menyampaikan niatku melamarmu menjadi istriku, Ra. Ini tahun
terakhirku di Wisconsin, doakan disertasiku lancar. Insha Allah
pertengahan tahun depan ketika studiku sudah selesai, aku akan
segera pulang dan menikahimu," ucap Langit sambil memandang
wajah Tara.
Tara dibuat speechless oleh Langit, tiba-tiba lidahnya tercekat
hingga tak mampu mengucap sepatah kata pun. Begitu kagetnya
Tara mendengar permintaan Langit. Tak terasa air matanya
menetes, ia merasa terharu dan tak bisa membohongi
perasaannya. Tanpa pikir panjang, Tara pun mengangguk,
pertanda bahwa ia menerima lamaran yang diajukan oleh Langit.
Betapa bahagianya Langit saat mengetahui bahwa Tara
menerimanya. Akhirnya Langit pun memutuskan untuk mengambil
cuti kuliah selama dua minggu untuk pulang ke Indonesia dan
melamar Tara.
Rupanya selama ini seseorang yang ditunggu oleh Tara
adalah Langit. Tara sangat mencintai Langit, meski ia tak pernah
menunjukkannya. Begitu pula sebaliknya, wanita yang dicintai oleh
Langit selama ini adalah Tara. Ternyata mereka saling mencintai
satu sama lain, hanya saja mereka sadar bahwa waktunya belum
tepat untuk mereka bersatu. Oleh sebab itu, mereka memilih untuk
menyimpan perasaan mereka.
Sesampainya di Indonesia, Langit segera menyampaikan niat
baiknya kepada kedua orangtua Tara dan alhamdulillah mereka
merestui. Seminggu kemudian, Langit datang beserta sanak
keluarganya untuk melamar Tara. Perasaan yang campur aduk
bahagia dirasakan oleh Tara, ia tidak menyangka seseorang yang
ditunggunya selama ini kini benar-benar datang melamarnya. Elfa
sebagai sahabat Tara pun ikut bahagia mendengar berita
bahagia dari sahabatnya itu. Beberapa hari setelah melamar
Tara, Langit meminta izin kepada Tara dan keluarganya untuk
kembali ke Wisconsin. Ia ingin menyelesaikan studi di tahun
terakhirnya.
Tara dan Langit berpisah kembali untuk sementara waktu,
namun kali ini meskipun berjauhan, mereka sudah sepakat untuk
membangun komunikasi yang baik satu sama lain. Tara selalu
menyemangati Langit agar segera menyelesaikan disertasinya.
Begitu pula Langit yang selalu mendukung karir Tara.
92 Komunitas Negeri Kertas
Enam bulan kemudian, tidak disangka Langit telah berhasil
menyelesaikan studi doktoralnya dan kembali ke Indonesia. Hal ini
berkat Tara yang selalu menyemangatinya, sehingga Langit bisa
menyelesaikan studi lebih cepat dari perkiraan. Setelah kembali ke
Indonesia, ia segera mempersiapkan pernikahannya dengan Tara.
Mereka berdua saling bahu-membahu untuk melancarkan semua
keperluan prosesi pernikahan. Hari yang ditunggu pun tiba. Langit
sudah siap mengucap janji suci di hadapan penghulu dan
beberapa saksi yang hadir disana. Akad yang sekiranya pasti
disaksikan pula oleh malaikat.
"Saya terima nikahnya Tara Ashafa binti Habib Mustofa
dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas 30 gram
dibayar TUNAI," ucap Langit sambil menggenggam erat tangan
ayah Tara.
"SAH... SAH... ALHAMDULILLAH... Barokallahu lakuma wa
barokah alaikuma wa jamaah bainakuma fii khoir," suara saksi dan
penghulu memecahkan keheningan ruang akad nikah yang berada
di masjid.
Seusai akad terucap dari Langit, Tara pun dibawa menemui
Langit. Mereka saling memandang satu sama lain, kemudian saling
menangis haru bahagia di tengah keluarga besar yang
menyaksikan akad nikah mereka. Kedua orangtua mereka pun
merasa terharu melihat putra-putrinya bahagia dalam ikatan suci
pernikahan. Tepat di malam pertama mereka menjadi suami istri,
Langit memandang wajah istrinya dengan penuh rasa bahagia.
"Istriku tersayang, aku sangat bahagia hari ini. Semoga kita
bisa bahagia selamanya. Aku tak pernah merasa seindah ini
rasanya. Aku bahagia banget bisa bersama kamu. Tapi aku
sebenarnya penasaran ingin tahu, kira-kira menurutmu mengapa
kita berjodoh?" tanya Langit kepada istrinya
"Suamiku tercinta, aku pun merasakan hal yang sama. Aku
sangat bahagia bersamamu. Hmm, untuk pertanyaanmu yang satu
itu, aku tahu jawabannya. Tapi nggak mau kuberi tahu sekarang.
Nanti ya, pas kita bulan madu aja. Aku ingin kita berbulan madu di
Ranu Kumbolo. Kita berkemah di sana aja, gimana? Setuju nggak?"
jawab Tara sambil tersenyum memandang wajah suaminya
Langit pun menyetujui ajakan istrinya. Ia menyiapkan segala
kebutuhan untuk berkemah di Ranu Kumbolo. Mereka pun pergi
Bahagia Bersamamu 93
berbulan madu ke sana. Tara sangat bahagia bisa menikmati alam
bersama suaminya. Malam yang paling romantis dalam seumur
hidup Tara adalah ketika ia dan suaminya duduk beralaskan
rumput dan ditemani oleh bintang-bintang yang terang. Tara pun
menepati janjinya untuk mengungkapkan rahasia pemikirannya
tentang mengapa ia dan Langit bisa berjodoh.
"Tahu kan kamu, Namaku Tara, dalam Bahasa Sansekerta
artinya Bintang. Sedangkan kamu bernama Langit, yaitu tempat di
mana Bintang bisa bersinar terang. Sekarang kamu paham kan
mengapa kita berjodoh? Karena kita saling membutuhkan. Langit
akan merasa kesepian tanpa ditemani oleh Bintang. Sama halnya
dengan Bintang yang tidak bisa memancarkan sinar terangnya
tanpa adanya Langit yang menaungi kehadirannya. Oleh sebab
itu, kita ditakdirkan bersama untuk saling melengkapi satu sama
lain," ucap Tara sambil memandang wajah suaminya dan mereka
pun saling melempar senyum bahagia.
Langit sangat bahagia bisa ditakdirkan hidup menggenap
bersama Tara yang kini telah menjadi istrinya. Mereka pun
melewati berbagai macam ujian kehidupan dengan saling percaya
dan saling berusaha memahami karakter satu sama lain. Dua tahun
setelah pernikahan mereka, Tuhan mengaruniakan sepasang anak
kembar berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Anak
perempuan diberi nama Adhisty, dalam Bahasa Sansekerta berarti
Matahari, sedangkan anak laki-laki diberi nama Candra, dalam
Bahasa Sansekerta berarti Bulan. Tara sengaja memilihkan kedua
nama tersebut, dengan filosofi bahwa Langit sebagai ayahnya
akan selalu menjadi tempat yang menaungi kehadiran Bulan,
Bintang, dan Matahari. Kedua anak itu memberi warna baru dalam
kehidupan mereka. Langit berjanji kepada Tara untuk selalu
berada di samping Tara apapun yang terjadi, dan akan menjadi
ayah yang baik bagi sang buah hati.
-o0o-
94 Komunitas Negeri Kertas
Tentang Penulis : : 085731240202
: FITRANIA HALLA
FITRANIA HALLA :JL. MANGGIS NO.4, TAMBAKSARI,
NO. HP SURABAYA
NAMA FB
ALAMAT LENGKAP
Bahagia Bersamamu 95
Menangkap Asap
Karya : Heri Santoso Ashar
Juminah. Begitu ayahnya memberikan nama pada anak gadis
itu dua puluh lima tahun yang lalu. Juminah lahir hari Kamis,
sembilan Mei, satu sembilan delapan lima, di ibu kota provinsi.
Pagi hari setelah subuh. Putih kulitnya tapi tak sipit matanya.
Karena dia bukan turunan orang Cina. Juminah asli turunan orang
Jawa. Tangisan pertamanya ditandai gelak-tawa, serta suka-cita
sanak keluarga dan handai tolan. Juminah terlahir sungsang.
Kakinya keluar terlebih dulu, tidak selayaknya kelahiran bayi
secara normal yang terlahir kepalanya terlebih dahulu.
Juminah adalah anak pertama sekaligus cucu pertama Ki
Ahmad. Pemilik pesantren di kota itu. Keluarga besar Ki Ahmad
berharap kelak Juminah menjadi penerus dan pengasuh di
pesantren yang dikelola keluarga itu.
Begitu diputus tali pusar dan selesai dimandikan, kakeknya
sendiri yang langsung mengumandangkan azan di samping telinga
Juminah. Tugas besar sudah menanti di pundak anak gadis itu
kelak.
Selesai mengazani cucunya, Ki Ahmad langsung bergegas ke
masjid pesantren untuk mengumumkan kelahiran cucu pertamanya
pada para santri. Memanfaatkan pengeras suara yang sudah
agak sember, Ki Ahmad dengan lantang mengumumkan berita
suka-cita itu berkali-kali saking gembiranya. Begitu selesai
menyampaikan pengumuman, Ki Ahmad langsung pergi ke pasar.
Ki Ahmad hendak membeli kambing untuk aqiqah nanti.
Pesta kelahiran Juminah digelar dengan penuh kemeriahan.
Pesta itu berlangsung tujuh hari tujuh malam. Meskipun demikian,
acara itu tidak mengganggu rutinitas kegiatan pesantren. Para
santri bergiliran bertugas menjadi pramusaji dalam pesta tersebut.
Tamu yang datang juga membludak. Baik handai tolan maupun
para sahabat Ki Ahmad yang berasal dari seluruh pelosok negeri.
Ki Ahmad benar-benar mengistimewakan para tamunya.
Sudah tidak terhitung lagi berapa kambing yang disembelih, ayam
yang dipotong, bebek yang disate dan telur yang direbus.
Semuanya disajikan untuk menjamu semua tamu yang datang. Dua
gudang sudah penuh berbagai hadiah, cendera mata, juga handy
craft, baik yang terbungkus rapi nan indah atau tanpa bungkus
sama sekali. Para penari, penyanyi dan pengisi-pengisi acara
96 Komunitas Negeri Kertas
lainnya sudah pegal-pegal karena menghibur tamu undangan
berhari-hari. Meski demikian mereka sangat senang karena Ki
Ahmad memberikan bayaran lebih besar dari tarif biasanya.
Ayah Juminah, Ahmad Suprano Ahmad tampak sibuk
menyalami tamu undangan. Wajahnya berseri-seri meski sudah
tujuh hari tujuh malam harus melayani tamu-tamunya yang terus
berdatangan. Suprano, begitu panggilannya, adalah lulusan
terbaik dari universitas terkemuka di Kairo.
Setahun sebelum kelahiran Juminah, ia kembali ke tanah air
dan menikah dengan Julehah, santriwati yang berasal dari Kulon
Progo, sebuah kota di pesisir selatan Pulau Jawa. Waktu itu Ki
Ahmad sendiri yang menjodohkan Suprano dengan Zulaikha.
Suprano menerima saja perjodohan itu. Meski batinnya
menolak, dia sudah terlanjur cinta setengah mati dengan Tumijah
santriwati yang berparas cantik dan berbibir seksi, merekah dan
tampak selalu basah, serta lebih bohay tentunya. Santriwati itu
berasal dari Parigi, Ciamis sebelah barat Pantai Pangandaraan.
Sebenarnya Ki Ahmad tahu anak lelakinya itu cinta setengah
mati dengan salah satu santriwatinya itu. Tapi Ki Ahmad tidak
setuju, dia tidak suka sifat dan perilaku Tumijah yang kurang
mencerminkan seorang muslimah. Witing tresno jalaran soko ra ono
liyo, begitu falsafah Jawa yang sengaja menyimpang dari kaidah
sebenarnya. Meskipun dipaksakan cinta Suprano pada Zulaikha
tumbuh juga, dan lahirlah si buah hati yang cantik nan rupawan itu.
***
Dua puluh lima tahun tepat. Seperempat abad peristiwa itu
telah berlalu. Juminah kini sudah menjadi gadis. Cantik molek dan
aduhai. Membuat para jejaka tertarik pada kemolekannnya.
Sudah berapa ratus pinangan yang datang untuk menjadikan
Juminah permaisuri hati mereka. Hanya saja Juminah belum bisa
membuka hati. Belum ada yang cocok dan sreg katanya.
Juminah baru pulang ke tanah air setelah menyelesaikan
studinya di Amerika, negeri Paman Sam itu. Juminah kuliah di
California, salah satu negara bagian di negara adikuasa itu.
Banyak sekali perubahan pada diri Juminah semenjak kuliah di
sana. Salah satunya adalah gaya berbusananya. Kini Juminah tak
lagi memakai jilbab. Gerah alasannya ketika suatu saat ibunya
menanyakan alasan kenapa putrinya itu melepas jilbab.
Jangankan mengaji dan sembahyang malam, pergi salat ke
masjid pun enggan. Juminah lebih suka duduk berlama-lama di
Bahagia Bersamamu 97
depan laptop sambil berkirim email dengan Grace, Peter, atau
Aston, teman kuliahnya sewaktu di Amerika.
Belakangan ini Juminah juga sering chatting dengan Lee Han,
remaja Korea yang di kenalnya saat di pesawat. Sewaktu balik ke
Amerika pada libur kuliah setahun yang lalu. Lewat jejaring sosial
yang sedang trend saat ini, Juminah juga sudah berani meng-
upload foto-foto seksinya di internet. Tentu tanpa sepengetahuan
Zulaikha, ibunya yang gagap teknologi.
