The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Bak Dongeng Bersuara merupakan buku kumpulan cerpen yang terinspirasi dari sebuah lagu berjudul "Like The Movies" yang dipopulerkan oleh Laufey.

Ditulis oleh: Aisyah Mita Zesthiara, Candras Suryo Kusmiradamayanti Putri, Khairana Mahdiyah, dan Niki Dwi Safitri.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by nikidwisafitri, 2022-12-25 21:07:36

Bak Dongeng Bersuara - Kumpulan Cerpen

Bak Dongeng Bersuara merupakan buku kumpulan cerpen yang terinspirasi dari sebuah lagu berjudul "Like The Movies" yang dipopulerkan oleh Laufey.

Ditulis oleh: Aisyah Mita Zesthiara, Candras Suryo Kusmiradamayanti Putri, Khairana Mahdiyah, dan Niki Dwi Safitri.

Keywords: Kumpulan Cerpen,Bak Dongeng Bersuara,Like The Movies,Laufey

Lalu kedua tangannya memegang pundak dari dua orang terkasihnya.

"Lu Islam, lu Kristen. Susah, sih. Tapi kalo emang masih sayang ya mau
gimana? Balikan? Putus? Gapapa selama lu berdua udah ikhlas dan rela,
bukan terpaksa."

"Gua mau, kalo sekalipun kalian sad end, itu bukan dalam bentuk bad end,
oke? Kalian berdua orang paling penting buat gua, jadi kalian gak boleh
banget yang namanya pergi."

Pidato singkat selesai, menyisakan kedua insan yang masih terbingung
dengan segala hadiah yang—di luar nalar. Kadang Anka memang suka
sekali melakukan tindakan alay.

"Pfft—!" Rendra langsung menutup mulutnya. "Sori, gak sengaja, sumpah."

"Lu jangan ketawa, Ren. Gua jadi pengen ikutan…—!"

Loh, loh? Kok malah ketawa? Gimana sih! Apakah ini artinya rencana Anka
untuk menggabungkan mereka kembali ini gagal total? Duh, bingung!

Belum selesai Anka dalam rasa bingung kini kedua tangan digapai oleh
keduanya. Bersama dengan pena yang sudah disiapkan.

"Kalo gitu lu ikut tulis juga, An. Lu yang paling berpengaruh, dah, disini."

"Rendra bener, lu yang paling berperan besar. Lagi pula, lu juga adek, sama
sahabat gua. Jadi boleh dong kalo lu tulis disini juga."

"Kita buat hidup kita jadi kayak film!"

"Dih, romantisasi hidup banget, lu, Ren."

"Biarin, kan ini namanya coping!"

Apakah rencana Anka untuk menyukan mereka berhasil? Tidak. Namun
apakah Anka senang dengan percakapan mereka barusan? Ya.

Yah, setidaknya begini saja cukup. Torehan hidup mereka masih panjang,
mungkin saja masih akan ada cerita tak terduga kedepannya. Asalnya
mereka masih berhubungan, kisah yang harmonis kayak film tentu masih
akan terjadi.

51


Dongeng Hangat Ibu

(Ditulis oleh: Khairana Mahdiyah)

Glory Fairytale, nama itu merupakan sebuah hadiah pertama yang
diberikan ibuku 17 tahun silam, nama yang diberikan sebagai bukti
kecintaan ibu terhadap pekerjaannya yang ia geluti sampai hari ini. Ibuku
adalah seorang penulis buku anak-anak atau sebut saja dongeng. Ia sangat
mencintai pekerjaannya itu, beliau memiliki begitu banyak imajinasi yang
indah. Namun, ada sebuah kesamaan dari kisah-kisah yang ibu tulis. Selalu
berakhir dengan manis, indah, dan sangat hangat. Sedari kecil, aku seolah
sudah disuap dengan dongeng-dongeng yang tercipta. Bahkan, aku
dulunya sulit untuk tidur jika tidak dibacakan dongeng oleh ibu.

