The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Membaca sosial budaya warga pecinan Kota Singaraja

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by dewa_oldskul, 2021-03-22 07:22:26

QILIN

Membaca sosial budaya warga pecinan Kota Singaraja

Keywords: qilin,culture,research,visualart,exhibition,catalogue

QILIN

( membaca sosial budaya warga pecinan Kota Singaraja )
VISUAL ART EXHIBITION
Prodi Pendidikan Seni Rupa
FBS - Undiksha
@Museum Seni Neka

Jl Raya Sanggingan Campuhan, Ubud, Bali
22 Oktober - 22 November 2016

opening: 22 Oktober 2016 | 16.00 Wita

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 1

Sekapur Sirih
Museum Seni Neka

Om Swastyastu,
Salam Budaya
Sudah menjadi misi Museum Seni Neka ikut serta memfasilitasi berbagai upaya merawat dan
mengembangkan seni yang sudah menjadi salah satu penanda dari keluhuran kebudayaan Bali.
Berbagai bentuk kerjasama dilakukan dengan berbagai pihak di dalam mengemban visi dan
misi pendirian Museum Seni Neka, termasuk dengan berbagai institusi pendidikan formal, salah
satunya adalah Program Studi Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja yang sudah beberapa
kali kesempatan menggelar hasil kerja kreatifnya yang bernuansa pendidikan dan bernilai
akademis sebagai penciri penting pelaku seni yang berasal dari sebuah institusi pendidikan seni
formal.
Pada kesempatan ini kembali Museum Seni Neka menyambut dengan sukacita sebuah p­ ameran
seni rupa yang merupakan sari inspirasi dari amatan bersungguh-sunguh terhadap sebuah
fragmen sosial budaya yang sudah berabad abad memberi warna pada kebudayaan Bali pada
umumnya. Visualisasi tentang aspek sosial budaya warga pecinan kota Singaraja sudah b­ arang
tentu menarik disimak dan dimaknai untuk dipetik manfaatnya di dalam keberlangsun­ gan
kemasyarakatan dan berkebudayaan di masa kini dan masa depan. Dengan mengucap rasa
syukur kepada Sanghyang Parama Kawi kami sambut gembira pameran seni rupa oleh c­ ivitas
akademik Program Studi Pendidikan Seni Rupa U­ ndiksha yang bertajuk “QILIN” ini. Semoga
harapan-harapan baik tercapai melalui kesempatan ini.
Om Shanti Shanti Shanti Om

Founder and Owner
Pande Wayan Suteja Neka

2 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Sambutan

Rektor Universitas Pendidikan Ganesha

Om Swastyastu,

Puji Syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas limpahan kasih dan sinar
suciNya, pada kesempatan ini peristiwa yang sangat bernilai bagi Undiksha dan Jurusan
Pendidikan Seni Rupa khususnya di dalam mengemban misi pengabdian terhadap Seni dan
kebudayaan. Menjadi semakin bernilai oleh keterlibatan dukungan Museum Seni Neka dan Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng, karena lewat kerjasama ini capaian kegiatan
bisa menjadi lebih maksimal.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kebudayaan Bali yang dikenal saat ini memiliki
hubungan yang sangat erat dengan kebudayaan Cina dan sudah terbentuk sejak ratusan tahun
silam. Oleh sebab itu mengangkat, mengenali dan memahami kembali nilai-nilai akulturasi
Bali-Cina bernilai strategis dalam rangka mengukuhkan kembali pondasi-pondasi persatuan dan
kebersamaan di dalam masyarakat dalam suasana penuh rasa toleransi. Kota Singaraja sebagai
kota pelabuhan tua di Bali menyimpan aneka kisah tentang kiprah masyarakat Tionghoa di
dalam kehidupan sosial budaya di dalam proses pembaurannya dengan kelompok-kelompok
masyarakat lain di kota Singaraja. Nilai-nilai kebersamaan yang sudah teruji ratusan tahun
di dalam menjaga harmoni hubungan masyarakat muiltikultur sudah seharusnya dijaga dan
diaktualisasikan dalam pergaulan sehari-hari.

Mari kita sambut dengan sukacita dan rasa bangga sebuah pendekatan kreatif terhadap upaya
penggalian, konservasi sekaligus rekontekstualisasi nilai-nilai budaya yang dikemas ke dalam
sebuah pameran seni rupa bertajuk “Qilin” yang inspirasi kekaryannya diambil dari upaya
melakukan pembacaan terhadap berbagai aspek sosial budaya warga Pecinan di kota Singaraja.
Saya kira hal ini merupakan satu cara bagi kalangan akademik mengabdikan diri di wilayah
spesialisasinya masing-masing secara bergairah.

Adalah tugas kami menngemban keilmuan serta implementasinya dengan memegang teguh
prinsip-prinsip akademik. Hal itu pula yang dilakukan oleh Jurusan Pendidikan Seni Rupa
melalui pameran yang bertajuk “Qilin” ini. Selain produk berupa karya seni yang inspirasinya
digali aspek-aspek sosial budaya warga pencinaan di Kota Singaraja, sesungguhnya kegiatan
ini juga telah memproduksi pesan tersirat dan tersurat tentang keragaman budaya, akulturasi,
inkulturasi dan diaspora budaya yang harus diapresiasi dengan baik sehingga nilai-nilai
kebersamaan dan saling asih dapat tersemai dan dirawat sepanjang waktu.

Semoga di kemudian hari model kegiatan akademik praktis serupa ini dapat ditingkatkan
kuantitas dan kualitasnya agar manfaat yang dicapai menjadi lebih maksimal.

Akhir kata, saya selaku pimpinan Universitas Pendidikan Ganesha mengucapkan selamat atas
digelarnya pameran bertajuk “Qilin” ini. Semoga semua pihak tercerahkan.

Om Santih, Santih, Santih Om

Rektor Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. I Nyoman Jampel, M.Pd
NIP 195910101986031003

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 3

Esai kuratorial pameran seni rupa “kilin”

Pada Mulanya Pan Ku Menciptakan Langit dan Memahat Bumi

Oleh Hardiman

Kadang ditambahkan hiasan di wuwungan,
sekedar relief motif suluran ber-patra Cina,

atau gambar seekor naga di awan-awan,
dinding atapnya tidak mengerucut lancip,

ditumpulkan, lebih dilenturkan,
mengacu Hongsui dalam budaya Cina,
sebab segala yang lancip dan tajam kurang baik.

atau digambar Chi Lin (Kilin)
binatang serupa Kuda bertanduk Naga,

pembawa nasib baik,
panjang umur dan banyak rejeki,

bahagia dan sejahtera.1

Tentang Legenda dan Sejarah

Menyebut Tionghoa ingatan kita akan terkunci pada dua hal pokok. Pertama, berkaitan d­e­
ngan mitos, legenda dan dunia rekaan lainnya. Kedua, berkaitan dengan kesajarahan dan j­ejak
i­lmiahnya. Kedua hal ini sama-sama memiliki daya tarik yang kuat. Dalam hal mitos dan le­
genda mi­salnya telah tumbuh melampaui batas dunia rekaan, sekaligus mengukuhkan mitos
sebagaimana kebenaran adanya. Masyarakat pendukungnya bukan hanya masyarakat Tionghoa
tetapi juga masyarakat dunia yang mengapresiasi (budaya) Tionghoa. Dalam hal kesejarahan
sudah barang tentu pendekatannya menggunakan presedur ilmiah berdasarkan metodologi yang
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Berikut ini tuturan tentang (budaya) Tionghoa yang dipetik dari naskah yang berformat leg­ enda.
Pandangan tradisional Tionghoa mengenai alam semesta yang dimulai dengan legenda se­­
bagaimana yang dituturkan oleh Budiono Kusumohamodjojo:

“Apabila seorang anak ketjil bertanja kepada ibunja: “Bintang itu apa? Siapakah
jang membuat matahari?”, maka dijawab ibunja:” jang membuat semua itu ialah
Pan Ku. Iya seorang manusia jang sakti, jang hidup dalam djaman jang sudah
lama lampau, jaitu ketika bumi, langit dan air masih bertjampur mendjadi satu
dan belum ada matahari dan bulan. Pan Ku berdiri di-tengah2 itu semua dengan
sebuah pahat dan sebuah palu, lalu ia mentjiptakan langit dan memahat bumi. Se-
mentara ia bekerdja, ia mendjadi besar; achirnja ia dapat mengangkat langit untuk
ditempatkan ditempatnja dan untuk membentangkan bumi. Tangan kiri memegang
matahari dan tangan kanan memegang bulan. Sesudah semua ini selesai dengan
teratur dan tertib, maka matilah Pan Ku; tetapi kematiannja itu bahkan menjem-

4 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

purnakan pekerdjaannja. Kepalanja mendjadi gunung, napasnja mendjadi angin
dan awan, suarannja mendjadi guntur, darahnja mendjadi sungai dan dagingnja
mendjadi tanah; tulangnja mendjadi batu dan sumsum tulangnja mendjadi logam
dan batu permata jang berharga dan tersimpan dalam gunung batu itu.”2

Bagi orang Tionghoa kuno, lanjut Budiono Kusumohamodjojo (2010), alam semesta sebagaimana
yang kerap disebut sebagai kosmos oleh orang Yunani adalah keseluruhan yang terdiri atas langit,
bumi, dan segala yang ada disekitarnya, dan berlangsung dalam ritme yang tidak sembarangan.

Sementara itu Aimee Dawis (2010:81) menuturkan bahwa bagi seseorang yang tidak akrab
de­n­gan Indonesia, Indonesia Tionghoa mungkin terlihat sebagai masyarakat yang seragam.
M­eminjam Tan (1991), Aimee Dawis mengamati kenyataan bahwa para sarjana yang mempela-
jari tentang etnik Tionghoa masih cenderung memperlakukan mereka sebagai etnik yang ber-
corak tunggal (monolitik) dengan menyebut mereka “Tionghoa” atau “Tionghoa perantauan.” Ia
memperhatikan bahwa di Indonesia kecenderungan ini jelas terlihat diantara penduduk mayori-
tas dalam pe­nggunaan istilah orang Cina, orang Tionghoa, bahkan Hoakiau. Menurut Tan, istilah
Orang Cina dan Orang Tionghoa adalah istilah bahasa Indonesia untuk “orang Tionghoa” semen-
tara Hoakiau adalah istilah bahasa Tionghoa (Hokkien) yang berarti “orang Tinghoa perantauan.”
Penggunaan istilah Hoakiau yang mengacu kepada orang Indonesia Tionghoa mungkin terkesan
sebagai c­erminan sikap mental pendatang, atau “tamu,” oleh masyarakat luas. Istilah Cina atau
Cino dalam bahasa Jawa, masih mengandung makna merendahkan, khususnya di Jawa. Di masa
lalu istilah ini menyiratkan penghinaan bagi orang Tionghoa. Inilah sebabnya mengapa orang
Indonesia Tionghoa khususnya generasi tua lebih suka disebut orang Tionghoa ketimbang orang
Cina.3

Pembahasan di atas mengenai totok dan peranakan, dijelaskan lebih lanjut oleh Aimee Dawis
hanya melukiskan gambar kecil tentang rumitnya keragaman masyarakat Indonesia Tionghoa,
karena tidak semua orang Indonesia Tionghoa masuk ke dalam kategori totok dan peranakan.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Suryadinata (2004), konsep totok dan peranakan sudah usang
karena tidak lagi memadai untuk menjelaskan tentang perkembangan masyarakat Tionghoa di­
tiga atau empat dasawarsa belakangan ini.4

Dalam hal kesejarahan para sarjana banyak menggali prihal asal-usul Tionghoa. Salah seorang
sarjana yang pandangannya layak dicatat adalah Gondomono. Ia mencatat bahwa pada awal abad
ke-15 (1409) dalam salah satu pelayarannya ke Asia Tenggara, Laksamana Zheng He (Cheng
Ho)5 berhadapan dengan perompak dari Tiongkok selatan yang membuat basis operasinya se­ kitar
Palembang. Zheng He bisa menangkap kepala perompak itu, seorang Tionghoa bernama Chen
Zuyi (Groeneveldt, 1880), lalu dibawa pulang untuk dipersembahkan kepada sang kaisar. Anak
buah perompak yang sempat melarikan diri ke hutan Sumatra tidak berani muncul lagi karena
mengetahui Zheng He dan armada yang sangat kuat itu mondar-mandir di lautan antara Su­ ­
matra, Jawa, dan Kalimantan. Para perompak yang lari ke hutan juga lenyap dalam sejarah
karena diduga mereka berbaur sama sekali dengan penduduk setempat dan meninggalkan jati
dirinya sebagai orang Tionghoa.6

Pembauran ini dalam konteks sejarah sosial adalah asimilasi. Asimilasi apapun latar belakang-
nya, baik atas nama penyesuaian dua kebutuhan yang sama, maupun atas nama penyelamatan
hal tertentu di satu pihak dan perlindungan tertentu di pihak lain, keduanya berlangsung dalam

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 5

proses yang harmonis. Dua budaya yang bertemu dalam satu budaya “baru” tentu saja akan
memberi keuntungan bagi kedua budaya tersebut.

Rumusan kebudayaan sebagaimana yang disimpulkan Gondomono: segala sesuatu yang
d­ it­­­eruskan atau diwariskan dari satu orang kepada yang lain sebagai anggota masyarakat, den-
gan cara diajarkan, disuruh (atau tidak disuruh) menirukan, diberi contoh atau teladan, tetapi
bu­ kan sesuatu yang diteruskan atau diwariskan secara genetik. Oleh karena itu bentuk dan warna
r­a­mbut, lurus, ikal, keriting, pirang, hitam, warna kulit, coklat, kuning, bentuk mata, hidung,
tel­inga, bentuk tubuh—pendek kata semua ciri ragawi yang diperoleh seseorang dari ayah atau
ibunya dengan ciri-ciri fisik seperti itu (walaupun tidak tepat sama dan serupa)—bukanlah kebu-
dayaan. Pada pihak lain, penggunaan bahasa, cara makan, selera dan cara masak, cara duduk,
cara batuk, sopan santun, tutur sapa, tata nilai, keyakinan religius, pandangan hidup, pandangan
dunia, keinginan, ilmu pengetahuan, keterampilan dan sebagainya yang diiperoleh seseorang
dengan cara melihat, memperhatikan, meniru atau belajar dari orang lain, adalah kebudayaan.
Orang lain itu bisa ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, adik, kerabat jauh, teman, tetangga, guru,
pendeta, dokter, pemimpin politik, raja, dan sebagainya.7

Gondomono juga mencatan bahwa proses asimilasi serupa juga terjadi setelah peristiwa pem-
bantaian ribuan orang Tionghoa oleh pemerintah VOC di Batavia pada tahun 1740. Mereka yang
berhasil lolos dari kejaran pasukan Belanda menyingkir ke Banten, Jawa Barat, bagian-bagian lain
dari pulau Jawa dan berbaur dengan penduduk setempat. Kelompok yang ketiga inipun lenyap
dari catatan sejarah sebagai orang Tionghoa kerena mereka telah mengambil jati diri sebagai
orang setempat. Berbeda dengan asimilasi ketiga kelompok tersebut di atas, sejak abad ke-17
dan seterusnya, kata Gondomono, keturunan para imigran dari Tiongkok Selatan yang meni-
kah dengan perempuan Jawa, setelah beberapa generasi, seperti telah disinggung sebelumnya,
j­ustru menciptakan komunitas tersendiri yang, seperti ciri ragawi yang campuran itu, membentuk
ma­ syarakat dan mengembangkan kebudayaan yang juga campuran. Namun, sistem kekerabatan
masyarakat “campuran” ini masih bercorak patrilinear sehingga keturunan mereka disebut dan
menganggap diri mereka Tionghoa—walaupun ada sedikit yang mengikuti sistem kekerabatan
bilineal-dari pihak ayah dan ibu.

Di Indonesia kebudayaan Tionghoa yang dalam sejarahnya dan keberadaannya kini terbilang
sangat penting karena kontribusinya terhadap kebudayaan Indonesia tersebar dalam berbagai
sektor. Dalam catatan Irwan Julinto (2009) kebudayaan Tionghoa di indonesia beragam jenis-
nya, mulai dari kuliner, obat-obatan, busana, dekorasi, seni hias, drama, film, perabot, arsitektur,
rokok, sastra hingga pers. Semua ini memberi kontribusi yang besar terhadap kebudayaan indo-
nesia. Sementara itu di Bali kebudayaan Tionghoa yang mempunyai kontribusi penting terhadap
kebudayaan Bali tersebardalam berbagai ‘cabang’ atau disiplin budaya. Made Sulistyawati (2008)
mencatat hasil penelitian sejumlah sarjana Bali tentang kebudayaan Tionghoa meliputi arsitektur
hingga seni sastra dan pertunjukkan.

Made Sulistyawati mencatat berdasarkan bukti-bukti peninggalan sejarah dan purbakala yang
ditemukan di daerah Bali, ia sampai pada kesimpulan, bahwa terdapat pengaruh budaya Tiong-
hoa terhadap unsur-unsur budaya Bali seperti: pada seni tari didapatkan jenis tarian Baris Cina,
Barong Landung; pada seni pahat didapat bentuk patra Cina; pada pura-pura di Bali didapatkan
bentuk Palinggih yang bernama Ratu Subandar. Bukti yang lain adalah pemakaian uang kepeng
(pipis bolong) dalam upacara keagamaan disamping sebagai alat pembayaran pada kerajaan

6 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

di Bali. Pengaruh kebudayaan tersebut dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan para pendeta
Budha dalam rangka ziarah ke tempat suci Budha di Nalanda, yang dimulai sekitar tahun 600
Masehi. Unsur-unsur kebudayaan Tionghoa yang berkembang di Bali, sudah jelas memperkaya
kebudayaan Bali, sama halnya dengan kedatangan pengaruh budaya Hindu pada abad ke-empat
Masehi. Sudah menjadi karakter kebudayaan Bali dalam menerima pengaruh budaya luar selalu
terbuka, luwes, tetapi disertai dengan kemampuan selektif dan adaptatif tanpa kehilangan ke-
pribadiannya.8

Lalu bagaimana di Singaraja. Serupa apakah kebudayaan Tionghoa tumbuh dan berkembang
memberi kontribusi terhadap kebudayaan Bali? Juga kebalikannya: serupa apakah kontribusi ke-
budayaan Bali terhadap kebudayaan Tionghoa? Jawaban ini coba diajukan dalam bentuk pameran
seni rupa dengan tajuk ‘kilin’ ini.

Tentang Pameran Ini

Pameran ini adalah pameran dengan kurasi by research. Disebut by research karena proses
kurasinya berawal dari sebuah riset. Kami tertarik terhadap kebudayaan Tionghoa di Singara-
ja. Awalnya hanya ketertarikan itulah yang menjadi dasar kami untuk melakukan riset sebagai
titik berangkat menuju kesebuah perhelatan yang bernama pameran. Sebuah riset untuk se-
buah pa­ meran tentu saja mempunyai banyak kesamaan dengan sebuah riset dalam kegiatan il­­
miah. Bedanya hanya bentuk laporan akhirnya saja. Sebuah riset dalam kegiatan ilmiah laporan
a­khirnya adalah laporan penelitian berupa teks ilmiah yang kemudian dihadirkan dalam keg­ iatan
ilmiah berupa seminar, simposium atau pertemuan ilmiah lainnya; bentuk pertemuan ilmiah
ini adalah pertanggungjawaban peneliti kehadapan publik akademik—sebuah penelitian, sudah
ba­ rang tentu mengharuskan si peneliti untuk mempertanggungjawabkan temuannya kehadapan
publik akademik dalam bentuk pertemuan ilmiah tadi.

Sementara itu, sebuah pameran yang berformat by research memiliki kesamaan dengan peneli-
tian ilmiah mulai dari penentuan rumusan masalah, kajian teori, teknik pengumpulan data, dan
pengolahan data. Bedanya hanya terletak pada laporan akhirnya saja. Pameran by research lapo-
ran akhirnya adalah sebuah pameran dengan perangkatnya berupa esai kuratorial dan walltext,
dan penentuan display.

