji Tuhan, syukurlah. Selamat ya, Nak, semoga semester depan bisa lebih baik lagi.” “Iya, Ma, salamin ke Bapak sama Abang ya, Ma.” “Iya, sayang. Baik-baik disana.” “Oke, Ma.” Setelah selesai menelpon mama, aku kembali ke kelas. Kami saling mengucapkan selamat dan juga salam perpisahan. Karena, sehabis makan siang nanti kami


56 pulang kerumah masing-masing. Yeay, liburan!!! 7. Peristiwa Balon Merah Saat kurang lebih enam bulan aku disana, ada banyak sekali hal-hal yang ingin aku ceritakan ke kalian. Kali ini tentang perasaan. Aku masih sangat ingat awal pertemuanku dengan dia, dan kejadian apa yang membuat aku merasa jadi orang yang paling bahagia. Ceritaku ini dimulai tanggal 17 agustus 2015. Hari kemerdekaan Negara Indonesia. Seperti sekolah-sekolah biasanya, tentu ada banyak lomba yang diselenggarakan


57 oleh anak-anak osis. Sore itu, setelah lomba joget balon. Balon-balon sisa lomba tadi menjadi bahan rebutan para astri. Astri itu asrama putri. Tebak apa yang aku lakukan. Iya jelas ikut rebutan balon lah. Tapi sayang, aku kalah cepat dengan astri yang lain. Aku seperti anak kecil yang merengek minta balon ke mamanya. Tapi kali ini dia bukan mamaku. Dia Wina. “Win, aku mau balonnya nah.” Ujarku melas “Dah, yok, kita cari sama-sama, kek anak kecil aja kamu.” Jawabnya sedikit kesal. “Yeee..., makasih loh.” Aku sambil senyum-senyum. Setelah mencari ke sana ke sini, aku merasa sepertinya percuma saja mencari balon lagi. Semuanya sudah ada di tangan orang lain. Tapi, tiba-tiba Wina menarikku. Dia mengajak


58 ngobrol astra (asrama putra) yang lagi megang balon merah itu. Namanya Darrel. “Rel, boleh minta balonnya gak?” Tanya Wina. “Ini, nah, Anna gak dapet balon.” “Oh, iya, ini ambil aja.” Kata Darrel sambil memberikan balon. Aku tersipu malu. Senyum-senyum karena bisa dapatin balon. Kayak anak kecil aja. Lalu, aku bawa balon itu ke kamarku. Aku melarang semua orang yang ingin memegang balon itu. Aku takut balon itu akan pecah. Namun, tak sampai dua minggu, balon itu pecah, karena kesalahanku sendiri.


59 8. Salam Waktu itu, sekitar pertengahan bulan September tahun 2015, aku melakukan aktivitasku seperti biasa. Pergi sekolah, pulang sekolah, masuk asrama, keluar asrama. Di kelas, aku duduk di bangku paling belakang, duduk sama Kevin. Kevin teman kelasku, dia anak guru kimia di


60 sekolah. Aku sering ngobrol dengan dia. Dia asik dan nyambung kalau diajak cerita. Tapi, nggak tahu kenapa, tiba-tiba dia ngomong sesuatu yang nggak pernah ada dalam bahan obrolan kami sebelumnya. “An?” ujar Kevin. “Apa?” “Ada salam.” “Salam?” tanyaku heran “Iya, ada salam dari temanku, anak kelas sebelah, namanya Darrel.” “Darrel? Anak sepuluh IPA satu?” “Iya.” “Gak usah bercanda deh, Vin.” “Loh, aku serius.” “Biar dua rius, aku tetep gak percaya.” “Ya, sudah, deh, kalau gak percaya.” Lalu kami melanjutkan obrolan kami sebelumnya,


61 yang terpotong karena perkataan Kevin tadi. Aku bukanlah orang yang mudah percaya begitu saja dengan perkataan orang lain, harus benar-benar pasti. Apalagi seperti yang dibilang Kevin. Aku nggak percaya, itukan cuma salam. Apa susahnya tinggal datang kekelasku terus bilang salam secara langsung. Aku juga sebenanya takut kalau itu hanya dibuat-buat Kevin untuk menghiburku. *** Keesokan harinya, masih dengan aktivitas yang sama. Dan aku duduk di belakang lagi. Ya, sama Kevin lagi. Kali ini dia benar-benar menyebalkan. “An, aku beneran ini, aku dititipin salam dari Darrel buat kamu” “Ih, Kevin, kalau itu benar-benar dia, kenapa gak langsung aja? Terus kenapa dia gak pernah nyapa aku?


