The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Kumpulan Cerpen Unggul Kasih Bermartabat karya suster dan para guru SMP Mater Dei Pamulang. Karya ini dalam rangka lomba SaSekSabu 200th SPM

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SMP Mater Dei, 2022-04-12 10:00:22

KUMPULAN CERPEN_LOMBA_SASEKSABU_SMP MATER DEI PAMULANG (Format resmi panitia)

Kumpulan Cerpen Unggul Kasih Bermartabat karya suster dan para guru SMP Mater Dei Pamulang. Karya ini dalam rangka lomba SaSekSabu 200th SPM

SMP MATER DEI PAMULANG

CARE- INNOVATIVE-RESPECT

ELEGI PANDEMI
10 KISAH YANG MENGGETARKAN JIWA SELAMA PANDEMI

KUMPULAN CERPEN UNGGUL - KASIH -BERMATRABAT

KARYA SUSTER DAN PARA GURU SMP MATER DEI PAMULANG

DAFTAR ISI 2
3
KATA PENGANTAR 7
Pagebluk 13
Aris Kurniyawan, S.S 19
Episode 16 22
Henrikus Erda Putra, S.Pd. 26
Semusim Raquela di Masa Pandemi 32
Sr. M.Vincentine SPM 38
Kasiyanto 42
Dra. Ch. Wiwiek Estiningsih 50
Malaikat-Malaikat 55
Yustina Titik Lestariyati, S.Pd
Aku dan Muridku
Dra. Anna Maria Elvirayati
Sekolah Bumi Baik
Agatha Sita Rasihanuri S.S
Lilin-lilin Kecil Penyemangatku
Rini Hartawati, S.Pd
Martinovna
Septiana Sijabat, S.Pd
Gusti Mboten Sare
Catarina Nur Retnowati, S. Pd
PENUTUP

KATA PENGANTAR
Oleh. Sr. M. Vincentine SPM. S.Sos, M.M.CE

Kami bersyukur kepada Bapa Mahabaik, masa-masa pandemi COVID-19
memberikan sejuta peristiwa yang berharga untuk dimaknai. Perkumpulan
Dharmaputri telah mengundang dan memberikan kesempatan bagi warga sekolah
untuk menguntai kisah-kisah inspiratif dalam cerpen sebagai kisah nyata harian
dan pergumulan para pendidik, perjuangan para pendidik mengasah keunggulan
diri, hati yang penuh kasih, dan mengangkat martabat citra Allah. Cerita pendek
SMP Mater Dei ini melibatkan kepala sekolah, dan guru, sedangkan peserta didik
kami fokuskan pada lomba-lomba yang diadakan di PDP maupun di tingkat
lainnya, mengingat situasi yang masih naik-turun dengan ketidakpastian.

Tema "ELEGI PANDEMI" menjadi tema faktual dan aktual yang menjadi
cerita serta perjuangan kita semua, maka cover kami pilih nuansa abu-abu yang
menunjukkan ambiguitas, serta gambaran ketidakpastian pada masa depan segala
hal yang akan kita lalui, dan pada tahun sukacita ini kita semua diajak untuk
memiliki harapan sejati pada Yesus Sang Guru sejati.

Penulisan cerpen ini tentu masih ada kekurangan, mengingat banyaknya
aktivitas di sekolah. Kami tetap bersyukur, dan inilah persembahan kecil kisah
inspiratif dari kami. Semoga karya ini memiliki dampak positif bagi pembacanya.

Bersama Bunda Maria "Mater Dei" , kami ingin nilai Unggul, Kasih, dan
Bermartabat semakin menjadi kekuatan unit dan lembaga untuk maju bersama
menghadapi ketidakpastian yang tengah terjadi dengan jiwa optimis, dan penuh
harapan.

Terima kasih pada Perkumpulan Dharmaputri, tim guru bahasa Indonesia
SMP Mater Dei, panitia, dan semua pihak yang telah memberi kesempatan
'SaSekSaBu" ini terselenggara. Salam Unggul, Kasih, dan Bermartabat TOTA
CHRISTI PER MARIAM

2

Pagebluk

Oleh: Aris Kurniyawan, S.S

Sudah dua minggu berlalu lorong-lorong itu sunyi, tak ada lagi riuh canda
tawa bocah-bocah tengil yang selalu menantiku untuk melontarkan humor ringan
di pagi hari. Semenjak pagebluk itu datang semua menjadi sepi. Ruang-ruang
terkunci tak berpenghuni, kursi-kursi berdebu tanda tak pernah diduduki. Setiap
kali aku melewati lorong-lorong itu aku seolah melihat bocah-bocah berlarian ke
sana kemari. Perhatianku berhenti di sudut lorong, biasanya aku melihat Boggi
duduk tenang dengan tatapan kosong menatap patung orang kudus yang kesepian
di ujung lorong.

Dua minggu yang lalu aku mendekatinya untuk menanyakan apakah dia
membawa bekal. Biasanya aku beri dia jatah susu kotak harianku jika ia tak
membawa bekal, sekadar pengganjal perut agar ia tetap bisa belajar. Boggi selalu
mengucap terima kasih sambil menundukkan kepala setiap kali aku memberi dia
sesuatu. Kali ini dia menolak dengan halus.

“Sudah, Pak terima kasih, saya hari ini membawa bekal. Tadi nenek
memberikan bekal susu.” Sontak saja aku terkejut. Tumben dia dibawakan bekal
oleh neneknya. Aku tahu betul keadaan keluarganya karena aku pernah dua kali
berkunjung untuk melihat langsung kondisi rumah dan relasi dengan neneknya.
Rasa penasaranku muncul karena baru kali ini dia dibawakan bekal.

“Boggi kamu terima aja susunya, disimpan buat besok. Kalau kamu besok
tidak dibawakan bekal kan lumayan ada cadangan yang bisa kamu minum”.

Dia menggelengkan kepala tanda dia tidak menerima tawaranku. Aku tak
memaksa, toh besok bisa aku berikan kembali jika ia tidak dibawakan bekal.

***
Dua bulan sudah berlalu pagebluk makin menjadi-jadi. Semua orang
dilarang pergi, dilarang menyalakan TV karena ditakut-takuti jika menonton TV
akan cepat mati. Semua diminta tutup mulut, supaya tidak tertular pagebluk,
bahkan ada yang tidak boleh kentut, karena kentut itu bisa berakibat maut. Aturan
macam apa ini, sampai hal privasi saja diatur oleh penguasa negeri. Dalam
benakku, aku hanya khawatir dengan nasib Boggi. Apakah ia bisa belajar dengan

3

baik? Apakah punya kuota yang cukup karena katanya sekolah online butuh
banyak kuota? Saya takut kalau dia makin kurus karena kurang asupan gizi. Saya
yakin betul ada banyak kesulitan yang akan dihadapi dalam situasi saat ini.

Masih lekat dalam ingatanku waktu pertama kali ia memandangku dari
jauh seolah ingin bicara dan mengutarakan sesuatu. Sekolah sudah sepi karena
jam pulang sudah berlalu beberapa menit. Anak lelaki berambut ikal dengan
perawakan yang tidak terlalu tinggi, badanya terlihat kurus dan matanya
menerawang duduk di sudut lorong memandangi patung orang kudus. Ia sedikit
kaget karena mendengar langkahku keluar dari salah satu ruangan. Ia mengangguk
pelan tanpa berkata apa pun. Dari jauh aku menyapanya.

“Sedang apa, Nak? Ini sudah jam pulang. Kenapa masih di sekolah?
Menunggu jemputan kah?”

Ia mengeleng pelan lalu menunduk. Saat aku hendak berpaling dia
menatapku seolah ingin bicara sesuatu. Aku berjalan menghampirinya lalu
mencoba duduk agak jauh supaya dia tidak canggung.

“Pak, Bapak tahu apa tujuan Tuhan menciptakan manusia?” tanyanya
pelan tapi mantap.

“Wah rupanya kamu mendapat tugas untuk pelajaran agama, Nak?
tanyaku sambil bercanda karena aku pikir pertanyaan itu mirip pertanyaan mata
pelajaran agama.

“Gak kok, Pak. Saya hanya ingin tahu saja kenapa Tuhan menciptakan
saya?” jawabnya.

“Wah, Bapak kira tadi itu pertanyaan soal pelajaran agama.Bagaimana ya
jawabnya?

Pertanyaanmu itu bukan pertanyaan biasa.Eh ngomong-ngomong siapa
namamu? Kelas berapa?” tanyaku sebelum melanjutkan menjawab
pertanyaannya.

“ Boggi Pak, kelas 7 B absen 13,” jawabnya komplit lengkap dengan kelas
dan no absen.

“Jadi gini Boggi, pertanyaanmu itu menurut Bapak sangat berat karena
biasanya jarang sekali anak seusiamu bertanya hal mendasar seperti itu. Sejauh
yang Bapak tahu, Tuhan itu pasti punya alasan dan tujuan untuk menciptakan

4

setiap manusia. Dalam kitab suci dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia
itu untuk beranak cucu, bertambah banyak, dan menguasai bumi.” jawabannya.

Kalau Bapak rasakan, apa yang kamu tanyakan itu persoalan pribadi dan
jawabannya ada dalam dirimu sendiri. Saat ini tugas kamu menemukan tujuan itu
agar kamu bisa mengerti tujuan Tuhan menciptakanmu. Jika saat ini tujuan yang
kamu temukan adalah belajar, itu artinya alasan Tuhan menciptakan kamu untuk
belajar tentang pengetahuan.

Semakin bertambahnya usia, kamu pasti menemukan tujuan yang berbeda
dan apa pun yang kamu temukan itu tidak ada yang salah. Kalau kamu ingin tahu
tujuanmu saat ini, kamu bisa belajar mencarinya dari kata-kata ini ‘pergilah ke
mana hati membawamu’. Begitu jawabku mengakhiri tausiah teologis yang
kubawakan siang ini.

“Terima kasih, Pak, saya pamit pulang,” jawabnya sembari
meninggalkanku sendiri. Anak itu benar-benar pergi setelah mendengar kalimat
terakhirku.

***
Dua tahun sudah berlalu pagebluk tetap saja tak meninggalkan negeri ini.
Entah dengan cara apalagi ia harus diusir, puasa dan doa sudah tak sakti. Kini
semua orang sudah tak peduli dengan mulut bahkan bau kentut, semua sudah
merasa bernyali karena sudah mendapat vaksin dari luar negeri. Mall sudah mulai
ramai karena berbekal surat sakti dan semua orang bisa beli-beli sesuka hati.
Pagebluk sudah tak dihiraukan. Orang-orang pikir pagebluk itu hanya konspirasi
dan bualan para pemangku negeri ini. Semua orang bersorak sorai dan larut dalam
euforia. Sekolah-sekolah juga sudah mulai dibuka kembali meski hanya terbatas.
Kami para guru juga bersorak sorai karena bisa kembali bertemu dengan
bocah-bocah tengil yang selalu membuat kelas menjadi hidup. Selama dua hari
bapak-bapak mulai bersih-bersih kelas, debu-debu lenyap, semua kursi dicat
warna-warni biar lebih semarak dan siap dipakai kembali. Dua tahun sudah yang
mati dihidupkan kembali.Tibalah sekolah dibuka kembali.
Pak Jarwo yang hari-hari sebelumnya lesu, hari ini tampak semangat,
jenggot dan brewoknya sudah rapi. Bu Siti yang beberapa hari lalu gula darahnya
naik, kini sudah kelihatan bugar kembali. Pak Sis yang setahun lalu stroke, kini

5

sudah bisa berjalan lagi meski masih memakai alat bantu. Bu Ami yang sebulan
yang lalu bajunya sesak kini sudah kelihatan sexy lagi karena sudah ikut program
diet demi menyambut anak-anak sekolah kembali. Hari ini semua berbeda, semua
berubah karena kelas akan penuh dengan tawa ria. Sekolah ini jadi hidup kembali
karena akan diisi dengan celoteh dan tanya jawab seperti dulu lagi.

Pukul 07.00 dari sentral dikumandangkan mars sekolah menyambut
anak-anak yang diantar orang tuanya. Para guru berbaris rapi di depan pintu
gerbang dan anak-anak mulai berdatangan sembari hormat dan mengucap selamat
pagi. Mereka mencari kelas yang belum pernah mereka tempati setelah sekian
lama. Anak-anak yang baru pertama kali masuk sekolah tampak canggung karena
belum tahu persis ruangan-ruangan yang dipakai belajar.

Setengah jam berlalu halaman sekolah sudah mulai sepi. Pagi itu aku
bertugas untuk menutup pintu gerbang sekolah. Sebelum aku menutup gerbang,
aku pastikan lagi area jalan masuk sekolah tidak ada anak yang terlambat. Ketika
aku hendak menutup gerbang aku melihat seorang nenek dari jauh
tergopoh-gopoh sambil memanggilku.

“Pak….Pak…..permisi Pak… tunggu Pak…..,” rasanya aku tak asing
dengan suara dan paras nenek itu meski dari jauh. Ya nenek itu adalah Nenek
Boggi.

“Selamat pagi, Nek, apa kabar? Kok nenek sendirian? Lha Bogginya
mana?“ tanyaku spontan. Sambil terisak nenek itu mengeluarkan secarik kertas
dari tas kecilnya lalu memberikan kertas itu kepadaku. Aku ambil kertas itu lalu
kubaca dalam hati. Mulutku kelu, hatiku seperti membeku, dan kakiku seketika
itu lemas. Tanpa kusadari air mataku menetes.Isi surat itu: “Pak terima kasih
sudah mengantar saya untuk bertemu Tuhan, saya sudah tahu tujuan saya
diciptakan, sebentar lagi saya pulang, Pak. Oh ya terima kasih susu kotaknya.
Pergilah ke mana hati membawamu! Salam hangat Boggi.”

