BAB III
BUDAYA ORGANISASI
A. Pengertian Budaya Organisasi
Sesuai dengan konteks pemberdayaan sumber daya
manusia, agar menghasilkan karyawan yang profesional
diperlukan adanya suatu organisasi. Pabundu menjelaskan di
Indonesia, budaya organisasi mulai diperkenalkan di era
1990-an ketika saat itu banyak dibicarakan perihal konflik
budaya, bagaimana mempertahankan budaya Indonesia serta
pembudayaan nilai-nilai baru.45 Seiring dengan itu, budaya
organisasi kemudian dimasukkan dalam kurikukum berbagai
program pendidikan, pelatihan, bimbingan dan penyuluhan,
baik di lingkungan perguruan tinggi dan instansi pemerintah
maupun di berbagai perusahaan swasta besar di Indonesia.
Menurut Kusdi bahwa budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi dan akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.46
Disini tampaknya menenkankan pada aspek kolektif,
bahwa budaya adalah hasil kerja dari sejumlah akal dan
bukan hanya satu akal individu saja. Dalam bahasa inggris,
kebudayaan berasal dari kata culture, yang berasal dari kata
latin colere, yaitu mengelola dan mengerjakan. Wibowo
45 Tika Pabundu. (2010). Budaya Organisasi dan Peningkatan
Kinerja Perusahaan, cetakan ke-3. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
46 Kusdi.(2011). Budaya Organisasi. Jakarta: Penerbit Salemba
Empat.
39
menjelaskan budaya merupakan kegiatan manusia yan
sistematis diturunkan dari generasi ke generasi melalui
berbagai proses pembelajaran untuk menciptakan cara hidup
tertentu yang paling sesuai dengan lingkungan tempat
tinggalnya.47 Kata organisasi berasal dari bahasa Yunani
organon yang berarti alat atau instrumen. Arti kata ini
menyiratkan bahwa organisasi adalah alat bantu manusia.
Ketika seseorang mendirikan organisasi, tujuan akhirnya
bukan organisasi itusendiri melainkan agar ia dan semua
orang yang terlibat di dalamnya dapat mencapai tujuan lain
lebih mudah dan lebih efektif.
Budaya organisasi merupakan sistem penyebaran
kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu
organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-anggotanya.
Budaya organisasi dapat menjadi instrumen keunggulan
kompetetif yang utama, yaitu bila budaya organisasi dapat
menjawab atau mengatasi tantangan lingkungan dengan
cepat dan tepat. Budaya organisasi disebut juga budaya
perusahaan, sering disebut juga budaya kerja karena tidak
bisa dipisahkan dengan kinerja (performance) sumber daya
manusia. Semakin kuat budaya perusahaan, semakin kuat
pula dorongan berprestasi. Salah satu faktor yang
membedakan suatu organisasi dari organisasi yang lainnya
ialah budayanya.
Budaya merupakan faktor yang sangat penting dalam
meningkatkan kefektifan organisasi. Budaya organisasi dapat
menjadi instrumen keunggulan kompetetitif yang utama,
47Wibowo, 2017. Manajemen Kinerja. Edisi Kelima. Depok:
PT. Raja Grafindo Persada.
40
ketika budaya organisasi mendukung strategi organisasi dan
dapat menjawab atau mengatasi tantangan lingkungan
dengan cepat dan tepat.
Menurut Jones menyatakan bahwa “Organization
culture as the set of shared values and norm that controls
organizational member interactions with each other and
with people outside the organization” (budaya organisasi
adalah kumpulan nilai-nilai dan norma yang mengendalikan
interaksi antara anggota organisasi dengan anggota lainnya
dan dengan orang yang berada diluar organisasi).48
Kemudian Wirawan mendefinisikan budaya organisasi
sebagai norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat,
kebiasaan organisasi, yang dikembangkan dalam kurun
waktu lama oleh pendiri, pemimpin, dan angota organisasi
yang disosialisasikan dan diajarkan kepada anggota baru
serta diterapkan dalam aktivitas organisasi sehingga
mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku anggota
organisasi dalam memproduksi produk, melayani konsumen
dan mencapai tujuan organisasi.49 Slocum & Hellriegel
mengemukakan bahwa “organizational culture reflects the
shared and learned values, beliefs, and attitudes of its
members”50 Sesuai pernyataan Slocum dan Hellriegel
tersebut dapat diketahui bahwa budaya organisasi
merefleksikan nilai, keyakinan, dan sikap yang dipelajari dan
48Charles P Jones. Invesment Analysis and Management.
New.York: John Willey and Sons Inc, 1998, p. 145.
49Wirawan. Budaya dan Iklim Organisas: Teori Aplikasi dan
Penelitian. Jakarta: Salemba Empat, 2007, p. 98.
50John W. Slocum dan Don Hellriegel, Principles of
Organizational Behvior. China: Cengage Learning, 2009, p. 458
41
dianut oleh anggota organisasi. Brown mengemukakan
bahwa budaya organisasi merupakan bentuk keyakinan,
nilai, dan cara yang dapat dipelajari untuk mengatasi
persoalan hidup dalam organisasi. Budaya organisasi
cenderung diwujudkan oleh anggota organisasi.51
Menurut Robbins bahwa “Organizational culture
refers to a system of shared meaning held by members that
distinguishes the organization from other organizations”52
(Budaya organisasi sebagai suatu sistem makna bersama
yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi tersebut dengan organisasi-organisasi lain).
Sedangkan, Newstrom mengemukakan bahwa
“organizational culture is the set of assumptions, beliefs,
values, and norms that are shared by an organization’s
members”53 Menurut Newstrom bahwa budaya organisasi
adalah seperangkat asumsi, keyakinan, nilai, dan norma-
norma yang dianut oleh anggota organisasi.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dinyatakan
bahwa setiap organisasi memiliki budaya organisasi yang
merupakan ciri khas, dan sekaligus merupakan pembeda
dengan organisasi lainnya. Hal ini didukung pernyataan
Robbins yang menyatakan setiap organisasi mempunyai
suatu budaya dan bergantung pada kekuatannya, budaya
51 A. Brown, Organizational Culture. England: Financial Time-
Prentice Hall, 1998, p. 34
52 Stephen P. Robbins. Organizational Behavior, 9th Edition.
New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 2001, p 594
53 John W. Newstorm. Organizational Behavior: Human
Behavior at Work, Twelfth Edition. New York: McGraw-Hill, 2007,
p.212.
42
dapat mempunyai pengaruh yang bermakna pada sikap dan
perilaku anggota-anggota organisasi.54
B. Terbentuknya Budaya Organisasi
Robbins menggambarkan bagaimana budaya suatu
organisasi dibangun dan dipertahankan. Budaya asli
ditunjukkan dari filsafat pendirinya. Selanjutnya budaya ini
sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam
mempekerjakan karyawannya. Tindakan dari manajemen
puncak menentukan iklim umum dari perilaku baik yang
dapat diterima maupun tidak. Bagaimanapun karyawan
disosialisasikan, tingkat sukses yang dicapai akan tergantung
pada kecocokan nilai-nilai yang dianut oleh karyawan baru
dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun
pada preferensi.55
Proses terbentuknya budaya organisasi dapat dilihat
pada Gambar 3.1 berikut.56
Gambar 3.1. Proses Terbentuknya Budaya Organisasi
(Sumber: Stephen P. Robbins. Organizational Behavior, 9th
Edition, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 2001: 596)
54 Stephen. P Robbins. Op.cit, 2001, p.246
55 Ibid, p. 523
56 Ibid, p. 596
43
C. Karakteristik Budaya Organisasi
Menurut Robbins ada 7 (tujuh) karakteristik primer
yang secara bersama-sama merupakan hakekat dari budaya
organisasi, yaitu:57
1. Innovation and risk taking. Inovasi dan pengambilan
resiko yaitu, berkaitan dengan sejauh mana para anggota
organisasi atau karyawan didorong untuk inovatif dan
berani mengambil resiko.
2. Attention to detail. Perhatian terhadap hal-hal yang rinci,
yaitu berkaitan dengan sejauh mana para anggota
organisasi atau karyawan diharapkan mau
memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian
terhadap hal-hal yang detail (rinci).
3. Aggressiveness. Agresivitas yaitu sejauh mana orang-
orang dalam organisasi menunjukkan keagresifan dan
kompetitif, bukannya bersantai.
4. Outcome orientation. Orientasi hasil, yaitu sejauh mana
manajemen fokus pada hasil, bukan pada teknik dan
proses yang digunakan untuk mendapatkan hasil tersebut.
5. People Orientation. Orientasi individu, yaitu sejauh mana
keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil
kepada orang-orang didalam organisasi tersebut.
5. Team Orientation. Orientasi tim, yaitu berkaitan dengan
sejauh mana kegiatan kerja organisasi dilaksanakan dalam
tim-tim kerja, bukan pada individu-individu.
57Robbins, Stpehen P. (2006). Perilaku Organisasi. Jakarta:
Salemba Empat, p.545.
44
6. Aggressiveness. Agresivitas, yaitu sejauh mana orang-
orang dalam organisasi menunjukkan keagresifan dan
kompetitif, bukannya bersantai.
7. Stability. Stabilitas, yaitu sejauh mana kegiatan organisasi
menekankan dipertahankannya status quo sebagai lawan
dari pertumbuhan atau inovasi.