Dalam pameran ini, kami melakukan riset tentang kubudayaan Tionghoa Singaraja yang memberi
kontribusi terhadap kebudayaan Bali, dan sebaliknya kebudayaan Bali yang memberi kontribusi
terhadap kebudayaan Tionghoa. Ingin diketahui serupa apa sajakah kontribusi tersebut, maka
berdasarkan itulah kami terjun ke lapangan mengumpulkan data melalui teknik wawancara, ob-
servasi, kepustakaan, dokumentasi, dan life history.

Data yang berhasil kami kumpulkan kemudian diolah dengan model Miles dan Huberman. Hasil-
nya disajaikan dalam bentuk abstrak kuratorial. Abstak kuratorial ini kemudian dipresentasikan
kehadapan para perupa calon peserta pameran ini. Abstrak kuratorial ini terdiri dari sejumlah esai
dan kemungkinan perwujudan perupaannya. Secara teknis kemungkinan perwujudan perupaan
ini didiskusikan bersama para perupa calon peserta pameran ini. Para perupa secara perorangan
atau secara berkelompok kemudian mewujudkan gagasan kekaryaan dalam bentuk karya seni
rupa dua dimensi dan tiga dimensi. Karya ini bersama kelengkapan pameran lainnya seperti esai
kuratorial dalam bentuk katalog dan walltext kemudian dipemerkan di Museum Neka Ubud. Inilah
bentuk laporan akhir dari sebuah pameran by research.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 7

Pemeran ini diberi tajuk “kilin”. Nama ini diambil dari salah satu artefak kebudayaan Tionghoa
yang bukan hanya penting, tetapi juga unik dan menarik. Diharapkan istilah “kilin” dapat mewaki-
li keseluruhan konsep dan perwujudan kebudayaan Tionghoa Singaraja dalam pameran ini. Se­
bagai tema, “kilin” kemudian dipecah ke dalam empat sub tema lain yang masing-masing adalah
‘spiritualitas dan religiolitas’, ‘artefak dan jejak-jejak’, ‘cerita dan wacana’, dan ‘potret dan tokoh’.
Empat sub tema ini diharapkan bisa merangkum keseluruhan praktik budaya Tionghoa Singaraja.

Spiritualitas dan Religiositas memperlihatkan bagaimana hubungan vertikal masyarakat Tio­
nghoa Singaraja yang dalam praktiknya sekaligus menjalani hubungan horizontal. Beragam sa­ rana
pendukung kegiatan religi misalnya adalah hasil respon yang adaptif terhadap budaya s­etempat
(Singaraja). Karya in secara terbuka memerlihatkan kontribusi budaya Singaraja terh­ adap bud­ aya
Tionghoa. Dalam perwujudannya, kami menghadirkan karya kerja kelompok gabungan berupa
sebuah karya seni rupa dua dimensi dengan ukuran sangat besar (lebih dari 10 m) yang terdiri
dari ratusan panel gambar. Secara konviguratif karya ini samar-samar memperlihatkan siluet
kelenteng Singaraja yang dalam aransemennya terdiri dari bergam teknik atau genre seni rupa:
lukis, drawing, grafis, fotografi, patung, kriya logam, kriya kayu, kriya tekstil, dan kriya keramik.
Beberapa panel inset dengan tema serupa disisipkan pada konvigurasi itu. Insert-insert ini sema-
cam penegas atau kutipan ihwal pembacaan kami tentang spiritualitas dan religiositas Tionghoa
Singaraja. Uraian lebih mendalam tentang hal ini, lihat esai “Spiritualitas dan Religiositas” yang
ditulis oleh Dewa Gede Purwita.

Karya ini bersumber dari riset Dewa Gede Purwita tentang spiritualitas dan religiositas Tionghoa
Singaraja, fokusnya tentang kontribusinya terhadap kebudayaan Bali juga kebalikannya; kon-
tribusi kebudayaan Bali terhadap spiritualitas dan religiositas Tionghoa Singaraja. Setelah me­
nemukan sejumlah tanda budaya yang unik dan penting, Dewa Gede Purwita lalu mendisplaynya
melalui susunan narasi visual dengan cara baca acak—ini mirip dengan cara display data dalam
proses pengolahan data model Milles dan Haberman—dari kiri kekanan, dari kananan ke kiri, atau
dari atas ke baweh dan dari bawa ke atas, acak tak beraturan, atau tersebar atertib. Display data
ini kemudian direduksi berdasarkan kebutuhan representasi serta kemungkinan perwujudannya.
Hasilnya adalah sejumlah alternatif bakal karya sebagai bentuk awal yang terbayangkan. Bentuk
awal ‘dirancang’ oleh Dewa Gede Purwita sendiri berdasarkan display data dan diskusi dengan tim
riset. Bentuk awal ini kemudian dipresentasikan kepada para perupa. Berpedoman pada bentuk
awal dan kemungkinan ekslorasi visualnya, eksekusi dilakukan dengan pendekatan ‘kerja kelom-
pok gabungan’. Kelompok perupa yang bekerja dalam subtema ini dipimpin oleh Wayan Sudiarta
dengan anggota sejumlah mahasiswa yang sedang dan telah menyelesaikan Tugas Akhir. Bebera-
pa alumni dan dosen Jurusan Pendidikan Seni Rupa mengisi karya kolektif ini dalam bentuk inset
tadi. Inilah karya ‘kerja kelompok gabungan’ yang dalam dunia pendidikan seni sering dipraktikan
untuk memupuk kesadaran kerja tim, pemahaman karakter individu, dan nilai-nilai sosial lainnya.

Artefak dan jejak-jejak diwakili oleh satu sosok penting, mahluk mitologis, kilin. Hasil riset I
Ketut Wisana Ariyanto sesungguhnya mencatat puluhan artefak budaya visual masyarakat Tiong-
hoa Singaraja yang secara kategori bisa dipecah menjadi artefak yang berfungsi untuk kebutuhan
vertikal dengan Yang Maha Tinggi dan artefak yang berfungsi juga sebagai garis penghubung
secara horizontal dengan sesama mahluk Sang Pencipta. Dipilihnya kilin sebagai wakil puluhan
artefak tersebut bertimbang pada nilai dan makna kilin itu sendiri dalam kebudayaan Tionghoa
Singaraja. Alasan lengkapnya lihat esai “Artefak” yg ditulis I Ketut Wisana Ariyanto.

8 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Ada alasan yang layak dikemukakan dalam esai ini ihwal mengapa dipilihnya kemungkinanan
visual repetitif. Pertama, sifat repetitif bisa melahirkan kesan kekhusukan karena perulangan-
nya. Semacam mantra, doa, atau zikir yang setiap saat selalu diucapkan dengan teks dan cara
yang sama. Kedua, dipilihnya material gerabah bertimbang pada kemungkinan rasa apresiasi
yang dimunculkan oleh karakter bahan. Gerabah yang adalah tanah bisa berkonotasi sebagai
bumi, tempat lahir, tempat tumbuh, juga tempat kembali. Niatan yang kami usung adalah nilai
dialogisme masyarakat Tionghoa dengan bumi Singaraja. Adanya kesamaan visual gestural kilin
dengan Singa Ambara Raja (yang lambang kabupaten Buleleng itu) adalah dialogisme itu. Bisa
diduga bahwa dalam sosok Singa Ambara Raja itu ada rembesan teks kilin yang beradu manis
de­ngan sang singa.9

Setelah pengumpulan data di lapangan, I Ketut Wisana Ariyanto kemudian mendisplaynya secara
acak. Apa yang terdislay didiskusikan bersama tim riset lain yang bertugas meriset sub tema lain.
Sejumlah temuan tim riset lain didistribusikan kepada I Ketut Wisana Ariyanto. Pengolahan data
sampailah pada reduksi data. Data yang dianggap sangat mewakili kontribusi ulang-alik kebu-
dayaan Tionghoa Singaraja ke kebudayaan Bali atau kebalikannya disisihkan sebagai bahan dasar
kekaryaan. Kumpulan teks visual ini kemudian disodorkan kepada para perupa keramik yang di­
pimpin oleh Luh Suartini dan I Gusti Ngurah Edi Basudewa. Bersama timnya, terutama ketekunan
Ni Luh Gede Dewi Suputri, kemudian Luh Suartini dan I Gusti Ngurah Edi Basudewa merancang
sejumlah alternatif bentuk dan ukuran. Semula dirancang untuk karya repetitip dengan edisi
se­kitar 100 pc. Tentu karya yang akan ditempatkan dalam satu ruang ini harus dubuat dengan
ukuran relatif kecil, tidak lebih dari satu jengkal. Karena dipilihnya bahan/medium tanah gerabah
maka ukuran itu sulit dicapai. Akhirnya menemukan jalan pemecahan menjadi berukuran sedang,
sekitar 3 jengkal. Resikonya kemudian adalah teknik cetak tekan dan pengedisiannya. Maka
dipilihlah 8 edisi saja dengan pertimbangan makna angka tersebut bagi kebudayaan Tionghoa.
Sebuah angka yang sangat bermakna. Hasil riset I Ketut Wisana Ariyanto ini dihadirkan serupa
dialogisme yang memerlihatkan saling terjadinya rembesan teks kilin dengan Singa Ambara Raja.

Cerita dan Wacana tentulah tentang teks sastra Tionghoa atau tentang kebudayaan Tionghoa
dalam sastra Bali. Kontribusi kebudayaan Tionghoa terhadap satra Bali seperti juga yang terjadi
dalam sastra Indonesia, sangat berperan terhadap keragaman bahasa ungkap dan tema-tema
sastra. Kendatipun kami tidak menemukan semacan genre sastra Tionghoa (di) Singaraja, riset
kami menemukan teks sastra lisan dan teks sastra pertunjukan berbahasa Bali yang telah lama
menjadi bagian dari identitas atau kosa cerita sastra pertunjukan. Ini menarik karena kontribusi
kebudayaaan Tionghoa ini telah mengukuhkan drama gong Banyuning misalnya, menjadi sangat
populer pada masanya, antara lain, karena kisah Sampek Eng Tay.

Sebagai sebuah teks sastra, maka kami punya alasan yang terbilang penting dalam pilihan b­entuk,
genre, dan cara representasi tafsir kami terhadap hasil riset teks sastra itu. Kami memilih per­
wujudan prasi. Prasi adalah sebuah genre seni rupa tradisional yang di Indonesia hanya dim­ i­liki
oleh Bali. Inilah salah satu harta paling berharga dalam seni rupa Bali (baca Indonesia). Prasi
yang secara apresiatif menghendaki kedekatan dan keakraban antara apresian dengan fisik prasi
itu sendiri dengan jalan apresian bersentuhan langsung dengan fisik prasi juga menjadi alasan
dasar wacana (diskursus) dalam pemerolehan pengakuan prasi sebagai kemungkinan salah satu
genre seni rupa Indonesia. Itu pula sebabnya mengapa I Made Susanta Dwitanaya yang melaku-
kan riset tentang sub tema ini kemudian merancang kemungkinan perwujudannya. Secara visual
rancangan I Made Susanta Dwitanaya tetap mengacu dan mempertahan konvensi prasi. Dalam

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 9

hal cerita saja yang berbeda. Cerita diambil dari cerita yang tersebar secara lisan atau dalam
bentuk kitab. I Made Susanta Dwitanaya kemudian menceriterakan ulang melalui alternatif pe­
nuturan panel. Tim prasi yang dipimpin I Wayan Sudiarta kemudian melakukan semacam penceri-
taan kembali melalui pilihan penggambaran berpanel dengan bahasa pokok bentuk garis. Tim
prasi ini, seperti tim gerabah kilin memlih kerja kolektif model ‘kerja kelompok campuran’ dimana
karakter individu dilebur ke dalam karakter kelompok. Dalam model kerja ini setiap individu harus
melenyapkan egosentrisnya: aku menjadi kami.

Reresentasi prasi yang dipilih juga bertimbang pada cara konvensional menikmati prasi. Cara ba-
canya, juga diharapkan dilakukan apresian secara konvensional pula. Itu sebabnya ‘ruang cerita’
ini dihadirkan dalam tata display yang ber-Bali-bali. Bukan bermaksud mem-Bali-bali-kan Bali
seperti pandangan orientalisme, tapi ini adalah masalah pilihan bahasa visual Bali yang secara
ideologis sedang kami pertarungkan untuk bisa diterima di panggung seni rupa Indonesia. Semo-
ga.

Potret dan Tokoh bercerita tentang beberapa orang Tionghoa Singaraja yang telah dan sedang
memberikan kontribusinya terhadap Singaraja, Bali, bahkan Indonesia. Mereka adalah teladan
atas ketekunan mendalami profesinya hingga bukan saja nama mereka yang besar, tetapi juga
nama Singaraja, Bali, bahkan Indonesia ikut diangkatnya. Bidang keahlian mereka beragam mu-
lai dari kuliner, spiritual-ritual, olah raga, hingga fotografi. Kalau kemudian, sekadar menyebut
contoh, misalnya orang menyebut Singaraja maka ingatannya terkunci pada siobak, itu tak lain
karena ada tokoh peramu kuliner Tionghoa di baliknya.

‘Potret’ sebagaimana maknanya dalam konteks seni bukan sekadar gambaran kemiripan wajah
tetapi yg lebih penting dari itu adalah gambaran jiwa si pemilik wajah. Dengan melihat lukisan
potret maka terbaca gambaran jiwa si pemilik wajah tadi. Sedangkan makna kata ‘tokoh’ adalah
orang terkemuka atau kanamaaan. Jelas potret yang tercover dalam sub tema ini adalah ­t­a­mpang
rupa dan jiwa orang kenamaan dari Tionghoa Singaraja. Sesungguhnya jumlah tokoh Tionghoa
Singaraja yang layak masuk sub tema pameran ini lebih banyak dari yang disajikan dalam pam-
eran ini. Panca Gautama yang meriset potret dan tokoh Tionghoa mencatat betapa banyak orang
Tionghoa Singaraja yang telah memberikan kontribusinya terhadap Bali dan Indonesia. Tetapi,
sebagai mana keterbatasan riset dan terutama kemungkinan penyajian hasilnya, maka terpaksa
ada reduksi data yang ketat dalam proses pelaporannya. Tokoh-tokoh yang disajikan dalam pa-
meran inilah yang kemudian terpilih dengan berbagai alasan teknis belaka. Kami misalnya men-
emukan anak muda kreatif di Bandung yang mumpuni membuat game. Ia orang Tionghoa kelahi-
ran Singaraja. Kami juga menemukan anak muda berbakat dalam bidang sain. Dan banyak lagi.
Ya keterbatasan teknik pelaporan riset dan terutama kemungkinan penyajian dalam pameran
inilah yang membuat kami harus tega memangkas jumlah.

Di luar teknis, ada yang layak kami kemukakan, bahwa hasil riset Panca Gautama ini menyang-
kut juga profesi yang ditekuni para tokoh ini tentu. Itu sebabnya catatan berupa artefak, ling-
kungan fisik, lingkungan budaya, dan hal-hal lain yang bertalian dengan keprofesian dan kon-
tribusinya terhadap Bali atau Indonesia dihadirkan dalam rangkaian rupa potret yang benama
esai visual. Sebagai mana esai, esai visual ini adalah ihwal fenomena dengan catatan dan opini
penulisnya(dalam hal pameran ini adalah perupa) yang bersifat subjektif. Dibawah arahan I Gusti
Nengah Sura Ardana dan Nyoman ‘Polenk’ Rediasa, sejumlah alumni dan mahasiswa yang me-
nyukai genre seni lukis potret ini dilibatkan dalam eksekusi visual potret dan tokoh ini. Karya ini

10 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

kemudian dibaca oleh I Made Susanta Dwitanaya dengan keluasan tafsir pembacaan yang berpi-
jak pada teori intertekstualitasnya Julia Kriteva.

Begitulah sebuah pameran yang konsep kurasinya by research. Pameran ini tentu belum sempur-
na dalam hal riset (penentuan rumusan masalah, pengumpulan data, dan pengolahan data) dan
penyajian hasil akhirnya (karya, display, esai kuratorial, dan walltext), meminjam rasa minder
orang Timur: ‘tak ada gading yang tak retak’, kami pakai sekadar alasan untuk tidak mengatakan:
‘kerja kami belum beres’. []

Hardiman

kurator dan dosen seni rupa Undiksha

CATATAN:
1 Adrian Wenzel. 2010. Ong Tien dalam Cinta Susuhunan Gunung Jati. Malang: Pustaka Kaiswaran
2 Budiono Kusumohamodjojo. 2010. Sejarah Filsafat Tiongkok. Yogyakarta: Jalasutra
3 Aimee Dawis, 2010. Orang Indonesia Tionghoa: mencari Identitas. Jakarta: PT. Garmedia
Pustaka Utama.
4 Ibid.
5 Salah satu kitab yang menarik ihwal Cheng Ho adalahTan Ta Sen, 2010. Cheng Ho: Penyebaran
Islam dari China ke Nusantara. Jakarta: Kompas penerbit Buku.
6 Gondomono “Masyarakat dan Kebudayaan Peranakan Tionghoa”dalam Al. Heru Kustara (ed.),
2009. Peranakan Tionghoa Indonesia Sebuah Perjalanan Budaya. Jakarta: PT Intisari Mediatama
dan Komunitas - Lintas Budaya Indonesia.
7 Ibid
8 Prof. Dr. Ir. Sulistyawati, MS. “Prakata Editor”, 2008. Integrasi Budaya Tionghoa ke dalam Bu-
daya Bali (Sebuah Bunga Rampai). Denpasar: Universitas Udayana.
9 Lihan konsep dialogisme sebagaimana digagas Mikhail Bakhtin. Bacaan tentang ini lihat Tzve
Todorov,2012. Dasar-Dasar Intertekstualitas: Pergulatan Mikhail Bakhtin Menuju Teori Sastra
Terpadu. Denpasar: Bali MediaAdhikarsa

HARDIMAN

Lahir 7 Mei 1957 di Garut, Jawa Barat. Lulusan Jurusan Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan IKIP (kini UPI) Bandung
dan Magister Kajian Budaya Unud Denpasar.Kini sedang menempuh program Doktor (S3) di Kajian Budaya Unud Den-
pasar. Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Pendidikan Ganesha, Bali. Penulis seni rupa dan kurator
independen. Tulisannya dipublikasikan di Kompas, Visual Art, Media Indonesia, Gatra, Gong, dan sejumlah jurnal. Salah
seorang penulis buku Modern Indonesian Art: From Raden Saleh to the Present Day (2010), dan Wacana Khatulistiwa:
Bunga Rampai Kuratorial Galeri Nasional Indonesia 1999-2011(2011). Esai-esai kuratorialnya dikumpulkan dalam
Eksplo(ra)si Esai-Esai Kuratorial (2015). Karya kurasinya antara lain Pameran Indonesia Contemporary Drawing
(2009), My: Body: Perempuan Kontemporer Indonesia (2009) Irisan: Seni Patung Kontemporer Indonesia (2011), dan
sejumlah pameran tunggal perupa Indonesia di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.

Selain sebagai penulis dan kurator seni rupa, Hardiman pernah menekuni fotografi, teater, seni lukis, dan penulisan puisi.
Pamerannya antara lain Pameran Seniman Muda Indonesia di TIM Jakarta, Pameran Berdua di Aliance Prancaise Band-
ung, Pameran Bertiga di Andi’s Gallery Jakarta, Pameran Tunggal di Galeri Bandung, dll. Karya drawingnya digunakan
sebagai gambar sampul dan ilustrasi sejumlah buku sastra, sosial, dan politik oleh sejumlah penerbit, beberapa buah
dimuat di Kompas sebagai ilustrasi cerpen. Buku puisinya Yang Tujuh Ini (antologi tujuh penyair IKIP Bandung), dan
Peta Lintas Batas (bersama Sunaryono Basuki Ks dan Dinullah Rayes). []

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 11

KLENTENG:

Ruang Religi, Orientasi Spiritual dan Mutualisme Kebudayaan Tionghoa Singaraja

Oleh Dewa Gede Purwita

Kehadiran masyarakat Tionghoa di Bali yang kemudian menjadi kelompok etnis dan cukup
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Bali umumnya dan Singaraja khususnya, sangat
menarik bila ditinjau dari sisi religi-spiritualitas. Hal yang paling menonjol adalah penggunaan
uang kepeng (pis bolong) dan kehadiran barong landung (Jero Gede dan Jero Eluh), dua hal ini
menunjukan bahwa pengaruh kebudayaan Cina yang kemudian turut menjadi sesuatu yang kuat
melekat dalam kehidupan religi masyarakat Bali.

