The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by aries.wahyuwitomo, 2023-07-19 22:07:49

Buku Pedoman Pastoral Difabel

Buku Pedoman Pastoral Difabel

2 PEDOMAN PELAYANAN PASTORAL DIFABEL KEUSKUPAN SURABAYA © 2022 Diterbitkan untuk kalangan sendiri oleh Pusat Pastoral Keuskupan Surabaya JL. Mojopahit 17, Surabaya. Cetakan ke-1, 2022 Tim penyusun : RD. Agustinus Tri Budi Utomo Efisien Dakhi Melania Safirista Sofiarti Yessica Dewi Josephine Kintan Wahyu Priyono Tanti Widya Rani Agustina Twinky Indrawati Laurencia Ika Wahyuningrum David Wijaya Editor : Tim Desain Sampul : Melania Safirista S Desain isi : Tim Nihil Obstat : RD. Agustinus Tri Budi Utomo Vikaris Pastoral Keuskupan Surabaya Surabaya, Imprimatur : RD. Eka Budi Susila Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya Surabaya, (belum diimprimasi karena masih dalam tahap trial dan perlu masukkan dari beberapa pihak)


3 Kata Pengantar Sensus 2016 belum mendata secara spesifik jumlah dan kategorisasi disabilitas umat sehingga belum diketahui secara faktual realitas kebutuhan pastoral bagi umat difabel (dengan kebutuhan khusus). Berawal dari terbentuknya Komunitas Tuli Katolik, kebutuhan dan permintaan pelayanan bagi umat difabel semakin meningkat. Pelayanan persiapan penerimaan sakramen bagi umat difabel selama ini masih digabungkan dengan proses umum, akibatnya umat difabel menjadi penonton pasif tanpa mendapatkan pemahaman sesuai kekhasan cara belajar mereka. Hak formasi iman sesuai kebutuhan khusus mereka belum terlayani dengan baik. Gereja menyadari bahwa belum mengenal lebih dalam kebutuhan domba-domba yang difabel. Untuk itulah, selama tiga tahun masa implementasi ARDAS kedua (Tahun 2020-2022), Musyawarah Pastoral tahun 2019 merekomendasikan untuk membentuk bidang pelayanan Pastoral Difabel setingkat komisi yang dilayani dengan adanya pengangkatan katekis khusus di bawah koordinasi pastoral rumpun Bidang Formatio. Harapannya, pada awal tahun 2023 dapat dibentuk jejaring kepengurusan Pastoral Difabel di setiap kevikepan dan diterbitkan pedoman pelayanan Pastoral Difabel yang bersamaan dengan terbitnya pedoman Pastoral Paroki. Dengan demikian, pada tahun 2024, jejaring koordinasi pelayanan umat difabel di setiap paroki


4 per kevikepan di wilayah pastoral Keuskupan Surabaya sudah dapat terlaksana dengan baik. Saya berharap semoga dengan adanya Pedoman Pelayanan Pastoral Difabel ini semakin menumbuhkan semangat Gereja yang inklusi, yang merangkul serta melibatkan mereka dalam reksa pastoral Gereja. Umat difabel bukan hanya menjadi objek penerima pelayanan, tetapi juga memiliki hak untuk terlibat dan melayani sesuai kekhasan mereka dalam berbagai bidang dinamika pelayanan menggereja. Saya sangat berterimakasih kepada Tim Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya yang telah berusaha menyusun pedoman ini. Saya yakin buah karya mereka ini akan menjadi berkat bagi hidup mereka dan bagi umat difabel katolik di Keuskupan Surabaya, bahkan siapa pun yang menggunakan buku ini. Tuhan memberkati. Salam Inklusi, RD. Agustinus Tri Budi Utomo Vikaris Pastoral Keuskupan Surabaya Moderator Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya


5 Daftar Isi Halaman Sampul ........................................................1 Halaman Dalam ..........................................................2 Kata Pengantar ...........................................................3 Daftar Isi .....................................................................5 Pendahuluan ...............................................................7 BAB I Pemahaman Dasar ..........................................9 A. Pemahaman Istilah ‘Difabel’ ............................9 B. Dasar Teologi ....................................................14 C. Fungsi Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya ........................................17 D. Tujuan Buku Pedoman .....................................18 E. Jenis Difabel/Disabilitas....................................19 BAB II Pelayanan Bagi Umat Difabel ......................38 A. Pelayanan Sakramen untuk Umat Difabel .......38 B. Pendampingan Iman .........................................46 C. Keterlibatan Umat Difabel dalam Hidup Menggereja .......................................................47 D. Pendampingan Orang tua/Keluarga ..................48 E. Pendampingan Pelayan dan Relawan Pastoral Difabel ..............................................................49 BAB III Sarana dan Prasarana .................................50 A. Hak Umat Difabel menurut Undang-Undang No 8 Tahun 2016 ..............................................51 B. Sarana ...............................................................52 C. Prasarana ..........................................................58


6 BAB IV Protokol dan Etika Berinteraksi dengan Umat Difabel ...............................................................60 A. Tunanetra ..........................................................61 B. Tuli/Disabilitas Rungu/HOH ............................65 C. Tunadaksa .........................................................68 D. Tunagrahita (Disabilitas Intelektual) dan Lambat Belajar .................................................71 E. Down Syndrom .................................................73 F. Cerebal Palsy ...................................................74 G. Autis .................................................................76 H. ADHD dan ADD ...............................................80 I. Disleksia ...........................................................82 J. CIBI (Cerdas Istimewa, Cerdas Berbakat) .......83 BAB V Pelayanan Pastoral Difabel di Tingkat Paroki dan Kevikepan ............................................................85 A. Pendataan Umat Difabel di Tingkat Paroki ......85 B. Perekrutan Tim Pastoral Difabel Paroki bagi Paroki yang Memiliki Umat Difabel ................85 C. Koordinasi Pelayanan Pastoral Difabel ............86 D. Program Pelayanan Pastoral Difabel Paroki ....87 LAMPIRAN ................................................................88 A. Tim Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya ......88 B. Sejarah Pastoral Difabel ...................................89 C. Formulir Kesiapan (Assesmen) untuk calon penerima Sakramen ..........................................94 Official Pastoral Difabel ...............................................99 PUSTAKA ACUAN .................................................. 102


7 Pendahuluan Gereja Katolik memiliki tugas perutusan bagi semua umat beriman tanpa terkecuali, termasuk di dalamnya umat difabel (umat berkebutuhan khusus). Gereja berusaha memenuhi hak pertumbuhan iman mereka. Pastoral bagi umat difabel tidak dapat dilepaskan dari pendampingan dan pembinaan terhadap keluarga serta lingkungan yang di dalamnya memiliki anggota difabel. Di Keuskupan Surabaya, sejak dimulainya pelayanan Pastoral Difabel bagi umat tuli, semakin banyak permintaan pendampingan serta pelatihan. Pada tanggal 10 Juni 2019, Keuskupan Surabaya mengangkat katekis khusus Pastoral Difabel untuk mengembangkan dan mendampingi tim Pastoral Difabel. Dalam Musyawarah Pastoral Keuskupan Surabaya tahun 2019, pelayanan bagi lansia dan Pastoral Difabel mendapatkan perhatian khusus. Sensus Umat Katolik di Keuskupan Surabaya menyadarkan perlunya peningkatan pastoral bagi lansia dan umat difabel. Mupas 2019 merekomendasikan dibentuknya Pastoral Difabel dan Lansia setingkat komisi. Sejak diumumkan berdirinya Pastoral Difabel dalam struktur Koordinasi Karya Pastoral (KKP) di Pusat Pastoral Keuskupan Surabaya, dibentuklah tim Pastoral Difabel yang melibatkan para relawan dari berbagai paroki yang sebelumnya telah lama berkecimpung dalam dunia