“Boggi sudah tidak akan sekolah lagi, Pak. Boggi sudah……..” Nenek itu
tak mampu melanjutkannya. Aku memeluk tubuh ringkihnya yang tak kuasa
menahan situasi berat ini. Kini Boggi sudah pergi, pagebluk mengantarnya
pulang.

6

Episode 16

Oleh: Henrikus Erda Putra, S.Pd.

Lebih cepat dari hari-hari di kalender, tak terasa hari telah berganti
kembali. Mentari pagi sudah menampakkan dirinya dengan cahayanya yang
masuk melalui ventilasi kamar. Suara berisik ayam jantan berkokok dari depan
kamar dan burung-burung berkicau yang bertengger di pohon pun seakan-akan
juga memberikan tanda bahwa aku harus segera bangkit dari kasur. Terdengar
juga suara ibu dari lantai satu yang sangat lantang berteriak memanggil namaku
untuk segera sarapan. Aku sungguh tidak siap untuk menghadapi hari ini karena
ada sesuatu yang sangat menganggu di pikiranku sejak tadi malam. Sesuatu yang
membuat diriku sampai menangis semalaman. Dengan kedua mata yang bengkak
ini, aku mulai bergegas menuju kamar mandi lalu mengenakan seragam sekolah
terburu-buru. Ya, aku hampir saja kesiangan.

Perkenalkan namaku Karina. Aku sekarang duduk dibangku kelas 9.
Tepatnya di kelas 9A. Orang-orang di sekitar mengenal diriku adalah sosok
remaja yang cantik, ceria, ramah, dan sopan. Namun semua itu adalah hanya
omong kosong ketika aku mulai menjalani hari yang sungguh tidak
menyenangkan ini. Ya bagaimana tidak menyenangkan, semalam aku menangis
tanpa henti sampai perasaan itu terbawa pada keesokkan harinya. Di meja makan
pun ibu dan ayahku terheran-heran melihat anaknya yang berwajah kusam dan
murung itu. Biasanya aku menyapa selamat pagi kepada mereka, tapi aku hanya
duduk terdiam dan menikmati nasi goreng ayam buatan ibu.

“Kamu kenapa, Nak? Tumben sekali wajahmu itu terlihat murung?
Biasanya setiap pagi kamu selalu berwajah ceria, namun sekarang raut wajahmu
seperti langit mendung,” kata ibu.

“Ciee matanya bengkak. Mungkin kakak abis nangis diputusin pacarnya
kali Bu, makanya raut wajahnya seperti itu,” seru adikku yang berusaha untuk
mencairkan suasana.

“Atau nilai ulangan bahasa Mandarinnya jelek, Bu.”
“Atau sedang berkelahi dengan bestie1-nya.”

1 Panggilan untuk sahabat terdekat.

7

“Ayo ceritakan permasalahanmu kepada kami agar semuanya segera
membaik. Jika kamu hanya terdiam seperti ini, kami tidak bisa mengerti
permasalahanmu seperti apa,” kata ayah.

Aku yang mendengar semua perkataan-perkataan itu, langsung segera
menghabiskan sarapan dan beranjak dari kursi meja makan lalu berangkat ke
sekolah tanpa berpamitan dengan orang tua dan adikku. Walaupun itu merupakan
sikap yang tidak baik, tapi terpaksa aku lakukan agar perbincangan atau
pertanyaan-pertanyaan yang lain tidak muncul lagi di hadapanku. Oh ya, satu hal
lagi yang orang-orang di sekitarku tidak tahu tentang diriku, jika wajahku terlihat
sedang murung berarti aku sedang memiliki masalah dan itu berarti tidak ada yang
boleh mengajakku berbicara karena aku sedang butuh me time2 untuk mengatasi
masalahku itu. Di samping itu aku lebih suka menyelesaikan permasalahanku
sendiri dibanding melibatkan orang lain untuk menyelesaikan masalah-masalahku
karena aku tidak suka merepotkan orang lain. Untuk pertama kalinya, aku
meninggalkan rumah dengan perasaan yang tidak menyenangkan.

Hembusan angin pagi hari ini cukup dingin dan menusuk tajam hingga ke
pori-pori kulit badanku. Mentari pagi juga tidak ada gunanya, hanya sebagai
penerangan malah bukan menghangatkan seisi bumi. Sepertinya musim dingin
akan segera tiba. Dengan wajah murungku ini, aku berjalan santai sambil
melamun di sepanjang jalan setapak ini. Apa yang dikatakan adikku itu 100%
salah. Aku jelas tidak punya pacar walaupun ingin punya pacar, tapi fokus studi
dulu karena sebentar lagi ujian sekolah. Lalu aku juga tidak berkelahi dengan
sahabatku itu. Nilai ulangan bahasa Mandarinku juga selalu bagus tidak pernah
jelek.

Terlihat di ujung jalan setapak ini ada sebuah kursi panjang yang diapit
oleh dua pohon cemara besar dan rimbun. Biasanya sahabatku duduk di sana
sambil menungguku untuk berangkat ke sekolah bersama.

“Karina…Karina…Karina buruan dong, ini sudah jam berapa? Kita
hampir terlambat nih. Ayo buruan lari! Jalannya jangan kek siput!” seru sahabatku
sambil berteriak dan melambaikan tangan.

“Iya sebentar, aku lari bak kuda nih!”

2 Waktu untuk sendiri.

8

“Kok kamu tumben sih agak siangan berangkatnya? Biasanya kamu selalu
agak pagian sampai sini. Ini juga kenapa mukamu murung? Habis diputusin bias3
K-Pop4 mu ya? Siapa namanya? Ah lupa, De O bukan sih?”

“Bukan De O woy! Tapi D.O. dibaca Di Ou. Aku udah bilang berkali-kali
tapi masih aja enggak inget. Gimana sih? Apa perlu aku kirim rekaman suaraku
setiap hari supaya kamu inget cara bacanya?”

“Santai Rin, ga perlu pakai emosi juga ngomongnya. Iya deh bakal aku
inget terus cara baca nama bias mu itu. Oh ya, pertanyaanku tadi belum dijawab.
Kenapa mukamu murung?”

“Bukannya sudah aku kasih tau ya tadi malam?”
“Enggak ada ya, aku tanya tugas matematika tadi malam aja ga dibalas
apalagi itu. Dasar!”
“Oh iya, maaf ya. Semalaman aku habis nangis. Ceritanya agak panjang
sih, nanti pas istirahat aku bakal ceritain ke kamu deh.”
“Oke siap. Janji ya jangan lupa! Kamu tuh kadang lupa!”
Selang beberapa menit di perjalanan akhirnya kami tiba di sekolah tepat
waktu. Sesampainya di kelas, aku langsung menempati bangkuku sendiri. Ruang
kelasku cukup lebar, itu mampu menampung 40 anak ditambah satu guru
pengajar. Ada banyak jendela dan dua pendingin ruangan juga. Biasanya jika
musim panas tiba, pendingin ruangan di kelas selalu dinyalakan hingga 150C.
Berhubung sekarang memasuki musim dingin, pendingin ruangan tidak
dinyalakan, tetapi tetap saja aku merasa kepanasan. Panas akan perasaan emosi
ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi, guru mapel bahasa Indonesia
memasuki kelas dan pelajaran pertama pun dimulai. Selama 3 jam pelajaran aku
hanya duduk melamum sambil melihat awan-awan bergerak yang menghiasi
langit biru, sungguh indah sekali. Untungnya pelajaran bahasa Indonesia hari ini
tidak ada ulangan ataupun kuis, jadi aku hanya duduk santai sembari melamun
melihat suasana luar sekolah dari arah jendela. Pagi ini aku sungguh tidak fokus
dengan kegiatan pembelajaran. Gpp deh sekali-kali, nanti di rumah aku ulas
kembali pelajaran bahasa Indonesia.

3 Sosok yang dikagumi atau diidolakan.
4 Aliran musik pop dari negara Korea Selatan.

9

120 menit sudah berlalu, akhirnya terdengar bel berbunyi dua kali
pertanda itu adalah bel istirahat. Aku langsung mengambil bekal lalu bergegas
menuju kelas 9C untuk menemui sahabatku. Nama sahabatku Giselle. Aku sudah
berteman dengannya sejak SMP kelas 7. Aku bisa berteman dengannya karena
sebuah insiden yang tidak terduga. Sungguh kejadian yang konyol jika mengingat
kembali momen pertamaku bertemu dengannya.

“Giselle…Giselle… buruan keluar, katanya mau tahu ceritaku? Ayo kita
ke gazebo seperti biasanya.” teriakku.

“Siap Rin, aku mau bayar kas kelas dulu ya. Sudah nunggak 2 minggu ini,
kasihan sama bendaharanya tagih terus sampai ga ada pemasukan di buku kas
kelasku hehehe.”

“Uhh dasar. Makanya kayak aku dong langsung lunas satu bulan. Ayo
cepetan nanti waktu istirahatnya habis”

“Sabar Rin, ini juga lagi tanda tangan dulu!” seru Giselle.
Di sekolahku ada banyak sekali gazebo, namun dari banyaknya gazebo itu,
kami selalu memilih gazebo yang paling ujung dekat kolam karena selalu sepi
pengunjung. Itu pun sepi pengunjung karena ada banyak serangga dan nyamuk,
maklum gazebonya dekat kolam dan juga banyak ilalang di sekelilingnya, tapi
kami tidak pernah khawatir akan hal itu. Kami selalu mengoleskan losion anti
nyamuk di kulit sehingga nyamuk-nyamuk yang nakal itu tidak berani untuk
mengisap darah segar kami.
“Hari ini bekalmu apa Sel?”
“Aku hari ini bawa nasi goreng seafood sama jeruk mandarin. Aku bawa 2
jeruk nih, satunya buat kamu.”
“Ah nasi goreng jadi teringat sarapan tadi pagi, btw terima kasih ya
jeruknya.”
“Jadi apa masalahmu itu? Ayo ceritakan! Biasanya kan kamu hanya mau
menceritakan masalahmu sama aku bukan malah sama orang tuamu. Emang aneh
banget ini anak,” kata Giselle.
“Mohon maaf nih, aku udah nyaman kalau apa-apa bicara sama kamu. Jadi
begini, tadi malam itu aku nangis semalaman karena habis nonton drakor. Itu

10

drakornya udah episode terakhir. Pemeran utama yang aku idolakan ternyata
menujukkan sifat busuknya itu.”

“Aku kira apaan, Rin! Ya ampun ternyata drakor. Apa sih bagusnya
drakor? Mending nonton sinetron aja,” ujar Giselle dengan herannya.

“Sepele sih tapi mau bagaimana lagi. Aku terbawa arus cerita drakornya.
Akting pemain pria utama dari awal episode hingga episode 15 menujukkan
karakteristiknya yang baik dan ramah. Ia juga selalu menolong orang-orang yang
membutuhkan pertolongan. Secara tidak langsung ia menyampaikan pesan kepada
penonton bahwa kita harus bersikap peduli dan kasih kepada sesama. Ya seperti
salah satu motto sekolah kita yang ada nilai kasihnya itu.”

“Terus akhirnya bagaimana ending ceritanya?” tanya Giselle sambil
mengupas kulit jeruk mandarin.

“Nah kan kamu penasaran juga sama endingnya. Katanya ga suka drakor.”
“Soalnya ceritanya seru, Rin hehehe.”
“Di episode 16 atau episode terakhir, si pemain utama menunjukkan sifat
aslinya. Semua perbuatan baik yang ia lakukan hanya untuk membuktikan bahwa
ia mampu mewarisi kekayaan ayahnya. Sebelumnya si ayah memberikan pesan
kepada anak-anaknya jika anak-anaknya berbuat baik kepada sesama maka
warisannya itu akan diberikan ke salah satu anaknya tersebut.”
“Ya ampun, bisa-bisanya ya si pemain utama melakukan hal itu. Sungguh
tidak mencerminkan nilai-nilai kebaikan, salah satunya itu nilai kasih. Terus
ketahuannya bagaimana?”
“Makanya itu Sel, aku sampai nangis darah ketika tahu akan hal itu.
Ketahuannya itu ketika ayahnya tidak sengaja mendengarkan pembicaraan si
pemeran utama yang sedang bertelepon dengan temannya.”
“Sampai nangis darah loh, kenapa ga sampai nangis berlian aja? Bisa
dijual tuh berliannya hahaha. Tapi untung Tuhan menunjukkan jalan kepada
ayahnya, ya...”
“Iya untungnya, padahal aku nge-fans banget loh sama dia, soalnya baik
dan juga cakep. Akun Instagramnya saja aku follow. Foto-foto dan semua
cuplikan videonya juga tersimpan rapi di Ipadku. Tapi karena episode 16-nya itu,

11

aku sungguh lelah karena menangis semalaman dan membuat suasana hatiku
menjadi berantakkan.”

