The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Bak Dongeng Bersuara merupakan buku kumpulan cerpen yang terinspirasi dari sebuah lagu berjudul "Like The Movies" yang dipopulerkan oleh Laufey.

Ditulis oleh: Aisyah Mita Zesthiara, Candras Suryo Kusmiradamayanti Putri, Khairana Mahdiyah, dan Niki Dwi Safitri.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by nikidwisafitri, 2022-12-25 21:07:36

Bak Dongeng Bersuara - Kumpulan Cerpen

Bak Dongeng Bersuara merupakan buku kumpulan cerpen yang terinspirasi dari sebuah lagu berjudul "Like The Movies" yang dipopulerkan oleh Laufey.

Ditulis oleh: Aisyah Mita Zesthiara, Candras Suryo Kusmiradamayanti Putri, Khairana Mahdiyah, dan Niki Dwi Safitri.

Keywords: Kumpulan Cerpen,Bak Dongeng Bersuara,Like The Movies,Laufey

1


Bak Dongeng Bersuara

© Aisyah Mita Zesthiara, Candras Suryo Kusmiradamayanti Putri,
Khairana Mahdiyah, Niki Dwi Safitri
KPG 51 19 02715
Cetakan Pertama, Desember 2022
Penyunting
Aisyah Mita Zesthiara
Khairana Mahdiyah
Niki Dwi Safitri
Ilustrasi dan Desain Sampul
Aisyah Mita Zesthiara
Tata Letak Isi
Aisyah Mita Zesthiara
Candras Suryo Kusmiradamayanti Putri
Khairana Mahdiyah
Niki Dwi Safitri
viii + 100 hlm; 13,5 cm x 20 cm
ISBN: 978-602-7082-405-8
Dicetak oleh mediakita, Jakarta.
Jl. H. Montong 57, Ciganjur
Jakarta 12630.
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

2


Prolog

Manusia bukanlah tempat untuk pulang. Apa yang kau harap
dari sosok itu? Bak rumah tempat untuk kembali? Bak dongeng yang
memperlihatkan kisah indah yang tak nyata? Ingin yang sempurna,
seseorang yang tak cacat. Yang mendengar harapan dan
kekhawatiran. Memberikan belas kasih yang tiada habis. Sampai lupa
bahwa sosok itu adalah dinamis. Tidak akan mudah dalam
membangun rumah dalam bentuk wujud insan yang hidup. Tidak
seperti layaknya cerita dongeng yang dibacakan oleh ibu sebelum
tidur. Tidak seperti layaknya cerita kasih romansa yang berakhir
membentuk keluarga yang hangat. Itu hanyalah harapan, itu
hanyalah asa yang tak berujung, yang tak bisa kau tancapkan dalam
sosok yang hidup.

Seperti yang tertuang dalam setiap rinci lirik pada lagu Like the Movies
milik Laufey, yang dijadikan sebagai salah satu inspirasi kumpulan
cerpen ini diciptakan.

Laufey – Like the Movies

Maybe one day I'll fall in a bookstore
Into the arms of a guy

We'll sneak into bars and gaze at the stars
Surrounded by fireflies

Mungkin suatu hari nanti aku akan jatuh di sebuah took buku
Dan ditangkap oleh seorang pria

Kita akan menyelinap ke sebuah bar dan menatap bintang-bintang
Dikelilingi oleh kunang-kunang

Oh, I'd like to sleep in till two on a Sunday
And listen to the bluebirds sigh

Get soaked in the rain and smile through the pain
Slow dance under stormy skies

Oh, aku ingin tidur sampai jam 2 di hari Minggu
Dan mendengarkan desahan burung biru

Basah kuyup oleh hujan dan tersenyum dalam luka
Menari pelan di bawah langit penuh badai

3


Maybe I'm just old fashioned
Read too many fairy tales

It's no wonder I've had no luck, no one's ever good enough
I want a love like I've seen in the movies
That's why I'll never fall in love
Mungkin aku saja yang kuno
Terlalu banyak membaca dongeng

Tidak heran kalau aku tidak beruntung, tak seorang pun yang cukup baik
Aku menginginkan cinta seperti yang kulihat di dalam film
Itulah mengapa aku tidak pernah jatuh cinta
Oh, maybe I'm just old fashioned
Read too many fairy tales

It's no wonder I've had no luck, no one's ever good enough
I want a love like I've seen in the movies
That's why I'll never fall in love
Oh, mungkin aku saja yang kuno
Terlalu banyak membaca dongeng

Tidak heran kalau aku tidak beruntung, tak seorang pun yang cukup baik
Aku menginginkan cinta seperti yang kulihat di dalam film
Itulah mengapa aku tidak pernah jatuh cinta

4


5


6


YANG MENGHILANG TANPA PULANG
(Ditulis oleh: Aisyah Mita Z)

Mengenai cinta tanpa luka, sungguh aku tidak percaya. Mengenai luka
tanpa duka, hanya sebuah kalimat fana. Dan mengenai sesuatu yang hadir tanpa
pergi, hanya sebatas kata puisi. Begitulah kalimat yang aku kirim dihalaman
sosial mediaku hari ini. Mungkin hari ini dan besok aku membuat para
pengikutku terasa menyakitkan dengan kalimat tersebut, atau mungkin
bagi mereka aku sedang berada dititik sedih akan hal cinta atau
semacamnya. Aku jelas bisa menyangkal hal tersebut, hanya karena suatu
hal yang terlihat melalui dunia maya, mereka bisa menilai kondisiku saat
itu juga. Ribet dan lelah yang berujung payah jika menjadi manusia perasa.
Terutama perasa cinta.

“Haha. Cinta?” jelasku saat membaca komentar atau tanggapan mereka
mengenai hal yang ku posting barusan.

Sejujurnya aku tidak mempercayai mengenai hal tentang cinta.
Karena bagiku sendiri, cinta hanyalah rasa yang hadir sesaat namun
meninggalkan bekas yang begitu keramat. Bagaimana bisa seseorang jatuh
cinta, hanya karena dia melihat lawan jenis yang menatapnya dengan
kedua mata. Omong kosong bagiku kalau kita berbicara tentang cinta, cinta
yang indah hanya berlaku untuk kisah dongeng ratu dengan raja yang
bertemu di istana lalu menikah dan memiliki anak. Jika kisahku
semenyenangkan dongeng kerajaan, jelas indah untuk dijalankan, namun
kisahku sepahit dan sesulit novel fiksi yang endingnya hanya ditentukan
oleh penulis dan skenarionya ditentukan oleh tokoh utama, lalu tokoh
utama hanya merasakan hampa dari berbagai sisi selama jalan cerita itu,
sehingga kisahnya tidak terlihat menarik dimata pembaca. Ya, seperti
itulah aku dan sekilas hidupku, bayangkan saja, sudah pasti
membosankan.

Hari itu toko buku di daerah kota yang kukunjungi sangat ramai,
sehingga banyak orang yang lalu lalang untuk mencari buku. Setelah
membaca sedikit tanggapan dan komentar orang-orang di sosial mediaku,
aku langsung memasukan handphone ke dalam tas. Segera aku beranjak ke
rak buku yang ingin aku cari, aku sudah mempersiapkan dari rumah
mengenai buku apa yang aku cari.

Barisan rak pertama setelah ku jelajahi tidak ada, barisan rak kedua
juga tidak ada, barisan rak ketiga di bagian tengah telah kutemui buku itu,
buku kumpulan cerita pendek karangan Aisyah Mita Z yang berjudul
Ekspektasi yang Begitu Sepi.

7


“DIAM DITEMPAT SEMUA!!” suara teriakan yang entah dari mana
arahnya dan juga berhasil memberhentikan pergelanganku dalam
mengambil buku.

***

Orang bodoh mana lagi yang harus Kayana temui hari ini.
Bayangkan saja ada seseorang yang teriak dengan lantang di dalam toko
buku yang dia kunjungi saat itu. Keributan atau kekacauan apa yang
sedang terjadi di depan sana tentu Kayana tidak peduli, yang dia pikirkan
hanya tujuan utamanya, adalah mencari buku yang akan yang akan dibeli.
Lanjutkanlah kegiatannya dengan mengambil buku tersebut, lalu dibaca
sinopsis singkat isi buku itu yang terletak pada bagian belakang buku.

“Ekspektasimu itu mampu menghancurkan seisi yang telah lengkap
menjadi…”

“Polisi bodoh.”

Suara Kayana terhenti karena tiba-tiba ada seorang pria di sebelahnya
dengan berbicara sedikit berbisik entah dengan siapa. Karena merasa
bingung, Kayana melihat sisi kanannya dan sisi kiri pria untuk memastikan
siapa tau ada orang disebelahnya. Nihil, tidak ada siapapun di sekitarnya.
Tidak peduli dengan apa yang dilakukan pria itu, Kayana melanjutkan
kegiatannya, karena menurutnya selagi tidak mengganggu tidak menjadi
masalah.

“Mencar, dalam waktu singkat jika tidak ditemukan disini, kita langsung
pergi.” Suara dari seseorang yang diyakini adalah orang yang sama dengan
orang yang berteriak tiba-tiba tadi. Setelah suara itu menghilang, tiba-tiba
pria aneh itu menghadap ke arah Kayana, yang membuat Kayana terkejut
dan spontan mengarahkan pandangannya ke pria itu. Anggap saja adegan
ini seperti cerita romansa anak SMA ketika bertemu dengan ketua osis yang
disukai banyak orang. Saling pandanglah mereka hingga beberapa detik
kemudian laki-laki berseragam coklat atau biasa yang disebut dengan polisi
datang. Polisi itu bertanya dengan tangan memegang revolver yang
berhasil mengalihkan pandangan Kayana.

“Nona, apakah anda melihat pria aneh di sekitar sini atau lewat sini?” tanya
polisi itu.

Setelah menyimak pertanyaan dari polisi, Kayana mengarahkan
pandangannya lagi ke pria yang ada di hadapannya lalu menjawab
“Tidak.”,”Saya tidak melihatnya, kemungkinan tidak berjalan ke arah sini.”
Lanjut Kayana.

8


“Anda yakin nona?”

“Ya, karena hanya saya dan abang saya yang dari tadi disini.”,”Ini buku
kamu yang tadi kamu cari kak.” Kayana langsung mengarahkan tangannya
untuk memberikan buku yang tadi dia baca ke pria asing itu.

Setelah mendapatkan jawaban dari Kayana, polisi tersebut langsung
bergegas pergi. Dan Kayana menghadap balik ke rak buku dan mengambil
buku yang sama pada baris selanjutnya.

“Terima kasih.” Ucap pria itu.

“Tidak usah berterima kasih, saya tidak menolong buronan, saya hanya
malas berurusan dengan polisi.” Tanggapan singkat dari Kayana atas kata
terima kasih dari pria itu.

Pria tersebut tertawa dengan pelan setelah mendengar tanggapan Kayana.
Mungkin lelucon baginya, tapi menurut Kayana itu tidak lucu,
perkataannya serius. Kayana hanya menolongnya karena dia malas
menjadi saksi saat buronan yang bersama dirinya itu ditemukan polisi
sedang bersamanya.

“Buronan ya? Oke Deh kalo gitu, boleh titip ini sebentar?” tanya pria itu
sambil memberikan liontin dengan hiasan bunga kamomil pada seluruh
bagiannya.

“Saya tidak menerima imbalan.” Jawab Kayana.

“gue nitip, bukan ngasih.”

Ucapan barusan dari pria itu membuat Kayana malu setengah mati.
Namun, Kayana tidak menerima langsung liontin tersebut. Karena
menurutnya, untuk apa dia menerima barang dari orang asing, terlebih pria
tersebut adalah orang asing.

“Atas dasar apa saya harus menerimanya?” tanya Kayana untuk
memastikan.

“Gue nitip sebentar, nanti gue ambil kalo kita ketemu.” Jawab pria itu, dan
lalu bergegas pergi meninggalkannya dengan sedikit berlari.

Ya, begitu pertemuan singkat Kayana dengan pria asing yang
menitipkan liontin miliknya, seperti terhipnotis dengan cepat karena
Kayana dengan mudahnya menerima tanpa meminta kejelasan secara
pasti.

***

9


Dikamarnya atau pada tepatnya, berada di meja belajar Kayana
sekarang, masih dengan 1000 pertanyaan mengenai pertemuan singkatnya
tadi dengan pria asing yang berada di toko buku pada siang hari tadi.
Kayana ingin mengutuk dirinya karena dia telah menerima liontin itu
tanpa berpikir panjang. Bagaimana bisa dia menerima tanpa mengetahui
dimana dia akan bertemu selanjutnya, atau kontak yang bisa dihubungi
untuk memberikan liontin itu.