8 pendidikan luar biasa (psikolog, praktisi dan pendidik anak berkebutuhan khusus). Sosialisasi bagi para Pastor, Sekretaris Paroki, bidang pembinaan Dewan Pastoral Paroki dan insan komisi lain di Pusat Pastoral dijalankan oleh tim tersebut sejak tahun 2021 baik secara daring maupun luring. Sejak umat mengetahui adanya pelayanan bagi umat difabel, mulai banyak permintaan bantuan pelayanan, mulai dari permintaan juru Bahasa Isyarat, persiapan Sakramen Baptis, Komuni Pertama, Krisma, hingga pendampingan dan persiapan perkawinan. Umat difabel berantusias menyambut pelayanan baru ini. Bagi umat difabel, pelayanan ini menjadi kehadiran gereja yang mau mengerti dan menyambut mereka dengan tangan terbuka. Pelayanan Gereja mewujudkan wajah kasih Tuhan yang inklusif sebagai wujud uluran tangan Tuhan bagi umat difabel. Pastoral Difabel masih dirasa sebagai hal baru bagi sebagian besar pengurus umat. Cepat atau lambat akan muncul pertanyaan tentang keistimewaan aneka disabilitas serta permintaan pelatihan dalam pastoral umat difabel. Buku pedoman ini dibuat sebagai langkah awal upaya memperkenalkan beberapa hal dasar dalam pelayanan umat difabel. Buku pedoman ini ditujukan terutama bagi para fungsionaris paroki serta pihak-pihak terkait dengan pelayanan umat. Tentu saja isi dari buku ini masih jauh dari sempurna, maka sangat dibutuhkan masukan-masukan demi penyempurnaannya.


9 BAB I. Pemahaman Dasar A. Pemahaman tentang Istilah ‘Difabel’ Pada tahun 2014, Lembaga Demografi Universitas Indonesia merilis sebuah riset tentang disabilitas di Indonesia. Dalam salah satu bagiannya, riset ini menemukan setidaknya 8 (delapan) istilah yang digunakan oleh dokumen legal (undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan sebagainya) di Indonesia sejak zaman kemerdekaan1 . 1 Sri Moertiningsih Adioetomo, Daniel Mont, & Irwanto, 2014, h. 21.


10 Pada buku ini kami mengambil 3 istilah yang seringkali dipakai di tengah masyarakat, yakni: cacat, disabilitas, dan difabilitas. 1. Istilah ‘Cacat’ Sejak masa orde lama, kata ‘cacat’ sudah lama tidak digunakan karena kata itu sangat kasar dan dirasa tidak menghormati manusia. Kata ‘cacat’ mendiskreditkan mereka sebagai ciptaan yang gagal. Sedangkan Kitab Suci, menegaskan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang bermartabat sama dan secitra dengan Dia. Kata ‘cacat’ tidak layak dikenakan pada manusia karena selain mengingkari keistimewaan martabat manusia juga menganggap mereka sebagai benda atau barang (yang gagal, tidak lengkap atau rusak). 2. Istilah ‘Disabilitas’ Kata ‘disabilitas’ dipakai dalam UndangUndang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas. UU tersebut menyatakan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensori dalam jangka waktu lama, yang saat berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Dengan kata lain, seseorang menjadi disabilitas ketika lingkungan sekitar tidak dapat


11 menyediakan aksesibilitas yang sesuai, jadi bukan menitikberatkan pada jenis disabilitas yang dimiliki seseorang namun lebih pada aksesibilitasnya sebagai suatu permasalahan. Jika lingkungan mampu memberikan aksesibilitas yang sesuai, maka orang tersebut tidak menjadi disabilitas.2 3. Istilah ‘Difabilitas’ Ada 3 (tiga) Peraturan Daerah (Perda) yang menggunakan istilah difabel, yaitu: Perda Sleman Nomor 11 Tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan bagi Difabel; Perda Kota Surakarta Nomor 2 tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel; dan Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 tahun 2011 tentang Kesetaraan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel3 . Difabilitas adalah sebutan netral dan tidak berkonotasi stigmatisasi. Satu-satunya jalan untuk ‘merehabilitasi disabilitas’ adalah dengan menghilangkan hambatan, mengubah model interaksi antara individu dan perubahan lingkungan fisik dan sosial4 . Model sosial inilah yang di dunia Barat mendorong masyarakat untuk mengoreksi cara pandang dan penyebutan ‘penyandang cacat’. 2 United Nations, 2014 3 Suharto, 2016 4 Stopa, 2012


12 Istilah ‘difabel’ sebenarnya merupakan singkatan dari ‘differently abled’. Istilah ini sudah muncul di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Pelacakan atas berbagai sumber, khususnya Oxford Dictionary (‘differently abled’) dan The Phrase Finder (‘Differently abled’) mengantarkan kepada sebuah artikel yang dimuat di Harian Los Angeles Times terbitan 9 April 1985 yang berjudul “Is the language itself disabled in that it can't fairly define the handicapped?” (Bukankah bahasa itu sendiri tidak mampu mendefinisikan keterbatasan secara adil?). Melalui artikel tersebut penulis menggugat ketidak-mampuan berbagai istilah yang ada untuk mewakili dan mendefinisikan para difabel. Penulisnya sendiri memilih kata handicap dan ia sedang menjawab kritik dari berbagai pihak tentang istilah yang ia pilih. Kritikus mengatakan bahwa hendaknya dipertimbangkan istilah differently abled, istilah yang diusulkan telah digunakan oleh beberapa organisasi difabel. Fakhih mengutip salah satu kliping yang dikirimkan kepadanya yang berbunyi, “In a valiant effort to find a kinder term than handicapped, the Democratic National Committee has coined differently abled” (Dalam upaya yang berani untuk menemukan istilah yang lebih baik daripada orang cacat, Komite Nasional Demokrat telah menciptakan istilah ‘kemampuan yang berbeda’).


13 4. Istilah yang digunakan oleh Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya Dari berbagai pertimbangan dan sebagai upaya pengubahan stigma, Keuskupan Surabaya memilih istilah ‘difabel’. Alasan memilih istilah ini adalah untuk lebih menyuarakan hal ini: mereka mampu berdaya dan berkarya baik dalam hidup menggereja maupun dalam bermasyarakat. Mereka ini hanya berbeda sebagaimana setiap individu adalah memiliki keunikannya. Mereka terhormat dan memiliki martabat yang sama sebagai manusia. Istilah ini diharapkan membawa dampak yang positif dalam melihat individu difabel sebagai sesama. Mereka adalah individu yang memiliki kemampuan, yakni kemampuan sesuai dengan kekhasan difabilitas mereka. 5. Istilah ‘Berkebutuhan Khusus’ Dalam dunia pendidikan seringkali ditemukan istilah Anak Berkebutuhan Khusus sebagai istilah pengganti bagi anak cacat atau anak luar biasa. Hal ini mengandung makna bahwa terdapat anak tertentu yang memiliki kebutuhan khusus baik yang bersifat permanen maupun tidak permanen (sementara). Dalam pengertiannya, ‘kebutuhan khusus’ dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis: kebutuhan khusus secara individu, kebutuhan khusus yang


14 bersifat kekecualian, dan kebutuhan khusus yang umum. 6. Istilah ‘Normal dan Abnormal’ Kata normal menurut KBBI adalah ‘tidak menyimpang dari norma’. Situasi atau keadaan yang dialami individu berkebutuhan khusus atau difabel ini bukanlah suatu hal yang menyimpang dari norma. Melainkan kembali pada martabat manusia yang diciptakan baik adanya. Maka istilah yang tepat untuk penggolongan, bukan ‘difabel dan orang normal’, melainkan ‘difabel dan nondifabel’ atau ‘disabilitas dan nondisabilitas’. Istilah ‘normal’ sebagai lawan dari disabilitas/difabel mengandung makna telah menghakimi mereka sebagai ciptaan ‘abnormal’. Seolah-olah masih merendahkan martabat manusia sebagai ciptaan Allah. B. Dasar Teologis Gereja dipanggil untuk melakukan lebih daripada dunia lakukan kepada mereka karena Tuhan Yesus datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk 19:10). Tuhan Yesus “membuat orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar…” (Luk 7: 22; bdk. 4: 18-19). Gereja merupakan satu tubuh banyak anggota (1 Korintus 8).