Budaya organisasi dapat berbeda-beda dalam satu
organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya organisasi
menunjukan karakterisitik yang sangat bervariasi, hal
tersebut menunjukan bergamnya ciri, sifat dan elemen yang
terdapat dalam budaya organisasi. 58
Karakteristik kunci dari budaya menurut Michel
Zwell (2000: 63) adalah :
1. Budaya dipelajari.
2. Norma dan adat istiadat adalah umum diseluruh budaya.
3. Budaya kebanyakan bekerja secara tanpa sadar.
4. Sifat dan karakteristik budaya dikontrol melalui banyak
mekanisme dan proses sosial.
5. Elemen budaya diteruskan dari suatu generai ke generasi
berikutnya.
6. Menyesuaikan adat istiadat dan pola perilaku yang dapat
diterima cenderung menjadi berhubungan dengan
kebijakan moral dan superioritas.
7. Perilaku budaya adalah nyaman dan dikenal umum.
Tiap karakteristik ini berlangsung pada suatu
kontinum (suatu kesatuan) dari rendah ke tinggi.
Berdasarkan tujuh karakteristik tersebut, maka diperoleh
58 Wibowo, Budaya Organisasi, Jakarta,2016, edisi kedua,P.31
45
gambaran majemuk dari budaya organisasi. Gambaran ini
akan menjadi dasar bagi anggota organisasi untuk
memahami organisasinya dan bagaimana melakukan sesuatu
dan cara bagaimana anggota organisasi didorong untuk
berperilaku.
D. Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Kreitner & Kinicki, fungsi budaya
organisasi sangat penting dalam kehidupan organisasi, yang
mana budaya organisasi berfungsi sebagai sarana untuk
mempersatukan kegiatan para anggota organisasi, yang
terdiri dan sekumpulan individu dengan latar belakang yang
berbeda.59 Sedangkan Schein menyatakan bahwa budaya
organisasi berfungsi untuk membantu anggota organisasi
untuk beradaptasi dengan lingkungan eksternalnya dengan
memperkuat pemahaman anggota organisasi, kemampuan
merealisir misi, strategi, tujuan, cara, ukuran, dan evaluasi.
Budaya organisasi juga berfungsi untuk mengatasi
permasalahan integrasi internal dengan meningkatkan
pemahaman dan kemampuan anggota organisasi untuk
berbahasa, berkomunikasi, bersepakat atau berkonsensus
secara internal, fungsi kekuasaan dan aturannya, hubungan
anggota organisasi (staf), serta imbalan dan sangsi.60
Pabundu menjelaskan budaya memiliki beberapa
fungsi di dalam suatu organisasi yaitu sebagai berikut:
59 Robert Kreitner dan Angelo Kinicki, Kreitner, Robert dan
Angelo Kinicki. Organization Theory and The New Public
Administration. Boston Allyn and Bacon, Inc,. 2003, p. 72
60 Edgar H. Schein. Organizational Culture and Leadership. San
Francisco: Jossey-Bass Publisher, 1991, pp. 52-66.
46
1. Sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi
maupun kelompok.
2. Mempromosikan stabilitas sistem sosial, sehingga
lingkungan kerja menjadi positif, nyaman dan konflik
dapat diatur secara efektif.
3. Sebagai perekat bagi karyawan dalam suatu organisasi
sehingga dapat mempunyai rasa memiliki, partisipasi dan
rasa tanggung jawab atas kemajuan perusahaan.
4. Sebagai mekanisme control dalam memandu dan
membentuk sikap serta perilaku karyawan.
5. Membentuk perilaku karyawan, sehingga karyawan dapat
memahami bagaimana mencapai tujuan organisasi.
6. Sebagai integrator karena adanya sub budaya baru. Dapat
mempersatukan kegiatan para anggota perusahaan yang
terdiri dari sekumpulan individu yang berasal dari budaya
yang berbeda.
7. Sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah
pokok organisasi.
8. Sebagai acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan.
9. Sebagai alat komunikasi antara atasan dengan bawahan
atau sebaliknya, serta antar anggota organisasi.61
Fungsi budaya organisasi menunjukan peranan atau
kegunaan dari budaya organisasi. Fungsi budaya organisasi
menurut Robert Kreitner dan Angelo Kinicki (2001:73)
adalah :
61 Tika Pabundu. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja
Perusahaan, cetakan ke-3. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010. p.14.
47
1. Memberi anggota identitas. Identitas Organisasi
menunjukan ciri khas yang membedakan dengan
organisasi lain yang mempunyai sifat khas yang berbeda.
2. Memfasilitasi komitmen kolektif, organisasi mampu
membuat pegawainya bangga menjadi bagian dari
organisasi. Anggota organisasi mempunyai komitmen
bersama tentang norma-norma dalam organisasi yang
harus diikuti dan tujuan bersama yang harus dicapai.
3. Meningkatkan stabilitas sistem sosial sehingga
mencerminkan bahwa lingkungan kerja dirasakan positif
dan diperkuat, konfilik dan perubahan dapat dikelola
secara efektif. Dengan kesepakatan bersama tentang
budaya organisasi yang harus dijalani mampu membuat
lingkungan dan interaksi sosial berjalan dengan stabil dan
tanpa gejolak.
4. Membuat perilaku dengan mambatu anggota menyari atas
lingkungannya. Budaya organisasi dapat menjadi alat
untuk membuat orang berpikir sehat dan masuk akal.62
Berdasarkan uraian di atas, budaya organisasi
berguna bagi organisasi dan karyawan. Budaya akan
mendorong terciptanya komitmen organisasi dan
meningkatkan konsistensi sikap kerja karyawan. Robbins
berpandangan bahwa budaya organisasi mempengaruhi isi
keunggulan bersaing organisasi.63 Ketika faktor-faktor
objektif dipersepsikan sama oleh seluruh karyawan sehingga
akan membentuk budaya organisasi. Budaya yang dihasilkan
62 Wibowo, Budaya Organisasi, Jakarta,2016, edisi kedua
63 Stephen P Robbins. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba
Empat, 2006, p, 195.
48
nanti dapat budaya yang kuat dan budaya yang lemah,
selanjutnya akan berdampak pada kinerja dan kepuasan
karyawan.64
Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja dan
kepuasan dapat dilihat pada Gambar 3.2 berikut:
Gambar 2.6
Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja dan Kepuasan
(Sumber: Stephen P. Robbins, 2001:613)
E. Menilai Kuat-Lemahnya Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Sathe dalam Pabundu bahwa budaya
organisasi yang kuat adalah budaya organisasi yang ideal
dimana kekuatan budaya mempengaruhi intensitas pelaku.
Pada organisasi yang memiliki budaya organisasi yang kuat
anggota-anggota organisasi loyal kepada organisasi, tahu dan
jelas apa tujuan organisasi serta mengerti perilaku mana
yang dipandang baik dan tidak baik.Nilai-nilai yang dianut
organisasi tidak hanya berhenti pada slogan, tetapi dihayati
dan dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara
konsisten oleh orang-orang yang bekerja dalam
64 Stephen P. Robbins. Organizational Behavior, 9th Edition,
(New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 2001, p.613.
49
perusahaan.65Jadi budaya organisasi yang kuat membantu
perusahaan memberi kepastian kepada seluruh individu yang
ada dalam organisasi untuk berkembang bersama perusahaan
dan bersama-sama meningkatkan kegiatan usaha dalam
menghadapi persaingan.
Menurut Daft budaya kuat menunjukkan suatu
tingkat persetujuan antara anggota-anggota organisasi
mengenai kepentingan dari nilai-nilai yang spesifik. Jika
konsensus menghadirkan kepentingan dari nilai-nilai budaya
menjadi kohesif dan kuat, tetapi jika persetujuan kurang
maka budaya menjadi lemah. Budaya organisasi yang lemah
adalah budaya organisasi yang kurang didukung secara luas
oleh para anggotanya dan sangat dipaksakan, serta memberi
pengaruh negatif pada organisasi karena akan memberi arah
yang salah kepada para pegawainya.66
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dinyatakan
bahwa dalam organisasi yang memiliki budaya organisasi
yang lemah mudah akan terbentuk kelompok-kelompok yang
bertentangan satu sama lain, kesetiaan kepada kelompok
melebihi kesetiaan kepada organisasi, dan anggota organisasi
tidak segan-segan mengorbankan kepentingan organisasi
untuk kepentingan kelompok atau kepentingan sendiri. Jika
hal ini terjadi pada perusahaan, maka tugas-tugas tidak dapat
dilakukan dengan baik.Hal ini terlihat dari kurangnya
motivasi atau semangat kerja, timbul kecurigaan-kecurigaan,
komunikasi kurang lancar, lunturnya loyalitas atau kesetiaan
65 Tika Pabundu, 2006, Op.cit, p.206
66 Richard L. Daft. Organization Theory and Design. New York:
South-Western Cengage Learning, 2009, p.373.
50
pada tugas utamanya dan komitmen pegawai ke
perusahaan.Akibatnya perusahaan menjadi tidak efektif dan
kurang kompetetif.
