BAB V Peran Pelabuhan Tuban dalam Perdagangan Rempah di Jawa Bagian Timur 87 43 Tome Pires, op.cit., hlm.220 44 B. J. O. Schricke, Indonesian Sociological Studies Part Two (The Hague: W. van Hoeve, 1957), hlm. 297. 45 Air sejuk ini disebut “The Holy Water”. Informasi tentang “The Holy Water” telah diceritakan oleh Dinasti Yuan bahwa Jendral – jendral Shih Pi dan Kau Hsing waktu menyerang Jawa, mereka telah satu bulan tidak mendapat sesuatu apapun. Persediaan dari di kapal mereka telah habis dan singgah ke Tuban untuk mengisi perbekalan air minum. Lihat W.P. Groeneveldt, Historical Notes on (Djakarta: Bhatara, 1960), hlm. 47. 46 Kebijakan penyatuan geopolitik Krtanagara sebagai penganut Bhairawa dapat dilihat dari tinggalan arca Joko Dolog. Arca itu menjadi bukti pengkultusan dirinya pada di 1264 Masehi dan 1269 Masehi sebagai Hevajra. Ketika Islam mulai mengikis pengaruh kebudayaan HinduBudha di awal abad ke-13, prasasti Joko Dolog menggambarkan keprihatinan perpecahan di era kerajaan. Lihat, C. C. Berg, Het Rijk Van de Vij Foudige Buddha (Amsterdam: Uitgevers Maatschappij, 1962), hlm. 175. Portugis atau Cina. Kekuatan militer kota Tuban termasuk yang paling kuat dibandingkan dengan kota-kota lain di Jawa. Tuban telah memiliki 6.000—7.000 prajurit, dan tidak jarang pemimpin pusat mengirim 10 atau 20 prajurit pada saat musuh datang menyerang Tuban.43 Selain sebagai pelabuhan dagang, Tuban merangkap posisi sebagai pelabuhan militer. Pelabuhan Tuban dipergunakan sebagai pelabuhan militer pada masa raja Kertanegara waktu mengirim bala tentara ke Melayu. Kedudukan strategis pelabuhan Tuban juga dimanfaatkan oleh tentara Kublai Khan sebagai pintu pertama untuk memasuki daratan Pulau Jawa. Menurut berita Cina pintu masuk ke dataran Jawa adalah Sungai Porong, Tuban, Sedayu, dan Canggu, bahkan Gresik merupakan tempattempat pelabuhan pada waktu itu.44 Catatan berita dari Ma Huan dalam buku Yeng Yai Sheng Lan, menerangkan bahwa Tuban berpenduduk lebih dari seribu keluarga. Beberapa orang-orang Cina Kanton dan Chang Chou membentuk perkampungan pecinan. Diceritakan pula bahwa di pantai Tuban diketemukan kolam kecil dengan air yang sejuk. Air bersih tersebut dapat diminum sehingga menarik kapal-kapal asing untuk berlabuh dan singgah mengisi perbekalan.45 Meski tidak terdapat keterangan secara langsung yang melaporkan pengiriman bala tentara Si hasari ke Melayu melalui pelabuhan Tuban. Apalagi saat itu Kertanegara ingin memastikan penyatuan politik dan perluasan akses Jawa bagian timur ke rute perdagangan Internasional yang sangat menguntungkan.46 Dugaan tersebut oleh Ribut Darmosutopo didasarkan keterangan serat Pararaton: … sira panji Aragani angeteraken wangsul ing Tuban .... “ “
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 88 47 Ribut Darmosutopo, Catatan Singkat tentang Tuban sebagai Kota Pelabuhan (..) 48 W.P. Groeneveldt, op.cit., hlm. 20 – 34 49 Soewito Santoso, “Meng Khi,” Majalah Ilmu – ilmu Sastra Indonesia, Juni 1964, jilid.II, no 2, hlm. 141 – 146. Tindakan merusak muka seorang utusan atau duta berarti menyatakan perang. Karena Kertanegara telah berani merusak muka utusan Kublai, Meng Khi, berarti Kertanegara menyatakan perang terhadap Kublai. 50 Ranggalawe adalah anak Bupati Wiraraja. Kitab Pararaton mengatakan bahwa peristiwa Ranggalawe terjadi pada masa pemerintahan Jayanegara dan terjadi pada tahun 1295 Masehi. Dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe dikatakan bahwa peristiwa Ranggalawe terjadi pada masa pemerintahan Kertarajasa Jayawardhana (R. Wijaya). lihat (C.C.Berg, Panji Wijayakrama, (Weltevreden : Albrecht & Co, 1939) 51 Cortesao, Armando. The Suma Oriental of Tom Pires, London: The Haykluyt Society, 1944) hlm.-192 yang ditafsirkan seorang patih panji Aragani turut menghantar mereka sampai jauh dari pantai kemudian kembali ke pelabuhan Tuban untuk pulang ke Tumapel.47 Sumber lain berupa berita Cina khususnya dari Dinasti Yuan (1280— 1367) beserta catatan dari panglima Ike Mese.48 Berita Cina tersebut memaparkan keterangan bahwa Maharaja Shih Tsu atau Kublai Khan bermaksud akan menghukum raja Jawa (Kertanegara) karena raja Jawa itu telah berani merusak muka seorang utusan Maharaja Kublai Khan, bernama Meng-khi.49 Pada September 1292, Kublai Khan mengirim tiga orang utusan ke Si hasari: Shih pi, Ike Mese, dan Kau menuju Pulau Jawa. Kau Hsing berangkat ke Jawa dengan kapal membawa barang-barang perlengkapan sementara itu Shih Pi dan Ike Mese pergi ke Fu Kien, Kiangsi, dan Hu Kuang untuk mempersiapkan balatentara. Selanjutnya, pada awal 1293, Ike Mese dan Shih Pi beserta bala tentara telah bertolak meninggalkan daratan Cina. Dengan cepat mereka telah sampai di Pulau Ko lan atau Belitung. Shih Pi, Ike Mese bertemu dengan Kau Hsing di Tuban dan balatentara Cina dibagi menjadi dua bagian. Sebagian di pimpin oleh Kau Hsing dan Ike Mese berjalan melalui darat, sedang lainnya di pimpin oleh Shih Pi terus laju dengan kapalnya kearah Timur. Dengan cepat Shih Pi memasuki mulut sungai Sedayu (Gresik) kemudian berlayar menuju ke Kali Mas (Surabaya). Pada era awal Kerajaan Majapahit, daerah Tuban mengalami ketidakstabilan politik. Meletusnya pemberontakan Ranggalawe terhadap Majapahit menyeret Tuban sebagai kota penting bagi Ranggalawe untuk menyusun kekuatan.50 Menurut sumber berita dari Portugis, Tuban juga berperan sebagai pusat pertahanan Majapahit. Tome Pires menyebut jika penguasa Tuban tak segan mengirim sejumlah 6000—7000 tentara prajurit untuk memenuhi kebutuhan tenaga perang Majapahit.51
BAB V Peran Pelabuhan Tuban dalam Perdagangan Rempah di Jawa Bagian Timur 89 52 Gusti Pate adalah Tome Pires, lihat. Suma Oriental, hlm.220. 53 Tome Pires, op.cit., hlm. 232 54 De Graaf, op cit., hlm. 170. 55 Meilink Roelofsz, op.cit., 285 Penduduk di kota Tuban cukup ramai tidak kurang dari 1.000 jiwa. Negeri Tuban ini merupakan taklukan dari seorang Guste Pate.52 Tome Pires menyebut jika pelabuhan Tuban dibagi-bagi dan dikuasai oleh 3 raja: pertama, pelabuhan yang dikuasai oleh orang-orang Moor; kedua, pelabuhan orang–orang pagan; dan ketiga, pelabuhan milik putra Guste Pate. Tuban juga disebut sebagai pelabuhan terdekat menuju kota Daha (Daya) tempat Gusti Pate tinggal. Tome Pires juga menyebut bahwa penguasa Tuban ialah orang pertama yang diterima dan menjalin persahabatan dengan orang Portugal.53 Sebagian penduduk Tuban adalah Muslim, meskipun penguasa Tuban masih setia terhadap penguasa Majapahit yang memeluk Hindu. Baru pada tahun 1619, Tuban ditundukkan secara tuntas oleh Sultan Agung yang terus memperluas daerahnya.54 Pada abad ke-17 dan sesudahnya, yang memerintah di Tuban ialah bupati-bupati yang diangkat oleh raja-raja dinasti Mataram. E. Komposisi Penduduk Tuban sepeninggal penyerangan Demak ke Majapahit tidak banyak dibicarakan. Masa itu adalah masa pergeseran peran pelabuhan Tuban menuju kemerosotan dan kemunduran. Ramai atau tidaknya sebuah pelabuhan ditinjau dari keadaan ekologis di suatu wilayah. Biasanya faktor keamanan menjadi pertimbangan utama, dan pelabuhan berada di tengah-tengah teluk atau menjorok pada suatu sungai adalah pelabuhan paling ramai dikunjungi oleh kapal. Akibat pendangkalan maka peranan pelabuhan Tuban digantikan oleh kota-kota pelabuhan di sebelah timurnya. Sungai Brantas dan Bengawan Solo menjadi pengganti peran Tuban dalam menghubungkan dengan wilayah-wilayah di daerah pedalaman. Setelah Majapahit Runtuh, kapal-kapal dagang lebih suka berlabuh di Gresik daripada Tuban. Fasilitas Pelabuhan yang semakin berkurang, dan bea cukai yang terlalu tinggi menjadi pertimbangan pelabuhan ini mulai ditinggalkan.55 Dalam abad-abad selanjutnya pada masa kolonial, Tome Pires menyumbang informasi berharga tentang pengalamannya menelusuri F. Era Kemunduran
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 90 pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa antara kurun 1512—1517. Dari catatan dibukukan dengan judul “Suma Oriental (Dunia Timur)” inilah perkembangan pelabuhan Tuban diketahui. Seorang Belanda, Jacob Van Neck, juga mengabarkan bahwa setidaknya tahun 1615 pelabuhan Tuban sudah tidak memegang peranan penting bagi perdagangan Nusantara.56 Pada abad ke-16, Tuban merupakan sebuah pelabuhan yang tidak begitu penting lagi dan mulai ditinggalkan. Ketika Majapahit jatuh, Tuban mengakui kedaulatan Demak sebagai sekutu setia Sultan Pajang, penerus tahta Demak, penguasa Tuban menentang ekspansi wilayah dari Kerajaan Mataram.57 Meskipun de Graaf menyatakan telah mengalami kemunduran, pelabuhan Tuban nyatanya tidak pernah benar-benar mengalami keruntuhan. Beberapa aspek menyebabkan Tuban bertahan sekalipun benar-benar ditinggalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Akan tetapi, ketika VOC berhasil menaklukkan Mataram pada abad ke17, praktis sisa-sisa aktivitas perdagangan di pelabuhan semakin melemah. Sebagian besar masyarakat petani di Tuban lebih banyak mendapati akumulasi kepemilikan tanah yang dikuasai oleh penguasa lokal. Sementara penguasa lokal banyak yang tidak mempedulikan kesejahteraan petani dan lebih memilih untuk berburu di hutan.58 Dalam perkembangannya, Leran, Sedayu, dan Gresik tumbuh menjadi semakin penting dengan mengambil keuntungan dari kemunduran peran Tuban. Dalam abad ke-15, Gresik sudah menjadi kota pelabuhan yang lebih Makmur dari Tuban.59 Lagipula, kebijakan pemerintah kolonial yang menunjuk Batavia, Semarang dan Surabaya sebagai pelabuhan “collecting centers” otomatis mematikan pelabuhan Tuban. Selanjutnya Gresik, Pasuruan, Probolinggo pun beralih fungsi hanya sebagai pelabuhan penunjang (feeder point) saja.60 56 B. J. O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part One, (Bandung :Van Hoeve, 1950), hlm. 20. 57 Theodore G. Th. Pigeaud And H. J. De Graaf, op cit., hlm.14 58 Tome Pires, op.cit., hlm. 219 59 Aminuddin Kasdi, Babad Gresik (Tinjauan Historiografis dalam Rangka Studi Sejarah), (Surabaya: Universitas Press IKIP Surabaya, 1995), hlm. 48. 60 Handinoto dan Samuel Hartono, “Surabaya Kota Pelabuhan (‘Surabaya Port City’) Studi tentang perkembangan ‘bentuk dan struktur’ sebuah kota pelabuhan ditinjau dari perkembangan transportasi, akibat situasi politik dan ekonomi dari abad 13 sampai awal abad 21" Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35, No. 1 (2007), hlm. 99.