Setiap akhir pekan Juminah pergi ke Jakarta untuk dugem
bersama teman-teman barunya, anak-anak pengusaha yang
dikenalnya juga saat kuliah di Amerika. Berdalih ingin main ke
rumah teman kuliahnya, Juminah mengelabui orangtuanya. Mereka
percaya begitu saja. Mereka belum tahu tingkah polah Juminah. Di
Jakarta Juminah menyewa kamar kos untuk tidur sekadar melepas
lelah setelah menghabiskan malam bersama teman-temannya di
night club ternama di ibu kota.
Siapa pun yang ingin mencari, pasti tidak akan menemukan
nama Juminah di tempat kos itu. Karena Juminah kini telah berganti
nama menjadi Prety Qute. Nama gaul di kalangan teman-teman
dugemnya. Nama tersebut menjadi nama akrab di kos-kosannya
yang tanpa induk semang itu.
Hilanglah sudah Juminah yang dulu rajin ngaji, rajin salat, dan
membantu orangtuanya. Berganti Prety Qute yang suka chatting,
doyan dugem dan mabuk-mabukan. Tak ada lagi Juminah yang
dulu berbusana anggun dan santun berbalut busana muslimah.
Berganti Prety Qute yang seksi nan bohay dengan you can see dan
rok mini yang hanya beberapa centi meter saja menutupi pangkal
pahanya.
Apa jadinya kalau Ki Ahmad tahu tentang hal ini. Kalaupun
tahu pasti tak akan memukul cucunya itu dengan rotan. Seperti
yang pernah dilakukan kepada cucu-cucunya yang lain kalau
malas salat atau mengaji. Ki Ahmad meninggal dunia empat tahun
yang lalu, setahun setelah kepergian cucu pertamanya itu kuliah ke
Amerika.
Ki Ahmad sebenarnya tidak setuju Juminah kuliah ke Amerika.
Akan tetapi waktu itu ia tidak mempunyai kewenangan untuk
melarang. Ki Ahmad hanya memberi masukan dan pendapatnya
saja pada Suprano, ayah Juminah yang ngotot menguliahkan
Juminah ke Amerika. Demi prestise keluarga katanya, bukan
prestasi!
***
98 Komunitas Negeri Kertas
Seorang gadis cantik nan seksi berjalan melenggak-lenggok
di atas catwalk. Sorot lampu kamera fotografer berkedap-kedip
silih berganti. Para fotografer itu berebut mengabadikan tiap
moment yang bagus dari berbagai sudut paras cantik perempuan
itu. Perempuan itu terkesan tampil sangat sempurna di atas papan
catwalk.
“Oke, kita break dulu!” Teriak seorang perempuan setengah
baya yang juga berpenampilan super seksi.
“Oke tante Tammy.” jawab para fotografer itu serempak.
Kemudian perempuan setengah baya yang biasa disapa
tante Tammy mendatangi objek bidikan kamera para fotografer-
nya tadi. mencium pipi lalu memeluknya. ”Tante kita break kemana
nih?” tanya gadis cantik nan seksi itu pada tante Tammy, pemimpin
redaksi majalah dewasa khusus laki-laki itu.
”Kita ke Red and Black Stone Cafe saja, nanti aku kenalkan
kamu dengan Mr. Chow, pemilik kasino dari macau,” ajak tante
Tammy sambil menarik tas dari meja.
”Wow, pemilik kasino?”
”Ya, dia yang akan menjadikan kamu super model nanti.”
”Oke deh, kita berangkat sekarang.”
Hanya butuh beberapa menit saja untuk sampai ke tempat
yang mereka tuju. Mereka berdua lalu duduk di kursi yang kosong
di sudut ruangan kafe itu. Seorang pelayan datang menawarkan
daftar menu. Sebotol sampanye dan dua porsi kentang goreng
mereka pesan.
Tante Tammy kemudian mengeluarkan sebungkus rokok dari
tasnya. Lalu mengambilnya sebatang dan menyulutnya, menghisap
dalam-dalam rokok itu. Asap mengepul keluar dari bibirnya yang
masih tampak terlihat seksi dan basah itu. Kini batang rokok itu
terselip di antara jari kurusnya. Sambil menunggu pesanan datang,
mereka sempatkan untuk ngobrol-ngobrol, tanpa topik
pembicaraan yang jelas.
”Say, apa impianmu yang belum tercapai?” tiba-tiba Tante
Tammy menanyakan sesuatu yang sangat aneh terdengar di
telinga gadis foto model itu.
”Impian apa tante?”
”Ya, impian apa saja. Pengen ganti mobil, beli apartemen lagi
atau menikah barangkali?”
”Menikah?”
”Ya, menikah.”
”Rasanya menikah hanya status saja deh, tante.”
Bahagia Bersamamu 99
Tante Tammy tertawa ngakak, hingga ia batuk-batuk karena
asap rokok yang masih di dalam mulutnya terhirup sampai paru-
paru. Gadis foto model itu ikut tertawa.
”Lalu apa impianmu sekarang?”
”Menangkap asap tante.”
”Menangkap asap? Apa maksudnya?”
Belum sempat pertanyaan itu terjawab. Pelayan datang
mengantarkan pesanan. Mereka berdua menikmati dengan lahap.
Meski sampanye yang mereka minum sedikit membuat
sempoyongan menahan tubuh mereka untuk tetap nyaman di atas
kursi. Tapi mereka sudah terbiasa.
Tiba-tiba seorang laki-laki berwajah oriental datang
menyapa mereka.
”Hai Tammy, apa kabar?” sapa laki-laki itu sambil mencium
pipi Tante Tammy.
”Baik mister, silakan duduk.”
”Terima kasih Tammy.”
”Mau dipesankan apa mister?” Tante Tammy memanggil salah
satu pelayan dengan kode, menyalakan korek gasnya ke atas.
Salah satu pelayan menghampiri meja mereka.
”Ada yang bisa saya bantu?” tanya pelayan.
“Capuchino satu, pakai krim ya.”
“Oiya mister, perkenalkan ini model saya,” kata Tante Tammy.
“Wow, perkenalkan nama saya Chow Young. Panggil saja
Chow.” Sambil mengulurkan tangannya.
“Prety Qute, panggil saja Prety.”
Mereka bertiga kemudian terlibat pembicaraan yang seru.
Ketawa-ketiwi di sela-sela percakapan. Tidak ada rasa canggung
lagi antara Prety dan Mr. Chow. Kalau Mr. Chow curi-curi pandang
itu biasa. Tapi Prety suka. Buktinya ia hanya senyum-senyum,
paling-paling dia cubit pinggang Mr. Chow. Mereka kemudian
memesan sampanye lagi. Membuat Prety berkunang-kunang.
“Prety bagaimana kalau ke apartemenku saja?”
“Mau ngapain mister?”
”Kamu mau menjadi super model di Macau?”
“Mau mister.”
“Kalau begitu ikut aku, aku punya tiket untuk menjadi super
model di Macau.”
Mr. Chow lalu menuntunnya keluar kafe itu. Prety hanya bisa
menggelayut pada Mr. Chow. Terlalu banyak minum sampanye
sepertinya. Hingga tak mampu lagi berjalan tegak. Tante Tammy
100 Komunitas Negeri Kertas
hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya yang juga
mulai terasa berat. Dia masih duduk di kursi kafe itu.
“Tumijah! Kemana mereka berdua?” tiba-tiba Tante Tammy di
kejutkan oleh suara yang tak asing lagi di telinganya.
”Yayang Suprano, bikin kaget saja jangan panggil Tumijah
dong, panggil Tammy!”
”Iya, Tammy.”
”Kenapa lama tidak main ke apartemenku?”
”Banyak kerjaan kantor.”
”Bagaimana kalau sekarang?”
”Oke, tapi kemana mereka tadi?”
”Menangkap Asap!”
***
Seoul, Choe Song Hamnida!
Berawal dari pertemuan di kafe itu, Mr Chow kemudian
mengajak Juminah ke apartemennya. Juminah tidak ingat lagi apa
yang dilakukan Mr Chow pada dirinya, karena ia sedang mabuk
berat saat itu. Begitu pagi tiba, saat Juminah tersadar, ia sudah
tidak mendapati laki-laki itu di apartemennya. Juminah hanya
menemukan sebuah alamat yang tidak begitu jelas, tapi bukan di
Macau, Hongkong. Melainkan Seoul, Korea Selatan.
Seminggu semenjak kejadian itu, Juminah uring-uringan pada
Tante Tammy. Ia terus mendesak perempuan pemilik penerbitan
majalah khusus laki-laki itu untuk meminjamkan uang.
”Tante pokoknya, Tante harus kasih aku duit!”
”Sabar Prety, ini belum awal bulan, tunggulah setelah edisi
sepuluh terbit, berapa kamu minta tante akan kasih.” Bujuk Tante
Tammy pada Juminah alias Prety Qute.
”Aku mau sekarang, Tante!” teriak Juminah.
”Oke, oke.. Tapi kamu sendirian ke Seoul, Tante tidak bisa
menemanimu sebelum edisi sepuluh majalah kita terbit.”
”It’s Oke! No problem, aku akan berangkat sendiri,” teriak
Juminah dengan pede.
”Berapa maumu?”
”Tiga puluh juta!”
”Dua puluh!”
”Tiga puluh!”
”Oke, tapi setelah pulang dari sana kau harus selesaikan sesi
pemotretan di Bali!”
”Baik, siapa takyuuutt,” Juminah tersenyum manja.
***
Bahagia Bersamamu 101
Sorenya Juminah langsung memesan tiket pesawat ke Seoul.
Semua barang-barang miliknya di apartemen pribadinya sudah
dikemasi. Tak ada satupun yang tertinggal, termasuk kamera
digitalnya. Layaknya seorang model, Juminah selain menjadi obyek
bidikan para fotografer juga mempunyai hobi fotografi juga.
Setiap pemotretan di berbagai daerah, ia juga
mendokumentasikan kegiatan-kegiatan itu untuk koleksi pribadinya.
Juminah tidak perlu pusing untuk mengurus paspor dan visa
yang dibutuhkan. Asisten Tante Tammy sudah mengurusnya. Hanya
saja untuk ke Seoul, baru kali ini. Juminah pergi ke bandara
diantar sopir Tante Tammy, Pak Man. Sopir pribadi Tante Tammy
itu hanya mengantar sampai tempat parkir Bandara
Soekarno/Hatta.
***
Juminah kini sudah berada di Kota Seoul. Namun Juminah
tidak mendapatkan apa yang ia cari. Alih-alih menemukan alamat
Mr Chow, seperti yang tertera di secarik kertas itu. Bahkan kini
Juminah tidak memiliki apa-apa lagi kecuali baju yang melekat di
tubuhnya. Semua barang bawaannya raib, dibawa lari sopir taksi
gadungan yang tidak jelas itu.
Sopir taksi itu kabur saat Juminah minta berhenti sebentar di
pengisian bahan bakar, untuk pergi ke toilet. Juminah kebelet pipis.
Semenjak dari Bandara Soekarno/Hatta ia sebenarnya sudah ingin
pergi ke kamar kecil, tapi ia tahan. Maka ketika taksi yang
mengantarkannya berhenti mengisi bahan bakar, Juminah segera
berlari mencari toilet. Malang bagi Juminah, saat kembali dari
toilet, ia tidak mendapati taksi yang ditumpanginya tadi.
”Where is my taxy?” Tanya Juminah pada petugas di
pengisian bahan bakar itu.
”Odiro ka shiminikka?” Kata petugas itu.
”I don’t understand Korean, do you speak English?”
Petugas itu hanya menggelengkan kepala. Juminah tampak
kesal dan meninggalkan petugas pengisian bahan bakar itu.
Sebenarnya petugas itu orang Indonesia, Dalimin namanya, orang
Wonosari, Gunung Kidul. Seandainya tadi Juminah menggunakan
bahasa Indonesia atau menggunakan bahasa Jawa tentu Dalimin,
petugas pengisian bahan bakar itu akan mengerti apa yang
dikatakan Juminah.
Mungkin karena wajah Juminah yang sudah dipermak kebarat-
baratan dengan memakai contact lens biru, hidung yang dipaksa
mancung juga rambut yang disemir pirang, Dalimin menganggap
102 Komunitas Negeri Kertas
perempuan yang mengajak bicara itu adalah orang Turki atau
Eropa lainnya. Dalimin membiarkan saja perempuan itu pergi.
***
Hari-hari Juminah di Kota Seoul sangat menyedihkan. Ia harus
mengemis untuk sekadar mengisi perutnya di rumah-rumah makan
yang ada kota itu. Padahal Kota Seoul adalah kota impian.
Hampir semua orang bermimpi untuk datang ke kota ini.
Konon siapa pun yang datang ke Seoul akan menemukan
cintanya di kota ini, tetapi tidak dengan Juminah. Ia ingin segera
kembali ke Indonesia, tempat di mana ia dilahirkan, dibesarkan
dan dikenal semua orang karena begitu populer di kalangan
masyarakat, khususnya laki-laki dewasa. Tapi di sini, Juminah
hanya seorang pengemis. Tak seorang pun mengenalinya kalau ia
seorang model, peduli pun tidak!
Seperti hari-hari kemarin Juminah masih menyusuri jalanan
Kota Seoul. Tanpa seorang pun peduli padanya. Ia nyaris gila.
Sampai akhirnya Juminah berhenti di sebuah taman kota.
Kemudian ia duduk di bangku kosong yang tersedia di situ.
Beberapa orang juga berada di tempat itu. Bersama keluarga
atau teman-teman mereka. Melihat orang-orang itu, Juminah
menjadi teringat dengan keluarganya. Tak terasa air matanya
deras mengalir di pipinya.
”Umiii... maafkan aku!... hu hu hu huk,” tanpa sadar Juminah
berteriak histeris dan kemudian menangis. Beberapa pengunjung
taman kota itu hanya menggelengkan kepala. Mereka tak tahu
apa yang diucapkan Juminah. Mereka berpikir Juminah orang gila.