Peradaban pesisir pada masa kerajaan nampaknya banyak menguntungkan wilayah kera-
jaan yang dihuni oleh orang-orang Cina. Sebagai etnis yang berasal dari luar wilayah Nusantara pada
awalnya mereka membentuk pemukiman-pemukiman kecil (berkembang menjadi komunitas besar
setelahnya), hal ini jauh terjadi sebelum kedatangan orang-orang Eropa dan berkembang menjadi
bandar-bandar perdagangan di pesisir pantai wilayah Nusantara termasuk di pesisir Singaraja.
Sebelum bernama Singaraja bahkan Buleleng, catatan mengenai hadirnya Cina di Lor Adri
pada jaman batu dapat dilacak dari penemuan cermin dari Cina yang berasal dari Di­nasti
Han (awal abad 1 Masehi) dalam sakrofagus yang ditemukan di Desa Pangkung Paruk. Pada
masa berikutnya, I Gede Pasekan di Den Bukit dikenal dengan peristiwa Dempu Awang
y­aitu terdamparnya sebuah Jung Cina atau perahu Cina milik Dempu Awang atau Kiai Dam-
pu Awang di Pantai Segara Penimbangan seperti yang dikisahkan dalam babad Buleleng.
Beberapa narasi singkat di atas menunjukan bahwa kehidupan spiritual masyarakat Bali, Singa-
raja khususnya memiliki pertautan yang erat dengan masyarakat Cina tidak hanya dalam perda-
gangan akan tetapi dengan kebudayaannya. Kultur Cina yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa
ke Bali Utara melalui pesisir kemudian menyebar juga ke seluruh Bali.

Sebagaimana sejarah yang tercatat, Buleleng dengan Raja Panji Sakti pada abad ke-
17 telah membuka dua pelabuhan besar dan penting di Bali Utara yaitu di Sangsit dan Pabean
, melalui pelabuhan sebagai media transit pedagang dan mempertemukan pribu-
mi dengan masyarakat luar, nampaknya memberikan kesempatan adanya interak-
si sosial serta perkenalan kebudayaan asing. Terlebih, masyarakat asing tersebut mene-
tap di sekitar pelabuhan. Tahun 1873 di pelabuhan Pabean ini didirikan tempat Ibadat
Tridharma (Taoisme, Confucianisme, Buddhisme) bernama Ling Gwan Kiong. Melalui klenteng
ini penelusuran mengenai adanya mutualisme kebudayaan masyarakat Tionghoa di Singaraja
dapat ditelusuri, selain itu pengaruhnya bagi kehidupan religi maupun hasil perpaduannya yang
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Bali Utara dapat ditelisik.

Klenteng bagi kehidupan religius masyarakat Tionghoa di Singaraja adalah pusat dari
kehidupan spiritual, dalam kesehariannya komunitas ini terfokus pada altar-altar priba-
di yang selalu hadir di dalam rumah-rumah penduduk Tionghoa dilengkapi dengan segala
persembahan yang ditujukan kepada para dewa pujaan utama maupun leluhur. Dalam pro­
sesi akhir kehidupan yaitu kematian, orientasi ritualnya terfokus pada kompleks makam
Cina di Banyuasri, Singaraja yang lengkap dengan tempat pemujaan kepada Prajapati.

12 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Tata cara persembahyangan masyarakat Tionghoa di Singaraja cukup unik karena selain bersem-
bahyang dengan dupa (Hio dalam bahasa Tionghoa), mereka juga mempergunakan canang yang
sering dipakai oleh masyarakat Hindu Bali.

Gambar 1: Perayaan Imlek di Ling Gwan Kiong, Singaraja
Foto: Dewa Gede Purwita

Tata cara sembahyang dimulai dari luar pintu menghadap ke dalam ruang klenteng, kemu-
dian kepada dewa penjaga pintu di kiri dan kanan barulah masuk ke ruangan klenteng, setelah di
dalam pun terdapat beberapa titik persembahyangan sebelum menuju kepada dewa-dewi mau-
pun dewa utama, hal ini nampaknya cukup mirip dengan apa yang dilakukan oleh masyarkat
Hindu Bali, pola pelinggih panggungan dan pengapit lawang sebelum menuju jeroan pura, kemu-
dian beberapa ritual kepada pertiwi dan mahkluk bhuta setelah itu baru kepada bhetara-bhetari
maupun Tuhan.

Dalam Komunitas Tionghoa Singaraja khususnya di Ling Gwan Kiong memiliki Dewa-Dewi
yang memiliki fungsi mirip dengan apa yang dipercayai Hindu-Bali. Tian Gong (Tuhan Yang Maha
Esa / Sang Hyang Widhi Wasa), Men Shen (Pengapit Lawang), Wen Chang Ti Jun (Dewa Sastra
/ Dewi Saraswati), Tiang Shang Sheng Mu (Dewa Samudra / Bhatara Baruna), Fu De Zheng
Shen (Dewa Bumi / Dewi Pertiwi), Guan Di Jun (Dewa Keadilan / di Hindu Universal sering di-
lambangkan dengan Ganesha / Ganapati), Zao Jun Gong (Dewa Dapur / Bhatara Brahma), Fu Lu
Shou (Dewa pemberi rejeki, penentu pahala, penentu usia / Bhetara Sri Rambut Sedana). Selain
beberapa dewa-dewi tersebut masih ada beberapa nama-nama dewa-dewi pujaan yang khusus
seperti Dewi Kwam In dalam Buddhis sering disebut sebagai Sang Boddhisatva. Sebagian besar
dalam klenteng ini memuja dewa-dewi dari Agama Tao, satu dewa dari Agama Buddha dan dua
dewa dari Agama Khong Hu Cu (Confucianisme).

Instrumen sembahyang dari masyarakat Tionghoa Singaraja juga mempunyai kesamaan
dengan Hindu Bali, yaitu dupa, kembang/canang, teh, tebu, pisang, arak, buah (pisang, jeruk,
delima, dll), kue (wajik, bi ko, kue mangkok, kue lapis, kwi ku, moho, tuapia). Khusus dalam
pemujaan leluhur sering ditambah dengan arak, nasi, masakan olahan sawi. Dalam persembahy-
angan, biasanya masyarakat Tionghoa sering membakar kertas yang memiliki asosisiasi terha-
dap persembahan rejeki dalam bentuk uang emas dan perak, uang emas ditujukan kepada para
dewa-dewi dan uang perak kepada para leluhur.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 13

Gambar 2: Sarana Ritual Masyarakat Tionghoa di Klenteng Seng Hong Bio, Singaraja
Foto: Dewa Gede Purwita

Hal unik lainnya juga dapat dijumpai di kuburan Cina yang berlokasi di Banyuasri Singa-
raja. Di kompeks kuburannya akan dijumpai beberapa bangunan seperi tempat kremasi dan tem-
pat sembahyang, sering diumpakan serupa Pura Dalem, dindingnya terdapat lukisan naratif yang
bertutur tentang bagaimana roh setelah mati serupa dengan narasi atma prasangsa di Bali. Pada
bagian luar terdapat sebuah pelinggih untuk memuja Prajapati, ini dipercaya oleh masyarakat
Tionghoa di Singaraja yang serta merta mengakui bahwa Bali adalah tanah dengan keunikan dan
kekuatan tersendiri dalam hal spiritualisme sehingga masyarakat Tionghoa Singaraja mengadopsi
juga kepercayaan lokal.

Gambar 3: Pelinggih di Makam Tionghoa Trisuci Banyuasri, Buleleng
Foto: I Ketut Wisana Aryanto

Beberapa ikon-ikon menarik sebagai simbol tersebar pada seluruh bagian klenteng dan
batu nisan di makam, seperti halnya naga (Liong), rusa, singa, burung phoenik, kelelawar, kura-
kura, ikan, tempat arak, makara (monster air). Di Singaraja, Klenteng Ling Gwan Kiong mau-
pun Seng Hong Bio dalam konteks tempat ibadat bagi Tridharma menggabungkan tiga unsur
kepercayaan yang menjadikannya sangat kompleks, semisal Taosime yang lebih menekankan
diri kepada alam, Confucianisme (Konghucu) yang lahir dari peradaban perdagangan yang lebih
condong dengan kehidupan sosial, dan Buddhisme dengan simbol-simbol kebijaksanaannya.

14 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Beberapa hal tersebut adalah narasi singkat mengenai keberadaan masyarakat Tionghoa
di Bali dan khusus di Singaraja dalam bingkai kehidupan religi, bagian-bagian tersebut kemudian
dapat dipilah-pilah kembali menjadi sesuatu yang lebih spesifik dan nantinya dapat ditelusuri le­­
bih dalam. Sejatinya beberapa hal seperti yang dipaparkan di atas mempunyai kemiripan de­ngan
kehidupan spiritual Hindu Bali, entah pada awalnya sama ataukah memang terjadi akulturasi
bu­ daya. Hal ini terjalin begitu erat di antara keduanya (Singaraja-Tionghoa) sehingga membentuk
suatu tatanan baru yang hingga kini tetap kuat hidup di dalam hal paling sensitif dari kehidupan
manusia yaitu spiritualisme.

Kosmologi Religius Spiritualitas Tionghoa Singaraja

Kosmologi dalam sudut pandang spiritualitas erat kaitannya dengan konsep-konsep pe­
nempatan atau mapping ruang dan waktu, setiap kepercayaan ataupun agama sudah tentu me-
miliki kosmologinya tersendiri begitu juga kepercayaan Tionghoa. Tridharma merupakan tiga
kepercayaan yang lebur menjadi satu dengan landasan kebajikan, tiada lain adalah Tao, Confu-
sianisme, dan Buddha. Taoisme dan Confusianisme berbeda karena keduanya merupakan rasion-
alisme atau ekspresi teoritik terhadap aspek-aspek yang berbeda dari kehidupan petani.

Dalam filsafat Cina, petani dianggap sebagai orang atau profesi yang mempunyai kedeka-
tan intim dengan alam, sejarah Cina mencatat kelahiran Tao dan Confucianisme dari profesi ini.
Hakekatnya, penganut Taoisme menegaskan bahwa prestasi tertinggi dalam pengembangan spir-
itual dari seorang manusia bijaksana terletak dalam pengidentifikasian dirinya dengan keseluruhan
alam, yaitu alam semesta. Confucianisme lebih menekankan pada aspek sosial, sistem keluarga
Cina yang terdiri dari lima macam hubungan sosial tradisonal, yaitu hubungan antara raja dengan
rakyat, ayah dengan adik, adik dengan kakak, suami dengan istri, dan sahabat dengan sahabat.
Olehsebabitu,Confucianisme merupakan filsafat organisasi sosial dan dengan demikian iajugaberarti
filsafatkehidupansehari-hari. Confucianisme menekankan tanggung jawab sosial manusia, sedangkan
Taoisme menekankan pada apa yang bersifat alami dan yang bersifat spontan di dalam diri manusia.
Dua kepercayaan ini memeberikan indikasi bagaiamana cepatnya penyesuaian masyarakat Tion-
ghoa dalam berdiaspora, membaca suatu wilayah dan membangun sistem sosial maupun kultural.

Buddhisme adalah satu-satunya pesan religius dan filosofis India yang tersebar luas
melampaui batas-batas anak benua asal-usulnya itu. Setelah menaklukan Asia ke arah utara dan
timur, di wilayah-wilayah yang luas ini Buddhisme mendapat banyak pengikut dan membentuk
peradaban yang berdiri tegak selama berabad-abad. Dalam konstelasi ritual dua Klenteng di pesi-
sir Singaraja yaitu Seng Hong Bio dan Ling Gwan Kiong, pemujaan Buddha lebih ditekankan pada
Dewi Kwam In selaku Boddhisatwa dan Buddha selaku budi atau pencarian kedalam diri. Dari
ketiga ajaran kebaikan tersebut di atas nampaknya ada satu benang merah yang terkait yaitu
mandala dalam kepercayaan Bali dan wujud kosmologi kuno kebudayaan Tiongkok.

Sebagaimana di jabarkan Pratiwo di dalam kosmologi Tiongkok, dunia ini merupakan bujur
sangkar yang terbagi menjadi empat bagian dengan putra surga yakni sang kaisar di tengahnya.
Empat bagian dunia ini diasosiasikan dengan simbol warna, binatang, zat dan musim. Lebih
l­anjut dijelaskan oleh Pratiwo mengenai konsep kosmologi, diterjemahkan ke dalam konsep ru­ ang
u­ntuk pemukiman yang ideal. Konsep atau dasar pemikiran ini biasa disebut dengan Hongsui.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 15

Gambar 4. Empat bagian dunia dalam kosmologi Tiongkok
Sumber: Pratiwo. Arsitektur Tradisional Tionghoa. 2010. Hlm, 21.
Pemukian yang ideal menurut Hongsui adalah di latar belakangi oleh pegunungan atau
perbukitan dan menghadap ke sungai atau laut. Pegunungan atau perbukitan adalah pertahanan
terhadap angin yang dapat membawa pergi semua keberuntungan, sedangkan laut dan sungai
adalah prasarana transportasi bagi orang Tionghoa yang berdagang.1 Serupa dengan kosmologi
Tionghoa tersebut, Bali dalam ritus Siwa-Buddha yang mengenal istilah mandala pun memiliki
orientasi yang serupa. Setiap empat arah mata angin memiliki warna, dewata, unsur, dan kek­ ­
uatannya sehingga pola tata ruang kota (kerajaan) Bali selalu memperhatikan empat penjuru
mata angin untuk menentukan wilayah sakral dan profan. Hal ini berlaku karena kepercayaan
yang serupa bahwa salah dalam menempatkan posisi pemukiman akan menyebabkan bencana
bagi yang tinggal di wilayah itu.
Sebagaimana konsep kosmologi Tionghoa, Klenteng yang terdapat di pesisir pantai Si­
ngaraja pun menganut konsep tersebut. Ling Gwan Kiong maupun Seng Hong Bio dalam tatanan-
nya menghadap ke laut dan membelakangi perbukitan, nampaknya para pendiri terdahulu sudah
memperhitungkan posisi strategis ini, selain itu dua Klenteng ini berdekatan dengan hilir sungai
besar yang menjadi pelabuhan pada masanya.

Gambar 5: Ilustrasi kosmologi Klenteng Ling Gwan Kiong dan Seng Hong Bio, Singaraja
Ilustrasi: Dewa Gede Purwita

16 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Sejatinya, agama tradisional orang Tionghoa bersifat sinkretis. Hal ini berdasarkan pada
turunannya dari perpaduan tiga ajaran yaitu Konfusius, Taoisme dan Buddhisme sehingga sering
disebut sebagai Tri Dharma. Yang paling menonjol dari kehidupan religiusnya adalah penyem­ bahan
terhadap leluhur, serupa dengan pernyataan Pratiwo menyebutkan ritual religius ma­syarakat
Tionghoa yang sebenarnya sangat tua menjadi kepercayaan mereka adalah pemujaan leluhur,
kemudian diperkuat oleh ajaran Konfusius yang patriakhal.2

Kebudayaan ritual masyarakat Tionghoa di Singaraja selalu menempatkan altar pemujaan
di dalam rumah, ada patung dewa-dewi yang diapit dua lilin merah, tersedia juga mangkuk yang
lumrah disebut hio low tempat menaruh dupa (hio). Kepercayaan masyarakat Tionghoa di Singa-
raja dalam tubuh religinya di Ling Gwan Kiong mempercayai Dewa Tertingginya adalah Tian Gong
(Thien Kong atau Tuhan Yang Maha Esa), Tian berarti Langit dan Gong berarti Tuan (penguasa)
adalah penyebutan umat Tionghoa untuk Tuhan,3 hal ini sudah dilakukan oleh para leluhur dari
generasi ke generasi hingga kini dengan berbagai sebutan, tata cara penyembahannya dilakukan
di tempat terbuka dengan dupa yang diacung-acungkan ke langit. Di depan rumah Tionghoa akan
selalu dijumpai sebuah pelinggih (namun hal ini tidaklah mutlak) karena kepercayaan mereka
sudah bersenyawa dengan kebudayaan Bali di Singaraja, kepercayaan adanya penunggu disetiap
rumah atau tempat yang harus dihormati secara spiritual karena roh yang mediami tersebut juga
dianggap akan dapat membantu mereka yang tinggal di pekarangan tersebut.

Realitas Spiritual Tionghoa Singaraja: Sebuah Hasil Asimilasi Kebudayaan

Sebagaimana sinkretisme kebudayaan Tionghoa, Kehidupan spiritual religius di Singaraja
pun terjadi atas sinkretisme dari ragam budaya, hal tersebut dapat dijumpai dalam tata cara
religius yang umum dijumpai di seluruh Bali yaitu pemujaan kuat terhadap leluhur, pemujaan
terhadap Ratu Subandar, maupun penggunaan uang kepeng (Pis bolong) dalam sarana upakara.
Lebih spesifik di beberapa tempat di Singaraja menunjukan adanya pengaruh yang kuat hadirnya
komunitas Tionghoa seperti halnya pelinggih Ratu Syabandar (Subandar) di Pura Segara Ang­
layang, Kubutambahan, pemangku etnis Tiongha khusus Ratu Syabandar di Pura Segara Pelabu-
han Buleleng, ornamen-ornamen berwujud budaya visual China di Pura Desa Panji, hingga patung
Ratu Bhetara Cina di Pemrajan Agung Puri Kawan Singaraja. Ini baru segelintir yang mencuat
kepermukaan, apabila ditelusuri lebih detail, tentu saja masih banyak yang tercecer.

Klenteng dan Religiusitas Tionghoa Singaraja

Klenteng bagi masyarakat Tionghoa merupakan tempat ibadah yang sangat disakralkan
keberadaannya, posisinyapun menganut kosep kosmologi yang dibawa dari tempat asalnya yaitu
Tiongkok dan diaplikasikan menurut ruang waktu di tempat mereka berdiaspora. Di Singaraja
Klenteng merupakan suatu pusat ritual masyarkat Tionghoa, disetiap tanggal dan bulan tertentu
menurut penanggalan Cina mereka selalu melakukan ritual pun dalam hari-hari keramat Bali sep-
erti purnama, tilem, kajeng kliwon dan lainnya. Dalam setiap persembahyangannya pasti didahu-
lui dengan mempersiapkan segala macam sesaji persembahan berupa daging babi, buah, kem-
bang, teh, manisan permen, tebu, pisang, arak. Sarananya mencakup canang, dupa (hio), lilin.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 17

Gambar 6: (kiri) Klenteng Ling Gwan Kiong, (kanan) Klenteng Seng Hong Bio, Singaraja
Foto: Dewa Gede Purwita

Gambar 7: (kiri) Persembahan dalam Persembahyangan, (kanan) altar pemujaan dalam perse-
mbahyangan Tilem di Klenteng Ling Gwan Kiong, Singaraja.
Foto: Dewa Gede Purwita

Buah pun bermacam-macam diantaranya adalah buah pisang, jeruk, delima, dan lainya
yang tentu saja disenangi sebagai perlengkapan yang menyimbulkan lambang Ngo Siang atau
lima kebajikan (cinta kasih, kebenaran, susila, bijaksana, dapat dipercaya). Selain buah Klen-
teng Seng Hong Bio ataupun Ling Gwan Kiong mempersembahkan ragam kue dalam ritualnya
se­ perti kue-kue yang mempunyai lambang khusus yaitu Kue Wajik sebagai lambang kegembiraan
bertujuan agar keluhuran yang mendatangkan kegembiraan dapat disebar luaskan, Kue Biko
melambangkan kesucian yang berbentuk tumpeng lancip, Kue Mangkok (Hwat Ko) disebut juga
kue melar dengan makna kebajikan dalam diri, Kue Lapis bermakna perolehan berkah yang tiada
taranya, Kue Kwiku berbentuk punggung penyu memiliki tujuan panjang umur, Kue Moho atau
Moko melambangkan sumber rejeki dan Kue Tuapia yang melambangkan bulan purnama atau
kesempurnaan.

