The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Kajian Disabilitas - Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Digital, 2023-06-12 01:30:23

Kajian Disabilitas - Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Kajian Disabilitas - Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

TINJAUAN PENINGKATAN AKSES DAN TARAF HIDUP PENYANDANG DISABILITAS INDONESIA : ASPEK SOSIOEKONOMI DAN YURIDIS Kajian Disabilitas Laporan Rekomendasi Kebijakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


Staf Ahli Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Kajian Disabilitas TINJAUAN PENINGKATAN AKSES DAN TARAF HIDUP PENYANDANG DISABILITAS INDONESIA : ASPEK SOSIOEKONOMI DAN YURIDIS


Penghormatan hak-hak penyandang disabilitas adalah aspek penting dalam perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 disusunlah Rencana Induk Penyandang Disabilitas (RIPD). RIPD menjadikan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas lebih terarah melalui tujuh sasaran strategis yang ingin dicapai untuk memastikan pembangunan yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Pembangunan yang inklusif bagi penyandang disabilitas sejalan dengan komitmen global Sustainable Development Goals (SDGs), yang ingin memastikan tidak ada satupun kelompok yang tertinggal (no one le behind) dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, setelah hampir 5 tahun ditetapkannya UU Nomor 8 Tahun 2016, perlu dilakukan kajian terhadap perkembangan penyelenggaraan inklusivitas disabilitas, termasuk implementasi berbagai aturan pelaksana dari UU tersebut. Melalui kajian bertema “Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis” diharapkan dapat memberikan gambaran perkembangan kondisi disabilitas Indonesia dan hal-hal yang telah diupayakan pemerintah baik pusat maupun daerah. Dalam studi ini kami juga memuat rekomendasi kebijakan baik untuk Bappenas sendiri, Kementerian/Lembaga terkait, maupun pemerintah daerah. Harapannya, kolaborasi dan komunikasi antar Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, dan organisasi penyandang disabilitas dapat diperkuat agar berbagai target RIPD yang telah ditetapkan dapat dicapai sejalan dengan pencapaian target-target SDGs. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam berbagai kegiatan dari kajian ini. Kami berharap agar laporan ini dapat menjadi landasan bagi kajian lebih lanjut dan penyusunan strategi dan kebijakan ke depan. Kata Pengantar Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis Jakarta, 16 Desember 2021 Dr. Vivi Yulaswati, M.Sc. i


Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis Kajian Disabilitas Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosio-Ekonomi dan Yuridis Laporan Rekomendasi Kebijakan Copyright © Staf Ahli Menteri Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian PPN/Bappenas, 2021 Tim Pengarah: Sekretaris Kementerian PPN/Sestama Bappenas Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Penulis: Dr. Vivi Yulaswati, MSc (editor) Fajri Nursyamsi, S.H., M.H Muhammad Nur Ramadhan, S.H. Herman Palani, S.E. Ega Kurnia Yazid, S.E. Desain Sampul & Tata Letak: Muhammad Mursyid Ash Shiddieqy, S.E. Dokumentasi & Foto Cover: Ega Kurnia Yazid, Herman Palani, Mohammad Showam, dan sumber lainnya: PUSPADI BALI, HWDI, dll i-vi + 89 hlm; 210 x 297 mm ISBN: 978-623-92694-1-8 Diterbitkan oleh: Staf Ahli Menteri Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian PPN/Bappenas. Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat 10310 ii


DAFTAR ISI Kata Pengantar Da ar Isi Da ar Grafik Da ar Tabel dan Kotak Bab 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Kajian Bab 2. Definisi dan Ruang Lingkup Kajian 2.1 Istilah dan Ruang Lingkup Penyandang Disabilitas 2.2 Tantangan Penggunaan Istilah “Penyandang Disabilitas” dalam Prespektif Yuridis Bab 3. Kondisi dan Capaian Aspek Sosioekonomi dan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas 3.1 Disabilitas dalam Angka 3.1.1 Perkembangan Global Terkait Pembangunan Inklusif Termasuk Penyandang Disabilitas 3.1.2 Gambaran Umum Data Disabilitas di Indonesia 3.2 Taraf Hidup Penyandang Disabilitas 3.3 Penyelenggaraan Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas 3.4 Akses Pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas 3.5 Akses Keuangan dan Teknologi bagi Penyandang Disabilitas Bab 4. Kondisi dan Capaian Pelaksanaan Aspek Yuridis tentang Penyandang Disabilitas 4.1 Pemetaan Regulasi Penyandang Disabilitas 4.1.1 Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 2016 4.1.2 Pemetaan Peraturan Perundang-undangan Terkait dengan Isu Disabilitas Pasca Pembentukan UU 8/2016 4.1.3 Pemetaan Peraturan Perundang-undangan dalam Prolegnas 2021 yang Terkait dengan Isu Disabilitas 4.1.4 Pemetaan Pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyandang Disabilitas 4.2 Capaian Rencana Induk Penyandang Disabilitas 2020-2021 Bab 5. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.1 Kesimpulan 5.2 Rekomendasi Kebijakan Lampiran i iii iv v 1 2 6 7 8 11 21 22 22 23 26 32 34 39 45 46 47 55 57 61 64 75 76 78 82 Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis iii


DAFTAR GRAFIK Grafik 1. Tingkat kemiskinan penyandang disabilitas dan nonpenyandang disabilitas Grafik 2. Perbandingkan tingkat kemiskinan PD dan PMD Grafik 3. Tingkat pendidikan kelompok penyandang disabilitas Grafik 4. Tingkat Kebekerjaan PD dan Non-PD Grafik 5. Tingkat Kepemilikan Kepemilikan Rekening PD dan Non-PD Grafik 6. Tingkat Kepemilikan Telepon Genggam PD dan Non-PD Grafik 7. Indeks Inklusivitas Global 2020 Grafik 8. Persentase Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jenis dan Tingkat Keparahannya Grafik 9. Proporsi Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jumlah Gangguan Grafik 10. Piramida Penduduk Nasional dan PD Berdasarkan Kelompok Umur Grafik 11. Persentase PD Miskin Relatif terhadap Populasi PD Provinsi dan Perubahannya Grafik 12. Tren Konsumsi Pangan PD dan Persentase Perubahannya, 2018-2020 Grafik 13. Jumlah PD Tanpa Jaminan Kesehatan Relatif terhadap Total PD, 2018-2020 Grafik 14. Rata-rata Pengeluaran Kesehatan Out-of-Pocket (OOP) Rumah Tangga PD per Provinsi Grafik 15. Tren Capaian Pendidikan PD 2018-2020 Grafik 16. Perbandingan Pendidikan Terakhir PD vs Non-PD Grafik 17. Pendidikan Terakhir PD di Kota dan Desa Grafik 18. Kuadran Tingkat dan Perubahan Kebekerjaan PD 2018-2020 Grafik 19. Persentase Pekerja Sektor Informal PD vs Non-PD Grafik 20. Persentase PD Bekerja Sektor Informal vs Persentase PD tanpa Jaminan Kesehatan Grafik 21. Tingkat Kepemilikan Rekening Tabungan PD dan Non-PD Grafik 22. Tingkat Kepemilikan Kepemilikan Telepon Genggam PD dan Non-PD Grafik 23. Tingkat Penggunaan Internet PD dan Non-PD Grafik 24. Tingkat Kepemilikan Rekening, Kepemilikan Telepon Genggam, dan Akses Internet Penyandang Disabilitas per Total PD Provinsi, 2020 Grafik 25. Persentase Kabupaten/Kota per Provinsi yang Memiliki Perda Disabilitas Grafik 26. Capaian 1 Tahun RIPD dalam Aspek Yuridis Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis iv 3 3 4 4 5 5 22 111 23 24 25 111 26 28 29 111 30 32 33 33 36 37 111 38 40 40 40 111 42 62 73


DAFTAR TABEL DAN KOTAK Tabel 1. Peraturan Daerah dan Peraturan Menteri yang Masih Menggunakan Istilah “Penyandang Cacat” dan/atau “Cacat” Tabel 2. Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah yang Menggunakan Istilah “Berkebutuhan Khusus” untuk merujuk “Penyandang Disabilitas” Tabel 3. Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah yang Menggunakan Istilah “Difabel” atau “Difable” untuk merujuk “Penyandang Disabilitas” Tabel 4. Proporsi Sektor Pekerjaan Penyandang Disabilitas Berdasarkan BPS 17 Sektor, 2020 Tabel 5. Ketentuan-Ketentuan Pembentukan Peraturan Pelaksanaan dalam UU 8/2016 Tabel 6. Peraturan Pelaksanaan UU 8/2016 yang Sudah Dibentuk Sampai Desember 2021 Kotak 1. RS Universitas Udayana Ramah PD, Sarana JBI dan Alternatifnya Masih Diperlukan Kotak 2. Penyelenggaran Pendidikan Ramah Disabilitas masih Menjadi PR Kotak 3. Balai Rehabilitas Sosial Menjadi Kunci, Kerjasama dengan Usaha Lokal Perlu Ditingkatkan Kotak 4. Penyandang Disabilitas Berhak Mendapatkan Layanan Keuangan yang Aman Kotak 5. Keterkaitan RIPD SDGs, dan UNCRPD Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis v 144 14 111 15 111 111 17 111 35 111 47 111 49 111 31 34 111 38 111 41 51


vi


1 Bab 1 PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Keberadaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan komitmen 193 negara di dunia termasuk Indonesia dalam mencapai 17 tujuan hingga 2030. Bentuk komitmen tersebut ditunjukkan dengan ditetapkannya Peraturan Pres iden Nomor. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian TPB/SDGs. Agenda SDGs secara jelas menekankan target berkelanjutan pada setiap orang tanpa meninggalkan pihak-pihak tertentu (no one le behind) dalam proses pencapaiannya termasuk kelompok penyandang disabilitas. Dalam upaya penghormatan hak-hak penyandang disabilitas, jauh sebelum komitmen SDGs dibuat, PBB telah merumuskan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) sebagi ko m it m e n b e r s a m a u n tu k m ewu j u d k a n pembangunan inklusif ramah disabilitas. Konvensi ini telah diratifikasi oleh 182 negara di dunia untuk kemudian membuat rancangan nasional masingmasing berupa program kerja demi mendukung penyelenggaran penghormatan hak-hak disabilitas. Terkhusus di Indonesia, penerbitan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas adalah landasan hukum untuk memastikan terselenggaranya aksi-aksi nyata penghormatan disabilitas di Indonesia dan merupakan lanjutan dari ratifikasi CRPD. Tiga tahun setelahnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Pelaksanaan peraturan pemerintah ini dibagi menjadi jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Perencanaan terhadap penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas jangka panjang di tingkat pusat disusun di dalam Rencana Induk Penyandang Disabilitas (RIPD). Sementara untuk ditingkat daerah disusun Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas (RADPD) yang merupakan penjabaran RIPD di tingkat daerah. Sumber Gambar : Galeri PUSPADI Bali Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 2