93 BAB VI PERAN PELABUHAN GRESIK 1 Tim Penyusun Buku Hari Jadi Kota Gresik, Kota Gresik: Sebuah Perpektif Sejarah Hari Jadi (Gresik: Tim Penyusun Sejarah Hari Jadi Kota Gresik, 1991), hlm. 21. 2 Diskusi bandar-bandar niaga yang dilaksanakan pada medio 1994 ini kemudian dipublikasikan dalam buku berjudul “Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra” (Depdikbud, 1998) 3 Kenneth R. Hall, (Honolulu: Univirsity of Hawaii, 1985), hlm. 25 4 Oemar Zainuddin, Kota Gresik 1896-1916 Sejarah Sosial Budaya Dan Ekonomi (Jakarta: Ruas, 2010), hlm.7. 5 H.J. De Graaf dan Dr. Th. G. Th. Pegaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (Peralihan dari Majapahit ke Mataram) (Jakarta: Grafiti Pers, 2001), hlm. 161. 6 Dukut Imam Widoddo,dkk. Gressee Tempo Doeloe (Gresik: Pemerintah Kabupaten Gresik, 2014), hlm. 122. Sdi antara dua muara sungai besar, yaitu sungai Lamong dan sungai Solo.1 Dalam bingkai Jalur Sutra, para sejarawan Indonesia2 pernah membahas beberapa bandar dalam jalur perdagangan rempah-rempah yang meliputi bandar-bandar niaga di sekitar Selat Malaka, Perairan Sumatra, dan Perairan Maluku dan wilayah Majapahit. Pantai utara Jawa merupakan salah satu bagian penting dari apa yang yang oleh para sejarawan disebut sebagai atau jaringan laut Jawa.3 Beberapa kota tua Majapahit itu di antaranya Tuban, Gresik4 , dan Rembang. Berdasarkan Prasasti Karang Bogem, berangka tahun 1387 Masehi, wilayah Gresik saat itu berupa tanah dikelilingi hutan yang mendatar dan menjorok ke laut menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit di mana penduduk diberikan kewajiban menyerahkan upeti.5 Prasasti itu juga menyebutkan adanya kawula, budak, dan orang tebusan di keraton Majapahit yang dikirim dari Gresik: A. Gresik sebagai Penghubung Antarpelabuhan Nusantara dan Jaringan Global …, seorang warga dari Gresik, kerjanya sebagai nelayan, mempunyai utang sejumlah satu kati dua laksa (kira-kira 120.000). Sedapat-dapatnya dia akan memungut bantuan sesama nelayan. Kini mereka, akan bebas dari tuntutan dari negeri (Majapahit). Di galangan ke delapan (kawolu) mereka harus membayar terasi (hacan, belacan) sebesar seribu timbangan, ...6 “ “
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 94 7 Roderich Ptak, “From Quanzhou to the Sulu Zone and Beyond: Questions Related to the Early Fourteenth Century” dalam Journal of Southeast Asian Studies Vol. 29 No. 2 (1992), hlm. 23. 8 Soedjipto Abimanyu, Babad Tanah Jawi, (Yogyakarta: Laksana, 2014), hlm. 465. 9 Usmany, Loupatty, & Wakim, Sejarah Terbentuknya Kota-Kota Dagang di Maluku Tengah dan Pulau Ambon, (Ambon: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006), hlm. 41. 10 Ketika Tome Pires tiba di Semarang satu abad kemudian, ia menyaksikan bahwa Semarang sudah merupakan kota yang dikuasai oleh penguasa muslim yang merupakan wilayah kerajaan bawahan dari Kesultanan Demak. Tom Pires, Suma Oriental, hlm. 258 11 H. J. De Graaf & Th. Pigeud, op.cit., hlm. 173 12 S. Raffles (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1817), hlm,84 Tuban dan Gresik adalah contoh terkenal dari koloni awal bangsabangsa Cina yang melakukan perdagangan lintas negeri. Di pelabuhan inilah perdagangan Cina ke Maluku dan tujuan Indonesia timur lainnya berkumpul.7 Sebelum abad ke-14, hubungan baik antara Cina dan Jawa membentuk jaringan perdagangan baru. Pada masa itu, Babad Tanah Jawi mencatat jika Gresik didirikan dari sebuah bidang tanah yang terlantar, dengan para pedagang Cina yang pertama kali mendudukinya.8 Perdagangan kasawan Asia Tenggara sangat didominasi oleh Cina kala itu. Namun, mereka tidak perlu mengambil risiko besar untuk datang dan berdagang ke kepulauan penghasil rempah seperti Maluku. Mereka cukup menghemat waktu dan datang ke Jawa. Orang Jawa kemudian membawa beras dan kain sutra untuk membeli rempah-rempah dari Maluku. Hubungan yang erat antara Jawa dan Maluku semakin terlihat tatkala Sultan Zainal Abidin dari Ternate mendalami Islam di Gresik pada akhir abad ke-15.9 Apabila Tuban pada abad ke-14 kemungkinan adalah pelabuhan utama Majapahit, maka pada abad ke-15 dan ke-16 dengan Gresik timur. Gresik sebagai kota perdagangan laut yang paling kaya dan paling penting di seluruh Jawa. Merujuk dari catatan Tom Pires yang memuji Gresik sebagai kota para saudagar. Dia membandingkan Gresik dengan keadaan kota Semarang yang telah memiliki 3000 penduduk namun tidak memiliki pelabuhan yang layak.10 yang diadakan oleh kapal-kapal dari Gujarat, Calicut, Bengalen, Siam, Cina, dan Liu-Kiu dengan Gresik, dan perdagangan antara Gresik dan Maluku serta Banda.11 Asal-usul toponimi Gresik sebagai wilayah perbukitan di lukiskan “So called from Giri-sik, in consequence of the hills (giri) running in this part of the Island close to the sea shore (sic)”.12 “ “
BAB VI Peran Pelabuhan Gresik 95 13 D M. Nasruddin, Anshoriy Ch., Negara Maritim Nusantara Jejak Sejarah yang Terhapus (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 6-8 14 Aminuddin Kasdi. Babad Gresik: Tinjauan Historiografis dalam rangka Studi Sejarah, (Surabaya: Universitas Press IKIP Surabaya, 1995), hlm.71 15 Ibid., hlm. 28 16 Lihat Mustakim & Jarwanto, 14 sampai 18 M (Lamongan: Pagan Press, 2019), hlm.113; Mu’jizah, Dari Hitu Ke Barus (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 18. 17 M.A.P Meilink-Roelofsz, dan Sekitar 1630 (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), hlm. 285. 18 W.G Shellabear, Sejarah Melayu. (Petaling Jaya: Fajar Bakti, 1975), hlm. 109-112. Babad Gresik, yang menyebutkan bahwa nama Gresik pernah disebut sebagai “Gerwarasi” yang bermakna ‘bukit tempat beristirahat’.13 Gresik berkembang menjadi kota dagang yang ramai dan menjalin hubungan erat dengan penguasa Malaka, Blambangan, dan Bali.14 Beberapa hubungan itu dibentuk berdasarkan perkawinan, berdasarkan Babad Gresik, pada saat Maulana Iskak mengunjungi Ngampel, (Ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri) mengikat aliansi setelah menikahi putri Blambangan.15 Rempah-rempah sebagai komoditas utama ekspor saat itu menjadi dasar relasi penguasa lokal maupun asing, secara mandiri maupun membina aliansi, dan berupaya untuk menguasainya. Demikian sejak paruh kedua abad ke-15, perdagangan rempah-rempah antara Gresik dengan pelabuhan Ternate, Hitu, Banda, Demak, Tuban, dan Malaka telah terbentuk. Pati Tuban kerap dikirim untuk memperdalam Islam di Gresik, dan membuat kesepakatan dengan Sultan Zainal Abidin sebagai mitra dagang dan politik. Gresik juga kerap disinggahi duta besarnya ke beberapa kerajaan Islam lainnya, seperti Tuban, Jepara, dan Ambon (Hitu).16 Setelah Majapahit Runtuh, kapal-kapal dagang lebih suka berlabuh di Gresik daripada Tuban. Fasilitas pelabuhan yang kurang, banyaknya perompak dan bea cukai yang terlalu tinggi menjadi pertimbangan pelabuhan Tuban mulai ditinggalkan. Banyak saudagar kemudian mengalihkan perhatiannya ke pelabuhan Gresik yang relatif lebih aman.17 Sementara itu hubungan Malaka dengan Majapahit makin menonjol ketika aliansi politik sekaligus mitra dagang dengan penguasa pelabuhanpelabuhan di pantai utara Jawa pada abad ke-14 dan awal abad ke-15.18 Setelah Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511, pusat perdagangan di Selat Malaka menjadi terpecah antara Malaka, Aceh, dan Johor. Portugis bukan hanya berupaya merebut hegemoni di Selat Malaka, melainkan
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 96 19 Johan Wahyudi, Berebut Kuasa Malaka: Relasi Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI-XVII (Tangerang: Pustaka Compass, 2019), hlm. 64-71. 20 Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), hlm. 154. 21 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, (Jakarta: Jambatan, 1983), hlm. 92-95. 22 Loupatty, Wakim, Raman, Palijama, Rahajaan, & Tiwery. Kajian Historiografi Jaringan Niaga Masa Lalu di Maluku Utara, (Ambon; BPNB Maluku, 2020), hlm.125-126. 23 J. Turner, Sejarah Rempah Dari Erotisme sampai Imperialisme (Depok: Komunitas Bambu, 2011), hlm, xxiii-xxvii. 24 M. A. Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku (Depok: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 21. 25 Aminuddin Kasdi, opc it., hlm. 63. juga berupaya menarik minat para pedagang rempah untuk berlabuh ke Malaka.19 Sepanjang penetrasi Portugis atas Malaka yang menggeser dominasi Aceh, Kesultanan Aceh dengan jaringan Islam-nya berhasil mempererat hubungan dagang dengan para pedagang dari Pesisir Utara Jawa utamanya Gresik dan Tuban.20 Hoesein Djajadiningrat, melukiskan jika diperlukan waktu lima belas hari atau setengah bulan lamanya untuk menempuh perjalanan dari pelabuhan Gresik ke Malaka.21 Pada paruh pertama abad ke-16, Portugis berhasil membangun jaringan perdagangan rempah-rempah yang cukup mapan di Nusantara mulai dari Malaka, Demak (kemudian Jepara), Gresik, Tuban, Solor (kemudian Larantuka dan Timor), Makasar, Ambon, Ternate, dan Banda.22 Aroma rempah-rempah turut mengundang Portugis untuk singgah ke rempah-rempah memiliki 188 jenis. Akan tetapi, banyak bahan yang dahulu rempah memiliki ciri berbentuk kecil, tahan lama, bernilai tinggi, dan sulit didapatkan. Rempah-rempah yang dimaksud adalah lada, cengkih, pala, dan jahe.23 Orang-orang Portugis selalu singgah di Gresik sebelum berlayar ke Perairan Maluku. Ada dua pendapat terkait rute pelayaran Portugis ke kepulauan rempah-rempah. Pertama, dari Malaka mereka singgah ke Gresik sebelum berlabuh di Ambon dan Banda. Kedua, mereka berlayar dari Gresik menuju Pulau Buru, Ambon, dan Seram sebelum berlabuh ke Banda.24 Berdasarkan catatan Tom Pires, terdapat seorang penguasa di Gresik bernama Pate Cucuf merupakan seorang keturunan Melayu dari keluarga Kesultanan Malaka.25 Terdapat beberapa pendapat terkait keberangkatan ekspedisi ke Kepulauan Rempah-Rempah. Menurut Andaya (2015: 143), ekspedisi
BAB VI Peran Pelabuhan Gresik 97 26 Ada dua pendapat terkait rute pelayaran Portugis ke Kepulauan Rempah-Rempah. Pertama, dari Malaka mereka singgah ke Gresik sebelum berlabuh di Ambon dan Banda. Kedua, mereka berlayar dari Gresik menuju Pulau Buru, Ambon, dan Seram sebelum berlabuh ke Banda, lihat Amal, op.cit., hlm. 21. 27 L. Albuquerque, Tratado das Ilhas Molucas (Lisboa: Publicacoes Alfa, 1989), hlm,127-128. 28 Ketika Majapahit jatuh, Tuban mengakui kedaulatan Demak sebagai sekutu setia Sultan Pajang, penerus tahta Demak, penguasa Tuban menentang ekspansi wilayah dari Kerajaan Mataram, Lihat kembali, Theodore G. Th. Pigeaud And H. J. De Graaf, op cit., hlm. 14. ini dilakukan di suatu waktu antara November 1511 hingga Januari 1512, sedangkan menurut Galvao (1971: 175), ekpedisi itu dilakukan pada 1512. Orang Portugis singgah di Gresik sebelum berlayar ke Perairan Maluku kemudian transit di Ambon.26 Pelabuhan Gresik dijadikan pelabuhan transit bagi kapal-kapal Portugis yang sedang menuju Banda, Timor, dan Maluku. Hal ini setidaknya direkam oleh kesaksian Kapten Malaka pada Dom Manuel tertanggal 20 Agustus 1518.27 Kekuatan Barat lain, yakni VOC, mulai melakukan ekspedisi rempahrempah di kepulauan Nusantara secara bertahap di Jawa. Monopoli perdagangan Lada di Pantai Utara Jawa kemudian benar-benar hanya dikuasai oleh VOC. Di masa ini, pelabuhan Gresik memiliki interkoneksi yang baik dengan pelabuhan Seram dan Buton, utamanya mendapat sejumlah pasokan kapal dari Seram Timur untuk diperdagangkan kembali. Seram Timur sendiri masih sempat mengirimkan sepuluh buah kapal mereka ke Jawa untuk dijual di Gresik. Dalam perkembangannya, Leran, Sedayu, dan Gresik tumbuh menjadi semakin penting dengan mengambil keuntungan dari kemunduran peran Tuban.28 Sebaliknya, bukan hanya pedagang dan pelancong dari Kepulauan Rempah-Rempah atau Gresik saja yang mengadu peruntungan. Pedagang dari Jepara pun berdagang ke Maluku dan Hitu.29 Pelabuhan Hitu kemudian dikenal sebagai pelabuhan transit bagi pedagang Gresik yang hendak ke Maluku atau ke Banda. Hingga akhir era Dinasti Ming, para pedagang Cina juga telah berlabuh di Gresik, bersamaan dengan melakukan perjalanan melalui Laut Sulu untuk menuju Pulau Banda. Mayoritas pedagang berlayar ke Banda pada pertengahan bulan. Para pedagang Muslim Tionghoa, Jawa, dan Melayu, singgah di pelabuhan pantai utara Jawa seperti Tuban, Demak, Gresik, dan Surabaya. Setelah tiba di Banda, mereka membawa beras dari Jawa dan kain India melalui Laut Sulu. Namun, sejak akhir abad ke-14 dan seterusnya, para pedagang Cina tampaknya tidak tertarik pada perdagangan langsung. Mereka lebih memilih memasok rempah-rempah dari pelabuhan perantara.