15 Tuhan menciptakan umat difabel bukan sebagai objek supaya manusia mengasihi “lebih dari biasanya", melainkan bagian integral dari Imago Dei (Citra Allah) di antara keanekaragaman ciptaan Tuhan. Teologi Inklusif memberikan landasan bagi kesamaan dan persekutuan antara Umat Difabel dan mereka yang nondifabel. "Gereja menjadi disabilitas ketika gereja TIDAK memerhatikan Umat Difabel". Paus Fransiskus mengatakan bahwa umat difabel adalah hadiah bagi keluarga dan sebuah kesempatan untuk bertumbuh dalam kasih, untuk saling menolong dan bersatu. “…Perhatian kita…” seharusnya tidak hanya untuk peduli mereka (Difabel), tetapi juga untuk memastikan 'partisipasi aktif' mereka baik secara sipil maupun gerejawi ” (Paus Fransiskus: Fratelli Tutti, 98). Dalam dokumen Amoris Laetitia art 47, Paus Fransiskus menuliskan: “Para Bapa Sinode juga memberikan perhatian khusus kepada keluarga-keluarga yang memiliki anggota yang berkebutuhan khusus, di mana rintangan yang menyerbu dalam kehidupan menimbulkan tantangan yang mendalam dan tak terduga, dapat merusak keseimbangan, keinginan, dan harapan keluarga. Keluarga yang menerima dengan kebutuhan khusus sungguh sangat pantas dikagumi. Mereka memberikan kepada gereja dan masyarakat sebuah kesaksian tak ternilai tentang


16 kesetiaan terhadap anugerah kehidupan. Dalam situasi ini, keluarga dapat menemukan, bersama dengan komunitas Kristiani, tindakan dan bahasa baru, bentuk-bentuk baru pemahaman dan identitas dalam menyambut dan memberikan perhatian terhadap misteri kerapuhan hidup manusia. Para penyandang disabilitas adalah anugerah bagi keluarga dan sebuah kesempatan untuk bertumbuh dalam kasih, saling membantu, dan kesatuan, Keluarga yang dengan mata iman menerima keberadaan para individu disabilitas, akan dapat mengakui dan menjamin kualitas dan nilai setiap kehidupan, dengan kebutuhan, hak-haknya, dan peluang-peluangnya…..” Paus Fransiskus menegaskan bahwa perhatian yang diberikan kepada umat difabel merupakan tanda dari Roh Kudus. Kedua situasi ini adalah paradigmatik (menyangkut cara berpikir), keduanya bertindak sebagai ujian terhadap komitmen kita untuk menunjukkan belas kasih dalam menerima orang lain dan membantu orang yang rapuh menjadi sepenuhnya bagian dari komunitas kita. Ini adalah dasar untuk mewujudkan Gereja yang inklusi. Inklusi merupakan sebuah proses dua arah untuk meningkatkan partisipasi dalam belajar dan mengidentifikasi serta mengurangi atau menghilangkan hambatan untuk belajar dan berpartisipasi. Strategi inklusif harus berfokus pada interaksi antara individu disabilitas dan lingkungannya. Ini


17 merupakan proses untuk memenuhi dan merespon keanekaragaman kebutuhan semua umat Katolik dan akan mengakibatkan perubahan serta modifikasi dalam isi, pendekatan, struktur, dan strategi pastoral untuk umat difabel dan nondifabel. Berdasarkan alasan itu, Keuskupan Surabaya perlu membentuk Pastoral Difabel. Pastoral Difabel adalah pelayanan dan pendampingan umat difabel dalam menerima sakramen inisiasi dan sakramen lainnya, serta mengusahakan pembinaan iman dan peran serta umat difabel dalam kegiatan menggereja di Keuskupan Surabaya. Para Gembala (Pastor Paroki) dan pengurus pastoral Gereja harus memastikan seluruh umat tanpa terkecuali untuk mendapatkan hak dan kewajiban (Kanon 843 § 2) dalam hidup menggereja, termasuk umat difabel. C. Fungsi Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya 1. Fungsi Formasi a. Pembentukan gereja yang ramah difabel di tingkat Keuskupan. b. Pembinaan kepada pengurus dan tim Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya agar maksimal dalam memberi pelayanan kepada umat difabel. c. Peningkatan kapasitas bagi relawan Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya. d. Peningkatan kuantitas dan kualitas pendampingan bagi pemerhati umat difabel di wilayah Keuskupan Surabaya.


18 e. Perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi program-program Pastoral Difabel secara berkala. 2. Fungsi Koordinasi a. Mengoordinasi pertemuan dan kegiatan di dalam tim Pastoral Difabel. b. Mengkoordinasi antara tim Pastoral Difabel dengan kevikepan, paroki, komisi-komisi, serta lembaga-lembaga yang terkait. 3. Fungsi Komunikasi a. Menjalin komunikasi antara tim Pastoral Difabel dengan Uskup sebagai gembala utama. b. Mengomunikasikan program dan kegiatan Pastoral Difabel kepada umat dan masyarakat. c. Mengoptimalkan fungsi media sosial dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan pastoral bagi umat difabel. D. Tujuan Buku Pedoman 1. Agar paroki memiliki pedoman pelayanan bagi umat difabel. 2. Agar pendamping memiliki pengetahuan dasar tentang disabilitas dan pelayanan pastoral bagi umat difabel. 3. Agar umat difabel mendapatkan pelayanan bagi pertumbuhan iman dalam hidup menggereja di paroki.


