Hujan Air Mata
Jumat, 4 Juni 2010 | 02:40 WIB
google.com
ilustrasi
Cerpen Rista Nurfarida
Pagi itu langit kelabu. Tapi tak cukup kelabu untuk menyurutkan langkah kaki orang-orang di suatu
stasiun kereta. Penunjuk waktu menunjukkan bahwa tiga puluh menit lagi kereta akan tiba. Aku masih
menunggu. Bukan kereta yang aku tunggu, tetapi Arjuna.
**
Arjuna. Lelaki itu telah berhasil membiusku dengan pesonanya pada pandangan pertama. Hampir dua
tahun yang lalu, aku menubruknya ketika aku sedang berjalan terburu-buru untuk menggantikan tugas
jaga di Café Cinta, tempatku bekerja sebagai waitress.
“Maaf”, ujarku.
Lelaki itu tersenyum.
Aku malah bengong.
Hari-hari berikutnya ia sering datang ke Café Cinta hanya sekedar memesan minuman favoritnya,
Cappucino. Sambil menyeruput minumannya, ia sering mengajakku mengobrol dari meja pelanggan.
Tempat favoritnya adalah meja sudut belakang. Kuladeni semua gurauannya dari meja kerjaku yang
terletak di depan, tempat dimana pelanggan memesan minuman mereka. Kami memang tak pernah
berbicara dalam kata, kami berbicara melalui rasa dan isyarat-isyarat yang hanya dimengerti oleh kita
berdua. Hanya kita berdua, tak ada orang lain lagi yang mengerti bahasa kami, termasuk pak kepala
Café.
Pak kepala Café sangat tidak mengerti kenapa semua minuman yang ku tuang ke dalam gelas meluber,
tumpah ruah hingga terkadang membanjiri meja dengan berbagai jenis kopi dan orange juice. Hal ini
membuat semut-semut menari riang gembira tetapi membuat pekerjaan ku jadi dobel melelahkan karna
harus mengelap meja dan mengepel lantai setiap jamnya.
Hari berganti nama. Kami berdua terus mengirim rasa. Semut-semut menari semakin gembira. Pak
kepala Café semakin tidak suka. Dan aku pun dipecat dari Café Cinta.
**
Masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum kereta datang. Hujan mulai turun. Posisiku berdiri saat
ini sangat tidak melindungiku dari tumpahan air langit. Tapi aku tidak akan beranjak. Aku tidak ingin
membuat Arjuna kesulitan menemukanku.
Orang-orang berteduh. Aku malah membiarkan diriku diguyur hujan.
Arjuna, kau akan datang kan?
Aku akan menunggu.
**
Untunglah kami masih sempat bertukar nomor hp. Meskipun seperti biasanya, tak banyak yang bisa
kami ungkapkan lewat kata. Kami hanya merasa.
Sampai saat itu tiba, aku perlu mengirimkan pesan yang tidak bisa aku kirimkan hanya dengan rasa.
Aku perlu kata-kata yang terangkai dengan jelas, agar ia juga bisa menerima pesanku dengan jelas.
Kukirim satu buah pesan singkat padanya, yang berbunyi:
Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh. Mungkin aku takkan pernah kembali lagi, aku tak tahu.
Kalau kau mengganggap hubungan kita pantas untuk dipertahankan, datanglah ke stasiun pada Sabtu
pagi. Disana kau akan menemukanku dengan balutan jaket merah marun, kuharap warna itu cukup
mencolok untuk dilihat di stasiun yang padat manusia. Aku juga akan mengenakan kalung liontin yang
pernah kau kasih waktu dulu. Kau masih menyimpan pasangan liontinnya kan? Kuharap kita segera
bertemu. I miss you.
Tak lama, aku menerima balasannya:
Reports:
Arjuna
7:17 PM - Delivered
Bukan dari Arjuna. Tapi paling tidak aku tahu pesannya telah tersampaikan. Satu hari. Dua hari. Lima
hari masih saja tak ada balasan. Arjuna, apa kau sudah membaca pesanku?
Untuk lebih meyakinkan, ku kirimkan pesan yang sama disetiap malam perjumpaan kami9 melalui
sela-sela mimpi kami...
**
Sepuluh menit lagi. Langit masih menumpahkan airnya yang kelabu. Sebentar lagi aku akan membeku.
Arjuna, dimana kau? Apakah menurutmu warna merah marun ini menjadi kurang mencolok setelah
diguyur hujan sehingga membuatmu sulit menemukanku? Arjuna, aku masih disini9 menunggumu.
Aku masih ingin menunggu.
**
Hampir dua tahun kita menjalin hubungan. Tak perlu banyak kata yang dihamburkan. Kita berdua
sepakat, kata hanyalah omong kosong belaka; rasa lebih bermakna.
**
Lima menit. Hujan semakin deras.
Arjuna, kumohon cepatlah datang.
Terlambat. Kereta datang lebih cepat dari yang dijadwalkan. Kereta datang untuk membawa ku pergi ke
suatu tempat, bersama angan dan mimpi kita, angan dan mimpi ku bersama Arjuna.
Ya Tuhan, lelaki itu benar-benar tak datang!!!
Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Kuhela napas dalam-dalam. Kupaksakan kakiku melangkah
melewati pintu kereta. Air menetes-netes dari pakaianku yang basah. Pada saat-saat kritis seperti ini
aku masih sempat berkhayal Arjuna akan datang dan kemudian menggamit lenganku, menyeretku
keluar dari kereta dan memohon padaku untuk tidak pergi, memelukku lalu mencium bibirku9
Aah9 seperti film india saja. Otakku sudah kacau rupanya!
Lamunan buyar dan aku terpaksa menerima fakta bahwa tubuhku di dorong-dorong oleh penumpang
yang tidak sabar, bukan oleh Arjuna seperti lamunanku barusan. Keadaan ini diperparah dengan aroma
dalam kompartemen yang baunya lebih dari tujuh rupa: bau keringat, lembap, anyir, koyo, atau entah
bau apa lagi. Aku sedang tidak ingin menandai bau-bauan dan mendeskripsikannya pada kalian.
Aku duduk dengan pakaian super basah sampai orang-orang yang duduk disampingku melotot. Mereka
pasti lebih merasa sebal daripada heran kenapa bajuku bisa sampai basah begini. Tapi toh biar saja,
aku tak peduli. Aku menatap keluar menembus jendela berharap Arjuna muncul. Kereta mulai bergerak
perlahan. Bagi penumpang lain, ini merupakan pertanda bahwa kereta akan membawa mereka sampai
pada tujuan, tapi bagiku ini adalah pertanda bahwa kereta akan memisahkan aku dengan Arjuna.
Aku sangat berharap ia datang, tapi ia malah tak datang. Sebagai gantinya, suara dalam kepalaku lah
yang datang. Suatu hal yang paling tidak aku harapkan kedatangannya.
Lihat kan, dia berkhianat!
“Tidak, kau salah kepala. Dia tidak berkhianat, dia tak akan pernah berkhianat. Ini hanya masalah
kereta yang datang terlalu cepat”.
Dasar perempuan bodoh! Kereta ini hanya datang lima menit lebih cepat dari jadwal. Aku ragu lelaki itu
akan datang meskipun kamu menunggunya lebih lama lagi; setahun, dua tahun, seumur hidup!!
“Aku yakin dia takkan pernah mengingkari asa yang pernah kita buat”.
Mana buktinya? Aku pribadi lebih menganggap semua asa itu hanyalah omong kosong belaka9
“Itu bukan omong kosong. Kita berdua tahu ada bahasa yang bisa disampaikan lebih dari sekedar kata.
Kata hanyalah penegas, yang kami butuhkan hanya rasa”.
Tapi rupanya rasa tak cukup kuat untuk membawa dia kesini, kan?
“Mungkin, dia punya alasan9”.
‘Mungkin’ adalah satu kata yang paling ingin aku dengar. Kelihatannya kau sangat tidak yakin kali ini.
“Dan hal yang paling ingin aku yakini adalah membuatmu diam.”
Kau tak perlu menyuruhku diam, nona. Lelaki itu sendiri yang telah membuat dirinya diam. Kau juga
sama saja. Diam adalah bentuk komunikasi yang paling aneh menurutku.
“Sudahlah, aku lelah9”
Lelah pada apa? Lelah karna asa yang telah kau buat?!
“Kumohon diamlah, kau membuatku ingin menangis”.
Menangis saja. Hidup ini indah. Kau bisa menangis sepuas-puasnya.
“DIAM!!”
Aku mempererat cengkraman liontin berbentuk hati pada genggaman. Ujungnya yang runcing menusuk
tanganku. Tapi aku tak peduli. Apa saja kulakukan agar suara dalam kepalaku berhenti mengoceh, dan
tampaknya usaha itu berhasil dengan menghasilkan sedikit efek samping; rasa perih ini menjadi dobel:
di hati dan juga di telapak tangan.
Lalu samar-samar aku mendengar lagu One Last Cry yang berasal dari salah satu hp penumpang.
Rupanya dia menjadikan lagu itu sebagai nada deringnya.
One last cry before I leave it all behind
I gotta put you out of my mind this time
Stop living a lie.. I guess I'm down to my last cry9
“Ah, lagu yang sangat membantu”, ujarku geram.
Kualihkan rasa perih ini dengan mengamati petak-petak kaca jendela kereta, berharap pemandangan di
luar sana bisa menghiburku. Namun rupanya lagi-lagi aku keliru. Hujan yang deras, kereta yang
bergerak cepat, ditambah dengan kaca yang kotor dan berembun membuat satu-satunya hal yang
kuharap bisa menghiburku terlihat kabur dan tak jelas. Aku malah berharap hujan turun dalam gerbong
kereta yang aku tumpangi, agar aku bisa menangis sepuas-puasnya dan tak ada orang yang bertanya
kenapa.
Menit berlalu. Kereta semakin bergerak cepat ke arah utara. Warna kelabu masih bergelayut pada
mega menumpahkan hujan deras yang mengetuk-ngetuk jendela dan atap kereta; seolah alam pun
ingin melukiskan perasaan yang sedang aku alami sekarang. Dalam pakaian yang masih basah kuyup,
tubuh yang menggigil, mata yang sembap dan hati yang memerah pedih, aku berbisik lirih: “hujan,
sampaikan salam rinduku padanya”.
Tut... Tut.. Gejes Gejes.
**
Bandung, Sabtu dini hari
10 April 2010
02:00 AM
-kamar-
Trimakasih untuk orang-orang yang telah menginspirasi:
Brian Mc Knight untuk lirik lagu One Last Cry nya.
Extreme untuk More Than Words nya
Sapardi Djoko Darmono atas puisi indahnya: “Dalam Diriku” dan “Pada Suatu Pagi”.
___________
Rista Nurfarida, lahir di Bandung, 20 Agustus 1987.
Hobinya adalah mendekam di dalam kamar; mendengarkan musik, melamun dan makan coklat beng-
beng sambil mencari inspirasi buat dijadikan cerpen, puisi atau sekedar tulisan butut tanpa maksud.
Punya obsesi yang sama seperti penulis-penulis pada umumnya: menerbitkan novel atau kumpulan
cerpen.
7 Kupu-kupu Bersayap Ungu
Sabtu, 31 Juli 2010 | 05:48 WIB
buraqmanari.wordpress.com
ilustrasi
Cerpen Deni oktora
“Kakek, bisa ceritakan aku tentang patah hati?”
“Mengapa?”
“Karena aku belum tau rasanya patah hati. Sementara banyak dari mereka yang
mengakui sudah pernah patah hati.”
“Itu karena kamu belum dewasa, mungkin kelak bila sudah dewasa kamu akan
memahaminya.”
“Tapi terlalu lama bila aku harus menunggu sampai dewasa, bisa kakek ceritakan
sekarang?”
“Baiklah, Kakek akan menceritakan seorang pria yang sedang patah hati.”
“Siapa nama pria itu kek?”
“Audy”
“Lantas siapa yang membuat hatinya patah.”
“Seorang gadis yang amat dicintai tentunya.”
**
Audy kecil selalu terpikat dengan kupu-kupu yang memiliki sayap keunguan. Di
matanya kupu-kupu dengan sayap berwarna ungu memiliki keindahan tersendiri bagi
kedua bola matanya yang bulat. Setiap pulang sekolah tak pelak ia selalu
menyempatkan diri untuk pergi ke sebuah taman kecil di belakang sekolah. Mencari
kupu-kupu bersayap keunguan. Mengamatinya beterbangan mengelilingi bunga-
bunga. Dan ketika mereka terbang mengepakkan sayapnya nan keunguan itu lantas
audy terperanjat dengan riang seraya berkata Kupu-kupu cantik bawa aku terbang dari
sini.
Ketika beranjak dewasa Audy menemukan kupu-kupu itu kembali di sekolahnya.
Kupu-kupu itu masih sama dengan seperti yang dulu. Masih cantik. Menawan. Elok.
Dan memiliki warna keunguan yang mampu membuat kedua bola matanya
mengembang saat dilihat terbang melintas di hadapannya. Kupu-kupu itu kini
berwujud sesosok gadis peranakan tionghoa. Namanya Nik-nok. Terdengar aneh
mungkin di daun telinga. Tapi percayalah kalau kecantikan gadis itu hampir
menyamai kupu-kupu bersayap ungu yang dahulu kerap dijumpainya di taman mungil
dekat belakang halaman sekolah.
Bila kupu-kupu yang kerap ia jumpai di taman memiliki keindahan sayap berwarna
keunguan layaknya bunga lembayung, maka Nik-nok memiliki keindahan kardigan
yang sewarna semburat cahaya senja nan keunguan. Setiap hari Audy mengamati
gerak-gerik Nik-nok di sekolah. Di dalam kelas, Audy mengamati wajah Nik-nok dari
ujung meja paling belakang sembari senyam-senyum sendiri mirip orang imbisil. di
dalam perpustakaan Audy mencoba mengintip wajah Nik-nok dari balik kamus
oxford atau buku seri ensiklopedia.
Ia sengaja memilih kedua buku itu karena ukurannya yang besar dan lebar yang dirasa
cukup untuk menyembunyikan wajah dungunya. Pun di dalam kantin Audy selalu
sengaja memesan Mie ayam mang dayat karena ia tahu kalau Nik-nok suka memesan
mie ayam buatan mang dayat dan makan bersama kedua teman-temannya. Biasanya
setelah memesan ia masih saja sengaja memilih kursi yang letaknya agak jauh dari
Nik-nok (Kadang di belakang). sembari menyeruput Mie Ayam, Audy (lagi-lagi)
hanya bisa senyam-senyum sendiri menatap punggung Nik-nok yang terbalut
kardigan ungu. Jauh di dalam hatinya Ingin rasanya ia berbisik lembut di daun telinga
Nik-nok, Kupu-kupu cantik bawa aku terbang dari sini.
Tujuh hari lagi menuju valentine. Audy terkesiap. Ia sadar kalau tanggal 14 pada
bulan Februari di sekolah akan menjadi hari ungkapan kasih sayang bagi setiap kaum
pria kepada wanita yang disukai. Entah apakah wanita itu teman sekelas, lain kelas,
adik kelas, atau kakak kelas. yang pasti pengungkapan rasa kasih sayang di hari
valentine akan meninggalkan makna yang mendalam bagi romantika hubungan
percintaan di kalangan para murid. Ditambah sebuah mitos di kalangan sekolah yang
meyakini bahwa setiap Pria yang mengungkapkan perasaannya pada wanita yang
disukainya tepat pada hari valentine tiba maka niscaya wanita itu akan menjadi cinta
sejatinya kelak.
Pak Sitok menjadi buktinya. 12 tahun lalu saat ia menjadi siswa di sekolah ini pernah
mengungkapkan isi hatinya dengan cara membaca sajak cinta menye-menye
karangannya sendiri saat jam istirahat di kelas dimana wanita itu berada. Wanita itu
bernama Dian Ningsih. Dan Kini keduanya telah memiliki dua orang anak lelaki
kembar siam yang lucu-lucu, keduanya duduk di bangku TK di sekolah ini jua. Kini
keduanya sama-sama mendedikasikan hidupnya untuk mengajar di sekolah ini. Hanya
saja Bu Dian Ningsih mengajar Bahasa Indonesia, sementara pak Sitok mengajar
Sejarah.
Namun Audy masih setengah hati untuk meyakini kebenaran mitos ini. Karena ia
ingat betul nasib sahabatnya bernama Deni. Pria itu, cintanya pernah di tolak tepat di
hari valentine oleh gadis berparas manis yang senyumnya serupa untaian kalung
permata. Semenjak itu Audy kerap melihat Deni menceracau sendirian di dalam kelas
sembari menangis sesegukan. Kadang ia mendapati Deni membaca sajak khalil
gibran—yang kesemuanya bertemakan patah hati—dengan lantang di perpustakaan.
Di toilet. Bahkan di pelataran parkir motor. Barangkali ia sudah gila. Batin Audy.
Tentu Audy tidak ingin berakhir seperti nasib sahabatnya itu.
Di hari valentine, Audy berencana untuk mengungkapkan isi hatinya kepada gadis
peranakan tionghoa tersebut. Namun ia tidak akan membeli cokelat atau kartu
valentine saat pengungkapan nanti di sekolah. Ia tidak ingin melakukan hal-hal klise
seperti para pria kebanyakan lakukan. Maka yang dilakukannya adalah setiap sore
menyempatkan diri untuk pergi ke taman mungil yang berada di belakang sekolahnya
dahulu saat ia menjejak SD.
Di situ ia mencoba menangkap aneka kupu-kupu bersayap keunguan dengan jaring.
setiap hari ia mendapati satu kupu-kupu dengan sayap yang tersaput warna ungu. Ia
mengumpulkan total sebanyak tujuh buah kupu-kupu yang kesemuanya di awetkan
dan di taruh satu persatu dalam satu barisan untuk kemudian di letakkan dalam
bingkai kaca.
Hari valentine berkumandang. Audy sudah siap dengan bingkai kaca yang berisikan 7
buah kupu-kupu bersayap keunguan. Saat jam istirahat tiba. Audy menghampiri Nik-
nok. Ia memberikan bingkai kaca itu kepadanya. Gadis itu tersenyum kecil. Matanya
yang sipit kian menyipit hingga tampak hanya menyerupai sebuah garis.
“Ini, kupersembahkan hanya untuk kamu.”
“Terimakasih, kenapa Kamu memberi aku hadiah aneh seperti ini sih?”
“Karena kamu secantik kupu-kupu ini.”
“Kalau tahu begitu seharusnya aku juga membawa celengan babi kepunyaanku dari
rumah.”
“Untuk apa?”
“Ya, untuk kuberikan kepadamu?”
“Kenapa?”
“Karena Kamu selucu celengan babi kepunyaanku.”
Audy tersenyum kecil. Ia senang saat Nik-nok mengatakan bahwa dirinya lucu, walau
ia sedikit bingung untuk membedakan apakah dirinya yang selucu babi, atau babi itu
sendiri yang selucu dirinya.
“Apakah kamu mau menjadi pacarku?”
“Aku menjadi pacarmu?”
“Maukah kamu?”
“Kurasa kamu Bukan tipeku Audy.”
