The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Membaca sosial budaya warga pecinan Kota Singaraja

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by dewa_oldskul, 2021-03-22 07:22:26

QILIN

Membaca sosial budaya warga pecinan Kota Singaraja

Keywords: qilin,culture,research,visualart,exhibition,catalogue

Teja ( Seorang mantan pemandu wisata, budayawan, dan tokoh pelestari bahasa Mandarin), Tan
Sioe Lay (Seorang Fotografer ), Beni Tantra ( Perupa), Lim Gwan Him (Rohaniawan), Njo Twan Hni
(Pendeta), dan Kadek Widiasa (Penjaga Makam).

Tan Khe Lok, dikenal dengan nama Khe Lok sebagai seorang pedagang syobak dengan bahan
daging babi. Khe Lok sebelum menjual syobak dulu pernah menjual es lilin, jajan sagu dan juga
pernah sebagai penjual kopi. Karena kehidupan yang dijalani tidak mengalami perubahan, hingga
akhirnya Khe Lok diberi saran oleh saudara jauhnya untuk membuka penjualan syobak dari ­tah­­­ un
1964. Tanpa ada alasan tetentu, namanya terkenal ketika dia mendadak meninggal. Khe Lok
meninggal diumur 51 tahun karena sakit jantung. Kemudian usaha ini diteruskan oleh istri dan
anak-anaknya.

Kang Swie King atau Agus Sadikin Bakti anak ke-3 yang lahir di Desa Tunjuk, Tabanan tahun
1940. Kemudian pindah ke Singaraja karena mengikuti orang tua. Agus berkecimpung kali
­pertama di dunia olahraga khususnya bulutangkis. Agus dilatih oleh I Ketut Mangku dari Banjar
Jawa s­ ejak berumur 11 tahun. Agus sebagai tokoh potret orang Tionghoa yang mengharumkan
nama S­ ingaraja menjadi pemain bulu tangkis yang cukup terkenal pada masanya. Agus biasanya
­bermain di antar desa karena dulu belum ada tempat seperti GOR. Selain menjadi atlet olahraga,
Agus juga menjadi pengurus PBSI sejak era 50-an hingga tahun 1990-an dari pengurus cabang
olahraga bulutangkis, sepak bola, basket sampai voli. Walau sudah pensiun menjabat karena
pergantian generasi, agus masih menjadi sesepuh di PBSI.

The Pik Hong (Pipit Budiman Teja) yang lahir di Singaraja, 31 Agustus 1948. Anak dari perni-
kahan yang ayahnya orang Tionghoa,The Ban Poo dan ibunya orang Bali bernama Ni Nyoman
Sari. Dalam kegiatan masyarakat, sejak muda Pik Hong mempunyai suatu keinginan melakukan
ke­ giatan berguna untuk kepentingan orang banyak terutama yang berkaitan dengan komunitas-
nya, orang Tionghoa. Ada dua kegiatan yang dilakukan Pik Hong yakni yang pertama di tempat
ibadah (Klenteng) sebagai Ketua Majelis Kerohanian Tri Dharma di seluruh Indonesia atau dising-
kat Matrisia untuk Buleleng. Dan kedua yakni melakukan kegiatan yang dimana bisa memberikan
sumbangsih kepada daerah Buleleng lewat dunia pendidikan bahasa Tionghoa di tempat kursus
Sinar Fajar.

Tan Sioe Lay merupakan anak terakhir dari dua belas bersaudara. Kelahiran 9 November 1949
ini semasa kecilnya senang melukis sampai tahun 1966. Di tahun 1968-1969 pernah ke Ubud
belajar melukis. Hingga akhirnya kembali ke Singaraja untuk membantu orang tuanya ber­ju­
alan sambil memulai untuk belajar fotografi. Mulai belajar fotografi secara otodidak, dan sering
membaca buku. Ditambah lagi karena mempunyai paman jauh yang pekerjaannya dibidang foto,
Tan Sioe Lay sering bertanya tentang cara memotret dan mencetak kepadanya. Dia akhirnya
berani berprofesi sebagai pendokumentasi sebuah acara baik acara meninggal, pernikahan, dan
pas photo. Kemajuannya dalam bidang fotografi terlihat ketika Tan Sioe Lay ikut perlombaan
s­alon foto Indonesia menggunakan kamera kodak tahun 1976, belajar mencetak foto berwarna
di Surabaya tahun 1978. Mendapat juara 1 lomba foto di tahun 1983 ketika mengikuti lomba foto
nasional dengan fotonya saat itu adalah foto mekepung. Sejak saat itu Tan Sioe Lay terus tiap
tahun mengikuti lomba foto dan beberapa karyanya tetap menjadi juara.

Beny Tantra, merupakan seorang perupa (pelukis dan pembuat sarana upacara kematian Tio­­
nghoa berupa rumah rumahan). Ia mewarisi bakat melukis dari sang ayah Tan Ho Sing. Salah

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 51

satu kakaknya yakni Tony Tantra juga dikenal sebagai kartunis dan pelukis. Beny Tantra adalah
pelukis yang melakukan restorasi lukisan dewa-dewa di Klenteng Ling Gwan Kong Singaraja pada
dekade 1990an. Menurutnya lukisan tersebut sudah tiga kali direstorasi yakni tahun 1950an oleh
sang bapak, lalu tahun 1970an oleh kakaknya yakni Tony Tantra. Beny Tantra belajar melukis
secara otodidak dari sketsa sketsa almarhum bapaknya yang telah meninggal sejak Ia berusia
lima tahun. Dari keisengannya melihat lalu mencoba menggambar setelah melihat karya bapak-
nya tersebut Beny Tantra akhirnya menjadi tertarik dan menekuni dunia seni rupa. Tahun 1998
pernah menjadi illustrator majalah mutiara. Pernah pula membuka studio lukis di Lovina hingga
tahun 2002. Lalu sejak tahun 2009 menjadi seorang pembuat sarana upacara, berupa rumah
-rumahan khas Tionghoa yang digunakan dalam ritual Kong Tik (ritual penghormatan terhadap
arwah dalam kebudayaan Tionghoa).

Kadek Widiasa adalah seorang penjaga makam di pemakaman Tionghoa di daerah Banyuasri
Singaraja. Kadek adalah seorang warga etnis Tionghoa yang menjalankan profesi sebagai pen-
jaga makam. Profesi ini adalah profesi yang telah dijalankan dari generasi ke generasi dalam
kelu­arganya. Kadek adalah generasi ketiga dari garis keturunan keluarganya yang menjalankan
profesi sebagai penjaga makam.

Lim Gwan Hni adalah seorang rohaniawan Tionghoa. Ia menjalankan profesi ini sudah sejak
puluhan tahun berawal dari pergaulan sehari-hari dengan para rohaniawan lalu ia belajar dan
menjalankan profesi sebagai seorang rohaniawan. Tugasnya sebagai seorang rohaniawan mem-
buat dirinya dekat dengan aktivitas ritual dan keagamaan masyarakat Tionghoa Singaraja. Selain
berprofesi sebagai rohaniawan ia kini juga memiliki sebuah toko di kawasan jalan Diponegoro
Singaraja yang khusus menjual aneka rupa sarana-sarana ritual keagamaan Tionghoa.