19 E. Jenis Difabel/ Disabilitas 1. Tunanetra Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan, maka dalam proses pembelajaran mereka menekankan kemampuan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan. Mereka kesulitan dalam membaca huruf dengan ukuran font 12 dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas/ low vision). a. Penyebab Tunanetra Terdapat berbagai penyebab dan jenis hambatan penglihatan yang bisa terjadi sejak masa prenatal (sebelum anak dilahirkan), pada


20 proses kelahiran maupun pascakelahiran. Hambatan penglihatan sejak lahir disebut congenital blindness, yang dapat disebabkan oleh keturunan dan infeksi (misal: campak Jerman) yang bisa ditularkan oleh ibu saat janin masih dalam proses pembentukan. b. Macam-Macam Tingkat Ketunanetraan 1) Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti programprogram pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan. 2) Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar agar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal. 3) Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat. c. Kendala yang Dialami Tunanetra kesulitan dalam gerak mobilitas. Hal itu disebabkan oleh penglihatan yang kurang atau tidak bisa melihat sama sekali. Misalnya seorang tunanetra hendak


21 berjalan jauh dengan / atau tanpa memakai kendaraan umum. Mereka membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dalam mengenal bentuk bangunan dan lokasi-lokasi benda di sekitarnya. d. Kemampuan yang Bisa Dikembangkan atau Digunakan 1) Menggunakan indra peraba, penciuman, dan pendengaran. 2) Pengetahuan akademik bisa dikembangkan melalui buku dengan huruf braille dan audio. 2. Tuli/ Disabilitas Rungu/ HoH (Hard of Hearing) a. Pemahaman Dasar Disabilitas tunarungu merupakan istilah untuk individu yang memiliki pendengaran rendah atau tidak bisa mendengar sama sekali. Tetapi kata yang sering dipakai untuk mewakili kelompok ini adalah kata Tuli (huruf “T” besar). Kata Tuli mungkin di kalangan masyarakat terdengar asing dan kasar, karena biasanya memakai istilah Tunarungu. Namun kelompok dan komunitas Tuli sendiri lebih nyaman dipanggil Tuli karena itu merupakan sebuah identitas dan budaya mereka sebagai pengguna Bahasa Isyarat. Mereka tidak


22 nyaman menggunakan kata “tunarungu” untuk mewakili kalangan Tuli, karena kata “tuna” dari tunarungu berarti rusak dalam hal pendengaran serta dibuat secara medis di mana tidak semua kerusakan pendengaran dapat disembuhkan atau diperbaiki. Bahkan ada beberapa Tuli yang tidak nyaman menggunakan alat bantu dengar karena hal itu membuat telinga sakit. Kita harus selalu mengingat bahwa jangan pernah memanggil mereka dengan sebutan tuli bisu. Tuli dan Bisu adalah dua hal yang berbeda. Bisu adalah seseorang tidak dapat bersuara karena kerusakan pita suara atau faktor lainnya namun bisa mendengar. Sedangkan Tuli adalah seseorang yang bisa bersuara namun tidak dapat mendengar. Kata Disabilitas Rungu mewakili posisi mereka di tengah masyarakat yang berbeda bahasa dan tata cara komunikasi di mana akses informasi tidak bisa serta merta mereka dapatkan, sehingga mereka membutuhkan akses Juru Bahasa Isyarat (JBI) maupun akses tulisan. Kata “disabilitas” di sini mencerminkan keadaan di mana lingkungan tidak mampu memberi akses kepada seseorang atau kelompok misalnya akses pendidikan yang sulit bagi siswa miskin, akses ke psikolog yang sulit karena stigma dan label


23 masyarakat (bagi orang yang terganggu kesehatan mentalnya). Demikian pula ketika kelompok Tuli sebagai pengguna Bahasa Isyarat dan menangkap segalanya secara visual serta indra peraba (bagi Tuli-Netra) untuk berkomunikasi, dalam masyarakat posisi mereka sebagai disabilitas rungu terjadi apabila lingkungan tidak mampu memberi akses informasi dan komunikasi yang sesuai bagi mereka. Sedangkan secara intelektual dan emosi, mereka sama seperti pada umumnya yakni mampu dalam bidang akademik dan bisa mengelola emosi. Namun bila tidak didukung dengan sistem pendidikan yang sesuai yaitu sistem pendidikan bilingual, maka kosakata mereka menjadi terbatas dan terjadi sindrom “deprivasi bahasa” atau perampasan bahasa. Arti bilingual di sini yakni dwibahasa dimana mereka mempelajari Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan Bahasa Indonesia tertulis sekaligus karena BISINDO merupakan fondasi bahasa ibu bagi kalangan Tuli untuk mengakses pengetahuan dunia. b. Fungsi Alat Bantu Dengar Alat bantu dengar tidak membuat individu Tuli bisa serta merta mendengar dengan jelas. Jika individu Tuli mengalami ketulian yang berat, maka alat bantu dengar hanya membantu mengetahui getaran suara


24 saja atau untuk membaca situasi sekitarnya, misalnya: mengetahui situasi sedang ramai atau tidak, sedang kondusif atau tidak sehingga dapat menyesuaikan sikapnya dengan situasi saat itu. Hal ini berbeda untuk mereka yang mengelompokkan diri sebagai kelompok HoH (Hard of Hearing) di mana ketulian yang ringan hingga sedang dan dengan alat bantu dengar yang dibantu dengan terapi dalam waktu yang lama, mereka dapat berkomunikasi. Ketersediaan alat bantu dengar ini tetap menyesuaikan kondisi keuangan keluarga. Tidak semua Tuli itu memiliki kebutuhan dan situasi hidup yang sama. Ada banyak variasi tiap individu Tuli/HoH, sehingga sangat penting bagi kita untuk bertanya terlebih dahulu kebutuhan komunikasi mereka lebih nyaman menggunakan dengan tulisan, oral, atau Bahasa Isyarat. c. Penyebab Ketulian 1) Faktor Genetik: faktor bawaan lahir atau gen. 2) Virus Rubella: saat anak dalam kandungan, ibunya terkena Virus Rubella sehingga mengakibatkan ketulian.


25 3) Saat anak usia bayi terkena sakit panas tinggi yang akhirnya merusak gendang telinga. 4) Faktor kecelakaan: kecelakaan kerja atau kecelakaan lalu lintas yang mengenai terkena sehingga bisa menyebabkan ketulian. 3. Tunadaksa Pengertian tunadaksa secara etimologis, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh akibat dari luka, penyakit, dan pertumbuhan yang salah perlakuan. Hal tersebut berakibat pada kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu hingga mengalami penurunan fungsi gerak. Tunadaksa dapat didefinisikan sebagai bentuk kelainan atau kerusakan pada sistem otot, tulang, persendian, dan saraf yang disebabkan oleh penyakit, virus, dan kecelakaan baik yang terjadi sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah kelahiran. Kelainan atau kerusakan tersebut mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan pribadi. Klasifikasi tunadaksa dilihat dari sistem kelainannya yaitu: a. Kelainan pada sistem cerebral adalah suatu kelainan gerak, postur atau bentuk tubuh, serta gangguan koordinasi. Kondisi tersebut


26 terkadang disertai dengan gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada masa perkembangan otak. b. Kelainan pada sistem otot dan rangka ada beberapa macam yaitu Poliomyelitis, Muscle Dystrophy, Spina Bifida. c. Kelainan ortopedi karena bawaan lahir. 4. Tunagrahita Tunagrahita atau sering disebut sebagai disabilitas intelektual, merupakan suatu kondisi dimana individu mempunyai keterbatasan pada fungsi intelektual dan perilaku adaptif (konseptual, sosial, dan praktis) yang biasanya muncul pada usia perkembangan anak (Mash. J.E., & Wolfe, D.A., 2010; DSM 5, 2013; AAIDD, 2022). Berikut ini adalah keterbatasan yang dialami Tunagrahita : a. Keterbatasan fungsi intelektual seperti: kemampuan berpikir, penyelesaian masalah, pengambilan keputusan, pemahaman, atau akademis. b. Keterbatasan fungsi adaptif untuk menyesuaikan diri terhadap harapan/norma lingkungan seperti: komunikasi, kemandirian tugas harian (misalkan: memasak, bersih diri, atau pekerjaan), atau memahami aturan di lingkungan sosial.