F. Jenis-Jenis Budaya Organisasi
Menurut Byars & Rue mengemukakan ada empat
jenis budaya organisasi yaitu: (1) the though person, macho
culture, (2) work-hard/play hard culture, (3) bet your
company culture dan (4) process culture.67 Lebih lanjut
diuraikan pengertian keempat jenis budaya tersebut, yaitu:
1. The tough person, macho culture. Budaya organisasi ini
ditandai oleh individu-individu yang terbiasa mengambil
resiko tinggi dalam rangka mengharapkan keuntungan
yang cepat tanpa memikirkan mereka salah atau benar.
Dalam budaya organisasi tipe ini kerja tim tidaklah
penting, artinya nilai kerjasama tidak menjadi sesuatu
yang dianggap penting dan tidak ada kesempatan untuk
belajar dari kesalahan.
2. Work-hard/play hard culture. Budaya organisasi ini
memotivasi karyawan untuk mengambil resiko rendah
dan mengharapkan pengembalian yang cepat. Budaya
organisasi ini lebih mengutamakan penjualan.
3. Bet-your company culture. Budaya organisasi ini ada di
lingkungan dimana resiko tinggi dan keputusan diambil
sebelum hasil diketahui.
67 Lloyd Byars, and Leslie W. Rue. Human Resource
Management.New York MCGraw-Hill Irwin, 2006, p. 267.
51
4. Process culture.Budaya resiko rendah dengan
pengembalian rendah; karyawan hanya fokus kepada
bagaimana sesuatu dilakukan pada hasil.
G. Manfaat Budaya Organisasi
Wibowo menyatakan manfaat dari budaya organisasi
adalah sebagai berikut:
1. Membantu mengarahkan sumber daya manusia pada
pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi.
2. Meningkatkan kekompakan tim antar berbagai
departemen, divisi, atau unit dalam organisasi sehingga
mampu menjadi perekat yang mengikat orang dalam
organisasi bersama-sama.
3. Membentuk perilaku staf dengan mendorong
pencampuran core values dan perilaku yang diinginkan
sehingga memungkinkan organisasi bekerja dengan lebih
efisien dan efektif, meningkatkan konsistensi,
menyelesaikan konflik dan memfasilitasi kordinasi dan
kontrol.
4. Meningkatkan motivasi staf dengan memberi mereka
perasaan memiliki, loyalitas, kepercayaan dan nilai-nilai,
dan mendorong mereka berfikir positif tentang mereka
dan organisasi.
5. Dapat memperbaiki perilaku dan motivasi sumber daya
manusia sehingga mampu meningkatkan kinerjanya dan
pada gilirannya meningkatkan kinerja organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi.68
68 Wibowo. Manajement Kinerja Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006, p. 351.
52
H. Hubungan antara Budaya Organisasi dan Kinerja
Budaya organisasi yang dipadukan dengan
komunikasi yang baik dapat menentukan kekuatan
menyeleuruh, Kinerja dan daya saing dalam jangka panjang.
Djokosantoso Moeljino menggambarkan hubungan antara
Komunikasi, Budaya organisasi yang berdampak pada
kinerja pegawai sebagaimana tertera pada gambar di bawah
ini .
Gambar 2.1
Diagram Dampak Hubungan Antara Budaya Organisasi terhadap
Kinerja Pegawai
Berdasarkan diagram tersebut, bahwa pembentukan
kinerja yang baik dihasilkan jika terdapat komunikasi antara
pegawai sehingga membentuk internalisasi budaya
organisasi yang kuat dan dipahami sesuai dengan nilai-nilai
organisasi yang dapat menimbulkan persepsi yang positif
anatara pegawai satu dan pegawai lainnya untuk mendukung
53
dan mempengaruhi iklim kepuasan yang berdampak pada
kinerja pegawai. 69
*****
69 Mangkunegara, Anwar Prabu, Evaluasi Kinerja SDM,
Bandung, 2017, cetakan kedelapan, P.28
54
BAB IV
MOTIVASI
A. Pengertian Motivasi
Motivasi yang bahasa latinnya adalah movere
memiliki makna dorongan atau menggerakkan. Motivasi
pegawai menurut Robbins merupakan proses yang ikut
menentukan dan mencerminkan minat kita terhadap perilaku
yang berkaitan dengan pekerjaan.70 Dari definisi motivasi ini
maka para manajer/pimpinan mencoba memutuskan
bagaimana mencapai kinerja yang sebaik mungkin dari
karyawan-karyawan. Gibson, Ivancevich & Donnelly
mengemukakan bahwa motivasi merupakan konsep yang
digunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang
timbul pada atau di dalam diri seseorang untuk
menggerakkan dan mengarahkan perilaku.71 Hasibuan
menyatakan bahwa motivasi adalah pemberian daya
penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang,
agar mereka mau bekerjasama, bekerja efektif dan
terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai
kepuasan.72 Mangkunegara menyatakan bahwa faktor-faktor
motivasi dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal (karakteristik
70 Stephen P. Robbins. Perilku Organisasi. Jilid 1. Alih Bahasa
Tim Indeks, Jakarta: Indeks Klompok Gramedia, 2008,p. 159.
71James L. Gibson, John M. Ivancevich, dan James H. Donnelly,
Op. cit., p. 185.
72 Melayu S.P. Hasibuan . Manajemen Sumber Daya
Manusia:Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara, 2007, p. 95.
55
pribadi) dalam motivasi melipuiti kebutuhan: keinginan dan
harapan yang terdapat di dalam diri pribadi. Faktor eksternal
(karakteristik perusahaan) terdiri dari lingkungan kerja, gaji,
kondisi kerja, dan kebijaksanaan perusahaan, dan hubungan
kerja seperti penghargaan, kenaikan pangkat, dan dan
tanggung jawab.73 Pendapat yang lain, Handoko
menyebutkan bahwa motivasi adalah keadaan dalam diri
seseorang yang mendorong keinginan individu untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut guna mencapai
tujuan.74 Robbins mendefinisikan motivasi sebagai proses
yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan usaha
untuk mencaai suatu tujuan.75 Dengan demikian, motivasi
muncul karena adanya dorongan untuk memenuhi
kebutuhan. Artinya, motivasi sebagai pendorong (penggerak)
yang ada dalam diri seseorang untuk berindak. Untuk dapat
melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik
membutuhkan motivasi dari setiap karyawan. Hal ini
didukung pernyataan Standford dalam Hasibuan sebagai
suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu
tujuan tertentu.76 Berdasarkan pendapat tersebut makan
dapat dikatakan motivasi adalah pemberian daya penggerak
yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka
mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan
segala daya upaya untuk mencapai kepuasan.
73 Anwar Prabu A.A Mangkunegara. Manajemen Sumberdaya
Manusia Peerusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005, p. 87.
74 Hani T. Handoko. Manajemen Personalia dan Sumber Daya
Manusia. Yogyakarta: BPFE, 2003, p. 98.
75Stephen P. Robbins. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba
Empat, 2006, p. 258.
76 Melayu SP.Hasibuan.2007, Op.cit, p. 99
56
Karyawan yang memiliki motivasi yang tinggi akan
dapat melaksanakan pekerjaan dengan lebih baik,
dibandingkan dengan karyawan yang tidak memiliki
motivasi. Setiap orang mempunyai sesuatu yang dapat
memicu (menggerakkan) baik itu berupa kebutuhan material,
emosional, spiritual, maupun nilai-nilai atau keyakinan
tertentu. Motivasi dapat diartikan sebagai bagian integral
dari hubungan industrial dalam rangka proses pembinaan,
pengembangan, dan pengarahan sumber daya manusia dalam
suatu perusahaan.
Motivasi kerja karyawan dalam suatu organisasi
dapat dianggap sederhana dan dapat juga menjadi masalah
yang kompleks, karena pada dasarnya manusia mudah untuk
dimotivasi dengan memberikan apa yang menjadi
keinginannya. Motivasi dapat juga digunakan untuk
mendorong para karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugas
yang telah dibebankan. Menciptakan kinerja yang tinggi
dapat ditumbuhkan melalui dorongan motivasi. Jika
dorongan tersebut tidak diberikan pimpinan kepada
karyawan dikhawatirkan timbul kinerja yang rendah.
Semua individu memiliki berbagai kebutuhan
tersebut sebagaimana yang ada pada hirarki kebutuhan
menurut Maslow, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
motivasi yang dimiliki oleh seorang individu. Mengingat di
dalam suatu perusahaan terdapat individu yang berasal dari
latar belakang berbeda, motivasi yang dibutuhkan tiap
karyawan juga berbeda-beda pula. Disini letak pentingnya
bagi perusahaan untuk melihat kebutuhan apa yang
diperlukan karyawannya, apa bakat dan keterampilan yang
57
dimilikinya. Akan lebih mudah menempatkan tiap karyawan
pada posisi yang paling tepat jika perusahaan dapat
mengetahui hal-hal tersebut sehingga ia akan semakin
termotivasi dan mampu mencapai hasil sesuai yang
perusahaan inginkan. Tentu saja usaha-usaha memahami
kebutuhan karyawan tersebut harus disertai dengan
penyusunan kebijakan perusahaan dan prosedur kerja yang
efektif, agar tecipta suasana kerja yang kondusif dan
harmonis. Untuk melakukan hal ini tentu diperlukan niat,
kerja sama, kerja keras dan komitmen dari manajemen juga
karyawan.