62 Gimana aku mau percaya kalau aku aja ngeliat dia jarang banget.” “Tapi ini beneran, An. Dia tadi nitip salam.” “Udahlah, aku gak bakal percaya, sampai dia sendiri yang bilang!” Tegasku “Ya, sudah, deh.” Jika aku tidak salah baru satu atau dua kali aku bertemu Darrel. Aku saja baru tahu namanya saat Wina meminta balonnya untukku. *** Keesokan harinya dia menitip salam lagi. Besoknya juga, tapi, dia tidak pernah menyapaku sama sekali.


63 9. Kak Gilang Akhir September 2015, aku masih ingat, saat itu malam minggu. Setiap malam minggu, hp kami dibagikan. Karena, dari hari senin sampai jumat hp kami dikumpul, kata pembina takut mengganggu belajar kami. Saat hp sudah dibagikan, aku mengambilnya dan


64 menyimpannya di laciku. Lalu aku belajar. Belum lama membaca materi yang kubaca, hp-ku bergetar, ternyata ada BBM yang masuk. Nama BBM-nya Gilang. Aku belum pernah punya teman yang namanya Gilang. Kenalan juga nggak ada. Isi pesan dari dia, hai, lagi apa. Aku penasaran siapa orang itu. Jadi, aku balas saja chat-nya. Lagi belajar, kamu siapa? Aku Gilang. Balasnya. Kok kenal aku? Tanyaku. Loh, kan kita satu sekolah. Aku kelas sebelas tiga. Aku terkejut saat dia bilang aku dan dia satu sekolah. Bagaimana bisa aku tidak mengenal dia. Katanya dia kakak kelasku, tapi kok aku tidak pernah mendengar namanya. Untuk meyakinkan lagi kalau dia benar-benar kakak kelasku, aku bertanya ke Kak Rina.


65 “Kak?” “Iya, An, kenapa?” “Di sekolah kita ada yang namanya Gilang?” ”Ada, dek. Dia kelas sebelas. Kenapa emangnya?” “Oh, gak papa kak.” Aku kembali ketempat dudukku tadi. Aku heran, bagaimana bisa aku tidak mengenal orang yang pagi, siang, sore, dan malam sama-sama tinggal dan makan di satu tempat yang sama denganku. Mungkin dia jarang ikut apel, atau jarang makan, atau juga jarang sekolah. Aku saja lupa kapan dan bagaimana aku dan Kak Gilang bisa berteman di BBM. Lalu aku berpikir, balas apa, ya? Dan aku membalas dengan sok kenal. Ooh, kak Gilang, iya kak, ada apa? Belum sampai satu menit aku membalas, langsung dibalas lagi sama Kak Gilang. Gak kenapa-kenapa, sih. Cuma mau chat kamu


66 aja. Aku merasa aneh dengan balasannya yang seperti itu. Biasanya kalau cowok nge-chat aku seperti itu, aku tidak membalasnya lagi. Takut kalau kubalas, nanti chat-nya semakin panjang. Dan isinya juga nggak penting. Jadi, aku tidak membalas chat dari Kak Gilang, dan melanjutkan belajarku *** Keesokan harinya, hari minggu. Seperti biasa, aku pergi ke gereja. Sepulang dari gereja, aku masuk kedalam kamar, duduk diatas kursi dan menghadap ke jendela. Aku membuka hp-ku. Ternyata sudah ada BBM dari Kak Gilang. Selamat pagi, dek. Karena mood-ku lagi bagus, jadi aku balas saja.


67 Iya, pagi, kak. Jujur, saat itu aku belum tahu yang mana yang namanya Kak Gilang . Namanya saja baru tahu tadi malam. Setelah itu dia membalas chat-ku lagi. Tapi, aku tidak mau membalas chat-nya. Aku malas. Karena, aku tidak mengenalnya. *** Satu minggu kemudian, Kak Gilang tetap saja terus menge-chat-ku. Ini semua gara-gara hp dalam satu minggu ini tidak dikumpul. Hari senin kemarin, ada yang kehilangan laptop. Jadi, karena takut ada maling yang masih mengincar barang-barang kami, pembina menyuruh kami menyimpan barang berharga kami masing-masing. Aku risih selalu di chat Kak Gilang. Dia selalu


