The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Kumpulan Cerpen Unggul Kasih Bermartabat karya suster dan para guru SMP Mater Dei Pamulang. Karya ini dalam rangka lomba SaSekSabu 200th SPM

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SMP Mater Dei, 2022-04-12 10:00:22

KUMPULAN CERPEN_LOMBA_SASEKSABU_SMP MATER DEI PAMULANG (Format resmi panitia)

Kumpulan Cerpen Unggul Kasih Bermartabat karya suster dan para guru SMP Mater Dei Pamulang. Karya ini dalam rangka lomba SaSekSabu 200th SPM

Gusti Mboten Sare

Catarina Nur Retnowati, S. Pd.

Namaku Paiman, orang-orang di kampungku biasa memanggilku Iman.
Bapakku bekerja sebagai buruh harian yang tentu penghasilanya tidak menentu.
Aku tidak terlalu pandai untuk bergaul, bahkan cenderung minder. Alasan kenapa
aku dipanggil Iman, bapakku sangat berkeinginan agar aku benar-benar memiliki
iman yang teguh. Sebagai orang kampung yang tidak bersekolah, bapak sangat
ingin suatu kali nanti aku berhasil dalam hidup.

Berhasil menurut ukuran bapakku adalah hidup lebih layak, dan tetap
berpegang kepada Tuhan. Menjadi buruh harian dengan penghasilan yang
pas-pasan membuat bapak selalu wanti-wanti kepadaku. Bahkan dalam setiap
obrolon dengan tetangga bapak selalu berharap agar suatu kali aku dapat suwito
negoro.

“Le bapak berharap nanti setelah dewasa kamu bisa mengabdi kepada bangsa dan
negaramu ini,” ujar Bapak.

Kata-kata itu sering diucapkan Bapak sampai tetanggaku yang dengarpun
ikut tertawa. Mungkin mereka menertawakan kami karena memang keluarga kami
bukanlah keluarga yang kaya, bahkan untuk memenuhi kehidupan sehari-haripun
sulit. Dapat dikatakan sejak kecil kehidupanku sangat berkekurangan. Jam
bermain dengan temanku pun hilang karena aku harus membantu ayah dan ibu
sebagai buruh tani. Hidup prihatin membuat keluarga kami selalu dekat dengan
Sang Pencipta. Kedekatan ini dapat terlihat dari kehidupan orang tuaku juga yang
selalu mengajariku untuk selalu bersyukur dan mau menolong sesama. Bapak pun
mengatakan kepadaku

“Le ingat jadi orang tidak perlu sombong tetapi harus bisa berbuat kebaikan untuk
sesama,” kata Bapakku disuatu sore hari.

Peristiwa yang masihku ingat saat itu ketika Bapak menolong orang yang
menuntun sepeda karena bannya kempes. Bapak tidak kenal dengan orang itu,
tetapi bapak memberikan sepedanya untuk dibawa orang tersebut. Sepeda kempes
milik orang itu ditinggal di rumahku. Sepeda bapak jauh lebih bagus. Tetapi bapak

50

tidak berpikiran apapun kecuali hanya ingin menolong orang yang kesusahan
mencari tempat penambalan ban.

Jarum jam terus berputar tak terasa tibanya waktu kami makan bersama.
Makan bersama memang merupakan kebiasaan dalam keluargaku walaupun
hanya dengan menu sederhana. Justru setelah makan biasanya Bapak memberi
kesempatan kepada kami untuk bercerita tentang apa saja yang kami alami hari
itu. Kadang Bapak tidak bercerita tetapi ia menyampaikan suatu nasihat kepadaku
dalam bahasa yang sederhana. Saya masih ingat setelah makan malam Bapak
mengatakan kepadaku

“kalau kita berbuat baik kepada orang lain, suatu hari nanti pasti kita
mendapatkan balasannya, bukan dari orang yang kita tolong tetapi bisa dari orang
lain yang justru belum pernah kita tolong,” kata Bapakku

Hal ini sesuai dengan perumpamanan yang sering kita dengar apa yang
kita tabur apa yang kita tuai atau dalam bahasa Jawa sopo nandur bakal ngunduh.