Siagian mengemukakan bahwa dalam kehidupan
berorgansasi, termasuk kehidupan berkarya dalam organisasi
bisnis, aspek motivasi kerja mutlak mendapat perhatian
serius dari para manajer karena 4 (empat) pertimbangan
utama, yaitu: (1) filsafat hidup manusia berkisar pada prinsip
“quit pro quo”, yang dalam bahasa awam dicerminkan oleh
pepatah yang mengatakan “ada ubi ada talas, ada budi ada
balas”, (2) dinamika kebutuhan manusia sangat kompleks
dan tidak hanya bersifat materi, akan tetapi juga bersifat
psikologis, (3) tidak ada titik jenuh dalam pemuasan
kebutuhan manusia, (4) perbedaan karakteristik individu
dalam organisasi atau perusahaan, mengakibatkan tidak
adanya satupun teknikmotivasi yang sama efektifnya untuk
semua orang dalam organisasi juga untuk seseorang pada
waktu dan kondisi yang berbeda-beda.77
77 Sondang P Siagian. Manajemen Kepemimpinan dan Perilaku
Administrasi. Jakarta: Gunung Agung, 2012, p. 94.
58
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dinyatakan
bahwa hubungan motivasi, gairah kerja dan hasil yang
optimal mempunyai bentuk linear dalam arti dengan
pemberian motivasi kerja yang baik, maka gairah kerja
karyawan akan meningkat dan hasil kerja akan optimal
sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan. Gairah kerja
sebagai salah satu bentuk motivasi dapat dilihat antara lain
dari tingkat kehadiran karyawan, tanggung jawab terhadap
waktu kerja yang telah ditetapkan.
Mangkunegara mengemukakan bahwa terdapat 2
(dua) teknik memotivasi kerja pegawai, yaitu:
1. Teknik pemenuhan kebutuhan pegawai. Artinya bahwa
pemenuhan kebutuhan pegawai merupakan fundamen
yang mendasari perilaku kerja.
2. Teknik komunikasi persuasif. Merupakan salah satu
teknik memotivasi kerja pegawai yang dilakukan dengan
cara mempengaruhi pegawai secara ekstra logis. Teknik
ini dirumuskan dengan istilah:”AIDDAS” yaitu: a)
Attention (perhatian), (b) Interest (minat), (c) Desire
(hasrat), (d) Decision (keputusan), (e) Action
(aksi/tindakan) dan (f) Satisfaction (kepuasan).78
B. Teori Motivasi
1. Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H. Maslow
Kreitner & Kinicki mengemukakan teori kebutuhan
Maslow terdiri dari kebutuhan fisiologis, keamanan,
sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. kebutuhan
78 Anwar Prabu A.A. Mangkunegara,. Perilaku dan budaya
organisasi. Bandung: Refika Aditama, 2005, p.101.
59
fisiologis, keamanan, sosial merupakan kebutuhan tingkat
rendah (faktor eksternal) dan kebutuhan penghargaan dan
aktualisasi diri merupakan kebutuhan tingkat tinggi
(faktor internal). Teori ini mengasumsikan bahwa orang
berupaya memenuhi kebutuhan yang lebih pokok
(psikologi) sebelum memenuhi kebutuhan yang tertinggi.
Kebutuhan manusia itu ada hirarkinya mulai paling dasar
sampai kebutuhan yang paling tinggi.79
Luthans menggambarkan kebutuhan Maslow bahwa
manusia mempunyai lima kebutuhan dasar, yaitu:
a. Kebutuhan fisiologis. Antara lain kebutuhan akan
sandang, pangan, papan dan kebutuhan jasmani lain.
b. Kebutuhan keamanan. Antara lain kebutuhan akan
keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik
dan emosional.
c. Kebutuhan sosialisasi. Antara lain kasih saying, rasa
saling memiliki, diterima baik persahabatan.
d. Kebutuhan aktualisasi diri. Merupakan dorongan untuk
menjadi seseorang atau sesuai ambisinya yang
mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi, dan
pemenuhan kebutuhan diri
e. Kebutuhan kebutuhan penghargaan.Antara lain
mencakup faktor penghormatan diri seperti harga diri,
otonomi, dan prestasi: serta faktor penghormatan diri
79 Robert Kreitner, and Angelo Kinicki. Organizational
Behavior. New York: McGraw Hill, 2007, p. 87.
60
luar seperti misalnya status, pengakuan dan
perhatian.80
2. Teori Kebutuhan David McClelland
McClelland dalam Handoko memberikan tiga
tingkatan kebutuhan tentang motivasi sebagai berikut:
Kebutuhan akan prestasi (needfor achievement), afiliasi
(need for affiliation), kekuasaan (need for power).81 Teori
kebutuhan yang dikemukakan oleh Mc.Clelland (1961)
dikemukana oleh Robbins menyatakan bahwa ada 3 (tiga)
hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu :
a. Need for achievement (kebutuhan akan prestasi).
Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk
mengungguli, berprestasi sehubungan dengan
seperangkat standar, bergulat untuk sukses, kebutuhan
ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan akan
penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-
ciri individu yang menunjukkan orientasi tinggi antara
lain bersedia menerima resiko yang relative tinggi,
keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang
hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung
jawab pemecahan masalah. Need for achievement
adalah motivasi untuk berprestasi, karena itu karyawan
akan berusaha mencapai prestasi tertingginya,
pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi
menantang, dan kemajuan dalam pekerjaan. Karyawan
perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya
80 Fred Luthans. Perilaku Organisasi. Terjemahan Vivin
Andhika Yuwono, et. al., Yogyakarta: ANDI, 2006, p. 225.
81 Handoko. 2003, Op.cit, p. 125.
61
sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya
tersebut.
b. Need for power (kebutuhan akan kekuasaan).
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk
membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara
dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan
berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari
individu untuk mengendalikan dan memengaruhi orang
lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow terletak antara
kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan
aktualisasi diri. McClelland menyatakan bahwa
kebutuhan akan kekuasaan sangat berhubungan dengan
kebutuhan untuk mencapai suatu posisi
kepemimpinan.Need for power adalah motivasi
terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi
untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki
karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide
untuk menang. Ada juga motivasi untuk peningkatan
status dan prestise pribadi.
c. Need for affiliation (kebutuhan akan kelompok
pertemanan/bersahabat). Kebutuhan akan afiliasi
adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang
ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan
untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan
penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu
yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi
umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan
interaksi sosial yang tinggi. McClelland mengatakan
bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi
62
karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi
perilaku karyawan dala bekerja atau mengelola
organisasi.82
Teorinya McClelland mengemukakan bahwa
individu mempunyai cadangan energi potensial,
bagaimana energi ini dilepaskan dan dikembangkan
tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi
individu dan situasi serta peluang yang tersedia. Teori ini
memfokuskan pada tiga kebutuhan yaitu kebutuhan akan
prestasi, kebutuhan kekuasaan, dan kebutuhan afiliasi.
Model motivasi ini ditemukan diberbagai lini organisasi,
baik staff maupun manajer. Beberapa karyawan memiliki
karakter yang merupakan perpaduan dari model motivasi
tersebut.
3. Teori Dua Faktor Herzberg
Menurut Herzberg (1966), yang dikemukakan
Gibson, Ivancevich dan Donnelly bahwa ada dua jenis
faktor yang memotivasi seseorang untuk berusaha
mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari
ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktor higiene
(faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik).
Lebih lanjut dijelaskan kedua faktor tersebut, sebagai
berikut:
a. Hygiene factor. Faktor ini berkaitan dengan konteks
kerja dan arti lingkungan kerja bagi individu. Faktor-
faktor higinis yang dimaksud adalah kondisi kerja,
82 Robbins, 2006, Op.cit, p. 108.
63
dasar pembayaran (gaji), kebijakan organisasi,
hubungan antar personal, dan kualitas pengawasan.
b. Satisfier factor. Merupakan faktor pemuas yang
dimaksud berhubungan dengan isi kerja dan definisi
bagaimana seseorang menikmati atau merasakan
pekerjaannya. Faktor yang dimaksud adalah prestasi,
pengakuan, tanggung jawab dan kesempatan untuk
berkembang.83
Berdasarkan dari teori tersebut bahwa faktor-faktor
yang mendorong aspek motivasi adalah keberhasilan,
pengakuan, sifat pekerjaan yang menjadi tanggung jawab
seseorang, kesempatan meraih kemajuan, dan
pertumbuhan.Sedangkan faktor-faktor hygiene yang
menonjol adalah kebijaksanaan perusahaan, supervisi,
kondisi pekerjaan, upah dan gaji, hubungan dengan rekan
kerja sekerja, kehidupan pribadi, hubungan dengan para
bawahan, status dan keamanan.
4. Teori Douglas McGregor (Teori X dan Teori Y)
Sutrisno mengemukaan pendapat Douglas
McGregor bahwa ada dua pandangan yang jelas berbeda
mengenai manusia. Pada dasarnya yang satu negatif, yang
ditandai sebagai teori X, dan yang lain positif, yang
ditandai dengan teori Y. menurut teori X, empat asumsi
yang dipegang manajer adalah sebagai berikut:
a. Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan,
bila dimungkinkan akan mencoba menghindarinya.
83 James L. Gibson, John. M. Ivancevich, dan James H. Donnelly. Organisasi. Terj. Nunuk
Adiarni. Jakarta: Binarupa Aksara, 1996, pp. 154-155.