“Bodoh, Kayana bodoh.” Seperti itulah umpatan Kayana untuk dirinya
sendiri.

Semakin dipikirin maka semakin rumit, Kayana bagaikan ratu
kerajaan yang diberikan tugas untuk mencari pangeran yang menjadi cinta
sejatinya dengan berbekal satu panah yang pernah digunakan oleh
pangeran itu. Sejujurnya, Kayana bisa saja membuangnya atau bahkan
tidak perlu merepotkan diri untuk memberikannya lagi kepada
pemiliknya, karena hubungan dua insan manusia itu hanyalah orang asing.
Namun, Kayana tidak mau melakukan itu, pikirnya bisa jadi ini pemberian
tuhan untuk menjadikannya orang baik.

Diperhatikan liontin perak berbentuk persegi panjang seperti buku
lalu dihiasi motif bunga kamomil dengan ukuran kurang lebih 29mm x
29mm. Namun setelah Kayana balik liontin itu terdapat ukiran satu kata.

“Bunda..?” benar, ukiran tersebut tercetak jelas dengan kata bunda.

Orang umum juga paham apa itu bunda. Makin dibuat pusing
Kayana dengan liontin itu, karena bisa dia yakini, liontin ini bukan semata
milik pria itu, melainkan atau bisa jadi, liontin tersebut dimiliki orang
terdekatnya. Dari bentuk liontinnya Kayana juga meyakini bahwa liontin
ini berisi sesuatu atau umumnya adalah sebuah foto. Kayana tau akan hal
itu karena dia seorang perempuan, makanya dia paham sedikit mengenai
aksesoris.

“Kalo gue buka sopan ga ya?” tanya Kayana terhadap dirinya. Kalo boleh
jujur, dia sangat penasaran dengan isi dari liontin ini.

Namun hal itu tidak dia lakukan, karena bagaimanapun liontin
tersebut bukan miliknya, dia hanya diamanahkan untuk menjaganya
sampai pemiliknya yang buka dengan sendirinya. Karena takut liontin kecil
itu hilang, Kayana gabungkan dengan kalung miliknya.

Tidak mau semakin panjang hal rumit yang ada di kepalanya,
Kayana lanjut untuk beristirahat dan berharap akan ada keajaiban esok hari
dengan bertemu pria asing tersebut agar benda keramat itu bisa kembali ke
tangan pemiliknya.

10


***

Kegiatan istirahat yang seharusnya dilakukan Kayana setelah
pulang dari kampus harus terlewati karena kegiatan barunya adalah pergi
ke toko buku yang dia datangi tempo hari lalu. Bayangkan 3 hari Kayana
bolak-balik kesini, menunggu hampir 2 jam setiap harinya, namun tidak
membuahkan hasil apapun. Pikirannya semakin kacau sehingga
menimbulkan banyak pertanyaan yang terbayangkan olehnya, apa
mungkin pria itu sudah tertangkap? Atau bahkan sudah mati? Kejahatan
apa yang dia lakukan sampai dia ditembak mati? Lalu bagaimana dengan
kalung ini? Kalau ini barang bukti kejahatannya bagaimana?. Terus
berputar hal itu di kepalanya. Benar-benar sudah dikutuk Kayana karena
liontin yang sedang dia pakai itu.

“Brengsek, kalo mau buat hidup gue rumit bilang, dari awal gue buang aja
ga usah gue simpen.” Gerutu Kayana terhadap dirinya sendiri karena
emosi yang melanda.

Sudah merasa bosan dengan tempat yang dia datangi sampai 3 hari
itu, Kayana langsung mengambil handphone nya untuk memesan ojek
online dengan tujuan pulang kerumah.

***

“Terima kasih pak” ucap Kayana setelah turun dari ojek online. Kayana
langsung masuk pekarangan rumahnya, sebelum membuka pintu utama,
dia harus membuka gerbangnya terlebih dahulu, namun ketika dia ingin
membuka gerbang tersebut ada satu benda yang menarik perhatian
Kayana. Sebuah kertas dengan isi yang ditulis memakai pulpen berwarna
biru. Kertas itu berada diantara selipan kerangka gerbang. Diambil kertas
itu, dan Kayana baca.

“Maaf udah buat lo nunggu,

tolong temuin gue besok di taman yang ga jauh dari toko buku,

datang di jam biasa lo nunggu gue di toko buku.”

-tertanda pemilik liontin yang kata lo brengsek itu-

Begitulah isi dari kertas itu. Entah ini hal bodoh apalagi yang harus
Kayana akan jalankan di hari esok. Namun Kayana cukup senang karena
pria tersebut akan bertemu dengannya, ya anggap saja Kayana tidak perlu
repot lagi untuk menyimpan liontin ini.

11


“Kok dia bisa tahu rumah gue? Bodo Deh, yang penting ni liontin ga bakal
ganggu tidur sore gue lagi.” Ucap Kayana dan segera bergegas masuk ke
dalam rumah.

***

Keesokan harinya, sehabis pulang dari Kampus, Kayana segera
bergegas ke taman yang sudah menjadi jadwal perjanjiannya dengan pria
asing itu. Setelah sampai di taman, mata Kayana mengelilingi wilayah
sekitar untuk mencari objek yang dia tuju. Dan ya, pria yang berbalut
hoodie berwarna hitam lengkap dengan tudungnya sudah pasti orang yang
dia maksud.

“Eh buronan…” panggil Kayana

“Sopan dikit, gue punya nama.” Jawab pria itu.

Tidak menanggapi ucapan pria itu, Kayana langsung mengambil posisi
duduk disebelahnya.

Hening sesaat karena mereka berdua tidak ada yang memulai
pembicaraan. Bahkan Kayana yang dari kampus mempunyai niat untuk
menendang tulang kering pria itu tidak terlaksana malah memandang
rerumputan liar dihadapannya.

“Makasih udah dijaga, gue ga ekspektasi lo bakal simpen liontin bunda.”
Kata pria itu dan langsung menghadap ke arah Kayana. Begitupun Kayana
yang ikut memandang pria itu.

“Boleh gue pinjem sebentar?”

“Gak usah pinjem, ini emang punya lo.” Jawab Kayana sambil memberikan
kalung beserta liontin yang dia pakai.

“Kayaknya udah jadi milik lo, udah ada kalungnya.”, dibukanya liontin itu,
dan benar saja dugaan Kayana, liontin tersebut berisikan sebuah foto
seorang wanita, cantik, mungkin bisa menjadi kata untuk
mendeskripsikannya.

“Ini bunda, Bunda Lalitha Tiara sebagai nama lengkapnya. Cantik, sangat
cantik. Dia selalu panggil gue abang walau gue anak tunggal. Bunda suka
buah anggur, katanya anggur untuk berat 1 kg isinya banyak. Bunda juga
suka masak walau kadang sedikit asin, katanya sengaja, biar gue punya
ayah baru. Bunda alergi dingin. Dan bunda selalu bilang sayang ke gue
hampir tiga kali sebelum gue tidur. Bunda pernah janji ke gue, kalo gue
juara futsal hari itu, dia bakal masakin indomie soto dua bungkus lengkap
dengan kornet dan juga keju parut. Futsalnya menang, dianya ga ada. Dan

12


janjinya belum terlaksana sampai sekarang. Coba waktu itu gue ga ikut
lomba, mungkin bunda ga akan disentuh sampai mati sama orang-orang
ga ada adab. Bahkan kata ga ada adab masih terlalu bagus untuk orang itu.
Persetanan dia bilang ga sadar atau mabuk.” Ucap pria itu dengan air mata
yang tidak bisa dia tahan. Sejujurnya Kayana sudah tau kasus apa yang
terjadi dengan dirinya, kejam, sangat kejam. Awal pertama kali mereka
bertemu, Kayana langsung mencari informasi pria itu melalui media
internet. Kayana hanya bisa menyimpulkan kasusnya tapi tidak dengan
nama aslinya, karena hampir semua berita yang dibaca hanya
menggunakan inisial yang berbeda-beda.

“Lo bener, gue buronan, lo mau tau kasus apa yang gue lakukan? Atau lo
udah tau?” tanya pria itu. Namun Kayana hanya memandangnya tanpa
menjawab.

“Gue tebas kepala dari lehernya dua orang laki-laki yang berhasil membuat
bunda pergi. Bagi gue, nyawa dibalas nyawa. Ga peduli mereka punya
keluarga atau enggak. Bahkan di mata gue, jika sebuah arwah bisa dibunuh,
akan gue bunuh sampai mereka tidak memiliki ketenangan sekalipun.
Sampah harus pulang ke tempat asalnya, dan gue harap, bunda balas
mereka dengan menusuk dadanya di akhirat sana.” Ujar pria itu dengan
tatapan kosong dan air mata.

Dendam? Jelas, tidak ada yang mau kehilangan apalagi sosok ibu di
hidupnya. Kayana hanya menyimpulkan bahwa pria itu masih memiliki
rasa sakit yang sangat dalam, dirinya kacau karena tertutupi sebuah
dendam. Kejam, jelas kejam. Kasus pembunuhan memang tidak bisa
dinormalisasikan, namun Kayana berpikir, tidak akan meledak kalau tidak
ada sumbu. Jadi pria itu hanya ingin orang terdekat yang membunuh
bundanya juga merasakan apa yang dia rasakan.

“Dan lo puas melakukan itu?” tanya Kayana.

“Enggak, karena gue harus main kucing-kucingan dengan polisi. Ini ketiga
kali gue kabur dari penjara. Tapi setidaknya orang-orang itu mati ditangan
gue, ditangan manusia. Tangan tuhan terlalu suci untuk mencabut nyawa
manusia-manusia najis seperti mereka.” Jawab pria itu.

“Rasa dendam emang gakan puas kalo diturutin. Sakit mungkin diposisi lo
walau gue gak merasakan hal itu. Tapi setidaknya gue tau apa itu hal yang
menyakitkan. Bokap gue polisi, ibu gue meninggal karena serangan
jantung tepat pada saat dia tau kalo bokap gue selingkuh. Brengsek, bahkan
masih terlalu sempurna untuk dikatakan brengsek bukan? Dan karena dia,
gue ga pernah percaya tentang cinta sejati, sekalipun hal itu telah terikat
janji suci lengkap dengan akad.”,”Dongeng kerajaan itu bohong, ga ada

13


cinta yang indah, kisah manusia hanya mengenai tiga hal. Cinta, Luka,
Duka.” Lanjut Kayana.

“Itu cinta menyakitkan menurut lo, tapi menurut gue, cinta hanya ada 3
hal. Cinta, Bahagia, Selamanya. Terkadang seseorang lupa akan hal baik
yang telah kita jalani karena tertutup dengan rasa sakit yang menyeluruh,
jadi cinta dimata lo hanya samar-samar bayangan belaka. Gue benci orang
yang bunuh bunda gue. Tapi gue ga bisa benci bunda yang ninggalin gue
gitu aja. Dia pernah kasih dunia ke gue, kasih semua hal yang mungkin
dunia bisa aja iri ke gue. Begitupun elo, elo benci sama cinta karena rasa itu
sudah jadi hal yang paling menyakitkan di diri lo.”,”Lo lupa sama masa
kecil lo yang pernah disayang ayah lo, yang mungkin pernah belikan lo
barbie di mall-mall dimana banyak anak yang iri sama lo pada hari itu, atau
bahkan lo lupa kalau ibu lo pernah suapin lo sore hari, pernah bilang kalo
lo tuh dunianya.” Lanjut pria itu.

“seindah itukah?” tanya Kayana.

“Ya, lo perlu putar ulang memori kebahagiaan lo yang tertinggal dimasa
lalu. Lo perlu ingat Kembali bagaimana ibu lo titip pesan agar lo jadi wanita
yang tangguh.”,”Dan jangan lupa nama Kayana yang lo milikin harus
tercapai sebagai doa nyata untuk lo.”

“Maksud lo?”

“Kayana itu artinya bahagia. Orang tua lo kasih nama lo itu sebagai
harapan di kehidupan lo. Kalo ayah lo buat lo ga percaya dengan dunia,
setidaknya ibu lo bisa menyakinkan diri lo untuk bertahan di dunia.”

Kayana terkejut karena pria itu tau namanya, bahkan tau arti dari namanya.
Padahal seingatnya makna namanya hanya ibunya yang tau.

“Lo siapa? Maksud gue nama lo siapa?” tanya Kayana dengan wajah
penasaran.

“Buronan kan kata lu.” Jawab pria itu dengan wajah yang cukup
menjengkelkan.

“Gue serius.”

