The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by aries.wahyuwitomo, 2023-07-19 22:07:49

Buku Pedoman Pastoral Difabel

Buku Pedoman Pastoral Difabel

51 2. Pasal 5 Penyandang Disabilitas memiliki hak: a. Hidup; b. Bebas dari stigma; c. Privasi; d. Keadilan dan perlindungan hukum; e. Pendidikan; f. Pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi; g. Kesehatan; h. Politik; i. Keagamaan; j. Keolahragaan; k. Kebudayaan dan pariwisata; l. Kesejahteraan sosial; m. Aksesibilitas; n. Pelayanan Publik; o. Perlindungan dari bencana; p. Habilitasi dan rehabilitasi; q. Konsesi; r. Pendataan; s. Hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; t. Berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi; u. Berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan v. Bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.


52 B. SARANA Sarana adalah semua fasilitas atau media yang diperlukan dalam proses kegiatan pelayanan di gereja untuk umat difabel baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak agar tujuan pelayanan berjalan dengan optimal. Berikut sarana yang sebaiknya disiapkan oleh gereja: 1. Juru Bahasa Isyarat (JBI) Juru Bahasa Isyarat adalah merupakan individu yang memiliki keahlian dalam menterjemahkan bahasa lisan ke Bahasa Isyarat dan sebaliknya. Seorang yang menjadi Juru Bahasa Isyarat di Gereja wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Beragama Katolik. b. Memiliki karakter yang baik sebagai orang beriman. c. Telah mendapatkan sertifikat sebagai Juru Bahasa Isyarat atau kursus Bahasa Isyarat Indonesia oleh pengajar Tuli. d. Mampu menyampaikan informasi dengan benar dan lengkap sesuai yang disampaikan oleh orang/imam yang sedang berbicara. e. Memahami kode Etik Juru Bahasa Isyarat. 2. Monitor atau LCD Monitor atau LCD adalah alat yang bisa digunakan untuk membantu umat Tuli dan umat


53 lainnya dalam membaca teks selama misa atau kegiatan lainnya. Tulisan disarankan agar dapat dibaca dengan jelas dari tempat duduk umat Tuli. 3. Tulisan Braille Tulisan Braille adalah sistem tulisan sentuh yang dipakai oleh umat Tunanetra dalam membaca. Tulisan Braille ini bertujuan untuk memudahkan umat Tunanetra dalam membaca teks dan nama-nama tempat yang ada di lingkungan Gereja. 4. Guiding Block Guiding block adalah jalur untuk memandu umat Tunanetra berjalan dengan memanfaatkan tekstur ubin. Tekstur ubin ini biasanya berbentuk bulat-bulatan atau garis panjang. Tekstur ubin bulat-bulatan bermaksud sebagai tanda berhenti atau persimpangan,


54 sedangkan tekstur ubin lurus bermaksud sebagai tanda jalan terus. Tekstur ubin ini dapat dipasang pada jalan mulai dari tempat parkir atau gerbang Gereja menuju gedung Gereja dan ruang-ruang yang ada di lingkungan Gereja. Tekstur ubin ini juga dapat dipasang pada dinding ruang yang bisa digunakan atau dikunjungi oleh Tunanetra seperti toilet, ruang sekretariat, aula, dan lain-lain.


55 5. Kursi Roda Kursi roda adalah alat bantu yang digunakan oleh orang yang mengalami kesulitan berjalan yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, maupun cacat dari lahir. Alat ini dapat digerakkan oleh orang lain/pendamping, individu yang bersangkutan, atau digerakan oleh mesin. Supaya fungsi alat ini bisa maksimal, maka Gereja menyiapkan jalur menuju Gereja dan ruang-ruang yang mudah dilewati oleh kursi roda. Selain itu, Gereja juga menyiapkan tempat khusus kursi roda di dalam Gereja agar tidak mengganggu umat lainnya. 6. Ranjang Pasien Ranjang pasien diperuntukkan untuk pasien yang sedang sakit atau individu difabel yang mengalami masalah medis. Contoh sakit yang bisa dialami oleh individu difabel adalah kejang, serangan jantung, sesak, dan sebagainya. Ranjang pasien berfungsi untuk


56 mengistirahatkan individu difabel sebelum dirujuk ke rumah sakit atau klinik terdekat. 7. Alat P3K Alat P3K disiapkan untuk membantu individu difabel yang mengalami sakit. Alat yang wajib ada adalah tabung oksigen beserta alatnya, masker, perban, plester, minyak angin, dan lain-lain. Penggunaan obat-obatan harus seizin orang tua atau pendamping individu difabel. 8. Tandu Tandu adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pasien umat difabel yang sedang sakit ke ruang kesehatan. Orang yang melakukan evakuasi harus paham dengan cara mengevakuasi dengan benar agar pasien tidak


57 mengalami cedera lain setelah dievakuasi. Oleh karena itu orang-orang yang bertugas untuk mengevakuasi pasien sebaiknya memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara evakuasi. 9. Lycra Lycra adalah kain yang elastis dan kuat untuk menahan pergerakkan. Kain ini dapat digunakan untuk meredam agresivitas individu difabel. Cara menggunakannya dengan cara dililitkan di seluruh tubuh umat difabel, sehingga tidak bisa melakukan gerakan yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Cara ini disarankan hanya diperuntukkan untuk anak-anak dan dilakukan oleh orang yang sudah terlatih. 10. Pegangan di Toilet atau kamar mandi. Pegangan pada toilet dimaksudkan untuk membantu umat difabel dengan tunadaksa dalam mobilitas saat menggunakan toilet atau kamar mandi. Pegangan yang dipasang di toilet atau kamar mandi harus kuat menahan beban


58 dan hentakan agar aman digunakan oleh umat difabel. C. PRASARANA Prasarana adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pelayanan di gereja bagi umat difabel secara optimal. Berikut prasarana yang dapat disiapkan oleh Gereja: 1. Ruang Tenang Ruang tenang adalah ruang yang disiapkan khusus untuk individu difabel yang tantrum atau kondisi emosi yang kurang stabil. Ruang tenang diusahakan terhindar dari benda-benda dan dinding yang mudah rusak atau pecah, lampu yang redup, dan kedap suara.


59 2. Ruang Kesehatan Ruang kesehatan berisi alat-alat P3K, ranjang pasien, kursi roda, informasi rumah sakit rujukan yang bisa dihubungi sewaktu-waktu. 3. Toilet/Kamar Mandi Ramah Difabel Toilet/Kamar mandi difabel adalah toilet/kamar mandi yang dapat diakses dengan mudah oleh umat difabel dengan segala ketunaan. Toilet berisikan closet duduk, ada pegangan, urinasi (tempat BAK untuk laki-laki), tempat tisu, dan sabun yang gampang diraih oleh individu difabel secara mandiri. 4. Tempat Parkir Tempat parkir sebaiknya dibangun tempat khusus untuk umat difabel yang menggunakan kursi roda karena membutuhkan tempat yang lebih luas, sekurang-kurangnya dapat diakses dengan mudah oleh kursi roda. 5. Tempat Bermain OutDoor (Fakultatif) Tempat bermain outdoor dimaksudkan untuk memfasilitasi individu difabel yang hiperaktif dan yang membutuhkan gerak motorik. Tempat ini akan sangat membantu umat difabel dalam memenuhi kebutuhan sensorik-motorik.


