The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Bendungan Karangnongko merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang terletak di perbatasan Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by AL EL BAPER (Almari Elektronik Badan Perencanaan), 2024-01-22 21:39:48

ANALISIS SOSIAL EKONOMI PADA WARGA TERDAMPAK BENDUNGAN KARANGNONGKO 2023

Bendungan Karangnongko merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang terletak di perbatasan Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro.

0


DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 DAFTAR TABEL 2 DAFTAR GAMBAR 2 BAB 1 3 PENDAHULUAN 3 1.1. Latar Belakang 3 1.2. Pertanyaan Penelitian 4 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 4 1.4. Kerangka Konseptual 5 1.5. Metode 6 1.6. Tahapan Pengumpulan Data 8 1.7. Aktivitas dan Linimasa 9 BAB 2 10 KONDISI SOSIAL EKONOMI 10 2.1. Kondisi Sosial-Ekonomi 10 2.2. Kondisi Demografi 13 2.3. Data/Peta Desa dan Tata Guna Lahan 15 2.4. Data/Peta Bendungan 15 BAB 3 18 ASPIRASI RELOKASI DAN GANTI UNTUNG 18 3.1. Data dan Narasi Relokasi 18 3.1.1. Aspirasi Relokasi: Aspek Sosial-Ekonomi 18 3.1.2. Risiko Relokasi 23 3.1.3 Tahapan Relokasi: Alur Pemerintah dan Aspirasi Masyarakat 25 3.2. Data dan Narasi Ganti Untung 27 3.2.1 Aspirasi Ganti Untung 28 3.2.2 Risiko Ganti Untung 30 3.2.3 Mekanisme Ganti Untung 32 3.3 Proyeksi Dampak Sosial dan Ekonomi 33 3.3.1 Mata Pencaharian 34 3.3.2 Jejaring Sosial 36 3.3.3 Tata Kelola Pemerintahan 38 1


3.4. Mitigasi Dampak Sosial-Ekonomi 40 3.4.1 Mata Pencaharian 40 3.4.2 Mitigasi Jejaring Sosial 41 3.4.3 Mitigasi Tata Kelola Pemerintahan 42 BAB 4 43 PENUTUP & REKOMENDASI 43 4.1. Penutup 43 4.2. Rekomendasi 46 LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Instrumen Penelitian 50 Daftar Pustaka 53 DAFTAR TABEL Tabel 1. Tahapan Pengumpulan Data 8 Tabel 2. Aktivitas dan Linimasa Kajian 9 Tabel 3. Kondisi Demografi Wilayah Kajian 13 Tabel 4. Klasifikasi Keluarga Menurut Tingkat Kesejahteraan 14 Tabel 5. Klasifikasi Usia Penduduk 14 Tabel 6. Luas kawasan Hutan Pangkuan Desa KHDTK UGM 16 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Alur Pengumpulan Data 7 Gambar 2. Kandang Kambing Kelompok Ternak Desa Ngrawoh 11 Gambar 3. Situs Pertapaan di Desa Nginggil 12 Gambar 4. Area KHDTK UGM 16 Gambar 5. Skema Relokasi Bendungan Karangnongko 19 Gambar 6. Peta Wilayah KHDTK UGM 20 2


BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bendungan Karangnongko merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang terletak di perbatasan Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro. Bendungan tersebut akan membendung Sungai Bengawan Solo di Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan yang bermanfaat untuk mencegah kekeringan wilayah Blora selatan, irigasi pertanian, pemenuhan kebutuhan air bersih, dan pariwisata di wilayah Blora dan juga Bojonegoro. Terdapat 5 (lima) Desa di wilayah Kabupaten Blora yang akan terkena dampak pembangunan Bendungan Karangnongko yaitu Desa Mendenrejo, Desa Ngrawoh, Desa Nginggil, Desa Megeri dan Desa Nglebak Kecamatan Kradenan. Di mana ada 2 (dua) Desa yang semua pemukiman penduduknya akan hilang, yaitu Desa Ngrawoh dan Desa Nginggil sehingga diperlukan kebijakan yang tepat dalam proses pemindahan penduduk Desa serta pilihan mekanisme ganti rugi yang tepat sesuai keinginan masyarakat dan aturan yang ada. Kegiatan pembangunan Bendungan Karangnongko ini memerlukan pembebasan lahan yang akan berdampak pada status kepemilikan aset lahan dan kehidupan masyarakat, karena hilang atau berkurangnya aset lahan yang mereka miliki atau masyarakat terpaksa harus berpindah lokasi/ tempat tinggal yang kemungkinan akan menyebabkan beralihnya mata pencaharian mereka. Perlu dilakukan penelitian/kajian “Analisis Sosial Ekonomi pada Warga Terdampak Pembangunan Bendungan Karangnongko di Kabupaten Blora” sehingga Pemerintah Kabupaten Blora dapat menentukan kebijakan yang tepat dan memenuhi unsur keadilan dalam proses pemindahan masyarakat Desa lokasi pembangunan Bendungan Karangnongko. Terdapat beberapa kajian tentang relokasi lahan dan pembangunan infrastruktur yang menggunakan pendekatan akuisisi lahan dan perencanaan pemukiman kembali. Di antaranya adalah pembangunan Bendungan Mujur di Lombok Tengah (Kurniati dkk, 2013), Bendungan Jragung di Kabupaten Demak (Kusumaningtyas dkk, 2017), Bendungan Bagong di Trenggalek (Paputra, 2018), Bendungan Semantok di Nganjuk (Susilowati & Windiani, 2018), Bendungan Jatigede di Sumedang (Suwartapradja dkk, 2019), Bendungan Jenelata di Gowa (Qadir dan Rahmatiah, 2021), Bendungan Pamukkulu di Takalar (Yanto dkk, 2021), 3


dan Bendungan Bener di Purworejo, (Anggraini, 2022). Dari delapan kasus pembangunan bendungan dan akuisisi lahan tersebut, ditemukan beberapa kecenderungan, seperti belum terpenuhinya aspek sosial pada proses pemindahan, belum terpenuhinya kepentingan seluruh aktor yang terlibat, minimnya upaya pembentukan jejaring sosial dan proses sosialisasi pada proses awal pemindahan, menurunya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akibat dari informasi yang kurang jelas, keinginan masyarakat untuk mendapatkan pemukiman kembali yang layak seperti di area asal, penggunaan uang kompensasi yang sudah habis ketika sebelum pindah ke pemukiman baru yang menyebabkan pengangguran dan kemiskinan, dan menyoroti tentang peran penting pemerintah dan komunitas dalam proses pemindahan dan pengawalan kompensasi. 1.2. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, kajian ini akan mengeksplorasi dua pertanyaan utama, yaitu: 1. Bagaimana dampak sosial ekonomi pada masyarakat yang terkena dampak pembangunan Bendungan Karangnongko? 2. Bagaimana mekanisme ganti untung dan/atau relokasi yang tepat terhadap masyarakat terdampak pembangunan Bendungan Karangnongko? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian Secara garis besar, maksud, tujuan, dan sasaran dalam kajian ini adalah: Maksud a. Melakukan identifikasi dampak sosial ekonomi pada masyarakat yang terkena dampak pembangunan Bendungan Karangnongko. b. Melakukan identifikasi mekanisme ganti rugi dan/atau relokasi yang tepat terhadap masyarakat terdampak pembangunan Bendungan Karangnongko. Tujuan a. Melakukan analisis dampak sosial ekonomi pada masyarakat yang terkena dampak pembangunan Bendungan Karangnongko. b. Melakukan analisis mekanisme ganti rugi dan/atau relokasi yang tepat terhadap masyarakat terdampak pembangunan Bendungan Karangnongko. Sasaran a. Teridentifikasi dampak sosial ekonomi pada masyarakat yang terkena dampak 4


pembangunan Bendungan Karangnongko. b. Memberikan gambaran mekanisme ganti rugi dan/atau relokasi yang tepat terhadap masyarakat terdampak pembangunan Bendungan Karangnongko. c. Memberikan saran dan rekomendasi sebagai acuan Pemerintah Kabupaten Blora dalam pengambilan kebijakan. 1.4. Kerangka Konseptual Penelitian ini menggunakan kerangka konseptual Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP) untuk menganalisis dampak sosial ekonomi dan mekanisme kompensasi terhadap masyarakat yang terkena dampak pembangunan Bendungan Karangnongko. LARAP digunakan untuk mengidentifikasi kompensasi, proses pemukiman kembali, dan rehabilitasi dari area pemukiman dan lingkungan yang direncanakan untuk dipindah. LARAP merupakan dokumen perlindungan sosial yang digunakan untuk mengidentifikasi kompensasi, proses pemukiman kembali, dan rehabilitasi dari area pemukiman dan lingkungan yang direncanakan untuk dipindah (Ministry of Public Works, 2019). Sekaligus juga untuk memetakan dan mengatasi potensi risiko dan dampak sosial serta lingkungan yang diakibatkan oleh pemindahan. Proses pengidentifikasian dan pemetaan LARAP juga memerlukan keterlibatan bersama dengan kelompok masyarakat yang berpotensi terkena dampak untuk mengetahui aspirasi mereka secara lebih akurat tentang proses pemindahan. Dengan demikian, desain kompensasi, proses pemukiman kembali, dan rehabilitasi dapat dirancang secara integratif dan tepat sasaran untuk meminimalisir potensi risiko dan dampak sosial serta lingkungan. Pengidentifikasian dan pemetaan LARAP dilakukan melalui tujuh aspek (Ministry of Public Works, 2019). Pertama, identifikasi pemangku kepentingan untuk mengetahui cara pandang dan keterlibatan aparatur desa di sekitar rancangan lokasi Bendungan Karangnongko dalam proses pembangunan bendungan. Kedua, aspek konsultasi dan keterikatan pada berbagai komunitas untuk mendapatkan informasi dan pendekatan yang tepat dari beragam sumber terkait dengan isu dan permasalahan yang terdapat di desa di sekitar rancangan lokasi Bendungan Karangnongko. Ketiga, melakukan social assessment untuk mengetahui kondisi masyarakat yang berpotensi terkena dampak pemindahan secara lebih akurat, meliputi: karakteristik demografi dan sosial ekonomi, struktur keluarga, kepemilikan dan kegunaan lahan, tingkat literasi, tingkat kerentanan ibu dan anak, persepsi tentang pemindahan, hingga proses pemulihan dan penghitungan ulang pemasukan rumah tangga. 5


Keempat, melakukan Penilaian Dampak Pembebasan Lahan dan Pemukiman Kembali untuk mengidentifikasi dampak dan menginventarisir kehilangan aset akibat dari pembangunan bendungan yang ditentukan dengan mengukur struktur yang terdampak, jenis konstruksi, kualitas dan bahannya, serta perkiraan biaya tenaga kerja untuk pembangunan struktur baru dengan jenis dengan dimensi yang sama. Kelima, perancangan mekanisme kompensasi yang sesuai dengan penilaian dampak pembebasan lahan serta kebutuhan hidup layak dari setiap rumah tangga yang akan dipindahkan melalui perhitungan terhadap penilaian tanah, struktur privat dari biaya aktual pembangunan kembali, penilaian tanaman dan pohon, penilaian infrastruktur publik dan komunitas, dan pendapatan yang hilang pada masa pemindahan. Keenam, aspek disclosure untuk membagikan dan menjelaskan informasi tentang dampak dan manfaat dari seluruh proses pembangunan, pemindahan, kompensasi, serta secara lengkap kepada masyarakat terdampak. Terakhir, aspek cut-off date untuk menjelaskan dan membagikan informasi tentang keseluruhan tanggal pembangunan, pemindahan, pembangunan kembali, hingga rehabilitasi dan pemberian kompensasi secara terperinci kepada masyarakat terdampak sebagai bagian negosiasi terhadap pihak-pihak yang terlibat. 1.5. Metode Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan qualitative assessment. Pendekatan ini memungkinkan peneliti melakukan penilaian secara kualitatif berdasarkan pengalaman, nilai, dan sikap. Dengan demikian, hasil penilaian tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan situasi dan memperkaya wawasan untuk melakukan intervensi kepada kelompok masyarakat yang dituju. Tahap pengumpulan data akan dilakukan di Desa Ngrawoh dan Desa Nginggil. Pemilihan lokasi ini dilakukan karena dari lima desa terdampak pembangunan bendungan gerak Karangnongko, Desa Ngrawoh dan Nginggil merupakan wilayah yang pemukiman penduduknya paling terdampak, sehingga terdapat potensi besar bahwa penduduk di kedua wilayah desa tersebut akan melakukan bedol desa. Guna memperoleh strategi intervensi yang tepat kepada masyarakat, maka pendekatan qualitative assessment perlu melakukan beberapa tahapan dalam proses pengumpulan datanya, di antaranya adalah sebagai berikut. 6