“Nama gue…..” ,”JANGAN BERGERAK, DIAM DITEMPAT!” teriak
seseorang dari belakang dan secara spontan pria itu mengangkat kedua
tangannya dan tidak melanjutkan pembicaraanya.

Tanpa Kayana sadari sudah banyak polisi dan wartawan di sekitar wilayah
taman. Polisi mendekat, dan memborgol tangan pria itu dengan posisi

14


kebelakang. Kayana khawatir dengan pria itu, dia tidak bertindak karena
bagaimanapun pria itu tetap menjadi buronan di mata polisi.

“Terima kasih nona sudah menahannya.” Ucap salah satu polisi.

“Dapat dari mana hoodie ini? seperti pernah saya lihat.” Tanya polisi ke pria
itu.

“Nyolong punya bapak sebelum kabur hehe” jawab pria itu di hadapan
polisi yang sedang memborgol tangannya.

Setelah memborgol pria itu, polisi segera membawanya ke dalam mobil
diikuti dengan beberapa wartawan. Kayana masih memperhatikannya dari
jauh, dia tidak enak dengan pria itu karena barusan polisi berkata terima
kasih, padahal Kayana tidak tau apa-apa.

“AIDHAN ZIVARE, NAMA GUE AIDHAN ZIVARE KALO LO INGET
KAYANA!!” teriak pria itu dari kejauhan sebelum memasuki mobil.

“Aidhan Zivare?” merasa seperti mengenalnya, Kayana terus mengingat
nama itu karena tidak asing baginya.

“HAH AIDHAN? BOCAH TENGIL JAGOANNYA PETANG 01???!!!!.”
Terkejutnya Kayana karena orang yang dia temui dengan kisah singkat
yang rumit adalah Aidhan Zivare.

Aidhan Zivare atau biasa dipanggil Aidhan merupakan laki-laki
yang ditakuti saat berada di SDN Petang 01. Aidhan terbilang dingin
dengan semua perempuan, kecuali satu perempuan yang suka membawa
jepitan warna-warni saat di sekolah yaitu Olivia Kayana Minara, entah
hasrat apa yang dimiliki Aidhan bahwa perempuan dengan panggilan
akrab Kayana selalu menjadi objek empuk untuk dia usili. Suatu hari
Aidhan ingin bercanda dengan Kayana yang bilang bahwa ayahnya
memiliki dua perempuan. Kayana yang mendengar hal itu, langsung
menangis dengan histeris. Aidhan panik karena merasa bersalah, karena
biasanya Kayana tidak memperdulikan kehadiran Aidhan saat dia usili,
akan tetapi pada hari itu Kayana malah menangis semakin menjadi. Setelah
kejadian tersebut Aidhan tidak bisa bersekolah dengan tenang, karena
Kayana memilih untuk pindah sekolah sebelum Aidhan meluruskan
perkataan tempo lalu, bahwa yang dia maksud adalah ayah Kayana
memiliki dua perempuan yang berarti perempuan itu adalah ibunya dan
juga dirinya. Dan Kayana juga tidak berpamitan dengan Aidhan atau
teman-temannya yang lain dengan memberi alasan kalau dirinya pindah
sekolah karena ibunya telah meninggal dunia dan ayahnya yang selingkuh,
walau pada masa itu Kayana tidak mengerti banyak hal.

15


KISAH BAGI SANG PEMIMPI BODOH
(Ditulis oleh: Candras Suryo K)

Jika kita hanya karangan, bisakah kita bersama?

Kutuliskan kalimat itu dalam buku catatan yang seharusnya kugunakan
untuk mencatat materi perkuliahan kali ini. Begitu kusadari, tulisan itu
segera kuhapus dengan tipe-x yang banyak, sangat banyak hingga terasa
menggunung.

Hal ini tentu membuatku kembali kebingungan. Karenanya, sulit untuk
menulis kalimat baru di atasnya.

Yah, mau tidak mau, harus pakai halaman baru.

***

Pendarku kini mengarah ke langit begitu kulangkahkan kakiku keluar dari
gedung kampus. Panas, namun langitnya sangat indah, jadi kupandang
sejenak—bukan, bukan mataharinya, kok.

"Yuna! Lo ngapain malah diem? Ayo ke perpus, gua mau pulang soalnya
abis itu!"

Panggilan memecah zona puitisku dengan langit. Cih, padahal lagi keren-
kerennya diriku sedang menatap langit.

"Iya, An, gua lari nih ke sana!" Ujarku lalu betulan berlari pada temanku,
Anka. Ia adalah temanku dari semasa SMA, lalu jadi teman satu kampus,
lalu satu fakultas, lalu satu prodi, bahkan sampai satu kelas.

Ini yang baru namanya jodoh! Jodoh teman!

"Cepetan… Gua stress banget UAS, jadi langsung aja ke perpus buat cari
yang sekiranya bisa dipake buat referensi kita, terus pulang, gimana?"

"Boleh, sih. Yaudah kalo gitu cepet."

Berdasar keputusan itu, kami pun segera berjalan ke perpustakaan
terdekat.

***

Bukan, bukan perpustakaan kampus. Tempat itu tengah direnovasi
sekarang, membuat kami harus ke perpustakaan di salah satu café membaca
dekat dengan kampus. Sepi, namun sangat nyaman untuk menetap dan

16


membaca dengan khidmat. Kalau kata orang sekarang, tempat ini bisa
disebut hidden gem.

"Buat tugas cerpen, kayaknya lebih enak kalau kita cari buku yang mirip
gak, sih? Kayak… Buku novel atau buku puisi gitu? Biar bisa dapet
inspirasi sama cara nulisnya juga?" Usul Anka dengan antusias, lalu salah
satu buku ia ambil tanpa berpikir panjang.

"WOW judulnya… Me and The King's School! Novel teenlit gini pasti laku,
'kan? Gua mau pake referensi kayak gini aja, deh!"

Aku hanya tertawa pelan melihat tingkah Anka. Memang ia memang gadis
yang ceria nan ekspresif, semua orang menyukainya. Apa lagi dengan
kenyataan ia baru punya kekasih, tak perlu ditanyakan pun sudah jelas kini
ia sedang merasa bagaikan gadis yang paling beruntung di dunia ini. Pasti
mudah untuk membuat tugas membuat cerita pendek tentang romansa.

Cerita pendek tentang romansa?

Ah, aku belum jelaskan, ya.

Tugas perkuliahan hari ini adalah membuat cerita pendek. Jadi tentu
sebagai remaja, membuat cerita pendek tentang romansa adalah perihal
mudah. Mengetahui bahwa perasaan yang bernama cinta dapat memiliki
beragam bentuk, haha.

Cinta yang indah untuk Anka, dan cinta yang menyedihkan… Untukku.

Senyum masam kutujukan begitu kutemukan salah satu buku gambar yang
sudah tua di antara para buku novel lainnya. Buku gambar berjudul The
Little Mermaid. Salah satu dongeng Putri dimana sang Putri Duyung
merubah identitas dirinya yang sebelumnya Duyung menjadi seorang
manusia untuk menyatakan cintanya pada sang Pangeran.

Lucu, ya? Padahal ras, juga identitas mereka sangat jauh. Namun kenapa
mereka tetap bisa bersama dengan keberadaan itu.

Buku cerita dongeng itu, harusnya 'kan berdasar dunia nyata. Tapi kenapa
aku yang benar-benar dari dunia nyata tidak bisa mencintai seseorang
karena perbedaan?

Padahal kami sudah melakukan semuanya. Menyatakan perasaan, sudah.
Bersama, sudah. Saling berjanji untuk bersama pun juga sudah. Tapi
kenapa sampai akhir kita tidak bisa bersama, itu masih membuat hatiku
kalut akan itu.

17


"Yu… Na… Yun… YUNA!"

Panggilan itu membuatku terperanjat, lalu kuarahkan manikku yang
berwarna coklat itu lagi pada sang gadis—yang ternyata Anka.

"Yunaaa, lu ngelamun apaan sih sambil megang buku princess? Lu disini
buat bikin cerpen, bukan dongeng, Yun!"

Untuk beberapa detik, kurasakan diriku masih tak bergeming dengan
omelannya. Namun setelah itu aku tersadar dan segera mundur ke
belakang.

"Eh, eh—! Iya, iyaaa, An! Sori sori gua lagi mikirin ceritanya gimana!
Cerpen kan bisa ngambil referensi dari dongen juga!" Belaku dengan cepat,
lalu hanya menyisakan hembusan nafas berat dari Anka.

"... Yaudah, kalo gitu. Apa lu mau ambil buku itu buat referensi?" Tanya
Anka seraya memainkan rambutnya yang ikal itu. "Kalo udah ayo cepetan,
gua mau gereja buat natal."

Ah, iya. Anka punya acara malam ini. Ia seorang umat Kristiani.

"Oiya! Yaudah ayo, cepetan deh kalo gitu." Jawabku dengan cepat lalu
menaruh buku itu kembali dan mengambil asal buku novel di sebelahnya.
Akhirnya aku agak menyesali, sih, karena ternyata itu novel misteri, namun
mau bagaimana lagi.

Saat itu, aku tidak bisa berhenti berpikir tentang Rendra.

***
"Oke! Udah, deh. Tinggal bikin buat UAS nanti, hehe." Anka mengangkat
buku novel yang menjadi referensinya menuliskan cerpen, yang ternyata
masih dengan buku pilihannya yang pertama.

Kini pendarku menghadap ke langit lagi; dengan perasaan yang kalut.
Namun yang kali sepertinya Anka menyadarinya, dan segera menepuk
pundakku untuk menyadarkan aku dari lamunan. Sepertinya terlalu jelas,
ya. Siapa yang tengah kupikirkan. Bahkan hingga Anka pun
menyadarinya.

"Yuna, lu gapapa? Gua bisa tungguin sendiri, kok." Ujar Anka dengan raut
khawatir. "Kalo lu masih gabisa ketemu kakak gua, gausah paksain."

"Engga, kok. Gua mikirin UAS gua aja." Ujarku yang 'tak sengaja bernada
lirih, membuat Anka semakin khawatir.

18


Namun belum selesai perbedebatan diantara aku dan Anka, sebuah mobil
mendatangi kami untuk menjemput. Kaca mobil itu pun juga terbuka,
menampilkan sesosok orang di dalamnya.
"Anka, ayo. Mas udah ditungguin mama buat misa malem nanti." Ujarnya
dari dalam mobil.
Aku tahu sekali dia siapa.
Pandangnya yang awalnya menuju sang adik kini menatapku. Entah
kenapa ia terlihat biasa saja, berbeda denganku yang terperanjat dalam
malu; tak tahu harus berbuat apa di depannya.
"... Makasih ya, Yuna. Udah nemenin Anka kayak biasa." Ucap Rendra—
sang masa lalu yang masih setia meninggalkan rasa senang maupun luka
di dalam hatiku.
Anka pun yang sadar akan keadaan segera melambaikan tangan selagi
memasuki mobil guna segera bergegas. Akan tetapi, daripada langsung
pergi, ia malah menatapku terlebih dahulu.
"... Dah, Yuna. Jangan lupa solat nanti malem, gua izin ibadah dulu sama
keluarga gua di gereja."
Hatiku sekali lagi mencelos, bagaimana ia menekankan perbedaan diantara
kami. Perbedaan yang sangat sulit untuk diubah, 'tak semudah di buku
cerita. Walau perih, namun dengan bodohnya sekali lagi aku berharap,
semoga semua kisah perbedaan ini hanyalah dongeng menuju akhir indah
bersama.

19


Ku Memetik Dunia Untukmu
(Ditulis oleh: Khairana Mahdiyah)

Aku ingat kali pertama saat kita bertemu, kala aku melompat untuk
mencapai sebuah buku di rak atas. Kamu datang menggapai buku itu dan
memberikannya padaku. Kamu melemparkan senyum manis,
menunjukkan lesung pipi yang dalam juga mata yang melengkung seirama
dengan lengkungan di bibirmu. Aku masih mampu mengingat aromamu
kala pertama kali kita bertemu, aroma lavender, aroma yang katanya
berasal dari pengharum pakaian yang sering dipakai ibumu kala mencuci
pakaianmu.

Sebuah hal yang tiba-tiba, kita menjadi dekat, tak lagi menjadi sosok
yang asing. Kerap kali kamu mengajakku menikmati bintang di sebuah tepi
danau yang baru aku ketahui keberadaannya meski telah lama di kota ini.
Itu menjadi tempat kesukaan kita, kamu terlalu suka dengan keberadaan
benda langit juga kunang-kunang yang gemar sekali bersaing dengan
cahaya benda langit di atas sana. Cahayanya indah sekali, seperti aku,
katamu.

