The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by fileskifileski, 2021-04-08 01:02:48

DIALOG DENGAN BULAN

KOMUNITAS NEGERI KERTAS

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

: Panglipuran #5

Fadhila Eka Ratnasari

Lelaki memanjat payudara,
mencari cinta.
Disana ia temukan gua garba.
Disana ia berdiam nyaman, menghempas jiwa purbanya,
nyalakan perapian dan hangatkan tubuh.
Lelaki memanjat payudara,
ditanamnya cinta, meneluhku.
Lelaki memanjat payudara,
membakar cinta, membunuhku.

***

Perempuan terpasung di relung tubuhnya sendiri.
Darah menetes di lubang mata dan celah paha.
Jantungnya dicincang manusiamanusia tak berkepala,
disantap mentahmentah.
Perempuan meronta dikoyak luka,
ditelanjangi airmata, disetubuhi duka.

***

Lelaki bergelung sunyi di gua garba, menggenapi nyawa.
Diterjemahkannya cinta, yang tak hanya darah airmata.
Lelaki memanjat payudara,
mendaras cinta,
merebah nafas,
menidurkan airmata.
Disana ia temukan rumah,
disana ia dirikan pulang.
Lelaki memanjat payudara, menyembuh cinta
pada perempuan ‘nganga luka.

Bandung, 22 November 2014

42 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Profil Penulis:

Fadhila Eka Ratnasari lahir di Malang, 12 November 1991. Menekuni
bidang penulisan, fiksi maupun non-fiksi sejak di bangku SMP. Telah
mengikuti dan lolos sebagai juara maupun kontributor beberapa lomba
penulisan puisi sejak di bangku SMA, di antaranya Antologi Puisi
“Sebab Akulah Kata” Teater Kedok SMAN 6 Surabaya tahun 2007,
Antologi Puisi KMRS Lombok Timur tahun 2012, Antologi Cerpen
Pameran Karya UKM Penulis UM tahun 2013, Antologi Puisi 100
Penyair Perempuan tahun 2014 oleh KPPI, Juara Harapan 1 Puisi
Majalah Komunikasi UM tahun 2015 Juara 2 Poetry Contest ITS 2015 &
kontributor Antologi Puisi Poetry Contest ITS 2015 "Cinta, Budaya, dan
Nusantara". Merupakan lulusan Universitas Negeri Malang jurusan S1
Pendidikan Bahasa Inggris dan S1 Bahasa & Sastra Inggris (selesai Juli
2015). Telah aktif menggiati beberapa komunitas dan pementasan
sastra sejak di bangku kuliah, seperti Malam Puisi Malang (founder)
serta Kolaborasi Pembacaan Puisi bersama Teater Celoteh, Sanggar
Blitz, Pelangi Sastra Malang, dan Komunitas Sastra Lembah Ibarat.
Dapat dihubungi di +62857 043 22 771,
[email protected], dan facebook.com/fadhila.e.ratnasari

Alamat:
Perum pulo gebang permai blok g7/29
Pulo gebang, Cakung
Jakarta timur
DKI Jakarta 13950
085704322771

[Dialog dengan Bulan] 43

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Yang Pernah Kusebut Kekasih

Suhita Kencana

telah kau hancurkan samudra dan nirwana
yang kurajut bersama air mata dan darah
pergilah bersama hancurnya harapan hati
harapan yang bersemayam dalam liang liang kematian rasa
hanyutku dalam tangis bumi yang menggila
bersama semeru yang tak mampu lagi kulihat indah
oh, benciku mengakar dalam inti nyawaku
kepada engkau yang tak lagi kupanggil rindu
pergilah lelaki yang pernah kusebut kekasih
pergilah bersama ketakutanmu
bersama janji yang kau ingkari
bersama janji yang kau dustai
kepada kamu ... yang pernah kusebut kekasih

MOJOKERTO, 2016

44 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Cintaku Tetap Ada

Suhita Kencana

dan ketika aku membaca bait bait tulisanmu
ada rindu dalam yang menusuk kalbu
begitu ini adalah duka nestapa bagiku
ketika kita tak lagi bersatu
teringat aku dan kamu pernah gila melewati waktu
bersama rindu yang mengharu biru
meski kita tak pernah bertemu
cintaku tetap ada seperti kala itu
aku tahu perpisahan ini bukan maumu
egoku yang salah, yang meninggalkanmu
maafkan aku, untukmu yang pernah menemani hariku
semoga engkau bahagia
di kehidupan baru tanpa diriku

MOJOKERTO, 2016

[Dialog dengan Bulan] 45

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Aku Rindu

Suhita Kencana
walau hatiku tak bermata
tapi aku bisa menangisi tangismu
tapi aku bisa merasakan dukamu
tapi aku bisa merasakan sepimu
tapi aku bisa mengenang senyummu
tapi aku bisa mengecup kenangan kita
perpisahan ini
kesedihan kita berdua
Dan Aku Rindu Kamu ....

MOJOKERTO, 2016

46 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Profil Penulis:

Nama : Dani Suhita

Tgl Lahir : 24 april

Nama Pena : Suhita Kencana

Nama FB : Dani Suhita

Alamat : Jl.KH.ACH. DAHLAN

(MULIA MINIMARKET) 11/01 PACING

BANGSAL, MOJOKERTO 61381 JATIM

No Tlp : 083.831.44.88.45

[Dialog dengan Bulan] 47

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Setia pada Masa Lalu

Lintang Suminar Kusumaningpratiwi

Tahukah kamu ketika ‘ku melihatmu
Jantungku seakan berdetak di perut
Taukah kamu ketika kau menatapku
seraya mengatakan cintamu padaku
ingin rasanya kuhentikan waktu
ingin kubisikkan padamu
aku bahagia bersamamu
kau dan aku akhirnya bersama
melukis pelangi di angan
Hari hari kita lalui dengan cita
Kala kau dan aku berlarian di taman bunga yang indah
Kau berhenti seketika,
Tanyaku, ada apa?
Tak mengapa jawabmu, sembari menoleh ke belakang
Nampak bidadari cantik berdiri nan jauh di sana
Diakah yang dulu kau cinta?
Akankah kau berpaling padanya?
‘Ku tak lagi bisa menebak isi hatimu yang memudar
Tatapanmu tajam nan berbinar, namun hampa kurasa
Lalu terucap kata darimu, “aku setia”
Sembari menoleh lagi ke belakang
Kuminta kau pergi saja,
Temui dia yang kau cinta
Katakan padanya, kau setia
Tanpa menoleh ke belakang
Kisah ini sebaiknya kita akhiri dengan titik bukan koma
Sebaiknya kita tutup saja buku cerita kita,
karena memang usai sudah
takkan ada lukisan pelangi di angan

48 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

di benakku hanyalah awan kelabu yang disusul datangnya hujan
tak mengapa, aku bertahan
di bawah awan nan sendu kuingat Tuhan
atas kuasanya kau dan aku berjumpa,
dan atas kehendaknya jua kau dan aku dipisahkan,
mantan kekasih, buat bidadarimu itu bahagia
kuyakin Tuhan memiliki rencana yang indah ,
untuk orang yang ditinggalkan

[Dialog dengan Bulan] 49

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Senja pun Menangis

Lintang Suminar Kusumaningpratiwi

Sepi ‘ku berjalan seorang diri
Menyusuri jalanan orang berlalu silih berganti
Sang mentari perlahan undur diri
Angin berhembus lirih
Senja itu kududuk menyendiri
Di tengah kota yang ramai, aku terasing
Kutatap langit senja kini tak lagi jingga
Akankah ia turut merasa gundah gulana
Dalam hati kubertanya,
Akankah dirinya memikirkanku di sana?
Adakah aku terbersit di pikirannya?
Ingatkah ia seseorang yang pernah membuatnya merasa bahagia?
Seseorang yang pernah ia tinggalkan
Kutatap langit, kelabu
Angin kini bertiup tak lagi berembus
Kumasih duduk terpaku dalam pilu
Aku bak langit senja kala itu
Kelabu merayap seiring hilangnya sang mentari
Awan berdesakan dedaunan tertiup berlari
Jingga terenggut seketika langit tiada lagi berseri
‘Ku bertanya pada langit senja kelabu,
Apakah cintanya padaku semu?
Petir bersambut, langit senja pun menangis
Kini kutahu jawabnya,
Cukup selamat tinggal
‘Ku beranjak seorang diri
Telah kutitipkan bayangmu pada langit senja
Biarkan ia terhapus dan menghilang
Seiring derai air mata dari langit senja
Aku merasa damai melangkah pulang

50 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Profil Penulis:

Lintang Suminar Kusumaningpratiwi, atau yang biasa dipanggil
Sumi, lahir di Bojonegoro, 3 Nopember 1994. Ia adalah lulusan SMA
Muhammadiyah 2 Sidoarjo jurusan Bahasa, kemudian ia melanjutkan
pendidikannya sebagai mahasiswa di Universitas Brawijaya Malang,
Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Cina. Karena kesungguhannya
belajar, ia pernah dipercaya dosen untuk mengikuti lomba baca puisi
bahasa Mandarin dan lomba menyanyi bahasa Mandarin. Ia pun pernah
mendapat beasiswa dari kampus karena perolehan nilai yang tinggi,
namun ditolaknya karena ia waktu itu sedang mendapat beasiswa
Kompas. Disamping itu sejak SMA ia telah bergabung dan masih
tercatat sebagai anggota komunitas pecinta bahasa asing, Polyglot
Indonesia Chapter Surabaya. Dari komunitas inilah ia mengembangkan
bakatnya di bidang bahasa asing serta memperluas pertemanan.
Sampai saat ini, ia tetap konsisten mempelajari bahasa asing yakni,
bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Portugis, dan Polandia.
Alamat : Puri Indah Asri CE-14 Sidoarjo
Kode Pos : 61271
Nomor HP : 081252432704

[Dialog dengan Bulan] 51

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Bunga yang Terluka

Nina Wahyu Tristanti

Kawan...
Lihatlah bunga itu
Tumbuh ditaman yang tandus
Kering kerontang tanpa hijau dedaunan
Tangkainya melemah
Daunnya berguguran
Kawan...
Tegakah kau memetiknya
Bukan kau pakai sebagai hiasan
Tapi sengaja kau petik untuk kau buang
Kawan...
Sebegitu jijikkah kau melihatnya
Sebegitu kotorkah dia dalam pandangan
Bukankah dulu bunga itu menghiasi tamanmu
Bukankah dulu wanginya selalu kau tunggu
Kawan..
Memang dia hanya bunga
Tapi diapun punya nyawa
Dia juga makhluk ciptaan-Nya
Lupakah kau kawan...
Semua umat didunia adalah sama
Adakah yang membuatnya berbeda
Apakah karena status yang disandangnya
Ah...itu hanya stempel buatan manusia
Apapun jenisnya dia adalah bunga yang bernyawa
Walau hanya sekedar bunga jalanan
Kawan....
Kini dia terluka
Duka lara

52 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Masihkah kita akan terus mencela
Kawan.....
ODHA tetaplah manusia

***
Profil Penulis:

Nina Wahyu Tristanti
pernah menulis di buku antologi puisi dan cerpen "Bahagia
Bersamamu"
Alamat Rumah : Dsn. Purwosari TR 18 RW 07 Ds. Karangrejo

Kec. Kawedanan, Kab. Magetan 63382
Alamat POS : PTPN XI (Persero) PG Redjosarie Magetan

Jalan Bhayangkara – Goranggareng Magetan 63382

[Dialog dengan Bulan] 53

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Mantan Kekasihku

Ragil Dealia Juniar

Disetiap detik yang tlah berlalu
Kenangan itu selalu berkeliling di kepalaku
Bahu dulu tempatku bersandar
Kini sudah jauh menghindar
Alunan musik kesukaan
Hanya mengundang sebuah tangisan
Aku rindu kamu mantan kekasihku
Aku rindu genggaman tanganmu
Bila rindu ini terbalas olehmu
Lihat saja aku yang selalu di belakangmu
Menunggu sebuah pelukan datang untukku
Karena sebuah rindu terasa olehmu
Kini aku hanya dapat terus menunggu
Karna kamu tlah memiliki yang baru
Mudah untukmu melupakanku
Sulit untukku mengikhlaskanmu

54 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Bayang-Bayang

Ragil Dealia Juniar

Bayang-bayang tentangmu
Bayang-bayang tentang kita
Bayang-bayang sebuah kenangan
Bayang-bayang sebuah perpisahan

Terus menerus semua itu terbayang
Disaat rindu ini Datang bersarang
Sebuah sapa yang seperti terlarang
Aku hanya bersikap seperti menghilang

Tak banyak yang dapat aku lakukan
Disaat kamu sudah menemukan
Menemukan kekasih yang baru
Yang terlihat baik ada di sampingmu

Aku yang jauh berpijak denganmu
Hanya dapat tersenyum atas bahagiamu
Meski kamu mantan kekasihku
Namun kamu juga sahabatku

Harapanku tak banyak kepadamu
Aku hanya ingin saling sapa denganmu
Meski hanya sebuah tanya kabar
Namun membuatku selalu berdebar

Hai, kamu...
Aku hanya mampu bersyair
Untukmu puisiku

[Dialog dengan Bulan] 55

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Profil Penulis:

Ragil Dealia Juniar
Tinggal di Tangerang. Menulis saat jalan dalam fikiran sudah buntu, dan
tak ada satu orang pun yang tahu.
Facebook: Ragil Dealia Juniar
Line : ragillop
Ig : dealiajuniar.

56 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Hentikan!!!

Almaida U. Salmi

Benarlah penting secerca ilmu
Memanglah prioritas, sebuah pendidikan
Namun... bukan hanya ini yang kami cari
Cacian dan kemurkaan menjadi kudapan
Tolong... tolong... tolonglah kami
Kami adalah anak bangsa yang butuh kasih dan cinta
Kami adalah generasi muda yang akan mengubah dunia
Hentikan bencana besar ini...
Mendidik tidak harus dengan kekerasan dan kedurjanaan
Jangan biarkan semua ini berlanjut...
Kekerasan dalam pendidikan berarti manabuh genderang perang
Dan hanya akan menghancurkan dunia
Kami anak bangsa bertekad menghentikan bencana ini...
Bimbinglah kami dengan penuh kasih sayang
Agar kami dapat membanggakan bumi pertiwi
Dan menjadi generasi pelurus bangsa yang dapat membangun dunia...

Jombang, 21 Januari 2016
Almaida U. Salmi

[Dialog dengan Bulan] 57

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Kertas

Almaida U. Salmi

Kau dan Aku bagaikan selembar kertas
Sama-sama putih
Satu kesatuan
Selalu bersama… terikat… tak bisa terpisah
Namun tak bisa berjumpa
Sisi kita berbeda
Berhadapan pun tak kuasa
Sungguh menyiksa
Itu Aku dan Kau

Jombang, 21 Januari 2016
TEMA MANTAN KEKASIH
Almaida U. Salmi

58 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Profil Penulis:

Almaida Urmila Salmi, lahir di Madura, Bangkalan, 24 Juni 1998.
Penyuka sastra sejak masih SD. Pernah memenangkan lomba
mengarang cerpen juara 2 (Perjalanan Senja), puisinya juga pernah
dimuat dalam majalah lokal (Lakon). Saat ini sedang menempuh
pendidikan di SMA Darul Ulum 2 Unggulan Jombang sekaligus nyantri
di PP. Darul Ulum Rejoso Jombang, serta aktif di dunia teater pelajar.
ALAMAT:
JL. MASJID JAMIK NO 47, BURNEH
BANGKALAN
MADURA 69121
NO HP : 085259879204

[Dialog dengan Bulan] 59

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Lirih

Dhea

Lewat tengah malam
Di sebuah sudut kamar yang sempit
Kudak terpaku seorang diri
Perasaanku berubah
Tubuhku terasa lemah
Kanker ini menyakitkan
Cahaya lilin tak mampu
Menerangi gelapnya
Ruang hatiku malam ini
‘Ku coba pejamkan mata
‘Tuk dapat menaruh seberkas
Bayangan di alam mimpi
Namun... tak dapat kutemukan
Bayangan ia
Hingga dari celah mata sayu
Menetes beningnya air kerinduan
Kau di mana?
Bisikku lirih
Lelah
Kau tak mengirimkan aku
Sebentuk angin sepoi sepoi
Untuk menyejukkan kekosongan
Jiwaku malam ini
Jiwaku berkelana entah kemana
Mencari dan terus mencari
Seuntai bayangan
Yang mampu menabung
Gejolak rindu di malam ini

60 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Sebuah Peraduan

Dhea

Saat jeda waktumu
Menatap kolong langit
Saat kerinduan meluap
Lembah kekosongan
Sedang peraduan kita
Dipisahkan cakrawala
Biarkanlah air mata membuka kembali
Kelopak rindunya mengaliri
Saat-saat saling menghangatkan
Kesepian jiwa
Saat-saat persentuhan
Saling membalut luka berkejaran
Bila kau dengar lagu
Merintih duka..
‘Ku mohon kepadamu menyapa
Kita bertemu di damainya cinta-Nya

[Dialog dengan Bulan] 61

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Serpihan Hidup

Dhea

Tak akan ada kerisuan dalam jiwa
Jika aku terhindar
Walaupun harus kehilangan
Harta dan kekacauan
Harta bisa dicari kemuliaan bisa dikembalikan jika jiwa
Telah dijaga oleh Allah
Dari kerusakan
Aku mengeluh pada teman
Tentang malam nan panjang
Kucoba sesuatu untuk dapat
Melakukan hal yang baru
‘Ku mendengar semua impianku
Untuk dapat menata masa depanku
Mungkin aku hanya dapat berusaha
Selama harapanku masih ada
Mungkin aku hanya meminta
Selama aku terus berdoa
Hidupku adalah usahaku
Hidupku adalah harapanku
Hidupku adalah masa depanku

62 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Sebuah Renungan

Dhea

Malam itu sudah pasti gelap
Tapi siang itu tidak selamanya selalu terang
Matahari itu sudah pasti panas
Tetapi angin tidak selamanya selalu dingin
Meskipun engkau tidak buta
Aku akan selalu menuntunmu
Walaupun engkau tidak pincang
Aku akan selalu menopangmu
Aku hidup seperti itu karena bila
Nantinya aku mati
Engkau akan menangis untukkku
Dan tangisanmu membuatku tenang di sana...

