Relief Jataka Cerita Bergambar Candi Borobudur
Sambutan untuk buku cerita bergambar Relief Jataka Cerita Bergambar Candi Borobudur Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penyusunan buku ini dapat terlaksana. Generasi muda merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam melestarikan kebudayaan di Indonesia. Keberadaan mereka memberikan kontribusi yang besar dalam pembangunan karakter bangsa dan negara Indonesia. Salah satu upaya meningkatkan pemahaman nilai kebudayaan bangsa Indonesia terutama yang terdapat di relief Candi Borobudur kepada anak-anak, maka disusunlah naskah buku cerita bergambar “Jataka”. Buku cerita bergambar ini dipilih sebagai media penyampaian pesan kepada anak-anak karena dianggap sesuai dengan usia anak sekolah dasar yang mudah diterima dan dicerna. Cerita Jataka yang diterjemahkan dalam bentuk cerita bergambar berisi cerita binatang yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan dan budi pekerti. Buku ini dapat terwujud berkat kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu maka penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kami berikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi pada buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya dalam rangka mendukung pembangunan kebudayaan Indonesia. Salam Budaya, Borobudur, Oktober 2014 Drs. Marsis Sutopo, M.Si Kepala Balai Konservasi Borobudur
yang Sabar Kerbau & Kera yang Nakal DENAH BOROBUDUR Kerbau yang Sabar & Kera yang Nakal Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas, bidang J di panil ke 2, 3, 4, dan 5.
Tinggallah seekor kerbau dan seekor kera di sebuah tepi hutan. Setiap hari mereka selalu bersama-sama. Tapi si Kera ini sungguh nakal. Setiap hari kerjanya hanya menganggu dan menggoda sang Kerbau.
Saat sang Kerbau tidur, si Kera menaiki punggungnya sambil menarik-narik kupingnya. Saat sang Kerbau minum di sungai, si Kera senang menarik-narik ekornya.
Saat sang Kerbau merumput, si Kera mengambil ranting dan menusuk-nusuk lobang hidung dan telinganya. Tapi meski selalu diganggu, sang Kerbau tetap sabar dan tak pernah marah atau membalas kelakuan si Kera Nakal. Hingga akhirnya Yaksa datang dan bertanya kepada sang Kerbau kenapa ia tak membalas kelakuan si Kera yang nakal.
Yaksa, kera kecil ini adalah sahabatku. Meski ia nakal aku harus melindunginya karena ia binatang yang lebih lemah. Yaksa lalu menurunkan si Kera dari punggung sang Kerbau...
...lalu menganugerahi sang Kerbau sebuah mantra. Mantra yang akan menjaga keselamatan sang Kerbau dari segala bahaya dan bencana yang mengancam.
Ruru, Kijang Emas yang Berhati Emas DENAH BOROBUDUR Ruru, Kijang Emas yang Berhati Emas Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/ lorong 1, pagar langkan bagian atas, bidang F di panil ke 3, 4, dan 5.
Di sebuah hutan, di antara semak-semak pohon sal dan pohon mangga, tinggallah Kijang Ruru. Kulitnya bersih dan mengkilat laksana piring emas yang baru saja dibilas. Dan tanduknya seperti lingkaran perak yang bercahaya di atas kepalanya. Ia hidup dengan tenang di sana. Menyendiri dan menikmati kesunyian hutan yang begitu damai.
Sampai suatu ketika terdengar sebuah teriakan minta tolong. Kijang Ruru memasang telinganya tajam-tajam. Teriakan itu berasal dari sungai yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Kijang Ruru dengan cekatan segera melompat dan menolong lelaki malang itu. Ia meletakkan lelaki itu di punggungnya lalu membawanya ke tepi sungai. Selama aku masih hidup tak siapa pun boleh mati! Benarlah dugaannya. Di sungai yang deras arusnya, seorang lelaki sedang berjuang menyelamatkan dirinya. Tubuhnya timbul tenggelam dalam derasnya aliran sungai.
Lelaki itu sangat berterimakasih karena Kijang Ruru telah menyelamatkannya. Lelaki itu berjanji akan menuruti seluruh perkataan Kijang Ruru. Dan pergilah Kijang Ruru mengantar lelaki itu keluar dari hutan menuju perkampungan di mana lelaki itu tinggal. Hai, Manusia, kini aku akan membawamu keluar dari hutan ini hingga kamu bisa kembali dengan selamat ke Benares. Tapi aku mohon, janganlah kamu serakah dan mengatakan kepada raja atau siapa pun bahwa di sini tinggal seekor kijang emas.