Gambar 1. Alur Pengumpulan Data a. Delphi method Delphi Method adalah metode penelitian pragmatis yang diciptakan pada tahun 1950-an oleh para peneliti di RAND Corporation untuk digunakan dalam pengambilan kebijakan, pengambilan keputusan organisasi, dan untuk menginformasikan praktik langsung (Brady, 2015). Delphi Method menekankan pada proses komunikasi secara dialogis dan terstruktur antara individu dan kelompok yang memiliki keahlian pada topik tertentu dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama di bidang kebijakan dan pengambilan keputusan di lingkup kelompok serta masyarakat. b. Brainstorming Brainstorming merupakan aktivitas pra-menulis dengan cara spontan untuk menghasilkan gagasan sebanyak mungkin yang relevan dengan topik penelitian, menjawab pertanyaan penelitian, dan mengatasi permasalah di dalam penelitian (Svenlin & Jusslin, 2023). c. Observasi Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung. Teknik ini dilakukan untuk mendapat gambaran visual mengenai kondisi Desa Ngrawoh dan Desa Nginggil. Selain itu, observasi juga dilakukan untuk mengamati aktivitas sosial ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Observasi yang dilakukan nantinya juga dapat didokumentasikan dalam bentuk gambar, video, maupun catatan lapangan. d. Focus Group Discussion (FGD) FGD dilakukan bersama masyarakat dan perangkat desa untuk mengetahui aspirasi mereka terkait proses relokasi dan ganti untung. FGD dilakukan sebanyak delapan (8) kali di kedua desa. FGD difokuskan pada empat kelompok di masing-masing desa: perangkat desa, kelompok PKK, karang taruna, dan petani serta peternak. 7


e. Wawancara mendalam Wawancara mendalam dilakukan untuk mengetahui kehidupan dan situasi sehari-hari para informan secara mendalam. Proses wawancara akan melibatkan perangkat desa, perempuan, pemuda, serta kelompok tani. Subjek informan tersebut dinilai penting untuk memberikan perspektif yang holistik kaitannya dengan dimensi sosial ekonomi serta aspirasi mekanisme relokasi. Wawancara mendalam dilaksanakan sebanyak enam (6) kali di kedua desa. Tiga informan di Desa Ngrawoh yang mewakili perangkat desa, generasi lanjut usia, dan generasi muda. Tiga informan di Desa Nginggil yang mewakili perangkat desa, masyarakat tidak terdampak, dan perempuan (single parent). f. Triangulasi data Proses triangulasi data dilakukan dengan menggunakan seluruh data yang dimiliki dalam proses analisis. Data-data tersebut bisa berasal dari data sekunder seperti dokumen monograf, regulasi, hasil observasi, wawancara, serta FGD. Dalam proses triangulasi, validitas dan reliabilitas hasil dapat dijamin. 1.6. Tahapan Pengumpulan Data Tabel 1. Tahapan Pengumpulan Data Hari 1 Hari 2 Hari 3 FGD dan Wawancara Perangkat Desa Ngrawoh F: 8, W: 1 FGD Kelompok Tani dan Ternak Ngrawoh F: 8, W: 1 FGD dan Wawancara Pemuda Ngrawoh F: 8, W: 1 FGD dan Wawancara Perempuan Ngrawoh F: 8 FGD Perangkat Desa Nginggil F: 8, W: 1 FGD Kelompok Tani dan Ternak Nginggil F: 8, W: 1 FGD dan Wawancara Pemuda Nginggil F: 8 FGD dan Wawancara Perempuan Nginggil F: 8, W: 1 8


Observasi area terdampak, wilayah bendungan, dan area relokasi 1.7. Aktivitas dan Linimasa Tabel 2. Aktivitas dan Linimasa Kajian No Aktivitas 17 Okt 24 Okt 31 Okt 7 Nov 14 Nov 21 Nov 28 Nov 6 Des H1 H7 H14 H21 H28 H35 H42 H50 Desk study Observasi pra riset Penyusunan instrumen penelitian Penyusunan laporan kemajuan Presentasi laporan kemajuan Pengambilan data Pengolahan data Penyusunan laporan Laporan Akhir 9


BAB 2 KONDISI SOSIAL EKONOMI 2.1. Kondisi Sosial-Ekonomi Desa Ngrawoh dan Desa Nginggil masuk dalam Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah yang secara administratif berbatasan langsung dengan Kabupaten Ngawi. Secara topografi, Desa Ngrawoh terletak di daerah perbukitan sehingga infrastruktur jalan utama berada dalam kondisi yang kurang baik. Meskipun demikian, sebagian wilayah Desa Ngrawoh juga berada di tepian sungai Bengawan Solo dan bersebelahan dengan Desa Nginggil. Selanjutnya, kontur topografi Desa Nginggil, terletak di daerah tepian sungai Bengawan Solo, sehingga daerah tersebut tergolong daerah rawan banjir ketika terjadi luapan air akibat curah hujan yang tinggi. Pada tahun 2007, terjadi bencana banjir yang cukup tinggi sehingga hampir menenggelamkan sebagian Desa Nginggil, Ngrawoh, dan Mendenrejo. Desa Ngrawoh Secara sosial-ekonomi, Desa Ngrawoh memiliki beberapa kelembagaan seperti kelompok karang taruna, kelompok ternak, kelompok tani, PKK, LMDH, dan kelompok kesenian hadrah. Pemuda dengan karang tarunanya memiliki peranan penting dalam pengelolaan ternak kambing yang dimiliki oleh desa. Mereka juga menggandeng kelompok ternak untuk mengembangkan sektor peternakan melalui pengembang biakan (breeding) dan penggemukan ternak (fattening). Proses penggemukan ternak dilakukan secara mandiri dan kolaboratif antara penduduk dengan UGM (Fakultas Peternakan). Hingga saat ini, kolaborasi ini telah menghasilkan brand “Wana Ternak” yang secara spesifik memproduksi olahan pakan untuk kambing. Pembuatan pakan ternak ini sendiri pada dasarnya cukup baik untuk kelangsungan ternak dan lingkungan desa. Pakan ternak yang diberikan untuk kambing telah membantu masyarakat Desa Ngrawoh mengurangi limbah bonggol jagung dan mampu memperbaiki kualitas daging dan kulit kambing mereka. Pakan kambing olahan wana ternak saat ini belum mampu memenuhi permintaan pasar di luar desa karena keterbatasan alat pengolah (penggiling bonggol) dan konsentrat tambahan. 10


Gambar 2. Kandang Kambing Kelompok Ternak Desa Ngrawoh Sumber: Data Primer Peneliti Selain ternak dan olahan pakan ternak, Desa Ngrawoh juga memiliki potensi ekonomi dari sektor pertanian. Jenis tanaman unggulan di sini adalah jagung, pisang, gadung/ketela, dan mangga. Pola pertanian jagung yang dilakukan oleh masyarakat desa masih sangat bergantung pada para tengkulak. Bahkan, dalam proses awal penanaman, bibit dan pupuk diberikan oleh tengkulak. Kemudian, pembersihan lahan hingga proses penanaman bibit dilakukan oleh para petani penggarap. Petani penggarap memperoleh upah ketika masa panen tiba, mereka biasa mendapatkan upah sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) untuk satu karung jagung yang sudah dikupas. Hasil panen dalam 1 Ha lahan dapat menghasilkan 3-4 ton jagung. Sedangkan untuk petani pemilik lahan, mereka memiliki sistem bagi hasil dengan tengkulak. Sistem ini menuntut tengkulak (investor) memberikan investasi/modal awal kepada petani pemilik lahan sebesar Rp10.000.000,00 per Ha. Ketika masa panen tiba, sistem bagi hasil (40:60) tersebut berlaku, di mana nilai total penjualan akan dikurangi modal awal, kemudian keuntungan/sisanya akan dibagi menjadi dua dengan proporsi 40% untuk tengkulak dan 60% untuk petani pemilik lahan. Berdasarkan temuan lapangan, saat ini terdapat 15-20 an KK dengan total 45 Ha yang lahannya dimodali oleh tengkulak. Terlepas dari kompleksnya dinamika di sektor pertanian, kelompok perempuan juga memiliki posisi yang strategis dalam kelembagaan sosial di Desa Ngrawoh. Mereka berorganisasi melalui keanggotaan PKK dan juga memiliki kelompok kesenian hadrah yang telah tampil dan mengisi acara di level desa hingga kecamatan. Selain itu, perempuan juga berperan 11


serta dalam pengolahan hasil perkebunan, misalnya pisang. Potensi pisang yang ada di Desa Ngrawoh belum sepenuhnya tergarap dengan secara optimal. Kelompok perempuan di sini pernah beberapa kali mendapatkan pelatihan pengolahan pisang menjadi bahan pangan yang lebih bernilai, tetapi hingga saat ini keberlanjutannya masih belum terjaga. Bahkan, beberapa olahan pangan lainnya seperti keripik jagung, ceriping, dan tepung juga belum mampu bersaing seperti halnya olahan pakan ternak. Desa Nginggil Desa Nginggil memiliki potensi ekonomi dari beberapa sektor seperti: pertanian (padi); perkebunan (jagung, tebu, buah-buahan); serta peternakan. Penduduk laki-laki mayoritas berprofesi sebagai pesanggem (petani hutan). Sedangkan perempuan biasanya mengurus rumah tangga dan ternak mereka. Dengan profesi utama sebagai petani, masyarakat Desa Nginggil sangat bergantung kepada tengkulak untuk modal penanaman di lahan mereka. Masyarakat memilih profesi menjadi pesanggem, karena kayu hasil hutan sudah habis akibat pembalakan liar pada tahun 2003. Kelembagaan yang bersifat kultural sangat kuat di Desa Nginggil, misalnya padepokan silat dan organisasi keagamaan. Tiga padepokan silat yang cukup berpengaruh dan memiliki banyak massa di sana adalah: PSHT, PS Cempaka Putih, dan Kera Sakti. Selain itu, organisasi keagamaan yang juga memiliki peranan kuat di sana adalah NU. Masyarakat desa terbiasa menggunakan situs pertapaan sebagai ruang dialogis untuk membahas dinamika yang terjadi di dalam masyarakat hingga hal-hal yang berbau spiritual. Kondisi ini dipengaruhi oleh latar budaya masyarakat sekitar yang tergolong sebagai kelompok abangan (jawa-petani abangan). Gambar 3. Situs Pertapaan di Desa Nginggil 12


Sumber: Data Primer Peneliti Dalam aspek tata kelola kelembagaan resmi di bawah naungan desa, beberapa lembaga desa tidak berjalan secara optimal. Misalnya, BUMDes di sana telah vakum selama 2 tahun akibat kredit macet. Selain itu, kelompok tani desa juga vakum, sehingga mereka berjalan sendiri-sendiri di bawah arahan para tengkulak. Di Desa Nginggil, jumlah tengkulak hanya ada 1 orang. Oleh karena itu, relasi patron-klien lebih kuat di desa ini karena hampir seluruh petani yang membutuhkan modal untuk penggarapan lahan akan melakukan pinjaman ke tengkulak tersebut. 2.2. Kondisi Demografi Tabel 3. Kondisi Demografi Wilayah Kajian Desa Ngrawoh Desa Nginggil Penduduk Laki-laki 333 211 Penduduk Perempuan 336 223 Jumlah Penduduk 659 434 Jumlah Kepala Keluarga (KK) 202 141 Sumber: Diolah dari Prodeskel (2023) Desa Ngrawoh 1 memiliki penduduk berjumlah 659 jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki berjumlah 333 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 336 jiwa. Desa dengan kepala keluarga berjumlah 202 KK ini memiliki basis mata pencaharian utama sebagai petani. Desa Nginggil memiliki penduduk berjumlah 434 jiwa, dengan komposisi penduduk laki-laki berjumlah 211 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 223 jiwa. Desa dengan kepala keluarga berjumlah 141 KK ini memiliki basis mata pencaharian utama sebagai pesanggem dan/atau petani, sedangkan para perempuan biasanya mengurus ternak dan mengurus kebutuhan rumah tangga. 1 Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Kepala Desa Ngrawoh pada tahun 2023 jumlah KK adalah 210. 13


Tabel 4. Klasifikasi Keluarga Menurut Tingkat Kesejahteraan Klasifikasi Keluarga Desa Ngrawoh Desa Nginggil Pra-Sejahtera 127 108 Sejahtera 1 48 26 Sejahtera 2 26 22 Total 201 156 Sumber: diolah dari data BPS Kabupaten Blora 2020 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora tahun 2020, demografi keluarga dari kedua desa dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah keluarga pra-sejahtera yang berjumlah 127 keluarga di Desa Ngrawoh dan 108 keluarga di Desa Nginggil. Kategori kedua adalah keluarga sejahtera 1 yang berjumlah 48 keluarga di Desa Ngrawoh dan 26 keluarga di Desa Nginggil. Kategori ketiga adalah keluarga sejahtera 2 yang berjumlah 26 keluarga di Desa Ngrawoh dan 22 keluarga di Desa Nginggil. Melalui data tersebut dapat dihitung bahwa sekitar 63% keluarga di Desa Ngrawoh dan 69% keluarga di Desa Nginggil termasuk dalam kategori pra-sejahtera. Tabel 5. Klasifikasi Usia Penduduk Kategori Usia Desa Ngrawoh Desa Nginggil 0-14 Tahun (Tidak Produktif) 87 78 65 Tahun Ke Atas (Tidak Produktif) 63 61 15-64 Tahun (Produktif) 409 294 Rasio Ketergantungan 36.67 47.28 Sumber: diolah dari data BPS Kabupaten Blora 2020 Rasio ketergantungan di kedua desa sebesar 36.67% untuk Desa Ngrawoh dan 47.28% untuk Desa Nginggil. Rasio ketergantungan tersebut didapatkan dari perbandingan antara penduduk usia tidak produktif dengan usia produktif. Penduduk usia tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) di Desa Ngrawoh sebanyak 150 jiwa dan di Desa Nginggil sebanyak 139 jiwa. Penduduk usia produktif (15-64 tahun) di Desa Ngrawoh sebanyak 409 jiwa dan di Desa Nginggil sebanyak 294 jiwa. 14