60 BAB IV. Protokol dan Etika Berinteraksi dengan Umat Difabel Bagi umat difabel mengambil bagian menjadi komunitas Gereja merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Banyak umat difabel merasa rendah diri dengan penampilan, kemampuan, kondisi fisik, maupun pandangan orang lain terhadap dirinya. Hal ini membuat umat difabel terbatas untuk menjadi anggota keluarga Gereja. Begitu pula umat awam merasa canggung untuk berinteraksi dan mendampingi umat difabel. Kita sebagai umat awam yang percaya terhadap Yesus Kristus, tentunya juga pernah mendengar firman “Allah menciptakan manusia menurut rupa-Nya” (Kejadian 1:27). Hal ini menandakan bahwa Tuhan telah merencanakan setiap hal dengan matang, ketika menciptakan setiap individu sempurna dengan keunikannya masing-masing dan sama di mata Tuhan. Maka kami mengajak umat awam untuk membuka hati, memberanikan diri, dan berjalan bersama dalam misi besar untuk memuliakan Yesus Kristus dengan merangkul umat difabel menjadi bagian dari keluarga besar Gereja Katolik. Untuk memudahkan umat awam berinteraksi dengan umat difabel, berikut ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:


61 A. Tunanetra Umat difabel tunanetra, nyaman dengan panggilan istilah “tunanetra” atau “teman netra” bukan buta (Pertuni, 2015). Banyak teman netra ingin berinteraksi dan merasa nyaman di lingkungan gereja. Untuk berinteraksi dengan teman netra cukup mudah dilakukan. Mereka dapat komunikasi dua arah dan bertukar pikiran, seperti berbicara dengan temanteman yang lain. Jika kita bertemu dengan teman netra di gereja, mari beranikan diri untuk menyapa atau menanyakan pendapat dari teman netra. Beberapa hal yang dapat diperhatikan ketika berinteraksi dengan teman netra sebagai berikut (Steven, 2003; Kemkes, 2017b): 1. Menyapa Beranikan diri dan berikan sapaan ketika bertemu dengan teman netra. Berbicara terlebih dahulu, sopan, kenalkan diri dan orang lain yang mungkin hadir di situasi tersebut. Memberikan ajakan untuk ikut misa atau doa bersama, akan membuat teman netra merasa diterima. Misalnya: ● Siang Natali, ini saya Dian. Bagaimana kabarmu hari ini? ● Halo Natali, ini Dian dan Dion. Ayo duduk misa di dekat kami. 2. Bertanya sebelum membantu Pastikan bertanya kepada teman netra, apakah mereka memerlukan bantuan atau tidak, mengingat


62 mereka juga pribadi yang mandiri. Dengan bertanya akan membuat teman netra merasa dihargai pendapatnya. Hal-hal yang dapat dibantu misalnya, arah atau letak pintu, kursi, antrian komuni, ke toilet, berdoa ke gua Maria, atau mengunjungi toko buku. Contohnya: ● Adakah yang bisa saya bantu? ● Apakah ibu/bapak perlu bantuan untuk menemukan nomor tempat duduk? ● Bolehkah saya bantu membacakan informasi persekutuan doa? Jika teman netra menolak bantuan, jangan berkecil hati, itu tandanya teman netra sudah terbiasa dengan rutinitas atau lingkungan tersebut. 3. Tunjukkan lokasi dan arah dengan detail a. Ketika membantu berjalan, sentuhkan tangan di bawah telapak tangan teman netra atau letakkan tangannya ke lengan kita. Berjalanlah beriringan di sebelah atau setengah langkah di depan, berikan arah, dan menyesuaikan ritme dari teman netra. Jangan memandu teman netra dengan memegang tongkatnya, karena berbahaya bagi kita dan teman netra bisa tersandung atau terjatuh. Kita bisa menginfokan sebagai berikut: “kita akan berjalan lurus sekitar 1,5 meter, sekarang belok kanan dan ketemu pintu gereja”.


63 b. Ketika melewati lorong sempit atau berbaris komuni, posisikan tangan di belakang punggung dan teman netra akan mengikuti di belakang. Jika sudah kembali di jalan yang cukup lebar, kembalikan tangan ke posisi semula. c. Ketika melewati pintu, berhenti sejenak dan memberikan informasi cara serta arah membuka pintu. Misalnya, “di depan ada pintu geser ke kanan”. Kemudian arahkan tangan teman netra untuk memegang daun pintu agar mereka bisa merasakan dan mengingat tempatnya. d. Ketika menemui lubang, undakan atau tangga, berhenti sejenak dan memberikan informasi arah naik atau turun. Kemudian arahkan tangan teman netra ke handrail untuk berpegangan. Posisikan diri satu langkah di depan teman netra dan beri tanda untuk mulai. Jika sudah sampai anak tangga terakhir, berikan jeda sejenak sebelum berjalan kembali. Seperti “kita akan menaiki tangga ya, ada 3 undakan”. e. Membantu duduk, pertama berikan informasi posisi dan arah kursi di dalam ruangan. Misalnya, “kursinya ada di deretan kedua dari depan, sayap kanan, tepat di depan mimbar”. Kemudian arahkan tangan teman netra untuk menyentuh sandaran kursi agar ia dapat memposisikan diri. Jika diperlukan, beritahukan juga posisi duduk kita.


64 f. Memilih tempat duduk di depan dekat altar, mimbar baca, paduan suara, atau lorong jalan, agar teman netra bisa lebih jelas mengikuti misa dan mudah bergerak ketika komuni atau keluar nantinya. 4. Menjadi teman baca atau cerita Ketika misa, doa lingkungan, atau kegiatan lainnya, kita dapat membantu membacakan teks misa, informasi, atau menceritakan situasi di dalam gereja, dekorasi, rangkaian bunga, banyaknya umat yang hadir, ataupun makanan yang disediakan. Contohnya: ● Perayaan natal tahun ini, banyak hiasan lilin di dalam gereja sehingga menjadi lebih terang, dekorasi bunga-bunga lili putih dan ada pohon natal di dekat tempat paduan suara. Melibatkan dan mengenal lebih dekat teman netra melalui kegiatan gereja. Dengan memanfaatkan teknologi seperti aplikasi e-reader, kita bisa memberikan kesempatan kepada teman netra untuk menjadi pengurus di dalam kegiatan gereja. Saat mengobrol atau bertanya, sampaikan secara langsung ke teman netra dan tidak perlu melalui pihak kedua. Hal ini akan membuat teman netra merasa diterima dan dihargai sebagai anggota. Selain itu, kita juga bisa sering menanyakan kabar via telepon atau chat.