Namun, selang beberapa menit kemudian datanglah seorang laki-
laki tinggi tegap, dengan rambut sebahu. Boleh dibilang macho
kalau cewek-cewek Indonesia menyebutnya.
”Kamu orang Indhonesa?” sapa laki-laki itu.
”Ya, kenapa?” Kata Juminah sedikit kaget ketika menatap
wajah laki-laki itu.
”Ka... kamu... yang di pengisian bensin itu?” Laki-laki itu juga
begitu kaget.
”Iya, kamu bisa bahasa Indonesia?” Juminah tampak lugu.
“Oh... aku memang orang Indhonesa, Mbak. Wong Wonosari,
Gunung Kidul, Jogjakarta. Kenalkan namaku Dalimin. Mbak’e siapa
namanya?” rupanya laki-laki itu adalah Dalimin petugas pengisian
bahan bakar tempo hari.
“Oalahhh... orang Indonesia juga toh? Orang banyak
memanggilku Prety, tapi nama asliku Juminah, Mas. Mas Dalimin
Bahagia Bersamamu 103
orang Jogja, toh? Dua bulan yang lalu saya juga dari Jogja, Mas.”
Juminah terlihat ceria, bukan karena sedang mendapatkan bonus
dari Tante Prety, tapi karena bertemu dengan sesama orang
Indonesia di kota itu. Apalagi orangnya kelihatan baik, lugu pula.
“Wah... jadi kangen kampung aku Mbak, dengar Mbak bilang
Jogja. Liburan ya, di sana?”
“Aku seminggu di sana karena ada pemotretan, sekalian
menjenguk keluarga. Ibuku orang Jogja juga lho, Mas. Orang
Wates, Kulon Progo, sampeyan ngerti, to? Jadi sedikit-sedikit aku
juga bisa bahasa Jawa.”
“Yo ngerti to Mbak, lha aku iki mbiyen sering dolan nek
Pengasih, kulakan tempe geblek, sejenis makanan tradisional ngono
lho, Mbak?”
“Oh, yo... yo,” sambil manggut-manggut kepalanya seolah-
olah Juminah tahu.
“Ngomong-ngomong, rene ki mau motret-motret juga, sambil
piknik gitu?” tanya Dalimin lugu. Dalimin tidak tahu kalau Juminah
ini begitu populer di Indonesia. Dia tidak mengerti maksud kata
Juminah tentang pemotretan tadi, ia hanya tahu orang yang suka
motret-motret keliling seperti di kampungnnya dulu.
“Ceritanya panjang, Mas. Kalau aku ceritakan mungkin tidak
sekadar menjadi menjadi cerpen, mungkin bisa jadi novel.”
“Maaf lho, Mbak. Tak kiro ki sampeyan dari Eropa. Lha
ngomongnya, andher setan... ander setan aku ora mudheng no,”
Dalimin tersenyum lucu, tapi tetap ganteng dan macho tentunya.
Nicholas Saputra bangetlah. Saat lagi main di AADC.
“Ora-opo, Mas. Lha Mas Dalimin aku kira juga orang Korea
lho, habis ngomongnya, simika-simiki opo kuwi? Aku ora ngerti.”
“Ha... ha... ha,” mereka berdua tertawa bersamaan.
Mereka berdua kemudian bercakap-cakap di kursi taman itu.
Tidak ada sesuatu yang aneh bertemu dengan sesama orang
Indonesia, di Seoul. Banyak sekali orang Indonesia di kota ini,
dengan berbagai aktivitas masing-masing. Meskipun begitu,
bertemu dengan sesama orang Indonesia di saat sedang naas
seperti ini, bagi Juminah adalah sangat menggembirakan.
”Wah, Mbak ini udah siang... bagaimana kalau ceritanya
dilanjutkan di apartemenku, di sana nanti Mbak juga bisa bertemu
dengan orang-orang Indonesia.”
”Oke, nanti aku diajarin bahasa Korea, ya!” kata Juminah
manja.
”Iyo, tapi sampeyan yo ngajari aku bahasa Inggris?”
104 Komunitas Negeri Kertas
“Itu lebih mudah daripada menangkap asap, Mas.”
Mereka berdua kemudian meninggalkan taman kota itu.
Sementara salju mulai turun dengan lembut. Selembut tangan
Dalimin menggandeng tangan Juminah.
Cilegon, 2015
***
Tentang Penulis :
Heri Santoso Ashar,S.S.
Lahir di Karanganyar, 12 Mei 1982. “S.S” di belakang namaku
bukan gelar akademik, ya! he..he..he, singkatan saja dari “suka
senang-senang saja”, (mana ada orang yang mau hidup ber
“susah-susah”. Tergabung dalam sanggar seni sastra “KURUSETRA”
SMPIT RAUDHATUL JANNAH CILEGON. Beberapa cerpennya dan
tulisannnya pernah dipublikasikan di Tabloid Cikal dan harian lokal
di Kota Jogja. Cita-cita ingin menjadi penulis terkenal, seperti
Andrea Hirata atau Pramudya AT, tapi akhirnya menjadi “Aku”
biar lebih idealis. Kalau ada yang mau membaca tulisan-tulisanku
yang rada kacau, bisa dibaca di heriando.blogspot.com atau di
note facebook-ku, [email protected].
Alamat Sekolah SMPIT Raudhatul Jannah PCI Blok D 70 Cibeber,
Cilegon.
Alamat Rumah Perum BPP/ Sankyu Blok B1 No. 3.
Bahagia Bersamamu 105
Gabe and Gill
Karya : Rendra Fitriana
Terlahir sebagai anak yang tidak di inginkan itu sangatlah
sulit. Hinaan dan cacian yang tidak pernah berhenti menusuk
telinga ini. Semua itu harus kutelan bulat-bulat. Bahkan kehidupan
pun tak berpihak padaku, lantas bagaimana aku harus hidup
dengan semua kekurangan yang kuderita? Apakah aku harus
mengakhiri hidupku yang sia-sia ini? Ataukah aku harus
mempertahankan kehidupan yang terus menyiksaku?
Tetapi itu semua berubah semenjak kejadian itu, kejadian
yang mungkin membuat semua mata terbuka, bahwa setiap
kekurangan seseorang bisa menjadi sebuah kelebihan yang luar
biasa jika dihargai.
***
Braakk...
Suara meja yang dibanting dengan sangat keras. “Apa yang
membuatmu berpikir seperti itu!” bentak wanita itu dengan suara
melengking yang mungkin sudah biasa kudengar setiap hari. “Apa
kau tidak bisa membuka matamu! Lihat dia, bahkan meliriknya pun
aku tak sudi! Bagaimana bisa kau melahirkan anak yang
memalukan keluarga seperti itu!” bentak lelaki itu tak kalah
kerasnya. “Kau hanya bisa menghinanya! Kau bahkan tak pernah
memberinya kasih sayang! Kau hanya sibuk dengan perusahaan
bodohmu itu!”
Hmm, mereka adalah ayah dan ibuku, sebenarnya mereka
sangatlah baik. Merekalah yang selalu mengurusku sejak aku kecil
tapi tak tahu kenapa seiring bertambahnya usia yang kulihat
bukanlah kasih sayang melainkan kemarahan yang tertahan.
Mungkinkah ini salahku? Apa yang sebenarnya kuderita?
Lama aku meringkuk di atas ranjang kecilku ini, mendengar
kedua orangtuaku yang saling melampiaskan amarah. Hingga
sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunanku, “Sayang, apakah
kau sudah tidur?” ternyata suara halus ibuku yang terucap. “ Belum
Bu, apakah ada yang bisa kubantu?” aku terus meringkuk di atas
kasur, “bolehkah ibu masuk, Sayang?” Tanya ibu dengan nada
sesenggukan. “Apapun yang ibu inginkan, silakan,” aku berusaha
untuk bangun dan membersihkan air mata yang sedari tadi
106 Komunitas Negeri Kertas
mengalir tanpa henti ini. “Sayang, ibu harap kamu tidak
mendengarkan apa yang dikatakan oleh ayahmu, mungkin ayahmu
cuma terlalu banyak masalah karena perusahaannya yang sedang
merosot.”
“Tak apa, Bu, aku memang terlahir seperti ini, tak ada
salahnya jika ayah benci kepadaku,” jawabku lembut.
“Selamat malam, Sayang, semoga mimpi indah, Tuhan
menyertaimu,” ucap ibuku yang kemudian memeluk dan mencium
keningku.
***
Would you know my name...
If I saw you in heaven...
Would it be the same...
If I saw you in heaven...
I must be strong and carry on...
Cause I know I dont belong here in heaven...
Suara musik dari Eric Clapton mengalun lembut
membangunkanku dari dunia mimpiku. Sejenak aku terdiam
menatap langit langit dan mengingat kejadian semalam, ibu dan
ayah selalu bertengkar karenaku. “Giberly La Vaorny, apakah kau
akan terus memeluk gulingmu itu, Sayang? Ayo bangun, mandi, dan
sarapan, kau tak ingin dijemur di bawah tiang bendera karena
terlambat ke sekolah bukan?” Ucap lembut ibuku yang tanpa
kusadari telah berdiri di depan pintu kamarku sambil
menyilangkan tangannya. “Baik, Bu,” aku tersenyum, “ibu tunggu di
bawah untuk sarapan, kumohon cepat Gabe, ayahmu sedang
sensitif hari ini,” ibu melenggang pergi meninggalkanku.
Segera aku membereskan tempat tidurku, mandi, dan tak lupa
menguncir kuda rambutku agar rapi. Aku segera mengambil tas
rilakuma coklatku yang tergeletak di sebelah kanan ranjang dan
langsung turun ke bawah untuk sarapan bersama orangtuaku.
“Pagi Ibu, pagi Ayah,” sapaku sambil tersenyum semanis mungkin,
“Pagi putri tidurku, cepat duduk Ibu akan segera hidangkan
sarapannya,” Ibu tersenyum sambil membawa makanan untuk kami.
Sejenak kutatap ayah yang sedari tadi asyik membaca koran,
ayah selalu sibuk dengan perusahaannya. Ayah memiliki sebuah
perusahaan pembuatan senjata kimia modern, sehingga tidak
heran jika banyak senjata keren yang terpasang di dinding
rumahku. “Ayah? Apakah ayah akan mengantarkanku ke sekolah
Bahagia Bersamamu 107
untuk hari ini?” ayah hanya melirikku yang kemudian langsung
kembali fokus ke koran yang ia baca.
“Sudahlah, Nak, cepat makanlah makananmu,” kata ibu.
“Ayah kumohon untuk kali ini saja dengarkan aku,” pintaku
dengan wajah memelas.
Braakk.. suara meja makan yang kembali di pukul, “apakah
kau tidak tahu! Aku sedang sibuk, kau memang anak yang tak
berguna! Kau hanya bisa menyusahkan kedua orangtuamu!
Sadarlah kau hanya anak pengidap Skizoaffectif yang
menjijikkan!” ayah membanting meja untuk kesekian kalinya dan
berlalu begitu saja tanpa memedulikanku.
“Bu, apakah ayah benar?” air mataku mengalir begitu saja
mendengar ucapan yang dilontarkan ayahku sendiri. “Maafkan Ibu
sayang, ayahmu benar... sejak kecil kamu menderita skizoaffectif
parah mental pikiranmu sangat kuat, penyakit yang kamu derita ini
tidak ada obatnya, Nak, kumohon maafkan ibu yang telah
melahirkanmu dengan penyakit ini,” air mata ibu menetes.
“Apakah separah itu, Bu?” air mataku semakin deras mengalir,
“Jangan biarkan kekuranganmu menjadi penderitaan bagimu
sayang, jadikan itu sebuah pelajaran yang mungkin akan berguna
untuk esok,” ibu mengusap air mataku dan memelukku erat hingga
aku tersadar bahwa sesungguhmya hidup itu sangat berarti.
“Sekarang jangan menangis lagi, karena kamu tahu? Putri
secantik kamu tidak pantas untuk menangis, sekarang ayo ibu antar
ke sekolah.”
***
Setelah 30 menit perjalanan akhirnya aku sampai di sekolah.
Ibu menurunkanku tepat di depan pintu gerbang sekolah. Di sinilah
aku bersekolah, Packer Collegiate Senior High School New York.
Aku berjalan menyusuri lorong-lorong kelas dan akhirnya sampai di
kelasku Science IV, di sinilah aku belajar dan mengenal teman-
temanku.
Aku duduk di barisan terdepan tepat di sebelah pintu masuk.
Selama aku bersekolah di sini, aku selalu takut untuk melihat ke
deretan paling belakang. Dia selalu mengawasiku, Gillbert Van
Housting cowok misterius dari club jurnalis. “Hei Gabe, apa yang
kau pikirkan?” Ucapan Shopie membuyarkan semua lamunanku,
Shopie Neveu pemain basket wanita terhebat di sekolah kami
sekaligus teman sebangkuku yang paling jail. “Tak apa, aku hanya
108 Komunitas Negeri Kertas
lelah,” Sophie melihat Gill di belakang yang sedari tadi
mengawasiku. “Gabe, apa kau tidak menyadarinya? Gill selalu
menatapmu, apakah dia mencintaimu?” Sophie tersenyum jail ke
arahku.
“Sophie, ayolah jangan mulai lagi, dari pandangannya dia
seperti ingin membunuhku,” aku tersenyum miris ke arah Sophie.
Saat aku sedang asyik bercanda, “ayo kita mulai
pelajarannya anak-anak,” guruku datang dengan seulas senyum
manisnya dan memulai matapelajaran. Membosankan seperti biasa
dan yang bisa kulakukan hanya menunggu bel istirahat, sungguh
murid yang teladan.
3 jam kemudian
Kriingg...
“Akhirnyaa,” ucapku spontan setelah mendengar bel istirahat.
