KOLEKSI TULISAN
HAMID FAHMI
ZAKARSYI
Koleksi Simpanan Cikgu Ridhwan
mahasiswamenggugat.blogspot
“Dari Cak Nur ke Gus Hamid”
Sabtu, 31 Maret 2012 - 17:12 WIB
Tidaklah berlebihan kita berkesimpulan, Era Sekularisasi Nurcholish Madjid sudah memasuki masa senja
Oleh: Dr. Adian Husaini
TAHUN 1973, Cak Nur (Dr. Nucholish Madjid) menggebrak dunia pemikiran Islam Indonesia dengan
gagasan yang menggoncang nalar umat: Islam perlu disekularisasi. Saat itu, 3 Januari 1973, Cak Nur
memaparkan makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi
Umat.”
Dalam disertasinya di Monash University Australia – yang diterbitkan oleh Paramadina dengan judul
“Gagasan Islam Liberal di Indonesia” (1999) – Dr. Greg Barton menyebutkan, bahwa melalui makalahnya
tersebut, Nurcholish dihadapkan pada satu dilema dalam tubuh umat. Di satu sisi, menurut Nurcholish,
masyarakat Muslim harus menempuh arah baru, namun di sisi lain, arah baru tersebut berarti
menimbulkan perpecahan dan mengorbankan keutuhan umat. Kata Cak Nur dalam makalahnya: “…
pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri
dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau
orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa
depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini…”
Menurut Nurcholish Madjid, ada tiga proses yang harus dilakukan dan saling kait-mengait: (1)
sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) ‘Gagasan mengenai kemajuan’ dan ‘Sikap Terbuka’. Jadi,
Nurcholish Madjid sendiri pada tahun 1970 sudah menggunakan istilah ”liberalisasi” untuk proyek
Pembaruan Islam-nya. Karena itu, bisa dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis di
mulai pada awal tahun 1970-an.
Selama empat dekade, gagasan Nurcholish Madjid terus dipertahankan. Sebagian, bahkan mensakralkan
gagasan sekularisasi. Sudah banyak ulama dan cendekiawan Muslim mengkritisi gagasan sekularisasi.
Mohammad Natsir, Prof. HM Rasjidi, Endang Saefuddin Anshari, Ridwan Saidi, Abdul Qadir Djaelani,
adalah diantara sederet tokoh dan cendekiawan Muslim yang secara tajam mengkritisi gagasan
sekularisasi Cak Nur. Puluhan cendekiawan lain pun telah angkat pena secara tajam.
Kritik tajam, mendasar, dan sistematis terhadap gagasan sekularisasi telah diberikan oleh Prof. Syed
Muhammad Naquib al-Attas, melalui bukunya, Islam and Secularism, sejak awal 1980-an. Tahun 2010,
Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta menerbitkan bukunya yang
berjudul Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam.
Tahun 1995, Faisal Ismail, menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada.
Meskipun sudah begitu banyak cendekiawan yang mengkritisi Nurcholish Madjid, tetapi nama dan
pemikiran Cak Nur tetap saja dikibarkan dan disakralkan. Berbagai acara ritual tahunan bahkan digelar
untuk mengenang dan melestarikan gagasannya. Karena merupakan alumnus Pesantren Modern Gontor
Ponorogo, nama Cak Nur terkadang diidentikkan dengan Pesantren Gontor Ponorogo.
Jika ditelaah, gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid memang mengadopsi pemikiran sekularisasi dalam
dunia Kristen yang sebelumnya sudah dilontarkan oleh Harvey Cox melalui buku terkenalnya, The
Secular City. Menurut Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika,
pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from
religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards
this one).
Pengaruh buku Harvey Cox ini sangat besar, melintasi batas-batas negara. Di Yogyakarta, sekelompok
aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat
terpengaruh oleh “The Secular City” nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam diskusi itu adalah
Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. (Lihat, Karel Steenbrink, “Patterns of Muslim-
Christian Dialogue in Indonesia, 1965-1998”, dalam Jacques Waardenburg, Muslim-Christian Perceptions
of Dialogue Today, (Leuven:Peeters, 2000), hal. 85).
Dalam artikelnya tersebut, Steenbrink menggunakan redaksi “The book The Secular City by Harvey Cox
had a great impact in these young students.” Dalam Catatan Hariannya, Ahmad Wahib menulis: “Sejauh
yang aku amati selama ini, agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia.
Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita sekularkan. Padahal, sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak
bagi kita kalau kita tidak ingin sekularistis.” Wahib adalah anak asuh Romo Willenborg dan Romo H.C.
Stolk SJ. (Lihat, Djohan Efendi & Ismet Natsir Ahmad (ed), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian
Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2003, cet ke-6), hal. 37-41, 79).
Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu berkembang. Ahmad Wahib hanya menulis catatan Harian
yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu
kuat pengaruhnya. Pengaruh Cox baru tampak jelas pada pemikiran Nurcholish Madjid yang ketika itu
menjadi ketua umum satu organisasi mahasiswa Islam.
Sejak awal mula, pemikiran Nurcholish Madjid ini menimbulkan kehebohan. Meskipun pernah dijuluki
sebagai “Natsir muda”, tetapi Mohammad Natsir sendiri mengaku kecewa dengan gagasan sekularisasi
Nurcholish Madjid. Dilaporkan, dalam sebuah pertemuan di kediamannya, pada 1 Juni 1972, M. Natsir
mengungkapkan kerisauannya akan gagasan Pembaharuan yang ingin “menjauhkan diri dari “cita-cita
akidah dan umat Islam.” (Lihat, Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan
Muslim (Ciputat: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), hal. 155-156. Buku ini diterjemahkan oleh Ahmadie
Thaha, dari judul aslinya “Muslim Intellectual Response to “New Order” Modernization in Indonesia,
yang merupakan disertasi doktor Kamal Hassan di Columbia University, AS.
Respon yang sangat keras terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid juga diberikan oleh tokoh
DDII, Prof. Dr. HM Rasjidi. Tahun 1972, Rasjidi menulis buku Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu
Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Jajasan Bangkit). Setahun kemudian, Rasjidi
kembali menulis buku berjudul Suatu Koreksi Lagi bagi Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973).
M. Natsir juga pernah memberikan pesan khusus kepada para cendekiawan Muslim Indonesia, seperti
Amien Rais dkk., tentang bahaya sekularisasi:”Di tahun tujuh-puluhan kita ingat adanya ”gerakan
sekularisasi” dalam rangka apa yang mereka sebut ”pembaharuan” Islam. Demikian pula yang terjadi
akhir-akhir ini, ada ”reaktualisasi” ada ”kontekstualisasi”, dan sebagainya. Jadi memang ada usaha aktif.
Proses sekularisasi ini amat nyata terutama dalam sistem pendidikan kita. Pelajaran atau pemahaman
agama diberikan bukan saja dalam content yang terbatas, tetapi diberikannya pelajaran lain yang isinya
mengaburkan atau bahkan bertentangan dengan tujuan mendidik manusia religius. Proses sekularisasi
juga menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik dalam bentuk buku-buku maupun tulisan.
Dalam kaitan ini saya mengajak pada para intelektual muslim khususnya untuk memikirkan bagaimana
menghadapi arus sekularisasi ini, baik yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja.” (A. Watik
Pratiknya (ed.), Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (Jakarta-Yogya: Dewan
Da’wah Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989)
****
Kini, setelah empat dekade gelombang sekularisasi yang dimotori Cak Nur dan kawan-kawan digulirkan
dan sebagiannya bahkan sengaja dilestarikan, — atas kehendak dan izin Allah – tampillah sosok unik di
pentas pemikiran dan dakwah Islam Indonesia, bahkan dunia internasional. Sosok itu adalah Dr. Hamid
Fahmy Zarkasyi.
Selama beberapa tahun terakhir, tampilnya putra pendiri Pesantren Gontor Ponorogo di pentas
pemikiran Islam telah memberikan tawaran baru yang berlawanan dengan gagasan sekularisasi Cak Nur.
Dr. Hamid F. Zarkasyi (Gus Hamid) bukan saja mengkritisi pemikiran Cak Nur, tetapi juga menawarkan
gagasan besar yang sedang melaju kencang di dunia Islam, yaitu Islamisasi Ilmu.
Selama tahun 2004, masyarakat sudah mulai mengenal pemikiran Gus Hamid melalui rubrik Prolog dan
Epilog di Jurnal (Majalah) ISLAMIA. Dalam catatan Redaksi ISLAMIA, kolom Gus Hamid merupakan kolom
yang paling banyak diminati pembaca. Kemudian, sejak tahun 2009, INSISTS menjalin kerjasama degan
Harian Republika untuk menerbitkan Jurnal Pemikiran Islam, Islamia-Republika, yang terbit bulanan,
setiap hari Kamis pekan ketiga.
Di Jurnal Islamia versi koran yang terbit empat halaman ini, Gus Hamid juga menulis kolom tetap yang
diberi nama MISYKAT. Gagasan-gagasannya tentang de-sekularisasi, de-westernisasi, dan Islamisasi,
secara konsisten mewarnai berbagai tulisannya. Uniknya, kolom MISYKAT Gus Hamid di Harian
Republika ini tercatat sebagai kolom yang paling diminati pembaca. Survei Litbang Harian Republika
tahun 2010 menunjukkan, Jurnal Islamia-Republika, merupakan rubrik non-berita yang paling banyak
dibaca oleh pembaca Republika.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa saat ini, Gus Hamid merupakan sala satu dari deretan
kolomnis terbaik saat ini. Dan kini, kumpulan artikel dan berbagai tulisannya yang tersebar di beberapa
media, telah dihimpun dalam satu buku berjudul “MISYKAT: ISLAM, WESTERNISASI, DAN LIBERALISASI
(JAKARTA: INSISTS, 2012).
Membaca beberapa karya Gus Hamid, khususnya buku Misykat ini, tidaklah berlebihan jika kita
berkesimpulan, bahwa Era Sekularisasi Nurcholish Madjid sudah memasuki masa senja. Kini, insyaAllah,
dunia pemikiran Islam Indonesia sedang memasuki gairah dan era baru: Era Islamisasi Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi.
Singkatya: Era Cak Nur telah berganti menjadi Era Gus Hamid. InsyaAllah,… Allahu Akbar!.*
Islamic Worldview dan Peradaban Islam
Sabtu, 25 Maret 2017 - 14:19 WIB
Dengan merealisasikan Islam worldview, mudah-mudahan akan melahirkan semangat dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan Islam yang berbuah kedamaian, kesejahteraan dan peradaban Islam
Oleh: Fakhrurrazi
KENAPA negara Islam sekarang pudar eksistensinya dalam skala ilmu pengetahuan dunia? Padahal Islam
adalah suatu ajaran yang sangat konsen dan menyeru umatnya untuk mencari ilmu, megangkat derajat
orang yang beriman dan yang memiliki ilmu pengetahuan (QS. Al-Mujadalah: 11).
Dengan ilmu pula manusia (Nabi Adam ‘Alaihissalam) lebih mulia dan tinggi derajatnya dari pada
makhluk lain tak terkecuali malaikat sekalipun. Lalu dimanakah letak kemuliaan itu sekarang, Ironisnya,
dewasa ini yang terjadi pada umat Islam di seantero bumi sana adalah penyerangan, pembantaian umat,
pertikaian antar ideologi notabennya juga dalam tubuh umat Islam sendiri dan pada akhirnya
melahirkan peperangan dalam satu aqidah. Sekali lagi, dimanakah letak “Kewibaan umat Islam ?”
Negara Islam hari ini jika boleh dikatakan seperti anak ayam yang kehilangan Induknya, walaupun
sebagian ahli berpendapat kemunduran umat Islam dikarenakan banyak faktor diantaranya; ada faktor
eksternal dan internal, namun faktor tersebut tidak penulis bahas disini. Karena yang harus dipahami
oleh umat Islam sekarang adalah bagaimana caranya memulai dan membangkitakan kembali marwah
Islam kepentas dunia, yaitu dengan mengusung trilogi; mencipta kedamaian umat, memberikan
kesejahteraan dan melahirkan peradaban.
Baca: Membangun Indonesia dengan Worldview Islam
Kondisi ini menggiring kita yang satu aqidah turut berduka dan ikut mencari solusi, apa yang salah
dengan Islam sekarang hingga bisa terjadi hal-hal yang disebutkan di atas. Menurut Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi, kondisi ini terjadi antara lain, karena ketegangan sosial atau kekacauan politik, ekonomi,
pendidikan, budaya dan lain sebagainya. Artinya Pembangunan Ilmu Pengetahuan Islam dalam
melahirkan masyarakat yang sehat dan beradab sedang dalam masalah. Terus sebenarnya siapa yang
salah, apakah konsep Islam, ataukah orang Islam yang mungkin sudah jauh dan keliru dalam memahami
Islam yang sebenarnya.
Konsep Islam
Dalam Hal ini penulis ingin mengulas kembali pemikiran Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, seorang cendikiawan
muslim Indonesia yang menaruh perhatian terhadap belantika pemikiran dan peradaban Islam.
Sebelumnya, Penulis ingin memulai dengan ungkapan seorang Ilmuwan besar dunia Albert Einstein
“Ilmu tanpa agama buta, Agama tanpa Ilmu lumpuh”.
Artinya agama dan Ilmu seperti salah satu sisi mata uang yang saling mengikat dan memberi makna,
hubungannya tak saling terpisahkkan, ia tereduksi dalam “konsep Islam”. Dalam Islam tidak dikenal
pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan. Karena agama dalam Islam bersumber dari wahyu (al
Quran) yang berbicara tentang ilmu dan kebermanfaatan ilmu kepada manusia. Agama Islam memberi
label kepada manusia sebagai khalifah fil ardh (perwakilan Tuhan) dibumi, bumi yang harus dikelola
dengan baik dan dapat memberikan kesejahteraan kepada alam sendiri dan kepada sesama manusia.
Meskipun petunjuk hidup (Al Quran) telah diwahyukan, namun dewasa ini kemauan untuk mempelajari
kandungan Alquran secara mendalam dan kritis miris sangat kurang, hal ini dapat kita lihat apakah
disekolah maupun diperguruan tinggi. Akibatnya kekacauan negara-negara Islam sekarang adalah
karena telah meninggalkan Al Quran (agama Islam).
Posisi Ilmu Pengetahuan Islam
Padahal jika kita lihat secara historis, perkembangan ilmu pengetahuan yang berperadaban di Jazirah
Arab (Kekhalifahan Bani Umayyah I 661-750 M dan Abbasiyah 750-1258 M) dan Eropa, (Umayyah II 929-
1031 M dan Kekhalifahan Turki Ustmani 1453-1924 M) adalah dengan menginternalisasikan nilai-nilai
agama dalam setiap aktifitas kehidupan sehingga peradaban Islam muncul kepentas dunia. Sebab agama
dalam Islam bisa melahirkan ilmu dan ilmu bisa melahirkan peradaban.
Maksudnya penerapan dari nilai-nilai agama dikejawantahkan dalam kehidupan (Ilmu) atau komunitas
masyarakat hingga melahirkan tradisi keilmuan. Wahai para pembaca yang budiman, agama di sini
jangan dipahami secara sempit yang hanya berkutat pada ibadah-ibadah pribadi tapi pahamilah agama
Islam secara betul dan universal yang pernah dibawa dan disampaikan oleh baginda Nabi.
Hakikat dari disiplin ilmu menurut Imam Ghazali terklasifikasi dalam dua bagian yaitu Ilmu Ainiyah (fikih,
tauhid, tasawuf; baca penjelasan ulama) dan kifayah (kedokteran, ekonomi, sains dan teknologi dan
sebagainya) pembagian ini jangan dilihat secara dikotomis namun lihatlah sebagai kesatuan ilmu yang
berasal dari Ilahi. Agama Islam masuk dalam segala sektor kehidupan, mulai dari masalah teologi, politik,
sains, militer, ekonomi dan seterusnya dengan matarantai ilmu pengetahuan seperti ini sehingga
terbentuklah peradaban dalam suatu komunitas, wilayah atau negara.