65 5. Berpamitan ketika pergi atau berpisah Jika kita sudah selesai membantu atau pergi meninggalkan tempat, pastikan memberitahu teman netra. Contohnya: ● Kita sudah sampai di tempat duduk, saya akan kembali berjaga di depan ya. ● Natali, saya pamit pulang terlebih dahulu ya. Sampai jumpa minggu depan. ● Aku pergi ambil teks misa dulu ya. B. Tuli/ Disabilitas Rungu/ HoH (Hard of Hearing) Umat difabel Tuli, khususnya komunitas Tuli merasa lebih nyaman dengan panggilan “Tuli” bukan tunarungu, karena kata tunarungu berasal dari perspektif medis dan bukan sosial budaya. Beberapa juga menggunakan identitas selain Tuli sesuai kondisi mereka maupun lingkungan seperti disabilitas rungu atau HoH. Teman Tuli/ disabilitas rungu/ HoH mempunyai ragam komunikasi yaitu dengan Bahasa Isyarat sebagai budaya Tuli, tulisan, gesture, atau bantuan teknologi maupun suara dengan frekuensi tertentu (Kemenkes, 2017c; NDC, 2019) bagi HoH (Hard of Hearing). Jika kita bertemu dengan umat Tuli/ disabilitas rungu/ HoH di gereja, kita bisa menggunakan ragam komunikasi tersebut dengan menanyakan terlebih dahulu umat Tuli/ tunarungu/ HoH lebih nyaman menggunakan preferensi komunikasi yang mana. Untuk memudahkan awam berinteraksi dengan umat Tuli/ disabilitas rungu/


66 HoH, terdapat beberapa hal yang dapat diperhatikan (Kemkes, 2017c; AFDO, 2022), yaitu: 1. Cara Berkomunikasi a. Pastikan mendapatkan perhatian dari teman Tuli/ disabilitas rungu/ HoH dengan sentuhan seperti menepuk pundak, tangan, melambaikan tangan (lebih dianjurkan karena tidak semua orang mau disentuh tanpa izin), atau membuat kontak mata ketika memulai interaksi. Kita dapat menyapa dengan tersenyum, melambaikan tangan, dan menggunakan Bahasa Isyarat sederhana seperti selamat pagi, halo, atau sampai jumpa. b. Menggunakan Bahasa Isyarat saat berkomunikasi (untuk Tuli). c. Menggunakan artikulasi yang lebar dan jelas saat berkomunikasi (untuk HoH). d. Membutuhkan akses dari Juru Bahasa Isyarat, informasi visual seperti teks. 2. Menjadi teman dengar a. Ketika bertemu dengan umat Tuli/ disabilitas rungu/ HoH, tanyakan preferensi komunikasi kepada mereka sebelum mulai berkomunikasi, contohnya apakah nyaman berbahasa isyarat, oral, atau tulisan. Jika tidak bisa berbahasa isyarat, dapat berkomunikasi dengan cara lain seperti tulisan.


67 b. Umat Tuli/ disabilitas rungu/ HoH akan merasa terbantu ketika kita bisa menemani ataupun menjadi interpreter sederhana. Ketika berkomunikasi sebaiknya tidak lebih dari jarak dua meter agar umat Tuli dapat melihat kita dengan jelas (kecuali Bahasa Isyarat karena dapat dikomunikasikan dari jarak jauh dalam radius pandangan tertentu). c. Saat berbicara dengan umat disabilitas rungu/ HoH dengan ragam komunikasi oral, gunakan bahasa yang sederhana, artikulasi jelas, tempo sedang, dan pastikan bibir bergerak atau terbuka. Usahakan menghindari berbicara sambil berjalan, mengunyah ataupun sering menggerakkan kepala. Cara tersebut akan membantu teman Tuli membaca gerak bibir dan memahami percakapan dengan lebih mudah. d. Ajak umat Tuli untuk ikut bergabung dalam topik pembicaraan tertentu. Kita bisa berkomunikasi melalui tulisan, bahasa tubuh, ataupun bantuan aplikasi di handphone. Bergabung ke dalam komunitas Tuli setempat dan belajar budaya, Bahasa Isyarat, maupun dunia Tuli akan lebih baik untuk komunikasi secara maksimal bersama teman Tuli. e. Mengajak umat Tuli untuk mengikuti kegiatan di gereja. Misalnya, kita dapat mengajak untuk mengikuti misa, doa lingkungan, maupun pelayanan liturgis dengan catatan adanya


68 penyediaan aksesibilitas. Selama ada aksesibilitas, umat Tuli akan bergabung dan proaktif dengan sendirinya karena mereka juga makhluk sosial. f. Jika misa bersama umat Tuli, kita bisa memilih tempat duduk di dekat Juru Bahasa Isyarat, sehingga umat Tuli dapat melihat Juru Bahasa Isyarat dengan lebih jelas (jika tersedia JBI di gereja tersebut). g. Terjun langsung ke dalam komunitas Tuli, ikut memperjuangkan hak dan aksesibilitas bersama komunitas Tuli untuk menjadi Deaf Ally (seperti sahabat dan keluarga yang berjuang bersama). C. Tunadaksa Umat difabel daksa, memiliki keterbatasan fisik atau kehilangan salah satu bagian tubuhnya. Beberapa teman daksa, mempunyai keterbatasan fisik karena sakit ataupun kecelakaan, sehingga mereka kesulitan untuk bergerak, berdiri, duduk, atau berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan biasanya memerlukan bantuan alat bergerak (Kemkes, 2017a). Untuk berinteraksi dengan teman daksa cukup mudah dilakukan, karena mereka dapat komunikasi dua arah seperti teman-teman yang lain. Kita hanya perlu menyesuaikan ritme gerak saja. Berikut ini terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan ketika berinteraksi dengan teman daksa, yaitu:


69 1. Menyapa Ketika menyapa, lihatlah secara langsung teman daksa dan ajaklah berbicara seperti biasanya. Usahakan berada di level mata yang sama, agar memudahkan teman daksa melihat wajah kita dan sebagai bentuk saling menghargai. 2. Perhatikan alat bantu gerak Perhatikan alat bantu gerak yang digunakan seperti kursi roda, kruk, tongkat, walker, protesis, atau alat orthotic lainnya. Alat bantu tersebut merupakan bagian dan perpanjangan tubuh dari teman daksa, sehingga berharga dan punya makna yang mendalam. Hindari memindahkan alat bantu gerak, kecuali Anda diminta melakukannya. Jika diminta, pindahkan ke tempat yang berada di jangkauan penggunanya. Selain itu, hindari pula bersandar ke alat bantu gerak mereka. 3. Bertanya sebelum membantu Jika kita ingin membantu untuk menggandeng, mendorong, atau membawakan alat bantu gerak, bisa minta izin terlebih dahulu, misalnya: ● Apakah kamu perlu bantuan untuk mendorong kursi roda? ● Di depan ada anak tangga yang cukup banyak, apa perlu bantuan untuk mengangkat kursi roda/walker? ● Apakah perlu bantuan untuk membawa kruk?


70 Bukan dengan menyampaikan “sebaiknya saya saja yang membawakan”. Janganlah berkecil hati jika mereka menolak, karena teman daksa punya kemampuan dan bisa melakukan kegiatan secara mandiri. 4. Menyediakan ruang yang cukup lebar Biasanya teman daksa dapat mengarahkan alat geraknya sendiri. Mereka hanya memerlukan jalan yang cukup lebar untuk dirinya dan alat gerak untuk lewat. Teman daksa seringkali memerlukan bantuan ketika bertemu dengan bidang miring atau anak tangga. Bila menuruni bidang miring atau tangga, pastikan posisi kursi roda dalam posisi mundur dan pendamping di posisi belakang kursi roda, atau komunikasikan dengan teman daksa terkait cara yang diinginkan. Jika menggunakan kruk, tongkat, walker atau protesis, kita dapat memberitahu tentang tata ruang dan mengatur letak furnitur agar teman daksa mudah untuk lewat. 5. Posisi duduk di gereja Usahakan teman daksa mendapatkan tempat duduk di depan atau dekat dinding, agar memudahkannya untuk meletakkan alat bantu gerak, sekaligus mengambilnya lagi, serta tidak banyak orang yang berlalu-lalang. Duduk di barisan depan juga akan memudahkannya untuk persiapan menerima komuni.