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 98 30 Roderich Ptak, op.cit., hlm. 327 31 M.A.P Meilink Roelofsz, op.cit., hlm. 440-441 Mayoritas pedagang mulai bertolak mengadakan pelayaran ke Banda di pertengahan bulan (tanggal lima belas). Mereka terdiri dari pedagang Muslim Jawa, keturunan campuran Cina, Jawa, dan Melayu, yang berbasis di pelabuhan pantai utara Jawa seperti Tuban, Demak, Gresik, dan Surabaya. Setelah tiba di Banda, membawa beras dari Jawa dan kain India. Aktivitas pelayaran maritim dan dilakukan antarpulau kemudian menciptakan konektivitas jalur pelayaran dan perdagangan rempah-rempah. Para pedagang kemudian kembali bergerak dari timur ke barat laut Cina Selatan, menyusuri pelabuhan di Filipina utara, sepanjang pantai Vietnam dan Teluk Thailand hingga pantai timur Semenanjung Melayu. Para pedagang dari berbagai etnis membawa barang dalam jung kapal dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Mereka melakukan kontak dengan zona kedua yang berpusat di pelabuhan Tuban, Gresik, Japara, dan Demak di Jawa. Jaringan kelompok-kelompok komersial yang terbentuk akibat persentuhan multirasial yang berbasis di pelabuhan Jawa, memperluas perniagaan ke wilayah kepulauan timur penghasil rempah-rempah. Mereka terhubung dengan pelabuhan barat daya Sulawesi, di sepanjang utara pantai selatan dan timur Kalimantan hingga Pulau Mindanao dan sekitarnya, dan ke arah barat menuju pelabuhan-pelabuhan pantai timur Sumatra.30 Hingga akhir abad 16 M, Gresik merupakan sebuah kota pelabuhan yang paling penting di pesisir utara Jawa karena Gresik menjadi perantara perdagangan rempah-rempah di berbagai negara.31 Peran Gresik sebagai kota dagang yang tumbuh sejak abad ke-14 M dapat membentuk pertumbuhan penduduk di Gresik. Multikulturalisme Gresik terbentuk dari persentuhan berbagai budaya yang berintegrasi dan orang Gresik. Sebagai “rumah” berbagai bangsa, orang Gresik cukup majemuk. Mereka berasal dari berbagai tempat dan bermukim di Gresik dengan beragam alasan; desakan penguasa di tempat asal, mencari suaka politik, ataupun perdagangan rempah-rempah. Walaupun tidak ada kepastian mengenai asal-usul penduduk Gresik, kita dapat mengatakan bahwa penduduk saat ini merupakan perpaduan dari migrasi antarbangsa. B. Unsur-Unsur Kemajemukan Masyarakat Pelabuhan Dagang
BAB VI Peran Pelabuhan Gresik 99 32 Mustakim, Mengenal Sejarah dan Budaya Masyarakat Gresik (Gresik: Dinas P&K Kab. Gresik, 2005), hlm. 14-15. 33 Tim Penyusun Buku Hari Jadi Kota Gresik, op cit., hlm. 19 34 Ong Hok Ham, Riwayat Cina Peranakan di Jawa, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2017), hlm. 2. 35 Leonard Y. Andaya, Selat Malaka dan Perdagangan Etnisitas (Depok: Komunitas Bambu, 2019), hlm. xix. Meskipun Gresik bukan penghasil beras, cengkih maupun pala sebelum abad ke-16, tetapi Gresik telah menjadi pelabuhan transit bagi para saudagar yang ingin bepergian ke Maluku Utara maupun ke Kepulauan Banda. Berita kronik Cina menyebut jika pada abad ke-15 M, Gresik merupakan kota kumuh, kemudian berubah menjadi kota baru yang pernah dihuni oleh 1000 kepala keluarga.32 Penggambaran kota tua Gresik pernah dilukiskan oleh kronik Cina sebagai T’se T’sun yang berarti ‘kampung kotor’. Penyebutan itu kemudian berubah menjadi T’sin T’sun, yang berarti ‘kota baru’.33 silang antar etnis, utamanya etnis Cina dan masyarakat setempat. Apalagi, pada saat itu orang Cina tidak memiliki privilese menikah dengan orang Belanda dan Eropa dalam golongan gubernur Jenderal, sesuatu yang dapat dilakukan oleh golongan bangsawan Bumiputera.34 Perkawinan ini membuka jalan bagi silsilah genealogi dari sumber utama lanskap sosiopolitik masyarakat Muslim di wilayah Gresik. Bahkan, Raden Patah, yang mewarisi darah pedagang dari seorang wanita Tionghoa dengan garis keturunan kerajaan Majapahit, memiliki hubungan yang baik dengan komunitas pedagang Muslim Cina yang tinggal di pelabuhan pantai utara Jawa. Menurut Leonard Y. Andaya35, proses pembentukan kelompok etnik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kuat aktivitas perdagangan. Beberapa elemen dari kelompok-kelompok sosial dibentuk sebagai identitas negeri koloni berdasarkan identitas sipil dan teritorial. Struktur pemerintahan baru ini menjadi dasar penciptaan ruang dan kondisi baru untuk mendatangkan arus migrasi orang-orang kulit putih Eropa, Cina, Jawa, dan Asia lainnya. Perdagangan dan integrasi ekonomi semacam ini merupakan jejaring yang telah terbangun dalam waktu panjang. Menurut H.W. Dick, kajian ekonomi maritim yang melihat pentingnya jaringan perdagangan dalam membentuk pulau-pulau di Nusantara. Jaringan perdagangan kelompok etnik yang melalui media utamanya telah menggunakan transportasi perahu layar, hal
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 100 36 Selengkapnya, baca Howard Dick. “Prahu Shipping in Eastern Indonesia in The Interwar Period” Bulletin of Indonesian Studies Vol. II No. 1 (1989). 37 Pelayaran di Nusantara sangat bergantung pada adanya angin muson. Angin barat terjadi dalam bulan Desember hingga bulan Februari yang memungkinkan kapal-kapal dapat berlayar ke timur. Namun, pada bulan September hingga November berhembus angin timur dan memungkinkan kapal-kapal dari timur dapat berlayar ke barat , lihat Usmany, Loupatty, & Wakim, op.cit., hlm. 27. 38 Winstedt, History of Malaysia, (Singapore: White Lotus Press, 1986), hlm.72 39 Hans-Dieter Evers, “Traditional Trading Networks of Southeast Asia” Archipel No. 35 (1988), hlm. 92 ini yang mendukung pembentukan jaringan perdagangan.36 Pada awal ke-16 di Hindia Belanda, para pedagang yang menggunakan pelayaran perahu layar telah membentuk solidaritas kelompok etnik dan sangat berperan dalam menghadapi monopoli perdagangan kongsi dagang asing. Misal, pedagang etnik seperti Tuban, Gresik, Bugis, Makassar, Buton dan Madura membuat mereka bertahan dalam pelayaran, bahkan mereka menguasai tempat-tempat pelayaran yang tidak terjangkau oleh kongsi dagang asing di Nusantara. Sebagai kota dagang, Gresik bersikap terbuka pada semua kalangan dan bangsa yang datang untuk berdagang. Perdagangan rempah-rempah pada abad modern masih bergantung pada jalur pelayaran maritim dan dilakukan antarpulau37. Winstedt38 mengemukakan jika orang-orang Jawa memiliki keahlian berlayar, tinggal menetap dan dipimpin oleh seorang kepala suku. Pedagang-pedagang Jawa yang membawa beras dan tenunan batik pelekat untuk ditukar dengan cengkih dari kepulauan rempah di timur Nusantara. Jaringan perdagangan yang dimaksud adalah perdagangan antar suatu kelompok etnik yang dibentuk akibat aktivitas perdagangan antarwilayah atau antarkelompok agama yang sama. Bukan karena perdagangan yang didorong karena munculnya persekutuan dagang. Jaringan perdagangan juga dibentuk karena adanya persekutuan dagang yang terus menerus berlangsung; dapat membentuk suatu rute jaringan perdagangan yang ada; dan ketiga adalah jaringan perdagangan yang bisa terjadi karena adanya perubahan-perubahan jaringan perdagangan, yang terjadi pada setiap waktu, baik karena diakibatkan oleh sistem produksi, pasar, maupun karena munculnya pengangkutan-pengangkutan baru.39 Jual beli antara satu orang di suatu pulau dengan orang lain di pulau lain itu telah menciptakan konektivitas, yang selanjutnya dapat disebut sebagai jaringan.
BAB VI Peran Pelabuhan Gresik 101 40 Tiga jaringan global yang dimaksud adalah Nebula Asia, Nebula Portugis, dan Nebula Belanda (Lombard, 1990). Menurut Andaya (2019: xix), seseorang atau kelompok etnik memutuskan bergabung dengan suatu jaringan karena memiliki kesamaan visi dan misi untuk kemudian membentuk jaringan komunitas yang jumlahnya lebih besar juga lebih luas. 41 Leonard Y. Andaya, “The Search for the 'Origins' of Melayu” Journal of Southeast Asian Studies Vol. 32 No. 3 (2001), hlm. 316. 42 Sahusilawane, dkk., "Ambon di Masa Portugis dan Belanda" Bunga Rampai Sejarah Maluku, (Jakarta: Lembaga Penelitian Sejarah Maluku, 1973), hlm. 35—46. Kehadiran tiga jaringan utama40 membuat keragaman Gresik lebih kaya. Dari Asia, orang Gresik bersentuhan dengan budaya luhur Asia: budaya Cina dan budaya Islam. Sedangkan dari kolonial Eropa, orang Gresik berkenalan dengan budaya Eropa, seperti budaya Katolik dan Kristen. Ketiga jaringan tersebut terbentuk karena perdagangan rempahrempah. Dalam periode niaga, dari abad ke-15, Gresik sama halnya dengan kota-kota maritim di Asia Tenggara saling berhubungan satu sama lain. Dalam jaringan perdagangan itu, bahasa Melayu menjadi “bahasa niaga” utama di seluruh Asia Tenggara. Persebaran bahasa Melayu erat kaitannya dengan kemunduran Majapahit dan kemunculan kesultanan Malaka.41 Pada abad ke-16, Gresik juga menjalin hubungan yang erat dengan Ambon dan Maluku Utara. Akibat perdagangan dengan pedagang dari Jawa (Tuban, Gresik, dan Jepara), pada paruh kedua abad ke-15, wilayah Hitu menjadi kerajaan Islam dan mengikat aliansi dengan beberapa kerajaan Islam di Nusantara. Beberapa diplomat kerajaan di timur itu dikirim ke Gresik.42 Akibat perdagangan rempah-rempah, juga terjadi pertemuan global di mana orang Cina, Arab Hadrami, Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang mencari keuntungan perdagangan di Gresik. Di Malaka, sebagian besar pedagang Jawa menetap dan tinggal membentuk komunitasnya masing-masing. Para pedagang Gresik bermukim di pinggir kawasan Bandar Hilir. Kelompok pedagang yang lain berasal dari Tuban, Japara, Sunda, dan Lampung, banyak dijumpai di kawasan Upeh. Namun, di antara para pedagang Jawa itu, golongan pedagang dari Keling, dan Cina, tampaknya lebih makmur dan kedudukan mereka dijunjung tinggi oleh penguasa Malaka. Pedagang Jawa mengkhususkan diri dalam impor bahan makanan, seperti beras untuk memberi makan penduduk Malaka dan untuk menyediakan kapal di Malaka. Seperti umumnya orangorang Jawa, masyarakat Melayu di tanah semenanjung Malaka adalah pengonsumsi beras sebagai bahan pokok. Pedagang Gresik pandai membaca peluang dalam hal memasok beras dari Jawa. Mereka memahami jika Malaka tidak memiliki cukup persediaan lahan untuk menghasilkan beras
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 102 43 Roederich Ptak, “The Northern Trade Roude tot he Spice Islands: South China Sea-Sulu Zone-Northern Moluccas (14th to early 16th Century)” Jurnal Archipel Vol. 43 (1992), hlm. 310-311. 44 Mustakim, Gresik dalam Lintas Lima Zaman (Gresik: Pustaka Eureka, 2010), hlm. 15 45 Soedjipto Abimanyu, opc cit., hlm. 464 46 J. A. B. Wisellius, "Historisch Onderzoek, Naar de Gestelijke en Wereldlijke: 54 Suprematie Van Grisse op Midden en oost Java Gedurende De 16 En 17E Eeuw" Tijdschrift (1976), hlm. 471-501. 47 Aminuddin Kasdi, op.cit., hlm. 89 sebagai kebutuhan pangan lokal. Selain beras, orang Jawa juga menyuplai rempah-rempah Nusantara ke Malaka. Lambat laun semakin bertambahnya pendatang, beberapa saudagar Jawa dan pedagang Melayu yang tinggal di sepanjang pantai Malaka ikut menjual produknya di pelabuhan pantai utara Jawa.43 Catatan mengenai jumlah penduduk di pelabuhan Gresik pada masa kolonial menyebut jika tahun 1915 Masehi, menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang mendiami kota Gresik adalah 26.000 jiwa, penduduk pribumi dan Madura 23.270 jiwa, bangsa Cina 1.600 jiwa, bangsa Arab dan Benggali 1000 jiwa, dan Eropa 130 jiwa.44 Gresik dalam banyak literatur sejarah disebut sebagai kota pertama di Jawa yang telah mengalami islamisasi. Bukti historis terkait keberadaan komunitas Islam di Gresik adalah adanya makam para ulama seperti Malik Ibrahim dan Maulana Maghfur beserta pengikutnya. Sebagai pelabuhan komersil utama, ramainya pelabuhan Gresik telah banyak pedagangpedagang asing yang singgah di Gresik dengan tujuan berdagang sekaligus berdakwah, khususnya pedagang Muslim.45 Dari interaksi sosial itulah para pedagang Islam atau para mubaligh menyebarkan agama Islam, sehingga ketika Giri jatuh ke tangan Mataram pada tahun 1635,46 kota Gresik telah beralih menjadi pusat persebaran agama Islam di Jawa, setelah Malaka. Meskipun para pedagang Muslim itu gagal dalam mengislamkan raja Majapahit, tetapi mereka memperoleh izin untuk menyiarkan Islam. Bahkan, Majapahit mengangkat Maulana Malik Ibrahim sebagai syahbandar, sejak saat itu silih berganti para pedagang berlabuh di Gresik bersama kapal dagangnya.47 Menurut Pitono, yang dikutip oleh Aminuddin Kasdi, penguasa Majapahit pada masa itu mengangkat Maulana Malik Ibrahim sebagai syahbandar pelabuhan Gresik pertama dengan hadiah C. Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat Gresik