Di suatu sore, bapak mengajakku ke sebuah toko sepeda. Aku menuruti
keinganan Bapak dan aku mengira akan dibelikan sepeda untuk bisa dipakai ke
sekolah. Sebab sepeda yang kupakai terlalu besar, dan juga sudah usang. Lama
bapak mencari-cari sesuatu. Lalu akhirnya bapak menemukan barang yang
dicarinya, tenyata pompa sepeda. Aku pun bertanya pada bapak.

“Pak, buat apa beli pompa sepeda?” Tanyaku penasaran.
Bapak hanya menjawab,
“ini akan sangat berguna bagi banyak orang.”
Selain pompa bapak juga membeli karet pentil yang dipakai di sepeda.
Sesampai di rumah karet pentil itu dipotong-potong diletakkan di kaleng bekas.
Kaleng itu dipaku di tembok pagar rumah. Pompa dibuka bungkusnya, lalu
disandarkan di pagar tembok. Aku masih belum mengerti apa maksud bapak
meletakkan kedua barang tersebut. Hingga suatu kali anak anak seusiaku

51

menuntun sepedanya karena ban sepedanya kempes. Bapak mendekati anak itu
lalu bertanya,

“Kenapa kamu tuntun sepedamu nak?”
“Ban sepedanya tiba-tiba kempes pak!” jawab anak itu.
“Coba bawa sini”
Bapak mendekati anak itu. Aku hanya bengong melihatnya. Bapak lalu
mencoba memeriksa ban sepeda anak itu. Setelah itu, dipompanya dan berhasil.
“Ini sepedamu sudah tidak lagi kempes bannya, segera pulang ya, hari
sudah mulai gelap” kata bapak sambil memberikan sepeda itu.
Anak sekolah itu sangat girang dan berkali-kali mengucapkan terima kasih
kepada bapak. Setelah anak itu berlalu, bapak duduk dan berbicara kepadaku,
“Ini perbuatan sederhana yang bisa kita lakukan Le!” sambil duduk di
lantai.
Kalau kita tidak memiliki materi, kita bisa berbuat kebaikan dengan cara
lain. Semenjak ada anak sekolah yang ditolong Bapak karena bannya kempes hari
itu, orang-orang jadi sering memompa ban sepedanya di depan rumahku. Bahkan
sering aku diminta membantu jika yang datang adalah seorang ibu-ibu. Setiap
pagi pompa sepeda itu dikeluarkan, sore harinya aku diminta untuk
memasukannya. Rutinitas itu ditanamkan padaku agar tidak lupa mengerjakannya.
Aku terkadang lupa, tetapi dengan sabar bapak selalu mengingatkanya.
“Belajarlah tanggung jawab yo Le, suatu kali nanti kamu akan peroleh
hasilnya,” begitu kata bapak.
Dengan berjalannya waktu, aku tumbuh menjadi anak yang dewasa.
Singkat ceritanya aku sudah sekolah di tingkat SMA. Bapak sangat menginginkan
aku sekolah di SMA swasta Katolik dari pada harus sekolah di SMA negeri yang
tidak jauh dari rumah. Saya sendiri juga tidak mengerti apa alasanya. Padahal
sekolah di SMA negeri selain murah jaraknya juga tidak jauh dari rumahku.

52

SMA tempatku belajar jaraknya kira-kira 10 km dari rumah. Jarak yang
cukup jauh ini harus kutempuh dengan bersepeda. Bapak membelikan sepeda
bekas yang masih lumayan bagus. Sepeda itu menjadi andalanku untuk pergi dan
pulang sekolah. Bapak tidak pernah memberikan uang jajan untukku. Ibuku
biasanya mengulang kata-kata bapakku.

“Le, sekolah itu harus prihatin, jadi ndak perlu jajan.” Begitu ibuku
berpesan.

Kujalani masa-masa sekolahku di SMA dengan penuh perjuangan.
Bersepeda setiap kali berangkat membuat badan berkeringat. Ibuku berpesan agar
berangkat lebih awal biar ada kesempatan untuk istirahat sebelum belajar.
Keringatnya biar turun dan hilang.

