The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Antologi yang memuat karya siswa SMP Pahoa berupa fabel dan pantun. Imajinasi dalam kumpulan fabel ditulis
secara kreatif oleh para siswa. Cerita dalam kumpulan fabel mengandung pesan moral yang menginspirasi para pembaca dalam konteks kehidupan sehari-hari. Begitupula dengan kumpulan pantun yang menambah kreasi dalam antologi ini. Buku ini sangat menarik untuk dibaca karena
mampu membawa pembaca seolah-olah berada dalam gambaran fabel dan isi pantun itu sendiri.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Pahoa, 2023-01-16 22:08:38

Kupu-kupu yang sombong

Antologi yang memuat karya siswa SMP Pahoa berupa fabel dan pantun. Imajinasi dalam kumpulan fabel ditulis
secara kreatif oleh para siswa. Cerita dalam kumpulan fabel mengandung pesan moral yang menginspirasi para pembaca dalam konteks kehidupan sehari-hari. Begitupula dengan kumpulan pantun yang menambah kreasi dalam antologi ini. Buku ini sangat menarik untuk dibaca karena
mampu membawa pembaca seolah-olah berada dalam gambaran fabel dan isi pantun itu sendiri.

38 kalimat yang berhasil membuat Tikus tidak jadi kabur. Si Kucing berkata, “Tenanglah, Tikus. Aku tidak akan menangkapmu sekarang.” “Bagaimana aku tahu itu dengan pasti? Bisa saja kamu berkata seperti itu sebagai trikmu untuk menangkap aku,” jawab Tikus yang sedikit menjauh dari Kucing. “Baiklah jika kamu tidak percaya, berdiri saja di sana. Namun, tolong dengarkan aku,” ucap Kucing. Si Tikus hanya diam sebagai responsnya. “Mengapa kamu membenci aku? Maksudku, mengapa kamu suka berbuat iseng terhadapku? Aku merasa tidak pernah melakukan apa pun terhadap kamu, namun kamu terus jail terhadapku. Sebenarnya mengapa?” ucap Kucing panjang lebar. “Wah, apakah kamu benar-benar tidak ingat? Jangan berlagak seperti kamu tidak berdosa sama sekali, Kucing. Itu menjengkelkan,” sindir Tikus. “Baiklah aku minta maaf jika aku pernah melakukan sesuatu yang buruk tetapi tidak mengingatnya. Namun, bolehkah kamu beritahu aku setidaknya agar aku bisa mengerti perbuatanmu yang iseng itu? Aku merasa lelah setiap hari selalu kamu ganggu,” kata Kucing. Tikus mengambil napas dan berkata, “Temanmu pernah membunuh orang tuaku dan bahkan saudara-saudaraku juga dibunuh. Waktu itu aku melihat kamu membantunya sehingga aku merasa sendirian, kesal, dan tentunya sedih. Namun, rasa kesal lebih menguasai diriku sehingga aku sering mengganggumu karena ingin membalas dendam.” Kucing hanya berdiam sejenak, lalu berkata, “Aku minta maaf, Tikus. Aku akui telah berbuat salah dan aku menyesal. Kamu berhak berbalas dendam.” Tikus hanya tersenyum tipis.


39 “Baiklah, Kucing. Aku menerima permintaan maafmu. Maaf aku sering mengganggumu. Seharusnya aku tidak membalas dendam. Orang tuaku tidak akan senang jika aku terus membalas dendam,” ucap Tikus. Dalam budaya Cina, Tikus mewakili kebijaksanaan. Hal tersebut tentu terlihat dalam cerita ini. Lalu Kucing pun terus berkata bahwa ia merasa bersalah dan terus meminta maaf kepada Tikus. Setelah itu, Kucing dan Tikus saling mengerti dan menghargai satu sama lain. Si Kucing mencegah dan menasihati semua Kucing yang ingin memangsa Tikus dan Tikus pun juga berhenti mengganggu Kucing. Dari cerita ini kami dapat mengerti bahwa jika adanya konflik atau ada seseorang yang membuatmu kesal, bicarakan satu sama lain, dan coba tanyakan alasannya. Cobalah untuk mengerti satu sama lain dan janganlah menyelesaikan masalahnya dengan kekerasan. Jadilah orang yang bijaksana dalam menyelesaikan suatu masalah.


40 ZUZU SI ZEBRA Letitia Akari Halim/VII.5 Pada zaman dahulu kala, di alam liar hiduplah seekor zebra yang bernama Zuzu. Zuzu adalah zebra yang nakal, suka berbohong, dan pemalas. Ia memiliki teman dekat yaitu seekor kancil yang bernama Kanci. Sifat mereka lumayan tolak belakang. Kanci adalah kancil yang cerdik. Pada suatu hari terdapat sebuah gosip tentang salah satu zebra yang menghilang. Diduga zebra tersebut telah diterkam oleh predator. Tempat terakhir kali zebra tersebut pergi adalah bagian hutan yang sering digunakan oleh Zuzu sebagai tempat mainnya. Para hewan yang berpotensi untuk dimangsa seperti antelop, zebra, babi hutan, serta yang lainnya berencana untuk meningkatkan keamanan tempat tinggal mereka. Selain itu, Zuzu pun dilarang untuk pergi ke tempat bermainnya lagi.  Esok harinya, Zuzu bersiap-siap untuk pergi ke tempat bermainnya. Namun, saat baru mau pergi, ia ketahuan oleh ibunya. “Zuzu, sedang apa kamu?” tanya ibunya. “Aku mau pergi mencari makanan kok, Bu,” ujar Zuzu berbohong. “Tidak perlu Nak, sudah ada beberapa hewan pergi mencari makanan,” ucap Ibunya. Zuzu pun kembali ke tempat tinggalnya sambil menghela napas. Sesampainya di markas, Zuzu pun datang menemui Kai.