[Dialog dengan Bulan] 63

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Kepada Engkau, Sepanjang Hayat

Dhea

Kan kulukis suasana hatiku dalam nuasa biru
Kulukis jiwaku yang ingin bersamamu selalu
‘Kan kulukis sketsa bibirmu dalam nada-nada sendu kugambar
lenganmu melingkari pinggangku dan kuhapus segala rasa ragu
‘Kan kulukis hujan yang jatuh perlahan
Di lekuk liku kedua tanganmu
‘Kan kusapukan tanganku di wajahmu
‘Ku berikan ketenangan untuk meredakan takutmu
Siluet kegelapan dan cahaya
Sambil kita berpelukan mesra
‘Kan kulukis matahari ‘tuk menghangatkan hatimu
Dan berjanji akan bersama selalu
‘Kan kulukis bintang bintang di langit malam
Kugambar cahayanya di matamu nan kelam
‘Kan kubuat satu goresan lembut
‘Tuk menunjukkan kehalusan parasmu
Kan kubelai tanganmu dalam genggamanku
Dan kuberi ciuman lembut ‘tuk menandai waktu
‘Kan kugambar tahun-tahun yang berlalu
Begitu banyak yang dipelajari begitu banyak yang dicoba
‘Kan kulukis yang sebenarnya
Kusepenuhnya nyata
‘Kan kupakai kuas ringan dan halus
Kugambar engkau dari dekat
Kujadikan milikku
Dengan ini hidup kita dimulai
Bersumpah setia takkan berpisah
Kubawakan padam cinta tak ternilai
Cinta setia hingga akhir hayat

64 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Tanpa Senandung

Dhea

Andainya bulan ‘kan kuterangi engkau
Dalam kegelapan
Andainya bintang di langit biru
‘Kan kuhiasi mimpi indahmu
Dan bilakah kumentari pagi yang bersinar
‘Kan kutemani dalam menggapai cintamu
Namun... kau bagai mahadewa nan jauh di sana
Aku ini
Aku takkan bersenandung
Karena kutahu kau
Hanyalah impian belaka
Biarkanlah aku sendiri
‘Tuk menata ruang hatiku
Mungkin ada yang lebih berharap
‘Tuk berteduh dalam relung hatiku
Maaf... bila ‘ku terlambat menyadari
"Betapa aku menyayangimu"
Dengan sepenuh hatiku
Terima kasih pula atas segala cinta
Yang pernah kau persembahkan
Untukku
Tapi hanya satu yang kau tahu
"You are my first love"

[Dialog dengan Bulan] 65

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Penantian yang Hilang

Dhea

Kasih...
Amarahku menipis karenamu
Terhempas raut bayangmu
Sekian hari berlalu menanti
Kedatanganmu
Namun apa mau dikata
Menantikanmu bagai
Mengharapkanmu
Bintang jatuh di hadapanku
Karena kaulah sang bintang
Setiap malam aku memandang langit
Jenuh rasanya...
Akan awan yang menutupi dirimu
Di dalam hatiku seakan berdesit kasih
Akankah kau menjadi milikku
Sebening embun di hatiku
Ketika hadir di kehidupan
Telah sirna kabut jiwa
Kasih berikan warna terang
‘Tuk kelamnya mimpi

66 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Profil Penulis:

Perkenalkan nama saya Dhea. Saya dilahirkan di kota Malang 5 Maret.
Kisah ini adalah kisah pengalaman saya dulu tetapi saya sudah
sembuh, hehe.
Saya anak kedua dari tiga bersaudara yag dilahirkan menjadi seorang
wanita yang kuat. Jujur saya bingung harus bercerita apa karena dalam
hidup saya tak ada yang spesial. Seni merupakan hidup dan jiwa saya.
Itulah sekilas cerita mengenai saya.
Alamat:
Perumahan Pepelegi Indah
Jl. Semeru No.09 RT.08 RW03 Waru
SIDOARJO
61256
Telp. 082140450006

[Dialog dengan Bulan] 67

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Selembar Kertas Untukmu

Marthalia Dwi Amanda

Kala kuterdiam dalam keadaanku,
Aku selalu memikirkanmu,
Memikirkan orang yang pernah menghancurkan mimpiku,
Mimpi yang begitu indah untukku,
Mimpi untuk segala impian dalam duniaku,
Sekarang aku tahu,
Tuhan memberikanmu sebagai pelajaran untuk kedewasaanku,
Seharusnya aku mengerti bahwa kisah cinta ini salah untukku,
Sekarang untukmu,
Aku anggap, engkau hanya menjadi selembar kertas
yang terbang bersama tiupan angin
bersama kenanganku bersamamu

***

Profil Penulis:

Marthalia Dwi Amanda
lahir dikediri, 06 Maret 1997, anak kedua dari dua bersaudara. Terlahir
dari keluarga yang sederhana dan mencoba keberuntungan untuk
menuntut ilmu disalah satu universitas swasta di kota Malang,
Universitas Muhammadiyah Malang, terdaftar dengan jurusan
Keuangan dan Perbankan, fakultas Ekonomi dan Bisnis. Mulai belajar
menulis pada awal perkuliahannya karena dia ingin menuliskan semua
kisah perjalanan cintanya untuk dapat menjadi naungan kisahnya nanti.

Alamat:
Ds. Setonorejo RT 04/rw 02 Kec. Kras, Kabupaten Kediri 64172
Telp. 085791806660
Akun facebook : Marthalia Dwi Amanda

68 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Pesan Singkat Sang Mantan Kekasih

Amirul Farika

Pernah bersama
Pernah bercanda
Pernah bersedih
Dan…
Pernah bahagia
Inilah…
Yang pernah aku alami
Yang perah aku rasakan
Yang pernah aku banggakan
Kamu…
Selalu aku ingat
Selalu dalam hati
Karena apa?
Denganmu aku berubah
Denganmu aku lebih baik
Denganmu aku lebih bersyukur
Dan…
Kamu yang berani
Berani menegurku
Ketika aku salah
Berani mengingatkanku
Ketika aku mulai lalai
Terimakasih..
Terimakasih aku ucapkan
Walaupun..
Kita tak bersama lagi
Akan tetapi
Aku akan ingat
Ingat pesan singkatmu
Pesan singkat

[Dialog dengan Bulan] 69

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Yang mungkin
Untuk yang terakhir kali
Kamu berpesan
“Cintailah hidup, dan hiduplah dengan cinta ”
Inilah
Pesan singkat sang mantan kekasih

***

Profil Penulis:

Amirul Farika
Lahir di Madiun, 5 Desember 1998
Alamat : Jl. Toto Tertib Rt 11/04 Bangunsari, Dolopo, Madiun
No Hp : 0857 4976 8305
fb : amfar

70 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Cerpen-Cerpen
Dialog dengan Bulan
Komunitas Negeri Kertas

[Dialog dengan Bulan] 71

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

DIALOG DENGAN BULAN

---
Amanatia Junda

---

Sebingkai jendela, persegi panjang, kala siang larut dan di tengah
bolongnya malam selalu tertutup. Rapat. Tergembok. Sepasang
engselnya nyaris ingin berkarat, dan sepasang ranting besi
penyangganya lunglai tak mengait. Dari luar tampak jendela itu miskin
makna. Jendela tidak ingin memaknai mentari pagi yang hangat dan
bersahabat, tidak pula sudi memaknai semilir angin sepoi yang
berdesir-desir. Bahkan ia pun tidak lagi sempat memaknai pecahan air
hujan yang menombaki permukaan kacanya dengan kukuh namun tetap
romantis dalam ritmenya.

Dari dalam rumah berlantai dua, jendela sekotak itu saja yang
terus tertutup kelambu rapat-rapat. Jendela yang membuka sekat
antara sebilik kamar dengan dunia luar. Namun apa daya, kerangka
kayu kusennya bisu, kacanya pun buram berdebu. Sebab, penghuninya
sedang rapuh.

Aih, lantas mengapa aku kisahkan padamu tentang jendela yang
tak berdaya guna? Kemarilah, aku toh berniat kisahkan kenanganku
yang sepenggal-sepenggal tentang bulan dan jendela adalah
penghubungnya. Ia seperti jembatan lalu menjelma menjadi tangga
yang berundak-undak menuju langit, ke bulan bulat di atas sana.