68 menanyakan banyak hal yang membuatku harus banyak berpikir. Dan semua itu fix nggak penting. Dan ada satu lagi yang membuatku semakin geli dengan dia. Baru satu minggu dia mencoba mendekatiku, dia sudah berani menyatakan perasaannya padaku. Bagaimana bisa dia melakukan itu. Tentunya aku menolak. Aku saja baru melihat wajahnya kemarin, saat pramuka. Itu pun temanku yang memberitahukannya kepadaku. Aku menolak tawaran dari Kak Gilang untuk menjadi pacarnya secara halus. Aku bilang kita jadi teman aja kak. Anehnya, dia masih ngotot kepadaku. Dia bilang teman kan bisa jadi teman mesra. Aku semakin geli membaca setiap balasan dari dia. Sebenarnya dia baik. Tapikan masih awal-awal saja. Siapa tahu nanti berubah jadi drakula, hehehee… ***


69 Aku lupa itu tanggal berapa, seingatku awal bulan November, aku dan Kak Gilang jadian, setelah hampir dua bulan dia mengejar-ngejarku terus. Aku juga bingung kenapa bisa aku menerimanya menjadi pacarku. Ceritanya panjang. Singkat ceritanya, aku dipaksa temanku, namanya Dhea. Dia adalah pacar dari sahabatnya Kak Gilang. Dia menyuruhku menerima Kak Gilang. Karena, dia sudah berjanji sama Kak Gilang, kalau dia akan membuat aku menerima dia. Aku nggak tau apa yang membuat Dhea mohon-mohon sama aku, supaya aku menerima Kak Gilang. Tapi, karena aku kasihan sama Dhea, akhirnya aku menerima Kak Gilang menjadi pacarku, yang telah puluhan kali menembakku. Aku tidak berpikir panjang saat menerimanya. Aku berpikir, kalau nanti aku bisa saja mencari alasan agar aku bisa cepat putus dengan dia. Saat itu yang mengetahuiku berpacaran dengan


70 Kak Gilang, hanya Dhea. Dia sudah janji sama aku, kalau dia nggak akan membocorkan ke siapa-siapa. Karena, kalau sampai sekolah tahu, aku pasti dipanggil ke ruang BK. Di sekolahku sangat dilarang keras berpacaran. Jadi, aku nggak mau itu terjadi. Aku sudah janji, akan menjaga nama baik mama dan papa di sini. Kak Gilang juga sudah berjanji padaku, dia tidak akan mengumbar ke siapa-siapa. 10. Foto Bareng Walaupun aku memiliki pacar, hari-hariku di sekolah dan di asrama sama seperti biasa, tidak ada yang spesial. Bagaimana aku merasa itu spesial, aku saja belum menyukai Kak Gilang. Entah tahun berapa aku baru bisa mencintainya. Jika berpapasan di jalan kami


71 seperti orang yang tidak pernah kenal. Padahal, di chat dia cukup so sweet. Tapi, tetap saja aku selalu jual mahal kalau bertemu dia. *** Hari selasa, saat jam pelajaran bahasa Jepang, guruku membawa baju kimono. Kata beliau, kita tidak hanya belajar bahasa Jepang saja, tapi budayanya juga. Jadi, kami dipinjami baju kimono untuk dicoba atau kalau mau foto juga bisa. Aku dijuluki si jepang di kelas. Karena, mataku yang minimalis. Kata guru dan teman-temanku aku mirip gadis Jepang. “Eh, mana si jepang?” Tanya guruku di depan kelas. “Saya, Pak?” Kataku sambil mengangkat tangan. “Iya, kamu. Kamu cobain duluan ya bajunya. Biar


72 makin mirip orang Jepang.” Langsung saja teman-temanku tertawa mendengar perkataan guru tadi. Lalu, aku mengambil baju kimono itu dan berganti pakaian di toilet. Aku dibantu Wina memakai baju itu. Rambutku juga kurapikan. Saat keluar dari toilet, banyak yang memujiku dan banyak juga yang mengejekku. “Anna? Asli, nih, mirip banget sama orang Jepang.” Kata Kevin. “Iiih, apaan sih, Vin.” Jawabku kesal. Dan seketika temanku yang lain ikut-ikutan seperti yang dikatakan Kevin. Tapi, aku tidak seheboh teman-temanku yang lain saat memakai baju itu, biasa saja. Waktu aku sedang asyik ber-selfie, tiba-tiba ada keributan di depan kelas sepuluh IPA satu. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka ributkan disana, padahal


