GHAZWUL FIKRI
ADIAN HUSAINI
ARKIB KOLEKSI CHEGU RIDHWAN
mahasiswamengunggat.blogspot.com
Liberalisme dalam Perspektif “Kiri”
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pekan lalu, saya menerima kiriman sebuah buku. Judulnya, “Kekerasan Budaya Pasca 1965.” (cetakan
pertama, 2013). Penulisnya seorang doktor lulusan University of Queensland, Australia. Buku setebal
330 halaman lebih ini banyak memberikan pembelaan terhadap kaum dan ideologi komunis di
Indonesia.
Namun, tulisan dalam CAP kali ini tidak membahas masalah tersebut. Meskipun menggunakan
perspektif “kiri” dalam menelaah Liberalisme di Indonesia, berbagai data dan analisa yang tercantum
dalam buku ini, menarik juga disimak oleh kaum Muslimin untuk mendapatkan gambaran tentang kiprah
kaum liberal yang terus merajalela dalam jagad intelektual dan media massa di Indonesia. CAP-370 ini
hanya akan mengutip beberapa bagian buku yang membahas tentang kiprah kaum liberal di Indonesia,
khususnya yang dipelopori Goenawan Mohammad dan kawan-kawannya di Teater Utan Kayu.
Buku ini meletakkan Goenawan Mohammad (GM) sebagai sosok penting yang konsisten dalam
memegang ideologi liberalisme. Jika pada tahun 1960-an, Goenawan sangat aktif menentang
komunisme, maka di era pasca Perang Dingin, ia mulai bergeser merangkul komunisme. Berbagai
institusi ia pelopori pendiriannya, seperti Jurnal Kalam (1994), AJI (1994), ISAI (1995), Galeri Lontar
(1996), Teater Utan Kayu (1997), Radio 68H (1999), Majalah Pantau (1999), dan Jaringan Islam Liberal
(2001). Semua itu tergabung dalam Komunitas Utan Kayu (KUK).
“Penggabungan institusi-institusi kebudayaan dan intelektual ini menjadi sebuah komunitas tunggal
yang kini bernama KUK telah menggiring tumbuhnya sebuah kekuasaan kebudayaan yang berpengaruh
secara gradual.” (hal. 237).
Di era 1990-an, GM dan kawan-kawan memang terlibat dalam perlawanan melawan rezim Orde Baru.
Tetapi, aliansi yang dibangun oleh GM bersama aktivis kiri dan mantan tahanan politik saat itu, “harus
diletakkan dalam kerangka ideologis liberalisme yang diyakininya.”
Menurut analisis buku ini: “Pendekatan simpatiknya terhadap elemen-elemen kiri bukanlah indikasi
bahwa pandangan ideologisnya telah bergeser menjadi anti-liberalisme Barat, namun sebaliknya,
Goenawan justru memperkuat jaringannya dengan lembaga-lembaga filantropi Barat untuk
mempromosikan liberalisme yang sudah ditekuninya sejak lama. Inikah yang yang kantas membuat
Goenawan dan KUK dicap sebagai “neoliberal”?” (hal. 239).
Lebih jauh, ditegaskan: “Liberalisme, kita tahu, bukan saja telah digunakan sebagai senjata ideologis
untuk menyingkirkan komunisme di masa lalu, tetapi juga sebagai kamuflase untuk menyembunyikan
wajah asli ekonomi pasar bebas yang berkait erat dengan proses eksploitasi buruh dan sumber daya
alam. “ (hal. 239).
Mengutip Noam Chomsky, buku ini menyebutkan, bahwa neoliberalisme hanyalah versi masa kini dari
pertarungan segelintir manusia kaya raya untuk mengebiri hak-hak politik dan kekuatan rakyat jelata
yang berjumlah jauh lebi besar.” Dengan kata lain, ide-ide “demokrasi” dan “persamaan hak” dalam
pandangan liberal telah dimanipulasi oleh para pendukungnya untuk mengaburkan kepentingan
ekonomi para penguasa modal. (hal. 239-240).
Robert McChesney dikutip pendapatnya: “Pada tingkat tertinggi kepiawaiannya, para pendukung
neoliberalisme akan terlihat seolah-olah mereka memperlakukan kaum miskin, lingkungan, dan segala
hal lainnya dengan kepedulian luar biasa sambil menyusupkan kebijakan-kebijakan bagi kepentingan
manusia-manusia super kaya yang cuma segelintir itu. Konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-
kebijakan itu selalu sama dimana-mana, persis seperti yang dapat kita duga: peningkatan ketidakadilan
sosial dan ekonomi yang sangat tajam, makin parahnya deprivasi yang dialami oleh negara-negara
miskin dan manusia di seluruh dunia, hancurnya keseimbangan lingkungan hidup secara global,
ketidakstabilan perekonomian global dan hadiah yang ternilai bagi para orang-orang super kaya.” (hal.
240).
Analisis ini menempatkan kaum liberal sebagai sosok-sosok yang aktif menyuarakan paham liberalisme
dengan tujuan memperluas korporasi raksasa untuk mengeksploitasi kaum miskin. Melalui para
ideolognya, dan lewat jaringan korporasi media yang dikuasainya, kaum liberal berhasil menggiring
masyarakat untuk menciptakan apa yang disebut oleh Chomsky sebagai “ilusi-ilusi yang dibutuhkan”
(necessary illusion).
“Ilusi-ilusi ini pada gilirannya memungkinkan istilah “demokrasi” mengkamuflase ide-ide ekonomi pasar
bebas untuk ditampilkan sebagai sesuatu yang rasional, dermawan, dan penting.
Tampaknya di titik inilah Goenawan Mohammad memainkan peran krusialnya sebagai seorang ideolog
untuk mempromosikan liberalisme di dalam aktivitas kebudayaan Indonesia. Tidak mengejutkan apabila
pendekatan Goenawan sesuai dengan strategi yang diambil oleh hampir semua institusi filantropi Barat
untuk, pada satu sisi, memperlihatkan komitmen mereka kepada masyarakat atas demokrasi, dan di sisi
lain, memperlihatkan “dukungan mereka terhadap kaum elite yang terpilih dan dibina untuk
mengimplementasikan program-program mereka. Di titik inilah pendekatan kontradiktif Goenawan
untuk memperkuat jaringan filantrofinya dengan Barat di satu sisi, dan di sisi lain berafiliasi dengan
elemen-elemen kiri diletakkan, sementara pada saat yang sama membangun citra dirinya sebagai
seorang aktor demokrasi.” (hal. 241).
Sejak awal 1960-an, GM sudah sangat akrab dengan sumber-sumber pendanaan Barat yang berbasis di
AS, seperti Ford dan Rockefeller Foundation. Untuk ISAI (Institut Studi Arus Informasi Indonesia), tahun
1995, GM mendapat kucuran dana sekitar 100,000-200,000 USD dari USAID dan The Asia Foundation.
GM juga mengaku menjalin persahabatan dengan pendiri Open Society Institute, George Soros, yang
telah banyak membantunya. Pada 17 Oktober 2008, jaringan GM bertambah lagi dengan didirikannya
Komunitas Salihara di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan biaya Rp 17,5 milyar.
*****
Demikianlah paparan tentang kiprah dan pemikiran kaum liberal di Indonesia, khususnya yang dimotori
oleh GM bersama kelompoknya di KUK atau Komunitas Salihara. Analisis dalam buku ini patut kita
cermati. Kelompok liberal di Indonesia dipandang sebagai agen-agen kapitalis yang konsisten
menyuarakan aspirasi kaum bermodal. Bahkan, pembelaan GM terhadap kelompok kiri pun dipandang
sebagai bagian dari konsistensinya dalam membela kepentingan kaum berduit. Inilah perspektif “kiri”
dalam memandang liberalisme secara kritis.
Analisis “kiri” terhadap liberal tentu saja berbeda secara fundamental dengan analisis liberalisme dalam
perspektif “Islam”. Baik liberalisme maupun komunisme adalah produk pola pikir sekular yang menolak
campur tangan Tuhan dalam kehidupan. Karena itu, analisisnya berhenti pada aspek materi atau aspek
fisik; tidak menyentuh aspek metafisika, khususnya dimensi Ketuhanan dan keakhiratan. Meskipun
begitu, analisis bahwa kaum liberal KUK konsisten dalam pembelaan terhadap kaum bermodal, bisa
ditemukan faktanya di lapangan.
Jalan berpikirnya sederhana. Era pasca Perang Dingin, Barat tidak lagi memandang komunisme sebagai
musuh utamanya. Pasca 11 September 2001, Islam sudah menempati posisi yang dulunya ditempati
komunisme. Islam dipandang sebagai ancaman potensial. Sebab — dalam istilah Samuel Huntington
dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order– “Islam is the only civilization
which has put the survival of the West in doubt.”
Buku Huntington yang berjudul Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity” (New
York: Simon&Schuster, 2004), memberikan gambaran yang lebih tegas, bahwa musuh utama Barat
pasca Perang Dingin adalah Islam – yang ia tambah dengan predikat “militan”. Namun, dari berbagai
penjelasannya, definisi “Islam militan” melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas
Islam, sehingga definisi itu menjadi kabur.
Dalam Who Are We? Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”,
yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh
utama AS: “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to
its religious and cultural war with militant Islam.”
Cobalah kita renungkan kembali analisis buku tersebut terhadap kiprah GM dan kelompoknya, bahwa :
“Di titik inilah pendekatan kontradiktif Goenawan untuk memperkuat jaringan filantrofinya dengan
Barat di satu sisi, dan di sisi lain berafiliasi dengan elemen-elemen kiri diletakkan, sementara pada saat
yang sama membangun citra dirinya sebagai seorang aktor demokrasi.” (hal. 241).
Makna kuncinya adalah “kesetiaan pada lembaga donor Barat”. Pasca Perang Dingin, elemen-elemen
kiri bukan lagi dianggap sebagai musuh Barat. Sebaliknya, Islam dianggap sebagai potensi ancaman
terbesar. Tidak heran jika lembaga-lembaga filantropi Barat kemudian mengalihkan “bidikannya”
kepada kelompok-kelompok Islam. Isu-isu yang mereka sukai pun bukan isu pengentasan kemiskinan,
lingkungan hidup, keadilan hukum, dan sebagainya, tetapi isu-isu tentang Pluralisme, multikulturalisme,
Kesetaraan Gender, dan sebagainya.
Tidak mengherankan, jika sejumlah aktivis yang dulunya berkutat dalam bidang advokasi hukum melalui
lembaga-lembaga bantuan hukum, kemudian mengembangkan dirinya bicara tentang “kesetaraan
agama”, tentang “radikalisme”, tentang “pluralisme”, dan sejenisnya. Itu bisa dimengerti. Sebab, isu-isu
itulah yang “laku dijual”.
Itulah bedanya elemen-elemen ideologis dari kalangan kaum Muslim yang tetap bersikap kritis terhadap
Barat, meskipun secara politis pernah bekerjasama dalam menghadapi komunisme di era pasca Perang
Dingin. Sikap kaum Muslim tetap kritis – baik terhadap liberalisme maupun komunisme, karena didasari
dengan ilmu, dan bukan berdasarkan atas kepentingan duniawi sesaat. Buku ini, misalnya,
mengungkapkan perbedaan pandangan yang tajam dalam soal liberalisme antara seniman Taufik Ismail
dan GM, meskipun di masa lalu, keduanya gigih dalam menentang komunisme dan aktif bekerjasama
dengan lembaga-lembaga filantropi Barat.
Dalam pandangan Islam, liberalisme yang kemudian ditempelkan pada Islam menjadi “Islam liberal”
jelas merupakan kesalahan berpikir, kesalahan paham, dan pahamnya salah. Kaum liberal sangat
bernafsu untuk menundukkan Islam sebagai produk sejarah. Aqidah dan syariah Islam pun mereka paksa
untuk tunduk pada perubahan sejarah dan budaya. Ajaran yang meyakini agamanya sendiri yang benar
harus diganti dengan ajaran yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benar dan sah
sebagai jalan menuju Tuhan yang sama. Corak teologi yang meyakini kebenaran agamanya sendiri
dianggap sudah tidak layak lagi diterapkan di era globalisasi, karena tidak kondusif untuk mewujudkan
perdamaian universal. Menurut kaum liberal ini, teologi manusia mengalami proses evolusi: dari
animisme, dinamisme, politeisme, henoteisme, sampai pada momoteisme. Tapi, monoteisme pun
belum dianggap final. Muncul lagi, pluralisme yang pada hakekatnya juga merupakan wajah lain dari
ateisme.
Al-Quran pun dipaksakan kedudukannya sebagai sebagai produk budaya Arab, sehingga harus
ditafsirkan dalam konteks budaya Arab. Seorang dosen Fakultas Syariah di sebuah Perguruan Tinggi di
Semarang menjelaskan bahwa kewajiban mahar harus dibayar oleh laki-laki kepada mempelai
perempuan disebabkan ayat tentang mahar turun di Arab yang berbudaya patriarkhi. Jika perkawinan
terjadi di daerah Minangkabau, katanya, bisa saja mahar diberikan oleh pihak perempuan, karena secara
budaya, perempuan di daerah itu lebih dominan dibandingkan laki-laki.
Masih ada lagi contoh penundukan Islam pada konteks budaya. Larangan perkawinan lintas agama,
khususnya antara muslimah dengan laki-laki non-muslim, ditundukkan pada konteks budaya dan kondisi
zamannya. Larangan perempuan menjadi wali dalam pernikahan pun mulai digugat, karena dianggap
menyudutkan posisi perempuan. Bahkan, sejumlah buku tentang Kesetaraan Gender yang diajarkan di
Perguruan Tinggi Islam, sudah menggugat perbedaan fiqih antara laki-laki dan perempuan dalam soal
aqiqah, shalat jamaah, kewajiban shalat Jumat, kewajiban istri taat pada suami, dan sebagainya.
Jadi, isu-isu yang dilontarkan oleh kaum liberal itu masih berkutat seputar perubahan aqidah dan hukum
Islam, agar sesuai dengan konteks budaya dan pemikiran Barat modern yang liberal. Konsep hubungan
laki-laki dan perempuan juga dipaksa sesuai dengan budaya liberal Barat, bahwa perempuan harus
menjadi makhluk yang terpisah dari tanggung jawab keluarga saat sudah dewasa.
Tentu saja pemikiran kaum liberal itu keliru. Mereka tidak meletakkan aqidah dan syariat Islam sebagai
produk wakyu, bukan produk budaya. Sebagai agama wahyu yang memiliki aspek yang “tetap”
(tsawabit), Islam adalah agama yang tidak tunduk oleh budaya dan masa tertentu. Aqidah Islam tidak
berubah sejak masa Nabi Muhammad saw. Syahadat Islam pun tetap. Tata cara shalat, puasa, zakat,
haji, mengubur jenazah, dan sebagainya, juga tetap sepanjang masa. Konsep semacam ini tidak dikenal
oleh kaum liberal. Mereka salah paham. Sebab, mereka sudah meletakkan konsep-konsep Barat lebih
tinggi dari al-Quran dan Sunnah Nabi. Kita tidak jemu-jemu mengingatkan berbagai pihak, agar berhati-
hati terkena virus liberalisme, yang bisa menggerogoti pemikiran dan aqidah Islam. Mungkin, itu terjadi
tanpa sadar.
Tidak semua orang menjadi liberal karena tergiur harta dan kehidupan mewah duniawi. Bisa juga karena
terpaksa, karena itu jalan mudah mengubah taraf hidup dan strata sosial di dunia. Dalam penelitian
sosial tentang maraknya pemikiran liberal, terkadang, perlu dicermati juga aspek latar belakang sosial-
ekonomi para aktivis liberal. Apakah ada hubungan – misalnya – antara tingkat kemiskinan dengan
tingkat liberalisme seseorang. Mungkin ada dan mungkin tidak. Sebab, patut dihipotesakan, sikap
minder dan menjiplak secara kalap terhadap pandangan alam Barat-iberal, bisa jadi ada hubungannya
dengan latar belakang aktivis liberal yang mungkin sangat miskin dan sangat “ndeso”.
Apa pun latar belakangnya, liberalisisasi Islam sudah sangat terasa dampaknya di tengah masyarakat.
Maraknya berbagai ajaran sesat biasanya tak lepas dari campur tangan kaum liberal. Tentu, sebagai
muslim, kewajiban kita hanya mengingatkan – baik kaum liberal maupun kaum ateis-komunis – agar
kembali kepada ajaran Islam yang di bawa oleh Nabi terakhir; agama yang sudah dewasa dan sempurna
ajarannya sejak lahir; agama yang tidak tunduk oleh perubahan zaman dan budaya.