Njo Twan Hni adalah seorang pendeta Tionghoa. Sebagai seorang pendeta ia tentu saj­a be­r­­t­­
an­ggung jawab pada setiap upacara atau ritual yang dilaksanakan di klenteng. Sistem religi
ma­ syarakat Tionghoa yang dipengaruhi oleh ajaran Konghucu, Taoisame, dan Budha membuat
ritual masyarakat Tionghoa menjadi unik dan kompleks. Sehingga disinilah peran seorang p­endeta
dalam setiap upacara menjadi penting.

Seni Lukis Potret

Keseharian kita sudah sangat lekat dengan potret. Potret merupakan representasi ataupun image
seseorang. Bagaimana dan dengan apa sebuah potret dihadirkan beraneka ragam, bisa berupa
karya fotografi, karya lukisan, karya drawing dan lain sebagainya. Dalam fotografi misalnya potret
dipandang sebagai sebuah genre tersendiri, swelain landscape, human interest dan lain seba­ g­­
ainya. Sedangkan dalam seni lukis juga telah menjadi sebuah aktivitas atau praksis yang sudah
sejak lama mewarnai perjalanan sejarah seni rupa.

Menurut Mike Susanto, seni potret merupakan representasi seseorang, dimana wacana utama
yang diketengahkan adalah (rupa) wajah. Pendapat yang lebih khusus mengatakan bahwa seni
potret tidak hanya sekadar merekam wajah, namun menuangkan tentang ‘sesuatu’ yang ada
pada diri seseorang ke dalam kanvas. Secara konvensional dan teknis, lukisan potret dibuat
dengan mengetengahkan wajah, leher dan bahu, setengah badan atau seluruh badan. Sebutan
seni potret sebenarnya sangat luas pemakaiannya. Namun dapat digolongkan dalam beberapa
jenis dalam seni ini: 1. potret seorang individu, 2. potret sekelompok individu, dan 3. potret diri

52 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

perupa. Dalam tulisan ini secara khusus kita akan membahas mengenai potret seorang individu
saja. Jadi akan disebut seni potret saja. Pada banyak kasus, seni potret disusun tujuannya adalah
untuk menggambarkan karakter yang unik dan atribut subjek. Selain itu dalam perkembangan
selanjutnya seni potret tidak saja menggambar wajah, tetapi juga dapat menggambarkan ke­hi­
dupan sehari-hari atau kehidupan seseorang2.

Dalam seni lukis potret wajah tentu saja menjadi subject matter. Secara fisik wajah adalah ba­ gian
depan dari kepala atau juga bisa bermakna roman muka. Wajah merupakan satu kesatuan yakni
kumpulan dari berbagai organ seperti mata, hidung, bibir, dan lain sebagainya. Wajah juga disu-
sun oleh sistem jaringan otot yang kompleks. Ada sekitar delapan puluh otot mimik yang menurut
para ahli berpotensi menghadirkan lebih dari tujuh ribu ekspresi. Secara psikis wajah khususnya
ekspresi bisa menjadi representasi atas kondisi emosional atau psikologis seseorang. Perasaan
senang, bahagia, sedih, marah, terepresentasikan dalam berbagai ekspresi wajah seperti ter­
senyum, tertawa, murung, marah, menangis dan lain sebagainya. Wajah juga adalah identitas, ia
adalah ciri yang paling gampang dikenali dari seseorang.

Lebih jauh pada konteks sosial budaya wajah memilki layer demi layer maknanya. Wajah misal-
nya dengan mudah mengacu pada makna yang melingkupi sebuah wajah. Wajah Che Guevara
yang legendaris di baju kaos hingga poster segera menyeret pemaknaan kita pada kisah ihwal
revolusi, heroism, dan gerakan sosial. Demikian juga ketika kita potret Marlyn Monroe, atau para
pesohor holywood lainnya maka ingatan kita akan segera terhubung pada pop culture. Pendek
kata wajah memiliki berbagai dimensi berlapis nan kompleks.

Kembali pada seni lukis potret, memiliki sejarahnya yang panjang. Pada masa Klasik (Mesir,
Yunani dan Romawi), seni potret dipakai di ruang publik untuk mempengaruhi masyarakatnya
agar mengenal penguasa, dewa, kaisar, pemimpin agama maupun tokoh-tokoh penting lain-
nya kebanyakan dibuat berupa patung perunggu, batu, maupun lukisan pada panel, dan fresco.
Meskipun dasarnya merupakan seni privat, yang dibuat pada era Sumeria, Mesir dan Yunani,
banyak potret yang dijadikan seni publik. Hal ini dilakukan untuk memberi kesan tentang-misal-
nya potret keluarga kerajaan—moral dan nilai-nilai religius sehari-hari mereka. Beberapa contoh
karya seni potret tersebut antara lain: patung Menkaure and His Queen (c.2470 BCE); patung
Pharaoh Akhenaten (c.1364 BCE), The Daughter of Akhenaten (c.1375 BCE), dan patung dada
Nefertiti (c.1350 BCE); the Mummy Portraits (c.200 CE). Sedangkan pada era Yunani Kuno:
patung marmer Socrates (c.340 BCE); patung marmer Laocoon and His Sons (c.50 BCE). Pada
zaman Romawi seni potret dibuat karena kebutuhan politik. Banyak patung yang dibuat untuk
men­ ghormati kaisar (Julius Cesar hingga Constantine) agar terlihat kekuatan dan kekuasaannya.
Karena itulah akhirnya seni patung potret disisi lain juga dikenal dengan seni publik (di Indon­ esia
patung pahlawan menjadi parallel atas hal ini). Pada zaman Abad Pertengahan (Seni Kristen)
sampai Renaissance awal, seni potret lebih banyak diwarnai dengan subjek yang berhubungan
dengan kegiatan keagamaan. Lebih khusus untuk mengilustrasikan kitab suci. Seni potret dibuat
untuk diletakkan di dalam gereja, biasanya dalam bentuk fresco, encaustic painting, atau mosaik.
Contohnya adalah seperti encaustic panel potret di Saint Catherine’s Monastery, Mount Sinai, se­ ­
perti Madonna with Child (c.600 CE); potret Evangelists and Apostles di manuscripts Celtic Chris-
tian dan teks gospel Carolingian. Sedang pada zaman Gothik, seni potret banyak dibuat dengan
teknik seni kaca patri yang biasanya diletakkan sebagai bagian dari arsitektur katedral, seperti
pada katedral Notre Dame dan Chartres. Sedangkan di zaman Renaisance awal seni potret masih

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 53

dipengaruhi seni Bizantium. Dibuat dengan komposisi yang kaku dan masih berkisar masalah
kekristenan. Gambar-gambar yang merupakan visualisasi Yesus Kristus adalah satu diantaranya.
Di era Romawi kuno potret diri mulai terasa naturalistik, setengah bervolume, namun masih nam-
pak dekoratif. Selain pada lukisan, mereka juga mengembangkan pada patung batu, logam dan
lilin dengan kecermatan yang lebih berkembang dari masa sebelumnya. Barulah pada abad ke-15
dan 16 di era Kristen kuno di Eropa, potret diri semakin berkembang pada fungsi agama.