Beberapa indikator sosial ekonomi menunjukkan bahwa penyandang disabilitas belum sepenuhnya mendapatkan kesejahteraan yang diharapkan. Sebagai contoh, di Indonesia sendiri, 71,4% penduduk penyandang disabilitas adalah pekerja informal. Hal ini dikarenakan oleh kurangnya akses ke pasar tenaga kerja¹. Tingkat prevalensi yang tinggi ditambah ketidakmerataan akses bagi penduduk penyandang disabilitas berdampak pada tujuan pembangunan berkelanjutan utamanya dalam memenuhi indikator SDGs seperti, tanpa kemiskinan dan kelaparan (SDGs 1 & 2), kesehatan dan kesejahteraan (SDGs 3), pendidikan yang berkualitas (SDGs 4), pekerjaan yang layak (SDGs 8), pemerataan akses (SDGs 10), dan akses pada informasi dan keadilan (SDGs 16). Dalam hal memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, Indonesia juga dihadapkan pada berbagai tantangan yang diantaranya adalah kurangnya data yang berkualitas dan perbedaan definisi disabilitas dan metodologi pengukuran. 9,63% 11,42% NonPD Miskin PD Miskin Grafik 1. Tingkat Kemiskinan Penyandang Disabilitas dan Non Penyandang Disabilitas Grafik 2. Perbandingan Tingkat Kemiskinan PD dan PMD 9,44% 9,63% 13,38% PD Tunggal Non-PD PD Ganda/Multi Sumber : Susenas (2020) Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 3  ¹Economic and Social Commission for Asia and the Pacific. (2015). Disability at a Glance 2015: Strengthening Employment Prospects for Persons with Disabilities in Asia and the Pacific. In United Nation.


Oleh karena itu, melalui studi ini, terdapat tiga fokus utama kaitannya dengan kesejahteraan dan aksesibilitas penyandang disabilitas. Ketiga aspek tersebut ialah, kesejahteraan (well-being), akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, dan akses kepada teknologi dan inklusi keuangan. Aspek well-being mencakup kondisi ekonomi, kesehatan fisik dan mental, akses pada fasilitas kesehatan, dan perilaku hidup bersih dan sehat. Grafik 1 dan 2 menunjukkan tingginya tingkat kemiskinan penyandang disabilitas (PD) relatif terhadap non penyandang disabilitas (Non-PD). Sebesar 11,42% kelompok PD hidup di bawah garis kemiskinan sementara Non-PD sebesar 9,63%. Sementara itu tingkat kemiskinan pada PD ganda atau multi (lebih dari satu) lebih tinggi lagi yakni sebesar 13,38%. Selanjutnya, pada aspek pendidikan dan pekerjaan mencakup tingkat pendidikan penyandang disabilitas dan implikasinya dalam mendapatkan pekerjaan yang layak. Berdasarkan Grafik 3 ditunjukkan bahwa 29,61% adalah lulusan pendidikan dasar dan 27,74% bahkan tidak menamatkan pendidikan dasar. Mereka yang mampu menyelesaikan pendidikan menengah pertama dan atas hanya 24,51%, angka ini semakin kecil jika melihat pada pendidikan tinggi yang hanya mencapai 5,12%. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kelompok penyandang disabilitas pelu mendapatkan perhatian serius karena berkaitan dengan tingkat penerimaan bekerja dan dan skill yang berguna untuk mata pencaharian. Sementara itu Grafik 4 menunjukkan tingkat Kebekerjaan pada kelompok disabilitas dan nondisabilitas yang mana tingkat kebekerjaan pada kelompok PD lebih rendah dibandingkan dengan Non-PD walaupun selisihnya tidak terlalu besar. Akan tetapi, tren tingkat keberkerjaan pada PD selalu mengalami penurunan dari tahun 2018. Hingga tahun 2020, tingkat keberkerjaan PD adalah sebesar 55,5%. Grafik 3. Tingkat Pendidikan Kelompok Penyandang Disabilitas Grafik 4. Tingkat Kebekerjaan PD dan Non-PD SD Sederajat Tidak Tamat SD SMA Sederajat Tidak/Belum Pernah Bersekolah SMP Sederajat PT Sederajat 5,12% 27,74% 29,61% 13,02% 14,25% 10,26% 2018 2019 2020 58,0% 60,3% 56,7% 60,6% 55,5% 60,2% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% Sumber : Susenas (2018-2020) Non-PD PD Non-PD PD Non-PD PD Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 4


Aspek terakhir ialah akses teknologi dan inklusi keuangan. Akses pada layanan keuangan menjadi salah satu prasyarat penting untuk mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan dan memberikan akses terhadap berbagai jenis pekerjaan. Tanpa rekening bank, misalnya, individu seringkali menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk melakukan transaksi keuangan melalui penyedia layanan keuangan alternatif. Namun, layanan keuangan tidak selalu dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Berdasarkan Grafik 5, terlihat bahwa masih ada 73,76% penyandang disabilitas yang tidak mempunyai rekening perbankan. Selain itu, kepemilikan telepon genggam pada kelompok disabilitas juga relatif rendah yakni hanya mencapai 36,74%. Be rda s a r ka n papa ra n di a ta s , dapa t disimpulkan bahwa penting untuk memetakan situasi penyandang disabilitas dalam rangka mewujudkan komitmen Indonesia pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan penyelenggaraan penghormatan hak-hak disabilitas di Indonesia. Selain itu, dibutuhkan juga evaluasi terhadap undang-undang disabilitas yang sudah diimplementasikan tahun-tahun sebelumnya dan hal-hal apa saja yang perlu dibenahi di masa mendatang. Grafik 5. Tingkat Kepemilikan Rekening Tabungan PD dan Non-PD Grafik 6. Tingkat Kepemilikan Telepon Genggam PD dan Non-PD Memiliki Telepon Genggam Tidak Memiliki Telepon Genggam Sumber : Susenas (2020) 63,55% 36,45% 73,76% 26,24% Non-PD PD 0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% 59,41% 40,59% 36,74% 63,26% Non-PD PD 0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% Memiliki Tabungan Tidak Memiliki Tabungan Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 5


1.2 Tujuan Kajian Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan dari kajian ini adalah: · Mengkaji mengenai perbaikan akses kebutuhan dasar serta taraf hidup kelompok penyandang disabilitas di tengah agenda SDGs. · Mengkaji efektivitas peraturan pelaksanaan UU No.8/2016 terhadap pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. · Menjaring pendapat terkait kendala yang masih dialami oleh kelompok penyandang disabilitas terkait akses layanan publik. · Menghimpun harapan, saran, dan gagasan dari komunitas penyandang disabilitas terutama terkait akses terhadap kebutuhan dasar, pendidikan dan pelatihan, dan kesempatan kerja. Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 6


7 Bab 2 DEFINISI DAN RUANG LINGKUP KAJIAN


2.1 Istilah dan Ruang Lingkup Penyandang Disabilitas Istilah “Penyandang Disabilitas” dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU 8/2016) dimaknai sebagai, “setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”. Konsep itu merupakan hasil dari pembahasan UU 8/2016, sebagai bagian dari upaya mengadaptasi prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights for Persons with Disabilities - CRPD) dalam hukum positif sekaligus birokrasi pemerintahan di Indonesia. Namun begitu, UU 8/2016 bukanlah UU pertama yang menggunakan istilah penyandang disabilitas, melainkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UU 19/2011). Dalam UU 19/2011, istilah tersebut digunakan sebagai terjemahan dalam Bahasa Indonesia untuk istilah “persons with disabilities” yang digunakan dalam CRPD, setelah Indonesia ikut menandatanganinya pada 2006. CRPD inilah yang kemudian menjadi landasan pembaruan cara pandang dan prinsip-prinsip dalam penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia sampai saat ini. Namun begitu, perlu diakui bahwa istilah “Penyandang Disabilitas” bukan satu-satunya yang digunakan di Indonesia. Ada istilah lain seperti “Difabel”, “Berkebutuhan Khusus”, atau “Orang Dengan Disabilitas”. Istilah lain yang juga kerap digunakan adalah penyebutan berdasarkan ragam disabilitas seperti menggunakan kata “tuna”, atau lebih spesifik dengan istilah “tuli”, “buta”, “orang dengan gangguan jiwa”, dan istilah lainnya yang berasal dari bahasa daerah di Indonesia. Perkembangan istilah itu harus dihormat dan didukung perkembangannya secara sosiologis, agar tercipta kenyamanan dalam penggunaannya sebagai media komunikasi, seiring dengan perlu terus dikembangkannya perspektif terhadap disabilitas berdasarkan CRPD. Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 8