“Lantas seperti apa tipemu?”
“Mungkin yang tidak pendek dan gemuk seperti dirimu.”
“Loh, bukannya Kamu tadi bilang aku selucu babi?”
“Iya, tapi bukan berarti aku ingin pacaran dengan babi kan?”
Audy terdiam. hatinya jatuh ke lantai. Berdebam. Pecah. berserakan. Belum tuntas ia
mengambil kepingan hatinya yang tercecer. Nik-nok mengucapkan sepatah kata.
“Anyway, terimakasih ya atas bingkainya..mungkin akan ku pajang di kamarku.”
Ucapnya seraya pergi meninggalkan Audy yang masih saja memungut satu persatu
kepingan hatinya yang hancur.
Audy sedih. Ia berlari dengan linglung layaknya babi yang sehabis ditendang. Ia
masuk ke dalam kelas guna mengambil tasnya lalu beranjak pulang. Di dalam kelas ia
mendapati Deni yang masih menceracau sambil menangis sesegukan. Apakah aku
akan menjadi seperti dia? Tanyanya lirih dalam hati.
Audy di dalam kamar. sedang memandangi dirinya dari cermin yang cukup besar
untuk memantulkan citra tubuhnya secara keseluruhan. Dalam benaknya ia berkata
Tuhan apakah benar aku mirip babi? Audy percaya bahwa segala sesuatu yang
diciptakan Tuhan itu baik adanya. Jadi bila benar ia disamakan dengan babi
seharusnya tak menjadikan dirinya kecil hati. Toh babi juga makhluk ciptaan Tuhan
bukan? pikirnya. Audy tersenyum. Ia beringsut tidur. Di dalam lelapnya ia masih saja
memimpikan tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Namun jumlahnya tidak lagi
tujuh melainkan delapan. Satu diantaranya berparas Nik-nok.
“Sudah malam Nila, Kamu tidur saja ya..esok malam Kakek lanjutkan ceritanya.”
“Lantas apa yang terjadi dengan Audy?”
“Lihat sudah jam setengah sepuluh malam, Kamu sebaiknya tidur Nila, besokkan
kamu sekolah.”
“Bisakah Audy mendapati cinta Nik-kok?”
“Sudah malam Nila..”
“Aku belum mengantuk..ku mohon ceritakan aku hingga akhir cerita.”
“Baiklah, tapi ingat sehabis cerita ini kamu sudah harus tidur ya?”
“Baik.”
Dan sang kakekpun melanjutkan ceritanya.
**
Audy sadar kalau dirinya kini harus menjaga hatinya agar tidak rompal kemudian
pecah. Karena ia sudah bersusah payah merekatkan setiap keping demi keping
patahan hatinya selama enam bulan menggunakan power glue. Ia juga sudah mulai
melupakan Nik-nok. Walau kadang ia masih sering memimpikan tujuh kupu-kupu
bersayap ungu tersebut setiap malamnya. Bukan, bukan tujuh, melainkan delapan.
satu diantaranya berparas Nik-nok, pun kadang ia masih sering terlihat mematut
dirinya berlama-lama di depan cermin seraya berkata jauh di dalam hati Tuhan,
apakah benar aku mirip babi?
Sepuluh tahun berlalu. Sepuluh tahun merupakan waktu yang cukup untuk merubah
keadaan bukan? Namun ternyata ada dua hal di dunia ini yang tidak akan pernah
berubah selama sepuluh tahun. Pertama, cinta Audy terhadap Nik-nok belum
meluntur sama sekali. Kedua, tubuh Audy masih saja gemuk dan pendek tak ubah
layaknya seperti babi. Mungkin ini yang dinamakan abadi. Sebuah rasa yang tidak
akan pernah hilang dimakan oleh waktu.
Namun dalam waktu sepuluh tahun rupayanya nasib telah menjadikan Audy sebagai
Top manager sebuah perusahaan milik BUMN ternama. Ia memiliki daya analisa
yang tinggi sehingga mampu menaikkan profit seluruh kantor-kantor cabang di pulau
jawa, Bali, dan Sumatera mencapai 10% setiap tahunnya . hal ini pula yang
menjadikan Anggia bakrie sang sekretaris pribadi menaruh hati terhadap sang bos.
Namun keadaan semakin rumit ketika samuel sang supir pribadi Audy turut menaruh
hati terhadap Anggia.
Audy meminta samuel untuk mengantar Anggia ke sebuah biro tour and travel yang
berada di selatan Jakarta guna mengambil tiket pesanannya ke Tokyo untuk
menghadiri seminar yang bertajuk how to succeed suppy chain management proccess
in the industry manufacture yang tengah diadakan oleh kantor pusat yang berlokasi di
Jepang. Perusahaan meminta Audy untuk mengikuti seminar tersebut guna
mempelajarinya untuk kemudian mengimplementasikan di perusahaan tempat ia
bekerja.
“Kamu nanti malam ada acara?” Tanya Samuel kepada Anggia di dalam mobil.
“Memang kenapa?”
“Kita jalan yuk.”
“Jalan, Kemana? aku sibuk.”
“Sibuk? Sibuk apalagi? Sibuk ngelayanin bos kamu itu ya?”
“Kayanya kamu gak perlu tahu aku sibuk dengan apa deh. Tugas kamu hanya
menyupir tok.”
“Kecil ya barangnya?”
“Hah?”
“Maksud kamu.”
“Tentu kamu sudah pernah main kan sama bos, gimana barangnya? Kecil ya?” tanya
samuel seraya terkekeh.”
“Kurang ajar kamu!” Hardik Anggia sembari melempar tas Louis vitton miliknya ke
muka Samuel. Mobil pun oleng ke kanan. Lalu kemudian berdecit hingga berhenti.
Anggia memutuskan untuk keluar dari Mobil. Berjalan menuju pedestrian dan
memanggil taksi. Ia berlari dengan langkah kecil pertanda jijik dengan tingkah laku
sang supir.
“Bilang saja kalau kecil. Punyaku lebih panjang dan lebar!! Kita coba nanti malam
ya! Kamu pasti puas!!” Teriak Samuel dari balik jendela Mobil. Anggia memutar
balik badannya lantas mengacungkan jari tengah ke arah Samuel. Samuel hanya
terkikik geli memerlihatkan giginya yang kekuningan. Sekuning kaus kaki miliknya
yang tak kunjung diganti selama lima tahun.
Di dalam taksi. Benak Anggia bertanya-tanya Kecilkah?
Di Tokyo. Di sebuah Hotel bintang lima. Audy membuka Jendela bening besar.
berdiri di sebuah balkon kamarnya.tubuhnya telanjang bulat. Dirasakannya angin
malam Tokyo yang menampar-nampar kedua pipi tembamnya. Ia melihat ke bawah.
Tampak penis mungilnya berayun-ayun di hembuskan angin. Batinnya bertanya
Kecilkah?
Di Tokyo. Di dalam Hotel, saat malam merenda, Audy tertidur. masih memimpikan
tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Bukan. Bukan tujuh. Melainkan delapan. satu
diantaranya berparas Nik-nok.
Di Jakarta. Anggia sang sekretaris masih saja menunggu kepulangan sang bos dengan
hati yang membuncah. Ia tak sabar mengenakan Kardigan ungu yang pernah
diberikan oleh Audy di hari Ulang tahunnya yang ke 27.
Di Bekasi. DI rumah kontrakan. Samuel masih memendam hasrat untuk mengajak
Anggia sekadar menonton film bersama, atau dinner di sebuah kafe di ujung sudut
kota. Sungguh hatinya terpaut dengan Anggia. Ia masih tersenyum setiap kali
mengingat Anggia. Dan senyumannya itu selalu memamerkan barisan giginya yang
kekuningan. Sekuning kaus kakinya yang tak kunjung di ganti selama 5 tahun.
**
Kakek itu melihat cucu kesayangannya ternyata sudah tertidur dengan lelap. Ia
menatap wajah cantik nan mungil itu. Mengecup pelan kedua pipinya. Selamat tidur.
Bisiknya lembut.
Kakek itu berjalan ke luar rumah. Hari sudah begitu malam. Jam tangan tua di
pergelangan kirinya menunjukkan pukul sebelas malam. Tentu bukan jam yang baik
untuk para manula berjalan keluar di tengah malam di antara hembusan angin dingin
yang menusuk tulang. Namun hatinya terpanggil untuk menjenguk sebuah taman
mungil yang dahulu kerap ia datangi saat masih mewujud bocah. Sebuah taman
dimana dirinya begitu antusias untuk menyaksikan pertunjukan kupu-kupu saling-
silang beterbangan dan mendarat untuk menghisap sari bunga.
Ia menyukai kupu-kupu itu. namun yang paling disukainya adalah kupu-kupu
bersayap ungu. Karena kupu-kupu bersayap ungu selalu mengingatkannya akan
seseorang yang amat dicintainya. Ah, kemanakah dia? Masihkah dia mengingat
kejadian kurang lebih empat puluh lima tahun yang lalu? Saat dirinya memberikan
bingkai kaca berisikan ketujuh buah kupu-kupu yang kesemuanya bersayap ungu
layaknya semburat cahaya senja yang mulai lindap ditelan malam. Ia tidak tahu. Ia
hanya berharap semoga perempuan itu tidak akan pernah melupakannya.
Jauh di suatu tempat. Tampak seorang Nenek yang sedang berdiri. Menatap bingkai
kaca. Di dalamnya masih terdapat tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Ia tersenyum
kecil. Pikirannya melambung ke peristiwa empat puluh lima tahun yang lalu.
----
Profil singkat penulis
Deni oktora, Pria kelahiran 8-oktober-1985 silam ini kerap mendekam di dalam kamar
seorang diri bila malam minggu tiba hanya untuk membaca karya-karya Seno Gumira
Ajidarma, A.S laksana, dan Agus Noor. Sedang giat menulis cerpen karyanya sendiri
dan berharap suatu saat karyanya dapat menghiasi pelbagai surat kabar di Indonesia.
ANAK ANAK LANGIT
Anak-anak itu tidak dilahirkan oleh seorang ibu, mereka dilahirkan oleh rahim kemiskinan.
Begitu lahir mereka langsung berumur 3,5,8, atau 12 tahun. Pada saat malam gelap gulita,
tanpa sepotong bulan pun dilangit, mereka muncul ke jalan raya, merayap dari dalam gorong-
gorong yang berbau serba busuk dengan tubuh penuh lumpur.
Mula-mula merayap, lantas merangkak, kemudian berdiri, langsung mengulurkan tangan di
perempatan jalan. Dari dalam lobang gorong-gorong itu muncul banyak sekali anak-anak
kecil. Tangan mereka menguak dari dalam lobang, menyingkirkan tutup gorong-gorong dari
besi, lantas melata dengan tubuh masih penuh lumpur yang menetes-netes ke aspal. Anak-
anak kecilyang manis, anak-anak kecil yang matanya manis, cemerlang bak bintang kejora,
tapi yang pelupuk matanya tetap saja layu. Dengan Lumpur yang mengerting dan menjadi
daki yang melekat bertahun-tahun, mereka menengadahkan tangannya ke kaca-kaca jendela
mobil tanpa harapan mendapatkan apapun.
Mereka mengulurkan tangan sambil mengulurkan tangan sambil mengkuyu-kuyukan
wajahnya. Kadang-kadang mereka bertepuk tangan dengan mulut seolah-olah bernyanyi
padahal tidak karena memang hanya mangap-mangap tanpa suara karena toh para pengemudi
mobil itu tidak akan mendengar suara mereka sedangkan kalau mendengar pun juga tidak
akan pernah menganggapnya indah meski hanya untuk secuil saja dari
keindahan sebuah suara yang bisa disebut indah walah mata anak-anak itu tetap saja indah
seindah pada saat ketika dilahirkan dimana mereka langsung jadi pengemis yang penuh
dengan tipu daya akal bulus supaya dikasihani namun mata mereka tetap mata yang murni
seperti mata-mata anak-anak mana pun di seluruh pelosok bumiyang selalu memikat karena
anak-anak di mana pun memang selalu murni tak peduli kelak ketika
sudah dewasa mereka akan jadi bajingan yang paling tengik paling norak paling kampungan
paling busuk dan paling tidak tahu diri.
Orang-orang di dalam mobil yang memenuhi jalan itu esoknya tidak pernah tahu darimana
anak-anak itu berasal. Mereka tiba-tiba saja berada di sana dengan tubuh penuh Lumpur,
mengulurkan tangan meminta-minta dengan mata menghiba-hiba tapi yang tetap kelihatan
hanya berpura-pura karena apabila lampu merah menjadi hijau dan mobil-mobil melaju
kembali secepat kilat seperti ingin meninggalkan kenyataan anak-anak itu kembali saling
bercanda dan bermain tali berguling-gulingan bagai berada di taman impian bagai berada di
taman raja-raja bagai anak-anak pangeran padahal tak lebih dan tak kurang
mereka hanya berada di sebuah petak semen yang tak juga mulus malah jebol-jebol di mana
lampu hijau itu berganti merah kembali.
Orang-orang di dalam mobil sudah kehabisan rasa kasihan melihat anak-anak itu. Orang-
orang di dalam mobil meluncurkan kalimat-kalimat cerdas yang membenarkan bahwa tak
baik mendidik anak-anak itu menjadi pengemis sambil mengeraskan volume CD Player yang
melantunkan suara seorang penyanyi opera, “Quando me’n vo soletta,” sementara
anak-anak yang memukul terban dan kecrekan bikinan sendiri dari tutup-tutup botol yang
dipakukan ke kayu memandang ke balik kaca dengan lapisan film-hitam 60% melihat betapa
penumpang di jok belakang itu sama selali tidak menoleh dan hanya terus menerus membaca
majalah The Economist.
Pada siang hari lumpur di tubuh mereka memang mongering, rontok, tapi tetap menyisakan
daki yang menghitam di kulit mereka, melumut dan menghitam bagaikan tiada pernah akan
hilang seperti takdir yang telah mematok nasib mereka di jalanan itu tak bisa diubah-ubah
lagi meskipun mereka bisa mandi seratus kali sehari di sungai itu, sungai yang airnya
mengalir pelan-pelan saja yang airnya hitam bercampur minyak dan oli hitan legam entah
dari mana, mengalir pelan-pelan dengan plastik atau mayat menggenang terseok-seok tiada
yang akan peduli sampai membusuk seperti bangkai kucing yang perutnya menggembung-
bung-bung entah siapa dia – entah siapa dia betapa
kesepian mati sendiri tidak terkubur tidak terupacarakan meski barangkali lebih baik mati dan
terbebaskan dari kesunyian jalanan yang begitu ramai tapi tiada seorangpun dari orang-orang
di dalam mobil yang mampu menghayati penderitaan meski Cuma secuil karena mereka
memang berusaha menghindarinya berusaha lepas lari tak ingin tak tahu
tak ingin mengerti tak sudi menatap kemiskina yang begitu kelam tapi begitu nyata tampil
hadir di depan mereka mengulurkan tangan dengan wajah menghiba-hiba diiringi wajah lain
yang menyanyi-nyanyi tak jelas sambil menepuk-nepuk tangan.
Dari balik kaca jendela dengan lapisan film-hitam 60% dan sejuk udara AC yang membuat
suhu diluar semakin panas, nampak jelas anak-anak berambut merah dengan baju dekil
berlubang-lubang berjalan dari satu jendela ke jendela lain tanpa terlalu banyak berharap
seolah-olah mereka tidak betul-betul terlalu lapar dan hanya menjalankan peran
mereka sebagai anak-anak jalanan yang getir yang akan terus menerus berada di sana karena
harus selalu ada peran itu di dunia ini karena betapa ajaib jika di dunia ini tidak ada
penderitaan tidak ada kegetiran atau apapun yang membuat kebahagiaan menjadi istimewa.
Tapi kenapa anak-anak itu nampak bahagia? Mata mereka cemerlang seperti bintang kejora.
Wajah mereka murni dan tanpa dosa, sampai tiba saatnya mereka merambah suatu keadaan di
mana anak laki-laki akan membayar pelacur yang termurah di bawah jembatan pada umur 12
tahun dan anak perempuan akan menjadi pelacur juga pada umur 12 tahun. Hidup memberi
pelajaran pada umur 12 tahun. Hidup memberi pelajaran kepada anak-anak perempuan
bagaimana memanfaatkan tubuhnya dari hari ke hari
dari tahun ke tahun sampai tubuh itu tak bisa dimanfaatkan lagi menjadi rongsokan di bawah
jembatan laying ditemukan orang sebagai mayat gelandangan yang sangat bisa berguna untuk
dibedah dan di potong-potong sebagai bahan pelajaran mahasiswa Kedokteran. Tengkorak
mereka diawetkan, jantung mereka di masukkan stoples, dan suatu saat para mahasiswa itu
akan menjadi kaya raya karena pengetuan mereka
tentang susunan urat syaraf, otot, kelenjar, dan segala macam jeroan yang contohnya diambil
dari mayat perempuan tak dikenal yang barangkali saja pelacur murahan terbuang yang
dulunya berasal dari dalam gorong-gorong.
Di dalam gorong-gorong yang gelap, suram dan berbau bacin, anak-anak yang menunggu
untuk keluar duduk berjajar-jajar menanti giliran. Mereka akan selalu ada di sana, tidak bisa
dihapuskan dan di lenyapkan, makin hari malah makin banyak bermunculan dari setiap
lobang gorong-gorong di seluruh kota. Begitu muncul mereka langsung
mengulurkan tangan dengan wajah menghiba-hiba, mereka memberi tanda betapa mereka
butuh uang untuk makan hari itu saja, seolah-olah mereka, seolah-olah mereka tidak tahu
bahwa mereka memang dilahirkan supaya merasa lapar, supaya menjadi pengemis, supaya
menjadi bukti bahwa kemiskinan itu ada. Mereka tetap mengulurkan tangan dari satu jendela
ke jendela lain sambil mencoba menengok ke dalam mobil yang berlampu diamana orang-
orang membaca Koran Asian Wallstreet Journal dengan penuh keluh dan penuh kesah karena
perdagangan telah menjadi sulit dan membuat utang mereka makin membengkak. Menurut
kalkulasi para akuntan, mereka jauh lebih miskin dari para pengemis di luar itu, yang meski
begitu busuk, hina, dan buruk rupa, sama sekali tidak punya utang. Satu sen pun tidak.
Mereka menghela nafas. Hidup begitu berat, pikir mereka. Sebagai hiburan, mereka
mengubah mobilnya jadi gedung opera. Dengarlah Monserrat Caballe berkumandang, “Spira
sul mare esulla terra.”