41 “Woi Kai, aku tidak bisa bermain ke tempat itu hari ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sangat bosan!” ujar Zuzu. Kai pun menjawab, “Bermain di sini saja.” Zuzu pun menghela napas dan kembali menemui Ibunya. Ia mulai berpikir untuk berbohong pada Ibunya. “Bu, aku mau ambil air di sungai, ya!” ujar Zuzu yang berbohong. “Ok, jangan lama-lama, ya!” Zuzu pun bergegas pergi meninggalkan markas. Kai pun melihat Zuzu yang terburu-buru dan bertanya, “Zu, kok kamu lagi buru-buru sekali sih? Apa yang kamu mau lakukan?” “Oh, aku mau pergi mengambil air!” jawab Zuzu kembali berbohong. “Oh gitu, oke!” timpal Kai. Zuzu pun langsung berlari meninggalkan markas dan pergi ke tempat bermainnya. Ketika bermain, tiba-tiba ia mendengar auman yang cukup kencang. Ia pun memberanikan diri untuk mengintip dan ternyata ada sekelompok Singa yang datang. Zuzu pun panik dan berteriak dalam hati. Lalu, ia bersembunyi di balik semak-semak. Ia terus mencari waktu yang tepat untuk kabur dari tempat itu. “Sekarang waktu yang cocok, aku harus pergi sekarang juga!” pikir Zuzu. Ia pun berlari di saat perhatian para Singa sedang terarah ke hal lain. “Oh, tidak!” pikir Zuzu saat kakinya tidak sengaja menginjak ranting ketika ia sedang berlari. Sekelompok Singa pun berhenti minum dan mata mereka sekarang terarah pada Zuzu. Mereka pun berlari menuju Zuzu. Zuzu pun menjadi ketakutan dan berkeringat dingin.


42 “Aduh, sekarang aku berada di dalam situasi bahaya! Andai saja aku mendengarkan larangan mereka. Andai saja tadi aku tidak berbohong pasti sekarang aku masih aman,” pikir Zuzu yang menyesali perbuatannya. “Aduh, sekarang aku bagaimana nih? Sebentar lagi aku akan menjadi santapan bagi mereka,” gumam Zuzu lagi. Saat para Singa bersiap menerkam Zuzu, tiba-tiba temanteman dan keluarganya datang menyelamatkan Zuzu. “Zuzu! Apa kamu baik-baik saja?” tanya Ibunya dengan panik. “Iya, Bu!” jawab Zuzu sambil menahan tangisannya. “Bersiaplah, kita akan bertarung sebentar lagi!” teriak hewan lain.  Singa-singa pun merasa senang karena mangsa mereka bertambah dan langsung menyerang Kanci dan teman-temannya. Namun, saat mereka bertarung kekompakan dan jumlah singa masih sangat kurang dibandingkan dengan teman-teman Zuzu sehingga para singa pun kalah. Zuzu menangis bahagia. “Terima kasih semuanya. Tanpa kalian, aku mungkin sudah berpindah alam!” ujar Zuzu di sela isak tangisnya. “Makanya lain kali kamu jangan berbohong dan dengarkan perkataan hewan dewasa. Ibu tadi sangat khawatir,” ucap Ibu Zuzu. “Maaf Bu, maaf semuanya. Aku berjanji akan mendengarkan perkataan kalian dan tidak berbohong lagi.” “Tapi bagaimana cara kalian menemukan aku?” tanya Zuzu. Kai pun menjawab, “Caranya mudah sekali. Aku sudah menduga bahwa kamu akan pergi bermain di sini. Makanya aku melihat dan mengikuti jejak kakimu untuk memastikannya!” “Oh begitu ternyata. Aku bahkan tidak sadar bahwa aku


43 meninggalkan jejak kaki,” ujar Zuzu sambil tertawa kecil. “Karena ini semua sudah berakhir, bolehkah kita semua pulang bersama?” tanya seekor Antelop. “Ayo, mari kita pulang!” jawab hewan-hewan lainnya. Mereka pun kembali ke markas dan sejak saat itu, Zuzu pun berhenti menjadi hewan yang suka membantah perkataan hewan dewasa yang lebih berpengalaman. Ia juga berhenti berbohong karena menyadari bahwa berbohong hanya akan mengeluarkannya dari masalah untuk sementara waktu dan menariknya kembali ke masalah baru yang lebih besar. Mereka semua pun hidup bahagia selamanya.


44 KECERDIKAN SANG MONYET Nathan Jatiland Lay/VII.5 Pada zaman dahulu kala di tepi sebuah sungai terdapat sebuah pohon besar dan rindang. Di atas pohon tersebut tinggallah seekor monyet yang pintar dan jenaka. Ia bersahabat baik dengan  Pak Buaya. Sesungguhnya, Pak Buaya agak pemalas dan bodoh. Ia sering dibantu oleh sang Monyet dalam memecahkan persoalan sehari-hari. Misalnya, ketika Pak Buaya sakit gigi, sang Monyet membantu membersihkan giginya. Sang monyet terbantu dengan kehadiran dan persahabatannya dengan Pak Buaya karena binatang-binatang yang lain segan untuk melukai sang Monyet. Persahabatan ini sudah berlangsung lama. Sampai suatu hari Pak Buaya kawin dengan Ibu Buaya. Pak Buaya mulai jarang mengunjungi sahabatnya karena Ibu Buaya kurang suka kepada Monyet. Ibu Buaya merasa Monyet memanfaatkan persahabatannya dengan Pak Buaya. Ia berpikir untuk melenyapkan Monyet. Suatu hari Ibu Buaya sedang hamil muda. Ia berpikir tentang cara yang tepat  untuk memutuskan persahabatan Pak Buaya dan Monyet. Dengan pura-pura  mengerang kesakitan, Ibu Buaya merayu suaminya, Pak Buaya. “Suamiku, saat ini aku sedang mengandung anakmu. Aku sedang mengidam. Sudah beberapa hari ini kepalaku pusing  dan sakit sekali. Sepertinya aku butuh makanan bergizi supaya bisa menyembuhkan sakit kepalaku ini,” kata Ibu Buaya.


45 Mendengar istrinya yang hamil sedang tidak sehat, dengan perasaan khawatir, Pak Buaya pun menjawab, “Istriku tersayang, apa pun yang kamu minta selama aku mampu, pasti aku akan mengabulkannya. Katakan kepadaku, apa yang kamu inginkan supaya kamu sehat kembali seperti sedia kala?” Ibu Buaya berbisik perlahan kepada Pak Buaya, “Sepertinya sakit kepalaku ini agak berat. Aku membutuhkan otak Monyet, Sahabatmu.” Pak Buaya terkejut bukan kepalang. Ia tidak menyangka bahwa istrinya menginginkan nyawa sahabatnya. Dengan hati-hati Pak Buaya berkata kepada istrinya, “Bu, apakah boleh diganti dengan otak ayam hutan saja? Sang Monyet adalah sahabat karibku. Kami sudah bersahabat sangat lama. Aku tidak bisa mengkhianati dan mengorbankan persahabatanku dengan Monyet.” Dengan memelas Ibu Buaya berkata, “Suamiku, aku tahu Monyet itu sahabatmu. Sekarang tentukan apa kamu memilih aku dan anak-anak kita atau sahabatmu? Kepalaku sakit sekali. Aku takut tidak bisa melahirkan anak-anak kita jika kepalaku sakit terus-menerus seperti ini.” Hari-hari berlalu. Setiap hari Ibu Buaya berguling-guling kesakitan dan mengeluh kepalanya sakit sekali. Pak Buaya akhirnya menyerah dan dengan berat hati mengabulkan permintaan Ibu Buaya. Ia pun pergi ke pohon tempat tinggal Monyet. Sesuai dengan ide dari istrinya, ia akan menjebak Monyet untuk datang  ke rumah mereka. Pak Buaya memanggil Monyet, “Temanku, hari ini istriku mengundang kamu datang ke rumah kami. Ia akan menyediakan buah-buahan yang segar untukmu. Maukah kamu ikut makan bersama?” Sang Monyet mempercayai Pak Buaya. Dengan senangnya ia menjawab, “Baiklah sahabatku, Pak