Kejadian yang kualami malam itu benar-benar tak pernah aku lupakan.
Karena ada kegiatan sekolah sampai sore, aku terpaksa pulang terlambat. Sore itu
mendung luar biasa gelapnya. Sepulang sekolah, aku baru bersepeda beberapa
kilo meter dari sekolah hujan turun sangat deras bahkan petirpun
meyambar-nyambar. Malam mulai tiba, gelap dan jalan tidak begitu kelihatan.
Sial benar-benar sial saat itu. Di jalan tidak beraspal di pinggir kali, tiba-tiba ban
sepedaku kempes. Jalan yang kulalui sangat gelap karena belum ada listrik dan
jauh dari rumah penduduk membuatku ketakutan.

Mau tidak mau harus kutuntun sepedaku. Rumahku masih lumayan jauh
jaraknya, hingga kudapatkan rumah penduduk yang terdekat. Aku coba berteduh,
sambil menanyakan tukang tambal ban terdekat. Tak disangka, bapak yang punya
rumah itu bisa menambal ban meski bukan seorang bengkel. Ia memiliki peralatan
untuk menambal ban. Aku dibantu bapak itu sehingga ban sepedaku tidak lagi
kempes.

“Berapa pak?” tanyaku dengan gugup. Gugup karena tidak bawa uang.

“Nak, bawa saja sepedamu, pulang segera karena sudah malam” kata
bapak itu.

“Tapi pak, bagaimana dengan ongkos tambal bannya?” kataku dengan
terbata-bata.

53

“Nak, bapak senang bisa menolongmu!”
Meski masih hujan, aku berpamitan dan berkali-kali mengucapkan terima
kasih. Sampai di rumah kuceritakan pengalamanku kepada Bapak.
“Terbukti kan Le, sopo nandur bakal ngunduh!” kata bapakku sambil
memberikan handuk untuk mengusap wajahku yang basah karena air hujan
bercampur keringat.
“Wis gek mandi, biar tidak masuk angina,” kata Bapak, sambil mengambil
sepedaku untuk diletakan di tempatnya.
Entah ini kebetulan atau bagaimana aku tidak tahu. Bapakku selalu
mengingatkan agar selalu berbuat baik dan terus berusaha untuk menolong orang
lain. Orang menabur pasti akan menuai kira-kira begitu. Bapakku tidak
menjalankan kewajiban agamanya seperti yang tertulis di KTP. Bapak hanya
berprinsip, jika berbuat baik, menolong orang, jujur dalam bertindak itu sudah
menjalankan agama. Itu juga salah satu alasan bapak menyekolahkan saya di
SMA swasta Katolik yang jauh dari rumah. Nilai-nilai itu kudapatkan dari sekolah
di mana saya belajar. Ditambah bapak yang terus menerus mengajariku di rumah.
Ternyata apa yang ditanamkan bapakku dan juga ajaran di sekolah
benar-benar melekat pada diriku. Sekarang, aku bekerja di tempat aku bisa ikut
ambil bagian dalam mempersiapkan generasi penerus untuk nusa dan bangsa ini,
seperti yang diharapkan Bapakku “Suwito Negoro” yang dapat diartikan
mengabdi kepada negara. Ajaran yang ditanamkan Bapak untuk bisa menolong,
berbuat baik, dan jujur selalu kulakukan. Bersyukur aku tinggal di suatu tempat
yang lingkunganya ramah, aman, dan menyenangkan. Aku sangat yakin berbuat
kasih, suka menolong merupakan bagian dari ajaran Tuhan. Tuhan akan selalu
ada buat kita, Tuhan tidak tidak tidur dan tidak pernah meninggalkan kita dalam
bahasa Jawa sering diungkapkan dengan kata-kata Gusti Mboten Sare demikian
yang selalu kuingat…..

54

PENUTUP
Demikianlah 10 kisah yang menggetarkan jiwa. Semoga dengan membaca
kisah-kisah yang ada dalam buku ini, para pembaca menemukan inspirasi dan
permenungan dalam situasi apa pun yang sedang dihadapi.
Kami mengucapkan limpah terima kasih kepada Suster dan Bapak Ibu
Guru yang sudah rela sedia menuliskan dengan segala keterbatasan tenaga dan
waktu sehingga kumpulan cerpen ini ada di tangan Anda semua.

Salam Tota Christi Per Mariam

55


Click to View FlipBook Version