Agama dan Peradaban
Dalam salah satu karya Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi yaitu “Tamaddun Sebagai Konsep Peradaban Islam”,
ditulis bahwa peradaban Islam akan muncul kembali dengan menghadirkan agama Islam sebagai konsep
Islam rahmatan lilalamiin dalam jiwa umat Islam, kenapa karena interpretasi agama dalam Islam (ad-
Dinul Islam) adalah agama yang di dalamnya kaya dengan strategi, cara, aturan-aturan, pedoman,
undang-undang, kenyamana, kejayaan dan peradaban.
Pengakuan Gutas bahwa peradaban Islam “disusun sesuai dengan agama yang diwahyukan kepada
Muhammad”, Islam adalah bukti bahwa peradaban Islam disusun berdasarkan din Islam, dan karena itu
sangat sesuai disebut sebagai peradaban. Di dalam peradaban itu terdapat kedamaian (Demitris Gutas,
Greek Thought, Arabic Culture, 1988).
Ketika menjalankan agama Islam dengan benar dan universal maka akan menciptakan peradaban yang
dapat mensejahterakan penghuni pada tempat tersebut. Agama Islam adalah agama yang bersumber
dari wahyu tuhan berisi anjuran, larangan dan pedoman kehidupan diwahyukan kepada nabi
Muhammad dan pada akhirnya dikodifikasikan dalam bentuk kitab suci Alquran. Jadi Alquran itu adalah
wahyu dari tuhan sebagai bentuk petunjuk dalam menjalankan kehidupan.
Secara Epistimologi isi dari alquran itu sendiri sangat kompleks dalam menginterpretasikan dunia dan
akhirat, maka dari itu beragama Islam dalam arti yang benar adalah suatu keniscayaan dalam membina
hidup dan bisa mengelola bumi ini dengan baik. Apabila umat Islam sudah jauh meninggalkan agama
maka kehidupan akan kacau tak berarah, maka terjadilah ketimpangan-ketimpangan yang sebenarnya
secara naluriyah tidak diinginkan oleh manusia.
Baca: Akidah Ahlus Sunnah adalah Asas dari Worldview Islam
Hal ini pernah diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, “jika umat telah jauh dan
meninggalkan agama maka akan timbul ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan akibatnya
terjadilah pembunuhan, korupsi, perjudian, keserakahan dan perbuatan amoral lainya.”
Maka untuk menjawab tindakan amoral dan re-peradaban Islam, konsep yang ditawarkan oleh Hamid
Fahmy Zarkasyi dan sama pula seperti gurunya Prof. Naquib Al Attas yaitu dengan kembali kepada Islam
worldview.
Worldview adalah falsafah atau prinsip dalam berkehidupan dan asas bagi pemahamam realitas.
Menurut Ilmuwan Muslim Syekh Atif al-Zayn, pandangan hidup Islam ada tiga macam 1) ia berasal dari
wahyu Allah, 2) berdasarkan konsep din yang tidak terpisah dari negara, 3) kesatuan antara spiritual dan
material (sosial, budaya, ekonomi) (Syekh Atif al-Zayn, al-Islam wa Idulujiyyat al-Insan, 1989).
Berdasarkan pandangan Syekh Atif, bahwa Islam worldview/pandangan hidup Islam ini melibatkan
aktifitas epistimologi manusia kepada Tuhan sebab ia merupakan faktor penting dalam aktifitas
penalaran manusia baik pada sosial, realitas dan aktifitas ilmiah.
Islam Worldview
Maka hal yang paling utama yang harus diperhatikan dalam membangun peradaban umat adalah cara
pandang terhadap Islam. Artinya pandangan umat Islam harus menggunakan pandangan atau cara
berpikir yang berasas Islam, menghadirkan Islam dalam semua lini kehidupan baik Politik, Ekonomi,
Pendidikan, Sains dan sektor-sektor lainnya. Sebab Islam yang bersumber dari Alquran membahas
secara universal tentang politik. Tatanan pemerintahan yang sesuai agar bisa menjalankan syariat,
bagaimana menata kehidupan yang baik dan wilayahnya bisa berdaulat dan bermartabat juga rakyatnya
bisa sejahtera. Begitu juga pendidikan, ekonomi, budaya dan sebagainya. Semua itu diserahkan kepada
umat Islam berdasarkan penjelasan orang yang ‘alim atau ulama sebagai orang yang lebih senior atau
profesional dalam hal pengartian dan interpretasi makna-makna Alquran. Hal ini seperti yang berlaku
diperguruan tinggi di mana para sarjana muda tentu merujuk kepada karya-karya ilmiah sang profesor
yang menguasai secara mendalam disiplin ilmu masing-masing.
Mengubah Islam worldview/framework atau cara pandang umat kepada cara pandang Islam (prinsip
Islam) adalah kunci bangkitnya peradaban Islam. Sebab peradaban itu muncul dari pandangan yang
melahirkan tindakan dan berbuah Ilmu Pengetahuan. Hal ini sama ketika nabi berdakwah di Makkah, Hal
pertama yang diperkenalkan nabi kepada umatnya ialah dengan memantapkan cara pandang kepada
Allah, bertauhid yang benar, bagaimana beriman kepada hari kiamat, malaikat dan sebagainya.
Singkatnya di awal periode Mekkah yang diajarkan nabi kepada umat adalah memposisikan cara
pandang/berpikir yang benar tentang nilai-nilai teologi dan ketuhanan. Setelah mantap dengan
worldview Islam kepada Tuhan dengan menghadirkan nilai-nilai Ilahiyah dalam segala sektor kehidupan
maka inilah awal dari kebangkitan keilmuan Islam dan peradaban.
Baca: Pakar: Sejarah Mencatat, Peradaban Islam Membawa Kemajuan
Peradaban Islam adalah peradaban yang dibangun oleh ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan dari
pandangan hidup Islam. Menurut Dr. Hamid, pemikiran yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat
adalah intelektual. Ia berfungsi sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap ide dan pemikiran
tersebut. Bahkan perubahan di masyarakat ditentukan oleh ide dan pemikiran para intelektual. Ini
bukan sekedar teori tapi fakta yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam.
Di Barat ide-ide para pemikir, seperti Descartes, Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel, John Dewey, Adam
Smith dan sebagainya adalah pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dan merubah pemikiran
masyarakat. Demikian pula dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para ulama seperti Imam Syafii,
Hanbali, Imam al-Ghazzali, Ibn Khaldun, Ibn Rusy mempengaruhi cara berfikir masyarakat dan bahkan
kehidupan mereka. Jadi membangun peradaban Islam harus dimulai dengan membangun pemikiran
umat Islam, meskipun tidak berarti kita berhenti membangun bidang-bidang lain.
Artinya, pembangunan ilmu pengetahuan Islam yang berasas dari cara pandang Islam hendaknya
dijadikan prioritas bagi seluruh gerakan Islam. Walhasil dengan merealisasikan Islam worldview dalam
sanubari umat Islam, mudah-mudahan akan melahirkan semangat dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan Islam. Berbuah kedamaian, kesejahteraan dan peradaban Islam yang kita cita-citakan
Amin. Waallahu ‘alam bishawab.*
Penulis mahasiswa Program Magister Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta Jawa Tengah
Membangun Indonesia dengan Worldview Islam
Sabtu, 24 Desember 2011 - 09:02 WIB
Rasulullah sering tidur malam demi malam sedang keluarganya berbalik-balik di atas tempat tidur
karena kelaparan
Oleh: Mohammad Hamdi
DI TENGAH tengah hiruk-pikuk perpolitikan khususnya di Indonesia seperti sekarang ini, para penguasa
bukan lagi menampilkan wajah agama di atas tahta kekuasaannya sehingga yang terjadi bangsa ini
dibawa pada titik gelap persoalan kebangsaan yang tidak berujung pangkal.
Bahkan pergantian kepemimpinanpun tidak memberikan tawaran yang lebih menarik ditimbang
persediaan kita untuk menanti datangnya keajaiban kecil, sehingga bangsa ini mampu bangkit dari
keterpurukannya.
Sebab bangsa ini telah mengalami krisis kepercayaan yang begitu kompleks pada seluruh aspek dan
ranah kehidupan yang ada. Itulah fakta dari sebuah sejarah yang meninggalkan jejak luka dan trauma
yang mendalam.
Mungkin kita telalu lama dijajah atau belum siap menghadapi pertarurang maha dasyat dunia global
(yang boleh jadi sangat kejam) seperti sekarang ini.
Ketika seorang pemilik koran besar seperti Dahlan Islam diangkat menjadi Menteri BUMN, tiba-tiba
banyak orang terkaget-kaget karena sang menteri bisa naik-turut kereta murah (KRL) dan blusukan naik
ojeg.
Masyarakat, pejabat, protokoler, rupanya tidak biasa dengan sidak mendadak gaya sang menteri yang
sederhana dan mengejutkan seperti itu. Mengapa demikian? Bukankah Dahlan Islam seorang wartawan
yang memang dari “sana nya” sudah terbiasa dengan kegiatan tanpa protokoler?
Mungkin, jawaban sementara bisa ditebak. Karena kita dan para pejabat menempatkan jabatan itu
adalah anugrah yang layak diperebutkan. Sehingga menjadi sesuatu yang prestise (istimewa). Boleh jadi
karena kelamaan menjadi miskin, saat berkuasa para pejabat selalu minta dilayani, bukan melayani.
Pada saat yang sama, peran-peran agama dikerdilkan dalam konteks kekuasaan, maka, ketika seseorang
berkuasa, ia sering silap. Saat berkuasa ia bukan lagi memakmurkan dan mengayomi masyarakat, tapi
yang terjadi malah sebaliknya. Sering menindas dan minta dilayani.
Jika demikian, implikasi selanjutnya adalah rusaknya tatanan suatu bangsa dan hancurnya budaya-
budaya etis yang telah tertata rapi.
Dari sini, kita perlu melihat kembali keberhasilan seorang keberhasilan pemimpin besar, Rasulullah
Muhammad Salallahu Alaihi Wassallam dalam mengatur tatanan masyarakat.
Tidak sedikit kita dapatkan sejarah yang menegaskan bahwa ketika dalam peperangan yang disitu ada
resiko besar, mulai dari resiko luka sampai resiko kematiaan, Nabi Sallallahu Aalaihi Wassalam malah
tampil pada barisan paling depan, tapi begitu menyangkut pembagian harta ghanimah (harta rampasan
peraang), Nabi malah berada pada barisan paling belakang.
Rasulullah, dikenal sebagai seorang pemimpin yang sederhana dan suka membantu umatnya dengan
tangannya sendiri secara langsung.
Dari Ibnu Abid-Dunia pernah mengabarkan, Rasulullah adalah sosok pemimpin yang selalu membantu
orang dengan tangannya sendiri. Beliau menambal bajunya pun dengan tangannya sendiri. Beliau
bahkan tidak pernah makan siang dan malam secara teratur selama tiga hari berturut-turut, sehingga
beliau kembali ke rahmatullah.
Tarmidzi memberitakan dari Ibnu Abbas ra. Katanya: “Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam sering tidur
malam demi malam sedang keluarganya berbalik-balik di atas tempat tidur karena kelaparan, karena
tidak makan malam. Dan makanan mereka biasanya dari roti syair yang kasar. Bukhari pula
meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. katanya: Pernah Rasulullah mendatangi suatu kaum yang sedang
makan daging bakar, mereka mengajak beliau makan sama, tetapi beliau menolak dan tidak makan. Dan
Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW meninggal dunia, dan beliau belum pernah kenyang dari roti
syair yang kasar keras itu.” (At-Targhib Wat-Tarhib, 5:148 dan 151)
Inilah Rasulullah Sang Pemimpin sungguhan yang semua perilakunya layak menjadi teladan. Beliau selalu
menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri dan keluarganya. Pola hidupnya
sederhana meskipun beliau bisa memilih hidup kaya bila beliau mau.
Maka tidak salah jika Beliau berwibawa bukan karena menggunakan kekuasaan, kekerasan atau
kekayaan. Beliau tidak perlu ngasih makanan dan pakaian gratis kepada umat. Beliau berwibawa karena
dicintai oleh umatnya. Sekali lagi dia dicintai selain karena akhlaknya yang mulia juga karena Beliau telah
menjadikan agama sebagai asas dan worldview bagi setiap perilakunya.
Karena itulah, Will Durant dalam “The Story of Cifilization” ketika mengomentari keberhasilan
kepemimpinan Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam mengatakan, “Dia berhasil lebih sempurna
dari pembaharu manapun, belum pernah ada orang yang begitu berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya
seperti Dia. Dia datang seperti sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian
meledakkan butir-butir debu menjadi mesin yang membakar angkasa sejak Delhi hingga Granada.”
Napoleon Bonaparte juga pernah menulis, “I prise god and have references for the holy prophet
Muhammad and the holy Qur’an.” (saya menyembah Tuhan, tapi juga memuji Muhammad dan al-
Qur’an).
Sementara Micheal Hart menulis, “A striking example of this my rangkin Muhammad higher than jesus,
in large part because of my believe that Muhammad had a much greater personal influence on the
formulation of the christian religion.” (sebuah contoh yang sangat tegas adalah urutan Muhammad lebih
tinggi dari yesus, terutama disebabkan oleh pengaruhnya yang luar biasa pada perumusan agama yang
dianut orang Islam melebihi perumusan Yesus terhadap agama Kristen).
Dari beberapa pernyataan di atas, setidaknya dapat diambil benang merah bahwa keberhasilan Nabi
Muhammad sebagai pemimpin, baik spiritual maupun negara, tidak hanya membuat bangga para
pengikutnya melainkan juga dapat menggetarkan jiwa dan memukau hati manusia seantero alam.
Lalu faktor apa yang menyebabkan kepemimpinan beliau begitu unik dan mampu menggetarkan jiwa
banyak manusia baik kawan maupun lawan?
Agama Sebagai Panglima
Dahulu, banyak orang ramai-ramai terjun ke dunia politik dan kekuasaan karena panggilan jiwa untuk
bisa ber-fastabikul khairat (berlomba-lomba berbuat baik) menyelamatkan negara dan mengangkat
derajat rakyatnya.
Tetapi saat ini, orang berpolitik, ingin jadi anggota dewan di parlemen, semata-mata ingin cepat kaya.
Ambisi yang sangat menonjol hanya untuk mengejar kekuasaan, tanpa harus memiliki visi apapun.
Karena cita-cita mereka bukan hendak mengatur kehidupan ini, tetapi semata untuk mengumpulkan
kekayaan, karena itu eskalasi korupsi dalam tatanan politik baru itu sangat tinggi.
Fakta cukup jelas, ketika Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan
rekening gendut para PNS muda (berusia sekitar 28 tahun dengan jumlah kekayaan lebih dari Rp 100
miliar). Belum lagi korupsi kakap lain di Negeri ini.
Apa yang membedakan cara Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam memimpin umatnya dan mengelola
negara dengan para pemimpin-pemimnpin jaman ini?
Jawabannya, tidak lain disamping kepribadian beliau (Muhammad) yang agung dan sangat memukau
juga karena beliau menjadikan agama (Islam) sebagai panglima dari kekuasaan. Sementara pemimpin
abad ini, selalu menjadikan politik sebagai panglima.
Muhammad senangtiasa menjadikan pesan dan nilai agama sebagai dasar, sumber, prinsip dan acuan di
dalam menyelenggarakan tata kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara, sementara kita justru
ingin menjauhkannya.
Yang mengerikan, pola semacam ini bahnya terjadi pada pemimpin-pemimpin baru yang justru berlatar
belakang santri. Mereka yang dulu rajin “mengaji” ketika di kampus, justu lupa ilmunya ketika berkuasa.
Agama tidaklah semata-mata cakupan akidah, bukan pula semata-mata ibadah ritual, akan tetapi agama
sebagai asas atau pandangan hidup (worlview), dan menolak agama adalah suatu kebiadaban.