Sebagian kaum liberal mungkin belum sadar, bahwa penyandaran konsep-konsep kehidupan manusia
hanya pada akal dan hawa nafsu, hanya akan menyebabkan ketidakpastian hidup yang pada ujungnya
akan memperpanjang ilusi, derita dan nestapa, dunia dan akhirat.
Semoga kita tidak tertipu oleh godaan gemerlapnya liberalisme dan bersedia dengan tulus ikhlas
menerima hidayah Allah SWT. Amin.
Makna Natal Bagi Kristen Indonesia
Oleh: Dr. Adian Husaini
Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang perayaan Natal tahun 2014, induk kaum Protestan
Indonesia yakni Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan induk kaum Katolik Indonesia, yakni
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), mengeluarkan seruan Natal Bersama. Berikut ini petikan seruan
tersebut:
“Natal merupakan sukacita bagi keluarga karena Sumber Sukacita memilih hadir di dunia melalui
keluarga. Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga.
Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati
di kayu salib. Di situlah Allah yang selalu beserta kita turut merasakan kelemahan-kelemahan kita dan
kepahitan akibat dosa walaupun ia tidak berdosa (bdk. Ibr. 4:15)
“… Natal: Undangan Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga. Natal adalah saat yang mengingatkan kita
akan kehadiran Allah melalui Yesus dalam keluarga…. Dalam keluarga di mana Yesus hadir, yang letih
disegarkan, yang lemah dikuatkan, yang
sedih mendapat penghiburan, dan yang putus asa diberi harapan…
“Marilah kita menghadirkan Allah dan menjadikan keluarga kita sebagai tempat layak untuk kelahiran
Sang Juru Selamat. Di situlah keluarga kita menjadi rahmat dan berkat bagi setiap orang; kabar sukacita
bagi dunia.”
Menyimak Pesan Natal PGI dan KWI tersebut, jelaslah bahwa Perayaan Natal adalah acara keagamaan
yang sarat dengan ajaran pokok kekristenan, yaitu pengakuan Yesus sebagai Tuhan. Natal bukan sekedar
perayaan sosial dan budaya. Kaum Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus adalah anak Tuhan yang
menjelma menjadi manusia, seperti mereka katakan: “Sang Putera Allah menerima dan menjalani
kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan
berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib.”
Itulah makna Natal bagi kaum Kristen di Indonesia. Jadi, perayaan Natal secara terbuka dan besar-
besaran di mana-mana, sejatinya adalah penyiaran dan kampanye ajaran Kristen, bahwa Yesus adalah
Putra Tuhan. Bahwa, Tuhan mempunyai anak, yaitu Yesus Kristus. Dokumen Konstitusi Dogmatik
tentang Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, di
Roma, menegaskan:
”Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam
Tubuhnya yaitu Gereja… Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu
bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang
diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya.” (Terjemah oleh
Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
Inti ajaran Kristen adalah konsep “Pemyaliban” dan “Kebangkitan” Yesus. Manusia yang tidak mengakui
Yesus sebagai Tuhan atau anak Tuhan, harus disadarkan dan diusahakan untuk dibaptis. Dokumen Ad
Gentes juga mendesak Konsili Vatikan II mendesak:
“Landasan karya misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang “menginginkan bahwa semua manusia
diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara Allah dengan
menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1
Tim 2:4-6), “dan tidak ada keselamatan selain Dia” (Kisah 4:12). Maka haruslah semua orang berbalik
kepada Dia, Yang dikenal lewat pewartaan Injil, lalu menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja, yang
adalah Tubuhnya, melalui pemandian… Oleh sebab itu, karya misioner dewasa ini seperti juga selalu,
tetap mempunyai keampuhannya dan tetap diperlukan seutuhnya). (Lihat, Walter M. Abbott (gen.ed.),
The Documents of Vatican II, hal. 593. Naskah terjemah di kutip dari Tonggak Sejarah Pedoman Arah:
Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 377-478).
Dalam pidato tanggal 7 Desember 1990, yang berjudul Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang
Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
“Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari
penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu
pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di
tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh hati…Kegiatan misioner
yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa” (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan
kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-
pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang
datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja kepada orang-orang non-
Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di antara semua orang yang
percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu sudah merupakan tanda
kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.”
Berdasarkan Dokumen-dokumen Resmi Gereja tersebut, jelas terlihat besarnya tugas yang diemban
kaum Kristen dalam menjalankan misinya kepada orang-orang non-Kristen. Itulah yang ditegaskan oleh
Paus Paulus VI dalam imbauan apostolik, Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii
Nuntiandi), pada 8 Desember 1975, yang diterbitkan KWI tahun 1990:
“Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama
bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan “benih-benih Sabda” yang tak
terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu “persiapan bagi Injil” yang benar… Kami mau
menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan
terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai
suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen.
Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.”
Keyakinan Islam
Keyakinan dan propaganda kaum Kristen bahwa Yesus adalah Tuhan dan anak Tuhan – dalam
pandangan Islam – merupakan tuduhan yang tidak mendasar kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Sebab, Allah adalah SATU (Ahad); Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Yesus, atau Isa a.s. adalah
Nabi, adalah manusia biasa. Ia adalah utusan Allah, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Dalam surat
Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu “Kejahatan besar” (syaian
iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran (Terj.): “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah
serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.”
(QS 19:90-91).
Umat Islam adalah umat yang diajarkan untuk hidup dalam pluralitas. Sejak di Madinah, Rasulullah saw
sudah membangun masyarakat yang plural, terdiri atas berbagai agama. Umat Islam diminta bersikap
tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Tidak mencampuradukkan dan meremehkan. Sebab, aqidah
menjadi landasan kehidupan paling hakiki bagi umat Islam. Karena itulah, meskipun bersikap sangat baik
terhadap kaum Yahudi dan Nasrani dalam hubungan sosial kemasyarakatan, Rasulullah saw
mengajarkan sikap tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Termasuk dalam masalah Perayaan Hari Besar
Agama.
Dalam sebuah hadits Qudsy, dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda: “Allah berfirman: “Anak manusia
telah mendustakan dan mencela-Ku. Padahal ia tidak patut melakukan itu. Ada pun pendustaannya
pada-Ku adalah ucapannya, “Dia tidak akan membangkitkanku (di Akhirat) seperti semula”. Bukankah
membangkitkannya kembali jauh lebih mudah bagi-Ku dari pada menciptakannya pertama kali? Ada pun
celaannya pada-Ku adalah ucapannya, “Allah telah mengambil seorang anak”. Padahal Aku adalah Yang
Maha Satu dan tempat bergantung (berdiri sendiri). Aku tidak melahirkan dan tidak dilahirkan dan tidak
ada seorangpun yang setara dengan-Ku”. (HR Bukhari).
Sebagian orang mungkin memandang Perayaan Natal sekedar acara sosial-budaya sehingga tidak terkait
langsung dengan dasar-dasar kepercayaan Kristen. Karena itu, mereka memandang tidak ada masalah
jika seorang Muslim terlibat dalam acara-acara Perayaan Natal, apa pun bentuknya. Yang penting bukan
acara ritualnya, seperti mengikuti misa di Gereja, dan sejenisnya. Malah, beberapa tokoh berani
menyatakan secara terbuka, bahwa mengikuti acara sejenis Perayaan Natal Bersama tidaklah apa-apa.
Setiap orang akan bertanggung jawab terhadap pendapatnya. Apalagi jika ia tokoh, dan pendapatnya
dikutip dan disebarkan di sana-sini.
Seorang Muslim pasti meyakini, bahwa zina adalah sebuah kejahatan, meskipun dilakukan suka sama
suka. Muslim pasti juga akan keberatan jika ada kampanye besar-besaran di media massa tentang
bolehnya melakukan zina bagi pasangan remaja, yang penting bisa menjaga diri dari kehamilan yang
tidak dikehendaki. Maka, tanyakan pada si Muslim, bagaimana pendapatnya jika ada kampanye besar-
besaran tentang paham kemusyrikan di media massa. Bukankah dalam pandangan Islam, dosa syirik
adalah dosa terbesar yang tak terampuni oleh Allah?!
Karena memandang begitu seriusnya kekeliruan paham syirik itu, maka para sahabat Nabi saw dan para
ulama Islam bersikap sangat berhati-hati dalam soal kemusyrikan ini. Sebab, ini menyangkut soal iman.
Jika iman rusak, maka amal perbuatan manusia tiada nilainya, laksana fatamorgana. (QS 24:39). Bagi
para pemuja paham pluralisme, yang menganut pandangan kesetaraan tauhid dan kemusyrikan, maka
soal iman dipandang tidak lebih penting dari soal kemanusiaan. Sampai-sampai di zaman ini ada
manusia yang berani menyatakan, bahwa meskipun kafir, yang penting ia tidak korupsi. Padahal, tidak
korupsi itu baik. Tetapi, tidak korupsi menjadi tiada berarti jika ia kafir dan tidak beriman. Sebab,
amalnya tiada guna, laksana debu yang dihamburkan. Sebagian lagi, ada yang berpikir sinkretis-
pragmatis dengan cara mengikuti semua perayaan hari besar agama apa saja, agar dipandang sebagai
manusia toleran dan diterima dimana-mana.
Terhadap gagasan mencampuradukkan Perayaan Hari Besar agama, Buya Hamka menyebutkan, bahwa
tradisi mencampur-campurkan Perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan kerukunan
umat beragama atau membangun toleransi, tetapi justru menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun
1960-an, Hamka menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama,
karena waktunya berdekatan:
“Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah
Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan
tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan
penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah
pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh
mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh
mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Pada hakekatnya
mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan,
mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan
otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir
zaman, penutup sekalian Rasul, jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam
ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.
Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus
Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan
cinta dalam Yesus.”
Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.”
(Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke Hati, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
Saat terjadi benturan dengan pemerintah dalam soal fatwa “Haram Mengikuti Perayaan Natal Bersama”,
Hamka menulis kolom berjudul ”Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?” di rubrik “Dari Hati ke Hati” Majalah
Panji Masyarakat No 324 tahun 1981. Baiklah kita kutip kembali sebagian isi tulisan Hamka tersebut:
Bolehkah orang Islam bersama orang Kristen merayakan Hari Natal? Demi kerukunan hidup beragama?
Dan tentu ada orang yang ingin bertanya: Bolehkah orang Kristen-demi kerukunan hidup beragama
merayakan pula hari Raya ’Idul Fitri dan Idul ’Adha dengan ummat Islam?
Kalau direnungi lebih dalam, hari Natal bagi orang Kristen ialah memperingati dan memuliakan kelahiran
Yesus Kristus yang menurut kepercayaan Kristen Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah
SATU dari TIGA TUHAN atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama merayakannya, bukanlah
berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah Tuhan, atau satu dalam yang bertiga, atau tiga oknum
dalam satu.
Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga oleh
wakil-wakil dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya,
bahkan juga dari Majelis Da’wah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam pertemuan itu timbul
kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan
ibadat, menyetujui aqidah Kristen, menyatakan Nabi Isa Almasih ’alaihissalam sebagai Tuhan.
Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa hadir di sana ialah menyatakan persetujuan
pada ’amalan iu, apatah lagi jika turut pula membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti
yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang
Islam yang menghadirinya itu oleh ayat: (Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka,
termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51).
Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram? Maka bertindaklah ”Komisi fatwa,
dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat itu
dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram!” Masih lunak. Karena kalau
diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.
Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai
ulama menyebabkan para ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja.
Penulis teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai didirikan (Juli 1975) seorang muballigh muda H.
Hasyim Adnan bertanya: ”Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu
keputusan dari Majelis Ulama?”
Saya jawab: ”Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban
melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan
jujur apa yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi juga dari Nabi-nabi
itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah
dari kita. Kita ini hanya manusia yang lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Ta’ala sendiri.”
Demikian cetusan hati dan pikiran Buya Hamka dalam masalah Perayaan Natal. Pada tanggal 19 Mei
1981, sebagai rasa tanggung jawabnya terhadap umat, maka Buya Hamka kemudian meletakkan jabatan
sebagai Ketua Umum MUI. Pada tanggal 23 Mei 1981, Buya Hamka menulis kolom Dari Hati ke-Hati di
Majalah Panjimas, No. 325, yang dia beri judul Niat Yang Tulus. Kata Hamka: “Meskipun usia sudah 73
tahun, sedikit pun tidak terfikirkan bahwa saya telah melepaskan diri dari beban yang berat, kemudian
bersantai-santai menjelang ajal. Husnul khatimah, itulah cita-cita terakhir hidup di dunia ini.”
Begitulah penegasan Buya Hamka menjelang akhir hayatnya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran
dari beliau. Dan, yang terpenting, terjaga pula iman kita dan iman keluarga kita. Amin.
Abrahamic Faiths ?
Oleh: Dr. Adian Husaini
Bagi peminat pemikiran keagamaan, istilah “Abrahamic Faith” atau “agama Ibrahim” tidaklah asing.
Istilah ini sudah lama dipopulerkan oleh banyak kalangan dan dianggap sebagai sesuatu yang sudah
lazim dalam iztilah studi-studi agama, seperti halnya pembagian agama menjadi “agama samawi”
(agama langit) dan “agama ardhi” (agama bumi). Istilah ini mulai popular di dunia Islam, setelah pada
tahun 1986, The International Institute of islamic Thought (IIIT), menerbitkan sebuah buku berjudul
Trialogue of the Abrahamic Faiths (ed. Ismail Raji al-Faruqi). Secara harfiah, judul buku itu adalah
“Trialog antar Agama-agama Ibrahim”. Buku ini merupakan kompilasi makalah hasil konvensi tahun
1979 di New York yang diselenggarakan oleh American Academy of Religion (AAR).
Pada 8 November 2007, Republika menurunkan sebuah kolom Azyumardi Azra berjudul ”Trialog
Peradaban”. Azra menceritakan, bahwa pada 21-24 Oktober 2007, Harvard University
menyelenggarakan sebuah konferensi bertema ”Children of Abraham: A Trialogue of Civilization”. Kata
Azra, ’Anak-anak Ibrahim’, tak lain adalah para pengikut tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam.
Pembicaraan antara ketiga agama (trialog) diharapkan dapat menumbuhkan saling pengertian dan
toleransi yang pada gilirannya mendatangkan perdamaian.
Lebih jauh Azra menulis: ”Dalam makalah berjudul ‘Trialogue of Abrahamic Faiths: Towards the Alliance
of Civilizations”, saya melihat ‘Abrahamic Faiths’ yang dalam al-Quran disebut sebagai ‘millah Ibrahim’
memiliki banyak kesamaan dan afinitas; lebih dari itu ketiganya juga berbagi sejarah yang sama. Tetapi,
tentu saja, masing-masing agama Nabi Ibrahim tersebut unik dalam dirinya sendiri. Lagi pula, para
penganut ketiga agama itu ibarat kakak-adik, juga terlibat dalam persaingan, kecemburuan, konflik, dan
bahkan perang.”
Begitulah, sebagian isi tulisan Azyumardi Azra, yang mengaku beruntung hadir dalam konferensi di
Harvard tersebut. Ia merupakan satu-satunya ilmuwan dari Asia yang hadir di situ.
Kita tentu menyambut baik setiap usaha untuk menciptakan perdamaian di muka bumi ini. Namun, kita
perlu mengkaji dengan cermat, cara-cara yang digunakan untuk menciptakan perdamaian tersebut,
khususnya dalam hal yang berkenaan dengan ajaran Islam itu sendiri. Soal dialog antar-agama, dalam
sejarah, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak awal kemunculannya, umat Islam sudah terbiasa
berdialog dengan siapa saja. Di Mekah, sebelum hijrah, Rasulullah saw dan para sahabat sudah berdialog
dengan kaum musyrik Arab dan pengikut Kristen. Saat hijrah ke Habsyah, Ja’far bin Abdul Muthalib
sudah berdialog keras dengan pengikut Kristen dan juga Raja Najasyi yang ketika itu masih memeluk
agama Kristen. Di Madinah, Rasulullah saw melayani perdebatan dengan delegasi Kristen Najran.