“Ya ampun Karina, sudah cukup. Lupakan saja, namanya juga drakor. Itu
semua adalah fiktif. Yang penting kamu ambil moral valuenya saja, salah satunya
nilai kasih dan juga jangan jadi seperti pemain utama itu, yang awalnya baik
tetapi diakhir semua itu hanya omong kosong belaka. Akhirnya ketahuan kan sifat
asli busuknya. Intinya kamu selalu melakukan perbuatan baik. Terakhir, jangan
lupa ceritakan hal ini ke orang tuamu dan minta maaf juga. Ternyata gara-gara
episode 16 ya raut wajahmu menjadi seperti ini.”

“Iya hehehe. Btw, Terima kasih ya sudah mendengarkan ceritaku dan juga
memberikanku pencerahan. Bodohnya aku sih terlalu terbawa arus ceritanya. Jadi
sampai terbawa ke perasaan. Terima kasih bestiku. I love you to the moon and
back”

“Apaan sih pake I love you segala, buruan bekalmu dihabiskan tinggal 5
menit lagi nih!”

Bel berbunyi sekali pertanda usai jam istarahat. Akhirnya kami bergegas
masuk ke kelas masing-masing untuk melanjutkan pembelajaran. Dengan
perasaan lega, akhirnya aku bisa perlahan-lahan merelakan rasa kecewa tadi
malam. Sungguh episode 16 yang menyebalkan, tapi dari situ aku bisa
mendapatkan moral value yaitu kasih.

“Selamat pagi anak-anak, hari ini ada kuis dadakan, ya.” ucap guru
fisikaku.

“Hah kuis, Pak?” serentak teman-teman kelasku.
Mampus, gara-gara episode 16 aku tidak belajar fisika tadi malam. Jadinya
ada kuis dadakan hari ini dan aku belum siap. Ok, semua ini akan menjadi
pembelajaran buatku agar tidak kuulangi lagi. Ah sungguh hari menyebalkan
tetapi juga melegakan.

12

Semusim Raquela di Masa Pandemi

Oleh. Sr. M.Vincentine SPM

Pagi itu tampak wajah-wajah ceria, sukacita, dan gelak tawa di sepanjang
lorong-lorong kelas saat mereka beristirahat dari proses pembelajaran dan proses
latihan-latihan yang begitu menyenangkan. Itulah kisah-kisah masa SMP, masa
remaja mereka yang tidak akan terlupakan.

“Selamat siang Raquela,” sapaku kepadanya.
Dia menjawab pula dengan senyum khasnya, “Selamat siang, Suster.”
“Bagaimana dengan latihanmu untuk kontes bahasa Inggris hari ini?”
“Wah… asyik Suster, saya sudah siap kok. Doakan ya, Suster supaya saya
masuk nominasi,” katanya.
“Ya, Nak, Suster doakan semoga kamu dan teman-teman lainnya dapat
meraih prestasi yang membanggakan.”
Raquela pun dengan senyum cerianya berterima kasih kepadaku dan pergi
menyusul teman-temannya. Aku terus berjalan mengamati setiap lorong kelas
untuk menyapa anak-anak dan melihat aktivitas sosialisasi mereka dengan
teman-temannya pada jam istirahat. Kadangkala mataku melihat hal yang tidak
diduga, entah kenakalan kecil anak-anak remaja kekinian, entah keisengan
mereka, sebelum guru masuk kelas.
Ada saja sudut mata ini menemukan hal demikian di antara mereka.
Namun, aku bersyukur kenakalan mereka masih wajar dan pantas, misalnya
menggoda teman ceweknya hingga marah dan berteriak menjerit. Setelahnya
tertawa-tertawa karena berhasil dengan misi isengnya, candaan yang segar.
Sebagai remaja masa kini, kadang iseng membuat kejutan manis untuk
gurunya. Kadang mereka membuat guru kaget namun juga bahagia. Misalnya,
saat berulang tahun, tiba-tiba kelas dihias dan mereka meyiapkan kue tart ulang
tahun di meja guru. Mereka semua sembunyi, dan saat gurunya masuk kelas,
mereka riuh redam menyanyikan lagu “Happy Birthday.” Keisengan yang kreatif
dan memberi kesan karena mereka memiliki hati, kepedulian, sekaligus kasih
kepada gurunya. Semuanya begitu indah dan menggembirakan.

13

Pengalaman membahagiakan juga dirasakan saat mereka diajak untuk
outing class, dan kegiatan pembinaan rohani. Anak-anak begitu antusias saat
mengikuti proses. Mereka juga dapat menemukan makna dari kegiatan tersebut,
seperti budaya baik, aspek rohani yang menguatkan imannya, dan berbagai
aktivitas sosial bersama teman-temannya yang begitu indah untuk dikenang
sebagai makhluk sosial yang humanis.

Masih segar dalam ingatanku sekitar akhir tahun 2019, muncul berbagai
informasi media masa “virus” baru yaitu corona yang bermula di China. Awalnya
semua orang tidak ambil pusing masalah virus ini. Masyarakat beranggapan
bahwa virus ini akan segera dapat dilumpuhkan oleh para ahli.

Namun, semua mata tertegun, saat di berbagai berita menyiarkan bahwa
Virus Corona ini mematikan, berbahaya, dan telah masuk di Indonesia. Oleh
karena itu, pemerintah pun mengambil langkah cepat pada bulan Maret 2020. Tak
lama kemudian, diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk
semua lembaga pendidikan, maupun semua instansi kedinasan yang mengundang
banyak khalayak untuk berjumpa dan bertatap muka langsung. “Social
distancing” dan protokol kesehatan didengungkan berulang-ulang akibat bahaya
yang luar biasa dari virus ini. Siapa menyangka virus ini menjadi pandemi yang
melanda seluruh dunia.

Saat itu. kami pun bergegas bersama tim dan para wakil bidang kurikulum,
kesiswaan, humas dan spiritualitas berkumpul mengambil langkah-langkah
menyikapi kebijakan pemerintah untuk segera menutup aktivitas tatap muka dan
mengganti cara baru dengan pembelajaran online. Bukan suatu kebetulan, di
sekolah kami beberapa tahun sebelumnya sudah biasa untuk kegiatan berbasis
online, sehingga ketika terjadi disrupsi besar-besaran akibat pandemi COVID-19
ini, semua guru bergegas dan sadar diri bahwa harus belajar dan menyiapkan
berbagai cara-cara baru untuk mendidik anak-anak.

Bulan Maret 2020 menjadi bagian kisah sejarah yang tidak akan pupus
dari ingatan kita di Indonesia bahkan seluruh dunia. Anak-anak SMP Mater Dei
pada akhir Februari 2020 baru saja berpentas seni dan menggelar atraksi
pergelaran musik yang menjadi kebanggaan aktualisasi diri mereka di hadapan
banyak khalayak dan orang tua mereka. Kegiatan tersebut seperti halnya menutup

14

banyak rangkaian aktiviitas pementasan secara tatap muka. Pagi itu kami
mengumumkan kepada anak-anak bahwa kegiatan pembelajaran akan dilakukan
jarak jauh. Kelas yang tadinya ceria, menjadi miris dan penuh tanda tanya.

Raquela menghampiriku, dan bertanya, “Suster, apakah kita akan belajar
online semuanya sampai bulan Juni 2020?.”

“Belum tahu, Nak. Kita saat ini belum tahu virus ini akan mereda atau
justru menjadi-jadi. Kalian, anak-anak OSIS, bersiap-siap saja ya untuk membuat
banyak kegiatan yang berbasis online,” jawabku.

“Baiklah Suster, kami akan berkoordinasi dengan Bu Siwi,” jawab
Raquel. Raquel pun meninggalkanku. Tentu ada banyak tanda tanya di dalam
benaknya.

Raquel terpilih sebagai pengurus OSIS. Kiprahnya di kepengurusan OSIS
memberi dampak yang baik bagi teman-temannya. Mereka dapat menjalankan
program-program secara online. Tidak mudah, tetapi hampir semua terlaksana
dengan baik. Selanjutnya, sebelum kelulusan, Raquel dan semua pengurus OSIS
meyerahkan estafet secara online kepada pengganti mereka.

Hari-hari berpacu hingga akhir Mei pun tiba. Raquel sengaja datang ke
sekolah dan kembali bertanya kepadaku, “Suster, apakah kami anak-anak kelas IX
akan ada kegiatan graduation?”

“Raquel, berdoa ya supaya angkatan kalian dapat mengalami kebersamaan
lagi sebelum kelulusan dan meninggalkan bangku SMP ini,” jawabku.

“Ya, Suster,” jawabnya. Kemudian ia berkata, “Tetapi betapa sedihnya
hati saya dan juga teman-teman jika kami tidak bisa saling berjumpa lagi ya
Suster …..”

Kulihat ada air mata yang tertahan di sudut mata Raquel. Kuraih
tangannya dan kuberikan penguatan, “Jangan sedih Raquel. Kami, para gurumu
dan Suster akan memikirkan cara terbaik agar kalian nantinya dapat saling
berjumpa jika situasi sudah lebih kondusif.”

Raquel menatapku dan berkata, “Semusim kami harus menunggu ya
Suster… akankah kami kehilangan kesempatan untuk berjumpa lagi?”

“Begini, Nak. Kita tidak tahu, namun yakinlah akan penyelenggaraan
Tuhan. Melalui Bunda Maria, “Mater Dei”, Bunda kita penolong abadi tidak akan

15

diam dengan wabah ini. Pastilah nanti kalian akan ada kesempatan berjumpa,”
kucoba meyakinkan hati Raquel yang pupus harapan. Meyakinkan agar ia
bersemangat, hingga kulihat rona wajahnya yang lebih tegar lagi.

Raquel kemudian mencurahkan isi hatinya. Ia berkisah tentang bagaimana,
dia dan kedua orang tuanya berjuang pada masa pandemi ini. Bahkan, kadang
orang tuanya juga sedikit kebingungan dan kesulitan dengan aplikasi baru yang
harus digunakan untuk bekerja. Ia juga berkisah tetang beberapa orang tua dari
teman di kelasnya yang mulai kehilangan pekerjaan atau terpapar virus COVID.

Kisah Raquel menjadi kisah-kisah pilu perjuangan pada masa pandemi ini
yang sungguh membuat hati tak mampu berkata-kata. Ingatan, budi, dan segala
rasa semua terkoyak untuk keprihatinan panjang ini.

Sekolah selalu mencari berbagai cara untuk dapat menolong mereka yang
terpapar. Kami juga memberikan bantuan-bantuan sembako bagi mereka yang
membutuhkan. Kami sangat prihatin dengan berbagai kesulitan yang dialami oleh
anak-anak dan beberapa orang tua.

Sungguh kurasakan setiap memasuki lorong-lorong kelas. Jeritan pilu
Raquel dan teman-temannya seakan meraung-raung di telingaku. Kudengarkan.
Semua pilu, semua menangis, semua berharap pandemi ini segera berakhir.

Telah semusim, Raquela menanti berakhirnya pandemi. Akhirnya, saat
yang dinantikan tiba pada bulan Juni 2020: pengumuman kelulusan. Ia berharap
dapat bertatap muka. Namun, karena kasus COVID semakin mengganas, semua
kegiatan tetap dilakukan dalam jaringan (online).

Acara kelulusan tiba. Sesaat sebelum acara kelulusan, semua anak dan
orang tua kami ajak untuk ibadat sabda dan renungan. Mataku dan mata sejumlah
wajah di ruang virtual yang kami lihat, mulai menitikkan air mata. Betapa pilu
saat itu. Di depan kursi-kursi kosong yang seharusnya mereka duduki, kami para
wali kelas dan tim live streaming hanya bisa menyampaikan kelulusan serta
memandang anak-anak dari layar.

Sejarah hidup di masa remaja yang penuh keceriaan, mereka alami dengan
cara baru dalam jaringan. Raquel masih tercatat sebagai anak berprestasi yang
membanggakan. Bersama anak-anak lainnya ia menerima secara simbolik

16

penghargaan dan hadiah dari sekolah dalam tayangan virtual. Kami juga
menyerahkan kembali anak-anak yang dipercayakan kepada orang tuanya.

Namun, kami memiliki sedikit kesempatan untuk menyelenggarakan
kegiatan dalam lingkup kecil dan waktu yang tak terlalu lama. Ya, medio Agustus
2020 lalu, kami menggelar graduation class. Meski tidak dapat berjumpa secara
bersamaan untuk seluruh angkatan, setidaknya anak-anak berjumpa dengan teman
sekelasnya.

Wajah Raquel dan teman-temannya menunjukkan rona sukacita. Walau
tidak ada lagi malam kenangan, tour kenangan dan perayaan kelulusan
beramai-ramai, acara ini memberikan penghiburan. Raquel dan angkatannya
melewati tahun ini dalam debur kegelisahan, rasa was-was, serta berbagai
perjuangan.

Kulihat Raquel dan beberapa temannya belum beranjak dari sekolah.
Mereka datang dan meminta izin padaku, “Suster kami ingin berjalan-jalan
keliling sekolah sebelum kami pergi dari SMP, boleh ya?” tanya Raquel.

”Boleh Nak, silakan. Jangan lupa tetap taati protokol kesehatan dan jangan
terlalu lama ya….,” jawabku.

Aku meminta mereka untuk tetap menaati protolol kesehatan dan tidak
terlalu lama karena keadaan belum pulih dan harus sangat hati-hati. Aku tahu
Raquel dan teman-temannya ingin melepas sejenak rasa yang hilang dalam
beberapa waktu mereka tak berjumpa.