Dahulu, ketika aku sampai di usia pasca balita, bulan adalah
benda langit yang paling ajaib menurutku. Kata Bunda, di bulan terdapat
banyak bidadari dan bidadara. Lusinan jumlahnya. Mereka tiap
pertengahan bulan berdansa, bergandengan tangan membentuk
lingkaran. Oleh karena itu, bulan menjadi bulat dan disebutlah sebagai
bulan purnama. Aku mengerjap, takjub. Bulan yang tiap tanggal belasan

72 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

kuintip dari balik kelambu jendela seakan berkedip padaku. Kedipan itu
seolah berasal dari pangeran bidadara, yang wajahnya membayang
dan bersinar keemasan. Maka nyenyaklah tidurku, seusai gosok gigi,
menyimak dongeng, lalu berdoa. Bunda mengizinkanku membuka
sedikit celah jendela, agar kapan pun mereka mau, bidadara-bidadari di
atas sana dapat hadir, menyelinap lalu mengecup keningku.

Dahulu kala juga, saat usia memperbolehkanku belajar di bangku
sekolah dasar, bulan tidak lagi memesona seperti bidadara-bidadari.
Bagiku, bulan menggemaskan. Kamu tahu? Tiap malam aku mengamati
diam-diam sang bulan. Eh, rupanya permukaan bulan tidak halus
seperti pipi bidadari, justru tampak bentol-bentol. Dan saat kuamati lagi
betul-betul, permukaan bulan seperti rekahan biskuit bayi yang biasa
dikudap adikku, si Bintang. Jadi, aku pun gemas ingin suatu saat
memakan bulan.

Kraus... kraus... alangkah lezatnya! Pasti bulan terbuat dari biji
gandum terbaik dengan campuran madu hutan paling murni. Aku
sampaikan hasratku itu pada Bunda. Beliau tersenyum dan berujar,
“Kalau begitu Rahkoso, si Raksasa jahat pasti suka mengudap bulan
juga. Dia mencurinya sampai bulan hilang dari langit lalu memakannya
hingga bersisa sedikit menjadi bulan sabit.”

Untuk pertama kalinya aku punya musuh bebuyutan, Rahkoso si
Raksasa rakus.

Dahulu itu... terasa sangat jauh. Seolah beratus-ratus tahun
lamanya. Seolah masa lalu sudah menjelma menjadi dongeng dan
dongeng Bunda lantas menjadi lantunan samar yang hampir lenyap dari
memori. Mengapa dahuluku sangat jauh ya, Lintang?

***
“Bulan...! Bulan, kamu baik-baik saja?!” suara itu menyahut tiba-
tiba, disusul tindakan tak sopan, mendobrak pintu kamarku. Ia
menghambur menghampiriku, gadis yang tergeletak di atas ranjang,
lemas. Ia Lintang. Ia sepupuku, teman sebaya, partner sebangku sejak
SD.
Aku mengerjap, lemah. Ia tergopoh-gopoh membopongku keluar
dari kamar yang suram. Ia mencoba membuat badanku tegak biar tak
merosot jatuh ke lantai. “Bulan... dengar, aku akan bawa kamu ke
rumah sakit sekarang juga. Kamu masih sanggup berdiri bukan?”
Wajahku pucat, sepucat kain beledu sofa ruang tamu yang
berwarna krem kusam.

***

[Dialog dengan Bulan] 73

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Ruangan ini luas dan riuh. Terang benderang. Aku seperti
diungsikan ke ruang yang tak pernah merasakan malam. Lantas kini
aku hanya berbaring saja, terlentang dan membisu. Dokter geleng-
geleng kepala sambil menekan-nekan perutku. Sisi kiri, sisi kanan, sisi
tengah, sisi atas.

“Mulai jam berapa sakitnya berlangsung? Apa saja gejalanya?”
tanya dokter muda pada Lintang yang berdiri gugup di sebelah
pembaringanku.

“Saya kurang tahu, Dok. Belum lama ini dia punya sakit maag.
Saya menerima teleponnya dua jam yang lalu. Saya kira obat generik
itu berfungsi seperti biasanya. Tapi ternyata keadaannya terlampau
parah. Dia sudah muntah dua kali di jalan menuju kemari.”

Aku meringis lemah. Sewaktu di jalan tadi, di atas motor
bebeknya, berkali-kali aku ketuk punggung Lintang. Itu isyarat aku
hendak menyemburkan lendir dan lahar hangat. Di tepi jalan beraspal
aku muntah, di depan minimarket waralaba dan di samping kantor pos.

Dokter lekas menyuntik lenganku. Dulu aku selalu mengelak saat
diimunisasi dengan jarum suntik. Namun sekarang tidak lagi. Tidak lagi
bertingkah menyebalkan semenjak Bunda pergi dari rumah membawa
Bintang ketika aku memasuki awal sebelas tahun.

Ruang Instalasi Gawat Darurat sejatinya memang ditujukan untuk
hal-hal darurat. Aku menghibur diri dengan membaui aroma antiseptik di
kala kram pada perutku tak kunjung reda. Lalu aku memandangi satu
persatu perangkat medis, menaksir harganya, di kala cairan suntik yang
mahal itu, yang telah begitu kebas menusuk venaku, sama sekali tidak
ampuh.

Tiga jam berlalu, dan aku masih berbaring di IGD. Dokter mulai
mengusirku untuk pulang. Ini risiko jika kita mengeluh di IGD. Mirip
toilet, semua orang mengantre untuk segera membuang hajatnya. Hajat
kesakitan. Namun masalahnya, tempat terbatas.

Awalnya aku bersikukuh tak beranjak dari ranjang bersprei biru
muda. Entah mengapa, aku merasa aman di antara kumpulan orang
berjas putih ini. Meski mereka tak lihai berkompromi dengan perutku,
namun mereka bagaikan malaikat tak bersayap. Lebih sering memberi
jaminan berupa sugesti kesembuhan daripada kematian.

Tiba-tiba sirine ambulans meraung-raung. Perhatian kami
seruangan serta-merta teralih pada penghuni baru yang kritis. Seorang
lelaki segera dilarikan ke samping ranjangku. Tirai ditarik, menutup,
menyembunyikan misteri pada rasa ketidakpedulianku dan rasa
penasaran Lintang. Aku tidak sama dengan yang lain di ruangan ini
yang tengah diliputi ketegangan. Bagiku, semua yang harus terbaring di

74 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

IGD adalah semua orang yang bernasib sama, sedang naas. Sedang
dimabuk nestapa.

Tak lama kemudian koor tangisan pecah. Berderai-derai. “Bapak!
Bapaak!”

Lolongan histeris itu terjadi. Anggota keluarga lelaki yang baru
saja wafat itu saling berpelukan. Pandanganku nyalang, mencari-cari
malaikat maut di sela-sela ujung tirai yang menggantung pada besi
yang melintang. Lalu aku segera mencarinya di langit-langit ruangan,
siapa tahu malaikat maut lenyap bagai uap air panas bersama sang ruh
yang dibawanya. Dari dulu aku menduga, sang malaikat maut
bersembunyi di kolong ranjang, menunggu turunnya SK dari Bos Besar,
selembar Surat Kematian yang terbang dari kediaman-Nya.

Belum selesai drama manusia ini dipentaskan, sang istri dari
lelaki yang wafat mendadak melepaskan pelukan dari anak-anaknya.
Perutnya yang menggelembung menjadi sumber dari ketegangan baru.
Kamu tahu? Secepat itu, air mengalir dari balik dasternya, menderas
membasahi selangkangan, lalu turun ke paha, meleleh ke betis.

Tersentak, seorang dokter yang rupanya agak mengantuk di
sudut ruangan, segera siaga penuh menyambut nyawa baru.

Kali ini aku sungguh tegang. Sikap dinginku memudar bersama
imaji akan uap dan ruh yang lenyap. Kram perutku—tidak berlebihan
rasanya—berada di level kontraksi. Tak sampai satu jam, dokter
perempuan berkacamata keluar dari sekat ranjang yang lain. Ia
menggendong bayi merah, wajahnya sumringah tiada terkira. Tangis
jabang bayi itu pecah dengan kemurnian yang bermelodi mesra.
Terkadang, sepahit apa pun momen itu, dalam keadaan getir sekali pun
atas baru saja berpulangnya sang bapak, tetap saja tangis bayi adalah
hal paling mengharukan dalam naluri keibuan.

...hingga aku pun nyaris lupa atas kesakitan yang masih
berdenyut-denyut di perut. Aku tenggelam dalam lautan suka cita yang
tak seorang pun mengetahuinya.

“Ayo pulang,” ajak Lintang setengah sadar. Sama sepertiku, ia
turut terguncang sebagai penonton—saksi bisu kematian dan kelahiran
sekaligus.

Aku mengangguk. Kali ini mengiyakan.

***

Dialog itu terjadi, antara aku dan Lintang, saat kami kembali ke
kamarku yang pengap.

“Sejak kapan kamu memasang teralis pada jendela itu?”
tanyanya, menyelidik.