64
b. Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus
dipaksa, diawasi, diancam dengan hukuman untuk
mencapai sasaran.
c. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan
mencari pengarahan formal bila mungkin.
d. Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan diatas
semua faktor lain yang terkait dengan kerja dan akan
menunjukkan ambisi yang rendah.
Kontras dengan pandangan negatif mengenai kodrat
manusia ini, McGregor mencatat empat asumsi positif,
yang disebutnya sebagai teori Y, yaitu:
a. Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan
alami yang sama dengan istirahat atau bermain.
b. Orang-orang akan melakukan pengarahan diri dan
pengawasan diri jika mereka memiliki komitmen pada
sasaran.
c. Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan
mengusahakan, tanggung jawab.
d. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif
menyebar luas ke semua orang dan tidak hanya milik
mereka yang berada dalam posisi manajemen.84
5. Teori ERG
Sutrisno menyatakan Teori ERG yang digagasi oleh
Clayton Alderfer bahwa ada 3 (tiga) kelompok kebutuhan
inti bagi manusia, yaitu:
a. Existence (eksistensi). Kelompok eksistensi
memperhatikan tentang pemberian persyaratan
84 Edy Sutrisno. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2009, pp. 138-139
65
keberadaan materiil dasar kita, mencakup yang butir-
butir oleh Maslow dianggap sebagai kebutuhan
psikologis dan keamanan.
b. Relatedness (keterhubungan). Hasrat yang kita miliki
untuk memelihara hubungan antar pribadi yang
penting. Hasrat sosial dan status menuntut
terpenuhinya interaksi dengan orang-orang lain, dan
hasrat ini sejalan dengan kebutuhan sosial Maslow.
c. Growth (pertumbuhan). Hasrat intrinsik untuk
perkembangan pribadi, yang mencakup komponen
intrinsic dari kategori penghargaan Maslow dan
karakteristik-karakteristik yang tercakup pada
aktualisasi diri.85
Berbeda dengan teori hirarki kebutuhan, teori ERG
memperlihatkan bahwa lebih dari satu kebutuhan dapat
berjalan pada saat yang sama, dan jika kepuasan pada
kebutuhan tingkat lebih tinggi tertahan, maka hasrat untuk
memenuhi kebutuhan tingkat lebih rendah meningkat.
6. Teori Pengharapan
Dewasa ini, salah satu dari penjelasan yang paling
diterima secara luas mengenai motivasi adalah teori
pengharapan (ekspektasi) dari Victor Vroom. Robbins
dan Judge mengemukakan teori pengharapan ini
berargumen bahwa kekuatan dari kecenderungan untuk
bertindak dengan cara tertentu bergantung pada kekuatan
dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu
bergantung pada kekuatan pengharapan bahwa tindakan
85 Sutrisno, 2009. Ibid, pp. 135-136.
66
itu akan diikuti oleh output tertentu dan tergantung pada
daya tarik output itu bagi individu tersebut.86
Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan
mengatakan karyawan dimotivasi untuk melakukan upaya
lebih keras bila ia meyakini upaya itu akan menghasilkan
penilaian kinerja yang lebih baik. Lebih lanjut, Robbins
dan Judge menyatakan bahwa teori tersebut berfokus pada
3 hubungan yaitu: (1) hubungan upaya-kinerja.
Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang
mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan
mendorong kinerja, (2) hubungan kinerja-imbalan.
Sampai sejauh mana individu itu meyakini bahwa
berkinerja pada tingkat tertentu akan mendorong
tercapainya output yang diinginkan dan (3) hubungan
imbalan-sasaran pribadi. Sampai sejauh mana imbalan-
imbalan organisasi memenuhi sasaran atau kebutuhan
pribadi individu serta potensi daya tarik imbalan tersebut
bagi individu tersebut.87
C. Jenis-jenis Motivasi
Berdasarkan jenisnya motivasi dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Motivasi Kerja Positif
Motivasi kerja positif adalah suatu dorongan yang
diberikan oleh seorang karyawan untuk bekerja dengan
baik, dengan maksud mendapatkan kompensasi untuk
86 Stephen P. Robbins,. dan Timothy A. Judge. Perilaku
Organisasi. terj. Diana Angelica Jakarta: Salemba Empat, 2009, p. 253.
87 Robbins dan Judge, 2009. Ibid, p. 255.
67
mencukupi kebutuhan hidupnya dan berpartisipasi penuh
terhadap pekerjaan yang ditugaskan oleh organisasinya.
Wexley & Yukl menyatakan ada beberapa macam
bentuk pendekatan motivasi positif dalam rangka
meningkatkan kinerja pegawai, yaitu:
a. Penghargaan terhadap pekerjaan yang dilakukan.
Seorang pemimpin memberikan pujian atas hasil kerja
seorang karyawan jika pekerjaan tersebut memuaskan
maka akan menyenangkan karyawan tersebut.
b. Informasi. Pemberian informasi yang jelas akan sangat
berguna untuk menghindari adanya berita-berita yang
tidak benar, kesalahpahaman, atau perbedaan pendapat
dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
c. Pemberian perhatian yang tulus kepada karyawan
sebagai seorang individu. Para karyawan dapat
merasakan apakah suatu perhatian diberikan secara
tulus atau tidak, dan hendaknya seorang pimpinan
harus berhati-hati dalam memberikan perhatian.
d. Persaingan. Pada umumnya setiap orang senang
bersaing secara jujur. Oleh karena itu pemberian
hadiah untuk yang menang merupakan bentuk motivasi
yang positif.
e. Kebanggaan. Penyelesaian suatu pekerjaan yang
dibebankan akan menimbulkan rasa puas dan bangga,
terlebih lagi jika pekerjaan yang dilakukan sudah
disepakati bersama.
68
f. Partisipasi. Dijalankannya partisipasi akan
memberikan manfaat seperti dapat dihasilkannya suatu
keputusan yang lebih baik.88
2. Motivasi Kerja Negatif
Motivasi kerja negatif dilakukan dalam rangka
menghindari kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa
kerja. Selain itu, motivasi kerja negatif juga berguna agar
karyawan tidak melalaikan kewajiban yang telah
dibebankan. Bentuk motivasi kerja negatif dapat berupa
sangsi, skors, penurunan jabatan atau pembebanan
denda.89
Berdasarkan teori-teori motivasi kerja, yaitu Teori
Maslow, Teori David, Hezberg, Douglas, Toeri ERG dan
Teori Vroom di atas, dapat disintesis bahwa motivasi
kerja adalah merupakan keinginan bekerja secara baik
untuk mencapai tujuan organisasi.
Dengan demikian, dalam kajian ini indikator
motivasi kerja didasarkan pada pernyataan Robbins yaitu
1) tanggung jawab dalam melaksanakan tugas, 2)
memiliki perasaan senang dalam bekerja, 3) selalu
berusaha untuk mengungguli orang lain, 4) lebih
mengutamakan prestasi dari apa yang dikerjakannya, 5)
bekerja dengan harapan ingin memperoleh insentif dan 6)
senang memperoleh pujian dari apa yang dikerjakannya.
Dalam praktek, kedua jenis motivasi di atas sering
digunakan oleh suatu perusahaan. Penggunaannya harus
88 Kenneth N. Wexley, & Gary A. Yukl. Perilaku Organisasi
dan Psikologi Personalia. Jakarta: Rineka Cipta, 2005, p. 215.
89 Wexley dan Yukl, 2005. Ibid, p.216.
69
tepat dan seimbang supaya dapat meningkatkan semangat
kerja pegawai. Yang menjadi masalah ialah kapan motivasi
positif atau motivasi negatif diberikan agar efektif
merangsang kerja pegawai. Motivasi positif efektif untuk
jangka panjang sedangkan motivasi negatif efektif untuk
jangka pendek.
Hasibuan mengemukakan bahwa alat-alat yang dapat
digunakan dalam melakukan motivasi diklasifikasikan,
sebagai berikut:90
1. Material Incentive
Alat motivasi yang bersifat materiil sebagai imbalan
prestasi yang diberikan oleh pegawai yang umumnya
berbentuk uang dan barang-barang.
2. Non material Incentive
Alat motivasi (daya perangsang) yang tidak berbentuk
materi, jadi hanya memberikan kepuasan atau kebanggaan
rohani saja yang umumnya berupa penempatan yang
tepat, pekerjaan yang terjamin, piagam penghargaan,
perlakuan yang wajar dan sejenisnya.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Pada dasarnya setiap individu pegawai mempunyai
keinginan yang berbeda-beda, tetapi ada kesamaan dalam
kebutuhannya, yaitu setiap manusia ingin hidup dan untuk
hidup perlu makan dan manusia normal mempunyai harga
diri. Kebutuhan dan keinginan manusia tersebut
menggerakkan mereka untuk memenuhinya dan untuk
90 Ibid., p. 149.
70
memperoleh kepuasan kerja. Seorang karyawan tentu
mengharapkan kompensasi dari prestasi kerja serta ingin
memperoleh pujian dan perlakuan yang baik dari atasannya.
Motivasi sebagai proses batin atau proses psikologis
dalam diri seseorang, sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain:91
1. Faktor Ekstern
a. Lingkungan kerja
b. Pemimpin dan kepemimpinannya
c. Tuntutan perkembangan organisasi atau tugas
d. Dorongan atau bimbingan atasan
2. Faktor Intern
a. Pembawaan individu
b. Tingkat pendidikan
c. Pengalaman masa lampau
d. Keinginan atau harapan masa depan.