46 Buaya. Aku ikut ke rumahmu untuk memenuhi undangan istrimu.” Meloncatlah sang Monyet ke punggung Pak Buaya. Pak Buaya berenang menuju rumah tempat tinggalnya. Sesampainya di rumah Pak Buaya, dengan suara yang berat dan sedih, Pak Buaya berkata dengan terus terang kepada sang Monyet bahwa istrinya sakit kepala dan obatnya adalah otak sang Monyet. Walaupun sang Monyet terkejut bahwa nyawanya terancam, tetapi dengan tenang sang Monyet yang cerdik berkata, “Pak Buaya, sebenarnya aku mempunyai sebuah rahasia. Sudah lama aku mengetahui banyak makhluk yang mengincar otakku ini. Maka sebagian dari otakku kusimpan dengan aman  di dalam rongga pohon tempat tinggalku. Aku khawatir jika istrimu hanya memakan sebagian otakku saja maka penyakit istrimu tidak sembuh.”  Terdorong oleh keserakahannya maka Ibu Buaya meminta Pak Buaya untuk mengantar sang Monyet pulang untuk mengambil sebagian otak monyet yang disimpan di rumahnya.  Kemudian, sang Monyet menaiki punggung Pak Buaya untuk kembali ke rumahnya. Sesampainya di pohon rumahnya, dengan lincah sang Monyet meloncat ke atas pohon yang paling tinggi. Setelah merasa aman, Monyet berteriak dari atas, “Pak Buaya, sepertinya persahabatan kita berakhir sampai di sini saja. Sampaikan kepada istrimu, aku tidak mau dimakan olehnya. Sebenarnya otakku dari dulu selalu ada di kepalaku.” Mendengar teriakan sang Monyet, baru sadarlah Pak Buaya bahwa ia telah diperdaya oleh sang Monyet. Dengan perasaan menyesal, Pak Buaya pulang dan menceritakan bahwa mereka telah dibohongi oleh sang Monyet. Sejak saat itu, Pak Buaya dan Monyet tidak bersahabat lagi. Pak Buaya telah kehilangan sahabat karibnya. Pelajaran yang berharga dari persahabatan Pak Buaya dan Sang Monyet adalah jangan pernah mengkhianati persahabatan dan harus menjadi makhluk yang dapat dipercaya. Kita


47 membutuhkan waktu yang lama dan usaha untuk membangun dan mempertahankan suatu persahabatan, tetapi hanya membutuhkan satu pengkhianatan untuk memutuskan sebuah persahabatan.


48 BABI YANG IRI HATI Shereen Natasha Saverio/VII.5 Di suatu hutan, hiduplah keluarga hewan yang dikenal dengan sebutan Basaru. Keluarga Basaru sangat disegani oleh seluruh penghuni hutan. Anggota keluarga Basaru terdiri dari empat anggota yaitu Roto sang Singa adalah Ayah, Riba sang Rubah adalah Ibu, Ruta sang Rusa adalah anak pertama, dan Ruma sang Babi merupakan anak kedua. Keluarga Basaru sangat disegani oleh seluruh penghuni hutan karena sikap Roto dan Riba yang sangat bijaksana dan bertanggung jawab atas seisi hutan. Keluarga Basaru selalu menebarkan kedamaian dan kesukacitaan. Keluarga Basaru dikenal sebagai keluarga yang harmonis.  Tak terasa sudah sepuluh tahun Roto dan Riba mengatur dan merawat seisi hutan. Sudah menjadi tradisi turun-temurun semua yang memerintah selama sepuluh tahun akan digantikan oleh penerus selanjutnya.  Hari penentuan penerus pengurus hutan akan dilaksanakan sebentar lagi. Roto dan Riba tentu sudah memikirkan dengan sangat matang siapakah yang paling layak dan dapat dipercaya untuk bertanggung jawab menggantikan posisi mereka sebagai pengurus hutan.  “Aku sudah tidak sabar mengetahui penerus Roto,” bisik Kelinci kepada Tupai.  Tupai pun mulai berpikir dan menebak-nebak siapakah di antara kedua putri Roto yang akan menjadi penerus Roto.


49 “Pasti sangat sulit untuk memilih di antara mereka berdua, tetapi apa pun yang menjadi pilihan Roto pasti merupakan yang terbaik,” ucap Tupai sambil tersenyum. Sampailah di akhir acara, Roto dan Riba telah bersiap menaiki panggung dengan senyum yang bersinar. “Hai, Kawan-Kawanku!” seru Roto. “Hari ini adalah hari terakhir ketika aku akan mengurus hutan ini. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih kepada kalian yang sudah percaya dan dapat bekerja sama denganku untuk mengurus hutan ini selama sepuluh tahun terakhir. Kiranya hari ini kita bisa mendapat penerusku untuk merawat hutan ini,” ucap Roto selanjutnya dengan bijaksana.  “Inilah dia yang akan menjadi penerus, Roto,” kata Kuda dengan bersemangat, “sambutlah dia! Ruta.” Sorakan gembira diiringi tepukan kaki memeriahi acara malam itu. Semua tampak begitu gembira tetapi Ruma terlihat sedih dan merasa iri karena dirinya bukanlah penerus hutan dan menurutnya sikap orang tuanya sangat tidak adil. Ruma berdiam diri di kamar selama seharian. Ia tidak ingin makan. Bahkan, keluar kamar pun ia tak mau. Roto dan Riba sudah berusaha untuk membujuk Ruma agar ia mau keluar kamar, tetapi Ruma tetap mengabaikannya. Ruma sungguh iri kepada Kakaknya yang selalu menjadi anak kesayangan kedua ayah dan ibunya. Sikap iri dan cemburu pun mulai menyelimuti hati Ruma.  Keesokan harinya, Ruma keluar kamar dengan tampilan yang sangat berantakan dan pergi keluar rumah tanpa menghiraukan sapaan ayah dan ibunya. Ruma keluar rumah dengan perasaan yang sangat sedih dan iri. Ia berniat untuk tidak kembali lagi ke rumah karena merasa ayah dan ibunya yang sudah tidak peduli kepadanya. Saat di perjalanan, Ruma bertemu temannya, Bao. Bao adalah seekor Babi yang sudah bersahabat baik dengan Ruma. 