Bahkan, jika kita renungkan, banyak ayat al-Quran yang senantiasa mengajak kaum Yahudi dan Kristen
untuk berdialog. Tetapi, jika kita baca ayat-ayat al-Quran, tentang masalah ini, kita akan menemukan,
bahwa posisi al-Quran senantiasa jelas, yaitu posisi menyeru kaum Yahudi-Kristen agar kembali kepada
kalimah tauhid, kembali kepada ajaran inti yang dibawa oleh para nabi, yaitu ajaran Tauhid. Misalnya,
QS Ali Imran: 64 menyebutkan: ”Katakanlah, wahai Ahlul Kitab, marilah kita kembali kepada ’kalimah
yang sama’ (kalimatin sawa’) antara kami dan kalian semua, bahwa kita tidak menyembah selain Allah
dan tidak menserikatkan Allah dengan sesuatu pun dan kita tidak menjadikan sebagian diantara kita
sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka ingkar, maka katakan, saksikanlah bahwa kami adalah orang-
orang muslim.”
Sebagai Muslim, kita yakin, bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir yang menegaskan kembali
ajaran tauhid yang dibawa para nabi sebelumnya. Kita yakin, bahwa semua Nabi, termasuk Nabi Ibrahim
juga membawa ajaran tauhid. Karena itu, ’millah Ibrahim’, dalam pandangan Islam, adalah agama
tauhid. Dan saat ini, satu-satunya agama Tauhid – dalam pandangan Islam – adalah agama yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw. Maka, dalam perspektif Islam ini, istilah ”Abrahamic Faiths” (agama-agama
Ibrahim), dalam bentuk jamak yang memasukkan agama Yahudi dan Kristen sebagai ’millah Ibrahim’,
adalah aneh dan keliru. Seolah-olah, ada banyak agama Ibrahim.
Jika kita telusuri lebih jauh lagi, akan tampak kerancuan penggunaan istilah ”Abrahamic Faiths” ini.
Misalnya, dalam agama Yahudi (Judaism) dan Kristen (Christianity), terdapat begitu banyak sekte dan
bahkan agama-agama yang berbeda-beda. Apakah semuanya juga ’millah Ibrahim’? Tentu tidak
mungkin seperti itu. Sebab, agama Ibrahim adalah satu, dan yang satu itu adalah agama Tauhid. Dalam
hal inilah, kita biasa melihat, banyaknya cendekiawan yang kurang hati-hati dalam mengadopsi istilah-
istilah tertentu. Dalam perspektif netral agama, secara historis-fenomenologis, bisa saja Islam, Kristen,
dan Yahudi dimasukkan ke dalam kategori Abrahamic Faiths, karena ketiganya memiliki klaim sebagai
pewaris ajaran Ibrahim. Tetapi, al-Quran sudah menjelaskan apa yang dimaksud dengan millah Ibrahim
yang hanif. “Dan siapakah yang lebih baik din-nya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti millah Ibrahim yang hanif.” (QS
4:125). “Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan
dia bukanlah orang musyrik.” (QS 3:67).
Dengan penegasan al-Quran itu, tidaklah tepat jika ada cendekiawan yang mengakui bahwa agama
Kristen dan Yahudi saat ini termasuk ke dalam kategori “millah Ibrahim” yang hanif. Jika kaum Yahudi
dan Kristen mengklaim mereka sebagai pelanjut agama Ibrahim, itu adalah urusan mereka. Tetapi,
sebagai Muslim, seyogyanya pandangan kita bersandar kepada konsep-konsep yang diajarkan dalam al-
Quran.
Dalam konferensi tahun 1979, melalui makalahnya yang berjudul “Islam and Christianity in the
Perspective of Judaism”, Michel Wyschogrod, profesor filsafat di Baruch College, City University, New
York, memaparkan persoalan mendasar dalam pemahaman keagamaan antara Yahudi, Kristen, dan
Islam. Yahudi dan Kristen bersekutu dalam Bibel (Perjanjian Lama). Tetapi berbeda secara mendasar
dalam soal trinitas. Dengan Islam, Yahudi tidak bermasalah dalam soal pengakuan Tuhan yang satu
(monotheism). Tetapi, Muslim memandang bahwa telah terjadi penyimpangan (tahrif) yang serius pada
Kitab Yahudi (juga Kristen).
Gambaran Prof. Michel Wyschogrod tentang Islam tersebut tidak sepenuhnya benar. Monoteisme
memang mengakui Tuhan yang satu. Tetapi, monoteisme tidak sama dengan Tauhid. Istilah ini juga
sering disalahpahami, seolah-olah monoteisme sama dengan Tauhid. Dalam konsep Islam, tauhid adalah
mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan ada unsur ikhlas, rela diatur oleh Allah SWT. Karena itu,
jika orang menyembah Tuhan yang satu, tetapi yang ‘yang satu’ itu adalah Fir’aun, maka dia tidak
bertauhid. Iblis pun tidak bertauhid, tetapi kafir, karena menolak tunduk kepada Allah, meskipun dia
mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
Dalam perspektif Islam inilah, memasukkan agama Yahudi (Judaism), sebagai ‘millah Ibrahim’ juga patut
dipertanyakan. Kaum Yahudi memang menyembah Tuhan yang satu. Tetapi, hingga kini, mereka masih
berselisih paham tentang siapa Tuhan yang satu itu? Sebagian menyebut-Nya sebagai ‘Yahweh’. Tetapi,
dalam tradisi Yahudi, nama Tuhan tidak boleh diucapkan. Oxford Concise Dictionary of World Religions
menulis: “Yahweh: The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH’, may have been pronounced. By
orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy.” Jadi,
hingga kini, belum jelas, siapa nama Tuhan Yahudi.
Karena menolak beriman kepada kenabian Muhammad saw, maka kaum Yahudi kehilangan jejak
kenabian dan Tauhid, karena kehilangan data-data valid dalam Kitab mereka.
Th.C.Vriezen, dalam buku ”Agama Israel Kuno” (Jakarta: BPK, 2001), menulis, bahwa “Ada beberapa
kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara
bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang
diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur)… Namun, ada kerugiannya yaitu adanya
banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga
sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan
bagian mana yang merupakan sisipan.”
Dalam sejumlah buku studi Islam di Perguruan Tinggi, masih ada yang menulis bahwa agama Yahudi
adalah agamanya Nabi Musa a.s. Bahkan, Prof. Harun Nasution, dalam buku Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, menyebut agama Yahudi sebagai agama yang memelihara kemurnian Tauhid. Padahal, agama
nabi Musa adalah agama Tauhid yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad saw. Jika Yahudi
memeluk agama Nabi Musa, pasti mereka akan menerima kenabian Muhammad saw. Al-Quran banyak
menyebutkan tindakan kaum Yahudi yang mengubah-ubah kitab mereka, sehingga mereka keluar dari
jalan kebenaran. (QS 2:59, 75, 79, dll).
Senada dengan Yahudi, Kristen juga menolak kenabian Muhammad saw dan bahkan mengangkat status
Nabi Isa a.s. sebagai Tuhan. Al-Quran memberikan kritik-kritik yang sangat mendasar terhadap konsep
ketuhanan Kristen ini. (QS 19:88-91, 5:72-75, dll.). Secara tegas, al-Quran menyebutkan, bahwa Nabi Isa
a.s. pernah menyeru Bani Israil agar mengakuinya sebagai Rasul, utusan Allah, dan mengabarkan
kedatangan Nabi Muhammad saw. Karena itulah, Islam memandang, kaum Kristen telah melakukan
penyimpangan aqidah, karena mengangkat Nabi Isa a.s. sebagai Tuhan, bukan sebagai utusan Allah.
Dengan konsep itu, mereka menolak untuk beriman kepada kenabian Muhammad saw. Segaimana
kaum Yahudi, kaum Kristen di Barat tidak mengenal nama Tuhan mereka. Mereka hanya menyebut
Tuhannya sebagai “God” atau “Lord”. Soal nama Tuhan, masih diperselisihkan, dalam agama Kristen.
Karena itu, dalam pandangan Islam, yang bisa dimasukkan ke dalam kategori sebagai ‘millah Ibrahim’
saat ini, hanyalah agama Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Kaum Muslim begitu
dekat dengan nabi Ibrahim a.s.. Setiap shalat, kaum Muslim membaca doa untuk Nabi Ibrahim. Begitu
juga, salah satu hari raya umat Islam adalah hari raya Idul Adha yang terkait erat dengan kisah
perjuangan dan perjalanan hidup Nabi Ibrahim a.s..
Dari sinilah, kita memahami, bahwa sebaiknya istilah “Abrahamic Faiths” tidak digunakan. Apalagi,
dalam bentuk jamak (plural) yang menunjukkan bahwa ada banyak agama Ibrahim. Padahal, agama Nabi
Ibrahim hanya satu, yaitu agama Tauhid, yang kemudian dilanjutkan oleh para Nabi sesudahnya, sampai
nabi terakhir, Muhammad saw. Nabiyullah Ibrahim a.s. begitu gigih dalam memperjuangkan Tauhid,
sampai harus berhadapan dengan keluarganya sendiri dan diusir dari tanah kelahirannya.
Sebagaimana yang lalu-lalu, kita berulangkali mengimbau, kiranya para cendekiawan berhati-hati dalam
menggunakan istilah. Tanpa menggunakan istilah-istilah yang aneh-aneh, kita bisa melakukan dialog
dengan kaum Yahudi, Kristen, dan sebagainya. Tidak perlu menjustifikasi hal-hal yang bertentangan
secara tegas dengan konsep-konsep dasar Islam. Dalam pandangan Islam, perdamaian adalah penting.
Tetapi, Tauhid lebih penting. Karena itulah, Rasulullah saw memilih tidak berdamai dengan paman-
pamannya yang menolak Tauhid dan lebih mengutamakan syirik. Kita menghormati perbedaan. Kita
ingin perdamaian. Kita siap berdialog. Tetapi, dalam dialog itu, perspektif dan posisi kita sebagai Muslim
harusnya dinyatakan secara tegas. Justru, dialog itu akan terjadi, jika masing-masing pihak memiliki
posisi yang jelas. Jika tidak, maka dapat muncul sikap kepura-puraan dan kemunafikan. Wallahu a’lam.
Persatuan Sunnah-Syiah : Mungkinkah ?
Oleh: Dr.Adian Husaini
Hari Kamis (9/2/2012), Harian Republika memuat iklan setengah halaman dari sebuah lembaga yang
menamakan dirinya Yayasan Muslim Indonesia Bersatu (YIMB), www.muslimunity.net. Judul iklan
tersebut adalah: ”MELAWAN POLITIK ADU DOMBA DENGAN PERSATUAN UMAT.”
Inti iklan sepanjang itu adalah ajakan untuk membangun persatuan ummat, khususnya antara Muslim
Ahlu Sunnah wal-Jamaah dengan Pengikut Syiah. Dikutiplah pernyataan berbagai ulama Sunni dan Syiah
yang mengajak untuk bersatu. Di dalam iklan ini ditulis kata-kata indah:
”Namun, yang tak kalah pentingnya, semua pernyataan bijak di atas tidak akan banyak manfaatnya
kecuali jika para pengikut mazhab-mazhab dalam Islam benar-benar dapat bersikap dan membawa diri
sesuai dengan prinsip-prinsip persaudaraan Islam. Termasuk di dalamnya sikap menghormati keyakinan
mazhab yang berbeda, mendahulukan prasangka baik (husnuz-zhan), juga kesediaan melakukan
verifikasi (tabayun) dalam hal adanya tuduhan-tuduhan terhadap mazhab tertentu. Yang terpenting di
antaranya adalah tidak merasa benar sendiri dan menganggap keyakinan mazhab lain sebagai salah,
apalagi kemudian merasa perlu mendakwahkan mazhabnya serta berupaya mengubah keyakinan para
pengikut mazhab lainnya.”
Ajakan untuk perdamaian dan persatuan umat Islam tentunya harus diberikan apresiasi. Namun, lagi-
lagi, sebagai seorang Muslim-Sunni, saya justru berharap, ajakan semacam itu sebaiknya ditujukan
kepada orang-orang Syiah di Indonesia. Sebab, di Indonesia, problem hubungan Ahlu Sunah dan Syiah
terjadi karena provokasi ajaran dan dakwah kaum Syiah yang menyerang kehormatan para sahabat dan
istri-istri Nabi yang mulia, sebagaimana sudah kita bahas dalam Catatan sebelumnya.
Jika ditelaah sejumlah literatur Syiah, termasuk buku-buku yang terbit di Indonesia, kebiasaan untuk
menyerang dan menfitnah sahabat dan istri Nabi tampaknya sulit mereka hilangkan. Belum lama ini,
saya mendapatkan satu buku berjudul ”KECUALI ALI” (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2009). Penerbit ini
mencantumkan alamat: P.O. Box 7335 JKSPM 12073, email: [email protected]. Aslinya, buku ini
berjudul ”Ali Oyene-e Izadnemo”, karya Abbas Rais Kermani, terbitan Daftare Tablighat, Iran.
Buku ini lebih terbuka dan lebih berani dalam melecehkan dan menghina para sahabat Nabi Muhammad
SAW, khususnya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan radhiyallaahu ’anhum.
Kita bisa menyimak sejumlah tulisan di buku ini:
”Umar adalah seorang yang berwatak keras dan menakutkan, Abu Bakar telah ditetapkan olehnya
sebagai khalifah dengan penunjukan yang arogan. Luka semakin menganga, dan sangatlah sulit
membangun hubungan dengannya. Setiap orang yang bekerja sama dengannya, orang itu akan seperti
unta bengal dan mabuk dalam perjalanan. Jika kendalinya ditarik keras, maka hidungnya akan sobek.
Jika kendali diolonggarkan maka akan jatuh ke jurang.” (hal. 144).
”Imam Ali as mengatakan tentang Usman, ”(Usman) telah berdiri di antara tiga kaum dalam keadaan
perut kenyang dan hidup mewah di padang rumput. Yakni, makan berlebihan di masa paceklik,
mengutamakan famili dan sanak saudaranya, memburu harta Allah dengan keserakahan dan nepotisme,
hingga akar kejahatannya terungkap. Menyelesaikan perkara-perkara tanpa keadilan, sehingga akan
membunuhnya dan memuntahkan semua apa yang telah ditelannya.” (hal. 145).
”Almarhum Durcei mengatakan, ’Saya berziarah ke makan suci Imam Ali as dan mengatakan, ’Maulaku,
saya tidak memiliki dalil lain lagi dengan seorang alim Sunni ini, apa yang harus kami katakan?’ Imam Ali
as dalam alam mimpi, mengatakan kepadanya, ’Katakanlah kepadanya, jika kami tidak memiliki
perbedaan dengan para khalifah, tetapi mengapa kubur Fathimah tidak diketahui (tersembunyi)?’
Esoknya, saya pergi menemui orang alim Sunni tersebut dan saya berkata, ’Jika Imam Ali as tidak
memiliki perbedaan dengan mereka (ara khalifah) dan ridha atas mereka, mengapa kubur Fathimah
tersembunyi?’ Alim Sunni tersebut dengan suara keras dan menangis terseduh-seduh, seketika itu dia
beralih ke mazhab Tasyayyu’ (Syiah).” (hal. 152-153)
”Pada saat itu, panggilan dari alam ghaib dengan suara tinggi membacakan syair berikut:
”… Kemudian Allah mengetahui bahwa kebenaran adalah hak mereka, bukan hak golongan (Abu Bakar
adalah dari golongan itu, dan bukan golongan musuh (Umar dari golongan musuh).” (hal. 154).
”Umar menenangkan kekhawatiran Abu Bakar, dia berkata, ’Janganlah bersedih, dia adalah setan.’
Seketika itu terdengar suara di balik dinding, ’Saya bukanlah setan! Akan tetapi kalian dan ayah kalian
akan menjadi Iblis.”… Ibnu Abbas berkata, ’Ketika saya bersama Ali, beliau bertanya, ’Apa yang terjadi
dalam pertemuan malam tadi?’ Saya menjawab, ’Engkau lebih mengetahui akan hal ini.’ Imam Ali as
berkata, ’Orang itu adalah saudaraku Khidir, ini adalah surat yang telah ditandantangani oleh Abu Bakar
malam tadi malam.” (hal. 155-156).
Jika kita renungkan ungkapan-ungkapan yang tercuat dalam buku ”Kecuali Ali” tersebut, maka tampak
begitu jelas dendam kesumat kaum Syiah terhadap sahabat-sahabat Nabi yang utama dan sangat
dimuliakan oleh kaum Muslim Sunni. Bagaimana mungkin sahabat-sahabat utama itu dicaci maki,
padahal keimanan dan jasa-jasa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. begitu hebatnya. Beliaulah yang menemani
Nabi SAW dalam perjalanan Hijrah. Prestasi dan kepribadian Umar bin Khathab juga tidak diragukan.