Beragamnya istilah yang dikenal menjadi modal awal dalam penelitian ini untuk menemukan kata-kata tersebut dalam judul dan rumusan peraturan perundangundangan. Pencarian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dalam periode 2006-2021, yaitu periode ketika Indonesia sudah menandatangani CRPD. Setelah melakukan pencarian menggunakan website pencarian peraturan perundang-undangan, seperti jdih.bappenas.go.id; peraturan.go.id; peraturan.bpk.go.id; dan hukumonline.com, tidak seluruh istilah ditemukan tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Adapun istilah yang berhasil ditemukan adalah “Penyandang Disabilitas”, “Penyandang Cacat”, “Difabel”, “Difable”, dan “Berkebutuhan Khusus”, yang menjadi obyek analisa dalam penelitian ini. Se l a in s eba ga i sua tu i s ti l ah, memaknai “Penyandang Disabilitas” juga perlu dilihat dari segi ruang lingkupnya, atau biasa juga disebut dalam lingkup ragam disabilitas. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016, ragam disabilitas dibagi menjadi empat, yaitu disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, dan/atau disabilitas sensorik. Selain itu pada Pasal 4 ayat (2) UU 8/2016, lingkup disabilitas juga dilihat berdasarkan jumlah hambatannya, apakah disabilitas tunggal, ganda (dua ragam disabilitas), atau multi (lebih dari dua ragam disabilitas). Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 dijelaskan satu per satu ragam disabilitas, dan menyebutkan contoh kondisinya dengan menggunakan istilah “antara lain” yang berarti tidak terbatas pada apa yang disebutkan dalam penjelasan tersebut. Hal itu dilakukan untuk mengakomodasi konsep disabilitas yang digunakan dalam CRPD, yang bersifat fleksibel, tidak mengunci pada kondisi tertentu, dan menjadikannya konsep yang terbuka, sehingga dapat terus berkembang dari waktu ke waktu. Dalam artikel 1 paragraf 2 CRPD disebutkan bahwa, “Persons with disabilities include those who have long-term physical, mental, intellectual or sensory impairments which when interacting with various barriers, may hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others.” (“Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki gangguan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka Panjang yang Ketika berinteraksi dengan berbagai hambatan, dapat menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat atas dasar kesetaraan dengan orang lain”) Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 9


Dari konsep itu CRPD tidak membatas kondisi apa saja yang termasuk disabilitas. Dengan begitu, konsepnya akan terus berkembang seiring kondisi zaman, dan dipengaruhi oleh banyak aspek yang terus berkembang. Selain ragamnya, lingkup disabilitas juga dapat dilihat dari tingkatan hambatan, yaitu ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). Kategori itu digunakan oleh data statistik yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik, khususnya dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 yang digunakan dalam laporan penelitian ini. Ruang lingkup ringan, sedang, dan berat yang digunakan dalam Susenas 2020 dalam menggambarkan kondisi penyandang disabilitas di Indonesia menggunakan pendataan dengan model Washington Group, yang merumuskan pertanyaan dalam kuesionernya berdasarkan hambatan-hambatan yang dialami oleh seseorang. Adapun hambatan yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1. Mengalami kesulitan/gangguan penglihatan 2. Mengalami kesulitan/gangguan pendengaran 3. Mengalami kesulitan/gangguan berjalan atau naik tangga(mobilitas) 4. Mengalami kesulitan/gangguan menggunakan damn menggerakkan tangan/jari 5. Mengalami kesulitan/gangguan dalam hal mengingat atau konsentrasi 6. Mengalami kesulitan dalam mengendalikan perilaku dan atau emosional 7. Mengalami kesulitan/gangguan berbicara dan atau memahami/berkomunikasi dengan orang lain 8. Mengalami kesulitan/gangguan untuk mengurus diri sendiri (seperti mandi, makan, berpakaian, buang air besar, buang air kecil. Ruang lingkup yang juga kerap digunakan oleh Washington Group adalah “some difficulty”, “a lot of difficulty”, dan “unable to do it”. Dalam diskusi ini data-data terkait penyandang disabilitas diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari tahun 2018-2020 yang mengelompokkan penyandang disabilitas 3 tingkat keparahan yaitu ringan, sedang, dan berat. Selain itu penyandang disabilitas juga terbagi menjadi 8 jenis seperti yang disebutkan di atas. Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 10


Perlu dipahami bahwa seorang dapat penyandang disabilitas dapat mengalami satu jenis kesulitan atau gangguan yang kemudian disebut sebagai penyandang disabilitas ganda/multidisabilitas. Hal lain yang perlu dicatat adalah data-data Susenas tidak bisa digunakan untuk mengestimasi jumlah penyandang disabilitas secara akurat, menimbang desain sampel acak Susenas yang memang tidak spesifik untuk mengestimasi penyandang disabilitas. Namun, studi ini tetap menggunakan Susenas karena mempertimbangkan tiga alasan utama yang disediakan oleh survei ini : 1. Meskipun tidak bisa mengestimasi frekuensi, Susenas dapat digunakan untuk mengukur segregrasi indikator antara PD dan Non-PD seperti persentase akses internet PD dan Non-PD. 2. Susenas dapat menangkap tren dari capaian indikator-indikator umum sasaran RIPD. 3. Susenas dapat menunjukkan capaian indikator dalam level daerah setidaknya pada skala provinsi. Dengan mempertimbangkan alasan-alasan di atas, studi ini menggunakan data Susenas untuk mengukur capaian indikator-indikator umum dari sasaran RIPD. 2.2 Tantangan Penggunaan Istilah “Penyandang Disabilitas” dalam Perspektif Yuridis Dalam perspektif yuridis, istilah “penyandang di sabilitas” resmi digunakan sebagai pengganti dari istilah “penyandang cacat” pasca DPR dan Presiden resmi mensahkan UU 8/2016 menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Dalam Pasal 148 UU 8/2016 mengatur bahwa, “Istilah Penyandang Cacat yang dipakai dalam peraturan perundangundangan yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca dan dimaknai sebagai Penyandang Disabilitas, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.” Dengan adanya Pasal itu, maka seharusnya tidak ada lagi peraturan perundangundangan yang menggunakan istilah “penyandang cacat”. Ketentuan itu juga menegaskan bahwa setelah berlakunya UU 8/2016, maka peraturan perundangundangan baru atau perubahan sudah menggunakan istilah “Penyandang Disabilitas”. Harmonisasi penggunaan istilah dalam peraturan perundang-undangan penting untuk dilakukan. Selain untuk membangun konsistensi pemahaman, harmonisasi istilah juga akan memudahkan operasionalisasi pelaksanaan di lapangan. Salah satu contoh Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 11


kebutuhan untuk menyeragamkan istilah yang digunakan dalam peraturan perundangundangan adalah dalam bidang perencanaan dan penganggaran. Dalam rangka pelaksaan PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (PP 70/2019), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional membentuk Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 2021 (Permen 3/2021). Dalam Pasal 20 Permen 3/2021 itu diatur mengenai Penandaan Anggaran Penyandang Disabilitas yang bertujuan untuk memastikan sumber daya anggaran dapat teralokasi secara efektif dan efisien untuk menunjang pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas, begitu pula di tingkat daerah. Dalam pelaksanaannya, panduan atau rujukan suatu Kementerian/Lembaga atau pemerintah daerah dalam mengajukan perencanaan dan penganggaran adalah peraturan perundang-undangan, sehingga istilah yang digunakan haruslah dilakukan secara seragam. Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yang diatur dalam Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah asas kejelasan rumusan. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan asas kejelasan rumusan adalah “…setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.” Salah satu cara untuk mengaplikasikan asas tersebut adalah dengan penggunaan istilah yang konsisten antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. Penyeragaman itu diperlukan semata-mata untuk menghindari interpretasi yang beragam dalam memahami suatu rumusan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat memudahkan dalam memahami dan melaksanakan peraturan tersebut. Dalam praktiknya, masih ada peraturan perundang-undangan baru atau perubahan yang menggunakan istilah “Penyandang Cacat” atau menggunakan kata Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 12


“Cacat” yang dilekatkan kepada manusia. Contoh peraturan perundang-undangan yang masih menggunakan istilah tersebut adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Penggunaan istilah “Penyandang Cacat” pada UU Cipta Kerja terdapat pada Pa s a l-Pa s a l pe rubahan, s ehing ga rumus annya menggunakan rumusan lama atau bawaan dari UU yang direvisi. Namun begitu, berdasar Pasal 148 UU 8/2016 seharusnya istilah “Penyandang Cacat” dimaknai sebagai “Penyandang Disabilitas”, dan istilah baru itu yang digunakan dalam ketentuan perubahannya. Selain dalam UU Cipta Kerja, istilah “penyandang cacat” atau “cacat” yang dilekatkan kepada manusia terdapat pada regulasi di bidang pertahanan, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2015 Tentang Asuransi Sosial Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Veteran Republik Indonesia; dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2019 tentang Penetapan Pensiun Pokok Purnawirawan, Warakawuri/Duda, Tunjangan Anak Yatim/Piatu, Anak Yatim Piatu, dan Tunjangan Orang Tua Anggota Tentara Nasional Indonesia. Adapun dalam bidang ketenagakerjaan dan jaminan Kesehatan yang masih menggunakan istilah “cacat” yang dilekatkan kepada manusia terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian; dan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sedangkan dalam bidang administrasi kependudukan, PP Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan dari UU Administrasi Kependudukan juga masih menggunakan istilah cacat untuk merujuk pada salah satu data yang harus dirahasiakan, yang diatur dalam Pasal 54. Istilah “Penyandang Cacat” dan “Cacat” yang dilekatkan kepada manusia juga digunakan dalam peraturan perundang-undangan di bawah UU dan PP yang disahkan pada periode 2016-2021, mencakup peraturan daerah dan peraturan menteri yaitu sebagai berikut. Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 13