BAB VI Peran Pelabuhan Gresik 103 48 Aminuddin Kasdi. Kepurbakalaan Sunan Giri. (Surabaya: Unesa University Press, 2005), hlm. 22. 49 B. J. O. Schrieke, op cit., hlm. 25 50 B. J. O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies (The Hagues; Bandung, 1957), hlm. 18-19. 51 Kenneth R. Hall, op.cit., hlm. 468 52 R. Z. Leirissa, Maluku Dalam Perjuangan Nasional (Jakarta: Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1975), hlm. 7. wilayah di sekitar pelabuhan tersebut. Mekanisme pengangkatan seorang syahbandar dipengaruhi oleh banyaknya para komunitas pedagang Muslim di Gresik, sedangkan para pedagang itu hanya mau dipimpin oleh sesama orang Muslim.48 Kehadiran orang-orang Islam di Jawa bagian timur juga merupakan imbas penetrasi politik yag dilakukan oleh Sunan Giri sebagai penguasa Gresik. Pada tahun-tahun ini ekspansi Islam tidak dapat lagi dihalangi oleh kekuatan Hindu reaksioner yang masih mengakar di wilayah pedalaman Majapahit. Jejak peninggalan Islam terlihat dari nisan Makam Malik Ibrahim di Gresik, berangka 822 Hijriyah, atau 1419 Masehi. Pangeran Giri juga melebarkan pengaruh politiknya yang luas hingga sampai ke Ternate. Gresik dengan demikian menjadi “Malaka” Jawa bagian timur. Dalam Het Boek Van Bonang, disebutkan jika pada tahun 1523 sudah ada populasi Muslim mapan dengan jumlah pemeluknya sekitar 30.000 orang. Namun, pada akhir abad ke-16, perdagangan di pelabuhan Tuban lumpuh, Gresik kemudian tampil menggantikan peranan Tuban.49 Pada paruh kedua abad ke-15, akibat menjalin hubungan perdagangan dengan Gresik, pelabuhan Nusantara di wilayah timur seperti Ternate, dan Ambon menjadi kerajaan Islam dan mengikat aliansi dengan beberapa kerajaan Islam di Nusantara. Orang Hitu dan Ternate menyebut Sunan Prapen dengan nama Raja Bukit dan memperoleh dukungan dari penduduk setempat.50 Pada abad ke-16, islamisasi yang berakar dari Gresik telah menguasai masyarakat akar rumput di Maluku melalui pengaruh pedagang Muslim. Mayoritas pedagang yang melakukan perjalanan ke Banda adalah Muslim Jawa dan Cina yang berbasis di pelabuhan pantai utara Jawa seperti Tuban, Jaratan, Gresik, dan Surabaya.51 Wilayah kepulauan lain seperti Leihitu dan Hatuhaha mendapatkan pengaruh islamisasi dari kerajaan Ternate dan Tidore. Masyarakat dalam kedua kerajaan ini mempunyai hubungan kerja sama politik dan ekonomi.52 para pedagang Belanda menunjukkan bahwa pelabuhan Gresik mulai
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 104 53 M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm 33-35. 54 B. J. O, Shrikke, hlm. 30-31. 55 H. J De Graaf, De Geschiedenis Van Ambon en de Zuid Molukken (The Netherlands: Uitgeverij T. Wever B.V, 1977), hlm. 2. 56 Ibid, hlm. 40 57 Manusama, Disertasi di Universitas Leiden (1977), hlm. 176. menunjukkan geliatnya dengan pesat.53 Hoesein Djajadiningrat menyebut jika komunitas penduduk Muslim di wilayah pesisir Jawa secara bertahap semakin bertambah. Orang-orang pribumi kaya dan para penguasa lokal mengakomodir tempat tinggal penduduk Muslim di kawasan tenggara Gresik (ilir). Ketika di Gresik telah terbentuk komunitas Muslim pelabuhan yang telah mapan, sekitar tahun 1511 wilayah pelabuhan lain semacam Palembang, Sunda, Japara, dan Tuban belum memeluk Islam.54 Di Gresik, terdapat elemen penting di mana unsur-unsur spiritualitas Islam lebih kuat dibanding Tuban. Sekitar 1500 orang ulama telah menetap di sana, yang sangat berpengaruh dan berhasil menyebarkan agama Islam di kepulauan Nusantara.55 Pemimpin spiritual mereka di Jawa, Pangeran Giri, adalah seorang ulama Muslim sangat ingin menyebarkan Islam di timur Indonesia. enam kapal mereka muncul di teluk Ambon dan hampir mengejutkan orang-orang Portugis. Namun, orang Ambon yang setia berhasil mengusir orang-orang Gresik.56 Menurut Rumphius (1910: 8), pasukan Jawa itu berasal dari Gresik. Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu juga merekam bala bantuan dari Gresik tersebut. Namun, dia tidak menjelaskan bala bantuan dari Jawa bagian mana armada itu datang. Rijali hanya berujar: Namun, dalam sebuah kronik berjudul A Capitania de Amboina yang tersimpan di BNL, Fundo Geral Numero 474, menjelaskan bahwa armada dari Jawa dikirim oleh Ratu Jepara bala bantuan itu berasal. Maka, ada kemungkinan besar pasukan Jawa yang dimaksud adalah pasukan Hatta dia (Kiyai Mas) datang ke tanah Hitu dan orang Hitu pun ke dalam negeri. Maka, negeri ke dalam kotanya dan orang Hitu pun mengikut belakangnya sehingga datang ke pintu kotanya. Maka, panglimanya yang gagah itu syahid maka patah perang Islam itu.57 “ “
BAB VI Peran Pelabuhan Gresik 105 “ gabungan antara Gresik dan Jepara. Pada zaman keemasan perdagangan Asia Tenggara, yang Anthony Reid the age of commerce,58 pantai utara Jawa terutama memasok beras ke luar Jawa, seperti Kepulauan Maluku dan bahkan Malaka. Para pedagang Jawa membeli berbagai produk seperti rempah-rempah dan berbagai jenis hasil hutan (kamper, kemenyan, gambir, kayu cendana, dan sebagainya).59 Gambaran awal abad ke-15 tentang hubungan pelabuhan Tuban, Gresik, dan Malaka sebagai pusat perdagangan dilukiskan oleh Ma Huan: D. Pertukaran Komoditas Beras dan Rempah-Rempah … para pedagang "Jawa" di Malaka adalah muslim yang terhubung dengan pelabuhan pasisir pantai utara Jawa yang makmur dan diwakili oleh syahbandar mereka sendiri. Mereka termasuk saudagar keturunan Tionghoa yang berbasis di Jawa dan beberapa pedagang nomaden Melayu campuran. Kapal-kapal "Jawa" tidak hanya berlayar ke Jawa, tetapi juga ke Sumatra, Kalimantan, Maluku, Banda, dan Luzon di Filipina. Sebagian besar saudagar "Jawa" tinggal di pinggir wilayah Bandar Hilir dengan pimpinannya Tuan "Colascar", yang berasal dari Gresik. Kelompok lain, yang berasal dari Tuban, Japara, Sunda, dan Lampung, tinggal di kawasan Upeh bersama kepala suku Utimuti Raja, tetapi terpisah dari kantong pemukiman Keling, Cina, dan Gujarati. Seperti yang ditunjukkan oleh keresidenan preferensial mereka, kelompok kedua ini tampaknya lebih makmur daripada yang pertama, atau setidaknya dijunjung tinggi oleh penguasa Malaka. Pedagang "Jawa" mengkhususkan diri dalam impor bahan makanan, seperti beras, untuk memberi makan penduduk Malaka dan menyediakan kapal, karena Malaka tidak memiliki lahan yang berdekatan untuk memasok kebutuhan makanan lokal. Orang "Jawa" juga memasok Malaka dengan rempah-rempah Indonesia. Akhirnya, beberapa pedagang nomaden "Jawa" skala 58 Lihat Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 – 1680, Volume I: The Lands below the Winds (New Haven, London: Yale University Press, 1988). Volume II: Expansion and Crisis (New Haven, London: Yale University Press, 1993). 59 Singgih Tri Sulistyo, Peran Pantai Utara Jawa dalam Jaringan Perdagangan Rempah, yang diakses melalui http://eprints.undip.ac.id/60531/ pada 29 September 2021 pukul 03.03 WIB, hlm. 13
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 106 60 Mills, J.V.G, Ma-Huan, (1433), dalam, Kenneth R. Hall, “Multi-Dimensional Networking: Fifteenth-Century Indian Ocean Maritime Diaspora in Southeast Asian Perspective” Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 49, No. 4 (2006). 61 Mills, ibid, 1970, hlm. 104 62 Kenneth, R. Hall, op.cit, hlm. 10 63 Meilink-Roelofsz, 1962, op.cit, hlm. 103 Catatan Het Boek van Bonang disebutkan pusat komersial rempah abad ke-15 berada di dekat jalur dari Madura, sebagai pintu masuk ke Pulau Jawa. Pada tahun 1300, sumber Cina melaporkan bahwa wanita bertanggung jawab atas perdagangan pasar lokal di seluruh wilayah Gresik.61 Pada masa itu, perempuan telah mengambil peran penting dalam aktivitas perniagaan pasar lokal. Sementara itu, para laki-laki biasanya mendominasi perdagangan grosir skala besar dan berbasis pelabuhan. Seiring berjalannya waktu Gresik yang merupakan pelabuhan terbuka menjadi persinggahan kapal-kapal laut. Kedatangan para saudagar Islam membuat perdagangan Gresik berkembang pesat. Terutama setelah ulama ini diangkat sebagai syahbandar. Salah satu syahbandar perempuan yang terkemuka akibat kepiawaiannya berdagang di pelabuhan utama Gresik adalah Nyai Gede Pinateh. Dia seorang Muslim keturunan Sumatra, Cina, atau Khmer, yang hidup tahun 1500.62 Selanjutnya, dalam Babad Gresik juga memberitakan bahwa di Gresik hidup seorang saudagar kaya yang merupakan istri seorang patih dari Kamboja. Setelah pelabuhan-pelabuhan di pantai utara membangun kedaulatan politiknya, di mana para penguasanya sebagian kemudian masuk Islam, Gresik dan Tuban masih mempertahankan hubungan yang erat dengan Kerajaan Majapahit. Tuban dan Gresik adalah dua pelabuhan utama yang paling penting pada abad ke-15. Sebagian besar keramaian kedua pelabuhan itu berasal dari topangan aliansi perdagangan yang kuat dengan wilayah-wilayah pedalaman Jawa. Gresik dan Tuban berhasil mengamankan pasokan komoditas beras yang diperoleh dari pedalaman. Beras Jawa itu lantas ditukar dengan rempah-rempah dari pulau penghasil rempah di timur Nusantara. Mereka juga mengirim beras Jawa dan rempah-rempah itu ke Malaka.63 Beras Jawa diminati oleh para syahbandar Keling yang memiliki otoritas atas semua pedagang dari wilayah teluk Benggala. Utamanya pada periode Mei—Oktober, merupakan musim kemarau pada saat para “ kecil tinggal di perahu kecil mereka di sepanjang garis pantai Malaka dan menjual hasil mereka di pasar Jawa.60
BAB VI Peran Pelabuhan Gresik 107 64 J. Knaap Gerrit (Leiden: KITLV Press, 1996), hlm. 2. 65 Meilink-Roelofsz, op.cit., hlm. 103-105 66 Aminuddin kasdi, op.cit., hlm. 29 petani di Jawa panen padi yang menjadi salah satu komoditi penting perdagangan maritim di pantura Jawa.64 Mereka membawa pulang beras Jawa dan rempah-rempah setelah menukarnya dengan tekstil ke Malaka. Meilink Roelofz menyebut jika otoritas pedagang-pedagang Keling di putri Tamil. Saudagar Keling yang kuat di Malaka menjalin hubungan aliansi perdagangan dengan saudagar Muslim Tionghoa di pelabuhan Gresik. Mereka menguasai monopoli perdagangan lokal dalam pengiriman pala dan cengkih dari Banda dan Maluku, Siam, Bengal, Palembang, Pegu (Myanmar). Mereka juga mengirim rempah itu ke wilayah Cina.65 Pada abad ke-19 M, kota Gresik menjadi sepi dan Gresik mulai redup yang menyebabkan berkurangnya peran pelabuhan saat itu. Cerita tentang masa akhir dan keruntuhan Gresik termuat dalam Babad Gresik, sayangnya Babad Gresik tidak secara pasti disebut angka tahun keruntuhannya. Kemunduran pelabuhan Gresik utamanya terjadi pada saat masa pemerintahan Pangeran Singosari hingga Pangeran Mas Singo. Pada masa itu, kerap timbul perselisihan politik dari dalam pemerintahan. Namun, keruntuhan Giri salah satunya dikatakan akibat peristiwa penyerbuan Tandes, oleh Tumenggung Jayanegara Kasepuhan antara 1671 Jawa atau 1745 M. Penyerbuan itu akibat keterlibatan Giri di bawah Panembahan Agung dan Pangeran Mas Witono dalam Perang Trunojoyo.66 Sama seperti kemunduran Tuban ketika VOC berhasil menaklukkan Mataram pada abad ke-17, Giri jatuh akibat diserbu oleh Bupati Gresik yang dibantu oleh VOC. Perlahan pusat industri dan perekonomian digantikan peranannya oleh Surabaya. Jaringan pelayaran Surabaya semakin berkembang meliputi pelabuhan-pelabuhan di Jawa, Bali, Bima, Banjarmasin, Pasir, Mempawah, Sambas, Palembang, Makassar, Mandar, Malaka, Riau, Johor, Makassar, Mandar, dan Trengganu.