71 D. Tunagrahita (Disabilitas Intelektual) dan Lambat Belajar Individu dengan disabilitas intelektual mempunyai tingkatan dari ringan sampai yang berat. Mereka memproses informasi secara perlahan, memerlukan pengulangan, dan contoh konkret untuk membantu memahami informasi dengan tepat (CDDH, 2014; Matson. J, 2019). Mereka akan merasa terbantu jika kita mau menjelaskan atau mengulang informasi yang tadi sudah diberikan. Berikut ini terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk berkomunikasi dengan individu yang mempunyai disabilitas intelektual, yaitu (CDDH, 2014; Boardman, et.al., 2018; AFDO, 2022): 1. Menyiapkan pikiran positif dan menghargai individu dengan disabilitas intelektual karena mereka juga memiliki perasaan, bisa merasa tersinggung, rendah diri, ataupun sedih seperti kita pada umumnya. Sering kali mereka merasa rendah diri karena menyadari kemampuannya yang cenderung kurang dibandingkan orang lain. 2. Menyapa teman difabel intelektual akan membuat mereka senang karena merasa diperhatikan dan dihargai. Sebagian besar individu dengan keterbatasan intelektual ringan atau lambat belajar, bisa menyesuaikan diri, dan berkomunikasi dengan cukup baik. 3. Tawarkan bantuan jika mereka tampak bingung atau tidak memahami suatu hal, seperti “Apakah


72 kamu memerlukan bantuan?”. Pastikan meminta izin terlebih dahulu. Beberapa teman difabel intelektual cukup mandiri melakukan kegiatan sehari- hari. Mereka hanya perlu waktu yang lebih lama saja untuk memproses informasi yang baru. Jadi, berikan kesempatan bagi mereka untuk berpikir. 4. Mengajak berbicara dengan tempo dan volume yang normal seperti yang Anda lakukan biasanya. Berikan informasi satu persatu dan di akhir pembicaraan cek informasi yang disampaikan dengan memintanya mengulang hal yang telah disampaikan sebelumnya. Misalnya, “Apa bisa dimengerti?” atau “Jadi, apa yang perlu kamu lakukan?”. Jika diperlukan, Anda bisa memberikan pengulangan atau catatan tertulis dan pendampingan ketika mereka melakukan kegiatan tersebut. 5. Menyesuaikan pemilihan kata-kata dengan kemampuan mereka. Biasanya individu dengan intelektual disabilitas mempunyai kosakata terbatas dan sederhana. Sebisa mungkin gunakan kalimat pendek dan bahasa sehari-hari, bukan istilah teoritis yang sulit dipahami. Misalnya, ekaristi → misa; konsekrasi → berdoa dan Tuhan Yesus memberikan berkat kepada kita; komuni → terima roti dari Tuhan Yesus. 6. Jika teman disabilitas intelektual mempunyai kesulitan untuk berbicara, kita dapat menggunakan


73 gerak tubuh, simbol, gambar, atau video untuk membantu berkomunikasi dengan mereka. Misalnya, urutan gambar untuk menerima komuni, agar ia dapat memahami cara yang tepat. E. Down Syndrome Down Syndrome (DS) termasuk salah satu kondisi yang menyertai disabilitas intelektual yang cukup sering kita jumpai di lingkungan sosial. Ketika berinteraksi dengan teman down syndrome, tidak perlu merasa khawatir, sebagian besar teman DS cukup ramah. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan ketika berkomunikasi dengan teman DS, yaitu: 1. Menyapa seperti yang kita lakukan biasanya dan membuat kontak mata dengan teman DS untuk memastikan mereka sadar dengan kehadiran kita. Sebagian besar teman DS cukup bersahabat. Mereka suka memberikan senyum, jabat tangan, atau pelukan. 2. Saat berbicara, kita dapat menggunakan tempo bicara yang agak lambat, kalimat pendek, atau kata sederhana agar mudah dipahami. Berikan waktu untuk teman DS memproses hal yang ia dengar dan lihat, serta memberikan respon (dengan gerak, gesture, atau verbal). Jika diperlukan, berikan informasi satu per satu, bantuan visual, atau contoh gerakan secara langsung. 3. Untuk memastikan informasi dipahami dengan tepat, kita bisa meminta teman DS untuk


74 mengulang informasi yang telah didengar, serta kita dapat memberikan konfirmasi juga, seperti: “Apa yang perlu dilakukan?”; “Coba ulangi”; “Betul seperti itu”, atau “Ayo lakukan bersama”. 4. Teman-teman DS mempunyai keunikan dan kelebihannya masing-masing, sehingga kita dapat melibatkan teman DS dalam kegiatan gereja sesuai dengan kelebihannya. Misalnya, penerima tamu, menggambar poster, membuat souvenir, merangkai bunga altar, menyanyi, atau bermain musik. Dengan berlatih, teman DS juga bisa berpartisipasi dalam kegiatan gereja. 5. Ketika berada di gereja, teman DS dapat duduk di sisi dekat pintu keluar atau lorong jalan, tentunya pendamping akan berada di sisi luar dan teman DS di sisi dalam. Hal ini bertujuan untuk memudahkan mengajak teman DS keluar dan juga tetap aman dengan adanya pendamping. F. Cerebral Palsy Individu dengan Cerebral Palsy (CP) mempunyai kesulitan untuk mengelola gerakan otot tubuhnya yang menyebabkan adanya hambatan untuk bergerak, berpindah tempat, atau melakukan kegiatan sehari-hari, seperti naik turun tangga, makan, berbicara, atau menulis. Selain itu, teman dengan cerebral palsy memiliki ciri fisik yang khas dan terlihat mata. Hal ini membuat kita sebagai awam terkadang merasa enggan atau bingung cara berkomunikasi dengan mereka. Terdapat beberapa


75 tips etika yang dapat dilakukan ketika berinteraksi dengan teman CP (FAHCSIA, n.d ; Casey, R.F, n.d): 1. Menyapa seperti yang kita lakukan biasanya dan melakukan kontak mata. Teman CP memiliki kontrol otot yang lebih lemah dibandingkan kita. Hal ini bisa membuat kita merasa enggan atau ragu-ragu untuk berjabat tangan. Jangan khawatir, tetaplah memberikan tangan dan tunggu mereka untuk membalasnya. 2. Berbicaralah langsung ke teman CP, dengan begitu mereka merasa dihargai dan nyaman berada di lingkungan gereja. Ketika berbicara, gunakan tempo yang sedikit lambat, kata sederhana, dan kalimat pendek, agar teman CP mudah menangkap maksud kita. 3. Jika mau mengobrol dengan teman CP, bisa mencari tempat yang agak sepi agar kita bisa fokus dan mendengar suara mereka dengan jelas. Teman CP memiliki kemampuan bahasa yang terbatas. Mereka sering kali berbicara dengan satu kata. Sebisa mungkin tidak menebak atau melengkapi perkataannya. Berikan waktu dan tunggu sampai mereka menyelesaikan kalimatnya sendiri. Teman CP akan merasa dihargai dengan sikap toleran yang kita tunjukkan. 4. Saat berbicara mungkin saja artikulasi teman CP terdengar tidak jelas. Begitu juga ketika kita menyampaikan informasi, mungkin saja sulit dipahami oleh teman CP. Boleh saja menanyakan