Sampai akhirnya, aku harus menerima realita bahwa kita memang
hanyalah teman, ada tembok tinggi yang tak bisa aku lewati, batas itu akan
ada terlebih kamu pada akhirnya menceritakan seorang gadis padaku dari
proses dekat hingga kamu berhasil memiliki dia. Bohong jika aku tak sakit,
aku lebih dulu memiliki rasa padamu, namun demi tetap berada di
sampingmu, aku rela berkorban, aku rela memberimu segala saran tentang
apa yang disukai dan tidak disukai seorang wanita, padahal semua hal itu
hendak aku rasakan sendiri dengan subjeknya adalah kamu.

Aku juga ingat saat itu, kala kita duduk bersama di sebuah taman
dengan pundakku yang kamu jadikan sandaran. Aku mampu merasakan
bahuku yang basah akan air matamu. Aku dengan setia menoleh dan
menawarkan pelukan hingga kolam air mata itu berpindah di dadaku. Aku
tahu pasti bahwa hari-harimu begitu berat, sudah pasti engkau akan
merasakan kekacauan yang hebat. Namun, tidakkah engkau sadar bahwa
orang yang menjadi sandaranmu juga orang yang tengah diterpa badai?
Aku bahkan masih dengan setia menawarkan pelangi ketika hidupku
porak-poranda menunggu badai ini surut.

“Dia jalan sama cowok lain terus alasannya lembur gitu,” katamu.

Hatiku tersayat dan berdarah-darah, namun aku harus dengan
berani menciptakan senyum, seolah aku baik-baik saja. Apa rasaku
kelihatan abu-abu? Apa perhatianku hanya sebatas angin lalu? Mengapa
hatimu begitu susah berpaling untukku? Engkau dengan setia
menceritakan sosok yang membuat hatimu seringkali menangis kala aku

20


dengan setia menawarkanmu taman bunga. Aku bahkan menjadikanmu
nomor satu dan menjadikan diriku nomor dua. Selalu seperti itu meski
engkau tak pernah menatapku dengan mata berbinar sama seperti engkau
menatap kekasihmu dengan tatapan penuh rasa. Aku ingin menjadi dia.

“Aku kayaknya bakalan putus aja sama Karen,” katamu kala itu.

Aku dengan begitu bahagia namun masih menyembunyikannya,
takut jika engkau berpikir bahwa aku tertawa di atas kesedihanmu.
Namun, di sisi lain, aku akan sibuk berpikir mengenai cara membuat
bibirmu kembali membentuk bulan sabit. Aku begitu bahagia melihat bibir
itu melengkung dengan perasaan bahagiamu yang membuncah. Lesung
pipimu itu adalah objek kesukaanku. Apalagi bila alasannya adalah karena
aku.

Sampai akhirnya hari ini tiba, hari dimana kamu berdiri sembari
menciptakan senyum dengan mata yang berbinar. Percayalah, melihat
senyum itu, aku seolah hendak memetikkan dunia untukmu, engkau
berani berdiri di depan pintuku dan mulai mengajakku untuk menikmati
keindahan dunia. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangguk,
entah … aku selalu senang mengiyakan segala ajakanmu.

Lantas di sinilah kita sekarang, aku menatapmu yang tengah
menyayikan lagu untukku sembari menikmati segelas coklat panas.
Permainan gitarmu memecahkan sunyi dikombinasikan dengan suaramu
yang menyanyikan lagu Just You milik Teddy Adhitya. Lagu itu
mengatakan segalanya, mungkin bersamaan dengan dirimu yang sudah
melihat keberadaanku sampai saat ini. Lagu berhenti dan kamu belum
turun dari panggungmu. Suaramu masih menyebar di ruangan itu kala
engkau berkata, “Maaf terlambat sadar, selama ini, aku terlalu buta. Kala
kamu setia menawarkan madu, aku selalu memilih racun. Kamu selalu
setia di sisiku, bahkan kamu selalu berada di garis terdepan. Untukmu
Kasih, sudah waktunya aku yang memetik dunia untukmu dan menjadikan
dirimu bagian dari duniaku. Kasih, will you marry me?”

Aku berdiri menatapnya dengan air mataku yang kini jatuh dengan
sendirinya. “Yes, I will.”

Sejak saat itu, tembok tinggi itu runtuh. Kini aku mampu menjadi dia, kini
aku mampu menggenggam tangannya, kini aku memilikinya, kini aku
tidak ada perasaan canggung apabila aku menatap matanya berlama-lama,
ia mungkin mengagumi langit, ia selalu mendoktrinku untuk jatuh cinta
terhadap langit namun ia tak sadar, di bawah langit ia kagumi ada
sosoknya yang lebih dulu aku cintai. “Abar, aku jatuh cinta pada dunia dan
duniaku adalah kamu.”

21


Kenangan Yang Menggenang
(Ditulis Oleh : Niki Dwi Safitri)

Akhir tahun telah menyapa, bukan hanya sekedar memberikan
salam sapaan lalu pergi begitu saja, tapi juga memberikan pesan yang tak
terlupakan. Akhir tahun yang kutunggu-tunggu, bukan karena di akhir
tahun akan ada libur semester atau sebagainya. Tetapi, karena di akhir
tahun hujan akan sering bertamu mengunjungiku lalu memberiku sebuah
bingkisan yang dinamakan “kenangan”.

Aku sangat mencintainya, mencintai hujan yang walaupun
terkadang ia jarang menampakkan kehadirannya. Ada julukan untuk para
pecinta dan penikmat hujan, Pluviophiles. Namun sangat disayangkan,
julukan itu tidak berlaku untukku. Aku tidak membutuhkan julukan
apapun untuk membuktikan betapa dalamnya rasa cintaku terhadap hujan.
Kecintaanku terhadap hujan, jauh lebih besar dari sebuah kata julukan
semata.

Tetesan air tuhan yang jatuh itu membawa diriku masuk ke dalam
kenangan terbaik yang pernah aku miliki. Hujan mendengarkan ceritaku
lebih banyak daripada siapapun. Hujan menjadi saksi emosi yang hanya
bisa kutemukan ketika ia jatuh. Air yang ia miliki seringkali menyamarkan
air mataku dan mendekap tubuhku dengan erat ketika aku sudah
kehabisan tenaga. Tidak ada yang melakukan itu selain dirinya, si hujan.

Setiap pulang sekolah pada tiga bulan terakhir di penghujung tahun,
aku akan menunggu warna langit berubah dari biru cerah menjadi kelabu.
Ketika langit sudah berubah warna, aku akan berlari sekuat tenaga
melarikan diri dari ibuku yang sudah siap mendaratkan beberapa helai lidi
di punggungku. Aku berlari sekuat tenaga meninggalkan senyap-senyap
suaranya di setiap bekas jejak yang kutinggalkan. Aku menuju ke sebuah
tempat yang kusebut sebagai rumah sebenar-benarnya rumah. Rumahku
tidak memiliki atap, tidak juga memiliki pondasi dan dinding. Rumah yang
ku maksud hanya sebuah lapangan kosong dengan sedikit rumput dan
dipenuhi dengan tanah merah. Sesampainya disana aku dengan tidak sabar
menunggu dua hal, turunnya air hujan dan kedatangannya. Kedatangan
dia, yang sedari lama menemaniku melakukan segala hal di bawah
guyuran hujan yang menggenang lalu menjadikan tanah merah menjadi
lumpur yang sangat pekat. Selayaknya teman dekat pada umumnya, aku
memiliki nama panggilan untuknya. “Khafa” yang berarti hujan yang
lembut. Sebuah makna yang sangat menggambarkan dirinya, hatinya yang
sangat lembut mengubah suasana hujan yang sendu menjadi suasana yang
begitu menenangkan. Kehadiran Khafa, membuat diriku melupakan segala
hal pahit dan menyakitkan yang kurasakan sebelumnya.

22


***

Suatu ketika di bulan Desember 7 tahun yang lalu, tepat di hari Rabu
saat hujan mulai turun. Hujan menciptakan dua kenangan yang sangat
bertolak belakang. Kenangan sangat buruk, dan kenangan sangat indah.
Kenangan ditinggalkan, dan menemukan kasih sayang.

Dia meninggalkan diriku sendirian. Meninggalkanku demi seorang
gadis perempuan berparas cantik yang jauh lebih pintar daripada diriku
yang dungu ini Meninggalkan kami demi seorang lelaki kaya yang bisa
menopang gaya hidupnya, gaya hidup yang tidak sepadan dengan harta
yang kami punya. Dia meninggalkan diriku setelah membuat jiwaku
terluka dan putus asa. Dia yang seharusnya menjadi seseorang yang paling
kucintai, nyatanya adalah seseorang yang paling menyakiti.

Tak lama dari itu, aku bertemu dengannya. Khafa, seorang teman
yang memberikanku banyak kasih sayang. Kasih sayang yang seharusnya
aku dapatkan dari dia yang telah meninggalkanku.

***

“Aaa hari ini sangat melelahkan, kenapa harus selalu ada tugas
rumah si! Apa karena udah mau lulus ya? Loh, nggak gitu dong harusnya”
Ucapku ramai, berbicara dengan diriku sendiri sembari memasuki busway
untuk pulang.

“Ya Tuhan. Ini kapan sampai nya si! Busway jalannya kaya siput
deh!” Ucapku kesal, tanpa tahu sedang kesal dengan siapa.

Tetesan air mulai terlihat di kaca sebelah kiri, disusul ribuan tetesan
lainnya. Tetesan itu sepertinya ingin menghajar siapapun yang berada di
bawahnya. Aku menyingkirkan pikiran anehku itu, yang kupikirkan
sekarang adalah kenanganku yang selalu menghadang dikala hujan
datang. Aku melihatnya, aku melihat air itu menggenang lalu menyerupai
sebuah cermin. Dari cermin itu kulihat diriku sendiri, diriku yang lain
mengajakku untuk masuk ke dalam kenangan masa lalu.

Kenangan itu dimulai saat aku kabur dari kejaran Ibuku, saat itu
adalah pertama kalinya aku bertemu dengan Khafa.

Nafasku sudah mulai habis. Tubuhku sudah dipenuhi memar
kebiruan, entah apa yang terjadi saat aku bertemu Ibuku nanti, aku hanya
ingin bernafas sebentar.

23


“Aku baru tahu ada tempat seperti ini di dekat rumah. Lapangan
yang cukup luas, tanahnya juga cukup empuk. Ya, setidaknya aku bisa
mengistirahatkan tubuhku sebentar disini.”

Secara tidak sadar aku memejamkan mataku, awan kelabu ditemani
semilir angin membuatku melupakan rasa sakit yang kurasakan.

“Mengapa kamu bisa ada disini? Siapa yang memberitahu tempat
ini kepadamu?” Ucap seorang anak laki-laki yang tiba-tiba muncul entah
darimana.

Aku terkejut bukan main, mataku yang terpejam dalam sekejap
sudah terbuka lebih besar dari biasanya. “Mengganggu saja. Pergilah! aku
tidak ingin diganggu.” Ucapku kesal setelah menutup mataku kembali.

“Jadi kamu kesini sendirian? Kamu pasti tidak punya teman kan?
Hahahaa”

Aku mendengarnya mengejekku, tidak ku sangkal karena karena
aku memang tidak memiliki teman. Perkataannya tidak menggangguku
sama sekali, tapi suara tertawa nya sedikit mengganggu karena terlalu
nyaring.

“Bisakah kamu diam sebentar saja? Aku mohon, aku butuh
ketenangan.” Balasku dengan nada yang sedikit menyedihkan. Benar saja,
suara tertawanya sudah tidak terdengar lagi. Tapi aku merasakan
seseorang telah membaringkan tubuhnya disebelahku.

“Apakah orang jahat telah memukulmu?”

Aku tersentak mendengar pertanyaannya, mataku terbuka lagi
dibuatnya. Melihat langit yang sepertinya akan menurunkan hujan yang
begitu lebat. “Aku dipukuli, tapi bukan oleh orang jahat.”

“Lanjutkan, aku akan mendengarkanmu.” Ucapnya cukup tegas dan
meyakinkan.

“Ibuku yang melakukannya. Bukan orang jahat. Ibuku ingin aku
menjadi anak yang baik. Katanya ketika kita melakukan kesalahan, kita
membutuhkan sebuah hukuman untuk mengetahui jika yang kita lakukan
salah, lalu memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Tapi bagaimana jika dia yang melakukan kesalahan lalu aku yang tetap
mendapatkan siksaan? Rasanya tidak adil, lebih menyakitkan
dibandingkan aku yang melakukan kesalahan.”

24


“Melihat luka di kaki dan tanganmu sepertinya sangat menyakitkan,
tapi kenapa kamu tidak menangis?” Alisnya berkerut, mungkin dia heran,
atau mungkin dia mengkhawatirkanku.