Dalam tabel diatas dapat diketahui bahwa penggunaan istilah penyandang cacat pada peraturan daerah dalam bidang ketenagakerjaan dan olahraga. Hal itu dapat disebabkan karena rujukan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam UU, yang masih menggunakan istilah “Penyandang Cacat”, sehingga perlu untuk disesuaikan. Seperti dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang masih menggunakan istilah Penyandang Cacat, yang kemudian dirujuk oleh Peraturan Daerah Kabupaten Kayong Utara Nomor 4 tahun 2016 tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Prestasi dalam pembentukannya. Sedangkan dalam peraturan Menteri, penggunaan istilah “Penyandang Cacat” dan “Cacat” yang dilekatkan kepada manusia terdapat dapat bidang pertahanan; ketenagakerjaan; serta riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Bidang pertahanan dan ketenagakerjaan menjadi bidang yang masih mempertahankan istilah “cacat”, sehingga perlu untuk disesuaikan dengan Pasal 148 UU Tabel 1. Peraturan Daerah dan Peraturan Mentri yang Masih Menggunakan Istilah “Penyandang Cacat” dan/atau “Cacat” No Judul Peraturan Peraturan Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Kayong Utara Nomor 4 tahun 2016 tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Prestasi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan Di Kota Pontianak Peraturan Menteri Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 25 Tahun 2016 tentang Penetapan Kecacatan, Pemberian Santunan Cacat, dan Tunjangan Cacat Serta Alat Bantu Tubuh Bagi Veteran Republik Indonesia Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Santunan dan Tunjangan Cacat Prajurit Tentara Nasional Indonesia Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 8 Tahun 2017 tentang Status Tingkat dan Golongan Kecacatan Bagi Prajurit Tentara Nasional Indonesia Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberian Delegasi Wewenang Penetapan Kecelakaan Kerja untuk Perawatan Aparatur Sipil Negara Kepada Pejabat Tertentu di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi 1 2 3 4 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua 1 2 3 4 5 6 7 Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 14


8/2016. Tantangan lain dalam melakukan harmonisasi penggunaan istilah “Penyandang Disabilitas” adalah masih adanya istilah lain seperti “Berkebutuhan Khusus”, “Difabel”, atau “Difable” dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penggunaan istilah “Berkebutuhan Khusus” digunakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan; dan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, yang sebenarnya secara konsep sama dengan istilah “Penyandang Disabilitas”. Kondisi serupa juga terjadi dalam peraturan perundang-undangan lain di bawah PP dan Perpres, yaitu Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah, yaitu sebagai berikut. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 48 Tahun 2017 tentang Statuta Politeknik Negeri Media Kreatif 6 Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 Tahun 2017 tentang Statuta Politeknik Negeri Ketapang 7 8 9 10 Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 84 Tahun 2017 tentang Statuta Universitas Terbuka Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 22 Tahun 2017 tentang Statuta Politeknik Negeri Banjarmasin Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 25 Tahun 2017 tentang Statuta Politeknik Negeri Samarinda Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 29 Tahun 2017 tentang Statuta Politeknik Negeri Medan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 30 Tahun 2018 tentang Statuta Politeknik Negeri Bandung 11 12 Tabel 2. Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah yang Masih Menggunakan Istilah “Berkebutuhan Khusus” untuk merujuk “Penyandang Disabilitas” No Judul Peraturan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 98 Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik Bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penilaian Hasil Belajar Oleh Pemerintah Dan Penilaian Hasil Belajar Oleh Satuan Pendidikan 2 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 25 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Statuta Institut Teknologi Kalimantan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 38 Tahun 2017 tentang Statuta Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh 3 4 5 Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 15


Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Permen dan Perda yang masih banyak menggunakan istilah “Berkebutuhan Khusus” ada dalam bidang perhubungan dan pendidikan. Penggunaan istilah tersebut lebih diakibatkan karena suatu proses berulang dibandingkan merujuk kepada peraturan yang lebih tinggi. Istilah “Berkebutuhan Khusus” tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), yang seharusnya menjadi rujukan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Istilah yang merujuk kepada “Penyandang Disabilitas” dalam UU Sisdiknas tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.” Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penyediaan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 63 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimum Angkutan Orang Dengan Kereta Api 13 14 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 30 tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Minimal Penumpang Angkutan Udara 15 16 Peraturan Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan 1 Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 7 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 8 Tahun 2018 tentang Kabupaten Layak Anak Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 4 Tahun 2016 tentang Kabupaten Layak Anak Peraturan Daerah Kabupaten Sikka Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif 2 3 4 5 Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak 6 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2017 tentang Upaya Kesehatan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pendidikan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Peraturan Daerah Provinsi Di Yogyakarta Nomor 15 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Menengah 7 8 9 10 11 Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 16


Dalam Pasal itu istilah “Penyandang Disabilitas” disebut dengan “kelainan fisik, emosional, mental, sosial”. Istilah “Berkebutuhan Khusus” ditemukan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang Pendidikan Inklusif. SE Dirjen itu memerintahkan bahwa setiap kabupaten/kota wajib menyelenggarakan dan mengembangkan Pendidikan inklusif sekurang-kurangnya di empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK, agar setiap anak berkebutuhan khusus mampu mengakses haknya memperoleh pendidikan yang sama dengan anak pada umumnya. Selain itu, istilah “Berkebutuhan Khusus” tidak selalu merujuk kepada “Penyandang Disabilitas”, tetapi dapat juga kepada lansia (dalam bidang perhubungan) atau peserta didik yang memiliki bakat istimewa (dalam bidang pendidikan), sehingga dalam kondisi itu perlu untuk dijabarkan lebih lanjut, karena dalam praktiknya kebutuhan penanganan atau dukungannya berbeda. Berdasarkan pada Tabel 2 juga dapat diketahui bahwa istilah “Berkebutuhan Khusus” digunakan dalam Statuta beberapa politeknik, sehingga penggunaannya berulang di beberapa Permen. Hal itu perlu didalami lebih lanjut bagaimana pelaksanaannya di politeknik bersangkutan, apakah hanya istilah “Berkebutuhan Khusus” hanya merujuk kepada “Penyandang Disabilitas” atau ada kelompok masyarakat lain. Sedangkan untuk istilah “Difabel” atau “Difable” digunakan dalam berbagai Permen dan Perda sebagai berikut. Tabel 3. Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan Peraturan Kepala Daerah yang Menggunakan Istilah “Difabel” atau “Difable” untuk merujuk “Penyandang Disabilitas” No Judul Peraturan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa 4 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.68/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2017 Tahun 2017 tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Penugasan Bidang Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.104/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 Tahun 2018 tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Penugasan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien 1 2 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.7/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2020 Tahun 2020 tentang Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Penugasan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun Anggaran 2020 5 Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 17


  Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa istilah “Difabel” atau “Difable” digunakan dalam peraturan dalam tingkat teknis baik di K/L atau pemerintah daerah. Penggunaan istilah itu sangat mungkin dipengaruhi oleh pi l ihan penggunaan i s ti lah dari para pembentuknya, dan lebih banyak dipengaruhi oleh aspek sosiologis dan kultural. Namun masih perlu didalami bagaimana proses pembentukan peraturan p e r u n d a n g - u n d a n g a n t e r s e b u t s e h i n g g a menggunakan istilah yang berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang masih berlaku, khususnya yang dibentuk pada periode 1999-2016, ada berbagai istilah lain yang digunakan untuk menyebut “Penyandang Disabilitas” atau menyebut suatu kelompok yang di dalamnya termasuk Peraturan Daerah Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2016 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2016-2026 Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 3 Tahun 2016 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Desa Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pasar Desa Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan 1 2 3 4 Peraturan Kepala Daerah Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 213 Tahun 2016 tentang Standardisasi Kebutuhan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 92 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas Dengan Sistem Ganjil-Genap Menjelang dan Selama Penyelenggaraan Asian Para Games 2018 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 147 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Panduan Rancang Kota 1 2 3 4 Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 22 Tahun 2018 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 37 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penganggaran Pelaksanaan dan Penatausahaan Pertanggungjawaban dan Pelaporan Serta Monitoring dan Evaluasi 5 Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 811 Tahun 2018 tentang Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 811 Tahun 2018 Tentang Panduan Rancang Kota Pusat Pelayanan Kota Alun-Alun 6 7 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 123 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Kebutuhan Sarana dan Prasarana Ruang Publik Terpadu Ramah Anak Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 95 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimum Angkutan Orang dengan Moda Raya Terpadu/Mass Rapid Transit dan Lintas Raya Terpadu/Light Rail Transit Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 18


penyandang disabilitas. Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menggunakan istilah “Masyarakat Tertentu” yang di dalamnya termasuk penyandang disabilitas. Dalam Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia digunakan istilah “Kelompok Masyarakat yang Rentan”, yang dalam penjelasannya memasukan penyandang disabilitas di dalamnya. Istilah “Kelompok Rentan” yang memasukan penyandang disabilitas juga diatur dalam Pasal 55 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Istilah yang sedikit berbeda adalah “Kelompok Rentan Administrasi” yang diatur dalam Pasal 25 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang sudah diubah satu kali melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Beragamnya istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan untuk merujuk pada konsep “Penyandang Disabilitas” perlu untuk didalami dan didiskusikan, dibandingkan diperselisihkan. Di satu sisi ada kebutuhan untuk melakukan harmonisasi dengan kesatuan istilah dari perspektif yuridis, tetapi tetap menghormati keragaman istilah demi mendorong perkembangan budaya dalam perspektif sosiologis. Pasal 148 UU 8/2016 dapat menjadi rujukan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dalam menggunakan “Penyandang Disabilitas” sebagai kesatuan istilah. Namun, dari aspek sosiologis, dan dalam jangka Panjang, perlu untuk terus dikembangkan dan didalami, sehingga bukan tidak mungkin akan ada perkembangan istilah yang disepakati bersama seiring dengan perkembangan perspektif terhadap disabilitas di tengah masyarakat Indonesia. Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 19