Kedua sahabat Nabi yang utama ini pun merupakan mertua Rasulullah saw. Bagaimana manusia-
manusia yang begitu agung dan mulia itu dikatakan — dalam buku ”Kecuali Ali” ini — akan menjadi
IBLIS?
Keutamaan Usman bin Affan pun sudah sangat masyhur. Sejumlah riwayat yang dituturkan Ibn Hajar
memberi gambaran kekayaan Usman. Di antaranya, pada permulaan masa hijrah, kaum muslim di
Madinah kesulitan mendapat air bersih. Saat itu, hanya ada mata air Rumah yang tersedia dan itupun
harus dibeli. Usman r.a. akhirnya membeli sumur itu dan mewakafkannya untuk umat Islam. Ketika ada
rencana perluasan masjid Nabawi di masa Nabi saw dan dana kas negara tidak mencukupi, Rasulullah
saw mengumumkan pengumpulan dana. Maka Usman r.a. segera membeli tanah untuk perluasan
tersebut seharga 25.000 dirham. Ketika Nabi saw menghimpun dana guna membiayai perang Tabuk
yang terjadi di masa paceklik, Usman r.a. mendermakan 1000 dinar, 940 ekor unta dan 40 ekor kuda (al-
Khilafah al-Rasyidah min Fath al-Bari, hlm. 453-458).
Seiring dengan geliat kemajuan ekonomi di masa Umar, bisnis Usman bin Affan pun semakin
berkembang dan asetnya bertambah besar, jauh di atas rata-rata kaum muslimin lainnya. Imam Bukhari
(hadits no. 3059) menggambarkan, ketika kekayaan negara berupa hewan ternak semakin banyak, Umar
terpaksa membuat lahan konservasi eksklusif (al-Hima), dan berkata kepada pegawainya, “Izinkan para
pemilik ternak untuk menggembala di al-Hima, tapi jangan sekali-kali mengizinkan [Abdurrahman] bin
Auf dan [Usman] bin Affan. Karena jika seluruh ternak mereka berdua binasa, mereka masih punya
kebun dan ladang”.
Jadi, Usman r.a. memang seorang pengusaha sukses, kaya raya dan sangat dermawan. Jangankan
hartanya, nyawanya pun telah dipertaruhkan untuk Islam. Ia terjun langsung dalam berbagai
peperangan. Tidak masuk akal, manusia mulia seperti ini lalu menjadi orang yang serakah terhadap
dunia. Tidaklah sepatutnya pribadi mulia seperti Usman bin Affan ini dicerca. Tidaklah komprehensif
melihat kepemimpinan Usman hanya dari sebagian sisi lemahnya saja. Berbagai prestasi besar – dalam
politik, ekonomi, dan pendidikan – telah dicapai dalam masa 12 tahun kepemimpinan Usman bin Affan
r.a.
Ahlu Sunnah wal-Jamaah mengajarkan kaum Muslim untuk menghormati dan mencintai semua sahabat
Nabi Muhammad SAW. Ahlu Sunnah tidak mengajarkan dendam dan kebencian kepada para sahabat
Nabi SAW.
****
Ajakan persatuan Ahlu Sunnah dan Syiah ini juga pernah dikemukakan oleh Prof. Quraish Shihab yang
menulis buku berjudul ”Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Buku Quraish Shihab ini
kemudian dijawab oleh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, melalui sebuah buku berjudul
”Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah ?” Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)”. Buku ini ditulis oleh Tim Penulis Buku Pustaka SIDOGIRI, Pondok
Pesantren Sidogiri, yang dipimpin seorang anak muda bernama Ahmad Qusyairi Ismail.
Perlu dicatat, Pondok Pesantren Sidogiri (PPS) adalah salah satu pesantren tertua di Indonesia. PPS
didirikan tahun 1745. Jadi, usianya kini telah mencapai lebih dari 260 tahun. Jumlah muridnya lebih dari
5.000 orang. Sejumlah prestasi ilmiah tingkat nasional juga pernah diraihnya. Diantaranya, pada
Ramadhan 1425 H, PPS berhasil meraih juara I dan III lomba karya ilmiah berbahasa Arab yang
diselenggarakan oleh Depdiknas RI.
Dalam Jurnal Laporan Tahunan 1425/1426 H, disebutkan bahwa PPS juga cukup sering mendapat
kunjungan tamu-tamu dari luar negeri. Termasuk dari kedutaan Australia dan Amerika Serikat. Mereka
selalu menerima tamunya dengan baik. Tetapi, dengan sangat berhati-hati, selama ini, PPS senantiasa
menolak dana bantuan dan hibah dari Australia dan Amerika.
PPS juga termasuk salah satu pesantren di Jawa Timur yang sangat gigih dalam melawan penyebaran
paham Liberal. Ditulis dalam Laporan Tahunan tersebut: ”Tahun ini, PPS menggerakkan piranti dunia
maya untuk melestarikan dan menyelamatkan ajaran Ahlusunnah dari serbuan berbagai aliran sesat. Di
website www.sidogiri.com secara khusus disediakan rubrik ”Islam Kontra Liberal”.
Dalam bukunya, Quraish Shihab menulis, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda.
”Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan
perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan
– adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar)
keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam.” (Cetakan II, hal. 265).
Seperti yang pernah kita bahas dalam CAP ke-229, dalam buku terbitan Pesantren Sidogiri tersebut,
dikutip sambutan K.H. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri yang menegaskan: ”Mungkin
saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah
Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda
Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung
pengaruh aliran sesat semacam Syiah.”
Diantara masalah yang dibahas dalam buku ini adalah isu tentang pengkafiran Ahlusunnah oleh kaum
Syiah. Quraish Shihab menulis: “Apa yang dikemukakan di atas sejalan dengan kenyataan yang terlihat,
antara lain di Makkah dan Madinah, di mana sekian banyak penganut aliran Syiah Imamiyah yang shalat
mengikuti shalat wajib yang dipimpin oleh Imam yang menganut mazhab Sunni yang tentunya tidak
mempercayai imamah versi Syiah itu. Seandainya mereka menilai orang-orang yang memimpin shalat
itu kafir, maka tentu saja shalat mereka tidak sah dan tidak juga wajar imam itu mereka ikuti.” (hal. 120).
Pernyataan Quraish Shihab itu dijawab oleh Pesantren Sidogiri:
“Memperhatikan tulisan Dr. Quraish Shihab di atas, seakan-akan Syiah yang sesungguhnya memang
seperti apa yang digambarkannya (tidak menganggap Ahlusunnah kafir dan najis). Akan tetapi siapa
mengira bahwa faktanya tidak seperti penggambaran Dr. Quraish Shihab? Jika kita merujuk langsung
pada fatwa-fatwa ulama Syiah, maka akan tampak bahwa sebetulnya Dr. Quraish Shihab hendak
mengelabui pemahaman umat Islam akan hakikat Syiah. Bahwa sejatinya, Syiah tetap Syiah. Apa yang
mereka yakini hari ini tidak berbeda dengan keyakinan para pendahulu mereka. Dalam banyak literatur
Syiah dikemukakan, bahwa orang-orang Syiah yang shalat di belakang (menjadi makmum) imam Sunni
tetap dihukumi batal, kecuali dengan menerapkan konsep taqiyyah… “Suatu ketika, tokoh Syiah
terkemuka, Muhammad al-Uzhma Husain Fadhlullah, dalam al-Masa’il Fiqhiyyah, ditanya: “Bolehkah
kami (Syiah) shalat bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab dengan kami, dengan
memperhatikan perbedaa-perbedaan di sebagian hukum antar shalat kita dan shalat mereka?”
Muhammad Husain Fadhlullah menjawab: “Boleh, asalkan dengan menggunakan taqiyyah.” (348-349).
Seorang dai Syiah, Muhammad Tijani, mengungkapkan, bahwa “Mereka (orang-orang Syiah) seringkali
shalat bersama Ahlusunnah wal Jama’ah dengan menggunakan taqiyyah dan bergegas menyelesaikan
shalatnya. Dan barangkali kebanyakan mereka mengulangi shalatnya ketika pulang.” (hal. 350-351).
Banyak sekali buku-buku referensi utama kaum Syiah yang dirujuk dalam buku terbitan PPS ini. Karena
itu, mereka juga menolak pernyataan Dr. Quraish Shihab bahwa yang mengkafirkan Ahlusunnah
hanyalah pernyataan orang awam kaum Syiah. Pesantren Sidogiri juga mengimbau agar umat Islam
berhati-hati dalam menerima wacana ”Persatuan umat Islam” dari kaum Syiah. Sebab, mereka yang
mengusung persatuan, ternyata dalam kajiannya justru memojokkan Ahlusunnah dan memposisikannya
di posisi zalim, sementara Syiah diposisikan sebagai “yang terzalimi”.
Jadi, untuk membangun persaudaraan diperlukan ketulusan dan keterbukaan. Jalannya memang terjal
dan berliku. Wallahu a’lam bil-shawab. (Artikel ini adalah Catatan Akhir Pekan ke-325, Radio Dakta 107
FM dan www.hidayatullah.com)
Hutang Barat Terhadap Islam
Oleh: Dr.Adian Husaini
”Hutang Barat terhadap Islam” (The Wes’st Debt to Islam). Itulah tajuk satu bab dari sebuah buku
berjudul “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London:
Watkins Publishing, 2006), karya Tim Wallace-Murphy. Di tengah gencarnya berbagai serangan terhadap
Islam melalui berbagai media di Barat saat ini, buku seperti ini sangat patut dibaca. Selain banyak
menyajikan data sejarah hubungan Islam-Barat di masa lalu, buku ini memberikan arus lain dalam
menilai Islam dari kacamata Barat.
Berbeda dengan manusia-manusia Barat yang fobia dan antipati terhadap Islam – seperti sutradara film
Fitna, Geert Wilders – penulis buku ini memberikan gambaran yang lumayan indah tentang sejarah
Islam. Bahkan, dia tidak segan-segan mengajak Barat untuk mengakui besarnya hutang mereka terhadap
Islam. ”Hutang Barat terhadap Islam,” kata, Tim Wallace-Murphy, “adalah hal yang tak ternilai harganya
dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun. Katanya, “We in the West owe a debt to
the Muslim world that can be never fully repaid.’’
Pengakuan Wallace-Murphy sebagai bagian dari komunitas Barat semacam itu, sangatlah penting, baik
bagi Barat maupun bagi Islam. Di mana letak hutang budi Barat terhadap Islam? Buku ini banyak
memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada zaman
yang dikenal di Barat sebagai Zaman Pertengahan (the Middle Ages). Sejak beberapa bulan lalu, setiap
hari, Harian Republika, juga memuat rubrik khusus tentang khazanah peradaban Islam di masa lalu, yang
memberikan pengaruh besar terhadap para ilmuwan di Barat.
Di Zaman Pertengahan itulah, tulis Wallace-Murphy, Andalusia yang dipimpin kaum Muslim menjadi
pusat kebudayaan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa tetapi juga di seluruh kawasan Laut Tengah.
Pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangatlah kontras. Bagi mayoritas
masyarakat di dunia Kristen Eropa, zaman itu, kehidupan adalah singkat, brutal dan barbar,
dibandingkan dengan kehidupan yang canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di Spanyol-
Islam.
Saat itu, Barat banyak sekali belajar pada dunia Islam. Para tokoh agama dan ilmuwan mereka
berlomba-lomba mempelajari dan menerjemahkan karya-karya kaum Muslim dan Yahudi yang hidup
nyaman dalam perlindungan masyarakat Muslim. Barat dapat menguasai ilmu pengetahuan modern
seperti sekarang ini, karena mereka berhasil mentransfer dan mengembangkan sains dari para ilmuwan
Muslim.
Tim Wallace-Murphy menekankan perlunya Barat mengakui bahwa mereka mewarisi sains Yunani dan
lain-lain, adalah atas jasa para ilmuwan dan penguasa Muslim. Di masa kegelapan Eropa tersebut,
orang-orang Barat secara bebas menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab – tanpa perlu membayar
Hak Cipta. Sejarawan Louis Cochran menjelaskan, bahwa Adelard of Bath (c.1080-c.1150), yang dijuluki
sebagai “the first English scientist”, berkeliling ke Syria dan Sicilia selama tujuh tahun, pada awal abad
ke-12. Ia belajar bahasa Arab dan mendapatkan banyak sekali buku-buku para sarjana. Ia
menerjemahkan “Elements” karya Euclidus, dan dengan demikian mengenalkan Eropa pada buku
tentang geometri yang paling berpengaruh di sana. Buku ini menjadi standar pengajaran geometri
selama 800 tahun kemudian. Adelard dengan menerjemahkan buku table asronomi, Zijj, karya al-
Khawarizmi (d. 840) yang direvisi oleh Maslama al-Majriti of Madrid (d.1007). Buku itu merupakan
pengatahuan astronomi termodern pada zamannya.
Seorang penerjemah yang sangat fenomenal bernama Gerard of Cremona. Selama hampir 50 tahun
tinggal di Toledo (1140-1187), dia menerjemahkan sekitar 90 buku dari bahasa Arab ke bahasa Latin.
Separoh lebih berkaitan dengan matematika, astronomi, dan bidang sains lainnya; sepertiga berkaitan
dengan kedokteran dan sisanya tentang filsafat dan logika. Bidang-bidang keilmuan inilah yang
memberikan fondasi bagi munculnya renaissance (kelahiran kembali peradaban Barat) di Eropa pada
abad ke-12 dan ke-13 M.
Bukan hanya dalam bidang penerjemahan Barat sangat aktif. Dalam Pendidikan Tinggi, Oxford University
yang berdiri tahun 1263 dan Cambridge University tak lama sesudah itu, juga menjiplak model kampus-
kampus ternama di Andalusia.
Dengan bukti-bukti sejarah tentang kejayaan Islam dan karakter Islam itu sendiri, Wallace-Murphy
mengajak koleganya di dunia Barat untuk mengakui jasa-jasa besar Islam terhadap Barat. Lebih dari itu,
dia mengimbau, agar Barat mampu melihat Islam dengan lebih jernih dan jangan bernafsu untuk
mengintervensi urusan dunia Islam. Termasuk dalam soal toleransi dan penghormatan terhadap budaya
dan pemeluk agama lain.
Terhadap pertanyaan, “Can the world of Islam solve its own problems?”, apakah dunia Islam mampu
menyelesaikan masalahnya sendiri, Wallace-Murphy menjawab tegas: Itu telah terbukti di masa lalu,
dan berkat prinsip-prinsip ajaran Islam yang penuh toleransi terhadap budaya dan agama lain, maka
Islam akan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Bahkan, ditambahkannya, karena keyakinan kaum Muslim yang tidak tergoyahkan dan hasrat besar akan
kemerdekaan, maka ”Siapa atau apa yang akan mampu menghentikan mereka?” Agama Islam, katanya,
telah memberikan inspirasi yang begitu besar di masa lalu, dan mereka akan meraih kejayaan kembali di
masa depan di berbagai bidang yang mereka telah memiliki pengalaman hebat di banding yang lain,
dalam soal toleransi, kreativitas, dan penghormatan. Lalu, ia menutup bukunya dengan sebuah imbauan
kepada masyarakat Barat: “Berikanlah penghormatan kepada kaum Muslim, sebagaimana mereka telah
memperlihatkan kepada kita, saat mereka – tanpa syarat – membagi buah kebudayaan mereka kepada
kita.” Kata Wallace-Murphy, “Grant them the same respect that they have shown to us when they,
unconditionally, shared the fruits of their culture with us”.
Sains Islam
Ilmu pengetahuan senantiasa berkembang dari masa ke masa. Dan dunia Islam ketika itu berhasil
mentransfer dan mengembangkan ilmu pengatahuan yang dikembangkan oleh peradaban lain, seperti
Yunani, India, Cina, Persia, Babilonia, dan sebagainya. Tetapi, para ilmuwan Muslim tidak begitu saja
menjiplak karya-karya ilmuwan Yunani atau yang lain. Bahkan, menurut pakar sains Islam, Prof. Cemil
Akdogan, ilmuwan Muslim berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan yang ”khas Islam”, yang
berbeda dengan tradisi ilmu pengetahuan Yunani atau peradaban lain.
Dalam bukunya, Science in Islam and the West, (ISTAC-IIUM, 2008), Cemil Akdogan menjelaskan, bahwa
sains Islam adalah produk dari pendekatan tauhidik, sedangkan sains Barat modern adalah produk dari
pendekatan dualistik. Dalam Islam, sains tidak terpisahkan dari Islam. Sedangkan di Barat, sains bersifat
”bebas Tuhan” (godless).