73 kelas kami bersebelahan. Jadi, aku hanya memperhatikan dari depan kelasku saja. Kevin dan temanku yang lain ternyata sedang menarik-narik seseorang. Tapi, kenapa mereka menarik orang itu ke arah kelasku. Lalu, Wina datang ke sampingku dan membisik kepadaku. “An, itu mereka lagi narik-narik Darrel.” “Ooh, itu Darrel yang mereka tarik-tarik.” “Iya, An, mereka mau bawa Darrel ke kamu.” Sontak aku terkejut mendengar perkataan Wina. “Ah, apaan sih, Win.” “Aku serius, beneran, tadi Kevin bilang si Darrel mau ngajak kamu foto bareng, tapi takut sama kamu.” Ujar Wina meyakinkanku. “Kenapa takut sama aku?” Aku hanya kebingungan depan kelas, bengong-bengong. Dan mereka berhasil menarik Darrel ke depanku.


74 “Ajak sudah, Rel.” Kata teman kelasnya. “Iya, susah banget sih tinggal ngomong.” Timpal Kevin. Yang aku lihat, si Darrel diam seribu bahasa. Seperti ingin memukul teman-temannya yang sudah membuatnya malu di depanku. “Foto bareng, yuk!” Tiga kata dari Darrel yang membuatku semakin bengong kebingungan. “Haaa…, eee…, iya.” “Vin, fotoin, ya.” Ujar Darrel. Kevin mengambil gambar ku dan Darrel. Aku cuma bisa diam. Dan senyum-senyum ke kamera. “Makasih, ya.” Kata Darrel sambil berlalu ke kelasnya. “Iya, sama sama.” Gara-gara hal itu, sekelasan langsung mengejekku.


75 “Cieee, yang abis foto bareng.” *** Setelah kejadian foto bareng itu, Darrel jadi mulai ramah kepadaku. Kalau bertemu, dia tidak sedingin kemarin. Dia juga semakin sering menitip salam lewat Kevin untukku. Dan kejadian itu membuat aku jadi percaya semua perkataan Kevin kemarin-kemarin. Entah kenapa habis foto bareng kemarin, aku tidak bisa berhenti senyum-senyum. Aku kenapa? Padahal aku juga foto sama astra yang lain. Kenapa aku jadi aneh begini? Oh, iya, btw itu pertama kalinya aku mengobrol dengan Darrel. Ternyata dia tidak sejutek yang aku bayangkan. Dia bisa dibilang cukup ramah.


76 11. My Annoying Boyfriend . Kabut pagi itu masih sangat tebal, tapi kami semua sudah berbaris rapi di lapangan sekolah. Apel pagi kali ini diambil kakak kelas tiga. Isi apelnya setiap hari itu-itu saja. Jaga kebersihan, kedisiplinan, kesehatan,


77 kerapian, dan belajarnya di tingkatkan terus. Setelah selesai apel, kami kembali ke kelas masing-masing. Belum juga aku duduk di kursiku, Kevin langsung menarikku sambil tertawa terbirit-birit. “An, sini, deh. Kamu pasti ngakak dengarnya.” Ujar Kevin sambil menahan tawanya. “Loh, kenapa, Vin?” “Makanya sini ikut aku.” Kevin menarikku ke pojokan kelas. “Jadi, semalam Darrel nyari nomor hp mu.” “Haah?” “Denger dulu, An.” “Iya, iya, terus gimana” “Terus dia bingung mau minta sama siapa. Nah, terus dia datangin ketua kelas kita. Dia minjam data siswa kelas kita.”


78 “Loh, buat apa?” “Buat nyari nomor kamu, lah, An.” “Terus dapat?” “Iya, dia dapat. Tapi, pas dia SMS, ternyata itu nomor mamamu.” “Apa? Jadi SMS ke mama aku? Hahahaa, kok bisa sih.” “Dianya sok tau sih, gak pake nanya-nanya dulu.” “Terus, kok kamu bisa tau?” “Darrelnya langsung cerita sama aku abis salah kirim SMS semalam.” “Hahahaa, aneh banget sih dia.” “Emang dia aneh.” “Emangnya dia SMS mamaku apaan? Terus mamaku jawabnya apa? “Katanya, dia nge-SMS mamamu bilang gini, Hai, ini Anna ya? Terus mamamu jawab, ini ibunya.”