Namun itu semua hanya dulu, Fairy—itu nama panggilanku—aku
sudah beranjak dewasa, aku sudah menghadapi kehidupan yang nyata,
kehidupan yang sudah pasti tak seindah tulisan ibu. Terutama dalam dunia
kisah cinta, apalagi kepada manusia. Bahkan sampai saat ini, aku sampai
enggan membuka hati. Buat apa aku percaya cinta? Ibu yang mengagung-
agungkan cinta dalam tulisannya pun membuktikan itu hanya bualan
semata. Ibu berpisah dengan ayah bahkan saat aku masih berusia lima
tahun. Sudah pasti, cinta tak semanis dongeng-dongeng pengantar tidur,
cinta itu hanya racun yang tersimpan dalam botol madu.

Kini, aku berjalan menuruni anak tangga, meneguk susu dan
menyantap sepotong roti yang telah dilapisi selai strawberry, kesukaanku.
Ibu sudah menyiapkan itu sebelum berangkat ke kantor, perlu aku garis
bawahi bahwa kini ibuku bukan hanya sebagai penulis saja, ia juga sudah
memiliki sebuah penerbitan mayor yang buku-buku penulisnya jarang
absen dari rak best seller. Ibu terlalu sibuk dengan dunia kerja, terlalu cinta
dengan apa yang ia kejar semenjak muda sampai lupa bahwa ia memiliki
seorang anak yang perlu ia beri kasih sayang hingga tumpah-tumpah. Ibu
selalu menafsirkan bahwa bahagia sebatas materi saja, melihat segala
kebutuhanku terpenuhi, ia sudah berpikir bahwa aku bahagia, padahal
definisi bahagia tidak selalu seperti itu. Begitulah, ibu Angela, namanya.

Di umurku yang ke-17 tahun, aku dihadiahi sebuah mobil yang
sejujurnya bukan wish list-ku, tak terpikirkan dalam benakku akan diberi
benda itu. Tapi, menolak rezeki adalah sesuatu yang salah. Tak heran hari
ini aku terlihat mengendarai mobil ke sekolah meskipun drama mencari
parkiran kosong adalah hal yang paling aku benci saat membawa
kendaraan beroda empat ini. Setelah berada di balik kemudi, tak butuh
waktu lama bagiku untuk tiba di sebuah sekolah yang cukup terkenal di
pusat kota Surabaya. Kini, aku turun dari mobil sembari membuang napas

52


kasar. Namun, detik berikutnya aku mampu mendengar teriakan yang
menggema, teriakan yang membuat aku menoleh seketika.

“Fairy!” pekik Ayumi.

Aku berjalan menghampiri gadis mungil itu lantas menepuk pelan
kepalanya. “Masih pagi udah teriak aja, berisik tau.”

“Kamu nggak tau aja ini udah gempar banget. Hari ini hari valentine,
aku ingetin barangkali kamu lupa,” katanya.

“Valentine bukan budaya kita. Aku ingetin juga barangkali kamu
lupa,” balasku.

“Bukan itu masalahnya, Fairy. Ke kelas deh, cek meja kamu dan lihat
sendiri,” katanya.

Buru-buru, aku menuju kelas dan di sana, aku sudah mampu
melihat mejaku yang dipenuhi bunga dan juga coklat. Aku sudah tahu jelas
itu ulah siapa, sudah pasti Angger. Benar saja, detik berikutnya dia muncul
dari belakang dan kini sibuk menyanyikan lagu Bruno Mars - When I Was
Your Man. Meski aku mati-matian menyangkal kebahagiaanku, tetap saja
rona merah di pipiku itu tak bisa disembunyikan.

Dia … dia adalah Angger, lelaki yang sudah aku beri puluhan dan
bahkan ratusan kata ‘tidak’, namun sekalipun ia tidak pernah mundur.
Gadis siapa yang tidak berbunga-bunga diperlakukan seperti ini? Gadis
siapa yang tidak meleleh kala ditujukkan semua bentuk love languages? Aku
yang awalnya tak percaya cinta dan mati-matian menutup hati kini
perlahan mempersilakan ia masuk, membiarkan ia mengisi kekosongan di
dalamnya. Mungkin lelaki yang di hadapanku ini sudah siap jika bunganya
tidak aku terima lagi, namun tanpa sadar kini tanganku maju menerima
bunga itu dan mengulum senyum. “Makasih, ya, Angger.”