109 1 Lihat T. Tomio, "A Study on the Kingdom Galuh: By Analizing the Indonesia Social Structure" Second International Symposium on Humanities, Linguistics and Histoty, Yogyakarta, 1993. 2 Sunarto Timoer, Mitos Cura- Bhaya, Cerita rakyat sebagai sumber penelitian Sejarah Surabaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hlm. 22- 29. 3 K. S. Behera, “Ancient Orissa/ Kalinga and=Indonesia: The Maritime Contacts” dalam Benudhar Patra, Odisha Revie, November, 2013, hlm,56. 4 Supratikno Raharjo, Hubungan Ekonomi dan Politik antara Pusat dan Pinggiran: Kasus Tuban pada Masa Pra-Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), hlm.19-20. BAB VII PERAN PELABUHAN SURABAYA Adan pusat aktivitas ekonomi di Pulau Jawa, dapat dihubungkan dengan penyebutan nama Hujung Galuh, sebagai sebuah nama kerajaan yang disebut-sebut dalam sumber kronik-kronik Cina pada masa Dinasti Tang (618—906 M).1 Kata “Ho-ling” yang oleh orang Cina maksud, ditransliterasikan oleh beberapa sejarawan sebagai kata Sansekerta ‘Kalu’ atau ‘Galuh’. Beberapa sejarawan melalui pendekatan toponimi mencoba menghubungkan letak Galuh tersebut dengan Kerajaan Kalinga di sekitar Surabaya dan Gresik, merujuk nama kampung Galuhan di sekitar jalan Pawiyatan, yaitu antara jalan Bubutan dan jalan Semarang di Surabaya.2 Jika merujuk pada sumber Buddha teks Buddhis Aryamanjusrimulakalpa, menyebutkan bahwa laut di sekitar Jawa, pada masa lalu dikenal sebagai “Laut Kalinga” atau Kalu (Galuh), sering disinggahi oleh berbagai kapal.3 Keterangan tersebut bersesuai dengan kondisi Pulau Jawa di abad ke-11. Kerajaan Kadiri sangat bergantung pada pelabuhan dagang Hujung Galuh yang terletak di muara Kalimas, salah satu anak Sungai Brantas sebagai Pelabuhan penyangga pusat (Keraton) dan wilayah Negari Agung.4 Delta Brantas yang terletak di Surabaya dan Sidoarjo mempunyai peran sentral dalam membangun perekonomian. Hal itu terjadi karena adanya dua lokasi strategis yang saling berhubungan. Lokasi yang pertama yaitu Delta Brantas, yang kedua adalah pelabuhan Hujung Galuh. Catatan tertua peradaban di Delta Brantas tertulis dalam Prasasti Kuti (840 M) yang menuliskan tentang penganugerahan sima swatantra. Dengan bergelar A. Era Prakolonial
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 110 5 N.J Krom (S’Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1926), hlm. 261. 6 Ninie Susanti, Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa. (Depok: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 219-220. 7 Slamet Mulyana, Tafsir Sejarah Negarakertagama, (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. 56 8 De Casparis, "Airlangga" Pidato Peresmian Djabatan Guru Besar dalam Mata Peladjaran Sedjarah Indonesia Lama dan Bahasa Sansekerta pada Perguruan Tinggi Pendidikan (Surabaya: Penerbitan Universtas, 1954), hlm. 19-20 9 Istilah Wanua adalah sebuah daerah yang setingkat dmerujuk pada pemerintahan pedukuhan atau desa. Wanua atau watek berada di bawah struktur pemerintahan pusat (kraton). Lihat Heru Soekadri K, “Partisipasi Pelabuhan Niaga Hujung Galuh dalam Lintasan Jalan Sutera (Suatu Kajian Awal)”. Pidato Pengukuhan Guru Besar (Surabaya: IKIP Surabaya, 1996), hlm. 7. sima maka penduduk di Delta Brantas tidak diwajibkan membayar pajak kepada kerajaan, tetapi mengalokasikan dana khusus untuk keperluan peribadatan umat Buddha. Pada masa Mataram Kuno, Hujung Galuh atau yang kelak menjadi Surabaya merupakan salah satu wilayah pelabuhan yang penting. N.J Krom (1926) berpendapat bahwa lokasi Hujung Galuh terletak dekat muara Sungai Brantas. Hujung Galuh menjadi tempat kapal-kapal asing dan kapal-kapal lokal berlabuh dan melakukan aktivitas bongkar muat.5 Biarpun masih menjadi perdebatan tentang di mana letak Hujung Galuh, tetapi hampir seluruh arkeolog dan sejarawan sepakat bahwa Hujung Galuh merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal dan aktivitas bongkar muat. Ninie Susanti (2010) menjabarkan dalam bukunya bahwa Hujung Galuh merupakan salah satu pusat perdagangan laut.6 Nama Hujung Galuh juga disebut dalam kronik berita Cina pada abad ke-15 sebagai Chung-Kia-Lu yang terletak di muara sungai Kalimas. Kronik itu juga menyebut letak pelabuhan You-Tong di muara kali Porong yang menghadap ke selat Madura, dan Tapan yang terletak di sebelah timur Hujung Galuh. Menurut Slamet Mulyana, Tapan merupakan transliterasi dari Sampang di Pulau Madura.7 Menurut Casparis, Hujung Galuh (Surabaya) didirikan oleh Airlangga sebagai pelabuhan khusus memuat barang-barang dari pulau lain untuk diperdagangkan.8 Sementara G.H. von Faber berpendapat bahwa Surabaya didirikan oleh Raja Kertanegara pada 1272 M. Heru Sukadri menyebutkan bahwa berdasarkan kronik dinasti Yuan berangka tahun 1293 M, kitab Pararaton, Kidung Harsyawijaya, dan tamraprasasti Sangsang berangka tahun 907 M, Hujung Galuh telah memiliki struktur administrasi pemerintahan wanua atau paraduwan dipimpin oleh seorang rama (kepala desa).9
BAB VII Peran Pelabuhan Surabaya 111 10 Periksa kembali, F. Sutterheim (1924, hlm. 148-150), dalam “A.S Wibowo, Negarakertagama dan Trowulan,” hlm.17 11 Susanto Zuhdi, "Perspektif Tanah-Air dalam Sejarah Indonesia" dalam Pidato Pengukuhan (Jakarta, 25 Maret 2006), hlm. 15, periksa juga Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi, dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: LP3ES. 1982), hlm. 42-43. Permukiman baru itu terletak di sebelah utara Glagah Arum, dengan batas Kalimas di sebelah barat dan Kali Pegirian di sebelah timur. Sumbersumber tertulis tertua lain yang juga dapat diharapkan melacak asal-usul nama Surabaya disebut dalam prasasti Trowulan I, yang berangka tahun 1358 M. Menurut F. Sutterheim, kelak pada awal perkembangan transportasi di Surabaya, batu-batu di candi lima yang didirikan di Trowulan, ibukota Majapahit, digunakan sebagai pondasi pembangunan rel kereta api yang menghubungkan jalur Surabaya-Madiun-Kertosono-Blitar.10 Nama Surabaya dan Buwan (Bawean) juga disebut dalam Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365 M, ketika Raja Majapahit Hayam Wuruk (1352—1389) melakukan perjalanan (desawarnana) meninjau wilayah kekuasaannya di Jawa bagian timur, sebagai berikut:7 Sebelum abad ke-10, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa bagian timur, di daerah muara Kali Brantas oleh Mpu Sindok. Pola permukiman di Hujung Galuh pada masa Hindu-Buddha tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, pada umumnya pola permukiman biasanya mengikuti pola konsentris di beberapa kerajaan dan wilayah lainnya di pusat-pusat kekuasaan ibu kota (kraton), yakni wilayah pusat adalah kerajaan wilayah inti (negara agung), kemudian mancanegara, daerah luar (pesisir), dan tanah sabrang.11 Untuk melancarkan aktivitas ekonomi penduduk, Airlangga memutuskan untuk membangun tanggul. Keputusan ini berdasarkan pengalaman bahwa Delta Brantas yang menjadi dwitunggal dengan Hujung “… i trung, i kambangan cri, i tda, i gsang, i bukul, i curabhaya, muwuh praharaning nadisira pradaca athananing anambangi i madansen” (di Terung, Kambangan Sri, Teda, Gesang, Bukul, Surabaya, demikian pula halnya desa-desa tepian sungai tempat penyeberangan [seperti] Madansen). “… Yan ring Janggala lot sabha nrpati ring Surabhaya manulus maring Buwun …” (dikunjungi jika di Jenggala tinggal di Surabaya terus ke Buwun). “ “ “ “
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 112 12 Soeparmo, Pemerintah Kabupaten Tuban dalam Untaian Sejarah: Disusun Dalam Rangka Memperingati Hari Jadi Tuban ke 712. (Mojokerto: BPCB Mojokerto, 2005), hlm. 50. 13 Sayangnya dalam rencana pernikahan ini, semuanya gagal total ketika Gajah Mada memustuskan untuk membantai rombongan Prabu Linggabuana. Selengkapnya baca Yeni Mulyani Supriatin, “Perang Bubat, Representasi Sejarah Abad Ke-14 dan Resepsi Sastranya” Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018, hlm. 56. Galuh kerap terjadi banjir. Dalam prasasti Kamalagyan tertulis bahwa banjir terjadi karena dua sebab dominan, yaitu curah hujan tinggi dan pasangnya air laut. Desa-desa yang terdampak merupakan desa produktif yaitu desa Pangkaja, Talan, Panjiganting, Lasun, Sijanatyesan, Dasapangkah dan Palinjwan. Jika ini tidak segera ditindaklanjuti, maka penduduk tidak akan mampu membayar pajak yang mengakibatkan kerugian pada kerajaan. Akhirnya, pada tanggal 11 November 1037, tanggul itu selesai dibuat dan diresmikan oleh Raja Airlangga. Untuk menjaga stabilitas ekonomi pada masa Kerajaan Kahuripan, Raja Airlangga menempatkan pelabuhan Hujung Galuh sebagai pelabuhan bebas. Potensi ekonomi yang bisa diproduksi benar-benar dijaga dengan cara memperbaiki saluran Sungai Brantas sebagai jalur ekonomi menuju pedalaman Jawa. Posisi pelabuhan Hujung Galuh mempunyai peran berbeda dengan pelabuhan Tuban. Jika di Hujung Tuban difokuskan untuk perdagangan antar negara, maka Hujung Galuh berperan sebagai pelabuhan antarpulau.12 Hujung Galuh berperan sebagai pintu masuk untuk menuju ibu kota Majapahit yang sekarang terletak di Trowulan, Mojokerto. Kapalkapal besar melakukan bongkar muat di Hujung Galuh dan memindah muatannya ke perahu lebih kecil. Dengan perahu kecil ini, para pedagang bisa menelusuri jalur sepanjang Sungai Brantas untuk sampai di ibu kota kerajaan. Tidak berhenti di situ saja, fungsi pelabuhan Hujung Galuh juga digunakan untuk mengantar tamu-tamu agung menuju ibu kota Majapahit. Dikisahkan ketika Hayam Wuruk (1350—1389) akan menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi, rombongan dari Kerajaan Sunda Galuh berlabuh di pelabuhan Hujung Galuh. Rombongan Prabu Linggabuana (1350—1357) disambut oleh perwakilan kenegaraan untuk kemudian diantar menggunakan perahu menuju Trowulan. Rombongan dari Kerajaan Sunda Galuh akhirnya tiba di Bubat dan menunggu jemputan Hayam Wuruk.13 Pada kurun waktu abad ke-13 hingga abad ke-16 jalur utama perdagangan internasional di Nusantara meliputi sebuah garis yang saling
BAB VII Peran Pelabuhan Surabaya 113 14 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 10-11 15 H.J de Graff, Puncak Kekuasaan Mataram. Politik Ekspansi Sultan Agung (Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986), hlm.13. 16 HP. J. Veth (Harlem: De Erven F. Bohn, 1882), hlm. 845. 17 Disertasi (Yogyakarta: PPS UGM UGM, 1983), hlm. 2-3 18 Bahkan Rumah-rumah milik orang Arab dibangun dengan bahan tembok yang terbuat dari batu bata dan dikombinasikan dengan kayu. Pemukiman mereka berada di sekitar masjid dan makam Orang-orang Arab di Surabaya saat itu mayoritas berprofesi sebagai sebagai pedagang dan rentenir yang suka memberikan pinjaman berbunga pada orang-orang bumiputera. Lihat L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara. (Depok: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 107; lihat juga Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an. (Tangerang: Marjin Kiri, 2013), hlm. 63. 19 Uka Tjandrasasmita, dikutip dari M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern. Diterjemahkan oleh Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 3.4 terkoneksi. Menurut Ricklefs, rempah-rempah adalah komoditas utama Nusantara. Untuk mendistribusikan rempah-rempah, terbentang “jalur rempah” yang meliputi pesisir-pesisir Sumatra di Selat Malaka, pesisir utara Jawa termasuk Surabaya menjadi bagian di dalamnya, Brunai, Sulu dan Maluku.14 D yang memiliki tembok dan separuhnya lagi dikelilingi baluwerti (benteng) yang dikelilingi parit indah. Di antara tembok dan parit berdiri tanggul yang kuat. Benteng-benteng kecil berbentuk bujur sangkar dengan kokoh. Panjang benteng yang mencapai 30 km dari Kalimas dilengkapi dengan 10—12 meriam untuk pertahanan kota, sehingga kota dapat dipertahankan, jika ada serangan. Panjang benteng 30 km lebih itu terletak di kedua sisi Kalimas.15 Stabilitas keamanan wilayah Ampel menyebabkan perkembangan beberapa komunitas tumbuh beragam untuk bermukim. Surabaya sebagai pusat kekuatan politik dan ekonomi dapat ditelusuri dari perkembangan wilayah kampung Ampel Denta, yang berdekatan dengan muara Kalimas cabang muara bagian utara sungai Brantas.16 Orang Arab membuka kampung Arab sekitar Masjid Sunan Ampel. Etnis Arab yang datang ke Surabaya itu sebagian besar berasal dari Hadramaut.17 Menurut Uka Tjandrasasmita, orang-orang Arab datang ke Surabaya tidak terlepas dari faktor ekonomi18, yakni mencari jenis mata pencaharian baru sebagai pedagang. Aktivitas itu diikuti pula dengan menyebarkan agama Islam.19 Pada abad ke 15, Malaka telah menjelma sebagai pelabuhan besar seiring dengan melemahnya Majapahit. Pada 1377, seorang pangeran dari
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 114 20 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 28 Palembang bernama Parameswara berhasil tiba di Malaka. Dia kemudian menjalin kerja sama dengan para perompak dan orang laut untuk mendirikan pelabuhan yang memungkinkan kapal-kapal besar berlabuh. Parameswara kemudian memutuskan untuk memeluk agama Islam pada masa akhir kepemimpinannya (1390—1413/14). Memang ada banyak teori tentang mengapa Parameswara, yang kemudian mengganti namanya menjadi Iskandar Syah, memeluk Islam. Namun pasti, kepindahan dari Hindu-Buddha menjadi Islam semakin menarik minat pedagang Muslim untuk bersinggah di pelabuhan Malaka.20 Pelabuhan Malaka kemudian menjalin kerja sama ekspor-impor dengan negara-negara lain termasuk Jawa. Tome Pires menuliskan trayektrayek yang tercakup dalam aktivitas tersebut. Khusus Jawa bagian timur, Malaka menjadi pemasok komoditas-komoditas kebutuhan pokok seperti tertuang dalam tabel berikut: Keterangan: Tabel disadur ulang sendiri oleh tim peneliti dari catatan Tome Pires. Sumber: karya Tome Pires (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2018)