79 “Astaga, pasti dia malu banget. Hahaha.” “Iya, An, dia malu banget katanya.” “Kasihan.” “Kok, kasihan?” “Iya, kasihan dia jadi malu.” Sebenarnya kami masih ingin melanjutkan obrolan kami, tapi guru jam pelajaran pertama sudah masuk kelas. jadi, kami kembali ke bangku masing-masing. Selama belajar pikiranku terganggu. Gara-gara mengingat perkataan Kevin tadi. Karena, belum pernah ada sebelumnya orang yang mau dekatin aku tapi nge-chat mamaku duluan. Hahaha…, ada-ada saja dia. *** Keesokan harinya, sehabis makan siang, kami di izinkan pulang ke rumah. Karena rumahku sangat jauh,


80 jadi aku ikut menginap di rumah Wina. Masih sekitar dua jam lagi, baru ayah Wina datang menjemput. Jadi, aku bersantai-santau dulu di kamar. Saat itu, aku sedang asyik bermain hp di atas kasur. Tak lama kemudian, seseorang menelponku. Dan orang itu adalah Kak Gilang. Sepertinya dia menelponku karena aku tidak membalas BBM-nya dari tadi pagi. “Halo.” “Iya, halo.” “Kok BBM kakak gak dibalas.” “Sibuk tadi.” “Sibuk ngapain, sih? Sampai balas chat pacar sendiri susah banget.” “Beneran sibuk. Aku tadi packing mau ikut nginap di rumah Wina.” “Nah, kan, mau pergi aja gak ada cerita. Terus pas sudah selesai packing kenapa gak langsung balas?”


81 “Aku capek, Kak.” “Lebih capekkan aku, nungguin balasanmu lama banget.” “Iya, aku minta maaf.” Jujur, aku kecewa saat dia memarahiku seperti itu. Seharusnya dia mengerti. Aku memang dari tadi pagi tidak ada mengang hp. Nggak cuma kali ini dia memarahiku seperti itu. Biasanya, kurang dua menit saja aku belum membalas atau aku tidak mengangkat telepon darinya pasti dia langsung marah. Dan yang meminta maaf duluan selalu aku. Setelah aku meminta maaf pun dia biasanya tetap membahas hal itu terus. “Coba tu ngertiin aku, aku gak bisa ditinggal gak ada kabar gini terus.” ujarnya “Iya, Kak, maafin aku.” “Iya, jangan gitu lagi, ya.” “Iya.”


82 Setelah selesai teleponan dengan Kak Gilang, aku berteriak-teriak di kamar, sampai-sampai teman kamarku heran dengan tingkahku itu. Kesal, aku sangat kesal. Kalau seperti ini terus mana bisa aku tahan lama-lama dengan dia. Aku yang selalu mengalah, yang selalu meminta maaf, dan yang selalu dimarahi. Entah kenapa, aku dulu begitu sabar menghadapi dia. Dan sampai saat itu aku masih belum ada perasaan padanya. Mungkin ada, tapi hanya sebatas perhatian ke teman dekat, tidak seperti perhatianku ke pacarku sebelumnya. *** Drrrrrrtttt . . . drrrrttt . . . Itu bunyi pesan dari hp-ku. Aku sebenarnya malas membukanya sekarang. Pikirku itu pasti Kak Gilang. Tapi, dia biasanya menghubungiku lewat BBM. Jadi, aku tetap membuka pesan itu.


83 Aku tidak tahu siapa pengirimnya, nomornya tidak ada di daftar kontak teleponku. Isi pesannya Cuma, hai, Anna. Aku penasaran siapa dia. Jadi, aku balas. Iya, hai, kamu siapa? Tak lama dia menjawab. ` Aku manusia. Aku sedikit kesal saat dia balas seperti itu. Iya, manusia, namanya siapa? Lalu dia menjawab dengan pede-nya Nanti kalau aku kasih tau namaku, kamu gak mau balas chatku lagi. Aku saat itu lagi sangat kesal, gara-gara Kak Gilang, dan semakin menjadi-jadi saat ditambah orang yang sok kenal itu. Dan itu membuatku menjawab pesannya dengan kata-kata yang pedas. Nama kamu siapa? Kalau kamu gak kasih tau, aku gak bakal balas lagi.