Klenteng selain sebagai tempat suci masyarakat Tionghoa, juga sebagai pusat berkum-
pul masyarakat Tionghoa. Persembahyangan dimulai sekitar pukul 09.00 Wita dengan didahului
pemukulan bedug dan lonceng, usai lonceng dan bedug ditabuh dimulailah persembahyangan
sekitar satu jam dan seusai sembahyang mereka yang bersembahyang melakukan santap saji
bersama. Jika pada hari-hari tertentu seperti purnama, tilem, Kajang Kliwon hanya beberapa
orang yaitu pengurus Klenteng yang hadir, lain halnya ketika hari besar Tionghoa seperti Imlek
maka semua keluarga Tionghoa melakukan perayaan yang terpusat di Klenteng.

18 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Ratu Subandar dan Ida Bhetara Cina
Pada masa kerajaan Yong Le dan Xian De masa Dinasti Ming dipercaya ada sebuah ekspe-

disi besar-besaran bertujuan sebagai utusan perdamaian kerajaan Ming, kerajaan ini terkenal
karena lawatan pelaut besar Zheng He tujuh kali ke Lautan Barat sekitar 600-an tahun lalu (kira-
kira 1405-1433), diantara rombongan tersebut terdapat seseorang bermarga Lin (Lim-Hokkian)
dan seorang bermarga Chen (Tan-Hokkian). Saat rombongan dari Zheng He (Dempu Awang)
singgah di Bali, kedua orang ini ikut mendarat dan saat Zheng He dan rombongannya melanjut-
kan perjalanan ke Jawa Sumatra, terus ke Barat, keduanya tidak itu dalam ekspedisi dan mereka
berdua memutuskan tinggal di Pulau Bali. Setelah menjelajahi Bali akhirnya mereka menetap di
Kintamani.

Seiring waktu, Bapak Lin sangat disukai raja setempat sehingga raja memutuskan un­ tuk
menjodohkan puterinya dengan Bapak Lin, setelah menjadi menantu raja, Bapak Lin diberi ke­ ­
h­ormatan sebagai seorang bangsawan dengan gelar Gusti Ngurah Syahbandar dengan tugas
se­ bagai menteri yang mengurus soal keuangan negara. Pada saat itulah Gusti Ngurah Syah­ b­
andar banyak mendatangkan uang kepeng bermaterial perunggu dari Tiongkok, karena pada
waktu itu alat tukar berupa uang dengan huruf Tibet (Zhang) diyakini sebagai huruf yang ber-
fungsi sebagai mediator masyarakat Bali dengan para dewata, maka upacara persembahyangan
di pura maupun sarana upakara dalam kebudayaan ritual Bali.4

Karena Bapak Lin yang bergelar Gusti Ngurah Syahbandar mampu mengatur keuangan
negara dengan baik dan masyarakat saat itu makmur maka beliau dipercaya dan dipuja sebagai
Dewa Uang masyarakat Bali hingga kini, tempat pemujaannya ada di beberapa pura penting di
Bali seperti Besakih, Pura Batur yang menyebutnya sebagai Zong Pu Gong berarti pejabat kepala
pusat perdagangan, di Pura Pabean (di depan pura Pulaki), dan di Pura Negara Gambur Anglay-
ang. Keunikan lainnya adalah pemangku untuk pelinggih Ratu Ayu Subandar di Pura Segara,
Pelabuhan Buleleng sudah turun-temurun bersifat khusus, dan harus berasal dari keturunan etnis
Tionghoa.5

Gambar 8: (kiri) Pelinggih Ratu Agung Syabandar di Pura Negara Gambur Anglayang, (kanan)
Patung Ida Betara Cina / Tenkyu di Pemrajan Puri Kawan Singaraja
Foto: Dewa Gede Purwita

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 19

Pengaruh dalam hal visual religius juga terdapat dalam Pemrajan Agung6 Jero Kawan atau
Puri Kawan Singaraja. Sebuah patung berambut panjang terjalin dengan pakaian khasnya terpa-
jang bersama pelinggih Gunung Mandara, Ida Bhetara Cina atau Tengkyu merupakan gelar yang
disematkan pada patung ini, posisinya bersebelahan dengan patung Ida Bhetara India atau Ibra-
him. Ketika pihak keluarga dimantai penjelasan mengenai keberadaan patung tersebut tidak ada
yang mengetahui pasti, nampaknya terjadi semacam lost information secara oral dari generasi
hingga generasi sehingga sangatlah sulit menjelaskan mengapa ada patung tersebut dengan la-
bel Ida Bhetara Cina. Akan tetapi dari hal tersebut, nampaknya pengaruh kebudayaan Tionghoa
terhadap kehidupan spiritual di Singaraja sangat kuat, tidak hanya dari sisi perekonomian akan
tetapi merambah ke dalam celah ritual mistik karena beberapa anggota keluarga percaya bahwa
roh Ida Bhetara Cina / Tengkyu sebagai tempat memohon kesembuhan dari penyakit ada juga
yang menyebutkan sebagai dewa rejeki sedangkan Ida Bhetara India untuk permohonan resep
rempah-rempah (obat-obatannya?). Sangat menarik memang jalinan kebudayaan Tionghoa-Bali
di Singaraja yang justru tidak mencoba untuk menenggelamkan budaya religius lainnya namun
saling mengisi dan menguatkan.

Kehidupan Sosial-Budaya di Singaraja

Bagi kebudayaan Bali kehadiran kebudayaan Tionghoa mampu masuk dan mengakar kuat
dalam kehidupan religius Bali, seperti yang diuraikan sebelumnya mengenai pengaruh-pengaruh
yang umum dijumpai seperti penggunaan uang kepeng, motif ukiran Cina maupun patra Me-
sir, Ratu Subandar, hingga Barong Landung. Di Singaraja kehadiran Klenteng dengan komunitas
Tionghoanya berpengaruh cukup besar terhadap kebudayaan masyarakatnya, ada beberapa hal
termasuk yang sudah disinggung di atas yang mempengaruhi dunia religius, kehidupan sosial-
budaya, dan bahasa rupa Bali Utara.

Kehadiran rumah peribadatan Tionghoa yang di Singaraja memiliki pengaruh terhadap ke-
hidupan sosial-budaya masyarakat di sekitarnya. Klenteng di muara sungai Buleleng dapat di-
katakan sebagai sebuah embrio hibriditas kebudayaan di Singaraja, budaya kolonial Belanda yang
berbau Eropa, kebudayaan masyarakat lokal Bali Utara, dan kebudayaan Tionghoa. Berabad-abad
pertemuan ini melahirkan pengaruh kuat terhadap kehidupan sosiokultural masyarakat Singara-
ja, pun dengan mulai didirikan rumah-rumah toko yang tersebar di sekitaran Klenteng, asimilasi
kehidupan religiusitas, berkembangnya kesenian hingga masuk kedalam laku kehidupan ma-
syarakat lokal. Semisal cara mengungkapkan nilai mata uang bagi masyarakat Singaraja terbiasa
mempergunakan istilah cepek untuk menyebut nilai uang seratus, gopek untuk lima ratus, ceban
untuk sepuluh ribu dan lain sebagainya. Cara ungkap ini merupakan tata cara berhitung dalam
bahasa Hokian, umumnya di bagi menjadi beberapa pecahan, untuk pek merujuk kepada peca-
han ratusan (100 = ce pek, 150 = pek go, 500 = go pek, dll), untuk ribuan dipakai ceng (1000
= seceng, 1500 = ceng go, 5000 = go ceng, dll), untuk hitungan jutaan mempergunakan istilah
Tiao (1juta = ce tiao, 2juta = no tiao, dll).7 Di Singaraja istilah ini dipergunakan oleh masyarakat
pedagang Tionghoa dalam transaksi dagang hingga cukup banyak mempengaruhi juga masyara-
kat Singaraja dalam berhitung mata uang.

Dalam tradisi kematian masyarakat Bali yang paling banyak ditemukan disekitar Singa-
raja adalah sebuah pengumuman yang biasanya di tempatkan di depan rumah yang meninggal
ataupun di balai banjar atau bali desa, pengumuman tersebut berisi info, semisal: foto orang
yang meninggal (walau terkadang tidak diisi foto), nama orang yang meninggal, serta informasi

20 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

rentetan upacara ngaben-nya. Hal ini juga disinyalir dari pengaruh tradisi kebudayaan Tionghoa.
Sebagaimana dijelaskan oleh Hapsari biasanya dalam kebudayaan Tionghoa jika ada upacara
kematian, yang pertama dilakukan adalah adanya pengumuman atau keluarga akan memberikan
pemberitahuan publik tentang adanya kematian8. Di Singaraja pengumuman ke publik tentang
adanya upacara ngaben biasanya ditempel pada sebuah papan dan ditaruh di depan rumah orang
yang meninggal dan ada juga di balai banjar atau desa, hal ini merupakan cerminan adanya
p­engaruh kebudayaan Tionghoa yang diserap pun juga diterapkan oleh masyarakat lokal.

Selain pengaruh adat, dalam tata kota di Singaraja juga nampaknya mendapat pengaruh
kebudayaan dari sisi peradaban kota. Sebenarnya bukan hanya disingaraja akan tetapi di kota-
kota lainnya juga di Indonesia rasanya tidak luput dari pengaruh sosiokultural Tionghoa. Di Bali
Khususnya di Singaraja pengaruh tersebut juga menguatkan status raja sebagai penguasa dan
orang Tionghoa sebagai pemutar roda perekonomian, mungkin hal ini adalah turunan dari seja-
rah lampau ketika diangkatnya Bapak Lin sebagai Gusti Ngurah Syabandar, maka dapat kita lihat
dimana ada pusat kota disana ada pasar dan komunitas Tionghoa. Terlebih Buleleng membuka
lebar wilayahnya dari kedatangan pelayar-pelayar asing dengan membangun pelabuhan yang
terbilang besar pada masa kerajaan. Serupa dengan pernyataan Pratiwo mengenai peran orang
Tionghoa dalam transformasi kota tidak dapat dilepaskan dari konsentrasi pembangunan indus-
tri secara nasional di kota-kota besar. Konstelasi seperti ini mengakibatkan kemunduran daerah
pedesaan dan sebaliknya mempercepat pertumbuhan kota.9 Jadi dapat dikatakan bahwa penga-
ruh Tionghoa pada masa kerajaan di Singaraja terlebih pada masa kolonial sangat kuat karena
Buleleng kemudian menjadi pusat perdagangan antar pulau yang juga sebagai pusat pemerintah-
an, hingga kepemimpinan gubernur Ida Bagus Mantra dipindahkan ke Bali Selatan dan perlahan
riuh kota Singaraja dan perputaran roda perekonomian pun kian terseok dan hanya sedikit yang
bertahan.10

Qilin dan Singa Ambara Raja: Pengaruh Kebudayaan Tionghoa dan Singaraja

Singaraja memiliki budaya rupa yang beragam layaknya daerah di seluruh Bali, akan teta-
pi yang tidak dimiliki oleh daerah lain adalah cara wimbanya yang terkadang nyeleneh, jahil nan
nakal. Setiap orang pada umumnya mengetahui bahwa pengaruh kebudayaan Tionghoa di Bali
adalah patra cina, namun penelitian belakangan menyebutkan patra kuta mesir itu sendiri bukan
berasal dari pengaruh Mesir akan tetapi justru merupakan pengaruh Cina.11 Ada yang menarik
ketika penelusuran tentang pengaruh Tionghoa terhadap Singaraja dari sisi ritual dan dimulai
dari Klenteng Ling Gwan Kiong maupun Seng Hong Bio, selalu ada visual yang mengusik per­
hatian salah satunya adalah Qilin yaitu binatang mistik berwujud hibrid dan disucikan masyarakat
Tionghoa, wujudnya serupa singa akan tetapi tubuhnya campuran dari berbagai binatang seperti
anjing dan naga.

Menariknya ketika dihubungkan dengan kultural Singaraja dengan patung Singa Ambara
Raja adalah dimungkinkan adanya asimilasi budaya rupa antara Tionghoa, Jawa dan Bali khusus-
nya Singaraja. Bali secara khusus dan Indonesia pada umumnya tidak mengenal binatang singa
dan lebih populer macan, justru menariknya mengapa kemudian singa dijadikan sebagai suatu
simbol bahkan ikon religiusitas khususnya di Singaraja? Jika dikatakan kolonial membawa sim-
bol ini mungkin saja, akan tetapi jauh sebelum masa kolonial, singa sudah menjadi perlambang
kewibawaan dan kebuasan I Gusti Barak Panji Sakti dalam medan peperangan sehingga julukan
bagai Singaraja itu melekat dalam diri tokoh hebat ini.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 21

Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut bagian yang dapat dijadikan pi-
jakan adalah adanya hibriditas kebudayaan yang kemudian tertanam dalam relung religiusitas
masyarakat Nusantara. Seperti yang dijelaskan Yudoseputro dalam Hardiman bahwa karya seni
Indonesia-Hindu yang berpusat di Sumatra, Jawa, Bali meskipun bersifat serba seni India, tetapi
mempunyai corak yang khas yang tidak dapat dicari persamaannya kembali di India. Borobudur
adalah suatu pernyataan seni yang hidup dan dirangsang oleh pikiran dan alam Indonesia.12
Dalam budaya Tosan Aji13 diketahui terdapat istilah Singabarong, Harsrinuksmo menjelaskan bah-
wa Singabarong adalah salah satu bentuk dapur keris luk tujuh. Bagian gandiknya diukir dengan
bentuk kepala singa yang menyerupai Qilin, yaitu arca binatang mitologi penunggu gerbang dari
kebudayaan Cina. Qilin ini banyak di Jumpai di bangunan Kleteng.14

Dalam prakteknya beberapa raja mempergunakan keris pusaka untuk menunjukan iden-
titas dan kewibawaannya seperti Ida Dewa Kalesan dengan keris pusaka ber-gandik Singabarong
luk sanga15, jadi kebudayaan rupa binatang singa yang sering dijumpai di pura atau arsitektur
Bali merujuk kepada binatang mitologis Cina yang kemudian diadopsi dan dikembangkan dalam
kebudayaan Bali. Hal ini juga yang mempengaruhi cara wimba seniman Bali membuat Singa yang
tidak mirip singa akan tetapi itu sebenarnya singa. Seniman Bali tidak pernah menjumpai mau-
pun mengenal langsung wujud singa, mungkin hanya pernah mendengar namun tidak melihat
secara nyata sehingga wujud Qilin berkembang menjadi Singabarong dan di Bali orang membuat
singa melalui interpretasi yang seiring prakteknya ditambahkan sayap dan bentuk wajah terkesan
menyerupai binatang anjing. Banyak para tetua yang paham akan kerupaan Bali menyebutkan
jikalau ingin membuat patung singa buatlah singa ane nyicing (bentuk muka menyerupai anjing),
wujud ini massif dipergunakan di Singaraja dalam membuat patung Singa Ambara Raja. Digam-
barkan seekor singa bersayap seolah sanggup terbang sebagai raja di raja.

Gambar 9: (kiri) patung Qilin (Kilin), (tengah & kanan) Singabarong pada gandik keris
Sumber: Ensiklopedia Keris. 2004

22 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Gambar 10: (kiri) patung singa menyerupai Kilin di Pura Desa Panji, Buleleng, (kanan) tugeh
Singa Ambara Raja di Puri Kanginan Singaraja
Foto: Dewa Gede Purwita

Gambar 11: (kiri) tugu Singa Ambara Raja di Kota Singaraja, (kanan) patung singa di Pura Beji
Sangsit

Foto: Dewa Gede Purwita
Dapat dikatakan bahwa pengaruh kebudayaan Tionghoa tersebut sangat kuat sehingga
mampu menyatu dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Singaraja, selain itu adanya faktor
kemiripan yang juga menjadikan kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan Bali pada umumnya
dan Singaraja khususnya mampu lebur menjadi satu dan kini terpresentasikan dalam laku reli­
giusitas kehidupan masyarakatnya.
Karya Kolektif Klenteng: Ruang Religi dalam Pameran Qilin
Dalam karya seni rupa yang dirancang dan di eksekusi oleh dosen, alumni, serta maha-
siswa Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja meru-
pakan sebuah model kerja kelompok gabungan, di dalamnya secara bersamaan hadir para perupa
lintas generasi dengan ragam materi visual yang terdiri atas lukisan, drawing, grafis, fotografi,
patung (relief), kriya kayu, kriya logam, kriya tekstil dan kriya keramik. Perpaduannya menajadi

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 23

serupa ruang makro dan mikro. Yang makro adalah sebuah karya visual, menghadirkan layout
gigantik Klenteng Ling Gwan Kiong Singaraja sebagai simbol religiusitas masyarakat Tionghoa
yang kebudayaannya berkontribusi kepada kebudayaan masyarakat Bali di Singaraja, sedangkan
mikronya adalah rangkaian atau gabungan atas visualisasi yang berdasar pada realitas ragam
temuan dalam kehidupan religius Klenteng dan sosio-kultural masyarakat Tionghoa serta penga-
ruh kebudayaannya di Singaraja.

Lay out gigantik Klenteng dengan total kurang lebih 10 meter x 2 meter dibagi menjadi 7
panel, masing-masing panel dibagi menjadi persegi empat dengan ukuran 30 cm x 30 cm. Lay out
gigantik Klenteng mejadi simbol dari dasar beranjaknya art by research yang dibuat oleh dosen,
alumni dan mahasiswa. Dalam karya ini hadir insert-insert kolase yang dikerjakan dengan ragam
teknik individual perupa di civitas jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha. Kontennya adalah
temuan-temuan terkait riset yang dimulai dari ruang religius masyarakat Tionghoa di Singaraja.

Gambar 12: Lay Out (atas) pembagian panel, (bawah) blue print desain karya gigantik klen-
teng dalam pameran Kilin, sub ruang religi.

Beberapa sub panel bertutur melalui karya fotografi berupa momen dalam laku spiritual
seperti ritual mepamit penganten Tionghoa di Klenteng Seng Hong Bio, pun juga terdisplay dalam
sub panel adalah objek duplikat tempat lilin. Ada juga visual lonceng dan bedug sebagai identi-
tas Klenteng, biasanya ditabuh sebelum dilakukan persembahyangan di Klenteng. Dalam karya
lukis hadir beberapa tokoh-tokoh Sam Pho Kong, objek riil tempat hio, hingga narasi tentang roh
di alam kematian. Penggarapannya melalui ragam media dan teknik seperti lukis, fotografi, seni
grafis, cetak resin, kriya logam, kriya kayu, media ini tentu saja tidak terlepas dari konsentrasi
perkuliahan yang diajarkan di Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Undiksha Singaraja. Jadi dapat
dikatakan bahwa secara global karya ini menunjukan keragaman dalam satu wadah, di sisi lain
akan ditemukan kekuatan personal perupa dalam karyanya dengan narasi tunggal. Semisal karya
grafis yang mengangkat tentang kisah roh dalam kematian orang Tionghoa.

Karya dalam ruang plot Ruang Religi pameran “Qilin” mengingatkan besarnya pengaruh
kebudayaan Cina terhadap kebudayaan Bali dengan menghadirkan ikon barong landung. Lebih
spesifik, menunjukan bahwa hubungan Klenteng sebagai pusat orientasi spiritualitas hingga mo-
ralitas Tionghoa terjalin kuat dengan kebudayaan lokal Singaraja. Dengan melihat karya kolektif
Klenteng, kita seolah dibawa ke dalam dimensi ruang dan waktu yang acak, tiba-tiba ingatan

24 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

ditarik menuju narasi Tiongkok yang penuh filsafat, tiba-tiba pula dituntun untuk kembali melihat
mutualisme kebudayaan yang hibrid. Semacam abstraksi, misalkan gabungan beberapa karya
tiga dimensional yang menjadi satu dengan dwi matra.