BAB VII Peran Pelabuhan Surabaya 115 21 Ibid, hlm. 30 22 K.N. Chaudhuri, Rise of Islam to 1770 (Cambridge: Cambridge University, 1989), hlm. 10-12.15 H.J de Graff, Puncak Kekuasaan Mataram. Politik Ekspansi Sultan Agung (Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986), hlm.13. 23 Shellabear (Ed), Sejarah Melayu. (Kuala Lumpur: DBP, 2016), hlm.105 24 pengantar untuk menyebarkan Katolik di kawasan Asia Tenggara. Para misionaris berkebangsaan Portugis, Spanyol, Italia, dan Belanda juga menggunakan bahasa Melayu, lihat J. T. Collins, Bahasa Melayu Bahasa Dunia Sejarah Singkat (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2005), hlm. 32. 25 H. J. de Graaf dan Th. D. Pigeaud (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1974), hlm. 156. Sistem perdagangan laut Nusantara yang eksis sejak periode prakolonial sudah membentang hingga tanah Afrika. Jalur rempah itu terangkai menjadi satu kesatuan dan merupakan jalur perdagangan terbesar di dunia pada saat itu. Jalur itu terangkai ke barat meliputi Malaka, India, Persia, Arab, Syiria, Afrika Timur dan Laut Tengah. Ke utara hingga Siam dan Pegu; dan ke timur meliputi Cina dan Jepang (?).21 Sementara orang Melayu yang banyak datang dari pelabuhan Malaka membentuk kampung Melayu di sebelah utara Kembang Jepun dan Pasar Pabean.22 Malaka saat itu memang menjalin aliansi politik sekaligus mitra dagang dengan Majapahit, penguasa pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa pada abad ke-14 dan awal abad ke-15.23 Kedua poros maritim itu menjelma menjadi pemasok rempah-rempah utama bagi para pedagang Cina. Dalam periode niaga, dari abad ke-15 hingga ke-17, kota-kota maritim di Asia Tenggara saling berhubungan satu sama lain. Setelah kejatuhan Sriwijaya, pusat niaga secara bergantian terdapat di Pasai, Malaka, Johor, Patani, Aceh, dan Brunei. Dalam jaringan perdagangan itu, bahasa Melayu menjadi “bahasa niaga” utama di seluruh Asia Tenggara. Kelas pedagang kosmopolit dari kota-kota niaga besar di Asia Tenggara dikenal sebagai orang Melayu24 itu mulai menjadikan Hujung Galuh sebagai tepat tinggal. Menurut de Graaf, raja-raja Surabaya menganggap diri mereka sebagai keturunan Sunan Ngampel Denta, atau Raden Rahmad yang tinggal menetap dan membangun masjid untuk menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut.25 lama bagi seorang raja yang ada di negara Demak yang oleh Tome Pires diterjemahkan dengan kata ‘Pate’. Sebagai pelabuhan antarpulau Hujung Galuh mendapat perhatian khusus dari penguasa-penguasa kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa bagian timur. Sungai merupakan penghubung transportasi yang penting merajut
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 116 26 Keterangan tersebut setidaknya direkam oleh kesaksian Kapten Malaka pada Dom Manuel tertanggal 20 Agustus 1518, selengkapnya baca Albuquerque, L.Tratado das Ilhas Molucas. Lisboa: Publicacoes Alfa1989, hlm. 127-8 27 Mills, J.V.G, Ma-Huan (1433), dalam, Kenneth R. Hall, “Multi-Dimensional Networking: Fifteenth-Century Indian Ocean Maritime Diaspora in Southeast Asian Perspective”, dalam Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 49, No. 4, Maritime Diasporas in the Indian Ocean and East and Southeast Asia (960-1775) (2006), hlm. Surabaya yang memiliki banyak sungai bercabang menjadikannya sebagai “Kota Pelabuhan” yang penting. Namun, perubahan nama dari Hujung Galuh menjadi Surabaya diperkirakan terjadi pada abad ke-14. Tanggal dan tahun yang pasti, serta peristiwa penting apa yang menyebabkan nama Surabaya menggeser nama Hujung Galuh hingga kini belum diketahui. Hal itu sesuai dengan nama yang tercantum dalam prasasti Trowulan I, seperti yang telah dijelaskan di atas, menyebutkan nama Surabaya untuk pertama kalinya dipakai. Sepanjang abad ke-13 dan 14, fungsi sungai menghubungkan wilayahwilayah pedalaman Majapahit yang menghasilkan komoditas perdagangan dengan kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa yang lain, seperti Tuban, dan Gresik. Sementara itu, berdasarkan catatan Alberquerque, beriringan dengan meredupnya fungsi pelabuhan Tuban, rute pelayaran Portugis ke kepulauan rempah-rempah bergeser. Pertama, dari Malaka mereka singgah ke Gresik dan Hujung Galuh sebelum berlabuh di Ambon dan Banda. Kedua, mereka berlayar dari Gresik dan Hujung Galuh lalu menuju Pulau Buru, Ambon, dan Seram sebelum berlabuh ke Banda.26 Perihal pertukaran komoditas perdagangan dan aktivitas perekonomian antara orang Jawa di pelabuhan pesisir pantai utara Jawa dengan pedagang Malaka, pada abad ke-15 dilukiskan oleh Ma Huan: ... pedagang "Jawa" mengkhususkan diri dalam impor bahan makanan, seperti beras, untuk memberi makan penduduk Malaka dan menyediakan kapal, karena Malaka tidak memiliki lahan yang berdekatan untuk memasok kebutuhan makanan lokal. Orang "Jawa" juga memasok Malaka dengan rempahrempah Indonesia. Akhirnya, beberapa pedagang nomaden "Jawa" skala kecil tinggal di perahu kecil mereka di sepanjang garis pantai Malaka dan menjual hasil mereka di pasar Jawa.27 “ “
BAB VII Peran Pelabuhan Surabaya 117 Gambar 9 Wilayah Surabaya di abad ke-13 dengan muara sungai Brantas yang bercabang menuju ke Laut Sumber: Hadinoto dan Samuel Hartono, “Surabaya Kota Pelabuhan”, dalam Vol. 35, 2007, hlm. 90 Hujung Galuh pada abad ke-15 digambarkan sebagai kota yang maju dan telah memiliki benteng besar seperti Banten, Tuban Japara, dan Pati, dengan membangun tembok bata yang kokoh.28 Hujung Galuh pada perkembangannya kemudian menjadi daerah yang menyuplai kebutuhan pemerintahan pusat di keraton didatangkan dari wilayah hinterland. 29 A. B. Lapian menyebut jika posisi strategis pelabuhan Hujung Galuh kala itu turut memengaruhi kelancaran jalur perdagangan rempahrempah Jawa-Maluku-Sriwijaya-India-Cina.30 Semakin ramai perdagangan rempah, berpengaruh pada perkembangan kota-kota pelabuhan di kepulauan rempah-rempah. Adanya interaksi antara penduduk lokal dan 28 Anthony Reid, “The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to Seventeenth Centuries. dalam Journal of Southeas Asian Studies Vol. 11, No. 2 (1980), hlm. 237 29 Heru Sukadri, 1996, Ibid, hlm, 9-10 30 A. B. Lapian, “Peta Pelayaran Nusantara dari Masa ke Masa” (Bandung: 1996), hlm. 50-54.
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 118 pedagang asing telah memperkaya khazanah budaya setempat. Kondisi ini telah menjadikan kota Surabaya tumbuh menjadi kota dagang yang ramai dan banyak dikunjungi oleh para pedagang karena benturan budaya dan agama akibat pluralitas sosial dan kepentingan ekonomi yang kompleks. B.J.O Schrieke dalam disertasinya mengartikulasikan Hujung Galuh dalam abad ke-16, dari zaman Airlangga dan Tjanggoe sebagai pelabuhan Majapahit telah berakhir pada abad ke-15. Lalu, pada abad ke-16, Hujung Galuh tidak disebut-sebut lagi dan berganti dengan nama Pelabuhan Surabaya pada 1597. Pada saat awal perkembangannya, Surabaya disebut sebagai pelabuhan yang terkecil dibandingkan dengan Sedayu, Brondong, dan, Tuban dan Jepara. Peran Jepara juga lebih dihormati sebab di sanalah tempat Pati Unus memerintah, meski belum terjalin hubungan kerjasama perdagangan yang baik dengan Tuban yang masih memeluk agama Hindu. Sedangkan di Gresik, perdagangan relatif maju karena pedagang Cina memilih hijrah dan membuka permukiman untuk menetap di sana. Narasi asli Schrieke dibuat dengan bahasa Belanda, sebagai berikut: Seiring dengan pengaruh Islam yang meluas ke wilayah pantai utara Jawa dan berpusat di Gresik, pada abad ke-16, islamisasi masuk di pelabuhan Surabaya melalui pengaruh pedagang Muslim. Mayoritas pedagang yang melakukan perjalanan ke Banda adalah Muslim Jawa dan Cina yang berbasis di pelabuhan pantai utara Jawa seperti Tuban, Jaratan, Gresik, dan Surabaya.32 Sebelum dianeksasi oleh kompeni, Surabaya masuk dalam wilayah kekuasaan Mataram (1625—1743) setelah jatuhnya Majapahit melalui mata rantai Demak dan Pajang. Dari sudut etnologi, Surabaya masih .. Pate Oenoes heerschte, maar handelrelaties als Toeban had het 31 “ “ 31 B.J.O Schrieke, Het Boek Van Bonang, Exchange Dissertations, University of Chicago Library Microfilm,Publisher: Utrecht : P. Den Boer, 1916 hlm.26 32 Kenneth R. Hall (Honolulu: Univirsity of Hawaii, 1985),, hlm. 468
BAB VII Peran Pelabuhan Surabaya 119 33 Baluwarti sama artinya dengan balawarti, yakni benteng sebagai pertahanan. G. H. von Faber 1931, hlm. 15 34 Hans-Dieter Evers. “Traditional Trading Networks of Southeast Asia” dalam Archipel No. 35, 1988, hlm. 92. 35 Robert Parthessius, Dutch Ships in The Tropical Waters (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), hlm. 32. lebih mendekati Jawa murni, sementara unsur-unsur Madura mulai tampak semakin ke timur. Kondisi keraton Surabaya pada 1706, yakni istana Pangeran (yaitu Adipati Surabaya pada waktu itu) berada di sekitar istana raja yang dinamakan Astana. Wilayah Astana membentang sampai “dortmansbergje”, di sekitar Baluwarti. Dengan demikian, bagian kota terbentang dari Rode Brug (Jembatan Merah) sampai Baluwarti, sedangkan alun-alun yang dulu disebut stadstuin (taman kota) terletak di bagian tengah benteng. Di sebelah selatan terdapat banyak gang keraton dan kepatihan.33 Setelah Mataram jatuh, monopoli perdagangan lada di pantai utara Jawa kemudian benar-benar hanya dikuasai oleh VOC. Adanya perubahan jaringan perdagangan, yang terjadi pada setiap waktu, baik karena sistem produksi, pasar, maupun karena munculnya pengangkutan-pengangkutan yang baru.34 Hubungan kausalitas jaringan perdagangan di pesisir Jawa dapat dijelaskan oleh kondisi sosial masyarakatnya pelabuhan di wilayah pesisir dengan krisis sosial seperti kriminalitas, juga semangat perluasan Islam yang masif. Keduanya menyumbang percepatan kemunduran pengaruh Kerajaan Mataram di daerah pantai pesisir utara Jawa, termasuk Surabaya. Namun, pada awal abad ke-16 di Hindia Belanda, para pedagang yang menggunakan pelayaran perahu layar telah membentuk solidaritas kelompok etnik dan sangat berperan dalam menghadapi monopoli perdagangan kongsi dagang asing. Pada 1630, kapal-kapal dagang VOC lebih banyak berlayar menyusuri pusat perdagangan rempah-rempah di Asia. VOC tidak hanya menjelma sebagai kamar dagang, tetapi juga memiliki organisasi militer kuat. Demikian mulanya di awal abad ke-17 itu, monopoli perdagangan VOC telah mampu bercokol di Nusantara, termasuk Pulau Jawa.35 Pedagang-pedagang Jawa yang biasanya melakukan rute perjalanan bertolak dari pelabuhan di Jawa. Mereka akan memasok sebanyak mungkin beras untuk dikirim ke Malaka. B. Pertumbuhan Aktivitas Pelayaran dan Perdagangan Pelabuhan Surabaya pada Masa Kolonial
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 120 36 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 64 37 Lihat A. J. van der A.A bezittingen in Oost-Indie (Breda: Broese en Comp, 1857), hlm. 349. Pedagang Jawa kemudian membawa pulang rempah-rempah setempat terutama lada ke pelabuhan Surabaya. Namun, sejak kehadiran VOC, peta monopoli perdagangan lada mulai diambil alih. Berdasarkan dokumen VOC tahun 1620, Surabaya digambarkan sebagai sebuah negara yang kuat dan kaya. Surabaya mempunyai luas sekitar 37 kilometer persegi yang dikelilingi oleh sebuah parit dan diperkuat meriam. Secara ekonomis Surabaya mempunyai pondasi yang kuat. Kapal-kapal dagang Surabaya terlihat dari pelabuhan Malaka hingga Maluku. Surabaya menjadi enter port antara jalur rempah barat di Malaka menuju Maluku. Selain itu, Surabaya juga menjadi enter gates untuk menghubungkan jalur laut dan pedalaman Jawa dengan adanya Sungai Brantas yang bermuara di sekitar Surabaya. Wajar sekali jika Mataram selama tiga generasi sejak Panembahan Senapati, Sunan Anyakrawati, hingga Sultan Agung sangat terobsesi untuk mengambil alih kota pelabuhan ini.36 Orang-orang Eropa sampai di Surabaya pada awal abad ke-17. Ketika pertama kali sampai, pandangan mereka melihat bahwa rumah-rumah penduduk Surabaya terdiri dari gubuk yang terbuat dari bahan-bahan seadanya. Mereka tinggal di sekitar sungai kecil antara sungai Pegirian dan sungai Kalimas. Penduduk lokal Surabaya, utamanya kelas menengah ke bawah membangun mereka dengan teknologi yang masih sangat sederhana.37 Sebagai kota dagang, Surabaya bersikap terbuka pada semua kalangan dan bangsa yang datang untuk berdagang. VOC mulai tertarik dengan pelabuhan Surabaya karena selain menjadi pelabuhan transit, penyedia makanan dan minuman, Surabaya menjelma menjadi bandar dagang yang ramai. J.P Coen bahkan menyebut jika perdagangan Surabaya pada masa kolonial telah meliputi seluruh kepulauan Nusantara, perahu-perahu mereka melintasi Malaka, Maluku, Ambon, Banda, hingga Solor. Hiruk pikuk lalu lintas pelabuhan dan pelayaran itu dilukiskan: Batas-batas kolonial kota Surabaya ditetapkan dengan keputusan pemerintah (Besluit) tanggal 11 Oktober 1831, no. 17 yang kemudian diatur ... Yang satu ke sini, yang lain ke sana dengan perahu-perahunya “ untuk mencari nafkah. “
BAB VII Peran Pelabuhan Surabaya 121 38 P. Bleeker, “Fragmenten eener reis over Java” Soerabaija, Hoofdstuk VIII, dalam TNI 12e jaargang, afl. 1-6 (eerste deel) (Groningen, 1850), hlm. 98-99. 39 Selengkapnya baca Howard Dick. “Prahu Shipping in Eastern Indonesia in The Interwar Period” Bulletin of Indonesian Studies, Volume II No 1 (1989). 40 J. Hageman, “Bijdrage tot de Kennis van Residentie Soerabaja”, dalam: 1859, jilid I, hlm. 31 41 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1979), hlm.32- 33, dalam Marsudi Suparlan, Negara Jawa bagian timur, Tesis Universitas Indonesia, 2000, hlm. 23. 42 Para kepala desa dipimpin oleh seorang wedana kepala distrik. Tugas para Wedana dibantu oleh asisten wedana yang membawahi empat orang umbul yang mengepalai daerah sekitar kota MvO, tanggal 31 Desember 1812. 43 Handinoto, 1996, ibid, hlm. 35. kembali dengan keputusan tertanggal 30 September 1835 No. 15.38 Seiring dengan peningkatan jumlah produksi tanaman ekspor dari hasil pelaksanaan tanam paksa dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari tanaman itu, di Karesidenan Surabaya perdagangan dan pelayaran turut pula mengalami perkembangan. Jaringan perdagangan kelompok etnik pelabuhan telah menggunakan transportasi perahu layar, hal ini yang mendukung pembentukan jaringan perdagangan.39 Pada masa tanam paksa di karesidenan ini, pelayaran juga mengalami kemajuan yang pesat. Pada masa pemerintahan Daendels (1808—1811), banyak terjadi perubahan dalam bidang politik dan ekonomi yang terjadi di Surabaya. Sejak tahun 1809, sebagian kota dan pedalaman kota Surabaya oleh Daendels dialihkan ke tangan swasta, lewat praktik penjualan tanah dan pemberian hadiah kepada tuan pribumi.40 Bersamaan dengan kebijakan itu, perubahan komposisi penduduk Surabaya semakin meningkat. Komposisi penduduk di Jawa bagian timur sebagaimana pendapat Koentjaraningrat, kejawen meliputi Madiun, Malang, dan Kediri. Sedangkan Wilayah kebudayaan Madura meliputi pantai utara Jawa, dan ujung timur Jawa.41 O Jawa dan Madura masih tercatat menjadi mayoritas yang menghuni kota Surabaya. Di kota Surabaya sekitar 1850-an orang Jawa tinggal di 8 buah kampung yang diperintah oleh seorang umbul, pepati, atau mantri.42 Distribusi permukiman kelompok etnis di Surabaya menyebar di berbagai distrik. Daendles membangun dan mengembangkan kota Surabaya sebagai kota dagang yang diwarnai oleh ciri khas kota Eropa, yakni permukiman orang-orang Eropa dikelilingi oleh benteng.43