Aku hanya meliriknya sedikit, lalu tatapan mataku kembali kepada
langit yang kelabu, sama kelabunya dengan keadaanku saat ini. “Menangis
hanya membuatku merasa lemah, aku tidak boleh menangis dan
menunjukan bahwa diriku lemah. Terutama di depan ibuku.” Balasku
dengan tenang.

“Tidak ada siapapun disini, menangislah. Sebentar lagi hujan, ia
akan menghapus air matamu, dan tidak membiarkan siapapun tahu bahwa
kamu sedang menangis. Dengan begitu tidak ada yang memandangmu
sebagai orang yang lemah.”

“Aku serius, menangislah. Biarkan kesedihan dan kesakitan itu
pergi. Jika kamu pikir menangis membuatmu lemah, kamu salah. kamu
lemah jika kamu tidak menangis, kamu lemah jika kamu menyangkal
segala emosi yang kamu rasakan. Menangislah, aku dan hujan akan
menemanimu.”

Sejak saat itu jika hujan mulai datang, aku akan berlari sekuat tenaga
menuju lapangan untuk bertemu Khafa. Tidak peduli jika ibuku akan
menyiksaku setelahnya. Khafa dan hujan adalah kenangan terindah yang
pernah kumiliki.

Sosok Ibu yang mungkin orang lain anggap sebagai malaikat
ataupun bidadari itu merupakan seorang algojo bagiku. Seseorang yang
tidak segan memukul, menendang, dan membanting tubuhku secara rutin.
Aku tidak boleh membuat kesalahan sedikitpun, aku tidak boleh membuat
perasaannya buruk, aku bahkan tidak boleh menangis ketika ia
menyiksaku dengan sekuat tenaga. Tapi itu semua bukan yang terburuk,
karena yang terburuk adalah ketika aku tidak melakukan apa-apa, ia tetap
mencaci maki diriku dan menyiksaku. Seluruh tubuhku baik-baik saja,
seperti sudah kebal atas semua siksaannya. Tapi tidak dengan hatiku,
karenanya hatiku hancur, jiwa ku terluka sangat dalam. Aku tidak tahu
persis apa yang sebenarnya ia butuhkan dari sosok seorang anak. Tapi
barangkali, yang ia butuhkan adalah seonggok daging yang bisa selalu
disalahkan, setelah itu ia akan menghancurkannya, lalu membuangnya.

***

Setelah ibuku pergi, aku dan ayahku sangat tidak mudah untuk
menerima orang lain masuk ke kehidupan kami. Meski begitu aku
menjalani hidup dengan sangat baik, aku dan ayahku menjadi cukup dekat

25


dan merangkul satu sama lain. Kami dengan rutin memeriksakan
kesehatan ke rumah sakit, oleh karena itulah Khafa kini menjadi sebuah
kenangan.

Sedikit menyakitkan mengingat kenangan burukku yang dipenuhi
dengan ibuku sendiri, tapi setidaknya berkat ibuku juga aku bisa bertemu
dengan Khafa. Kenangan yang sangat indah sekaligus menyakitkan, aku
tidak pernah menyesal bertemu dengannya. Terkadang aku sangat
merindukannya, terutama dikala hujan. Tapi apa boleh buat. Khafa adalah
kenangan yang tak boleh terulang.

26


27


EKSPEKTASI YANG BEGITU SEPI
(Ditulis oleh: Aisyah Mita Z)

Mengumpulkan sebuah gambar yang diambil melalui kamera
merupakan sebuah hobi yang tidak bisa ternilai dengan harga. Karena
sebuah objek menarik dalam satuan gambar adalah objek yang memiliki
makna dengan alasan sempurna. Begitulah hobi yang telah ku jalani sejak
umur 10 tahun. Bagiku mengabadikan sebuah objek merupakan suatu hal
yang sangat berarti, karena kita tidak tahu apakah objek itu akan dapat kita
lihat di hari esok, lusa, atau bahkan di masa depan. Aku akan berterima
kasih pada sang pencipta yang telah membuat rangkaian di bumi ini
dengan sangat indah, dan aku juga berterima kasih pada seorang ahli yang
telah menciptakan sebuah alat yang bernama kamera. Kita bisa bayangkan,
bagaimana tidak ada kamera didunia ini, tidak ada objek fisik sebagai
sebuah kenangan, dan tidak ada memori yang dapat tertangkap jelas saat
kita melihat hal itu dengan sekilas. Sebagai contohnya adalah aku yang
berada disebuah pantai saat ini, gerakan jari telunjuk pada tangan kanan
ku dengan posisi diatas tombol Shutter yang menandakan bahwa aku telah
siap dalam mengambil sebuah gambar. Ya, gambar dengan objek menarik
di sebuah pantai. Kalau kamu pikir yang akan aku abadikan adalah sebuah
sunset, kamu salah. Objek yang akan tertinggal membekas didalam memori
kameraku saat itu adalah seorang lelaki dengan pakaian formal yaitu
kemeja putih lengkap dengan dasi dan jas sebagai luarannya. Menarik
bukan? Kondisi pantai tepat pada pukul dua siang masih terbilang cukup
panas. Namun pria itu memilih untuk memakai jas dan langsung
berhadapan pada pusat matahari. Terkadang kata menarik dengan aneh
hanya beda tipis, mungkin seseorang akan bertanya mengenai objek yang
telah kuabadikan ini dapat dikatakan menarik atau aneh.

Setelah kuambil gambar lelaki itu, ku perbesar sedikit gambarnya
dengan melihat layar pada kamera, kuperbesar gambarnya karena posisiku
dengan lelaki itu terbilang cukup jauh. Ku perhatikan wajah lelaki itu
melalui gambar yang aku ambil, ku teliti sedikit, dan aku terfokus dengan
satu objek di sekitar wajahnya, yaitu air mata.

***

Bukan tanpa alasan aku langsung mengarahkan kepalaku untuk
memandang laki-laki itu. Dengan tampilannya yang terbilang aneh karena
tidak sesuai dengan tempatnya, ternyata laki-laki itu sedang menangis
dalam diam. Dia membiarkan air matanya turun dengan bebas begitu saja,
kelopak mata yang masih dalam posisi tidak berubah yaitu kelopak mata
atas dan bawah saling bertemu. Bantuan angin dengan ombak yang
membuat dirinya terlihat sangat tenang.

28


Terhanyut dengan apa yang aku lihat, dengan tiba-tibanya laki-laki
itu menatapku balik, mungkin dia merasa sedang diperhatikan oleh diriku.
Mata kita saling bertemu, namun tatapan itu, tatapan kosong yang
dilengkapi dengan air mata dan rasa sakit yang begitu mendalam. Tatapan
yang mengartikan bahwa dia membutuhkan pertolongan dan juga
pelukan. Instingku sebagai manusia perasa menyuruhku untuk berjalan ke
arahnya, menyeka air matanya, dan katakan bahwa dia akan baik-baik saja.

Hal itu aku turuti, aku berjalan ke arahnya, namun tidak dengan
menyeka air matanya atau mengatakan bahwa dia akan baik-baik saja. Aku
berdiri di hadapannya hanya untuk satu hal.

“Kau butuh tissue?” tawarku padanya.

Aku hanya mampu memberikannya sebuah tissue untuk menenangkannya,
dia orang asing, aku hanya mengikuti logikaku untuk tidak melakukannya
secara berlebih.

“Sebegitu lemahkah saya sampai anda memberikan saya tissue?” ujarnya
dalam bentuk pertanyaan balik.

“Bulu babi yang tidak jauh dari kakimu itu saja mungkin tau, bahwa kamu
tidak dalam keadaan yang terbilang baik.” Ucap diriku.

“Menangis memang hanya diartikan sebagai manusia dalam kondisi yang
menyedihkan ya?”,“Tidak semua tangisan itu mengartikan sebuah
kesedihan nona, tangisanku ini hanya mengartikan bahwa keadaanku akan
lebih baik lagi dan lagi.” Ujarnya lalu menerima tissue yang semulanya
berada di tanganku.

Aku tau dan juga paham bahwa sebuah tangisan bukan berarti
seseorang dalam keadaan sedih, namun bagi diriku sekarang, seseorang
yang sedang dihadapanku sedang dalam kesedihan yang begitu
menyakitkan, manusia tetaplah manusia, aku percaya bahwa organ tubuh
bisa berbicara. Dan matanyalah yang berbicara padaku bahwa dia dalam
keadaan tidak baik.

“Jika ingin terlihat baik, tidak harus menangis, ada banyak hal bisa kau
lakukan. Menangis bukan sebuah kesalahan, namun dengan dirimu
menangis seseorang akan mengertikan keadaanmu dengan banyak
pemikiran.” Ujar diriku.

“Seperti apa? Anda bisa tunjukkan?” Tanya laki-laki itu.

“Bisa, kau mau bagian yang indah atau menyakitkan?” Tanyaku.

“Yang menyakitkan lalu berakhir indah ada?”

29


“Ada.”

***

Begitulah memori singkatku ketika aku bertemu dengan suamiku,
album foto yang sedang kupegang saat ini selalu menghadirkan banyak
ingatan masa lalu tentang kita. Mengenai satu foto memiliki satu makna
dan satu peristiwa dengan suamiku dimasa lalu. Dan satu album yang
berada di tanganku saat ini menjadi bukti keabadian dua insan manusia
yang berada dalam ikatan cinta. Setiap aku membukanya selalu berhasil
menghadirkan air yang terjun dari mataku. Entah air mata ini menandakan
aku yang rindu pada masa itu, atau aku yang seharusnya tidak perlu
mengenalnya sejak awal kita bertemu.

“Nak, sudah siap?” pertanyaan itu berasal dari suara bundaku yang berada
tepat di belakangku.

“Siap atau tidak, ini sudah menjadi keputusanku bunda.” Ujarku padanya
dengan air mata yang tergenang.

Hari ini, hari dari banyaknya hari buruk yang telah aku jalani
sebelumnya. Perginya diriku ke pengadilan agama dengan tujuan berpisah
merupakan hal yang paling menyakitkan. Seorang laki-laki yang kutemui
di pantai dengan pertanyaan apakah ada bagian menyakitkan yang berakhir
indah? Telah kujawab dan kubuktikan pertanyaan itu. Namun ternyata
untuk diriku sendiri, hal itu menjadi kebalikannya. Aku ingin kisah dengan
bergelimang keindahan seperti alur pada sebuah film, namun dia
memberikanku bagian paling menyakitkan layaknya kisah horor dengan
misterinya. Aku yang mempercayai bahwa kisahku akan abadi dengan
akhir yang ditentukan oleh maut, namun ternyata kisahku hanya sejengkal
film perpisahan, dikarenakan tokoh tersebut hanya bercinta dengan hampa.
Aku telah memiliki ekspektasi bahagia ketika diriku dengan dirinya
bersama, namun ternyata ekspektasi itu mampu menghancurkan seisi yang
telah lengkap hanya tertinggal menjadi mimpi. Dan mimpi hanyalah
mimpi, tidak bisa kupaksa untuk hadir menjadi suatu kenyataan sebagai
bukti.

30


KISAH BAGI SANG PENGAKHIR KASIH
(oleh: Candras Suryo K)

Jika kita tak memiliki perbedaan, apakah akan ada akhir bahagia untuk kita?
Dengan segera kuhapus kalimat itu dari catatan ponselku sesegera aku
tersadar, lalu diikuti dengan merasa heran. Kenapa juga kalimat itu terbuat
dan kuketik dengan jariku sendiri?
Sudahlah, Rendra. Tidak ada waktu untuk berpikir hal seperti itu. Hal yang
sudah kau hapus dan sempat kau lupakan, kalimatnya tak akan pernah bisa
sama lagi.

***

"Oh, tadi 'kan harusnya lihat catatan untuk cek belanjaan Mama." Ujarku
baru tersadar, lalu segera membuka ponselku kembali.

Putus cinta itu, kataku kayak penyakit. Awalnya bisa biasa aja, namun
lama-lama bisa membuat perih, dan hal itu bisa bertahan berhari-hari.

Dan apakah hal itu bisa terjadi, bahkan oleh yang memutuskan cinta? Tentu
bisa.

Aku, contohnya.

Padahal esok seharusnya hari besar untuk Kristus, tapi entah kenapa
rasanya sangat kalut. Apa karena udaranya yang mendingin? Tapi ini di
Indonesia, yang mana natal bukan berarti salju akan turun di Jakarta.

Mungkinkah aku memikirkan Yuna?

Bodoh, buat apa memikirkan masa lalu. Kami sudah setuju untuk
mengakhiri hubungan yang penuh dengan perbedaan itu, jadi
dipertahankanpun tak akan ada gunanya.