27 Individu dengan disabilitas intelektual, dapat berada pada level yang ringan sampai berat. Hal tersebut mengacu pada keterbatasan fungsi intelektual, adaptif, dan dukungan yang diperlukan. Biasanya mulai terlihat pada masa perkembangan anak-anak yang ditandai dengan adanya keterlambatan aspek-aspek perkembangan seperti terlambat berjalan, berbicara, sulit untuk menghafal atau memahami aturan bermain yang memerlukan waktu lebih lama dibandingkan teman seusianya. Pada anak usia sekolah sampai dewasa, mereka sering kali mengalami hambatan untuk memahami konsep teoritis, nilai akademis menurun, sulit menghafal atau melakukan tugas-tugas harian, dan juga kesulitan menyesuaikan diri dengan kelompok pertemanan. Keterbatasan intelektual juga seringkali disertai dengan adanya kondisi lain seperti : a. Down Syndrome (DS) Down syndrome merupakan suatu kondisi di mana individu memiliki kelebihan replikasi pada Pastorsom 21 (Mash. J,E., & Wolfe, D.A., 2010; Faragher. R & Clarke.B, 2014; CDC, 2021). Individu dengan down syndrome mempunyai ciri fisik yang terlihat seperti: mata menyerupai almond, wajah datar terutama bagian hidung, leher pendek, palmar crease, serta bagian tangan, kaki, dan telinga


28 yang kecil. Hambatan yang biasanya dialami yaitu pemahaman konsep, akademis, bahasa, dan kemampuan fisik untuk mengasah otototot gerak dan berbicara. b. Cerebral Palsy (CP) Cerebral palsy juga sering kali menyertai disabilitas intelektual (Mash. J,E., & Wolfe, D.A., 2010; CDC, 2022). Cerebral palsy merupakan gangguan pada perkembangan otak, namun sangat beragam tingkatannya, sehingga mempunyai kesulitan untuk mengontrol gerakan otot tubuhnya. Individu dengan cerebral palsy menunjukkan ciri-ciri seperti kaku otot atau sulit menggerakan tubuh seperti: tangan, kaki, atau mulut. Selain itu, mereka juga kesulitan mempertahankan keseimbangan tubuh untuk berjalan, berlari, atau meraih benda di tempat tinggi. Hambatan yang biasanya dialami yaitu, lebih lama dalam memahami suatu konsep baru, membaca, menulis, atau berbicara. 5. Tunalaras/ Gangguan Perilaku Individu dengan tunalaras, mengalami hambatan untuk mengelola emosi, perilaku, dan respon terhadap norma sosial (Hallahan, dkk, 2009; Kirk, S., & Gallagher, J., 2009). Terdapat empat kategori yaitu: 1) masalah tingkah laku, 2) perasaan cemas dan menarik diri, 3) sikap


29 kurang dewasa, dan 4) agresif dalam bersosialisasi. Menurut Kirk, S., & Gallagher, J., individu dengan tunalaras biasanya mengalami hambatan/masalah dalam beberapa hal: a. Perilaku sosial: Menunjukkan sikap menyebalkan, agresif, dan kesulitan untuk mematuhi aturan sosial misalnya, berteriak, berkata kasar, berbohong, mencuri, menolak sekolah, lari dari rumah, berkelahi, memukul, merusak fasilitas publik, melanggar hukum, atau menggunakan obat terlarang. b. Emosional: Kesulitan untuk mengenali dan mengelola situasi emosi yang muncul di dalam dirinya. Sering kali merasakan emosi secara ekstrim dan menetap cukup lama, sehingga mereka kesulitan untuk mengaturnya. Misalkan sedih, marah, cemas, atau senang yang berlebihan, sampai adanya halusinasi dan delusi. Individu dengan tunalaras menunjukkan perilaku yang beragam mulai dari level yang ringan sampai dengan berat, sesuai dengan ciri dari masing-masing individu dan pengaruh lingkungan. 6. Autisme Autisme Spectrum Disorder adalah kondisi gangguan perkembangan pada sistem saraf, yang


30 mempunyai karakteristik yang persisten yaitu hambatan untuk menjalin relasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta pola perilaku atau ketertarikan khusus (Mash. J,E., & Wolfe, D.A., 2010; DSM 5, 2013). Gejala dari ASD biasanya mulai terlihat dari masa anak-anak, dengan ciri yang beragam dari level yang ringan sampai dengan berat dan mengganggu tugas hariannya, yaitu: a. Hambatan memahami situasi sosial dan emosi, seperti kesulitan dalam menjawab atau bertanya, memahami kondisi emosi diri atau perasaan orang lain, inisiatif atau memberikan respon terhadap situasi sosial. b. Hambatan dalam komunikasi nonverbal seperti membuat kontak mata, memahami ekspresi wajah atau gestur tubuh dalam berkomunikasi. c. Hambatan untuk membangun dan memahami situasi sosial, seperti kesulitan menyesuaikan diri di berbagai situasi atau menjalin relasi pertemanan. d. Mempunyai minat terbatas dan kaku seperti menyukai adanya rutinitas atau benda tertentu. e. Menunjukkan adanya perilaku repetitif (berulang-ulang) seperti gerakan tubuh, menggerakan benda, dan mengeluarkan katakata atau kalimat secara berulang.


31 f. Memiliki hipersensitif atau hiposensitif pada sistem indra, seperti peka terhadap suara keras, bau tertentu, tekstur makanan, sentuhan, cahaya, atau temperatur. Di sisi lain, ada juga yang toleran (cuek) terhadap rasa sakit, emosi, atau suhu yang ekstrim. Individu dengan ASD mempunyai gejala, kemampuan dan karakteristik yang beragam dan khas pada masing-masing individu, sehingga cara penanganannya pun juga spesifik sesuai dengan ciri khas setiap individu. Adanya intervensi dini, akan membantu individu dengan ASD lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya dan menunjukkan kemampuan yang mereka miliki. 7. ADHD / ADD ADHD (Attention Deficit & Hyperactivity Disorder) adalah kondisi neurologis tertentu yang menyebabkan serangkaian masalah perilaku pada anak, yaitu kesulitan untuk memusatkan perhatian pada satu hal dalam satu waktu dan disertai dengan perilaku hiperaktivitas dan impulsivitas. Kondisi ini muncul saat masa kanak-kanak dan biasanya baru terdeteksi saat berusia lebih dari 5 tahun. Gejala yang ditimbulkan bisa bertahan hingga remaja bahkan dewasa. Individu dengan ADHD memiliki hiperaktivitas yang dibarengi dengan perilaku impulsif (kesulitan dalam mengendalikan


32 keinginan dan keinginannya harus segera terpenuhi) seperti berbicara berlebihan, sulit menunggu giliran, tidak dapat duduk tenang, menghentakkan tangan atau kaki, selalu gelisah, tidak dapat diajak duduk untuk waktu lama, berlarian atau memanjat di situasi yang tidak sesuai, tidak dapat bermain dengan tenang, sulit untuk bersantai, sering mengganggu orang lain, dan selalu memberi jawaban sebelum pertanyaan diselesaikan. Individu dengan ADHD juga ditandai dengan kesulitan dalam memberikan perhatian. Gejala tersebut meliputi mudah terdistraksi, pelupa, tidak menghiraukan lawan bicara, tidak mengikuti petunjuk, tidak dapat menyelesaikan pekerjaan atau tugas di sekolah, mudah teralihkan, kehilangan fokus, memiliki masalah dengan keteraturan dan pihak otoritas, serta menghindari tugas yang membutuhkan perhatian yang panjang. Sementara itu, ADD (Attention Deficit Disorder) adalah kesulitan dalam memusatkan perhatian, namun tidak disertai oleh hiperaktivitas dan impulsivitas. Gejala yang muncul biasanya berupa kesulitan fokus pada tugas sekolah, mengikuti instruksi, menyelesaikan tugas, dan/atau membangun interaksi sosial.