50 “Hei, Ruma!” teriak Bao sambil berjalan mendekati Ruma. “Mengapa kamu terlihat sedih? Tidak biasanya wajahmu murung seperti ini. Ceritalah kepadaku, Ruma,” ucap Bao sambil menepuk bahu Ruma. “Ayah dan ibuku sudah tidak menyayangi aku, Bao! Mereka lebih menyayangi Ruta,” ucap Ruma sedih. “Mengapa kamu berkata seperti itu Ruma?” kata Bao. Bao merangkul Ruma dan Ruma menceritakan kegundahan yang sedang dirasakannya. Dengan saksama Bao mendengarkan keluh-kesah Ruma. “Jangan begitu, Ruma. Mungkin ayah dan ibumu tidak ingin membebani sekolahmu. Ruta kan sudah lulus sekolah, sedangkan kamu belum. Ayah dan ibumu juga pasti menyayangimu sama seperti mereka menyayangi Ruta. Ayah dan ibumu pasti memutuskan keputusan yang terbaik, Ruma. Cobalah bicarakan baik-baik dahulu kepada ayah dan ibumu sebelum kamu memutuskan untuk pergi dari rumah,” ucap Bao dengan bijak. “Memangnya mengapa jika aku yang memerintah hutan?” ucap Ruma. “Ayah dan ibumu tidak ingin membebani sekolahmu, Ruma. Merawat dan memelihara hutan bukanlah tugas yang mudah. Jika kamu bersekolah sambil memimpin hutan maka itu akan sangat menyulitkanmu. Percayalah padaku, Ruma. Ayah dan ibumu pasti inginkan sesuatu yang terbaik untuk dirimu dan penghuni hutan,” ucap Bao meyakinkan Ruma. “Terima kasih atas saranmu, Bao. Sekarang aku mengerti mengapa mereka belum siap untuk memilihku sebagai pemimpin hutan. Kamu memang teman terbaikku!” kata Ruma sambil memeluk Bao. Sore hari pun tiba dan Ruma sudah kembali ke rumahnya dengan perasaan yang jauh lebih baik. Ia mulai membuka pintu


51 dan mendekati ayah dan ibunya yang terlihat cemas. “Ya ampun, Nak. Ke mana saja kamu?” ucap Riba cemas. “Aku hanya pergi menemui Bao, Ibu,” kata Ruma. “Ayah, Ibu, aku sungguh minta maaf karena sudah pergi tanpa seizin kalian dan tak menghiraukan sapaan kalian tadi pagi. Saat itu aku merasa iri kepada Kak Ruta karena kalian memilihnya sebagai pemimpin hutan. Namun, saat aku hendak pergi dari rumah, di perjalanan aku bertemu Bao dan ia memberikan nasihat sehingga aku tersadar bahwa tindakan aku salah,” lanjut Ruma. “Tidak apa-apa, Nak. Ayah dan Ibu juga minta maaf karena sudah mengambil keputusan tanpa memberi tahu kepadamu terlebih dahulu. Akan tetapi, percayalah, Nak, kasih sayang Ayah dan Ibu untuk kalian berdua selalu sama. Ayah dan Ibu tidak ingin mengganggu sekolahmu, Nak. Maka dari itu, kami memilih Ruta untuk memimpin hutan ini karena ia sudah lulus sekolah. Pasti ada saatnya kamu mendapat giliran untuk memimpin hutan,” ucap Roto sambil mengelus rambut Ruma. “Iya, Ayah, aku sudah mengerti. Aku berjanji lain kali akan bertindak lebih bijaksana,” ucap Ruma sambil memeluk ayah dan ibunya. Sikap bijaksana harus kita terapkan dalam setiap permasalahan. Sikap bijaksana berasal dari pikiran dan akal sehat sehingga orang bijaksana akan menunjukkan perilaku yang tepat tanpa menyakiti siapa pun.


52 TOMI YANG PINTAR DAN PANTANG MENYERAH Aldwin Yoliva/VII.6 Di Pulau Mita, hiduplah seekor anjing yang bernama Tomi. Ia hidup dalam keluarga yang sederhana. Pemilik anjing itu sangat menyayangi Tomi. Tomi pun sangat setia kepada pemiliknya. Tiap hari pemilik anjing selalu menyempatkan waktu untuk bermain dengan Tomi. “Aku sangat suka kepadamu,” kata Tomi kepada pemiliknya dengan senang. Beberapa waktu kemudian, dengan tanpa alasan, pemilik anjing tersebut membuang Tomi ke Pulau Kucing. “Mengapa kamu melepas aku?” kata Tomi dengan sedih. Pemilik anjingnya itu memberikannya uang untuk bertahan hidup. Pemilik anjing tersebut rela melepas Tomi ke Pulau Kucing. Akan tetapi, Tomi tidak tahu bahwa ia dilepas ke Pulau Kucing. Sesampainya di Pulau Kucing, Tomi kebingungan dan merasa tersesat. Ia pun menangis tersedu-sedu. Di Pulau Kucing terdapat banyak sekali kucing yang licik dan suka menjebak makhluk asing seperti anjing.   Pada saat Tomi menangis tersedu-sedu, datanglah kawanan kucing. “Hahaha, kamu menangis,” kata seekor kucing sambil tertawa.


53 Setelah itu, Tomi pun bangkit rasa semangatnya dan ia mulai mencari tahu cara ia kembali ke rumah pemiliknya. Tomi berkeliling untuk bertanya di mana ia berada sekarang. Di jalan ia bertemu dengan seekor burung nuri. “Hai Burung, di manakah aku berada sekarang?” tanya Tomi dengan penasaran. “Kamu sekarang berada di Pulau Kucing. Di pulau ini banyak kucing licik dan penjebak. Kamu harus berhati-hati!” kata Burung Nuri. Tomi akhirnya sadar bahwa ia berada di pulau yang berbeda dengan pemiliknya. “Bagaimana caranya aku pulang ke rumah tuanku?” tanya Tomi dengan sedih. “Di manakah rumah tuanmu?” tanya Burung Nuri dengan sabar. Tomi menjawab, “Rumah tuanku ada di Pulau Mita.” Tomi berharap Burung Nuri itu dapat menunjukkan jalan ke rumah tuannya. “Kamu harus pergi ke pelabuhan dan menaiki kapal untuk pulang ke Pulau Mita. Sekali lagi kuperingatkan, berhati-hatilah! Ada banyak kucing yang licik dan suka menjebak orang,” kata Burung Nuri itu kepada Tomi. “Apa jebakan yang biasa diberi oleh kucing?” tanya Tomi dengan heran. Sang Burung Nuri menjawab, “Kucing itu biasanya memberi pertanyaan terkait dengan matematika.” “Oh, aku akan mempersiapkan diri dengan baik,” kata Tomi dengan percaya diri. Sang Burung Nuri pun memberikan semangat kepada Tomi untuk kembali kepada tuannya.  Setelah berbincang-bincang dengan Burung Nuri, Tomi