***
Aku memikirkan semua itu sambil memandang mega-mega. Hamparan lautan kapas memutih
bagaikan surga kanak-kanak yang terindah. Dari balik jendela pesawat terbang, matahari
memang menjadi lain, cahayanya jatuh dengan lembut, keungu-unguan, keemas-emasan,
kemerah-merahan, menyepuh bantalan mega-mega yang seolah begitu empuk dan begitu
membahagiakan. Pramugari memintaku memilih minuman, dan aku memilih anggur putih
dengan nama yang sulit diucapkan. Setidaknya cocok untuk
menyantap ikan dengan pisau di tangan kanan dan garpu di tangan kiri, dengan serbet di
leher, gaya makan orang-orang beradab, sambil menatap awan gemawan yang berwarna
selembut yoghurt, terbentang tanpa batas, sungguh suatu pemandangan impian. Di telingaku
terpasang headphone, membawaku ke gedung La Scala di Milan. Kudengar Placido Domingo
bernyanyi, “L’alba vindice appar.”. Menoleh lagi ke jendela, suaranya
bagaikan berada di langit itu. Seolah-olah ia berada di sana, dengan penonton yang duduk
meluruskan kaki di antara mega-mega.
Mengembara di antara awan memberikan perasaan betapa dunia ini begitu luas. Dikau bisa
melompat berlari dari bantalan mega yang satu ke mega yang lain. Bisa juga membayangkan
diri menunggang seekor kuda terbang, atau Lembu Andini, keluar masuk celah awan yang
gemilang dalam perubahan warna yang tak tertahan dari saat ke saat, dari pesona ke pesona,
dari dunia ke dunia. Langit tak pernah sama dengan bumi.
Setiap lapis yang ditembus memberikan makna dan cerita lain.
Menjelajah langit adalah mengarungi dunia cerita yang serba membentang serba
menghampar dan serba menjanjikan adanya sesuatu yang lebih menarik di balik awan.
Kulihat juga dirimu mengelus kucing itu, seperti seorang dewi yang berkelebat dari mimpi ke
mimpi, dari sana ke sini, terlihat sebentar lantas menghilang lagi.
”E lucevan lestele.”. Apakah kamu masih mendengarkan Puccini? Aku masih di dalam
pesawat duduk diikat sabuk pengaman, menyantap makanan beradab. Langit yang ungu
bersepuh merah. Kutenggak anggur putih. Lantas bersendawa. Ikan salmon yang ku telan
menyublim ke udara.
Pramugari mengambil baki. Tak kulihat lagi kamu di luar jendela itu. Kemanakah kamu?
Apakah kamu masih menemui aku nanti di bumi? Aku sudah terlalu biasa dengan perpisahan
– semuanya selalu berakhir seperti itu. “Tutto e fenito.”. Selalu menyedihkan untuk
menyadari, bahwa setiap pertemuan dalam dirinya sudah mengandung perpisahan. Awan
merekah. Cahaya mengalir seperti sungai. Pesawat terbang menjadi perahu. Mega-mega
bagaikan busa sabun yang mengapung. Kemudian dari balik awan mega-mega yang
terbentang seperti lautan kapas menyembul anak-anak itu.
Anak-anak dengan tubuh penuh lumpur membumbung langsung dari gorong-gorong
menembus mega dan mengulurkan tangannya di jendela pesawat terbang. Aku terperangah.
Kulepaskan headphone. Apakah ini Cuma khayalanku? Ternyata tidak, karena para
penumpang juga menjadi gempar. Di setiap jendela disisi kiri maupun kanan muncul satu,
dua, sampai tiga anan yang menjulurkan tangan dengan wajah menghiba-hiba dan mata yang
dikuyu-kuyukan, nampak sekali berpura-pura, sedangkan yang lain menepuk-nepukkan
kerecekan dengan mulut mangap-mangap tak jelas menyanyi lagu apa, darimana pula anak-
anak itu tahu sebuah lagu, kalalu tahu pun sudah pasti bukan opera, dan anak yang lain lagi
seperti biasa hanya bermodal tepuk-tepukan tangan dengan mata yang tidak terlalu berharap
karena sudah terlalu biasa menerima lambaian penolakan.
Para penumpang yang duduk di bagian tengah berebutan melepaskan sabuk pengaman dan
berlompatan ke sisi kiri atau kanan jendela. Sebagian dengan cepat segera memotret dan
merekamnya dengan kamera video. Para pramugari yang biasanya tegas mengatur tata tertib
kini ikut histeris malah tanpa malu-malu melompati penumpang supaya bisa melongok ke
jendela. Ajaib. Anak-anak dari kolong bumi yang hanya pantas hidup
dalam kekelaman dan hanya pantas hidup dalam penderitaan kini menembus mega-mega,
menembus awan gemawan yang tebal melanjutkan kepengemisannya. Anak-anak itu
bertebaran sepanjang langit, beterbangan kian kemari membawa terban, kercekan, atau hanya
menepuk-nepukkan tangan, mengemis kepada setiap pesawat terbang yang
lalu lalang di atmosfir bumi. Mereka membubung langsung dari gorong-gorong yang bagai
tiada habisnya terus menerus memuntahkan anak-anak bersimbah lumpur, membumbung
langsung ke langit ke arah pesawat terbang dan mengulurkan tangan ke jendela-jendelanya.
Di muka bumi anak-anak itu mengulurkan tangan dengan pandangan mata tahu bahwa akan
ditolak. “Kami mengemis bukan karena butuh uang,” kata mata itu, “kami mengemis karena
kami memang dilahirkan sebagai pengemis.” Maka anak-anak membumbung langsung dari
gorong-gorong ke jendela setiap pesawat tanpa mengharap suatu ketika jendela itu akan
dibuka dan akan menerima uang logam seratus atau dua ratus rupiah. Lagipula, mana
mungkin jendela pesawat dibuka untuk memberi mereka sedekah?
Di langit yang senja, keindahan membentang bagaikan lautan syurgawi. Atap langit berkilau-
kilau karena matahari yang lain. Para penumpang di dalam pesawat terbang terperangah oleh
suara takbir dari langit yang menembus begitu halus ke badan pesawat. Di jendela, anak-anak
yang berlumpur dengan mata yang murni itu menatap kami, dari dalam pesawat kami
menatap mata anak-anak itu. Kemiskinan macam apakah kiranya yang tiada mungkin
tertolong lagi dan kekayaan macam apakah kiranya yang tak pernah mungkin mengubah
kemiskinan itu?
Dalam iringan takbir di langit yang menenggelamkan opera duniawi manapun, anak-anak itu
membubung ke atas, melanjutkan perjalanannya. Kucoba menengok ke atas dan hanya
kulihat berkas-berkas cahaya berkilauan.
Vancouver – Los Angeles, Februari 1999.
Dipublikasikan pertama kali dalam Kumpulan Cerpen: Iblis Tidak Pernah
Mati. Penerbit Bentang, 1999.
Bunyi Hujan di Atas Genting
“Ceritakanlah padaku tentang ketakutan,” kata Alina pada juru cerita itu. Maka juru cerita itu
pun bercerita tentang Sawitri:
Setiap kali hujan mereda, pada mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato. Itulah sebabnya
Sawitri selalu merasa gemetar setiap kali mendengar bunyi hujan mulai menitik di atas
genting.
Rumahnya memang terletak di sudut mulut gang itu. Pada malam hari, kadang-
kadang ia bisa mendengar bunyi semacam letupan dan bunyi mesin kendaraan yang menjauh.
Namun tak jarang pula ia tak mendengar apa-apa, meskipun sesosok mayat bertato tetap saja
menggeletak di mulut gang setiap kali hujan reda pada malam hari. Mungkin ia memang
tidak mendengar apa-apa karena bunyi hujan yang masih deras. Hujan yang deras, kau tahu,
sering kali bisa mengerikan. Apalagi kalau rumah kita bukan bangunan yang kokoh, banyak
bocor, bisa kebanjiran, dan akan remuk jika tertimpa pohon yang tidak usah terlalu besar.
Mungkin pula Sawitri tidak mendengar apa-apa karena ia mengantuk dan kadang-kadang
tertidur. Mungkin karena ia menyetel radionya terlalu keras. Ia suka mendengarkan lagu-lagu
pop Indonesia sambil menjahit. Matanya sering kali pedas karena menatap lubang jarum
dalam cahaya 15 watt. Kalau matanya menjadi pedas dan berair ia menutup matanya sejenak.
Saat menutup matanya sejenak itu ia mendengarkan sepotong lagu dari radio. Dan saat ia
mendengarkan lagu itu kadang-kadang ia tertidur. Tapi tetap saja setiap kali hujan reda, di
mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato.
Untuk melihat mayat bertato itu, Sawitri cukup membuka jendela samping rumahnya
dan menengok ke kanan. Ia harus membungkuk kalau ingin melihat mayat itu dengan jelas.
Kalau tidak, pandangannya akan terhalang daun jendela. Ia harus membungkuk sampai
perutnya menekan bibir jendela dan tempias sisa air hujan menitik-nitik di rambutnya dan
juga di sebagian wajahnya.
Dadanya selalu berdesir dan jantungnya berdegup-degup keras setiap kali hujan selesai dan
bunyi sisa air hujang seperti akhir sebuah nyanyian. Tapi Sawitri tetap saja membuka jendela
itu dan menengok ke kanan sambil membungkuk untuk melihat mayat itu. Meskipun ia
tertidur bila hujan turun tengah malam dan iramanya mengajak orang melupakan dunia fana
namun Sawitri selalu terbangun ketika hujan reda dan ia akan langsung membuka jendela
lantas menengok ke kanan sambil membungkuk.
Ia selalu merasa takut, tapi ia selalu ingin menatap wajah mayat-mayat bertato itu. Jika mayat
itu sudah terlanjur dikerumuni para tetangga, Sawitri pun selalu menyempatkan diri ke luar
rumah dan menyeruak di antara kerumunan itu sampai ia melihat mayat. Ia tidak selalu
berhasil melihat wajahnya karena kadang-kadang mayat itu sudah terlanjur ditutup kain. Tapi
Sawitri cukup lega kalau sudah melihat sebagian saja dari mayat itu, apakah kakinya,
tangannya atau paling sedikit tatonya.
Sawitri pernah membuka kain penutup mayat untuk melihat wajahnya tapi ia tak ingin
melakukannya lagi. Sekali-sekalinya ia membuka kain penutup wajah, yang ia lihat adalah
wajah menyeringai dengan mata terbeliak dan giginya meringis seperti masih hidup. Sebuah
wajah yang menyeramkan.
Namun sebetulnya Sawitri cukup jarang ikut berkerumun di antara tetangganya. Sawitri
hampir selalu menjadi orang pertama yang melihat mayat-mayat bertato itu. Ketika hujan
belum benar-benar selesai sehingga tampak seperti tabir yang berkilat dalam cahaya lampu
merkuri yang kekuning-kuningan. Sosok tubuh manusia itu tergeletak betul-betul seperti
bangkai. Sawitri hanya akan melihatnya sepintas, tapi cukup jelas untuk mengingat
bagaimana darah membercak pada semen yang basah dan sosok itu pun segera jadi basah dan
rambut dan brewok dan celana kolor orang itu juga basah.
Tidak semua wajah mayat-mayat bertato itu mengerikan. Kadang-kadang Sawitri punya
kesan mayat bertato itu seperti orang tidur nyenyak atau orang tersenyum. Orang-orang
bertato itu tidur nyenyak dan tersenyum dalam buaian gerimis yang di mata Sawitri kadang-
kadang tampak bagaikan layar pada sebuah panggung sandiwara. Cahaya lampu merkuri
yang pucat kekuning-kuningan kadang-kadang membuat warna darah pada dada dan
punggung orang itu tidak berwarna merah melainkan hitam. Darah itulah yang membedakan
mayat bertato itu dengan orang tidur.
Kadang-kadang mata mayat bertato itu menatap tepat pada Sawitri, ketika ia menoleh ke
kanan setelah membuka jendela dan membungkuk, setelah hujan mereda. Sawitri juga sering
merasa bahwa ia menatap mereka tepat pada akhir hidupnya. Mata itu masih hidup ketika
bertemu dengan mata Sawitri. Dan Sawitri bisa merasa, betapa mata itu pada akhir
pandangannya begitu banyak bercerita. Begitu sering Sawitri bertatapan dengan sosok-sosok
bertato itu, sehingga ia merasa mengerti apakah orang itu masih hidup atau sudah mati, hanya
dengan sekilas pandang. Ia pun segera bisa merasa, apakah nyawa orang itu masih ada di
tubuhnya, atau baru saja pergi, atau sudah lama melayang, entah ke surga atau ke neraka.
Sawitri seolah-olah merasa melihat begitu banyak cerita pada mata itu namun ia merasa
begitu sulit menceritakannya kembali. Sawitri kadang-kadang merasa orang itu ingin
berteriak bahwa ia tidak mau mati dan masih ingin hidup dan ia punya istri dan anak-anak.
Kadang-kadang Sawitri juga melihat mata yang bertanya-tanya. Mata yang menuntut. Mata
yang menolak takdir.
Tapi tubuh-tubuh bertato yang tegap itu tetap saja basah. Basah oleh darah dan hujan dan
kerjap halilintar membuat darah dan tubuh yang basah itu berkilat dan darah dan basah hujan
pada semen juga berkilat. Kepala orang-orang itu terkulai ke depan atau ke belakang seperti
dipaksakan oleh takdir itu sendiri. Sesekali kepala itu menelungkup mencium bumi atau
tengadah ke langit dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Dan bila hujan belum betul-
betul selesai, maka Sawitri melihat mulut yang menganga itu kemasukan air hujan.
Sawitri merasa tetangga-tetangganya sudah terbiasa dengan mayat-mayat bertato itu.
Malahan ia merasa tetangga-tetangganya itu bergembira setiap kali melihat mayat bertato
tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda dan mayat itu disemprot cahaya lampu
merkuri yang kekuning-kuningan. Dari dalam rumahnya yang terletak di sudut gang itu
Sawitri mendengar apa saja yang mereka percakapkan. Mereka berteriak-teriak sambil
mengerumuni mayat yang tergeletak itu meskipun kadang-kadang hujan belum benar-benar
selesai dan anak-anak berteriak hore-hore.
“Lihat! Satu lagi!”
“Mampus!”
“Modar!”
“Tahu rasa dia sekarang!”
“Ya, tahu rasa dia sekarang!”
“Anjing!”
“Anjing!”
Kadang-kadang mereka juga menendang-nendang mayat itu dan menginjak-injak wajahnya.
Kadang-kadang mayat itu mereka seret saja sepanjang jalan ke kelurahan sehingga wajah
orang bertato itu berlepotan dengan lumpur karena orang-orang kampung menyeret dengan
memegang kakinya. Sawitri tak pernah ikut dalam arak-arakan yang bersorak-sorai gembira
itu. Ia cukup membuka jendela setiap kali hujan reda dan menengok ke kanan sambil
membungkuk lantas menutupnya kembali setelah melihat sesosok mayat bertato.
Sawitri akan menarik napas panjang bila ternyata mayat itu bukan Pamuji. Bukankah Pamuji
juga bertato seperti mayat-mayat itu dan bukankah di antara mayat-mayat yang tergeletak di
mulut gang setiap kali hujan reda juga terdapat kawan-kawan Pamuji? Sesekali Sawitri
mengenali mayat-mayat bertato itu, Kandang Jinongkeng, Pentung Pinanggul…
Mayat-mayat itu menggeletak di sana, betul-betul seperti bangkai tikus yang dibuang di
tengah jalan. Sawitri merasa nasib mereka lebih buruk dari binatang yang disembelih. Mayat-
mayat itu tergeletak di sana dengan tangan dan kaki terikat jadi satu. Kadang-kadang hanya
kedua ibu jari tangannya saja yang disatukan dengan tali kawat. Kadang-kadang kakinya
memang tidak terikat. Bahkan ada juga yang tidak terikat sama sekali. Namun mayat-mayat
yang tidak terikat itu biasanya lebih banyak lubang pelurunya. Lubang-lubang peluru
membentuk sebuah garis di punggung dan dada, sehingga lukisan-lukisan tato yang indah itu
rusak.
Sawitri kadang-kadang merasa penembak orang bertato itu memang sengaja merusak
gambarnya. Sebenarnya mereka bisa menembak hanya di tempat yang mematikan saja, tapi
mereka juga menembak di tempat-tempat yang tidak mematikan. Apakah mereka menembak
di tempat-tempat yang tidak mematikan hanya karena ingin membuat orang-orang bertato itu
kesakitan? Di tempat-tempat yang tidak mematikan itu kadang-kadang terdapat gambar tato
yang rusak karena lubang peluru.
Ia selalu memperhatikan tato orang-orang yang tergeletak di mulut gang setiap kali hujan
reda. Begitulah caranya Sawitri mengenali Kandang Jinongkeng. Wajahnya tertelungkup,
namun cahaya lampu merkuri cukup terang untuk membuat Sawitri mengenali tato di
punggungnya yang sudah berlubang-lubang. Sebuah tulisan SAYANG MAMA, dan gambar
salib di lengan kiri. Sawitri bisa mengingat dengan jelas lukisan-lukisan pada mayat-mayat
itu. Jangkar, jantung hati, bunga mawar, tengkorak, nama-nama wanita, tulisan-tulisan, huruf-
huruf besar…
Sawitri selalu memperhatikan tato karena Pamuji juga bertato. Ia pernah menato namanya
sendiri di dada Pamuji. Ia menulis di dada bidang lelaki itu: SAWITRI. Tulisan itu masih
dilingkari gambar jantung hati tanda cinta. Sawitri ingat, ia membutuhkan waktu dua hari
untuk mencocok-cocok kulit Pamuji dengan jarum.
Namun bukan hanya nama Sawitri yang bertato di dada Pamuji. Ia selalu ingat di lengan
kirinya ada lukisan mawar yang bagus. Di bawah mawar itu ada tulisan Nungki. Menurut
Pamuji, itulah kekasihnya yang pertama. Lantas ada lukisan wanita telanjang. Di dada wanita
telanjang itu ada tulisan Asih. Menurut Pamuji pula, ia pernah jatuh cinta pada Asih, tapi
tidak kesampaian. Sawitri mengenal Asih. Mereka dulu sama-sama melacur di Mangga
Besar. Karena Asih itulah maka Sawitri berkenalan dengan Pamuji. Ah, masa-masa yang
telah berlalu!
Maka hujan pun turun seperti sebuah mimpi buruk. Semenjak tahun-tahun terakhir ini,
semenjak mayat-mayat bertato bergelimpangan di segala sudut, hidup bagaikan mimpi buruk
bagi Sawitri. Semenjak itulah Pamuji menghilang tak tentu rimbanya.
Dulu mayat-mayat itu bergelimpangan hampir setiap saat. Pagi siang sore malam mayat-
mayat menggeletak di sudut-sudut pasar, terapung di kali, terbenam di got, atau terkapar di
jalan tol. Setiap hari koran-koran memuat potret mayat-mayat bertato dengan luka tembakan
di tengkuk, di jidat, di jantung, atau di antara kedua mata. Kadang-kadang bahkan mayat
bertato itu dilemparkan pada siang hari bolong di jalan raya dari dalam sebuah mobil yang
segera menghilang. Mayat-mayat itu jatuh di tengah keramaian menggemparkan orang
banyak. Orang-orang mengerumuni mayat itu sambil berteriak-teriak sehingga jalanan jadi
macet. Sawitri melihat dengan mata kepala sendiri ketia sedang berbelanja pada suatu siang.
Ia melihat debu mengepul setelah mayat itu terbanting. Debu mengepul dan membuatnya
sesak napas. Pamuji o Pamuji, di manakah kamu?