33 8. Disleksia Disleksia adalah adalah salah satu gangguan belajar spesifik (Disleksia, Diskalkulia, Disgrafia) yang masalahnya berbasis neurobiologi, yaitu secara struktur otak tidak mengalami masalah, hanya fungsi otak dalam memproses membaca berbeda dari anak lain pada umumnya. a. Kriteria Gangguan Belajar Spesifik DSM V (lima) - (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) 1) Mengalami kesulitan dalam belajar (membaca) dan menggunakan keterampilan akademik yang ditunjukkan oleh adanya gejala berikut sekurangkurangnya dalam kurun waktu 6 bulan, meskipun telah diberikan bantuan yang ditargetkan: a) Tidak tepat atau lambat dalam membaca kata. b) Kesulitan memahami arti yang dibaca. c) Kesulitan mengeja (sering terbolak balik huruf). d) Kesulitan menulis ekspresif (ada huruf yang hilang, kata hilang). e) Kesulitan bercerita (tidak runtut) dan kosakata banyak yang diulang. f) Kesulitan sikuen. g) Mudah lupa.


34 2) Keterampilan akademik (membaca) secara substansi dan kuantitatif di bawah kemampuan anak seusianya sehingga menimbulkan permasalahan di sekolah, pekerjaan, dan kegiatan harian. 3) Kesulitan membaca yang dialami dimulai di usia sekolah, tetapi mungkin masih terlihat ketika tuntutan akademik yang diberikan melebihi kapasitas individu. 4) Disleksia tidak disebabkan oleh kondisi hambatan intelektual, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan. b. Tingkatan Kesulitan / Derajat Disleksia 1) Ringan Individu mengalami beberapa kesulitan pada satu atau dua area akademik tetapi masih dapat dikompensasikan dengan baik ketika diberikan akomodasi / layanan pendukung. 2) Sedang Kesulitan yang nyata dalam belajar dan membutuhkan pengajaran khusus / akomodasi. 3) Berat Kesulitan-kesulitan berat dalam belajar memengaruhi beberapa area akademik dan interaksi sosial. Disleksia berat membutuhkan pengajaran khusus secara intensif terus-menerus.


35 c. Minat dan Kelebihan Anak Disleksia 1) Imajinatif. 2) Kreatif. 3) Intuisi. 4) Berpikir dengan gambar konseptual. 5) Persepsi multidimensi. d. Akomodasi yang Dapat Dilakukan 1) Berikan struktur (menjelaskan tujuan, bertahap, berurutan, dan sistematis). 2) Tools (huruf diperbesar font size minimal 14, berjarak, menggunakan kertas warna). 3) Multisensori (memanfaatkan seluruh penginderaan dan menggunakan pengalaman langsung). 4) Analisis tugas (memecah tugas yang kompleks menjadi beberapa bagian yang sederhana) c. CIBI (Cerdas Istimewa, Berbakat Istimewa) CIBI merupakan suatu kondisi di mana anak memiliki tingkat kecerdasan jenius (IQ minimal 130, skala Wechsler) dan/atau memiliki bakat istimewa (kecakapan khusus yang bidangnya secara menonjol). Anak dengan kecerdasan istimewa tidak selalu memiliki bakat istimewa, demikian pula sebaliknya. Individu yang dinyatakan dalam CIBI harus memiliki dua syarat utama selain yang disebutkan di atas, yaitu memiliki komitmen dan kreativitas yang tinggi.


36 Anak Cerdas Istimewa (Gifted Children) menunjukkan kecerdasannya sejak usia dini. Faktor penyebab utama adalah dari genetika dan fungsi neurologis, faktor kepribadian, dan didukung oleh banyak faktor eksternal lainnya, seperti kecukupan nutrisi, stimulasi dari lingkungan, peran aktif orang tua dan guru, sistem pendidikan, budaya, dan lain-lain. Anak-anak dengan CIBI bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat, biasanya akan mengalami hambatan dalam bersosialisasi dan dalam mengelola emosi (konflik interpersonal dan intrapersonal). Individu CIBI biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: • Sangat peka terhadap kondisi lingkungan. • Memiliki kewaspadaan yang tinggi. • Memiliki nilai moral yang tinggi. • Mampu berkonsentrasi dalam waktu yang panjang. • Memiliki kemampuan komunikasi atau bahasa yang sangat baik. • Memiliki daya ingat yang tinggi. • Memiliki keingintahuan yang sangat tinggi. • Sangat dalam saat belajar. • Memiliki kemampuan membaca yang sangat baik. • Memiliki logika berpikir yang sangat tinggi. • Fokus yang tinggi pada minatnya sendiri.


37 • Tertarik pada topik-topik yang berkaitan dengan usia jauh di atasnya. • Dapat belajar sendiri dan memiliki kemampuan belajar yang sangat baik. • Memiliki keuletan dan ketahanan yang tinggi dalam belajar atau berlatih/bekerja. • Memiliki daya kreativitas dan imajinasi yang tinggi. • Mudah bosan pada rutinitas. • Tidak mudah mengikuti aturan. • Memiliki kemampuan analisis dan evaluasi yang sangat baik. • Membuat solusi yang tidak lazim. • Sering dianggap sebagai anak nakal atau pembangkang. • Terkadang perilakunya tidak disukai oleh orang lain. • Memiliki perilaku independen serta membutuhkan ruang gerak yang luas dan bebas. • Mudah frustasi karena memiliki perilaku perfeksionis.


38 BAB II. Pelayanan Bagi Umat Difabel di Paroki Pada prinsipnya semua Umat Beriman Kristiani memiliki hak menerima sakramen-sakramen. Kanon 835 § 3 menjelaskan pengajaran sakramen-sakramen dilakukan menurut ‘cara masing-masing’. Arti ‘cara masing-masing’ adalah menurut ‘kemampuan belajar’ umat, termasuk umat difabel. Umat difabel menerima Sakramen Baptis dan Komuni didampingi oleh orang tua / wali, sedangkan penerimaan Sakramen Krisma tetap memerhatikan aspek tanggung jawab pribadi sebagai umat kristiani dengan standar minimal yang selanjutnya akan dijelaskan dalam form asesmen (terlampir). Berkaitan dengan hal-hal tersebut, Pastor Kepala Paroki memiliki otoritas dalam mengambil keputusan mengenai penerimaan sakramen bagi Umat Difabel dengan didukung perangkat pastoral paroki. Pertimbangan Pastor Kepala Paroki selalu berdasarkan hasil keputusan bersama tim pendamping terkait di paroki. A. Pelayanan Sakramen untuk Umat Difabel Pelayanan Pastoral Difabel pada prinsipnya setiap umat difabel memiliki hak dalam menerima sakramen-sakramen Gereja. Standar dalam pendampingan bukan seperti anak pada umumnya/ reguler. Maka perlu memerhatikan beberapa hal berikut:


39 1) Sakramen Inisiasi a. Sakramen Baptis Sakramen Baptis dapat diterima oleh semua umat beriman termasuk umat difabel, dengan penanggung jawab iman. Ketika memberikan pelajaran katekumen dapat menyesuaikan dengan cara belajar masing-masing disabilitas, seperti hal-hal berikut : 1) Umat difabel yang mempunyai keterbatasan pada fisik, seperti Tuli, tunanetra, dan tunadaksa, bisa diberikan materi secara umum sama seperti lainnya. Mereka lebih memerlukan akses, seperti Juru Bahasa Isyarat untuk umat Tuli, audio dan buku materi berupa huruf braille bagi tunanetra, dan tunadaksa diberikan akses jalan/akomodasi bila pelajaran diberikan secara tatap muka. 2) Umat difabel yang mengalami hambatan perilaku atau intelektual ringan dan sedang, bisa diberikan materi dasar yang berulang seperti: tanda salib, doa-doa dasar, sikapsikap liturgi, beberapa lagu gereja yang mudah dihafalkan, dan tentunya tidak dipaksakan harus hafal doa. Cara lain dalam pendampingan adalah anak dapat didampingi untuk diajari membaca atau didikte.