Di masa Renaisans muncul lukisan potret yang amat terkenal: Monalisa karya Leonardo da Vinci.
Dari Monalisa, pelukis Raffaello Sanzio belajar tentang tipe lukisan potret yang diterapkan pada
lukisannya, Magdalena Doni. Dalam Monalisa eksperimen chiaroscuro dipakai Leonardo untuk
latar belakang agar menimbulkan kesan misterius. Sedangkan dalam Magdalena Doni Raphael
memakai warna-warna yang hangat sekaligus memberi kesan citra humanis yang ceria, taat
akan tradisi dan agama. Di samping persoalan di atas, seni potret Renaissance juga dipengaruhi
oleh fenomena historical dan mythological painting yang penuh dengan pesan dan narasi di balik
s­ebuah potret. Hal ini terlihat pada karya Rembrant The Night Watch. Contoh lainnya adalah mu­ ral
gigantik yang dibuat oleh Michelangelo di Kapel Sistine yang mengetengahkan banyak potret figur
dan hal-hal yang terkait dengan kitab suci yang penuh dengan narasi dan pesan-pesan agama.
Dengan ditemukannya cat minyak dan easel semakin membuat seni potret juga turut berkem-
bang. Wacana seni potret tidak saja berkutat pada masalah masyarakat tetapi juga pada hal-hal
yang bersifat individual. Pengembangan telah banyak dilakukan sejak gaya dan aliran dikem-
bangkan oleh para pelopornya di masa seni modern. Hal ini menyebabkan pengembangan telah
mengarah pada hal teknis sampai tema-tema yang sangat beragam3.

Lukisan potret pun terdapat beberapa jenis terkait bagaimana sebuah karya terpesentasikan
oleh senimannya secara visual. Klasifikasi ini juga terlihat dari pilihan tema dari lukisan potret
tersebut. Mike Susanto mengklasifikan beberapa jenis lukisan potret antara lain; (1).Seni potret
Religius. Pada zaman Yunani seni ini dipakai untuk beberapa tujuan, yaitu menghormati dan
menyembah dewa. Sedang pada zaman Renaissance didominasi oleh tampilan wajah Yesus kris-
tus dan orang-orang disekitarnya. Karya Andrea Mantegna, Lamentation Over the Dead Christ
(c.1490); Leona­ rdo da Vinci, Virgin and Child with St. Anne (1502); Botticelli, Primavera (1482)
and Birth of Venus (c.1485); Michelangelo, Pieta (1499); Raphael, Sistine Madonna (1514);
Titian, V­enus of Urbino (1538). (2.)Seni potret Sejarah. Berisi figur-figur yang terkait dengan
perkembanan s­ejarah. Pada zaman Romawi muncul seni potret Sejarah. Disamping itu juga pada
Renaisance atau setelahnya muncul potret para pahlawan nasional. Karya Raphael, Pope Leo X
(1519); G­iuseppe Arcimboldo, Emperor Rudolf II as Vertumnus (1591); Anthony Van Dyck, King
Charles I of England Out Hunting (1635); Diego Velazquez, Portrait of Pope Innocent X (1650);
Gilbert Stewart, George Washington (1796); Jacques-Louis David, Death of Marat (1793) and
Napoleon Crossing the Alps (1801); Francisco Goya, Wellington (1816), Saturn (1821); John
Singer Sargent, Theodore Roosevelt (1903); Francis Bacon, Pope I - Study After Pope Innocent
X by Velazquez (1951). (3.)Seni potret Selebritas. Orang-orang terkenal selalu menjadi objek
yang sangat mudah dan sering dipakai sebagai objek seni potret. Diptych with the Portraits of
Luther and His Wife Katherina von Bora (1529); Johann Heinrich Wilhelm Tisschbein: Goethe in
the Campagna (1787); Joseph Lange: Mozart at the Pianoforte (1789); Sir Henry Raeburn: Sir
Walter Scott (1823), Graham Sutherland: Portrait of Somerset Maugham (1949). (4.) Seni potret
Ketokohan. Ini merupakan potret ketokohan (juga bisa diartikan ‘keangkuhan’) yang dilakukan
oleh para bangsawan, figur kultural dan pebisnis, untuk menciptakan gambar/potret/lukisan yang

54 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

lebih bagus dari orangnya yang merefleksikan posisi mereka dalam masyarakat. Karya Piero
Della Francesca Duke Federico da Montefeltro and His Spouse Battista Sforza (c.1466), Leonardo
da Vinci, Monalisa, Raphael, Portrait of Baldassare Castiglione (1515); Jan van Eyck, Virgin of
Chancellor Rolin (1436); Hans Holbein the Younger, Portrait of Georg Gisze of Danzig (1532). (5.)
Seni potret Orang Biasa. Kategori ini hampir banyak dilakukan karena adanya banyak perkemba­
ngan kebutuhan dan kemampuan (finansial) orang biasa dalam hidupnya. Kebutuhan mencatat-
kan saudara, teman, anak-anak, orang tua dan guru dalam wujud visual misalnya dibuat untuk
memenuhi peringatan dan kenang-kenangan sejarah pribadi dan media hubungan antar saudara
atau antar teman. Konsep kenangan (kasih sayang, pernikahan, keluarga dan kematian) biasanya
menjadi alasan utama. Namun dewasa ini kepentingan lain juga muncul, yaitu untuk memperke-
nalkan diri sebagai ba­ gian dari bentuk “cinta pada diri sendiri” (narsisme). Jadi secara sederha­ na,
seni potret orang biasa menjadi urutan paling akhir untuk melacak apresiasi pemesan atau si
perupa. Oleh sebab itu seni potret orang biasa hanya dipakai dan berguna sebagai benda pribadi,
tidak terlalu penting untuk publik4.