Thomas Wall mengatakan bahwa kepercayaan pada Tuhan adalah inti dari semua worldview. Artinya
kalau seorang penguasa itu benar-benar percaya pada Tuhan bahwa dibalik kekuasaannya ada amanah,
ia pasti yakin bahwa baik-buruk, salah-benar serta kekuasaan berasal dari Tuhan. Inilah worlview.
Karena sikap dan perbuatannya itu, para Sahabat Nabi telah menjadikan Rasulullah lebih dicintainya
dibandingkan dengan ayah, ibu, anak, istri bahkan diri mereka sekalipun.
Belum pernah ditemukan dalam satu sejarah peradaban dunia manapun, seorang pemimpin yang
dicintai oleh rakyatnya melebihi kecintaan para Sahabat terhadap Rasulullah.
Para Sahabat telah menjadikannya sebagai pemimpin, guru dan panglima serta teladan dalam
kehidupan mereka. Mereka rela mengorbankan jiwa dan raga untuk Rasulullah, mereka rela menjadikan
dirinya sebagai tameng untuk membela Rasulullah, mereka juga menghibahkan seluruh tenaga dan
harta bendanya demi perjuangan yang dilakukan oleh Baginda Muhammad. Itulah dampak dan hasil
seorang pemimpin yang menjadikan Islam sebagai pandangan hidup (worldview)-nya. Wallahu a’lam.
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor jurusan Ilmu Aqidah
Hamid Fahmy Zarkasyi: Liberal yang Sekarang Lebih Parah dari Cak Nur
JAKARTA (VoA-Islam) – Dalam konferensi pers di Gedung Bukopin, Jakarta, Voa-Islam mendapatkan
kesempatan bertanya, apakah pemikiran sekuler seorang Nurcholish Madjid alias Cak Nur merupakan
sumber malapetaka bagi proses terjadinya liberalisasi di Indonesia?
Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menjawab,
mungkin terlalu sadis menyebut Cak Nur dengan istilah sumber malapetaka. Tapi harus diakui,
pemikiran yang dibawa tokoh sekuler itu menjadi daya tarik banyak orang, meski Cak Nur telah
mengelirukan banyak orang juga.
“Keliru dalam pemikiran juga hal yang serius. Jika pemikiran Cak Nur mengusung sekularisme, sekarang
di bawahnya ada generasi yang membawa gagasan Islamisasi adalah Sekularisasi, padahal itu
menyesatkan,” ujar Gus Hamid yang malam itu melaunchingkan buku ia tulis berjudul “Misykat: Refleksi
tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi”.
Saat Voa-Islam bertanya lagi, apa status kaum liberal, apakah sudah bisa dikatakan telah keluar dari
Islam? “Mengutip peneliti MIUMI Henry Mohamad, liberal di zaman Cak Nur masih terbilang lumayan,
dari sisi ubudiyahnya masih bagus, masih melaksanakan shalat. Tapi liberal yang sekarang sudah tidak
shalat lagi. Mereka meninggalkan syariat. Ketika wacana dekonstruksi syariah diusung sebagai gagasan,
mereka mengatakan bahwa kebenaran itu menjadi relatif, tidak absolute, hanya Al Qur’an yang
absolute. Akibatnya, pemikiran sesat itu berkembang dalam perilaku.
“Orang liberal malah mengatakan, syariah itu produk ulama abad ke-3 H. Ketika mereka
mendekonstruksi syariah, maka tidak ada lagi halal-haram. Pemikiran Irshad Manji dan perilaku Lady
Gaga pun menjadi halal. Ini akibat liberalisasi budaya,” kata Hamid, putra dari Pimpinan Ponpes Modern
Gontor KH.Ahmad Sukri Zarkasyi.
Perselisihan atau perbedaan pendapat terdiri dari tiga ranah: 1) Ranah fiqih tentang benar dan salah 2)
Berselisih dalam ranah hak dan batil. 3) Berselisih dalam ranah muslim - kafir. Adapun orang liberal,
menurut Gus Hamid, masih dalam ranah hak dan batil. “Tidak mudah menghukumi seseorang. Dan kita
tidak bisa mengkafirkan begitu saja. Yang bisa mengkafirkan hanyalah Al Qur’an Pemikiran orang liberal
bisa dikatakan sesat menyesatkan.”
Saat ini kita bertarung dengan kelompok liberal dalam ranah filsafat. Pluralisme agama adalah termasuk
wacana filosofis. Setidaknya, ada dua aliran pemikiran: global theologi dan transendental of religion.
Dua aliran ini menggelindingkan wacana nikah beda agama, dan wacana semua agama bermuara dari
tuhan yang sama.
Tatkala kebenaran sebagai sesuatu yang relatif, orang posmo, mereka berpandangan bahwa yang
absolut hanyalah tuhan. Adapun yang dikatakan oleh manusia adalah relatif. Bicara baik-buruk dan
moralitas,bukan manusia yang menentukan, tapi tuhan, karena bagi orang liberal, kita tidak tahu apa
yang dikatakan tuhan sebenarnya, inilah relativisme.
Bagi kaum liberal, menilai penampilan wanita itu sebagai sesuatu yang porno adalah relatif. Ironisnya,
mereka mengatakan, yang porno itu bukan orangnya, tapi yang melihatnya. “Jadi wanita yang
berpenampilan seronok itu bukan porno. Justru laki-laki yang melihat wanita seksi dengan nafsu itulah
yang dibilang porno. Terbalik. Wacana ini tidak dikenal dalam agama. Ukuran porno atau tidak,
membuat masyarakat bingung. Sehingga tidak bisa lagi menentukan baik-buruk, betul-salah, halal-
haram. Sungguh memperihatinkan kita semua!” Desastian
Hamid: Islam Moderat Isinya Ya liberalisasi (1)
Kamis, 10 Maret 2016 - 14:39 WIB
Barat itu peradaban yang punya karakter sendiri yang sangat berbeda dengan Islam. Karena itu, kita
mesti berhati-hati bila ingin mengambil
Dr. Hamid Fahmy Zarkasy
UMAT Islam sekarang sedang dilanda westernisasi danliberalisasi dalam pemikiran. Tentu saja gerakan
berbahaya ini mesti dilawan. Salah satu tokoh yang gigih melawan itu adalah Hamid Fahmi Zarkasyi,
Direktur INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations), sebuah lembaga penelitian
dan kajian yang sangat konsen pada pemikiran dan peradaban.
“Pemikiran harus dihadapi dengan pemikiran, tidak bisa dengan demo,” kata Hamid yang juga putra
pendiri Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini.
Untuk melawain westernisasi dan liberalisasi itu, antara lain mendirikan Program Kaderisasi Ulama
(PKU) di ISID. Program ini diikuti ulama-ulama muda dari berbagai pesantren dan berlangsung selama 6
bulan. “Tujuannya membekali para ulama muda agar paham soal peradaban Barat dan mampu
menangkal virus-virus pemikiran dari Barat yang merusak Islam,” jelas yang menyelesaikan doktornya di
di ISTAC (The International Institute of Islamic Thought and Civilization) Malaysia.
Di Gontor pula Hamid mendirikan Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS). Lembaga kajian ini
aktif menggelar kajian-kajian dan peneletian, terutama terkait dengan peradaban Islam dan Barat.
Dari sebuah dusun yang bernama Gontor, ayah tiga anak yang kini juga diberi amanah menjadi Ketua
MIUMI tampaknya sedang menggoyang Barat, yang sekarang menghegemoni dunia. Karena aktivitas ini
tak jarang ia dituduh anti Barat? Bagaimana sesungguhnya? Ikuti wawancara berikut ini, dikutip dari
majalah Suara Hidayatullah
Anda sangat kritis terhadap Barat. Apa tidak takut dituduh anti Barat?
Memang saya sering dengar tuduhan itu. Orang yang menuduh begitu, kebanyakan tidak memahami
Barat. Itu satu. Kedua, mereka kebanyakan pemahaman Islamnya tidak scientific (ilmiah). Ketika saya
menjelaskan perbedaan Barat dengan Islam, orang tersebut berkesimpulan begini: mengapa kita harus
membeda-bedakan Islam dan Barat, yang pada akhirnya kita akan melakukan pemilahan: kafir atau
bukan. Kalau kafir maka layak dibunuh. Inilah, katanya, yang menyebabkan terorisme.
Jawaban Anda?
Jawaban saya gampang saja. Kita membicarakan Islam dan Barat bukan dalam konteks ideologi, tapi
dalam konteks epistimologi atau ilmu. Tugasnya ilmuwan adalah membedakan, kalau tidak mampu
membedakan bukan ilmuwan namanya.
Membedakan konsep-konsep Islam dan Barat itu wajib bagi kita. Al-Qur`an sendiri julukannya al-furqan,
pembeda atau penjelas. Jika kita tak bisa membedakan mana yang Islam dan mana yang tidak, kapan
kita beridentitas Muslim. Jika Barat dan Islam sama, kita tak perlu identitas.
Bagaimana sikap Barat sendiri kepada Anda?
Saya tidak tahu. Tapi di sebuah simposium di Tokyo saya sempat berselisih dengan seorang tokoh dari
Rand Corporation, lembaga yang memberi resep kepada pemerintah Amerika soal bagaimana
menyebarkan Islam moderat. Asal tahu, Islam moderat itu kalau dibuka isinya yaliberalisasi. Dengan
seenaknya dia bilang, Islam moderat adalah orang yang mendukung feminisme, kesetaraan gender,
demokratisasi, pluralisme, dan anti terorisme. Itu sama dengan mengatakan orang yang tidak
mendukung pluralisme sama dengan radikal.
Pendapat itu saya bantah. NU dan Muhammadiyah jelas menentang pluralisme. Tapi tidak berarti dua
organisasi itu radikal. Maka saya katakan pada dia, “The majority of Indonesian Moslem are moderate
and not radical.” Mayoritas Muslim di Indonesia moderat dan tidak radikal. Dia tampaknya tidak suka
dengan pendapat saya ini. “Kita memang beda,” katanya kemudian. Saya tidak tahu, apa pendapatnya
tentang saya.
Mereka tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap Anda?
Sejauh ini belum ada. Cuma, semua yang kami (INSISTS) lakukan, termasuk tulisan saya, sudah ada di
perpustakaan Kongres Amerika. Rupanya di Indonesia ada agennya, yang kerjaannya memantau semua
yang kami lakukan.
Apa sisi negatif Barat sehingga Anda begitu kritis?
Barat itu peradaban yang punya karakter sendiri yang sangat berbeda dengan Islam. Karena itu, kita
mesti berhati-hati bila ingin mengambil atau diberi sesuatu dari Barat, sebab bisa jadi sangat
bertentangan dengan Islam. Dalam hal ini, kita tidak bisa pakai ukuran baik atau buruk. Sesuatu yang
buruk menurut kita, bisa jadi baik bagi Barat. Contohnya, hidup bersama tanpa nikah. Bagi masyarakat
Barat itu baik-baik saja, sejauh tidak mengganggu orang lain dan mereka suka sama suka.
barat dan Islam
Membedakan konsep-konsep Islam dan Barat itu wajib bagi kita. Al-Qur`an sendiri julukannya al-furqan,
pembeda atau penjelas
Barat dalam konteks ini bukan persoalan letak geografis, tetapi lebih mencerminkan pandangan hidup
atau suatu peradaban. Pandangan hidup Barat, seperti dijelaskan Hamid di dalam buku Misykat, cirinya
adalah scientific worldview (pandangan hidup keilmuan). Artinya, cara pandang terhadap alam ini
melulu keilmuan dan tidak lagi religious.
Menurut pandangan Barat, hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara empiris tidak dapat diterima,
termasuk metafisika dan teologi.*
Hamid: Mematahkan Pemikiran Nazir Hamid (3-habis)
Sabtu, 12 Maret 2016 - 14:51 WIB
Saat lulus dari Gontor, Nurcholis Madjid masih bagus. Idealis dan anti Barat. Ia dikelilingi orang yang
pikirannya macam-macam, jadilah dia mengibarkan liberalisasi Islam
Dr. Hamid Fahmy Zarkasy
Pada tulisan terdahulu dipaparkan betapa kritisnya Fahmi Hamid Zarkasyi kepada pemikiran Barat.
Karena kritisnya itu ia sempat dituding anti Barat. Ada juga tudingan lain. Ia diangap terlalu membebek
kepada gurunya, seorang filosof jenius dari Malaysia, Prof Dr Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Bagaimana putra ke delapan KH Imam Zarkasyi (pendiri Gontor) menjawab tudingan ini?
Anda kritis pada Barat tetapi tidak kritis terhadap Al-Attas?
Kita punya agenda besar sehingga mengkritik guru tidak menjadi prioritas kami. Selain itu, menangkap
ide besarnya saja sudah menjadi masalah sendiri, apalagi untuk mengkritik. Pengetahuan kami tidak
cukup untuk memberi kritik.
Bahwa ada hal-hal yang bisa dikritik dari Al-Attas, itu benar. Misalnya, ia dibilang orang tidak banyak
tahu syariah. Kritik itu benar, karena ia memang bukan ahli fikih. Ada pula yang mengkritik idenya terlalu
filosofis sehingga sulit dipahami orang awam.
Dari pada mengkritik, ada hal yang lebih penting yaitu mendukung ide-ide besarnya.
Apa kesan Anda terhadap Al-Attas?
Kami merasa tidak hanya belajar pada seorang profesor, tapi kami seperti mendapat mandat untuk
menyelesaikan ide-ide besarnya, yang belum sempat ia selesaikan. “Ini lho tugas yang harus kita
bereskan. Saya tak sanggup lagi karena sudah tua, kalian yang lebih muda yang harus menyelesaikan,”
begitu bahasa yang saya tangkap darinya.
Dia juga sangat senang pada mahasiswa yang menulis lebih kreatif dan detil soal isu-isu yang ia
bicarakan. Saya pernah menulis di jurnal ISTAC isu yang ia bicarakan. Lalu saya dipanggil, “Bagus,”
katanya.
Dia juga peduli kepada keadaan umat Islam Indonesia. Ia bertanya pada saya soal masalah umat Islam di
Indonesia. Saat itu di Indonesia lagi ramai dibicarakan pendapatnya Nasir Hamid, ilmuwan dari Mesir.
Nasir bilang al-Qur`an itu hasil budaya.
Kata Al-Attas, kalau produk budaya Arab, mengapa Islam dan al-Qur`an ditentang oleh orang-orang Arab
sendiri. Menurut saya jawaban itu logis. Tak mungkin ditentang bila al-Qur`an itu produk budaya Arab.
Beberapa tokoh pengusung liberalisme itu lulusan Gontor. Bagaimana itu bisa terjadi?
Saya sering mendapat pertanyaan seperti itu. Saya tegaskan, Gontor tidak mengajarkan liberalisme dan
sekularisme. Tapi harus saya akui, dulu santri Gontor worldview-nya belum kuat. Di sisi lain, semangat
Islamnya kuat. Maka yang terjadi adalah tergantung orang-orang yang memakainya atau pergaulannya.
Contohnya Cak Nur (Nurcholis Madjid), saat lulus dari Gontor masih bagus. Ia sosok yang idealis dan anti
Barat. Tapi begitu keluar dari Gontor dan kemudian dikelilingi orang yang pikirannya macam-macam,
jadilah dia orang yang mengibarkan liberalisasi Islam.
Agar itu tidak terjadi lagi, apa yang dilakukan Gontor?
Sebelum lulus (pada kelas akhir), santri kita bekali tentang berbagai aliran-aliran yang menyimpang dari
Islam, misalnya Syiah dan sebagainya. Termasuk tentang liberalisasi Islam. Kita juga undang alumni
untuk menjelaskan peta pemikiran yang ada di masyarakat. InsyaAllah, dengan begitu worldview santri
menjadi matang.
Apa nilai yang Anda tangkap dari ayahanda?
Waktu kelas V (di Gontor) beliau menyuruh saya menulis cerita ke dalam bahasa Arab. Itu untuk
melatih bahasa Arab saya. Waktu mahasiswa beda lagi. Saya diberi buku dan disuruh baca. Minggu
depannya saya diminta cerita isi buku tersebut.