40 3) Umat difabel yang mengalami keterbatasan fisik, hambatan perilaku, dan intelektual berat, dapat disesuaikan dengan kemampuan dari masing-masing individu. Misalnya cukup diajari tanda salib dan latihan tata cara liturgi baptis. Apabila kesulitan ketika pelaksanaan liturgi, maka bisa didampingi, diarahkan, dan sering melakukan latihan. b. Penerimaan Sakramen Ekaristi Penerimaan Sakramen Ekaristi (komuni) bagi umat difabel dapat diberikan bantuan dengan latihan dan mengulang materi seperti: 1) Umat difabel yang mengalami hambatan perilaku atau intelektual ringan dan sedang, bisa diberikan materi dasar yang berulang seperti: tanda Salib, doa-doa dasar, pemahaman komuni, sikap-sikap liturgi, cara menerima komuni, beberapa lagu gereja yang mudah dihafalkan, dan tentunya tidak dipaksakan harus hafal doa. 2) Umat difabel yang mengalami keterbatasan fisik, hambatan perilaku, dan intelektual berat, dapat disesuaikan dengan kemampuan dari masing-masing individu. Misalnya cukup diajari tanda salib dan cara menerima komuni. Apabila merasa kesulitan ketika pelaksanaan, maka bisa didampingi, diarahkan, dan memperbanyak latihan untuk membiasakan sebagai calon penerima komuni.


41 c. Sakramen Krisma (lih. form assessment) Sakramen Krisma memiliki dasar pemahaman yakni umat beriman katolik mampu mempertanggungjawabkan imannya sesuai kemampuan masing-masing. Kata ‘mempertanggungjawabkan’ dalam standar yang paling dasar adalah mampu membedakan baik dan buruk, atau boleh dan tidak, sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Misalnya: berkata jujur atau menolak bila disuruh mencuri. Selain itu dukungan dari keluarga juga sangat berperan dalam perkembangan iman anak, misalnya mendampingi dan membiasakan untuk terus melatih iman di dalam kehidupan sehari-hari. Segala kondisi difabel apabila standar tersebut dapat dipenuhi, maka paroki harus memberi ruang dan kesempatan yang sama bagi umat difabel, dengan mengadakan pendampingan khusus. Hal tersebut tidak berarti selalu dipisahkan dengan yang lainnya. Orang tua, keluarga, dan teman satu angkatan penerimaan sakramen krisma pun bisa dilibatkan dalam pendampingan umat difabel. Apabila dalam kondisi tertentu umat difabel belum bisa melakukan hal yang mendasar tersebut, maka paroki, keluarga, dan warga gereja bisa membantu mempersiapkan untuk penerimaan berikutnya. Peran dan dukungan orang-orang sekitar sangat diperlukan dalam pertumbuhan dan kedewasaan imannya.


42 Catatan: sakramen adalah hak setiap orang kristiani namun mengandaikan adanya kesiapan penerima serta jaminan pemeliharaan imannya. Pada prinsipnya: kesiapan pendamping dari baptis-perkawinan, kuncinya ada pada pendampingnya. Jika belum mendapatkan pendamping (bisa orangtua, keluarga, pendamping di panti jika di panti, atau pendamping yang bersedia mendampingi) yang tepat, maka tidak bisa dipaksakan dari luar. Kesediaan mendampingi yang dimaksud adalah kesediaan memelihara, menjaga, memfasilitasi, dan menumbuhkembangkan imannya. d. Sakramen Tobat Sakramen Tobat bisa diterimakan kepada umat difabel dalam semua kondisi dan peran keluarga. Hal tersebut sangat penting untuk mendorong keluarga yang difabel dalam menerima Sakramen Tobat. Keluarga / orang tua bisa melatih berulang-ulang untuk membantu mempersiapkan anak atau keluarganya yang difabel dalam kondisi tertentu. Beberapa difabel berikut membutuhkan akses khusus dalam melakukan Sakramen Tobat: 1) Tunanetra: pengantar/pendamping hanya cukup sampai di tempat peniten lalu keluar. Pastor harap memberikan suara yang jelas.


43 Bila diperlukan, bisa dengan memberikan penjelasan dahulu posisi Pastor ada di sebelah mana supaya peniten yang tunanetra bisa mendengar. 2) Tuli: memerlukan ruangan yang tanpa sekat/jeruji pembatas. Pastor tidak harus bisa berbahasa Isyarat. Apabila belum bisa Bahasa Isyarat, pastor bisa menggunakan bahasa verbal (gerak bibir) yang jelas dan bisa melalui tulisan. 3) Tunadaksa: untuk Tunadaksa bisa menyesuaikan kebutuhannya. Jika individu tunadaksa memakai kursi roda/kruk, maka bisa dibantu untuk menyediakan ruangan yang aksesibel dan tidak menyulitkan mereka untuk masuk ke ruang pengakuan. 4) Bagi disabilitas yang mengalami hambatan intelektual dibutuhkan bantuan orang tuanya untuk melatih dan membiasakan mereka memahami apa yang tidak baik yang individu disabilitas intelektual lakukan. Bila perlu, sebelum melakukan pengakuan dapat dibawakan kertas berisi tulisan dosa yang telah dia lakukan (dengan catatan, melalui proses pelatihan dan penyadaran diri yang sudah dilakukan orangtuanya). e. Sakramen Pengurapan Orang Sakit Sebelum dijelaskan mengenai penerimaan Sakramen Pengurapan Orang Sakit,


44 kita perlu menyamakan pemaham bahwa individu dengan disabilitas tidak sama dengan orang yang mengalami sakit. Maka, jangan menganggap disabilitas adalah sebuah penyakit. Misalkan sakit Tuli, sakit tidak bisa melihat, dan sebagainya. Sakramen Pengurapan orang sakit bisa diterimakan kepada siapapun yang sudah dibaptis secara Katolik dan dalam kondisi sakit. Sesungguhnya, pengurapan orang sakit diberikan atas perintah Yesus sendiri. Yesus memberikan perintah kepada para murid-Nya untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah dan mengurapi orang sakit dengan minyak (lih. Mrk 6:13, Luk 10:8-9). “Sembuhkanlah orang sakit,” (Mat 10:8) Demikianlah seruan Yesus kepada para rasul-Nya. Salah satu dasar Kitab Suci inilah yang menjadi dasar umat Katolik perihal Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Selain itu, perihal penerimaan Sakramen Pengurapan Orang Sakit untuk umat difabel bisa disesuaikan dengan kebutuhannya dengan melihat penjelasan pada bab sarana dan prasarana. f. Sakramen Perkawinan 1) Persiapan jangka pendek : a) Kursus persiapan perkawinan Persiapan perkawinan dilaksanakan dengan menyesuaikan kemampuan dan