Matanya membulat sempurna, ia loncat dan bersorak kala aku
berjalan mundur karena tersipu. Hari berikutnya tak ada lagi jarak, kita
jauh lebih akrab dan bahkan hari ini, tepat sehari menuju ulang tahun dia,
ia mengajakku untuk makan malam bedua. Early birthday katanya.

“Dikit lagi udah beres, masuk aja dulu nanti diarahin sama mbak
yang di depan,” kataku dalam sebuah pesan singkat.

Ia benar-benar masuk dan tampaknya sibuk berjelajah di ruang
tamu, membuang jenuh sembari menungguku untuk selesai. Lantas, kini
aku sudah siap, tapi Angger tak tersenyum kala melihatku, ia bahkan
hanya menatapku dengan pandangan kosong dan kini kami sudah berjalan

53


keluar bersama. Bahkan, kala di restoran, ia sama sekali tak berbicara, hal
itu membuat aku terlalu malas untuk menyentuh makananku.

“Seperti kamu yang sempat ngasi aku jarak, gimana kalau aku
ngelakuin hal itu juga?” katanya secara tiba-tiba.

“Maksud kamu?” tanyaku.

“Gimana ya, aku cuma penasaran sama kamu, aku udah dapat
kesempatan dekat, ya rasa penasaranku terpenuhi,” balasnya.

Aku terpaku, air mataku tak tertahan, kini aku berdiri, jangan
harapkan aku menyirami wajahnya seperti di film-film romansa, sebab
badanku terlalu bergetar, terlalu sulit bagiku untuk melakukan hal itu.
Bahkan berjalanpun sulit aku lakukan sekarang. Aku menghabiskan malam
untuk mengurung diri di kamar. Mengapa ia berani sekali mengucapkan
hal itu dengan lantang? Sedangkan disini aku diam mati-matian untuk
melawan rasa takutku dalam membuka hati.

Keesokan harinya aku keluar setelah dipaksa oleh sahabatku—
Ayumi. Kita bertemu di sebuah café dengan dia yang kini sibuk bercerita
terkait dengan pengalamannya di perayaan ulang tahun Angger. Gadis ini
mungkin lupa kalau laki-laki itu baru saja mengacaukan hidupku.

“Apa yang paling ngejutin kemarin, Ry, di sana ada Angela, kamu
tahu Angela, kan? Penulis dongeng terkenal itu, dia dateng, dan dia go
public di sana, katanya dia pacaran sama ayah Angger. Gila banget tuh
mereka, tapi meski udah sama-sama berumur tetap serasi banget, ayah
Angger gagah banget, Angela juga cantik banget, Ry, matanya tuh coklat
pekat—eh … coklatnya kayak matamu, deh, kayaknya,” jelasnya panjang
lebar.

Aku tersenyum dengan pedih yang mendalam, aku sudah tidak
tahu hendak menyalahkan siapa, intinya detik itu aku menunduk,
menangis, berteriak dalam diam, dan hendak menghilang. Angger, Ayah
Angger, ibuku, di antara mereka siapa yang benar-benar mengkhianatiku?
Nahas, aku hidup di sebuah kisah dengan ending tragis, lagi-lagi tidak
seperti dongeng ciptaan ibu. Jika ini memang sebuah cerita, penulis
sebaiknya membuat narasi agar aku melompat dari café lantai dua ini.
Kumohon.

54


Ditawan Kehidupan
(Ditulis oleh: Niki Dwi Safitri)

“Journal ketiga di bulan ini, nona?” Ucapnya sangat ramah sampai-
sampai menampilkan bulan sabit di matanya.

“Iya.” Balasku dengan senyum tipis yang mungkin tidak terlihat
olehnya.

“Aku sudah beberapa kali melihatmu kesini, terutama untuk
membeli sebuah journal. Kamu tahu, tidak ada seseorang yang membeli
sebuah journal sesering kamu membelinya.”