Saya oleh beliau diobsesikan seperti Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI. Dia memperoleh gelar doktor
dari Pakistan, karena itu saya dikirim ke sana juga. Waktu saya berangkat itulah pertemuan saya terakhir
dengan ayah. Saat saya di Pakistan beliau wafat. Sebelum meninggal, beliau sempat berpesan, “Kamu
harus meraih doktor. Ilmumu tak hanya bermanfaat bagi Gontor, tapi juga Indonesia.” Alhamdulillah,
saya bisa menjalankan wasiat beliau.*
Belajar Worldview Dari Hamid Fahmy Zarkasyi
Kamis, 17 Januari 2019 - 11:29 WIB
Worldview adalah asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiah dan teknologi
Oleh: Daru Nurdianna
SATU materi pokok, ketika ke UNIDA Gontor dan belajar langsung dengan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
adalah ‘Kerangka Berfikir’. Materi ini terangkum dalam tema besar Worldview‘. Kita disini belajar
tentang itu. Belajar bagaimana membangun mental, sikap, dan cara melihat tentang realitas dan
kebenaran dari perspektif Islam yang lurus.
Belajar bagaimana seorang muslim memiliki akidah fikriyah yang benar. Tidak kebablasan liberal dan
stagnan konservatif. Ini materi dasar yang sangat penting untuk membangun peradaban Islam dengan
ilmu.
Adapaun sebagai pengantar, akan sedikit saya jelaskan tentang dimana kita memulai pembahasan.
Berbicara mengenai konsep dan pengertian terhadap sesuatu itu, tidak bisa lepas dari membahas apa
‘maksud kata’ yang di pakai untuk menggambarkan konsep tersebut. Jadi, pembahasan kita disini, akan
dimulai dengan membahas kata ‘weltanschauung’ atau worldview’ dulu dari asalnya dan pengertiannya.
Asal atau sejarah kata ini, dimunculkan pertama oleh pemikir asal Jerman yang bernama Emanuel Kant
(1724-1804). Sejak saat itu, kata ini sering digunakan dalam ruang pendidikan dan diskursus yang
populer. Weltanschauung secara sederhana diartikan sebagai cara pandang terhadap dunia. Bagaimana
di dalam Islam? Singkatnya, jika dalam agama Islam, cara pandang ini ada juga dan ia dibentuk oleh
Agama. Jadi, cara pandang Islam itu ada sejak Nabi Adam ya berarti. Karena semua Nabi agamanya
Islam.
Dalam konteks Nabi Muhammad ﷺ, maka Beliaulah yang membentuk cara pandang para Sahabat
ketika itu dengan Wahyu. Lalu ia disempurnakan dengan akhlak dari Nabi, dan ini menjadi sumber
utama kedua dalam Islam, yakni yang biasa kita kenal dengan Sunnah Nabi. Berkembangannya, cara
pandang Islam sekarang ini dibentuk oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi, apa yang dibicarakan Kant, dalam
Islam ia juga ada dan ia memiliki ciri khas yang sendiri yang akan kita bahas kedepannya.
Adapun kata weltanschauung atau worldview, bisa kita katakan sebagai sebuah istilah yang sekular.
Kenapa? Karena ia tidak membahas konsep melihat hal-hal yang selain fisik. Ia hanya sekedar
memandang dunia yang fisik-fisik saja. Yah, hal yang bisa kita lihat dengan mata ini saja. Jadi, masalah-
masalah malaikat, jin, Tuhan, dan sifat-safat Tuhan dalam pelajaran akidah itu sama sekali tidak
dianggap memiliki kaitan dengan dunia ini.
Bahkan tentang kuda poni bersayap, peri, dewa-dewa, tuhan mereka juga tidak memiliki kaitan dengan
alam dan dunia ini. Jadi, agama ya agama, dan jangan di masukkan ke kehidupan sosial, sains, ekonomi
dan politik gitu. Ini lah yang dimasud cara pandang atau worldview’ sekular.
Apa yang dimaksud worldview? Di sini, yang kami dapatkan dari perkuliahan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi,
pengertian worldview secara umum disebutkan tiga.
Pertama, menurut Ninian Smart. Adalah sebuah kepercayaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran
orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Jadi jika
yang dipercaya, dirasakan, dipikirkan sehingga asas (moto) bagi perilaku sosial dan moralnya itu adalah
worldview.
Kedua, Thomas F Wall adalah “An integrated system of basic beliefs about nature of yourself, reality,
and the meaning of existence.” Yang terjemahan bebasnya “Sistem kepercayaan dasar yang integral
tentang diri kita, realitas, dan pengertian eksistensi”. Maka apa yang kita yakini tentang diri kita, tentang
realitas disekitar kita dan keseluruhan wujud alam semesta ini adalah worldview.
Definisi umum ketiga menurut Arparslan Acikgence. Worldview adalah asas bagi setiap perilaku
manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat
dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat direduksi ke dalam
pandangan hidup. Maka yang mendorong seseorang melakukan aktivitas dalam bidang sains maupun
teknologi itu adalah worldview.
Ketiga definisi diatas berlaku bagi peradaban atau agama secara umum. Namun definisi untuk Islam
mempunyai nilai tambah karena sumbernya dan spektrumnya yang luas dan menyeluruh.
Worldview dalam Islam tidaklah sekular seperti worldview Barat yang disinggung diatas. Sehingga,
istilahnya ia kurang pas jika kata weltanschauung atau worldview disepadankan gitu saja.
Persoalannya adalah, bahwa kata-kata dalam Islam, tidak bisa sekedar disamakan kemudian
diterminologikan dengan bahasa lain.
Seperti kata ‘al-‘Ilm’ contohnya. Dalam Islam tidak bisa disamakan dengan kata ilmu dalam bahasa
Indonesia atau science dalam bahasa Inggris.
Hal ini karena al-‘Ilm adalah hal yang mencakup ilmu dan Iman. Jadi, sederhananya ilmu dunia dan ilmu
akhirat adalah ‘ilm. Adapun kata ilmu atu science di Barat, tidak menganggap mengenal Allah itu adalah
sebuah pengetahuan. Ia sekular!.
Kata di luar Islam tidak bisa disamakan dan diartikan sama begitu saja dengan istiliah dalam Islam. Misal
kata ‘civilization’ tidak bisa disamakan dengan peradaban Islam, karena civilization memiliki makna
sekular yang di dalamnya hanya ada konsep ketatanegaraan dan politik. Maka perlulah menambahinya
dengan kata ‘Islamic civilization’ untuk menggambarkan sebuah peradaban Islam atau disamakan
dengan kata ‘tamaddun’ yang didalamnya berisi konsep Islam sebagai Din, sebagai basis seluruh aspek
kehidupan dan pusat peradaban.
Begitulah, kata. Kata yang menggambarkan sebuah konsep, memiliki konsep. Ia sendiri ternyata juga
memiliki kaitan dengan carapandang. Setiap kata berisi makna dan setiap makna mengandung konsep
dan setiap konsep dihasilkan oleh sebuah worldview.
Maka, dalam konteks peradaban seperti ini, dalam mendefinisikan dan menyamakan istilah, tidak
sesederhana dan semudah yang kita pikirkan ya.*
Peserta (Program Kaderisasi Ulama) PKU XII UNIDA Gontor
Hamid: Jalan Memenangkan Kompetesi dengan Barat (2)
Jum'at, 11 Maret 2016 - 07:20 WIB
Sekarang ini, hampir semua sistem pendidikan di negara-negara Islam dikuasai oleh Barat. Al-Attas
menyadari itu, makanya ia menyeru umat Islam agar punya universitas sendiri guna mengembangkan
ilmu-ilmu Islam
Dr. Hamid Fahmy Zarkasy
Pada akhir naskah pertama, Fahmi Hamid Zarkasyi menjelaskan perbedaan antara peradaban Barat dan
Peradan Islam. Lantas, manakah yang lebih baik?
Mana yang lebih baik antara peradaban Barat dan peradaban Islam?
Pandangan kita sebagai Muslim adalah Islam punya konsep tersendiri, sedangkan Barat juga punya
konsep sendiri. Keduanya tidak bisa dicampuradukan. Jadi, kita tidak bisa mengukur Barat dengan Islam,
pun sebaliknya. Orang Barat tidak bisa mengukur Islam dengan Barat. Menggunakan terminologi Barat
untuk memahami Islam juga tidak bisa. Ini yang harus kita jaga.
Yang bisa kita lakukan adalah berkompetisi, begitu?
Iya. Dalam bahasa Al-Attas (Prof Dr Syed Mohammad Naquib al-Attas, gurunya Hamid di ISTAC, terjadi
konfrontasi abadi. Keduanya tidak akan pernah cocok karena worldview-nya memang beda. Pokoknya
hampir semuanya beda.
Maka yang diperlukan adalah dialog peradaban, bukan dialog agama. Sayangnya, Barat menganggap
Islam itu sekadar agama. Barat tidak mau melihat Islam sebagai peradaban, sebab mereka memang
ingin menguasai. Seakan Barat berkata begini, “Islam agama sajalah, peradaban kita yang ngatur. Kamu
di masjid saja; politik, ekonomi kita yang ngatur.” Karena itu, mereka tidak pernah bicara Islam sebagai
peradaban.
Bagaimana agar kita bisa memenangkan konfrontasi itu?
Menurut saya, kita harus kembali kepada tradisi ilmu. Kita kalah pada bidang ini. Karena itu, kita harus
memperkuat ilmu. Dan ilmu adanya di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikanlah yang mencetak
individu-individu, sedangkan masyarakat terbentuk dari individu-individu yang banyak.
Permasalahannya, bagaimana kita mau membentuk masyarakat yang baik kalau lembaga pendidikannya
tidak efektif.
Jika masyarakatnya berkualitas, ia tidak akan bisa dikuasai. Sebab, ia punya ilmu dan sistem yang
menjadi filter untuk menyeleksi. Sekarang ini, hampir semua sistem pendidikan di negara-negara Islam
dikuasai oleh Barat. Al-Attas menyadari itu, makanya ia menyeru umat Islam agar punya universitas
sendiri guna mengembangkan ilmu-ilmu Islam. Dengan ilmu itu selanjutnya melakukan islamisasi ilmu-
ilmu dari Barat. Dengan itu Barat tak lagi bisa menghegemoni, karena kita mampu menyeleksi.
Dimulai dari tingkat pendidikan mana?
Untuk tingkat menengah lebih kepada penanaman ilmu-ilmu dasar keislaman. Misalnya fikih, hadits, dan
tafsir yang mengarah kepada amaliah. Secara bersamaan pada tingkat ini dengan intensif ditanamkan
nilai-nilai akhlak, baik di kelas maupun di luar kelas.
Pada tingkat menengah tidak masalah anak-anak sedikit dipaksa, demi kebaikan. Wong dipaksa saja
masih banyak yang melanggar, apalagi tidak dipaksa. Seperti di Gontor, kami punya keyakinan bahwa
anak-anak harus dipaksa, tidak peduli kata orang. Shalat misalnya, pengalaman kami, anak-anak kalau
tidak dipaksa ya tidak shalat. Jadi, tidak cukup hanya dengan tausyiah. Kalau anak-anak disuruh milih
antara boleh ke masjid dan boleh juga tidak, pasti semuanya tidak akan ke masjid.
Beda lagi pada tingkat perguruan tinggi. Pada tingkat ini tekanannya pada rasionalitas sehingga anak-
anak punya kesadaran, tidak lagi dengan paksaan.
Penting juga, pada tingkat menengah, jangan mengajarkan sejarah yang berisi konflik, misalnya sejarah
pembunuhan para khalifah. Nanti kesannya di mata anak-anak, Islam itu penuh dengan ‘darah’. Sebab,
anak-anak belum bisa menyeleksi dan berpikir komparasi. Ajarkan saja yang baik-baik.* (Bersambung)
Wakil Rektor 1 Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi dalam wawancara
bersama reporter Republika Zahrotul Oktaviani menyebut, keberadaan UU ini dapat mengakomodir
kebutuhan dari pesantren.
Berikut cuplikan wawancaranya.
Sejak kapan payung hukum untuk pondok pesantren ini digaungkan?
UU Pesantren ini sudah lama dibicarakan dan dibahas oleh kalangan pesantren. Dan, saya rasa sudah
tidak ada masalah. Dari yang saya dengar, sekitar 98 persen usulan diterima oleh DPR.
Bagaimana awal pembahasan UU Pesantren ini?
Itu sebenarnya aslinya adalah Peraturan Menteri Agama. Kemudian, ini diangkat menjadi UU. Intinya,
pesantren ini tidak ada dalam sistem pendidikan nasional. Sistemnya kan tidak tercakup di sana, dan
pesantren ini ada tingkatnya; Ula, Wustho, dan Ulya. Itu yang pesantren tradisional. Ini beda dengan
sekolah kita tingkat SD sampai SMA atau setingkatnya.
Nah, kalangan pesantren merasa ini kok belum diakomodir dalam undang-undang. Termasuk pesantren
dengan sistem modern, seperti Gontor. Itu juga belum diakomodir karena di Gontor tidak ada kelas 3
SMP. Adanya kelas 1 sampai 6. Jenjang tahun yang begini ini yang diakomodir oleh UU.
Jadi, anak-anak ini umpamanya selesai kelas 6 di sini, sama dengan lulus SMA. Dan, alumni pesantren
tidak harus ikut UN, tapi diakreditasi oleh badan yang namanya mu'adalah. Kalau sudah diakreditasi,
alumninya berhak ikut ujian masuk PT.
Perbedaan lainnya, pesantren ini kurikulumnya 24 jam. Dan, ini tidak sejalan atau sama dengan sekolah
biasa. Jadi, ada pendidikan mental dan moral, ada ilmu agama, ilmu umum juga, nah kurikulumnya
melebihi sekolah-sekolah umum. Maka, masuk akal jika pesantren ini tidak dites dengan ujian negara
karena ada ujiannya sendiri. Apabila nanti mampu me lanjutkan di perguruan tinggi dengan fakultas-
fakultas umum maka tanggung jawab dia mampu atau tidaknya.
Ada beberapa Ormas Islam kemarin merasa UU Pesantren belum mengakomodir semua usulan atau
kriteria pesantren. Apakah memang ada yang perlu diperbaiki?
Yang saya dengar terakhir, usulan dari Muhammadiyah dan beberapa Ormas Islam sudah diakomodir
dalam ketentuan umum. Jadi, sudah tidak ada masalah. Sudah mencakup.
Dengan disahkannya UU ini beserta manfaat yang ada di dalamnya, apa yang selanjutnya bisa dilakukan
oleh pesantren?
Sekarang bola ada di tangan pesantren. Tantangannya di situ. Sekarang sudah diakomodir secara
nasional, maka apakah dia bisa meningkatkan kualitas pendidikannya. Artinya, alumni pesantren ini
sudah terbuka bisa masuk ke perguruan tinggi umum. Apakah pesantren bisa berkompetisi dengan
lulusan dari sekolah umum yang lain.
Kelebihan dari alumni pesantren, mereka belajar tidak hanya matematika, fisika, biologi, tapi juga tahfiz
Quran, Bahasa Arab, ilmu agama, dan yang lain. Namun, dari sekolah umum, mereka jago dalam
sainsnya. Ini tantangan agak berat di situ, tapi bisa juga ada anak pesantren yang FIKIP-nya menonjol,
memang banyak yang mampu berkompetisi, tapi selama ini tidak diberi kesempatan untuk muncul.
Kalau dari Gontor, apa yang akan dilakukan setelah pengesahan UU ini?
Kalau kita selalu ada evaluasi. Sekarang kita sedang membenahi kemampuan bahasa Inggris dari para
santri. Bagaimana santri-santri ini bisa go internasional dengan bahasa Inggrisnya selain kemampuan
berbahasa Arab.
Barusan kita bekerja sama dengan salah satu lembaga British Council untuk meningkatkan bahasa
Inggris baik berupa aplikasi maupun pengajaran. Untuk mata pelajaran matematika, fisika, dan biologi,
juga kita tingkatkan dengan menambah kemampuan dari gurunya.