Potret mayat-mayat itu kemudian menghilang dari koran-koran. Tapi mayat-mayat bertato itu
masih bermunculan dengan ciri yang sama. Tangan dan kaki mereka terikat. Mereka
tertembak di tempat yang mematikan, namun masih ada lubang-lubang peluru lain di tempat
yang tidak mematikan. Kalau mereka menembak di tempat yang tidak mematikan itu lebih
dulu, rasanya pasti sakit sekali, batin Sawitri. Apalagi dengan kaki tangan terikat seperti itu.
Apakah Pamuji telah menggeletak di suatu tempat seperti mayat-mayat di mulut gang?
Sawitri pernah menerima surat dari Pamuji tanpa alamat pengirim, tapi hanya satu kali.
Sawitri sebetulnya yakin Pamuji tak akan tertangkap. Pamuji sangat cerdik. Dan kalau para
penembak itu memberi kesempatan pada Pamuji untuk melawan, ia belum tentu kalah.
Sawitri tahu, Pamuji juga sangat pandai berkelahi. Tapi, jika setiap kali hujan selesai selalu
ada mayat tergeletak di ujung gang itu, siapa bisa menjamin Pamuji tidak akan mengalami
nasib yang sama?
Itulah sebabnya Sawitri selalu gemetar setiap kali bunyi hujan mulai menitik di atas genting.
Setiap kali hujan selesai, di mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato. Mata mereka selalu
menatap ke arah Sawitri, seolah-olah tahu Sawitri akan membuka jendela lantas menengok ke
kanan…
“Apakah pada akhir cerita Sawitri akan berjumpa kembali dengan Pamuji?” tanya Alina pada
juru cerita itu.
Maka juru cerita itu pun menjawab: “Aku belum bisa menjawab Alina, ceritanya masih
belum selesai.”
Chania
Minggu, 15 Agustus 2010 | 01:26 WIB
galeriinggil.web.id
ilustrasi
Cerpen Venny Mandasari
Hanifah mempunyai tiga anak, masih kecil-kecil. Si sulung Chania, berumur lima
tahun. Sejak berumur empat tahun Hanifah sudah mengajarkan Chania mencuci
piring, menyapu lantai, dan menjaga kedua adiknya jika Hanifah pergi bekerja.
Chania anak yang sangat pintar. Hanifah bekerja mencuci dan menggosok dari
rumah ke rumah.
“Mak, Chania capek,” keluh Chania setelah pagi-pagi dia bangun, mencuci
piring, memandikan kedua adiknya, dan menyapu lantai. “Hari ini Chania nggak
usah jaga adik ya?” pinta Chania, memelas. Baru kali ini dia berani menolak
ibunya. Kedua adiknya sangat penurut padanya, cuma yang kecil sangat lincah.
Chania lelah mengejarnya ke sana ke mari.
“Chania mau, kita nggak makan?” tanya Hanifah, lembut. Dia sedang memasak.
Chania terdiam memandangi kedua adiknya yang sedang bermain. Chania
sangat berakal. Chania tidak ingin, dia dan kedua adiknya kelaparan. Kemudian
dia menggeleng lemah.
“Ayah kan kerja, Mak. Kenapa Mamak juga harus bekerja?” cempreng suara
Chania. Dari subuh Ayah Chania sudah pergi dan pulangnya sore. Ayahnya
buruh bangunan.
“Gajinya tidak cukup, Chan.” Hanifah menatap Chania, kasihan, tapi cuma
sebentar. “Mamak sudah siap masak. Mamak pergi, ya,” kata Hanifah buru-buru.
“Jaga adikmu baik-baik,” teriaknya di daun pintu.
Lukman, adiknya yang kecil menangis melihat ibunya pergi. Chania
membujuknya agar diam. Di usianya yang masih kecil, Chania sangat pintar
mengurus adik.
“Ana Mak, Kak?” tanya adiknya, Della yang cadel.
“Kerja,” jawab Chania sambil menggendong Lukman.
“Jam belapa pulang na?”
“Nanti sore, Del. Sibuk kali pun Della ini!” bentak Chania dengan suara
terengah-engah karena keberatan menggendong Lukman, bercampur kesal karena
pertanyaan Della.
Della tampak tidak peduli dimarahi kakaknya. Dia tetap bermain.
“Della...!” panggil tiga orang anak seusia Della dan Chania.
“Apa?” suara kanak-kanak Della sangat lembut. Dia bangkit dari duduknya.
“Main, yuk?” Ketiga temannya membawa boneka. Ada boneka panda, kelinci, dan
patung. Della segera mengambil boneka teddy-nya yang sudah kusam, boneka
bekas, yang ditemukan ibunya.
“Kak, Della main ya?” kata Della pada Chania. Chania mengangguk, tersenyum
tipis.
“Jangan jauh-jauh ya!” teriaknya pada Della kemudian. Dilihatnya punggung
Della dan teman-temannya sampai menghilang. Matanya berkaca-kaca. Dia ingin
sekali bermain bersama mereka, tapi waktunya tidak ada.
Mungkin inilah nasibnya sebagai anak perempuan sulung. Sudah tanggung
jawab Chania menjaga kedua adiknya. Neneknya, ibu dari Hanifah, sangat
menyayangi Chania. Chania disarankan untuk tinggal bersama neneknya, tapi
Hanifah tidak mengijiinkannya. Bersama neneknya, Chania pasti akan bahagia.
Nenek Chania cuma tinggal berdua bersama kakeknya.
Seperginya Della, Chania menidurkan Lukman di ayunan.
***
Pulang kerja, Hanifah merebahkan badannya di kamar dengan kasur tipis tanpa
tempat tidur. Kasur itu pun dia dapat dari tetangganya yang baik hati bernama
Lea.
Hanifah dan Agung, suaminya, pindah hanya membawa pakaian. Hanifah kawin
lari karena ayahnya tidak merestui hubungannya dengan Agung. Pekerjaan
Agung tidak tetap. Hanifah dan anak-anaknya diterima di rumah orangtua
Hanifah, tapi pintu mereka tertutup untuk Agung.
Lukman berlari menuju kamar, mengejar ibunya.
“Aduh, Nak. Mamak capek. Pergi sana, sama kakakmu,” Hanifah berpaling dari
Lukman. “Chania!” teriaknya kemudian.
Chania akan tidur di kamarnya, saat Hanifah memanggilnya. Badannya sakit-
sakit, letih, satu harian menjaga Lukman. Chania tidak menghiraukan panggilan
Hanifah. Ingin rasanya dia tenang, satu hari saja tanpa perintah dari ibunya.
Chania ingin seperti teman seusianya yang lain, yang waktunya hanya
dihabiskan untuk bermain, bukan bekerja.
“Chania!” ulang Hanifah lagi.
Chania tetap tidak menyahut. Ditutupnya mukanya dengan bantal.
Tidak berapa lama, terdengar langkah kaki Hanifah masuk kamar Chania.
“Hey, kemana kupingmu, dipanggil dari tadi?” bentak Hanifah, menarik telinga
Chania, hingga bangkit dari tidurnya. Chania sangat terkejut.
“Chania capek, Mak.” Air mata Chania langsung mengalir.
“Kau kira Mamak nggak capek, ha?!” bentak Hanifah. “Kau jaga adikmu
sebentar, Mamak mau istirahat.” Hanifah menarik tangan Chania keluar dari
kamar. Chania menurut, namun air matanya tetap mengalir.
***
“Hanifah!” teriak seseorang di pintu.
Hanifah tahu betul dengan suara itu. Segera dia bangkit dari tidurnya dengan
semangat. Chania sedang mengejar Lukman yang akan ke sumur.
“Ada apa Kak Lea?” tanya Hanifah keluar dari kamar. Wajahnya dipasang
seramah mungkin. Lea adalah tetangga Hanifah yang kaya, yang sering
memberi mereka makanan, baju, dan uang. Lea salah seorang majikan tempat
Hanifah mencuci.
“Tidur kau?”
“Tidak, golek-golek saja. Kecapekan. Maklumlah, Kak. Cari uang payah.” Muka
Hanifah minta dikasihani, duduk di lantai. Lea menatapnya simpatik, ikut duduk
di dekat Hanifah. Rumah Hanifah kosong melompong, tanpa kursi. Hanya ada
satu meja dan tivi 14 inci.
“Lauk apa kalian tadi?”
“Tak ada. Cuma ikan asin dan sambal.”
“Ini ada ayam aku masak tadi.” Lea menyodorkan piring yang tertutup.
“Wah, terima kasih sekali, Kak.” Diambil Hanifah piring itu, lalu diletakkannya
di atas meja, di samping tempat dia duduk.
Mata Hanifah tertuju pada baju Lea. “Cantik kali baju Kakak, ya. Beli dimana?”
tanyanya berbasa-basi, di balik sebuah niat. Sejak gadis, Hanifah senang meminta.
“Ah, iya? Di Pasar. Ini kubeli seratus ribu.”
“Aih, mahalnya. Ingin sekali aku membeli baju, apalagi ini mau hari Raya, tapi
tak ada uang. Sampai seratus ribu, manalah aku sanggup. Baju anak-anak ini
lagi,” kata Hanifah memelas. Wajahnya selalu ingin dikasihani.
“Nanti kukasih uang THR mencucimu lebih dan baju ini untukmu,” ucap Lea
yang tidak habis-habis rasa kasihannya terhadap Hanifah.
“Wah, terima kasih sekali lah, Kak. Baik kali Kakak ini. Tak enak hati pula
aku,” balas Hanifah dengan sumringah.
***
Beberapa menit kemudian, Agung pulang. Sampai di depan pintu, dia
menanyakan Lukman, anak kesayangannya. Sejak menikah, Agung sangat
menginginkan anak laki-laki, namun ternyata dua anak pertama mereka adalah
perempuan. Itu sebabnya Hanifah tidak dia beri ijin KB sampai akhirnya mendapat
anak laki-laki. Agung sangat membenci Chania.
“Di belakang tadi, sama Chania,” jawab Hanifah.
“Oh,” jawab Agung singkat, lalu tersenyum pada Lea. Della sedang bermain di
depannya, mencari perhatiannya. Mata Della mencuri-curi pandang pada Agung,
sambil berbicara pada bonekanya. Agung kelihatan cuek.
“Chania!” panggil Agung kemudian. “Bawa Lukman kemari!”
Chania yang sedang mengejar Lukman di kamar mandi, gelagapan saat mendengar
teriakan ayahnya. Rasa takutnya pada Agung lebih besar dari pada sama Hanifah.
Lantai kamar mandi licin, dia terpleset, sementara Lukman semakin mendekati bibir
sumur. Dinding sumur setinggi dada Lukman. Chania ingin berteriak memanggil ayah
dan ibunya, tapi rasa takutnya lebih besar.
Sambil menunggu Chania, Agung berbincang dengan Lea dan Hanifah.
“Kemana anak itu? Lama kali.” Agung bergumam beberapa menit kemudian. “Della,
coba lihat kakakmu,” katanya kemudian pada Della.
Della berjalan menuju dapur. Agung tidak sabar, lalu menyusul Della.
“Ini Bang, sekalian bawa ayam dari Kak Lea. Taruh di atas meja ya,” pinta
Hanifah, melihat suaminya bangkit. Disodorkannya piring dari Lea tadi. Agung
menurut. Baru dua langkah dia berjalan, terdengar suara Della di dapur.
“Mak, Kak Nia acuk umul,” teriak Della, menunjuk ke arah sumur.
Chania dan Lukman sudah tidak ada lagi di sana.
--0--
KSI Medan, Agustus 2010
Catatan Anak Negeri yang Rindu pada Bumi
Kamis, 19 Agustus 2010 | 02:07 WIB
thundafunda.com
ilustrasi
Cerpen Aftar Ryan
Matahari menyemburat lagi. Meresapkan kehangatan lewat pancaran sinarnya. Langit
di timur jauh mulai terbias warna jingga yang perlahan berpendar ke warna kuning.
Segala akifitas akan di mulai kembali. Berjuta insan mulai terbangun dan menyibak
selimut hangatnya. Membuka jendela, membuka pintu, membuka hati untuk kembali
menjalani rutinitas hariannya. Sebagian telah bersiap dengan diri, hendak berlomba
dengan waktu, dan sebagian sudah ada yang berkubang di arena persaingan alam
untuk mengejar sedikit materi, untuk menyambung satu harapan atas nama kehidupan.
Riuh rendah suara alam mulai berbaur dalam satu nada yang bising.
Kami merasa terasing disini, semua begitu kabur. Semua seperti telah terprogram oleh
mesin waktu yang sewaktu-waktu, ketika kita mulai lengah, ia tak segan-segan
menggilas kita. Kemacetan seperti sudah menjadi keseharian yang bila sehari saja
tidak terjadi, justru malah dipertanyakan. Udara yang kami cium tak lagi bersahabat.
Air yang kami gunakan untuk mencuci, memasak, dan minum tidak lagi terjamin
kebersihannya. Karena polusi telah menjalari semua sisi.
Dulu kami memimpikan kesenjangan disini, memimpikan taraf hidup yang lebih
baik, ekonomi yang lebih mapan. Karena ketika di desa, kami selalu di iming-imingi
lewat teknologi, bahwa di kota semuanya akan selalu mungkin. Lalu kami berduyun-
duyun bagai gerombolan kelelawar keluar dari goa-goa gelapnya, kami berangkat
dengan bekal alakadarnya untuk merantau ke kota, dengan berjuta harapan yang
menyesaki rongga dada dan terpatri di benak kepala. Kamipun rela meninggalkan
tanah kelahiran kami yang telah banyak memberikan ilmu kebijakan pada kami. Yang
telah mengajarkan ilmu alam yang pasti. Yang telah mengajarkan ilmu bercocok
tanam di waktu yang tepat.
Di desa, kami mendapat ilmu yang berlimpah tentang menghadapi musim, kapan
kami menyemai, kapan kami menanam, dan kapan kami memanen. Kamipun belajar
banyak untuk memanfaatkan sungai sebagai pengairan. Memanfaatkan tebing bukit
sebagai perkebunan tampak siring, dan memanfaatkan padang ilalang untuk
mengembala ternak.
Lalu mengapa kehidupan kami diusik oleh kehadiran orang-orang yang
mengatasnamakan pembangunan?. Mereka mengumpulkan kami di balai desa,
menjelaskan program terpadu yang mereka sebut sebagai pemerataan pembangunan,
dengan dalih bisa meningkatkan taraf hidup kami jika kami mau mencari nafkah di
kota. Mereka memaksa kami untuk menjual tanah leluhur kami yang diwariskan
secara turun temurun. Dan jika kami tidak mau, mereka tak segan menyebut kami
sebagai rakyat yang anti pembangunan. Lebih jauh lagi mereka menyebut kami
sebagai rakyat yang anti pemerintahan.
Nyatanya semua yang kami terima hanyalah omong kosong belaka. Ketika kami
menjejakkan kaki disini, di kota, hanya kebengisan yang kami lihat. Berjuta pasang
mata yang mejemput kedatangan kami tampak sekali tanda-tanda yang tidak
bersahabat bersemayam di dalamnya. Lantas kami dihadapkan pada kenyataan. Tak
ada sejengkal tanahpun untuk kami sandarkan tubuh letih ini. Karena harga tanah
disini jauh melambung tinggi dari harga tanah di desa yang kami jual secara terpaksa.
Lalu kami terpaksa menjadi penghuni pinggiran kota yang hidup saling bertumpuk
dengan para tetangga yang nasibnya tak jauh beda dengan kami. Kami tinggal hanya
dengan beralaskan tanah kering dan berdindingkan dus-dus bekas makanan. Itu
mungkin masih lebih mujur jika dibandingkan saudara-saudara kami yang terpaksa
harus menghuni kolong-kolong jembatan, yang tentu saja akan susah jika musim
hujan datang.
Lalu keadaan semakin sulit ketika ilmu alam yang kami dapat dari pengalaman di
desa, tidak bisa kami terapkan disini. Para orang tua kami tak bisa lagi
menyembunyikan penyakit tuanya karena mereka tidak bisa lagi bekerja. Padahal
ketika di desa, tak ada orang tua yang berhenti bekerja sebelum ajal menjemput,
meskipun umur mereka sudah lebih dari enam puluh tahun. Karena dengan bekerja,
mereka merasa lebih segar dan sehat.
Pelarian terakhir mereka -para orang tua kami- adalah pinggir jalan yang membuat
mereka mengais rejeki dari bising mesin kendaraan dan kepulan asap knalpot.
Sekedar menengadahkan tangan, atau menyusun tutup botol. Lalu mendendangkan
musik penderitaan, dengan harap belas kasihan dari para penderma.
Tak ada lagi yang bisa kami harapkan disini. Kami rasa tempat kami bukan disini.
Peradaban kami adalah alam yang banyak mengajari kebijakan. Pijakan kami adalah
tanah tempat menyemai benih-benih yang memberi kami harapan. Semangat kami
adalah hujan yang menurunkan rejeki dan air kehidupan. Dan, nasib kami adalah
angin yang membawa semangat perubahan lewat kesejukan hembusannya.
Kami harus pulang. Kami sadar bahwa kehidupan kami yang sebenarnya adalah di
tempat ketika dimana kami dilahirkan dan dibesarkan.
Kami harus pulang. Kembali menata kehidupan yang telah dirampas dari kami.
Semoga masih ada sejengkal harapan untuk kami sandarkan masa depan.
Namun inilah kenyataan yang kembali harus kami terima. Disini, kembali kami harus
menelan mentah-mentah harapan kami.
Desa kami telah lenyap. Digusur oleh laju pertumbuhan pembangunan yang nyata-
nyata tidak memihak kami, atas nama rakyat jelata.
Di sini, di desa yang dulu kami tinggali, kami tidak lagi menemukan kesegaran
embun pagi yang dulu selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari awal hari yang
kami jalani. Kami juga tidak merasakan kesegaran udara yang dulu begitu merasuk
memberi semangat untuk menyongsong hari yang lebih indah. Tak ada lagi nyanyian
alam yang didendangkan aneka burung yang ditingkahi tawa riang bocah-bocah
berseragam sekolah dengan tas ransel di pundaknya. Bahkan tak ada lagi beberapa
potong singkong goreng dan segelas kopi hitam di atas meja untuk sebuah jamuan
sarapan pagi yang begitu nikmat, tanpa harus khawatir dengan kandungan bahan
pewarna, kolesterol, bakteri, lapisan lilin, ataupun bahan kimia lainnya. Semua telah
lenyap. Matahari pagi tak lagi terasa meresapi jiwa-jiwa yang rindu akan hangatnya.
Hanya tatapan-tatapan mata yang lelah dan air muka yang mengendapkan keletihan,
yang sering kami jumpai berlalu lalang di hadapan kami, tentu dibarengi dengan
mulut bungkam tak ada tegur sapa, atau sekedar permisi.