Mereka pun berfoto-foto sejenak di beberapa sudut yang memiliki makna
dan kenangan bagi mereka. Setelah itu, aku lihat mereka berpisah dan akan segera
pulang. Sebelum pergi, Raquel datang kepadaku dan memberikan seuntai bunga
mawar dengan pesan singkat, “Terima kasih, Suster. Kami masih diberikan
kesempatan bertemu. Sampai jumpa lagi. From Raquel and Friends”

Kuterima bunga itu dengan rasa haru. Meski tak banyak kata senyum di
wajah Raquel, aku tahu itu adalah ungkapan dari rasa anak-anak seangkatannya.
Ia mewakili hati anak-anak seangkatannya.

17

Raquel meninggalkan pintu sekolah, bersama kedua orang tuanya.
Sebelum pergi, mereka berfoto bersama di lobby di bawah logo Tota Christi.
Sempat kudengar “Selamat Tinggal Mater Dei” sekolahku...daa…

Semusim Raquel menanti COVID tak kunjung henti, bahkan menjadi-jadi.
Namun, semangat dan kobaran api anak-anak Maria zaman kini tidak akan pupus
oleh lekang waktu dan pandemi. Semangat Maria yang tahan uji dan tahan
banting dalam segala situasi, menjadi inspirasi kami para pendidik.

Aku dan guru-guru SMP Mater Dei tiada lelah berjuang dan terus belajar
berbenah diri, meski kami pun dihadang virus. Beberapa dari kami pun
mengalami dan terpapar COVID-19. Namun, dengan penuh semangat terus
bangkit berjuang melawan COVID-19, tiada henti pujian dan doa bersama Bunda
Maria, “Mater Dei” dan semangat totalitas Maria menjadi semangat totalitasku
dan para guru untuk berjuang tidak kenal lelah.

Raquel adalah kerinduan semusim anak-anak yang telah memasuki era
baru pandemi, era untuk membuka mata, hati, dan budi agar semakin peduli,
terlibat, berbelas kasih dan semakin bermartabat. Kerinduan semusim Raquel
adalah kerinduan anak-anak zaman ini yang telah kehilangan budaya perjumpaan
dan kasih persaudaraan. Tota Christi Per Mariam, seutuhnya secara total melalui
Maria kepada Yesus, menjadi semangat bagi kita untuk berjuang total menembus
batas-batas, bahkan menembus situasi pandemi yang tak kunjung berakhir.

Namun dunia belum berakhir. Kobarkan selalu semangat Maria yang tidak
takut dengan berbagai kepahitan hidup, tantangan, dan segala hal yang
menyulitkan. Maria menjadi teladan kita dalam mendampingi anak-anak zaman
ini sehingga mereka memiliki rasa, budi, dan nurani yang menggerakkan
kepekaan, kepedulian, serta persaudaraan dalam ikatan kasih. Maria dengan
segala totalitasnya telah menunjukkan salib tanda kemenangan dan hidup baru.

18

Kasiyanto

Karya: Dra. Ch. Wiwiek Estiningsih

“ Ibu Ririh ya?” tanyanya sambil melihat wajahku yang kubalut dengan
masker KN 95 warna putih. Aku biarkan dia menebak-nebak sambil penasaran.

“ Maaf kalau saya salah, tapi ibu mirip dengan guru di SMP tempat saya
sekolah dulu, ” katanya.

Akhirnya kujawab juga, “Betul Kas , kamu tidak salah.”

“Heh....Ibu masih ingat nama saya?” Ia terkejut sambil memelototkan
matanya. Lalu tiba-tiba diambil kedua tanganku dan diciuminya berkali-kali
dengan tidak melepas masker hitam yang menempel pada wajahnya.

“Ayo kita duduk di sudut dekat pintu keluar itu sambil kita pesan soto
bangkon,” kataku. Soto ini memang terkenal di kota Semarang karena sotonya
bening yang tanpa santan dan rasanya segar ditambah paduan perkedel kentang ,
tempe garit yang hanya dibumbui ketumbar, bawang putih, dan garam sangat
cocok di lidah. Sambil menunggu pesanan kami ngobrol,” Kok kamu masih
mengenal wajahku Kas, kita sudah puluhan tahun tak bertemu, kan?” kataku.

Memang tadinya saya ragu tapi ingat mata Ibu yang lembut dan tahi lalat yang
ada di pelipis ibu, serta ibu awet muda wajahnya dari dulu seperti itu.

“Oh, ya?” Kami sama-sama tertawa. Tiba-tiba pesanan soto kami datang.
Kami menikmati soto dengan perkedel dan tempe goreng yang lezat sambil
masih melanjutkan ngobrol.

“Memang banyak mantan muridku yang mengatakan aku awet muda, kalau
berubah ya rambutnya saja yang sudah memulai memutih dan kulitku sudah mulai
keriput . Umur boleh tua tetapi semangat jangan kalah dengan orang yang masih
muda,” jawabku. Ha...ha...kami berdua tertawa.

“Lalu kamu sekarang di mana tinggalnya dan kerjanya?” tanyaku.

19

“Sejak lulus SMP saya pindah ke kota Semarang, Bu, tepatnya di daerah
Peterongan karena ayah pindah kerja. Belum satu bulan di Semarang, ayah sakit
dan akhirnya dipanggil Tuhan. Nah, sejak itu saya dan adik kerja keras membantu
ibu berdagang kue. Belum satu bulan ditinggal ayah, ibu terkena DBD dan
akhirnya menyusul ayah karena saya terlambat membawa ke rumah sakit. Ya,
semua ini karena masalah ekonomi, Bu”.

Ia berhenti sejenak bercerita dan kulihat Kasiyanto bercerita sambil
matanya berkaca-kaca. Tak terasa air mataku pun ikut meleleh, membayangkan
anak remaja yang seharusnya masih memerlukan bimbingan tetapi sudah menjadi
yatim piatu.

Saya jadi ingat saat kunjungan di rumahnya di daerah Sawangan, Depok.
Rumah sederhana yang merupakan rumah subsidi dari pemerintah itu dihuni
keluarga kecil yang terdiri dari ayah bekerja sebagai pegawai negeri, ibunya yang
penjual kue, dan adik Kasiyanto. Adinda adalah satu-satunya adik Kasiyanto yang
selisih usianya hanya 2 tahun. Waktu itu Kasiyanto sering terlambat masuk, yang
membuat saya penasaran, dan akhirnya mengadakan kunjungan. Ternyata
rumahnya jauh dari jalan raya dan angkot masih jarang yang lewat. Kadang harus
membantu ibunya sambil sekolah membawa tentengan kue untuk dititipkan ke
warung-warung. Hal itu dia lakukan agar ibunya bisa menyekolahkan kedua
anaknya di sekolah katolik. Orang tuanya sudah merasakan pendidikan sekolah
Katolik itu disiplin. Orang tua mereka ingin anaknya tertib menjadi orang yang
berkarakter baik. Menurut ibunya sekolah Katolik selalu menanamkan nilai
kedisiplinan, toleransi dan kasih terhadap sesama.

“Maaf Ibu, jangan ikut sedih!” kata Kasianto mengagetkan lamunanku.

“Iya Kas saya tidak sedih tapi ingat dari kecil kamu sudah berjuang
membantu orang tua. Ibu ingat waktu kunjungan ke rumahmu. Kamu memang
anak hebat yang tidak mudah putus asa”.

“Ibu Ririh, saya selalu ingat nasihat Ibu, jika kamu memiliki cita-cita
yang tinggi ayo kejar sampai kau dapat meraihnya.” Saat itu saya menjawab,
“Kalau tidak ada biaya cita-cita tinggi percuma, Bu!”

20

Lalu Ibu mengatakan, “Segala sesuatunya bisa terjadi kalau manusia
berusaha, tentu saja juga selalu berdoa dan mengandalkan Tuhan. Ibu juga
memiliki pengalaman yaitu tetangga Ibu di kampung dari keluarga tidak mampu,
tapi bisa diterima di UNS Solo setelah mengikuti program bidikmisi dan
kuliahnya dibiayai pemerintah, hingga sukses menjadi sarjana. Saat itu Bu Ririh
sendiri juga cerita bahwa Ibu dari keluarga sederhana dengan 6 saudara bisa
kuliah semua karena Tuhan memberi jalan. Saya masih ingat cerita Ibu, ketika
Ibu kuliah sering buat telur dadar dikasih kuah kecap biar bisa dijadikan lauk dan
sekaligus sayurnya. Ibu juga memiliki pengalaman bisa mengajukan beasiswa
karena memiliki prestasi dan aktif kegiatan di kampus. Ibu berusaha membantu
meringankan orang tua dengan belajar tekun dan bersosialisasi. Karena kedua hal
tersebut syarat mengajukan beasiswa. Nah, itulah yang membuat saya
termotivasi.”

Setelah saya lulus SMA, saya berusaha mencari informasi tentang
beasiswa. Setelah melewati tahap ujian, wawancara, dan akhirnya saya mendapat
beasiswa dari suatu perusahaan di Jakarta untuk kuliah di Australia. Setelah saya
berdiskusi dengan adik, terpaksa saya menjual rumah peninggalan orang tua saya
untuk pergi ke Australia, walau saya mendapat beasiswa, tapi rasanya kurang
tenang kalau tidak memiliki pegangan uang.

“Hasil penjualan rumah sebagian ditabung untuk biaya pendidikan adik.
Sementara itu, adik ikut tante dari mama yang tinggal di Ambarawa. Setelah 4
tahun menyelesaikan pendidikan di sana, saya kembali ke Indonesia. Puji Tuhan
saya diterima kerja di perusahaan minyak goreng kelapa sawit di Kalimantan. Saat
ini saya di Semarang karena sedang berkunjung di rumah Dinda, adik saya yang
bersuamikan orang Semarang. Tidak menyangka kalau saya ketemu Ibu di sini.”

“Iya Kas, Ibu juga senang kamu bisa jadi orang sukses. Ibu titip pesan
untuk perusahaan tempatmu bekerja, ya. Harapan Ibu perusahaanmu bisa
mendistribusikan minyak goreng kepada masyarakat dengan baik dan jangan
sampai minyak goreng ditimbun oleh orang-orang kaya yang serakah serta ingin
mencari keuntungan sendiri sedangkan masyarakat banyak yang kesulitan untuk
mendapatkannya.

“OK, baik Bu! Itu juga yang menjadi pemikiran saya.”

21

Malaikat-Malaikat

Karya: Yustina Titik Lestariyati

Ayah selalu menyemangatiku untuk terus bertahan. Aku harus berjuang keras
untuk terus melanjutkan pendidikanku. Sesulit apa pun, semenderita apa pun,
Ayah selalu bilang pendidikan itu nomor satu. Saat aku dalam penderitaan harian
terdalam, entah karena rasa lapar, rasa malu, ataupun rasa lelah, Ayah berpesan
untuk memikirkan keadaan yang lebih sulit jika aku tidak sekolah.

“Percayalah, Tuhan punya malaikat-malaikat yang bisa menolong ketika
kita ada dalam kesulitan. Percayalah,” kata Ayah sebelum meninggalkan kami
entah ke mana.

Semangat dan kata-kata Ayah itulah yang selalu menjadi api bagiku untuk terus
melangkah meskipun aku tahu ini tidak mudah, bahkan tak adil.

Kesulitan dalam apa pun adalah hari-hariku. Sejak aku membuka mata pada pagi
hari, selalu terbayang kesulitan yang akan aku lalui sepanjang hari. Tidak ada
kendaraan menuju sekolah, tidak ada harapan untuk makan pagi, apa lagi makan
siang. Jika teman-teman sekelasku dapat berpikir dan belajar dengan baik, aku
selalu tak sepenuhnya dapat berkonsentrasi karena terganggu oleh rasa lapar,
kesulitan, dan kekhawatiran.

Namun pagi ini, semangatku benar-benar berkobar. menyala-nyala bak obor yang
tidak dapat padam. Langit pun cerah dan awan di langit berarak-arak putih ceria
seolah memberikan kepadaku dukungan semangat untuk terus berjuang dan
pantang menyerah.

Ya, hari ini adalah hari pelepasan sekolahku, hari yang selalu aku nanti-nantikan.
Hari yang merupakan penanda bahwa aku telah melewati satu tahapan dalam
perjuanganku. Jauh di lubuk hatiku, aku tidak tahu betul hari ini merupakan hari
bahagia atau hari kesedihan. Namun, aku membulatkan hati untuk berterima kasih
kepada beberapa malaikat yang ada di sekolahku.

“Selamat pagi, Bu. Terima kasih atas semuanya,” sapaku kepada Ibu Ari.

22

“Selamat ya, Niel. Kamu hebat, terus semangat ya,” katanya membalas
sapaanku.

Ibu Ari memang istimewa bagiku. Dalam hidupku, dia bagaikan malaikat tak
bersayap. Saat banyak guru hanya mengajar dan mengajar, Ibu Ari mengajar dan
mendengarkan suka-dukaku. Dialah yang selalu mencari aku dan bertanya apakah
aku sudah makan atau belum. Dialah yang selalu membantu aku dan memikirkan
bagaimana aku akan pulang atau berangkat sekolah.

“Sudah makan atau belum, Niel? Ayo ikut Ibu!” kata Bu Ari hampir setiap
hari.

Bagiku dia itu malaikat tanpa sayap. Saat aku benar-benar lapar dan limbung
karena perutku tidak lagi dapat menahan lapar atau karena aku menjadi semakin
lapar karena melihat teman-temanku makan pada saat istirahat, Ibu Ari selalu
datang menyapa dan memberikan makanan untukku.