[Dialog dengan Bulan] 75

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

“Tiga bulan yang lalu.”
“Mengapa? Bukankah jendela itu sudut favoritmu? Kalau begini
pandanganmu ke bulan jadi terhalang, tidak sempurna,” kritiknya,
berintonasi.
“Pencuri telah masuk ke kamarku.”
Lintang terbelalak, “mengapa kamu tidak cerita? Sudah lapor
polisi? Apa yang ia ambil?”
“Pencuri itu tidak meloncat dari jendela.”
“Lalu...?” kukenal betul nada frustrasi itu jika aku sudah mulai
melingkar-lingkar dari jawaban yang ingin ia dapatkan. “Bulan, ada apa
sebenarnya?” bisiknya dengan tak sabar.
“Ia masuk dari pintu rumah bersama ayah yang sedang mabuk. Ia
lalu masuk ke kamarku. Esoknya ia kabur bersama ayah dan keduanya
tidak pernah muncul lagi.”
Lintang terkesiap, senyap beberapa saat.
“Ia... mengambilmu dariku,” bisiknya lirih, terduduk lemas di
lantai. Sekarang, justru pemuda ini yang terlihat sangat rapuh.
“Oh Lintang, jangan bersedih,” aku pun ikut terduduk di
sampingnya, bersandar pada kaki ranjang yang dingin. “Ngomong-
ngomong kamu tidak dicari Bibi Leni? Sudah petang, pulanglah. Aku
akan istirahat sebentar.”
Lintang menatapku nanar sekarang, “mengapa kamu tidak
cerita?! Mengapa kamu justru mengurung diri di kamar berbulan-
bulan?!” napas Lintang tersengal-sengal. “Mengapa… kamu justru kini
terlihat baik-baik saja?”
Aku bangkit dari dudukku, berjalan menghampiri jendela. Untuk
pertama kalinya sejak peristiwa itu, kusibak kelambu dan kukaitkan
kembali penyangga daun jendela. Benar saja, angin menyentuh ujung
hidungku.
“Kamu tahu? Aku memasang teralis ini agar sewaktu-waktu aku
tak bisa loncat dari jendela untuk bunuh diri.” Aku menghirup udara
malam yang segar, sepuasnya, “Terima kasih ya, sudah melarikanku ke
IGD. Tadi adalah momen untuk sebuah alasan mengapa aku harus
pertahankan janin ini,” refleks tanganku bergerak menyusuri perutku
yang tak lagi berontak. Sisa-sisa kesakitan masih berasa namun tak lagi
membuatku putus asa.
“Nyatanya, pencuri itu justru menitipkan nyawa kepadaku, setelah
ia mengambil mahkota Putri Bulan.”
“Tapi setidaknya janinmu masih tiga bulan, belum ditiupkan roh!”
sangkalnya keras kepala.

76 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

“Ya... dan menurutmu mudah menggugurkan janin? Semudah
malaikat maut mengambil rohku, misalnya? Kukatakan padamu,
berhari-hari aku tersiksa menunggu malaikat itu muncul dari kolong
ranjangku, sedangkan aku tak dapat lagi mengelak dari teror ini. Aku
butuh bayiku untuk bertahan hidup!” semburku, tak kalah sengit.

Aku menoleh ke Lintang yang masih membenamkan wajah di
ruang sempit di celah kedua lututnya. “Oh, ayolah, Lintang... setidaknya,
pencuri itu tidak berhasil merenggutku darimu,” bisikku lelah, dan
beralih memandang bulan yang belum sempat dicuri Rahkoso.

110412

*Penulis menghuni Yogyakarta. Sibuk berteman.

***

Profil Penulis:

Amanatia Junda. Sejak sepuluh tahun yang lalu, ia telah aktif
menekuni tulisan sastra. Meski sampai saat ini belum menghasilkan
terbitan novel apa pun, karya-karyanya pernah menjuarai beberapa
sayembara menulis. Selain itu beberapa karyanya juga telah dimuat di
media massa, baik lokal maupun nasional. Sekarang ia berdomisili di
Jogja. Dapat dihubungi melalui [email protected]

Alamat:
Jalan Pandega Rini no 22
Caturtunggal
Depok
Sleman
DIY
Telp. 085691696491

[Dialog dengan Bulan] 77

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

MARDI PULANG

---
Nurlaeli Umar

---

“Maliiing! Maliiing!”
“Ada maling burung!”
“Di mana malingnya?”
“Itu mereka lari ke gang sebelah!”
“Lebih dari satu?”
“Dua orang anak muda!”
Pagi itu Minggu di awal bulan. Seharusnya tidak pernah terjadi.
Tidak diperhitungkan. Mungkin pelaku yang bodoh, penuh ke-
sembronoh-an. Sepasang maling yang tidak professional dan kelas
ecek-ecek. Mencuri di waktu semua orang ada di rumah. Semua orang
tumpah, dengan satu teriakan saja.
Mardi kebingungan. Dia tidak melihat temannya. Dia kehilangan
jejak. Dia hanya tahu berlari menghindar. Dia bukan maling, bukan!
Bahkan dalam garis tangannya tidak tertulis maling, apalagi darah yang
mengalir di tubuhnya.
Ini sejarah terburuk yang tidak pernah terlintas tujuh turunan.
Darah itu mengucur. Mengapa tiba-tiba jalan menjadi buntu? Tembok
yang dicoba untuk dipanjatnya melemparkan dia kepada massa. Orang-
orang yang membawa api di dada dan kepalanya. Juga benda panjang.
Benda yang akan menghakimi Mardi dengan segera. Tanpa ampun lagi.
Tidak perlu aparat, mereka yang datang ingin membuat Mardi sekarat!
Mungkin sebagian dibuat dari kayu, mungkin ada yang terbuat dari besi.
Mardi enggan memikirkan itu. Mereka seperti kesetanan, bahkan
teriakan penyangkalannya hilang dibungkam pukulan, tendangan.

78 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Temannya menghilang, dia hafal semua jalan di daerah itu,
mungkin daerah lainnya juga. Tidak hanya jalan raya, jalan tikus pun dia
tahu, bahkan jalan hitam, jalan sesat, dan jalan untuk mengorbankan
orang lain. Pemuda yang telah banyak memakan asam garam Jakarta.
Dia berhasil selamat. Tanpa Mardi.

Sudah kukatakan berulang kali, jika hidup di Jakarta itu tidak
enak. Entah tuak apa yang diminumnya semalam, Kang Yono benar-
benar mabuk ingin sekali Mardi berangkat ke Jakarta mengikutiku.

Dia tidak menyentuh kopi yang dibuatkan istriku, apalagi
kudapan, dan kue kering khas lebaran. Mungkin dia takut kopi akan
membuatnya sedikit sadar kalau dia mabuk. Atau dia ingin
membuktikan semua tidak perlu kecuali keinginannya.

“Lebih baik dia di kampung, Kang. Dia sudah bekerja, dan itu
bagus. Mardi juga sepertinya menikmati pekerjaannnya. Pekerjaan
menjadi tukang lebih menjanjikan.”

“Dan lagi, orang bekerja itu tidak bisa harus sama, semua punya
passion tersendiri. Maksudku garis nasib, bakat dan kecenderungan.
Tidak baik memaksakan sesuatu kepada anak, apalagi anak itu sudah
memilih dan merasa itu dunianya. Toh rejeki sudah diatur. Untuk
menjadi kaya dan berhasil tidak harus ke Jakarta.”

“Memang satu rumah dibangun dengan model baru, yang lainnya
ikut mengantre mengganti modelnya. Tapi pekerjaan menukang itu tidak
menjanjikan apa-apa. Lama untuk sukses. Dia itu hanya tamatan SMA,
setidaknya meski tidak bersekolah tinggi, dia bisa melihat Jakarta.
Kabulkan saja permintaanku!”

Aku berjanji mengajaknya, hanya untuk melihat Jakarta saja.
Mungkin akan kuajak dia ke Monas dan beberapa tempat di sekitarnya
yang biasa dipenuhi pengunjung. Aku akan memilihnya yang murah
saja. Bukan karena aku pelit, tapi aku sendiri pun meski sudah lima
belas tahun tinggal di Jakarta, bahkan hanya menjelajahi gedung tinggi
menjulang yang berdiri megah dengan mataku saja.

Dan aku juga akan mengajaknya ke perkampungan kumuh. Aku
berharap dia tidak betah di Jakarta. Ingin aku tunjukkan kenyataan yang
hanya fatamorgana, kecuali dia punya tekad baja. Hanya berbekal
ijazah SMA, tidak ada koneksi, tidak bermodal sama sekali. Itu adalah
aku. Dan sekarang aku dihadapkan dengan sosok yang sama. Aku
tentu saja seperti melihat diriku sendiri. Mungkin benar sekarang aku
mempunyai rumah permanen kecil, dan usaha penjualan bubur ayam
dengan pelanggan yang tetap. Tapi pahit yang kurasakan, kualami,
sungguh tidak tega jika harus terjadi kepada Mardi. Meski dia laki-laki!