Penggolongan dan klasifikasi karya seni potret juga bisa dilakukan dengan pendekatan visual.
Pendekatan ini pun sesungguhnya hanya kesepakatan atau aturan yang diterapkan oleh sebagian
kelompok tertentu dan di masa tertentu. Seperti yang dipakai pada masa keemasan seni potret
(individual), pada abad ke-17: (1.)Seni potret wajah. Biasanya digunakan dalam rangka menon-
jolkan ciri khas yang ada pada wajah. Secara menyeluruh digunakan untuk banyak keperluan
alias bebas. Namun pada era ini jarang dipakai. Pendekatan wajah semacam ini justru banyak
dipakai pada masa modern, seperti yang dilakukan oleh Andy Warhol. (2.)Seni potret setengah
badan. Biasanya digunakan orang-orang yang dihormati: perempuan ataupun orang tua yang
menduduki dan memiliki posisi kultural maupun ekonomi kelas atas. Posisi ½ badan disini bukan
frontal, dan pada umumnya digunakan untuk mengesankan keanggunan, terpelajar dan religius.
(3.)Seni potret seluruh badan, dengan posisi ¾ bagian tubuh. Bisanya dipakai untuk orang-orang
yang sangat kuat memiliki dan diberi penghargaan dari masyarakat karena kekuasaannya. Pada
era ini biasanya adalah anggota keluarga kerajaan. Dibuat untuk memunculkan kesan berwibawa.
(4.)Seni potret bersama instrumen pendukung, seperti kuda atau kendaraan lain. Potret sema-
cam ini bisanya dipakai untuk menghormati para ksatria, pahlawan maupun raja yang menang di
medan perang. Dibuat untuk dikesankan sebagai seseorang yang memiliki sikap heroik5.

Jika mengacu pada aspek historis identifikasi karya seni lukis otret tidak dapat lepas dari latar so-
sial budaya yang terjadi saat sebuah karya potret itu hadir. Seni lukis potret “ketokohan” m­isalnya
dalam pemaparan di atas disebutkan oleh Mike Susasnto sebagai sesuatu yang sangat dengan
dengan ekspresi “keangkuhan” para kaum borjuis untuk menghadirkan pencitraan lebih di ma-
syarakatnya. Pada titik ini seni lukis potret “ketokohan” tak lepas dari dimensi politisnya.

Delapan tokoh yang dihadirkan potretnya dengan medium yang sebagaian besar seni lukis ini
tentu bertujuan lebih spesifik jika berkaca pada berabagai identifikasi ihwal seni lukis potret yang
disebut diatas. Delapan potret dalam sub tema ini hadir untuk mentuturkan bagaimana kehidu-
pan sosial kultural masyarakat etnis Tionghoa din Sinagaraja, dengan memakai sampel para indi-
vidu, figure, ataupun tokoh tokoh yang pernah ataupun masih hidup di tengah tengah masyarakat
Tionghoa Singaraja. Maka untuk memperkuat narasi ihwal siapa kedelapan tokoh ini, maka esay
foto menjadi pilihan cara presentasinya, esay foto dalam konteks presentasi karya di ruang ini
bergeser pada esay visual, sebab fotografi bukanlah satu-satunya medium.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 55

Pilihan Presentasi; Dari Esay Foto ke Esay Visual

Sebuah karya visual (fotografi, lukisan, drawing, grafis, dan lain sebagainya) ketika terhadirkan
ke ruang public, terpresentasikan pada apresiannya, tentu saja merupakan sebentuk pernyataan
sang kreatornya. Pada titik ini kemudian karya seni visual dituntut mampu “berkomunikasi” de­
ngan apresiannya. Tentu saja sebuah karya seni (rupa) seperti yang dikatakan oleh Jorst Smier
adalah bentuk yang spesifik dari komunikasi. Sebagai bentuk komunikasi yang spesifik inilah
sebuah karya seni visual akan membawa serta sistem bahasanya yang khas, berlapis, yang tentu
saja berbeda dengan sistem bahasa verbal ataupun bahasa tertulis seperti yang awam diketahui.

Sebagai sebuah medium yang komunikatif sebuah karya seni rupa, salah satunya fotografi kerap
menghadirkan format presentasi karya yang lazim disebut foto essay. Wikipedia menyebutkan
bahwa “A photo essay(or “photographic essay”) is a set or series of photographs that are in-
tended to tell a story or evoke a series of emotions in the viewer. Photo essays range from purely
photographic works to photographs with captions or small notes to full text essays with a few or
many accompanying photographs ( foto esai merupakan set foto atau foto berseri yang bertu-
juan untuk menerangkan cerita atau memancing emosi dari yang melihat. Foto esai disusun dari
karya fotografi murni menjadi foto yang memiliki tulisan atau catatan kecil sampai tulisan esai
penuh yang disertai beberapa atau banyak foto yang berhubungan dengan tulisan tersebut).” Dari
definisi diatas, bisa diambil bahwa esai foto, selain harus mempunyai tulisan atau teks esai yang
menjelaskan foto-foto tersebut, esai foto haruslah menyampaikan suatu cerita yang kuat dan
mampu membawa emosi dari yang melihat. Hal ini dikarenakan dalam esai foto yang fotografer
akan menyampaikan pandangannya mengenai hal yang diangkat menjadi esai foto tersebut.
S­ehingga foto-foto tersebut menjadi sebuah rangkaian cerita yang kuat.

Arbain Rambey (Fotografer Senior Harian Kompas) menyampaikan definisi esai foto dalam salah
satu tulisannya yaitu “Menceritakan sesuatu dengan beberapa foto serta esai punya ikatan antar
foto yang kuat. Ibarat novel, satu foto dengan foto yang lain punya ikatan alur dan urutan seperti
bab-bab dalam sebuah buku. Ada cerita yang mengalir dalam sebuah esai foto.” Dari definisi itu
bisa ditemukan bahwa dalam sebuah esai foto, ikatan antar foto haruslah sangat kuat, sehingga
alur cerita esai foto itu tetap fokus dan tidak melebar kemana-mana. Dalam menyusun esai
foto, yang ada adalah kekuatan kolektivitas dari foto - foto tersebut. Foto boleh saja kuat secara
tunggal, namun dalam esai foto, setiap foto harus memiliki perwakilan masing-masing momen.
S­ebagai contoh, kita tidak perlu menaruh 2 buah foto yang mirip secara momen karena 2 foto
tersebut kuat secara tunggal. Cukup pilih satu dan tambahkan foto lain yang mewakili momen
yang berbeda. Hal ini juga sejalan dengan definisi ketiga yaitu menurut Binsar Bakkara (fotografer
Associated Press) “ Foto jurnalistik yang terdiri dari sejumlah foto yang menyusun sebuah cerita.
Membangun sebuah foto story adalah sebagaimana kita layaknya membangun sebuah cerita.”6

Foto essay adalah sebuah narasi yang berusaha dibangun dari rangkaian rangkaian foto tertentu
untuk menjelaskan foto utama. Dalam konteks presentasi karya yang tersaji di ruang tokoh ini
menun jukkan sebuah perluasan dari konsep ihwal foto essay menjadi visual essay.

Kedelapan potret tokoh yang dihadirkan dengan teknik yang beraneka ragam dari para perupa
seperti lukis, drawing, pengasaman, hingga cukil, serta medium yang dipakai semisal kanvas,
hingga plat logam, juga menampilkan rangkaian karya pendukung yang juga beragam yang ter-
presentasikan di sekitar potret utama, hal ini secara kasat mata sangat mirip dengan konsep foto

56 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

essay hanya saja medium yang dipakai bukan hanya fotografi sehingga konsep foto esay dalam
konteks sub tema ruang tokoh ini telah bergerak menjadi visual essay.