Dan yang paling tak terduga sekaligus membuatku takut, Gillbert
menghampiriku. Apakah kau percaya? Gillbert si pemilik mata
mengerikan itu menghampiriku.
“Hei Gabe, Apakah aku mengganggumu?” Dia berdiri tepat
di sebelah kanan mejaku.
“Hei Gill, tentu tidak, memangnya ada apa?” Aku
mengerjapkan mata berkali-kali berharap kalau ini cuma mimpi.
“Gibe, apakah kau ada waktu luang nanti sepulang sekolah?”
Gill tersenyum dan duduk di sebelahku.
“Em ya, mungkin ada sedikit waktu luang, apa yang ingin kau
bicarakan Gill?” tanyaku ragu-ragu.
“Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu Gabe, sesuatu
yang mungkin tak pernah kau ketahui, tunggu saja aku di lobi
sepulang sekolah,” Gill berdiri dari tempat duduknya dan
meninggalkanku sendirian dengan semua pertanyaan yang terus
berputar dalam pikiranku.
Entah kenapa aku sangat penasaran dengan apa yang
diucapkan oleh Gill, hingga aku tidak bisa berkonsentrasi untuk
hari ini.
Kriingg...
Yap, bel pulang yang sedari tadi kutunggu akhirnya berbunyi
juga. Aku segera membereskan barang-barangku dan bergegas
ke lobi. Aku kembali menyusuri lorong-lorong kelas menuju ke lobi.
Setelah menyusuri lorong-lorong kelas akhirnnya aku sampai di
lobi, ruangan dengan gaya klasik dan ukiran indah yang
menghiasinya membuat terasa nyaman untuk dilihat. Aku duduk di
kursi kayu yang berada di sebelah kanan bagian dalam lobi.
Bahagia Bersamamu 109
“Hei, sudah lama menunggu?” Gill sudah berdiri di sampingku
dengan seulas senyuman yang sungguh, kau tahu sungguh
mempesona.
“Hei, ada apa denganmu?” kata-kata Gill membuyarkan
lamunanku.
“Oh eh tidak, duduklah apa yang ingin kau katakan?” yah
mungkin sekarang pipiku sudah semerah kentang rebus,
bagaimana bisa Gill yang dulu kutakuti memiliki senyum seindah
itu.
“Gabe aku tahu apa yang tidak kau ketahui, karena aku juga
memilikinya,” Gill menatapku dalam, “dari pertama aku bertemu
denganmu aku tahu kau memiliki kemampuan khusus dari penyakit
yang kau derita dari kecil,” Gill mengembuskan napas dengan
keras.
“Aku tahu kau mengidap Skizoaffectif, aku juga Gabe, itu
semua bisa terlihat dari matamu,” aku tersentak.
“Bagaimana kau bisa tahu?” Gill hanya tersenyum dan
berkata.
“Aku bisa mengendalikannya, Gabe, tapi kau belum bisa
mengendalikan kekuatan itu, jangan anggap skizoaffectif sebagai
penyakit karena skizoaffectif bisa mengendalikan pikiran
seseorang,” aku menatapnya dengan tatapan aneh.
“Apakah itu seperti kemampuan telepati?” Gill mengangguk
pasti.
“Kau adalah orang yang terpilih Gabe, Tuhan memilihmu
karena kau adalah orang baik yang cocok untuk memiliki
kemampuan ini, kemampuan ini bisa keluar secara alami jika kau
marah Gabe,” Gill terdiam sejenak dan berkata lagi, “aku akan
mengajarimu membangkitkan kekuatan itu Gabe.”
Sejak saat itu Gillbert terus mengajariku untuk membangkitkan
kekuatan yang ada dalam diriku. Gill membuatku bangkit dari
keterpurukan yang selama ini kuderita, tetapi di samping itu semua
ayahku tetap membenciku, ayahku tak pernah percaya kepadaku,
ayah menganggap itu semua cuma imajinasi bodohku karena
penyakitku yang semakin parah atau semacamnya.
***
“Siapa ini? Apa yang terjadi kepada suamiku?! Apa yang kau
mau dari keluarga kami!” Tangisan ibu membangunkanku dari tidur
siangku.
110 Komunitas Negeri Kertas
“Apa yang terjadi, Bu?” tanyaku keheranan.
“Ayahmu, Gabe, mereka menyandera ayahmu! Mereka
menginginkan perusahaan ayahmu, Gabe, Ibu tidak tahu harus
berbuat apa,” air mata itu, aku tak ingin membuat ibu menangis.
“Sekarang Ibu telepon polisi aku akan pergi,” aku segera
mengambil jaket dan kunci mobilku.
Aku segera menuju ke perusahaan ayah. “Gabe ayahmu,
dia...,” ucap seorang pria yang kutahu dia adalah partner bisnis
ayah. “Aku sudah tau semua, Paman, apakah Paman mau
membantuku? Tolong ambilkan senjata yang ayah simpan dalam
brangkas perak, orang yang menyandera ayah, aku tahu dia,”
pria itu langsung menyeretku menuju brangkas. Dia memasukkan
kode pembuka brangkas itu dan mengeluarkan senjata itu. 2
senjata tercanggih yang pernah dibuat oleh perusahaan ayah.
“Gunakan 2 senjata ini sebaik-baiknya,” paman menyerahkan
2 senjata itu kepadaku. “Baik Paman selamat tinggal, doakan aku,”
kulihat air mata di pelupuk mata paman mengalir. Aku segera
berlari menuju mobil dan menelepon Gill, “Gill hallo Gill apa kau
mendengarku?” ucapku terburu-buru.
“Hei, iya ada apa Gabe? Kau terdengar ketakutan?”
“Tidak ada waktu Gill, temui aku di taman tempat biasa kau
mengajariku,” aku langsung menutup telepon dan menuju ke taman
Goldenbridge tempat biasa Gillbert membangkitkan kekuatanku.
Aku turun dari mobil dan kulihat Gill telah berdiri di bawah
pohon kebingungan. “Gillbert Van Housting,” aku berlari menuju ke
Gill. “Ada apa Gabe?” wajah Gill sangat cemas.
“Ayahku disandera, dan lewat kekuatan yang kupunya aku
bisa melihat orang yang menyandera ayah sama seperti kita, dia
memiliki kekuatan seperti kita, kumohon bantu aku,” napasku
tersendat sendat.
“Aku akan membantumu, kamu membawa 2 senapan PHASR
juga?” tanyanya heran.
“Dia sangat kuat Gill, ayo kamu yang menyetir ini kuncinya,”
aku melemparkan kunci mobil ke arah Gill.
Sekitar 5 menit aku dan Gill sampai di tempat ayah
disandera, sebuah rumah yang hampir rusak dan aura aneh di
sekelilingnya. “Ayo Gabe!” Gill memegang tanganku dan
menggandengku ke rumah itu. Gill membuka pintu rumah itu
perlahan, rumah yang sungguh mengerikan “Gill aku takut” Gill
menatapku “Jangan takut, kita di sini untuk kebaikan, kau ingin
ayahmu selamat kan?” aku mengangguk. “Akhirnya kalian datang
Bahagia Bersamamu 111
hahaha, aku tahu kalian yang akan datang, ayo kita mulai
permainannya,” sosok itu keluar dari dalam ruangan yang entah
ruangan apa itu, membawa sebuah senjata yang oh tidak, “Gill itu
senjata dari perusahaan ayah yang pernah dicuri Auto Assault-
12,” ucapku panik.
“Aku tahu Gabe, sekarang saatnya aku akan
menghadangnya, kau cari ayahmu.”
“Baiklah, Gill.”
“Oh ayolah, sudah selesai dramannya?” sosok itu mendekati
kami, dan dengan sekali sentakan tangan Gill dia terlempar jauh
menabrak tembok. “Sekarang saatnya Gabe! Lari temukan
ayahmu!” aku berlari melewati sosok dengan topeng misterius itu
dan mengambil senjata yang di genggamnya secepat kilat. Tuhan
tolong selamatkan aku, “Aaaaaaaaaaa....” kudengar teriakan Gill
yang membuatku terisak, aku terus berlari mecari di setiap
ruangan hingga aku sampai di ruangan paling pojok berpintu putih
itu.
Aku membuka pintu itu dan menemukan ayahku telah
terkurung, aku berlari ke arahnya namun, “braaakkkk....” tubuhku
terpental. “Gabe, Nak apakah itu kamu? Kumohon bebaskan Ayah,
Nak,” ayah berteriak, aku berusaha untuk bangun.
“Ayah ini Gabe, Ayah bagaimana cara membuka ini semua?”
Aku berjalan menuju kurungan ayahku.
“Nak, kamu pernah bercerita kepada Ayah kalau kamu
memiliki kekuatan itu, cuma kekuatan itu yang bisa membebaskan
Ayah dari kurungan ini, maafkan Ayah Gabe, Ayah tidak pernah
mempercayaimu,” kulihat ayah mulai menangis, air mata yang tak
pernah kulihat sebelumnya. “Baik, Ayah, aku akan mencobanya.”
Aku mulai berkonsentrasi, aku sudah mempelajari banyak hal
dari Gill dan sekarang saatnya untuk menggunakan itu. Seluruh
pikiranku mulai berkumpul, dan dalam satu kali sentakan tanpa
kusangka kekuatan itu keluar bagaikan kilat yang menerjang
langsung merusak kurungan itu. “Pyaaarr...!” kurungan itu pecah
berkeping keping. Aku menggandeng ayah dan membawanya
keluar ruang itu.
Belum sempat keluar, sosok itu muncul dan kali ini menyeret
tubul Gill yang penuh luka, hatiku sangat perih melihat itu semua.
“Ayah tunggu di sini, aku akan menyelesaikan urusanku,” ayah
menatapku dalam, “Tuhan menyertaimu, Nak.”
“Apa yang kau lakukan pada temanku! Kau makhluk tak
berguna!” aku berteriak.
112 Komunitas Negeri Kertas
“Hahahaha, ini dia temanmu, aku sudah tak membutuhkannya.”
brakk... makhluk itu melemparkan Gill ke arahku. “Gill?” air mataku
menetes melihat Gillbert seperti ini. “Gabe, sejak pertama kita
bertemu aku sudah memendam rasa itu, rasa nyaman, rasa sayang,
rasa cinta yang bahkan tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku
mencintaimu Gabe, jangan pedulikan aku kumohon lawan dia
untukku.” Ada semburat kesakitan yang sangat mendalam pada
mata Gillbert.
“Aku juga mencintaimu, Gill, bertahanlah untukku,” tak terasa
air mataku mengalir membasahi pipi ini.
Aku menyandarkan Gill di sebelah ayahku dan mulai
mengikuti permainan sosok bertopeng itu. Sosok itu mengangkat
senjatanya, senjata milik Gill yang dia ambil setelah mengalahkan
Gill. “Rasakan ini!” Sosok itu melepaskan pelatuknya dan
mengeluarkan 100 peluru sekaligus, reflek aku membuang 2
senjataku yang sedari tadi kupegang dan melakukan hal yang
sama seperti saat melepaskan ayah dari kurungan, kekuatan petir
itu muncul bahkan lebih dahsyat dan menghancurkan semua peluru
yang menuju ke arahku.
“Kuakui kau memang sangat hebat,” ejek sosok bertopeng itu.
Sosok itu membuang senjatanya dan mulai mengucapkan mantra
yang entah tak aku mengerti dan seketika itu juga sebuah cahaya
merah muncul, cahaya yang dengan secepat kilat menusuk tepat di
tulang rusukku yang membuatku jatuh tersungkur. “Apakah hanya
itu yang kau bisa? Hahaha, dasar lemah,” ucapan itu membuatku
sangat marah, dia telah melukai orang yang kusayang.
Aku berusaha berdiri, dan dengan kemarahan yang ada
dalam tubuhku tanpa kusadari muncul cahaya kilat yang amat
dahsyat yang langsung kuarahkah ke arah sosok bertopeng itu.
“Aaaaaaaahhhh, tidaak mungkin tidak mungkiiin,” sosok itu
lenyap tak bersisa. Cahaya itu kembali kepadaku, aku duduk
tersungkur dengan darah yang merembes dari dadaku.
***
Aku terbangun di tempat yang didominasi oleh warna putih,
dan yang kurasakan saat ini hanyalah sakit di tulang rusukku. “Kau
sudah terbangun? Aku akan memanggil orangtuamu,” ucap seorang
yang kutebak adalah suster, suster itu berbalik dan kembali lagi
dengan kedua orangtuaku. Kedua orangtuaku mendekatiku.
“Gabe apakah kamu baik-baik saja, Nak?” ayah
memandangku dengan suara setengah berbisik.
Bahagia Bersamamu 113
“Ayah, Ibu, mana Gillbert?” aku bisa melihat dari mata ayah
dan ibu. “Tidak mungkin, Yah, tidak mungkin Bu, Gillbert tidak
mungkin meninggalkanku,” aku berusaha untuk berdiri dan
langsung berlari menuju ruangan tempat Gillbert dirawat tanpa
memedulikan sakit di tulang rusukku.
“Gillbert!” teriakku yang membuat semua orang yang ada di
ruangan itu menatapku. Aku tak memedulikan mereka, aku
mendekati tempat tidurnya dan yang kulihat begitu memilukan
hatiku. “Gillbert, kamu tidak boleh meninggalkanku aku
mencintaimu Gill, kumohon jangan tinggalkan aku, Gill” aku terus
terisak dan menjerit sekeras-kerasnya hingga orangtuaku datang
dan menenangkanku. “Gabe, biarkan Gillbert pergi dengan
tenang, Gillbert telah pergi dengan menjadi seorang pahlawan,
Gillbert pasti bahagia dengan semua ini,” suara lembut ibu yang
menenangkanku. “Ibumu benar Gabe, kau harus kuat, mungkin ini
adalah yang terbaik,” Kedua orangtuaku memelukku hangat, aku
membiarkan air mata ini terus mengalir tanpa henti.