Gambar Kijang Ruru itu tak bisa hilang. Jika ia tak ada maka ia tak akan pernah bisa masuk ke dalam mimpiku, begitulah pikirnya. Maka berkatalah ia kepada suaminya Sementara itu di saat yang bersamaan di istana kerajaan, Khema, sang Permaisuri, bermimpi melihat seekor kijang emas. Bayangan kijang yang begitu cantik itu terus berdiam di dalam kepalanya. Sang Raja, saya mendengar adanya kijang emas di sebuah tempat di negeri ini. Jika ia benar ada saya akan bisa bertahan hidup. Jika ia tak ada maka lebih baik saya mati!
Memenuhi permintaan istrinya sang Raja membuat pengumuman: Mendengar pengumuman itu lelaki yang dulu pernah ditolong oleh Kijang Ruru segera bergegas ke istana. Ia tergoda oleh hadiah yang dijanjikan oleh Raja Benares. Ia menghadap raja dan sanggup menunjukkan tempat Kijang Ruru berada. Di dalam semak-semak antara pohon sal dan mangga di sana, di mana tanahnya semua berwarna merah, dapat ditemukan kijang itu.
Kijang Ruru yang tengah berbaring segera bangkit begitu mendengar banyak langkah kaki mendekat. Ia segera mengintip dari sela sesemak. Dilihatnya sang Raja dan serombongan prajurit telah mengepungnya. Sang Raja segera berangkat bersama para pengawalnya. Lelaki itu turut serta sebagai penunjuk jalan.
Lalu dengan berani Kijang Ruru segera melompat dari persembunyiannya. Ia berlari dengan cepat ke arah sang Raja. Sang Raja segera mementang busurnya dan mengarahkan anak panahnya ke Kijang Ruru. Mendengar suara Kijang Ruru yang merdu, sang Raja segera meletakkan senjatanya. Hatinya tergetar mendengar suara yang bagaikan denting lonceng emas itu. Sang Raja menunjuk jarinya kepada lelaki yang telah mengkhianati Kijang Ruru. Oh, Pemimpin yang Menunggang Kereta, Raja Agung, tenanglah! Jangan melukaiku Siapa yang memberitahu Anda bahwa saya dapat ditemukan di tempat ini?
Maka marahlah Kijang Ruru pada lelaki yang pernah diselamatkannya itu, lelaki yang telah dianggapnya sebagai seorang sahabat. Raja pun ikut marah begitu mendengar cerita Kijang Ruru. Ia berniat menghukum lelaki itu. Tapi Kijang Ruru tak berkenan. Ia malah memerintahkan sang Raja untuk memberikan lelaki itu hadiah seperti yang sudah dijanjikan. Janji mesti ditepati. Di dunia terdapat banyak manusia, yang dari mereka terbukti bahwa pepatah itu benar: Lebih baik menyelamatkan sebatang balok kayu yang tenggelam daripada manusia seperti kamu!
Sejak hari itu Kijang Ruru tinggal di dalam istana. Menjadi penasehat raja yang bijaksana.
Kera Raksasa & Kera-Kera Kecil Sahabatnya DENAH BOROBUDUR Kera Raksasa & Kera-Kera Kecil Sahabatnya Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas, bidang F di panil ke 9.
Dahulu kala tinggallah serombongan kera kecil di sebuah pohon jambu di tepi sebuah sungai. Bersama mereka juga tinggal seekor kera raksasa yang menjadi sahabat dan penjaga. Dikisahkan sungai kecil yang bening dan indah itu melintasi sebuah taman kerajaan di mana para putri sering bermain-main di sana. Putri-putri yang cantik itu senang berenang dan berendam di sungai itu. Suatu hari sebutir buah jambu jatuh ke sungai dan hanyut hingga taman kerajaan.
Raja dengan senang hati menerima persembahan dari para putri. Melihat wujudnya yang tampak segar dan manis sang Raja segera memakannya. Para putri yang tengah berendam menemukan buah jambu itu. Karena kelihatan segar dan enak dipersembahkanlah buah itu kepada sang Raja.
Dan ternyata buah jambu itu sangat enak. Raja benar-benar suka. Sang Raja kemudian memerintahkan para prajuritnya untuk mencari pohon buah jambu yang sangat lezat itu.
Para prajurit akhirnya berhasil menemukan pohon jambu itu. Tapi mereka ketakutan karena banyak kera yang tinggal di sana. Sang Raja marah dan menganggap kera-kera itu telah mencuri jambu miliknya. Ia menyuruh para prajurit untuk menyerang dan mengusir kera-kera itu.
Mendengar kabar bahwa pohon jambu itu akan diserang, sang Kera Raksasa berusaha menyelamatkan kera-kera kecil sahabatnya. Dengan tubuhnya yang besar ia menjadi jembatan yang membuat kera-kera kecil bisa berlari menyeberangi sungai. Dengan tubuhnya yang besar pula sang Kera Raksasa bisa menahan serangan para prajurit kerajaan.