2.3. Data/Peta Desa dan Tata Guna Lahan Desa Ngrawoh dan Nginggil terletak di Kecamatan Kradenan yang berjarak sekitar 42 kilometer dari Kabupaten Blora dan sekitar 162 KM dari Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Desa Ngrawoh berbatasan dengan Desa Mendenrejo di sebelah utara, Desa Nginggil di sebelah selatan, Sungai Bengawan Solo di sebelah timur, dan Desa Pilang di sebelah Barat. Desa Ngrawoh memiliki wilayah seluas 177 Ha yang dipergunakan untuk beberapa kebutuhan, misalnya Sawah 11.9 Ha, Ladang 38.75 Ha, Pemukiman 11.75 Ha, Fasilitas Umum 1.7 Ha, dan Hutan 772.4 Ha. Desa Nginggil berbatasan langsung dengan Desa Ngrawoh di sebelah utara, Desa Nglebak di sebelah selatan, Sungai Bengawan Solo di sebelah timur, dan Desa Getas di sebelah Barat. Desa Nginggil memiliki wilayah seluas 810 Ha yang dipergunakan untuk beberapa kebutuhan, di antaranya Sawah 8 Ha, Ladang 6.25 Ha, Pemukiman 10 Ha, Pekarangan 2 Ha, dan Fasilitas Umum 1.75 Ha. 2.4. Data/Peta Bendungan Bendung Gerak Karangnongko terletak di dua provinsi dan tiga kabupaten kota. Di Provinsi Jawa Tengah, Bendung Gerak Karangnongko terletak di Kabupaten Blora yang meliputi Desa Megeri, Nglebak, Nginggil, Ngrawoh, Mendenrejo. Di Provinsi Jawa Timur, Bendung Gerak Karangnongko terletak di Kabupaten Bojonegoro yang meliputi Desa Kalangan dan Ngelo serta di Kabupaten Ngawi yang meliputi area Desa Selopuro, Dumplengan, Ngawi, Kerek, Grudo, dan Ketanggi. 15


Gambar 4. Area KHDTK UGM Sumber: RPJP KHDTK UGM 2023 Tabel 6. Luas kawasan Hutan Pangkuan Desa KHDTK UGM2 Desa Kecamatan Kabupaten Provinsi Luas (Ha) Bodeh Randublatung Blora Jawa Tengah 795,04 Gempol Jati Blora Jawa Tengah 927,56 Getas Kradenan Blora Jawa Tengah 2.106,10 Megeri Kradenan Blora Jawa Tengah 264,49 Mendenrejo Kradenan Blora Jawa Tengah 179,99 Nginggil Kradenan Blora Jawa Tengah 777,59 Nglebak Kradenan Blora Jawa Tengah 1.361,29 Ngrawoh Kradenan Blora Jawa Tengah 835,55 Tlogotuwung Randublatung Blora Jawa Tengah 1359,0626 2 Selain Desa Ngrawoh dan Desa Nginggil yang terdampak secara utuh terdapat beberapa desa lain yang terdampak sebagian, di antaranya: Desa Mendenrejo, Desa Nglebak dan Desa Megeri. 16


Cantel Pitu Ngawi Jawa Timur 373,56 Dumplengan Pitu Ngawi Jawa Timur 262,22 Kalang Pitu Ngawi Jawa Timur 95,83 Ngancar Pitu Ngawi Jawa Timur 108,22 Papungan Pitu Ngawi Jawa Timur 148,99 Pitu Pitu Ngawi Jawa Timur 1.271,71 Luas Total (ha) 10.867,19 Sumber: RPJP KHDTK UGM 2022 Berikut data teknis dari pembangunan Bendung Gerak Karangnongko tahun 2020: - Tipe Bendung Gerak: Concrete Gravity - Elevasi Full Supply Water Level: + 40.00 m - Tinggi Bendung: 23.80 m - Panjang Puncak Bendungan: 191.40 m - Luas DAS: 10.035 km2 - Tampungan Kotor: 65,3 juta m3 - Tampungan Efektif: 59.1 juta m3 - Luas Genangan: 1.026,55 Ha - Elevasi Green Belt: + 40.50 m - Elevasi Batas Pengukuran LARAP: + 45.00 m 17


BAB 3 ASPIRASI RELOKASI DAN GANTI UNTUNG 3.1. Data dan Narasi Relokasi Bagian ini memaparkan temuan lapangan mengenai data dan narasi masyarakat terhadap relokasi. Agar hasil temuan dapat dielaborasikan secara sistematis, pembahasan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, memaparkan aspirasi masyarakat terkait relokasi, didalamnya juga memuat bagaimana masyarakat mendefinisikan ulang relokasi. Tidak hanya itu saja, bagian ini juga melihat aspek sosial dan ekonomi memainkan peran penting dalam aspirasi masyarakat terhadap relokasi. Bagian kedua, memaparkan risiko-risiko yang dapat muncul akibat adanya relokasi—termasuk risiko lingkungan, sosiokultural, dan ekonomi. Bagian ketiga, memaparkan tahapan relokasi yang dilihat dari dua sudut pandang. Sudut pandang pertama dibangun berdasarkan alur yang dirancang oleh pemerintah, kemudian sudut pandang kedua dibangun berdasarkan aspirasi masyarakat. Berdasarkan pemaparan hasil temuan yang dikategorikan ke dalam tiga bagian tersebut, pembahasan mengenai data dan narasi relokasi dapat dipahami secara kompleks, sehingga apa yang terdapat di dalam laporan ini mampu mencerminkan kondisi lapangan dengan komprehensif. 3.1.1. Aspirasi Relokasi: Aspek Sosial-Ekonomi Secara filosofis, relokasi dilakukan manakala daerah pemukiman tertentu dipilih sebagai tempat pelaksanaan sebuah proyek yang ditujukan untuk kemaslahatan bersama. Dalam hal ini, tindakan relokasi dilakukan untuk membantu masyarakat terdampak menghadapi perubahan yang terjadi akibat adanya pembangunan. Meskipun demikian, apabila melihat kembali regulasi yang ada, tujuan utama relokasi adalah (1) terpenuhinya pelaksanaan pembangunan rumah masyarakat yang rusak akibat bencana yang memenuhi syarat konstruksi rumah dan syarat lingkungan yang dikeluarkan oleh dinas teknis terkait; (2) memberikan bantuan bencana sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan. Berdasarkan dua poin utama tersebut, secara garis besar relokasi dapat dipahami sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal masyarakat terdampak dengan syarat dan mekanisme tertentu dan menjadi wewenang dinas teknis terkait. Menariknya, data hasil temuan lapangan menunjukkan sebenarnya masyarakat relatif sudah memahami aturan regulasi ini, tetapi secara definitif mereka memiliki harapan yang berbeda. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, apabila merujuk pada regulasi yang diacu oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), hak untuk masyarakat terdampak dibagi menjadi dua yaitu 18


relokasi atau ganti untung. Berdasarkan dua pilihan tersebut, masyarakat diharapkan secara bijak dapat memilih salah satu dari dua opsi tersebut. Secara regulasi, mereka memahami bahwa memilih dua opsi tersebut adalah hal yang tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu, dari kedua desa yang menjadi lokasi penelitian ini (Ngrawoh dan Nginggil) menyepakati bahwa relokasi bukanlah pilihan utama mereka. Artinya, mereka bersepakat untuk mengambil opsi ganti untung agar aset mereka yang terdampak dapat dikalkulasikan menjadi uang yang harapannya dapat mereka gunakan dalam aktivitas kehidupan mereka di masa depan. Meskipun demikian, masyarakat juga tidak hanya diam saja dalam merespons deadlock regulasi tersebut. Walau terbentur aspek regulasi untuk tidak dapat mengakses ganti untung tempat tinggal, setidaknya masyarakat membayangkan bahwa pemerintah dapat meminjamkan dan/atau memberikan lahan untuk mereka tinggali. Aspirasi ini ingin memberikan penekanan bahwa meskipun masyarakat tidak mengambil opsi relokasi, mereka tetap ingin dicarikan lahan dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari tempat pembangunan bendungan dilakukan. Harapannya adalah agar desa mereka tidak hilang dan juga ingin melanjutkan kehidupan komunal dengan komunitas yang sama di tempat baru yang memiliki potensi pengembangan ekonomi lebih baik. Sehubungan dengan penggantian lokasi tempat tinggal, masyarakat di kedua desa sendiri sebenarnya telah memiliki aspirasi mengenai petak mana saja yang mereka kehendaki dapat digunakan sebagai pemukiman baru. Apabila melihat data sekunder yang terdapat dalam rencana awal, pemerintah daerah dan dinas terkait memiliki skema untuk memindahkan mereka ke dalam petak 102 yang berada di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) UGM. Gambar 5. Skema Relokasi Bendungan Karangnongko Sumber: Balai Besar Wilayah Sungai (2023) 19


Berdasarkan peta skema relokasi bendungan karangnongko tersebut, rencananya masyarakat terdampak dari kelima desa tersebut akan ditempatkan ke dalam petak 102 di Randublatung. Namun, temuan lapangan menemukan aspirasi bahwa masing-masing desa memiliki aspirasi yang berbeda terkait petak di mana mereka ingin tinggal. Hal ini disebabkan karena mereka ingin melanjutkan kehidupan berdasarkan tradisi dan budaya yang telah mereka jalani sebelumnya. Dengan rencana pemusatan di petak 102, mereka berasumsi bahwa terdapat pemusatan ragam perbedaan tradisi dan budaya yang dibawa oleh masing-masing desa terdampak. Oleh karena itu, setiap desa memiliki aspirasinya masing-masing. Gambar 6. Peta Wilayah KHDTK UGM Sumber: RPJP KHDTK UGM 2023 Desa Ngrawoh Gambaran aspirasi pertama adalah Desa Ngrawoh memilih untuk menggunakan petak 155, 156, 157, dan 158 dengan luasan total sekitar 120 Ha. Masyarakat memiliki alasan memilih lokasi ini karena lokasi ini masih dalam pangkuan Desa Ngrawoh—di mana 99% 20


masyarakatnya menggantungkan ekonominya di lahan bawon 3 . Terkait dengan luasan tanah yang mereka ajukan (120 Ha), mereka membayangkan bahwa kedepannya mereka dapat membangun dan mengembangkan beberapa fasilitas umum yang sebagian belum pernah ada sebelumnya. Berdasarkan bayangan mereka, setidaknya terdapat tiga fasilitas umum yang dapat dikembangkan di daerah pemukiman baru mereka. Beberapa di antaranya adalah: (1) Fasilitas usaha yang meliputi usaha di sektor peternakan dan pertanian. Dalam sektor peternakan, masyarakat memiliki aktivitas dan program pembuatan pakan ternak dengan memanfaatkan limbah bonggol jagung (Wana Feed). Kemudian di sektor pertanian, masyarakat juga memiliki aktivitas dan program pembuatan pupuk dengan memanfaatkan penggilingan limbah bonggol jagung juga (ROJALI). Bahkan tempat penggilingan limbah bonggol jagung ini sedang memiliki sentra tersendiri untuk melakukan aktivitasya; (2) Fasilitas olahraga yang meliputi pembangunan lapangan sepakbola dan lapangan voli. Aspirasi ini menjadi salah satu fokus utama masyarakat karena sejauh ini, di Desa Ngrawoh tidak terdapat lapangan yang mampu mengakomodir kebutuhan olahraga mereka; (3) Fasilitas pariwisata yang meliputi lahan parkir serta lapak/toko sebagai tempat usaha yang memungkinkan mereka untuk aktif mengelola bendungan Karangnongko sebagai destinasi pariwisata. Mereka membayangkan bahwa nantinya dengan adanya bendungan Karangnongko, masyarakat juga dapat mengalokasikan uangnya untuk membeli infrastruktur pendukung lainnya seperti: perahu/boat, pelampung, dan lain-lain. Dengan fasilitas pariwisata yang seperti ini, masyarakat berharap bendungan Karangnongko dapat menjadi sumber ekonomi baru yang tidak kalah saing dengan Telaga Sarangan. Desa Nginggil Gambaran aspirasi berikutnya, yaitu Desa Nginggil. Berdasarkan hasil temuan lapangan di Desa Nginggil, memiliki suara yang sama dengan Desa Ngrawoh untuk memperjuangkan opsi ganti untung sebagai pilihan mereka. Namun, setelah didalami, tampaknya terdapat sedikit perbedaan dalam hal prioritas masyarakat di sana. Apabila Desa Ngrawoh mengutamakan ganti untung menjadi opsi paling pertama, Desa Nginggil justru melihat adanya urgensi untuk mendapatkan kepastian lahan pemukiman terlebih dahulu. Setelah itu, baru mereka akan membuka negosiasi terkait dengan ganti untung. Oleh karena itu, aspirasi masyarakat Desa Nginggil pada umumnya sepakat untuk memilih opsi ganti untung (sama halnya dengan Desa Ngrawoh), tetapi bagi masyarakat Desa Nginggil, kepentingan untuk memberikan kepastian lokasi pemukiman baru menjadi hal paling utama, karena prinsip mereka adalah “uang akan habis, sedangkan pemukiman menjadi tempat penghidupan”. 3 Lahan hutan milik KHDTK UGM 21