Ibu Ari seringkali membagi makanannya kepadaku. Aku tahu, kadang dia
membawanya dari rumah, kadang mengambil jatah makannya di ruang guru untuk
berbagi denganku.

Saat benar-benar lapar dan tidak punya apa pun untuk dimakan, apa yang Ibu Ari
lakukan benar-benar menyelamatkan aku. Saat tidak ada uang dan tidak pernah
ada harapan untuk turut mengantre membeli makan di kantin seperti
teman-temanku, apa yang Ibu Ari berikan adalah keajaiban bagiku.

Aku tidak tahu mengapa ada guru seperti Ibu Ari yang hampir selalu mencari aku.
Aku tidak tahu mengapa dia seolah bisa mendengar teriakan hati dan teriakan
perut laparku. Aku juga tidak tahu mengapa Bu Ari peduli kepadaku.

Aku juga punya malaikat lainnya di sekolah. Namanya Bu Neni. Malaikat ini
hampir setiap hari membuat kakiku tidak harus berjalan jauh dan tidak membuat
sepatuku semakin tipis termakan aspal jalanan. Malaikat ini bekerja di sekolah
dengan mengendarai motor.

“Nak, kamu bisa ikut Ibu setiap hari. Tunggu di pertigaan itu saja, trus ikut
Ibu biar tidak terlambat tiba di sekolah,” itulah kata-kata yang selalu aku ingat.

23

Sejak itu, malaikat itu selalu aku tunggu di pertigaan dekat rumah setiap pagi.
Motornya bagus, sehingga seolah sangat cepat menerbangkan aku sampai ke
sekolah dan tidak lagi banyak terlambat. Aku tahu malaikat ini mengajakku
karena dia tahu hampir setiap pagi aku terlambat karena masalah transportasi.

Malaikat ini tidak banyak bicara sepajang jalan. Tidak bertanya apa pun tentang
aku. Hanya sapaan, “Selamat pagi. Ayo naik,” yang aku dengar. Namun, malaikat
ini benar-benar membuat kaki gembira karena tidak harus kuajak bercapek-capak
ria menuju atau pulang dari sekolah.

Ada satu hal yang juga menarik dari malaikat bermotor ini. Baunya wangi. Sambil
membonceng motornya, aku menikmati bau wanginya sepanjang jalan. Aku tidak
pernah menemukan bau wangi parfum malaikat ini pada orang-orang yang pernah
aku jumpai.

“Ah, mungkin memang itu parfum khusus untuk malaikat bermotor,”
pikirku.

Selain malaikat bermotor, aku juga mengenal malaikat bermobil yang juga sangat
baik kepadaku. Malaikat ini memiliki mobil yang bagus dan memiliki banyak
makanan di dalamnya. Entah bagaimana, malaikat itu selalu mengajakku untuk
pulang bersamanya.

“Bro, nanti pulang bareng aku aja, biar seru,” ajaknya kepadaku.

Sejak itu, aku hampir selalu pulang bersamanya. Bahkan, dia meminta sopirnya
menungguku jika aku masih ada keperluan atau tugas sekolah yang harus aku
selesaikan.

Anehnya, malaikat itu punya banyak makanan di mobilnya. Dia selalu berbagi
denganku sementara kami dalam perjalanan pulang. Jadi, di sekolah aku punya
malaikat yang berbagi makanan denganku, dalam perjalanan pulang aku juga
punya malaikat lain yang berbagi makan denganku juga.

Di rumah kontrakan orang tuaku, aku seringkali tidak makan lagi sampai hari
berikutnya. Seringkali bukan karena malaikat-malaikat itu berbagi makanan

24

denganku, tetapi karena keterbatasan orang tuaku untuk bisa menyediakan makan
bagiku dan adik-adikku.

“Bro, aku senang banget kita bisa pulang bareng. Kapan-kapan boleh main
ke rumahku,” kata malaikat bermobil itu kepadaku pada suatu hari.

Aku ingin menjawab “iya” tetapi aku rasa aku cukup dengan tumpangan
mobilnya. Sampai di ujung hariku di sekolah ini pun, aku belum pernah
mengunjungi rumah malaikat itu.

Hari ini, aku berharap dapat berjumpa dengan malaikat-malaikatku yang lainnya.
Aku ingin berterima kasih atas pertolongan mereka, sekaligus ingin tahu apakah
mereka benar-benar nyata ada.

“Itu dia,” kataku dalam hati saat melihat malaikat bermobil.

Namun, tampaknya ia terlalu sibuk dengan teman-teman dan orang tuanya. Aku
ingin mendekat untuk mengucapkan terima kasih kepadanya, tetapi aku tidak
ingin mengganggunya. Aku takut, kehadiranku akan merusak suasana
senda-gurau bersama teman-temannya.

Aku tetapkan di dalam hatiku untuk bersabar menantikan saat yang tepat untuk
mengungkap rasa terima kasihku itu, atau mungkin aku dapat mengucapkan
terima kasih kepadanya saat semua acara telah selesai.

Pada hari pelepasan ini, aku sungguh bersyukur kepada Tuhan bahwa aku dapat
melewati masa-masa sulitku di sekolah. Aku bersyukur karena ada beberapa
malaikat yang selalu hadir untuk membantu aku.

Namun, aku ragu apakah ini hari bahagiaku karena aku belum tahu bagaimana
sekolahku selanjutnya. Aku juga tidak tahu apakah Tuhan akan mengirimkan
malaikat-malaikatnya lagi pada sekolahku selanjutnya.

“Tuhan, aku berterima kasih atas malaikat-malaikat-Mu di sekolah ini.
Semoga Engkau mengirimkan malaikat-malaikat-Mu pada sekolahku yang akan
datang. Berikanlah kepada malaikat-malaikatku kebahagiaan dalam hidup
mereka,” doaku lirih di tengah keriuhan acara pelepasan di sekolahku.

25

Aku dan Muridku
Oleh: Dra. Anna Maria Elvirayati

Sosok murid tentu sudah tidak asing lagi bagi seorang guru. Ketika
pertama kali aku mengajar di SMP Mater Dei, Pamulang, tahun 1992, aku
bertemu dengan murid-muridku. Aku diberi kepercayaan oleh kepala sekolah
yakni Sr. Yuli Sumijati, SPM untuk menjadi wali kelas 1A. Ruang kelasnya di
Gedung Santa Maria.

Hatiku merasa senang, namun juga bercampur bingung. Pikiranku penuh
pertanyaan, apakah aku bisa menjadi “orang tua kedua” bagi siswa-siswi kelas
1A? Aku berusaha menenangkan pikiranku dengan tetap yakin bahwa menjadi
guru adalah pilihan hidupku dan perutusan dari Tuhan. Aku percaya pasti Tuhan
akan selalu menolongku.

Murid-muridku khususnya kelas 1A berasal dari beragam suku, agama, dan
status sosialnya. Dari merekalah, aku memperoleh banyak pengalaman hidup
melalui kisah-kisah yang kualami baik yang menyenangkan maupun yang kurang
menyenangkan.

Di kelas IA inilah aku dipertemukan dengan seorang anak bernama Anisa.
Anisa adalah anak yang pendiam, penuh semangat, rajin, suka menolong, dan
nilai-nilainya pun tidak mengecewakan. Dia seorang anak yang begitu peduli
kepada gurunya, terlebih kepadaku. Kepeduliannya tampak dalam sikapnya yang
selalu menyapa dengan penuh senyum. Apabila aku membawa buku atau tas ke
kelas, dia selalu menghampiriku dan membawakannya masuk ke kelas. Anisa juga
selalu terbuka kepadaku karena dia menganggapku sebagai orang tua. Setiap
pulang sekolah dia sering menemuiku di kelas untuk ngobrol, bercerita, dan
bahkan curhat.

Pada hari Jumat, setelah kegiatan Bina Iman, dia menghampiriku sambil
menangis. Dia kuajak ke kelasku agar dapat bercerita secara bebas denganku.

26

Sambil menangis dia berkata, “ Ibu Anna selama ini kuanggap sebagai
ibuku karena wajah Ibu mirip dengan ibuku yang sudah tiada. Dia meninggal
sejak aku kelas 2 SD.”

Aku terhenyak dan terperajat mendengarnya. Dengan spontan, aku
merangkulnya dan mendekapnya. Lama-lama tangisnya pun reda. Ia tertunduk
diam.

Aku bertanya padanya, “Kenapa Anisa menangis?”
Dengan tersendat-sendat karena isak tangisnya, ia mulai bercerita.
“Ibu…… ayah saya sudah 2 bulan ini di PHK dari tempat kerjanya karena
perusahaannya bangkrut. Ayah sekarang menjadi sopir angkot. Sejak menjadi
sopir angkot perangai ayah berubah. Ayah sering pulang larut malam. Sampai di
rumah, ayah sering marah-marah tak tahu penyebabnya dan sasarannya pasti aku
karena aku satu-satunya yang ada di rumah.”
Sambil mengelap air mata yang membanjiri pipinya, Anisa melanjutkan ceritanya
dengan suara terbata-bata.
“Pernah suatu ketika ayahku emosi tinggi dan tangannya menamparku
karena aku lupa untuk merebus air untuk mandi ayah. Saat itu ayah bilang kalau
mulai sekarang, kamu cari uang sendiri untuk biaya sekolahmu. Aku jadi bingung,
apakah bisa aku cari uang?”
Aku berusaha mendengarkan dan menasihatinya.
“ Ingatlah dan datanglah kepada Yesus setiap saat, apalagi saat kamu
berbeban berat.”
Kata-kata itulah yang membuat Anisa dikuatkan hatinya. Dia percaya
bahwa Tuhan akan memberikan petunjuk kepadanya. Setelah itu, Anisa berhenti
bercerita lalu berpamitan pulang sambil memegang erat tanganku.
Anisa berkata, “ Ibu doakan aku ya!”
“Ya, Nak.” jawabku sambil memberi tanda salib di dahinya.

27

Seminggu kemudian, setelah jam pelajaran terakhir, Anisa
menghampiriku.

“Ibu, apakah aku boleh bercerita sebentar?” kata Anisa.
“Boleh, Nak. Silakan!”
Aku dan Anisa duduk berdampingan. Tanganku kuletakkan dibahunya.
Lalu perlahan dia bercerita dengan wajah ceria.
“Bu Anna, aku sudah dapat kerjaan dari teman ibuku yakni membantu
loper koran, majalah setelah pulang sekolah,”kata Anisa.
“Syukur kepada Tuhan,” jawabku.
“Pulang sekolah aku langsung jadi loper koran, Bu. Kadang aku belum
makan sebelum bekerja karena tidak ada yang memasakkan. Namun, pada sore
hari, teman ibuku selalu baik hati memberiku makan sore. Walau waktuku belajar
sekarang berkurang, tapi aku tidak mau nilaiku turun, Bu.” cerita Anisa.
Saat kudengar dia berkata demikian hatiku terhenyak dan terharu. Aku
berdoa dalam hati, Tuhan jagalah dia selalu berilah makanan melalui sesamanya.
Anisa tahu kalau aku mendoakannya. Setelah selesai aku berdoa, Anisa berdiri
dan berpamitan pulang dengan memegang tanganku. Sebelum pergi, kuberkati
dia.
Hari berikutnya, saat bel pelajaran terakhir berbunyi, aku berkemas-kemas,
merapikan kelas dan bersiap-siap menuju ke ruang guru. Saat aku berjalan menuju
ruang guru, baru sampai di ujung kelas dekat ruang perpustakaan, tanganku
dipegang seseorang dari belakang. Kutoleh ke belakang, ternyata anakku Anisa.
“Tumben Nak kok tidak langsung pulang? Teman-temanmu kan sudah
pada pulang?”
“Aku mau ketemu Ibu. Apakah ibu ada waktu?”
“So pasti ada waktu buat anak ibu yang baik ini.”
“Nak, kita mau bicara di mana? Di kelas kita atau di ruang BP?”

28

“Di kelas saja, Bu.”
“Oke, Nak. Ayo kita ke kelas.”
Sampai di kelas, aku mempersilakan Anisa untuk bicara. Dia terdiam
agak lama. Kudekati dia dan kupegang tangannya, lalu kupandangi wajahnya.
“Ada apa, Nak? Ayo cerita pada Ibu!”
Akhirnya dia mulai bicara.
“Begini, Bu. Tuhan itu selalu baik ya, Bu. Dalam situasi seperti ini, Tuhan
selalu menolongku, melalui orang lain, melalui teman ibuku, melalui Ibu Anna,
melalui pelanggan koranku, melalui orang gereja yang membiayaiku. Sekarang
uang yang kuperoleh dari jualan koran, sebaiknya untuk beli makanan atau
kebutuhanku, Bu?”
Dia melanjutkan ceritanya kepadaku dengan hati yang sedih.
“ Aku sedih, Bu. Ayahku kok sudah gak peduli padaku lagi.”

Pada saat Anisa mengatakan itu aku terdiam. Aku berusaha untuk
mencari jawaban yang tepat buat dia.

“Mungkin ayahmu sudah capek pulang dari kerja, atau masih banyak yang
ayahmu pikirkan. Sudahlah, Nak, kan Tuhan telah mengirim orang lain yang baik
kepadamu kan? Doakan ayahmu agar sehat selalu.”