Aku tidak tahu apakah sebuah pertanyaan atau pernyataan yang
diajukannya itu, yang pasti aku tidak mau menjawabnya. Karena kurasa
dia tidak membutuhkan sebuah jawaban dari ucapannya barusan.
“Ganesha” tertera di situ, name tag yang yang berada di sebelah kiri rompi
seragam toko buku yang digunakannya. “Nama yang bagus” Tuturku
dalam hati mengingat Ganesha yang merupakan seorang dewa.

“Ini nomor teleponku nona, kamu bisa menghubungiku jika kamu
membutuhkan bantuan. Dan jika barangkali kamu membutuhkan seorang
teman.” Ia menyodorkan struk belanjaan, yang sudah mencantumkan
nomor telepon yang ia maksud.

“Terima kasih, tapi aku tidak membutuhkannya”

Aku pergi meninggalkan toko buku itu dengan kesal. “Memangnya
dia pikir aku akan menelponnya? Memangnya dia pikir aku akan masuk
perangkap buaya darat seperti itu? Atau jangan-jangan, dia seorang
psikopat yang sedang haus darah? Atau seorang predator kelamin yang
sedang mencari mangsa? Atau justru keduanya? Atau jangan-jangan dia itu
adalah malaikat maut yang akan mengajakku bunuh diri? Hiii. Ngeri.” Aku
bergegas meninggalkan toko itu, dan bertekad untuk tidak pernah kembali
ke toko buku itu lagi, sangat menyeramkan.

Disaat sedang sibuknya aku memikirkan tentang pegawai toko buku
itu, tak sengaja aku melihat pemandangan yang sangat menyentuh hatiku.
Sepasang anak laki-laki dan perempuan yang sedang bermain di genangan
sisa air hujan. Aku memilih untuk menyingkir dari jalur pejalan kaki, dan
memandangi mereka dari depan toko kelontong yang sedang tutup karena
makan siang. “Aku rasa mereka akan tetap bermain sampai hujan
diturunkan kembali, sebab langit kelabu masih betah menampakkan
kesedihannya.”

55


Keputusan yang aku ambil adalah keputusan yang sangat tepat,
karena benar saja, ketika aku baru saja berada di depan toko kelontong,
langit mulai menurunkan air-air kesedihannya.

***

“Reva! Cepat kesinii jangan lelett dongg! Udah ujan niii!” Teriak si
anak laki-laki yang sudah tidak sabar bermain dengan genangan air yang
sudah seperti kolam renang baginya.

“Iyaa Marka sebentarrr! Sendal aku nempel di tanah ni!” Ucap si
anak perempuan sambil mencoba menarik sandalnya dari dekapan tanah
yang sudah menjadi lumpur.

“Menyusahkan saja” Marka bergumam kesal. Meskipun begitu,
Marka membantu Reva menarik sandalnya yang menempel kuat dengan
tanah.

Tentu mereka berhasil mengambil sandal Reva dari dekapan tanah
jahat itu. Mereka sangat senang, berjingkrak-jingkrak layaknya budak
korporat yang baru mendapatkan gaji setelah gajinya ditahan dua minggu
lamanya.

Mereka membuat bendungan dari tanah yang sebelumnya
mendekap sandal Reva dengan erat. Mereka menunggu sebuah mobil
melewati genangan yang akan menciptakan semburan kuat ke tubuh
mereka. Mereka berlarian, saling mengejar dan menari bersama. Mereka
menatap langit seraya membiarkan semua beban yang mereka miliki
terbawa arus air yang telah mengenai tubuh mereka. Lalu berakhir dengan
mengejar sandal Reva yang hanyut di selokan.

Aku tidak mendengar persis dari setiap kata yang mereka ucapkan.
Tapi yang aku ketahui adalah segala kegiatan yang mereka lakukan di
bawah hujan itu benar-benar terlihat tulus. Sebuah kebahagiaan yang tidak
dibuat-buat.

Kebahagiaan yang sama ketika aku bersama dengannya, teman lama
yang selalu menemaniku di bawah hujan. Sebuah kebahagiaan yang datang
untuk menutupi segala kesedihan yang sudah datang sebelumnya.
Berlarian, bermain, menari, lalu menangis.