Sama halnya dengan masyarakat Desa Ngrawoh, Desa Nginggil juga memiliki usulan petak pemukiman tersendiri. Namun, dalam proses penentuan lokasi yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat desa, terdapat perpecahan suara. Suara pertama menghendaki lokasi di Palsongo, di mana lokasi tersebut berada di petak 101, 102, dan 103. Kemudian suara kedua menghendaki lokasi Pertapaan, di mana lokasi tersebut berada di petak 109, 110, dan 111. Perpecahan suara penentuan lokasi ini disebabkan oleh dua kelompok usia, masyarakat usia produktif menghendaki untuk bermukim di Palsongo, karena lokasi tersebut memiliki kontur lokasi yang relatif rata, sehingga aktivitas peternakan dan pertanian dapat dilakukan secara ideal, sedangkan kelompok lansia (sesepuh) menghendaki pemukiman berada di Pertapaan karena mereka merasa bahwa Pertapaan merupakan area yang syarat dengan lokalitas, adat istiadat dan nilai leluhur mereka. Selain itu, Pertapaan juga menjadi lokasi religi bagi budaya lokal masyarakat di Desa Nginggil. Namun, kondisi kontur tanah di Pertapaan adalah perbukitan sehingga cukup menyulitkan masyarakat untuk melakukan aktivitas pertanian dan peternakan. Selain itu, lokasi Pertapaan secara risiko juga rawan dengan terjadinya bencana longsor. Dalam perkembangan proses pengajuan lokasi untuk pemukiman, masyarakat Desa Nginggil sebenarnya mengusulkan untuk memperoleh izin penggunaan dua wilayah tersebut (Palsongo dan Pertapaan). Namun, saat dilakukan pertemuan antara Pemerintah Daerah dengan Kepala Desa terdampak, kawasan yang diajukan oleh Desa Nginggil hanya diambil salah satunya saja oleh Pemda, yaitu lokasi yang berada di Palsongo. Hasil ini mempengaruhi pendapat masyarakat terhadap penggunaan lahan pemukiman, yang menyebabkan mereka melakukan voting ulang dan menyepakati bahwa lahan pemukiman yang mereka pilih adalah kawasan Pertapaan. Pemutusan wilayah ini dilakukan secara partisipatif, meskipun dalam benak sebagian masyarakat masih menghendaki untuk tetap dua lokasi dan/atau bisa memenangkan wilayah Palsongo. Meskipun hasil voting terakhir menunjukkan bahwa masyarakat sangat ingin bertahan di Pertapaan, tetapi Pemda merekomendasikan wilayah Palsongo, dengan alasan minimnya risiko bencana alam. Berkaitan dengan hak tersebut, hingga saat ini, masyarakat desa belum memiliki keputusan apapun terkait dengan pengajuan wilayah pemukiman ini. Selain itu, aspirasi lain yang muncul dari masyarakat Desa Nginggil adalah keterlibatan mereka dalam proses pembangunan Bendungan Karangnongko. Secara spesifik, aspirasi mengenai partisipasi ini muncul dari kelompok pemuda Desa Nginggil. Mereka berasumsi bahwa dalam proses pembangunan, sebaiknya masyarakat Desa dilibatkan sembari menunggu kepastian mereka terhadap ganti untung dan izin penggunaan lahan pemukiman. Mereka menganggap bahwa pembangunan bendungan sebagai salah satu peluang 22


ekonomi di mana mereka dapat bekerja di dalamnya. Bayangan pekerjaan yang mereka identifikasi pun tidak terlalu tinggi-tinggi. Mereka menyadari bahwa kapasitas sumber daya manusia mereka terbatas sehingga untuk menjadi buruh dalam proyek pembangunan pun akan mereka lakukan. Aspirasi ini mereka dapatkan dari pelaksanaan proyek pembangunan tol di Ngawi di mana masyarakat terdampak pada saat itu dilibatkan menjadi pekerja di dalam proyek tersebut. Selain menjadi upaya kolaboratif antara masyarakat terdampak dengan pemerintah, upaya ini juga menjadi strategi dalam pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan yang ada di Desa Nginggil. 3.1.2. Risiko Relokasi Sehubungan dengan aspirasi relokasi yang diutarakan dari kedua desa tersebut, terdapat risiko relokasi yang berpotensi terjadi apabila opsi peminjaman wilayah pemukiman tidak dapat dilakukan. Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam proses ini adalah risiko ekonomi, risiko sosial, risiko agraria, risiko kelembagaan, risiko konflik, dan risiko bencana. Kedua desa ini mengalami beberapa dan/atau seluruh risiko-risiko yang disebutkan sebelumnya. Yang membedakan antara keduanya adalah level risikonya dan konteks lokalitas masing-masing. Oleh karena itu, detail risiko tersebut dipaparkan dalam penjelasan di bawah ini. Desa Ngrawoh Meskipun telah bersepakat untuk mengambil opsi ganti untung, masyarakat Desa Ngrawoh sangat menekankan bahwa penting juga untuk memperoleh izin penggunaan lahan untuk pemukiman pengganti mereka, yang rencananya dilakukan di petak 155, 156, 157, 158. Berdasarkan hasil pemetaan potensi risiko, apabila area tersebut tidak dapat diakses oleh masyarakat, maka beberapa risiko yang dapat terjadi di antaranya adalah: 1) Risiko Sosial: Apabila masyarakat tidak mendapatkan lokasi pemukiman baru, maka akan ada acaman setiap masyarakat akan terpisah. Kondisi ini memungkinkan terjadinya perubahan identitas desa dan beban administrasi untuk mengurus identitas desa yang baru. 2) Risiko Ekonomi: Lokasi pemukiman yang baru menyebabkan aktivitas ekonomi masyarakat harus beradaptasi ulang. Oleh karena itu, usulan petak tempat tinggal yang diajukan oleh masyarakat telah mempertimbangkan aspek ini. Selain tidak jauh dari lahan bawon mereka. Lokasi tersebut nantinya juga tidak 23


jauh dari lokasi bendungan—yang harapannya menjadi tempat memperoleh dan mengembangkan mata pencaharian baru di sektor pariwisata. 3) Risiko Agraria: Apabila masyarakat meninggalkan lokasi pemukiman lama dan jauh dari petak yang mereka harapkan, maka lahan bawon mereka berpotensi diakuisisi oleh petani lainnya dari luar Desa Ngrawoh. Ini juga menjadi beban para petani di Desa Ngrawoh, karena mereka harus memulai lagi dari nol (0) untuk mencari lahan baru. 4) Risiko Kelembagaan: Hilangnya status desa dan berdirinya identitas desa yang baru. Berdasarkan penuturan dari Kepala Desa dan Kepala Camat, kondisi ini paling mereka khawatirkan karena dengan hilangnya satu desa maka akan memperumit pengurusan administrasi ke Kemendagri. 5) Risiko Konflik: Kondisi ini paling memungkinkan terjadi apabila usulan peminjaman lahan pemukiman untuk masyarakat desa tidak dapat terakomodir. Data lapangan menunjukkan bahwa mereka akan tetap nekat untuk melakukan penjarakan wilayah agar dapat tetap tinggal di daerah sekitar desa mereka meskipun tidak mengantongi izin. Apalagi, di tengah simpang siur informasi yang beredar di tengah masyarakat, terdapat rumor bahwa mereka juga akan didorong menjadi transmigran di Bengkulu dan Sulawesi. Desa Nginggil Dinamika yang terjadi di Desa Nginggil sebenarnya lebih kompleks daripada yang terjadi di Desa Ngrawoh. Dengan terpecahnya suara masyarakat terkait keinginan penggunaan lokasi baru di Pertapaan (109, 110, 111) dan Palsongo (101, 102, 103) maka memungkinkan berbagai risiko juga terjadi di sini. Berdasarkan hasil identifikasi tim kajian, risiko-risiko yang mungkin terjadi di Desa Nginggil meliputi: 1) Risiko Konflik: Perbedaan suara antara kelompok sesepuh dan kelompok pemuda menyebabkan sedikit pertikaian antara mereka. Perspektif tentang nilai, kepercayaan dan utilitas lahan antara kedua kelompok tersebut sangat berbeda. Oleh karena itu, pemerintah desa menjadi mediator antara keduanya untuk mencegah potensi konflik yang lebih besar sehingga justru merugikan desa mereka. 2) Risiko Bencana: Area pertapaan merupakan salah satu area yang sangat diperjuangkan oleh kelompok sesepuh. Bahkan, saat suara masyarakat terpecah 24


menjadi dua dan dilakukan voting ulang, area pertapaan tetap memenangkan voting. Padahal, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Pemda, area tersebut memiliki potensi bencana tanah longsor karena kontur areanya berbentuk perbukitan. Oleh karena itu, Pemda merekomendasikan masyarakat Desa Nginggil untuk menempati wilayah Palsongo. 3) Risiko Agraria: Berdasarkan hasil kajian sebelumnya, penggunaan lahan di Pertapaan untuk aktivitas pertanian dapat berpotensi memberikan bencana bagi masyarakatnya. Diperlukan strategi dan langkah taktis dalam sektor pertanian untuk meminimalisir potensi-potensi tersebut. Selain itu, perlu juga pendekatan pertanian yang baru dan lebih adaptif terhadap kontur wilayah di Pertapaan. 4) Risiko Kelembagaan: Dominasi patriarki dan usia menjadi penghambat kepemimpinan kepala desa yang baru dilantik pada bulan Agustus 2023. Dalam forum diskusi, perspektif patriarki masyarakat desa dan para sesepuh beberapa kali melemparkan pernyataan yang sifatnya ‘sedikit memojokkan’ kepala desa. Selain itu, konsolidasi dengan Kepala Desa lainnya juga dinilai kurang. Sehingga yang terlibat secara proaktif adalah Kepala Desa tetangga. 5) Risiko Sosial: Pada beberapa bagian di Desa, terdapat jalan yang tergenang oleh bendungan sehingga memutus jalan utama untuk ke rumah tetangga. Hal ini akan memutus relasi sosial antar masyarakat, sehingga dapat menciptakan pola interaksi yang baru atau dapat juga terjadi kerenggangan. 3.1.3 Tahapan Relokasi: Alur Pemerintah dan Aspirasi Masyarakat 3.1.3.1. Identifikasi Pemangku Kepentingan Berdasarkan observasi dan pengumpulan data di lapangan, tim kajian menemukan beberapa aktor kunci dalam tahapan ini. Setiap aktor memiliki peran dan kepentingannya masing-masing, sehingga intervensi yang dilakukan oleh masing-masing aktor relatif berbeda. Meskipun demikian, peta aktor ini dapat dipahami untuk membaca dinamika tahapan relokasi yang terjadi di sana, baik dari skema ideal pemerintah, maupun aspirasi masyarakat. Adapun beberapa aktor yang terpetakan adalah (1) Kepala Desa; (2) Kepala Camat; (3) Masyarakat; (4) Fakultas Kehutanan UGM; (5) Dinas Perumahan dan Pemukiman (Rumkim); (6) Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD); (7) Bappeda; (8) Bupati. 25


Dalam peranannya, masyarakat, kepala desa, dan kepala camat memiliki kepentingan untuk memilih skema ganti untung yang uangnya dapat diharapkan untuk membuka usaha ketika bendungan telah beroperasi. Oleh karenanya, agar alokasi uang ganti untung tidak banyak tersita untuk biaya tempat tinggal baru, maka mereka bersepakat untuk mengajukan opsi lain yaitu izin penggunaan lahan KHDTK UGM. Ketiga aktor ini memahami bahwa untuk memilih dua opsi (ganti untung dan relokasi)—secara regulasi tidak diperkenankan, sehingga jalan yang ditempuh adalah memilih ganti untung dengan syarat diberikan izin peminjaman lahan di KHDTK UGM. Dengan demikian, para aktor ini melakukan berbagai konsolidasi dengan pihak-pihak terkait agar rencana peminjaman lahan pemukiman di KHDTK UGM dapat diwujudkan. Menindaklanjuti upaya-upaya di atas, Kepala Desa dan Kepala Camat akhirnya berupaya mengontak representasi dari Kementerian KLHK selaku pemilik hak kuasa penggunaan lahan di KHDTK UGM. Beberapa aktor dari Fakultas Kehutanan UGM memberikan rekomendasi dan SK KHDTK UGM yang dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi dengan Kementerian KLHK. Pada prinsipnya, pihak KHDTK UGM tidak keberatan apabila lahan mereka digunakan sebagai pemukiman masyarakat, tetapi persoalan utamanya adalah pada perizinan kepada Kementerian KLHK dapat memberikan izin tersebut atau tidak. Izin permohonan yang telah dielaborasi dari bawah ini kemudian diajukan ke pihak kabupaten untuk dapat menjadi pedoman bagi Bupati bernegosiasi kepada Kementerian KLHK. Namun, menurut pemaparan Kepala Desa dan Kepala Camat, dinamika yang ada di level kabupaten menemui jalan yang tidak mudah. Beberapa OPD merasa langkah ini sebagai upaya yang berat untuk dilakukan, di sisi lain, beberapa OPD tetap optimis untuk mendorong aspirasi yang diharapkan oleh masyarakat. 3.1.3.2. Aspek Konsultasi Publik dan Ruang Komunikasi Publik Wacana mengenai pembangunan bendungan sebenarnya sudah didengar oleh masyarakat sejak waktu lama. Namun, realisasi rencana pembangunan bendungan ini tampaknya mengalami dinamika yang tidak pasti. Saat ditetapkannya rencana pembangunan bendungan Karangnongko ke dalam PSN, masyarakat mulai mengetahui bahwa diri mereka akan terdampak, namun sejauh apa dampaknya dan bagaimana kondisi mereka setelah pembangunan dilakukan—belum terbayang dalam benak mereka. Oleh karena itu, pada pertengahan tahun 2023, tepatnya di bulan Juli, terdapat undangan resmi untuk melakukan konsultasi publik. 26