Lalu mengapa kami seperti kehilangan pijakkan kami. Tak ada bau lembab tanah
yang menyegarkan penciuman kami. Atau suara lonceng dari leher kerbau yang
digiring para petani untuk menggarap sawahnya. Bocah-bocah berseragam seperti
kehilangan tawanya. Kehilangan masa depannya. Kehilangan cita-cita yang dulu
selalu diemban di pundaknya. Mereka kini seperti kehilangan harapan. Terseok,
seakan bersekolah hanya akan menjadi beban kehidupan. Tak ada lagi cita-cita.
Bahkan mimpi pun lenyap sebelum tidur tiba. Angan dan asa hanya akan menjadi
sandaran kecemburuan yang selalu menghantui. Lalu esok, masa depan mereka akan
mereka pertaruhkan diperempatan jalan, dengan menengadahkan tangan, dengan
dendangan suara parau dan sumbang yang terkadang menyayat hatinya sendiri.
Kemudian, kemanakah ladang kami, tempat dimana kami menyemai benih-benih
kehidupan. Lalu kemanakah bukit kami, tempat dimana kami membuat perkebunan
tampak siring. Dan kemanakah padang ilalang dan hutan kami, tempat dimana kami
mengembala hewan ternak dan berburu. Kemanakah halaman luas tempat anak-anak
kami bermain. Kemanakah malam terang purnama yang selalu ditingkahi tawa riang
anak-anak kami yang memainkan permainan rakyat sambil menyanyikan senandung
lagu yang mengantar mereka menjemput mimpi indah diantara lelap tidurnya setelah
lelah bermain.
Itu mungkin hanya sebagian yang bisa kami rasakan. Sementara, kami belum
mendengar lagi suara kokokan ayam yang membangunkan setiap insan untuk
menyambut pagi. Kami belum mendengar lagi kicauan burung yang menyambut hari,
merapalkan doa atas keagungan pagi yang indah. Lalu ketika hari beranjak sore,
kamipun tak lagi mendengar bising serangga yang mengantar kami menjemput senja,
menjemput pekat malam yang melindungi kami di peristirahatan ketika lelap
membawa kami menjelajah mimpi.
Esok, atau di hari yang akan datang, kami tak akan berhenti berharap. Semoga masih
ada secuil mimpi yang bisa kami jemput di kemudian hari, dan menjadi sandaran
untuk terus berusaha. Semoga angin masih berhembus membawa kabar berita yang
bisa membuat kami kembali bersemangat, meskipun harapan itu kecil adanya.
Semoga masih ada rintik hujan yang menyuburkan hati terdalam kami. Dan, semoga
masih ada sejengkal tanah yang bisa menerima jasad kami, ketika kami merasa letih
dalam mengarungi hidup ini.
Kesadaran kami telah terlecut hingga puncaknya, bahwa tak ada lagi yang bisa kami
harapkan dari semua perubahan ini. Karena perlahan tapi pasti, toh perubahan akan
datang pula. Perlahan tapi pasti, kamipun akan mangkat, membawa pertanyaan besar
yang entah kapan akan terjawab. Hanya saja, kami masih diliputi keraguan yang
dalam, yang membuat kami masih enggan untuk mati. Satu pertanyaan yang mungkin
harus Anda jawab, masihkah ada sejengkal tanah itu? Tempat dimana jasad kami
berbaring, menyandarkan letih, dalam balutan tangis dan getir.
Bandung, Maret 2008
CLARA atawa Wanita yang Diperkosa
oleh Seno Gumira Ajidarma
Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi*) – tapi aku memakai seragam. Kau
tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Di hadapanku duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Coklat sebetulnya. Tapi orang-orang
menyebutnya merah. Padahal merah punya arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki
pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.
Jadi, aku tidak perlu percaya kepada wanita ini, yang rambutnya sengaja dicat merah. Barangkali isi
kepalanya juga merah. Barangkali hatinya juga merah. Siapa tahu? Aku tidak perlu percaya kepada
kata- kata wanita ini, meski ceritanya sendiri dengan jujur kuakui lumayan mengharukan.
Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan karena bahasa Indonesianya
kurang bagus, karena bahasa itu sangat dikuasainya, tapi karena apa yang dialami dan dirasakannya
seolah- olah tidak terkalimatkan. Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin yang tak
terbayangkan. Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita. Tidak pernah bisa
kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan seberat itu justru karena dia lahir
sebagai manusia. Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak nyambung.
Kata-kata bertebaran tak terangkai sehingga aku harus menyambung-nyambungnya sendiri. Beban
penderitaan macam apakah yang bisa dialami manusia sehingga membuatnya tak mampu berkata-
kata?
Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah bertahun-
tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan itu tidak pernah sama
dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi
menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif — pokoknya
selalu disesuaikan dengan kebutuhan.
Maka, kalau cuma menyambung kalimat yang terputus-putus karena penderitaan, bagiku sungguh
pekerjaan yang ringan.
***
Api sudah berkobar di mana-mana ketika mobil BMW saya melaju di jalan tol. Saya menerima telepon
dari rumah. ”Jangan pulang,” kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-
rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Sinta, adik-adikku, terjebak di
dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana. ”Jangan pulang, selamatkan diri kamu, pergilah langsung
ke Cengkareng, terbang ke Singapore atau Hong Kong. Pokoknya ada tiket. Kamu selalu bawa paspor
kan? Tinggalkan mobilnya di tempat parkir. Kalau terpaksa ke Sydney tidak apa-apa. Pokoknya
selamat. Di sana kan ada Oom dan Tante,” kata Mama lagi.
Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi perusahaan Papa
yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk tidak
mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan. Papa marah-
marah. ”Kita tidak punya uang untuk membayar buruh. Selain produksi sudah berhenti, yang beli pun
kagak ada. Sekarang ini para buruh hidup dari subsidi perusahaan patungan kita di luar negeri.
Mereka pun sudah mencak-mencak profitnya dicomot. Sampai kapan mereka sudi membayar orang-
orang yang praktis sudah tidak bekerja?”
Saya masih ngotot. Jadi Papa putuskan sayalah yang harus mengusahakan supaya profit perusahaan
patungan kami di Hong Kong, Beijing, dan Macao diperbesar. Tetesannya lumayan untuk menghidupi
para buruh, meskipun produksi kami sudah berhenti. Itu sebabnya saya sering mondar-mandir ke
luar negeri dan selalu ada paspor di tas saya.
Tapi, kenapa saya harus lari sekarang, sementara keluarga saya terjebak seperti tikus di rumahnya
sendiri? Saya melaju lewat jalan tol supaya cepat sampai di rumah. Saya memang mendengar banyak
kerusuhan belakangan ini. Demonstrasi mahasiswa dibilang huru-hara. Terus terang saya tidak tahu
persis apa yang terjadi. Saya terlalu tenggelam dalam urusan bisnis. Koran cuma saya baca judul-
judulnya. Itu pun maknanya tidak pernah jelas. Namun, setidaknya saya yakin pasti bukan
mahasiswa yang membakar dan menjarah kompleks perumahan, perkotaan, dan mobil-mobil yang
lewat. Bahkan bukan mahasiswa pun sebenarnya tidak ada urusan membakar-bakari rumah orang
kalau tidak ada yang sengaja membakar-bakar.
Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Di kiri kanan jalan terlihat api menerangi malam. Jalan
tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan
segera tiba di rumah. Tapi, di ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan
mobil. Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di tengah jalan tol, tapi
saya tidak ingin menabraknya. Saya menginjak rem, tidak langsung, karena mobil akan berguling-
guling. Sedikit-sedikit saya mengerem, dan toh roda yang menggesek aspal semen itu tetap
mengeluarkan bunyi Ciiiiiiitttt! Yang sering dianggap sebagai petanda betapa para pemilik mobil
sangat jumawa.
Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
”Buka jendela,” kata seseorang.
Saya buka jendela.
”Cina!” ”Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu
bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan
lahir sebagai Cina?
”Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar
seperti karung dan terhempas di jalan tol.
”Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!” Pipi saya menempel di permukaan
bergurat jalan tol. Saya melihat kaki-kaki lusuh dan berdaki yang mengenakan sandal jepit, sebagian
tidak beralas kaki, hanya satu yang memakai sepatu. Kaki-kaki mereka berdaki dan penuh dengan
lumpur yang sudah mengering.
”Berdiri!” Saya berdiri, hampir jatuh karena sepatu uleg saya yang tinggi. Saya melihat seseorang
melongok ke dalam mobil. Membuka-buka laci dashboard, lantas mengambil tas saya. Isinya
ditumpahkan ke jalan. Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat alis, sikat bulu mata, lipstik, HP,
dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton bersama pacar saya kemarin. Dompetnya segera
diambil, uangnya langsung dibagi-bagi setengah rebutan. Sejuta rupiah uang cash amblas dalam
sekejap. Tidak apa-apa. Mobil masih bisa dikendarai dengan kaca pecah, dan saya tidak perlu uang
cash. Di dalam dompet ada foto pacar saya. Orang yang mengambil dompet tadi mengeluarkan foto
itu, lantas mendekati saya.
”Kamu pernah sama dia?”
Saya diam saja. Apa pun maksudnya saya tidak perlu menjawabnya.
Plak! Saya ditampar. Bibir saya perih. Barangkali pecah.
”Jawab! Pernah kan? Cina-cina kan tidak punya agama!” Saya tidak perlu menjawab.
Bug! Saya ditempeleng sampai jatuh.
Seseorang yang lain ikut melongok foto itu.
”Huh! Pacarnya orang Jawa!” Saya teringat pacar saya. Saya tidak pernah peduli dia Jawa atau Cina,
saya cuma tahu cinta.
”Periksa! Masih perawan atau tidak dia!” Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span
saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing
memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak.
Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.
”Aaaahhh! Tolongngng!” Saya menjerit. Mulut saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah orang
yang menginjak mulut saya itu nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan
meremas-remas tubuh saya.
”Diem lu Cina!” Rok saya sudah lolos….
***
Wanita itu menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa terharu kalau membaca
roman picisan yang dijual di pinggir jalan. Tapi, menjadi terharu tidak baik untuk seorang petugas
seperti aku. Aku harus mencatat dengan rinci, objektif, deskriptif, masih ditambah mencari tahu
jangan-jangan ada maksud lain di belakangnya. Aku tidak boleh langsung percaya, aku harus curiga,
sibuk menduga kemungkinan, sibuk menjebak, memancing, dan membuatnya lelah supaya cepat
mengaku apa maksudnya yang sebenarnya. Jangan terlalu cepat percaya kepada perasaan. Perasaan
bisa menipu. Perasaan itu subjektif. Sedangkan aku bukan subjek di sini. Aku cuma alat. Aku cuma
robot. Taik kucing dengan hati nurani. Aku hanya petugas yang membuat laporan, dan sebuah
laporan harus sangat terinci bukan?
”Setelah celana dalam kamu dicopot, apa yang terjadi?”
Dia menangis lagi. Tapi masih bercerita dengan terputus-putus. Ternyata susah sekali menyambung-
nyambung cerita wanita ini. Bukan hanya menangis. Kadang-kadang dia pingsan. Apa boleh buat,
aku harus terus bertanya.
”Saya harus tahu apa yang terjadi setelah celana dalam dicopot, kalau kamu tidak bilang, apa yang
harus saya tulis dalam laporan?”
***
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Waktu saya membuka mata, saya hanya melihat bintang-
bintang. Di tengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib saya? Saya masih
terkapar di jalan tol. Angin malam yang basah bertiup membawa bau sangit. Saya menengok dan
melihat BMW saya sudah terbakar. Rasanya baru sekarang saya melihat api dengan keindahan yang
hanya mewakili bencana. Isi tas saya masih berantakan seperti semula. Saya melihat lampu HP saya
berkedip-kedip cepat, tanda ada seseorang meninggalkan pesan.
Saya mau beranjak, tapi tiba-tiba selangkangan saya terasa sangat perih. Bagaikan ada tombak
dihunjamkan di antara kedua paha saya. O, betapa pedihnya hati saya tidak bisa saya ungkapkan.
Saya tidak punya kata-kata untuk itu. Saya tidak punya bahasa. Saya hanya tahu bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris untuk urusan bisnis. Kata orang, bahasa Cina sangat kaya dalam hal
menggambarkan perasaan, tapi saya tidak bisa bahasa Cina sama sekali dari dialek manapun, kecuali
yang ada hubungannya dengan harga-harga. Saya cuma seorang wanita Cina yang lahir di Jakarta
dan sejak kecil tenggelam dalam urusan dagang. Saya bukan ahli bahasa, bukan pula penyair. Saya
tidak tahu apakah di dalam kamus besar Bahasa Indonesia ada kata yang bisa mengungkapkan rasa
sakit, rasa terhina, rasa pahit, dan rasa terlecehkan yang dialami seorang wanita yang diperkosa
bergiliran oleh banyak orang –karena dia seorang wanita Cina. Sedangkan pacar saya saja begitu
hati-hati bahkan hanya untuk mencium bibir saya. Selangkangan saya sakit, tapi saya tahu itu akan
segera sembuh. Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya yang akan
membela kami? Benarkah kami dilahirkan hanya untuk dibenci?
Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutupi
tubuh saya dengan kain.
”Maafkan anak-anak kami,” katanya, ”mereka memang benci dengan Cina.”
Saya tidak sempat memikirkan arti kalimat itu. Saya bungkus tubuh saya dengan kain, dan tertatih-
tatih menuju tempat di mana isi tas saya berserakan. Saya ambil HP saya, dan saya dengar pesan
Papa: ”Kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong Kong, Sydney,
atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah
dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari
lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini masih berguna.
Rasanya Papa ingin mati saja.”
***
Dia menangis lagi. Tanpa airmata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja dia tergeletak di kursi. Ia
hanya mengenakan kain. Seorang ibu tua yang rumahnya berada di kampung di tepi jalan tol telah
menolongnya. ”Dia terkapar telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua itu. Aku sudah melaporkan soal ini
kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, ”Satu lagi! Hari ini banyak sekali perkara beginian.
Tahan dia di situ. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai ketahuan wartawan dan
LSM!” Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek kembali.
”Jadi kamu mau bilang kamu itu diperkosa?”
Dia menatapku.
”Padahal kamu bilang tadi, kamu langsung pingsan setelah … apa itu … rok kamu dicopot?”
Dia menatapku dengan wajah tak percaya.
”Bagaimana bisa dibuktikan bahwa banyak orang memperkosa kamu?”
Kulihat di matanya suatu perasaan yang tidak mungkin dibahasakan. Bibirnya menganga. Memang
pecah karena terpukul. Tapi itu bukan berarti wanita ini tidak menarik. Pastilah dia seorang wanita
yang kaya. Mobilnya saja BMW. Seorang wanita eksekutif. Aku juga ingin kaya, tapi meskipun sudah
memeras dan menerima sogokan di sana-sini, tetap begini-begini saja dan tidak pernah bisa kaya.
Naik BMW saja aku belum pernah. Aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya –apalagi
kalau dia Cina. Aku benci sekali. Yeah. Kainnya melorot, dan tampaklah bahunya yang putih….
”Jangan terlalu mudah menyebarkan isyu diperkosa. Perkosaan itu paling sulit dibuktikan. Salah-salah
kamu dianggap menyebarkan fitnah.”
Di matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk bercerita, memang
menunjukkan dia wanita yang tegar.
”Saya mau pulang,” ia berdiri. Ia hanya mengenakan kain yang menggantung di bahu. Kain itu
panjangnya tanggung, kakinya yang begitu putih dan mulus nampak telanjang.
”Kamu tidur saja di situ. Di luar masih rusuh, toko-toko dibakar, dan banyak perempuan Cina
diperkosa.”
”Tidak, saya mau pulang.”
”Siapa mau mengantar kamu dalam kerusuhan begini. Apa kamu mau pulang jalan kaki seperti itu?
Sedangkan pos polisi saja di mana-mana dibakar.”
Dia diam saja.
”Tidur di situ,” kutunjuk sebuah bangku panjang, ”besok pagi kamu boleh pulang.”
Kulihat dia melangkah ke sana. Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya nampak menerawang. Dia
sungguh-sungguh cantik dan menarik, meskipun rambutnya dicat warna merah. Rasanya aku juga
ingin memperkosanya. Sudah kubilang tadi, barangkali aku seorang anjing, barangkali aku seorang
babi — tapi aku mengenakan seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Masalahnya: menurut ilmu hewan, katanya binatang pun tidak pernah memperkosa.
Tentu saja tentang yang satu ini tidak perlu kulaporkan kepada pimpinan. Hanya kepadamu aku bisa
bercerita dengan jujur, tapi dengan catatan — semua ini rahasia. Jadi, jangan bilang-bilang.
Jakarta, 26 Juni 1998
*) Menggunakan istilah dari novel Saman, “aku seorang burung
Damai untuk Ragil
Selasa, 18 Mei 2010 | 02:07 WIB
Ilustrasi
Cerpen Divin Nahb
Ragil, anak lelaki satu-satunya di rumah, di ujung gang perumahan kumuh. Orang tuanya sudah
berpisah sejak usianya belum genap satu tahun. Bapaknya entah ada di mana. Sehabis menang
pasang buntut, bapaknya kabur dengan seorang wanita. Biarpun emaknya memberitahu ribuan kali,
Ragil tetap tidak paham. Ia hanya asik dengan mobil- mobilan kayunya, pemberian tetangga sebelah.
Acapkali, emaknya mengurung diri di kamar—setelah berpisah dengan suaminya. Melamun atau
mencak-mencak dan kemudian memuntahkan kata-kata kasar. Baginya hidup yang dijalani bersama
dengan Ragil terasa begitu berat. Setiap hari dia harus mengorek-ngorek barang-barang bekas di tong-
tong sampah perumahan. Tapi sungguh, dia tak akan pernah rela bila harus menjamah tempat sampah
yang bau busuknya sangat menusuk—yang sudah berpenghunikan belatung-belatung besar. Perasaan
jijik dan ingin muntah yang lantas menghinggapi dirinya.
Oleh karena itu, uang yang akan dia dapatkan tidak seberapa banyak jika dibandingkan dengan
pemulung lainnya. Dan itu tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kehidupannya bersama Ragil.
Apalagi, akhir-akhir ini Ragil sering kali minta jajan atau berbagai mainan yang tentu saja sulit untuk dia
berikan.
***
Ragil minta jajan. Merengek-rengek sambil menendang apa saja di depannya, atau membanting mainan
kusam yang ada di tangannya sampai penyok. Tangisannya memekakkan telinga. Itu akan terhenti
ketika tangan Ragil sudah dipenuhi uang recehan yang saling berdentingan. Tapi emaknya tidak punya
uang sepeserpun, penghasilannya yang tidak seberapa telah habis untuk membayar hutang di warung
depan—itupun belum juga lunas.
Yang bisa emaknya lakukan, hanya membentak Ragil untuk segera diam. Jika Ragil tetap merengek,
maka cubitan dan pukulan jawabannya. Tak jarang tubuh Ragil membiru. Karena begitu satu sabetan
melayang dari tangan emaknya, maka emosi yang berbicara dan syetan pun merasuk ke dalam tubuh.
Hantaman-hantaman menjalar ke seluruh tubuh Ragil. Bila sudah puas, emaknya baru sadar kalau
Ragil ternyata menjerit-jerit kesakitan.