84 Aku harap dia akan kapok mempermainkan aku. Dan benar, akhirnya dia mengaku. Iya, iya, aku Darrel. Aku langsung tertawa saat aku tahu dia itu Darrel. Aku jadi ingat cerita dari Kevin. Kalau dia salah nomor saat mau menghubungiku. Tapi, aku sibuk waktu itu. Karena, ayah Wina sudah datang. Jadi, aku tidak sempat membalas chat dari Darrel. *** Waktu aku sampai di rumah Wina, aku bertemu ibunya. “Siang, Tante.” “Siang. Ini Anna, ya? Waah, manisnya.” “Iya, Tante, terima kasih.”


85 “Jauh ya rumahnya Wina.” “Nggak kok, Tan, masih jauhan rumah Anna kok.” “Oooh, ya sudah, bawa barangnya masuk gih. Santai-santai aja dulu di kamar sama Wina.” “Iya, Tante.” Lalu aku mengambil barangku dari mobil, dan membawanya masuk ke dalam kamar Wina. Setelah selesai berganti pakaian. Aku duduk di atas kasur sambil saling bercerita dengan Wina. Dan Aku lupa kalau aku harus menghubungi Kak Gilang, sebelum dia marah lagi. Aku juga lupa kalau tadi aku juga chat-an sama Darrel. Jadi, aku mengambil hp-ku di dalam tas. Sudah ada tiga panggilan tak terjawab dan dua pesan. Tiga panggilan tak terjawab itu dari Kak Gilang, dan dua pesan itu dari Darrel. Pertama, aku langsung menghubungi Kak Gilang. Setelah itu baru aku membuka pesan dari Darrel. Pesan yang pertama isinya begini,


86 Kan, sudah aku tebak. Kamu nggak akan balas kalau sudah tau namaku. Aku langsung tertawa membacanya. Bisa-bisanya dia berpikir aku seperti itu. Dan isi pesan yang kedua begini, Jangan lupa makan siang ya, Anna. Dia ini sebenarnya siapa. Baru chatting-an beberapa jam yang lalu, tapi perhatiannya sudah seperti gebetan saja. Karena aku orangnya nggak bisa langsung sok asik dengan orang baru, jadi aku menjawab pesannya biasa-biasa saja. Iya, makasih. Begitulah isi balasanku. Aku ditinggal tidur oleh Kak Gilang, jadi aku hanya menunggu balasan dari Darrel. Tapi, tak lama kemudian aku jadi tertidur.


87 12.Putus Keesokan harinya aku akan kembali ke asrama. Sebelum pergi, aku pamit kepada orang tua wina.


88 Mereka sangat baik kepadaku. Saat aku sudah di dalam mobil, aku melihat sembilan panggilan tak terjawab dari Kak Gilang. Pagi tadi aku sangat sibuk menyimpun barang-barangku. Jadi, aku tidak sempat membuka ponselku. Seperti yang kalian duga, Kak Gilang marah lagi. Dia mengirimiku pesan yang isinya sangat mennyakitkan hatiku. Anna? Kamu kemana sih? Gak bisa kah ngertiin aku? Aku ini pacarmu. Kamu anggap apa aku ini? Apa susahnya angkat telepon dari aku. Kamu dapat cowok baru ya di sana? Iya? Bilang sama aku siapa orangnya. Aku awalnya percaya sama kamu, An. Tapi kalau kamu gini terus aku muak! Lihat, betapa teganya dia mengatakan hal itu kepadaku. Aku pikir dia sudah kehilangan akalnya. Atau bahkan dia sudah gila? Bayangkan saja, Aku tidak mengangkat telepon baru setengah jam yang lalu, dan dia sudah menuduhku yang tidak-tidak. Dan ada satu pesan lagi yang dia kirim setelah


89 pesan itu. Isinya PERSETAN! Aku menangis saat membaca pesan itu. Dia tega sekali mengirim pesan yang isinya sangat tidak sopan itu. Detik itu juga, tanpa berpikir panjang, aku mau memutuskan hubunganku dengan Kak Gilang. Aku lelah selama ini selalu tertekan. Selalu aku yang mengalah. Selalu aku yang salah. Aku sudah tidak kuat lagi. Jadi, hubunganku dengan Kak Gilang berakhir. Aku memutuskannya lewat sms. Dan setelah itu, dia langsung menelponku berkali-kali. Aku tidak tahan lagi dengannya. Jadi kartu nomor teleponku itu kulepas dari ponselku. Lalu kubuang keluar dari jendela mobil. Wina bingung kenapa aku menangis, jadi dia hanya memberikan pundaknya padaku. Dan aku menangis lama di pundaknya. Aku masih belum mau menceritakannya ke Wina. Aku terlalu sakit hati. Karena aku kesal dia juga masih mencariku lewat hp Wina, aku mengangkat teleponnya dari hp Wina dan bilang kalau dia sudah mati bagiku, aku tidak mau mengenalnya lagi. Aku tidak mau dia mengejarku terus.