Banyaknya ikon visual menjadikan karya ini sebagai satu simbol utuh, monumen budaya
rupa, pun memiliki asosiasi dengan ragam pemaknaan simbolik dalam realita budaya kekinian
dan spiritualitas antara Tionghoa dan Singaraja. Keidentikan warna merah maupun emas yang
menjadi warna ikonik religius Klenteng tidak dihadirkan secara tunggal, akan tetapi membaur
dengan warna lain, dimana tiba-tiba harmoni terjalin dan chaos serasa kuat. Hal ini menunj­ukan
relasi antara kebudayaan Tionghoa dan Singaraja adalah sebuah jalinan hibrid yang mampu se-
laras wa­ laupun terjadinya benturan-benturan. Akan tetapi, justru disanalah letak nilai es­ tetiknya,
nilai-nilai yang hadir atas interaksi antar manusia dengan gejala-gejala yang dialaminya dan ke­­
duanya terkait secara dialogis bahkan dialektis.16

Klenteng sebagai pusat orientasi spiritual dan refleksi atas kebudayaan Tionghoa di­­p­
andang sebagai sebuah wilayah yang mempunyai nilai kultural-historis dan spiritual, sebuah
a­rtefak sakral yang masih hidup dan memiliki relasi kuat dengan lingkungan sekitarnya. Relasi
tersebut mampu memerikan vibrasi yang positif atas keberlangsungan sosio-kultural masyarakat
di Singaraja. Bukan saja hanya soal perekonomian namun spiritualitasnya juga mengakar kuat,
dibuktikan dengan hadirnya artefak-artefak kebudayaan yang masih hingga kini menjadi bagian
keramat ceruk-ceruk spiritual masyarakat Singaraja bahkan Bali. Oleh sebab itu, karya ini me­
rupakan wujud kompleksitas ritual, pengaruh kebudayaan visual, maupun laku kehidupan spiri-
tual masyarakat Tionghoa dan Singaraja.

Klenteng mengasosiasikan wilayah terdalam dan terluas dari sisi spiritual diaspora ma-
syarakat Tionghoa pun sebagai identitas. Identitas masyarakat pengamongnya maupun kota
Singaraja yang separuh nilai historisnya direkam oleh ukiran-ukiran, kayu-kayu, suara lonceng,
warna-warni, dan debu dari tanah Klenteng. Dari masa Syahbandar, Perang Jagaraga, hingga tor-
pedo yang dilepas kapal selam pasukan sekutu tertanggal 1 Juni 1945 seketika macet dan kandas
di muara Sungai Buleleng, Klenteng ini kokoh berdiri tanpa kehilangan satu pagar besi pun ketika
tentara Jepang dengan brutal mencabuti pagar maupun pintu rumah penduduk untuk memenuhi
kebutuhan militernya kala itu. layaknya tempat ibadah kepercayaan lainnya, Klenteng laksana
rumah, Tempat berlindung dan tempat tumbuh.

Dewa Gede Purwita

Alumni Prodi Pendidikan Seni Rupa Undiksha

CATATAN:
1 Ibid. hlm, 21.

2 Pratiwo. Arsitektur Tradisonal Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
2010, hlm. 17.
3 Dalam tradisi masyarakat di Jawa penyebutan Dewa Tertinggi orang Tionghoa adalah Thi Kung.
4 Op Cit. Team Penerbit Buku T.I.T.D Ling Gwan Kiong dan Seng Hong Bio. 2013. Hlm, 11-12.

5 Op.Cit. Sulistyawati. 2011. Hlm, 24.

6 Pemrajan Agung adalah sebutan untuk tempat pemujaan keluarga yang dalam hal ini berimbuh
agung biasanya untuk mereka yang berwangsa Brahmana ataupun Ksatria. Istilah yang sepadan

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 25

juga biasanya dipakai adalah Pemrajan Gede atau Sanggah Gede, merujuk pada istilah sama na-
mun dibedakan dari status sosial masyarakat Bali.
7 Ikman. “Cepek, Gopek, Nopek, Goceng, Cetiao (Berhitung Bahasa Hokian)”. Artikel. https://ik-
man.wordpress.com
8 Hapsari, Retnaningtyas Dwi. “Tradisi Membawa Harta Dalam Ritual Penguburan Bangsa Cina
Kuno” artikel internet www.sejarahdk.com
9 Op. Cit. Pratiwo. 2010, hlm. 49.
10 Kilas balik, Singaraja adalah ibukota Bali sejak Belanda menguasai Bali Utara pada tahun 1846.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 21/1950, Singaraja kemudian menjadi Ibu Kota kepulauan
Sunda Kecil dan Ibu Kota Bali sampai 1958. Sebagai rujukan dapat diakses pada https://aergot.
wordpress.com “Pemindahan ibukota Bali”.
11 Op.Cit, Sulistyawati 2011, hlm. 35. Menyebutkan bahwa walau ada nama sama dengan negara
Mesir dewasa ini, namun nama patra mesir sama sekali tidak merujuk kepada negara tersebut.
Dibuktikan dengan banyaknya penggunaan patra mesir dalam peninggalan purbakala arsitektur
Tiongkok dan juga tidak ditemukannya patra mesir dalam arsitektur Mesir sendiri. Lebih lanjut
juga dipaparkan dari penjelasan Prof. Dr. Putra Agung, S.U. dalam Sulistyawati 2011, hlm. 35-36
bahwa penyebutan Cina dan Mesir dalam ornamen Bali adalah sekedar pemberian nama terhadap
kedua jenis ornament yang diperkenalkan oleh Cik An Ting (seniman berdarah Tionghoa) ketika
mengerjakan Puri Agung Karangsem.
12 Hardiman. Ekplo[ra]si Tubuh: Esai-esai Kuratorial Seni Rupa. Singaraja: Widya Pataka & Ma-
hima Institut. 2015. Hlm, 4.
13 Tosan Aji merupakan sebuah istilah dalam dunia pusaka berupa tombak, keris, pedang, we-
dung, rencong, badik dan lain-lain. Tosan Aji sebagai hasil karya seni bernilai tinggi merupakan
senjata tradisional berpamor yang terbuat dari campuran unsur logam. Lihar Wibawa, Prasida.
Tosan Aji: Pesona Jejak Prestasi Budaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008: 6.
14 Harsrinuksmo, Bambang. Eniklopedi Keris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004. Hlm, 431
15 Keris pusaka ini kini tersimpan di Jero Agung Pohmanis (Puri Pohmanis)
16 Simatupang, Lono. Pagelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.
2013. Hlm, 103.
Dewa Gede Purwita, Lahir di Pohmanis, Denpasar 27 November 1989. Alumni Jurusan Pendi-
dikan Seni Rupa Undiksha Singaraja, merampungkan pendidikan pasca sarjana (S2) di ISI Den-
pasar. Kini aktif sebagai perupa, menulis, dokumentasi project #NglesirVisual, dan staf pengajar
di Sekolah Tinggi Desain Bali (STD) Bali. Beberapa pameran yang diikuti seperti ”Beyond a Light”
Erawan Vs Perupa Cahaya Sejati, Bentara Budaya Bali (2014). ”Situs Daun” – Art by Founded Ob-
ject GSRBT at Unsung Hero House, Sanggulan Tabanan (2014). Bersama Gurat Institute terlibat
dalam dokumentasi karya maupaun menulis hingga terbit buku Seni Rupa sebagai Warisan Pu-
saka Budaya Bali (2015) Kerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gianyar.
E®MOTIVE: Reconstructing Visual Thought (2015) Kerjasama dengan ER221 Art Study, Penerbit
Buku Arti. Lempad for the World (2014) Kerjasama dengan Dewangga Gallery dan Daniel Jussuf.

26 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

PADA SEBUAH KISAH

(Esay Untuk Sub Tema Ruang Cerita, Pameran “Qilin” Pameran Civitas Akademika Prodi Pendidi-
kan Seni Rupa Undiksha Singaraja)

Oleh; I Made Susanta Dwitanaya

“Mitos lahir dari kecenderungan alami untuk menyatakan setiap ide dalam suatu bentuk yang
konkret. Dia berasal dari perhubungan ide-ide secara logis, menerangkan fakta-fakta alam dan

kehidupan dengan bantuan analogi dan perbandingan. Mitos mungkin menghubungkan peris-
tiwa khayali yang sesuai dengan tokoh-tokoh legendaris dan sejarah; ia mungkin secara logis
tumbuh dari permainan kata-kata; atau mungkin ia mencoba, melalui cerita-cerita, untuk mem-

beri sebuah pelajaran moral”

-Tylor1-

Prolog

Pertautan hubungan kebudayaan Bali dan Tionghoa, sudah berjalan dalam laju bentang sejarah
yang panjang. Telah banyak literasi-literasi yang membahas ihwal pertautan antar kebudayaan ini
yang didalamnya tentu saja terjadi proses interaksi saling memberi dan menerima. Tanpa proses
ini tentu saja dua entitas kebudayaan akan sulit mengalami pembauran yang berlangsung secara
damai. Meski sejarah juga mencatat adanya pasang surut hubungan keduanya, itu adalah buah
dari gerahnya konstelasi politik nasional, namun di akar rumput pertautan hubungan kultural itu
tetap terjalin dengan harmonis. Sebab “persaudaraan” yang terjalin antara etnis Tionghoa dan
Bali, sudah terjalin sejak lampau, jauh berabad-abad yang lampau.

Di Bali misalnya, ada istilah nyama yang berarti saudara atau kerabat. Istilah nyama ini ternyata
tak hanya berlaku bagi sesama orang Bali saja, pemakaian istilah nyama ini juga diperuntukkan
oleh orang Bali kepada etnis ataupun kebudayaan dan keyakinan yang lain. Sebut saja istilah
nyama Selam yang merujuk pada umat Muslim yang bermukim di Bali, nyama Cina bagi etnis
Tionghoa di Bali. Pemakaian istilah nyama ini menyiratkan adanya keintiman dan ketiadaan lagi
jarak dan sekat sekat maupun sentiment sentiment etnik dalam pergaulan sehari hari. Keterbu-
kaan inilah yang membuat keberagaman teramat jarang menimbulkan pergesekan horizontal.

Kembali pada ihwal pertautan antara kebudayaan Bali dan Tionghoa, dapat dilihat dari berbagai
bentuk baik yang besifat bendawi (tangible) maupun nilai (intangibel), yang tentu saja masih
dapat terbaca adanya jejak jejak unsur kebudayaan Tionghoa dalam kebudayaan Bali. Mulai
dari remah-remah kebudayaan yang remeh temeh (keseharian) sampai pada kebudayaan yang
bersifat adi luhung, kita dapat melihat kontribusi kebudayaan Tionghoa dalam kebudayaan Bali.
Salah satu unsur kultural Tionghoa yang berpengaruh dalam kebudayaan Bali adalah terdapatnya
cerita cerita baik itu bersifat roman fiksi, maupun babad atau cerita-cerita sejarah yang terbalut
dengan mitologi di dalamnya. Cerita-cerita tersebut terdapat dalam berbagai literatur tradisional
semisal lontar, sekaligus juga menjadi bagian dari tradisi lisan atau oral dalam masyarakat, men-
jadi sebuah bagian dari tuturan yang ditularkan secara turun temurun dari mulut kemulut dalam
lintasan generasi. Cerita tersebut ada yang murni mengisahkan ihwal entitas Tionghoa sendiri,
namun tak jarang juga pada satu dua kisah terdapat narasi yang menunjukkan pertautan antara
entitas Bali dan Tionghoa.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 27

Dalam project pameran ini, Singaraja dipilih sebagai salah satu kasus yang menarik dalam me-
narik untuk mewakili pertautan hubungan antara entitas Tionghoa dan Bali. Termasuk melihat
bagaimana pertautan itu terepresentasikan dengan berkembangnya berbagai cerita yang men-
gandung konten pertautan kedua entitas kultural ini. Setelah melalui proses riset dipilihlah tiga
cerita yang menunjukkan adanya pertautan itu.Tiga cerita tersebut antara lain adalah; Sampek
Eng Tay, kisah Chen Fu Zen Ren (manusia sakti bermarga Chen, yang merupakan salah satu dewa
yang dipuja di klenteng Ling Gwan Kiong), dan Dempu Awang. Ketiga cerita itu dipilih karena
memiliki alasanya tersendiri. Cerita Sampek Eng Tay misalnya yang merupakan roman legendaris
yang menceritakan kisah cinta berujung tragedi antara Sampek dan Eng Tay ini dipilih sebab ceri-
ta ini adalah cerita roman dari negeri Tiongkok yang sangat familiar tak hanya di Buleleng bahkan
di Bali secara umum. Versi dari kisah ini dibuat dalam versi bahasa Bali lewat sebuah manuskrip
berupa geguritan atau tembang Bali yang berjudul; Sampik tong nawang natah. Dalam konteks
masyarakat Singaraja, Sampek Eng Tay ini pernah menjadi begitu fenomenal setelah dijadikan
lakon andalan dari kelompok drama gong Puspa Anom Banyuning pada dekade 1970-an hingga
1980-an.

Selanjutnya adalah cerita tentang Chen Fu Zen Ren atau kisah tentang orang sakti yang bermarga
Chen, kisah ini dipilih karena berdasarkan buku Mengenal Lebih Dekat Tempat Ibadah Tri Darma
Ling Gwan Kiong dan Seng Hong Bio Singaraja yang disusun pada tahun 2005, sosok Chen Fu
Zen Ren merupakan salah satu dewa pujaan di klenteng Ling Gwan Kiong Singaraja, secara mi-
tologis cerita ini memiliki kaitan dengan dengan wilayah Bali, sebab sosok orang sakti bermarga
Chen diyakini adalah sosok yang membangun Taman Ayun di wilayah kerajaan Mengwi, Badung
Bali.

Selanjutnya cerita tentang Dempu Awang, yakni kisah tentang sebuah Jung (kapal) dagang Tion-
gkok yang bernama Dmpu Awang yang terdampar di Pantai Panji. Kapal tersebut lalu diselamat-
kan oleh Ki Barak Panji Sakti yang saat itu masih berusia muda. Sebagai imbalannya pimpinan
kapal menghadiahkan Panji Sakti berbagai macam barang seperti pakaian, kain sutra, keramik,
dan berbagai macam barang lainnya. Diyakini pula pakaian yang dipakai oleh Panji Sakti adalah
hadiah dari pimpinan kapal Dempu Awang sebagai rasa balas jasanya atas ketangguhan Panji
Sakti dalam membebaskan kapal Dempu Awang yang terjebak diantara batu karang Pantai Panji.

Antara Folklore, Mitologi, Babad

Berhadapan dengan tiga buah kisah yang terpaparkan diatas yakni Sampik Eng Tay, Chen Fu
Chen Ren, dan Dempu Awang kita berhadapan dengan tiga jenis kisah yang bersumber dari
bentuk atau jenis yang berbeda. Seperti folklore, mitologi, maupun babad. Ketiga jenis kisah ini
hidup dan berkembang menjadi bagian dari tradisi lisan yang berkembang dalam ingatan kolektif
masyarakat dan diwariskan secara turun temurun.

Secara etimologis kata folklore berasal dari kata folk yang berarti rakyat dan kata lore yang be-
rarti adat dan pengetahuan (John M. Echols, 2003) lalu digabung menjadi folklore yang secara
harfiah berarti adat dan pengetahuan mengenai rakyat. Namun, sebagai istilah folklore mengand-
ung konsep adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diturunkan secara turun menurun,
tetapi tidak dibukukan. Lalu yang dimaksud dengan adat istiadat tradisional adalah tata kelakuan
yang merupakan kebiasaan di dalam suatu masyarakat dan diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Sedangkan yang dimaksud dengan cerita rakyat adalah cerita yang ada dan

28 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

berkembang dikalangan rakyat tanpa diketahui siapa pengarangnya maka bersifat anonim2. Jan
Harold Brumbvand dalam bukunya yang berjudul The Study Of American Folklore (1968) meng-
klasifikasikan folklore dalam tiga kategori yakni; Foklore lisan (verbal folklore), folklore setengah
lisan (partly verbal folklore) dan folklore bukan lisan (non-verbal folklore). Folklore lisan adalah
folklore yang diciptakan, disebarluaskan dan diwariskan dalam bentuk lisan. Sedangkan folklore
setengah lisan adalah folklore yang diciptakan, disebarluaskan dengan lisan dan tindakan atau
perbuatan, seperti kepercayaan dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan folklore bukan lisan
adalah folklore yang diciptakan, disebarluaskan, dan diwariskan tidak dalam bentuk lisan3.

Sedangkan Mitos secara awam kerap dipahami sebagai sebuah dongeng atau cerita-cerita, bah-
kan juga terkait dengan tokoh-tokoh historis yang didalamnya juga terkait dengan dewa-dewa
ataupun manusia setengah dewa yang diyakini merupakan kisah yang benar-benar terjadi. Akhir
dari sebuah mitos adalah mitologi yaitu sebuah proses keyakinan bahwa narasi yang diinforma-
sikan benar benar terjadi. Jika kita kaji lebih jauh, mitos adalah sebuah cara bertutur yang di-
dalamnya terdapat nilai bahkan sistem pengetahuan (logos) tersendiri. Mitos memuat pandangan
yang khas tentang dunia4. Adalah Roland Barthes seorang intelektual Perancis yang memberikan
sumbangan pandangan dan kajiannya pada dunia akademik ihwal mitos ini. Menurut Barthes, mi-
tos bukanlah pembicaraan atau wicara yang sembarangan5 lebih jauh ia mengungkapkan bahwa
bahwa mitos adalah sistem komunikasi yang di dalamnya tentu saja terdapat berbagai pesan.
Semiologi kemudian menjadi salah satu pisau bedah yang relevan dalam upaya mengkaji dan
mengangkap pesan dari suatu mitos. Barthes mengungkapkan bahwa, kita bisa membedakan
dua macam signifikasi, yaitu denotasi dan konotasi.

Denotasi adalah level deskripsi dan “tersurat” (literal) dari makna yang dihayati oleh hampir
semua anggota sebuah budaya6. Jika ketiga cerita tersebut dilihat pada level denotasi maka apa
yang tersurat dalam cerita itu seperti tokoh, alur cerita, konflik, klimaks hingga anti klimaks
adalah bukan satu satunya pokok persoalan. Ia tidak diberikan makna lebih jauh, cerita tersebut
menjadi sebuah penanda (signifier). Sedangkan di level signifikasi yang kedua, yakni konotasi,
makna dihasilkan dengan cara menghubungkan penanda (signifier) dengan hal hal yang menjadi
perhatian khusus dari sebuah budaya secara lebih luas, atau dengan berbagai kepercayaan, si-
kap, bingkai, dan ideologi yang membentuk formasi sosial tertentu. Makna lalu menjadi persoalan
pengaitan suatu tanda dengan kode-kode makna budaya yang lain. Makna tergantung pada kode-
kode budaya atau lexicon apa yang terkait. Makna “berkembang biak” (multiply) dari sebuah
tanda tertentu sampai akhirnya sebuah tanda tunggal sudah kelebihan muatan makna7.

Lalu yang dimaksud dengan babad adalah sebuah model penulisan sejarah (historiografi) tradis-
ional. Dalam babad fakta-fakta sejarah yang tersaji campur baur dengan unsur-unsur sastrawi.
Sehingga dalam membaca teks babad aspek analitis kritis menjadi pilihan yang sebaiknya dilaku-
kan. Aspek-aspek historis yang termuat dalam babad perlu diperbandingkan dengan sumber-
sumber lain yang terkait. Babab sebagai salah satu bentuk historiografi tradisional tentu saja me-
miliki karakteristik yang sama dengan bentuk bentuk historiografi tradisional lainya, semisal; (1)
Hanya membahas aspek tertentu, misalnya hanya aspek keturunan (geneologi saja) atau hanya
diutamakan aspek kepercayaan (religious saja). (2) Hanya membicarakan peristiwa tertentu yang
dianggap penting dan perlu ditanamkan di tengah-tengah masyarakatnya untuk kepentingan
istana belaka. (3) Mengedepankan sejarah keturunan dari satu raja kepada raja berikutnya. (4)
Sering sejarah tradisional hanya memuat biografi tokoh-tokoh terkemuka di masa kekuasaan-
nya. (5) Sejarah tradisional menekankan pada struktur bukan pada prosesnya8. Walaupun babad

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 29

adalah bentuk historiografi tradisional yang didalamnya terdapat aspek sastra, legenda, ataupun
sesuatu yang terkadang bersifat subjektif namun peran babad dalam menelusuri sejarah masa
lampau juga perlu dipertimbangkan, terutama dalam tahapan heuristik atau pengumpulan data-
data yang terkait.