*****
91 Gomes, “Pengaruh Budaya Kerja dan Motivasi Kerja
Terhadap Kinerja Karyawa, Banda Aceh, International Federation RED
Cross, (2011),p. 180
71
72
BAB V
ETOS KERJA DAN KERJASAMA TIM
A. Etos Kerja
Etos kerja adalah etika seseorang di tempat kerjanya
yang didasari oleh konstilasi sikap dan keyakinan atas nilai-
nilai pekerjaan.Etos kerja adalah semangat kerja yang
menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok
(KBBI_on line).92 Sinamo mengartikan etos kerja sebagai
seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan
yang disertai komitmen total pada paradigma kerja.93 Slocum
dan Hellriegel memandang etika adalah kompetensi,
sehingga kompetensi etika meliputi pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan untuk memasukkan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip yang memisahkan yang benar dan yang
salah dalam membuat keputusan dan memilih perilaku.94
Barsky mengatakan bahwa Etika akan menjelaskan kepada
seseorang tentang adanya aturan yang mana perilaku dapat
dibenarkan atau tidak dibenarkan.95
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan
makna etos kerja lebih merujuk kepada kualitas kepribadian
92https://kbbi.kata.web.id/etos-kerja/
93Jansen Sinamo. 8 Etos Kerja Profesional.Bogor: PT. Grafika
Mardi Yuana, 2011, p. 123.
94John W. Slocum, Jr and Don Hellriegel.Principles of
organizational Behavior. China: South-Western, a part of Cengage
Learning, 2009, p. 19
95Allan Edward Barsky. Ethics and Values in Social Works, An
Integrated Approach for a Comprehensive Curriculum. Oxford: Oxford
University Press, Inc,. 2010, p. 4
73
pekerja yang tercermin melalui unjuk kerja secara utuh
dalam berbagai dimensi dan kehidupannya. Dengan
demikian, etos kerja merupakan kondisi internal yang
mendorong dan mengendalikan perilaku ke arah terwujudnya
kualitas kerja yang ideal.
Etos kerja merupakan sikap, kepribadian, watak,
karakter, serta keyakinan atas sesuatu yang mendasar
terhadap diri untuk meraih hasil atau prestasi hidup yang
lebih baik dari keadaan sebelumnya. Karyawan yang
memiliki etos kerja tinggi tercermin dalam perilakunya,
seperti suka bekerja keras, bersikap adil, tidak membuang-
buang waktu saat bekerja, keinginan memberikan lebih dari
yang disyaratkan, mau bekerja sama, hormat terhadap rekan
kerja, dan sebagainya.
Slocum & Hellriegel memandang pentingnya etika
atau etos kerja dalam organisasi, yaitu salah satu kompetensi
yang akan mengefektifkan organisasi.96 Boatright, et. al.,
mengatakan terjadinya krisis ekonomi global disebabkan
oleh krisis etika.97 Lebih lanjut dikatakan bahwa etika
penting dalam ekonomi, politik, sosial dan hukum.98
Berdasarkan kedua pendapat tersebut maka etika secara
umum sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa bahkan
dunia. Akan terjadi kehancuran pada bangsa secara luas, dan
secara sempit dalam organisasi tidak akan efektif jika etika
mengalami krisis. Akibat krisis etika atau etos kerja maka
96John W. Slocum, Jr. and Don Helriegel, 2009, Op. cit.,p. 20.
97John R. Boatright, et.al. Values and Ethics for The 21’st
Century.Chicago: BBVA, 2012, pp. 8-12
98John R. Boatright. 20012, Ibid, pp. 12-13
74
akan terjadi berbagai perilaku yang merusak dan tidak akan
terpuji, seperti kemalasan, tidak produktif, bahkan korupsi.
Etos yang berasal dari kata etika,yaitu sumber-
sumber nilai yang dijadikan rujukan dalam pemilihan dan
keputusan perilaku.Hasil kajian ini sependapat dengan
Sinamo,etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang
berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen
total pada paradigma kerja yang integral. Disamping itu etos
kerja dapat menjadi positif atau negatif. Etos kerja positif
sebagai proses membuat pekerjaan menjadi sesuatu yang
menarik dan merupakan sebuah komitmen diri untuk
memberikan yang terbaik kepada lembaga dimana pegawai
tersebut bekerja. Etos kerja negatif yang terdapat pada aura
pegawai menyebabkan kepala camat, rekan kerja dan
masyarakat enggan untuk dekat dan bergaul dengan baik,
karena tidak memiliki nilai tambah, merusak cita pekerjaan
dan kepercayaan mereka akan hilang. Oleh karena itu,
pegawai seharusnya memberikan etos kerja yang optimal
yang dapat memajukan lembaganya dengan baik. Dengan
demikian etos kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai.99
Hal yang mendasar dalam mengkaji etos kerja adalah
teori-teori etika, yang selanjutnya diimplementasikan sebagai
keputusan seseorang di tempat kerja, sehingga disebut etos
kerja atau etika kerja. Kaptein & Wempe dalam Sobayeni
mengatakan bahwa ada tiga pendekatan yang dapat
dipergunakan untuk menganalisis etika, yaitu:
99Jansen H. Sinamo. 8 Etos Kerja Profesional Navigator Anda
Menuju Sukses, Jakarata: PT Spirit Mahardika, 2011, p.95.
75
konsekuensialisme, deontology, dan etika virtual.100
Konsekuensialisme berfokus pada hasil atau konsekuensi
dari sebuah tindakan; deontology berfokus pada tindakan itu
sendiri; dan etika virtual berfokus pada niat dibalik tindakan
tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendekatan tersebut
ditetapkan menjadi teori, yaitu consequential theories of
eticsterdiri dari: (1) utilitarian theories of ethics, (2) egoistic
theory of ethics; selanjutnya deontology theories terdiri dari
tiga sub teori, yaitu: (1) keyakinan atas tugas adalah
pemberian Tuhan (duties are god’s given), (2) tugas
didasarkan pada akal sehat (duties are based on common
sense), (3) Tugas diprakarsai oleh kontrak sosial (duties are
initiated by social contract ) dan virtue theory of etics.101
1. Utilitarian’s Theory of Ethic
Utilitarian’s theory menyatakan bahwa perbuatan
seseorang lebih mempertimbangkan kebermanfaatannya.
Seseorang melakukan tindakan jika tindakan tersebut
berguna, dan hal tersebutlah yang etis. Apakah suatu
tindakan itu benar ?, pertimbangan harus diberikan pada
keputusan atau tindakan tertentu. Jika keputusan atau
tindakan mengarah pada sejumlah besar kebaikan, maka
keputusan atau tindakan tersebut akan dianggap benar dan
tindakan tersebut adalah etis. Teori ini menekankan
moralitas sebuah tidakan dinilai berdasarkan konsekuensi
100Ntomzodwa Caroline Subayeni. Work Ethics and Work
Values : A Generational Perpective. Tesis.(South Africa, Free State
Province: Central University of Technology, September 2015), p. 32
101 Ibid.,p. 33
76
dari tindakan tersebut telah membawa kebahagiaan bagi
masyarakat.
Teori tersebut di dalam organisasi berorientasi pada
kebahagiaan orang atas aturan, sehingga sering juga
disebut kebermanfaatan aturan. Jika aturan menjadi
sesuatu yang bermanfaat bagi kebaikan, maka aturan
tersebut menjadi alat penilai sebuah tindakan apakah
benar atau etis.Setiap individu dapat memiliki pandangan
yang berbeda tentang kebermanfaatan tindakan.Sejalan
dengan hal tersebut maka aturan ditetapkan agar
perbedaan pandangan tersebut semakin dipersempit, dan
terjadi penggeneralisasian kebermanfaatan tindakan
sesuai dengan aturan.
2. Egoistic Theory of Ethic
Egoistic theory of ethic menekankan penilaian
individu terhadap sebuah keputusan atau tindakan
berdasarkan jumlah orang yang merasakan manfaat dari
tindakan tersebut. Semakin banyak orang merasakan
manfaat atau berbahagia atas tindakan tersebut maka
tindakan tersebut adalah benar atau etis. Orang-orang
secara moral akan lebih banyak terlebit melakukan
keputusan atau tindakan karena akan menghasilkan
kebahagiaan bagi mereka. Jika orang tidak terlibat dalam
melakukan tindakan yang dianggap membahagiakan
tersebut maka dianggap tidak bermoral. Jika seseorang
menilai tindakan tidak bermoral sedangkan tindakan
tersebut bermanfaat atau membahagiakan maka penilaian
tersebut dipertanyakan keobjektifannya.
77
3. The Ontological Theori
Teori etika ini berfokus pada tindakan itu sendiri,
bukan pada efeknya. Setiap orang memiliki kewajiban
tertentu yang dibentuk oleh berbagai jenis hak yang tidak
dapat disangkal. Sejalan dengan hal tersebut maka suatu
tindakan dianggap benar secara moral jika dilakukan
sebagai akibat dari tugas tertentu. Teori ini sering disebut
keputusan atau tindakan berbasis aturan. The ontological
theory memiliki tiga subteori, yaitu bahwa tugas adalah
pemberian Tuhan, tugas didasarkan akal sehat dan tugas
diprakarsai oleh kontrak sosial.