54 segera mencari tempat penginapan untuk bermalam. Tibatiba Tomi teringat bahwa ia diberi beberapa lembar uang untuk bertahan hidup. Lalu, ia pertama pergi ke toko buku untuk membeli buku matematika.  Setelah membeli buku matematika, ia kembali berkeliling untuk mencari tempat penginapan. Tak lama kemudian, ia mendapat tempat penginapan yang bernama Hotel Bubu. Di dalam penginapan itu ia terus-menerus berlatih matematika sampai mahir. Setelah merasa sudah mahir, ia segera tidur. Menjelang pagi hari, Tomi lekas pergi ke pelabuhan untuk pulang ke Pulau Mita. Dalam perjalanan ke pelabuhan, Tomi merasa lapar. Ia pun mampir ke suatu toko roti untuk sarapan dan membeli bekal. Roti yang dibelinya bisa juga dipakai untuk penyemangatnya dalam menjawab jebakan Kucing.  Beberapa lama kemudian, Tomi sampai di pelabuhan. Jika ingin menyebrangi pelabuhan itu, si penyeberang harus memenuhi syarat dan salah satunya adalah dapat menjawab pertanyaan matematika dari si Kucing penjaga. Kucing penjaga tersebut akan menanyakan pertanyaan setelah Tomi membeli tiket. Lalu, Tomi membeli tiket untuk ke Pulau Mita. Akhirnya, sampailah Tomi di tempat Kucing untuk menanyakan pertanyaan terkait dengan soal matematika. Sampailah Tomi di tempat pengecekan Kucing. “Selamat pagi, aku akan memberikan kamu pertanyaan. Jika kamu dapat menjawab tiga pertanyaan dariku, kamu boleh lewat,” kata Kucing dengan tegas. “Siap, Pak!” sahut Tomi mantap.  “Pertanyaan pertama. 2+2 berapa?” tanya Kucing. “Empat, Pak!” kata Tomi dengan semangat. “Baiklah,” jawab Kucing sambil menghela napas. “Pertanyaan kedua, 2+3x2 berapa?” tanya Kucing.


55 Tomi ingat bahwa kita harus mengerjakan perkalian atau pembagian dahulu, baru mengerjakan penjumlahan atau pengurangan. Tomi menghitung dengan teliti. “Delapan, jawabannya, Pak,” kata Tomi dengan penuh keyakinan. “Baiklah, pertanyaan ketiga, 2x2+18:6 berapa?” tanya Kucing untuk ketiga kalinya. “Tujuh, Pak!” seru Tomi dengan senang.  “Mantap sekali kamu. Silakan lewat dan semoga sampai di tujuan dengan selamat,” kata Kucing sambil memuji-muji Tomi. Kata Tomi dalam hatinya, “Yes, yes. Aku bisa pulang!” Tomi pun melanjutkan perjalanannya ke Pulau Mita.  Sesampainya di Pulau Mita, ia bertanya kepada hewanhewan di sekitarnya untuk mengetahui cara pulang ke rumah tuannya. Tiba-tiba tak disengaja, Tomi bertemu dengan tuannya di tengah jalan. Pemilik anjing itu berkata, “Aku sangat rindu kepadamu, Tomi.” Si pemilik anjing berkata sambil menangis senang. “Aku pun merindukanmu, Tuanku. Mengapa Tuanku melepas aku pergi?” tanya Tomi dengan heran. “Aku sedang mengetes kesetiaanmu, Tomi. Aku ingin melihat apakah kamu setia kepadaku atau tidak,” kata tuannya.  “Tentu saja aku setia kepadamu, Tuan. Kamu adalah orang yang sangat aku hormati dan sayangi,” sahut Tomi seraya berhambur memeluk sang Tuan. Akhirnya, Tomi kembali kepada Tuannya dan hidup berbahagia. Jika hewan saja bisa sangat setia pada Tuannya, kita pun sebagai seorang anak harus setia pada orang tua.


56 KESETIAAN SEORANG TEMAN Averyna Raeleen Karnadi/VII.6 Pada suatu hari di hutan hiduplah dua teman yaitu Anjing dan Sapi. Anjing memiliki keterbatasan. Ia tidak bisa berjalan. Oleh karena itu, Sapilah yang selalu membantunya. Sapi selalu membawa Anjing di atas pundaknya sehingga Anjing bisa selalu pergi dan pulang. Sapi selalu setia menemani Anjing. Suatu hari Anjing dan Sapi sedang bermain bersama di hutan. Mereka sangat senang bisa bermain bersama. Mereka bersenang-senang sampai sore hari ketika sudah waktunya Anjing pulang. Sapi pun membawanya pulang di pundaknya. Saat perjalanan pulang, Sapi dan Anjing melihat Kuda dan kawanan binatang lain yang menghampiri mereka. “Hei kedua teman lemah di sana, kalian sedang apa?” tanya Kuda sambil mengejek Sapi dan Anjing. Sapi hanya terdiam sedih dan melewati kawanan binatang itu. “Berani-beraninya ia melewatiku begitu saja. Ayolah, Kawan-Kawanku, kita lanjutkan perjalanan kita!” kata Kuda. Kedua sahabat itu pun sampai di rumah Anjing. Setelah itu, Sapi pun meninggalkan Anjing dan pulang ke rumahnya. Pagi hari tiba. Sapi segera menuju ke rumah Anjing untuk bermain bersama. Sapi pun membawa Anjing di pundaknya dan menuju tempat bermain. Saat bermain bersama, tiba-tiba turun