Ironisnya, ketika Barat modern mengambil sains dari dunia Islam, mereka mensekularkan sains tersebut
dan membebaskan sains dari campur tangan agama. Ini adalah salah satu produk sekulerisme yang
memandang alam sebagai hal yang semata-mata ”profane” dan tidak terkait dengan unsur ketuhanan.
Karena itulah, mereka memandang bahwa manusia boleh memperlakukan alam sesuai dengan
kehendak mereka sendiri. Prof. Naquib al-Attas menilai, sains sekular Barat inilah sumber kerusakan
terhadap dunia saat ini, bukan hanya kerusakan manusia tetapi juga dunia binatang, tumbuhan, dan
alam mineral.
Prestasi-prestasi besar kaum Muslim di bidang kehidupan dan keilmuan tidaklah terpisah dari dorongan
besar yang diberikan Kitab Suci al-Quran dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Quran adalah
Kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Ini, misalnya,
tergambar dari penyebutan kata “al-‘ilm” dan derivasinya yang mencapai 823 kali. Ditegaskan dalam QS
3:18-19, orang-orang yang berilmu harus mampu menemukan dua kesimpulan: (1) Tidak ada Tuhan
selain Allah, (2) ad-Din (agama) dalam pandangan Allah hanyalah Islam.
Dengan semangat inilah, kaum Muslim mampu menaklukkan dunia ilmu.
Sepenggal sejarah peradaban Islam yang digambarkan oleh Tim Wallace-Murphy dalam bukunya,
memperlihatkan bagaimana “rahmatan lil-alamin” memang pernah terwujudkan ketika umat Islam
mengikuti dan menerapkan perintah al-Quran untuk belajar dan bekerja keras. Umat Islam menjadi
umat yang disegani dan dicontoh oleh peradaban lain.
Satu pelajaran penting yang dapat kita ambil dari buku Tim Wallace-Murphy itu adalah kesadaran akan
hakekat ajaran Islam itu sendiri, yang berhasil diserap dan diaplikasikan oleh kaum Muslim, sehingga
menghasilkan sebuah peradaban yang tinggi. Umat Islam tidak pernah menutup diri dari peradaban lain.
Unsur-unsur positif dari mana pun bisa diambil. Tetapi, bukan pandangan hidup syirik yang
bertentangan dengan ajaran Tauhid.
Dalam kaitan inilah, kita tidak habis pikir dengan banyaknya cendekiawan yang ”silau” dengan
peradaban Barat; yang bangga dan rajin melantunkan lagu-lagu sekularisme, liberalisme, feminisme,
pluralisme agama, dan isme-isme lain yang hanya menyeret kaum Muslim menjadi ”satelit Barat”.
Karena itulah, sangatlah ajaib, bahwa banyak perguruan Tinggi Islam saat ini, misalnya, lebih bangga
menerapkan metode hermeneutika Barat dalam menafsirkan al-Quran ketimbang menggunakan Ilmu
Tafsir al-Quran itu sendiri.
Apa Bentuk Terbaru dari Ghazwul Fikr ?
Oleh : Dr.Adian Husaini
Ghazwul fikri atau invasi pemikiran, sejatinya tidak berubah dari masa ke masa semenjak iblis melakukan
ghazwul fikri kepada Adam dengan menggunakan kata-kata yang indah untuk menyesatkan cara berpikir
Adam. Media yang digunakan adalah “kata”. Dalam Alquran, disebut sebagai zukhrufal qaul, kata-kata
yang indah tetapi menyesatkan. (QS al-A’raf [6]: 112).
Jadi, yang berubah-ubah pada ghazwul fikri hanya “modus” atau bentuknya karena berubahnya alat-alat
komunikasi. Sekarang, dengan perkembangan alat-alat dan program komunikasi yang semakin canggih
maka ghazwul fikri pun semakin berkembang modusnya. Tapi, pada intinya adalah usaha menyesatkan
pemikiran umat Islam melalui media.
Media apa yang paling efektif menularkan ghazwul fikr?
Media yang ampuh tentu saja komunikasi visual yang melibatkan sebanyak mungkin indra manusia.
Yang paling ampuh kalau tatap muka atau interaksi langsung, lalu media audio-visual sejenis film, lalu
media foto, informasi kata-kata melalui media pendengaran, juga tulisan.
Karena itu, kita lihat bagaimana kaum Yahudi sadar benar akan hal ini sehingga mereka berusaha keras
menguasai media film di Holywood, begitu juga kini berbagai bangsa dan komunitas berusaha keras
menguasai media TV.
Lihat bagaimana kaum evangelis di Indonesia menggunakan media TV untuk menyebarkan misi mereka.
Mereka berusaha memengaruhi pemikiran masyarakat Indonesia.
Apa saat ini umat Islam inferior ?.
Posisi peradaban Islam saat ini memang inferior dibandingkan peradaban Barat. Tetapi, umat Islam tidak
boleh merasa inferior karena mereka memiliki potensi dan keunggulan yang tidak dimiliki peradaban
lain, termasuk peradaban sejarah.
Pertama, Islam sebagai agama wahyu yang mampu melintasi zaman dan budaya.
Kedua, khazanah sejarah. Islam bukan hanya konsep-konsep di atas kertas, melainkan konsep yang
sudah pernah terbukti dalam sejarah, meskipun Islam bukan agama yang tunduk pada sejarah.
Ketiga, Islam memiliki wahyu yang autentik yang tidak mampu diubah manusia manapun di muka bumi
ini. Satu kitab yang ditulis dan dihafal sejak awal. Dengan potensi itulah maka umat Islam sangat
optimistis mereka pasti akan bangkit lagi menunggu terpenuhinya syarat-syarat kebangkitan.
Bagaimana kondisi umat Islam saat ini secara ekonomi dan politik ?.
Negeri-negeri Islam ini secara umum dikenal sebagai negeri-negeri yang kaya sumber daya alam. Potensi
individual umat Islam juga luar biasa. Ilmuwan sama dengan ilmuwan Muslim di berbagai bidang kini
betebaran di berbagai belahan dunia.
Kelemahannya, umat Islam belum mampu melakukan konsolidasi politik. Sedikit saja konsolidasi politik
itu bisa dilakukan, insya Allah potensi umat Islam akan teroptimalkan.
Sekuat apa penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati) menjangkiti umat Islam ?.
Secara umum, saya melihat cukup mengkhawatirkan. Jika penyakit wahn ini menggerogoti semua sendi-
sendi kehidupan umat Islam, itu akan meruntuhkan kekuatan umat Islam. Itu pula yang kita saksikan di
bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Al Wahn menyerang sendi-sendi individu dan mungkin banyak tokoh serta ulama sehingga umat Islam,
meskipun jumlahnya banyak, tidak disegani, jadi bahan mainan, dan laksana buih yang tidak dihargai.
Karena itu, harus ada gerakan serius untuk menyembuhkan penyakit al-wahnu ini.
Apa solusi bagi individu Muslim dan upaya ulama menangkal.Umat harus memiliki pemahaman yang
benar tentang Islam, worldview-nya harus benar.
Penyakit cinta dunia, cinta jabatan, dan sebagainya, itu akibat pola pikir yang salah tentang kehidupan.
ia memandang dunia ini lebih penting dari akhirat. Inilah yang dikatakan Prof Naquib al-Attas dalam
konferensi pendidikan Islam internasional pertama di Mekkah, 1977, bahwa akar masalah umat Islam
adalah pada kesalahan ilmu (confusion of knowledge) yang berujung pada hilang adab (loss of adab).
Akibatnya, orang tidak tahu bagaimana meletakkan segala sesuatu dengan benar sesuai dengan harkat
dan martabat yang ditentukan Allah. Terjadilah, misalnya, orang jahat dihormati hanya karena ia pejabat
atau karena kaya. Bukan orang bertakwa yang dihormati.
Sumber :
http://m.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/09/19/nc4tw845-dr-adian-husaini-ma-ghazwul-
fikr-hanya-berubah-modus
Untuk Apa Belajar Islamic worldview (Pandangan Hidup Islam) ?
Oleh: Dr.Adian Husaini dan Dr.Tiar Anwar Bachtiar
Islamic worldview (Pandangan Hidup Islam) adalah pemahaman seorang Muslim terhadap konsep-
konsep pokok dalam Islam. Pemahaman setiap manusia akan mempengaruhi perilakunya. Cara
pandang, sikap, dan perilaku seorang manusia ditentukan oleh bagaimana ia memahami suatu objek
yang diinderanya. Seorang Muslim yang memiliki Pandangan Hidup Islam (Islamic Worldview) akan
berbeda dengan seseorang yang tidak memilikinya, ketika kedua-duanya sama-sama melihat babi.
Betapapun indah dan lezatnya masakan yang berasal dari babi, seorang Muslim akan memahaminya
sebagai barang haram yang harus dijauhi. Seorang Muslimah yang memiliki pandangan hidup Islam akan
merasa tenang dan bahagia ketika melakukan pekerjaan rumah tangga, karena ia merasa yakin apa yang
dikerjakannya adalah ibadah. Berbeda halnya dengan seorang wanita yang berpaham “kesetaraan
gender”. Ketika menyiapkan minuman bagi suami dan anak-anaknya, dia akan merasa terhina. Dia akan
bertanya, “Kenapa bukan suaminya yang menyiapkan minuman bagi dirinya, padahal dia memiliki
penghasilan yang lebih besar dibanding suaminya?”
Berangkat dari paham “kesetaraan gender” itulah, maka setiap wanita dapat memandang dirinya setara
dengan laki-laki dalam segala hal. Tidak boleh ada diskriminasi dalam peran sosial dan budaya. Tidak
boleh ada konsep bahwa “laki-laki harus berada di shaf depan ketika shalat”. Tidak boleh ada konsep
bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga. Tidak boleh ada konsep bahwa saat menikah wanita harus
diwakili oleh walinya, sedangkan laki-laki dapat menikahkan dirinya sendiri. Tidak boleh ada konsep
bahwa wanita tidak boleh menjadi khatib shalat Jum‘at. Tidak boleh ada pandangan bahwa hanya
wanita yang memiliki masa ‘iddah setelah perkawinannya berakhior sementara laki-laki bebas dari
‘iddah. Itulah jika wanita terkena paham “kesetaraan gender” yang berasal pandangan hidup Barat
(Western worldview).
Seorang Muslim yang memiliki perspektif akhirat, dia tidak mungkin akan berlaku semena-mena
terhadap istri dan keluarganya, karena dia yakin akan dimintai pertanggung-jawaban oleh Allah di
akhirat. Meskipun diberi kekuasaan oleh Allah dalam rumah tangga sebagai pemimpin, dia tidak boleh
berlaku semena-mena, karena semua amanah akan dipertanggung-jawabkan. Bagi seorang Muslim yang
memiliki Islamic worldview, akan memandang hidup ini sebagai tempat untuk menjalankan amanah
Allah. Semua akan dipertanggung-jawabkan. Semakin besar amanah dan kenikmatan yang diterimanya,
semakin besar pula tanggung jawabnya di akhirat.
Seorang Muslim yang memiliki Islamic Worldview akan yakin bahwa hanya Islam-lah agama yang
diterima Allah (QS. 3: 83). Sebab, hanya Islam-lah agama yang mengajarkan kalimat tauhid (kalimatun
sawâ’), dan merupakan kelanjutan dari semua agama yang dibawa oleh para Nabi. Islam adalah nama
satu agama dan penjelasan tentang cara beribadah yang benar kepada Allah. Dalam pandangan hidup
Islam, manusia tidak mungkin akan mengenal Allah-Tuhan yang sebenarnya-kecuali melalui keimanan
kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad Saw. hanya melalui utusan-Nya itulah, Allah
menjelaskan, siapa diri-Nya, dan bagaimanaa manusia harus beribadah kepada-Nya, dan bagaimana
manusia harus menjalani hidup di dunia. Maka, untuk masuk Islam, seorang harus meyakini dan mau
mengikrarkan pernyataan “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Karena itu, dalam perspektif Islamic Worldview tidak dapat diterima pandangan kaum pluralis agama
yang menyatakan bahwa semua agama pada dasarnya memiliki intisari yang sama, yaitu sama-sama
sebagai jalan yang sah untuk menuju Tuhan yang satu, meskipun masing-masing memiliki cara ibadah
dan penyebutan nama Tuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itulah, Tauhid tidaklah mungkin dicapai
melalui jalan pengalaman keagamaan (spiritualitas) semata, tanpa merujuk kepada wahyu yang
diturunkan Allah Swt. Inilah cara pandang Islam. Setiap orang yang mengaku Muslim tentu saja harus
memandang sesuatu—termasuk agama-agama—dari “kacamata” Islam, bukan dari “kacamata” yang
lain.
Cara pandang kaum pluralis agama terhadap agama-agama yang ada tidak didasarkan pada ajaran suatu
agama tertentu. Tapi, dia berdiri pada posisi netral agama. Dia tidak berdiri pada posisi Islam, Kristen,
Hindu, Budha, ataupun Konghucu. Dia berposisi netral, memandang semua agama benar dan sebagai
jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Karena tidak didasarkan pada Wahyu, maka
pandangan kaum pluralis ini lebih merupakan angan-angan, yang seringkali kemudian dicarikan
justifikasinya dari ayat-ayat tertentu dalam Kitab Suci.
Islamic worldview bukanlah ajaran baru dalam Islam. Sebab, Islam adalah agama yang sudah sempurna
sejak awal. Islam tidak berkembang dalam sejarah. Konsep tajdid (pembaharuan) dalam Islam, bukanlah
membuat-buat hal yang baru dalam Islam, melainkan upaya untuk mengembalikan kemurnian Islam.
Ibarat cat mobil, warna Islam adalah abadi. Jika sudah mulai tertutup debu, maka tugas tajdid adalah
mengkilapkan cat itu kembali, sehingga bersinar cerah seperti asal-mulanya. Bukan mengganti dengan
warna baru yang berbeda dengan warna sebelumnya.
Islamic worldview adalah upaya perumusan ajaran-ajaran pokok dalam Islam, yang formulasinya
disesuaikan dengan tantangan zaman yang sedang dihadapi oleh kaum Muslimin. Karena saat ini yang
sedang menghegemoni umat manusia—termasuk umat Islam adalah pemikiran Barat yang sekular-
liberal, maka konsep Islamic Worldview inipun dirumuskan agar kaum Muslim tidak terjebak atau
terperosok ke dalam pemikiran-pemikiran yang dapat merusak keimanannya.
Setiap Muslim pasti akan diuji keimanannya. Iman tidak akan dibiarkan begitu saja, tanpa ada ujian (QS
29:2-3). Maka, setiap zaman dan setiap waktu akan selalu ada ujian iman. Ada yang lulus, ada yang gagal
dalam ujian iman. Oleh karena itulah, setiap Muslim diwajibkan agar selalu menuntut ilmu setiap waktu
agar dapat mengetahui mana yang salah dan mana yang benar, mana yang Tauhid dan mana yang syirik.
Dalam kitab Sullamut-Tawfîq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hisyam
yang biasa dikaji di madrasah-madrasah diniyah dan pondok-pondok pesantren disebutkan bahwa
merupakan kewajiban setiap Muslim untuk menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni
murtad (riddah). Dijelaskan juga dalam kitab ini bahwa riddah ada tiga jenis, yaitu murtad dengan
keyakinan (i‘tiqâd), murtad dengan lisan, dan murtad dengan perbuatan. Contoh murtad dari segi
i‘tiqâd, misalnya, ragu-ragu terhadap wujud Allah, atau ragu terhadap kenabian Muhammad Saw., atau
ragu terhadap Al-Quran, atau ragu terhadap Hari Akhir, surga, neraka, pahala, siksa, dan sejenisnya.
Ulama India Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi pernah menyebutkan bahwa tantangan terbesar yang
dihadapi umat Islam saat ini, sepeninggal rasulullah saw. adalah tantangan yang diakibatkan oleh
serangan-serangan pemikiran yang datang dari peradaban Barat. Sebab, tantangan ini sudah
menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman dan kemurtadan.