45 cara belajar individu disabilitas itu sendiri. Beberapa materi bisa disesuaikan dan baik bila didukung dengan visual yang mudah untuk ditangkap pasangan difabel. Jika paroki merasa masih kesulitan, bisa berkoordinasi dengan Pastoral Difabel, bukan menyerahkan sepenuhnya kepada Pastoral Difabel. b) Persiapan Perayaan/ Pelaksanaan Sakramen Perkawinan Dengan tetap memerhatikan akses yang dibutuhkan umat difabel, persiapan perayaan perkawinan bisa dilaksanakan dengan latihan bersama dan menjelaskan beberapa poin penting dalam pelaksanaan pemberkatan perkawinan. c) Peran Keluarga dan Wali Perkawinan Peran keluarga dalam mempersiapkan perkawinan dan pasca perkawinan sangatlah penting, namun bukan berarti ikut campur penuh dalam kehidupan berumah tangga putra-putrinya. Wali perkawinan berperan mendampingi pasangan terutama dalam hidup rohani dan membantu apabila terjadi masalah dalam keluarga tersebut. d) Pastor paroki dan sekretariat memastikan bahwa peserta tidak terikat


46 pada perkawinan sebelumnya dan benarbenar mencari tahu. 2) Persiapan jangka panjang a) Pendampingan Remaja/ OMK Difabel dalam relasi lawan jenis. b) Katekese pokok-pokok ajaran Perkawinan Katolik. 3) Syarat-syarat a) Syarat-syarat perkawinan sama dengan perkawinan pada umumnya. b) Jika calon pasangan tidak mampu memahami makna perkawinan, calon pasangan tidak bisa menerima pemberkatan perkawinan (umat dengan hambatan perilaku dan intelektual). B. Pendampingan iman Pendampingan bagi umat difabel tentunya tetap berjalan. Setelah penerimaan sakramen-sakramen bukan berarti umat difabel dibiarkan begitu saja perihal pendampingan iman. Perlu diperhatikan halhal berikut: 1. Individu difabel memiliki hak dalam mendapat pendampingan iman. 2. Pendampingan tetap memerhatikan kebutuhan dari individu difabel dan disesuaikan dengan situasi yang ada. 3. Pendampingan selanjutnya adalah individu difabel bisa didampingi dalam tahun-tahun pertama masa


47 perkawinan. Dalam hal ini peran lingkungan sangat dibutuhkan. C. Keterlibatan Umat Difabel dalam Hidup Menggereja Umat Difabel bukan hanya penerima pelayanan dalam hidup menggereja namun memiliki hak dalam keterlibatan hidup menggereja, bahkan bisa dilibatkan menjadi pengurus lingkungan. Keterlibatan yang bisa mereka lakukan antara lain: 1. Menjadi Pelayanan Liturgi Disesuaikan dengan kemampuan masing-masing individu difabel. Selain itu apabila belum bisa, mereka dapat diberi pendampingan dan pelatihan dalam persiapan tugas seperti menjadi organis, pewarta sabda (lektor dan pemazmur), misdinar, petugas tatib, kolektan, koor, perangkai bunga, dan sebagainya. 2. Menjadi Pelayan di Lingkungan Individu difabel juga bisa dilibatkan dalam tugas di lingkungan. Hal tersebut tentunya bisa dipersiapkan mereka untuk dilibatkan dalam kepengurusan lingkungan, pemandu umat, mengambil beberapa tugas bila ada pendalaman iman, misalnya: membaca sabda, membaca doa umat, memimpin doa rosario, dan sebagainya. Apabila disela-sela melaksanakan tugas tersebut terhambat/terhenti, umat nondifabel bisa membantu atau mendampingi.


48 D. Pendampingan Orang Tua/ Keluarga Salah satu hal tak terpenuhinya hak dan kebutuhan individu sebagai difabel adalah kurangnya kesadaran orangtua mengenai kebutuhan anak difabel dan kebingungan orang tua dalam mengurusnya. Ditambah lagi kurangnya penerimaan dari umat lain akan keberadaan putra/ putri mereka yang difabel. Hal ini mengakibatkan anak mereka yang difabel atau bahkan di antara anak-anak mereka yang tidak difabel namun memiliki saudara yang difabel, menjadi pribadi yang kurang mengenal kasih Kristus dalam ‘rumah’ mereka yakni Gereja. Maka dari itu peran Gereja yang hadir untuk melayani, harus memberikan pelayanan dan pendampingan juga kepada orang tua dan keluarga yang memiliki anak atau anggota keluarga yang difabel. Banyak hal yang bisa dilakukan Gereja. Pertama-tama bisa melibatkan para psikolog, guru PLB, terapis, atau dokter yang ada di paroki setempat untuk membantu mendampingi orang tua dan keluarga yang memiliki anggota keluarga yang difabel. Jika tidak memiliki umat dengan profesiprofesi tersebut, maka dapat mengundang tim dari Pastoral Difabel untuk membantu melakukan pelatihan tim pendamping umat difabel di paroki. Sebagai contoh kegiatan yang bisa dilakukan dalam pendampingan kepada orang tua dan keluarga tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mengadakan sesi sharing bersama secara berkala;


49 2. Mengadakan rekoleksi untuk orang tua dan anak yang difabel; 3. Mengadakan rekoleksi keluarga, misalnya antara adik yang difabel dan kakak yang nondifabel atau sebaliknya; 4. Melibatkan dalam kegiatan menggereja; 5. Menguatkan skill pendampingan orang tua dan apabila memungkinkan bisa dijadikan pendamping bagi orang tua lainnya yang memiliki anak difabel. E. Pendampingan Pelayan dan Relawan Pastoral Difabel Peran pelayan dan relawan Pastoral Difabel di paroki cukup penting dalam melaksanakan pendampingan untuk umat difabel. Selain itu memiliki hati untuk umat difabel. Mereka harus dibekali beberapa hal mengenai pengetahuan dan skill dalam mendampingi. Hal yang bisa dilakukan di paroki untuk pendampingan bagi pelayan dan relawan Pastoral Difabel adalah sebagai berikut : 1. Diusahakan para pelayan dan relawan adalah mereka yang bersedia ikut dalam kegiatan Bidang Formatio. 2. Mengadakan pertemuan bersama secara berkala untuk saling mengenal dan menguatkan, serta membina iman dalam pelayanan yang dilakukan. 3. Mengadakan kelas mengenai pengetahuan tentang difabel (pemahaman dasar difabel, spesifikasi difabel, protokol pendampingan). 4. Jika dari data umat difabel ada umat yang Tuli/ Tunarungu/ HOH, bisa menyiapkan relawan Juru Bahasa Isyarat dengan mengadakan kelas Bahasa Isyarat dan menghubungi tim Pastoral Difabel.


50 BAB III. Sarana dan Prasarana bagi umat Difabel A. Hak Umat Difabel menurut UU No 8 Tahun 2016 Dalam buku pedoman ini, kami tidak mencantumkan semua isi UU No 8 Tahun 2016, melainkan kami akan memaparkan beberapa bagian pokok yang menyangkut sarana dan prasarana yang menjadi hak umat difabel. Berikut ini beberapa pasal yang menyangkut hak individu difabel. 1. Pasal 2 Pelaksanaan dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas berasaskan: a. Penghormatan terhadap martabat; b. Otonomi individu; c. Tanpa diskriminasi; d. Partisipasi penuh; e. Keragaman manusia dan kemanusiaan; f. Kesamaan kesempatan; g. Kesetaraan; h. Aksesibilitas; i. Kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak; j. Inklusif; dan k. Perlakuan khusus dan perlindungan lebih.


Click to View FlipBook Version