Ketiga cerita yang dihadirkan dalam sub tema ini yakni Sampek Eng Tay, Chen Fu Zen Ren, dan
Dempu Awang mengandung nilai-nilai yang menyiratkan adanya keterhubungan secara langsung
maupun tak langsung antara entitas Tionghoa dan Bali (Singaraja). Folklore Sampek Eng Tay,
Kisah mitologis tentang Cen Fu Zen Ren, maupun Dempu Awang yang tertuang dalam Babad Bule-
leng, sebagian memang bersifat fiksi, sebagaian bersifat historis, sebagian lagi bersifat historis
namun sarat dengan mitologi didalamnya. Namun lebih dalam lagi ketiga cerita tersebut menjadi
sebuah narasi yang didalamnya terdapat nilai nilai yang bersifat semiologis. Ada nilai nilai luhur
yang terselip menyelinap diantara kisah tersebut. Kehadiran ketiga kisah ini telah menjadi sebuah
ingatan kolektif yang tertanam dalam memori kultural masyarakatnya. Lalu bagaimanakah sinop-
sis dari ketiga kisah tersebut?

Kisah Sampek Eng Tay

Kisah Sampek Eng Tay begitu popular dikenal oleh masyarakat Bali umumnya dan Singaraja
kh­ ususnya sebagai kisah roman percintaan yang berujung targedi antara Sampek dan Eng Tay.
Kisah yang bersal dari negeri Tiongkok ini sangat familiar dalam masyarakat Bali. Cerita ini bah-
kan digubah dalam versi geguritan (tembang) yang berjudul; “Sampik Tong Nawang Natah”
saking populernya kisah ini di Bali juga dipakai lakon dalam opera tradisional Bali yakni Arja.
Khusus untuk wilayah Singaraja, kisah Sampek Eng Tay ini menjadi sedemikian fenomenalnya
setelah dijadikan lakon dalam pertunjukkan drama gong oleh kelompok drama Gong Puspa Anom
Banyuning Singaraja.

Dalam geguritan “Sampik Tong Nawang Natah” dikisahkan dua sejoli yang bernama Sampek dan
Eng Tay berjumpa di Kota Anciu (di suatu sekolah khusus untuk laki-laki). Untuk masuk ke seko-
lah ini Eng Tay harus menyamar sebagai laki-laki. Setelah beberapa tahun sampek dan Eng Tay
berteman dekat, akhirnya Eng Tay memberitahukan bahwa ia adalah seorang wanita. Tentu saja
hal ini membuat Sampek jatuh cinta. Keduanya kemudian berjanji untuk hidup berdua sebagai
suami istri dan tetap bersama sehidup semati.

Pada masa berakhirnya sekolah mereka, keduanya harus berpisah, pulang ke daerahnya masing-
masing. Sebelum keduanya berpisah, Eng Tay memberikan teka-teki, agar dipecahkan sebelum
saat Sampek datang meminang dirinya. Sayang sekali Sampek tidak segera dapat menjawabnya,
sehingga ia datang terlambat. Engtay sudah dijodohkan dengan pemuda kaya raya bernama Ma-
cun. Tidak tahan menahan malu dan kecewa, Sampek jatuh sakit dan akhirnya menemui ajalnya.
Kematian Sampek membuat Eng Tay sedih dan kehilangan.

Dalam perjalanan menuju ke rumah Macun, Eng Tay meminta ijin untuk bersembahyang di ku-
bur Sampek, yang diakuinya sebagai seorang temannya. Belum lama Eng Tay bersembahyang,
tiba-tiba kuburan Sampek terbuka. Eng Tay kemudian melompat ke dalamnya. Sampik dan Eng
Tay akhirnya bersatu di alam keabadian. Lalu sepasang kupu-kupu kuning terbang beriringan ke
udara keluar dari batu nisan Sampek yang menelan tubuh Eng Tay.

30 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Cerita Sampek Eng Tay yang merupakan folklore yang berasal dari negeri Tiongkok tersebut
dalam masyarakat Bali khususnya Singaraja telah menjadi bagian dari memori kultural yang terus
hidup sampai saat ini. Yang menarik dicermati proses transformasi dari kisah tersebut kedalam
bentuk bentuk kesenian yang lekat dengan kebudayaan Bali, dalam karya sastra misalnya terlihat
adanya proses “balinisasi” dari kisah Sampek Eng Tay kedalam format geguritan yang memakai
tembang dan syair Bali, sehingga menjadikan kisah Sampek Eng Tay ini sebagai sebuah kisah
yang begitu intim dalam memori kultural masyarakat Bali. Geguritan Sampek Eng Tay adalah se-
buah bentuk dari penerimaan masyarakat Bali terhadap salah satu bentuk kebudayaan Tionghoa,
namun proses penerimaan ini bukanlah sebuah proses penerimaan yang pasif dan apa adanya,
ada proses pengolahan dan adaptasi yang dilakukan oleh orang Bali sendiri yakni dalam format
gaya atau langgam tembang geguritan yang khas dalam seni sastra Bali yang tentu saja memakai
bahasa Bali.

Dalam konteks masyarakat Singaraja, kisah Sampek Eng Tay ini juga mengalami proses ad­ ­a­
ptasi yang semakin berlapis dan kompleks, selain dalam bentuk geguritan yang juga sudah sa­ ­
ngat me­ ngakar dalam memori kultural masyarakat Singaraja, pada beberapa dekade yang lalu
di S­ingaraja tepatnya di Banyuning muncul sebuah fenomena dalam dunia seni pertunjukkan
yakni diangkatnya lakon Sampek Ingtay ini sebagai lakon pertunjukkan oleh sebuah sekehe atau
kelompok Drama Gong Puspa Anom. Kelompok drama gong ini cukup fenomenal dan sangat
diterima oleh masyarakat Buleleng dan Bali pada umumnya terutama pada saat menampilkan
lakon Sampek Ingtay ini, sehingga lakon ini menjadi semacam branding bagi kelompok ini. Bicara
Drama Gong Puspa Anom maka ingatan masyarakat langsung tertuju pada kisah Sampek Eng
Tay.

Selain kisah roman percintan kisah Sampek Eng Tay jika dikaji lebih jauh juga memperlihatkan
ihwal kehidupan sosial kultural di daerah Tiongkok pada masa kisah ini berkembang. Kisah ten-
tang Eng Tay yang harus menyamar sebagai laki laki agar bisa sekolah menyiratkan ihwal posisi
perempuan di masa lalu yang berada dalam posisi yang termarginalkan, hal ini tentu saja tidak
hanya terjadi di negeri Tiongkok pada masa lalu tapi juga terjadi di Bali. Sehingga jika kita meli-
hat dan menginterpretasi posisi Eng Tay dengan menggunakan pandangan feminimisme misal-
nya, maka terlihat bahwa Eng Tay adalah sosok perempuan yang berani mendobrak tatanan yang
diciptakan oleh kultur partriarki yang membatasi dirinya sebagai perempuan untuk menempuh
pendidikan sebagai perempuan.

Kisah Chen Fu Zen Ren (manusia sakti bermarga Chen )

Kisah tentang Chen Fu Zen Ren (manusia sakti bermarga Chen) ini disampaikan secara turun
temurun dan menjadi bagian dari tradisi lisan masyarakat Tionghoa khususnya Tionghoa di Si­
ngaraja. Kisah ini termuat dalam buku “Mengenal Lebih Dekat Tempat Ibadah Tri Dharma Ling
Gwan Kiong dan Seng Hong Bio Singaraja” yang disusun pada tahun 2005. Dalam buku tersebut
dikisahkan pada masa dinasti Ming terdapat rombongan lawatan pelayaran samudra ke lautan
barat. Dalam rombongan tersebut terdapat seorang yang bermarga Lin (Lim dalam bahasa Hoki-
an) dan seorang bermarga Chen (Tan dalam bahasa Hokian). Saat rombongan tersebut singgah
di Bali kedua orang tersebut menetap di Bali. Dan tidak ikut rombongan melanjutkan perjalanan
ke Sumatra dan Jawa. Kedua orang tersebut akhirnya mengelilingi pulau Bali dan menetap di
Kintamani.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 31

Salah seorang dari mereka berdua yakni Bapak Lim sangat disenangi oleh raja setempat karena
sangat cakap dalam bidang ilmu ekonomi dan perdagangan sehingga raja menjodohkan putrinya
dengan si Bapak Lim. Setelah Bapak Lim menjadi menantu raja ia diberi tugas mengatur masalah
perdagangan dan bergelar I Gusti Ngurah Syubandar, salah satu tugasnya adalah mendatangkan
banyak uang kepeng ke Bali. Karena jasa beliau maka untuk menghormati sosoknya setelah be-
liau mangkat beliau didewakan dengan gelar Ratu Gede Subandar di beberapa pura di Bali.

Sedangkan seorang yang bermarga Chen atau Bapak Chen, mengembara menuju wilayah Meng-
wi. Saat itu kerajaan Mengwi sedang dalam masa kejayaan dengan wilayah kekuasaan hingga ke
Blambangan Jawa Timur. Sebagai wilayah yang sedang berjaya Raja ingin membangun sebuah
taman di wilayah kerajaan, lalu sang Raja meminta bantuan Bapak Chen, untuk membangun ta-
man tersebut dan raja memberi Bapak Chen waktu pada selama tiga bulan dan memerintahkan
dua orang patih untuk membantunya mengerjakan taman tersebut.

Waktu terus berlalu, hingga menjelang beberapa hari batas waktu yang diberikan sang raja, be-
lum juga Bapak Chen memulai pembangunan taman, bahkan Bapak Chen cenderung santai dan
acuh tak acuh. Raja merasa marah dan dilecehkan oleh kelakuan Bapak Chen dan jika sampai
batas waktu yang ditentukan taman itu tak terwujud maka leher Bapak Chen lah yang jadi ta­
ruhannya.

Tepat di malam terakhir menjelang tengat waktu yang diberikan, Bapak Chen mengambil selem-
bar kertas putih dan mulai melukis taman dengan kolam yang mengelilinginya. Setelah gambar
tersebut selesai lalu Bapak Chien mengucapkan mantera dan berubahlah taman yang semula
dalam bentuk gambar menjadi taman dalam wujud yang sebenarnya. Lalu Bapak Chen memang-
gil raja dan para patihnya untuk melihat hasil karyanya dalam semalam tersebut. Raja datang dan
Bapak Chen langsung mempersilakan untuk naik ke atas perahu dan berjalan mengitari kolam
di pinggir taman tersebut. Hingga tepat berada di bawah gerbang taman yang berbentuk kepala
angsa, lalu Bapak Chen meminta Raja untuk lewat di bawah gerbang tersebut, namun sang Raja
menolak dengan alasan kalau dirinya adalah seorang penguasa dan pantang untuk mesulub (le-
wat) di bawah patung apalagi patung itu berbentuk binatang. Raja bahkan memerintahkan untuk
menghilangkan saja gerbang berbentuk leher angsa itu. Bapak Chen menjelaskan bahwa dalam
ilmu feng sui penempatan gerbang dengan simbol leher angsa adalah simbol keberuntungan,
namun Raja tidak menggubris hal itu dan bersikukuh bahwa gerbang berbentuk leher angsa itu
harus dibongkar, dengan berat hati Bapak Chen mengiyakan perintah sang raja, hanya dengan
sekali tunjukan jari telunjuk maka hancurlah gerbang berbentuk leher angsa itu. Raja yang me-
nyaksikan kesaktian Bapak Chen berpikir jika Bapak Chen dibiarkan tetap ada di wilayah Mengwi
maka dianggap akan menjadi ancaman bagi eksistensi dirinya sebagai raja, bisa saja dengan
kesaktian yang dimiliki orang itu akan memberontak, lebih baik orang ini disingkirkan saja, maka
beberapa hari setelah kejadian itu raja memerintahkan para patihnya untuk membunuh Bapak
Chen.

Namun Bapak Chen sudah tidak ada lagi di wilayah kerajaan Mengwi, para patih mengejarnya
dengan kuda namun tetap tak dapat mengejar akhirnya sampailah Bapak Chen di Selat Bali lalu
para patih tersebut meminta ampun dan menyatakan diri ingin jadi murid Bapak Chen. Akhirnya
bapak Chen mengiyakan dengan syarat mereka tunduk pada perintahnya.Setelah sampai di Jawa
lalu Bapak Chen memerintahkan satu orang muridnya lari ke gunung dan berubah hariamau.
Seorang lagi terjun ke laut dan berubah jadi buaya. Lalu bapak Chen moksa di Jawa Timur.

32 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Setelah beliau moksa maka oleh beberapa komunitas Tionghoa di berbagai wilayah beliau dipuja
sebagai dewa dalam klenteng mereka dengan gelar Chen Fu Zhen Ren yang berarti orang sakti
bermarga Chen. Dewa ini juga menjadi dewa pujaan di Klenteng Ling Gwan Kong Singaraja.

Kisah tentang Chen Fu Zhen Ren ini tentu saja terkait dengan kebudayaan Tionghoa di Singa-
raja, karena seperti yang telah disebutkan diatas bahwa sosok Chen Fu Zen Ren ini adalah dewa
pujaan di Klenteng Ling Gwan Kong Singaraja. Dan jika dicermati pula kisah perjalanan hidup
beliau sebelum menjadi dewa pujaan memiliki keterkaitan kisah pula dengan salah satu kerajaan
di Bali yakni Mengwi. Kisah ini bertutur bagaimana interaksi antara Bapak Chen sebagai seorang
etnis Tionghoa dengan raja Mengwi sebagai seorang etnis Bali kala itu. Jika dicermati lebih jauh
terlepas dari adanya konflik akibat kesalah pahaman yang terjadi, dalam kisah tersebut terlihat
posisi etnis Tionghoa memiliki kontribusi terhadap pembangunan insfrastruktur di salah satu
wilayah di Bali semisal pembuatan taman.

Dempu Awang

Pada suatu ketika sebuah kapal dagang Cina yang bernama Dempu Awang melintas di wilayah
perairan Bali Utara tepatnya di wilayah sebelah utara Desa Panji. Kapal ini melintasi perairan Bali
Utara karena merupakan salah satu jalur menuju Jawa. Karena kondisi cuaca yang tidak men-
dukung dimana ketika itu sedang terjadi badai maka nahkoda kapal Dempu Awang menepikan
kapalnya ke arah pantai Panji. Namun karena sang nahkoda belum memahami kondisi pantai
Panji kala itu yang penuh karang maka kapal Dempu Awang akhirnya terjebak diantara dua buah
karang besar yang menjepit. Warga pesisir Panji yang melihat kejadian itu berusaha menolong,
mereka berupaya mendorong perahu tersebut beramai ramai namun tetap gagal.

Akhirnya peristiwa itu sampai juga di telinga Ki Panji Sakti, yang saat itu masih berusia muda.
Dengan membawa sebilah keris pusaka yang diyakini bertuah yakni Ki Semang. Sesampainya
di pantai, Panji Sakti melihat kondisi kapal yang terjebak karang, lalu ia mengarahkan keris Ki
Semang ke arah kapal yang terjepit karang tersebut. Keanehan pun terjadi, dari arah keris Ki Se-
mang berhembuslah gelombang besar yang bergulung gulung memberikan daya dorong pada ka-
pal Dempu Awang, hingga kapal itupun dapat terlepas dari cengkraman karang yang me­ njebak.
Setelah itu, sesuai dengan janji sang nahkoda kapal, bahwa barang siapa yang mampu mem-
bebaskan Dempu Awang dari cengkraman karang maka ia akan diberikan sebagian dari barang
bawaan kapal. Maka Panji Sakti dihadiahkan sebagain isi kapal yang berisi berbagai barang ba-
rang berharga se perti sutera, porselin, obat obatan, dan berbagai komoditi berharga lainnya.

Kisah tentang Dempu Awang ini terdapat dalam historiografi tradisional yakni babad Buleleng.
Kisah yang termuat dalam Babad buleleng ini juga tercantum dalam dua buah buku tentang
I Gusti Panji Sakti. Yakni buku “Babad Raja Anglurah Panji Sakti Pendiri Kerajaan Den Bukit –
Buleleng”(2013) yang ditulis oleh Anak Agung Ngurah Dwipayana serta buku “ I Gusti Ngurah
Panji Sakti Raja Buleleng” (1994) yang ditulis oleh Soegianto Sastrodiwiryo. Dalam buku yang
ditulis Soegianto Sastrodiwiryo ini tertulis bahwa peristiwa karamnya kapal Dempu Awang terjadi
pada tahun 1618. Peristiwa karamnya kapal Cina yang sedang melakukan ekspedisi perdagangan
tersebut diabadikan di salah satu pelinggih di Pura Segara Penimbangan, yaitu di Pelinggih Taksu
yang terdapat arca kuno dengan gaya Cina menggambarkan seorang laki-laki bertubuh gemuk
yang sedang duduk bersila, berkepala gundul dan menghadap ke laut Jawa, jika dilihat dari ges-
tur dan ikonografi menunjukkan kemiripan dengan tokoh Budha Lokeswara. Pelinggih Taksu ini

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 33

merupakan Pelinggih Ratu Bungkah Kaang9. Kisah yang historiografis tradisional ini memperlihat-
kan bagaimana sinergi antara tokoh I Gusti Panji Sakti sebagai sosok “Founding Father” kerajaan
Buleleng dengan etnik Tionghoa dalam hal ini adalah nahkoda kapal Dempu Awang. Sebuah
sinergi yang menujukkan sikap saling memberi dan menerima. Bagaimana para warga Panji
dalam kisah tersebut bahu membahu berusaha membebaskan kapal Dempu Awang yang berkat
kecemerlangan dan kesaktian yang dimiliki oleh Pusaka Ki Semang milik Panji Sakti yang ketika
itu masih berusia muda berhasil membantu membebaskan kapal tersebut yang terjebak batu
karang. Sebagai tanda balas budi dan persaudaraan maka nahkoda kapal Dempu Awang mem-
berikan berbagai komoditi yang dimuat dalam kapal tersebut kepada Panji Sakti dan masyarakat
desa Panji. Terlepas dari imbalan materi yang diberikan tersebut, kisah ini sekali lagi menunjuk-
kan adanya sikap saling memberi dan menerima tanpa memandang sekat-sekat etnik.

Prasi Sebagai Pilihan Presentasi

Dalam pameran ini ketiga kisah yakni Sampek Eng Tay, Chen Fu Zen Ren, dan Dempu Awang
ini tentu saja akan dipresentasikan dalam karya seni rupa. Dari sekian pilihan cara presentasi
visual naratif yang ada maka dipilihlah cara presentasi yakni dengan memgunakan satu bentuk
atau genre seni rupa yang digali dari kosa rupa tradisi Bali yakni prasi. Mengapa prasi dipilih?,
sedangkan prasi adalah salah satu bentuk karya seni rupa Bali yang tidak memiliki keterhubun-
gan langsung dengan budaya Tionghoa. Jawabannya adalah karena prasi adalah genre seni rupa
yang paling otentik (khas) Bali. Prasi sejauh penelitian yang ada memang tidak terkait dengan
kebudayaan Tionghoa. Pemilihan genre seni prasi sebagai materi presentasi utama dari sub tema
ini adalah sebuah upaya untuk menunjukkan bagaimana sebuah konten yang berasal dari entitas
kebudayaan Tionghoa itu coba “diintimi” dalam konteks budaya Bali.