Anisa menjawab, “ Iya, Bu.”
Lalu dia pamit pulang dengan memegang tanganku, lalu kuberkati dia.
Pada hari ulang tahunku, anak-anak kelas 1A membuat kejutan untukku.
Mereka membuat acara di kelas. Aku diajak ketua kelas untuk ke kelas IA, tapi
dengan syarat mataku harus ditutup. Aku menuruti perintah ketua kelas. Sampai
di kelas, penutup mataku baru dibuka, ternyata mereka sudah menyiapkan kue
ulang tahun dan makanan ringan untuk dimakan bersama-sama. Semua biaya
untuk acara itu dari uang iuran mereka yang dikelola oleh bendahara kelas. Uang
iuran itu khusus untuk merayakan ulang tahun wali kelasnya.

29

Acaranya sederhana, namun mengesankan. Aku terharu karena mereka
begitu mencintai dan perhatian kepadaku. Setelah acara selesai, anak-anak pulang,
dan satu persatu memberikan ucapan kepada saya dan aku cium satu persatu
anak-anak kelas 1A.

Anehnya sampai pada giliran Anisa, setelah dia saya cium, dia langsung
memelukku erat-erat dan berbisik ketelingaku.

“Selamat ulang tahun ibuku yang baik. Terima kasih atas kasih sayang Ibu
kepadaku, semoga Tuhan menyertai Ibu.”

Setelah semua anak pulang, aku kaget karena di atas mejaku ada
bungkusan sebesar buku agenda kecil yang dibungkus kertas koran. Kulihat
bungkusan itu. Kubolak-balik, tapi tidak ada kata-kata yang tertulis di situ, kecuali
berita-berita yang sudah kedaluwarsa.

Kubuka bungkusan itu, ternyata bungkusan itu dari Anisa. Di dalam buku
tersebut terukir indah suatu doa yang diperuntukkan bagiku. Saat kubaca doa itu,
tak terasa aku meneteskan air mata. Setelah itu, aku berdoa kepada Tuhan,
bersyukur atas kehadiran Anisa sebagai anak perwalianku yang luar biasa dan
sebagai anak Tuhan.

Waktu terus berjalan, akhirnya Anisa pun lulus dengan nilai memuaskan. Pada
saat pengambilan ijazah, dia menemuiku, dan memberikan suatu bingkisan yang
dibungkus kertas koran, sambil mengatakan kepadaku.

“Ibu adalah ibuku, aku tak kan pernah melupakan Ibu. Terima kasih
banyak atas perhatian dan kasih sayang Ibu kepadaku. Tuhan memberkati Ibu dan
keluarga.”

Dia memegang tanganku dan menciumnya. Aku memeluknya dan
kubisikan di telinganya.

“Sukses ya, Nak! Teruslah berjuang anakku sampai cita-citamu tercapai!
Doa Ibu menyertaimu.”

Bingkisan itu pun lalu kubuka. Aku kaget karena isinya ternyata fotoku
dan kata-kata yang berbunyi, “Ingatlah dan datanglah kepada Yesus setiap saat

30

apalagi saat kamu berbeban berat.” Aku terdiam setelah membacanya, lalu
kupanjatkan doa untuk Anisa dan murid-muridku yang sudah lulus.

Banyak cerita dari Anisa yang mengisahkan kehidupannya dengan ayahnya
setelah ibunya meninggal. Masih banyak cerita lainnnya tentang kesulitan
hidupnya atau saat dia mengalami senang, gembira.

Saya tidak pernah menyangka bahwa Tuhan akan mempertemukan saya
dengan Anisa murid perwalianku, yang di usia menginjak remaja mengalami pahit
getirnya kenyataan hidupnya. Namun, aku bersyukur kepada Tuhan bahwa
kehadiran Anisa membuatku belajar banyak tentang apa artinya kehidupan.
Selain itu, setiap anak berharga di mata Tuhan apa pun keadaannya.

Aku bangga mempunyai murid seperti Anisa, yang penuh perjuangan, tidak
mengenal putus asa, dan punya daya juang yang tinggi. Melalui Anisa aku juga
belajar untuk sabar, setia, patuh, peduli, dan tidak pernah cepat menyerah.

Anisaku yang dulu, kini telah mencapai sukses dan berguna bagi
sesamanya dan dia sudah berkeluarga. Dia pun tak pernah melupakanku sampai
sekarang. Terima kasih Anisa, Ibu banyak belajar darimu untuk menjadi seorang
guru yang lebih baik lagi.

Seiring berjalannya waktu, tahun berganti tahun, sudah banyak murid yang
kudidik dan kuajar, namun anehnya belum kujumpai Anisa- Anisa lain yang
seperti Anisa zaman itu. Anak-anak sekarang kurang punya daya juang, kurang
kerja keras, cepat mengeluh, kurang peduli. Inilah yang menjadi tantangan para
guru sekarang ini.

Anak-anak sekarang perlu ditanamkan karakter yang kuat dalam
menghadapi perkembangan zaman agar mereka dapat “hidup” dengan baik.
Mereka berharga di mata Tuhan dan mereka juga titipan Tuhan yang harus kita
bentuk karakternya dengan baik.

31

Sekolah Bumi Baik

Agatha Sita Rasihanuri, S.S

Aku berdiri tepat di atas lahan bangunan seluas 2.500 m2. Mataku
memandang ke arah bangunan yang terpampang di sekelilingku. Aku
memejamkan mata, suara riuh renyah tawa, dan derap kaki yang berlarian
terdengar jelas menyapa lembut telingaku. Aroma pohon pinus menyegarkan tiap
kali hidungku menghirup oksigen. Mataku masih terpejam, tetapi suasana ini
sangat kukenal, dan ternyata begitu kurindukan. SMP Citra Ananda, almamaterku.

“Ras....?”
Sebuah suara menyapa lembut memanggil namaku. Terdengar ada nada
keraguan dalam suaranya, aku membuka mataku perlahan. Aku mengenali
suaranya. Aku tersenyum kemudian membalikkan badan.
Sekarang di depanku berdiri seorang wanita paruh baya. Ia mengenakan
blazer hitam dengan celana panjang biru gelap, rambutnya sudah memiliki dua
warna bak papan catur. Garis-garis halus dan kerutan tipis mulai menghiasi
wajahnya, walaupun ia sudah berusaha keras menutupinya dengan sapuan bedak.
“Kamu Raras, kan?” tanya wanita paruh baya itu lagi, mencoba
memastikan.
Aku tersenyum, “Iya, Bu.”
“Astaga Raass... kamu cantik sekali, Ibu sampai pangling,” ucapnya
bersemangat.
“Bu Vero bisa saja, ujarku tersipu.
Sejak dulu sampai sekarang, Bu Vero tidak ada yang berubah. Fisiknya
saja yang menunjukkan perubahan, tubuh usia lanjut mulai menyertainya. Satu
lagi, wibawa dan tegas semakin terpancar dari wajahnya.
“Ras...? Kamu sekarang tidak nambah hobi menjadi pelamun, kan?” tanya
Bu Vero memecah lamunanku.
Aku tersipu malu, “Ah ndak to, Bu. Raras lagi mengagumi Bu Vero yang
awet muda dan tambah cantik.”

32

“Eilah Ras, kamu baru sekarang gombalnya, harusnya dari dulu,” ujar Bu
Vero dan terlihat rona merah menghiasi wajahnya. Aku hanya tersenyum
membalas.

“Bu Vero, bagaimana kabarnya? Bapak dan ibu guru yang lain masih
lengkapkah, Bu?” tanyaku.

“Sudah tidak selengkap dulu, Nduk. Pak Asmi, Pak Guntur, dan Bu Ismi
sudah pensiun,” ujar Bu Vero.

“Hum.. jadi sekarang mulai digantikan guru-guru muda, ya Bu?”
Bu Vero mengangguk.
“Saya dengar kamu jadi volunteer Bumi Baik?” tanya Bu Vero.
“Saya Volunteer sekaligus pendiri, Bu,” ralatku.
“Wih... hebat kamu. Didikan masa lalu membuat kamu malah mencintai
bumi. Walau pada masa lalu kamu tidak suka dengan hal itu, sekarang kamu
malah menjadi pelopor kegiatan mencintai bumi,” puji Bu Vero.
Ingatanku membawa pada kenangan sekian tahun silam, di sekolah ini.
Aku bergidik, tetapi bukan karena melihat hantu atau merasakan kehadiran
mereka yang tak kasat mata. Saat ini masih siang bolong. Benar-benar bolong
seperti donat meses kesukaan Sari. Aku melihat tumpukan sampah yang
mengganggu pandangan. Aroma merebak menusuk hidung, persis seperti parfum
Channel yang dipakai teman-teman ibu. Kalau mereka lewat dari kejauhan pun
sudah tercium aromanya. Aroma sampah yang ada di depanku sekarang ini juga
begitu. Aku mundur menjauh masih tercium, dekat apalagi. Pusing kepalaku
dibuatnya.
Aku jongkok terdiam. Mati-matian mencium kulit pada pergelangan
tanganku. Siapa tahu aroma body lotion yang wangi mawar itu bisa
menghilangkan aroma tak sedap itu.
“Ras..., ayoo.. kamu ngapain sih malah jongkok di sini?” tanya Sari sambil
menarik tanganku untuk berdiri.
“Enggak ahh..., enggak suka baunya. Suer.. aku mending disuruh lari
lapangan 10x daripada melakukan ini,” ujarku menolak ajakan Sari.
“Enggak ada lari Ras. Ini jatah kita piket.”

33

Sekolahku mengadakan bersih-bersih sampah lalu memilahnya. Kegiatan
ini dilaksanakan secara rutin setiap 3x dalam sebulan. Ada jatah piket untuk setiap
warga sekolah, baik itu guru, tenaga administrasi, maupun murid.

“Raaass.., ayooo nanti dimarahi Bu Nunik,” bujuk Sari sambil berusaha
menarik tanganku agar segera bangun.

Aku yang ditarik tangannya mau tak mau harus berdiri. Sari menarik napas
lega dan berjalan perlahan menuju teman-teman kami yang sedang bersih-bersih
sampah sesuai dengan tugas piket masing-masing. Sari yang berjalan di depanku,
memberikan kesempatan kepadaku untuk melarikan diri.

Aku lebih memilih mengerjakan soal hitung-hitungan, daripada harus
membersihkan sampah. Lagipula, kami di sini susah payah melakukan aktivitas
bersih-bersih sampah, tetapi di luar sana orang-orang tidak ada yang peduli. Aku
berhenti berlari dengan napas terengah-engah, sembari menengok ke belakang.
Tidak ada sosok Sari, bayangannya pun tidak.

Aku berjalan ke arah samping sekolah, memutar arah. Biasanya ke lobby
sekolah bisa lewat daerah kantin. Ini aku memutar berjalan melewati samping
daerah lab biologi, fisika, dan kelas anak tingkat dua.

Ternyata dugaanku salah. Dari arah berlawanan, Bu Nunik berjalan santai
menuju ke arahku. Kepalang basah, aku tidak mungkin berjalan mundur. Jadi aku
hanya diam mematung dengan memasang senyum semanis yang ku bisa.

Setelah Bu Nunik semakin dekat, “Kamu bukannya jadwal piket?” tanya
Bu Nunik langsung tanpa basa basi.

“Eh.. hm.. i..ya Bu. Saya jadwal piket,” jawabku setengah gugup.
“Terus ngapain kamu di area ini?”
“Eee...,” aku berusaha berpikir keras alasan apa yang masuk akal.
Tetapi belum sempat alasan jitu muncul, Bu Nunik langsung memotong,
“Tidak ada kabur-kaburan dari piket. Kalau bukan kita yang memulai siapa lagi
yang peduli dengan nasib bumi?”
“Iya Bu. Maaf Bu. Raras permisi,” ujarku buru-buru.
Seminggu setelahnya, usai pelajaran. Aku duduk di taman sekolah
menunggu si Sari, tetapi tak kunjung terlihat batang hidungnya. Sulit memang
kalau memiliki teman yang aktif mengikuti banyak kegiatan sekolah.

34

“Ras...?” sebuah suara lembut datang dari arah sampingku.
Aku menoleh, ada Bu Vero. “Iya, ada apa Bu?” tanyaku sambil beranjak berdiri.

“Bisa ikut saya?” tanya Bu Vero.
“Bisa, Bu,” jawabku. Bu Vero tersenyum lalu berjalan mendahuluiku. Aku
mengikutinya.
Sesampainya di ruang kelasnya, “Duduk Ras,” ujar Bu Vero. Aku
menuruti dan duduk di barisan depan meja Bu Vero.
“Kamu kok belum pulang?” tanya Bu Vero.
“Masih menunggu Sari, Bu,” jawabku.
“Oh, begitu. Boleh temani Ibu di sini? Kelas sebelah sudah kosong.
Rasanya sepi koreksi sendirian di kelas,” pinta Bu Vero sambil tersenyum.
Ruang kelas Bu Vero terletak di lantai dua dan berada di tengah-tengah.
Biasanya yang masih berada di kelas setelah jam sekolah usai adalah Bu Vero dan
Pak Asmi, tetapi hari ini Pak Asmi tidak masuk.
“Baik, Bu,” jawabku mengiyakan permintaan Bu Vero.
“Terima kasih ya, Ras.”
“Ras, besok Minggu kamu ada kegiatan?” tanya Bu Vero.
Aku berpikir sejenak, “Tidak ada, Bu.”
“Ibu mau mengajak kamu ke Pantai Permata, karena sedang ada acara
bersama Yayasan Bersih Bumi di sana.”
Aduh, acara bersih-bersih sampah nih, pikirku enggan.
Tetapi tampaknya Bu Vero menangkap rasa engganku.
“Tidak perlu ikut bersih-bersih, Ras, cukup datang saja. Volunteer dan
anggota yayasan yang melakukan kegiatan bersih-bersih. Kalau pengunjung mau
turun langsung diperbolehkan, kalau tidak mau juga tidak apa-apa,” jelas Bu Vero.
Aku mendengar penjelasan Bu Vero, entah mengapa langsung
menganggukkan kepalaku dan menyetujui ajakannya.
Minggu pagi yang cerah, aku sudah sampai di parkiran Pantai Permata.
Aku memutuskan untuk berangkat sendiri ke lokasi. Di pintu masuk, aku melihat
ada Bu Vero, Sari, Dion, Marvel, dan Luna.
Kok banyak orang yang ku kenal, pikirku. Aku segera menghampiri
mereka.