“Emak pusing! Agil bisa diam gak sih?” emaknya mengawali dengan ancaman.
“Hik8hik8hik8Agil au jajan. Mak8Agil au uwi ‘emen8”
“Emak gak punya uang! Agil diem dong! Kalo gak emak cubit ya!?” mata emaknya melotot.
“Entang8h8 atit8h8mak8” Ragil cegukan.
“Makanya diem, kalo gak mak cubit!”
Ragil pun diam, lelah. Pun ia tak mau dipukuli seperti hari-hari kemarin. Cegukannya reda. Matanya
kuyu menatap ke luar jendela. Sepuluh menit matanya terus menatap ke luar. Angin sepoi membelai
tubuhnya yang berpeluh banyak karena tangis. Matanya merem-melek. Ia pun memejamkannya dan
terkatup tenang.
***
Hidup Ragil dan emaknya semakin susah. Tak jarang mereka hanya makan sekali dalam sehari. Perut
mereka melilit tak karuan. Ragil sudah tak sanggup menahan lapar itu. Ia terus menangis minta makan.
Tangisannya semakin membisingkan atmosfir rumah kumuh itu. Untungnya masih ada tetangga
sebelah yang bersedia menyisakan jatah makan mereka untuk Ragil. Hingga Ragil bisa terdiam dan
sibuk dengan dunia kanaknya kembali.
Sorepun menghampiri perumahan kumuh. Pintu berdebam keras. Melonjakkan jantung Ragil. Emaknya
pulang, mengumpat-umpat. Dibantingnya karung barang bekas itu ke lantai. Ragil—yang selalu
ditinggal di rumah olehnya bersama anak-anak kecil lainnya, hanya menatapnya tanpa ekspresi
apapun. Tapi di ujung lidahnya telah terangkai suatu keinginan, bahwa ia menginginkan permen
coklat—seperti yang dimakan Adit. Perlahan Ragil mendekati emaknya, minta dibelikan permen coklat.
“Agil bilang apa? Permen coklat?” emaknya menjewer telinga Ragil keras. Ragil mengerang kesakitan,
sekuat tenaga ia lepaskan tangan emaknya dari telinga. Percuma.
“Mak8atit8” Ragil menangis.
“Sakit? Itu yang emak rasakan pada bapakmu! Dia enak-enakkan meluk cewek sialan itu di depan
emak! Sekarang Agil minta permen coklat? Agil gak mikir perasaan emak?” tamparan pipi kanan
dimulai.
Tak banyak kata yang keluar. Hanya satu atau dua kata cacian untuk bapaknya. Tangan emaknya
menari keras menghantam sekujur tubuh Ragil. Namun, hari itu tidak seperti kemarin. Seperti sebuah
penyiksaan di kamar eksekusi penjahat kelas kakap. Ragil dicubitnya. Dijambaknya. Ditamparnya. Pun
dipukul di bagian perut dan punggung. Keras, semua dilakukan dalam kadar kekuatan penuh orang
yang sedang kalap. Ragil menjerit dan meronta, tapi tubuhnya yang mungil tak akan mampu melawan
emaknya. Dia terus menjerit kesakitan dengan ucapan cedalnya.
Bibir Ragil keluar darah, karena satu tamparan keras mengenai ujungnya. Tubuh mungil itu melemah
karena siksaan. Emaknya sadar. Ragil pingsan. Emaknya memeluk keras, mencium kening Ragil.
Emaknya panik, dia julurkan telunjuknya pada lubang hidung Ragil. Masih bernapas. Ragil digendong
dan ditaruh di atas ranjang.
Tubuh Ragil bergetar. Semakin keras. Melonjak. Semakin keras. Ranjang itu sepertinya memang
berdenyit kuat, seperti menggempar. Tubuh di atasnya tergoncang bersimbah peluh. Wajahnya
meronta-ronta. Dadanya naik-turun, menahan tekanan begitu kuat. Matanya terpejam. Bibirnya tak
berhenti komat-kamit.
Emaknya panik dan ketakutan8
***
Dunia seakan berputar berkali-kali. Awan-awan di langit seperti jalan cepat. Pohon-pohon bergerak
dengan irama angin yang meniup kencang. Ragil terus berlari. Suara-suara parau memecah kesunyian.
Ragil mencari suara itu melalui celah-celah. Suara yang tentu saja bersosok. Satu sosok yang ia takuti.
Karena dengannya ia mendapatkan begitu banyak tanda penderitaan. Tubuhnya tak dapat bersandar
tenang di atas kursi. Bila bersandar, tubuhnya menekan luka sayatan atau cambukan.
Pohon besar yang tegak itu membantunya bersembunyi. Dengan tubuh yang kecil, Ragil berhasil
menyelipkan diri diantara akar-akar pohon raksasa. Kedua tangannya ia rapatkan ke dada. Ia
ketakutan. Bibirnya bergetar. Tak ada satu ucapan pun yang keluar dari mulutnya. Lidahnya seakan
pelo. Yang terdengar hanya suara burung-burung bercicicuit. Terkadang terbang serentak jika ada yang
bergerak di bawah mereka. Itu cukup memberi tanda, bahwa ada orang yang mencari-cari sesuatu.
Betapa kaget, di hadapannya kini berdiri sosok itu. Cambukan dan pisau tajam ada di kedua tangannya.
Sosok itu tersenyum girang, penuh kemenangan. Giginya diperlihatkan, layaknya mereka yang telah
menemukan mangsa dan siap untuk dijadikan hidangan. Baju Ragil ditariknya kuat. Ia berusaha
melepaskannya, tapi tak mungkin. Ia sudah tak punya tenaga. Sosok itu mengeluarkan dua helai kain
yang kemudian diikatkan ke mulut dan tangannya. Ragil pun tak dapat bicara. Hanya suara teriakan tak
jelas yang keluar. Akar raksasa itu tak bisa melindunginya lagi. Ragil terseret-seret seperti barang yang
tak memiliki kaki.
“Kamu kira kamu bisa bebas dariku?!”
“Tidak semudah itu kamu mendapatkan permen coklat!” sosok itu berteriak. Mengumpat-umpat yang tak
dimengerti Ragil. Suara sosok itu menggema, seperti ingin membangunkan hutan dari tidurnya.
Ragil hanya menangis. Tersedu-sedu. Ia tak tahu akan diapakan. Tapi ia amat ketakutan, layaknya
bocah yang ingin sekali lari dari hukuman. Seretan itu semakin keras. Melewati dahan-dahan pohon.
Sosok itu terus berteriak karena dia berhasil menemukan mangsa di tangannya. Sosok itu mencambuk
pohon-pohon di sekitarnya. Membuat burung-burung yang hinggap di dahan pohon itu berterbangan.
Ranting-ranting pohon diterjang. Duri-duri yang bersembunyi di balik pohon menggores tangan. Kaki
Ragil semakin terluka, karena ranting dan duri yang berserakan di tanah menusuk kakinya yang tak
beralas.
Sosok itu berhenti. Menghentikan Ragil pula. Ragil di dorong hingga terjatuh. Matanya terus menangis.
Cegukan pun semakin jelas terdengar. Ragil menjauh dari sosok itu. Dahinya mengernyit-ngernyit
dalam wajah tangis.
“Aku gak akan pernah ngasih permen coklat untukmu!” sosok itu menunjuk-nunjuk ke wajah Ragil.
“Gak satu pun. Agil!”
Cambukan melayang ke tubuhnya. Menambah luka yang telah ada di sekujur tubuh. Luka-luka sayatan
pun kembali menganga. Darah keluar dari kulitnya, merembas pada kaos putih yang ia kenakan. Ragil
menahan penderitaan. Berteriak dalam bungkaman sehelai kain di mulut.
“Ada apa? Sakit?” sosok itu membuka kain di mulut Ragil.
“Agil gak8h8au8h8‘emen o8kat. Agil8h8gak au8” Ragil menggelengkan kepalanya. Peluh sudah
banyak di tubuh. Ia terus menyeguk keras tangisannya.
“Betul Agil gak mau permen coklat lagi?” tanya sosok itu dengan nada lembut, seperti melupakan apa
yang telah dilakukannya terhadap Ragil.
Ragil terus menggeleng.
“Agil au bobo mak8” ia berbaring. Matanya sembab. Tatapannya lurus ke atas melihat burung-burung
berterbangan dengan bebas. Ragil ingin bebas dari derita itu, seperti burung-burung itu yang lepas ke
angkasa.
***
Tubuh Ragil sudah tenang. Beberapa waktu tadi terus melonjak. Mengerang dan kesakitan dalam
pingsan. Ranjang pun tidak berdenyit lagi. Hanya suara berisik anak-anak yang memperebutkan
mainan di luar rumah.
Emaknya terdiam. Duduk terpaku. Matanya berkaca. Memandang anak satu-satunya begitu tenang.
Melihat Ragil tersenyum di antara tubuh kecilnya yang membiru. Lalu mulut emaknya mulai membuka
dan tubuhnya bergetar.
“Apa yang aku lakukan?” air matanya pun menetes.
Tangerang, Agustus 2006
Dik Pardjo
Kamis, 12 Agustus 2010 | 22:42 WIB
muslimstory.wordpress.com
ilustrasi
Cerpen Dharmadi
“Hati-hati lho Mas, siapa tahu Dik Pardjo ikut aliran sesat, atau kaki tangan teroris.
Dan yang jelas Dik Pardjo perlu diwaspadai karena latar belakang orang tuanya,” kata
Pak Bagio suatu sore, mengingatkanku, ketika dia datang ke rumah menjelang
maghrib untuk menyerahkan kartu keluargaku yang baru.
Ketika aku tanyakan tentang apa yang dimaksud dengan latar bekang orang tua Dik
Pardjo, Pak Bagio hanya berkata, ”Kapan-kapan Mas, panjang ceritanya”.
Dik Pardjo dapat dikatakan penghuni baru, unda-undi denganku, ya paling selisih
sekitar dua tiga tahunan, lebih dulu aku. Tetapi kalau dikatakan baru juga tidak untuk
dik Pardjo karena ia yang bertempat tinggal di rumah ibunya, yang sekaligus bersama
ibunya, sepintas pernah mengatakan padaku pada awal-awal kenal, “Sesungguhnya
saya penduduk asli kampung ini lho Mas”.
Nenek moyang sampai orang tuanya dan juga kelahiran dan masa kecilnya, Dik
Pardjo bertempat tinggal di desa ini.
Tentang aku sendiri kenapa bisa bertempat tinggal di sini dan kenal Dik Pardjo, begini
ceritanya; karena kebijakan pemerintah daerah, salah satunya dalam pengembangan
kota, desa ini dimasukkan menjadi salah satu bagian wilayah kecamatan kota.
Harga tanah menjadi mahal, karena banyak orang luar membeli tanah di desa ini, ada
yang untuk rumah, untuk simpanan, untuk kegiatan usaha, salah satunya usaha
perumahan, dan aku mengambil kredit perumahan dari salah satu pengembang.
Akhirnya banyak penduduk asli desa tergiur untuk memiliki uang banyak, mereka
menjual sawah ladangnya, dan tak sedikit yang menjual rumah yang didiami beserta
tanahnya, kemudian memilih pindah membangun rumah di tempat lain yang lebih
minggir.
Tinggal beberapa penduduk asli yang masih tetap tinggal, di antaranya orang tua Dik
Pardjo, yang tinggal ibunya, dan Pak Bagio.
Untuk menuju ke kompleks perumahan itu, harus melewati jalan utama desa, yang
kebetulan ada di depan rumah dik Pardjo. Dan kebetulan, rumah yang kuamibl
lokasinya sekitar sepuluh rumah setelah rumah dik Pardjo.
***
Suatu malam, sehabis isya Pak Bagio datang ke rumah. Nampaknya memang khusus
untuk bercerita tentang Dik Pardjo. Khususnya tentang latar belakang orang tuanya,
yang pernah dijanjikan Pak Bagio dulu, kapan-kapan akan diceritakan padaku.
“Orang tua Dik Pardjo dulu termasuk 'tokoh' lho Dik. Rumahnya sering digunakan
untuk kumpul-kumpul warga desa yang komunis. Malah kepala desanya juga sering
datang. Bukan itu saja; ada polisi, ada tentaranya, malah sesekali pak camat juga
datang. Alasannya berkesenian.
Bapak Dik Pardjo membentuk paguyuban kesenian Jawa. Rumahnya untuk latihan
gendingan dan nari. Juga membentuk perkumpulan wayang orang. Ternyata itu hanya
untuk alat dalam penyebaran ideologi dan pembentukan kader.
Maka ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI, bapak Dik Pardjo ikut diciduk. Dan hilang
tak pernah ada kabarnya sampai sekarang. Beberapa bulan kemudian, juga ibunya
diciduk, tetapi tak lama, hanya sekitar dua bulan ditahan, kemudian dikembalikan.
Tak lama setelah ibunya kembali, Dik Pardjo dengan dua adiknya diambil oleh
saudaranya dari pihak ibunya. Adiknya yang bungsu, yang masih menyusu waktu itu,
tetap tinggal bersama ibunya.
Puluhan tahun tak ada kabarnya. Dan sekarang Dik Pardjo kembali. Maka kita harus
waspadai dia, segala solah tingkahnya dan juga tamu-tamunya. Siapa tahu kalaupun
dia tidak langsung mendapat indoktrinasi tentang ajaran komunisme dari bapaknya,
karena waktu itu masih kecil, paling tidak dia kan mendengar dari pembicaraan tamu-
tamu bapaknya waktu itu.
Dan paling tidak, kita waspadai, karena siapa tahu, selama ini, sebelum pindah ke sini,
Dik Pardjo masuk aliran sesat dan menjadi anggota teroris.” Begitu cerita Pak Bagio.
***
Tamu-tamu Dik Pardjo memang banyak. Tiap hari sejak pagi hingga sore, sebagian
besar dari lain daerah. Ada juga warga kampung, tetapi tak sebanyak dari luar.
Ternyata itu pasien-pasiennya, ada yang baru ada yang langganan. Ternyata Dik
Pardjo menjalankan penyembuhan alternatif dengan cara pemijatan.
“Bagaimana mulanya Dik, kok bisa mijat ?” pertanyaan awalku membuka percakapan
ketika aku penasaran ingin tahu tentang kemampuan mijatnya sehingga banyak
pasiennya; aku datang ke rumahnya, kupilih hari di mana Dik Pardjo libur tak
membuka praktek, untuk minta dipijat.
“Panjang ceritanya Mas, dan belum tentu Mas Wachid percaya.”
“Coba ceritakan Dik, aku percaya.”
“Tentang siapa aku mestinya Mas Wachid sudah tahu dari Pak Bagio.”
“Ya, sepintas.”
“Tentang orang tuaku?”
“Ya.”
“Ya, itu benar yang diceritakan Pak Bagio. Pada rame-ramenya peristiwa G30S,
bapakku dianggap PKI, sehingga dianggap terlibat dan diambil. Tak pernah kembali
sampai sekarang.. Beberapa bulan kemudian, setelah bapak diambil, ibuku juga
diambil, tetapi tak lama, kalau tak salah ingat sekitar tiga bulan, ibuku kembali.
Kami, aku dan kedua adikku, kemudian diambil saudara-saudara dari pihak bapak dan
ibu. Kecuali adikku yang ragil, waktu itu tetap dengan ibuku, karena umurnya baru
setahun dan masih nyusu.
Aku diambil budhe, kakak dari ibuku yang ada di kota lain, sedang kedua adikku
diambil oleh saudara lain dari garis bapak. Sekarang mengkureb mas”, perintah dik
Pardjo, agar aku merubah posisi tubuh yang semula telentang.
“Kenapa mesti di PKI-kan dik?”
“Bapakku punya gamelan dan mendirikan paguyuban kesenian Jawa. Di rumah
menjadi tempat latihan njoged dan nggamel, juga mendirikan paguyuban wayang
orang.”
“Di samping itu?” Aku kaget dengan pertanyaanku sendiri. Kok seperti penyelidik
saja; ”maaf Dik,” aku takut Dik Pardjo tersinggung.
”Ndak pa-pa mas. Terkadang habis latihan, bapak-bapak dan ada juga ibu-ibu tak
terus pulang. Mereka ngobrol-ngobrol sambil minum kopi. Apalagi kalau pas pak
lurah atau pak camat datang.
Yang sering aku dengar mereka membicarakan bagaimana meningkatkan mutu
pementasan, menyiapkan untuk pentas kalau ada tanggapan, dan bagaimana
meningkatkan kesejahteraan anggota paguyuban; ya penabuh gamelan, ya penarinya.”
“Lalu bagaimana Dik Pardjo kok bisa mijat?”
“Bukan aku yang mijat mas.”
“Lha wong jelas dik Pardjo yang mijat kok.”
“Aku hanya sebagai sarana. Aku tak pernah belajar mijat, dan tak pernah berpikiran
untuk menjadi tukang pijat mas, tiba-tiba saja bisa mijat.”
“Aneh, dik Pardjo belajar ngelmu?”
“Tidak juga.”
“Lalu?”
“Sejak kecil bapakku selalu mewejang aku. Kamu jangan berpikir untuk menjadi apa-
apa. Tapi engkau harus berpikir untuk menjadi orang baik dan berguna; baik dan
berguna bagi dirimu sendiri dan bagi kehidupan. Mengasihi pada sesama, mencintai
milik Tuhan yang ada di dunia; ya manusia, ya hewan, ya tanam-tanaman, serta alam
seisinya. Sudah mas mijatnya.”
“Lho, satu jam sendiri. Tadi mulainya kan setengah delapan, sekarang setengah
sembilan”, kataku, setelah mengambil jam tangan yang kuletakkan di bawah bantal
dan melihatnya.
”Teruskan dik.”
”Apanya mas?”
“Ceritanya.”
"Ndak bosan mas ?”
“Menarik.” Kami tetap duduk di dipan berkasur tempat mijat.
”Sebentar mas, aku bilang istri untuk buatkan kopi dulu sambil cuci tangan.”
“Dan bapakku sering mengatakan bahwa Tuhan itu ada pada diri sendiri sambil ujung
jari telunjuk kanannya disentuhkan ke dada sebelah tengah. Kalau kita berbuat jahat,
berarti Tuhan tak ada di diri kita. Dan sebaliknya; kalau kita berbuat baik, berarti
Gusti Allah ada di diri kita,” kata dik Pardjo kemudian setelah kembali dari cuci
tangan.
Terlintas dalam pikiranku, apakah ini yang menjadikan orang-orang PKI dicap tak
bertuhan, mempertuhankan diri sendiri?
“Dan kata bapakku, Gusti Allah ada di mana-mana yang selalu bisa mengawasi kita.
Ketika aku sedang duduk bersama dengan bapakku, bapakku sering berkata; Gusti
Allah ada di sini lho Le, begitu bapakku memanggilku Thole; melihat perilaku kita.
Maka jangan senang berbohong. Kita bisa membohongi orang lain, tapi tak bisa
membohongi diri sendiri. Dan Tuhan selalu tahu , karena Tuhan ada di diri sendiri itu
Le. Begitu bapakku sering mulang aku."
“Gila,” tak sadar terucap kata itu.
“Siapa yang gila mas, bapakku?”