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 122 44 Selengkapnya, baca Thomas Stamford Raffles (London: Printed for Black, Parbury, and Allen, 1817), hlm.. 194-195 45 Bevolking van en Madoera” dalam 1839, I, hlm.158 46 G.H. von Faber, op. cit., hlm.. 67 47 J.Hageman, ”Bidrage tot de Kennis van de Residentie Soerabaja”, dalam 1859,Vol. I, hlm.122. Pada permulaan abad ke-19, jumlah tonase kapal-kapal yang keluar perkembangan pelayaran di Surabaya terjadi bersamaan dengan kemajuan kota pelabuhan itu. Pelabuhan Surabaya dapat mengangkut komoditas perdagangan hingga mencapai 30.000 ton.44 Masa pemerintahan Inggris di Hindia Belanda berakhir dengan penyerahan kembali daerah ini pada tahun 1816 kepada pemerintah Belanda. Perkiraan jumlah penduduk Karesidenan Surabaya dari tahun 1826—1830 relatif meningkat pesat. Tahun 1826 ke 1827 naik 7,3%; 1827— 1828 meningkat 7,15 %; 1828—1829 naik 5%.45 Namun, angka natalitas itu pun diimbangi dengan angka mortalitas yang tinggi. Pada masa depresi ekonomi tahun 1930, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat terpuruk. Von Faber mengemukakan: Pertumbuhan kepadatan penduduk turut meramaikan aktivitas perdagangan di wilayah pelabuhan. Bahkan, di kurun 1846—1853, jumlah kapal yang merapat singgah di pelabuhan Surabaya mencapai 1535 buah, dan kurun 1846—1847, sebanyak 5174 kapal berlayar mengangkut komoditas perdagangan dari pelabuhan Surabaya.47 Jumlah lalu lintas pelayaran perdagangan ekspor yang lebih besar dibanding impor itu cukup menggambarkan kemajuan aktivitas perdagangan di Surabaya. Perubahan kebijakan liberalisasi dan masuknya modal asing di Hindia Belanda telah membuka perkebunan swasta di Jawa bagian timur. Kondisi ini diikuti juga oleh tumbuhnya industri di sepanjang sungai Kali Mas Surabaya. Pada 1850, dibangun sejumlah perusahaan perahu dan disusul oleh peningkatan aktivitas bidang perkapalan di Surabaya. Beberapa perusahaan perahu itu adalah de Prauw Mij. Niuwe ... penduduk Surabaya umumnya kurang bergairah, penampilan hidup mereka kurang terawat sebagai akibat penyakit dan kurangnya pangan. “ 46 “
BAB VII Peran Pelabuhan Surabaya 123 48 G.H. von Faber Soerabia, 1931) hlm.. 199-201 49 H.W. Dick, "Nineteeth-century Industrialization, A Miss Opportunity?", dalam: J. Thomas Lindbland (ed.), New Challenge in The Modern Economic History of Indonesia (Leiden: Program of Indonesia Studies, 1993), hlm. 125-126. 50 hlm. 150. 51 (Weltevreden-Soerabaia: N.V Koninklijke Boek¬handel en Drukkerijen G. Koff & Co), hlm. 12. Mij. (presidennya L.E. Lowenstam).48 Surabaya tidak saja menjadi daerah transit menuju daerah-daerah perkebunan, seperti Malang, tetapi juga menjadi daerah tujuan penduduk dari berbagai golongan etnis. Dampak dari perkembangan itu bagi penduduk kota Surabaya dan para pedagang dan pendatang membuka permukiman baru ke daerah pinggiran kota. Bersamaan dengan pemekaran wilayah, Surabaya telah menjadi salah satu kawasan industri yang maju dibanding daerah-daerah lainnya di Hindia Belanda sampai akhir abad ke-19. Howard Dick mengibaratkan perkembangan industri Surabaya masa itu sudah setara dengan yang dicapai oleh kota-kota industri di Asia lainnya seperti Calcutta, Bombay, dan Osaka, serta berada satu tingkat di atas Singapura, Bangkok, Hongkong, Shanghai, dan Tokyo.49 Akan tetapi, keadaan pelayaran di Surabaya turut mengalami gangguan selama masa depresi ekonomi tahun 1930 akibat adanya kenaikan cukai impor yang diberlakukan di hampir semua negara. Rata-rata angkutan dan kapal-kapal pedagang swasta yang keluar masuk pelabuhan Surabaya sepanjang periode 1927—1930 hanya berkisar 2125 hingga 2150 buah saja. Namun, pelayaran yang dilakukan oleh pedagang dengan perahu-perahu kecil justru lebih mampu bertahan. Tercatat peningkatan sebesar 371.23 buah singgah di pelabuhan Surabaya sepanjang 1927—1929, tetapi jumlah itu langsung mengalami penurunan 405 di tahun 1930 dari 270.974 buah menjadi 185.375 saja.50 Pada abad ke-20, pertumbuhan penduduk di afdeling Surabaya mengalami peningkatan hingga mencapai 1142 jiwa/km.2 Angka ini terus meningkat bersama sebesar hampir 80% menjadi 342.439 jiwa pada 1930, sehingga terjadi peningkatan sebesar 79,98%. Sebagian besar pertambahan penduduk disebabkan oleh faktor migrasi yang masuk ke kota Surabaya.51
125 Khasiat dan aroma rempah-rempah Nusantara dapat dikatakan abadi sepanjang zaman. Perdagangan dan budi daya rempah yang telah dimulai sejak masa klasik terus berlanjut, bahkan jenis tanaman tertentu sengaja dikembangkan di luar daerah aslinya. Dalam bukunya, untuk membudidayakan lada, cengkih, dan kayu manis di Jawa. Akan tetapi, budidaya cengkih dan lada secara besar-besaran, mengingat kondisi tanah dan iklim Pulau Jawa. Sistem monopoli dan tanam paksa secara tidak langsung juga memengaruhi produksi rempah, sebab menguras tenaga petani untuk membudidayakan tanaman tertentu.1 Di sisi lain, minimnya budi daya rempah di Jawa pada dasarnya disebabkan karena persaingan ekonomi komoditas antarpulau. Sebagai pusat produksi cengkih dan pala, Kepulauan Timur tidak ingin tersaingi dalam hal perdagangan kedua komoditas tersebut sehingga jarang dilakukan pembudidayaan di Jawa.2 BAB VIII MERAWAT REMPAH, MEMPERTAHANKAN TRADISI REMPAH DALAM MASAKAN DAN OBAT-OBATAN MASA KINI 1 Thomas Stamford Raffles (London: Black, Parbury, and Allen, 1817), hlm. 43 & 85. 2 Fadly Rahman, Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (Jakarta: Kompas Gramedia, 2016), hlm. 59. 3 Eka Diah Kirana, "Aktivitas Bongkar Muat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya Tahun 1910-1942" Skripsi Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, 2014, hlm. 31. Pada awal abad ke-20-an, beberapa produk rempah masih menjadi komoditas ekspor dari Jawa bagian timur. Di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, kayu manis dan lada diekspor bersama dengan komoditas perkebunan lain, seperti kopi, tembakau, gula, dan sebagainya.3 Produkproduk tersebut merupakan hasil pertanian yang diambil dari desa-desa A. Penggunaan Rempah-Rempah pada Masa Kolonial dan Pascakemerdekaan
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 126 4 Andjarwati Noordjanah, Komunitas Cina di Surabaya (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010), hlm. 63-65. 5 J. M. J. Catenius van der Meijden, Ons Huis in Indië (Semarang: N. V. Boekhandel en Drukkerij Masman & Stroink, 1908), hlm. 142. di Surabaya atau didatangkan dari luar Surabaya. Pedagangnya adalah orang-orang Cina keliling yang menjualnya kepada pedagang Cina di kota, kemudian diteruskan kepada orang Eropa. Merekalah yang menguasai perdagangan ekspor dan impor.4 Kehadiran orang-orang asing di Jawa bagian timur sedikit-banyak telah memengaruhi penggunaan rempah untuk berbagai keperluan. Tidak banyak data tekstual dari periode kuno yang menyebutkan tentang rempah, menunjukkan bahwa produk tersebut merupakan barang mewah yang tidak dikonsumsi setiap saat. Dalam sumber-sumber karya sastra, rempah lebih banyak digunakan sebagai obat daripada bumbu masakan. Terutama orang-orang Cina, mereka banyak menggunakan rempah-rempah dalam pengobatan tradisional. Keberagaman jenis olahan berbahan dasar daging sebagaimana yang disebutkan dalam sumber prasasti dan karya sastra menunjukkan penggunaan berbagai macam rempah dalam masakan. Seiring dengan kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara, semakin banyak tanaman pangan dan rempah asing tersebar di seluruh daerah yang secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap masakan. Dalam naskah Sri Tanjung berlatar kehidupan masyarakat Jawa pada abad ke15 atau 16, disebutkan jenis sambal yang terbuat dari jahe ( ). Hal ini menunjukkan sambal saat itu tidak dibuat dengan cabai (Capsium frutescens) sebagaimana masa sekarang, tetapi menggunakan bahan-bahan yang bercita rasa pedas. Pemberlakuan sistem ekonomi liberal pada tahun 1870, mengundang banyak orang Eropa ke Hindia Belanda. Perbedaan kultur dan iklim di Hindia Belanda menyebabkan mereka mengalami kesulitan hidup di daerah baru. Pada tahun 1908, J. M. J. Cantenius van der Meijden menulis sebuah buku berjudul Ons Huis in Indië yang menjadi rujukan bagi orangorang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda. Salah satu bagian menarik dari buku tersebut adalah ulasan tentang masakan-masakan Hindia Belanda yang banyak menggunakan bumbu rempah. Aroma bumbu rempah yang mengepul ke udara ketika juru masak sedang memasak makanan akan membuat semua orang yang menciumnya "meneteskan air liur" karena begitu nafsu hendak menyantap.5 Masakan tradisional Hindia Belanda memang disukai oleh orang-orang Eropa, terutama karena banyaknya
BAB VIII Merawat Rempah, Mempertahankan Tradisi Rempah dalam Masakan dan Obat-Obatan Masa Kini 127 bumbu rempah yang ditambahkan ketika proses pemasakan. Dalam buku De Indische Tafel, disebutkan jenis-jenis rempah yang sering digunakan sebagai bumbu masakan atau pasti tersedia di dapur antara lain asem, jahe, laos, sereh, kunyit, kencur, ketumbar, jinten, kemiri, kluwek, lombok, temu kunci, petehboonen, bawang putih, bawang merah, dan wijen.6 Keberagaman rempah yang digunakan sebagai bumbu masak, ditambah dengan berbagai jenis bahan pangan yang dimasak dengan bermacam .uti taas takaraysam reniluk hanazahk ayakrepmem nahalognep arac J. M. J. Catenius van der Meijden berhasil mencatat 1381 jenis makanan dan minuman di Hindia Belanda.7 Pada masa pascakemerdekaan, Soekarno membentuk tim yang bertugas untuk merumuskan sebuah buku tentang makanan khas Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Gagasan tersebut pada dasarnya merupakan upaya penguatan ketahanan pangan yang dimulai dengan usaha serta merubah orientasi kebijakan yang pada awalnya swasembada beras, menjadi swasembada bahan makanan. Pemerintah juga berharap dengan adanya program tersebut secara perlahan mengubah orientasi menu rakyat yang pada awalnya didominasi beras, menjadi beras, jagung, umbi-umbian, dll.8 Bahan-bahan pokok itu, dimasak dengan banyak cara dan dipadukan dengan bumbu berbagai jenis rempah. Lada, cabai, jahe, dan laos untuk memberikan rasa pedas; panili, cengkih, pala, kayu manis, dan kapulaga menimbulkan bau harum. 6 Patti, De Indische Tafel een Nieuw Hindisch Kookboek ('s-Gravenhage: M. van der Beek's Boekhandel, 1907), hlm. 8-9. 7 J. M. J. Catenius van der Meijden, Groot Nieuw Volleding Oost-Indisch Kookboek (Semarang: G. C. T. van Dorp & Co.). 8 Sukarno, Mustikarasa Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno (Depok: Komunitas Bambu, 2016) hlm. xxv. 9 Badan Pusat Statistik, "Produksi Tanaman Biofarma Menurut Kabupaten/ Kota dan Jenis Tanaman di Provinsi Jawa bagian timur (kg)" Statistik Pertanian Holtikultura SPH-SBS, diakses dari https://jatim.bps.go.id/statictable/2019/10/08/1592/produksi-tanamanbiofarmaka-menurut-kabupaten-kota-dan-jenis-tanaman-di-provinsi-jawa-timur-kg2017-dan-2018.html pada tanggal 24 November 2021. Meskipun telah berabad-abad lamanya, rempah tetap menjadi primadona untuk bumbu dan bahan obat-obatan. Produk rempah dari Jawa bagian timur pada umumnya merupakan tanaman rimpang seperti jahe, kunyit, kencur, laos, dan temulawak. Daerah utama penghasil komoditas tersebut adalah Pacitan, sejak tahun 2017 telah memproduksi jutaan ton per tahun.9 B. Rempah-Rempah pada Masa Kontemporer
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 128 10 Dinas Perkebunan Provinsi Jawa bagian timur, 2020 11 Wawancara dengan Ibu Nana pada tanggal 17 November 2021 12 B. Laufer, "Vidangan and Cubebs" T'oung Pao Second Series Vol. 16 No. 2 (1915), hlm. 283. 13 Dinas Perkebunan Provinsi Jawa bagian timur, 2020. Di sisi lain, produk unggulan Jawa bagian timur adalah cengkih yang sebagian besar dihasilkan di Pacitan, Trenggalek, dan Malang. Cengkih termasuk tanaman tropis yang pertumbuhannya optimal apabila ditanam di ketinggian 200—600 mdpl. Semakin tinggi tempat penanaman cengkih maka pertumbuhan pohonnya semakin subur, tetapi produksi bunganya tidak begitu optimal. Pacitan adalah daerah utama penghasil cengkih di Jawa bagian timur. Dari 8.887 ton cengkih yang dihasilkan di Jawa bagian timur pada 2020, sebanyak 1.446 ton merupakan hasil produksi Pacitan. Meskipun demikian, jumlah petani cengkih di Pacitan jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan Malang, Trenggalek, dan Nganjuk.10 Harga satu kilogram cengkih di pasaran mengalami kenaikan dan penurunan bergantung pada ketersediaan dan permintaan pasar. Harga terendah kuncup bunga cengkih mencapai Rp50.000,- sampai Rp60.000,-, sedangkan nilai tertinggi adalah Rp100.000,-. Adanya kebijakan pemerintah berkaitan dengan industri rokok memengaruhi konsumen cengkih bagi petani-petani kecil. Mereka tidak lagi menyuplai industri rokok rumahan sehingga menjualnya ke tengkulak.11 Di beberapa tempat, petani tidak hanya menjual kuncup bunga cengkih, tetapi juga batang dan daun pohon yang telah berguguran. Bagian pohon itu disuling dan digunakan untuk membuat minyak cengkih. Di pasar-pasar besar tidak jarang para pedagang melakukan kecurangan dalam hal perdagangan rempah. Sebab harganya yang mahal, kemukus atau dikenal sebagai lada berekor (Piper cubeba) sering kali dicampur dengan lada hitam (Piper nigrum) yang memiliki kemiripan terjadi sejak perdagangan rempah pada abad ke-7, bahkan terus berlanjut sampai sekarang. Selain kemukus, lada hitam pun juga dicampur dengan lada putih yang dikeringkan sehingga warnanya cokelat kehitaman.12 Penghasil lada terbesar di Jawa bagian timur adalah Sumenep, dengan jumlah produksi mencapai 105 ton pertahun kemudian diikuti oleh Ngawi (33 ton/ tahun), Kediri (18 ton/ tahun), dan Jember (18 ton/ tahun).13 Tanaman lada dirambatkan ke tumbuhan berbatang kayu sehingga pertumbuhannya meninggi.