90 Aku tidak mau diganggu lagi. Setelah mendengar semua itu, dia pun marah balik kepadaku, dan mematikan teleponnya. Aku sedikit lega waktu aku mengatakan itu kepadanya. Itu benar-benar hubunganku yang paling sebentar. Cuma sekitar 20 hari aku berpacaran dengannya. Dan akhirnya berakhir dengan tragis. 13. Bertemu Manusia Ajaib


91 Setelah kejadian itu, aku tidak merasa menyesal sama sekali. Aku malah senang karena akhirnya terbebas dari semua gembok yang diberikan Kak Gilang kepadaku. Aku dengan mudah bisa melupakan Kak Gilang begitu saja. Aku tetap bisa menlanjutkan aktivitasku tanpa ada rasa galau. Malahan aku semakin bahagia. Dan sejak kejadian itu, Kak Gilang masih saja mengejarku. Dia bilang dia menyesal. Dia mau akyu menjadi pacarnya lagi. Dan dia juga berjanji tidak akan mengataiku ini itu lagi. Tapi, tetap saja, itu tidak membuatku berubah pikiran. Bagiku, sekali saja dia menghancurkan hatiku, suatu saat pasti dia akan melakukannya lagi. *** Hari-hariku berlalu seperti biasa. Aku tetap ceria setiap hari. Aku juga masih sering melakukan hal konyol dengan Wina. Dia membuat hari-hariku semakin


92 berwarna. Tadi malam sebelum tidur, Darrel mengirim sms. Anna, apa kabar? Jangan lupa makan ya. Sepertinya, setiap dia sms isinya pasti ada kalimat jangan lupa makan ya. Dia lucu sekali. Walaupun, aku jarang membalas sms-nya, dia tetap mengirimiku pesan tiga kali sehari. Dan isinya menyuruhku jangan lupa makan. Aku jarang keluar kelas kalau jam istirahat, maka dari itu aku jarang bertemu dengannya. Kalau di ruang makan, aku sering memergokinya sedang memperhatikanku. Dan tingkah lakunya saat aku memergokinya itu, sangat lucu. Dia langsung pura-pura melihat ke arah yang lain. Dia terlihat salah tingkah. Kami tidak pernah mengobrol setelah kejadian foto bareng waktu itu. Sampai suatu ketika aku lewat depan kelasnya, dia menyapaku, hai, An, begitu. Aku membalas sapaannya dengan senyuman saja.


93 Karena aku buru-buru saat itu, dipanggil guru ke kantor. *** Malam harinya, setelah selesai apel malam, aku berjalan bersama Wina menuju asrama. Tiba-tiba Kevin memanggilku dari belakang. “Anna, Anna! Tunggu!” Teriak Kevin. “Kenapa, Vin?” Tanyaku “Darrel mau ngomong sama kamu.” “Darrel? Buat apa?” “Nggak tau, tuh. Tunggu bentar.” Aku berhenti di tengah jalan ke asrama, menunggu si Darrel. Aneh-aneh saja, kenapa harus Kevin yang bilang. Kenapa dia nggak ngomong langsung saja, kalau ada yang mau dia omongin? Tidak lama Darrel datang.


94 “Maaf, maaf, nunggu lama ya?” Ujar Darrel “Nggak, kok. Tadi kata Kevin kamu mau ngomong.” “Iya, aku mau bilang, semangat belajarnya Anna.” “Oh, iya, makasih.” “Iya sama-sama.” “Udah itu aja?” “Oh, iya sama ini, ini buat kamu.” Kata Darrel sambil memberikan sebatang coklat yang ada di tangannya. “Ini? Buat aku?” “Iya, terima ya, An.” “Emmm, makasih ya, Rel.” “Iya, sama-sama lagi.” “Ya, sudah, aku balik dulu.” “Okee, balas pesanku kalau sudah di kamar ya” “Iya.”


Click to View FlipBook Version