20


21 Bab 3 KONDISI DAN CAPAIAN ASPEK SOSIOEKONOMI DAN AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS


3.1 Disabilitas dalam Angka 3.1.1 Perkembangan Global Terkait Pembangunan Inklusif Termasuk Penyandang Disabilitas Salah satu indikator yang menjadi acuan perkembangan disabilitas global adalah indeks indklusivitas. Indeks inklusivitas adalah ukuran holistik dari pembangunan inklusif yang berfokus pada kesetaraan ras/etnis, agama, gender, dan disabilitas di ranah perwakilan politik, kekerasan di luar kelompok, ketimpangan pendapatan, tingkat penahanan, dan kebijakan imigrasi dan pengungsi. Pada Grafik 7 memperlihatkan bahwa di tahun 2020 Indonesia secara global menempati peringkat 125 (nilai=26,5) dalam pelakasanaan pembangunan inklusif. Angka tentu masih jauh tertinggal dari negara-negara maju seperti, Belanda, Selandia Baru, Swedia, UK, dll. Di antara negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia pun masih di bawah Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand namun masih di atas Malaysia dan Myanmar. Grafik 7. Indeks Inklusivitas Global 2020 Sumber : 2020 Inclusiveness Index : Measuring Global Inclusion dan Marginality Netherlands New Zealand Sweden Norway Portugal Ireland United Kingdom Finland Canada Denmark Philippines Vietnam Singapore Thailand Indonesia Malaysia Myanmar 100 83,59 83,04 80,78 74,89 72,64 70,74 70,74 68,52 67,57 45,34 39,84 31,92 29,22 26,50 17,45 12,14 TOP 10 Global Ne gara ASEAN Peringkat 125 Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 22


3.1.2 Gambaran Umum Data Disabilitas di Indonesia Dalam survei yang dilakukan oleh BPS, penyandang disabilitas dikelompokkan menjadi 8 jenis yakni kesulitan atau masalah dalam (i) melihat, (ii) berjalan, (iii) konsentrasi / ingatan, (iv) mendengar, (v) berkomunikasi, (vi) menggunakan tangan / jari, (vii) mengurus diri sendiri, (viii) gangguan perilaku / emosi. Grafik 8 panel a menunjukkan perentase PD terhadap total sampel PD berdasarkan jenisnya². Secara umum, jenis disabilitas yang paling banyak di Indonesia ialah orang-orang dengan gangguan melihat yakni sekitar 64% dari total jumlah penyandang disabilitas, disusul dengan orang-orang dengan gangguan berjalan dan konsentrasi / mengingat yang masing-masing berjumlah 38,3% dan 29,7%. Sedangkan jenis masalah / gangguan yang relatif paling sedikit di Indonesia yakni masalah emosi atau perilaku, mengurus diri sendiri, dan menggunakan tangan / jari. Grafik 8. Presentase Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jenis dan Tingkat Keparahannya Sumber : Susenas (2020), diolah 63,7% 38,3% 29,7%29,0% 16,5%16,0% 13,5%13,5% Berjalan Konsentrasi /Ingatan Mendengar Komunikasi Tangan/Jari Mengurus Diri Sendiri Gangguan Perilaku /Emosi Melihat 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Berjalan Konsentrasi /Ingatan Mendengar Komunikasi Tangan/Jari Mengurus Diri Sendiri Gangguan Perilaku /Emosi Melihat 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 80% 90% 100% (b) Proporsi Tingkat Keparahan PD Berdasarkan Jenisnya (b) Presentase PD Berdasarkan Jenisnya Ringan Sedang Parah Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 23  ²Perlu dicatat penjumlahan dari persentase ini bisa lebih dari 100% mengingat bahwa penyandang disabilitas bisa saja menyandang lebih dari satu jenis gangguan / masalah. Dengan kata lain bagan ini menunjukkan persentase PD yang tidak mutually exclusive.


Pola berbeda ditunjukkan dengan tingkat keparahannya (lihat Grafik 8 panel B). Meskipun orang-orang dengan gangguan penglihatan dominan, namun gangguan tersebut didominasi oleh gangguan-gangguan yang relatif ringan. Penyandang disabilitas yang memiliki tingkat keparahan cukup tinggi secara proporsi justru terlihat pada orangorang dengan gangguan dalam mengurus diri sendiri, berjalan, dan berkomunikasi. Grafik 9. Proporsi Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jumlah Gangguan 48,7% 51,3% (a) Proporsi PD Tunggal vs PMD Nasional PD Tunggal PMD (b) Proporsi PD Tunggal vs PMD per Provinsi Sumut Bali Jateng Kalbar Jatim Sulsel NTT Aceh Jabar Sumbar DIY Jambi Papua NTB Lampung Kalsel DKI Banten Gorontalo Papua Barat Kep Babel Kaltim Kalteng Sulteng Sumsel Bengkulu Maluku Utara Sulut Riau Sultra Maluku Sulbar Kalut Kepri 51,9% 51,7% 51,2% 51,0% 50,6% 50,1% 50,0% 49,6% 49,0% 48,7% 48,2% 48,0% 48,0% 47,7% 47,3% 47,1% 47,1% 46,7% 46,2% 45,8% 45,2% 44,8% 44,2% 44,1% 43,9% 43,8% 43,7% 43,6% 43,5% 42,3% 42,1% 41,4% 39,5% 38,7% 48,1% 48,3% 48,8% 49,0% 49,4% 49,9% 50,0% 50,4% 51,0% 51,3% 51,8% 52,0% 52,0% 52,3% 52,7% 52,9% 52,9% 53,3% 53,8% 54,2% 54,8% 55,2% 55,8% 55,9% 56,1% 56,2% 56,3% 56,4% 56,5% 57,7% 57,9% 58,6% 60,5% 61,3% Sumber : Susenas (2020), diolah PD Tunggal PMD Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 24


Adapun sebaran penyandang disabilitas berdasarkan jumlah jenis disabilitas yang disandang ditunjukkan oleh Grafik 9. Memahami sebaran penyandang disabilitas berdasarkan jumlah jenisnya menjadi penting karena PMD—yakni PD dengan dua jenis disabilitas atau lebih—cenderung memiliki hambatan atau tantangan yang lebih sulit dibandingkan penyandang disabilitas tunggal. Seiring itu, penanganan dan fasilitas bagi pe n ya nda n g di s abi l ita s ga nda pu n memerlukan perhatian khusus yang lebih banyak dari penyandang disabilitas tunggal. Berdasarkan Grafik 9 panel a, terdapat proporsi yang cukup seimbang antara PD tunggal dan PMD. Pola serupa juga terlihat di tiap provinsi yang rata-rata menunjukkan proporsi jenis PD yang seimbang juga (lihat panel b). Apabila diurutkan berdasarkan proporsi PMD tertinggi, maka Sumatera Utara, Bali, Jawa Tengah, dan Kalimantan Barat menjadi provinsi teratas dengan proporsi PMD terbanyak. Sebaliknya, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Barat memiliki proporsi PMD terendah. Terlepas tinggirendahnya proporsi tersebut, otoritas daerah perlu memberi perhatian lebih pada PMD di wilayahnya dan mendesain program atau kebijakan-kebijakan yang akurat dalam mengurangi kendala-kendala yang dihadapinya sehingga dapat tercipta kesempatan yang setara bagi PD tunggal dan PMD dengan non-PD. Grafik 10. Piramida Penduduk Nasional dan PD Berdasarkan Kelompok Umur (dalam %) 75+ 70-74 65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 0-4 75+ 70-74 65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 0-4 (a) Piramida Umur Penduduk Indonesia (b) Piramida Umur Penduduk Penyandang Disabilitas Sumber : BPS (2019) & Susenas (2020) Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 25


Berdasarkan kelompok umurnya, penyandang disabilitas cenderung menunjukkan piramida umur yang kontras dengan piramida umur penduduk Indonesia (lihat Grafik 10 panel a dan b). Artinya, penyandang disabilitas cenderung didominasi oleh penduduk berusia lanjut (lansia). Hal ini selaras dengan turunnya fungsi fisik maupun mental/emosi akibat dari proses penuaan. Ini juga berarti bahwa desain kebijakan atau bantuan yang selanjutnya disusun perlu juga mempertimbangkan permasalahanpermasalahan yang dialami oleh lansia juga agar menjadi efektif dan efisien karena menyasar kelompok demografi yang sama. 3.2 Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Grafik 11. Persentase PD Miskin Relatif terhadap Populasi PD Provinsi dan Perubahannya Papua DIY NTT Papua Barat NTB Jateng Bengkulu Jatim Lampung Maluku Gorontalo Aceh Sultra Sumsel Sulsel Sulteng Kalbar Sulut Jabar Sumut Kepri Sulbar Jambi Kalsel Banten Kaltim Bali Sumbar Riau Kalteng DKI Maluku Utara Kalut Kep Babel 20,62% 20,16% 20,02% 18,02% 17,18% 15,90% 15,72% 15,26% 14,71% 14,59% 13,06% 12,99% 11,32% 10,78% 9,97% 9,87% 9,35% 9,26% 8,77% 8,09% 7,46% 7,45% 7,11% 6,83% 6,81% 6,47% 6,12% 5,82% 5,67% 4,95% 4,84% 4,74% 4,37% 4,05% -5,9% 4,7% -0,5% -1,1% -0,6% 2,8% -0,9% 0,6% -0,5% -2,4% -1,3% -4,3% 0,6% -1,6% 0,6% -1,9% 1,6% 1,9% -0,8% -0,5% 1,0% -4,0% -0,8% 1,3% 1,1% -0,7% -0,5% -0,1% -2,9% 0,9% 1,8% -0,5% -4,6% -2,0% Sumber : Susenas (2018 & 2020), diolah Perubahan 2018-2020 (%) Presentase PD Miskin Relatif teradap Populasi PD Provinsi Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 26