BAB VIII Merawat Rempah, Mempertahankan Tradisi Rempah dalam Masakan dan Obat-Obatan Masa Kini 129 14 Rusdi Evizal, "Status Fitofarmaka dan Perkembangan Agroteknologi Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.), Jurnal Agrotropika Vol. 18 No. 1 (2013), hlm. 34. Selain memproduksi lada, Pulau Madura juga menghasilkan cabai jawa (Piper retrofactum). Pendataan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa bagian timur mendapati daerah-daerah penghasil cabe jawa di luar Pulau Madura antara lain Ponorogo, Lumajang, dan Lamongan yang saat ini lebih populer sebagai bahan obat-obatan dari pada masakan. Hal ini disebabkan karena tidak semua masakan sehari-hari masyarakat Jawa bagian timur menggunakan bumbu cabai jawa, tetapi hanya olahan-olahan tertentu misalnya gulai, kare, wedang secang, dan bandrek. Di Madura, cabai jawa digunakan sebagai campuran untuk membuat kopi jamu. Bubuk kopi seberat 3 kg, ditambah 0,25 kg bubuk temulawak, 0,25 kg bubuk kunyit, dan 1 kg bubuk cabai jawa. Pada tahun 2013, dari seluruh daerah di Jawa bagian timur diperoleh 1.329 ton cabai jawa yang telah dikeringkan.14 Gambar 10 Kemukus atau lada berekor ( ) dan lada hitam ( ) Sumber: Dokumentasi Pribadi Gambar 11 Peta daerah-daerah penghasil rempah di Jawa bagian timur Tahun 2020 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa bagian timur
131 J awa bagian timur ternyata memiliki peran yang tidak kalah penting dengan Kepulauan Timur atau pelabuhan internasional di Malaka dalam hal perdagangan rempah. Banyak kapal dagang diberangkatkan dari pelabuhan di Jawa bagian timur untuk mengambil rempah-rempah dari Kepulauan Timur. Mereka berangkat dengan membawa beras untuk ditukar dengan cengkih dan pala yang dihasilkan di Ambon dan Maluku. Tidak jarang orang-orang dari Kepulauan Timur yang membawa sendiri komoditasnya ke pelabuhan Jawa bagian timur. Sementara itu, orangorang Jawa yang telah mengambil rempah memasarkan muatan mereka di Jawa bagian timur atau didistribusikan ke Malaka. Sebab, terletak di tengah jalur pelayaran antara bandar dagang internasional dengan pusat produksi cengkih dan pala, Jawa bagian timur banyak dikunjungi oleh pedagang asing. Tujuan mereka adalah mencari rempah yang dipasarkan di Jawa bagian timur, sekaligus memenuhi perbekalan untuk melanjutkan pelayaran. Dari segi produksi rempah, Jawa bagian timur menghasilkan cabai jawa, kemiri, kemukus, kapulaga, dan jahe. Akan tetapi, produk unggulan Jawa bagian timur adalah beras yang dihasilkan di hampir sebagian besar wilayahnya. Seiring dengan melemahnya Majapahit yang berpusat di pedalaman, wilayah pantai utara Jawa berkembang sebagai kota di pesisir utara Jawa bagian timur. Kota-kota itu pada awalnya hanyalah sebuah desa kecil yang sering dikunjungi saudagar dan kapal dagang sehingga lambat laun menjadi sebuah kawasan ramai. Hal ini kemudian melahirkan elite baru yang bukan berasal dari golongan bangsawan. Mereka memiliki kapalkapal dagang yang mendominasi perdagangan di pesisir utara Jawa bagian timur. Setiap tahunnya kapal-kapal dagang diberangkatkan dari pelabuhanpelabuhan utama menuju ke Maluku dan Ambon untuk mencari cengkih dan pala. Dari segi politik, sering kali terjadi persaingan antarpenguasa kota-kota di pesisir utara Jawa bagian timur. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, persaingan tidak didasari perebutan atas tanah, melainkan dominasi perdagangan. Bahkan, mereka tidak segan untuk menjalin kerja sama dengan orang-orang Eropa yang berpotensi memperkuat hegemoni di pesisir utara Jawa bagian timur. BAB IX KESIMPULAN
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 132 Perdagangan global pada kenyataannya tidak hanya berdampak pada peningkatan perekonomian Jawa bagian timur, tetapi juga mendorong persebaran agama Islam. Para mubalig datang dengan menumpang kapalkapal dagang milik para saudagar. Tidak jarang para mubalig itu juga berdagang sambil menjalankan kewajibannya sebagai pendakwah.
133 DAFTAR PUSTAKA A., A. J. (1857). Nederlandsche bezittingen in Oost-Indie. Breda: Broese en Comp. Abimanyu, S. (2014). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Laksana. Adiwimarta, S. S. (1993). Unsur-Unsur Ajaran dalam Kakawin Parthayajña. Disertasi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Aelst, A. v. (1995). Majapahit Picis: The Currency of a 'Moneyless' Society 1300-1700. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Deel 151, 357-393. Albuquerque, L. (1989). Tratado das Ilhas Molucas. Lisboa: Publicacoes Alfa. Alexander, J. W., & Gibson, J. L. (1963). Economic Geography. New Delhi: Private Limited. Aliyah, I., Setioko, B., & Pradoto, W. (2016). The IAFOR Journal of Sustainability, Energy & the Environment Vol. 3 No. 1. The Roles of Traditional Markets as the Main Component Surakarta, Indonesia), 103-120. Amal, M. A. (2010). Portugis dan Spanyol di Maluku . Depok: Komunitas Bambu. Amal, M. A. (2016). Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramediaa. Andaya, L. Y. (2001). The Search for the 'Origins' of Melayu . Journal of Southeast Asian Studies Vol. 32 No. 3 . Andaya, L. Y. (2019). Selat Malaka dan Perdagangan Etnisitas. Depok: Komunitas Bambu. Ayu, W. A. (2020). Strategi Politik Arya Wiraraja dalam Pemerintahan Kerajaan Lamajang Tigang Juru Tahun 1295- 1316 Masehi. No. 1, 1-12.
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 134 Basundoro, P. (2013). Merebut Ruang Kota Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an. Tangerang: Marjin Kiri. Behera, K. S. (2013). Ancient Orissa/ Kalinga and Indonesia: The Maritime Contacts. . Odisha Revie. Berg, C. C. (a). (1931). en Aanteekeningen Berg, C. C. (1939). Panji Wijayakrama. Weltevreden: Albrecht & Co. ___________ (b). (1962). Het Rijk van de Vijfvoudige Buddha. In Mededelingen der Koninklijke Nederlandsche Akademie . Amsterdam: NoordHollandsche Uitgevers Maatschappij. Berg, L. v. (2010). Orang Arab di Nusantara. Depok: Komunitas Bambu. Blekker, P. (1850). Fragmenten eener reis over Java. Hoofdstuk VII: . Boechari (a). (1959). An Inscribed Linga from Rambianak. Bulletin de I'Ecole française d'Extrême-Orient Vol. 49 No. 2, 405-408. _______ (b). (2018). Pemberontakan Jayakatwang. In Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Melacak Searah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (pp. 203-216). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Boechari. (2018). Perbanditan di Jawa Kuno. In D. A. Indonesia, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (pp. 307- 330). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. B on the Problem of Airlanga's Partitions of His Kingdom. In Departemen Arkeologi Universitas Indonesia, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (pp. 135-154). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Brandes, J. L. (1913). Transcripties . Batavia: Albrecht & Co. Brandes, J. L. A. (a). (1897). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Verhandelingen
Daftar Pustaka 135 Wetenschappen Deel XLIX (pp. 1-313). Batavia: Albrecht & Co. _____________ (b). (1913). . Batavia: Albrecht & Co. Callenfels, P. V. (1925). Stukken Betrekking Hebbend op OudJavaansche Opschriften in de Bibliotheque National te Parijs. In Koninklijk Bataviaasch Genootschap, Oudheidkundig Verslag 1924 Casparis, D. (1958). Airlangga. Pidato Peresmian Djabatan Guru Besar dalam Mata Peladjaran Sedjarah Indonesia Lama dan Bahasa Sansekerta pada Perguruan Tinggi Pendidikan Malang (pp. 1-23). Malang: Universitas Airlangga. Castro, J. M. (2019). Lautan Rempah: Peninggalan Portugis di Nusantara. Jakarta: Elex Media Komputindo. Chaudhuri, K. N. (1989). an Economic History from Rise of Islam to 1770 . Cambridge: Cambridge University. Christie, J. W. (1991). States Without Cities: Demographic Trends in Early Java. Indonesia No. 52, 23-40. Christie, J. W. (1998). Javanese Markets and the Asian Sea Trade Boom of the Tenth to Tirtheenth Centuries A.D. Journal of the Economic and Social History of the Orient Vol. 14 No. 3, 344-381. Collins, J. T. (2005). Bahasa Melayu Bahasa Dunia Sejarah Singkat . Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. Cortesao, A. (ed.). (1944). The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodrigues Vol. 1. London: The Hakluyt Society. Crawfurd, J. (1856). Adjacent Countries . London: Bradbury & Evan. Damais, L. C. (1969). Études Javanaises III: A Propos des Couleurs Symboliques des Points Cardinaux. Bulletin de I'Ecole Française d'Extrême-Orient Tome 56 , 75-118. Darmosoetopo, R. (1970). Tjatatan Singkat tentang Tuban sebagai Pelabuhan Kuno. Buletin Fakultas Sastra dan Kebudajaan
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 136 No. 3. Darmosoetopo, R. (2003). Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU . Yogyakarta: Prana Pena. Daulay, J. F. (Agustus 2005). Bandar Barus dalam Catatan Sejarah. Historisme Edisi 21 Tahun X, 22-28. de Casparis (a). (1958). Airlangga. Pidato Peresmian penerimaan Djabatan Guru Besar dalam Mata Pelajaran Sejarah Indonesia Lama dan Bahasa Sansekerta pada Perguruan (pp. 4-23). Malang: Universitas Airlangga. Dekolonisasi Jalur Rempah demi Memajukan Kebudayaan Nasional. (2020). In M. A. Efendy, Hilmar Farid. Samarinda: Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur. Dick, H. (1989). Prahu Shipping in Eastern Indonesia in The Interwar Period. Bulletin of Indonesian Studies, Volume II No 1. Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan Jalur Rempah oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahun 2020. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Djafar, H. (1991). Sumber-Sumber tentang Prasasti Tuban dan Sekitarnya. Diskusi Tuban Kota Pelabuhan Jalan Cisarua, dan Prospeknya di Masa Mendatang. Cisarua. Djafar, H. (2012). Masalahnya . Depok: Komunitas Bambu. Djayadiningrat, H. (1983). Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Jakarta: Djambatan. Donkin, R. A. (1999). Dragon's Brain Perfume: An Historical Geograaphy of Camphor . Leiden: Brill. E Rempah Nusantara Merajut Dunia. Samarinda: Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur. Evers, H.-D. (1982). Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi, dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: LP3ES.