35

“Selamat pagi, Bu,” sapaku sambil tersenyum dan menyalami tangan Bu
Vero. “Selamat pagi, Ras,” balas Bu Vero.

“Pagi Sar, Yon, Vel, Lun,” sapaku kemudian pada keempat temanku.
“Pagi Ras..,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Langsung masuk saja ya dan ikuti saya,” ucap Bu Vero membimbing
kami masuk.
Aku dan keempat temanku hanya mengangguk dan mengikuti di belakang
Bu Vero.
Kami duduk di sebuah gubuk kecil di tepi pantai. Sejauh mata memandang
aku hanya melihat laut dan barisan orang-orang menggunakan baju putih sembari
bahu-membahu membersihkan pantai. Melihatnya membawaku tenggelam pada
lamunan.
“Ras..?” panggil Bu Vero.
Aku kembali tersadar. Aku menyadari di gubuk itu hanya ada aku dan Bu
Vero.
“Sari dan teman-teman yang lain ke mana, Bu?”
“Mereka sedang mendaftar jadi volunteer dadakan,” jawab Bu Vero.
Aku hanya mengangguk.
“Ras..., saya rutin ke sini dan juga rutin ikut acara bersih-bersih begini.
Setiap kali saya ikut acara mereka, hati saya sedih melihat hewan-hewan laut
mati. Semua itu karena orang membuang sampah plastik sembarangan,” ucap Bu
Vero sambil memandang laut.
“Memang sih, rasanya seperti sia-sia kalau dipikir. Kita bersusah payah
peduli lingkungan, tetapi di luar sana banyak orang yang semaunya sendiri
membuang sampah sembarangan,” tambahnya lagi.
“Gimana menurutmu, Ras?” tanya Bu Vero sambil menoleh ke arahku.
Aku tidak siap ditanya, hanya diam kebingungan.
“Saya mengerti Ras. Kamu ada rasa enggan setiap mendapatkan tugas
piket membersihkan lingkungan. Tugas dilaksanakan dengan baik terasa sia-sia
karena tidak semua orang peduli pada lingkungan. Mungkin belum tahu manfaat
dari kegiatan membersihkan sampah sehingga malas dalam mengerjakan tugas

36

tersebut. Terkadang tindakan positif dari segelintir orang bisa memengaruhi orang
lain.”

“Sebagai manusia yang memiliki akal budi, kita harus peduli terhadap
sesama dan lingkungan sekitar. Akal budi harus digunakan bukan semata untuk
menguasai, memanfaatkan, dan menggunakan alam, tetapi juga bagaimana
merawat dan menjaga apa yang telah disediakan alam,”

“Saya mau ke tepi pantai, apakah kamu mau ikut?”
Aku menjawab dengan anggukan pelan.
Aku membantu Bu Vero membersihkan tepi pantai. Awalnya aku hanya
membantu membawakan kantong untuk mengumpulkan sampah yang ada di tepi
pantai. Lama-kelamaan aku tergerak untuk turut serta membantu. Terlebih lagi
saat aku menemukan penyu laut lemas tak berdaya. Aku memanggil volunteer
yang lain. Mereka datang menghampiriku dan berusaha menolong penyu laut.
Tetapi apa daya penyu laut itu mati.
Kak Arnes, penggiat yayasan mengatakan penyu itu mati karena sampah
plastik. Aku menangis melihat penyu mati. Banyak penyu laut mati karena
sampah plastik.
Sejak kejadian di Pantai Permata, aku masih tetap malas melaksanakan
piket, tetapi Bu Vero semakin sering mengajakku ke acara bersih-bersih
lingkungan sebagai volunteer. Lambat laun pola pikirku berubah. Aku menjadi
peduli terhadap lingkungan dan alam. Hal itu menjadi sebuah hobi baruku.
Aku menjadi terbiasa melakukan kegiatan bersih sampah dan merawat
pohon karena hal itu sudah menjadi hobiku. Semua yang kulakukan berkat Bu
Vero yang menamkan sikap peduli, respek, dan mengajakku menjadi pribadi
bermartabat peduli pada lingkungan. Hal ini bukan sekadar kata-kata, tetapi
mengajakku terjun langsung ke lapangan. Sampai pada akhirnya – setelah
beranjak dewasa, aku memutuskan membangun sebuah Yayasan Peduli Alam.

37

Lilin-lilin Kecil Penyemangatku
Rini Hartawati, S.Pd

Masih teringat jelas dalam benakku, 6 Juni 2021. Kala itu, pertama kalinya
aku dipercaya oleh kepala sekolah untuk menjadi wali kelas 7. Perasaanku saat itu
campur aduk karena aku merasa belum siap dengan tanggung jawab yang
diberikan. Aku sadar bahwa aku belum genap satu tahun mengajar di SMP Mater
Dei.

Berawal dari rasa ragu yang kemudian tertempak dari berbagai persoalan
yang kuhadapi menjadikan aku perlahan mulai timbul rasa pecaya diri. Aku yakin
bahwa Roh Kudus akan membimbingku dalam mengemban tanggung jawab yang
diberikan kepadaku. Selain itu, aku mendapat dukungan dari orang tua, kepala
sekolah, rekan-rekan guru, dan yang paling penting bagiku adalah anak-anak
perwalianku.

Singkat cerita, setelah melewati rangkaian MPLS, anak-anak kelas 7
bertemu dengan wali kelasnya masing-masing. Aku masuk ke ruang virtual kelas
7D untuk berkenalan dengan anak-anak perwalianku. Hatiku berdebar-debar
untuk pertama kalinya berjumpa dengan anak-anak perwalianku.

“ Selamat pagi anak-anak!” sapaku.
Serentak anak-anakku menjawab, “Selamat pagi, Bu.”
Pertama kali bertemu mereka melebihi ekspetasiku yang awalnya aku
mengira mereka adalah anak-anak yang pendiam ternyata mereka sangat aktif.
Dua jam berlalu kami berbincang-bincang membahas tentang pembentukan
pengurus dan komitmen kelas dalam satu tahun ke depan.
Sebulan sudah berlalu mereka bersamaku. Aku sudah mulai mengenal
anak yang rajin, malas, aktif, dan lain-lain. Ada satu anak laki-laki yang sangat
membutuhkan perhatianku karena selama zoom dia tidak bisa fokus, bahkan sibuk
sendiri. Anak itu bernama Theo. Aku berpikir bagaimana caranya bisa mengenal
dia lebih dekat.
Suatu hari, aku memanggil dia setelah selesai pembelajaran untuk bertemu
denganku.

38

“Theo, kamu jangan leave dulu ya? Ibu mau bicara denganmu.”
“ Siap, Bu!”
“Theo, bagaimana perasaanmu hari ini?”
“ Biasa saja, Bu.”
“Mengapa kamu sering tidak mengerjakan tugas. Ibu sering mendapatkan
laporan dari guru-guru yang mengajarmu. Kalau kamu mau jujur, mungkin Ibu
bisa membantumu.”
Theo pun dengan agak malu-malu, berusaha untuk bercerita.
“ Ibu, aku ini tinggal di panti asuhan bersama beberapa teman lainnya. Di
panti asuhan situasinya kurang mendukung untuk belajar. Teman-teman sering
mengganggu saat aku belajar. Di samping itu, aku sering malas karena jaringan
wifinya sering mati dan aku tidak punya kuota. Aku juga sulit memahami materi
jika belajarnya secara online.”
“Ya, Ibu tahu bahwa belajar secara online menuntut anak untuk lebih
konsentrasi.”
“Trus, bagaimana caranya supaya aku bisa konsentrasi, Bu?”
“ Ketika kamu mengikuti pembelajaran, kamu mencari tempat yang jauh
dari teman-temanmu. Selain itu, kamu punya niat untuk belajar. Kamu bisa
mencatat hal-hal penting yang disampaikan oleh gurumu. Kamu juga jangan
ikut-ikutan main game dengan teman-temanmu. Jangan sia-siakan kesempatanmu
belajar di SMP Mater Dei. Seharusnya kamu bersyukur karena teman-temanmu di
luar sana tidak seberuntung kamu.”
Theo menyimak baik-baik nasihat Bu Rini, seolah-olah seperti orang
tuanya sendiri. Bu Rini pun memberikan contoh pengalaman hidupnya.
“Jika ingin sukses, seseorang harus mau bekerja keras. Itulah prinsip Ibu.
Waktu sekolah, Ibu rajin membuat ringkasan sehingga saat ada ulangan, Ibu selalu
siap dengan ringkasan itu. Dengan cara belajar seperti itu, hasilnya bagus.”
“Baik, Bu. Aku akan mencoba untuk mengikuti nasihat Ibu. Selain itu, aku
juga minta maaf karena selama ini aku malas membuat tugas.”

Mendengar ucapan itu, hatiku lega dan terharu. Semoga tidak hanya
kata-kata saja, tetapi dia mau melaksanakan.

39

Hari-demi hari dan bulan berganti bulan, kuamati Theo murid
kesayanganku, mulai berubah. Dia tidak lagi menunda tugas. Bahkan saat zoom
bersama guru pun, dia selalu aktif bertanya. Nilai-nilainya pun menjadi lebih
bagus.

Suatu hari, saat jam terakhir, aku mengajar di kelas 7D. Selesai
pembelajaran anak-anak langsung leave sedangkan Theo masih berada di ruang
virtual.

“ Halo Theo, Mengapa kamu tidak leave?” tanyaku.
Theo pun menjawab, “Bu, bolehkah aku curhat kepada Ibu?”
“ Ya, ada apa Theo?”
“Menurut Ibu, apakah aku sudah mengalami perubahan?”
“ Terima kasih Theo, kamu sudah menjadi Theo yang baru. Theo sudah
tidak lagi terlambat mengumpulkan tugas dan lebih fokus dalam mengikuti
pembelajaran dan nilai sudah bagus. Ayo tetap semangat Theo, raih cita-citamu!”
“ Terima kasih, Ibu.”
“Karena sudah sore mari kita leave ya, Nak!”
Baru saja kututp laptopku, tiba-tiba Hpku berdering. Kuangkat telepon itu,
ternyata saudaraku mengabarkan bahwa keluargaku di Kalimantan terkena
bencana alam. Usaha orang tuaku hancur berantakan.
Kabar itu membuatku terpuruk. Aku merasa tak berdaya dan pikiranku
selalu mengkhawatirkan keadaan ayah dan ibuku. Kejadian itu membuatku tidak
banyak bicara ketika aku zoom bersama anak-anak di ruang virtual.
Ketika aku sedang memimpin refleksi bersama anak-anak perwalianku,
salah satu anak yang bernama Haxel bertanya kepadaku.
“Apakah Bu Rini sedang sakit?”
Seketika itu, aku tersadar dari lamunanku dan menjawab pertanyaan anak
itu.

40

“ Tidak, Nak. Ibu Rini tidak sakit. Tenang saja ya.” Jawabku.
“ Kenapa dari tadi Bu Rini diam saja?” tanya Haxel.
Aku terdiam sejenak dan menyadari bahwa anak-anak peduli kepadaku.
Mulai detik ini juga, aku akan memberikan senyuman terbaikku untuk mereka
supaya tidak khawatir terhadap diriku.
Jam refleksi pun berjalan dengan lancar dan aku merasa bersyukur
diberikan anak-anak yang tidak hanya sebatas murid dan guru tetapi mereka
menjadikan ibu dan sahabat mereka di sekolah. Melihat perhatian dari anak-anak
ini, aku menjadi selalu termotivasi untuk mengajar dengan hati dan menanamkan
rasa kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari.
Anak-anak juga belajar memartabatkan makhluk ciptaan Allah dengan
peduli dan selalu menghargai orang-orang di sekitarnya. Merekalah lilin-lilin kecil
yang menerangi gelapku.

41

Martinovna

Oleh Septiana Sijabat, S.Pd

Hati manusia layaknya sebatang tebu yang dapat memberikan kasih melalui
citarasanya yang manis. Begitu juga kebun layaknya kehidupan manusia yang
dapat menjadi tempat tumbuhya kasih sayang. Tebu ibarat hati manusia yang
mampu memancarkan kebaikan-kebaikan di sekitarnya. Apakah aku mampu
menjadi tebu-tebu pada masa kini? Akankah kebunku dapat dipenuhi dengan
tebu?

Aku adalah Martinovna, seorang gadis remaja berusia 13 tahun, yang sedang
menikmati masa tumbuh dan kembangku di sekolah Dharma Kasih. Aku sangat
menikmati masa remajaku terlebih punya mama yang selalu siap mendampingiku.