Maka pertimbangan pemilihan media itu sekiraranya elok jika dibahasakan dengan alternatif ba-
hasa visual dari genre seni rupa yang paling otentik dengan kosa rupa Bali. Sehingga pilihannya
adalah prasi. Ya, sebab genre seni rupa yang satu ini, hanya dapat ditemui dalam kebudayaan
Bali. Pemilihan prasi sebagai materi presentasi utama dalam sub tema ini juga adalah upaya un-
tuk mendudukan seni prasi sebagai sebuah genre tersendiri dalam medan sosial seni rupa hari
ini. Menurut Hadiman, kurator, penulis, dan akademisi dari Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undik-
sha Singaraja, prasi hendaknya jangan terpahami secara terpisah pisah sebagai teknik ataupun
medium, melainkan prasi sebaiknya dipahami sebagai sebuah cabang seni rupa tersendiri. Prasi
adalah prasi itu sendiri, ia bukan seni lukis, bukan pula bentuk seni rupa lainya.

Dalam konteks mendudukan prasi sebagai satu cabang atau disiplin tersendiri maka mau tidak
mau kita akan berhadapan dengan upaya mengidentifikasi konvensi-konvensi ataupun karakter-
istik apa saja yang ada dalam seni prasi itu. Dari aspek medium yang digunakan prasi memakai
medium daun rontal (Borasus Flabellifer) sejenis tumbuhan palma yang banyak tumbuh di daerah
tropis seperti Indonesia. Daun lontar merupakan sebuah medium yang penting dalam sejarah
keber-aksara-an di Nusantara termasuk Bali. Sejarah medium untuk menuliskan berbagai hal di
Nusantara diawali dari tulisan diatas batu yang lazim disebut prasasti, namun kemudian prasas-
ti juga berkembang dalam medium logam. Selanjutnya tradisi menulis aksara ini berkembang
dengan memakai medium bagian bagian dari tumbuhan tertentu seperti kulit kayu, permukaan
bambu, termasuk daun rontal yang tentu saja melalui beberapa tahapan proses pengolahan. Me-
dium daun rontal ini menjadi medium yang paling masif digunakan dalam menulis aksara di Asia
Selatan dan Asia Tenggara termasuk Nusantara terutama di wilayah Jawa dan Bali. Khusus untuk

34 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

daerah Bali, daun rontal tampaknya bukan hanya berhenti sebagai medium menuliskan aksara
tapi juga sebagai medium dalam menghadirkan image atau representasi visual tertentu, biasanya
sebagai ilustrasi dari apa yang dijelaskan dalam rangkaian narasi tertentu ataupun untuk memvi-
sualkan bentuk bentuk visual yang simbolis magis seperti rerajahan. Penggunaan medium daun
lontar yang meluas dari medium menuliskan aksara ke penghadiran image inilah yang melahirkan
bentuk seni prasi.

Dari aspek teknik, prasi dibuat dengan menorehkan benda tajam ke atas permukaan lontar,
benda atau alat yang biasa dipakai dalam menorehkan gambar ke atas permukaan daun lontar
di Bali disebut Pengrupak yakni semacam pisau kecil yang memang didesain khusus peruntukan-
nya sebagai alat untuk menorehkan guratan guratan aksara ataupun gambar ke atas permukaan
daun lontar. Selanjutnya permukaan daun lontar yang sudah tertoreh sesuai image yang hendak
dihadirkan itu digosok dengan menggunakan pigmen khusus yang biasanya dibuat dari buah
kemiri atau tingkih (dalam bahasa Bali)yang dibakar sampai mengeluarkan minyak, selanjutnya
minyak tersebut digosokkan pada permukaan daun lontar sehingga pigmen yang terbuat dari
minyak kemiri tersebut masuk pada bagian yang tertoreh. Proses menghadirkan image dengan
cara menorah permukaan bidang gambar untuk memasukkan pigmen pada bagian yang tertoreh
tersebut mengingatkan kita pada teknik tato, hanya saja bedanya medium yang digunakan jika
tato menggunkan kulit manusia maka prasi menggunakan daun rontal. Dalam seni grafis teknik
penghadiran image dalam seni prasi ini juga memiliki kedekatan dengan teknik engraving, bedan-
ya lontar yang telah ditoreh dan dimasukkan pigmen berupa minyak kemiri tidak dipakai sebagai
acuan cetak melainkan karya final. Sedangkan engraving, bidang yang tertoreh dan dimasukkan
pigmen pada ceruk yang ditoreh tersebut dijadikan sebagai acuan cetak sehingga memerlukan
kertas atau medium lain sebagai medium cetaknya.

Dari segi karakteristik dari visual yang hadir dalam seni prasi menunjukkan aspek naratif yang
kuat. Dalam setiap lembar daun lontar atau lempir dalam bahasa Bali, tergambarkan satu atau
dua frame adegan tertentu, penggambaran adegan tersebut kadangkala diimbuhi dengan tulisan
tapi ada juga yang tanpa tulisan. Satu kisah atau cerita yang tergambarkan dalam prasi biasanya
terdiri dari berlembar lembar bidang atau lempir selanjutnya lembaran-lembaran tersebut disatu-
kan dengan menggunakan tali pada pinggir dan tengah tengah bidang, lembaran yang telah
disatukan dengan tali ini diapit oleh dua buah kayu pengapit yang disebut cakepan. Selanjutnya
prasi yang sudah ditaruh diantara dua cakepan itu diletakkan di dalam sebuah kotak yang ber-
nama kropak.

Berdasarkan identifikasi aspek-aspek dalam seni prasi tersebut kita kemudian dapat merumus-
kan konvensi-konvensi dalam seni prasi itu sendiri. Yakni satu bentuk karya seni dua dimen-
sional, bermediumkan daun lontar, memakai teknik torehan dalam menghadirkan image, serta
mengandung aspek naratif di dalamnya. Lantas apakah prasi tanpa memilki ruang inovasinya?
Tentu saja ada yakni pada aspek naratifnya, dimana konten cerita-cerita yang tersajikan dalam
prasi sangat lapang untuk diperluas, tidak saja mengangkat cerita pewayangan ataupun folklore
namun bisa saja mengangkat konten-konten ataupun tema-tema yang diperluas pada persoalan
kekinian misalnya.

Namun realitas yang terjadi di lapangan berkata lain, di kalangan para pembuat prasi muncul ino-
vasi-inovasi dengan menampilkan objek-objek tunggal tanpa narasi, seperti penggambaran Dewi
Saraswati, Ganesha dan lain sebagainya yang digambarkan tunggal dengan menggunakan lem-

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 35

bar demi lembar daun lontar yang disatukan sehingga menjadi satu bidang gambar. Lantas den-
gan cara penggambaran seperti ini apakah masih bisa dikatakan prasi? Hal ini tentu merupakan
dinamika yang menarik untuk diperbincangkan lebih jauh. Menurut Hardiman dalam sebuah dis-
kusi via email dengan penulis, mengatakan bahwa Prasi degan gambar tunggal menunjukan rasa
minder pada seni lukis. Jadi, ia telah keluar dari konvensi prasi yang naratif dan pragmen­ taris
bersekuen. Prasi dengan gambar tunggal hanya menempatkan daun lontar sebagai penggan-
ti kanvas. Prasi dengan gambar tunggal, saat diapresiai akan memberi jarak dengan apresiannya.
Prasi yang sejati adalah prasi dengan stuktur bahan, teknik dan gaya pelukisan atau perwujudan
atau cara presentasi dan cara menikmatinya menghendaki si penikmat atau apresian untuk dekat
dan erat dengan prasi itu sendiri. Apresian dan karya seni prasi bukan hanya tak berjarak tapi
juga bersentuhan langsung. Prasi adalah teks visual yang menghendaki cara pembacaannnya ter-
perinci dengan cara baca kiri ke kanan, atas ke bawah, dinikmati keunikan garis demi garisnya.
Karenanya dalam proses apresiasi, prasi ada dalam pelukan apresian. Sesuatu yang tidak ter-
jadi, bahkan “diharamkan” pada seni modern. Prasi telah melampaui batasan seni modern. Prasi
dengan gambar tunggal, menurut saya itu bukan “perkembangan” tapi “penyimpangan” ungkap
Hardiman. Idealnya, kita pertahankan konvensi prasi sebagai salah satu genre seni rupa konven-
sional. Dan, perjuangkan untuk diterima dalam dunia keilmuan seni rupa. De­ ngan demikian, tesis
Wiyoso Yudoseputro yang mengatakan bahwa di Indonesia hanya Bali yang mempunyai seni ru-
panya sendiri, itu kita kuatkan dengan menghadirkan prasi, tambah Hardiman pada akhir diskusi.

Prasi dengan segala karakteristik yang dimilikinya memang memilki potensi untuk didudukkan
sebagai nomenklatur tersendiri dalam klasifikasi seni rupa, sehingga jika barat membuat klasifi-
kasi nomenklatur seni rupa sebagai; lukis, patung, grafis, craft, instalasi, video, performance,
digital print, maka seni rupa Bali boleh mengajukan interupsi; bahwa prasi adalah nomenklatur
seni rupa setara dengan nomenklatur seni rupa yang lainya itu.

Catatan Pada Karya

Menelisik karya yang dihadirkan para perupa dalam sub tema ruang cerita ini, dimana prasi men-
jadi bentuk cara memvisualkan kisah Sampek Engtay, Chen Fu Zhen Ren dan Dempu Awang,
terlihat upaya untuk memposisikan seni prasi dalam konvensinya tersendiri. Karakteristik naratif
tetap menjadi pilihan utama, demikian juga dengan cara presentasinya, diupayakan untuk tetap
hadir sebagaimana mulanya prasi, misalnya karya-karya tetap memakai cakepan dan tidak di-
gantung di dinding, sehingga hal ini dapat menggiring apresiator untuk dapat melihat karya-karya
prasi ini sebagaimana cara membaca lontar, duduk khusuk, sembari menikmati lembar demi
lembar adegan. Menikmati karya prasi dengan ukuran yang relatif tidak terlalu besar tentu mem-
butuhkan kekhusukan, hal inilah yang coba dihadirkan dengan pilihan presentasi karya di dalam
ruang pameran yang tidak memanfaatkan dinding sebagai tempat presentasinya.

Karakteristik visual yang dihadirkan para perupa dalam tiga karya mereka menunjukkan kara-
kteristik visual yang realistik, sebagian lagi memperlihatkan karakter yang dekoratif. Yang me-
narik pada proses transformasi dari cerita ke rupa ini adalah aspek interpretasi perupa dalam
menghadirkan atau memvisualisasikan tokoh-tokoh yang hadir dalam cerita tersebut. Pengh­
ayatan karakter tokoh hingga mampu memvisualkannya dalam bentuk representasi image tentu
membutuhkan kepekaan tersendiri, disamping tentu saja pemahaman tentang aspek-aspek iko-
nografi. Cerita Sampek Engtay, Zen Fu Chen Ren, dan Dempu Awang terbagi dalam lembar atau
lempir daun rontal, satu lembar daun rontal ada yang terbagi menjadi dua frame atau pun satu

36 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

frame. Membaca gambar yang naratif seperti prasi ini mengingatkan kita pada apa yang dipapar-
kan Primadi Tabrani dalam teori bahasa rupa-nya. Khususnya tentang apa yang disebut sebagai
cara penggambaran objek dengan metode RWD (Ruang Waktu Datar). Dalam sistem RWD setiap
objek bisa ditembak dari berbagai arah, berbagai jarak, berbagai waktu. Gambar bisa jadi berupa
sebuah sekuen yang bisa terdiri dari sejumlah adegan. Bisa menggambarkan gerak; objek yang
sama digambar lebih dari satu kali. Hampir semua objek digeser hingga semua tampak dan bisa
diceritakan. Digambar besar atau kecil tak ada hubungannya dengan jarak, tapi dengan penting
tidaknya objek dalam sebuiah cerita. Bisa terdiri dari sejumlah latar dengan tiap latar punya ru-
ang dan waktu sendiri-sendiri9

Yang juga tak kalah penting untuk dicatat dalam proses penggarapan karya ini adalah aspek kerja
kolektifnya. Satu cerita digarap oleh beberapa orang perupa, dalam proses ini tentu saja jejak
jejak personalitas dalam karya musti direduksi agar terlihat satu kesatuan yang utuh. Model kerja
kolektif semacam menurut Oho Garha, adalah model kerja kolektif campuran yang berbeda de­
ngan model kerja kolektif gabungan. Dalam kerja kolektif campuran jejak-jejak identitas pribadi
sepenuhnya larut dalam satu kesatuan kita nyaris tak dapat mengenali lagi karakteristik visual
individual didalamnya. Sedangkan metode kerja kolektif gabungan tentu saja adalah kebalikan
dari kerja kolektif campuran itu, dalam model kerja kolaboratif gabungan karakteristik pribadi
dari masing-masing individu yang mengerjakan satu karya kolaboratif masih dapat terlihat de­
ngan jelas. Dalam penggarapan prasi ini sekali lagi para perupa memakai metode kerja kolektif
campuran.

I Made Susanta Dwitanaya

Alumni Prodi Pendidikan Seni Rupa Undiksha

Catatan ;
1 E.B. Taylor dan J.G. Fraser, “Animisme dan Magi,” dalam Daniel L Pals, Seven Theories of Reli-
gion, terjemahan Ali Noer Zaman,Yogyakarta: Qalam, 1996.
2 Abdul Chaer “Folklore Betawi, Kebudayaan & Kehidupan Orang Betawi”, Jakarta: Masup, 2012
3 Ibid
4 Roland Bartes, “Membedah Mitos- Mitos Budaya Massa, Semiotika Atau Sosiologi Tanda, 5
Simbol, dan Representasi”, Yogyakarta: Jalasutra, 2010
6 Ibid
7 Chris Barker “Kamus Kajian Budaya” Yogyakarta: Kanisius, 2014
8 Ibid
9 Abdul Malik Raharusun, “Mata Ajar Penulisan Sejarah” Bahan Ajar Bimbingan Teknis
10 Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesejarahan Bagi Penulis Sejarah, Kemendikbud, 2016
Primadi Tabrani, Bahasa Rupa, Kelir, 2005
I Made Susanta Dwitanaya, lahir di Banjar Penaka, Tampaksiring, Gianyar pada 22 Juli 1987.
Menempuh pendidikan di Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja (2005 – 2010). Tahun
2008 lolos sebagai finalis kompetisi esay dan feature Seni Rupa antar mahasiswa se–Indonesia
yang diselenggarakan majalah Visual Art dan Galeri Nasional. Sejak lulus tahun 2010 menekuni
dunia kurasi dan penulisan seni rupa. Menulis dan mengkurasi beberapa event di beberapa ruang
seni di Bali dan luar Bali seperti; Museum Neka, Bentara Budaya Bali, Santrian Gallery, W. Barwa
Gallery, Sika Gallery, Bentara Budaya Yogyakarta, Jogya Gallery, Orasis Gallery Surabaya dll.
Menjadi salah satu penulis buku Nyoman Erawan; E(r)Motive. Menjadi asisten penulis dalam buku
Lempad For The World. Menjadi salah satu narasumber dalam diskusi Bali Tempoe Doloe; DAS
Pakerisan dalam Arkeologi dan Seni di Bentara Budaya Bali. Selain di katalog pameran beberapa
tulisanya pernah terpublikasikan di Majalah Visual Art, Majalah Seni Sarasvati, Tribune Bali, dan
Jurnal Prasi FBS Undiksha Singaraja. Salah satu karya lukisanya pernah menjadi ilustrasi cerpen
Kompas.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 37

ARTEFAK DAN JEJAK-JEJAK

(Esay untuk sub tema Artefak dan Jejak-Jejak, Pameran “Qilin” Pameran Civitas Akademika
Prodi Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja)

Oleh: I Ketut Wisana Ariyanto

Artefak memuat kisah dan makna bagi orang-orang yang menempatkannya sebagai sebuah keya-
kinan. Kehadiran artefak akan mempertegas cerita yang kadang kala dipandang hanya sebagai
mitos oleh kalangan muda yang berpikiran logis. Bagi sang penutur, artefak dapat pula membang-
kitkan memori terhadap sesuatu yang berkesan pada proses kehidupannya yang lampau, entah
kejadian yang dialami langsung atau berdasarkan penuturan dari orang yang ia yakini sebelum-
nya. Berbicara tentang memori, artefak seringkali menjadi pemicu munculnya rasa ingin tahu,
perasaan terharu, penanda kejadian, penanda wilayah, dan sebagainya. Artefak adalah saksi bisu
yang hadir sepanjang bentuknya tetap utuh atau semasih dapat terkenali. Dalam sebuah benda
mungkin saja memuat kejadian indah, menyedihkan, tragis, memilukan, bahkan aktifitas religius
yang hidup disekitarnya sehingga akan membangkitkan perasaan manusia pada masa yang jauh
dari waktu kejadian sebenarnya.

Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk dapat memahami sebuah informasi yang lampau
adalah dengan pembuktian langsung terhadap latar tempat atau benda-benda yang ada dalam
cerita, tentunya disesuaikan dengan angka tahun dan pembuktian dari tokoh strategis dalam hal
tersebut. Peninggalan sejarah tersebut akan memperkuat, atau bahkan bisa merangkai cerita
yang pernah terkubur oleh jaman. Peninggalan sejarah berupa artefak adalah salah satu contoh
strategis dalam membuktikan sebuah kejadian atau tempat menuju informasi yang dapat dicerna
secara logis.

Tidak mudah menggali kenangan masyarakat pada masa lampau, setiap momen seakan hidup
hanya pada waktunya saja. Meskipun dijelaskan dengan bahasa deskriptif sekalipun, sulit untuk
dapat dirasakan secara lengkap. Dalam upaya menggali memori masa lalu, benda adalah saksi
bisu yang dapat dianalisis guna penggalian rasa yang pernah ada pada jamannya. Artefak dari
sudut pandang ini seakan menjadi tokoh utama dalam menjalankan peran dalam penyampaian
sejarah. Artefak dapat menunjukkan kecanggihan teknologi, selera artistik, imajinasi, bahkan
tingkat spiritualitas masyarakat yang hidup pada jaman ketika benda tersebut dibuat. Teknologi
dalam proses pembuatan artefak pada masa lampau tidak dapat dilepaskan dari keterjalinan
informasi dengan bangsa-bangsa lain yang datang ke nusantara, baik dalam upaya perdaga­
ngan maupun penguasaan atas lahan. Selera artistik dapat memberikan gambaran tentang daya
tarik yang dibawa kaum pendatang pada kekayaan visual lokal, hal ini dapat dilihat dari visual
dan penamaan pepatran (ornamen ukiran) yang mengacu pada beberapa nama seperti patra
ulanda (Belanda), patra China dan patra Mesir. Artefak dapat pula memberikan gambaran tentang
tingkat spiritual masyarakat. Kepercayaan terhadap setiap benda yang ada di dunia memiliki ar-
wah, terlebih benda tersebut memiliki visual yang mengacu pada simbol keagamaan, secara per-
lahan telah mengarahkan proses penciptaan karya yang lebih banyak mengandung nilai spiritual
dibandingkan sisi artistiknya. Karya seni yang demikian biasanya menunjukkan bentuk-bentuk
yang lebih sederhana, lebih bersifat kontemplatif.

38 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Artefak oleh Mikke Susanto diartikan sebagai benda-benda yang menunjukkan kecakapan ma-
nusia 1. Artefak adalah saksi bisu atas peristiwa yang pernah terjadi, dengan berusaha mengen-
alinya akan memberikan nostalgia atas kejadian yang pernah terjadi.

Masyarakat Tionghoa sebagai kaum pedagang yang melakukan banyak perjalan ke penjuru
du­ nia tak terkecuali di nusantara, telah menempatkan dirinya sebagai salah satu bagian sejarah
p­anjang pluralitas yang ada di Buleleng (Singaraja). Tidak ada catatan pasti tentang yang tahu
persis perihal era datangnya etnis Tionghoa ke (Singaraja), demikian pula dengan akulturasi yang
telah dan sedang terjadi di daerah ini, sehingga terdapat berbagai kemiripan ritual keagamaan
dengan masyarakat pribumi (Hindu). Salah satu contoh tentang kemiripan yang dapat dilihat dari
penggunaan buah, bunga dan dupa pada saat ritual keagamaan.