76 kembali sebagai konfirmasi agar pesan tersampaikan dengan tepat. Misalnya, “Bolehkan diulang lagi?” atau “Apa kamu mengerti?”. Untuk teman CP yang mempunyai keterbatasan berbicara, kita bisa menggunakan bantuan gambar atau simbol untuk berkomunikasi dengan mereka. 5. Jika menemui teman CP yang menggunakan kursi roda, walker, sepatu khusus, atau kruk jangan menyandarkan diri ke alat bantu gerak, karena benda tersebut merupakan bagian dari dirinya. Kita dapat membantu teman CP untuk duduk di bagian depan, dekat dinding, atau dekat lorong jalan, agar mudah meletakkan alat bantu geraknya. G. Autisme Bagi individu dengan autisme, mereka memiliki ciri khas yaitu keterbatasan atau pola yang khas dalam berkomunikasi, bersosialisasi, over sensitif (terlalu peka) atau hiposensitif (kurang/t idak peka) pada sensori/ indera, kesulitan dalam mengontrol emosi, serta memiliki pola perilaku yang khas atau berulang, sehingga menyebabkan keterbatasan/ kesulitan dalam menjalin relasi sosial. Jika bertemu dengan teman autisme di gereja, terdapat beberapa hal yang bisa kita lakukan (ABA, n.d ; Dawson, G & Elder, L, 2013; URMC, n.d): 1. Mempunyai indera yang sensitif Sebagian besar teman autisme mempunyai sistem indra yang peka terhadap rangsangan dari


77 lingkungan. Adanya rangsangan yang berlebihan membuat tubuh mereka merasa tidak nyaman, contohnya banyaknya kerumunan orang baru, suara sound yang keras atau cahaya lampu yang terang. Hal ini memunculkan perilaku marah, berteriak, menangis, aktif bergerak, atau memukul. Maka, diperlukan adanya kerja sama dari umat untuk tidak mengerumuni serta menyarankan para pendamping untuk melihat tanda-tanda jika teman autisme sudah merasa terganggu, dengan melakukan beberapa hal berikut: ● Bisa membawanya ke tempat yang lebih sepi, misalnya di luar gereja atau ruang tenang agar teman autisme bisa meregulasi dirinya terlebih dahulu. ● Membawa alat bantu yang mengurangi respon dari rangsangan lingkungan, seperti: ○ Headset, earphone, atau earmuff sebagai pelindung dari suara keras. ○ Stress ball, squishy, atau boneka kecil untuk membuatnya merasa nyaman. Jadi jangan merasa aneh atau panik jika melihat mereka menutup telinga atau mata pada saat misa berlangsung. Hal ini adalah tanda bagi kita bahwa teman autisme merasa tidak nyaman dengan tubuhnya dan situasi lingkungan saat itu. 2. Menyapa Ketika bertemu dengan teman autisme di gereja, sebaiknya meminta izin kepada


78 pendamping sebelum menyapa untuk memastikan bahwa kondisinya baik-baik saja. Kita bisa menyesuaikan level mata untuk menjalin kontak mata, kemudian menyapa dengan singkat dan menyebutkan namanya agar mereka sadar sedang bertemu dengan orang lain, seperti: Hallo, Justin atau Siang Nana. Jika salam yang kita berikan tidak dibalas, jangan berkecil hati karena memang seperti itulah karakteristik mereka serta menunjukkan bahwa mereka sedang belajar untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial. 3. Berbicara dengan teman autisme Ketika berbicara dengan teman autisme, mintalah persetujuan pendampingnya untuk mempermudah komunikasi, karena mereka mempunyai ciri khas masing-masing. Kita perlu menyediakan waktu lebih bagi mereka untuk memproses informasi. Memberikan informasi satu per satu dan berulang akan sangat membantu teman autisme memahami informasi dengan lebih baik. Jika mereka dapat berkomunikasi secara verbal atau dewasa dan cukup mandiri, kita bisa menyesuaikan ritme bicara secara perlahan. Memberikan informasi satu persatu, instruksi pendek, kata sederhana, dan konkret. Teman autisme juga bisa melakukan kegiatan secara mandiri, misalnya, “Duduk di depan Teo”, Ayo


79 berbaris komuni”, “Buat Tanda Salib, atau “Berdoa”. Jika mereka mempunyai kemampuan bahasa nonverbal, kita bisa menggunakan gambar atau gerak tubuh sebagai media komunikasinya. Menggunakan gambar kegiatan, benda, atau emosi, sehingga kita dapat menangkap pesan dari teman autisme dengan tepat serta sebaliknya, teman autisme bisa memahami informasi yang kita sampaikan. Selain itu juga bisa menunjukkan contoh secara langsung agar teman autisme bisa mengikutinya. Misalnya, menunjukkan gambar urutan cara menerima berkat komuni atau mencontohkan cara melipat tangan untuk berdoa. Terkadang teman autisme juga menarik tangan, menunjuk, atau membawa benda, yang menandakan bahwa ia menginginkan suatu hal. 4. Mendampingi di gereja Mencari posisi duduk yang strategis dan nyaman bagi teman autis, misalnya dengan memperhatikan letak lampu, sound, atau keramaian. Teman autisme bisa diajak duduk di barisan tengah yang sejajar dengan pintu samping gereja dan dekat lorong jalan. Tentunya pendamping duduk di bagian luar dan teman autisme di dalam.


80 5. Melibatkan dalam kegiatan gereja Teman-teman autisme juga mempunyai kelebihan pada suatu bidang tertentu. Terdapat banyak kelebihan yang dimiliki, misalnya menggambar, bermain alat musik, bahasa asing, otomotif, melipat, atau memahat. Kita bisa mengajak teman autisme untuk membuat poster acara perayaan hari Paskah atau Natal, atau pelayanan sebagai pemusik atau pemazmur di perayaan Ekaristi. Berikan waktu yang cukup, setidaknya satu minggu bagi teman autisme untuk bersiap-siap atau latihan. H. ADHD dan ADD Individu dengan ADHD/ ADD juga memiliki keterbatasan dalam berinteraksi sosial (Rapoport, E.M., 2009), karena mereka sulit mempertahankan konsentrasi dalam waktu lama, tidak memperhatikan, terkesan mudah lupa, menyela, tidak sabar, dan aktif bergerak. Hal ini membuat lawan bicara merasa diacuhkan, tersinggung, atau enggan untuk mengajak mereka mengobrol lagi. Namun, sebenarnya teman ADHD/ ADD tidak memiliki maksud seperti itu. Mereka memiliki fokus yang pendek sehingga terkesan cuek. Berikut ini ada beberapa cara untuk berkomunikasi, yaitu: 1. Menyapa dengan memanggil nama dan membuat kontak mata agar teman ADHD sadar sedang