4. Tugas Adalah Pemberian Tuhan (Duties are God’s
Given)
Teori ini menjelaskan bahwa pekerjaan adalah
pemberian Tuhan. Orang yang percaya terhadap
keberadaan Tuhan dan segala kuasaNya, meyakini bahwa
manusia dilahirkan memiliki fungsi dan tugas yang telah
ditetapkan yang harus dikerjakannya.Melaksanakan
pekerjaan diyakini adalah bagian dari ibadah, sehingga
harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan
bertanggung jawab.Apapun yang menjadi pekerjaan
seseorang, adalah pemberian dan penugasan dari Tuhan,
sehingga garus dikerjakan sebaik mungkin dan harus
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Sejalan dengan
hal tersebut, maka pekerjaan apapun harus dikerjakan
dengan baik, karena bukanlah untuk manusia akan tetapi
untuk Tuhan.
Pekerjaan adalah pemberian Tuhan, tidak saja
menjadi sebuah teori, akan tetapi menjadi sebuah dogma.
78
Dogma adalah ajaran, panutan, dan hal yang menjadi
pedoman hidup. Sejalan dengan hal tersebut, pekerja yang
telah menerima dogma tersebut akan menggunakan
waktunya sebaik mungkin untuk bekerja, melakukan
pekerjaannya dengan baik, menghindari perilaku yang
melanggar aturan dan hukum agar pekerjaan yang
diberikan Tuhan tidak terhalang, sadar akan kewajiban
mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin, dan bangga jika
mengerjakan pekerjaannya dengan baik, dan takut jika
pekerjaannya tidak dikerjakan dengan baik. Teori ini
bersifat transcendental, sehingga seorang pekerja
mengerjakan pekerjaannya dengan kesadaran yang tinggi,
sehingga tidak membutuhkan pengawasan dari manusia.
Seorang yang meyakini keberadaan Tuhan, dan selalu
dapat melihat keberadaan manusia, aktivitas manusia,
perbuatan manusia, apa yang dikerjakan manusia, dan
pada akhirnya manusia harus memper-tanggung-
jawabkannya kepada Tuhan, maka akan berpikir,
bersikap, dan berperilaku baik. Berpikir, bersikap, dan
berperilaku baik, adalah ajaran umum setiap agama, dan
hal tersebut harus juga diimplementasikan tidak saja
dalam kehidupan sehari-hari akan tetapi juga di pekerjaan.
Peran agama dalam peningkatan etos kerja adalah
tinggi, sehingga ada organisasi yang melaksanakan ibadah
dalam waktu tertentu untuk tujuan penyadaran diri para
pekerja atas dogma agamanya masing-masing, khususnya
hal pekerjaan yang harus dikerjakan sebaik mungkin dan
tidak ditunda-tunda. Khotbah yang dibutuhkan dalam
peningkatan etos kerja para pekerjaan adalah tanggung
79
jawab pekerja atas pekerjaannya kepada Tuhannya. Tuhan
dapat melihat setiap pekerja setiap saat, bahkan hati, niat,
motif, para pekerja dalam bekerja juga diketahui Tuhan.
Teori ini berperan dalam mencegah perbuatan yang
kurang baik atas tanggung jawab pekerja pada
pekerjaannya. Sejalan dengan hal tersebut, ditinjau dari
segi pengendalian manajemen, maka teori ini salah satu
precontrol, yaitu pengendalian pencegahan. Pengendalian
pencegahan akan menghindari organisasi dari kerugian
dan masalah, sebab sebelum terjadi perilaku yang
merugikan sudah dicegah.
5. Tugas didasarkan pada Akal Sehat (Duties are Based
on Common Sense)
Pendekatan ini didasari oleh asumsi bahwa sifat dari
suatu tindakan yang dilakukan digunakan untuk
menentukan apakah tindakan itu benar atau salah secara
moral. Hal tersebut dapat ditentukan dengan terlibat
dalam argumen rasional, menggunakan intuisi, atau
dengan mengikuti suara hati nurani seseorang. Suatu
tindakan akan dianggap benar atau etis jika logis atau
dapat diterima akal sehat.Subteori ini membangun
disparitas dalam organisasi karena satu tindakan
menampilkan dua sisi yang bertentangan, yaitu sisi positif
dan sisi negatif.Jika orang-orang di dalam organisasi
berpikir positif maka akan membangun efektivitas
organisasi, akan tetapi jika orang-orang berpikir negatif
maka akan menurunkan efektivitas organisasi. Kefektifan
organisasi menjadi konsekuensi pemikiran atau mindset
anggota organisasi.
80
6. Tugas diprakarsai oleh Kontrak Sosial
Keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh
seseorang berdasarkan kemufakatan secara lisan atau
tulisan.Kemufakatan orang-orang dalam lingkup
organisasi merupakan sebuah kontrak yang mengikat
meskipun hanya secara lisan.Keputusan atau tindakan
dianggap benar atau etis jika mengikuti kemufakatan yang
telah diputuskan bersama. Setiap orang harus
menempatkan diri sebagai orang lain ketika memutuskan
sesuatu, dengan pertanyaan “apakah saya akan
memutuskan sesuatu yang sama jika saya menjadi orang
lain ?.”
7. Etika Moralitas (Virtue Ethic)
Teori etika moralitas disebut juga teori karakter
moralitas, yang menekankan kebajikan sebagai ukuran
kualitas individu untuk menjalani kehidupan yang baik,
mulia atau bahagia. Kebajikan sebagai disposisi untuk
memilih sesuai dengan aturan, yaitu aturan yang
dengannya manusia berbudi luhur dengan wawasan moral
yang melekat. Teori ini menekankan sifat-sifat atau
karakter seseorang, yang telah terbangun dalam jangka
waktu yang lama. Karakter terbentuk dari kebiasaan-
kebiasaan dan kebiasaan-kebiasaan terbentuk dari
kecenderungan pemikiran, sikap dan tindakan yang
berulang.
Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan, maka
terbangun kehati-hatian dalam memutuskan atau tindakan
yang harus diambil seseorang terutama di dalam
pekerjaannya. Terintegrasinya keseluruhan teori yang yang
81
dipertimbangkan dan diimplementasikan seseorang dalam
pekerjaan akan memperkuat etos kerja seseorang. Etos kerja
menjadi sebuah motif, alasan, seseorang dalam melakukan
tindakan, bahkan sadar atau tidak sadar seseorang akan
mengambil keputusan atau tindakan sesuai dengan teori-teori
tersebut.
Seseorang yang memiliki etos kerja, akan terlihat
pada sikap dan tingkah lakunya dalam bekerja. Berikut ini
adalah beberapa ciri-ciri etos kerja: (1) kecanduan terhadap
waktu. Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah
cara seseorang menghayati, memahami, dan merasakan
betapa berharganya waktu. Dia sadar waktu adalah netral
dan terus merayap dari detik ke detik dan dia pun sadar
bahwa sedetik yang lalu takakan pernah kembali kepadanya,
(2) memiliki moralitas yang bersih (ikhlas). Salah satu
kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya
kerja adalah nilai keihklasan. Karena ikhlas merupakan
bentuk dari cinta, bentuk kasih sayang dan pelayanan tanpa
ikatan. Sikap ikhlas bukan hanya output dari cara dirinya
melayani, melainkan juga input atau masukan yang
membentuk kepribadiannya didasarkan pada sikap yang
bersih, (3) memiliki kejujuran. Kejujuran pun tidak datang
dari luar, tetapi bisikan kalbu yang terus menerus mengetuk
dan membisikkan nilai moral yang luhur. Kejujuran
bukanlah sebuah keterpaksaan, melainkan sebuah panggilan
dari dalam sebuah keterikatan, (4) memiliki komitmen.
Komitmen adalah keyakinan yang mengikat sedemikian
kukuhnya sehingga terbelenggu seluruh hati nuraninya dan
kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu yang
82
diyakininya. Dalam komitmen tergantung sebuah tekad,
keyakinan, yang melahirkan bentuk vitalitas yang penuh
gairah dan (5) kuat pendirian (konsisten). Konsisten adalah
suatu kemampuan untuk bersikap taat asas, pantang
menyerah, dan mampu mempertahankan prinsip walau harus
berhadapan dengan resiko yang membahayakan
dirinya.Mereka mampu mengendalikan diri dan mengelola
emosinya secara efektif.102
Sinamo menyatakan ada delapan etos kerja
profesional menjelaskan cara menumbuhkan etos kerja
sebagai berikut: (1) kerja sebagai rahmat (aku bekerja tulus
penuh rasa syukur), (2) kerja adalah amanah (aku bekerja
penuh tanggung jawab), (3) kerja adalah panggilan (aku
bekerja tuntas penuh integritas), (4) kerja adalah aktualisasi
(aku bekerja keras penuh semangat), (5) kerja adalah ibadah
(aku bekerja serius penuh kecintaan), (6) kerja adalah seni
(aku bekerja cerdas penuh kreativitas), (7) kerja adalah
kehormatan (aku bekerja penuh ketekunan dan keunggulan)
dan (8) kerja adalah pelayanan (aku bekerja paripurna penuh
kerendahan hati).103
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian etos
kerja dalam kajian ini adalah sikap yang ditunjukkan
seseorang yang merupakan totalitas kepribadian dirinya
dalam mengekspresikan, memandang, meyakini dan
memberikan makna pada sesuatu, yang mendorong dirinya
untuk bertindak dan bekerja secara optimal. Adapun
102http://www.kajianpustaka.com,
103Sinamo, Jansen H. Etos Kerja Profesional Navigator Anda
Menuju Sukses. Jakarata: PT Spirit Mahardika, 2011, p. 135.