POLITIK PEMIKIRAN
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Ketika segelintir ulama dan cendekiawan Muslim menolak RUU APP, mereka tidak hanya membenarkan
gambar-gambar dan tarian atau goyang tabu (baca porno), atau bicara halal haram, moralitas atau
akhlak bangsa. Mereka tengah memasarkan paham relativisme, hedonisme dan kebebasan (liberalisme).
Ketika Aminah Wadud menjadi imam Jumat di sebuah gereja di Amerika, ia tidak sedang
mengaplikasikan ijtihad Fiqhiyyahnya. Ia tengah memasarkan paham gender dan feminisme. Pernyataan
seorang anak muda Muslim semua agama sama benarnya, tidak ada syariat Islam, tidak ada hukum
Tuhan, bukan pernyataan tentang teologi atau syariat Islam, tapi pelaksanaan proyek globalisasi biaya
tinggi. Buku berjudul Fiqih Lintas Agama yang terbit dua tahun silam, bukan buku bacaan tentang Fiqih,
tapi buku pesanan untuk proyek pluralisme agama.
Betulkah mereka bermaksud begitu? Tentu tidak menurut mereka. Tapi betul menurut teori pemikiran
Barat postmodern. Dalam bahasa Gadamer itu disebut effective historical consciousness (kesadaran
kesejarahan yang efektif). Mereka memahami realitas segala sesuatu sebatas ruang dan waktu kekinian
saja. Mungkin, secara pejoratif bisa disebut ghirah tarikhiyyah, yang tidak sejalan bahkan menggeser dan
menggusur ghirah diniyyah..
Menurut bacaan Habermas memang betul begitu. Sebab segala sesuatu harus dipahami berdasarkan
motif kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest).
Pemahaman seperti ini sudah sangat jamak dikalangan aktifis liberal dan postmodernis. Mereka sendiri
memahami Islam dengan cara yang sama. Islam bagi mereka adalah produk dari sebuah kepentingan
dan kekuasaan. Dan karena itu mereka tidak merasa bersalah jika memahami Islam juga untuk
kepentingan tertentu. Itulah yang, kalau boleh saya katakan, politik pemikiran.
Benarkah pemikiran liberal itu sarat kepentingan? Benar ! sebab liberal adalah posmodernis dan
posmodernis, tulis Akbar S Ahmed, adalah pendukung pluralisme, anti fundamentalisme, banyak protes
terhadap tradisi, dan cara berfikirnya eklektik (Akbar S. Ahmed, Postmodernism). Pemikiran bukan untuk
pengetahuan, tapi untuk kepentingan (kekuasaan atau politik). Buktinya dari pemikiran mereka tiba-tiba
menggalang komunitas, gerakan sosial dan bahkan menjelma menjadi pressure group. Demi
memasarkan paham pluralisme agama, misalnya, pertama-tama mereka menolak adanya kebenaran
mutlak, yang ada hanya kebenaran relatif. Kepentingannya adalah untuk menghilangkan
fundamentalisme dan sikap merasa benar. Inilah politik pemikiran.
Politik Pemikiran
Karena itu adalah politik pemikiran, tak heran jika aktifisnya pun menjadi militan dan terkadang
emosional. Substansi pemikirannya sarat dengan muatan politik, buktinya ia bersifat responsif dan
akomodatif terhadap suatu kepentingan ideologi tertentu (baca: Barat). Niatnya, nampak tidak tulus
karena sikap apriori dan kritis mereka terhadap tradisi pemikiran Islam lebih menonjol ketimbang
terhadap Barat. Konsep-konsepnya sulit untuk dikategorikan ke dalam gerakan pembaharuan pemikiran
Islam karena sifatnya lebih cenderung destruktif daripada konstruktif.
Ketika suatu pemikiran bernuansa politik, aktifitasnya hampir tidak beda dari gerakan politik. Media
grafis, media elektronik, film, musik, aksi sosial dan berbagai media lainnya menjadi kendaraan.
Pemikiran bukan di dakwahkan, tapi “dijual ketengah masyarakat untuk suatu kepentingan. Ketika
pemikiran bernuansa politik, pernyataan tentang suatu gagasan selalu bermakna ganda. Antara ucapan,
ungkapan atau pernyataan bisa berbeda dari makna yang dimaksud. Bahkan terkadang, mengikuti gaya
Derrida, makna yang sudah mapan di dekonstruksi sehingga menjadi bermakna baru.
Untuk mendekonstruksi institusi agama, diperkenalkanlah teori dualisme dan relativisme: agama dan
pemikian keagamaan adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama absolut dan yang kedua relatif.
Pemikiran ini secara politis ditujukan untuk memberantas sikap-sikap keagamaan ekslusif, fundamentalis
dan absolutis. Jika dualisme pemikiran dianut, maka semua pemikiran keagamaan akan menjadi relatif,
yang mutlak hanyalah agama dan yang tahu agama hanya Tuhan. Siapapun boleh berfikir tentang
apapun dalam soal agama. Tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada yang berhak menyalahkan pemikiran
orang lain, tidak ada yang bisa mencegah kemunkaran. Tidak ada lembaga atau kelompok yang boleh
mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan. Baik buruk, salah benar tergantung kepada individu. Semua
bebas. Inilah politik pemikiran. Jika target ini tercapai, maka paham teologi global (global theology) atau
teologi dunia (world theology) akan menemukan jalannya menembus semua agama. Inilah kepentingan
politik pemikiran itu.
Kalaupun tidak dengan teori dekonstruksinya Derrida, mereka menggunakan metode aliran sophist
(indiyah, la adriyah dan inadiyah). Ketika argumentasi mereka tentang kebebasan menafsirkan agama
dengan sebebas-bebasnya mulai nampak lemah, misalnya mereka berkelit dan berlindung dibawah
prinsip-prinsip HAM. Ketika ide feminisme tidak bisa mendekonstruksi Fiqih, mereka menggunakan dalih
perlunya persamaan dan pemberantasan penindasan dan pelecehan terhadap wanita. Targetnya sama,
agar di masyarakat tidak ada lagi yang mempunyai otoritas. Tidak ada yang bisa berkuasa karena agama
dan agar agama tidak mengisi ruangan publik.
Jika dibaca dengan cermat buku-buku seperti Clash of Civilizations, karya S.Huntington, Who Are We,
karya Bernad Lewis, When Religions Become Evil, karya Richard Kimbal, The End of History, karya
Fukuyama, Islam Unveiled: Disturbing Question About the Worlds Fastest-Growing Faith, karya Robert
Spencer dan lain-lain mengandung fakta-fakta pemikiran yang berimplikasi politik. Yang kurang kritis
bisa saja menilai buku-buku itu dengan sikap positif. Mungkin alasannya karena asumsinya baru,
analisasnya tajam, argumentasinya valid, pertanyaan-pertanyaannya menantang untuk dijawab dan lain
sebagainya. Tapi jika ia mencermati implikasi politik dalam semua asumsi, analisa dan argumentasinya
maka ia akan menilai dengan sikap sebaliknya.
Karena tidak semua orang dapat menemukan hubungan antara pemikiran dan target politis dibaliknya,
maka tidak heran jika diantara umat Islam ada yang bersikap apatis terhadap wacana-wacana pemikiran
yang dikenal liberal itu. Padahal pemikiran yang politis itulah yang menjadi bahan kekibijakan strategis.
Dari Pemikiran ke Strategi
Untuk mengetahui bagaimana sebuah pemikiran berubah menjadi kebijakan strategis, kita rujuk sebuah
buku yang berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies, (2003), ditulis oleh Cheryl
Bernard. Buku ini membahas tentang politik perang pemikiran atau strategi dan taktik pemikiran yang
perlu dilakukan Barat untuk menghadapi umat Islam pasca 11 September. Targetnya untuk melawan
sesuatu yang tidak jelas terorisme dan fundamentalisme dalam Islam. Bahkan setelah menulis buku ini ia
menulis buku lain berjudul “U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11 (2004), The Muslim World
After 9/11 (2004), dan Three Years After: Next Steps in the War on Terror (2005). Sudah tentu tulisan-
tulisannya itu merujuk kepada pemikiran, pandangan dan gambaran tentang ummat Islam yang ditulis
oleh cendekiawan sebelumnya. Jargon science for science, yang konon dipegang Barat secara konsisten
ternyata tidak. Karya-karya tentang Islam yang diwarnai oleh bias kultural dan sentimen keagamaan,
misalnya digunakan untuk kepentingan eksploitasi dan bahkan kilonialisasi. Pemikiran sekularisme,
demokrasi, liberalisme yang di suntikkan kedalam pemikiran ummat Islam bukanlah murni pemikiran, ia
telah berubah bentuk menjadi politik pemikiran. Pemikiran ini tidak menjadi ilmu tapi menjelma
menjadi kebijakan politik.
Cheryl Bernard adalah sosiologis yang pernah menulis novel-novel feminis yang memojokkan ulama dan
menyatakan wanita dalam Islam itu tertindas. Jilbab menurutnya diambil dari pemahaman yang salah
terhadap al-Quran, dan merupakan simbol pemaksanaan dan intimidasi. Suaminya adalah Zalmay
Khalilzad, blasteran Afghan-Amerika yang menjadi asisten khusus Presiden George W Bush dan Ketua
Dewan Keamanan Nasional (National Security Council (NSC) khusus untuk teluk Persia dan Asia Barat-
Daya. Selain itu ia pada tahun 1980 bekerja dibawah Paul Wolfowitz pada Policy Planning Council. Pada
saat terjadi perang terhadap Iraq tahun 1991, Zalmay menjadi sekretaris menteri pertahanan.
Cheryl Bernard menulis ini dibawah proyek penelitian sebuah lembaga swadaya masyarakat di Amerika
lembaga itu bernama Rand Corporation. Sebuah lembaga riset yang mengklaim sebagai lembaga
independen yang membuat “analisa obyektif dan solusi efektif terhadap persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat ataupun individu diseluruh dunia”. Lembaga ini dibiayai oleh Smith Richardson Foundation.
Di lembaga ini Cheril menulis untuk Divisi Riset Keamanan Nasional (National Security Research Division)
dimana suaminya bekerja. Tujuan dari buku ini adalah untuk membuat suatu laporan dan usulan dalam
rangka membantu kebijakan pemerintah Amerika, khususnya dalam soal pemberantasan ekstrimisme,
dan pengembangan bidang sosial, ekonomi, politik melalui proses demokratisasi. Yang jelas divisi ini
bertugas memberi saran-saran kepada pemerintah Amerika bagaimana menghadapi fundamentalisme
dalam Islam dan menyebarkan pemikiran liberal ketengah-tengah umat Islam.
Sebuah saran tentunya berdasarkan pertimbangan dan dasar pemikiran tertentu. Pemikiran mana yang
menjadi asasnya, ia pilih sejalan dengan kepentingannya. Berdasarkan pemikiran itu ia memberi
masukan kepada pemerintah Amerika, pertama tentang nilai-nilai mana dalam Islam yang bisa diseret
kedalam nilai-nilai Amerika. Kedua tentang peta masalah-masalah umat Islam dalam konteks nilai-nilai
Amerika. Dan akhirnya muncullah saran-saran agar isu-isu seperti demokrasi dan HAM, poligami,
hukuman bagi kriminalitas, keadilan, masalah minoritas, pakaian wanita, hak-hak suami-istri dsb. masuk
kedalam pemikiran umat Islam. Saran-saran itu, seperti yang akan lihat dibawah ini, dilaksanakan
dengan baik di Indonesia.
Strategi Politik Pemikiran
Politik pemikiran Cheryl nampak jelas ketika ia mengemukakan suatu strategi yang bertujuan untuk
merobah dunia Islam agar sesuai dengan “tatanan” dunia internasional kontemporer, Amerika Serikat
dan Barat. Tujuannya adalah:
To encourage positive change in the Islamic world toward greater democracy, modernity, and
compatibility with the contemporary international world order, the United States and the West need to
consider very carefully which elements, trends, and forces within Islam they intend to strengthen (hal x)
Karena tujuannya untuk mem-Barat-kan umat Islam, maka ia hanya memilih elemen-elemen dan nilai-
nilai Islam yang sesuai dengan Barat saja untuk dikembangkan. Ini tentu untuk memuluskan jalannya
modernisasi, westernisasi dan Amerikanisasi. Bahkan lebih praktis lagi Bernard menyarankan agar Barat
memberikan “bantuan” bagi pengembangan nilai-nilai Barat tersebut kedalam pemikiran ummat Islam.
Bantuan itu kini telah mengucur ke berbagai LSM-LSM di Indonesia.
Tidak hanya menyeret nilai-nilai Islam kedalam nilai-nilai Barat, Cheryl Bernard juga membuat kategori
kelompok-kelompok umat Islam dengan bahasa kultural Barat. Kelompok Islam dalam laporan itu dibagi
menjadi Muslim sekularis, Tradisionalis, fundamentalis dan modernis (dalam kelompok terakhir ini
termasuk Muslim liberal). Muslim modernis misalnya, dinisbahkan kepada Muslim yang bekerja untuk
Barat dan yang mendukung masyarakat demokratis modern. Sementara itu Muslim fundamentalis
radikal (the radical fundamentalists) adalah mereka yang anti demokrasi Barat, nilai-nilai Barat secara
umum, dan Amerika Serikat khususnya; pokoknya tujuan dan visi kelompok ini tidak sesuai dengan
Barat. Jadi standar klasifikasi ini adalah Barat, dan bukan berdasarkan realitas umat Islam. Memang,
inilah strategi pemikiran.
Dari pemikiran dan gambaran tentang umat Islam yang salah itu Cheryl mengusulkan saran-saran
strategi pemikiran kepada pemerintah AS. Saran-saran strategis itu dibagi menjadi dua A. Dasar-dasar
strategis dan B. akifitas khusus untuk mendukung strategis tsb
Saran-saran strategis yang diberikan Cheryl kepada pemerintah AS adalah sbb: 1) Ciptakan tokoh atau
pemimpin panutan yang membawa nilai-nilai modernitas 2) Dukung terciptanya masyarakat sipil (civil
society) didunia Islam.3) Kembangkan gagasan Islam warna-warni, seperti Islam Jerman, Islam Amerika,
Islam Inggeris dst. 4) Serang terus menerus kalompok fundamentalis dengan cara pembusukan person-
personnya melalui media masa. 5) Promosikan nilai-nilai demokrasi Barat modern 6) Tantang kelompok
tradisionalis dan fundamentalis dalam soal kemakmuran, keadilan sosial, kesehatan, ketertiban
masyarakat dsb. 7) Fokuskan ini semua kepada dunia pendidikan dan generasi muda Muslim.
Untuk memperkuat dan mempercepat pembangunan masyarakat sipil Islam yang demokratis dan
modern Cheryl Bernard mengusulkan strategi sbb: 1) Dukunglah kelompok modernis, perluas visi
mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Kemudian angkat mereka secara
publik sehingga menjadi figure Muslim kontemporer. 2) Dukunglah kelompok sekularis kasus per kasus.
3) Kembangkan lembaga-lembaga dan program-program sekuler dibidang sosial dan kultural 4) Dukung
kelompok tradisionalis secukupnya sekedar dapat berlawanan dengan fundamentalis dan dapat
menghindari persatuan kedua kelompok ini. 5) Musuhi kelompok fundamentalis secara energik dengan
menyerang kelemahan mereka dalam pemahaman dan ideologi keislaman mereka, seperti
membuktikan korupsi, kebrutalan, kebodohan, bias mereka dan kesalahan mereka dalam mengamalkan
Islam serta ketidak mampuan mereka dalam memimpin dan memerintah.
Untuk mendukung mendukung langkah-langkah strategis tersebut Cheryl juga memberikan saran-saran
taktis sbb:
1) Pertama-tama dukung kelompok cendekiawan modernis (liberal). Dorong mereka menulis untuk
publik dan anak muda. Terbitkan dan sebarkan kerja-kerja mereka dengan bantuan biaya. Masukkan
ide-ide mereka ini kedalam kurikulum pendidikan Islam. Usahakan agar pandangan mereka tentang
masalah-masalah mendasar dalam penafsiran agama dapat dibaca oleh masyarakat dan agar
berkompetisi dengan kelompok fundamentalis dan tradisionalis.