***
Gillbert Van Housting
Kuharap kamu tenang di sana, aku di sini akan selalu
merindukanmu. Kamu sudah mengajariku bagaimana cara
menghargai setiap kekurangan yang ada dalam diriku. Kamu
dengan sabar telah mengajariku segala yang kau tahu. Ketika aku
hampir putus asa kamu selalu memberikan semangat. Kamu bahkan
rela mengorbankan nyawamu hanya untuk menyelamatkanku.
Gillbert ku harap kamu tenang di sana, aku akan selalu setia
untukmu hingga aku menjemputmu nanti. Aku berharap kamu juga
setia untuk menungguku. Aku mencintaimu Gill.
Giberly La Vaorny
***
Tentang Penulis :
Rendra Fitriana
Nama Facebook : Re Pi
Sekolah : SMAN 1 Krian
HP 085850274828
Alamat: Kemasan Selatan Rt 04 Rw 02 Kecamatan Krian -
Kabupaten Sidoarjo - Jawa Timur
114 Komunitas Negeri Kertas
Anugerah Anjani
Karya : Tari Weda
Aku menatap awan mendung yang menyelimuti langit Jakarta
siang ini. Suasananya seakan membuat waktu tetap pagi, dengan
cahaya matahari yang redup dan udara yang tipis-tipis nampak
seperti kabut. Aku berdiri di lantai 43 di salah satu gedung
tertinggi di Jakarta, melihat samar-samar gunung yang berada di
kejauhan. Satu-satunya pemandangan yang membuatku tersadar
bahwa aku masih ada di bumi, bukan di planet asing yang
dipenuhi dengan beton-beton yang tinggi, yang di langitnya
berlalu lalang burung-burung besi, bukan burung-burung bernyawa
yang mengeluarkan suara-suara menentramkan. Tiba-tiba aku
merindukan suasana di gunung, aku merindukan kicauan burung-
burung liar, suara serangga-serangga malam, dan udaranya yang
sejuk tanpa polusi. Aku juga merindukan heningnya lautan pada
saat menyelam, ribuan ikan yang menari-nari, hamparan karang
berwarna-warni, dan gelapnya palung laut yang penuh misteri.
Gunung dan lautan tropis adalah surga paling berharga di muka
bumi. Aku tersenyum tipis. Bahagia bahwa masa-masa itu pernah
aku alami. Masa-masa di mana aku menjelajah beberapa sudut
pulau-pulau di Indonesia, sekadar untuk mengagumi karya-Nya
yang luar biasa, merasakan energi-Nya, dan….
Jatuh cinta.
Ingatanku pergi pada beberapa tahun yang lalu, di mana aku
bertemu dengannya secara tidak sengaja di sebuah stasiun kecil.
Pertemuan yang membuat kami bersama pada beberapa
perjalanan lainnya kemudian. Dalam bayanganku, dia bagaikan
akumulasi dari seluruh energi semesta yang terbagi-bagi di
tempat-tempat indah yang pernah kudatangi. Dia bagaikan sudut
lubang hitam yang menyerap seluruh materi dan cahaya lalu
memancarkannya kembali melalui sudut lainnya, sehingga dengan
memandanginya aku bisa merasakan betapa dekatnya aku
dengan alam, dengan ciptaan-Nya yang aku kagumi.
Intinya aku hanya jatuh cinta. Logikanya seperti itu.
Bahagia Bersamamu 115
Tapi logika hanya untuk matematika, dan cinta bukan
matematika.
Sebagai lulusan fakultas Matematika, aku sudah terbiasa
berpikir logis, logika. Sebab dan akibat. Sekarang, apa logika
yang bisa aku jabarkan ketika aku jatuh cinta padanya?
Usia kami terpaut tujuh tahun ketika bertemu. Kami bertemu
ketika dia baru diterima di salah satu program sarjana. Dan aku?
Aku baru saja memulai semester perdana untuk program doktor!
Sahabatku berkata bahwa aku gila. Seorang dosen muda
lulusan luar negeri yang mendapatkan beasiswa penuh program
doktor dari universitas kami dan “kembang kampus” dengan
banyak penggemar, jatuh cinta pada seorang mahasiswa baru? Di
saat teman-temanku banyak memburu, dan memilih, para pria
yang layak menjadi suami mereka dengan mempertimbangkan
bibit, bebet, dan bobot, aku malah nampak bermain-main dengan
kesenanganku sendiri.
Ah, lalu aku bisa apa?
Anugrah.
Namanya Anugrah. Tapi dia tidak pernah dipanggil dengan
nama itu. Nuga, itu nama yang biasa digunakan untuk
memanggilnya. Usianya waktu itu 19 tahun, perawakannya kurus
dan pendek, bahkan nyaris lebih pendek dariku, rambutnya acak-
acakan, hidungnya bengkok, dan tubuhnya legam. Jauh dari kesan
tampan dan berwibawa, dibandingkan pria-pria yang pernah
dekat denganku. Dia belajar di Fakultas Psikologi, hanya berjarak
beberapa blok dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, tempat aku mengajar Komputasi. Kehidupan kami bagaikan
bumi dan langit. Namun, aku sangat menikmati waktu ketika
berdua dengannya, entah dalam perjalanan, atau diskusi-diskusi
tidak biasa tentang kehidupan yang biasa kami lakukan di pinggir
danau kampus. Dan selain itu, apa yang membuat kami saling
bertemu, sebenarnya lebih banyak karena rasa penasaranku
terhadap cinta yang aku rasakan padanya.
Tapi buat dunia, cinta semacam ini, bukanlah hal yang bisa
diterima, dan aku memilih untuk memendamnya.
Tak terasa itu sudah lima tahun yang lalu.
116 Komunitas Negeri Kertas
Dua tahun kami berteman dekat, di akhir tahun kedua
hubungan kami merenggang. Kami lost contact satu sama lain.
Setelah lulus program doktor, aku kembali mendapatkan
kesempatan untuk ikut course di luar negeri selama beberapa
waktu. Sampai akhirnya aku kembali ke Jakarta.
“Anja, kumpul malam ini yuk. Nuga kebetulan juga ada di
Jakarta. Aku sudah janjian untuk bertemu.”
Aku terkejut mendengar namanya dari salah satu teman lama
kami. Aku tidak bisa bertemu dengannya hari itu, tapi aku
menitipkan sebuah buku pada temanku untuk diberikan padanya.
Aku lupa buku apa itu, yang kuingat aku hanya buru-buru
menuliskan pesan di halaman terakhirnya.
Jika buku itu sampai dan pesan itu terbaca, maka kami akan
bertemu di sini.
Aku menatap sekeliling, food court ini mungkin food court
tertinggi yang ada di Jakarta. Aku memilih salah satu kafe yang
agak di pojok, yang nampak agak sepi, dan memesan segelas
cappuccino. Aku melepaskan high-heels-ku untuk mengistirahatkan
kakiku.
Aku menghela napas. Aku tidak tahu apa yang akan
kubicarakan jika bertemu dengannya. Mungkin hanya ingin
memuaskan diriku saja.
“Anjani.”
Suara itu membuatku nyaris pingsan. Aku menoleh untuk
mencari asal suara. Dan dia ada di sana!
Nuga. Tak banyak berubah. Tetap kurus, pendek, dan legam.
Rambutnya yang gondrong diikat kuncup ke belakang. Dia
memakai safari berwarna biru tua dengan jeans abu-abu. Dia
masih nampak seperti anak kuliahan di usianya yang seharusnya
hampir dua puluh enam.
“Sudah lama sekali…,” aku mencoba tersenyum. Mengulurkan
tangan dan dia membalasnya. Jabatannya hangat dan kuat. Ya
Tuhan, sepertinya aku sangat merindukannya!
“Aku tidak tahu apa itu Alogaritma Euclid. Tapi aku tetap lebih
tertarik membaca buku-buku Logotheraphy.”
Bahagia Bersamamu 117
Ia mengangkat buku yang kutitipkan itu tinggi-tinggi. Ternyata
aku mengambil buku Pengenalan Alogaritma Euclid edisi lama dari
laci mejaku untuk menuliskan pesan padanya.
Aku mengernyitkan dahi. Apa itu Logotheraphy?
“Aku pikir kau serius menyuruhku membaca buku ini, Anja.
Sampai buku itu terjatuh dan tidak sengaja aku melihat halaman
terakhirnya.”
Aku tersenyum.
“Aku hanya mengambilnya acak, Nuga.”
“Tidak ada situasi acak di dunia ini, ya kan?”
Aku tersenyum.
“Selalu ada peluang.”
Nuga membalas senyumku. Dia duduk di sebelahku. Dia
mengambil posisi duduk yang tepat menghadap jendela. Sehingga
dia dapat melihat pemandangan keluar.
“Gedung-gedungnya keren. Tapi lebih keren yang alami.”
Nuga tersenyum.
“Kamu rindu gunung?”
“Aku baru dari sana seminggu yang lalu, Anja.”
“Oya? Memangnya kamu kerja di mana?”
Dia menunjuk logo di tasnya. Logo kuning keemasan berbentuk
segi empat panjang. Semua orang tahu apa itu.
“Wow! Kamu pasti bahagia.”
“Bekerja dan passion menjadi satu. Tentu aku bahagia, Anja.”
Kami tersenyum. Dia kemudian memesan coklat panas. Kami
diam dalam waktu yang lama sampai dia membuka pembicaraan.
“Mengapa kamu ingin bertemu?”
Aku menatapnya. Apa perlu aku bilang bahwa perasaanku
tidak berubah semenjak kami terakhir bertemu?
118 Komunitas Negeri Kertas
“Hanya ingin saja, Nuga.”
“Sepertinya lebih dari itu.”
Nuga memperbaiki posisi duduknya. Dan membalas
tatapanku.
“Anjani, sebenarnya aku juga ingin bertemu denganmu.”
Aku agak terkejut. Dan ingatanku pergi ke hari di mana kami
terakhir bertemu.
***
“Nuga, pernahkah kamu jatuh cinta?”
Aku menanyakan hal yang sangat filosofis saat itu, hal yang
biasa kami diskusikan ketika bertemu di pinggir danau.
“Hmm.... Rasanya aku pernah jatuh cinta, beberapa kali....”
“Kamu tahu mengapa hal itu bisa terjadi?”
“Aku sedang menghadapi dosen matematika yang selalu
mencari sebab akibat sepertinya.”
“Nuga, segala sesuatu terjadi pasti ada alasannya.”
“Anja, aku tidak tahu mengapa aku bisa jatuh cinta, tapi satu
hal yang pasti, kita tidak bisa memilih jatuh cinta dengan siapa, hal
itu terjadi alami saja.”
Aku terdiam. Aku tidak pernah memilih jatuh cinta pada Nuga.
Nuga sama sekali bukan kriteriaku. Tapi kenyataannya aku tergila-
gila padanya. Apa aku kena guna-guna? Ya pada dasarnya
orang jatuh cinta memang kena guna-guna. Guna-guna dari
dirinya sendiri.
“Kenapa memangnya? Kau jatuh cinta padaku?”
Aku hampir mati mendengarnya. Nuga terbahak.
“Aku bercanda.”
Aku memperbaiki letak dudukku. Aku agak salah tingkah.
Nyaris saja.
Bahagia Bersamamu 119
“Tentu kita tidak bisa memilih. Anja. Secara keilmuanku ada
beberapa hal yang bisa membuat stimulan itu muncul, bisa juga
secara naluriah, misalnya pria tertarik pada wanita berdada
besar atau pinggul yang lebar karena di dalam
ketidaksadarannya, itu adalah lambang kesuburan, walaupun pria
pada masa kini menyadarinya itu sebagai hal yang seksi.”
Aku mendengarkannya dengan serius. Lalu, aku jatuh cinta
padamu yang kurus kerempeng dekil ini, bisa dijelaskan dengan
keilmuan macam itu? Aku mengeryitkan keningku. Nampak tidak
puas.
“Mengapa kamu begitu ingin tahu, Anja? tidakkah kamu
paham bahwa di dunia ini pasti ada beberapa hal yang
selamanya akan menjadi misteri?”
“Aku hanya ingin belajar memahami saja, Nuga. Mengapa
kita bisa jatuh cinta dengan sesuatu yang bahkan tidak memiliki
nilai plus dalam kehidupan kita, dalam artian, orang selalu bilang
bahwa bibit bebet bobot itu penting. Lalu dikaitkan dengan
ketidaksadaran yang kamu bilang, seharusnya pada masa kini,
dimana persepsi terhadap kesuburan itu berkembang misalnya
dengan kenyamanan hidup, kita semestinya tertarik pada
seseorang yang kaya atau seseorang yang berpendidikan tinggi,
dan sekarang pertanyaannya, mengapa kita bisa jatuh cinta pada
orang yang jauh dari itu semua?”
“Ada kalanya, hal-hal seperti itu tidak bisa jadi patokan.”
“Seperti apa misalnya?”
“Ya, aku mempelajari bahwa motivasi manusia itu terbagi ke
beberapa jenjang, kalau kita ambil dari teori hirarki kebutuhan
Maslow, bahwa kebutuhan manusia yang harus dipuaskan dari
yang paling rendah yaitu fisiologis, kemudian naik ke rasa aman,
kasih sayang, penghargaan, dan aktualisasi diri. Aku tidak tahu ini
bisa dikaitkan atau tidak, tapi aku berpikir bahwa kesadaran
manusia itu dapat terbagi-bagi juga. Mungkin saja ketika kita
menyukai seseorang bukan karena dadanya yang besar itu, kita
sudah naik kelas ke tingkat kesadaran selanjutnya.”
“Dalam artian motivasi kita dalam jatuh cinta bukan hal-hal
biologis namun ke tingkat yang lebih tinggi lagi.”