“Aku merindukannya, sangat merindukannya.” Lirihku mengingat
masa lalu.

***

56


Ingatan selama di toko buku tadi tiba-tiba saja muncul dihadapanku.
Pegawai toko yang bernama Ganesha.

“Apakah dia benar-benar memiliki niat baik? Untuk membantu atau
sekedar menjadi temanku? Apakah dia tidak akan memperkosa lalu
membunuhku? Dan apakah nantinya dia tidak akan meninggalkanku?”

“Apakah orang-orang yang mendatangiku merupakan orang baik?
Apakah Marka dan Reva adalah anak yang baik? Apakah pemilik toko
kelontong di tempat ku berdiri ini adalah orang yang baik?” Pertanyaan-
pertanyaan yang aku lontarkan untuk diriku sendiri.

Entah manusia seperti apa yang sebenarnya aku inginkan hadir di
hidupku yang kelam ini. Seseorang seperti Kristoff? Atau seperti Phineas
Taylor Barnum? Atau seperti Groot? Atau justru seperti malaikat Izrail?
Entahlah, masalahnya bukan ada pada mereka yang berniat memasuki
kehidupanku, tapi masalahnya ada pada diriku sendiri.

Bagaimana bisa aku membiarkan orang lain memasuki
kehidupanku, jika orang yang melahirkanku saja meninggalkan diriku.

Bagaimana bisa aku mempercayai orang lain, jika aku sendiri
meninggalkan orang paling baik dan paling bisa kupercaya.

Bagaimana bisa aku mempercayai orang lain, jika aku tidak
mempercayai diriku sendiri.

Bukan manusia lain yang tidak cukup baik untukku. Tapi aku, yang
tidak cukup baik untuk siapapun.

57


58


Aisyah Mita Zesthiara
Menulis itu bukan tentang siapa yang paling
hebat dan paling berperan, namun menulis,
hanya berisi tentang seseorang yang dapat
bertanggung jawab dengan apa yang dia
tulis hingga selesai. saya Aisyah Mita
Zesthiara, mahasiswa yang baru terjun di
dunia sastra, ditulisnya buku kumpulan
cerpen ini hanya sebagai kewajiban untuk
mengumpulkan tugas UAS pada mata kuliah
keterampilan membaca. Saran dan masukan
yang membangun akan saya terima dengan
baik. Terakhir, terima kasih atas kesempatan
dan waktunya karena telah membaca buku
ini.

Candras Suryo Kusmiradamayanti Putri

Nama: Candras Suryo K

Panggilan: Mia

TTL: Jakarta, 25 April 2004

Status: Mahasiswa UNJ

Zodiak: Taurus

Pikiran saat ini: Gimana cara dapat S.s tapi

gak ngapa-ngapain

59


Khairana Mahdiyah
Khairana Mahdiyah adalah salah satu
penulis dari karya cerpen ini. Lahir di
Jakarta, pada 16 Januari 2004. Berkuliah di
Universitas Negeri Jakarta dan sedang
menekuni program studi Sastra Indonesia.
Mulai tertarik dalam dunia kepenulisan
dan penyuntingan sejak menduduki
bangku SMP-nya, hal inilah yang membuat
Khairana memilih untuk meneruskan
program studinya dalam sastra.

Harapan Khairana pada karya cerpen ini
diciptakan dengan mengusung tema
kehidupan romansa sehari-hari adalah
supaya mampu menginspirasi dan
membuka pintu hati para anak muda agar dapat menjalani hidup untuk
tidak selalu bergantung pada harap. Tentunya, di samping itu, kepenulisan
cerpen ini hanyalah bertujuan untuk hiburan semata.

Niki Dwi safitri
Niki Dwi safitri, yang kerap kali dipanggil
dengan panggilan "Niki" adalah seseorang
yang memiliki ketertarikan akan tulisan-
tulisan yang indah membuat dirinya jatuh
ke dalam karya-karya sastra, terutama
sebuah karya sastra klasik. Hal ini juga
yang merupakan salah satu alasan dirinya
menjadi mengambil jurusan Sastra
Indonesia di Universitas Negeri Jakarta.

60


61


Click to View FlipBook Version