81 diajak berinteraksi. Jika kita bisa mendapatkan perhatiannya, makan akan lebih mudah nantinya untuk melakukan komunikasi lebih lanjut. 2. Ketika berbicara, teman ADHD sering kali berbicara dengan tempo cepat, menyela, melamun, ataupun memunculkan ide-ide baru yang mungkin tidak terkait dengan topik pembicaraan. Oleh karena itu, gunakan kalimat pendek, kata kunci, dan sederhana sehingga mereka dapat menerima dan mengingat informasi dengan tepat. Jika diperlukan, kita dapat mengarahkan mereka agar kembali ke topik dan melakukan konfirmasi halhal yang telah disampaikan sebelumnya. Misalnya: ○ Ayo dengarkan dulu, tadi kita bicara tentang …. ○ Apa saja yang perlu dilakukan? ○ Sekarang kita bahas dulu tentang …., yang lain nanti ya. 3. Mendampingi di dalam gereja dengan memilih tempat duduk yang tidak banyak distraksi seperti keramaian, gambar, dan alat-alat pendukung misa. Kita bisa mengajak mereka duduk di barisan tengah agar mudah melihat altar. Selama misa, pendamping dapat mengingatkan teman ADHD/ ADD untuk mendengarkan atau melihat gerak Pastor atau petugas liturgis sehingga ia dapat lebih fokus menerima informasi. 4. Mengajak teman ADHD/ ADD untuk terlibat dalam kegiatan gereja seperti menjadi lektor, pemazmur, atau tatib. Dengan berlatih dan


82 panduan yang jelas, mereka dapat mengikuti ritme perayaan ekaristi dengan lebih baik. I. Disleksia Beberapa individu disleksia mengalami kesulitan dalam memahami gestur lawan bicara dan memahami kata-kata yang abstrak. Maka sebaiknya: 1. Saat berkomunikasi dengan mereka, sebaiknya tidak menggunakan kata-kata yang sulit, peribahasa, atau bermajas. 2. Menggunakan gerak tubuh yang jelas Contoh: pada saat kita berkomunikasi dengan mereka dan kita merasa mengantuk, lebih baik jika kita menyampaikan secara langsung (tidak hanya memberikan kode gestur saja). 3. Saat menjelaskan sesuatu tidak perlu terlalu panjang dan berikan contoh nyata. Sampaikan secara bertahap dan intinya saja. 4. Beberapa teman disleksia itu kreatif dan thinking out of the box. Jadi, libatkan mereka dalam semua kegiatan yang membutuhkan kreativitas. 5. Individu disleksia adalah orang yang mandiri. Bisa saja mereka tidak membutuhkan pendampingan secara khusus, namun hanya bagi individu yang mengalami disleksia berat, mereka akan membutuhkan akomodasi (buku yang font sizenya besar, berjarak). 6. Beberapa individu disleksia tidak percaya diri dengan kemampuannya, maka ajaklah teman


83 Disleksia untuk terlibat dalam kegiatan gereja seperti menjadi putra altar, lektor, pemazmur, atau tatib. Dengan berlatih dan panduan yang jelas, mereka dapat mengikuti ritme perayaan ekaristi dengan lebih baik. 7. Selalu meremedial dan menjelaskan ulang saat kita memberikan tugas. J. CIBI (Cerdas Istimewa, Berbakat Istimewa) Individu dengan CIBI pada dasarnya juga sama dengan kita semua, hanya saja mereka memiliki cara berpikir yang lebih kuat, tajam, dan kritis. Selain itu, juga memiliki komitmen dan kreativitas yang tinggi. Menghadapi individu dengan CIBI, kita tetap berpegang pada prinsip memahami kondisi mereka dan sebaiknya kita dapat memberikan respon atau berinteraksi dengan cara sebagai berikut: 1. Bersikap wajar. 2. Berikan jawaban yang masuk akal dan logis. 3. Jujur dalam merespon. Bila tidak tahu akan jawabannya dan suatu pertanyaan atau kondisi, utarakan dengan jujur dan jangan berbohong. 4. Usahakan untuk berbicara berdasarkan fakta dan data. 5. Berikan rincian atau detail dari tiap aktivitas. 6. Fasilitasi kebutuhan afeksinya dengan memberikan perasaan nyaman dan aman, juga ketulusan dalam bersikap. 7. Berikan perhatian secukupnya saja, jangan berlebihan.


84 8. Jangan memanfaatkan keahlian yang dimilikinya atau terlalu banyak bertanya. 9. Ajak atau libatkan dalam diskusi bila menghadapi situasi tertentu. 10. Hargai privasi dan pendapatnya.


85 BAB V. Pelayanan Pastoral Difabel di Tingkat Paroki dan Kevikepan A. Pendataan Umat Difabel Tingkat Paroki 1. Paroki hendaknya melakukan pendataan umat difabel di paroki masing-masing. Formulir pendataan disediakan dan dapat diunduh pada website Keuskupan Surabaya di link yang tertera pada Instagram Pastoral Difabel atau pada bagian akhir buku ini. 2. Data sensus umat difabel ini kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis disabilitas, jenjang usia kronologis dan usia mental. 3. Dalam penentuan jenis dan jenjang perkembangan usia mental diperlukan keahlian tertentu, maka data perlu diverifikasi pada tingkat paroki. Pelayanan bagi setiap jenis disabilitas/jenjang masing-masing memiliki kekhususan. Untuk file hasil pendataan bisa diminta ke nomor Admin, yang berhak meminta adalah Romo kepala paroki/utusannya dan koordinator Pastoral Difabel di paroki. B. Perekrutan Tim Pastoral Difabel Paroki bagi Paroki yang Memiliki Umat Difabel 1. Tim Pastoral Difabel Paroki adalah orang-orang yang menyediakan diri dan diberi kemampuan


86 yang sesuai bagi pelayanan umat difabel di paroki. 2. Ketua Bidang Formatio mengumumkan serta menjaring orang yang bersedia terlibat dalam pelayanan umat difabel di paroki. 3. Ketua Bidang Formatio menentukan koordinator Pastoral Difabel paroki. 4. Hendaknya juga melibatkan umat difabel yang bersedia dalam perekrutan tim di paroki. C. Koordinasi Pelayanan Pastoral Difabel 1. Penanggung jawab utama pelayanan Pastoral Difabel paroki adalah Pastor Kepala Paroki. Dalam hal ini Pastor Kepala Paroki dibantu oleh Ketua Bidang Formatio. 2. Umat Difabel, sesuai dengan jenjang dan jenisnya, adalah bagian dari pembinaan Anak, Remaja, Orang Muda, Keluarga, dan Lansia di Paroki. Dalam pelayanan diperlukan koordinasi bersama Bidang Formatio. Di samping itu, berkaitan dengan pelayanan iman, tim bekerjasama dengan bidang Sumber. 3. Apabila tim pelayanan tingkat Paroki belum memungkinkan, koordinasi pelayanan bagi umat difabel dilakukan di tingkat kevikepan dan menjadi tanggung jawab Pastor Vikep. 4. Koordinasi pelayanan di tingkat kevikepan diatur oleh Pastor Vikep. Misalnya, pelayanan suatu


87 paroki dilakukan atau digabungkan dengan paroki terdekat yang memiliki tim. 5. Apabila di tingkat kevikepan belum terpenuhi, maka pelayanan bagi umat difabel suatu paroki dikoordinasikan dengan tim Pastoral Difabel Keuskupan. D. Program Pelayanan Pastoral Difabel Paroki 1. Pendampingan penerimaan Sakramen. 2. Pendampingan kegiatan Bidang Formatio : BIAK, Rekat, OMK, Keluarga, dan Lansia. 3. Penyediaan akses dalam perayaan liturgi dan kegiatan paroki. 4. Forum pertemuan umat difabel dan keluarga. 5. Peningkatan sosial-ekonomi umat difabel (kerjasama dengan PSE). 6. Peningkatan kapasitas umat difabel untuk menjadi pendamping bagi sesama umat difabel.