Berdasarkan temuan lapangan, masyarakat mengutarakan bahwa pada konsultasi publik pertama ini ada beberapa kendala yang menyebabkan ketidakefektifan pelaksanaan. Beberapa faktor penyebabnya adalah: (1) lokasi yang susah untuk diakses; (2) sosialisasi dan komunikasi yang tidak tersampaikan dengan baik; (3) tujuan kegiatan yang tidak diketahui oleh masyarakat. Salah seorang informan FGD mengutarakan bahwa ketika konsultasi publik pertama dilakukan, lokasi penyelenggaraan menjadi penghambat mereka untuk menghadiri kegiatan tersebut. “Saat itu, ada dua lokasi penyelenggaraan, yang pertama dilakukan di Kecamatan, kemudian yang kedua dilakukan di Koramil. Bagi mereka penyelenggaraan di dua lokasi ini ditujukan agar penyelenggaraannya efektif. Tetapi, saya mikir ini menjadi salah satu strategi mereka untuk memecah suara masyarakat, biar nggak satu suara” (SAL dalam FGD 27 November 2023) Masalah lokasi juga dirasakan oleh peserta FGD lainnya yang menganggap bahwa penyelenggaraan konsultasi publik di luar desa justru makin menyusahkan masyarakat desa. Menurutnya, beberapa masyarakat yang tergolong dalam kelompok lansia akan kesusahan untuk menuju lokasi tersebut. Ditambah lagi, kondisi infrastruktur jalan desa yang tidak baik mengakibatkan upaya untuk menuju lokasi konsultasi publik makin susah dilakukan. “Di desa kami itu, jalannya kan jelek Mas, jadi untuk orang-orang tua akan sangat susah. Apalagi jarak desa ke lokasi konsultasi publik itu kan tidak dekat” (SW dalam FGD 28 November 2023) Selain beberapa hal di atas, penyebab konsultasi publik tidak berjalan dengan optimal adalah proses sosialisasi dan komunikasi yang tidak tersampaikan dengan baik. Beberapa masyarakat mengaku bahwa mereka tidak pernah mengetahui bahwa ada undangan konsultasi publik. Tidak hanya itu saja, ketika mereka datang ke lokasi penyelenggaraan, mereka tidak tahu secara pasti tujuan kegiatan tersebut dilakukan. 3.2. Data dan Narasi Ganti Untung Bagian ini memaparkan temuan lapangan mengenai data dan narasi masyarakat terhadap ganti untung. Agar hasil temuan dapat diselaraskan secara sistematis, pembahasan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan memaparkan aspirasi masyarakat terkait bagi untung. Berfokus pada aspek sosial-ekonomi, bagian pertama akan menjelaskan bagaimana rasionalitas masyarakat desa terdampak proyek nasional dalam menilai untung rugi dari pilihan bagi untung atau relokasi. Bagian kedua, memaparkan risiko-risiko yang dapat muncul akibat adanya ganti untung. Meskipun temuan lapangan terkait dampak risiko ganti 27


untung tidak terlalu banyak, namun bagian ini menjadi temuan penting dalam mengantisipasi ketidaksiapan masyarakat ketika menerima uang dalam jumlah banyak di satu waktu. Bagian ketiga, memaparkan tahapan ganti untung dengan memperhatikan peta aktor atau pemangku kepentingan dan ruang komunikasi di dalam masyarakat. Pemaparan hasil temuan berdasarkan tiga kategori ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih jelas terkait definisi dan imajinasi masyarakat terkait ganti untung. 3.2.1 Aspirasi Ganti Untung Sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), Bendungan Karangnongko akan mendapatkan kemudahan-kemudahan tertentu dari pemerintah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, setiap proyek PSN akan mendapat kemudahan perizinan atau non-perizinan yang diberikan dalam rangka percepatan proses perencanaan, penyiapan, transaksi, konstruksi, dan kelancaran pengendalian operasi, termasuk di dalamnya mekanisme pembiayaan untuk Proyek Strategis Nasional. Namun, kemudahan-kemudahan yang difasilitasi negara bagi PSN tidak selalu berdampak secara langsung di lapangan, terutama jika mengacu pada proses pengadaan tanah. Adanya penelitian ini sejatinya merupakan usaha dalam memetakan preferensi masyarakat terhadap proses pengadaan tanah ini. Pemerintah sebenarnya sudah membuat beberapa kebijakan terkait pengadaan tanah bagi PSN atau pembangunan untuk kepentingan umum, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 95/2023 tentang Tata Cara Pendanaan Pengadaan Tanah bagi Proyek Strategis Nasional atau Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan kebijakan-kebijakan ini, terdapat beberapa mekanisme ganti kerugian objek pengadaan tanah yang dapat disepakati antara pihak-pihak terkait. Berdasarkan temuan lapangan, masyarakat Desa Ngrawoh dan Nginggil memberikan respons positif terhadap pilihan ganti kerugian berupa uang. Pilihan mendapatkan uang ini lebih sering disebut dengan istilah ganti untung oleh masyarakat. Secara psikologis, masyarakat merasa lebih nyaman jika bisa memegang uang ketika mereka harus meninggalkan semua aset yang dimiliki saat ini. Adanya uang di tangan memungkinkan masyarakat melakukan transisi pola hidup secara lebih mudah, setidaknya dalam memulai kegiatan ekonomi baru di tempat baru. Adanya opsi ganti untung setidaknya mampu menenangkan psikologis masyarakat yang dalam waktu singkat harus mengalami 28


perubahan kondisi ekonomi secara drastis. Oleh sebab itu, adanya opsi ganti untung memungkinkan masyarakat untuk memulai kegiatan ekonomi secara lebih cepat dan memungkinkan mereka memiliki beberapa modal baru dalam menunjang kesejahteraan yang lebih baik kedepannya. Dalam analisa tim, pilihan ganti untung sejatinya juga terkait dengan karakter masyarakat desa yang berdampingan dengan wilayah hutan. Adanya pola hidup yang subsisten ikut berpengaruh pada persepsi masyarakat dalam melihat modal ekonomi yang besar dalam waktu yang singkat. Selain itu, masyarakat di desa dekat hutan juga seringkali memiliki rasionalitas yang unik, yang mampu bermain memanfaatkan peluang keuntungan yang “layak” tetapi dengan potensi risiko yang rendah. Rasionalitas ini ikut mempengaruhi penerimaan masyarakat di Desa Nginggil dan Ngrawoh terhadap pilihan ganti untung, di mana pilihan ini dirasa memiliki potensi risiko jauh lebih kecil dibandingkan peluang yang akan mereka terima nantinya. Namun perlu ditekankan bahwa adanya respons positif masyarakat terhadap ganti untung tidak serta merta menghilangkan beberapa harapan terhadap pilihan ini. Temuan lapangan menunjukkan bahwa terdapat setidaknya empat aspirasi yang diharapkan dapat terpenuhi jika ganti untung menjadi pilihan akhir dari proses penyediaan lahan bagi Bendungan Karangnongko: Pertama, adanya kepastian terkait mekanisme ganti untung. Mayoritas masyarakat telah bersepakat bahwa ganti untung menjadi pilihan yang realistis bagi masyarakat saat ini. Sebagian kecil masyarakat bahkan sudah mengetahui bahwa pilihan ganti untung merupakan satu-satunya pilihan mengingat keterbatasan kapasitas pemerintah dalam merealisasikan pilihan relokasi. Namun, sayangnya mayoritas masyarakat belum mendapatkan kepastian terkait bagaimana mekanisme ganti untung ini akan dilaksanakan. Ketidakpastian ini membuat masyarakat skeptis terhadap komitmen pemerintah dalam menjamin hak mereka sebagai warganegara yang terdampak oleh proyek pembangunan nasional. Kedua, nilai jual aset harus sesuai dengan standar yang ada. Penelitian ini menemukan bahwa masyarakat desa dekat hutan seringkali memiliki karakter pembelajar dan pencontoh yang cepat. Hal ini dilakukan dengan cara melihat kondisi lingkungan sekitar dan akan mereplika bentuk kegiatan atau persepsi yang dianggap menguntungkan berdasarkan rasionalitas mereka. Dalam konteks ganti untung, masyarakat Desa Ngrawoh dan Nginggil 29


saat ini sudah memiliki standar harga tertentu (Rp300.000 per meter per segi untuk tanah 4 ) yang mereka rujuk dari wilayah lainnya, khususnya Bojonegoro. Meskipun nantinya harga aset sangat bergantung dari tim appraisal, pemerintah daerah perlu memastikan bahwa harga acuan masyarakat ini dapat diakomodir nantinya. Jikapun tidak memiliki kapasitas dalam memenuhi permintaan masyarakat, pemerintah daerah perlu menerapkan prinsip komunikasi yang baik (terbuka dan inklusif) agar tidak menimbulkan respons negatif dari masyarakat nantinya. Ketiga, masyarakat berharap luasan lahan yang akan diganti untungkan bisa sesuai dengan luasan lahan yang tertera di sertifikat. Beberapa masyarakat khawatir bahwa luasan lahan yang akan diganti untung nantinya hanya mengandalkan luasan yang eksis saat ini. Sedangkan masyarakat memahami bahwa beberapa lahan mereka saat ini sudah mengalami penyusutan akibat adanya abrasi di sekitar sungai. Oleh sebab itu, masyarakat berharap pemerintah dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat yang saat ini kehilangan luasan lahannya akibat proses alam yang tidak bisa mereka hindari. Keempat, aspirasi lainnya yang ditemukan adalah kebutuhan untuk mengakomodasi masyarakat yang tidak tergenang bendungan. Meskipun tidak tergenang, masyarakat di pinggiran batas bendungan merupakan korban terdampak karena adanya tiga potensi kerugian: pertama, ikut tergenang karena adanya batas terluar dan batas genangan yang tumpang tindih dan tidak jelas; kedua, sulitnya akses menuju tempat pelayanan publik; dan ketiga, tercerabutnya mereka dari unit sosial yang mereka telah hidup bersama selama bertahun-tahun. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari kelompok masyarakat terdampak, mereka juga menginginkan adanya pilihan ganti untung bagi mereka. Setidaknya, mereka ingin juga dilibatkan dalam ruang-ruang komunikasi yang memungkinkan mereka mengartikulasikan kepentingan dan hak mereka sebagai kelompok terdampak. Beberapa aspirasi di atas dapat dibaca sebagai tindak lanjut dari respons positif masyarakat Ngrawoh dan Nginggil terhadap pilihan ganti untung. Namun, meskipun respons positif dan aspirasi ini ditemukan di kedua desa, penelitian ini menemukan perbedaan antara desa Ngrawoh dan Nginggil dalam menentukan prioritas antara ganti untung dan relokasi. Di Desa Ngrawoh, penelitian ini melihat masyarakat desa sudah memiliki suara yang solid untuk menerima ganti untung atau uang sebagai prioritas utama. Adapun di Desa Nginggil, meskipun menerima ganti untung, tapi masih memprioritaskan kepastian tempat tinggal serta kepastian status lahan yang akan mereka tempati nantinya. 4 Berdasarkan harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang diutarakan oleh masyarakat sebesar Rp42.000 30


3.2.2 Risiko Ganti Untung Terdapat beberapa risiko yang akan muncul jika pilihan ganti untung dilakukan nantinya. Pertama, uang dari hasil ganti untung akan habis untuk hal yang tidak diperlukan. Risiko ini terkait dengan manajemen finansial yang dimiliki masyarakat. Kekhawatiran soal kapasitas manajemen keuangan yang rendah muncul dalam beberapa forum bersama masyarakat. Hal yang sama juga beberapa kali disampaikan oleh Pak Lurah dan Pak Camat. Pilihan ini dikhawatirkan akan jadi masalah jangka panjang bagi masyarakat yang tidak bisa mengelola keuangannya dengan baik. Sebab, jika tidak mengelola uang dengan baik, yakni dengan menginvestasikan uang untuk kebutuhan primer dan kegiatan ekonomi, maka nantinya masyarakat akan kehilangan semua asetnya (aset terjual dan uang hasil ganti-untung). Kondisi ini pasti akan menjadi beban bagi masyarakat tersebut dan juga pemerintah daerah. Oleh sebab itu, perlu adanya pembekalan dan pendampingan secara serius dari pemerintah daerah dalam upaya meminimalisir potensi risiko ini nantinya. Kedua, risiko lain yang akan muncul jika ganti untung dilakukan adalah ketidakpastian wilayah pemukiman baru bagi masyarakat. Adanya uang dari hasil ganti untung tidak serta merta memudahkan masyarakat untuk mendapatkan lokasi tempat tinggal baru. Jika masyarakat tidak mendapatkan lokasi pemukiman baru, maka akan muncul beberapa risiko turunan lainnya, seperti hilangnya struktur dan identitas desa akibat masyarakat yang terpencar dan terpecah belah, semakin kuat imajinasi buruk atas pembangunan yang memarjinalisasi masyarakat terdampak, hilangnya salah satu desa dari struktur kecamatan, potensi segregasi sosial karena masyarakat harus mencari rumah secara mandiri dan terfragmentasi, dan lain sebagainya. Potensi risiko ini sejatinya sudah terbaca oleh masyarakat desa Ngrawoh dan Nginggil. Kesadaran akan potensi risiko inilah yang mengarahkan mereka untuk menegosiasikan wilayah pemukiman baru di dalam area KHDTK UGM. Dibutuhkan adanya dukungan dari Pemerintah Daerah dalam menyambut usaha masyarakat ini, agar risiko dari ketidakpastian tempat tinggal bisa tertangani dengan baik. Ketiga, pilihan ganti untung yang tidak menyasar kelompok terdampak-tapi-tidak-tergenang juga dapat menghasilkan adanya kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Segala ketidakpastian sudah tergambar dalam benak mereka yang diklaim tidak mengalami dampak pembangunan bendungan, termasuk gambaran potensi kerugian yang akan mereka terima nantinya. Jika kelompok masyarakat ini tidak mendapatkan kepastian adanya ganti untung, maka hal ini berpotensi akan merusak kohesivitas masyarakat. Di Desa Ngrawoh, penelitian ini memang menemukan beberapa nada positif dan optimis dari mereka yang terdampak-tapi-tidak-tergenang. Optimisme ini lebih didasarkan pada imajinasi 31