[Dialog dengan Bulan] 79

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

“Tidak sekarang, Kang. Mungkin lebaran tahun depan saja. Terus
terang aku belum siap untuk menampung Mardi meski hanya beberapa
hari.”

Bukannya mengerti, Kang Yono malah berbicara ke sana-ke
mari, tidak saja di depanku tetapi kepada orang-orang yang ditemuinya,
sambil membumbui, hingga sedap kalimat yang sampai di telingaku
ingin memecahkan dada kesabaranku saja.

“Bawa saja, Mas. Aku jadi merasa kita adalah orang yang tidak
mau dibebani oleh saudara.”

“Tapi bukan itu maksudku. Aku hanya ingin mengulur waktu.
Membiarkan Mardi merasa mencintai pekerjaannya, sehingga saat
kubawa ke Jakarta, yang ada di kepalanya hanya pulang.”

“Tapi suara di luar ….”
“Biarkan saja. Kang Yono sedang mabuk. Dia tidak bisa
diharapkan.”
Mungkin hanya istriku dan kedua orangtuaku yang bisa menerima
sudut pandangku. Kang Yono dan tetangga yang lainnya tidak akan
mengerti. Setiap lebaran mereka yang terlanjur pergi mengumbar
kemewahan. Sebenarnya itu tidak masalah bagiku. Pertama, itu bukan
uangku. Kedua, risiko yang ditanggung karena memaksakan diri juga
bukan tanggung jawabku. Ketiga, aku tahu benar bagaimana mereka
sebenarnya di Jakarta itu. Mungkin sebagian memang benar-benar
berhasil, tapi banyak yang pura-pura berhasil.
Aku sudah lupa permintaan Kang Yono. Sampai sebuah pesan
masuk dari Kang Yono. Setengah tahun sudah permintaan yang telah
berulang kali itu menghilang dari telingaku. Dan sekarang Kang Yono
menanyakan apakah Mardi sudah datang ke rumahku?
Sentoloyo! Entah terbuat dari apa hati Kang Yono. Dia bahkan
mengatakan jika Mardi pergi dengan temannya. Teman yang mana?
Generasiku berbeda dengan generasi anaknya, bahkan aku sampai
bingung anak siapa dan siapa namanya. Anak-anak yang dulu kukenal
masih suka berlarian sudah berubah menjadi asing dan dewasa.
Aku pulang dengan muka keruh. Kulontarakan semua uneg-
uneg-ku di meja bersama secangkir teh manis hangat. Istriku hanya
menjawab dengan gelengan kepala. Gelengan kepala yang berarti
bahwa aku harus mencarinya. Mencari Mardi yang hilang ke rimba raya
Jakarta. Bahkan nomor Mardi dan temannya tidak juga tersambung
ketika kucoba untuk menghubunginya.
Waduh, celaka dua belas! Kang Yono, sungguh aku sangat
menyesalkannya. Tapi di mana-mana juga penyesalan tidak lebih

80 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

berguna. Aku harus menunggu. Semoga, ya… semoga Mardi tidak
tersesat.

“Kalau Mardi sampai datang, sesibuk apa pun kamu harus
membawanya ke lapak dagangku!”

“Ya, tenang saja, Mas.”
“Tenang bagaimana?”
Aku meninggalkan istriku dengan perintah. Tanpa mencoba
berselisih, istriku tahu betapa aku sangat khawatir terhadap Mardi. Dia
tahu betapa cerobohnya Kang Yono. Mungkin aku tidak peduli jika
Mardi anak yang suka menjelajah daerah lain. Tapi setahuku Mardi
anak yang polos. Meski kehidupan di desa tidak lebih mudah dari
Jakarta. Tapi di daerah sendiri, dia tahu ke mana mesti berteduh saat
hujan, ke mana bertanya saat bingung, ke mana meminta saat
kekurangan.
Dua tiga hari menjadi satu minggu. Mardi mengabari sendiri
keberadaannya lewat ponselnya. Aku ingin menjemputnya tapi tidak
diperkenankan. “Aku bisa datang, Pak Lik. Temanku mau
mengantarku.”
Kuberi alamatku meski aku tahu dia sudah menyimpan alamatku
dari ayahnya. Kukatakan hati-hati, dan kalau ada apa-apa harus
menghubungiku. Bahkan aku mengiriminya pulsa. Aku tidak mau terjadi
apa pun padanya.
Dia benar datang di sore hari saat lapakku ramai. Datang
bersama istriku dan satu orang temannya. Aku membawanya masuk
dan duduk. Istriku yang menjaga lapakku sekarang. Dia hanya
mengatakan maaf ketika kutanya kenapa baru sekarang datang,
kenapa tidak memberitahu sebelum ke Jakarta, kenapa tidak sabar
menunggu setengah tahun lagi. Lagi-lagi kata bapak keluar dari
mulutnya.
Tidak itu saja, temannya tampak kikuk dan tidak betah. Beberapa
kali dia memberi tanda. Dan benar saja Mardi tidak bisa kutahan,
kecuali hanya satu hari tanpa temannya. Dia pergi lagi ketika dijemput,
berjanji akan pulang besok.
Kang Yono tidak perlu bertanya tentang Mardi lagi, aku yang
mengabarinya terlebih dahulu jika Mardi pergi dan hanya bertahan satu
hari di rumahku. Bahkan oleh-oleh yang sekiranya digunakan untuk
membujukku agar mau menampung, tidak bersisa, Kucoba untuk
menahan agar dia tidak pergi dan tinggal di rumahku saja. Temannya
meyakinkan jika Mardi akan baik-baik saja.
Sehari, dua hari, Mardi tidak muncul. Kuhubungi hapenya tidak
diangkat. Kang Yono kuhubungi, ternyata Mardi tidak betah di rumahku.
Tidak nyaman? Entah kalimat apa itu, aku bahkan bisa menjamin

[Dialog dengan Bulan] 81

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

seratus persen jika Mardi tidak baik-baik saja dengan temannya. Kang
Yono berdebat denganku di hape. Lagi-lagi dia lebih memilih orang lain
daripada aku, saudara sepupunya.

Semua keberatanku atas sikap Kang Yono, Mardi, dan temannya
kutumpahkan. Sampai-sampai hape yang kupegang hampir saja tewas
kubanting.

“Kalau begitu, jemput saja Mardi, atau berikan alamatnya! Aku
tidak peduli apa kata sampeyan, Kang. Ini Jakarta, bukan kampung kita.
Satu hari saja kita tidak keluar rumah semua sudah berubah. Kita akan
bingung. Bagaimana dengan Mardi?”

Aku meminta istriku untuk menjaga lapak. Kudatangi alamat yang
dikirim Kang Yono lewat pesan pendek. Luar biasa! Tidak kutemui satu
orang pun bernama Mardi, dan wajah temannya yang kugambarkan ciri-
cirinya tidak satu pun yang mengenalnya. Itu alamat rumah orang.

Terhenyak! Dua hari kemudian, saat aku sibuk dengan
pelangganku. Istriku datang bersama tiga orang. Satu temannya Mardi,
dua lagi anggota polisi. Mardi benar-benar sudah pulang!

Aku harus menyalahkan siapa? Tidak, aku tidak ingin
menyalahkan Tuhan, tidak juga Kang Yono yang tidak mau mengerti,
tidak juga temannya yang tidak kupercayai. Mardi sudah pulang. Pulang
ke kehidupannya yang tenang. Polisi yang datang menjemputku, dan
aku kehilangan kata-kata.

Kutatap mayat Mardi. Kasihan dia. Kasihan aku, kasihan karena
tidak memaksanya tinggal. Sedang aku lebih dewasa dan tahu Jakarta.
Mardi tidak bersalah, meski pihak berwajib mengatakan Mardi kepergok
mencuri bersama temannya.

Dugaanku pasti benar. Dia dikepung warga, dan tidak tahu mesti
lari ke mana. Dia hanya tahu mesti berlari dan tidak pernah tahu di
Jakarta tidak hanya rejeki yang bisa buntu, tapi gang juga. Dia mencoba
naik ke tembok warga dan jatuh, serta dipukuli sampai habis. Sampai
habis nyawa dan air matanya. Tapi tidak dengan air mata dan
penyesalanku. Dia tidak akan pernah habis. Mungkin sampai akhir
hidupku.

Mardi sudah pulang, dia tak perlu lagi ke Jakarta.

***

82 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Profil Penulis:

Nurlaeli Umar, seorang penulis pemula
email [email protected]
Alamat:
Nurlaeli Umar
Jl. Fajar Baru 3 No.19
Rt/Rw: 003/08
Cengkareng-Jakbar 11730
Nomer HP 08991053962

[Dialog dengan Bulan] 83

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

JELMAAN ALAM

---
Titin Ilfam Mustofa

---

Kabut semakin tebal menghalangi pandanganku, udara dingin
semakin menusuk tulangku. Kukuatkan kakiku melangkah menyusuri
jalan yang kini sudah beraspal, yang kuingat dulu jalan ini penuh
dengan batu-batu. Sudah banyak yang berubah dari desaku di samping
jalan tak lagi ada pohon yang rimbun. Aku berjalan menuju rumah
Rahman.