Grafik 11 menunjukkan persentase dan perubahan tingkat kemiskinan penyandang disabilitas per provinsi dalam kurun waktu tahun 2018-2020. Di tahun 2020, tingkat kemiskinan penyandang disabilitas terbesar berada di Provinsi Papua yakni sebesar 20,62%, diikuti DIY (20,16%), dan NTT (20,02%), artinya 1 dari 5 penyandang disabilitas di tiga provinsi tersebut masuk dalam kategori kelompok miskin. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian bersama bagi pemerintah daerah maupun nasional dalam merumuskan kebijakan terkait penyandang disabilitas. Di sisi lain, provinsi dengan tingkat kemiskinan disabilitas paling rendah adalah Kepulauan Bangka Belitung (4,05%), Kalimantan Utara (4,37%), dan Maluku Utara (4,74%). Kendati Papua menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan penyandang disabilitas tertinggi, tren penurunan kemiskinannya adalah yang paling besar yakni 5,9% (tahun 2018=26,52%). Sementara peningkatan kemiskinan terbesar adalah Provinsi DIY dengan 4,7% dari tahun 2018. Peningkatan kemiskinan kelompok disabilitas di berbagai provinsi seperti DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Riau perlu menjadi catatan penting untuk program pengentasan kemiskinan di wilayah-wilayah tersebut. Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 27


Indikator lain yang dapat dilihat untuk mengevaluasi tingkat kesejahteraan (wellbeing) penyandang disabilitas adalah dengan melihat pola konsumsinya. Grafik 12 menunjukkan beberapa hal penting yakni pertama terdapat peningkatan alokasi pengeluaran terhadap rokok dan tembakau yakni sebesar 8,81% dari tahun 2018. Peningkatan ini tentunya buruk bagi penyandang disabilitas untuk kesehatan mereka pribadi. Jika dibandingkan dengan angka nasional, terdapat tren yang berkebalikan dalam konsumsi rokok dan tembakau. Angka nasional menunjukkan tren penurunan sementara pada kelompok disabilitas yang terjadi adalah sebaliknya. Selain itu, komponen yang juga mengalami peningkatan adalah konsumsi buah dan sayur (3,54%), minyak dan kelapa (0,10%). Peningkatan buah dan sayur mengindikasikan pola konsumsi yang membaik—hal ini dikarenakan adanya pandemi Covid-19 yang membuat perilaku hidup sehat menjadi lebih diperhatikan. Grafik 12. Tren Konsumsi Pangan PD dan Persentase Perubahannya, 2018-2020 Rokok dan Tembakau 8,81% Makanan Kemasan dan Jadi Minyak dan Kelapa Sayur dan Buah Protein (Daging, Ayam, Ikan, Telur) Padi, dan Umbi-umbian -1,96% 0,10% 3,54% -0,73% Rp 97.196 Rp 95.702 Rp 89.324 Rp 12.654 Rp 12.145 Rp 12.642 Rp 63.098 Rp 56.747 Rp 60.941 Rp 97.287 Rp 96.690 Rp 98.005 Rp 67.727 Rp 67.298 Rp 70.090 0 100000 200000 2020 2019 2018 Rp 155.066 Rp 156.248 Rp 158.162 -3,37% Sumber : Susenas (2018-2020) Perubahan 2018-2020 (%) Tren Konsumsi Pangan PD 2018-2020 Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 28


Di sisi lain, konsumsi pada makanan kemasan dan jadi mengalami penurunan dari tahun 2018 ke 2020 (1,96%). Penurunan ini baik karena mengonsumsi makanan kemasan, instan, dan jadi dalam jumlah yang besar berdampak negatif terhadap kesehatan. Lalu, konsumsi padi dan umbi-umbian juga mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni sebesar 3,37%. Kemudian komponen yang diharapkan meningkat namun turun adalah protein (daging, ayam, ikan, dan telur) dengan tingkat penurunan 0,73% dari tahun 2018. Grafik 13. Jumlah PD Tanpa Jaminan Kesehatan Relatif terhadap Total PD, 2018-2020 (dalam persen) Jambi NTB Maluku Sumut Kalbar Sumsel Jabar Riau Banten Bengkulu Jatim Kalteng NTT Lampung Maluku Utara Kep Babel Jateng Sumbar Sulteng Kepri Sultra Kalsel Sulsel Bali Kaltim Sulut Papua Barat Kalut Gorontalo DIY Sulbar Papua DKI Aceh 26,95% 26,93% 26,52% 24,20% 23,82% 23,45% 23,38% 21,50% 20,57% 20,27% 19,87% 18,44% 18,43% 17,77% 17,06% 14,47% 14,12% 13,25% 11,79% 11,62% 6,91% 1,86% -3,9% -5,2% -8,4% -8,1% -17,7% 19,7% -3,8% -9,5% -5,9% -10,1% -4,7% -7,8% -5,7% -16,7% -10,7% -6,7% -5,1% -4,5% -9,9% -7,9% -11,2% -13,5% -5,5% -17,8% -6,0% -9,7% -8,4% -4,1% -7,6% -2,1% -4,0% -7,1% -5,0% -3,0% (a) Tren Perubahan Sejak 2018 Sumber : Susenas (2018 & 2020), diolah 39,78% 36,92% 32,80% 32,79% 32,57% 32,39% 32,27% 32,19% 31,48% 30,28% 29,97% 29,93% (b) Presentase PD Tanpa Jaminan Kesehatan Relatif terhadap Tottal PD Provinsi -5,4% Nasional 26,8% Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 29


Salah satu aspek taraf hidup penyandang disabilitas yang juga perlu diperhatikan lebih mendalam ialah terkait akses terhadap fasilitas kesehatan. Akses terhadap fasilitas dan pelayanan kesehatan menjadi suatu kebutuhan yang cukup mendasar bagi penyandang disabilitas karena penyandang disabilitas perlu melakukan terapi maupun menggunakan alat bantu yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan professional. Hal ini dapat berarti bahwa akses terhadap kesehatan menjadi pintu pertama bagi penyandang disabilitas dalam meningkatkan taraf hidupnya, yakni melalui terapi maupun alat bantu yang dapat mengurangi kendala yang dialami. Adapun beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur progress atau perbaikan akses kesehatan penyandang disabilitas, seperti kepemilkan jaminan kesehatan dan pengeluaran kesehatan out-ofpocket (OOP). Grafik 14. Rata-rata Pengeluaran Kesehatan Out-of-Pocket (OOP) Rumah Tangga PD per Provinsi Sumber : Susenas (2018 & 2020), diolah DKI DIY Bali Kaltim Kepri Jabar Jateng Riau Bengkulu Banten Kalut Jatim Kep Babel Sumbar Kalsel Sumut Sumsel Aceh Kalbar Kalteng Lampung Jambi Papua Barat Sulsel Gorontalo NTB Sulut Papua Maluku Utara Sulbar Sultra Sulteng Maluku NTT Rp 264.125 Rp 252.510 Rp 226.988 Rp 221.227 Rp 178.539 Rp 167.873 Rp 164.195 Rp 163.791 Rp 163.316 Rp 162.483 Rp 161 886 Rp 158.646 Rp 158.125 Rp 145.598 Rp 144.840 Rp 142.950 Rp 130.010 Rp 129.582 Rp 122.085 Rp 121.738 Rp 115.192 Rp 114.015 Rp 107.248 Rp 102.922 Rp 102.038 Rp 101.670 Rp 93.131 Rp 77.734 Rp 73.286 Rp 69.294 Rp 68.792 Rp 66.266 Rp 64.260 Rp 58.957 34,4% 17,0% -2,6% 1,7% 11,8% 18,3% -3,0% 6,3% 27,2% -1,9% 14,4% -4,0% -16,8% 2,6% 6,8% -3,2% 10,8% 3,2% -0,9% 15,1% 1,1% -8,9% 8,2% -1,6% 21,8% -9,5% -24,4% -11,0% -20,6% 27,5% -7,4% 11,4% 31,1% 28,6% (a) Tren Pengeluaran Kesehatan OOP PD (b) Pengeluaran Kesehatan OOP PD 4,1% Nasional Rp 150.947 Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 30