57 hujan yang sangat deras. Sapi hendak membawa Anjing pulang ke rumah, tetapi hujan semakin deras sehingga mereka tidak bisa pulang. Sapi memutuskan untuk berteduh di bawah pohon. Tibatiba Kuda dan kawanan binatang itu datang ke tempat Sapi dan Anjing berteduh. “Rupanya kedua pecundang ini sedang bersama!” ejek Kuda sambil tertawa kecil. Sapi hanya bisa menundukkan kepalanya dan diam. Hujan pun berhenti dan waktu sudah sore. Sapi dan Anjing tidak mempunyai waktu lagi untuk bermain. Mereka harus pulang. Saat hendak pulang, Kuda lagi-lagi mengejek Sapi. Kuda berkata, “Sapi, sudahlah sebaiknya kamu tinggalkan saja pecundang itu. Kamu akan bertambah lemah jika bersamanya.” “BISAKAH KAMU BERHENTI MENGEJEKKU!” teriak Sapi yang sudah tidak bisa menahan amarah. “Oh rupanya kamu mengajakku untuk berkelahi. Ayolah aku tidak takut,” tantang Kuda kepada Sapi. “Sapi sudahlah, ayo kita pulang saja,” bisik Anjing yang sedang ketakutan. Sapi hanya bisa menghela napas dan pergi meninggalkan Kuda. Sesampainya di rumah Anjing, Sapi terlihat sangat sedih dan marah. Tiba-tiba ia melihat ke arah Anjing dan berkata, “Anjing sepertinya sudah saatnya kita mengakhiri pertemanan kita. Aku sudah lelah setiap hari diejek oleh Kuda.” “Tetapi jika kamu pergi, siapa yang akan menemaniku bermain? Siapa yang akan membantuku untuk pergi dan pulang?” kata Anjing dengan perasaan yang sedih. “Anjing, bisakah kamu mengerti perasaanku? Setiap harinya aku selalu diejek oleh Kuda. Aku lelah, Anjing,” ucap Sapi.


58 “Sapi, tolong jangan tinggalkan aku. Kamu satu-satunya teman yang kupunya,” pinta Anjing. Sapi hanya diam dan berbalik badan meninggalkan Anjing. Keesokan harinya, Sapi biasanya akan menghampiri Anjing dan mengajaknya bermain. Tetapi kali ini ia hanya berjalan-jalan saja di hutan. Ia sangat bosan dan ia hanya bisa melihat tempat ia dan Anjing biasa bermain bersama. Di sisi lain, Anjing hanya menetap di rumahnya. Ia sangat bosan. Biasanya ia melakukan aktivitas di luar rumah, tetapi kali ini ia hanya bisa duduk diam di rumahnya. Seketika mereka sangat rindu bermain dan tertawa bersama. Sapi pun memutuskan untuk pulang saja. Pagi hari tiba. Sapi hanya duduk santai di rumahnya. Tiba-tiba Burung menghampirinya sambil berkata, “Hai Sapi, mengapa kamu begitu sedih dan kesepian. Di manakah Anjing? Biasanya kalian akan bermain bersama?” “Jadi begini, Burung. Sejak beberapa hari yang lalu aku selalu diejek oleh Kuda. Ia mengatakan bahwa aku lemah karena berteman dengan Anjing sehingga aku memustuskan untuk meninggalkan Anjing, tetapi kini aku merasa kesepian. Aku bingung harus berbuat apa sekarang,” jawab Sapi. “Sapi, tidak seharusnya kamu meninggalkan Anjing karena kamu diejek. Kamu tahu tidak bahwa teman itu sangat penting dalam hidup kita. Merekalah yang selalu menghibur kita dan selalu ada kapan pun dan di mana pun kita berada. Tidak peduli temanmu memiliki kelemahan maupun kelebihan. Kamu seharusnya setia berada di sisi mereka,” ucap Burung dengan bijak. “Sepertinya yang kamu katakan padaku benar. Aku harus kembali kepada Anjing!” seru Sapi. “Cepatlah, Anjing sedang menunggumu,” Burung berbicara sambil tersenyum melihat Sapi. “Baiklah terima kasih, Burung!” seru Sapi sambil berlari ke


59 rumah Anjing. Sesampainya di rumah Anjing, Sapi berteriak memanggil Anjing, “Anjing, Anjing, di manakah kamu?” “Hai Sapi, ada apa kamu ke sini?” tanya Anjing yang kebingungan. “Anjing, aku sungguh minta maaf karena telah meninggalkanmu. Kini aku mengerti seberapa lemah dan kuatmu, kamu akan selalu menjadi temanku. Jadi, apakah kamu masih mau berteman denganku?” kata Sapi. “Tentu, Sapi. Aku sangat kesepian tanpamu. Tapi berjanjilah untuk tidak meninggalkan aku lagi.” “Aku janji, maafkan aku, ya, Anjing!” ucap Sapi dengan hati yang lega. Mereka pun menjadi teman selamanya yang tak terpisahkan. Setialah kepada temanmu karena merekalah yang paling penting dalam hidup kita.


60 MEMPEREBUTKAN POHON PISANG Dennis Vijjananda Putra/VII.6 Suatu hari ada dua ekor monyet yang bersaudara yang hidup dengan rukun. Kula adalah monyet tertua. Ula adalah monyet bungsu. Mereka sangat suka menolong makhluk lain.  Suatu pagi mereka akan berencana untuk membersihkan jalan di Hutan Paratinta yang sangat kotor. Mereka telah tiba di jalan tersebut sebelum ada banyak hewan berlalu-lalang. “Wah, kotor sekali jalan raya ini. Kita harus segera membersihkannya,” kata Kula. “Iya Kak. Sebelum mereka melintasi jalan ini, mari kita membersihkannya terlebih dahulu,” balas Ula seraya menganggukkan kepala. Mereka pun mulai menyapu dedaunan yang jatuh serta sampah dan memasukkan sampah tersebut ke dalam karung. Hari pun semakin siang. Jalan yang kotor menjadi bersih dan indah. “Jalan sudah bersih. Mari kita pulang, Dik,” kata Kula Kula menggerakkan tangannya untuk mengajak adiknya pulang. Adiknya pun mengikuti kakaknya pulang ke rumah kayu mereka. Hewan-hewan yang melintasi jalan tersebut menjadi terkejut karena melihat jalan sangat bersih. Mereka pun melaporkan hal tersebut kepada Kalang sang beruang yang menjabat menteri istana. Kalang pun melaporkan kejadian ini kepada Raja Sanja,