Jika seperti buku dongeng, sudah jelas cerita ini tidak memiliki akhir
bahagia.

31


***

Langit menawarkan taburan bintang di lautan biru gelapnya, yang tentu
membuatku menatapnya untuk beberapa waktu. Entah kenapa, rasanya
bintang malam ini lebih terang.

Mungkinkah ini efek dari malam natal? Aku tahu tahu, namun tetap
kunikmati salah satu keindahan-Nya seraya berjalan mengarungi malam.

Kalau tidak salah, Yuna suka ini. Soalnya, kesukaannya itu planetarium.
Walau bukan sampai yang dalam sekali, namun ia memiliki ketertarikan di
astrologi—walau awalnya dari ramalan, sih. Biasanya ia akan mulai
menjelaskan dari ramalan tentang zodiak astrologi, yang entah kenapa bisa
berlanjut ke penjelasan tentang tata letak rasi itu sendiri.

Bahkan, jika kau mau tahu, di catatan ponselku sempat ada hafalan tentang
sun, moon, rising dan segala sub penjelasan zodiak. Entah apa yang
mendorongnya untuk mempelajari hal yang menurutku tak berguna itu.
Namun tak apa, ia juga senang menjelaskannya.

Yuna… Ah, apa lagi-lagi aku melamun dalam pikiranku lagi?

Ketika kusadari, ponselku berdering. Dengan segera kuangkat; dan suara
Mama terdengar dari sana.

"Ren, udah dimana? Mama udah mulai siapin makanan sama hiasan buat nanti
malem. kamu ikut misa, ‘kan?” Ujar Mama dari telepon, sepertinya tengah
sibuk walau juga seraya meneleponku.

Biasanya rumahku memang mengadakan acara natal open house; yaitu acara
bersama dengan siapapun yang datang di hari itu. Kami akan menyiapkan
makanan serta minuman yang diselingi doa bersama untuk merayakan hari
besar. Aku sendiri bersama dengan keluargaku adalah orang yang senang
menghabiskan waktu dengan orang lain, dan kebetulan juga kami
berkecukupan. Jadi tentu tak masalah rasanya bila harus berbagi
kesenangan.

32


"... Iya, Mah. Rendra udah belanja, nih. Nanti Rendra pulang habis jemput
Anka juga, ya."

"Oooh, oke, hati-hati, ya."

Sambungan telepon pun kuputus begitu obrolan berakhir. Kini pendar
kuarahkan ke langit lagi, yang sekarang terdapat beberapa kunang-
kunang. Sedikit kaget, namun saat kusadari, di sebelah gedung
perbelanjaan memang ada area taman.

Pasti menyenangkan bila bisa menghabiskan waktu di bawah langit malam
berbintang, dengan kunang-kunang dengan Yuna.

Lalu kugelengkan kepalaku hebat. Sudah, Rendra, sudah. Kau yang
memutuskan hubungan ini, untuk apa kau pertahankan lagi?

Kupegang kalung salibku dengan cukup kencang.

***

Kadang takdir itu unik, yang awalnya seperti jodoh, ternyata bisa saja cuma
alat untuk membuat sakit hati. Seperti Yuna, yang merupakan teman
adikku Anka. Sudah dekat, tapi ternyata tidak juga.

Perbedaan kami, terlalu jauh.

"... Dah, Yuna. Jangan lupa solat nanti malem, gua izin ibadah dulu sama
keluarga gua di gereja."

Padahal aku yang mengucapkan, tapi ternyata aku juga yang menangis
karenanya. Andai saja semuanya semudah cerita di buku, Yuna, maupun
aku pun pasti akan bahagia. Tapi sayangnya kita semua bukanlah karakter
buku. Perbedaan yang nyata ini ialah tantangan nyata.

"... Kak, nanti ke mampir ke resto terdekat, yuk? Gua mau ke toilet dulu.
Mungkin lu mau juga, buat cuci muka."

33


"... Boleh. Thanks, An."
Hanya Anka yang tahu air mataku, dan semoga hal ini menjadi satu-
satunya hal yang pertama dan terakhir kusembunyikan untuk Yuna.

34


Luka yang Terus Berdarah

(Ditulis oleh: Khairana Mahdiyah)

Bohong jika aku mengatakan aku tidak pernah merasakan hidup di
dunia cinta, dimana kupu-kupu serasa berterbangan di sekitarku. Pernah
sekali aku berada pada fase dimana aku mengejar sesuatu yang ternyata
tidak berarti, bukan dikejar layaknya aku adalah seorang permaisuri.
Rasanya seperti memeluk kaktus di padang yang tandus. Meski pada
dasarnya semua orang mengatakan bahwa hakikat cewek adalah selalu
dikejar. Namun, aku adalah dia yang tak peduli dengan stigma dan opini
orang-orang, apa yang hendak aku miliki, harus aku genggam. Semua aku
lakukan demi mendapatkan apa yang memang perlu aku dapatkan. Seperti
dia … dia yang akan aku ceritakan dalam kisah ini, dia yang membuat aku
menjadi sosok yang berbeda, dia yang menjadi obat sekaligus lukaku yang
paling dalam.

Namun, sebelum terlalu lama melangkah, aku perlu menulis
namaku terlebih dahulu di bagian ini, Alissa—sederhana bukan? Aku
mengejar sosok di usia remajaku yang namanya dapat aku hafal di luar
kepala dengan cepat meski memiliki tiga kata. Ia adalah Alaska Biru
Navaera, akrab dipanggil Alaska. Sudah aku bilang bukan jika aku pekerja
keras? Bahkan aku rela bangun pagi buta hanya untuk membuatkan ia
bekal kala itu. Segala bentuk bahasa cinta aku berikan hingga
pertahanannya runtuh, rasaku dibalas, sampai masa dimana aku mampu
menggenggam tangannya. Ia adalah sesosok lelaki yang ternyata sangat
menghargaiku dan tidak pernah membiarkanku merasakan sendirian
dalam sepi. Seperti lelaki yang ku impikan, seperti lelaki yang ku harapkan
di setiap selipan doaku kepada Tuhan. Namun, kini bukanlah sebuah
mimpi lagi, ia berhasil aku miliki, kita menjalin kasih, sebuah kisah tentang
Alissa dan Alaska tertuang di sini. Namun, apakah kau mengira akan
berujung manis?

Kala itu libur akan segera habis, untuk pertama kalinya aku benci
hari libur karena tidak bisa bertemu dengan sosok Alaska. Hari itu aku
terlalu bersemangat untuk pergi ke sekolah untuk akhirnya kami kembali
bertemu dari sekian lamanya ia sangat susah diajak untuk sekadar pergi
makan kala hari libur kemarin. Dia tersenyum menatapku, tak perlu
ditanyakan bagaimana dengan aku, sudah pasti bibirku pegal membentuk
senyuman sejak di rumah. Menantikan pertemuan kita setelah lamanya tak
saling menyapa. Bahkan aku sudah rindu mendengarkan suaranya secara
langsung.

Namun, ada yang menjanggal kala itu, aku mendengar dari teman
sekelas bahwa ia bertemu Alaska di sebuah mall. Sudah pasti aku hendak

35


memastikan hal itu apakah benar terjadi atau tidak. Sebab yang aku tahu,
semenjak liburan kemarin ia pergi ke kampung halaman neneknya di
Malang. Aku pun tahu, Alaska bukanlah pria yang seperti aku curigakan
saat ini.

“Hm … kapan tibanya dari Malang?”

Dia menoleh. “Kemarin banget.”

“Oalah … artinya teman aku salah lihat,” balasku.

“Maksudnya?” Ia menoleh dengan alis yang kini naik.

“Temenku lihat kamu di mall pas rabu kemarin,” jawabku.

Ia mengangguk-angguk, seolah tidak merasa seperti menjadi yang
tersangka. Membuat raguku yang tadinya sudah tertanam jelas, kini
perlahan memudar dan mulai menerima, bahwa sebenarnya Alaska
memang tidak akan pernah mengkhianatiku.

“Aku nggak kemana-mana, selain yang aku kabarin ke kamu kalau
aku emang lagi di Malang. Tanya Rasya aja kalau nggak percaya,” ucapnya
sembari meyakinkanku dengan membawa-bawa nama sepupunya.

“Aku percaya, kok. Cuma emang pas aja rabu kemarin kamu susah
dihubungin. Biasanya kita juga telfonan, kan? Tapi kemarin enggak,”
balasku menjelaskan.

“Iya, maaf, ya? Karena susah sinyal. Tapi percaya, aku nggak ngapa-
ngapain,” balasnya lagi dengan senyum hangatnya yang mampu
meruntuhkan segala pertanyaan keraguanku. Alaska selalu bisa.

Belum ada semenit ia mengatakan hal itu kepadaku, tiba-tiba saja
HP-nya berbunyi. Notifikasi pesan tertera pada layarnya. Biasanya ia
segera membiarkan aku yang membuka dan membalasnya. Tapi, berbeda
kali ini. Ia secepat kilat langsung menarik HP itu ke genggamannya, seolah
ada sesuatu yang memang tidak mau sampai aku tahu. Alaska, apa yang
kamu sembunyikan? Kataku dalam hati sembari pura-pura tidak lihat apa
yang baru saja ia lakukan.

“Ke kelas, yuk?” ajaknya sembari menarik tanganku.

Seolah hal tadi bukanlah apa-apa baginya, sedangkan aku disini
mempertanyakan kembali seribu dugaan pada dirinya.

Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini pun kami tidak lupa
menjalankan rutinitas kami sebelum tidur, video call. Kalau ada kata selain

36


budak cinta sebagai perumpamaan, itulah aku. Namun, pembicaraanya
mala mini bukanlah seperti percakapan manis dan hangat seperti malam-
malam sebelumnya yang sudah kita lalui.

“Ska, kamu nggak mau jujur ke aku?” Tanyaku.

“Kapan aku bohong, Sa? Semua hal selalu aku kasih tau ke kamu,”

“Ska, please, jangan sampai aku tau semuanya dengan mata kepala
aku sendiri atau dari orang lain, bukan kamu,” balasku kukuh.

“Aku emang nggak ngapa-ngapain, Sa, jadi aku harus jujur apa? Apa
yang kamu mau tau lagi sedangkan semuanya udah aku kasih? Aku
bingung. Kamu mojokin aku seolah-olah emang ada apa-apa disini,” kali
ini Alaska menaikkan suaranya.

“Tapi aku tau, Ska. Aku tau pasti ada apa-apa,” ucapku parau dan
mulai terisak. Aku takut akan suara Alaska yang mulai meninggi.

Ia menghela napas berat, sangat berat, bahkan sampai terdengar
keras di balik pengeras suara HP-ku. Aku mulai menangis, tak kuat
membendung lebih lama air mata yang sudah mulai memberat di pelupuk
mataku. Aku tahu Alaska mendengar dan menyadari isakanku. Tapi dia
hanya diam, sekian lama, setelah akhirnya dia mulai membuka suara.

“Sa, aku minta maaf,”

Entah apa maksudnya ia melontarkan kata maaf. Namun, tetap
kembali diam sampai hanya tersisa suara napas kami yang saling beradu
dan hening malam yang akan menjadi saksi bisu setelah ini.

“Ada apa, Ska?” tanyaku.

“Maaf. Aku tau ini brengsek, tapi aku selalu dihantui rasa salahku.
Sa, rabu malam kemarin aku tidur sama Renata. I am truly sorry, Sa.”
Jujurnya dengan diikuti isakan kecil.

Ternyata Alaska tidak lebih dari lelaki lain yang selama ini aku
temui. Mereka semua menancapkan pisau yang sama kepadaku. Hal yang
selalu sama terjadi dan selalu terulang kembali, yang ku kira Alaska tidak
akan menjadi bagian dari salah satunya. Mengapa?

Sudah hampir setengah tahun semenjak kejadian hal yang sama
seperti itu menimpa diriku, tentunya dengan mantan kekasihku sebelum
akhirnya aku bertemu dengan Alaska. Trauma hebat melanda setiap inci
bagian nadiku, sampai aku benci dengan kata cinta yang dijanjikan lelaki,
sampai aku benci melihat pasangan lain yang mengumbar cintanya di

37


depanku, seolah aku ingin mengatakan kepada wanitanya bahwa lelakinya
tidak lama lagi akan mengkhianatinya juga.