Tapi lama-kelamaan jumlah prajurit kerajaan bertambah. Mereka tanpa henti menyerang sang Kera Raksasa dengan bermacam-macam senjata. Sang Kera Raksasa semakin terdesak. Tapi ia terus bertahan agar seluruh kera kecil bisa melarikan diri. Sang Raja semakin marah. Ia melipatgandakan jumlah prajuritnya. Hatinya telah dipenuhi nafsu untuk menguasai pohon jambu yang buahnya sangat enak itu.
Akhirnya sang Kera Raksasa pun tumbang. Ia jatuh ke tanah tak kuat lagi menahan serangan para prajurit kerajaan. Tapi seluruh kera kecil telah berhasil menyeberang sungai dan selamat. Tak satu pun jatuh menjadi korban keserakahan sang Raja.
Pengorbanan di Padang Pasir DENAH BOROBUDUR Pengorbanan Seekor Gajah di Padang Pasir Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas, bidang H di panil ke 6, 7, dan 8. Seekor Gajah
Di sebuah hutan, di antara semak-semak pohon sal dan pohon mangga, tinggallah Kijang Ruru. Kulitnya bersih dan mengkilat laksana piring emas yang baru saja dibilas. Dan tanduknya seperti lingkaran perak yang bercahaya di atas kepalanya. Ia hidup dengan tenang di sana. Menyendiri dan menikmati kesunyian hutan yang begitu damai. Di padang pasir yang panas dan tandus melintaslah serombongan narapidana. Mereka telah melakukan banyak kejahatan. Maka dibuanglah mereka dari kerajaan ke padang pasir yang kering kerontang itu. Rombongan yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak itu terus berjalan untuk menyelamatkan diri. Mereka berusaha keluar dari padang kering tanpa air setetes pun itu.
Rasa haus dan lapar mulai menyerang mereka. Beberapa mulai jatuh karena lemas dan kekurangan air. Pada saat yang bersamaan seekor gajah besar juga tengah berjalan melintasi gurun pasir itu. Ia berpapasan dengan rombongan narapidana itu.
Sang Gajah jatuh kasihan pada rombongan itu. Wahai, Gajah, kami adalah orang-orang hukuman. Katakanlah di mana kami bisa mendapatkan makanan dan air. Kami sangat lapar dan haus.
Lalu sang Gajah pergi meninggalkan rombongan itu. Teruslah kalian berjalan. Di depan nanti kalian akan menemukan sebuah jurang. Di dasar jurang itu ada sebuah mata air. Kebetulan tadi aku lihat ada bangkai seekor gajah yang baru saja mati. Kalian bisa makan dagingnya. Lalu gunakan ususnya untuk menyimpan perbekalan air.
Tanpa diketahui siapa pun sang Gajah berlari menuju jurang itu melewati jalan yang berbeda dengan rombongan narapidana yang baru saja ditemuinya. Sesampainya di tepi jurang sang Gajah menjatuhkan dirinya. Dan akhirnya mati di tepi mata air.
Rombongan narapidana dengan susah payah berhasil sampai ke jurang yang ditunjukkan oleh sang Gajah. Betapa gembiranya mereka melihat mata air dan bangkai gajah yang masih segar. Mereka kemudian memotong-motong daging gajah itu dan memakannya. Tak lupa mereka pun menyimpan air menggunakan usus gajah.
Rombongan narapidana melanjutkan kembali perjalanan. Tubuh mereka telah kembali segar dan kuat. Mereka sama sekali tak tahu bahwa bangkai gajah yang mereka makan adalah bangkai dari gajah yang mereka temui di tengah perjalanan. Gajah yang telah mengorbankan dirinya untuk menolong mereka.
Kesombongan Raja & Pertolongan Kijang Sarabha DENAH BOROBUDUR Kesombongan Raja & Pertolongan Kijang Sarabha Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas, bidang E di panil ke 8, 9, 10, dan 11.
Di sebuah hutan, di antara semak-semak pohon sal dan pohon mangga, tinggallah Kijang Ruru. Kulitnya bersih dan mengkilat laksana piring emas yang baru saja dibilas. Dan tanduknya seperti lingkaran perak yang bercahaya di atas kepalanya. Ia hidup dengan tenang di sana. Menyendiri dan menikmati kesunyian hutan yang begitu damai. Dahulu hiduplah seorang raja yang gemar berburu. Hampir tiap hari ia berburu dan pulang dengan memamerkan hasil buruannya di alun-alun. Ya, kemampuan berburu dan memanah telah membuatnya menjadi seorang raja yang sombong. Suatu hari ia kembali berangkat ke hutan untuk berburu. Hari ini aku akan berburu Kijang Sarabha yang terkenal sangat lincah itu. Tapi panahku akan dengan mudah menghentikan larinya. Lihat saja nanti!