Baik potret utama maupun visual essay dalam sub tema ruang tokoh ini dikerjakan oleh perupa
yang berbeda ini menunjukkan sebuah model karya kolektif dengan tipe gabungan, dimana iden-
titas atau jejak-jejak visual dari masing masing perupa yang menggarap karya masih ter­lihat.
An­tara satu potret utam dengan potret utama lainnya, atau antara potret utama dan visual
e­ssaynya masing-masing menunjukkan adanya jejak-jejak visual perupa yang berbeda, yang
paling kasat mata adalah dari tekniknya.

Intertekstualitas ; Salah Satu Jalan Pembacaan Atas Karya Yang Hadir

Intertekstualitas secara epistimologis hadir sebagai satu metode atau sistem pengetahuan dalam
ranah sosial budaya, ia adalah anak kandung dari rahim pemikiran post-strukturalis. Disatu sisi
Intertekstualitas merujuk pada aktivitas sadar pengutipan sebuah teks di dalam teks lain sebagai
ekspresi dari kesadaran kultural yang diperluas. Kesadaran yang semakin meningkat tentang in-
tertekstualitas dipercaya sebagai tanda berlakunya kondisi pascamodern. Salah satu contohnya
adalah “pengaburan teks teks historis” (intertextual historical blurring) yang dijumpai dalam
pascamodernisme di mana representasi-representasi masa lalu dan masa sekarang ditampilkan
s­ecara bersamaan dalam bentuk bricolage yang menyenyajarkan tanda-tanda yang tadinya tak
saling berkaitan menjadi kode-kode makna yang baru.7

Potret tokoh dengan image-image yang tampil sebagai visual essay bisa dimaknai sebagai teks
yang berbeda. Image tokoh (teks) dengan elemem dunianya yang terepresentasikan dalam es­ say
visual adalah teks yang saling bertemu. Sehingga model presentasi tokoh yang tergrupping den-
gan visual esay nya dapat dilihat dalam perspektif intertekstualitas ini. Potret tokoh, berbagai i­m­
age image pendukung dalam visual esay seperti image bumbu masakan pada potret Tan Khe Lok,
atau piala pada potret Agus Sadikin Bakti, dan lain sebagainya adalah teks-teks yang berbeda
tapi saling berdialog membentuk sebuah konteks, sebuah kisah yang bertutur ihwal siapa tokoh
tersebut, apa yang ia kerjakan, bahkan tak jarang dari karya karya sang tokoh nama Singaraja
terharumkan. Keterhubungan antara teks (image potret dan visual essay-nya) mengingatkan
kita pada apa yang diungkapkan Julia Kristeva yakni” setiap teks memperoleh bentuknya sebagai
mosaic kutipan-kutipan, setiap teks merupakan rembesan dan transformasi dari teks-teks lain”8.

Gede Panca Gautama dan I Made Susanta Dwitanaya

Alumni Prodi Pendidikan Seni Rupa Undiksha
Catatan :
1 Georg Simmel, 1901.The Aesthetic Significance of The Face , dalam Hardiman, 2010, Wajah dan
Topeng , Esay kuratorial Pameran Lima Seniman di Andi’s Gallery, Jakarta Art District .
2. http://mikkesusanto.jogjanews.com/memahami-lukisan-potret.html
3. Ibid
4. Ibid
5. Ibid
6. www.kompasiana.com/zaferpro/sekilasesaifoto_5500b4e3a333119f6f511ec8
7. Chris Barker “Kamus Kajian Budaya” Yogyakarta; Kanisius, 2014
8. Umberto Eco, A Theory of Semiotics. Bloomington ; Indiana University Press

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 57

I Gede Panca Gautama, lahir di amlapura, Karangasem, 01 oktober 1991. Pendidikan terakhir yakni Sarjana
Pendidikan Seni Rupa di Undiksha, Singaraja, Bali (2010-2014) dan sekarang sedang menjadi guru honorer
di SMP Negeri di Karangasem. Pernah sebagai sarjana mendidik di daerah terdepan terluar dan tertinggal (
SM-3T) tahun 2015-2016 di kabupaten Ende, Flores, NTT. Aktif mengadakan pameran seni rupa bekerjasama
dengan jurusan seni rupa undiksha di kampus ato di sekolah mengatasnamakan KUCING SERU (KUmpulan
CINta Gambar SEni RUpa). Pernah mengikuti pameran bersama bidang seni lukis dan fotografi.
I Made Susanta Dwitanaya, lahir di Banjar Penaka, Tampaksiring, Gianyar pada 22 Juli 1987. Menempuh pen-
didikan di Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja (2005 – 2010). Tahun 2008 lolos sebagai finalis
kompetisi esay dan feature Seni Rupa antar mahasiswa se–Indonesia yang diselenggarakan majalah Visual
Art dan Galeri Nasional. Sejak lulus tahun 2010 menekuni dunia kurasi dan penulisan seni rupa. Menulis dan
mengkurasi beberapa event di beberapa ruang seni di Bali dan luar Bali seperti; Museum Neka, Bentara Budaya
Bali, Santrian Gallery, W. Barwa Gallery, Sika Gallery, Bentara Budaya Yogyakarta, Jogya Gallery, Orasis Gallery
Surabaya dll. Menjadi salah satu penulis buku Nyoman Erawan; E(r)Motive. Menjadi asisten penulis dalam
buku Lempad For The World. Menjadi salah satu narasumber dalam diskusi Bali Tempoe Doloe; DAS Pakerisan
dalam Arkeologi dan Seni di Bentara Budaya Bali. Selain di katalog pameran beberapa tulisanya pernah terpub-
likasikan di Majalah Visual Art, Majalah Seni Sarasvati, Tribune Bali, dan Jurnal Prasi FBS Undiksha Singaraja.
Salah satu karya lukisanya pernah menjadi ilustrasi cerpen Kompas.

58 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

ART WORK

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 59

“Meeting Point of Tri Dharma”
Collective Art Work

780x180cm (147 pcs), mixed media, 2016

60 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

“Spreading Qilin”
Collective Art Work
@20x40x40 (8 unit), terracotta, 2016

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 61

“Wajah-Wajah Yang Bertutur”
Collective Art Work
mixed media, 2016

62 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

“Sampek Eng Tay”
Collective Art Work 208x61.5cm,

Pen on Teak Plywood, 2016

1. Sampik Ingtay “Sampek Eng Tay”
Collective Art Work
Lembar 1.
83.6x35cm (22panel), Daun
Terdiri dari dua frame yakni ; Frame 1; Pemandangan situasi rumah Ingtay yang megah Rontal, 2016
di daerah Aciu Negari. Frame 2; Close Up kondisi dalam rumah
“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 63
Lembar 2.