“Oh, tidak, bukan,bukan bapakmu. Gila benar wewarah itu; sangat dalam.”
“Dan bapakku selalu mengingatkan; agar aku terus ingat Gusti Allah. Ketika akan
tidur, sedang duduk, waktu makan, ketika jalan, bepergian, dengan cara menyebut
nama Allah. Sesukanya menyebutnya; bisa Gusti Yang Maha, atau Allah, Allah,
Allah, atau Gusti Kang Murbeng Dumadi. Selalu. Tak usah dengan kata-kata, tetapi
dengan dibatin saja. Katanya biar selamat hidup saya, karena Gusti Allah akan selalu
menemani. Tuhan tak di mana-mana. Begitu kata bapakku.. Dan wulangan itu aku
jalankan terus sampai sekarang.”
“Lalu tentang kebisaanmu mijat dik?”
“Ini ghaib mas, sulit untuk dipercaya. Yang jelas suatu ketika, sekitar tujuh tahun
yang lalu, ada tamu datang ke rumah. Aku tak kenal. Dia menganjurkan, kalau pas
berdoa malam, aku kalau malam memang sering bangun duduk merenung sambil
menyebut-nyebut nama Allah, seperti yang diajarkan bapakku dulu, agar telapak
tanganku saling dirapatkan posisi menyembah di dekatkan dada.
Entah dari mana dia tahu aku sering bangun malam. Dan benar malamnya aku coba,
telapak tanganku bergetar, kemudian bergerak memijiti tubuhku sendiri dari kepala
sampai ujung-ujung jari kaki.
Sejak itu, aku bisa mijat dan sepertinya ada yang menuntun tanganku ketika mijat
dengan gerakan yang tak aku sadari. Ada suara dalam batinku, yang menyuruh untuk
mijat ini, mijat itu. Aku hanya mengikuti secara otomatis.
Sudahlah mas, sudah malam, nanti ditunggu mbakyu. Tapi aku wanti-wanti lho mas,
pesan jangan diceritakan kepada siapa-siapa. Baru mas saja yang aku ceritai. Sebab
aku percaya, akan perkawanan kita Mas.”
“Kenapa Dik Pardjo kok mesti pulang ke sini?”
“Aku kasihan ibu sudah tua, sendirian. Umurnya sudah berjalan tujuhpuluh tahun.
Dan ibu sendiri menghendaki aku pulang untuk menemani sampai saatnya nanti-
sampai saat meninggal dunia. Aku minta agar ibu ikut aku atau salah satu anaknya,
ibu tak mau. Katanya ingin tetap di rumah ini sampai saatnya mati, karena rumah ini
punya riwayat dalam hidupnya. Rumah dari orang tuanya.”
***
“Nampaknya mas Wachid tambah akrab saja dengan dik Pardjo,” kata pak Bagio
malam ini, ketika pak Bagio kembali datang ke rumah untuk mendata kami, sebagai
calon pemilih dalam pemilu.
“Ah, ya biasa-biasa saja mas. Lha wong namanya tetangga, apalagi saya kan orang
baru.”
“Tapi hati-hati lho mas, dengan keramahan dik Pardjo. Jangan sampai nanti mas
Wachid bisa-bisa terlibat dengan gerakannya.”
“Gerakan apa mas?”
“Kan kita harus waspada. Bahaya latent komunis. Siapa tahu di samping gerakan
terorisme yang dilakukan oleh pengikut Islam yang fundamental, yang garis keras,
orang-orang PKI memanfaatkan ikut numpang untuk mengacaukan keadaaan
sehingga terganggu kestabilan kehidupan bangsa.”
“Lha wong PKI sudah tidak ada kok ditakuti mas.”
“Tapi ideologinya kan tak pernah mati. Yuk, kapan-kapan rumah dik Pardjo kita
datangi, kita selidiki, siapa-siapa saja tamunya. Siapa tahu kegiatan mijatnya untuk
kamuflase.”
“Jangan Pak jangan. Kan dik Pardjo sudah punya ijin buka praktek penyembuhan
alternatif. Dan ditempuh dengan prosedur yang benar. Lewat rt, rw, kelurahan, dan
dinas kesehatan. Dan saya kira dari banyaknya orang yang mendatanginya,
penyembuhan alternatif yang dijalankan banyak yang cocok.
Aku juga cocok, pinggangku yang selalu nyeri kalau dingin, setelah dipijat dua kali
oleh dik Pardjo sembuh. Padahal sudah tahunan lho Pak, sudah aku pijatkan ke mana-
mana tak sembuh-sembuh juga.”
***
“Kenapa sih Dik, Pak Bagio begitu tak senang pada Dik Pardjo”; aku tak tahan lagi,
ingin tahu tentang begitu tak senangnya Pak Bagio pada Dik Pardjo, ketika Dik Pardjo
datang ke rumah, suatu hari untuk meminjam gergaji.
“Biarkan saja Mas, yang penting tak merugikan saya.”
“Tak merugikan bagaimana, lha wong ingin nggropyok rumah Dik Pardjo segala”.
Secara ethika sesungguhnya tak benar aku menceritakan itu. Adu domba. Tapi aku
sudah tak sabar lagi ingin tahu yang sebenarnya, agar tak sepihak hanya dari Pak
Bagio tentang Dik Pardjo.
“Lha biarkan saja nggropyok to mas, dari pada sas-sus di luar; kan kasihan Pak Bagio
tersiksa batinnya sendiri.”
“Ceritakan Dik, khusus untuk aku saja.”
“Aku takut kalau dikatakan memfitnah mas. Ini katanya lho mas, pak Bagio dulu
menyenangi ibuku.”
“Tak mungkin kalau hanya karena cinta tak sampai masih dendam pada anaknya;
mesti ada yang lebih prinsip dari hanya masalah percintaan.”
“Ya.”
"Apa?”
“Sudahlah mas, tak usah aku ceritakan, malah bikin nelangsa saja. Biarkan mas, masa
lalu berlalu.” Aku tak memaksanya lagi, dik Pardjo pamitan pulang.
***
Beberapa hari terakhir ini aku tak melihat dik Pardjo, dan rumahnya sepi, tak ada
pasien. Pintunya lebih sering tertutup kalau aku kebetulan lewat di depannya. Ah,
mungkin ada panggilan ke luar kota, sebab dik Pardjo memang sering terima
panggilan.
Suatu sore ketika aku sedang nyirami tanaman, istri dik Pardjo datang.
”Wah rajinnya mas; mbakyu ada?”
“Cari keringat; ada..ada, di dalam; Bu, jeng Pardjo,” agak berteriak kupanggil-panggil
istriku. “Silahkan Jeng”. Istri dik Pardjo terus masuk, aku meneruskan nyirami. Tak
lama istriku balik memanggilku, ”Pak, pak sebentar.”
Kuletakkan slang plastik, kumatikan kran setelah aku mencuci tangan dan kaki.
Kudekati istriku yang masih berdiri di pintu samping. ”Sebentar pak, jeng Pardjo mau
bicara”. Nampaknya serius, batinku.
“Maaf mas, mengganggu” kata Jeng Pardjo begitu aku duduk di depannya. Sebelum
aku menjawab Jeng Pardjo sudah menyambung, ”sudah dua belas hari ini bapaknya
anak-anak tak pulang mas.”
“Ke mana? Kan biasanya ada panggilan ke luar kota?”
“Ya memang. Tapi tak selama seperti sekarang ini. Biasanya paling lama lima hari.
Kalaupun dilanjutkan, dia pasti pulang dulu dua tiga hari.”
“Jeng tahu ke mana perginya?”
“Katanya mau mijat ke luar kota. Ada seorang laki-laki bawa motor menjemput mas
Pardjo, katanya ibunya sakit.”
“Katanya apa sakitnya, kok tidak langsung datang saja?”
“Katanya stroke sudah agak lama tak bisa jalan.”
“Tahu namanya? alamatnya?”
“Tidak.”
***
Aku datang ke rumahnya sore ini sehabis ashar. Pak Bagio sakit. Dia berusaha
bangkit dari tempat tidurnya, untuk menyambutku; masih nampak lemas.
”Sudah Pak, tiduran saja, maaf baru bisa nengok, pekerjaan kantor numpuk, harus
dilembur; sudah berapa hari ?”
“Sekitar lima hari.”
“Sudah ke dokter? katanya apa?”
“Sudah, gejala tiphus.”
Kami bicara ngalor ngidul. Cerita apa saja.
“Mas, mas, apakah orang yang telah mati ruhnya bisa mendatangi yang masih
hidup?” tanya pak Bagio setelah kami sesaat saling berdiam.
"Ada apa sih Pak, kok tanya tentang itu?”
Pak Bagio tak langsung menjawab; pandangnya menerawang; sepertinya ada sesuatu
yang ditakutkan. “Dik Pardjo apa mungkin sudah….?” Pak Bagio menghentikan
kata-katanya, nampak takut.
Aku tahu apa yang dimaksud; Dik Pardjo apa mungkin sudah mati.
“Lho kok bertanya begitu; yah mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang tidak kita
inginkan pada dik Pardjo; kita doakan saja semoga dik Pardjo selamat, malah tambah
pasien sehingga belum sempat pulang.”
Pak Bagio kembali diam. Kemudian kembali berkata, ”Aku sering membaui bau
kembang ketika lewat di depan rumah dik Pardjo lho Mas; panjenengan tak pernah?”
“Ah mungkin bau kembang tetangga.”
“Tidak mas, baunya seperti bau kembang orang mati, juga aku sering mimpi, dik
Pardjo datang, tapi diam saja tanpa berkata-kata.”
Aku tak berkomentar, kualihkan pembicaraan, tak lama; kemudian aku pamit pulang;
”Semoga lekas sembuh Pak, jangan berpikir yang bukan-bukan."
Adzan maghrib mengiringi langkahku pulang; aku ingat cerita isteriku, menceritakan
cerita jeng Pardjo yang diceritakan padanya.
"Dulu Pak Bagio menguasai tanah orang tua dik Pardjo. Waktu itu Pak Bagio sebagai
Komandan Anti PKI menggerebek rumah orang tua dik Pardjo. Di samping
‘membawa’ bapak dik Pardjo, juga membawa berkas-berkas yang ada termasuk di
dalamnya berkas bukti pemilikan tanah.
Tanah orang tua dik Pardjo yang katanya telah dikuasai pak Bagio itu, dijual pada
pengembang perumahan yang salah satu rumahnya aku kredit ini.
Dan juga cerita jeng Pardjo, yang ‘mengambil’ ibunya dik Pardjo untuk ditahan, ya
atas perintah pak Bagio, meskipun pak Bagio tak langsung datang sendiri seperti
ketika menangkap bapaknya.
Ibunya dilepaskan dengan perhitungan, mau dinikahinya kelak. Ternyata ibunya tetap
menolak.
Aku tak bisa mengatakan benar atau tidak cerita istri Dik Pardjo; yang katanya ia tahu
dari suaminya, juga ibu mertuanya sendiri yang bercerita.
Tetapi yang jelas Pak Bagio nampaknya benci sekali dengan dik Pardjo, seperti yang
kutangkap dalam ceritanya, yang sampai sekarang belum juga pulang, dan perginya
dijemput orang untuk minta tolong mijat ibunya.
Kini pak Bagio sakit, sering mimpi didatangi dik Pardjo, juga sering membaui bau
bunga kubur ketika lewat di depan rumah dik Pardjo.
*****
2005-2007
Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi
“Sabar Pak, sebentar lagi,” kata hansip.
”Waktunya selalu tepat pak, tak pernah meleset, ” sambung warga yang lain.
Pak RT manggut-manggut dengan bijak. Ia melihat arloji.
”Masih satu menit lagi,” ujarnya.
Satu menit segera lewat. Terdengar derit pintu kamar mandi. Serentak orang-orang yang
mengiringi Pak RT mengarahkan telinganya ke lobang angin, seperti mengarahkan antena
parabola ke Amerika seraya mengacungkan telunjuk di depan mulut.
”Ssssstttt!”
Pak RT melihat wajah-wajah yang bergairah, bagaikan siap dan tak sabar lagi mengikuti
permainan yang seolah-olah paling mengasyikkan di dunia.
Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula
bunyi resluiting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang
jelas suara wanita. Lantas byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-ruapnya mandi dengan
dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantab dan penuh semangat.
Namun yang dinanti-natikan Pak RT bukan itu. Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh
yang basah, yang sangat terbuka untuk ditafsirkan sebebas-bebasnya.
Yang ditunggu Pak RT adalah suara wanita itu. Dan memang dendang kecil itu segera
menjadi nyanyian yang mungkin tidak teralu merdu tapi ternyata merangsang khayalan
menggairahkan. Suara wanita itu serak-serk basah, entah apa pula yang dibayangkan orang-
orang dibalik tembok dengan suara yang serak-serak basah itu. Wajah mereka seperti orang
lupa dengan keadaan sekelilingnya. Agaknya nyanyian wanita itu telah menciptakan sebuah
dunia di kepala mereka dan mereka sungguh-sungguh senang berada disana.
Hanya hansip yang masih sadar.
”Benar kan Pak?”
Pak RT tertegun. Suara wanita itu sangat merangsang dan menimbulkan daya khayal yang
meyakinkan seperti kenyataan.
Pak RT memejamkan mata. Memang segera tergambar suatu keadaan yang mendebarkan.
Bunyi air mengguyur badan jelas hanya mengarah tubuh yang telanjang. Bunyi sabu
menggosok kulit boleh ditafsirkan untuk suatu bentuk tubuh yang sempurna. Dan akhirnya ya
suara serak-serak basah itu, segera saja membayangkan suatu bentuk bibir, suatu gerakan
mulut, leher yang jenjang, dan tenggorokan yang panjang—astaga, pikir Pak RT, alangkah
sensualnya, alangkah erotisnya, alangkah sexy!
Ketika Pak RT membuka mata, keningnya sudah berkeringat. Dengan terkejut dilihatnya
warga masyarakat yang tenggelam dalam ekstase itu mengalami orgasme.
”Aaaaaaahhhhh!”
Dalam perjalanan pulang, hansip memberondongnya dengan pertanyaan.
”Betul kan pak, suaranya sexy sekali ?”
”ya.”
’Betul kan Pak, suaranya menimbulkan imajinasi yang tidak-tidak?”
”Ya.”
”Betul kan Pak nyanyian di kamar mandi itu meresahkan masyarakat?”
”Boleh jadi.”
”Lho, ini sudah bukan boleh jadi lagi Pak, sudah terjadi! Apa kejadian kemarin belum
cukup?”
***
Kemarin sore, ibu-ibu warga sepanjang gang itu memang memenuhi rumahnya. Mereka
mengadu kepada Pak RT, bahwa semenjak terdengar Nyanyian dari kamar mandi rumah Ibu
Saleha pada jam-jam tertentu, kebahagiaan rumah tangga warga sepenjang gang itu
terganggu.
”Kok Bisa?” Pak RT bertanya.
”Aduh, Pak RT belum dengar sendiri sih! Suaranya sexy sekali!”
”Saya bilang Sexy sekali, bukan hanya sexy. Kalau mendengar suaranya, orang langsung
membayangkan adegan-adegan erotis Pak!”
”Sampai begitu?”
”Ya, sampai begitu! Bapak kan tahu sendiri, suaranya yang serak-serak basah itu disebabkan
karena apa!”
”Karena apa? Saya tidak tahu.”
”Karena sering di pakai dong!”
”Dipakai makan maksudnya?”
”Pak RT ini bagaimana sih? Makanya jangan terlalu sibuk mengurusi kampung. Sesekali
nonton BF kek, untuk selingan supaya tahu dunia luar.”
”Saya, Ketua RT, harus nonton BF, apa hubungannya?”
”Supaya Pak RT tahu, kenapa suara yang serak-serak basah itu sangat berbahaya untuk
stabilitas spanjang Gang ini. Apa Pak RT tidak tahu apa yang dimaksud dengan adegan-
adegan erotis? Apa Pak RT tidak tahu dampaknya bagi keidupan keluarga? Apa Pak RT
selama ini buta kalau hampir semua suami di gang ini menjadi dingin di tempat tidur? Masak
gara-gara nyanyian seorang wanita yang indekost di tempat ibu Saleha, kehidupan seksual
warga masyarakat harus terganggu? Sampai kapan semua ini berlangsung? Kami ibu-ibu
sepanjang gang ini sudah sepakat, dia harus diusir!”
”lho, lho, lho, sabar dulu. Semuanya harus dibicarakan baik-baik. Dengan musyawarah,
dengan Mufakat, jangan main hakim sendiri. Dia kan tidak membuat kesalahan apa-apa? Dia
hanya menyanyi di kamar mandi. Yang salah adalh imajinasi suami ibu-ibu sendiri, kenapa
harus membayangkan adegan-adegan erotis? Banyak penyanyi Jazz suaranya serak-serak
basah, tidak menimbulkan masalah. Padahal lagu-lagunya tersebar ke seluruh dunia.”
”Ooo itu lain sekali pak. Mereka tidak menyanyikannya di kamar mandi dengan iringan
bunyi jebar-jebur. Tidak ada bunyi resluiting, tidak ada bunyi sabun menggosok kulit, tidak
ada bunyi karet celana dalam. Nyanyian dikamar mandi yang ini berbahaya, karena ada unsur
telanjangnya Pak! Porno! Pokoknya kalau Pak RT tidak mengambil tindakan, kami sendiri
yang akan beramai-ramai melabraknya!”
Pak RT yang diserang dari segala penjuru mulai kewalahan. Ia telah menjelaskan bahwa
wanita itu hanya menyanyi di kamar mandi, dan itu tidak bisa di sebut kesalahan, apalagi
melanggar hukum. Namun ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa ibu-ibu disepanang gang
itu resah karena suami mereka menjadi dingin di tempat tidur. Ia tidak habis pikir, bagaimana
suara yang serak-serak basah bisa membuat orang berkhayal begitu rupa, sehingga
mempengaruhi kehidupan sexual sepasang suami istri. Apakah yang terjadi dengan kenyataan
sehingga seseorang bisa bercinta dengan imajinasi? Yang juga membuatnya bingung, kenapa
para suami ini bisa mempunyai imajinasi yang sama?
”Pasti ada yang salah dengan sistem imajinasi kita,” pikirnya.
Sekarang setelah mendengar sendiri suara yang serak-serak basah itu, Pak RT mesti
mengakui suara itu memang bisa dianggap sexy dengan gambaran umum mengenai suara
yang sexy. Meski begitu pak RT juga tahu bahwa seseorang tidak harus membayangkan
pergumulan di ranjang mendengar nyanyian dari kamar mandi itu, walaupun ditambah
dengan bunyi byar-byur-byar-byur, serta klst-klst-klst bunyi sabun menggosok kulit.
Karenanya, Pak RT berkeputusan tidak akan mengusir wanita itu, melainkan mengimbaunya
agar jangan menyanyi di kamar mandi, demi kepentingan orang banyak.
Di temani Ibu Saleha yang juga sudah tau duduk perkaranya, Pak RT menghadapi wanita itu.