Terlepas dari hal yang bersifat keagamaan, masyarakat Tionghoa juga meyakini dan menggu-
nakan unsur-unsur alam sebagai lambang kemuliaan dan kebaikan. Tidak jarang kemudian unsur
alam tersebut digunakan sebagai motif hias yang menghiasai tempat ibadah dan tempat lain yang
disucikan. Motif hias yang kerap digunakan oleh masyarakat Tionghoa mengandung makna atau
pertanda baik dan mendatangkan berkah. Motif-motif yang sering digunakan menggambarkan
dunia tumbuhan, binatang dan dewa-dewi. Beberapa motif tersebut antara lain misalnya rumpun
bambu yang menunjukkan etos kerja, bunga teratai lambang kesucian dan kesempurnaan, bunga
krisan sebagai lambang keabadian, labu air lambang ketenangan, pohon perdu sebagai pohon
permohonan, daun Ai Yeh lambang kesehatan, rusa sebagai pengantar arwah ke alam baka, Naga
Liong lambang Dewa Langit, merak/phoenik sebagai pencerahan, macan sebagai jelmaan Dewa
Bumi, dan Kilin yang dipercaya sebagai binatang mitologis yang melambangkan kesempurnaan.

Kilin dalam mitologi

Kilin dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa adalah salah satu binatang sakral yang masih
dipercaya sampai saat ini. Kilin bersama dengan Naga Liong, Kura-kura dan Burung Hong me-
wakili prinsip-prinsip kebaikan dan terkait erat dengan kepercayaan mereka dalam menjalankan
ibadatnya. Naga Liong adalah mahluk mitologis yang identik dengan masyarakat Tionghoa. Mah-
luk ini digambarkan bertubuh ular, bersisik ikan, bermoncong buaya, berhidung kuda, bertaring
singa, bermata keledai, berkuping kerbau, berinsang kerang, bertapak macan, bercakar elang,
berkumis kucing, dan berjenggot kambing, tanduk rusa, dahi serigala, kaki kuda, kelinci, macan,
menjangan,

Kilin yang juga sebagai mahluk mitologis bagi masyarakat Tionghoa ternyata juga menunjukkan
kualitas fisik yang kompleks seperti Naga Liong. Sebagai mahluk mitologis, Kilin memiliki banyak
penafsiran bentuk dan fungsinya bagi masyarakat Tionghoa. Sebagai mahluk mitologis kilin mem-
berikan ruang apresiasi yang besar bagi perupa, dan nampaknya akan semakin memberi ruang
interpretasi bagi perupa dalam upaya perwujudan kilin. Kilin kerap diwujudkan dalam bentuk tiga
dimensi yang diletakkan di pintu masuk bangunan spiritual seperti di kelenteng, kuburan, bahkan
di pura (tempat ibadah umat Hindu). Salah satu Pura yang ada patung Kilin adalah Pura Endek.
Pura yang berlokasi di Danau Tamblingan adalah tempat ibadah “majemuk”, karena selain umat
Hindu, umat Tri Dharma juga banyak hadir untuk melakukan persembahyangan. Sebagai bukti
kemajemukan tersebut, pada areal pura terdapat tiga tempat pembakaran kertas yang masing-
masing untuk umat yang berkeyakinan Tao, Budha, dan Konghucu.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 39

Pura Endek dan tempat bakar kertas untuk para Dewa
Foto: I Ketut Wisana Ariyanto

Patung Qilin pada Pintu masuk areal Pura Endek
Foto: I Ketut Wisana Ariyanto

40 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Kilin digambarkan sebagai binatang berbadan anjing dan berkepala singa, telinga pan-
jang seperti kuda. Mutiara terdapat pada mulut dan kening. Pada salah satu kakinya membawa
daun Ai Yeh, bunga botan pada dada tengah atau antara kaki depan dalam posisi jongkok. Mo-
tif mutiara sering digambarkan sebagai bulatan yang mulus tanpa goresan, pada seni ukir atau
seni lukis digambarkan sebagai bola api atau bulatan yang diberi tanda berpijar, sebagai atribut
biasanya terletak di depan atau di dalam mulut atau patuk binatang yang memakainya. Mutiara
apabila berada pada tempat yang gelap ia akan bercahaya seperti matahari. Dalam hal ini mutiara
bersifat Yang, akan tetapi walaupun bercahaya tetap dingin yang berarti unsur Yin. Jadi mutiara
mempunyai dua unsur Yin dan Yang yang berarti melambangkan kesempurnaan. Qilin dalam ben-
tuk arca dibuat secara berpasangan, sebelah kanan membawa daun Ai Yeh atau pedang, dan kiri
membawa qilin kecil atau dragon fish.

Qilin sebagai binatang mitologi berasal dari kata “Chi” yang berarti jantan dan “Lin” yang berarti
betina. Oleh karena itu Qilin adalah binatang berkelamin ganda. Penyatuan antara Chi dan Lin
seperti halnya pada Yin dan Yang yang berarti kesempurnaan. Kehadiran Qilin dianggap sebagai
pembawa berkah, kesehatan, keselamatan, dan keamanan. Hal ini dapat dilihat dari daun Ai Yeh
dan pedang yang dipegang oleh Qilin. Nama Kilin dalam bahasa Hokkian atau Kirin oleh masyara-
kat Jepang juga melambangkan panjang umur, kemegahan, kebahagian, kebajikan dan kebijak-
sanaan. Berwatak lemah-lembut dan ramah, dan dikatakan memiliki semua kualitas kebaikan di
antara semua makhluk berkaki empat. Konon binatang suci ini erat kaitannya dengan kelahiran
Kong Zi (penyebar ajaran Khonghucu), sehingga pernah ada keyakinan permohonan keturunan
kepada binatang ini di Negeri Tiongkok.

Sebagai mahluk mitologis, penggambaran Kilin memiliki berbagai persepsi. Versi lain ada yang
menyebutkan bahwa kilin bertubuh rusa jantan, berekor kerbau, berdahi serigala, berkaki kuda,
bersisik ikan, dan bertanduk. Warna kulit kilin memiliki lima warna yaitu merah, kuning, biru,
putih dan hitam. Kilin adalah kendaraan Dewa Ji Lay Nan U Fuk. Kilin mewakili 18 binatang yang
ada di bumi 2.

Saking pelan cara jalannya, banyak warga juga menyebutkan bahwa kilin melambangkan rasa
cinta kasih. Kilin tidak mau jika jalannya akan merusak ranting pohon atau malah menginjak
binatang lain yang lebih kecil. Kilin adalah jelmaan imajinasi manusia terhadap rasa syukur atas
kemakmuran, cintakasih dan keamanan. Kilin adalah binatang dalam legenda, yang merupakan
ciptaan dari imajinasi manusia belaka. Kilin bertubuh rusa, tubuhnya diselubungi oleh sisik, ke-
palanya tumbuh tanduk panjang, di atas tanduknya ada gumpalan daging. Kakinya seperti kaki
kuda, ekornya seperti ekor sapi. Kilin dianggap sebagai makhluk yang memiliki sifat moral baik.
Raja-raja selalu menganggapnya sebagai lambang kedamaian dan kemakmuran. Selain itu, di
Tiongkok masih ada legenda “Kilin mengirim anak”. Rakyat menganggap Kilin sebagai simbol
yang dapat memberikan anak dan di lain pihak juga mengekspresikan harapan dan doa agar
mendapatkan seorang anak laki-laki, dan keluarga akan berjaya dan sejahtera selamanya 3.

Kilin dan ruang imajinasi

Dilihat dari beragamnya persepsi, keyakinan, dan visual dari kilin tersebut maka dalam ka­ itan pen-
ciptaan karya, Kilin dapat menjadi objek strategis dalam menggambarkan keragaman ma­ syarakat
yang ada Singaraja sampai saat ini. Singaraja sebagai pelabuhan laut pertama di Bali, bahkan
pernah menjadi ibu kota Kepulauan Sunda Kecil (1846) telah menjadi tempat berkumpulnya

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 41

berbagai etnis dengan kebudayaannya masing-masing. Keragaman etnis tersebut hidup rukun
sampai saat ini dan mendiami wilayah sekitaran pelabuhan Buleleng.
Selain kedekatan pada sisi kehidupan sosial, secara tidak langsung kilin memiliki kemiripan de­ ngan
patung Singa Ambara Raja secara visual. Singa Ambara Raja yang menjadi ikon Kota Si­ngaraja
tidak dapat menjelaskan satu binatang yang pasti, mulai dari kepala, sayap, badan, ekor dan
kaki, terlebih bahwa di Bali tidak pernah ditemukan jejak kehidupan singa, apalagi singa Ambara
Raja yang bersayap. Dilihat dari sisi tersebut, Singa Ambara Raja adalah binatang khayalan atau
barangkali dapat disebut sebagai mahluk mitologis.
Patung Singa Ambara Raja ditetapkan dengan perda daerah pada tanggal 25 April 1968, dan
disahkan oleh mendagri pada tanggal 19 November 1968. Dalam arti nasional Singa Ambara
menunjukkan 17 helai sayap, 8 helai daun jagung, dan 45 butir biji jagung gembal. Hal tersebut
erat kaitannya dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Dari sisi daerah, arca Singa-Raja
yang bersayap menjadi lambang daerah Kabupaten Buleleng yang terbentang dari barat hingga
timur. Jagung gembal dipegang dengan tangan kanan sebagai tanda bahwa Buleleng dipegang
oleh kota Singaraja. Motto Singa Ambara Raja melambangkan kelincahan dan semangat kepahla-
wanan rakyat Buleleng. Sembilan kelopak bungan teratai menunjuk pada sembilan kecamatan
yang ada di Buleleng. Jumlah keseluruhan bulu sayap Singa 30 helai menunjukkan tanggal, tiga
batang tulang pemegang sayap menunjukkan bulan Maret. Dan 1604 helai rambut Singa Ambara
menunjukkan pada tahun berdirinya Kota Singaraja4.

Kemiripan gesture patung singa ambara raja dengan patung qilin
Foto: I Ketut Wisana Ariyanto

42 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Masing-masing dari kilin dan Singa Ambara Raja memiliki perlambangan bagi masyarakat Tiong-
hoa dan Buleleng, mereka diniatkan menjadi visualisasi atas kehendak baik dan beragam cita-cita
yang mulia. Dilihat dari ciri-ciri fisiknya, kedua mahluk ini memiliki kedekatan bentuk, terlebih
bahwa Bambang Hasrinuksmo dalam bukunya “Ensiklopedi Keris” menyebutkan bahwa patung
kilin, binatang dari Cina memberi pengaruh yang besar pada bentuk singa barong pada gandik
keris dapur singa barong. Hasrinuksmo juga menyebutkan bahwa Kilin adalah perwujudan singa
yang telah mengalami proses stilirisasi, sehingga tidak memiliki kesamaan yang signifikan de­
ngan binatang singa yang ada di kehidupan nyata5.
Dalam upaya untuk interpretasi pluralisme budaya Tionghoa pada sub tema artefak ini, tim mem-
visualisasikan karya tiga dimensi (patung) berwujud qilin berbahan tanah. Upaya visualisasi karya
tidak diniatkan untuk mencari kebenaran wujud, namun lebih ditekankan pada daya imajinasi
gabungan dari berbagai bentuk hewan yang membangun struktur qilin tersebut. Sebagai acuan
berkarya, patung qilin dirancang bertubuh rusa jantan, berekor kerbau, berdahi serigala, berkaki
kuda, bersisik ikan, dan bertanduk. Rancangan patung kilin tidak serta merta mengikat hasil ak­
hirnya, agar rasa pluralitas dari anggota tim dapat masing-masing muncul pada karyanya.

Karya kolektif Qilin
Dalam tahap perwujudan karya, teknik yang digunakan adalah cetak padat dengan cara tekan
(press) berbahan tanah gerabah. Teknik cetak tekan adalah salah satu teknik dalam pengerjaan
karya keramik untuk mendapatkan bentuk repetitif dari karya satu dengan yang kedua dan se­
te­ rusnya. Teknik cetak tekan adalah pembentukan karya dengan acuan alat cetak dapat digu-
nakan untuk produksi karya dalam jumlah yang banyak, dan waktu relatif singkat dengan bentuk
dan ukuran yang sama pula. Penggunaan teknik ini menguntungkan pekerjaan jika dilihat dari sisi
bahan baku tanah gerabah yang tidak se-lempung tanah keramik. Intinya bahan tanah gerabah
telah memenuhi persyaratan plastis-nya, homogen, bebas gelembung udara dan kotoran, meski-
pun jika dibandingkan dengan tanah keramik, butirannya masih cukup besar.
Tahap pengerjaan karya diawali dengan pembentukan model dengan bahan tanah gerabah, acuan
cetak dengan bahan gypsum, tahap pencetakan, perakitan dan pembakaran. Proses pengerjaan
patung kilin dilakukan secara kolektif yang dikoordinatori oleh Luh Suartini dan I Gusti Ngurah Edi
Basudewa, yang didukung oleh Ni Luh Gede Dewi Suputri, Ketut Widiastra dan mahasiswa yang
memiliki konsentrasi kekaryaan keramik.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 43

Qilin pada kelenteng Ling Gwan Kiong Singaraja
Foto: I Ketut Wisana Ariyanto

Motif merak/Phoenik, bunga krisan, dan Qilin pada relief di
Kuburan Yayasan Tri Suci (Ling San Ting) Banyuasri
Foto: I Ketut Wisana Ariyanto

44 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Kilin pada Kuburan Yayasan Tri Suci (Ling San Ting) Banyuasri
Foto: I Ketut Wisana Ariyanto

Kilin
Sumber: Chendra Ling Ling 6

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 45

Proses perwujudan karya

Proses pembuatan model berbahan tanah gerabah
Foto: Ni Luh Gede Dewi Suputri

Pembuatan acuan cetak
Foto: Ni Luh Gede Dewi Suputri

46 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Pembuatan acuan cetak
Foto: Ni Luh Gede Dewi Suputri

Proses cetak tekan masing-masing bagian yang dilanjutkan dengan proses perakitan
Foto: Ni Luh Gede Dewi Suputri

Karya jadi tampak samping kanan
Foto: I Ketut Wisana Ariyanto

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 47

Karya jadi tampak samping kiri
Foto: I Ketut Wisana Ariyanto

Karya jadi tampak samping depan dan belakang
Foto: I Ketut Wisana Ariyanto

48 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition

Tampilan karya akhir
Foto: I Ketut Wisana Ariyanto

I Ketut Wisana Ariyanto
Alumni Prodi Pendidikan Seni Rupa Undiksha

CATATAN:
1 Susanto, Mike. Diksi Rupa. Yogyakarta: DictiArt Lab & Djagad Art House. 2011. Halaman 36
2 Utha, Irfan. “Macan Kilin – Kie Lin (Hokkian), Chi Lin (Mandarin)”. Artikel pada http://asalu-
sulbudayationghoa.blogspot.co.id diunggah April 2010
3 Annisa (Sylviana, 2015) (repository.usu.ac.id)
4 Profil Lambang Daerah. Terdapat pada http://bulelengkab.go.id
5 Harsrinuksmo, Bambang. Eniklopedi Keris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004. Hlm, 431
6 Ling, Chendra Ling. “Makna Ragam Hias & Ornamen Tiongkok (3)”. Artikel terdapat pada
http://web.budaya-tionghoa.net
I Ketut Wisana Ariyanto, lahir di Desa Gobleg, Kec Banjar, Buleleng pada 19 Oktober 1987. Pendidikan tera-
khir adalah Sarjana Pendidikan Seni Rupa yang ditempuh di Undiksha (2006-2011), dan sedang menempuh
pendidikan Pascasarjana di ISI Denpasar. Kini aktif sebagai perupa, sesekali menulis, sesekali mendesain dan
mengajar di salah satu SMA di Singaraja. Penulis adalah anggota aktif Kelompok Perupa Buleleng dan Komu-
nitas Segara Lor. Pernah menjuarai kompetisi Maskot Pilkada Buleleng 2016, dan aktif mengikuti pameran di
Singaraja dan Denpasar sedari tahun 2007-sekarang.

“ Q I L I N ” Visual Art Exhibition 49

WAJAH – WAJAH YANG BERTUTUR

(Esay Untuk Sub Tema Ruang Tokoh, Pameran “Qilin” Pameran Civitas Akademika Prodi Pendidi-
kan Seni Rupa Undiksha Singaraja)

Oleh; Gede Panca Gautama dan I Made Susanta Dwitanaya

Wajah mengejutkan kita seperti simbol, bukan hanya sebagai gambar roh, melainkan juga se­
bagai gambar kepribadian yang tidak dapat keliru

-(Georg Simmel)1-

Dari rentang sejarah yang panjang terkait berbaurnya etnis Tionghoa dalam masyarakat Bali
khususnya di Singaraja tentu tak hanya dapat dilihat dari aspek tinggalan-tinggalan yang bersi-
fat kebendaan (tangible) maupun nilai (intangible). Aspek masyarakat khususnya para individu
individu yang menjadi bagian integral dari masyarakat Tionghoa Singaraja juga menarik untuk
dihadirkan, mereka telah membaur dengan masyarakat Singaraja dan menjalankan keprofesian
mereka masing masing. Sebagian dari keprofesian yang mereka tekuni selama ini malah sangat
terkait dan berkontribusi bagi masyarakat Singaraja pada umumnya. Sebagian lagi mungkin ti-
dak menekuni profesi yang terkait dengan masyarakat Singaraja pada umumnya namun memiliki
peran pada pelestarian nilai-nilai ataupun kebudayaan Tionghoa itu sendiri dalam ruang lingkup
Singaraja tentu saja.

Para individu atau tokoh yang akan ditampilkan dalam sub tema Ruang Tokoh ini memperlihatkan
dua hal tersebut. Mereka memiliki profesi yang beraneka ragam, mulai dari pengusaha kuliner
yang legendaris, mantan atlit berprestasi, budayawan sekaligus praktisi pendidikan bahasa Man-
darin, seniman (seni rupa), penjaga makam, fotografer, rohaniawan, pendeta dan beberapa pro-
fesi lainnya. Tokoh-tokoh yang dihadirkan tentu saja belum cukup merepresentasikan bagaimana
kebudayaan etnik Tionghoa secara keseluruhan di Singaraja namun menghadirkan sebagian saja
dari aspek kebudayaan Tionghoa Singaraja. Tapi setidaknya dari tokoh-tokoh tersebut kita dapat
melihat peran etnis Tionghoa dalam masyarakat Singaraja. Dari cerita ihwal siapa dan profesi apa
yang dijalankan oleh para tokoh yang dihadirkan alam sub tema ini kita bisa melihat bagaimana
aspek-aspek kebudayaan Tionghoa Singaraja, mulai dari aspek spiritualitas, kuliner, seni rupa,
bahasa, dan tentu saja aspek sosialnya. Bahkan sekali lagi pada sebagian tokoh kita dapat meli-
hat bagaimana kontribusi mereka dalam masyarakat Singaraja. Tokoh-tokoh ini juga merupakan
informan yang memberikan berbagai informasi yang penting terkait dengan kebudayaan Tiong-
hoa di Singaraja.

Beberapa Tokoh Yang Hadir

Dari penelusuran tim penulis akhirnya menemukan 8 orang tokoh yang coba untuk dihadirkan
dalam sub tema Ruang Tokoh dalam pameran ini. Metode pengumpulan atau pemilihan tokoh
ini umumnya bergerak secara snowball, dimana satu tokoh terkadang merekomendasikan tokoh
yang lain. Disamping itu ada pula tokoh yang dicari memang berdasarkan pilihan awal tim penu-
lis. Ke delapan tokoh tersebut antara lain; Tan Khe Lok (Ikon kuliner Siobak yang legendaris),
Kang Swie King atau Agus Sadikin Bakti (Tokoh olahragawan), The Pik Hong atau Pipit Budiman

50 “ Q I L I N ” Visual Art Exhibition


Click to View FlipBook Version