Terdiri dari tiga frame yakni; Frame 1; Adegan Ingtay yang sedang berbincang dengan
Ayahnya dimana Ingtay mengutarakan niatnya untuk melanjuntukan sekolah. Frame 2;
close up wajah Ayah Ingtay (dilengkapi teks kata yang menjelaskan bahwa perempuan
tak mungkin bersekolah pada masa itu) Frame 3; close up wajah Ingtay (dilengkapi
dengan teks kata yang menjelaskan tentang ide Ingtay untuk menyamar sebagai laki
laki agar bisa sekolah)

Lembar 3.

Terdiri dari dua frame yakni; Frame 1; Adegan Ingtay yang telah menyamar dengan
memakai pakaian laki laki, berdiri di depan pintu kamar, disaksikan oleh ayahnya yang
terkejut. Frame 2; Adegan saling berpelukan antara Ingtay dan Ayahnya sebagai tanda
perpisahan sebab Ingtay akan pergi bersekolah.

Lembar 4.

Terdiri dari dua frame yakni; Frame 1; Suasana depan rumah Ingtay, Ayah ingtai melepas
kepergian ankanya, dari kejauhan Ingtay menghadap ke belakang sembari melambaikan
tangan pada ayahnya. Frame 2; Suasana perjalanan Ingtay yang berjalan sendiri menuju
sekolah, latar suasana jalan kota rumah yang disela selanya tumbuh pepohonan.

Lembar 5.

Terdiri dari dua frame yakni; Frame 1; Ingtay kelelahan, beristirahat di bawah sebuah
pohon di tepi jalan. Frame 2; Ingtay duduk, Sampik melintas di depannya, keduanya
berkenalan karena sama sama sedang dalam perjalanan menuju sekolah

Lembar 6.

Terdiri dari tiga frame yakni; Frame 1; close up wajah Sampik. Frame 2; close up wajah
Ingtay. Frame 3; Keduanya melanjutkan perjalanan menuju sekolah

Lembar 7.

Terdiri dari dua frame yakni; Frame 1; Suasana sekolah tampak luar (kombinasi
pemandangan dan bangunan sekolah). Frame 2; Sampik dan Ingtay berdiri di depan
sekolah

Lembar 8. Lembar 18.

Terdiri dari tiga frame . Frame 1; Adegan Sampik dan Ingtay menghadap Guru di sebuah Terdiri dari tiga frame. Frame 1; Sampik menulis surat untuk diserahkan pada
ruang belajar ala Cina. Frame 2; close up wajah guru. Frame 3; close up wajah sampek Ingtay yang menyatakan dirinya sudah tak sanggup lagi hidup menanggung sakit
dan Ingtay hati tak berperi. Frame 2; Utusan Sampik menyerahkan surat pada Ingtay. Frame
3; close up wajah Ingtay, yang berlinang air mata membaca surat Sampik. Sebab
Lembar 9. dalam surat tertulis jika Sampik tak sanggup lagi hidup menanggung rasa sakit
hati, Sampik mohon diri untuk pergi selama lamanya.
Terdiri dari dua . Frame 1; adegan kebersamaan Sampik dan Ingtay saat belajar dalam
kelas. Frame 2; adegan Sampik dan Ingtay tidur dalam satu ranjang karena Sampik tahu Lembar 19.
kalau Ingtay adalah seorang perempuan.
Terdiri dari dua frame. Frame 1; Sampik akhirnya meninggal dunia, Frame 2; Ritual
Lembar 10 penguburan Sampik

Terdiri dari dua frame; Frame 1; adegan dalam situasi belajar dalam kelas, guru Lembar 20.
memberitahu bahwa para murid sudah selesai menempuh pendidikan dan tinggal
menunggu waktu kelulusan tiba. Frame 2; close up Sampik dan Ingtay saling pandang, Terdiri Dari Dua frame. Frame 1; Iring iringan pernikahan antara Subandar Macun
bahagia karena akan segera lulus sekaligus bersedih karena akan berpisah satu sama dan Ingtay yang melintas di depan kuburan Sampik. Frame 2; Close up wajah
lain. Ingtay dan Macun, Ingtay mohon diri untuk diberikan waktu sembahyang sejenak
di depan kuburan Sampik sebagai tanda perpisahan terakhir, sebab bagaimanapun
Lembar 11. juga Sampik adalah rekan Ingtay ketika menuntut ilmu dahulu.

Terdiri dari dua frame; Frame 1; Suasana taman. Frame 2; Sampik dan Ingtay duduk Lembar 21.
berbincang di sebuah bangunan sembari memandangi suasana taman.
Terdiri dari dua frame. Frame 1; Ingtay bersujud semabahyang di depan kuburan
Lembar 12 Sampik. Frame 2; Kuburan Sampik terbelah, Ingtay masuk kedalamnya

Terdiri dari dua frame yaitu; Frame 1; Ingtay mengakui dirinya adalah perempuan di Lembar 22.
hadapan Sampik dengan melepas gelung rambutnya sehingga rambutnya tampak
terurai. Frame 2 ; close up wajah Sampik yang terkejut menyadari kalau Ingtay adalah Terdiri dari dua frame. Frame 1; Kuburan tertutup rapat Ingtay tertelan kedalam
perempuan. kuburan Sampik, keduanya menyatu dalam alam kubur. Frame 2; Muncul sepasang
kupu-kupu kuning yang terbang kian kemari di atas kuburan Sampik,
Lembar 13.

Terdiri dari dua frame yakni; Frame 1; Sampik dan Ingtay saling pandang, Sampik
terkesima melihat kecantikan Ingtay dan menyatakan perasaan hatinya yang menCinai
Ingtay, begitu pula Ingtay, mengutarakan isi hatinya bahwa selama penyamarannya
diam diam Ingtay juga memiliki perasaan suka pada Sampik.Frame 2; Sampik dan Ingtay
saling berpelukan keduanya memadu kasih

Lembar 14.

Terdiri dari dua frame. Frame 1; Ditengah suasana romantik keduanya memadu
kasih Sampik dan Ingtay dikagetkan oleh kedatangan seorang utusan Ingtay
bernama Congliwat. Frame 2; Close up wajah Congliwat yang mengutarakan maksud
kedatangannya adalah menjemput Ingtay untuk kembali ke rumahnya di Aciu Negari
karena ada urusan yang sangat penting.

Lembar 15.

Terdiri dari dua frame; Frame 1 ; Ingtay mengutarakan maksudnya untuk pulang ke
rumahnya, sebelum pulang Ingtay memberikan teka teki berupa tiga pasang angka 6
.4, 7.3, dan 8.2 itulah saat dimana Sampik harus datang melamar Ingtay ke rumahnya
jika Sampik benar-benar mencintai dirinya. Frame 2; Sampik dan Ingtay berpisah,
Sampik memandang Ingtay yang pergi berjalan menjauh bersama Congliwat sembari
melambaikan tangannya.

Lembar 16

Terdiri dari dua frame; Frame 1; Sampik datang menemui Ingtay tiga puluh hari setelah
mereka berpisah dahulu. Frame 2; Ingtay memaki Sampik karena keliru menanggapi
teka teki yang diberikan, bukan 30 hari batas waktu yang Ingtay maksud, tapi 10 hari,
Ingtay mengusir Sampik dan menjelaskan bahwa dirinya sudah dijodohkan dengan
Subandar Macun dan akan segera melangsungkan pernikahan.