Apa yang ada dalam diriku bertengkar hebat. Sisi satu
mengharapkan cinta, namun sisi lain menolak dikarenakan luka. Namun,
saat bertemu Alaska, ku kira ia yang akan menyembuhkanku dengan
segala afeksinya yang menjadikan itu sebagai obat. Tapi, ialah yang
menggambarkan bintang di sekitar lukaku dan ia pula yang justru
membuatku kembali berdarah. Kini, Alaska bukanlah lagi seseorang yang
aku genggam, kepercayaanku runtuh bak bangunan tua yang sudah tidak
terseisa lagi pondasinya.

Ku tutup telfon itu, tidak dengan sepatah kata apapun aku
sampaikan. Hatiku terlalu sakit, jiwaku terlalu kecewa. Sampai air mata
kalau bisa berbicara pun ia akan mengatakan lelah karena selalu jatuh dari
tempatnya. Tangisan yang hanya bisa aku keluarkan kala badanku bergetar
hebat. Mengapa harus malam ini? Di malam hari jadi kita yang sudah
memasuki satu tahun lamanya kita menjalin kasih.

38


Jatuh Hati Dalam Delusi
(Ditulis Oleh : Niki Dwi Safitri)

Aku berada di sebuah bangunan yang tak boleh terdengar suara
sekecil apapun, aku bahkan enggan menyapa orang yang kutemui di dalam
bangunan ini. Beberapa orang menganggap bangunan ini seperti surga
yang dipenuhi dengan lembar-lembar indahnya kehidupan, beberapa
lainnya menganggap bangunan ini seperti neraka yang dipenuhi dengan
lembar-lembar omong kosong, menyita waktu dan membosankan. Aku
berada di golongan pertama, sepertinya.

Baru beberapa langkah aku memasukinya mataku sudah menjelajah
ke seluruh penjuru bangunan ini. Tak lama, sampai mataku berhenti di satu
titik. Hatiku dibuat tak karuan olehnya. Rak sebelah kiri di lorong ke 32.
Sosok itu, Azrael namanya. Sosok yang telah lama ingin kutemui secara
langsung.

***

Saat itu pertama kali aku mengenalnya, sosok itu menolong seorang
gadis yang bisa dikatakan hampir sekarat. Seorang gadis cantik yang entah
sejak kapan memikul semua beban dan penyakit-penyakit di dalam kepala
mungilnya. Gadis itu mengenakan baju yang sangat indah, blouse cream
lengan panjang dengan warna celana dan sepatu yang senada. Terlihat
sedikit mencolok, namun tidak mengurangi kecantikan yang dimiliki
dirinya. Wajah gadis itu putih bersih, dihiasi rambut bondol dan senyuman
yang manis membuat siapapun tidak akan tahu jika dirinya sedang sekarat.
Terkecuali satu sosok yang terang-terangan melihatnya. Sosok itu
mengikuti kemanapun gadis itu pergi, tidak pernah sedetikpun sosok itu
melepaskan pandangannya dari gadis itu.

Gadis cantik itu sepertinya berniat pergi ke suatu tempat. Kakinya
yang jenjang tidak bergerak satu jengkal pun, gadis itu terus berdiri
menunggu kereta api selanjutnya. Tatapan matanya lurus, bibirnya tidak
lagi menampilkan senyuman manis sedikitpun, kepalanya hanya sesekali
mengangguk ketika seseorang melewati jalan di depannya. Entah buku
bacaan apa yang telah gadis itu baca. Tetapi semenjak gadis itu keluar dari
toko buku di samping stasiun itu, sepertinya ada hal yang yang
membebankan pikiran gadis itu. Kereta ketiga telah tiba, banyak
penumpang naik dan turun lalu bergegas kembali menuju tujuannya. Tapi
tidak dengan gadis itu, sampai kereta ketiga diberangkatkan kembali, ia
masih tetap berdiri tanpa bergerak sedikitpun. Lima belas menit berlalu,
akhirnya gadis itu memutuskan untuk menepi dan bersandar pada tiang
penyangga atap stasiun.

39


“Berniat pergi kemana?” Ucap sosok itu, yang sedari tadi telah
memperhatikan si gadis.

Bibir gadis itu membentuk lengkungan setengah lingkaran, sebuah
senyuman manis yang sedari tadi menghilang mulai bertengger kembali di
wajah cantiknya. Tatapan matanya tetap lurus, terlihat sendu,
menyedihkan, atau lebih tepatnya menyakitkan.“Ke suatu tempat yang
sangat indah, kau tidak akan tahu tempat itu, tuan.”

“Tidak semua tempat yang kau anggap indah itu merupakan tempat
yang benar-benar indah. Bisa saja tempat tujuanmu itu bukan tempat yang
indah, tetapi kaulah yang mengasumsikan bahwa tempat itu adalah tempat
yang indah.”

***

Sosok yang berbincang dengan gadis itu berpostur tinggi besar,
rambutnya terlihat sangat tebal. Rahang yang terlihat tegas dan matanya
yang tajam mungkin kan membuat beberapa orang bergidik ngeri. Tetapi
tidak dengan gadis itu.

Gadis itu baru saja bertemu dengan sosok pria tinggi besar ini, sosok
yang belum pernah sama sekali gadis itu temui sebelumnya. Tanpa rasa
curiga dan sikap waspada sedikitpun gadis itu berbincang dengannya,
layaknya kawan lama yang baru bertemu kembali. Cukup aneh, tetapi yang
lebih anehnya lagi gadis itu merasa tenang ketika berada di dekat sosok itu.

***
“Menurutmu, mengapa hidup dipenuhi dengan hal-hal yang
menyakitkan?”

Gadis itu masih belum membiarkan suaranya bebas, yang gadis itu
rasakan ketika mendengar pertanyaan itu adalah keberadaan sebuah benda
keras yang mengganjal tenggorokannya, menghalangin udara
penapasannya dan hampir mati karenanya.

“Menurutmu, apakah pantas jika seorang manusia menyakiti
manusia lainnya, lalu ia hidup tanpa merasakan rasa bersalah?”

Setelah mendengarnya, gadis itu merasakan seakan-akan ada
seseorang yang memukul kepalanya dengan sangat kencang. Penyakit-
penyakit di kepala gadis itu mulai memberontak. Ada yang menusuk,
menerobos ke segala arah, dan menukik ke inti hati gadis itu. Penyakit-
penyakit itu sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Gadis itu mulai sekarat.

40


Sosok itu kini mengalihkan pandangannya, menatap gadis itu. Tidak
ada yang tahu pasti apa arti sebenarnya dari tatapan sosok itu. Tapi
rasanya, tatapan itu sangat dalam, tatapan yang sendu, tajam, mengasihani,
dan seakan-akan membutuhkan jawaban dari lawan bicaranya itu. Lalu
sosok itu mengatakan pertanyaan untuk terakhir kalinya.

“Seperti yang sudah kukatakan tadi, Tidak semua tempat yang kau
anggap indah itu merupakan tempat yang benar-benar indah. Jadi, tidak
semua manusia sengaja untuk menyakiti manusia lainnya. Terkadang ada
seorang manusia yang memberikan kesempatan dan membiarkan manusia
lain untuk menyakiti dirinya. Dan secara tidak langsung, orang itu
menyakiti dirinya sendiri.”

“Apakah pantas, jika kau hidup berdampingan dengan manusia
seperti itu?”

“Atau. Apakah pantas kau hidup dengan cara seperti itu?”

Setelahnya, hening. Runtuh sudah dunia gadis itu. Tidak satupun
dari mereka bersuara. Sampai ketika kereta kelima datang dan
diberangkatkan kembali, mereka masih enggan untuk bersuara, apalagi
bergerak untuk pergi.

Gadis itu masih bergelut dengan pikirannya sendiri, terlalu banyak
penyakit berterbangan di kepala mungilnya itu. Penyakit-penyakit itu
sudah terlalu liar dan tidak bisa disembuhkan. Mungkin sebentar lagi
kepala mungil gadis itu akan meledak dan hancur menjadi kepingan-
kepingan tak beraturan.

“Aku bisa menolongmu”

“Aku bisa menemanimu ke tempat indah yang kau bilang itu”

Ucap sosok itu memecahkan keheningan yang sudah memeluk
mereka berabad-abad lamanya.

Gadis itu masih sama seperti tadi, bergelut dengan pikirannya
sendiri. Gadis itu masih juga enggan untuk mengeluarkan suaranya, tetapi
kepala gadis itu mengangguk, menandakan bahwa gadis itu setuju dengan
penawaran yang diberikan si sosok pria tinggi besar.

“Baiklah, kita bisa pergi sebelum kereta keenam. Namun jika kau
belum siap, kita bisa pergi sebelum kereta ketujuh. Dan jika kau masih

41


belum siap, aku akan menunggu sampai kau siap untuk pergi.” Ucap sosok
itu dengan senyum penuh kemenangan.

***
Sejak saat itu, aku sering mendatangi bangunan ini. Bangunan
perpustakaan yang berisikan banyak buku tentang sosok itu. Aku jatuh hati
pada sosok itu, jatuh sedalam-dalamnya. Sosok pria baik hati yang
menolong orang lain, terutama seseorang yang berada diambang kematian.
Mungkin aku tidak bisa menemuinya untuk saat ini.
Namun barangkali, suatu saat sosok itu yang akan menolongku dari
ambang kematian.

42


43


Bayangan yang menyakitkan
(Ditulis oleh: Aisyah Mita Z)

Baik atau buruknya suatu kisah, semua itu akan tertinggal menjadi
masa lalu. Tidak ada yang abadi di dunia ini, begitu kata para petuah.
Namun semesta akan mengizinkan satu hal untuk tertinggal menjadi abadi,
yaitu kisah yang hadir atas izin seseorang yang menentukan akan berakhir
menyenangkan atau menyakitkan. Tapi semesta juga tidak akan
memberitahu bagaimana akhir dari kisah itu, maka dari itu semesta hanya
memberi izin bukan untuk memberitahu. Semua akhir yang berakhir indah
atau buruk hanya ditentukan oleh orang itu sendiri.

Sebagai manusia pasti menginginkan kisahnya berakhir indah,
sangat indah kalau bisa. Namun sebagai manusia, kita juga tidak tahu apa
yang akan terjadi dari kisah kita sendiri. Terkadang, kita sebagai manusia
ingin kisah kita seindah novel fiksi, alur film, dongeng kerajaan, atau hal
lainnya. Namun kita hanya membayangkan bagaimana indahnya kisah kita
jika sama persis dengan sebuah film romance. Tapi kita lupa, bagaimana
kalau kisah kita yang katanya akan menyenangkan malah berakhir
menyedihkan?. Terlalu banyak misteri didunia ini, bahkan kita sebagai
tokoh atau pelaku utama dalam kisah kita sendiri saja tidak tau nanti
berakhir seperti apa.

Pernah terpikirkan olehku, bahwa kisah abadi adalah kisah yang
mampu membuat tersenyum ketika kita mengingatnya. Sebagai contoh
adalah diriku sekarang yang sedang melihat seorang pria dengan memiliki
senyuman yang terasa tulus. Aku menyukainya, menyukai segala hal
dalam dirinya, katakanlah seperti itu. Saking diriku menyukainya, semua
hal yang kutemui dalam diri dia, sering kuceritakan pada salah satu
sahabatku, alih-alih berbagi kebahagiaan. Aku menyukai pria itu, sampai
terkadang sebelum tidur, diriku suka membayangkan bagaimana jika kita
bersama dengan memiliki ikatan cinta, atau terkadang aku suka
membayangkan bagaimana jika kita jalan bersama menggunakan
kendaraan roda dua dan mengelilingi jakarta pada sore hari hingga malam
hari lalu duduk bersama menikmati makanan pecel ayam daerah
gelonggongan. Indah, indah sekali jika dibayangkan.

Kala di bulan januari tepatnya tanggal 25 januari 2018, dunia
perfilman sedang digemparkan dengan salah satu film yang sebelumnya
dituangkan dalam novel, mungkin jika kamu seorang remaja kamu tau
tentang Dilan 1990. Ya, film yang diciptakan dari karangan novel Pidibaiq
ini cukup menggemparkan di dunia perfilman Indonesia. Dibeberapa
tempat, tiket yang tersedia telah habis dengan cepat. Banyak sekali yang
membahas mengenai film ini. lalu aku berencana untuk menontonnya di
tanggal 28 Januari 2018.

44


Ketika aku sudah menontonnya aku paham mengapa film ini sangat
direkomendasikan untuk ditonton. Alur yang menarik dan kisah cinta
remaja merupakan kunci utama pada film ini, Dilan yang selalu
mempunyai cara unik untuk menampilkan rasa sayangnya pada Milea. Aku
jika jadi Milea mungkin aku sudah merasa keberuntunganku telah habis
karena telah memiliki Dilan didalam sisiku. Aku selalu membayangkan
bagaimana hal-hal yang terjadi pada Milea segera terjadi dengan diriku,
terlebih lagi jika tokoh pria itu adalah pria yang aku kagumi.