120 Komunitas Negeri Kertas
“Ini menjelaskan bahwa jatuh cinta itu ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang jauh lebih tinggi. Bahkan
melebihi kebutuhan kasih sayang itu sendiri… apa ini menjawab
misteri mengapa seorang secret admirer dapat bertahan mencintai
orang tanpa balasan selama bertahun-tahun.”
Aku tertawa. Secret admirer. Kemudian aku melanjutkan
pertanyaanku.
“Apakah menjadi secret admirer itu, adalah sebuah
kebodohan?”
“Kita seringkali dianggap bodoh karena melakukan sesuatu
karena dinilai berdasarkan tingkat kesadaran yang lebih rendah,
bukan begitu?”
Aku merenungi jawabannya.
“Anja, kamu percaya keajaiban?”
Aku mencoba menjawabnya dengan sedikit matematis.
“Hmm.... Aku percaya semua kebetulan itu hanya masalah
peluang. Angka satu dan angka nol, angka satu menerangkan
bahwa suatu kejadian pasti akan terjadi dan angka nol
menerangkan bahwa suatu kejadian tidak akan terjadi. Mungkin
kita bisa bilang bahwa kalau keajaiban itu harus diterangkan
dengan bilangan, maka dia pasti mendekati angka nol, tapi bukan
nol.”
Nuga berusaha mencerna kata-kataku.
“Jadi, kamu percaya keajaiban?”
“Secara matematis, tentu saja iya.”
Aku tersenyum.
“Lalu, apa alasanmu bertanya apa aku percaya keajaiban
atau tidak?”
“Intinya pertanyaanmu terjawab, Anja. Kita bisa bilang intinya
adalah keajaiban.”
Jadi kita jatuh cinta pada seseorang itu semua hanyalah
karena peluang matematis.
Bahagia Bersamamu 121
“Lalu siapa yang menciptakan peluang itu?”
“Si Pelempar Dadu.”
“Tuhan tidak pernah melempar dadu. Kata Einstein.”
“Iya, itu berarti ada yang harus kita pelajari sewaktu kita
jatuh cinta, Anja. Ternyata hubungan antara jatuh cinta, keajaiban,
peluang, sangat kompleks.”
Kami terdiam sesaat.
“Nuga, apakah kamu percaya bahwa cinta tidak perlu
memiliki?”
“Iya.”
“Tidakkah terpikir olehmu untuk mengejar seseorang yang
kamu sukai?”
“Aku memikirkannya, tapi jika kulihat dia bahagia dengan
orang lain, apa yang bisa aku lakukan?”
Semua orang bahagia dengan caranya. Intinya itu yang
dikatakan Immanuel Kant. Tapi dengan memendam perasaan
seperti ini, apakah aku bisa bahagia?
“Nuga…”
Aku angkat bicara setelah kami diam dalam lamunan masing-
masing
“Apakah saat ini kau sedang jatuh cinta pada seseorang?”
Nuga menatapku tajam, berusaha mencari tahu. Aku
membuang pandanganku. Bahkan aku tidak berani menantap
pandangannya.
“Tidak.”
Satu kata. Dan saat itu sore seakan datang lebih cepat. Aku
tidak sadar lagi dengan pembicaraan kami setelah saat itu. Dan
aku tidak pernah bertemu dengannya lagi.
***
122 Komunitas Negeri Kertas
Aku menatap punggung Anjani yang semakin lama semakin
mengecil. Mengapa dia harus pergi? Aku mendengus. Oh, apakah
dia jatuh cinta sungguhan padaku? Seorang kandidat doktor jatuh
cinta pada seorang mahasiswa ingusan yang baru duduk di
semester awal kuliah program sarjana. Jika aku memacarinya,
pasti satu angkatanku akan heboh. Aku tertawa dalam hati.
Anjani. Dia adalah gadis yang menarik. Kulitnya kecoklatan
dan rambutnya hitam. Matanya bulat dan nampak cerdas. Ia
terlihat cukup cantik dan menonjol diantara dosen-dosen
Matematika yang kebanyakan pria. Aku nyaman berbicara
dengannya. Walaupun usia kami terpaut tujuh tahun, kami tidak
pernah mempermasalahkan itu. Kami selalu membahas hal-hal
yang kami sukai bersama. Gunung, pantai, dan hutan tropis.
Kecerdasan, pola pikir, dan wawasannya yang luas membuatku
betah duduk berjam-jam dengannya.
Aku merasa takut bahwa ada kata-kataku yang
menyinggungnya. Tapi rasanya tidak. Aku berusaha mengingat
kembali apa yang kami bicarakan di detik-detik akhir sebelum dia
meninggalkanku.
“Kalau cinta tidak harus memiliki, apa artinya perjuangan?”
“Anja, kita kan tidak mungkin memaksakan perasaan kita
kepada orang lain. Aku bisa bahagia melihat orang lain bahagia.
Atau ya, aku tidak seambisius itu.”
Aku tertawa. Tapi Anjani nampak serius.
“Anja, ada satu hal lagi, kita hidup di dalam suatu kelompok
masyarakat dengan aturan tertentu. Jika kamu masih ingin hidup
dengan mereka, ikutilah aturan-aturan mereka.”
“Kita baru saja membicarakan jatuh cinta dengan tingkat
kesadaran lebih tinggi.”
“Iya aku tahu. Tapi tidakkah kamu membayangkan bahwa
kamu bisa memilih hidup dengan orang yang lebih sesuai dengan
masyarakat sehingga kamu tidak akan terlalu terbebani?”
Aku mengatakan itu karena tiba-tiba merasa curiga dan
sedikit cemas. Mengapa dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan
ini? Apakah dia jatuh cinta pada seorang maniac? Atau seorang
Bahagia Bersamamu 123
sadomasochism? Sehingga dia melontarkan pertanyaan-
pertanyaan aneh seperti ini seperti ini. Atau dia… Sebenarnya
lesbian?
“Itu tidak sesuai dengan pernyataanmu sebelumnya.”
“Ya, aku berkata itu idealnya. Kita hidup dalam tatanan
masyarakat yang tidak ideal. Pada akhirnya, ideal, tidak pernah
ada, hanya di surga saja nampaknya semuanya ideal”
Aku khawatir dia akan tersinggung bila aku bertanya apakah
dia sedang jatuh cinta dengan seseorang yang sepertinya tidak
biasa. Aku mencoba membuatnya agak realistis dengan
memutarbalikkan pembicaraan kami.
“Jadi sebaiknya nanti aku pacaran dengan orang yang
kudambakan di surga saja, begitu?”
“Mengapa tidak, Anja? JIka tidak terwujud di bumi mungkin
bisa diwujudkan di sana.”
Anjani menatapku dengan tatapan yang tidak biasa.
“Anja, Tuhan bekerja dan aku percaya Tuhan tidak hanya
bekerja di bumi. Kematian bukanlah akhir.”
“Karena itulah kamu bisa berkata bahwa cinta tidak perlu
memiliki?”
“Iya. Karena mungkin ada kesempatan lain di surga, ya kan?”
“Jika tidak?”
“Aku tidak yakin rumus peluangmu tidak akan berlaku di
surga. Setidaknya jika kamu jatuh cinta. Petik pelajarannya.
Apapun akhirnya di dunia. Happy ending, or sad ending.”
Aku merasa telah menemukan kalimat yang tepat untuk
mengakhiri pembicaraan yang sebenarnya tidak terlalu kupahami
arahnya. Aku berusaha mencari topik lain.
“Eh, kamu tidak tertarik untuk pergi ke Kepulauan Anam…”
Kalimatku terpotong karena kulihat tiba-tiba Anjani berdiri.
Dia menatapku. Dan aku mendongak.
124 Komunitas Negeri Kertas
“Aku harus pergi, Nuga.”
“Mau k emana? Anja...”
Anjani berbalik badan dan bergegas pergi.
Aku berusaha memanggilnya tapi aku tahu akan sia-sia. Aku
masih tetap disana dua puluh menit kemudian, sampai aku
bergegas untuk masukkelas psikodiagnostik yang akan segera
dimulai. Tiba-tiba dalam hitungan detik aku pun merasakan
sesuatu.
Sepertinya aku sudah melakukan kesalahan besar dalam
hidupku.
Tapi tidak untuk hidupnya.
***
Aku kemudian menyadari bahwa Anjani sedang jatuh cinta, itu
sudah jelas. Tapi dengan siapa aku tidak yakin. Aku sendiri sudah
lama tidak jatuh cinta. Aku selalu asyik dengan duniaku sendiri.
Beberapa kali aku berkencan dengan beberapa wanita tapi tidak
ada satupun akhirnya kutemukan yang benar-benar ingin aku
nikahi.
Aku tidak pernah lagi menemukan wanita seunik Anjani. Dia
adalah perpaduan dari kedewasaan dan kekanakan, wanita yang
dapat mengetahui ambisinya, namun sekaligus terbuka dengan
kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa terjadi. Aku benar-
benar menikmati setiap perjalananku bersamanya dan tentunya
diskusi-diskusi kami.
Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah jika pada
saat itu ia mengejar Anjani dan memacarinya, dia akan bahagia?
Tidakkah Anjani akan lebih bahagia bila ada seorang pria
dewasa yang berpendidikan tinggi dan mapan?
Semua orang berbahagia dengan caranya kata Immanuel
Kant. Nilai-nilai yang ada pada masyarakat bukanlah patokan
untuk menilai kebahagiaan seseorang. Bagaimana jika Anjani
bahagia dengannya? Walaupun dia harus melawan arus norma di
dalam masyarakat dan berjuang untuk itu.
Bahagia Bersamamu 125
Aku membayangkan wajah Anjani ketika kami pertama kali
berjuang menggapai Mahameru, puncak tertinggi di pulau Jawa.
Wajahnya pucat pasi, dengan napas terengah-engah, namun
begitu bercahaya ketika memegang plat besi bercat hijau
bertuliskan, “Puncak Mahameru, 3676 mdpl.” Perjuangan itulah
yang membuat kebahagiaan itu menjadi sangat berharga.
Aku bisa saja mencarinya sekarang, mengungkapkan bahwa
dia adalah wanita berharga dalam hidupku. Tapi apakah aku
akan mengacaukan hidupnya?
Rasa cemas dan rindu yang campur aduk ini membuatku
menyadari bahwa aku telah mencintainya. Jika suatu saat kami
bertemu dan sudah terlambat, aku tidak akan pernah
menyesalinya.
Ini tidak bodoh, ini hanyalah mengambil keputusan di level
kesadaran yang lebih tinggi.
***
Aku ingat kembali dengan jelas saat terakhir aku bertemu
Nuga. Kata-kata “tidak” itu kembali terngiang-ngiang dalam
benakku. Aku ingat diriku bergegas pergi sambil menyembunyikan
airmataku. Dia tidak berusaha mengejarku dan untukku ini sudah
merupakan jawaban. Dia tidak berniat lebih padaku. Aku sudah
merasa kalah hari itu. Aku berusaha menahan airmataku.
“Anja, bagaimana kabarmu?”
Aku tersentak dari lamunan masa laluku.
“Baik, Nuga…”
“Apakah kamu bahagia?”
Tiba-tiba suaranya terdengar penuh harap. Mengapa ia
bertanya seperti itu?
“Aku bahagia, Nuga. Hanya saja…”
Kata-kataku tertahan.
“Hanya saja apa?”
Aku menarik napasku dalam-dalam.
126 Komunitas Negeri Kertas
“Selalu ada peluang untuk lebih bahagia.”
Aku tersenyum kecut.
“Kalau begitu biarkan peluang itu kita sisakan di surga saja.”
Nuga tertawa kecil. Oh, ternyata dia masih mengingat
pembicaraan terakhir kami.
“Kamu ingin bertemu denganku hanya untuk memastikan aku
bahagia?”
“Ya. Lalu sekarang, apa alasanmu bertemu denganku?”
Aku tersenyum.
“Aku hanya ingin memastikan, bahwa pria yang aku cintai
sudah tumbuh dewasa sekarang.”
Aku melihat Nuga tersenyum di sudut mataku.
“Terima kasih, Anjani.”
Kami membuang pandangan jauh keluar. Lama kami terdiam
dengan pikiran kami masing-masing. Langit semakin cerah, sinar
matahari menuju sore terlihat indah. Senja adalah momen favorit
kami berdua. Aku membayangkan kami berada di suatu sudut
surga tropis di masa lalu, duduk sambil berharap cemas apakah
matahari bisa terlihat bulat penuh sebelum terbenam.
“Terima kasih juga, Nuga.”
“Untuk apa?”
“Karena dengan mencintaimu aku juga belajar mencintai alam
lebih baik lagi.”
“Aku juga belajar satu hal.”
“Apa itu?”
Nuga menarik napasnya dalam-dalam.
“Bahwa cinta butuh waktu untuk disadari.”
Kami saling bertatapan dan tersenyum. Kami duduk dan
mengobrol berjam-jam hingga senja benar-benar datang. Aku pun
Bahagia Bersamamu 127
mohon pamit padanya. Aku menatap mata Nuga untuk terakhir
kalinya. Ya Tuhan, sisakan surga itu untukku nanti. Aku berharap
dalam hati. Aku memperbaiki letak high heels-ku dan beranjak
pergi.
***
Aku menatap punggungnya sekali lagi. Apakah aku harus
membiarkannya pergi untuk keduakalinya? Aku melihat keluar
jendela. Langit semakin gelap, menyisakan jejak-jejak matahari
yang memerah. Setiap orang memiliki peluang dalam hidupnya
masing-masing, dan ketika peluang tersebut saling beririsan, maka
datanglah momentum yang disebut kesempatan.
Untuk apa kita menyisakan peluang itu di surga jika kita bisa
mendapatkan kesempatan itu di bumi?
“Anjani!”
Dan aku pun sadar,kebahagiaan bukanlah realitas yang
diciptakan oleh norma-norma masyarakat. Ini hanyalah pilihan
dalam level kesadaran yang lebih tinggi.
Dan semuanya pun bisa kami perjuangkan.
Sama seperti pada saat kami menggapai Mahameru.