Mamaku pernah berkata, “Hai anakku yang cantik, nikmati masa remajamu
yang tak akan terulang lagi. Isilah hari-harimu dengan kegiatan yang bermakna.
Jadilah pribadi yang tidak bosan-bosannya memancarkan kasih bagi sesama.”

Pesan itulah yang menjadi vitaminku untuk selalu mengawali aktivitasku setiap
hari dengan hati yang gembira. Ketika segala sesuatu diawali dengan hati yang
gembira, hidup terasa ringan dan menyenangkan.

Bel berbunyi teng.. teng... teng...

Hari pertamaku kembali ke sekolah setelah menghabiskan libur semester. Aku
sangat senang menjalani hariku dengan berbagai aktivitas. Ya, belajar adalah salah
satu aktivitas yang kusukai. Aku mulai sadar bahwa usiaku yang masih dini ini,
aku harus memiliki semangat belajar yang tinggi agar aku dapat memperkaya diri
dengan ilmu-ilmu yang kupelajari dari sekolah dan orang-orang sekitar. Kembali
bertemu dengan teman-temanku adalah hal yang juga kurindukan.

42

Sesampainya di sekolah…

Aku segera berjalan menuju kelasku dengan perasaan gembira. Tak sabar rasanya
untuk bertemu dengan teman-teman sekelasku. Sesampainya di kelas kusapa
mereka semua.

“Hai teman-teman, apa kabar? Aku merindukan canda tawa kita bersama,”
kataku sambil tersenyum.

“Hai Novna. Puji Tuhan kabar selalu baik dan sehat,” jawab teman-temanku.

Kriiinggg … tanda bel pelajaran dimulai.

Tok..tok..tok…, terdengar bunyi suara sepatu, namun ini bukanlah sepatu kuda. Ya,
ini adalah suara sepatu dari guru bahasa Inggrisku. Bunyi suara sepatu semakin
terdengar jelas dan guruku pun memasuki kelas kami.

“Selamat pagi anak-anak, bagaimana perasaan kalian hari ini?” tanya guruku.

“Hari ini kami sangat bahagia, Bu, kami senang dapat kembali berkumpul lagi
bersama teman-teman,” jawab para murid.

“Baik anak-anak, Ibu juga senang mendengar kalian bahagia. Pasti di antara
kalian banyak yang memiliki pengalaman-pengalaman selama liburan.
Pengalaman-pengalaman apakah yang ingin kalian ceritakan? Ibu akan
memberikan kesempatan untuk menceritakannya. Siapa yang ingin bercerita
silakan maju di depan kelas!”

Jarum jam berdetak tetapi tidak ada satu pun murid yang ingin berbagi cerita
selama liburan.

Terlihat wajah guruku yang memancarkan kesabaran dan menunggu penuh harap
agar salah satu dari kami mau bercerita. Senyumnya pun tak kunjung memudar.

43

Kesabaran itu semakin terlihat jelas. Aku pun kagum melihatnya. Guruku yang
satu ini selalu memancarkan wajah teduh dan penuh kasih. Ia selalu mengajari
kami dengan sabar dan tidak pernah marah.

“Mungkin anak-anak butuh sedikit waktu untuk mengingat kembali
memori-memorinya, tidak apa-apa Ibu tunggu,” kata guruku dengan penuh
kesabaran.

Aku ingin sekali maju dan bercerita tentang pengalaman liburan semesterku. Di
lain sisi, aku merasa grogi kalau menjadi yang pertama menyampaikan
pengalamanku. Tetapi aku memaksakan diri untuk menyampaikan pengalamanku
yang sangat sederhana.

“Bu, Novna ingin bercerita. Tapi Novna jangan ditertawakan, ya. Liburan
semester ini saya tidak pergi kemana-mana hanya menghabiskan liburan di rumah
saja dengan keluarga. Kami menonton film-film edukatif dan setelah itu kami
berdiskusi tentang isi film itu. Kami juga membersihkan halaman rumah dari
rumput-rumput atau ilalang, menanam aneka macam bunga, dan belajar menjaga
lingkungan selama liburan.”

“Wah menarik sekali ya pengalamanmu selama liburan, selain menghabiskan
waktu menonton film bersama keluarga, ternyata juga belajar menghargai
lingkungan sekitar dengan menjaga kebersihan. Semoga ceritamu ini
menginspirasi teman-teman kalian ya,” kata guruku.

Bunyi bel kembali berbunyi menandakan jam pembelajaran sudah berakhir. Aku
pun semakin tidak sabar untuk kembali ke rumah untuk melihat hijaunya halaman
tercinta.

“Novna sudah pulang, Ma,” seruku sambil berlari.

“Bagaimana belajarmu hari ini, Nak?” tanya mamaku.

44

“Hari ini sungguh menyenangkan, Ma, aku bisa berkumpul dengan
teman-teman. Aku juga bercerita di depan kelas tentang pengalaman liburan di
rumah,” jawabku dengan senyum riang.

“Wah kamu hebat, Nak! Belajar berbicara di depan kelas sangat penting
untuk melatih dirimu bisa lebih percaya diri. Mama bangga dengan kamu, walau
liburan tidak pergi ke mana-mana tetapi kamu berani bercerita tentang kegiatan di
rumah,” kata mamaku.

Beberapa minggu kemudian…

Seperti biasanya ayam berkokok bersaut-sautan tanda hari sudah mulai pagi.
Terlihat dari jendela kamarku embun pagi pun menetes di daun-daunan di
halaman rumahku. Burung-burung pun berkicau dengan riangnya.

“Novna, segera bangun, Nak! Kamu harus siap-siap berangkat ke sekolah,”
panggilan mamaku membuyarkan mimpiku.

“Iya, Ma,” kujawab sekenanya.

Tidak banyak waktu yang aku butuhkan untuk bersiap-siap, karena aku masih
remaja yang tidak perlu bersolek ke sekolah. Aku hanya perlu menyiapkan bekal
makananku, supaya aku tidak jajan di sekolah. Aku sedang belajar hemat agar
bisa menabung setiap hari.

Sesampainya di sekolah, aku langsung menuju kelasku. Tak lama kemudian bel
sekolah pun berbunyi dan guruku datang memasuki kelas.

“Selamat pagi anak-anak terkasih, bagaimana kabar kalian hari ini?” sambut
guruku dengan lembut.

“Selamat pagi, Bu, kami selalu baik dan semangat belajar,” jawab
teman-temanku dengan serempak.

45

Aku ingat bahwa hari ini adalah jadwal ulangan harian bahasa Inggris. Beberapa
murid menunjukkan wajah ceria, terlihat sudah mempersiapkan diri, namun
beberapa cemas mungkin karena lupa belajar. Aku termasuk bagian dari
anak-anak yang berwajah ceria.

“Baik anak-anak silakan mengerjakan ulangan yang telah Ibu bagikan,” kata
guruku.

Satu jam berlalu dan sesuatu hal terjadi ...

“Eh, Novna, boleh tidak aku minta jawaban untuk uraian?” tanya Golda,
salah satu teman kelasku.

“Maaf ya, bukannya aku tidak mau membantu, tapi ini ulangan harian. Kalau
aku memberikan jawabanku kepadamu itu artinya aku tidak sayang padamu,”
jawabku dengan lirih.

Tampak wajah muram dari Golda, wajah yang menggambarkan kekecewaan
karena tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan.

“Aku tidak paham dengan apa yang kamu maksud, Novna,” ujar Golda
dengan penuh amarah.

Setelah ulangan selesai, aku mengajak Golda berbicara empat mata.

“Golda, seandainya dirimu meminta jawaban pada saat latihan mengerjakan
soal, aku akan dengan senang hati mengajarimu dan menemukan jawabannya.
Namun, tadi adalah kegiatan ulangan yang mengharuskan kita bekerja sendiri
untuk mengukur kemampuan kita. Kita harus jujur dalam mengerjakan soal. Ingat
prestasi itu memang penting, tetapi yang kita utamakan adalah kejujuran,” kataku.

Dengan wajah yang menahan amarah, Golda memberikan balasan, “Kamu
jangan sombong menasihati aku seperti itu, mentang-mentang kamu anak pandai

46

di kelas ini. Bilang saja kalau kamu tidak mau tersaingi olehku. Begitu saja
repot.”

Aku menahan tangis dan diam mendengar ocehannya agar tidak terjadi
kegaduhan, namun ternyata guruku mendengar perbincangan kami.

“Golda, kamu mau nilai berapa, Nak? Mau nilai 100? Saya bisa dengan
mudah memberikannya sekarang. Namun, yang menjadi pertanyaan saya adalah
seandainya saya memberikan 100 dengan cuma-cuma, apakah kamu bahagia dan
bersyukur? Bukankah Ibu selalu berkata bahwa kejujuran adalah nilai utama di
sekolah ini. Kamu mendapatkan nilai yang bagus, tetapi dengan cara yang salah.
Apakah kamu puas?” tanya guruku.

Tidak tampak adanya rasa penyesalan di wajah Golda. Dia malah tersenyum sinis.

Keesokan harinya….

Seperti biasanya aku duduk di tempat dudukku. Namun, aku melihat Golda
tersenyum dengan tipis di sebelahku. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Aku berdiri dan merasakan ada sesuatu hal di kursiku. Ada sesuatu yang lengket
di rokku. Ketika aku berdiri dan melihat kursiku, ternyata ada permen karet yang
menempel di kursiku. Sudah pasti ini perbuatan Golda yang sakit hati padaku.
Seketika aku terdiam dan menahan amarahku. Namun, ternyata aku tidak bisa
menahan amarah, emosiku meledak, dan aku berdiri berteriak sambil menggebrak
meja.

“Kenapa kamu mengusiliku, Golda?” tanyaku sambil menahan air mataku
agar tidak terjatuh.

Seketika suasana kelas menjadi hening dan guru pun mendatangi tempat duduk
kami, lalu mengajak kami ke ruang guru. Guruku memang sudah tahu bahwa aku
selama ini sering dibully oleh Golda.

47

Akhirnya, Golda jujur dan meminta maaf bahwa ia dengan sengaja menempelkan
permen karet di atas kursiku. Guruku memelukku sambil menguatkanku dan
mencoba membantu untuk membersihkan rokku.

Seminggu kemudian…

Aku sedang berjalan sendirian di lorong sekolah sambil memegang jajanan yang
kubeli di kantin. Hari ini aku tidak membawa bekal seperti biasanya karena mama
tidak sempat membuatkan bekal. Ibuku pagi-pagi benar harus ke rumah nenekku
yang sedang sakit. Aku berjalan sambil menyenandungkan pelan lagu favoritku
“Kembali ke Sekolah” dari Sherina.

Senang, riang, masa depan 'kan datang
Capai ilmu setinggi awan
Hingga nanti aku telah dewasa
Dunia 'kan tersenyum bahagia

Saat sedang asyiknya aku bersenandung…

“Kamu terlihat ceria sekali hari ini, Novna,” kata guruku dari belakang.

Aku pun menoleh dan ada guru bahasa Inggrisku sedang tersenyum menatapku.

“Selamat pagi, Bu. Iya, Novna kan selalu senang kalau ke sekolah. Soalnya
bisa bertemu dan belajar bersama dengan teman-teman,” jawabku.

Kemudian bel berbunyi dengan kencang...

“Anak-anak sebelum kita mengakhiri pembelajaran bersama Ibu hari ini ada
yang akan Ibu sampaikan tentang hidup ini. Ibu mengibaratkan adanya ilalang dan
tebu. Ilalang adalah semacam tumbuhan liar yang melambangkan suatu
kemarahan, kecemburuan, kesedihan, penyesalan, keangkuhan, keserakahan,
kebohongan, kesombongan. Tumbuhan yang kedua adalah tebu, yang

48

melambangkan kebahagiaan, cinta, harapan, kesopanan, kebaikan, pemaaf,
simpati, kemurahan hati, dan jujur. Kedua tumbuhan tersebut saling bersaing
untuk mendapatkan sari makanan di kebun tempat ia tumbuh.”

Karena aku penasaran dengan cerita guruku, aku pun bertanya, “Kalau begitu Bu,
tumbuhan mana yang menang?”

Guruku menjawab, “Yang bisa mengembangkan kebaikan.”

“Oh begitu ya Bu. Kalau begitu kita mesti merawat hal-hal yang baik dalam
diri kita.”

“Ya, itu sudah pasti,” kata guruku. Ketika ada kesempatan, aku dengan berani
menemui Golda.

“Golda aku sudah memaafkan segala hal yang kaulakukan kepadaku,
mungkin saja engkau selama ini belum mengerti bagaimana berperilaku baik
kepada sesama. Walaupun dirimu belum meminta maaf, tapi aku sudah
memaafkan, karena aku tidak ingin ilalang tumbuh di dalam diriku.”Golda
menatap wajahku kemudian memeluk erat-erat dan menangis.

“Bukannya aku tidak mau meminta maaf, hanya saja aku malu dan bingung
bagaimana aku harus mengatakannya. Aku sungguh menyesal karena
menghabiskan masa SMP-ku dengan melakukan banyak hal yang menyakiti
hatimu. Terima kasih sudah memberikan kesempatan untukku. Apakah kita bisa
berteman seperti dulu lagi?” tanya Golda dengan suara lirih.

“Ya dengan senang hati, kenapa tidak? Mari kita tumbuhkan tebu di dalam
kebun kita dan mencabut ilalang yang dapat merugikan hidup kita.”

Begitulah kisah Martinovna selama ia menghabiskan masa remajanya. Berat
namun layak untuk diperjuangkan.

49


Click to View FlipBook Version