Sahabatku menyuruhku untuk mengatakan apa yang aku rasakan
kepada pria yang aku suka. Namun diriku terlalu gengsi untuk
mengungkapkannya. Aku takut jika aku mengatakannya dia tidak
menjawab yang sesuai dengan harapanku atau malah menjauhiku. Maka
dari itu aku cukup mengaguminya dalam diam.

***

“Kau tau, bahwa sahabatmu itu telah memiliki kekasih?” tanya temanku.

“Oh iya? Dia tidak memberitahuku, siapa kekasihnya jika aku boleh tau?”

“Ketua Basket angkatan kita, kau kenal dengannya?”

“Ya, aku mengenalnya.” Pintasku.

Kantin yang seharusnya menjadi tempatku beristirahat setelah tadi
bertarung dengan materi fisika yang bisa membuatku gila, mendadak
menjadi tempat pertamaku dengan segala rasa hampa. Entah aku harus
bahagia atau kecewa mendengar apa yang diucapkan oleh temanku
barusan. Aku sangat mengenalnya, sangat sekali. Pria dengan
kedudukannya sebagai ketua dalam organisasi basket, pria dengan alergi
stroberi, pria yang memiliki senyuman tulus itu, aku sangat mengenalnya.
Dia pria yang kukagumi selama ini, pria yang selalu menjadi tujuan
utamaku hadir diujung sisi stadion hanya untuk menonton pertandingan
basket antar sekolah. Pria yang selalu jadi tokoh utama dalam
pembicaraanku dengan sahabatku itu, dan ternyata sahabatku lah yang
memiliki dirinya. Tidak apa, tapi entah, untuk kali ini, sakit sekali.

***

Dua minggu lalu setelah menonton Dilan 1990, aku selalu
membayangkan hal-hal indah sebelum tidur, selalu berharap hari esok aku
bertemu pria yang kukagumi ini menjadi milikku secepatnya, atau bahkan
berdoa agar pria itu memiliki perasaan yang sama dengan diriku. Namun
malam ini, aku harus menerima kenyataan pahit, kenyataan yang menjadi
titik utamaku hancur dalam hal bercinta. Aku ingin mengutuk diriku,

45


bodoh, sangat bodoh. Malam ini aku benar-benar merasa menjadi manusia
paling menyedihkan untuk dilihat. Aku bahagia sekaligus kecewa dengan
sahabatku itu, bahagia karena dia dapat memiliki kekasih yang menurutku
pantas untuk memilikinya, namun aku kecewa pada dirinya, entah kecewa
pada bagian dia tidak memberitahuku mengenai hubungannya dengan
kekasihnya itu atau bahkan kecewa karena dia telah berkhianat pada
diriku. Malam ini, tidak ada chatingan yang begitu panjang dengan
sahabatku, biasanya dia selalu mulai topik dengan memancingku untuk
menceritakan bagaimana perasaanku dengan pria yang kukagumi. Namun
malam ini benar-benar tidak ada komunikasi antara kita. Bahkan siang tadi
disekolah, aku tidak menemukan dirinya yang selalu datang padaku untuk
mengajakku pulang bersama.

***

Pagi hari ini, aku harus bersekolah dengan keadaan mata
membengkak, aku benci memiliki lipatan mata, inilah yang akan terjadi jika
aku menangis sampai tertidur. Hal bodoh apa yang aku tangisi semalam
benar-benar menganggu kegiatanku hari ini. Setelah melangkahkan kakiku
untuk masuk ke dalam kelas, aku segera menuju kursi dan menyatukan
mukaku ke meja yang dialasi dengan tanganku sendiri.

Tidak lama aku menutup mata dengan tujuan ingin menenangkan
pikiranku sebentar, tiba-tiba ada suara tepat disampingku.

“Maaf, aku tau ini akan terjadi, maaf aku juga mencintainya.” Ya begitulah
ucapan yang bisa kuketahui suara siapa itu.

Aku mengubah posisi kepalaku yang semulanya berada di atas meja segera
memandang orang yang tepat disampingku.

“Tak apa, malah bagus jika kamu bersama dengannya, dia orang baik,
pantas untuk dirimu yang juga baik. Bahagia ya kalian.” Jelasku dan
langsung memeluknya.

Jika ada yang bertanya bagaimana rasanya, jelas sakit, sangat sakit.
Namun aku tidak memaksakan kehendak, aku yakin mereka berdua saling
mencintai, dan aku percaya akan ada hal indah untukku dikedepan hari.
Jika aku ingin mereka berpisah karena egoku, bisa saja kulakukan hal itu,
namun, jika hal itu terjadi, aku hanya menjadikan diriku tokoh yang jahat
dalam kisah seseorang.

***

Itulah aku dan sesingkat kisah menyedihkan saat pertama kali
mengenal cinta. Rasa sakit yang begitu membekas tidak akan pernah aku

46


lupakan dan hal itu juga menjadi sebuah pembelajaran. Umurku pada masa
itu adalah 14 Tahun. Dan sekarang aku menempati umur 18 tahun. Empat
tahun lalu bocah ingusan yang coba-coba untuk mengagumi seorang pria
lalu digagalkan oleh harapannya sendiri, lucu kalau diingat. Dan sekarang
bocah itu tumbuh dengan rasa yang tidak pernah satupun bisa menyentuh
hati kecilnya, ingin memperbaiki diri katanya.

Selalu saja kuingat kisah cinta monyetku itu, aku benar-benar tidak
bisa melupakannya, tapi ku bilang diriku hebat, contohnya seperti
sekarang, aku berada dalam sebuah pameran yang diadakan di balai kota,
pameran ini menerima semua barang-barang berharga milik seseorang
yang nantinya akan dipajang. Kata petugas disini, barang yang sudah
dipajang itu hanya akan bisa dilihat sekali, lalu diganti dengan barang yang
baru. Dan aku berada di barisan pengumpulan barang itu, barisan ini berisi
tiga banjar, dan posisiku di tengah. Ketika aku melihat samping kananku,
ada perempuan cantik dengan gaun kuning yang memegang sebuah
kalung dengan liontin yang tergambar ukiran bunga kamomil, lalu sebelah
kiriku terdapat perempuan tua yang memegang sebuah polaroid
bergambar laki-laki di tengah pantai. Sedangkan aku, aku hanya
memegang sebuah kertas yang berisi tulisan yang kutulis menggunakan
tinta biru. Pada kertasku berisi mengenai

“Coba kau cantik, pasti sudah kupacari.”
Ternyata cantik menjadi standarnya.

Hanya tulisan itu, bagiku kalimat itu berharga, makanya ingin ku
pajang di pameran ini. Kalimat yang ku tulis dengan kutipan, berasal dari
ucapan seorang pria yang kukagumi empat tahun lalu. Dan kalimat pada
baris kedua merupakan kesadaranku mengenai satu hal, yaitu cinta.

47


KISAH BAGI SANG PENOREH PENA
(Oleh: Candras Suryo K)

Hanya orang luar, namun justru karena itu mereka penilai terbaik. Karena
mereka tidak terbawa perasaan satu kubu, dan mereka dapat menilai sisi
manapun dengan perasaan netral.

Siapa? Tentu saja Anka!

Tak terasa waktu sudah berjalan sebulan semenjak teman dan kakaknya
yang awalnya menjalin kasih malah berpisah, namun sepertinya malah
dua-duanya gamon alias gagal move on. Hal ini membuat Anka sebagai
teman sejati sekaligus adik dari yang bersangkutan pun tak mungkin tak
menggelengkan kepala.

Putus cinta memang sulit, ya. Anka yang baru berpasangan dengan
pasangan barunya hanya bisa menonton bak film sedih. Bersimpati pun
sulit, karena Anka masih dalam kondisi berbahagia sebagai pasangan baru.

"Hari natal ini, gua mau kasih hadiah juga ke Mas Rendra sama Yuna!"

Begitu ujar Anka. Karena hari ini, niatnya adalah membuat mereka berdua
bisa lebih nyaman dengan diri mereka sekarang.

***

Kalau ditanya tentang dongeng, Anka sebetulnya juaranya. Ia seorang
penggemar literature anak-anak, terutama seri kerajaan. Klasik, namun
ternyata mengikatnya untuk menjadi dirinya sekarang; seorang calon
penoreh pena yang mampu membuat kisah serupa.

Kini ia berada di café yang didatangi olehnya dan Yuna beberapa hari lalu.
Buku gambar besar berjudul The Little Mermaid itu sebetulnya juga salah
satu kesukaannya saat kecil. Ia tahu keberadaan buku ini karena Rendra
yang kerap membicarakannya pada Anka. Pemuda satu itu memang
terbuka tentang hubungannya pada adiknya.

Lembar dari lembar dibaliknya seraya membaca juga isi dari buku itu,
hingga ia terhenti pada satu halaman. "... Oh, bentar."

Forever, R & Y

48


"... Coret-coret buku perpustakaan café, lagi… Parah emang ini sejoli."
Gumam Anka seraya terkekeh melihat tulisan—yang sudah dihafalnya
luar kepala, yaitu tulisan Yuna.

Buku kembali ditutup, lalu ia menaruh kembali benda di tangannya
menuju rak. Ia sudah melihat lebih dari cukup.

***

Kini berbelanja!

Baru ingin masuk, ia berhenti pada taman yang berada di sebelah gedung
perbelanjaan. Taman kosong biasa, sih. Tapi menurut Anka, tempatnya
sangat instagramable.

"Tempatnya fresh sama sepi banget… Yuna pasti suka kalo ke tempat ini
sama Mas!" Ujarnya pada diri sendiri seraya menangkap gambar dengan
ponselnya.

Senyum merekah kala ia semakin siap dengan hal yang akan ia berikan
pada dua orang terpentingnya pada hari yang tak kalah penting baginya.

"Oh, ya! Aku lupa mau beli itu!"

Dengan segera, Anka segera berlari menuju pusat berbelanjaan. Ia harus
segera bersiap-siap dengan kado, sebelum hari berakhir atau bahkan
kehilangan kesempatan mereka yang seharusnya sedang free malam ini.

***

Kado untuk kedua orang itu sudah siap. Sekarang tinggal memanggil yang
akan diberikan saja. Anka segera mengambil telepon dari sakunya dan
mencari kontak mereka dengan pesan yang sama persis, karena memang ia
ingin Rendra juga Yuna datang di saat yang sama.

From: Anka
To: Rendra & Yuna
: Merry Christmas! Gua punya kado buat kalian, hehe. Nanti dateng ke rumah di
ruang tamu, terus nanti gua kasih buat kalian :)

Pesan yang sempurna. Kini tinggal menunggu saja hingga mereka datang.

***

"Anka?"

49


"Kita udah dateng, An!"

Kedua suara dari ruang tamu tentu menarik atensi dari si puan untuk
segera turun ke bawah dan menyambut. Astaga, susah-susah ia
memikirkan berbagai kemungkinan bila ia menggabungkan mereka,
namun nyatanya tak terjadi apapun.

Kalau boleh jujur, Anka sedikit kecewa.

"Ekhem, guys. Jadi kalian pasti disini karena mikir gua mau kasih hadiah
natal—GAK SALAH, kalian bener, kok! Cuma kalian expect aja kalo
hadiahnya mungkin gak sebagus yang kalian bayangin."

Pendahuluan telah ia lewati, kini masuk ke bagian utama, yaitu pemberian
kado. Satu buku ia berikan pada mereka—iya, satu. Namun cukup besar,
seperti buku gambar.

Buku itu adalah buku The Little Mermaid.

"... Bukunya buat apa, An? Buku kayak gini, mah—anak kecil banget, gak
sih?"

"Iya, An. Buat apa?"

Salah, salah, SALAH! Entah kenapa mereka langsung menilai dari
sampulnya saja, Anka dengan segera melipat tangannya dengan raut sebal.

"BUKAN GITU, AH!" Bantah Anka dengan hebat. "Lihat dulu isinya—gak,
langsung ke dekat halaman terakhir aja!"

Pandangan bingung masih diberikan kedua insan itu, namun dituruti juga.
Perlahan laman dibalik hingga mereka sampai pada yang dimaksud Anka.

Putih, tanpa tulisan akhir.

"...?"

"Maksudnya, An?"

Dengus bangga diberikan pada Anka, karena kini ia merasa sangat puitis.
"Siapa dulu, Anka!"

"Itu… Gak ada endingnya, karena artinya kalian harus buat jalan ceritanya
sendiri. Bisa beda-beda, bisa bareng. Sesukanya! Judulnya aja yang mirip."

50


Click to View FlipBook Version