Lembar 17.

Terdiri dari dua frame; Frame 1; Sampik pulang dengan langkah gontai, dadanya sesak,
penuh dengan perasaan kecewa akibat kebodohan sendiri yang salah dalam menafsir
teka teki yang diberikan Ingtay. Frame 2; Sampik akhirnya jatuh sakit, mengurung diri
dalam kamar, tidur diranjang, tanpa bicara sepatah kata, ditemani kedua orang tuanya.

64 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

2. Cerita Chen Fu Zen Ren “Chen Fu Zen Ren”
Collective Art Work
Lembar 1.
53.2x35cm, Daun Rontal, 2016
Terdiri dari dua frame. Frame 1: Kapal dagang Cina yang berlabuh di pelabuhan
Bali Utara. Frame 2 : Dua orang Cina yakni Bapak Liem dan Bapak Chen sedang “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 65
berdialog mereka memutuskan untuk berpisah, ( latar belakang suasana pelabuhan
yang dipenuhi hiruk pikuk aktivitas)

Lembar 2.

Terdiri dari dua frame . Frame 1: Bapak Chen berjalan menuju arah selatan menuju
kerajaan mengwi, (latar suasana jalan pedesaan Bali dipenuhi pohon dan angkul
angkul di sela selanya) . Frame 2: Bapak Chen tiba di depan gerbang puri (istana)
kerajaan Mengwi. (Bapak Chen tampak belakang menghadap gerbang atau candi
bentar Kerajaan Mengwi , prajurit penjaga berlalu lalang khas suasana kerajaan
jaman dahulu)

Lembar 3.

Terdiri dari dua frame . Frame 1 : Bapak Chen dihadang dua penjaga menanyakan
maksud dan tujuannya datang ke kerajaan mengwi, Bapak Chen menyampaikan
keinginannya untuk bertemu dengan Raja Mengwi . Frame 2: Bapak Chen
menghadap raja Mengwi, ( latar suasana balai rung atau balai pertemuan khas bali,
Raja duduk di singasana didampingi para patih dan punggawa kerajaan)

Lembar 4.

Terdiri dari dua Frame. Frame 1: Close up wajah Raja dan Bapak Chen , Raja
memerintahkan Bpak Chen untuk membangun sebuah Taman kerajaan. Frame 2:
Bapak Chen duduk duduk santai membiarkan waktu berlalu begitu saja meski tengat
waktu untuk membuat taman tinggal beberapa hari lagi. Patih berkali kali datang
menanyakan perihal taman tapi Bapak Chen selalu menjawab dengan santai bahkan
cenderung acuh tak acuh

Lembar 5.

Terdiri dari Dua frame. Frame 1: Raja khawatir dan marah melihat kelakuan Bapak
Chen yang tampak santai dan acuh tak acuh dan terkesan mengavaikan tugas
pembangunan taman, ( penggambaran adegan Raja bertolak punggang didampingi
bawahanya , menunjuk ke arah Bapak Chen yang dari jauh terlihat malas malasan
di balai bengong kerajaan. Frame 2 : malam hari bapak Chen duduk bersila seperti
bersemedi

Lembar 6 .

Terdiri dari dua frame. Frame 1: Bapak Chen mengambil selembar kain putih dan
mulai menggambar taman yang dikelilingi oleh sebuah kolam. Frame 2 : Close up
kain putih lengkap dengan proses babah Chen menggambar, ( refren gambar lihat
taman ayun)

Lembar 7 .

Terdiri dari dua frame . Frame 1: Bapak Chen selesai menggambar, lalu duduk bersila,
gambar dari kain di buat melayang ke udara lalu dimantrai . Frame 2 : Bapak Chen
tetap duduk gambar sudah beeubah jadi taman ,( latar suasana bapak Chen duduk
diantara suasana taman yang indah).

Lembar 8.

Terdiri dari dua frame . Frame 1 : Bapak Chen menghadap raja memberitahu
pembangunan taman sudah selesai sesuai tengat waktu yang diminta Raja. Frame 2 :
Bapak Chen bersama Raja menaiki sampan diatas kolam sembari mengelilingi taman.

Lembar 9.

Terdiri dari dua frame. Frame 1: Sampan yang dinaiki raja dan Bapak Chen melintas
di depan sebuah gerbang kolam berbentuk kepala angsa . Frame 2 : Bapak Chen
meminta raja untuk melintas di bawah gerbang berbentuk kepala angsa itu, tapi raja
menolak sebab dirinya adalah raja, adalah sebuah penghinaan jika ia harus melintas
di bawah kepala binatang.

Lembar 10
terdiri dari dua frame. Frame 1 : Raja marah dan meminta Bapak Chen untuk
menghilangkan saja kepala angsa itu tapi Bapak Chen menjelaskan bahwa kepala angsa
sangat cocok secara fengsui ditaruh disana. Raja tetap bersikeras Bapak Chen pun
mengikuti keinginan sang raja. Frame 2; Dengan sekali tunjuk maka gerbang kepala
angsa sekejap dapat dihancurkan oleh bapak Chen menjadi debu.
Lembar 11
Terdiri dari dua frame . Frame 1: Berselang beberapa hari sesudah kejadian
penghancuran kepala angsa dengan telunjuk Bapak Chen, Raja dihantui oleh pemikiran
bahwa bapak Chen adalah sebuah ancaman. Dengan kesaktiannya bisa saja ia akan
merongrong kekuasaan dirinya, Raja lalu mengutus kedua patihnya untuk menyelinap
diam diam ke kamar bapak Chen dan membunuhnya. Frame 2: Sesampainya di kamar
kedua patih gigit jari sebab bapak Chen sudah mencium ikhwal rencana pelenyapan
dirinya. Bapak Chen sudah pergi meninggalkan istana Mengwi menuju tanah jawa.
Lembar 12.
Terdiri dari dua frame. Frame 1: Dua orang patih Mengwi mengejar Bapak Chen, meski
dengan mengendarai kuda dan Bapak Chen berjalan kaki tetap tak dapat ditangkap.
Frame 2: Bapak Chen menunggu dua orang patih yang mengejar tersebut di selat Bali,
setelah kedua patih itu mendekat, kedua patih tersebut berbalik takut pada Bapak Chen
dan mohon dijadikan murid
Lembar 13
Terdiri dari dua frame . Frame 1: Dua orang patih akhirnya diangkat menjadi murid
Bapak Chen, mereka bertiga lalu menyeberang ke tanah jawa . Frame 2: Sesampainya
di tanah Jawa Bapak Chen memerintahkan muridnya masing masing untuk pergi ke
arah gunung dan laut.
Lembar 14
Terdiri dari dua frame. Frame 1: Murid yang pergi ke arah gunung berubah menjadi
seekor harimau. Frame 2: Murid yang pergi ke arah laut berubah menjadi seekor buaya
Lembar 15
Terdiri dari dua frame . Frame 1: Bapak Chen kemudian Moksha di tanah Jawa (gambar
sosok bapak Chen duduk bersemadi dengan sukma melayang ke angkasa) . Frame
2: Beberapa waktu setelah beliau moksha sosok Bapak Chen menjadi dewa pujaan
di benerapa klenteng di daerah Jawa dan Bali termasuk di klenteng Le Kwan Giong
Singaraja. Sebagai dewa pujaan beliau bergelar Chen Fu Zhen Ren atau orang sakti
bermarga Chen (gambarkan sosok patung Chen Fu Zhen Ren ini sedang dipuja oleh
umatnya dalam ruangan klenteng)

66 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

“Dempu Awang”
Collective Art Work
225x61.5cm, Pen on Teak Plywood, 2016

3. Cerita Dempu Awang

Lembar 1.