2) Dukung kelompok tradisionalis dalam menghadapi fundamentalis. Publikasikan kritik-kritik kelompok
tradisionalis terhadap tindak kekerasan dan ektrimisme kelompok fundamentalis. Pupuk terus
perselisihan antara tradisionalis dan fundamentalis, dan jangan sampai mereka bersatu. Upayakan agar
pemikiran tradisionalis mendekati modernis. Kalau perlu didiklah kelompok tradisionalis agar dapat
melawan fundamentalis. Fundamentalis biasanya lebih superior dalam retorika, tapi tradisionalis masih
agak tertinggal. Tingkatkan jumlah kelompok modernis (liberal) dalam institusi tradisionalis.
3. Hadapi dan lawan fundamentalis. Tantanglah penafsiran mereka tentang Islam dan tunjukkan
ketidakakuratannya. Bongkar jaringan mereka dengan kelompok-kelompok illegal. Publikasikan segala
konsekuensi dari tindak kekerasan mereka. Tunjukkan juga ketidak mampuan mereka untuk memimpin,
untuk mencapai perkembangan positif bagi Negara dan masyarakatnya. Kemudian sebarkan hal ini
kepada generasi muda, kepada masyarakat tradisionalis yang taat, minoritas Muslim di Barat dan
kepada para wanita. Hindarkan rasa respek atau pemujaan terhadap kekerasan yang dilakukan
kelompok fundamentalis, ekstrimis dan teroris. Juluki mereka sebagai pahlawan jahat, penakut dan
tidak waras. Doronglah para wartawan untuk menginvestigasi korupsi, kemunafikan dan tindak amoral
dalam kelompok fundamentalis dan teroris. Pecah belahlah kelompok fundamentalis.
4. Dukunglah kelompok sekularis dengan secara hati-hati. Dorong kelompok ini agar mengakui
fundamentalisme sebagai musuh bersama. Hindarkan agar kelompok sekularis ini tidak beraliansi
dengan kekuatan anti AS yang didorong oleh nasionalisme atau ideologi kiri. Dukunglah ide bahwa
dalam Islam agama dan Negara dapat dipisahkan dan ini tidak membahayakan keimanan tapi malah
memperkuat keimanan. Posisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan bagi ummat Islam.
Upayakan agar dikalangan ummat Islam tumbuh kesadaran dan ketertarikan kepada sejarah dan kultur
pra-Islam dan non-Islam. Bantulah kelompok ini dalam mengembangkan organisasi sipil yang
independent agar mereka dapat mengembangkan diri melalui proses politik. (hal.48)
Lebih lanjut Cheryl Bernard memberi masukan tentang langkah praktis yang perlu dilakukan untuk
mendukung strategi dan taktik diatas. Kegiatan-kegiatan yang ia usulkan adalah sbb: 1) Rebut atau
rusaklah "monopoli" kelompok fundamentalis dan tradisionalis dalam menjelaskan dan menafsirkan
Islam. 2) Cari kelompok modernis / liberal yang dapat membuat website yang menjawab berbagai
pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku harian dan kemudian menawarkan pendapat Muslim
modernis tentang hukum-hukumnya. 3) Doronglah cendekiawan Modernis / liberal untuk menulis buku
teks dan mengembangkan kurikulum dan berilah bantuan finansial. 4) Gunakan media regional yang
populer, seperti radio, untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran Muslim modernis / liberal agar
membuat dunia internasional melek tentang apa arti Islam dan dapat berarti apa Islam itu.
Meski disini tidak dapat dihadirkan bukti bahwa Amerika menerima dan melaksankan saran-saran Cheryl
Bernard, tapi kita bisa saksikan saran-saran Cheryl Bernard di implementasikan di Indonesia secara
perlahan-lahan tapi pasti. Fenomenanya jelas. Muslim pendukung Barat dipromosikan media masa
menjadi tokoh baru. Kini istilah civil socity sudah sering keluar mulut cendekiawan Muslim dan akrab
ditelinga mahasiswa. Konsep civil socity pun dianggap sepadan dengan konsep masyarakat madani.
Modernis dan Liberal Muslim pendukung Barat adalah pembela aliran sesat, atau aliran-aliran sempalan.
Muslim yang tidak sejalahn dengan liberal, sekuler, demokrasi Barat, akan segera dicap teroris,
fundamentalis dan anti Barat. LSM-LSM kini tidak lagi berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, tapi
lebih kepada pembaratan masyarakat. Proposal proyek untuk “mengekspor” kemiskinan masyarakat ke
Negara-negara Barat tidak laku lagi. Sementara proposal untuk menjual paham masyarakat sipil,
demokrasi, gender, liberalisme, pluralisme agama, multikulturalisme dan semacamnya tidak lagi mencari
bantuan Barat, tapi dicari-cari Barat untuk dibantu. Bahkan yang paling keras mengkritik ajaran Islam
dan tradisi pemikiran Islam serta membawa gagasan-gagasan aneh kini mudah mendapat dana dan
biasiswa dari Barat. Inilah barangkali yang disindir al-Baqarah (Q.S. 2:41, 79, 173), Ali Imran (Q.S.
3:77,187, 199), al-Maidah (Q.S. 9:44), al-Tawbah (Q.S. 9:9) dan al-Nahl (Q.S. 16: 95). sebagai menjual
ayat-ayat Tuhan dengan harga murah. Well done Mrs. Cheryl !!
Syahwat Pikiran
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
alzheimers-fight_23311Inpasonline.com-Orang berzina, membunuh, mencuri itu karena syahwat. Orang
korupsi, merampok, memanipulasi itu karena dorongan syahwat. Ada pula orang berbeda pendapat dan
berselisih hingga bermusuhan karena syahwat. Bahkan boleh jadi ada orang bertausiyah, menyalahkan
orang lain dengan penuh syahwat.
Syahwat adalah nafsu atau hawa nafsu yang dimiliki oleh manusia tapi juga dimiliki oleh hewan. Namun
Allah swt memberi manusia syahwat, tapi juga memberinya akal dan ilmu. Dengan akal, syahwat
manusia akan membawa kepada kebaikan. Namun tanpa akal dan ilmu syahwat akan menyesatkan.
Orang sesat karena menggunakanhawa nafsunya tanpa akal dan ilmu sehingga tidak dapat ditolong (QS
al-Rum 29).
Maka barangsiapa yang akalnya mengikuti syahwatnya maka ia akan sesat, bahkan lebih sesat dari
binatang. Namun jika syahwatnya mengikuti atau dipimpin oleh akalnya maka boleh jadi ia lebih mulia
dari Malaikat.
Maka ketika seorang sedang berzina, memperkosa, membunuh dan mencuri, sesungguhnya ia sedang
dipimpin syahwatnya dan kehilangan imannya. Karena meninggalknan imannya maka ia kehilangan
akalnya. Berarti seorang yang beriman itu adalah orang-orang yang cerdas menggunakan akalnya,
sedangkan seorang pezina dan pencuri itu hilang akal sehingga menjadi bodoh dan derajatnya rendah
serendah hewan. Namun, ada yang lebih berbahaya dari “syahwat yang menyesatkan pada perut dan
kemaluan” yang juga dikhawatirkan oleh Rasulullah. Syahwat itu adalah hawa nafsu yang
menyimpangkan dari jalan yang lurus.” (H.RMuslim).
Jalan lurus adalah Islam dan Iman. Apa dibuat menyimpang oleh hawa nafsu boleh jadi adalah pikiran
seseorang. Terbukti tidak sedikit kasus dimana pemikir, ilmuwan, cendekiawan yang pikirannya dirasuki
oleh syahwat atau hawa nafsunya. Pemikir seperti ini bisa jadi menghujat agama, mencaci ulama,
mencaci saudara seiman, mencari cari kesalahan orang lain dan sebagainya.
Bagaimanakah syahwat bisa membuat pikiran menyimpang? Al- Qur’an menunjukkan bahwa karena
syahwat hati seseorang itu terkunci. Padahal hati itu adalah juga akalnya. Karena syahwat
pendengarannya dan penglihatannya terhalang (QS. Al- Jatsiyah: 23), walhal keduanya adalah sumber
ilmu. Maka wajar jika syahwat dominan akal tidak lagi berfungsi dalam menentukan baik buruk.
Selain itu dalam Islam yang dilarang bukan berfikir rasional atau menggunakan akal, tapi berfikir yang
mengikuti syahwat. Sebab mengikuti hawa nafsu … akan menyesatkan manusia dari jalan Allah..” (QS.
Shaad: 26). Ini sebenarnya suatu tindak ketidak adilan dalam diri seseorang. Yaitu suatu tindakan
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Orang yang melakukan tindakan seperti ini tentu bukan orang yang dapat disebut adil. Orang seperti itu
yang dilarang untuk dijadikan pemimpin dan ditaati. Firman Allah jelas sekali: “Dan janganlah engkau
taati orang yang Kami lalaikan hatinya untuk mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya dan
keadaannya sudah melampaui batas”. (QS.Al-Kahfi : 28).
Mafhum mukhalafah ayat ini jelas. Ilmuwan dan pemimpin yang berhak ditaati manusia adalah orang
yang hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada- Nya. Pikirannya bisa menguasai hawa nafsunya sehingga ia
mengetahui batas-batas kebebasan yang boleh dilakukan dan yang tidak.
Untuk mengatasi ini Imam al- Ghazzali memberikan solusnya berupa kesabaran. Sabar dalam syahwat
disebut iffah; sabar dari marah adalah al-hilmu; sabar dari kelebihan adalah al-zuhdu. Semua itu dapat
diperoleh dengan tiga hal yaitu puasa, ibadah yang berat-berat dan terakhir berdoa. Wallahul musta’an.
———-
Dimuat di Koran Republika, 16 Juni 2016
EQUALITY (PERSAMAAN)
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Nancy, sebut saja begitu, tiba-tiba minta cerai dari James, suaminya seorang profesional. Padahal ia
sudah 10 tahun menikah. Sebagai ibu rumah tangga dengan 2 orang anak Nancy begitu menikmati
kehidupannya. Penghasilan suami, sekolah anak-anak, dan kehidupan rumah tangganya tergolong
sejahtera.
Tapi, Nancy ternyata telah “kerasukan” paham kesetaraan gender. Ia menjadi tidak nyaman
berkeluarga. Mengurus rumah tangga tiba-tiba serasa seperti pembantu atau budak.
Di kepalanya serasa ada yang terus membisikkan tulisan Berger The family now appears as an age-old
evil. Heterosexual is rape; motherhood is slavery, all relation between the sexes are struggle of power.
(Keluarga sekarang nampak seperti setan tua. Hubungan seks pria wanita adalah perkosaan; peran
keibuan adalah perbudakan; semua hubungan antarjenis kelamin adalah perjuangan untuk kekuasaan).
Maka, sukses suaminya dirasa menambah rasa superioritas dan penguasaan terhadap dirinya. Meski itu
tidak secuil pun terbesit dalam pikiran suaminya.
Setelah cerai ia berharap akan bebas dari suami, bisa berkarir sendiri, dan tidak terikat di dalam rumah
tangga. Tapi itu hanya harapan. Setelah cerai ternyata karirnya tidak sejaya mantan suaminya. Rumah
tangga dan anak-anak masih di urusnya sendiri dan nyaris kehilangan perhatian. Di dunia kerjanya
banyak masalah yang tidak mudah dihadapi.
Di dalam benaknya terdetik penyesalan “ternyata sendiri itu tidak nyaman”. Tanpa suami hidupnya
terasa pincang. Benarlah wisdom dari Nabi: ”Sungguh miskin! wanita tanpa laki-laki. Sungguh miskin!
laki-laki tanpa wanita”. Kalau saja Nancy pernah membaca hadis ini dia tentu akan mengumpat para
feminis atau berpikir panjang untuk cerai. Asalkan dia tidak membaca hadis itu dengan hermeneutika.
Mimpi Nancy adalah equality. Itu adalah tuntutan zaman postmo yang sarat kepentingan sesaat dan
selalu berubah-rubah. Mimpi Nancy adalah misi postmo, yakni membangun persamaan total.
Jargonnya sayup-sayup seperti berbunyi “persamaan adalah keadilan”. Artinya kerja menyetarakan
adalah kebaikan, dan membeda-bedakan adalah kejahatan. Sebab teori menyama-nyamakan adalah
bawaan pluralisme dan relativisme. Dua doktrin penting yang berada pada melting pot postmodern.
Tapi penyamaan adalah utopia fatamorganis. Menjanjikan tapi tidak menjamin. Membela tapi untuk
menguasai. Sebab para pakar di Barat yang sadar mengkritik misi ini.
Di tahun 1715-1747 Marquis De Vauvenargues sudah wanti-wanti “Alam tidak mengenal kesamaan;
hukum, yang berlaku adalah subordinasi dan ketergantungan”. Hampir seabad kemudian James Anthony
Fuller, (m. 1894) mengulangi pesan Marquis “Man are made by nature unequal, it is vain, therefore to
treat them as if they were equal”.
Fakta sosial juga menunjukkan bahwa in-equality antara sesama laki-laki sekalipun bisa diterima. Apalagi
antara laki-laki dan wanita. Fakta biologis menjelaskan strukur tubuh laki-laki dan perempuan berbeda
dan membawa perbedaan psikologis. Karena itu Dr. Ratna Megawangi dengan tepat dan cerdas
memberi judul bukunya “Membiarkan Berbeda”.
Jika demikian apa berarti tuntutan equality tidak universal? Memang! Sebab kebebasan dan persamaan
adalah bagian dari America’s core culture (Fukuyama).
Malahan, kata Ronald Inglehart dan Pippa Norris kesetaraan gender, kebebasan seks, perceraian, aborsi,
dan hak-hak gay adalah ciri khas Barat. Maka benturan Islam–Barat adalah Sexual clash of Civilization”,
tulisnya. Itulah, equality memang tidak universal.
Tapi mengapa kini tiba-tiba menjadi seperti universal? Sebab equality satu paket dengan Westernisasi,
modernisasi dan globalisasi. Mulanya (abad 19 hingga awal abad 20) hanya sekedar menuntut kesamaan
hak pilih, tapi kemudian (1960an-1980an) persamaan bidang hukum dan budaya. Periode selanjutnya
(1990an) adalah evaluasi kegagalan gerakan pertama dan intensifikasi gerakan kedua.
Penyebarannya berbasis teori Foucault “untuk menjajah pemikiran kuasai wacana!”. Caranya, semua
bangsa dan bahkan agama didorong untuk bicara gender. Yang menolak berarti ndeso alias kampungan.
Strategi dan aplikasinya menjadikan kesetaraan gender sebagai neraca pembanguan di PBB.
Pembangunan diukur dari peran wanita didalamnya dalam bentuk GDI (Gender Development Index).
Tapi benarkah peran wanita dapat menjadi neraca pembangunan?, Ternyata tidak. di Negara-negara
seperti Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan sebagainya telah ada equality dan equal
opportunity dalam pendidikan dan pekerjaan. Tapi itu tidak juga mengangkat share income dalam
keluarga.
Korelasi antara equality dan kemajuan pembangunan tidak terbukti. Prosentase anggota parlemen di AS
misalnya hanya 10.3%, di Jepang 6.7%, di Singapura hanya 3.7%, sedangkan Indonesia 12.2%. Meski
begitu Indonesia juga tidak lebih maju dari AS, Singapura dan Jepang, dalam semua bidang, khususnya
pembangunan ekonomi.
Di Timur seperti Jepang, Taiwan, Indonesia, Pakistan, India, Saudi, Mesir dan sebagainya total equality
tidak benar-benar dikehendaki wanita. Di negeri-negeri itu profesi ibu rumah tangga masih banyak
diminati. Di Jepang antara wanita praktis tidak bekerja ketika menjadi istri dan mengurus keluarga. Tapi
tidak ada pengaruh ekonomi yang signifikan terhadap Negara.