Jakarta, 22 Januari 2015
***
Tentang Penulis :
Tari Weda
Alamat : Dai Ichi Antapani 23A Bandung / Menara Dea Tower 2
unit 2 lantai 2, Jakarta Selatan
Nama Facebook : Putu Lestari Wedayanti
No. HP : 081389886687 (whatsapp) / 081703497602 (tlp)
128 Komunitas Negeri Kertas
Bahagia Bersamamu
Karya : Umi Sugiharti
Jaket levis hitam, rapi membungkus tubuh pemuda jangkung
yang memendam ribuan kuncup bunga cinta. Langkah pastinya
beriring debaran jantung yang kurang beraturan. Sesekali
menghela napas, menenangkan perasaan. Hingga akhirnya sampai
di pintu tujuan, yang hanya berada di seberang jalan depan
rumah.
"Assalamualaikum," uluk salamnya memecah keheningan
malam, selepas isyak.
"Waalaikumsalam," jawab seorang perempuan bertubuh
subur. Jilbab biru yang melindungi tubuh, menambah keanggunan
pribadinya. Ia sedikit terkejut mengetahui siapa tamunya. "Silakan
masuk, Mas Budi!" Sedikit gugup ia menyambut. Ada rona di pipi
yang berusaha ia tutupi dengan lemparan senyum manisnya.
Mereka pun duduk di kursi panjang namun masing-masing
berada di dua ujungnya. Canggung menyelimuti kedua manusia
yang sebenarnya sudah berada di level dewasa. Namun memang
bila ada rasa berbeda terselip, pasti membuyarkan keangkuhan
dan kepercayaan diri. Apalagi status single parent telah melekat.
"Apa kabar, Dik Umi?" Budi melumerkan kekakuan suasana.
"Alhamdulillah baik," jawab Umi cepat. Genggaman kedua
tangannya sendiri semakin erat saja. "Mas dan Udin, baik-baik
saja, kan?" lanjutnya.
"Baik juga. Kapan balik dari Hongkong?"
"Taiwan, Mas,"
"Oh Taiwan, to. Kirain masih di Hongkong."
"Sudah satu minggu sebenarnya, cuma aku muter-muter melulu.
Dari bikin KTP dan KK baru, lalu ke Caruban dan Yogyakarta.
Semalam baru pulang dari Sidoarjo, nyerahin dokumen ke PJTKI,"
jawab Umi panjang lebar dengan mata berbinar. "Kemarin
sengaja naik bus Mir*. Yah ... siapa tahu ketemu sampeyan,"
lanjutnya semakin kejora. Mengulum senyum untuk menekan debar
yang tidak mau berlaku jinak.
"Ehe he ... Yo nggak bakal ketemu, Dik. Wong aku sudah dua
tahunan nggak kerja di bus," kelakar lelaki berambut legam yang
tersisir rapi. Harum minyak rambutnya menusuk hidung.
Bahagia Bersamamu 129
"Oalaaah. Eh maaf, sampai lupa. Mau minum kopi, teh?"
"Nggak usah, Dik. Keluar sebentar, yuk! Kangen Magetan,
nggak?"
"Yo, jelas kangen to Mas. Ke mana?"
"Terserah sampeyan."
"Ke Blok M. Lihat tokonya si Wien, ya," pinta Umi sedikit
canggung.
"Ok, sip!"
Sepanjang perjalanan Umi terbayang toko dari adik
sahabatnya sewaktu SMU, yang dipenuhi tas cantik berkualitas
import. Dua hari lalu sepulang dari Yogyakarta, ia sempat
berkunjung ke sana. Harga yang lumayan, tidak menyurutkan
pembeli. Wien termasuk mantan TKW yang beruntung. Ia
mendapat warisan lumayan besar dari kakek yang pernah ia jaga
sebelum meninggal. Dari rumah yang mentereng dilengkapi Honda
jazz merah, nangkring di garasi, hingga dua toko di Blok M. Satu
berisi tas import dan lainnya khusus sepatu dan tas berbahan kulit,
asli produk Magetan.
Tanpa terasa, jalan Yos Sudarso terlampaui. Pasar Baru
Magetan yang tidak pernah buka di malam hari, kecuali toko jam
tangan milik pak Prapto. Mengingatkan Umi pada almarhum
bapaknya yang tidak pernah mau membeli arloji ke tempat lain.
Secara mereka memang sesama veteran.
Laju sepeda motor terus menelusuri jalan Ahmad Yani hingga
perempatan Kepolorejo, berbelok ke jalan Sawo. Suasana
sepanjang jalan ini tampak lebih hidup karena deretan toko sepatu
dan tas kulit berkualitas dan ternama di Magetan, buka hingga
pukul sembilan malam. Ada kemajuan yang sangat pesat di sini.
Mengundang decak kagum. Akhirnya berbelok ke arah jalan
menuju telaga Sarangan, dan berhenti di Blok M yang berada tak
jauh dari Sawo.
Mereka tidak lama mengunjungi toko tas yang hanya dijaga
oleh anak buah Wien. Hingga sepakat untuk mencari warung
makan. Sebenarnya Umi agak ragu untuk keluar malam. Ada
sedikit was-was saat laju sepeda motor terus menelusuri jalan
menuju Sarangan.
"Mas, kita mau ke mana, sih?"
"Udah, tenang saja," jawab lelaki yang juga mulai kedinginan
Jangan-jangan mau diajak ke Hotel, motel atau vila di kaki
gunung lawu. Pikiran buruk pun mengecamuk hati Umi. Apa karena
status janda, hingga dianggap perempuan yang rindu belaian?
130 Komunitas Negeri Kertas
Sementara angin dingin pasar Plaosan, telaga Wurung sampai
masuk desa Sarangan semakin menusuk pori-pori. Sedang tidak
ada persiapan bawa jaket.
"Astaghfirullahaladziim, aku mohon perlindungan-Mu, Ya
Rabb," desah Umi. Andai lampu jalanan terang, pastilah jelas
memperlihatkan pucat kecemasannya. Bulu kuduknya serasa
berdiri, teringat cerita-cerita perkosaan dan pembunuhan di koran,
dimana korban dan pelaku adalah teman sendiri atau pacar. Iiiih
ngeri ....
"Mas, pulang yuk! Dah malam nih. Mau apa sih ke telaga
Sarangan?" Umi mengeraskan suaranya melawan kuatnya angin
yang menerpa, agar lelaki itu bisa mendengar permintaannya.
"Sebentar to, Dik. Kamu pasti suka," jawab Budi agak samar,
terbawa arus angin. Sampai tampak petugas peron mencegat dan
mengulurkan secarik karcis masuk. Laju sepeda semakin lambat dan
berhenti tepat di samping petugas. Tampak Budi mengeluarkan
selembar uang lima ribuan.
"Malam hari kok Sarangan masih buka?" Umi bergumam
keheranan. Seumur hidup baru kali ini berkunjung saat senja telah
lama terlipat gulita malam.
Tetapi ... sesaat setelah melampaui tanjakan jalan.
"Wow!" pekik Umi, begitu sampai di jalan masuk telaga
Sarangan. Matanya membesar tak percaya. Kekawatirannya
berubah decak kagum, "Mas, aku baru tahu, tempat ini lebih ramai
dari Magetan kota di malam hari."
Didapatinya bedak-bedak penjual souvenir, berjajar rapi.
Sederet sepeda mini dan model BMX, berlampu hias untuk di sewa.
Tak kalah menarik, beberapa gerobak bakso dan sate
tradisionalnya. Lalu lalang mobil pengunjung yang tak sedikit dari
luar daerah, membuat Umi semakin merasa bangga akan potensi
wisata kampung halaman.
Budi memarkir sepeda motornya di pinggir telaga, lalu duduk
di lesehan penjual sate kelinci dan memesan makanan.
"Gimana menurutmu?" Budi menatap Umi yang masih asyik
berdiri memperhatikan sekitar.
"Indah, tenang dan ... pokoknya romantis suasananya. Pas
banget untuk mencari inspirasi dan menuangkan ide tulisanku," ujar
perempuan pecinta literasi ini, mengamati keramaian di seberang
telaga.
Tampak nyala lampunya beragam, ada pentas seni yang
masih bernuansa memperingati hari kemerdekaan RI. Penonton pun
Bahagia Bersamamu 131
lumayan banyak. Walau jauh namun gelegar musik masih bisa
terdengar jelas. Udara di kaki gunung lawu ini mungkin
bertemperatur 24 derajat celsius, hingga terasa makin menusuk
hingga ke tulang. Walau jilbab berlengannya lumayan tebal,
masih belum cukup menghangatkan. Akhirnya Umi menyerah, ikut
duduk di atas tikar lesehan.
"Bulan lalu boss yang mengajakku mampir ke sini, sepulang
dari Solo. Walau waktu Isya telah lewat, kami nekat menempuh
jalan tembus Tawangmangu, agar lebih cepat sampai," celoteh
Budi, membunuh dingin sekaligus kegelisahan hatinya.
Lalu, "Kamu masih ingat, lima tahun yang lalu, saat memintaku
untuk mengantar ke kantor PLN?" lanjutnya.
"Yah, masih. Kamu cerita banyak tentang istrimu." Umi
membenarkan jilbabnya yang sedikit melorot menutupi dahi.
"Ia pernah hadir dalam mimpiku, dan memintaku untuk ...,
untuk ...." Budi ragu melanjutkannya.
"Untuk apa, Mas?" desak Umi, tatapan penasarannya
membuat Budi semakin rikuh.
"Jangan marah, ya," pinta lelaki jangkung yang selalu
berhati-hati dalam berbicara.
Apalagi tentang masalah yang satu ini. Lebih berat rasanya
dari mengangkat sebongkah batu besar.
"Iiih, suka bikin penasaran deh, ah," rajuk Umi.
"He he he, baiklah." Budi menarik napas sejenak,
menggelembungkan kedua pipi, lalu segera membuang udara
lewat mulutnya. Keberaniannya muncul kembali, hingga akhirnya,
"Menjadikanmu sebagai ibu baru Udin."
Umi terbelalak, meski ia pun menyimpan keinginan untuk
bersuami lagi. Perlahan beringsut mendekati Budi dan dengan
merendahkan volume suara, ia bertanya, "Mak, maksud Mas? Kita
meni—"
"Ini satenya, Mas, Mbak!" Perkataan si tukang sate yang
mengantarkan dua porsi dagangannya, telah memutuskan
pembicaraan kedua insan dewasa itu.
Aroma yang begitu khas. Apalagi ditaburi irisan daun jeruk
purut yang lama umi rindukan, hemmm menggugah selera. Bahkan
sanggup membuat mata umi terpejam, sementara tarikan napasnya
sedikit panjang, menghirup asap yang mengepul dari piring yang
berisi puluhan tusuk sate di depannya.
132 Komunitas Negeri Kertas
"Makan dulu, nanti saja kita lanjutkan diskusinya!" suara bijak
lelaki berkulit sawo matang dan pemilik hidung mancung pada
wajah tirus itu, yang disambut anggukan Umi, tanda setuju.
Tak ada lagi pembicaraan. Hanya lemparan senyum yang
mengisi sela-sela waktu bersantap. Tatapan yang sesekali beradu,
selalu menghadirkan desiran aneh di dada keduanya. Hangat,
mengalahkan dinginnya udara malam telaga Sarangan.
Tidak sampai lima belas menit makanan telah ludes, namun
masih enggan untuk beranjak dari lesehan. Umi ingin segera
melanjutkan pertanyaannya.
"Bagaimana? Apa karena pesan dari mimpi itu, Mas berniat
menikahiku?"
"Itu salah satunya. Mungkin juga ini cara Allah menjawab do'a
malamku. Insyaallah. Adik tahu? Mimpi itu ada sejak lima tahun
yang lalu, dan nyatanya aku tidak sanggup mencari wanita lain.
Jadi ... Adiklah sebenarnya yang sanggup mengikatku,
percayalah!"
"Tapi, Mas. Anak-anak kita juga punya hak untuk dimintai
pendapat, bukan?"
"Itu pasti. Tapi aku yakin, mereka pasti setuju, Dik."
"Kita coba nanti," tegas perempuan penyuka warna ungu itu.
Ia kembali menikmati keasyikan beberapa turis lokal yang
mengerumuni toko souvenir dari anyaman bambu.
Kebisuan kembali melanda. Masing-masing sibuk dengan
pernyataan hati yang
masih mengambang untuk berkata iya. Bergumul dengan
keyakinan dalam menyematkan kepastian, pada nadir keputusan
bahtera ke dua mereka.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 01:30 malam, Umi masih
belum bisa segera menjemput mimpi. Di kamar tidur ukuran 3x4
meter, ia mondar-mandir memikirkan ucapan, tepatnya tawaran
dari Budi.
"Apakah anakku setuju? Adik-adikku? Keluarga mantan
suamiku?" gumam Umi, duduk di salah satu sisi tempat tidur. Lalu
kembali berdiri, "terus apa kata tetangga nanti? Ah tapi apa
peduliku? Bila benar ini jalan terbaik untuk semuanya, pasti
semuanya dilancarkan oleh Allah," lanjutnya, meyakinkan diri.
Umi pun mengingat-ingat kembali sikap lelaki yang
dikenalnya sejak keluarganya pindah ke desa Milangasri ini. Jarak
Bahagia Bersamamu 133
rumah hanya terpisah oleh jalan beraspal yang cukup dilalui dua
bus besar. Kala itu mereka masih SMP.
Sampai hari ini, tidak pernah sekalipun ia mendengar kabar
buruk dari tetangga, tentang sikap Budi. Yang ia tahu lelaki itu
pekerja keras dan taat beragama. Hanya saja lelaki itu harus
menerima nasip ditinggal mati sang istri tercinta, tujuh hari setelah
melahirkan. Udin yang lucu dan cerdas, menarik rasa iba, bahkan
tumbuh cinta seorang ibu di hati Umi.