Tapi banyak yang berubah rumah-rumah sudah banyak yang
baru, aku bingung letak rumah Rahman yang seingatku dulu ada pohon
cermenya, aku biasa duduk memanjat untuk mengambil buahnya yang
ranum, aku merindukan semua itu. Tapi aku masih bertanya-tanya
kenapa desa ini begitu berubah padahal hanya sebentar aku
meninggalkannya.

Kini perutku sedang berdangdutan, rasa lapar menyerangku. Aku
masih melihat di sekitarku mencari warung makan tapi lagi-lagi kabut ini
menghalangiku, tidak tahu persis saat ini pukul berapa. Dari belakang
ada seorang penjual nasi uduk dengan membawa sepeda.

“Nasi uduk, Mas.”
“Ya, Mbok, satu.”
“Sepertinya wajah Mas ini tidak asing.”
“Tentu, saya kan warga Tegalrejo asli, Mbok.”
“Namanya siapa? Kok saya tidak tahu?”

84 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

“Ruslan.Oh ya, Mbok, rumah Rahman sebelah mana ya?”
“Rahman suaminya Ndari, di ujung sana yang banyak bunganya.”
“Suaminya Ndari, kapan dia menikah?”
“Piye toh, ya sudah lama sudah punya anak satu.”
Selesai Mbok membungkus nasi uduk aku merogoh sakuku. Aku
masih ingat aku membawa uang seribu waktu berburu dan belum
kugunakan.
“Berapa Mbok?”
“Empat ribu.” Aku kaget kenapa mahal sekali. Dari mana kudapat
uang sebanyak itu.
“Mbok tidak salah? Tapi uangku cuma ada ini.”
“Salah bagaimana... ya tidak, ini uang tahun berapa sekarang
sudah tidak laku, Mas. Ya sudah kamu kan warga Tegalrejo kapan-
kapan pasti bertemu.”
Mbok meninggalkanku dengan masih meninggalkan segudang
pertanyaan, aku duduk menikmati nasi uduk. Mungkin hari ini masih
pagi karena ada orang keliling jual sarapan.Tak lama aku melanjutkan
perjalanan, kali ini kabut mulai menghilang dan banyak orang-orang
yang berangkat ke sawah. Salah satu di antara mereka ada yang
menatapku dengan tajam kemudian memelukku.
“Ruslan, kamu kembali juga.”
“Maaf, bapak siapa?”
“Ah, kamu masih muda Ruslan, aku Joko temanmu.”
“Joko? Kenapa kau setua ini?”
“Memang sudah saatnya tua, Rus, kamu yang aneh kenapa bisa
awet muda seperti ini?”
“Bisakah kau antar aku ke rumah Rahman? Kita cerita nanti di
sana.”
“Pasti kawan, ayo!”
Sebenarnya aku ingin langsung ketemu dengan ibu, tapi aku
ingin mengajak Rahman untuk menjelaskan kenapa aku tidak pamit,
jalan ini sekarang beraspal tak ada lagi bebatuan yang sering menyakiti
kaki ketika kaki telanjang. Rumah Rahman sudah dekat banyak bunga
di depan rumahnya tapi tak kulihat pohon cerme. Sejak kapan Rahman
menyukai bunga, sungguh semua telah berubah.
“Kita sudah sampai, nanti kita bertemu lagi. Sekarang aku tinggal
dulu ke sawah, tidak enak jika terlambat karena aku hanya buruh, Rus.”
Joko menepuk pundakku dan berlalu. Kuketuk pintu Rahman dengan
ragu, rumah ini sekarang besar tak seperti dulu. Tak lama pintu terbuka
seorang lelaki paro baya muncul dari balik pintu ketika dia melihatku
langsug dia memelukku dengan erat, apa dia Rahman.

[Dialog dengan Bulan] 85

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

“Ruslan. Kaukah ini? Kau begitu awet muda setelah menghilang
tak kasih kabar. Ayo kita masuk, kukenalkan pada istri dan anakku.”

Aku bagai kerbau yang dicocok hidungnya aku hanya menurut
mengikuti Ruslan, seorang ibu dan anak duduk di meja makan. Sejak
kapan Rahman berkeluarga, kenapa dia tidak mengundangku.

“Ruslan, aku istri Rahman apa kau masih ingat denganku?” aku
pasti ingat dia Ndari wanita yang diidam-idamkan Rahman dari dulu
karena kealimannya, garis kecantikannya tak pudar.

“Ceritakan pengalamanmu Rus! Apa resep awet mudamu?”
Rahman untuk kesekian kalinya menepuk pundakku, aku masih
tidak mengerti dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan oleh
Rahman. Setahuku aku berpisah dengannya hanya beberapa hari tapi
kenapa Rahman sudah setua ini, pasti ada sesuatu yang ganjil dengan
semua ini.
“Man, aku pulang dulu, nanti kita cerita lagi. Antar aku pulang
kusudah kangen dengan ibu, Man.”
“Tabahkan hatimu, Rus, ibumu sudah tiada. Bagaimana kalau
kita ke makamnya sekarang.” Aku terpaku, Rahman mengambil peci
hitamnya dan mengenakannya, aku mengikuti Rahman tanpa kata.
Aku berhadapan dengan gundukan tanah yang di dalamnya
terdapat ibu tercintaku. Semoga Allah mengampuni segala dosa ibu dan
menerima semua amal ibu. Aku tercengang melihat tahun meninggal
ibu yang tertulis di batu nisan, tahun 2015 padahal seingatku saat aku
pergi tahun 1995, berjuta pertanyaan bertarung dalam kepalaku.
Makam ibu terlihat bersih. Pasti Rahman yang telah merawatnya.
“Bagaimana dengan rumahku, Man?”
“Aku dan Ndari selalu merawat rumahmu. Sejak kau pergi ibumu
jatuh sakit, aku berusaha mencarimu sampai dengan bantuan dukun
tapi mereka bilang kau akan pulang dengan sendirinya. Ibu sempat
sehat dan hidup normal tapi ibu tak dapat melupakanmu begitu saja.
Diam-diam ibu tetap memikirkanmu dan kembali jatuh sakit.”
“Antarkan aku pulang, Man!” Kataku datar, kami beranjak
meninggalkan makam ibu tapi doaku selalu terlantun untuk ibu. Betapa
aku merindukan ibu. Sepanjang perjalanan air mata ini berlinang,
Rahman berusaha menguatkanku.
Rumahku terlihat paling tua namun tetap rapi, pasti Rahman
merawatnya dengan baik. Isi rumah masih tetap seperti yang dulu,
kamarku tetap terawat dan masih terletak foto Ningsih di meja pojok
kamarku, gambarnya buram tak lagi bisa dilihat dengan jelas.
“Man, bagaimana kabar Ningsih?”
“Dia menikah dengan Joko, tapi belum dikaruniai anak.”

86 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Aku terpukul tapi bagaimanapun kau mengerti pasti Ningsih tidak
bisa menungguku yang tidak jelas kabar beritanya, tapi aku tetap
mencintainya.

“Rus, sekarang kamu harus menceritakan pengalamanmu
selama dua puluh tahun kamu menghilang! Apa yang kamu lakukan
selama itu?”

“Kau masih ingat saat kita berburu ke hutan?” Rahman
mengangguk dan aku mulai bercerita.

***

Hutan yang lebat penuh dengan pohon-pohon yang hijau, hewan-
hewan masih berkeliaran dengan bebas. Suara burung-burung sangat
merdu. Aku bersama Ruslan baru pulang dari sekolah selesai makan.
Kami selalu punya kegiatan rutin, berburu kelinci. Ruslan pemburu yang
handal. Tak jarang dia selalu mendapat buruan lebih dulu.

Rahman telah mendapat buruannya, sementara aku masih sibuk
mengejar buruanku, hewan itu berlari kencang. Aku hampir kehilangan
jejaknya namun mataku ini sudah biasa dengan mencari jejak, hewan
lincah itu masuk ke semak-semak aku mengendap-endap seekor lalat
hinggap di telinggaku, membuyarkan konsentrasiku. Sungguh hewan
yang lincah tiba-tiba lenyap dari pandanganku. Terus kutelusuri tapi aku
tertegun melihat pohon di depanku, sepertinya baru pertama aku
melihatnya. Aku mendekat terfokus dengan lubang yang ada di batang
pohon itu, aku menyentuhnya.

Tiba-tiba aku berada di tempat yang asing, bahkan tak pernah
kubayangkan sebelumnya, sebuah istana yang megah, bagus, tapi
sepertinya bangunannya sudah tua. Tempatnya sepi tiada penghuni.
Kulangkahkan kaki memasuki istana, belum sempat kubuka, pintu
terbuka dengan sendirinya. Seorang gadis menuntunku.