88 LAMPIRAN A. Tim Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya Moderator : RD. Agustinus Tri Budi Utomo Katekis : Melania Safirista Sofiarti, S.Pd. Koordinator : Efisien Dakhi, S.Pd. Sekretaris : Agitha Christi Angger Kinasih, S.Pd. Bendahara : Febellin Navylina Watung. S.Psi. Divisi Formatio : Wahyu Priyono, M.Psi, Psikolog. Theresia Kartiningrum, S.Psi. Yessica Dewi, M.Psi, Psikolog Divisi Jejaring : Tanti Wydia Rani, M.Psi, Psikolog dr. Danny Sentosa, C.Ht, CT. Divisi umat Difabel Fisik : Josephine Kintan (Khusus Tuli) Lenny Angkirawan ( Khusus Tunanetra) F.X. David Wijaya Agitha Christi Angger Kinasih, S.Pd. Febellin Navylina Watung, S.Psi. Divisi umat Difabel mentalintelektual : Agustina Twinky Indrawati, S.Psi. Laurencia Ika Wahyuningrum, S.Psi. Yessica Dewi, M.Psi, Psikolog. Divisi Medsos : Inas Risqi Chandra Rachmawati, S.Pd.


89 Tim : Maria Sinta Widyana, S.Psi. Koordinator Relawan : Angelina Yunny B. Sejarah Pastoral Difabel Mungkin kita sering mendengar istilah Sekolah Luar Biasa, yang biasa disingkat SLB. Sekolah tersebut diperuntukkan bagi murid berkebutuhan khusus agar bisa mendapatkan akses pendidikan. Ada beberapa jenis SLB sesuai fungsi dan kebutuhannya. SLB B misalnya, merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi anak yang memiliki kekurangan dalam indra pendengaran atau tunarungu. Media pembelajaran yang diberikan di sekolah ini yakni membaca ujaran melalui gerakan bibir yang digabung dengan cued speech, yaitu gerakan tangan untuk bisa melengkapi gerakan pada bibir. Selain itu, media lainnya yakni melalui pendengaran dengan alat pendengaran yaitu cochlear implant. Di Wonosobo, Jawa Tengah, ada SLB B untuk murid perempuan, SLB B Dena Upakara. Sedangkan untuk murid laki-laki adalah SLB B Don Bosco. Siswa-siswi kedua SLB ini berasal dari berbagai kota di Indonesia. Demikian pula dengan lulusannya yang tersebar di berbagai kota. Ada wadah alumni kedua SLB B ini, namanya adalah ADECO (Alumni Dena Upakara dan Don Bosco). Alumni dari Surabaya


90 ternyata cukup banyak. ADECO Surabaya berdiri pada tanggal 5 Oktober 1998. Di Dena Upakara dan Don Bosco, ada pendampingan rohani yang baik bagi para murid. Setelah lulus, para alumni merasa kesulitan mendapatkan pendampingan rohani. Misalnya saat mengikuti misa, tentunya tidak bisa selalu duduk di depan untuk melihat bahasa oralnya imam yang berkhotbah. Dulu, acara ADECO Surabaya hanya berkumpul untuk reuni dan berkegiatan umum seperti arisan, jalan-jalan, dan sebagainya. Ada beberapa kali mereka mengikuti misa untuk umat difabel di Keuskupan Agung Semarang. Aspirasi akan pendampingan dan kegiatan tentang rohani setelah lulus pernah mereka sampaikan kepada Sr. Antony, PMY yang dulu pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah Dena Upakara. Pada tahun 1998, Sr. Antony meminta keponakannya, Emerita Ardana yang sedang kuliah di jurusan Psikologi Universitas Surabaya untuk mencarikan Romo yang bersedia mendampingi Umat Katolik ADECO Surabaya dalam pembinaan rohani. Emerita kemudian menghubungi RD. Agustinus Tri Budi Utomo. Sekedar catatan, sekitar tahun 1996 hingga 2000, RD. Agustinus Tri Budi Utomo (Romo Didik) dan RD. Petrus Canisius Edi Laksito (Romo Nanglik) aktif di Komunitas Kemanusiaan, demikian juga Emerita. Perihal permintaan Sr. Antony yang disampaikan oleh Emerita, Romo Didik


91 menyanggupinya. Setelah Emerita menyampaikan kesanggupan Romo Didik, Sr. Antony menyampaikan pada F.X David Wijaya, salah satu alumni ADECO. Tak lama kemudian Sr. Antony dan David menemui Romo Didik di Paroki Santa Maria Anuntiata, Sidoarjo. Sejak saat itu, mulai ada pertemuan-pertemuan dan misa bersama ADECO Surabaya di Sidoarjo. Pendampingan ini berjalan hingga akhir tahun 2000. Sekitar awal 2001, Romo Didik mendapat tugas perutusan di Ketapang, Kalimantan Barat. Sejak saat itu, untuk sementara waktu ADECO Surabaya tidak ada yang mendampingi. Tahun 2013, misa dan pendampingan rohani ADECO Surabaya dilayani oleh beberapa imam dan suster dari Congregatio Missionis, Putra Maria Yosef, Putri Kasih, dan Alma. Pembina ADECO, Bernadeta Tumirah (Bu Tumir) dan Sr. Wahyu Triningsih, PMY yang juga pengajar di Dena Upakara memperkenalkan RP. Rafael Isharianto, CM kepada ADECO Surabaya. Misa perdana ADECO Surabaya diadakan di Paroki Santo Vincentius A Paulo, Jl. Widodaren, Surabaya. Tak lama kemudian, Misa ADECO Surabaya pindah ke Panti Asuhan Don Bosco, Jl. Tidar, Surabaya bersama RP. Paulus Suparmono, CM. Seringkali juga dibantu oleh RP. Ignatius Suparno, CM. Seiring berjalannya waktu, seringkali yang hadir pada misa ADECO bukan hanya alumni Dena


92 Upakara dan Don Bosco saja, melainkan dari SLB lain. Maka tercetuslah ide dari David yang membuat komunitas tunarungu Katolik. Munculnya ide nama PETRUS terinspirasi dari sosok Bruder yang bernama Petrus Hendrik dari Belanda yang pernah menjadi PIKO Bruder Caritas. Bagi David, Bruder Petrus memberi inspirasi bagi para siswa. David juga memberikan ide kepanjangan dari PETRUS, yaitu Persekutuan Ekaristi Tunarungu Surabaya. Tanggal 19 Januari 2014, Komunitas PETRUS didirikan dan diberkati oleh RP. Paulus Suparmono, CM di Paroki Santo Vincentius A Paulo, Jl. Widodaren, Surabaya. Bertemu kembali di Temu Karya Para Uskup Regio Jawa 2015 Tanggal 9-11 Juni 2015, para Uskup dan Kuria Keuskupan Regio Jawa mengadakan pertemuan di Keuskupan Purwokerto. Pada hari terakhir para peserta menghadiri perayaan 60 tahun Karya Pendidikan Luar Biasa SLB B Karya Bakti, Wonosobo. Sore hari sebelum acara dimulai, para Uskup dan rombongan peserta Temu Karya diajak meninjau stan pameran karya alumni ADECO di sekitar tempat perayaan. Romo Didik yang saat itu menjabat sebagai Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya ikut diantara rombongan peserta. Di stan ADECO Surabaya, Romo Didik bertemu kembali dengan F.X. David Wijaya dan Widi Nugraha yang sedang memamerkan karya mereka.