61 sang singa. “Yang Mulia, jalan raya di Hutan Paratinta sudah bersih,” kata Kalang. “Siapa yang membersihkan jalan?” Sanja berdiri dan bertanya. “Kula dan Ula, Yang Mulia,” balas Kalang. “Mereka perlu mendapat penghargaan atas perbuatan terpuji mereka. Panggil mereka semua ke sini, Menteriku,” kata Sanja. “Baik, Baginda Raja,” jawab Kalang. Kalang pun memanggil Kula dan Ula. “Kula dan Ula, kalian sangat baik. Kalian akan kuberikan sebuah tunas pohon pisang dan tanamlah baik-baik,” tutur Sanja. “Baik, Yang Mulia!” jawab Kula dan Ula sambil menundukkan kepala. Mereka pun kembali ke rumah dan menanam pohon di sebelah rumah mereka. Sebulan kemudian, ketika pohon pisang tersebut sudah tumbuh besar, timbullah perselisihan antara Kula dan Ula. Mereka memperebutkan pohon pisang tersebut tanpa ada yang mau mengalah. “Pohon pisang ini milikku karena aku adalah yang tertua di sini!” kata Kula sambil menunjuk dirinya. “Aku adalah pemilik pohon ini. Aku yang merawat pohon ini dari kecil dan membawanya saat diberikan oleh Baginda,” kata Ula sambil menggerakkan tangannya untuk menjelaskan. Setelah berdebat cukup lama, si Kakak pun akhirnya memutuskan untuk pergi bertanya kepada Baginda Raja. Ketika sudah sampai, mereka pun langsung masuk ke istana. “Tuanku, pohon pisang yang telah Baginda berikan sudah tumbuh besar dan kami memperebutkannya. Siapakah yang pantas untuk mendapat pohon pisang tersebut?” tanya Kula


62 sambil berlutut. Sanja ingin menterinya yang bijaksana yang menyelesaikan hal itu. Oleh karena itu, Sanja menunda untuk menjawab. “Pulang dan kembalilah besok pagi. Aku akan memberitahumu apa jawabannya,” kata Sanja.  Saat mereka sudah pergi, Sanja berkata kepada Kalang, “Wahai, Menteriku, apakah kamu tahu apa yang harus kulakukan?” “Aku tahu, Yang Mulia. Izinkan hambamu mengajak mereka pergi ke kebun istana dan sediakan seorang penebang untuk menebang pohon pisang,” jawab Kalang. Keesokan harinya mereka pun datang dan bertanya kepada Sanja, “Tuanku, apakah sudah ditentukan siapa pemiliknya?” “Ikutlah Kalang ke kebun istana,” kata Sanja. Akhirnya, mereka mengikuti Kalang ke kebun istana. “Mengapa kita pergi ke kebun istana?” tanya Ula sambil menggerakkan bahunya tanda kebingungan. “Anak-anak lihatlah, apa yang dilakukan penebang ini?” kata Kalang sambil melihat Kula dan Ula. “Pohon pisangnya hendak ditebang,” jawab Ula. pohon yang telah ditebang. “Pohon tersebut akan mati bila tidak ditanam dan akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali seperti sekarang,” kini Kula menjawab. Kalang menghela napas dan berkata, “Demikian pula hidup kita. Saat berpisah dan bercerai, kita akan runtuh dan walaupun ingin diperbaiki, dibutuhkan waktu yang lama untuk bersatu dengan harmonis kembali. Jadi, berpikirlah dengan bijak dan arif agar kamu dapat menyelesaikan masalah kalian.” Kula dan Ula pun menyadari kesalahan mereka dan ingin berubah.


63 “Maafkan aku, Ula. Aku bersalah telah menyombongkan diri dan sangat egois mementingkan diri sendiri,” kata Kula. “Aku juga minta maaf, Kak. Aku juga sangat bersalah tidak mau mengalah, padahal Baginda Raja memberikan pohon pisang tersebut untuk kita berdua,” kata Ula. Kalang sang beruang pun tersenyum melihat kedua monyet bersaudara tersebut rukun kembali. Mereka pun pulang ke rumah mereka dan Kalang pun kembali kepada Raja Singa Sanja. “Kalang yang bijak, apakah mereka sudah rukun kembali?” Sanja berdiri menyambut Kalang. “Sudah, Yang Mulia,” balas Kalang. Sanja pun sangat senang melihat mereka telah harmonis kembali. Pohon pisang di rumah mereka pun tumbuh lebat dan menghasilkan tunas. Mereka juga sudah mendirikan rumah pohon untuk tempat tinggal mereka dan hidup dengan bahagia.  Sudah seharusnya kita menyelesaikan masalah dengan bijak dan terus hidup rukun serta saling menyayangi saudara kita.


64 SI RUBAH YANG INGIN MENANG Regine Valerie/VII.6 Suatu hari di sebuah hutan bernama Hutan Neo, hiduplah seekor rubah yang pintar dalam segala hal. Bahkan, jika ia baru pertama kali melakukannya, ia selalu dapat menguasainya dengan sangat baik. Akan tetapi, sejak ia menjadi binatang yang pintar, sifatnya pun berubah menjadi lebih sombong dan lebih egois daripada biasanya.  Suatu ketika ada pengumuman dari Raja Hutan bahwa akan ada lomba maraton besar-besaran di Hutan Neo ini. Tanpa berpikir terlalu lama, Rubah pun langsung mendaftarkan dirinya dengan penuh percaya diri. Tidak lama kemudian, tempat pendaftaran pun mulai ramai dipenuhi oleh hewan-hewan dari Hutan Neo, termasuk teman-teman Rubah. Beberapa minggu sebelum perlombaan, Rubah berlatih dengan gigih dan selalu percaya diri bahwa dirinya akan menang.  Hari lomba pun tiba. Rubah dan teman-temannya sedang bersiap di garis awal. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi dan tak lama kemudian, suara peluit pun berbunyi menandakan lomba sudah dimulai. Setengah jam telah berlalu, sudah ada beberapa peserta yang sudah berhasil melewati jalur pertama dan begitu juga dengan Rubah. Saat ini, Rubah sudah mulai memasuki jalur kedua bersama


65 temannya. Lalu, dua jam telah berlalu begitu cepat serta jalur dua dan tiga sudah dilewati oleh para peserta, termasuk Rubah dan kedua temannya. Sekarang mereka mulai memasuki jalur keempat. Jalannya sedikit berliku-liku dan mulai menanjak. Banyak peserta yang sudah kelelahan, termasuk teman Rubah. Beruang yang merupakan salah satu teman Rubah tiba-tiba berteriak, “Aduh! Sepertinya kakiku terkilir, rasanya sakit sekali. Sudahlah, aku menyerah saja.” Beruang memegang kakinya sambil menahan rasa sakit. “Hei, Beruang! Masa hanya karena terkilir kamu menyerah begitu saja?” timpal Rubah. Kelinci yang mendengar apa yang baru dikatakan Rubah pun angkat bicara, “Hei, Rubah, apa yang baru kamu katakan kepada Beruang? Kamu tidak boleh merendahkannya, justru kamu seharusnya membantunya.” Rubah hanya mengabaikan perkataan Kelinci dan meninggalkan kedua temannya itu. Setelah Rubah meninggalkan kedua temannya, Kelinci memutuskan untuk membantu Beruang berjalan melanjutkan perlombaan hingga akhir. Pada saat Rubah sedang berjalan, sampailah ia di pertigaan jalan. Rubah melihat ada sebuah arah panah yang menunjuk ke arah kanan. Artinya, para peserta maraton diminta untuk berjalan di jalur yang kanan. Rubah sangat ingin menang dan karena sifat egoisnya, ia pun memutuskan untuk melakukan tindakan yang buruk dan dapat merugikan peserta lainnya termasuk kedua temannya. Rubah dengan sengaja  memutar arah panah yang seharusnya mengarah ke kanan menjadi ke kiri. Ia dengan gembira berjalan ke arah kanan untuk melanjutkan maratonnya sambil tertawa licik. Kedua temannya yaitu Kelinci dan Beruang pun terperangkap oleh ulah si Rubah yang licik. Mereka mengikuti arah panah jalan yang sudah diubah oleh Rubah.