Lucunya, di negeri ini ulama, kyai dan cendekiawan Muslimnya tergiur untuk “mengimpor” paham
kesetaraan ini. Mereka menjadi pongah lalu melabrak syariat. Fikih empat mazhab itu “dicaci” sebagai
terlalu maskulin dan harus dirombak. Ayat-ayat gender ditafsirkan ulang demi equality. Yang muhkamat
(pasti) diangggap mutasyabihat (ambigu).
Akhirnya, lahirlah konsep fikih berwawasan gender, lesbianisme dianggap fitrah dan perilaku homoseks
dianggap amal saleh. Lucu! bak shalawat dilantunkan secara rap atau R&B, atau bagaikan masjid dihias
pohon natal.
Jika para pegiat feminisme, mendapat berbagai awards dari Barat tidak aneh. Semakin galak menista
syariat semakin bertaburan awards-nya. Tapi ide penerima awards tidak berarti benar dan sebaliknya.
Sebab dari penelitian Yayasan Ibu Harapan di 6 kota besar di Indonesia, gagasan fikih itu ditolak oleh
90% responden dari 500 muslimah.
Ide persamaan hak waris pun ditolak 91% responden. Bahkan mayoritas (97.4%) tidak sepakat dengan
ulah Aminah Wadud menjadi Imam. Apalagi perilaku Irsyad Manji yang lesbi dan pendukungnya di
negeri ini.
Masalahnya apakah tuntutan kesetaraan itu setingkat 50-50? Jika benar, apakah tuntutan hak juga perlu
disamakan dengan pelaksanaan kewajiban, khususnya dalam agama?, Padahal dalam Islam ada hak-hak
(huquq) dan kewajiban (waajibat). Jika kesetaraan penuh tidak mungkin, apa saja yang harus
disamakan?.
Mungkin benar pepatah Latin kuno yang berbunyi Omne Simile claudicate itaque de singulis verbis age
(Semua persamaan itu pincang, oleh karena itu jelaskanlah secara rinci). Dan sungguh benar firman Allah
bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita meski tidak harus beda surga.
Berfikir dan Beriman
Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi
islamInpasonline.com-Seorang dosen filsafat Islam di sebuah universitas Islam tiba-tiba memulai
kuliahnya dengan kata-kata yang provokatif. Ia mengatakan:”Kita sekarang berlajar filsafat, maka
masukkan iman kalian ke dalam saku terlebih dahulu.” Tidak jelas apa yang dimaksud, ia pun
meneruskan kuliahnya.
Apa yang dikuliahkan itu tidak penting. Tapi cara berfikir dosen itu penting dibahas. Apa yang perlu
dicatat pertama-tama adalah bahwa dosen ini jelas berasumsi bahwa berfikir dan beriman itu dua hal
yang berbeda. Artinya ketika seseorang itu berfikir, maka ia tidak sedang beriman atau tidak boleh
beriman. Sebaliknya, ketika seseorang itu sedang beriman maka fikirannya harus istirahat. Ini seirama
dengan pandangan Emanuel Kant (w.1804) bahwa teologi itu bukan ilmu atau senada dengan cara
pandang dichotomis, agama tidak bisa jadi ilmu. Pastinya ini adalah cara pandang sekuler.
Tapi Islam tidak mengajarkan demikian. Sederhananya, Islam adalah agama yang dianut dan diimani
dengan akal. Sebab seseorang yang dilahirkan sebagai Muslim sekalipun tidak wajib beriman dan
berislam kecuali setelah dia dapat menggunakan akalnya alias mencapai umur Aqil dan baligh. Bahkan
hadith Nabi menegaskan bahwa dasar keberagamaan dalam Islam itu adalah fikiran, tanpa fikiran berarti
tidak ada keberagamaan religiusitas (al-dīn ‘aqlun la dīna liman la ‘aqla lah). Artinya beriman dalam
Islam itu berdasarkan pada akal, dan ilmu ‘aqliyah itu bertujuan untuk beriman. Dalam hal ini Nabi
menegaskan bahwa:
Barangsiapa tambah ilmunya, tapi tidak tambah petunjuknya, maka ia akan tambah jauh dari tuhannya
(al-hadīth).
Hadith ini dapat diartikan begini: berangsiapa ilmunya tidak mengandung iman maka bertambahnya
ilmu hanya akan menambah kesesatan. Logikanya, karena ‘ilm itu mengandung iman dan sebaliknya,
maka sudah barang tentu bertambahnya ‘ilm itu akan menambah kekuatan iman.
Logika seperti ini akan lebih mudah difahami jika dibandingkan dengan kredo Katholik. Bagi mereka
keimanan adalah asas dari pemahaman credo ut intellegam (saya beriman supaya saya faham). Tapi
dalam Islam pemahaman yang menggunakan akal fikiran itu adalah asas keimanan. Maka dari itu ilmu
dalam Islam adalah prasyarat iman, mencapi umur akil baligh adalah presyarat berislam. Non-Muslim
yang baligh dapat masuk Islam setelah mamahami Islam, dan tidak boleh dipaksa. Maka kredo tersebut
bagi Muslim harus dibalik menjadi intellego ut credam (saya faham supaya saya beriman).
Untuk mengetahui bagaimanakah proses berfikir dan beriman itu, perlu tahu pula kompleksnya
perangkat jiwa manusia dalam Islam. Dalam Islam terdapat nafs (jiwa), sadr (dada), ‘aql (akal ), qalb
(hati), Fu’ad (nurani), al-Lubb (akal fikiran yang beriman) dan lain sebagainya.
Menurut Hakim al-Tirmidhi (w. 320 H), qalb (hati) itu diibaratkan sebagai mata, sadr adalah putih mata,
fu’ad adalah hitamnya pupil mata sedangkan lubb adalah cahaya mata. Itu semua disebut nafs sebagai
potensi utamanya. Di dalam jiwa terdapat potensi qalb dan di dalam qalb terdapat sadr. Jika diibaratkan
sebuah struktur kekuasaan qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik –
seperti sabda Nabi – maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”.
Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan
baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahanya. Maka cahaya hati adalah ketaqwaan dan keyakinannya.
Sekarang marilah kita cermati dimanakah letak ilmu itu dalam diri manusia. Secara umum al-Ghazalī
menyatakan bahwa:
“ilmu adalah kehadiran makna sejati dari benda-benda – dan segala kualitas, kuantitas, substansi dan
esensi benda-benda itu – dalam jiwa yang tenang dan rasional, (al-nafs al-nÉtiqah mutma’innah)”….
Definisi al-Ghazalī (w.1111) ini mirip dengan definisi para ulama sezamannya. Dalam tradisi Islam ilmu
diartikan sebagai sampainya makna kedalam fikiran (dhihn) dan sampainya fikiran kedalam makna. Ini
mengindikasikan bahwa jiwa yang dimaksud al-Ghazalī adalah fikiran. Berarti ilmu itu berada di dalam
jiwa, tapi jiwa sendiri memilki bagian-bagian yang tak terpisahkan dan saling berhubungan.
Berkaitan dengan letak ilmu al-Qur’an menjelaskan bahwa alat untuk memahami sesuatu adalah qalb
(QS. al-A’raf 179). Namun, Hakim al-Tirmidhi menjelaskan bahwa tempat masuknya cahaya ilmu
(termasuk ajaran Islam) adalah sadr. Ketika seseorang kita anggap sedang “berfikir” yang pertama-tama
bekerja adalah sadr. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia termasuk nafsu
amarah, nafsu birahi, cita-cita, keinginan. Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang datang
melalui panca indera, termasuk khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran itu
berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadara (muncul), atau sadr
(pusat).
Menurut Hakim al-Tirmidhi sadr menerima informasi awal dari segala sesuatu dan kemudian fuad
memprosesnya. Di dalam fuad inilah tempat cahaya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep dan pandangan.
Kerja-kerja fuad itu kemudian dilimpahkan kepada qalb. Qalb adalah juga tempat bersemayamnya
cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan,
kesabaran, kepuasan. Artinya qalb bisa berfungsi sebagai tempat iman dan juga sebagai tempat ilmu.
Informasi yang masuk kedalam qalb itu kemudian diproses di tempat yang paling tinggi yaitu lubb. Arti
lubb yang sebenarnya adalah akal pikiran yang beriman. Ulul Albab adalah orang yang berakal fikiran
tauhidi, maka lubb adalah tempat cahaya ketauhidan.
Disini jelas bahwa kita tidak bisa berfikir tanpa melibatkan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Jika mindset
dosen diatas ditrapkan maka bisa jadi fikiran kita bisa menjadi sangat rasional, tapi hati kita justru kufur
kepada Allah. Kita juga bisa menjadi liberal, sekuler bahkan ateis, dan pada saat yang sama merasa
sebagai ulul albab.
Jadi jika seseorang berfikir dan pada saat itu ia membuang jauh-jauh keimanannya, maka besar
kemungkinan fu’ad, qalb dan lubb orang tersebut tidak digunakan, alias menganggur. Fikirannya tidak
membawanya lebih dekat dengan Tuhannya. Segala amal perbuatannya menjadi bukan untuk ibadah.
Buah fikirannya tidak memancarkan cahaya, karena cahaya ilahi tidak akan pernah masuk kedalam
fikiran orang yang tidak niat untuk beribadah, tapi terjerumus kedalam kubangan maksiat.
Padahal dalam Islam segala aktifitas seorang Muslim, ilmiyah atau non ilmiyah adalah lillah untuk ibadah
demi mencapai mardatillah sehigga akhir perjalanan pemikirannya dapat mencapai hikmah. Barangsiapa
dikarunia Allah suatu hikmah, maka ia telah dikaruniai kebaikan yang berlimpah. Wallau a’lam bis
showab.
Tulisan dimuat Jurnal Islamia Volume X No. 1 Januari 2016
Gerakan Feminisme, Persamaan Gender dan Pemahaman Agama (Bahagian 2)
Butiran
Dimuatnaik oleh Asma
Diterbitkan: 09 November 2017
Implikasi Fahaman Persaman Gender Terhadap Agama
Fahaman persamaan hak antara lelaki dan perempuan ini akan mempengaruhi struktur hukum dalam
keluarga, sehingga dengan alasan ’persamaan hak’ mereka menuntut larangan berpoligami, kerana
poligami merupakan ketidakadilan terhadap wanita. Demikian juga dengan alasan ’persamaan gender’
gerakan ini menuntut agar diubah hukum perkahwinan berbeza agama, kerana perkahwinan
berdasarkan agama menurut gerakan ini bertentangan dengan asas persamaan hak.
Demikian juga menurut gerakan feminisme, ijab dan qabul pernikahan bukan dilakukan oleh pihak lelaki
sahaja, tetapi juga boleh dilakukan oleh pihak perempuan. Dalam masyarakat muslim liberal India,
pernah terjadi perkahwinan yang dilakukan oleh seorang wanita, dengan tuan qadhi wanita, dan saksi
wanita. Dalam bab hak cerai pula, berdasarkan hukum persamaan hak, jika suami berhak menceraikan
isterinya dengan suatu lafaz cerai, maka mengapa wanita tidak boleh menceraikan suaminya secara
langsung tanpa perlu membuat tuntutan cerai melalui mahkamah syariah, sedangkan selama ini suami
berhak menceraikan isteri tanpa melalui proses tersebut? Oleh sebab itu, dengan dalil persamaan hak,
isteri juga mempunyai hak untuk menceraikan suami tanpa melalui proses tuntutan ke mahkamah.
Demikian juga dalam persoalan iddah (masa menunggu perkawinan selanjutnya) bagi perempuan yang
diceraikan. Jika selama ini setelah bercerai atau kematian pasangan, seorang suami boleh terus
berkahwin tanpa menunggu tempoh iddah, sedangkan isteri harus menunggu tempoh iddah selama 3
quru’ (3 kali suci daripada haid) sebelum berkahwin semula, maka menurut gerakan feminisme ini tidak
adil. Menurut mereka jika wanita mempunyai tempoh iddah, maka lelaki juga harus mempunyai tempoh
iddah, malahan mereka menuntut tempoh iddah lelaki selama 130 hari. Atau sebaliknya, jika lelaki dapat
berkahwin tanpa melalui tempoh iddah, maka demikian juga perempuan yang diceraikan dapat
berkahwin semula tanpa harus menunggu tempoh iddah tersebut. - Jawatankuasa Pemikir Pejabat Mufti
Wilayah Persekutuan telah ditubuhkan pada 20 Mac 2012. Sila rujuk http://www.muftiwp.gov.my/v1/
untuk mengetahui matlamat dan objektif penubuhan.
Demikian juga gerakan ini menuntut persamaan memusakai harta antara lelaki dan perempuan. Jika
selama ini harta pusaka lelaki adalah dua bahagian berbanding satu bahagian sahaja harta pusaka
perempuan, maka menurut gerakan feminisme, ini merupakan suatu ketidakadilan, maka mereka
menuntut persamaan hak di antara lelaki dan perempuan dalam pembahagian pusaka dengan masing-
masing memperolehi satu bahagian.
Lebih hebat lagi gerakan ini meminta perkahwinan antara lelaki dengan lelaki, atau antara wanita
dengan wanita juga harus dianggap sah, kerana perkahwinan yang dibenarkan antara lelaki dan
perempuan merupakan ketidakadilan gender. Musdah Mulia dalam buku ”Islam Agama Rahmat Bagi
Alam” menyatakan, : “menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju
pada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab menjadi heteroseksual,
homoseksual (gay atau lesbi) dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih
dapat disebut sunatullah..sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia..jika hubungan sejenis
atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian tujuan dasar tadi, maka
hubungan demikian dapat diterima “.
Pada waktu undang-undang perceraian di Mesir disahkan atas landasan persamaan gender, di mana
undang-undang membolehkan seorang isteri menjatuhkan cerai kepada suami-suami mereka, maka
sejak dikuatkuasakan undang-undang tersebut sehingga tahun 2009 telah terdapat 12,000 orang suami
di Mesir yang diceraikan oleh isteri-isteri mereka, sehingga suami yang diceraikan tersebut membentuk
sebuah organisasi bekas suami yang menuntut kepada Mahkamah Mesir, dan Lembaga Fatwa Al-Azhar
untuk merubah undang-undang tersebut. Inilah akibat jika undang-undang persamaan gender
diterapkan dalam hukum perceraian, sehingga perempuan mempunyai hak menceraikan suami,
walaupun perkara sedemikian bertentangan dengan hukum fekah.
Demikian juga di India menurut akhbar Malay Today,13 Ogos 2008, kelompok Muslim Liberal telah
menjalankan satu pernikahan yang dilakukan oleh wali perempuan terhadap calon pengantin
perempuan, sehingga akad nikah diucapkan dengan ucapan dari seorang wali perempuan : “ Aku
nikahkan engkau (calon pengantin perempuan) dengan si fulan (calon pengantin lelaki) “.
Perkahwinan tersebut disahkan oleh dua orang saksi perempuan. Ini semua terjadi akibat hukum
persamaan gender dibenarkan berlaku, sedangkan penjaga perempuan dalam syariat Islam tidak boleh
menjadi wali dalam pernikahan kerana hanya lelaki sahaja yang mempunyai hak menjadi wali. - Hamid
Fahmi, Liberalisasi Pemikiran Islam, CIOS-ISID, Gontor, 2007, hal.110 3 Laman web
www.eramuslim.com,10 Desember2009 4 Malay Today,13 August 2008.
Demikian juga dalam hukum perkahwinan muslim, sepatutnya akad nikah dilakukan oleh wali pengantin
perempuan kepada pengantin lelaki, bukan kepada pengantin perempuan. Saksi perkahwinan juga yang
disyaratkan lelaki dari dua keluarga, dirubah menjadi saksi perempuan. Tanpa disedari gerakan
persamaan gender telah merubah hukum-hukum fekah yang telah ditetapkan oleh nas agama. Dengan
kata lain, jika hukum persamaan gender ini berlaku secara menyeluruh, maka semua hukum fekah akan
dirubah kerana dalam ajaran Islam, banyak syarat yang hanya dapat dilakukan oleh lelaki sahaja, seperti
syarat perwalian, syarat menjadi imam solat Jumaat, dan sebagainya.