"Apa lagi yang kuragukan? Ya Rabb, beri hamba petunjuk,"
lirihnya. Tiba-tiba ia tersadar untuk melakukan shalat istikharah. Ia
pun segera melangkah menuju kamar mandi, berwudlu.
Umi bersimpuh memasrahkan segala urusan hanya
kepadaNya. Tangispun pecah kala teringat masa lalunya yang
pernah ditipu oleh lelaki. Memohon kesabaran pada setiap ujian.
"Ya Allah, ampuni hamba. Hanya kepadaMu, hamba
berpasrah. Berilah kelancaran dan kemudahan dalam segala
urusanku. Aamiin Ya Rabbal Aalamiin," derai doanya penuh
keikhlasan.
***
Malam berikutnya, saat mendapati anak semata wayangnya
sedang asyik mempraktekkan pelajaran piano, Umi mendekatinya.
Merangkul pundak putra kebanggaan yang telah memberinya
hadiah prestasi di beberapa kegiatan.
"Yusuf, mau nggak punya bapak lagi? Ibu menikah lagi,
gimana?" Dengan ekstra hati-hati ibu muda itu melontarkan uneg-
unegnya. Ia tidak ingin memendam sendiri keinginannya, serta
melempar jauh egoisme orang tua. Pendapat anaknya kali ini
sangat penting. Apalagi sekarang sudah berusia lima belas tahun.
Seketika Yusuf menghentikan tarian jemari pada tuts-tuts
piano dan berpaling menatap ibunya.
"Kenapa sih Ibu harus menikah lagi?" tanya Yusuf sedikit
gusar. Ia telah merasa nyaman dengan hidupnya sekarang. "Ibu
tidak ingat akan kelakuan bapak pada kita, dulu?"
"Nak, tidak semua manusia berlaku sama, bukan?" Umi
berusaha menenangkan hati putranya. Dengan tetap tersenyum
menahan getir, "Tapi, bila memang kamu nggak setuju, ibu akan
tetap sendiri. Demi kamu, Nak," lanjutnya pasrah. Sungguh ia tidak
ingin melukai buah hatinya. Lagipula hatinya sendiri masih belum
yakin akan pilihannya, sebelum mendapat petunjuk dari Allah.
Saat Umi hendak melangkah pergi, tiba-tiba ...
134 Komunitas Negeri Kertas
"Bu ..., Aku ingin Ibu bahagia. Menikahlah, Bu! Aku sayang
Ibu," ujar si lesung pipit yang tersenyum pada orang yang telah
melahirkan, dan berjuang sendiri untuk membesarkannya sejak
bercerai lima tahun silam. Rasanya tidak adil bila membiarkan
ibunya tidak memiliki kebahagiaannya sendiri.
Bola mata Umi seketika berair, tidak sepatah kata pun
sanggup keluar, hanya tertahan di kerongkongannya. Begitu
tulusnya sang buah hati memberi harapan baru. Ia hanya mampu
menatap haru dan merengkuh kepala putranya dalam peluknya.
Mencium lembut ubun-ubunnya, tanda terima kasih yang tidak
terhingga.
***
Umi turun dari angkutan kota di terminal Magetan. Kedua
tangannya menenteng belanjaan. Saat hendak menyeberang jalan,
tiba-tiba sorot lampu mobil menyilaukan matanya.
"Awas!" Seru seorang lelaki, dengan gesit menarik lengan
kanan Umi. Wajahnya sekilas terekam, setelah tubuh Umi menubruk
keras dada bidangnya.
***
"Arrgh!" teriak Umi, matanya nanar menatap langit-langit
kamar. Diusapnya keringat yang membasahi keningnya. Degup
jantungnya berpacu. Sesaat tersadar bahwa itu hanya mimpi.
"Ya Rabb, inikah petunjukMu untukku?" Senyumnya seketika
mengembang. Kini hatinya dipenuhi keyakinan. Ia pun terduduk
membaca Alfatehah. Ia tidak sabar menunggu pagi, ingin segera
mengabarkan kegembiraan ini. Serasa puber kedua menyentuh
lembut. "Ah ... jadi malu," bisik hatinya.
Sayang sekali, waktu Umi tersita oleh proses mengurus visa
yang semakin sulit. Menyita banyak waktu, hingga keinginan
berumah tangga lagi harus dinomer- duakan. Komitmen keikhlasan
yang akan menolong janjinya dengan Budi.
***
Tidak terasa dua bulan sudah Umi kembali mengais rejeki di
Formosa di majikan yang sama. Ia dan Budi terpaksa harus
menunda acara pernikahan, karena tugas. Namun hati mereka jauh
lebih tenang, karena memiliki impian yang sama. Membangun
bahtera.
Selama itu Budi aktif mengirim kabar, bahkan memantau
keadaan dan keperluan Yusuf. Sebagaimana darah dagingnya
sendiri.
Bahagia Bersamamu 135
'Aku selalu menunggumu, Dik. Aku akan menjaga Yusuf.
Bagiku, dia dan Udin adalah sama, anakku. Hati-hati bekerja,
tidak usah berpikiran macam-macam. Aku mohon setelah kontrak
selesai, kita bisa berkumpul selamanya. Aku bertanggung jawab
atas kebahagiaan istri dan anak-anak, kelak. Allah bersama
langkah kita, Aamiin.'
Rona haru menghias wajah Umi selepas membaca sms dari
calon imam yang ia cari, selama ini. Pandangan mata perlahan
mengabur, dipejamkannya, hingga bulir bening pun meluncur dari
kedua sudutnya. "Terima kasih Ya Allah," batinnya melangitkan
syukur kepada Sang Maha Pemurah.
'AKU BAHAGIA BERSAMAMU' balasan sms Umi.
The end.
****
Tentang Penulis :
Umi Sugiharti,
lahir pada tanggal 8 November.
Aktif di FLP Taiwan dan berapa group kepenulisan. Wakil ketua
Gemas (Gerakan Masyarakat Sadar Baca dan Sastra) Menulis
cerpen di surat kabar Suara Kumandang
Buku solo pertama berjudul Genderang Cinta Nia dan sedang
merilis solo kedua. Berpartisipasi di kurang lebih 50 buku antologi
cerpen dan puisi.
Juara 1 kategori puisi di Depnaker Taipei (2013)
Juara harapan 1 kategori puisi di Depnaker Taipei (2015)
Sahabat bisa mengenali saya lewat FB: Bunda Umy, atau email
[email protected]
Bisa juga hubungi ke nomor telepon (886)921447031
Kata mutiara:
Ujung pena lebih tajam dari ujung pisau/pedang, maka hendaknya
menulis dengan bijaksana.
Salam SBSM(Semangat Belajar Sampai Mati)
Wassalamualaikum wr.wb.
Alamat:
Dk. Waru, Ds. Milangasri, Rt/Rw 04/02, kec. Panekan, Kab.
Magetan - Jawa Timur
136 Komunitas Negeri Kertas
Engkaulah Kebahagiaanku
Karya : Ana Dzikriani Thaibah
Raut wajahnya sedang memikirkan sesuatu yang sangat
membahagiakan dalam kehidupannya, namun di sisi lain dia juga
merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Kebingungan itu
datang setelah dia kenal dengan seorang sahabat yang dia kenal
lewat media sosial, tingkahnya memang terlihat keren di fotonya,
terlebih lagi orang yang sedang jatuh cinta itu menganggap
segalanya menjadi indah.
“Ahhhh… mungkin saja ini hanya perasaanku saja, baper saja
mungkin,”… gumam Raya yang sedang asyik belajar gitar di
rumah temannya.
“Kenapa?” tanya Naumi.
“Owh, tidak… tidak… tadi aku melamun, sorry….”
“Ahhh Rayaaaaa nadanya salah!”
***
“Karenamu aku sulit menentukan dan menyakini bahwa
sebenarnya kaulah Arjunaku kelak, namun aku juga belum yakin
dengan itu, maksudku apakah dengan kita belum pernah bertemu kita
akan bersama suatu kelak? lucu sekali, bahkan kita saja berbeda
pulau. Jika terdengar orang aku menyukaimu, mungkin ini adalah
suatu kegilaan dalam kehidupanku. Namun satu hal yang wajib
digarisbawahi dalam kehidupan ini adalah, tidak ada yang mustahil
di dunia ini.”
“Huhh.. sudah cukup untuk hari ini kulabuhkan perasaanku di
jurnalku, tiba saatnya pergi ke bioskop nonton movie seru….”
Baru saja selangkah hendak membuka pintu, Mamahnya
cerewet bla bla bla kepada Raya. Lantas Raya menjawab dengan
nada penolakannya, dan kabur begitu saja.
Kernyit dahinya terkadang mengerut karena ada orang yang
lalu-lalang, itu sangat mengurangi konsentrasinya dalam menonton
movie. Terkadang juga matanya meyipit, kemudian matanya tertuju
pada satu pasangan yang percis duduk di depannya karena
terlihat romantis. Raya memakan popcorn-nya dengan perasaan iri
kepada pasangan itu.
“Aku hanya sendiri saja menonton, tidak ada yang
menemaniku di sini.. habislah aku, sedih banget….” gumamnya
dalam hati.
Bahagia Bersamamu 137
Awalnya setelah dari bioskop Raya ingin langsung pulang
karena omelan Mamah menuggunya, tetapi ternyata setelah
dirinya melihat distro sedang diskon besar-besaran niatnya untuk
pulang ke rumah musnalah sudah.
“Mungkin dengan membelikan baju baru, marah Mamah
hilang... hihiiihh….”
***
Ternyata benar sekali dugaan Raya, Mamahnya tersenyum
lebar setelah menerima baju pemberian anaknya.
“Yang sering-sering aja beliin Mamah baju, ihhh Mamah jadi
kayak anak muda lagi dehhh.”
“Ihhh, Mamah lebay dan kepoooo.”
“Hehe… Mamah itu tadi marah kamu pergi soalnya kamu
belum makan siang.”
“Kan di mall juga ada makanan Mah…” suaranya semakin
mengecil karena Raya hendak ke dapur, dia membuka lemari es
dan mengambil jus melon kesukaannya.
“Iya juga sih, oh iya teman Mamah buka kursus masak. Kamu
masuk sana, itung-itung buat persiapan kamu nikah….”
“Ihhh, amit-amit siapa yang mau nikah Mah? Punya pacar juga
kagak.”
“Kok amit-amit, seharusnya aamiin dong….”
“Raya belum menemukan seseorang yang nyaman di hati ini
Mah.”
“Untuk proses ke arah yang lebih serius itu memerlukan
pedekate yang lama Ray.”
“Raya juga tahu Mah, Mamah juga tahu sendiri kan Raya
pernah gagal tunangan gara-gara gak nyaman.”
“Sebenarnya ada sih Mah, tapi itu hanya sebatas teman chatting
saja…. ya Allah siapakah Arjunaku kelak yang akan membuat diriku
bahagia selamanya?” beralih berbicara dalam hati.
“Ehhh… malah bengong gitu!”
“Males ah Mah ngebicarain laki-laki, Raya mau ke kamar
dulu….”
***
“Kesunyian ini aku labuhkan hanya untukmu. Apakah kita akan
bertemu suatu saat nanti? tidak seperti ini, hanya menyapa lewat
dunia maya, menanyakan tentang kehidupan kita, mentertawakan
cerita kita, menyiasati perasaan kita. Inikah rasanya menjadi teman
bayanganmu? bahkan mungkin di dunia luar sana sudah ada yang
memilikimu, dan mungkin juga kautelah menilik dengan matamu pada
138 Komunitas Negeri Kertas
sebuah pandangan yang lebih cantik dariku. Entahlah aku tidak tahu,
karena kita hanya berteman semu, hanya saja dalam hatiku bahagia
bisa mengenalmu sejauh ini meskipun kita belum pernah bertemu.”
Raya, dan Raya. Di mana pun dia berada, sesibuk apa
pun dirinya, tetap saja tidak pernah bisa dipisahkan dari jurnalnya.
Lihat saja! padahal dirinya kini sedang mengudara.
“Stay tune terus di Bunga Radio, ada dj Raya dan dj Nino
yang bakalan nemenin kamu semua untuk malam sabtu ini, ada
lagu yang bikin bahagia buat hati yang lagi galau nih, enjoy!”
suara lembut Raya.
Nino mencoba melihat isi jurnal Raya, tetapi Raya memukul
telapak tangan atas Nino, katanya, “jangan sembarang membuka
jurnal orang.”
Sebenarnya Nino adalah teman yang selalu membuat hati
Raya nyaman, tapi Nino hanya menganggap Raya sahabat saja,
jadi Raya memilih kebahagiaan yang sangat membuat dirinya
nyaman itu dengan seorang yang dia kenal lewat media sosial, dia
sangat berharap suatu saat nanti mengarungi hidup yang sempurna
bersamanya, karena dialah kebahagiaan Raya.
Bogor,16-17 Oktober 2015
*The End*
Tentang Penulis :
Ana Dzikriani Thaibah
Kelahiran Batagor (Batak-Bogor) 22 tahun yang lalu di kota Bogor
pada tanggal 09 Mei 1993. Nama penaku adalah Hikayat
Larasati. Menulis beberapa Antologi Cerpen dan Puisi bersama itu
mengantarkanku pada orang-orang hebat. Sesekali aku menulis
Artikel, dan di awal tahun 2015 aku menulis novel "Happy Ending"
yang diterbitkan oleh Aria Mandiri Group Bandung. No. ponsel
085775912598. Akun Facebook Ana Dzikriani Thaibah, Twitter
@ana_thaibah, Instragram hikayat_larasatiid, Path Hikayat
Larasati, E-mail [email protected],
[email protected]. Alamat: Kp. Cidamar RT 01/06 No. 7
Desa Cibitung Wetan, Kec. Pamijahan Kab. Bogor - HP
085775912598
Bahagia Bersamamu 139