keuntungan yang akan mereka terima jika nantinya lokasi mereka berdekatan dengan bendungan dan terlibat dalam kegiatan ekonomi berbasis wisata. Namun, bagi beberapa kelompok terdampak-tapi-tidak-tergenang di Desa Nginggil, berbagai bentuk ketidakpastian hak dan potensi kerugian-kerugian di atas seringkali berujung pada pertanyaan atas keadilan bagi kehidupan mereka. 3.2.3 Mekanisme Ganti Untung 3.2.3.1. Identifikasi Pemangku Kepentingan Terdapat beberapa pemangku kepentingan yang akan berpengaruh terhadap proses ganti untung, yakni pemerintah desa, pemerintah kecamatan, pemerintah kabupaten, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), Tim Appraisal, Perbankan, dan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN). Setiap aktor memiliki relevansi yang berbeda terhadap proses ganti untung. Pemerintah desa: dalam rangka mempertahankan struktur dan identitas desa, pemerintah desa perlu memastikan kohesivitas sosial. Upaya ini penting agar masyarakat tidak terfragmentasi dalam menghadapi segala ketidakpastian wacana pembangunan proyek bendungan. Selain itu, pemerintah desa juga dapat menjadi aktor intermediari yang menjembatani suara atau kepentingan masyarakat ke level pemerintahan yang lebih tinggi. Memahami peranan ini, posisi pemerintah desa, khususnya kepala desa menjadi sangat berat. Oleh sebab itu, pemerintah kecamatan dan kabupaten perlu berinisiasi membangun komunikasi yang baik dengan pemerintah desa agar memperingan beban mereka sebagai masyarakat terdampak. Pemerintah kecamatan dan pemerintah daerah kabupaten: kedua institusi ini sebaiknya mampu menjadi pendengar yang baik bagi suara masyarakat terdampak. Selain itu, pemerintah kecamatan dan kabupaten perlu mengupayakan berbagai pendekatan yang memungkinkan tercapainya maslahat terbaik bagi masyarakatnya nanti. Berdasarkan riset lapangan, tim riset menemukan bahwa peranan di atas sudah cukup baik dilakukan oleh pemerintah kecamatan. Tapi sayangnya hal ini belum ditemukan di level pemerintah kabupaten karena penelitian ini menunjukkan adanya fragmentasi berbasis OPD di dalam pemerintah kabupaten dalam menyikapi suara masyarakat terdampak. BBWS, Tim Appraisal, Perbankan, dan LMAN: merupakan institusi yang berperan penting dalam menentukan proses ganti untung nantinya. Temuan lapangan menunjukkan bahwa di 32


beberapa wilayah terdampak muncul ketidaksepakatan harga jual atas aset masyarakat terdampak. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga ini diharapkan dapat berkomunikasi secara lebih terbuka dan membangun kesepakatan yang lebih adil terhadap hak-hak dasar masyarakat negara yang terdampak proyek pembangunan nasional. 3.2.3.2. Aspek Konsultasi Publik dan Komunikasi Publik Desa Ngrawoh memiliki pola konsultasi dan komunikasi publik yang berbeda dibandingkan Desa Nginggil. Aspek konsultasi publik dan komunikasi publik di Desa Ngrawoh lebih mengandalkan forum semi-formal. Di Desa Ngrawoh, pemerintah desa berperan besar dalam pembentukan forum ini. Forum ini bernama Sabtu Pahingan yang diselengarakan setiap satu selapan (35 hari) sekali di balai desa. Forum ini memungkinkan setiap masyarakat untuk terlibat berdiskusi berbagai topik. Sabtu pahingan didesain secara terbuka dan egaliter, sehingga memungkinkan setiap orang dengan latar belakang pekerjaan, gender, atau usia yang berbeda dapat mengartikulasikan kepentingannya. Selain ruang semi-formal, Desa Ngrawoh juga mengandalkan ruang informal, seperti warung kopi. Di ruang informal, dapat ditemui berbagai aktor yang tidak terlibat dalam ruang semi-formal, yang dari mereka dapat digali berbagai informasi lainnya secara lebih luas. Pertemuan rutin seperti Sabtu Pahingan tidak ditemukan di Desa Nginggil. Temuan di lapangan mengungkapkan bahwa beberapa pertemuan formal masyarakat yang diselenggarakan di desa lebih banyak melibatkan orang laik-laki dari generasi tua. Akibatnya, beberapa isu terkait proyek bendungan tidak sepenuhnya dimengerti oleh kalangan perempuan dan anak muda. Oleh sebab itu, Desa Nginggil lebih mengandalkan ruang informal untuk menyebarkan informasi secara lebih luas. Ruang informal ini dapat ditemukan di tempat ‘nongkrong’ atau warung. Dalam konteks Desa Nginggil, ruang-ruang informal ini justru seringkali lebih efektif dalam menggali aspirasi masyarakat setempat. Dengan kata lain, ruang informal dapat menjadi wadah yang menjamin konsultasi dan komunikasi publik lebih baik di Desa Nginggil. 3.3 Proyeksi Dampak Sosial dan Ekonomi Bagian ini menjelaskan tentang proyeksi dampak sosial dan ekonomi dari pembangunan Bendungan Karangnongko bagi masyarakat di Desa Ngrawoh dan Nginggil, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Aspek sosial mengacu pada persoalan dan perubahan yang 33


diperkirakan akan berimbas langsung bagi individu maupun kelompok di kedua desa dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Aspek ekonomi mengacu pada persoalan dan perubahan pola pengelolaan keuangan, pekerjaan, dan pemerintahan di kedua desa yang diperkirakan akan berimbas langsung pada kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, dampak sosial dan ekonomi menjadi penting untuk dibahas sebab kedua aspek tersebut merupakan bagian pokok yang wajib dipenuhi ketika masyarakat di kedua desa mengalami perpindahan lokasi dan lingkungan hidup akibat pembangunan infrastruktur. Penjelasan tentang proyeksi dampak sosial dan ekonomi dibagi menjadi tiga fokus. Pertama, penjelasan mengenai mata pencaharian masyarakat di Desa Ngrawoh dan Nginggil untuk memperkirakan persoalan dan perubahan pola kerja serta jenis pekerjaan yang akan dialami secara langsung ketika pembangunan Bendungan Karangnongko mencapai kedua desa tersebut. Kedua, penjelasan mengenai jejaring sosial untuk memperkirakan persoalan dan perubahan kondisi serta situasi dari kelompok-kelompok sosial yang selama ini menjadi saluran aktivitas bagi masyarakat di Desa Ngrawoh dan Nginggil. Ketiga, penjelasan mengenai tata kelola pemerintahan untuk memperkirakan persoalan dan perubahan administrasi serta birokrasi dari pemerintah dalam merancang dan mempersiapkan proses perpindahan kedua desa. Ketiga fokus di atas dijelaskan dengan mempertimbangkan narasi dari berbagai pihak. Di satu sisi, kajian ini mempertimbangkan narasi dari pemerintah desa untuk mengetahui rancangan umum dari pembangunan Bendungan Karangnongko dan memahami proses birokrasi dalam mengelola kepentingan bersama bagi masyarakat. Di sisi lain, kajian ini turut mempertimbangkan narasi dari masyarakat yang terdampak maupun yang tidak terdampak untuk mengetahui dinamika dan keragaman cara pandang dari berbagai kelompok masyarakat. Dengan demikian, kajian ini dapat mempertemukan narasi dan cara pandang antara pemerintah dengan masyarakat di Desa Ngrawoh dan Nginggil tentang dampak dari pembangunan Bendungan Karangnongko. 3.3.1 Mata Pencaharian Proyeksi dampak sosial ekonomi bagi mata pencaharian masyarakat Desa Ngrawoh dan Nginggil fokus pada persoalan dan perubahan pola serta jenis pekerjaan yang terbayangkan akan muncul akibat dari pemanfaatan Bendungan Karangnongko di sektor ekonomi. Proyeksi tersebut didasarkan pada grand design pemerintah pusat dan kabupaten yang menggunakan Bendungan Karangnongko sebagai pusat pengairan ladang dan sawah, penyedia bahan baku air minum, pembangkit listrik, pengendali banjir, hingga 34


pengembangan pariwisata bagi masyarakat sekitar. Proyeksi tersebut didukung dengan penerimaan dari pemerintah dan masyarakat desa tentang perbedaan akses, infrastruktur, dan peluang kerja antara lokasi kedua desa saat ini dengan yang baru. Pemerintah serta masyarakat desa memperkirakan bahwa lokasi desa yang baru nantinya akan memiliki akses, infrastruktur publik, dan peluang kerja yang jauh lebih berkualitas dan beragam. Salah satu sektor ekonomi yang dipandang oleh pemerintah dan masyarakat di kedua desa dapat memberikan dampak perbaikan ekonomi secara langsung adalah pariwisata. Sektor pariwisata dianggap sebagai momentum penting oleh pemerintah dan masyarakat desa karena mampu mendorong keragaman jenis pekerjaan yang relatif baru selain bertani dan beternak. Keragaman jenis pekerjaan baru tersebut didukung dengan terbukanya akses dan infrastruktur desa yang diperkirakan dapat meningkatkan kesejahteraan bersama. Di dalam konteks Desa Ngrawoh, pemerintah desa dan masyarakat memiliki pandangan tentang pengembangan sektor pariwisata yang tertuju pada desa wisata air di sekitar Bendungan Karangnongko. Desa wisata tersebut diperkirakan dapat mendorong keragaman jenis pekerjaan baru seperti jasa sewa peralatan dan perlengkapan wisata air, pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di sekitar bendungan, penyewaan tempat menginap, jasa pemandu wisata, pengembangan agrowisata hasil bumi, pengelolaan lahan parkir, hingga penyewaan fasilitas umum di sekitar bendungan seperti toilet dan kendaraan. Pengelolaan desa wisata air turut melibatkan berbagai kelompok masyarakat Desa Ngrawoh. Pada pengembangan sektor UMKM di sekitar bendungan, kelompok PKK akan lebih banyak terlibat untuk mengelola keuangan dan ketersediaan bahan dagang. Pada pengembangan agrowisata hasil bumi, kelompok karang taruna akan mengolah berbagai macam potensi bahan baku untuk dijadikan produk-produk siap guna bagi wisatawan yang datang berkunjung. Pada penyewaan peralatan dan perlengkapan wisata air, beberapa bapak-bapak yang saat ini menjadi perangkat desa (ketua RT) turut memiliki proyeksi pengembangan wisata air melalui persewaan speedboat dan moda transportasi air lainnya. Dengan demikian, proyeksi pengembangan jenis pekerjaan atau mata pencaharian yang baru memiliki orientasi kesejahteraan bersama dengan melibatkan sebagian besar masyarakat desa sebagai pelaku usaha. Pada konteks Desa Nginggil terdapat persamaan sekaligus perbedaan gagasan desa wisata dengan Desa Ngrawoh. Persamaan kedua desa terdapat pada proyeksi mengenai desa wisata air yang sama-sama menjadikan wisata air Sarangan di Magetan sebagai rujukan utama. Pun secara jenis pekerjaan dan keterlibatan masyarakat, kedua desa memiliki proyeksi desa wisata air yang berdekatan juga. Akan tetapi, perbedaan dari keduanya 35


terletak pada ragam wisata yang dimiliki Desa Nginggil, yaitu keinginan untuk memiliki wisata religi sebagai identitas pariwisata desa. Masyakat desa Nginggil memiliki bayangan wisata religi karena melihat potensi pengelolaan situs makam di daerah Pertapaan yang akan menjadi lokasi tempat tinggal yang baru. Selama ini situs makam di Pertapaan sering menjadi tempat ziarah dan pencarian berkah bagi sebagian besar wisatawan dari luar kota. Situs makan tersebut juga merupakan petak asal dari sejarah panjang desa Nginggil. Oleh karena itu, masyarakat Desa Nginggil ingin menjadikan situs makam tersebut sebagai proyeksi wisata religi yang dapat membuka peluang jenis pekerjaan yang baru seperti penjaga, pengelola, dan pemandu makam. Proyeksi pengembangan desa wisata di lokasi pemukiman yang baru turut berdampak bagi kelompok karang taruna atau anak muda di kedua desa. Salah satu kultur anak muda di kedua desa adalah kebiasaan merantau ketika memasuki usia remaja, atau setara usia anak perkuliahan. Kultur merantau sudah terjadi turun menurun semenjak generasi sebelumnya. Berbagai kota industri di luar Jawa Tengah sering menjadi sasaran perantauan, seperti Jakarta, Surabaya, Bali, hingga Kalimantan. Ragam jenis pekerjaan yang pernah didapatkan oleh masyarakat kedua desa di tempat perantauan cenderung pada model pekerja pabrik dan industri kecil. Dampak dari proyeksi pengembangan desa wisata adalah penurunan niatan merantau dari anak-anak muda di masa mendatang. Penurunan niatan merantau diperkirakan terjadi karena anak-anak muda merasa memiliki peluang pekerjaan yang lebih besar di dalam desanya masing-masing ketika nantinya sektor pariwisata sudah berjalan. Salah satu imbas lain dari proyeksi pengembangan desa wisata di kedua desa adalah penurunan jenis pekerjaan bertani dan beternak. Beberapa perangkat desa memperkirakan bahwa ke depan, ketika desa wisata sudah beroperasi dan memberikan dampak peningkatan ekonomi secara langsung, akan banyak petani dan peternak yang akan mulai beralih profesi. Petani dan peternak yang selama ini menjadi mata pencaharian masyarakat di kedua desa dianggap belum bisa memberikan dampak peningkatan ekonomi yang terbilang cepat ketimbang sektor pariwisata. Oleh sebab itu, proyeksi alih profesi dari masyarakat di kedua desa akan berangsur-angsur terjadi ketika rancangan desa wisata di sekitar Bendungan Karangnongko akan terlaksana sesuai dengan cara pandang dan perkiraan sebagian besar masyarakat. 36