Terdiri dari satu frame melukiskan barisan kapal kapal Cina yang berlayar di lautan lepas

Lembar 2.

Terdiri dari dua frame. Frame 1; Kapal Dempu Awang yang sedang dihantam gelombang
menepi ke pantai Panji. Frame 2; Kapal Dempu Awang terjebak di antara dua buah
karang di Pantai Penimbangan

Lembar 3.

Terdiri dari satu frame melukiskan hiruk pikuk orang orang pesisir Panji yang mencoba
menarik Dempu Awang dari karang yang terjepit

Lembar 4.

Terdiri dari dua frame. Frame 1; Suasana rumah kakek Panji Sakti. Frame 2; Panji Sakti
Muda sedang Bersama sang Kakek duduk di Balai

Lembar 5

Terdiri dari satu frame, melukiskan adegan orang orang pantai datang menghadap
kakeknya Panji Sakti melaporkan bahwa ada kapal karam.

Lembar 6

Terdiri dari dua frame. Frame1; Panji Sakti muda bergegas menuju pantai bersama sang
kakek. Frame 2; Panji Sakti tiba di pantai menyaksikan kondisi kapal Cina yang tengah
karam

Lembar 7

Terdiri dari dua frame, Frame 1; Panji Sakti menghunus keris Ki Semang. Frame 2; close
up wajah Panji Sakti yang sedang memejamkan mata sembari menghunus keris

Lembar 8

Terdiri dari satu Frame melukiskan Panji Sakti menunjukkan keris kearah kapal karam, “Dempu Awang”
Gelombang datang dari arah Panji Sakti menghempaskan kapal Dempu Awang dari Collective Art Work
cengkraman Karang 41.8x35cm, Daun Rontal, 2016

Lembar 9

Terdiri dari dua frame. Frame 1; close up bagian kapal yang terlepas dari batu karang.
Frame 2; Kapten kapal Dempu Awang turun dari kapal menemui Panji Sakti

Lembar 10

Terdiri dari satu frame melukiskan kapten kapal menemui Panji Sakti menyerahkan
berbagai macam benda benda seperti sutra, keramik, obat obatan dan lain-lain sebagai
tanda persahabatan

Lembar 11

terdiri dari satu frame, melukiskan Panji Sakti dan rakyatnya melepas kepergian Dempu
Awang untuk berlayar kembali.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 67

Ucapan Terima Kasih kepada:
Rektor Undiksha | Para Wakil Rektor Undiksha | Dekan FBS Undiksha | Para
Wakil Dekan FBS Undiksha | Bapak Pande Wayan Suteja Neka | Kepala Di-
nas Kadisbudpar Kabupaten Buleleng dan seluruh staf | Seluruh staf Museum
Seni Neka | Tan Khe Lok (Alm) dan keluarga | Kang Swie King (Agus Sadikin
Bakti) | The Pik Hong (Pipit Budiman Teja) | Tan Sioe Lay | Beni Tantra | Lim
Gwan Him | Njo Twan Hni | Kadek Widiasa | Komunitas Segara Lor | Alumni

dan Mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Rupa Undiksha

68 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Qilin

Visual Art Exhibition

Kurator:
Hardiman | I Made Susanta Dwitanaya | Dewa Gede Purwita| I Ketut Wisana Ariyanto

Tim riset:
I Gede Panca Gautama, I Ketut Wisana Ariyanto, Dewa Gede Purwita, I Made Susanta Dwitanaya

Perupa:
I Wayan Sudiarta| I Ketut Supir | I Ketut Sudita | I Gusti Nyoman Widnyana| Gede Eka Harsana Koriawan | I Gusti
Nengah Sura Ardana | Poleng Rediasa | Luh Suartini | I Ketut Samuderawan | I Gde Suryawan | I Gusti Ngurah Edi
Basudewa | I Made Santika P­ utra| Kadek Jefri Wibowo | I Komang Trisno Adi Wirawan | Luh Putu Stri Ayu Ratna Mulya |
I Putu Suhartawan | I Gst Md Prawira Yudha | Tri Akta Bagus Prasetya | Pangestu Widya Sari | I Ketut Wisana Ariyanto
| Danu Wardita | Kadek Darma Negara | Kadek Septa Adi | Putu Muji Antara | Nyoman Arisana | Dewa Gede Purwita |
Ni Luh Gede Dewi Suputri | Dewa Agung Mandala Utama | Abdullah | I Komang Wikrama | I Putu Acitya Gotama | Ade
Toni Septalosa | Alfan Hisbullah | Amalia Ika Safitri | Avif Vikri Zahir Ibroni | Babat Nufus Tarenaksa Surenggana | Dedi
Irawan | Gede Donny Purbayana Wismaya | I Nyoma Putra Purbawa | I Putu Leona Mahardika | Ni Putu Wikantariasih |
I Wayan Trisnayana | Irma Dwi Noviani | Dewa Made Johana | Made Yoga Suta Wirya | Kadek Angga Heriawan | Kadek
Putra Yasa | Kadek Surya Dwipa | I Ketut Santika | Ketut Widi Astra | Komang Juni Pariawan | M. Liwaus Shidyq | Made
Wijana | Putra Wali Aco | Salma Putri Nur Rohma | Saupi | Yogi Pramana | Zahrawani | A.A Istri Ratih Aptiwidyari | Ni
Wayan Erica Dewi | Gilang Gelantara | I Made Dwipayana | Mirza Prastyo | Nuril Firdausia | Dedy Nur Saputra | Totok
Hariyono | Vincent Chandra | I Komang Wirya Adnyana | Gde Deny Gita Pramana | I Putu Nana Partha Wijaya | Putu
Dudik Ariawan | IB. Shindu Prastya | Made Wisnu Hendrayana

Penanggung Jawab:
Drs. Gede Eka Harsana Koriawan, M.Erg (Ketua Prodi Pendidikan Seni Rupa, Undiksha)

Manajer:
I Gusti Nengah Sura Ardana | I Wayan Sudiarta

Design:
I Ketut Wisana Ariyanto | I Putu Nana Partha Wijaya

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 69


Click to View FlipBook Version