93 David menjadi desainer pakaian dan Widi Nugraha memamerkan batik Ngawi. Untuk beberapa saat, Romo Didik bersama Bapak Uskup Surabaya, Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono dan para anggota Kuria Keuskupan Surabaya berkumpul di stan ADECO Surabaya. Di hadapan Mgr. Sutikno, David dan kawan-kawan mengungkapkan kerinduan untuk bisa rutin bertemu dan mengadakan misa bagi warga Katolik tunarungu di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Kemudian Bapak Uskup menugaskan Romo Didik untuk menindaklanjuti kerinduan David dan kawan-kawannya. Beberapa hari setelah mereka pulang ke Surabaya, Komunitas PETRUS beraudiensi dengan Bapak Uskup di Wisma Keuskupan Surabaya. Pada pertemuan itu, Romo Didik menjelaskan tentang rencana diadakannya Expo Kelompok Kategorial Keuskupan Surabaya yang akan diadakan 16-18 Oktober 2015 di Convention Hall, Tunjungan Plaza 3, Surabaya. Romo Didik meminta David dan kawan-kawan segera membentuk komunitas kategorial pelayanan umat tunarungu di Surabaya. Selain nama komunitas, mereka juga harus memiliki logo. Kegiatan komunitas PETRUS mulai berjalan didampingi Romo Didik. Tahun 2018, Romo Didik mendapatkan tugas perutusan barunya sebagai Vikaris Pastoral dan Romo Rekan di Paroki Santa Maria Annuntiata, Sidoarjo. Di tengah-tengah kesibukannya, Romo Didik tetap berusaha memberikan perhatiannya pada Komunitas


94 PETRUS. Pertengahan tahun 2019, ada kateketik bernama Melani Safirista S. yang kemudian diangkat untuk pertama kalinya sebagai katekis Pastoral Difabel di Keuskupan Surabaya. Kemudian, Pelayanan Pastoral Difabel mulai aktif. Ada dua orang perwakilan Komunitas PETRUS yang hadir sebagai peserta Mupas 2019, yakni Albert Wey dan David Wijaya. C. Formulir Kesiapan (Asesmen) untuk Calon Penerima Sakramen Catatan : Form Asesmen ini bertujuan untuk menentukan pendampingan selanjutnya. Bukan menjadi penentu boleh atau tidak menerima sakramen. 1. Komuni Pertama Nama Peserta : Alamat : Usia : Sekolah : Kekhususan / Difabel : No Kegiatan Nilai Keterangan M B Kemampuan Dasar


95 1 Mampu bersih diri 2 Mampu makan sendiri 3 Mampu berjalan sendiri 4 Mampu berkomunikasi verbal/non verbal 5 Mampu menulis 6 Mampu membaca Aspek Perilaku 1 Ketahanan duduk 2 Kontak mata (melihat lawan bicara) Kemampuan Dasar Rohani 1 Mampu melakukan Tanda Salib 2 Mampu Doa Terpujilah, Kemuliaan, Salam Maria 3 Mampu Doa Bapa Kami 4 Mampu Doa Aku Percaya 5 Mampu Doa Tobat


96 2. Sakramen Krisma Nama Peserta : Alamat : Usia : Sekolah : Kekhususan/ Difabel : No Kegiatan Nilai Keterangan M B Kemampuan Dasar dalam Hidup 1 Mampu bersih diri 2 Mampu makan sendiri 3 Mampu berjalan sendiri 4 Mampu berkomunikasi verbal/non verbal 5 Mampu menulis 6 Mampu membaca Kemampuan Dasar dalam Berdoa 1 Mampu melakukan Tanda Salib 2 Mampu Doa Terpujilah,


97 Kemuliaan, Salam Maria 3 Mampu Doa Bapa Kami 4 Mampu Doa Aku Percaya 5 Mampu doa Tobat 6 Mau dengan kehendak sendiri mengikuti Misa Catatan Tambahan untuk Orang Tua/Wali 1 Orang tua/Wali bersedia mendampingi anaknya dalam kegiatan lingkungan 2 Orang tua/Wali bersedia mendampingi anaknya dalam kegiatan Gereja dalam pembinaan Formatio 3 Orang tua/ Wali bertanggung jawab atas hidup rohani anak (kebiasaan berdoa harian)


98 Keterangan : M : Mandiri B : Bantuan Catatan untuk pendamping/pengajar: 1. Dari hasil form asesmen ini, selanjutnya pendamping melihat aspek keaktifan orang tua dalam hidup menggereja minimal mulai saat mendaftar hingga penerimaan Sakramen Krisma. 2. Form disusun untuk mempermudah pendampingan anak melalui orang tua/ keluarga/ pendamping. Bukan sebagai penentu boleh/ tidak untuk menerima sakramen. 3. Form ini dapat direvisi berdasarkan situasi paroki. 4. Apabila ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan melalui form ini, maka tim pendamping paroki mengadakan pertemuan khusus bersama orang tua.


99


100 PUSTAKA ACUAN ----------, Anjuran Apostolik Fratelli Tutti-Tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial, penerjemah T. Krispurwana Cahyadi pada 3 Oktober 2020. Fransiskus. 2016. Amoris Laetitia. Penerjemah Komisi Keluarga KWI dan Couples For Christ. Dokpen KWI (dokumen asli diterbitkan pada Tahun 2017) Kemkes. 2017a. Cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas fisik A1. Diunduh pada 07 Januari 2022 dari http://p2ptm.kemkes.go.id/ Kemkes. 2017b. Cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas netra. Diunduh pada 07 Januari 2022 dari http://p2ptm.kemkes.go.id/ Kemkes. 2017c. Pendampingan disabilitas pendengaran di FKTP. Diunduh pada 07 Januari 2022 dari http://p2ptm.kemkes.go.id/ Maftuhin, Arif. 2016. Mengikat Makna Diskriminasi : Penyandang cacat, Difabel, dan Penyandang Disabilitas. INKLUSI: Jurnal Of Disability Vol. 3, No. 2,. DOI: 10.14421/ijds.030201 National Catholic Partnership on Disability. n.d. Interacting With People With Vision Loss. Retrieved on 7th January 2022 from https://ncpd.org/resources_and_toolkits/interactingpeople-vision-loss NDC. 2019. Communicating With Deaf Individuals. Retrieved on 7th January 2022 from www.nationaldeafcenter.org/deafcommunity Pertuni. 2015. Penyandang Ketunaan: Istilah Pengganti ‘Penyandang Cacat’. Diunduh pada 07 Januari 2022 dari https://pertuni.or.id/penyandangketunaan-istilah-pengganti-penyandang-cacat/


Click to View FlipBook Version