3.3.2 Jejaring Sosial Proyeksi dampak jejaring sosial dari pembangunan Bendungan Karangnongko menjelaskan persoalan dan perubahan relasi sehari-hari dari kelompok masyarakat yang berada di kedua desa. Proyeksi dampak jejaring sosial turut mempertimbangkan imbas dari kedua model kompensasi, yaitu ganti untung maupun relokasi. Dengan demikian, proyeksi jejaring sosial dapat memetakan berbagai kemungkinan tentang pendapat dan perkiraan masyarakat di kedua desa secara lebih terperinci. Proyeksi dampak jejaring sosial dipahami melalui beberapa aspek, yaitu ketimpangan sosial ekonomi, pemetaan aktor, pengembangan kegiatan, preferensi komunitas, posisi masyarakat tidak terdampak, dan keterlibatan acara sosial. Pada aspek ketimpangan sosial, masyarakat kedua desa mengkhawatirkan persoalan kecemburuan sosial akibat perbedaan kompensasi yang diterima. Di satu sisi, masyarakat yang memiliki rumah yang banyak dan tanah yang lebih luas bisa mendapatkan ganti untung dengan jumlah yang banyak. Pun jika pilihannya jatuh pada relokasi, masyarakat tersebut bisa mendapatkan jumlah rumah dan lahan baru yang lebih luas juga. Kondisi ketimpangan tersebut tentu saja berpengaruh pada akses beberapa kelompok masyarakat pada sektor pariwisata nantinya yang akan lebih mudah untuk mengakses berbagai kesempatan dan peluang usaha. Pada aspek pemetaan aktor, struktur sosial dan posisi aktor yang selama ini memiliki pengaruh kuat di dalam masyarakat di kedua desa akan terus berlanjut. Salah satu contohnya adalah peran dan posisi tetua di Desa Nginggil yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan lokasi desa yang baru. Pada contoh kasus tersebut, proses pemilihan masyarakat Desa Nginggil menjadi cenderung ke arah relokasi di lahan KHDTK UGM yang merupakan hasil dari dengan pendapat dan saran tetua adat desa. Dengan demikian, proyeksi jejaring sosial dari desa ke depannya akan berada di dalam kendali tetua adat tersebut. Pada aspek pengembangan kegiatan, berbagai kelompok sosial di kedua desa dapat memiliki akses yang lebih luas untuk pengembangan kegiatan dengan pihak-pihak di luar desa. Dua di antara beberapa kelompok tersebut adalah karang taruna dan kelompok PKK. Para pemuda karang taruna di kedua desa memiliki bekal keterampilan yang didapatkannya ketika merantau. Akan tetapi, ketika pulang ke desa bekal keterampilan tersebut tidak dapat dimaksimalkan karena terkendala biaya dan akses. Begitu pula kelompok PKK di kedua desa yang turut terkendala biaya ketika ingin menerapkan hasil pelatihan keterampilan yang selama ini didapatkan melalui lokakarya dengan kelompok sosial dari desa lain. Oleh sebab itu, dengan kompensasi yang diterima dari pembangunan Bendungan Karangnongko, 37


terutama ketika mendapatkan dana ganti untung, kelompok PKK dapat memanfaatkannya sebagai sumber pendapatan bersama untuk pengembangan kapasitas dari kelompok-kelompok sosial lainnya yang berada di kedua desa. Pada aspek preferensi komunitas, ketika nantinya masyarakat hanya mendapatkan ganti untung, maka jejaring sosial masyarakat desa hanya akan bergantung pada pilihan dari masing-masing komunitas atau keluarga. Preferensi tersebut mengacu pada pilihan komunitas dan keluarga untuk mengembangkan pilihan usaha yang berbeda dengan kecenderungan model usaha yang terdapat di desa selama ini. Bahkan, keluarga dapat memilih untuk berpindah lokasi yang berada di luar desa atau kecamatan untuk memilih tempat tinggal yang dianggap lebih layak ketimbang lokasi baru yang akan ditetapkan bersama sebagai tujuan. Pada aspek masyarakat yang tidak terdampak, masyarakat di kedua desa sepakat ingin tetap mengajak masyarakat yang tidak terdampak ikut turut pindah ke lokasi desa yang baru. Tidak lain disebabkan karena cara pandang yang memposisikan masyarakat yang tidak terdampak tetaplah mendapatkan imbas dari pembangunan bendungan. Sebagai contoh, masyarakat yang dianggap tidak terdampak tentu saja tidak memiliki infrastruktur sosial yang memadai, jarak yang terlampau jauh dengan pemerintah desa di lokasi baru, dan rawan pada bencana di sekitar bendungan. Akan tetapi, persoalan utama dari masyarakat yang dianggap tidak terdampak adalah biaya yang mana tidak masuk dalam hitungan pemerintah pusat untuk mendapatkan kompensasi. Terakhir adalah aspek keterlibatan sosial masyarakat yang tidak terdampak. Terutama sekali menyoal keterlibatan sosial di mana masyarakat yang dianggap tidak terdampak akan sangat kesulitan ketika harus memenuhi kebutuhan sosial sehari-hari ketika hanya tersisa beberapa belas kepala keluarga di lokasi desa yang lama. Salah dua agenda sosial penting adalah hajatan besar dan pemakaman. Masyarakat yang berada di lokasi lama merasa kesulitan ketika harus menyelenggarakan hajatan dan pemakaman karena selama ini, peran antar keluarga maupun RT sangatlah membantu untuk mengurus kebutuhan acara sedari persiapan, pangan, undangan, dan lain sebagainya. 3.3.3 Tata Kelola Pemerintahan Proyeksi dampak sosial dan ekonomi turut dipengaruhi oleh persoalan tata kelola pemerintahan desa, sebagai jembatan antara masyarakat dengan berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah kabupaten dan pusat. Oleh karena itu, menjadi penting untuk 38


mengulas rancangan dan mekanisme birokrasi yang telah dilakukan pemerintah desa dalam masa-masa persiapan pembangunan Bendungan Karangnongko. Proyeksi dampak sosial ekonomi dari tata kelola pemerintahan desa dibagi menjadi empat aspek: struktur pemerintahan, pengembangan lahan wisata, struktur desa, dan prioritas pengelolaan masyarakat. Pada aspek struktur pemerintahan, ketika keputusan untuk ganti untung dan penggunaan lahan KHDTK UGM diterapkan, mekanisme tata kelola pemerintahan desa di Ngrawoh dan Nginggil yang selama ini menjabat berpotensi tetap akan bertahan. Di satu sisi, bertahannya struktur pemerintah saat ini memiliki keunggulan ketika mampu mempersiapkan pengelolaan administrasi dan birokrasi di masa transisi dari lokasi lama ke lokasi baru. Di sisi lain, bertahannya pemerintahan saat ini memiliki risiko pada penurunan inovasi tata kelola desa apabila tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dinamika sosial ekonomi dari desa agraris menjadi desa wisata. Pada aspek pengembangan lahan wisata, pemerintah desa memiliki potensi besar untuk mengendalikan alur birokrasi dan perencanaan desa wisata. Disebabkan pemerintah desa akan memiliki aset infrastruktur lahan di lokasi desa yang baru. Selain juga, pemerintah desa turut memiliki kewenangan untuk menentukan sewa atau kontrak lahan bagi pihak-pihak yang akan berpartisipasi dalam pengembangan lahan wisata. Maka dari itu, pemerintahan desa perlu meningkatkan kapasitas kepemimpinan agar mampu menciptakan inovasi kebijakan yang sesuai dengan perubahan sosial ekonomi di kedua desa. Pada aspek struktur desa, ketika kompensasi yang dipilih nantinya adalah ganti untung, masyarakat berpotensi terpencar ke berbagai daerah. Dengan kompensasi ganti untung, masyarakat desa dapat dengan leluasa untuk mencari dan memilih lokasi tinggal yang berlainan dengan pilihan lokasi desa yang baru. Hal tersebut memberikan dampak pada tata kelola administrasi pemerintah desa karena perlu menyusun ulang dokumen-dokumen kepala keluarga di setiap RT dan mengatur ulang peta sosial dari masyarakat desa untuk pemenuhan kebutuhan bersama. Sekaligus juga, berpotensi kehilangan masyarakat desa yang selama ini dianggap menjadi aktor yang mampu mendorong keterlibatan sosial antarmasyarakat dan komunitas sosial. Terakhir pada aspek prioritas pengelolaan masyarakat yang dianggap tidak terdampak pembangunan bendungan, salah satu persoalan tata kelola pemerintahan di masa mendatang setelah perpindahan menuju lokasi desa yang baru adalah pemerintah desa diperkirakan abai pada masyarakat yang tetap menetap di lokasi lama. Hal ini disebabkan oleh jarak yang terbilang jauh antara lokasi desa yang lama dengan yang baru. Selain itu, pemerintah desa diperkirakan akan fokus menangani kebutuhan masyarakat di lokasi baru 39


yang sedang berada pada fase adaptasi. Potensi abainya pemerintah kepada masyakat yang tidak terdampak dapat dibaca melalui dua kondisi: masyarakat yang dianggap tidak terdampak tidak pernah dimintai pendapat tentang kompensasi dan belum adanya keputusan yang tegas dari pemerintah desa terkait dengan posisi dari masyarakat yang dianggap tidak terdampak. 3.4. Mitigasi Dampak Sosial-Ekonomi Penjelasan tentang mitigasi dibagi ke dalam tiga bagian utama. Pertama adalah mitigasi pada perubahan mata pencaharian di Desa Ngrawoh dan Nginggil yang menjelaskan perkiraan dan persoalan dari perubahan ekonomi serta munculnya peluang konflik berdasarkan perubahan ekonomi. Kedua, adalah mitigasi pada perubahan jejaring sosial yang menjelaskan upaya menjaga keberlangsungan interaksi dan kohesi sosial, upaya merawat ruang komunikasi inklusif antar pemerintah desa, dan upaya perluasan pengembangan jaringan ekonomi di sektor pariwisata. Ketiga adalah mitigasi perubahan tata kelola pemerintahan yang menjelaskan upaya mempertahankan struktur dan identitas desa terdampak dan upaya pemaksimalan peluang sumber pendapatan baru oleh desa terdampak. 3.4.1 Mata Pencaharian Mitigasi dampak sosial ekonomi dapat dilakukan berdasarkan proyeksi perubahan mata pencaharian yang akan terjadi di kedua desa. Mitigasi terhadap perubahan mata pencaharian akan berfokus pada penanggulangan terhadap perubahan pola aktivitas ekonomi dari kondisi aktual ke kondisi yang baru. Adanya wacana kehadiran bendungan dalam masyarakat memiliki potensi risiko terhadap dinamika ekonomi di kedua desa kedepannya. Merujuk pada proyeksi perubahan pada mata pencaharian, mitigasi dampak sosial ekonomi diperlukan untuk dapat mencegah adanya potensi konflik berdasarkan perubahan ekonomi yang drastis. Penelitian ini menemukan bahwa persoalan kesejahteraan merupakan bahasan yang sensitif. Hal ini disebabkan oleh adanya wacana bahwa pembangunan bendungan akan mengancam aktivitas pertanian dan peternakan. Dalam merespons hal tersebut, meskipun masing-masing desa memiliki pandangan masing-masing, tetap terdapat persamaan perspektif dalam merespons perubahan mata pencaharian tersebut. Persamaan tersebut 40


berupa keinginan untuk terus melanjutkan aktivitas pertanian dan peternakan yang disertai aktivitas ekonomi baru berupa pariwisata. Dalam mewujudkan keinginan tersebut, pemerintah desa dan masyarakat memiliki dua tantangan utama: 1) belum adanya imajinasi terkait pengelolaan potensi pariwisata; dan 2) belum adanya kepastian lahan pemukiman, pertanian dan peternakan warga pasca pembangunan bendungan. Oleh karena itu, mitigasi mata pencaharian dirasa sangat perlu untuk menyiapkan serta mendukung inisiasi serta transisi terhadap perubahan ekonomi yang akan terjadi. Menurut temuan penelitian, mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan menjamin adanya kenaikan taraf kesejahteraan yang dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Pada langkah teknis hal tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan kelompok ekonomi berbasis potensi desa yang dilakukan secara partisipatif dan inklusif. Pada temuan penelitian, partisipasi ekonomi yang terbatas di desa juga menjadi alasan utama warga untuk mencari pekerjaan di luar desa. Adanya harapan peningkatan kesejahteraan yang dibawa oleh bendungan menjadi kesempatan untuk mendorong keterlibatan utamanya pemuda dalam aktivitas ekonomi di desa. Dalam konteks ini, terdapat dua mitigasi yang dapat dilakukan untuk mendorong partisipasi pemuda dalam aktivitas ekonomi desa. Pertama, desa menjamin kesejahteraan pemuda melalui penciptaan lapangan kerja baru. Kedua, memberikan modal usaha yang dapat digunakan untuk mendorong pengembangan ekonomi pemuda. Modal tersebut dapat digunakan sebagai inisiasi pemuda di sektor usaha maupun sebagai modal menjadi tenaga kerja terampil. 3.4.2 Mitigasi Jejaring Sosial Berdasarkan temuan lapangan, terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mitigasi jejaring sosial, di antaranya adalah: (1) menjaga kohesi sosial antar masyarakat setelah memperoleh kompensasi; (2) merawat ruang komunikasi yang inklusif dan terbuka antar pemerintah desa; serta (3) memperluas pengembangan jejaring ekonomi di sektor pariwisata. Upaya pertama yang dapat dilakukan adalah menjaga kohesi sosial antar masyarakat setelah memperoleh kompensasi. Upaya ini dapat dilakukan dengan melakukan peningkatan literasi keuangan terhadap penerima kompensasi. Upaya tersebut juga dapat didorong dengan upaya lanjutan yang dapat dilakukan oleh pemerintah desa yaitu mengembangkan kelompok ekonomi desa untuk mendorong masyarakat melakukan pengelolaan uang ke arah yang lebih produktif. Atas hal tersebut keterlibatan masyarakat ke 41