Di dalam hutan dengan sabar sang Raja Pemburu menunggu sang Kijang Sarabha keluar dari persembunyiannya. Dan muncullah yang ditunggu, kijang yang indah dan memiliki delapan kaki. Ada enpat kaki tambahan yang tumbuh di punggungnya.
Sang Raja Pemburu memasang panahnya dan membidik sasaran yang telah lama ditunggunya itu. Panah sang Raja Pemburu pun melesat. Tapi Kijang Sarabha memang sangat lincah. Dengan cepat ia menjatuhkan tubuhnya ke samping. Lalu bangkit berlari dengan kaki di punggungnya.
Sebuah lubang besar menganga di dalam hutan. Lubang bekas sebuah pohon besar yang telah mati. Kijang Sarabha dengan lincah melompati lubang besar itu. Tapi sang Raja Pemburu jatuh terperosok ke dalam lubang yang sangat dalam. Saking bernafsunya memburu Kijang Sarabha ia tak melihat lubang besar yang sangat berbahaya itu.
Kijang Sarabha menghentikan larinya. Ia berbalik menuju lubang besar di mana sang Raja Pemburu terperosok. Dengan cekatan ia turun dan berusaha menolong raja yang baru saja mengincar nyawanya itu. Akhirnya dengan berpegangan pada empat kaki di punggung Kijang Sarabha, sang Raja Pemburu berhasil selamat.
Sang Raja Pemburu mengucapkan terimakasih dan ingin membalas kebaikan sang Kijang Sarabha. Ikutlah aku kembali ke kerajaan. Mulai hari ini seluruh kerajaaanku adalah milikmu, wahai, Kijang Sarabha sang Penolongku! Tapi Kijang Sarabha dengan halus menolak hadiah dari sang Raja Pemburu Biarlah saya tinggal di sini. Sebab di sinilah rumah saya. Cukup ajarkanlah kepada semua orang pelajaran yang telah Anda dapat hari ini.
Dan sang Raja Pemburu pun pulang kembali ke kerajaannya. Ia tak pernah berburu lagi. Tak pernah menyombongkan apa-apa lagi. Dan memerintah kerajaan dengan bijak dan penuh kasih.
Burung Puyuh & Kebakaran di Hutan DENAH BOROBUDUR Burung Puyuh & Kebakaran di Hutan Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas, bidang A di panil ke 12.vv
Burung puyuh kecil itu, karena belum bisa terbang, hanya bisa berbaring sambil menunggu orangtuanya datang memberinya makan. Dan ia hanya memakan biji-bijian saja. Sementara makanan berupa seranggaserangga kecil tak pernah disentuhnya. Mungkin karena itu ia tak bisa besar dengan cepat. Bulu-bulu sayapnya tak bisa tumbuh. Tapi meski demikian ia tak pernah bersedih. Ia bahagia tinggal di sarangnya. Di negeri Magadha pernah terlahir seekor burung puyuh yang luar biasa.
Tapi kebahagian itu tak berlangsung lama. Kebakaran hebat melanda hutan yang semula begitu teduh dan hijau itu. Api melalap apa saja yang menghalangi jalannya. Seluruh makhluk penghuni hutan kalang kabut. Tak terkecuali bangsa burung. Mereka berusaha terbang setinggi-tingginya, sejauh-jauhnya dari jilatan sang Api.
Sungguh malang nasib si Burung Puyuh yang tak bisa terbang itu. Ia hanya bisa berdiam di sarangnya. Melihat api yang makin lama makin dekat, tak tampak sedikit pun rasa takut di wajahnya. Ia tetap terbaring dengan tenang di dalam sarang. Sepasang matanya menatap kobaran api yang mengganas. Jika aku bisa menggerakkan sayapku dan terbang, aku akan terbang sejauh-jauhnya. Kedua orangtuaku, yang mengasihiku, karena begitu takut dengan kematian telah pergi meninggalkanku sendirian. Apa yang bisa kulakukan?
Api telah mengepungnya. Beberapa saat lagi mereka akan melalap pohon di mana sarang si Burung Puyuh berada. Udara di sekitarnya terasa sesak dan panas. Tapi si Burung Puyuh hanya menatap sang Raja Api dengan ketenangan yang luar biasa. Dengan sayap yang belum bisa terbang, dengan kaki yang belum bisa berjalan, ditinggalkan oleh orangtua, di sinilah saya terbaring! Oleh karena itu saya memohon kepadamu, 5DMD$SL\DQJPHQDNXWNDQ-ÁWDYHGD untuk berbalik dan pergi!
Dan sang Raja Api pun berbalik meninggalkan si Burung Puyuh. Keyakinan dan kebenaran dalam diri si Burung Puyuh telah menyelamatkan dirinya dan juga penghuni hutan yang lain.