Seorang wanita muda yang tidak begitu cantik juga tidak tergolong jelek. Seorang wanita
muda yang hidup dengan sangat teratur. Pergi kantor dan pulang ke rumah pada waktu yang
tepat. Bangun tidur pada jam yang telah di tentukan. Makan dan membaca buku pada saat
yang selalu sama. Begitu pula ketika ia harus mandi, sambil menyanyi dengan suara serak-
serak basah.
”Jadi suara saya terdengar sepanjang gang di belakang rumah? ”
”Betul, Zus”
”Dan ibu-ibu meminta saya agar tidak menyanyi supaya suami mereka tidak berpikir yang
bukan-bukan?”
”ya, kira-kira begitu Zus.”
”Jadi selama ini ternyata para suami di sepanjang gang dibelakang rumah membayangkan
tubuh saya telanjang ketika mandi, dan membayangkan bagaimana seandainya saya bergumul
dengan mereka di ranjang, begitu?”
Pak RT sudah begitu malu. Saling memandang dengan Ibu Saleha yang wajahnya pun sama-
sama sudah merah padam. Wanita yang parasnya polos itu membasahi bibinya dengan lidah.
Mulutnya yang lebar bagaikan mengandung tenaga yang begitu dahsyat untuk memamah apa
saja di depannya.
Pak RT melirik wanita itu dan terkesiap melihat wajah itu tersenyum penuh rasa maklum. Ia
tidak menunggu jawaban Pak RT.
”Baiklah Pak RT, Saya usahakan untuk tidak menyanyi di kamar mandi,” Ujarnya dengan
suara yang serak-serak basah itu, ”akan saya usahakan agar mulut saya tidak mengeluarkan
suara sedikit pun, supaya para suami tidak membayangkan diri mereka bergumul dengan
saya, sehingga mengganggu kehidupan seksual keluarga sepanjang gang ini”.
”Aduh, terimakasih banyak Zus. Harap maklum Zus, saya Cuma tidak ingin masayrakat
menjadi resah.”
Begitulah semenjak itu, tak terdengar lagi nyanyian bersuara serak-serak basah dari kamar
mandi diujung gang itu. Pak RT merasa lega. ”semuanya akan berjalan lancar,” pikirnya.
Kadang-kadang ia berpapasan dengan wanita yang penuh pengertian itu. Masih terbayang di
benak Pak RT betapa lidah wanita itu bergerak-gerak membasahi bibirnya yang sungguh-
sungguh merah.
***
Tapi Pak RT rupanya masih harus bekerja keras. Pada suatu sore hansip melapor.
”Kaum ibi sepanjang gang ternyata masih resah pak.”
”Ada apa lagi? Wanita itu sudah tidak menyanyi lagi kan?”
”Betul Pak, tpi menurut laporan ibu-ibu pada saya, setiap kali mendengar bunyi jebar-jebur
dari kamar mandi itu, para suami membayangkan suaranya yang serak-serak basah. Dan
karena membayangkan suaranya yang serak-serak basah yang sexy, lagi-lagi meraka
membayangkan pergumulan di ranjang dengan wanita itu Pak. Akibatnya, kehidupan seksual
warga kampung sepanjang gang ini masih belum harmonis. Para ibu mengeluh suami-suami
mereka masih dingin ditempat tidur, pak!”
”Jangan-jangan khayalan para ibu tentang isi kepala suami mereka sendiri juga berlebihan!
Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu juga membayangkan yang tidak-tidak meski hanya
mendengar jebar-jebur orang mandi saja?”
Hansip itu tersenyum malu.
”Saya belum kawin, pak.”
”Aku tahu, maksudku kamu membayangkan adegan-adegan erotis atau tidak kalu mendengar
dia mandi?”
”Ehm! Ehm!”
”Apa itu Ehm-Ehm?”
”Iya, Pak”
”Nah, begitu dong terus terang. Jadi ibu-ibu maunya apa?”
”Mereka ingin minta wanita itu diusir Pak.”
Terbayang di mata Pak RT wajah ibu-ibu sepanjang gang itu. Wajah wanita-wanita yang
sepanjang hari memakai daster, sibuk bergunjing, dan selalu ada gulungan keriting rambut
dikepalanya. Wanita-wanita yang selalu menggendong anak dan kalu teriak-teriak tidak kira-
kira kerasnya, seperti di sawah saja. Wanita-wanita yang tidak tahu cara hidup selain mencuci
baju dan berharap-harap suatu hari bisa membeli mebel yang besar-besar untuk ruang tamu
mereka yang sempit.
”Tidak mungkin, wanita itu tidak bersalah. Bahkan melarangnya nyanyi saja sudah
keterlaluan.”
”Tapi imajinasi porno itu tidak bisa dibendung Pak.”
“Bukan salah wanita itu dong! Salahnya sendiri kenapa mesti membayangkan yang tidak-
tidak? Apa tidak ada pekerjaan lain?”
“Salah atau tidak, menurut ibu-ibu adalah wanita itu penyebabnya Pak. Ibu-ibu tidak mau
tahu. Mereka menganggab bunyi jebar-jebur itu masih mengingatkan bahwa itu selalu diiringi
nyanyian bersuara serak-serak basah yang sexy, sehingga para suami masih membayangkan
suatu pergumulan di ranjang yang seru.”
Pak RT memijit-mijit keningnya.
”Terlalu,” batinnya, ”pikiran sendiri kemana-mana, orang lain disalahkan.”
Pengalamannya yang panjang sebagai ketua RT membuatnya hafal, segala sesuatu bisa
disebut kebenaran hanya jika dianut orang banyak. Sudah berapa maling digebuk sampai mati
dikampung itu dan tak ada seorangpun yang dituntut ke pengadilan, karena dianggap
memang sudah seharusnya.
”Begitulah Zus, ” Pak RT sudah berada dihadapan wanita itu lagi. ”Saya harap Zus berbesar
hati menghadapi semua ini. Maklumlah orang kampung Zus, kalau sedang emosi semaunya
sendiri. ”
Wanita itu lagi-lagi tersenyum penuh pengertian. Lagi-lagi ia menjilati bibirnya sendiri
sebelum bicara.
“Sudahlah Pak, jangan dipikir, saya mau pindah ke kondominium saja, supaya tidak
mengganggu orang lain.”
Maka hilanglah bunyi jebar-jebur pada jam yang sudah bisa di pastika itu. Ibu-ibu yang
sepanjang hari cuma mengenakan daster merasa puas, duri dalam daging telah pergi. Selama
ini alangkah tersiksanya mereka, karena ulah suami mereka yang menjadi dingin di tempat
tidur, gara-gara membayangkan adegan ranjang seru dengan wanita bersuara serak-serak
basah itu.
***
Pada suatu sore, disebuah teras, sepasang suami istri bercakap-cakap.
”Biasanya jam segini dia mandi,” kata suaminya.
”Sudah. Jangan diingat-ingat” sahut istrinya cepat-cepat.
”Biasanya dia mandi dengan bunyi jebar-jebur dan menyanyi dengan suara serak-serak
basah.”
”Sudahlah. Kok malah diingat-ingat sih?”
”Kalau dia menyanyi suaranya sexy sekali. Mulut wanita itu hebat sekali, bibirnya merah dan
basah. Setiap kali mendengar bunyi sabun menggosok kulit aku tidak bisa tidak
membayangkan tubuh yang begitu penuh dan berisi. Seandainya tubuh itu ku peluk dan
kubanting ke tempat tidur. Seandainya ..”
Belum habis kalimat suami itu, ketika istrinya berteriak keras sekali, sehingga terdengar
sepanjang gang.
”Tolongngngngng! Suami saya berkhayal lagi! Tolongngngngng!”
Ternyata teriakan itu bersambut. Dari setiap teras rumah, terdengar teriakan para ibu
melolong-lolong.
”Tolongngngngng! Suami saya membayangkan adgan ranjang lagi dengan wanita itu!
Tolongngngngng!”
Suasana jadi geger. Hansip berlari kian kemari menenangkan ibu-ibu. Rupa-rupanya tanpa
suara nyanyian dan bunyi byar-byur-byar-byur orang mandi, para suami tetap bisa
membayangkan adgan ranjang dengan wanita bersuara serak-serak basah yang sexy itu.
Sehingga bisa dipastikan kebahagiaan rumah tangga warga sepanjang gang itu akan
terganggu.
Pak RT pusing tujuh keliling. Bagaimana caranya menertibkan imajinasi? Tapi sebagai ketua
RT yang berpengalaman, iasegera mengambil tindakan. Dalam rapat besar esok harinya ia
memutuskan, agar di kampung itu didirikan fitness centre. Pak RT memutusakan bahwa di
fitness centre itu akan diajarkan Senam Kebahagiaan Rumah Tangga yang wajib diikuti ibu-
ibu, supaya bisa membahagiakan suaminya di tempat tidur. Pak RT juga sudah berpikir-pikir,
pembukaan fitness center itu kelak, kalau bisa dihadiri Jane Fonda.
Kemudian, disepanjang gang itu juga berlaku peraturan baru:
DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI
Taman Manggu, 29 Desember 1990
Doa Terakhir
Rabu, 21 Juli 2010 | 02:45 WIB
akuiniobenk.wordpress.com
ilustrasi
Cerpen Fandy Hutari
Kalian akan menjumpai Asnawi alias Baba menangis terisak setiap malam menyergap
di sini. Menyaksikan betapa air tak henti-hentinya keluar dari kedua matanya yang
sembap. Kini, tubuh kerempeng berbalut kulit hitam Baba terisolasi di dalam ruangan
sempit berisi sepuluh orang. Tak ada televisi di sini. Tak ada pula ruang karaoke.
Apalagi AC. Sungguh, tidak ada hiburan sama sekali di sini. Hanya lampu redup hasil
karya Thomas Alva Edisson yang menerangi setiap sudut. Juga kamar kecil yang
menyerbakkan aroma busuk. Pesing.
Gerak Baba, lelaki berusia 40 tahunan itu, dibatasi teralis besi yang congkak.
Ruangan yang dijaga beberapa orang berseragam cokelat, membuat nyali Baba
menciut. Dia tak lagi segarang dahulu, disaat jalanan menjadi kerajaan baginya. Tak
jarang, Baba kerap menjadi bulan-bulanan penghuninya. Ketika polisi-polisi itu
lengah, bogem mentah selalu mendarat di wajah, dada, dan perutnya. Di kala malam
tiba, cuma pendar cahaya redup, dingin yang menggigit, serta rasa nyeri yang dia
rasakan. Ruangan ini selalu terkunci. Tergembok dari luar. Sedangkan dunia di luar
sana luas sekali. Namun hanya bisa dia regup dalam mimpi. Itu juga kalau Baba bisa
tidur nyenyak. Ya, ruangan sempit ini bernama sel.
“Oh...Tuhan, tidak pernah terbesit sedikitpun di dalam benakku, sisa umurku akan
dihabiskan di sini...” keluh Baba dalam hati. Nyawanya sudah dipasrahkan di
tangan para algojo yang siap melepaskan pelatuk pistol mereka ke arah jantung. Baba
menanti mati di sini. Di sel biadab ini. Setelah hakim mengetuk palunya tiga bulan
lalu. Dia pun tak paham soal undang-undang yang melilitnya hingga hukuman
tertinggi di muka sidang itu dijatuhkan. Mungkin ini karma terhadap dosa masa
lalunya.
"Jangan...jangan...jangan...bang!"
Teriakan bocah-bocah yang tidak berdosa itu menghantuinya lagi. Muncul kembali di
telinganya bersama desis angin malam yang sepi disaat semua penghuni sel ini
terlelap. Baru sekarang Baba sadar kalau mereka tidak berdosa. Mereka tak pantas
mendapat perlakuan iblis yang menjelma dirinya. Pikirannya melayang. Menyeruak
secara acak. Memori semua masa lalu mengemuka. Memutar kembali masa-masa
buram. Hitam. Kelam.
Ketika itu, hujan turun...
***
Trauma dan dendam masih digenggam dalam-dalam di dadanya. Di sini, di halte bus
ini dua puluh tahun silam, dia pernah ditindih. Di sini semua orang adalah musuh.
Yang kuatlah yang berkuasa dan sanggup bertahan hidup. Di sini, di pinggiran kota
Jakarta yang semakin angkuh dengan sesuatu bernama pembangunan dia merasakan
sakit yang amat sangat. Di sini, pantatnya yang telanjang dimasukkan sebuah benda
tumpul: kelamin lelaki jahanam!
"Jangan! Ampun, bang! Jangan....!” teriaknya mengerang minta dikasihani di malam
jahanam itu.
Tapi, pemuda berbaju kumal yang baru dia kenal di perempatan lampu merah itu terus
menyetubuhinya. Napasnya memburu, menderu-deru. Baba tak dapat berbuat apa-apa,
selain memohon padanya berulang kali. Pemuda laknat itu mengacungkan sebilah
pisau. Mengancamnya jika dia lari atau melawan.
"Diam lu bangsat! Nanti gua bunuh lu kalau ngelawan!" ancamnya.
Setelah puas, pemuda itu pun merapikan resleting celana jeans hitamnya yang sudah
belel, berwarna cokelat debu. Lalu, berlari tergesa-gesa. Menghilang ditelan
kegelapan malam dan garis-garis gerimis. Baba ditinggalkan begitu saja, bagaikan
seonggok karung sampah. Masih tersisa sakit di liang pantatnya. Pedih. Perih. Dia pun
menangis. Tapi, siapa yang peduli. Toh, orang-orang di kota ini sibuk dengan dirinya
masing-masing. Sibuk mengurus uang, uang, dan uang.
Hujan deras turun lagi...
***
Sejak ia dinodai, impiannya untuk mencari penghidupan di kota besar yang
menjanjikan segala macam pun sirna. Baba tidak diterima di manapun. Orang-orang
mencemoohnya. Pendidikan Baba yang pas-pasan turut membawanya ke dalam
jurang kesengsaraan di kota metropolitan. Hari-hari berikutnya, dia hidup
menggelandang. Berpindah-pindah dari satu sudut kota ke sudut kota lainnya menjadi
pemulung, mengamen, atau pengemis.
Akhirnya, di usianya yang semakin merenta, nasib sedikit berpihak padanya. Dia bisa
menyambung hidup dengan membangun lapak rokok di rumah gubuknya yang
terhimpit rumah-rumah kontrakan di pinggir kali. Selain itu, dia mengkoordinir
bocah-bocah jalanan yang mengamen di lampu merah, depan gang. Mereka, para
cecunguk jalanan itu, mesti menyetor uang hasil mengamennya kepadanya.
Setidaknya, ini adalah bentuk balas budi mereka pada Baba. Baba merasa berjasa
karena telah memberikan mereka tumpangan untuk berteduh. Melindungi mereka dari
hujan. Membuat mereka terlelap tanpa harus mendengar bisingnya laju mobil yang
berseliweran.
Baba merupakan nama panggilan anak-anak jalanan itu kepadanya. Panggilan Baba
oleh anak-anak itu, karena ia sudah terlihat renta diumurnya yang baru menjelang 40
tahun. Tapi, Asnawi alias Baba bangga. Dia merasa panggilan itu adalah gelarnya
sebagai seorang raja jalanan. Lalu, berlanjutlah panggilan itu melekat pada sosoknya.
Para tetangga, menyebutnya sebagai “Baba si Juragan Anak Jalanan”. Julukan yang
membuat perasaan bangganya melambung tinggi di atas awan. Setiap kali
tetangganya menegur dengan sebutan itu, dada Baba langsung membusung dan
tertawa terbit dari mulutnya, hingga giginya yang kuning dan tak beraturan terlihat.
Sungguh tak sedap dipandang.
Di rumah gubuk ini, Baba hidup bersama empat anak jalanan yang dibawanya.
Diberinya tempat, bukan berarti tanpa pamrih. Baba, haus akan kelonan tubuh-tubuh
mungil tanpa dosa itu. Ketidaklaziman perilaku seks Baba dimulai sejak dirinya
disetubuhi di halte bus, dahulu. Setiap malam, jika ada kesempatan, ia kerap meraba
tubuh-tubuh mereka. Dan, malam itupun dia mendapatkan kepuasan yang tiada tara.
"Ah...jangan, Ba! Jangan!” erangan dari mulut Revan terus keluar, minta dikasihani.
"Diem lu! Kalau ngelawan gua bunuh lu! ancamnya.
Tubuh mungil Revan di atas dipan terus meronta-ronta. Rintihan Revan diiringi desah
memburu dari nafsu berahi Baba yang semakin memuncak. Pantat kecil Revan yang
terlihat masih mulus dan licin ditindih berulang-ulang oleh tubuh kurus Baba.
Erangan penuh syahwat bertubi-tubi terdengar, diiringi pekik lirih. Revan tak dapat
berbuat apa-apa. Tenaganya kalah. Baba pun sudah membelit tangannya dengan
seutas tali rapia. Ini lah hangat yang dia cari. Sudah tiga bulanan dia tak
merasakannya. Baba puas!
“Ampun, Ba! Ampun!!!” lagi-lagi mulutnya nyerocos.
“Diam lu! Huh, lagi pula siapa yang peduli dengan permintaan ampunan lu? Gua?
Nggak! Mintalah sana ke orang tua lu di kuburan! Orang tua lu yang sudah
menelantarkan lu di jalanan!” hardik Baba kepada bocah yang bahkan melihat orang
tua kandungnya pun belum pernah.
Ada jeda setelahnya. Revan lemas. Tak berdaya mengerut di atas dipan papan.
Mulutnya tak lagi berkicau. Belum lagi ia memakai celana pendeknya itu, Baba
menghempaskan tubuhnya ke dipan. Tak lama, dia bingung. Dia tersadar, jika Revan
menjerit keras, maka anak-anak lain yang biasa menginap di gubuknya akan tahu. Di
ruang sebelah ada Dedi, Suryo, juga Tri yang sudah tertidur. Dan, bisikan iblis hadir
lagi. Menghabisi nyawanya merupakan alternatif lain. Saat Revan lemah tak berdaya,
tali rapia yang membelit tangannya dimanfaatkan untuk menjerat lehernya.
Menyekiknya sampai ia sesak. Belum puas, Baba yang panik mengambil sebilah
golok dari dapur. Kemudian tanpa ampun, dengan golok yang telah berkarat itu, dia
mencincangnya menjadi enam bagian. Potongan-potongan tubuh Revan yang sudah
layak disebut bangkai ini lalu dikemas ke dalam kardus bekas minuman mineral. Baba
lalu keluar mencari tempat membuang Revan yang sudah menjadi dendeng.
“Taik! Kenapa pula mesti ada polisi ke mari?!” umpat Baba di dalam hati.
Ada tiga petugas berseragam cokelat menuju ke rumahnya saat dia baru saja keluar
rumah. Dia coba menunduk. Berpura-pura tidak ada kejadian apa-apa di sini. Di
rumahnya. Menyembunyikan kardus itu di belakang punggung.
“Hey, apa itu yang kau bawa?!” teriak seorang dari mereka. Dia terkejut. Matanya
langsung membelalak. Tanpa diperintah, dia lari tunggang langgang sambil membawa
kardus berisi kepala, tangan kanan, tangan kiri, badan, kaki kanan, dan kaki kiri.