dalam kelompok ekonomi desa menjadi salah satu cara dalam melakukan manajemen keuangan yang lebih terarah dan dapat dikawal oleh komunitas dan pemerintah. Upaya kedua yang dapat dilakukan adalah merawat ruang komunikasi yang inklusif dan terbuka antar pemerintah desa. Upaya ini dapat dilakukan dengan mendorong keterlibatan Pemerintah Desa, Kecamatan dan Kabupaten pada ruang komunikasi yang inklusif. Pada level pemerintah desa, komunikasi yang dilakukan harus bersifat inklusif dengan melibatkan semua kalangan. Keterwakilan pendapat dari berbagai kelompok harapannya dapat menjadi rujukan bagi desa untuk menciptakan partisipasi pembangunan yang setara. Upaya lain yang dapat dilakukan pada level desa adalah memperkuat kapasitas pemerintah desa, utamanya kepala desa sebagai komunikator dari aspirasi warga. Pada level Kecamatan, usaha proaktif harus dilakukan dalam membangun jejaring aspirasi dari desa-desa terdampak melalui dialog antar desa. Pada level Kabupaten, usaha menjamin ruang komunikasi terus berlangsung perlu dilakukan dengan menjadi penyambung aspirasi pada tingkatan yang lebih tinggi. Upaya ketiga yang dapat dilakukan adalah melakukan pengembangan jejaring ekonomi di sektor pariwisata. Upaya ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas kelompok sosial ekonomi di desa seperti kelompok PKK dan karang taruna. Upaya tersebut juga didorong dengan adanya temuan bahwa kelompok masyarakat telah menerima berbagai macam pelatihan bekerjasama dengan pihak eksternal. Hal ini dapat menjadi modal untuk dilakukannya mitigasi yang bertujuan untuk mendorong keterlibatan masyarakat terhadap peluang ekonomi baru. 3.4.3 Mitigasi Tata Kelola Pemerintahan Berdasarkan hasil temuan di lapangan, mitigasi pada tata kelola pemerintahan penting untuk dilakukan. Atas hal tersebut upaya yang dilakukan dapat berfokus pada dua aspek, yaitu: 1) upaya mempertahankan struktur dan identitas desa terdampak dan 2) upaya pemaksimalan sumber pendapatan baru oleh desa. Pada aspek yang pertama, mitigasi yang dapat dilakukan pada level pemerintah desa adalah membangun identitas desa dengan mengangkat nilai kultural serta penguatan komunikasi antar desa dalam upaya menjaring aspirasi warga. Sedangkan pada level kecamatan, upaya yang dapat dilakukan adalah menjamin aktivitas kelembagaan desa dapat terus berjalan serta memberikan dukungan serta menjadi wadah komunikasi dan aspirasi desa di level kabupaten. Teruntuk pada level kabupaten, upaya membangun jejaring 42


serta melakukan komunikasi dua arah terhadap desa terdampak menjadi penting untuk dilakukan untuk menjamin keberlangsungan dan identitas desa. Pada aspek yang kedua, mitigasi yang dapat dilakukan pemerintah desa adalah melakukan pengelolaan dan pengembangan ekonomi desa berbasis pariwisata. Untuk memperkuat peluang pengelolaan ekonomi tersebut pemerintah desa memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kapasitas negosiasi terhadap pihak eksternal dalam menentukan tata kelola pariwisata yang akan datang. Hal ini dilakukan agar keinginan desa dapat mengelola peluang ekonomi wisata secara mandiri dapat tercapai. 43


BAB 4 PENUTUP & REKOMENDASI 4.1. Penutup Bendungan Karangnongko telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Merujuk pada peraturan tersebut, maka pembangunan Bendungan Karangnongko akan mendapatkan kemudahan-kemudahan tertentu untuk mendukung penciptaan kerja dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat, terlebih mereka yang secara langsung terdampak proses pembangunan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pembangunan bendungan termasuk ke dalam pembangunan untuk kepentingan umum yang mana dasar perencanaannya telah tercantum dalam rencana tata ruang dan prioritas pembangunan dalam RPJM, Renstra, atau rencana kerja institusi yang memerlukan tanah, atau dalam konteks ini adalah PUPR. Desa Ngrawoh dan Nginggil merupakan dua desa yang terdampak paling besar dari pembangunan Bendungan Karangnongko. Dari seluruh KK yang terdampak pembangunan Bendungan Karangnongko, di masing-masing desa ada beberapa rumah yang tidak terkena relokasi. Rumah tangga yang tersisa karena tidak terdampak dengan demikian berisiko tercerabut dari komunitas dan kehilangan jejaring sosialnya apabila bedol desa tidak dilakukan. Selain dari sisi ekonomi dan infrastruktur, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah dimensi lingkungan dan sosial. Mereka yang tertinggal akan kehilangan akses pada fasilitas publik sehingga berdampak pada kondisi ekonomi, sosial, serta psikologis masyarakat. Skema relokasi maupun ganti untung yang dilakukan dengan demikian perlu memperhatikan unit sosial masyarakat. Biaya-biaya sosial seperti jejaring dan relasi sosial juga perlu dipertimbangkan dalam skema penilaian meski bentuknya tidak tampak. Dalam proses pengadaan tanah ini, aspirasi masyarakat di kedua desa adalah bedol desa dengan adanya ganti untung sekaligus penyediaan tanah pengganti untuk permukiman di dalam kawasan KHDTK UGM. Hal ini berhubungan dengan kepemilikan lahan bawon untuk kegiatan 44


produksi yang berada di dalam kawasan KHDTK UGM dan tidak terdampak pembangunan bendungan. Meski desa mereka berada di dalam kawasan KHDTK UGM, namun rumah-rumah yang ditinggali telah memiliki sertifikat hak milik (SHM). Apabila masyarakat tidak mendapatkan tanah pengganti untuk permukiman, maka masyarakat berisiko kehilangan lahan produktifnya sehingga dapat mengancam kesejahteraan keluarga. Dari sisi regulasi, pemberian ganti untung dalam bentuk uang dan selain uang masih memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini tercantum dalam PP 39/2023 pasal 76 (1) dan (2) yang menjelaskan bahwa: (1) Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: a. uang; b. tanah pengganti; c. permukiman kembali; d. kepemilikan saham; atau e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. (2) Bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baik berdiri sendiri maupun gabungan dari beberapa bentuk Ganti Kerugian, diberikan sesuai dengan nilai Ganti Kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh Penilai, Penilai Publik atau Penilai Pemerintah. Aspirasi masyarakat tersebut dari sisi regulasi memang masih memungkinkan untuk dilakukan, namun demikian kerumitannya akan sedikit bertambah. Pasalnya pemerintah juga harus menyediakan lahan baru sebagai tanah pengganti bagi permukiman masyarakat, meski masing-masing desa pada dasarnya telah memilih lokasi tanah pengganti yang diinginkan di dalam lahan KHDTK UGM. Dalam konteks Desa Ngrawoh dan Desa Nginggil, negosiasi yang harus dilakukan akan menyangkut beberapa kementerian/lembaga di antaranya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Blora, serta Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada selaku pengelola kawasan KHDTK UGM. Negosiasi dan kesepakatan antar K/L harus tercapai terlebih dahulu kaitannya dengan pembebasan lahan masyarakat terdampak. Terlebih penilaian ganti untung dan nominal yang akan diberikan juga bergantung dengan status dan kepemilikan lahan, serta bangunan yang dimiliki masyarakat. Diperlukan mitigasi yang baik agar tidak terjadi kecemburuan sosial antar masyarakat agar tidak menyebabkan konflik dan segregasi. Untuk menanggulangi persoalan ekonomi, sosial, serta lingkungan yang mungkin muncul, dibutuhkan konsolidasi dari sisi internal kelembagaan desa, masyarakat, bersama dengan 45


pemerintah daerah. Konsolidasi ini penting untuk memastikan suara masyarakat tidak terpecah yang berpotensi memunculkan konflik sosial di antara masyarakat terdampak. Adanya forum rutin yang memastikan keterlibatan seluruh anggota masyarakat menjadi salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mempercepat proses konsolidasi. Keterbukaan informasi terkait seluruh proses yang berjalan juga penting agar masyarakat mendapatkan kepastian, terlebih pembangunan bendungan tersebut akan berdampak signifikan terhadap keberlanjutan hidup mereka di masa depan. Apabila bedol desa akan dilakukan, maka dibutuhkan pendampingan untuk mempersiapkan masyarakat selama masa transisi. Hal ini penting untuk menjamin keberlangsungan desa sebagai lembaga, aktivitas ekonomi, serta kohesi sosial masyarakat. 46


4.2. Rekomendasi Berdasarkan catatan penutup di atas, kajian ini mengajukan tujuh poin rekomendasi. Berikut tujuh poin rekomendasi tersebut: 1. Pemerintah Kabupaten Blora perlu berkoordinasi dengan kementerian LHK dan KHDTK UGM terkait dengan izin penggunaan lahan yang diajukan oleh masyarakat. Langkah ini merupakan bagian dari agenda utama untuk pengemabangan area pemukiman di KHDTK UGM. Agenda tersebut dapat dijajaki dengan mempertimbangkan peta regulasi di bawah ini. Regulasi yang belum mengatur pemukiman dalam Kawasan hutan Regulasi yang membahas pengembangan pemukiman di kawasan hutan Peraturan mentri lingkungan hidup dan kehutanan nomor P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 Pasal 1 Penelitian dan Pengembangan Kehutanan yang selanjutnya disebut Litbang Kehutanan adalah kegiatan yang mencakup penelitian dan pengembangan kehutanan untuk mendukung pembangunan kehutanan. Peraturan mentri Lingkungan hidup dan kehutanan nomor 7 tahun 2021 Pasal 384 Ayat (1) Penggunaan Kawasan Hutan melalui mekanisme Persetujuan Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366. Ayat (2) huruf b diberikan pada kegiatan untuk kepentingan di luar kegiatan Kehutanan tertentu yang dapat menunjang Pengelolaan Hutan secara langsung atau tidak langsung. Ayat (2) Persetujuan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jenis kegiatan Penggunaan Kawasan Hutan Peraturan mentri Lingkungan hidup dan kehutanan nomor 7 tahun 2021 Pasal 334 Ayat (2) dalam hal usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan scara parsial dalam rangka kegiatan Proyek Strategis Nasional, program pemulihan ekonomi nasional, pengadaan tanah untuk bencana alam, TORA yang ditetapkan Pemerintah dan penyelesaian Pelepasan Kawasan Hutan untuk pemukiman, dapat diusulkan oleh Menteri atau menteri/pimpinan lembaga yang ditetapkan sebagai pelaksana. Peraturan mentri Lingkungan hidup dan kehutanan nomor 7 tahun 2021 Pasal 385 Ayat (1) Permohonan persetujuan kerjasama Penggunan Kawasan Hutan diajukan oleh: a. gubernur/bupati/wali kota; b. kepala OPD provinsi/kabupaten/kota; c. pimpinan instansi pusat di daerah; d. pimpinan badan hukum/badan usaha; atau e. Perorangan. 47


Catatan : Pemukiman belum diatur Ayat (2) Permohonan persetujuan kerjasama Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan oleh pemohon kepada: a. direktur utama perum perhutani dalam hal areal dimohon berada pada wilayah kerja perum perhutani; b. kepala pengelola KHDTK dalam hal areal dimohon berada pada wilayah kerja KHDTK; atau c. Kepala Dinas Provinsi dalam hal areal dimohon berada di luar wilayah kerja perum perhutani dan di luar KHDTK. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2019 Pasal 4 Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Poin (i) fasilitas umum termasuk didalamnya permukiman masyarakat, sarana dan prasarana untuk umum dan sosial yang terbangun; 2. Terkait status desa, Pemerintah Kabupaten Blora dapat berkoordinasi dengan Kemendagri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat terkait dengan perpindahan lokasi yang dapat berdampak pada status desa dengan memperhatikan peta regulasi di bawah ini. Regulasi yang mengatur penghapusan desa Regulasi yang mengatur penetapan dan/atau perubahan data desa UU no 6 tahun 2014 Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Blora Nomor 3 Tahun 2015 tentang 48


Pasal 9 Desa dapat dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang strategis. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA Bagian Kedua Penghapusan Desa Pasal 19 Ayat (1) Penghapusan Desa dilakukan dalam hal terdapat kepentingan program nasional yang strategis atau karena bencana alam. Ayat (2) Penghapusan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi wewenang Pemerintah pusat. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA Pasal 42 Ayat (1) Penghapusan Desa dilakukan dalam hal terdapat kepentingan program nasional yang strategis atau karena bencana alam. Ayat (2) Penghapusan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Penetapan Desa di Kabupaten Blora dan 2018 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2021 TENTANG KODE, DATA WILAYAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN, DAN PULAU Pasal 11 Ayat (1) dalam hal terjadi pemekaran, penggabungan, dan penghapusan Kecamatan, Desa dan Kelurahan, bupati/wali kota menyampaikan permohonan Pemutakhiran Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan beserta Peraturan Daerah tentang pemekaran, penggabungan, dan penghapusan Kecamatan, Desa, dan Kelurahan kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Ayat (2) pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau dilakukan melalui usulan gubernur kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan. 3. Guna meminimalisir konflik dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap PSN Bendungan Karangnongko, Pemerintah Daerah perlu melakukan langkah taktis untuk meminimalisir biaya ketidakpastian, karena dampak dan risiko pembangunan sudah mulai ditanggung oleh masyarakat. Salah satu aspirasi masyarakat terkait dengan hal ini adalah penolakan pengajuan perbaikan infrastruktur jalan di desa karena adanya PSN Karangnongko. Kondisi ini pada dasarnya memperburuk kehidupan masyarakat dan berpotensi menyebabkan ketidakpercayaan. 49


Click to View FlipBook Version