Pada Grafik 14 menunjukkan aksesibilitas penyandang disabilitas terhadap jaminan kesehatan—minimal memiliki salah satunya dari asuransi atau jaminan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta. Selama tiga tahun terakhir (Panel a) mengindikasikan peningkatan kepemilikan penyandang jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas di seluruh provinsi (kecuali Sumatera Selatan) dengan tingkat yang beragam. Bali, Kalimantan Barat, Lampung, dan Kalimantan Selatan menjadi provinsi-provinsi dengan tingkat penetrasi asuransi tertinggi untuk penyandang disabilitas dalam tiga tahun terakhir. Sedangkan berdasarkan tingkat kepemilikannya, rata-rata 2 hingga 3 dari 10 penyandang disabilitas masih belum memiliki jaminan kesehatan. Provinsi Jambi, NTB, dan Maluku menjadi 3 provinsi dengan kepemilikan jaminan kesehatan penyandang disabilitas paling sedikit relatif terhadap populasi penyandag disabilitasnya, sedangkan Provinsi Aceh, DKI, dan Papua menjadi wilayah dengan kepemilikan jaminan kesehatan terbanyak relatif terhadap populasi penyandang disabilitasnya. Temuan lainnya ditunjukkan oleh rata-rata pengeluaran kesehatan OOP atau di luar asuransi/jaminan kesehatan bagi rumah tangga yang memiliki anggota keluarga seorang penyandang disabilitas. Secara umum, rata-rata pengeluaran kesehatan OOP provinsi cukup memiliki rentang dari Rp58.957 hingga Rp264.125 dengan rata-rata nasional Rp150.947. Trennya menunjukkan hasil yang relatif beragam, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Kep. Bangka Belitung menjadi provinsi-provinsi dengan penurunan pengeluaran Kesehatan OOP terdalam dibandingkan provinsi-provinsi lainnya. Sedangkan DKI Jakarta, Maluku, dan NTT menjadi provinsi-provinsi dengan peningkatan rata-rata pengeluaran kesehatan OOP tertinggi. Tentunya angka ini dapat cukup Secara umum, RS Universitas Udayana sudah memiliki fasilitas yang ramah disablitas yang diindikasikan dengan bidang miring pada koridor rumah sakit, handrail atau pegangan tangan untuk membantu mobilitas, hingga kondisi jalan yang dibuat kasar agar tidak terpeleset. Namun, di rumah sakit ini belum ada tenaga kesehatan yang dapat menggunakan bahasa isyarat maupun alat bantu komunikasi untuk memfasilitasi teman tuli yang hadir ke rumah sakit tersebut secara independent/ mandiri. Kotak 1. RS Universitas Udayana Ramah PD, Sarana JBI dan Alternatifnya Masih Diperlukan Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 31


bermakna jika dibenturkan dengan grafik sebelumnya yakni Grafik 13. Untuk wilayahwilayah dengan tingkat penetrasi asuransi/jaminan kesehatan tinggi seperti DKI Jakarta, peningkatan pengeluaran kesehatan OOP dapat berasal dari perbaikan kualitas layanan maupun pelengkap kesehatan. Sampai saat ini, jaminan kesehatan masih relatif terbatas pada pengeluaran kesehatan yang sifatnya esensial, sedangkan alat bantu masih belum dapat diakomodasi. Sedangkan wilayah dengan penetrasi jaminan kesehatan rendah, peningkatan pengeluaran kesehatan OOP dapat berasal dari rendahnya cakupan jaminan kesehatan. Menariknya, beberapa wilayah justru mencatatkan pengurangan pengeluaran Kesehatan OOP yang dapat berasal dari meningkatnya cakupan jaminan kesehatan. 3.3 Penyelenggaraan Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas Pe ndidi ka n me n j adi g e rba n g ba g i penyandang disabilitas untuk menjadi tenaga kerja terampil sehingga bisa memperbaiki taraf hidupnya. Grafik 15 menunjukkan tren persentase capaian pendidikan terakhir yang dienyam oleh penyandang disabilitas usia 15 tahun ke atas dari 2018 hingga 2020. Perubahan yang cukup terlihat ialah adanya penurunan penyandang yang tidak pernah sekolah dari 13,20% ke 12,91% diiringi dengan peningkatan cukup tinggi dari penyandang disabilitas yang memiliki pendidikan terakhir setara SD dari 28,2% ke 29,60%. Grafik 15. Tren Capaian Pendidikan PD 2018-2020 Tidak/belum pernah bersekolah Tidak tamat SD SD sederajat SMP sederajat SMA sederajat PT sederajat 2018 0,0% 5,0% 10,0% 15,0% 20,0% 25,0% 30,0% 35,0% 13,20% 12,91% 27,70% 27,74% 28,19% 29,58% 11,01% 10,35% 14,70% 14,31% 5,19% 5,12% 2020 Sumber : Susenas (2018 & 2020), diolah Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 32


Sedangkan apabila dibandingkan dengan non-PD, capaian pendidikan terakhir penyandang disabilitas relatif lebih rendah di jenjang pendidikan tinggi. Sebagaimana diindikasikan oleh Grafik 16, tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan oleh non-PD khususnya pada jenjang setara SMA dan perguruan tinggi (PT) hampir dua kali lipat persentase PD. Sebaliknya, proporsi penyandang disabilitas sebagian besar justru berada di jenjang pendidikan terakhir di level yang lebih rendah (SD sederajat ke bawah).Hal ini terlihat jelas dari tren linier yang ditunjukkan pada Grafik 16 yang mana pendidikan kelompok PD turun ketika harus memasuki jenjang pendidikan SMP ke atas. Sebaliknya, pada kelompok Non-PD, persentase pendidikan cenderung meningkat. Hasil ini Grafik 16. Perbandingan Pendidikan Terakhir PD vs Non-PD Tidak/belum pernah bersekolah Tidak tamat SD SD sederajat SMP sederajat SMA sederajat PT sederajat Non-PD 0,0% 5,0% 10,0% 15,0% 20,0% 25,0% 30,0% 35,0% 12,9% 2,4% 27,5% 9,3% 29,5% 24,2% 10,9% 23,1% 14,2% 30,90% 5,0% 10,0% PD Sumber : Susenas (2020), diolah Grafik 17. Pendidikan Terakhir PD di Kota dan Desa Tidak/belum pernah bersekolah Tidak tamat SD SD sederajat SMP sederajat SMA sederajat PT sederajat 0,0% 5,0% 10,0% 15,0% 20,0% 25,0% 30,0% 35,0% 16,9% 9,0% 32,4% 22,6% 30,9% 28,1% 8,6% 13,2% 8,6% 19,4% 2,3% 7,7% Sumber : Susenas (2020), diolah Liniear (Non-PD) Liniear (PD) Non-PD PD Liniear (Non-PD) Liniear (PD) Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 33


mengindikasikan bahwa masih terdapat kesenjangan cukup besar bagi penyandang disabilitas yang mengenyam pendidikan menengah pertama ke atas. Apabila ditinjau berdasarkan status tempat tinggalnya (kota-desa), secara umum partisipasi sekolah atau tingkat pendidikan penyandang disabilitas di wilayah perdesaan masih relatife rendah dibandingkan dengan penyandang disabilitas di wilayah urban. Grafik 17, menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok antara kelompok PD dan NonPD terutama pada tingkat partisipasi sekolah menengah ke atas. Garis tren linier pada grafik tersebut menunjukkan garis pendidikan PD di desa yang lebih curam. Artinya, partisipasi PD dalam pendidikan menengah dan tinggi menurun drastis dibandingkan dengan PD yang tinggal di wilayah kota/urban. 3.4 Akses Pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas Akses mendapatkan kesempatan kerja yang setara bagi penyandang disabilitas merupakan kunci perbaikan taraf hidup serta misi SDGs dalam mengurangi kesenjangan kesempatan terutama bagi kelompok minoritas penyandang disabilitas. Secara umum, Sebagian besar PD bekerja di sektor primer, diikut oleh sektor tersier, dan sektor sekunder. Seiring itu, masih minim pula PD yang menempati pekerjaan-pekerjaan formal.³ Lebih spesifik, ditunjukkan pada Tabel 4, hampir setengah PD berusia kerja bekerja di sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (45,9%) diikuti oleh sektor Perdangan Besar, Eceran, dan Reparasi (15,4%) serta Industri Pengolahan dan Manufaktur (8,7%). Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar komposisi PD yang bekerja masih mendominasi lapangan usaha yang cenderung memiliki karakteristik informal, Penyelenggaran pendidikan yang ramah bagi disabilitas masih menemui berbagai kendala khususnya terkait infrastruktur pendukung. Kunjungan kami ke SMA Negeri 4 Denpasar menunjukkan bahwa kendala-kendala seperti ketiadaan li , bidang miring, dan toilet khusus disabilitas membuat akses bagi PD menjadi terhambat. Di SMA tersebut hanya terdapat 1 PD dengan kesulitan berjalan. Setiap tahunnya tidak selalu ada PD yang menda ar di SMA ini sementara terdapat kuota khusus yang disediakan. Kotak 2. Penyelenggara Pendidikan Ramah Disabilitas Masih Menjadi PR Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 34  ³Menurut definisi BPS, sektor pekerja formal adalah mereka yang bekerja sebagai: (1) buruh/karyawan/pegawai, dan (2) berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar.


sederhana, dan produktivitas relatif rendah. Sebaliknya, proporsinya sangat kontras bila dibandingkan dengan lapangan usaha dengan tingkat kompleksitas dan produktivitas tinggi seperti sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (0,24%) serta sektor Jasa Keuangan dan Asuransi (0,44%) yang bahkan komposisinya di bawah 1%. Sejauh ini tingkat kebekerjaan PD (persentase PD yang bekerja) secara nasional adalah 56,98%. Berdasarkan Grafik 18, Bali menjadi provinsi dengan tingkat kebekerjaan paling tinggi yakni 70,59%, sementara Maluku adalah yang terendah (51%). Sepanjang tahun 2018-2020 sebagian provinsi mengalami peningkatan kebekerjaan, sedangkan yang lainnya mengalami penurunan. Terdapat banyak sekali provinsi yang mengalami penurunan tingkat kebekerjaan (awalnya bekerja menjadi tidak bekerja) yang dapat dilihat pada kuadran di bawah garis horizontal. Sebagian besar provinsi seperti NTT, Bali, Kalteng, Sumsel, dan DIY, walaupun turun, tetapi angka kebekerjaannya masih relatif tinggi di atas angka nasional. Provinsi-provinsi yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah provinsi yang berada di kuadran bawah kiri yang mana tingkat kebekerjaannya menurun, dan persentase orang yang bekerja relatif masih di bawah nasional. Provinsiprovinsi tersebut di antaranya adalah Maluku, Maluku Utara, Papua, Sulteng, Sulbar, Sultra, Papua, Riau, Aceh, Papua Barat, dan Kalimantan Timur. Tabel 4. Proporsi Sektor Pekerjaan Penyandang Disabilitas Berdasarkan BPS 17 Sektor, 2020 Lapangan Usaha Presentase Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Industri Pengolahan dan Manufaktur Jasa Lainnya Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum Konstruksi Jasa Pendidikan Transportasi dan Pergudangan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajin Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Pertambangan dan Penggalian Jasa Perusahaan Manajemen Air dan Limbah Jasa Keuangan dan Asuransi Perumahan (Real Estate) Informasi dan Komunikasi Pengadaan Listrik dan Gas 45,92% 15,38% 8,70% 7,64% 5,41% 4,89% 3,16% 2,84% 2,21% 0,84% 0,79% 0,59% 0,45% 0,44% 0,29% 0,24% 0,22% Sumber : Susenas (2020), diolah Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 35