Menurut An-Nadwi, serangan modernisme peradaban Barat ke dunia Islam merupakan ancaman
terbesar dalam bidang pemikiran dan keimanan. Dia mengungkapkan:
“….Di saat sekarang ini selama beberapa waktu dunia Islam telah dihadapkan pada ancaman
kemurtadan yang menyelimuti bayang-bayang di atasnya dari ujung ke ujung.Inilah kemurtadan yang
telah melanda Muslim Timur pada masa dominasi politik Barat, dan telah menimbulkan tantangan yang
paling serius terhaddap Islam sejak masa Rasulullah Saw.” (Lihat, Abul Hassan Ali An-Nadwi, “Ancaman
Baru dan Pemecahannya” dalam Benturan Barat dengan Islam, [1993: 13-19]).
Dalam pandangan Islam, soal murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanah hal yang kecil. Jika iman
batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat Al-Quran yang menyebutkan bahaya dan
resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka
itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni nereka, mereka kekal
di dalamnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 217).
Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air
oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun,
dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalau Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal
dengan cukup dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS Al-Nûr [24]: 39).
Saat ini, di era globalisasi, harusnya kaum Muslim sadar, bahwa setiap saat keimanan mereka sedang
dalam kondisi diperangi habis-habisan oleh nilai-nilai sekular-liberal yang dapat mengikis dan
menghancurkan pemikiran Islam dan keimanan mereka. Globalisasi, misalnya, bukan hanya melahirkan
penjajahan ekonomi tetapi juga penjajahan pemikiran dan budaya. Dalam bukunya, Globalization and
the Islamic Challenge (Kedah: Teras, 2001), S.M. Idris, Presiden Consumer Association of penang (CAP),
mencatat bahwa globalisasi merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kaum Muslim.
(Globalization poses a serious threat to Muslims. It not only brings about economic exploitation and
impoverishment, but also serious erosion of Islamic beliefs, values, culture, and tradition). Jadi, kata
S.M. Idris, globalisasi bukan hanya mempraktikkan eksploitasi ekonomi dan pemiskinan, tetapi juga
mengikis keyakinan, nilai-nilai, budaya, dan tradisi Islam. Kapitalisme global mempromosikan nilai-nilai
individualisme, materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Paham-paham itu jelas langsung menusuk
jantung ajaran Islam. Pasca-Perang Dingin, menurut S.M. Idris, satu-satunya kekuatan yang tersisa yang
mampu memberikan tantangan terhadap proyek globalisasi adalah dunia Islam. Ekonomi China dan
India tampaknya cenderung mengintegrasikan diri ke dalam ekonomi global, walaupun hal itu akhirnya
akan menghancurkan identitas peradaban mereka.
Karena pemikiran-pemikiran ini sudah merasuk ke jantung-jantung kehidupan kaum Muslim (baik rumah
tangga maupun institusi pendidikan), maka di tengah zaman seperti ini, mau tidak mau, setiap Muslim
wajib membentengi dirinya dengan keilmuan Islam yang benar dan memahami pemikiran batil yang
dapat merusak keimanannya. Untuk itulah, setiap Muslim wajib memiliki pandangan hidup Islam.
Dengan itu, Insya Allah, dia akan mampu menghadapi tantangan pemikiran modern yang dapat merusak
keimanannya, dan sekaligus dia dapat hidup dalam keimanan, dalam keyakinan tentang Islam, dan
ujung-ujungnya dia dapat menikmati hidup yang penuh dengan kebahagiaan, karena dia hidup dalam
keyakinan.
Islamic Wordlview dalam Pendidikan
Membicarakan pandangan hidup tentu sangat erat kaitannya dengan pendidikan, karena pendidikan
merupakan salah satu pranata sosial yang paling kuat dalam hal pewarisan nilai di samping keluarga dan
masyarakat. Nilai adalah produk pandangan hidup seperti yang sudah dijelaskan di atas. Oleh sebab
demikian, dalam sejarah Islam pendidikan merupakan salah satu hal yang mendapat perhatian sangat
serius hingga kemudian model-model lembaga pendidikan yang dikembangkan dalam Islam menjadi
rujukan pokok pengembangan kelembagaan pendidikan di Barat setalah zaman Renaissans.
Di Indonesia, Islam dan pendidikan juga memiliki sejarah yang begitu berwarna. Sejarah negeri ini
mencatat lembaga pendidikan lama yang sampai hari ini masih bertahan dan merupakan lembaga
pendidikan asli Indonesia, yaitu “pesantren”. Pesantren ini adalah lembaga pendidikan yang dikreasi
sedemikian rupa oleh para ulama agar mencerminkan misi dan pandangan hidup Islam yang jelas. Tidak
mengherankan bila kemudian di tubuh pesantren siapa saja dapat menyaksikan Islamic worldview
secara terang.
Cara pandang Islam yang benar di tubuh pesantren terlihat sejak dari pendirian pesantren itu sendiri,
keuangan, kelembagaan, sampai muatan pendidikan. Berikut penjelasan masing-masing. Pertama,
pendirian pesantren. Pada umumnya pesantren-pesantren di Indonesia didirikan sebagai perluasan dari
mesjid-mesjid yang digunakan sebagai pusat dakwah dan pengajaran Islam. Di mesjid yang nantinya
akan menjadi cikal-bakal pesantren biasanya tinggal seorang ulama yang dalam dirinya tertanam misi
yang kuat menyebarkan ajaran dan petunjuk Allah Swt. kepada masyararakat. Untuk itu, ia kemudian
mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat sekitar. Mula-mula muridnya hanya beberapa
orang. Lama-kelamaan setelah banyak masyarakat yang tertarik, murid-murid mulai berdatangan dari
berbagai tempat sehingga terpaksa mesjid harus diperluas dan dilengkapi dengan pondok-pondok untuk
menginap santri yang datang dari jauh.
Kedua, motif dakwah dan ingin menyebarkan agama Allah Swt. tercermin semakin kuat bila melihat
bagaiama keuangan dikelola. Sejak awal pesantren tidak didirikan sebagai lembaga usaha komersil
sehingga pada umumnya tidak ada pesantren yang membebankan kewajiban membayar kepada
santrinya alias gratis. Semua keperluan santri ditanggung oleh pesantren. Pesantren sendiri
mendapatkan dana dari wakaf umat Islam. Umat Islam secara sukarela mewakafkan sebagian kekayaan
mereka karena mereka sangat sadar bahwa pesantren bukanlah lembaga komersil, melainkan lembaga
yang tengah mengemban misi mulia menyebarkan agama Allah Swt. dan ajaran Nabi Muhammad Saw.
Dengan cara seperti itu, selain pesantren dapat tetap hidup tanpa harus bergantung pada siapapun,
aspek pemerataan pendidikan pun dapat tercapai secara optimal. Semua anak, dari kelas manapun
datangnya, kaya ataupun miskin, dapat sama-sama menikmati pendidikan sampai ke jenjang apapun
yang diinginkannya. Dengan demikian, mnuntut ilmu sebagai kewajiban setiap Muslim dapat terwujud
tanpa terhalangi oleh kemiskinan.
Ketiga, kelembagaan pesantren pada umumnya terpusat pada kiai. Kiai adalah simbol keilmuan, bukan
simbol birokrasi. Seorang kiai mendapat pengakuan masyarakat karena kedalaman ilmunya dan
keteladanannya bagi masyarakat. Kiai adalah sosok ulama waratsatul-anbiya’ yang keberadaannya
sangat dibutuhkan dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila
seringkali kiai tidak hanya menjadi pemimpin di pesantren, tapi juga di masyarakat dalam skala yang
paling kecil hingga yang paling luas.
Dalam konteks pendidikan, simbol kiai di pesantren memperlihatkan cara pandang yang benar dalam
relasi pendidikan. Pendidikan yang benar akan menempatkan guru sebagai pusat pendidikan, bukan
bangunan dan serangkaian administrasi yang rigid. Kiai mencerminkan sosok guru sejati: luas ilmu dan
patut diteladani. Kiai pula yang menentukan hitam-putihnya proses pendidikan di pesantren. Kiai pula
yang menentukan kurikulum pendidikan, juga menentukan penerimaan dan kelulusan murid.
Keempat, kurikulum yang dirancang di pesantren merepresentasikan dengan baik konsep ilmu dalam
Islam. Di seluruh pesantren, kurikulum dirancang berdasarkan konsep hirarki ilmu yang mendahulukan
ilmu fardhu ‘ain sebelum fardhu kifâyah. Setelah itu baru diajarkan ilmu-ilmu yang mustahab. Selain itu,
adab menuntut (adabul-ilmi) menjadi soko guru kurikulum yang dirancang. Adab-adab dalam Islam
dalam menuntut ilmu, baik adab guru maupun murid, dipegang secara konsisten di pesantren.
Palanggaran pendidikan terjadi ketika adab-adab ini dilanggar.
Salah satu adab, misalnya, murid harus membersihkan jiwa (tazkiyatun-nafs) selaa proses belajar
dilakukan; dan guru pun harus mengawali pekerjaannya dengan niat semata mengharap ridha Allah Swt.
Prinsip ini tidak pernah dikenal dalam sistem pendidikan sekuler. Namun, dalam sistem pendidikan Islam
seperti yang dipraktikan di pesantren prinsip ini menjadi prinsip sentral. Siapapun yang melanggar
dianggap telah melakukan pelanggaran serius dalam proses pendidikan. Oleh sebab itu, sepanjang
sejarahnya, pesantren tidak hanya dikenal sebagai pusat keilmuan, tetapi juga benteng moral dan
spiritual. Sebab, di dalam Islam tidak pernah ada pemisahan antara ilmu, moralitas, dan spiritualitas.
Ketiganya berada dalam kontinum yang beriringan untuk melahirkan manusia sempurna (insan kâmil).
Kelima, seiring dengan misi dan konsep pendidikan Islam, pesantren secara esensial telah
memprkatikkan tujuan pendidikan yang benar, yaitu untuk menyiapkan manusia-manusia yang benar.
Pesantren tidak pernah mencanangkan pendidikannya untuk menyiapkan tukang-tukang untuk menjadi
skrup pembangunan negara. Pesantren hanya berkonsentrasi untuk menyiapkan “manusia-manusia
baik”. Manusia yang baik ini pada gilirannya dapat menjadi bagian dari warga negara baik yang akan
memberikan kontribusi penting bagi pembangunan.
Walaupun tidak pernah menyiapkan alumni-alumninya untuk menjadi pekerja-pekerja, namun sangat
jarang pesantren meluluskan pengangguran-pengangguran. Pada umumnya, alumni-alumni pesantren
memiliki jiwa mandiri dan semangat enterpreuneurship yang tinggi sehingga saat lulus dari pesantren
tidak pernah terpikir untuk hidup menganggur. Sekadar untuk hidup, mereka tidak akan menjadi beban
orang lain. Semangat ini merupakan buah dari adab Islam yang diajarkan dan ditanamkan di pesantren.
Amat disayangkan ketika gelombang sekularisme menyerang sendi-sendi kehidupan umat Islam di
Indonesia, prinsip-prinsip yang benar yang dipraktikkan oleh pesantren tidak pernah menjadi referensi
serius dalam pengembangan dan perancangan pendidikan di negeri ini. Pendidikan pesantren dianggap
sebagai pendidikan kolot yang sudah harus ditinggalkan. Kesan pesantren yang kumuh, ndeso,
terbelakang, uninformed, anti-kemajuan, dan semisalnya sering dikampanyekan agar umat Islam di
negeri ini tidak pernah mau lagi dekat dengan pesantren. Yang paling menyedihkan, penguasa negeri ini
bahkan tidak pernah mengakui pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sah dan memiliki civil effect
seperti halnya sekolah-sekolah sekuler yang disponsori pemerintah. Pemerintah malah sangat bernafsu
untuk mengubah pesantren agar mengikuti pola pendidikan yang dirancang pemerintah sekalipun sama
sekali tidak mencerminkan konsep pendidikan yang benar menurut Islam.
Kesan yang sengaja diciptakan itu mengakibatkan persepsi masyarakat terhadap pesantren menjadi
begitu negatif. Kepercayaan diri pesantren yang tidak mengerti dasar-dasar pemikiran yang kuat dan
hanya menjalankan ritual sebuah pesantren semakin lama semakin terkikis. Banyak pesantren yang
terpaksa harus ‘takluk’ pada keinginan pasar dengan mengikuti keinginan pemerintah. Tidak sedikit
pesantren yang akhirnya gulung tikar dan lebih memilih mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
dengan model sekuler. Adab-adab ilmu yang selama ini dipraktikkan di pesantren serta merta ikut
terkikis dengan ditutupnya sistem pendidikan pesantren lama.
Memang model pendidikan dapat saja dimodifikasi mengikuti kebutuhan dan tuntutan zaman, baik dari
sisi kelembagaan maupun administrasi. Namun, esensi dan adab ilmu yang merupakan landasan
penyelenggaraan pendidikan dalam Islam tetap harus menjadi acuan utama. Inilah yang menjadi cermin
berlakunya pandangan hidup Islam (Islamic worldview) dalam pendidikan. Seiring dengan semakin
mengguritanya pemikiran, konsep, dan praktik pendidikan sekular, pandangan hidup Islam dalam dunia
pendidikan pun semakin tidak popular, bahkan di kalangan umat Islam sendiri.
Penyebab utamanya adalah ketidakmengertian para praktisi dan pemikir pendidikan terhadap prinsip-
prinsip pendidikan Islam yang benar. Oleh sebab itu, sudah seharusnya calon-calon praktisian pemikir
pendidikan dipahamkan mengenai pemikiran Islam yang benar. Idealnya, seorang praktisi pendidikan
Muslim harus menguasai secara komprehensif dasar-dasar ajaran Islam yang merupakan ilmu fardhu
‘ain sehingga pemahamannya tentang Islam komprehensif dan mendasar. Untuk itu, mereka harus
memiliki basis studi Islam yang kuat. Apalagi, saat ini, tantangan dunia pemikiran Islam sangat dinamis.
Sebab, untuk memuluskan misinya di bidang pendidikan, negara-negara Barat saat ini tidak segan-segan
melakukan berbagai usaha besar-besaran dalam mempercepat liberalisasi dalam studi dan pemikiran
Islam di Indonesia, terutama di bidang pendidikan.
Mengingat kebutuhan mendesak dan keterbatasan waktu, wawasan tentang studi dan pemikiran Islam
diberikan secara mendasar dan komprehensif dalam mata kuliah Islamic Worldview ini, sehingga
diharapkan, ke depan, sarjana-sarjana pendidikan dapat mengembangkan keilmuan Islamnya lebih jauh.
Wawasan ini bukan hanya bermanfaat untuk membentengi dirinya dari pemikiran-pemikiran destruktif
yang dapat merusak akidahnya, tapi juga bermanfaat untuk membuka wawasannya lebih jauh tentang
keilmuan Islam. Jika suatu ketika dia berminat melanjutkan studi Islam ke jenjang yang lebih tinggi, dia
sudah mendapatkan wawasan mendasar dalam hal ini. Ibaratnya, dia sudah berada di rel yang benar,
meskipun baru dalam taraf awal pemberangkatan.
Secara umum, materi kuliah ini memang dirancang untuk memberikan wawasan yang mendasar tentang
Islam. Diharapkan para mahasiswa akan memiliki kerangka (framework) pemikiran Islam yang kokoh,
sehingga mampu menilai dan menyaring berbagai bentuk pemikiran yang dinilai menyimpang dari
ajaran Islam. Dengan kata lain, diharapkan, setelah menerima materi kuliah ini, seseorang tidak lagi
terombang-ambing dalam pemikiran keagamaan, melainkan makin bersemangat dalam mendalami
keilmuwan Islam lebih jauh lagi, dan lebih penting lagi ia semakin terdorong untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah Swt.
Dengan dasar pemikiran semacam ini, diharapkan, sarjana pendidikan Islam bukan hanya menjadi
‘zombi’ dalam dunia pendidikan yang tunduk dalam kepentingan pasar. Ia hanya menjalankan
aktivitasnya semata karena uang, tanpa ruh dan semangat beribadah pada Allah Swt. Diharapkan dia
sadar sesadar-sadarnya bahwa yang dilakukannya adalah bagian dari tugasnya menjalankan perintah
Allah Swt. dan menegakkan kalimah-Nya di muka bumi ini.
Dengan mengikuti materi-materi dalam perkuliahan ini, diharapkan dia menjadi Muslim yang kaffah,
yang memiliki pemahaman Islam yang mendasar, kokoh, mencintai keilmuan Islam yang memadai, dan
tentu saja professional di bidang pendidikan dan di berbagai bidang profesi lain sesuai dengan bakat dan
kemampuan yang diberikan Allah Swt. kepadanya.