“Selamat datang di Kerajaan kami.”
“Kerajaan apa ini?”
“Nanti kau akan mengetahuinya, sekarang kau ikutlah aku
menemui rajaku. Raja menunggu kehadiranmu, kami butuh
pertolonganmu, anak muda.”
Sepertinya istana ini sangat sejuk tapi ada yang aneh. Kesejukan
itu tak dapat terpantul seakan ada sesuatu yang mengakibatkan semua
ini terjadi. Aku masih mencari jawaban untuk itu, sementara gadis ini
terus melangkahkahkan kaki dan aku mengikutinya. Kenapa juga istana
semegah ini begitu sepi tiada banyak penghuni. Aku bersabar untuk
tidak bertanya apa-apa pada gadis ini.

[Dialog dengan Bulan] 87

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

“Wajahmu begitu banyak tanya, bersabarlah semua ‘kan terjawab
jika bertemu dengan raja.”

“Kamu tahu apa yang aku pikirkan, tapi aku akan bersabar
menanti jawabannya.”

Dia tersenyum indah, aku teringat senyum Ningsih. Kelinci itu
gagal kudapatkan untuk dia. Ningsih begitu menyukai kelinci apalagi itu
pembirian dari hasilku berburu asal aku tidak melukainya. Senyumku
tiba-tiba membias karena teringat Ningsih, gadis itu melirikku.

“Namaku Seruni, kamu teringat kekasihmu?”
“Ya, aku tadi ingin menangkap kelinci untuknya.”
“Ruslan, kelinci itu akan lebih senang hidup di alamnya, dari pada
dalam pangkuan kekasihmu.”
“Kau tahu namaku?”
Seruni diam tak menjawab, langkah kakinya diperlambat. Dua
orang berpakaian seperti prajurit memberi hormat pada Seruni seraya
membukakan pintu sebuah kamar. Seorang wanita separo baya sedang
menunggui suaminya terbaring tak berdaya, sebuah kamar yang megah
dengan ranjang berukir terbuat dari kayu yang begitu apik. Seruni
mengajakku mendekat.
“Ayah, Seruni datang dengan Ruslan.”
“Ayah sudah lama menunggunya.”
“Ruslan ini ayahku, ayah sedang sakit dan ingin meminta
pertolonganmu, ayah masih berharap bisa sembuh. Ayah masih ingin
memimpin kerajaan ini.”
“Kenapa harus aku? Raja sakit apa? Aku tidak bisa apa-apa.”
“Banyak hal yang tidak kau ketahui Ruslan. Kamu suka berburu k
hutan, menangkap kelinci untuk kekasihmu.”
“Apa salah dengan yang kulakukan itu?”
“Salah.. tapi kamu masih tiada apa-apanya dari pada kesalahan
orang-orang selain kamu yang menyebabkan aku sakit seperti ini.
Manusia memang hanya ingin kesenangannya tanpa mengindahkan
kepentingan alam yang juga harus diperhatikan, mereka menebang
pohon dengan liar.”
Seorang prajurit memberi hormat lalu berkata, “manusia tidak lagi
mau menanam pohon, namun mereka selalu menebang pohon yang
telah dewasa, hingga hutan menjadi gundul, dan akibatnya semua air
hujan menjadi banjir karena tak dapat lagi diserap oleh akar-akar
pohon, dengan mengendap-endap dimalam hari agar tidak diketahui,
tanpa mereka sadari dengan menebang pohon-pohon itu dia
menghancurkan hidupnya sendiri. Lihatlah banyak korban manusia
terseret banjir itu juga karena penebangan pohon liar.”

88 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

“Apa yang bisa kulakukan?”
“Ingatkan mereka, Ruslan!” raja tak melanjutkan kata-katanya,
Seruni mulai menerangkan
“Ayahku ini sudah tua sekali Ruslan, sekarang dia sakit dan
susah untuk disembuhkan. Itu tak lain karena ulah manusia yang
menghancurkan alam. Ayah masih menyayangi manusia yang masih
membutuhkan alam. Maka ayah masih bertahan untuk hidup, ayah akan
sembuh jika ada penghijauan kembali hutan-hutan yang telah rusak.”
“Lihatlah istana kami yang begitu luas namun tiada berpenghuni,
satu persatu mereka mati mengenaskan, kini tiba giliranku untuk
menunggu kematianku dalam istana yang menyeramkan ini. Namun
aku berharap padamu, Ruslan, agar mau membantu kami yang tak
berdaya lagi menghadapi kekejaman manusia.”
Aku terbayang setiap hari ada pohon yang hilang dari hutan,
hingga hutan tak lagi rimbun maka tiada lagi binatang-binatang
menghuni, yang ada hanya kelinci putih, dan betapa teganya aku masih
ingin menangkap kelinci mungil itu. Aku dan manusia lainnya memang
hanya memikirkan diri sendiri tanpa mau memahami lingkungan dan
alam yang telah banyak memberi kekayaannya pada kita.
“Pesan kami harus kau sampaikan pada kaummu, jangan lagi
menyakiti kami, karena jika kami mulai tak mau lagi bersahabat dengan
manusia, mala petaka akan datang menimpa manusia yang egois.”
“Maafkan kami manusia yang sudah berbuat salah pada alam,
akan kusampaikan pesan ini, lalu bagaimana aku harus keluar dari
tempat ini?”
“Kau harus melihat kondisi Kerajaan Erutan ini terlebih dahulu.”
Aku hanya menurut, tempat yang sepi redup waktu senja yang
tak jua berujung malam. Aku memasuki tempat dengan sungai
tercemar, gunung yang terkikis habis, hutan yang gundul, laut yang
semakin sedikit tumbu karangnya, pemandangan yang menyedihkan.
Aku tak dapat menahan air mataku. Menangis untuk alam.
“Sekarang pejamkan matamu, terima kasih untuk kesediaanmu
mengunjungi Kerajaan Erutan ini, aku barharap ayahku secepatnya
akan sembuh lantaran bantuanmu.”
“Sama-sama Seruni, aku yang berhutang banyak pada Kerajaan
Erutan, pengalaman yang sungguh berharga selama hidupku. Apa aku
tak perlu mengucapkan kata pamit dan terima kasih pada raja?”
“Tak usah, ayah sudah menyuruhku untuk mengembalikan kau
pada duniamu. Mereka sangat merindukanmu. Jangan kaget jika ada
yang ganjil sepulangmu dari sini.”
“Sebelum pergi bolehkan aku mengutarakan satu pertanyaan?”
“Mengapa tidak?”

[Dialog dengan Bulan] 89

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

“Mengapa hanya ada waktu senja di sini?”
“Itu mengambarkan alam ini yang telah memasuki usia senja, tak
lama malam akan menjelma, sudahlah pejamkan matamu Ruslan.”
Aku memejamkan mata, tak lama setelah kubuka mata aku telah
berada di jalan yang berkabut.

***

Rahman menganggukkan kepalanya menghayati cerita demi
cerita, lalu menepuk bahuku, kebiasaan Rahman memang tak berubah.

“Kamu beruntung, Rus, kamu manusia pilihan alam. Kamu
cermati kata E.R.U.T.A.N yang menjadi nama kerajaan itu. Jika di balik
maka N.A.T.U.R.E yang berarti alam, itu memang simbol alam kita.
Raja yang sakit mengambarkan alam kita yang telah di ujung kerusakan
akibat ulah tangan manusia, Rus. Kita harus mencintai alam yang telah
begitu menyayangi kita.”

“Kamu masih pintar seperti dulu tentang analisis seperti itu, Man.”
“Ah, biasa saja. Kau selalu saja memujiku. Sekarang ayo kita
pulang ke rumahku, pasti kamu lapar.”
“Aku ingin bertemu Ningsih, Man, bagaimana rupa dia sekarang.”
“Itu nanti saja, yang penting kamu istirahat dulu, renungkan
kejadian yang menimpamu, jalankan amanahmu, Rus.”
Aku menuruti kata-kata Rahman, kembali kututup ruah tuaku, dari
mana aku memulai menyeru pada manusia tentang pengalamanku,
bagaimana aku mengajak mereka untuk lebih menghargai
lingkungannya.
Malam telah tampak rembulan menyinarkan sinarnya dengan
anggun, sepoi angin memeluk tubuhku. Aku akan memulai semuanya
mulai dari saat ini, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal terkecil. Aku
yakin semuanya akan dapat berjalan.

Pada pohon kuseru
Lebatkan daunmu, perkuat akarmu
Agar manusia tak dapat mengusikmu
Pada laut kuseru
Ganaslah ombakmu
Agar manusia tak menjamahmu

***

90 [Komunitas Negeri Kertas]

Antologi Puisi dan Cerpen Komunitas Negeri Kertas

Profil Penulis:

Titin Ilfam Mustofa
Pendiri Ilfam Pondok Baca dan sebagai guru di KBTKIT Asy-Syifa
Surabaya
Tinggal di Ayocintaisastra.com

[Dialog dengan Bulan] 91


Click to View FlipBook Version