Di antara kelompok PD yang bekerja sebagian besar mereka bekerja di sektor informal. Grafik 19 memperlihatkan bahwa sebanyak 71,4% penyandang disabilitas bekerja di sektor informal, sementara kelompok Non-PD hanya 50,5% yang bekerja di sektor informal. Banyaknya pekerja di sektor informal ini bukan tanpa alasan, selain disebabkan kemudahan akses karena tidak terlalu banyak persyaratan yang dibutuhkan dibandingkan pekerja formal, juga karena lingkungan kerja yang relatif lebih fleksibel baik dari segi waktu, maupun aturan-aturan. Fleksibilitas inilah yang kerap kali dicari kelompok PD di tengah kebutuhan khusus yang mereka punya. Namun, bekerja di sektor informal tidak terlepas dari risiko seperti fluktuasi pendapatan, ketiadaaan jaminan kesehatan, dan jaminan-jaminan lainnya. Berbagai fasilitas publik seperti jaminan kesehatan kadang harus dibayar oleh individu sendiri, berbeda dengan pekerja formal yang sudah mendapatkan jaminan dari kantor atau tempat mereka bekerja. Grafik 18. Kuadran Tingkat dan Perubahan Kebekerjaan PD 2018-2020 Kalut DKI Jatim Sumbar NTB Nasional Banten Jabar Sultra Sulbar Sulteng Riau Papua Barat Maluku Maluku Utara Papua Sulut Kaltim Kalteng DIY Bengkulu NTT Bali Jateng Kalbar Jambi Sumut Kalsel Sumsel Lampung Gorontalo Sulsel Kep Babel Kepri 2% 1% 0% -1% -2% -3% Perubahan Tingkat Kebekerjaan PD 2018-2020 Tingkat Kebekerjaan PD 49% 54% 59% 64% 69% Sumber : Susenas (2018-2020), diolah Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 36


Menurut tingkat keparahannya (Grafik 19 panel b), penyandang disabilitas baik di sektor formal maupun sektor informal sama-sama didominasi oleh penyandang disabilitas dengan tingkat keparahan ringan. Penyandang disabilitas yang bekerja dengan tingkat keparahan sedang hingga berat justru didominasi oleh penyandang disabilitas dengan kendala komunikasi dan mengurus diri sendiri. Tiga pesan yang dapat disimpulkan dari grafik ini ialah: (i) penyandang disabilitas cenderung mendominasi sektor tenaga kerja informal, (ii) proporsi penyandang disabilitas yang bekerja adalah penyandang disabilitas ringan, dan (iii) penyandang disabilitas yang bekerja dengan tingkat keparahan sedang dan berat paling banyak dengan hambatan mengurus diri sendiri dan komnikasi. Selanjutnya, menarik ketika membandingkan persentase PD yang bekerja di sektor informal dengan persentase PD tanpa jaminan kesehatan / asuransi. Data ini dapat mengindikasikan adanya asosiasi antara sektor kebekerjaan dengan akses PD terhadap jaminan kesehatannya. Grafik 20 menunjukkan plot dari kedua indikator tersebut. Berdasarkan grafik tersebut, dapat terlihat asosiasi positif yang berarti daerah dengan PD Non-PD PD 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Mengurus dirisendiri Emosi Mengingat Tangan Berjalan Mendengar Melihat Informal Mengurus dirisendiri Emosi Mengingat Tangan Berjalan Mendengar Melihat Formal Komunikasi Komunikasi 49,5% 50,5% 71,4% 28,6% 0% 20% 40% 60% 80% 100% Ringan Sedang Berat/Parah Formal Informal Sumber : Susenas (2020), diolah Grafik 19. Presentase Pekerja Sektor Informal PD vs Non-PD (a) Presentase Pekerja Sektor Informal PD vs Non-PD (b) Populasi Pekerja Per Sektor Berdasarkan Jenis dan Tingkat Keparahannya Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 37


yang banyak bekerja di sektor informal cenderung juga daerah dengan PD tanpa jaminan Kesehatan tertinggi—dengan catatan korelasi bukan sebab-akibat (causation). Meskipun korelasinya cenderung lemah, namun hasil ini dapat menjadi temuan awal yang dapat ditinjau lebih lanjut mengenai keterkaitan antara sektor kebekerjaan dan akses terhadap jaminan kesehatannya. Grafik 20. Presentase PD Berkerja Sektor Informal vs Presentase PD tanpa Jaminan Kesehatan NTT Papua Aceh Sulbar Sultra Kalsel Sulsel Gorontalo DIY Kalut Papua Barat Sulut Bali Kaltim Jateng Kep Babel Sulteng Sumbar Maluku Utara Lampung Bengkulu Maluku NTB Jambi Sumut Jatim Kalteng Riau Jabar Banten Sumsel Kalbar Kepri DKI 90% 85% 80% 75% 70% 65% 60% 55% 50% 45% 40% 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% Presentase PD Berkerja Sektor Informal Presentase PD tanpa Jamkes Sumber : Susenas (2020), diolah Kotak 3. Balai Rehabilitas Sosial Menjadi Kunci, Kerjasama dengan Usaha Lokal Perlu Ditingkatkan Bali Mahatmiya Bali adalah balai pelatihan khusus Penyandang Disabilitas yang dikelola oleh Kementerian Sosial. Balai ini dikhususkan untuk penyandang disabilitas tuna netra yang pesertanya berasal dari Bali dan luar Bali. Sebagian besar pesertanya ialah penyandang disabilitas muda di usia produktif. Balai pelatihan ini memberikan bermacam-macam variasi pelatihan mulai dari pelatihan pijat, spa, barista, hingga pemrograman bagi tuna netra. Kondisi Balai pelatihan pun Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 38


3.5 Akses PD terhadap Keuangan dan Teknologi Capaian terkait akses keuangan dan teknologi bagi penyandang disabilitas perlu diperhatikan mengingat akses-akses ini merupakan pintu masuk kebijakan-kebijakan maupun bantuan dari pemerintah untuk masyarakat. Akses-akses tersebut dapat diukur d a r i b e b e r a p a i n d i k a t o r u m u m s e p e r t i k e p e m i l i k a n r e k e n i n g tabungan—mengindikasikan inklusi keuangan—kepemilikan gawai, serta kebiasaan mengakses internet penyandang disabilitas. tergolong baik didukung dengan jalur dan toilet khusus penyandang di s abi l ita s . S e l a in menyediakan pelatihan, Balai ini juga membantu menjual produk-produk hasil karya penyandang disabilitas salah satunya kopi. Salah satu kendala yang menjadi masalah utama dari balai ini ialah beberapa penyandang disabilitas tidak mendapat dukungan dari keluarganya sehingga tidak mampu mendapatkan pelatihan dari balai ini. Sedangkan, pelajaran menarik ialah balai ini telah melakukan kerjasama dengan swasta terkait penyediaan tenaga kerja. Upaya Balai Mahatmiya Bali bekerjasama dengan usaha lokal bisa jadi praktik baik yang dapat dicontoh di berbagai daerah lainnya. Balai Mahatmiya Bali bekerja sama sebagian besar dengan pelaku usaha di sektor pariwisata untuk menyalurkan penyandang disabilitas tuna netra sebagai therapist di spa-spa yang sudah terafiliasi. Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 39


Secara umum terjadi peningkatan kepemilikan rekening tabungan baik pada penyandang disabilitas maupun nondisabilitas. Hanya saja angka keduanya masih relatif kecil yakni di bawah 40% penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan nondisabilitas, penyandang disabilitas mempunyai persentase yang relatif lebih kecil secara signifikan. Di tahun 2020 persentase kepemilikan rekening pada penyandang disabilitas sebesar 26,2% sementara nondisabilitas sebesar 36,5%. Dalam tiga tahun terakhir, secara pertumbuhan, nondisabilitas mengalami pertumbuhan relatif lebih tinggi yakni sebesar 21,66%, sementara penyandang disabilitas kepemilikan rekening tabungannya hanya tumbuh 12,93%. Masih rendahnya akses kepemilikan rekening tabungan ini dapat disebabkan oleh infrastruktur dan akses informasi yang kurang memadai, serta masih adanya praktik diskriminasi layanan bagi penyandang disabilitas. Grafik 22. Presentase Kepemilikan Telepon Genggam PD dan Non-PD Grafik 23. Tingkat Penggunaan Internet PD dan Non-PD 65,3% 42,4% 78,3% 52,0% 59,4% 36,7% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% NON PD PD 2018 NON PD PD 2019 NON PD PD 2020 100% 43,4% 15,9% 51,2% 17,3% 52,7% 18,9% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% NON PD PD 2018 NON PD PD 2019 NON PD PD 2020 100% Sumber : Susenas (2018-2020), diolah Grafik 21. Presentase Kepemilikan Rekening Tabungan PD dan Non-PD 30,0% 23,2% 33,6% 24,8% 36,5% 26,2% 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% NON PD PD 2018 NON PD PD 2019 NON PD PD 2020 Sumber : Susenas (2018-2020), diolah Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 40


Click to View FlipBook Version