Sumber Berita : https://pemudapersisgarut.wordpress.com/2011/01/05/untuk-apa-belajar-islamic-
worldview/
Islam, Komunis dan Pancasila
Oleh : Dr. Adian Husaini
Sejarah perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia mencatat satu babak tentang perebutan
memaknai Pan casila antar berbagai kelompok ideologi di Indonesia. Pergulatan pemikiran itu secara
intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante, dimana kekuatan Islam dan sekulerisme kembali
terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia. Kekuatan komunis pernah menggunakan
Pancasila untuk memuluskan penerapan ideologi komunisme di Indonesia.
Mantan Wakil Kepala BIN, As’ad Said Ali, menulis dalam bukunya, Negara Pancasila, (hlm. 170-171),
bahwa munculnya semangat para tokoh Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara,
dalam Majelis Konstituante, antara lain juga didorong oleh masuknya kekuatan komunis (melalui Partai
Komunis Indonesia/PKI) ke dalam blok pendukung Pancasila.
“Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh kelompok-
kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi religiusitasnya. Kekhawatiran tersebut se
makin mengkristal karena adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan
perlunya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif,” tulis As’ad
dalam bukunya tersebut.
Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo
banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya
membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologi komunisme. Ketika itu PKI
bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi “kebebasan beragama”. Termasuk dalam
cakupan “kebebasan beragama” adalah “kebebasan untuk tidak beragama.”
Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung RI 1945-1946 dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat
(1945-1950). Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah. Dalam Sidang Konstituante itu
mengingatkan: “Saudara ketua, sama-sama tokh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu
justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya
dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umum nya dan
pada dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!.” (Lihat buku Hidup Itu Berjuang, Kasman
Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 480-481).
Masuknya kaum komunis ke dalam blok pembela Pancasila kemudian dipandang oleh kubu Islam
sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai contoh,
pada 20 Mei 1957, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Ir. Sakirman mendukung pandangan Fraksi
Katolik yang menyatakan, bahwa “Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai-bagai golongan dengan
berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan masing-masing bersifat universal.”
Karena itu Sakirman menyeru kepada golongan Islam: “Betapa pun universal, praktis dan objektifnya
Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan,
yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai
Kristen Indonesia (Parkindo) suatu “grootste gemene deler” yang mempertemukan keyakinan dan
kepercayaan kita semua, akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal dari pada Islam.”
Dalam Sidang Konstituante tanggal 2 Desember 1957, Kasman mengkritik ucapan Nyoto dari PKI pada
Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan: “Pancasila itu bersegi banyak dan berpihak
ke mana-mana.” Kasman berkomentar: “Itu artinya, dan menurut kehendak dan tafsiran PKI, bahwa
Pancasila itu dapat dan boleh saja bersegi ateis dan politeis, pun dapat/ boleh saja berpihak ke syaitan
dan neraka.” Begitulah sikap para tokoh Islam dalam sidang Konstituante yang memang merupakan
forum untuk merumuskan dasar negara yang baru. Tapi, ketika forum itu di bubarkan dan dikeluarkan
Dekrit pada 5 Juli 1959, Kasman dan para tokoh Islam lainnya, menerimanya karena telah sah secara
konstitusional. (Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 536-540).
Dalam bukunya, Renungan dari Tahanan, Kasman menulis: “… seluruh rakyat Indonesia, termasuk
seluruh umat Islam yang meliputi mayoritas mutlak dari rakyat Indonesia itu kini harus mengindahkan
Dekrit Presiden itu sepenuh-penuhnya.” (Lihat, Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, (Jakarta:
Tintamas, 1967), hlm. 34).
Memang, Ir. Sakirman pernah berpidato dalam Majlis Kontituante dengan menyebutkan adanya
rumusan sila kelima yang diajukan Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang berbeda dengan rumusan risalah
sidang BPUPK, yaitu (5) “Ke-Tuhanan yang berkebudayaan atau Ke-Tuhanan yang berbudi luhur atau Ke-
Tuhanan yang hormat menghormati satu sama lain.” Sakirman juga mengakui, bahwa PKI memang
menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila “Kemerdekaan Beragama dan
Berkeyakinan Hidup.” (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar
Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul
(Jakarta: BAUR Publishing, 2008), hlm. 275.
Fakta komunisme
Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan usaha untuk menyatukan
kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian mencatat, upaya penyatuan antara kelompok
Nasionalis, Agama, dan Komunis, di bawah payung Pancasila mengalami kegagalan.
Golongan Islam melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam Muktamar Ulama
se-Indonesia tanggal 8-11 September 1957 di Palembang, para ulama memutuskan:
(1). Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya,
(2). Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, maka
kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram
hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam,
(3). Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda
Rakyat dll;) tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru
mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut,
(4). Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat
Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme,
(5). Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif
asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia,
(6). Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya
sebagai partai terlarang di Indonesia. (Lihat buku Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-
11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu’in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama
Seluruh Indonesia, 1957).
Dalam sambutannya untuk Muktamar tersebut, mantan wakil Presiden RI Mohammad Hatta
mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan Komunisme di Indonesia, terutama dihasilkan
melalui kerja keras mereka dan kondisi kemiskinan rakyat.
“Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis mengembangkan ideologi yang
belum di mengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-
janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang miskin. Apabila kaum Ulama kita
tidak me nilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran yang tepat, Muktamar tidak akan dapat
menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan Atheisme,” kata Hatta dalam sambutannya. Hatta
mengajak agar Ulama berusaha menegakkan keadilan Islam.
Kata Hatta lagi, “Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Komunisme akan
lenyap dari bumi Indonesia. Apabila berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut
oleh Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi. Keadilan Islam
menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera.”
Perjuangan melawan komunisme, dalam sejarah perjuangan umat Islam, bisa dikatakan sudah
mendarah daging di berbagai penjuru dunia. Sebab, kekejaman komunisme di berbagai belahan dunia
sudah terbukti. Di Indonesia, salah seorang sastrawan terkemuka yang aktif melawan komunisme, sejak
zaman Orde Lama sampai zaman kini adalah Taufik Ismail. Berbagai buku yang menjelaskan bahaya dan
kegagalan komunisme ditulis oleh Taufik Ismail, termasuk buku-buku saku yang disebarluaskan secara
gratis kepada masyarakat luas.
Taufiq mengaku risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum
komunis. Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah
Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007),
Taufiq menyajikan data yang menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan
massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta
manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa perjam,
atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx
(1818-1883) pernah berkata: “Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita.”
Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870- 1924) juga menyatakan: “Saya suka mendengarkan musik yang
merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan
keganasan dan berjalan dalam lautan darah.” Satu lagi tulisannya: “Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia
habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di
atas mayat 30 juta orang.”
Lenin bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya
sendiri. Dilanjut kan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC)
50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta
nyawa (1978-1987).
Buku saku lain tentang komunisme yang ditulis oleh Taufiq Ismail adalah Komunisme=Narkoba dan
Komunis Bakubunuh Komunis, serta Karl Marx, Tukang Ramal Sial yang Gagal (Jakarta: Infinitum, 2007).
Sepatutnya, bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah. Ketika agama dibuang; Tuhan disingkirkan,
jadilah manusia laksana binatang. Anehnya, kini ada yang mulai berkampanye tentang perlunya
“kebebasan beragama” harus mencakup juga “kebebasan untuk tidak beragama”. Dalam kondisi seperti
ini, Islam dan kekuatan anti-komunisme lainnya, diharapkan memainkan perannya yang signifikan.
Jangan sampai elite-elite muslim lupa diri; sibuk memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya; sibuk
saling caci; tanpa sadar komunisme dalam kemasan baru semakin mendapat simpati masyarakat.
Na’udzubillahi min dzalika.
Pemimpin Kafir
Oleh: Dr. Adian Husaini
PANJIMAS.COM – Nahdhatul Ulama (NU) dalam Muktamarnya ke-11, di Banjarmasin, 19 Rabi’ulawwal
1355 H (9 Juni 1936 M), membahas satu masalah bertajuk: “Apakah Negara Kita Indonesia Negara
Islam?” Ditanyakan, “Apakah nama negara kita menurut Syara’ agama Islam?” Jawabnya:
“Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan “Negara Islam” karena telah pernah dikuasai
sepenuhnya olenarih orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama
Negara Islam tetap selamanya.” Muktamar juga memutuskan, bahwa wilayah Betawi (Jakarta) adalah
“dar-al-Islam”, begitu juga sebagian besar wilayah Jawa.
Mengutip Kitab Bughyatul Mustarsyidin bab “Hudnah wal-Imamah” dijelaskan:
“Kullu mahalli qadara muslimun saakinun bihi… fii zamanin minal azmaani yashiiru daara Islaamin tajrii
‘alaihi ahkaamuhu fii dzaalika-az-zamaani wa-maa ba’dahu wa-in-qatha’a imtinaa’ul-musliiina bil-
istilaa’il-kuffaari ‘alaihim wa-man’ihim fii-dukhuulihi wa-ikhraajihim minhu wa-hiina’idzin fa-
tastamiituhu daara harbin shuuratan laa-hukman, fa-‘ulima anna ardha Bataawiy (Jakarta) bal wa-
ghaalibu ardhi Jaawaa daara Islamin li-istilaa’il-muslimiina ‘alaihaa qablal-kuffaari.”
“Semua tempat dimana Muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia
menjadi daerah Islam (Dar-al-Islam.pen.) yang ditandai berlakunya syariat Islam pada masa itu.
Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan
orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran
terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan “daerah perang” (dar-al-
harb.pen.) hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa
Tanah Betawi dan bahkan sebagian besar Tanah Jawa adalah “Daerah Islam” karena umat Islam pernah
menguasainya sebelum penguasaan oleh orang-orang kafir.” (Lihat buku “Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), terbitan LTN-NU
Jawa Timur, cetakan ketiga, 2007, hlm.176-177).
Dalam Muktamarnya ke-30 di PP Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, NU membahas permasalahan:
“Bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-Islam?”
Jawabnya: “Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-Islam, kecuali
dalam keadaan dharurat, yaitu:
(a) Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak
langsung karena factor kemampuan, (b) Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan
untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat, (c) Sepanjang
penguasaan urusan kenegaraan kepada non-Islam itu nyata membawa manfaat. Catatan: Orang non-
Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahlu dzimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang
efektif.
Dasar pengambilan (hukum tersebut): al-Quranul Karim, At-Tuhfah li-Ibni Hajar al-Haitsamiy juz IX, hlm
72, al-Syarwani ‘alat-Tuhfah juz IX, hlm. 72-73, al-Mahalli ‘alal-Minhaj juz IV, hlm.172, al-Ahkam as-
Sulthaniyah li-Abil Hasan al-Mawardiy. Secara lebih terperinci, berikut ini hujjah-hujjah yang mendasari
para muktamirin mengambil keputusan tersebut (teks asli dalam bahasa Arab-nya tidak dikutip dalam
tulisan ini):
“Dan Allah SWT sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk memusnahkan orang-
orang beriman.” (QS an-Nisa’:141).
Dalam Kitab At-Tuhfah li-Ibni Hajar al-Haitsamiy juz IX, hlm 72, disebutkan:
“Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi atau lainnya kecuali jika sudah
sangat terpaksa. Menurut dhahir pendapat mereka, bahwa meminta bantuan orang kafir tersebut tidak
diperbolehkan walaupun dalam keadaan dharurat. Namun dalam titimmah disebutkan tentang
kebolehan meminta bantuan tersebut jika memang darurat.”
Al-Syarwani ‘alat-Tuhfah juz IX, hlm. 72-73:
“Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain
dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat
Islam dan aman berada di kafir dzimmi, maka boleh menyerahkannya karena dharurat. Namun
demikian, bagi pihak yang menyerahkan, harus ada pengawasan terhadap orang kafir tersebut dan
mampu mencegahnya dari adanya gangguan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam.”
Al-Mahalli ‘alal-Minhaj juz IV, hlm.172:
“Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir, karena haram menguasakan orang kafir
terhadap umat Islam kecuali karena dharurat.” (Lihat, Ibid, hlm. 551-552).
Dalam forum Bahtsul Masa’il al-Diniyah al-Waqiiyyah saat Muktamar NU ke-30 di PP Lirboyo Kediri
tersebut juga dibahas tentang masalah Doa Bersama antar Umat Beragama. Disebutkan, bahwa tidak
boleh berdoa bersama antar berbagai agama, kecuali cara dan isinya tidak bertentangan dengan syariat
Islam. Mengutip Kitab Hasyiyatul Jamal juz II, hlm. 119, dikatakan: “Dan tidak boleh mengamini doa
orang kafir karena doanya tidak diterima sesuai dengan firman Allah SWT: Dan doa (ibadah) orang-orang
kafir itu hanyalah sia-sia belaka. (al-Ra’du:14).”
Juga, dengan mengutip Kitab Mughniyul Muhtaj juz I, hlm. 232 disebutkan:
“Orang kafir dzimmi (yang keamanan dirinya dan hartanya dalam naungan jaminan pemerintahan Islam)
tidak dilarang untuk datang (ke tempat umat Islam) karena mereka berhak mencari rezeki. Sedangkan
rezeki Allah SWT itu sangat luas. Terkadang Allah SWT mengabulkan harapan mereka sebagai bentuk
istidraj dan ketamakan dunia. Kafir dzimmi tersebut dan orang kafir lainnya tidak diperbolehkan untuk
bercampur dengan kita di tempat peribadahan kita, demikian halnya ketika berkumpul. Percampuran
tersebut makruh, dan mereka harus berbeda dengan kita umat Islam ketika berada di suatu tempat. Hal
itu, karena mereka adalah musuh-musuh Allah SWT, yang suatu saat mereka akan ditimpa suatu azab
dengan kekufuran mereka itu, dan azab tersebut akan mengenai kita pula.” (Lihat, Ibid, hlm. 532-534).
Berbeda dengan orang yang memiliki cara pandang sekuler, kaum Muslim memiliki cara pandang
(worldview) yang tauhidik; tidak memisahkan antara aspek dunia dan akhirat, antara aspek fisik dan
metafisik. Dunia ini, dalam pandangan Islam, adalah ladang akhirat. Setiap aspek materi yan terindera,
tidak terlepas dari aspek metafisika; aspek ruhaniah, atau aspek ketuhanan. Secara fisik, telinga, mata,
hidung, tangan, kemaluan, memiliki unsur materi yang sama. Tapi, secara ilahiah, organ-organ ini
memiliki makna dan kedudukan yang berbeda. Jangan beralasan bahwa sama-sama daging, mata pipi
dan pantat boleh dibuka dimana saja.
Fakta sama, tetapi cara pandang berbeda, akan menghasilkan pemahaman yang berbeda pula. Karena
itu, akan sangat susah bagi orang sekuler untuk memahami cara berpikir Islam yang tauhidik. Orang
yang tidak mengakui bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah SWT, pasti menganggap Nabi
Muhammad SAW telah berdusta, mengaku-aku mendapat wahyu. Ketika al-Quran menampilkan cerita
yang berbeda dengan Bible tentang kisah Luth (yang di Bible disebut berzina dengan kedua putrinya,
Kej.19:30-38 ) maka dituduhlah Muhammad mengubah cerita dalam Bible.
Kaum sekuler – meskipun secara formal memeluk agama tertentu — memandang, hidup di dunia ini
hanya memiliki aspek di sini (di dunia saja). Tidak ada urusan dengan Tuhan, dan tidak ada urusan
dengan akhirat. Pada CAP yang lalu, kita sudah mengutip pandangan Prof. Naquib al-Attas dalam buku
klasiknya, Islam and Secularism (terbit pertama tahun 1978). Prof. al-Attas menyebut tiga komponen
proses sekularisasi dalam pemikiran manusia, yaitu: (1) disenchantment of nature (pengosongan alam
dari semua makna spiritual); (2) desacralization of politics (desakralisasi politik); dan (3) deconsecration
of values (pengosongan nilai-nilai agama dari kehidupan).
Sementara itu, pemikir Kristen Harvey Cox, dalam buku terkenalnya, The Secular City, menyebutkan
definisi sekularisasi adalah: “pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan
perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious
and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one).
Kita garisbawahi pandangan Prof. al-Attas, bahwa salah satu proses sekulerisasi adalah “desakralisasi
politik”. Politik dibebaskan dari Tuhan; politik bebas dari agama. Politik hanya dilihat sebagai seni meraih
kuasa atau mempertahankan kekuasaan. Politisi dianggap hebat adalah yang berkuasa. Politisi yang
dianggap tidak bermutu adalah yang gagal meraih kuasa. Meskipun dia jujur. Yang menang dianggap
benar. Kekuasaan adalah kebenaran, might is right. Kaum sekuler biasa berkampanye: “agama jangan
dibawa-bawa dalam urusan politik atau kenegaraan.”