Pada bulan Jun 2012 yang lalu, Parlimen Indonesia yang disebut dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia membahas Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender ( RUU KKG)
yang akan menjadi rujukan hukum bagi bangsa Indonesia. Dalam Draft RUU KKG yang disebarkan
kepada masyarakat untuk mencari pandangan dan pendapat, terdapat beberapa hal yang dapat
merubah tatacara sistem keluarga dan hukum keluarga bagi masyarakat muslim. Jika undang-undang
tersebut dipersetujui oleh anggota dewan dan disahkan, maka ia dapat menjadi landasan hukum bagi
pelanggaraan hukum fekah keluarga, seperti hukum perkahwinan, hukum perceraian, hukum faraid dan
sebagainya yang menyentuh kedudukan perempuan dalam suatu agama. Dalam Draft RUU KKG tersebut
tertulis : “ Gender adalah pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang
merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat
dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin
lainnya “ ( pasal 1 : 1 ).
Definisi gender yang tertulis dalam ayat “Gender adalah pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki
dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap...”
sebagaimana yang tertulis di atas sangat bahaya kepada hukum agama Islam. Perbezaan hukum ke atas
lelaki dan perempuan dalam Islam merupakan hukum yang bersifat tetap dan tidak dapat diubah-ubah
kerana perbezaan tersebut adalah berdasarkan nas-nas al-Quran dan hadis Nabi SAW, bukan
berdasarkan perubahan masyarakat. Sebagai contoh, hukum imam solat Jumat dan khatib adalah lelaki
tidak dapat dirubah, walaupun dalam satu masyarakat tertentu nanti bilangan lelaki lebih sedikit
daripada bilangan wanita. Ini adalah kerana hukum imam solat Jumaat bukan berdasarkan perubahan
keadaan masyarakat. Dalam pembahagian harta pusaka, bahagian lelaki tetap dua bahagian berbanding
satu bahagian perempuan, walaupun si perempuan lebih miskin daripada si lelaki.- Draft Rancangan
Undang Undang Keluarga dan Kesamaan Gender Republik Indonesia. Pasal 1, ayat 1. Oleh sebab itu
pembahagian harta pusaka, kedudukan imam solat Jumaat tidak dapat dirubah dan dikaji apatah lagi
disesuaikan dengan perubahan masyarakat sebagaimana yang termaktub dalam Rancangan
Undangundang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) tersebut.
Jika undang-undang tersebut diluluskan dan menjadi undang-undang Negara, maka seorang perempuan
berhak meminta dan dilantik menjadi imam solat Jumaat, atau meminta hukum pewarisan yang sama
dengan lelaki, dan lembaga, institusi atau individu yang melarang perempuan untuk menjadi imam solat
Jumaat, atau menjadi wali bagi perkahwinan, atau melarang seorang perempuan menceraikan
suaminya boleh dikenakan tindakan melanggar peraturan, dan boleh dihukum, kerana dalam pasal 70
RUU KKG tertulis : “ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur
pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud
dalam pasal 67, dipidana dengan pidana penjara paling lama …(…)tahun dan pidana denda paling banyak
Rp…(…)”.
Bermaksud, jika seorang anak perempuan tidak mendapat pembahagian pusaka yang sama
sebagaimana lelaki, beliau boleh membuat laporan polis terhadap pihak yang menguruskan
pembahagian harta mengikut hukum faraid tersebut dan pihak tersebut boleh diambil tindakan
dikenakan hukuman. Demikian juga jika ada seseorang yang melarang seorang wanita untuk menjadi
imam solat Jumaat, maka orang yang melarang akan dikenakan hukuman. Demikian juga jika terdapat
keluarga yang melarang seorang isteri menceraikan suaminya, maka keluarga yang melarang tersebut
akan dikenakan hukuman. Demikian juga, akibat persamaan gender, maka jika ada ibu bapa yang
melarang anak perempuannya daripada berkahwin dengan lelaki nonmuslim, atau berkahwin dengan
sesama jenis, maka ibu bapa tersebut boleh dikenakan hukum penjara atau denda, dan demikianlah
seterusnya.
Dalam draf Undang-Undang tersebut, segala usaha yang membezakan peranan antara lelaki dan
perempuan merupakan tindakan diskriminasi sebagaimana disebutkan: “Diskriminasi adalah segala
bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar
jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan manfaat, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan atas dasar
persamaan antara perempuan dan laki-laki “ ( pasal 1 : 4 ) “. Jika Rancangan Undang-undang ini disahkan
maka aplikasi hukum tersebut akan merosakkan tatacara hukum-hukum setiap agama yang menjalankan
konsep agama yang bertentangan dengan prinsip kesamaan gender. -Drafr Rancangan Undang Undang
Keluarga dan Kesamaan Gender Republik Indonesia, pasal 70 7 Draft Rancangan Undang Undang
Keluarga dan Kesamaan Gender pasal 1 ayat 4. Contoh, jika seorang muslim membahagi harta pusaka
yang tidak sama antara lelaki dan perempuan, maka muslim tersebut dianggap telah melakukan
diskriminasi gender. Jika institusi agama melarang wanita muslimah berkahwin dengan lelaki non-
muslim, maka institusi tersebut telah melakukan diskriminasi gender. Demikian juga jika isteri tidak
dibenarkan berpoligami sedangkan suami dibolehkan, maka itu merupakan diskriminasi gender, dan
sebagainya. Sebenarnya undang-undang persamaan dan keadilan gender ini adalah untuk masyarakat
atheis yang tidak memiliki pegangan agama, atau untuk masyarakat Barat yang trauma terhadap
penindasan perempuan yang dilakukan oleh gereja masa lalu.
Kritik Atas Kesamaan Gender Dalam Persoalan Imam Solat
Pada hari Jumaat 18 Mac 2005, umat Islam menerima berita yang mengejutkan di mana seorang
pensyarah Pengajian Islam di Virginia Commonwealth University, menjadi imam dan khatib solat Jumaat
bersama sekitar seratus orang jemaah lelaki dan perempuan yang bercampur dalam saf. Solat Jumaat
tersebut diawali dengan azan yang diserukan oleh seorang perempuan tanpa memakai tudung kepala.
Solat Jumaat tersebut dilaksanakan di sebuah Gejeja Kathedral, Sundram Tagore Gallery 137 Greene
Street, New York. Sikap Amina Wadud tersebut merupakan contoh praktikal pemahaman kesamaan
gender yang masuk ke dalam pemikiran intelektual dan sarjana muslim hari ini; pemahaman kesamaan
gender yang akan merubah pemahaman Islam khususnya masalah hukum hakam yang berkaitan dengan
perempuan.
Fahaman persaman gender (gender equality) yang dipaktikkan oleh Amina Wadud tersebut sebenarnya
berasal dari pandangan hidup Barat sekular-liberal yang bercanggah dengan pandangan hidup muslim
yang berpandukan ajaran Islam. Jika lelaki boleh menjadi imam solat Jumaat dan khatib, maka menurut
fahaman kesamaan gender Barat, perempuan juga dapat menjadi imam solat Jumaat dan khatib Jumaat.
Jika lelaki boleh mengumandangkan azan dalam solat Jumaat, demikian juga perempuan boleh
mengumandangkan azan Jumaat. Fahaman kesamaan gender liberal juga membolehkan saf solat
bercampur antara lelaki dan perempuan, kerana jika saf lelaki di depan dan saf berempuan di belakang,
hal tersebut telah merendahkan darjat perempuan. Fahaman kesamaan gender dalam pemikiran Barat-
Liberal inilah yang mendasari praktik imam solat Jumaat dan khatib yang dilakukan oleh Amina Wadud,
walaupun bercanggah dengan ajaran Islam.
Amina Wadud menyatakan bahawa perbuatan menjadi imam solat Jumat dan khatib adalah
berdasarkan pada hadis Rasulullah SAW memberikan izin kepada sahabat wanita Ummu Waraqah untuk
menjadi imam solat dengan jemaah lelaki, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud : “ Dari Abdul
Rahman bin Khallad Al-Anshari dari Ummu Waraqah binti Abdillah binti Haris berkata bahwa Rasulullah
datang ke rumahnya dan memberikan kepadanya seorang muazzin dan memerintahkannya untuk
menjadi imam bagi ahli keluarganya. “Abdul Rahman menambah : “ Saya melihat bahawa muazzin (bilal
penyeru azan) tersebut adalah seorang yang sangat tua “. Dalam hadis yang lain disebutkan bahawa di
dalam rumah Ummu Waraqah tersebut hanya ada seorang anak kecil, dan seorang hamba sahaya
perempuan, sehingga Ummu Waraqah meminta kepada nabi seorang penyeru azan.
Dari kedua hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahawa pada waktu itu orang yang berada di rumah
Ummu Waraqah hanyalah Ummu Waraqah, seorang lelaki yang sangat tua, seorang hamba sahaya
perempuan, dan seorang budak lelaki. Oleh kerana itu Ummu Waraqah meminta kebenaran kepada
nabi untuk menjadi imam solat, dan nabi membenarkan hal tersebut. Keizinan nabi ini khas kepada Umu
Waraqah sahaja. Ia tidak dapat menjadi dalil yang membolehkan perempuan menjadi imam solat
bersama lelaki, kerana pada waktu itu tidak ada seorangpun yang layak menjadi imam kecuali Ummu
Waraqah. Bererti hadis ini adalah khas hanya untuk Ummu Waraqah pada masa tertentu, di mana pada
waktu itu di rumahnya tidak ada seorang pun yang layak menjadi imam, sehingga nabi
membenarkannya untuk menjadi imam solat di rumahnya sahaja. Menurut riwayat Daru Qutni, hadis ini
ditambah dengan ayat “bagi perempuan” sehingga hadis tersebut berubah menjadi : “Rasulullah
membenarkannya (Ummu Waraqah) untuk menjadi imam solat “bagi perempuan” di rumahnya “ 10.
Bererti hadis di atas sebagai dalil bagi perempuan untuk menjadi imam solat bagi makmum perempuan,
bukan menjadi dalil bagi perempuan untuk menjadi imam solat bagi makmum lelaki sebagaimana yang
didakwa oleh Amina Wadud.
Hadis di atas juga menyebutkan bahawa “Nabi memberikan seorang muazzin (bilal) lelaki tua kepada
Ummu Waraqah “, tetapi hadis tidak menyatakan bahawa lelaki tua itu ikut solat berjamaah dengan
Ummu Waraqah, kerana boleh jadi orang tua tersebut hanya menyerukan azan, dan kemudian dia pergi
dan tidak solat bersama, sebab tidak ada ayat dalam hadis tersebut yang mengatakan bahawa orang tua
tersebut turut bersolat bersama Ummu Waraqah. Oleh sebab itu, hadis di atas tidak dapat menjadi dalil
untuk membolehkan seorang perempuan menjadi imam solat bagi jamaah lelaki.
Oleh sebab itu menurut Wahbah Zuhaili, syarat menjadi imam adalah “mempunyai sifat kelelakian yang
jelas jika makmumnya seorang lelaki atau khunsa “, dan perempuan hanya sah menjadi imam bagi
kumpulan perempuan dengan dalil hadis bahawa nabi 8 Sunan Abu daud 592 9 Sunan Abu Daud, 591 10
DaruQutni I, 403
pernah memberikan kebenaran kepada Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi jamaah perempuan
di rumahnya11.
Ulama sepakat menyatakan bahawa seorang perempuan tidak boleh menjadi imam bagi solat seorang
lelaki atau jamaah lelaki. Imam Syafii berkata :
أبدا رجال صلاة ف رجل إمام امرأة تكون أن يجوز ولا
“ Dan tidak dibolehkan seorang perempuan menjadi imam solat bagi lelaki dalam solat apapun selama-
lamanya “12
Dalam kitab Majmu, Imam Nawawi berkata :
امرأة خلف صب ولا بالغ رجل صلاة تجوز لا أنه على أصحابنا اتفق، وال رتاوي ح الفرض صلاة للرجال المرأة إمامة منع ف وسواء,وسائر
النوافل, مذهبنا هذا,والخلف السلف من العلماء جماهت ومذهب- الله رحمهم- المدينة فقهاء السبعة الفقهاء عن البيه رق وحكاه
التابعي, وداود وأحمد وسفيان حنيفة وأب مالك مذهب وهو
Telah bersepakat sahabat-sahabat kami ( ulama mazhab Syafii ) bahawa tidak boleh seorang lelaki yang
baligh dan seorang anak lelaki solat di belakang seorang perempuan, baik dalam solat wajib mahupun
dalam solat tarawih dan semua solat sunat. Inilah mazhab kami, dan mazhab majoriti ulama dari salaf
dan khalaf dan menurut Baihaqi pendapat ini dipegang oleh 7 fuqaha sahabat yang berada di Bandar
Madinah dan juga pendapat para pengikut sahabat (tabiin). Ini juga merupakan Mazhab Malik dan Abu
Hanifah dan Sofyan dan Ahmad dan Daud Dzahiri.13
Imam Ibnu Hazm dari ulama Mazhab Dzahiri dalam kitab al-Muhalla menyatakan :
الرجال ولا الرجل المرأة تؤم أن يجوز ولا,فيه خلاف لا ما وهذا
“ Dan tidak boleh seorang perempuan menjadi imam bagi seorang lelaki atau ramai lelaki dan pendapat
ini tidak ada khilaf padanya “.14
Dalam kitab al-Taj wa al-Iklil , Imam Mazari, ulama mazhab Maliki menyatakan :
الوقت خرج وإن وراءها صلى من صلاته وليعد عندنا المرأة إمامة تصح لا
Bagi kami (mazhab Maliki) Tidak sah keimaman seorang perempuan, dan hendaklah orang (lelaki) yang
menjadi makmum mengulangi solatnya walaupun telah keluar dari waktu solat.
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islamy wa adillatuh, jilid 2, 196 12 Imam Syafii, Kitab al-Umm, jilid 1, 191 13
Imam Nawawi, Kitab al majmu, jlid 4, hal. 151. 14 Ibnu Hazm, Kitab alMuhalla, jilid 2, hal. 167 15 Imam
Mazari, Kitab altaj wal Iklil, jilid 2, hal. 412 Dalil Tidak Dibenarkan Wanita Menjadi Imam Solat Kepada
Makmum Lelaki
Di antara dalil yang menjadi keputusan ijma’ ulama mazhab mengenai larangan perempuan menjadi
imam adalah sebagaimana berikut :
Dalil Dari Nas Al-Quran:
Dalil Al-Quran berkaitan larangan imam perempuan dalam solat jamaah lelaki adalah :
أموالهم من انفقوا وبما بعض على بعضهم الله فضل بما النساء على قوامون الرجال
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan,
oleh kerana Allah telah melebihkan orang-orang lelaki (dengan beberapa keistimewaan) atas orang-
orang perempuan dan juga kerana orang-orang lelaki telah membelanjakan (memberi nafkah)
sebahagian dari harta mereka “. ( Surah an Nisa : 34 ).
Imam solat merupakan salah satu bentuk dari kepimpinan, oleh sebab itu kepimpinan imam solat juga
hanya diberikan kepada lelaki jika makmum terdiri terdapat makmum wanita, dan difahami dari ayat di
atas bahawa seorang wanita tidak boleh menjadi imam solat bagi makmum lelaki.
Dalil Dari Nas Hadis Nabi: Ada beberapa hadis sahih yang memberikan maksud tentang larangan seorang
wanita menjadi imam solat bagi jemaah lelaki yaitu : Rasulullah saw bersabda :
(البخاري) امرأة أمرهم ولوا قوم يفلح لن
“ Tidak akan bahagia suatu kaum jika kaum tersebut dipimpin oleh seorang perempuan ( Hadis sahih
riwayat Bukhari ).
Ulama berpendapat bahawa kepimpinan solat termasuk dalam kepimpinan yang dimaksudkan oleh
hadis di atas.
Rasulullah saw bersabda :