83
indikator etos kerja meliputi: 1) kerja secara tulus, 2) kerja
bertanggungjawab, 3) ketuntasan kerja (integritas), 4)
semangat kerja, 5) mencintai pekerjaan, 6) kreativitas kerja,
7) ketekunan kerja, 8) orientasi prestasi kerja dan 9) kerja
adalah pelayanan.
Aspek-aspek Etos Kerja pegawai dapat dilihat dari
berbagai segi, yaitu:104
1. Disiplin yang tinggi
Seseorang yang memilki Etos Kerja yang tinggi akan
bekerja giat dan dengan kesadaran mematuhi peraturan-
perturan yang berlaku.
2. Kualitas untuk bertahan
Orang yang memiliki Etos Kerja tinggi, tidak mudah
putus asa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran yang
timbul dalam pekerjaannya. Hal ini berarti bahwa orang
tersebut mempunyai energi dan kepercayaan untuk
memandang masa yang akan datang dengan baik. Hal ini
dapat meningkatkan kualitas seseorang untuk bertahan.
3. Kekuatan untuk melawan frustasi
Seseorang yang memiliki Etos Kerja tinggi tidak memiliki
sikap yang pesimistis apabila menemui kesulitan dalam
pekerjaannya.
4. Semangat berkelompok
Adanya Etos Kerja membuat pegawai lebih berpikir
sebagai “kami” daripada sebagai “saya”. Mereka akan
104 Maria Hangin, 2017, Pengaruh Pemberian Insentif Dan
Motivasi Terhadap Semangat Kerja Pegawai Di Dinas Kebudayaan,
Pariwisata Dan Kominfo Kota Samarinda, (eJournal Pemerintahan
Integratif, 5 (2)), p. 197
84
saling tolong menolong dan tidak bersaing untuk saling
menjatuhkan.
Ada beberapa cara untuk meningkatkan Etos Kerja
pegawai. Caranya dapat bersifat materi maupun non materi,
seperti antara lain :105
1. Gaji yang sesuai dengan pekerjaan.
2. Memperhatikan kebutuhan rohani.
3. Sekali-kali perlu menciptakan suasana kerja yang santai
yang dapat mengurangibeban kerja.
4. Harga diri pegawai perlu mendapatkan perhatian.
5. Tempatkan para pegawai pada posisi yang tepat.
6. Berikan kesempatan pada mereka yang berprestasi.
7. Perasaan aman menghadapi masa depan perlu
diperhatikan.
8. Usahakan para pegawai memiliki loyalitas dan
keperdulian terhadap organisasi.
9. Sekali-kali para pegawai perlu diajak berunding untuk
membahas kepentingan bersama.
10. Pemberian insentif yang terarah dalam aturan yang jelas.
11. Fasilitas kerja yang menyenangkan yang dapat
membangkitkan gairah kerja.
B. Kerjasama Tim
Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang
defenisi dari kerjasama tim diantaranya Hayes, kerjasama
tim adalah kelompok dari orang yang bekerjasama untuk
105 Yordy Wisnu Kusuma, 2016, Pengaruh Motivasi Kerja dan
Insentif Terhadap Semangat Kerja Karyawan CV. F.A Management,
Jurnal Ilmu dan Riset Manajemen. Volume 5, Nomor 2. h. 5
85
mencapai tujuan. Ini dapat diartikan menyelesaikan tugas
dengan baik.106 Madux mengemukakan kerjasama tim adalah
kerjasama dari anggota tim yang mengenal dan mengakui
interdependensi dan memahami tujuan anggota dan tim.107
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa kerjasama tim adalah
kerjasama anggota berdasarkan atas kepercayaan dan
mendorong ide-ide, pendapat, dan ketidak setujuan secara
terbuka, jujur dalam berkomunikasi. Pendapat lain
mengemukakan bahwa kerjasama tim adalah kerja keras,
membutuhkan tingkat kesadaran tinggi, komitmen,
pengetahuan, kerukunan dan waktu.108 Barter menyatakan,
kerjasama tim adalah kerjasama yang berhubungan terhadap
usaha secara terus melakukan perbaikan (continuous
improvement) termasuk perubahan proses untuk dapat
mengurangi kesalahan dan mempercepat p produksi.109
Willie menyatakan, kerjasama tim adalah setiap orang
mempunyai hak untuk didengar, meskipun perjalanan dari
pimpinan informal mungkin mempunyai nilai bobot
tambahan, pada tahap akhir seorang pemimpin harus
memutuskan masalah kepada anggota tim yang lebih
kompeten untuk menyelesaikannya.110
Menurut Sharpen, kerjasama tim adalah kerjasama
106Nicky Hayes. Successful Team Management. London:
International Thomson Business Press, 1997, p. 56.
107 Robert B. Modux. Team Building on Exercise in
Leadership.London, Kogan Page Limited, 1996, p. 11.
108Hank William.The Essence of Managing Group and
Team.Europe: Prentice-Hall, 1996, p. 20.
109 Stephen Barter. Renaissance Management.United Kingdom,
Kogan Page Limited, 1999, p. 178.
110 Edgar Willie.Quality Achievement Escellence.Australia,
Random House, Ltd., 1992, p. 52.
86
yang dibentuk untuk mencapai tujuan, mereka mempunyai
bagian dari tugas-tugas yang diberikan, untuk membuat tim
lebih kohesive dan bagaimana mereka akan kerja bersama.111
Menurut Blanchard, Carew & Carew, kerjasama tim adalah
kerjasama yang didasarkan atas tahu atas apa yang harus
dikerjakan, tujuan tim jelas, setiap orang mempunyai rasa
tanggung jawab, setiap orang memberikan partisipasi aktif,
merasa dihargai dan mendapat dukungan dari anggota tim
yang lain, anggota tim mau mendengar anggota yang lain
ketika ia berbicara, menghargai pendapat anggota tim dan
senang bekerjasama.112 Kerjasama tim memungkinkan
terjadinya banyak ide-ide yang masuk yang mana hal ini
akan merupakan kunci untuk bergerak dari suatu kontrol
kepada komitmen.113
Menurut Moran, Musselwhite & Zengar, kerjasama
tim adalah kerjasama kelompok yang dipekerjakan untuk
mencapai tujuan organisasi. Lebih lanjut dikemukakan ada 4
(empat) bentuk tim yang cocok dalam organisasi dewasa ini
yaitu: (a) intrafuctional teams, (b) problem solving team, (c)
cross functional teams dan (d) self directed work teams. 114
Lebih lanjut Moran, Musselwhite & Zengar menjelaskan ke
empat bentuk tim tersebut, sebagai berikut: 1)
111 Di Kamp, Sharpen. Your Team Skill in People Skill, England:
McGraw Hill, Publishing Company, 1996, p. 19.
112 Kenneth Blanchard, Donal Carew and Eunice Parisi
Carew.The One Minute Manager Build High Performing Team (London:
Harper Collins Publisher, 1992, p. 20.
113 Stephen Protecter, Frank Muller. Team Working. London :
MacMillan Press Ltd., 2000, pp. 3-4.
114 Linda Moran, Ed Musselwhite, John H Zenger. Keeping
Teams on Track.Chicago : Irwin Professional Publishing, 1996, pp. 14
87
intrafunctional teams, yang memungkinkan orang membagi
informasi dan pengalaman terbaiknya, tim ini membuat
keputusan tentang tugas sehari-hari yang mereka lakukan,
proses yang mereka pergunakan dan tantangan yang mereka
hadapi dalam bidang fungsionalnya, 2) problem solving
teams, tim yang membawa anggota bersama secara
temporary untuk menangani masalah khusus dan memberi
solusi penyelesaiannya, biasanya keputusan tetap berada
pada manajemen, 3) cross functional teams, yaitu anggota
tim yang biasanya secara tipikal memberi fokus pada proses
improvement, tim ini akan membawa anggotanya dari devisi
yang bersilang dari organisasi (a cross the organization), tim
membuat keputusan tentang bagaimana mengurangi
cycle time dengan menghilangkan langkah-langkah yang
tidak memberi nilai tambah, mereka merekomendasikan
bagaimana alur pekerjaan sebaiknya diikuti dan mereka
mencari bagaimana mengurangi variansi/ketidakcocokan dan
mengurangi kesalahan-kesalahan, tim ini mempunyai
approval/persetujuan dari manajemen dan diberi wewenang
untuk menerapkan terhadap perbaikan dari proses kerja dan
4) cross function process improvement team biasanya
kelompok kerja yang secara berkesinambungan memonitor
proses dan membuat improvement secara regular.
Self directed work teams, tim ini mempunyai aktivitas
untuk membuat kebijaksanaan terhadap operasi sehari-hari,
tentang bagaimana mereka mencapainya dan bagaimana
mereka bisa melakukan perbaikan-perbaikan, tim ini
biasanya dibentuk setelah proses ditentukan dan tugasnya
adalah mengurangi aktivitas yang tidak mempunyai nilai
88