Mungkinkah orang Muslim atau orang Kristen pada saat yang sama juga menjadi orang sekuler? Ulama
terkenal, ketua MUI Pertama, Prof. Hamka, menolak kemungkinan itu.
Dalam ceramahnya di Sekolah Tinggi Theologi Kristen Jakarta, pada tanggal 21 April 1970, menyatakan,
baik Islam maupun Kristen, harusnya tidak dapat mengkhayalkan negara yang terpisah dari agama,
karena jika negara terpisah dari agama, hilanglah tempat dia ditegakkan.
Menurut Hamka, Islam memandang bahwa negara adalah penyelenggara atau pelayan atau khadam
dari manusia. Sedang manusia adalah kumpulan dari pribadi-pribadi. Maka tidaklah dapat tergambar
dalam pemikiran bahwa seorang pribadi, karena telah bernegara, dia pun terpisah dengan sendirinya
dengan agamanya.
Dikatakan oleh Buya Hamka di hadapan para tokoh dan aktivis Kristen saat itu:
“Payahlah memikirkan bahwa seorang yang memeluk suatu agama, sejak dia mengurus negara,
agamanya itu musti disimpannya. Anggota DPR kalau pergi ke sidang, agamanya tidak boleh dibawa-
bawa, musti ditinggalkannya di rumah. Kalau dia menjadi menteri, selama Sidang Kabinet, agamanya
musti diparkirnya bersama mobilnya di luar. Dan kalau dia menjadi Kepala Negara haruslah jangan
memperlihatkan diri sebagai Muslim atau Kristen selama berhadapan dengan umum. Simpan saja
agama itu dalam hati. Nanti sampai di rumah baru dipakai kembali. Saya percaya bahwa cara yang
demikian hanya akan terjadi pada orang-orang yang memang tidak beragama. Sebab memang tidak ada
pada mereka agama yang akan disimpan dirumah itu, atau diparkir di luar selama Sidang Kabinet”….
“Kalau dia seorang Muslim yang jujur atau seorang Kristen yang tulus, agama yang dipeluknya itulah
yang akan mempengaruhi sikap hidupnya, di luar atau di dalam parlemen, di rumah atau di Sidang
Kabinet, dalam hidup pribadi atau hidup bernegara. Dia akan berusaha melaksanakan segala tugasnya
bernegara, menurut yang diridhai oleh Tuhan yang dia percayai. Dan dia akan menolong agamanya
dengan kekuasaan yang diberikan negara kepadanya menurut kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Begitulah dia, kalau dia Islam. Begitulah dia, kalau dia Kristen.”
Seorang Kristen yang setia pada kepercayaannya, dia akan berjuang menegakkan nilai-nilai agama yang
diyakininya. Ia akan memuja Yesus sebagai Tuhannya. Sebuah buku berjudul “Transformasi Indonesia:
Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus” (Jakarta: Metanoia,
2003), menggambarkan ambisi dan harapan besar kaum misionaris Kristen di Indonesia tersebut.
Kaum Kristen Indonesia, kata buku ini, tidak ingin menyia-nyaiakan lagi kesempatan yang pernah mereka
dapatkan untuk mengkristenkan Indonesia. Mereka siap melakukan transformasi Indonesia.
Kesempatan emas saat ini tidak boleh disia-siakan, karena batas waktunya bisa lewat, sebagaimana
pernah terjadi di masa Soeharto: “Tuhan memberikan kesempatan yang luar biasa kepada orang Kristen
dan China, karena pada waktu Suharto menjadi Presiden, ia begitu dekat dengan orang Kristen dan
China. Kesempatan demi kesempatan diberikan kepada orang China dan Kristen untuk melakukan bisnis
di berbagai bidang. Trio RMS (Radius, Mooy, Sumarlin) di bidang ekonomi beragama Kristen. Itu
kesempatan yang diberikan kepada orang Kristen supaya bangsa ini menjadi bangsa yang mengenal
Tuhan, tetapi orang Kristen dan gereja tidak siap, sehingga pada tahun 1990-an, waktu Suharto melirik
kelompok lain, kelompok tersebut menuding bahwa dua kelompok (Kristen dan China) adalah biang
keladi segala persoalan yang ada.” (hal. 45).
Dr. Bambang Widjaja, Gembala Sidang Gereja Kristen Perjanjian Baru, dalam tulisannya berjudul
”Indonesia Siap Mengalami Transformasi” yang dimuat dalam buku ini, menegaskan: ”Indonesia
merupakan sebuah ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya! Ya, Indonesia siap mengalami
transformasi yang besar. Hal ini bukan suatu kerinduan yang hampa, namun suatu pernyataan iman
terhadap janji firman Tuhan. Ini juga bukan impian di siang bolong, tetapi suatu ekspresi keyakinan akan
kasih dan kuasa Tuhan. Dengan memeriksa firman Tuhan, kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa
Indonesia memiliki prakondisi yang sangat cocok bagi tuaian besar yang Ia rencanakan.”
Kaum Muslim memandang, kekuasaan dan kepemimpinan punya makna yang fungsi duniawi dan
ukhrawi, aspek fisik dan metafisik. Pemimpin, dalam Islam, dipandang sebagai “junnatun” (perisai).
Sesuai tujuan dari maqashid-asy-syariah, tugas utama pemimpin dalam Islam adalah hifdzud-din
(menjaga agama). Sebab, bagi Muslim, agama-lah yang terpenting dalam hidup. Iman akan dibawa
sampai mati. Keselamatan iman adalah yang paling utama dalam kehidupan. Karena itu, perlu dipahami,
jika para pemikir Muslim senantiasa menempatkan urusan agama sebagai faktor terpenting. Inilah yang
tidak mudah dipahami oleh kaum sekuler yang menganggap agama sebagai urusan pribadi yang tidak
penting. Sebab, bagi mereka, tauhid dan syirik dipandang sama; iman dan kufur tidak berbeda. Padahal,
dalam Islam, syirik adalah dosa terbesar, karena merupakan kejahatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(QS 31:13).
Konsep Islam tentang kepemimpinan inilah yang perlu dipahami, agar tidak mudah menuduh kaum
Muslim berpikiran picik dan tidak toleran. Setiap agama dan peradaban memiliki batas-batas toleransi
yang berbeda, bergantung pada masalah yang mereka anggap penting. Ketika keimanan dipandang
penting, maka iman akan dijadikan sebagai faktor penilai seseorang. Ketika faktor ras dianggap benilai
tinggi, maka bangsa itu akan mementingkan faktor rasial. Mereka akan memandang rendah bangsa atau
ras lain.
Konsep Islam soal kepemimpinan ini perlu disampaikan secara terbuka, bukan untuk memecah belah
bangsa. Umat Islam merindukan pemimpin yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan bisa menjadi
teladan bagi masyarakat. Para pendiri dan pemimpin bangsa ini telah mendiskusikan masalah ini secara
terbuka jauh sebelum kemerdekaan. Perdebatan mereka terekam dengan baik dalam catatan-catatan
sejarah. Kejujuran berpikir diperlukan untuk membagun toleransi. Dalam kondisi apa pun, umat Islam
senantiasa mencintai bangsanya, dan ingin agar bangsanya menjadi negeri yang beradab, adil, dan
makmur, sebagaimana diamanahkan oleh Pembukaan UUD 1945. (Jakarta, 26 September 2014). [AW]
Adian Husaini : Jangan Berkhianat Kepada Allah, Pilihlah Pemimpin Bertaqwa
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor)
“Andaikan penduduk suatu negeri mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-
pintu barakah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab
mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf:96). tweet
“Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan (memimpin) kaum Muslimin, lalu ia
mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai
(ashlah) daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”(HR Al-
Hakim).
Al-Quran Surat al-A’raf Ayat 96 tersebut dengan sangat gamblang memberi kabar gembira, bahwa jika
suatu bangsa mau mendapatkan kucuran rahmat dan dijauhkan dari berbagai musibah, maka iman dan
taqwa harus dijadikan sebagai nilai tertinggi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Tentu saja,
itu termasuk dalam penentuan pemimpin, baik pada tataran keluarga, kelompok, atau pun pada tataran
kenegaraan.
Pemimpin yang beriman dan bartaqwa adalah pemimpin yang bertauhid, yang berkomitmen
menegakkan misi utama kenabian, yaitu menegakkan Tauhid. (QS 16:36). Pemimpin semacam ini yakin
bahwa hanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tiada sekutu, tiada anak atau diperanakkan. Hanya Allah yang
berhak disembah. Ia pun yakin, bahwa Allah telah mengutus para Nabi — mulai Adam a.s. sd
Muhammad saw – yang diberi tugas menyampaikan Ayat–Ayat-Nya dan mensucikan jiwa mereka. Ia pun
yakin, bahwa semua amal perbuatannya akan diminta pertanggung jawaban di Hari Akhir nanti.
Maka, pemimpin yang bertauhid dan berkomtmen menegakkan misi kenabian seperti itu, pasti bekerja
sekuat tenaga menjalankan amanah yang diembannya; mendahulukan kepentingan rakyat di atas
kepentingan pribadi dan golongannya; bekerja keras untuk menjaga dan membina iman dan taqwa
bangsanya; bukan sekedar berkutat pada urusan dunia semata; bekerja keras mencukupi kebutuhan-
kebutuhan dasar rakyatnya; takut azab Allah di dunia dan akhirat; takut mengambil hak rakyat; dan tidak
akan tertawa atau berpesta pora ketika rakyat susah dan sengsara.
Pemimpin berkomitmen pada misi kenabian itu, tidak mau munafik; tidak berpura-pura beriman dan
baik di hadapan manusia, sedangkan hatinya benci kepada Islam, lebih memuja jalan dan aturan setan,
ketimbang jalan Allah Yang Maha Pencipta. Pemimpin taqwa akan malu kepada Allah, jika berpura-pura
bersimpati pada rakyat padahal itu hanya untuk pencitraan di depan manusia. Ia sadar benar, bahwa
keberadaan dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin sangatlah berat. Jika ia menzalimi rakyatnya,
maka ia akan diazab oleh Allah SWT dengan azab yang pedih. Nabi Muhammad saw bersabda: “Tidak
ada seorang hamba pun yang diamanahi untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat
mati ia berkhianat pada rakyatnya, kecuali Allah SWT mengharamkan surga baginya.” (HR Muslim).
Karena itu, kita, umat Islam, diperingatkan oleh Rasulullah saw agar sangat berhati-hati memilih
pemimpin. “Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan (memimpin) kaum Muslimin,
lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan
sesuai (ashlah) daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-
Nya.”(HR Al-Hakim).
Jadi, kita tidak patut sembarangan tentukan pemimpin. Apalagi pemimpin pada level kenegaraan. Ada
tanggung jawab dunia akhirat. Jika memilih pemimpin bukan yang terbaik menurut kriteria Islam, maka
bisa dikategorikan telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya; na’udzubillahi min dzalika. Maka,
sepatutnya, kita TIDAK memilih pemimpin karena hubungan keluarga, hubungan kesukuan, hubungan
kelompok, dan sebagainya, dengan meninggalkan prinsip iman dan taqwa. Sesuai arahan Rasulullah saw,
kita pilih pemimpin karena memang ia orang yang terbaik ketaqwaannya – yang juga mencakup aspek
profesionalitasnya. Sebab, pemimpin kita itu adalah Imam, yang bertanggung jawab urusan dunia dan
akhirat!
Dalam pandangan Islam, pemimpin bukan sekedar mengurus masalah dunia. Pemimpin bukan sekedar
mengurus KTP, pajak, dan kesejahteraan ekonomi. Tapi, pemimpin akan dimintai tanggung jawab
apakah ia telah berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan rakyatnya, atau justru ia merusak
keimanan rakyatnya. Indonesia adalah negeri penuh berkah, amanah para wali dan para pejuang Islam
yang beratus-ratus tahun berjuang di negeri ini; menyemai benih Tauhid, hingga negeri yang
sebelumnya 100% penduduknya tak tersentuh Risalah kenabian, kemudian menjadi hampir seluruhnya
Muslim.
Pemimpin bertaqwa bukan hanya mengusahakan agar rakyat bisa terpenuhi sandang, pangan, dan
papannya, tetapi juga sungguh-sungguh dalam membangun jiwanya sendiri dan jiwa rakyatnya, agar
mereka terbebas dari penyakit-penyakit jiwa, seperti sombong, serakah, rakus dunia, riya’, iri
hati/dengki, dan sebagainya. Sebab, Allah SWT sudah mengabarkan bahwa sangatlah beruntung orang
yang mensucikan jiwanya dan sangatlah celaka orang yang mengotori jiwanya. (QS 91:9-10). Mungkin
bukan kebetulan, jika penggubah lagu Indonesia menyerukan: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!
Kita syukuri nikmat Allah, bahwa kita menjadi Muslim, dan tinggal di negeri yang indah, subur dan
makmur. Tentu menjadi tanggung jawab kita semua untuk memakmurkan negeri ini, melaksanakan
tugas kita sebagai khalifatullah, menjadikan negeri anugerah Ilahi ini menjadi negeri adil-makmur di
bawah naungan ridho Ilahi (baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur).
Saudara-saudaraku para politisi Muslim, pimpinan Partai Islam, dan segenap umat Islam Indonesia, kita
akui, saat ini, panggung politik Indonesia didominasi oleh wacana politik sekuler. Wacana-wacana
duniawi, urusan ekonomi, janji-janji kesejahteraan hidup, menjadi wacana yang sangat dominan.
Wacana keimanan, akhlak, dan pembangunan jiwa menjadi terpinggirkan; dianggap “tidak laku dijual”;
bahkan dianggap tidak relevan. Seolah-olah, semua masalah bangsa ini akan bisa diselesaikan dengan
akal dan materi. Agama dianggap tidak penting. Panduan Nabi saw dalam berasyarakat dan bernegara
diabaikan begitu saja. Kadangkala, untuk basa-basi politik, Nabi hanya diingat saat perayaan Maulid.
Kyai atau ulama jadi pelengkap untuk baca doa dalam upacara bendera.
Padahal, sebagai Muslim, kita diajarkan, bahwa manusia itu bukan sekedar kumpulan tulang dan daging.
Manusia beda dengan binatang. Manusia punya jiwa, ada Ruh. Tujuan manusia adalah hidup bahagia.
Kekuatan manusia pun terbatas. Kita diajar oleh Nabi kita: Ihrish ‘alaa maa yanfauka, wasta’in billahi,
wa-laa ta’jizan…. (Bersemangatlah selalu untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah
pertolongan kepada Allah, dan jangan sekali-kali merasa lemah dan tidak mampu!”)
Masalah bangsa kita sangat besar dan komplek. Dengan utang luar negeri di atas Rp 2.000 trilyun,
kerusakan sumber daya alam yang makin meluas, pragmatisme dan fragmentasi masyarakat yang sangat
mengemuka, dan setumpuk masalah bangsa lainnya, diperlukan solusi yang bukan hanya bersifat
“rasional” tapi juga “supra-rasional” dengan memohon rahmat Allah Yang Maha Kuasa, sebagaimana
telah begitu indah ditegaskan oleh para founfing fathers dalam Pembukaan UUD 1945 dalam
pencapaian kemerdekaan negara kita.
Karena itu, sepatutnya, kita malu kepada Allah, jika mengaku-aku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
tetapi pada saat yang sama juga membiarkan berkembangnya kemusyrikan di negeri kita. Padahal, kita
tahu, syirik adalah dosa besar yang tak terampunkan. Syirik adalah kezaliman yang sangat besar. (QS
31:13). Kita sepatutnya malu, menengadahkan tangan kepada-Nya, memohon negeri kita diberkati
Allah, sementara pada saat yang sama, kita membiarkan berbagai tindakan yang jelas-jelas melawan
perintah dan larangan Allah SWT.
Tuan-Tuan penguasa memberikan kebebasan seluas-luasnya wanita mengumbar auratnya, sementara di
sebagian instansi pemerintah, muslimah justru dilarang menutup auratnya. Pada berbagai kesempatan,
kontes-kontes yang mengumbar aurat justru dikembangkan. Bagaimana para pemimpin kita nanti harus
bertanggung jawab, saat mereka dihadapkan kepada Hakim Satu-satunya di Hari Kiamat? Apa jawab
mereka kepada Sang Khaliq?