66 Satu jam telah berlalu, si Rubah belum juga sampai pada garis akhir. Ia merasa sangat percaya diri karena sudah satu jam ia tidak mendengar ada peserta yang berada di jalurnya ini. Rubah sangatlah yakin bahwa ia akan menjadi pemenangnya. Ia melanjutkan perjalanannya dengan penuh percaya diri dan garis akhir pun sudah terlihat. Akan tetapi, anehnya garis akhir itu sudah dipenuhi banyak peserta lainnya termasuk kedua temannya tadi. Rubah pun kebingungan dan berlari menuju garis akhir. Beruang menghampiri Rubah dan bertanya, “Halo Rubah, dari mana saja kamu? Apakah tadi kamu tersesat? Mengapa lama sekali? Kami semua sedang menunggumu dari tadi.” Rubah sangat terkejut mendengar perkataan Beruang. Apa yang telah terjadi? Ternyata, ketika maraton tadi cuaca sedang tidak bersahabat dan angin bertiup sangatlah kencang. Sebelum Rubah tiba di pertigaan, arah panah yang seharusnya menghadap ke kiri tertiup oleh angin dan arah panah tersebut berubah arah menjadi ke kanan. Artinya, jalan ke kiri merupakan jalan yang tepat dan bukan jalan yang dilewati oleh Rubah tadi yaitu jalan kanan. Maka itu, teman-teman Rubah tiba lebih dulu karena berada di jalan yang tepat. Setelah Rubah merenung dan menyadari akibat dari perbuatannya tadi, ia tersadar dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan melakukan kecurangan lagi. Dari cerita ini, kita dapat mengerti bahwa jika diri kita memiliki kemampuan, janganlah egois. Walaupun hanyalah masalah kecil, jangan sembarang dilakukan karena moral diri kita sendiri yang akan dirugikan dan mendapatkan akibat yang buruk seperti halnya Rubah. 


67 BEBEK DURHAKA Ailie Aprilia/VII.7 Suatu hari di sebuah desa kecil, hiduplah keluarga Bebek yang sangat miskin. Keluarga itu terdiri dari Ibu Bebek, Bebek, dan Kura-kura. Ibu Bebek mempunyai dua orang anak yaitu Bebek dan Kura-kura. Bebek merupakan anak kandung, sedangkan Kurakura merupakan anak tirinya. Ayah Bebek sudah lama meninggal sehingga Ibu Bebek membesarkan seorang diri Bebek dan Kurakura. Pada saat sang Ayah masih hidup, Bebek selalu dimanja sehingga ia tumbuh menjadi binatang yang egois, semena-mena, dan malas. Karena hidup miskin dan Ibu Bebek sudah tua maka Bebek dan Kura-kura setiap hari selalu membantu Ibu Bebek bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kura-kura selalu merasa senang dan ikhlas ketika membantu Ibu Bebek bekerja, sedangkan Bebek sama sekali tidak pernah membantu ibunya bekerja. Suatu hari, Ibu Bebek jatuh sakit sehingga ia tidak bisa pergi bekerja dan mencari makanan. Hal tersebut membuat Bebek terpaksa bekerja dan mencari makanan bersama Kura-kura. Saat Bebek dan Kura-kura sedang bekerja dan berjalan di sekitar kebun mencari makanan, tiba-tiba Bebek berkata sambil marah-marah, “Haduh, lelah sekali rasanya harus membantu Ibu bekerja. Aku juga ingin bermain-main menikmati masa-masa muda seperti halnya pada binatang-binatang yang lain. Aku malu mempunyai Ibu yang miskin dan tua seperti Ibuku.”


68 Kura-kura yang mendengar perkataan Bebek pun kesal dan membalas Bebek, “Bebek! Kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Ibu setiap hari bekerja hingga larut malam untuk membesarkan kita. Seharusnya kita bersyukur.” Bebek yang mendengar ucapan Kura-kura langsung membalas, “Halah, tahu apa kamu tentang bersyukur? Memangnya kamu tidak lelah hidup miskin?” Kura-kura yang mendengar perkataan Bebek langsung terdiam dan hanya bisa menggelengkan kepalanya. Karena hari sudah mulai malam, Bebek dan Kura-kura pun segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Bebek dan Kura-kura disambut Ibu Bebek dengan baik, tetapi Bebek membalas sambutan Sang Ibu dengan marah-marah. “Ibu! Mulai besok aku tidak mau membantumu bekerja lagi. Aku lelah harus membantumu bekerja sepanjang hari!” ucap Bebek dengan ketus. Ibu Bebek yang mendengar perkataan Bebek hanya terdiam dan merasa sedih. Kura-kura kesal mendengar perkataan Bebek dan berkata, “Baiklah jika kamu tidak mau membantu Ibu Bebek bekerja, biarkan aku saja yang membantu ibu bekerja dan merawat ibu.” Bebek yang merasa kesal dan lelah langsung berjalan ke kamarnya sambil menghentakkan kaki dengan keras. Esok hari Ibu Bebek dan Kura-kura pergi ke kebun untuk bekerja meskipun Ibu Bebek sedang sakit. Saat Ibu Bebek dan Kura-kura pergi ke kebun, Bebek hanya sibuk tidur sepanjang waktu. Sesampainya Ibu Bebek dan Kura-kura di kebun, mereka bertemu dengan Kancil. “Hei! Ibu Bebek dan Kura-kura,” sapa Kancil. “Hai, Kancil!” jawab Ibu Bebek dan Kura-Kura.


69 “Ke mana Bebek? Biasanya ia ikut membantu kalian bekerja,” tanya Kancil penasaran. Kura-kura pun langsung menjawab, “Ia ada di rumah. Ia tidak ingin membantu kami bekerja lagi. Ia hanya sibuk tidur dan bermalas-malasan sepanjang waktu.” Kancil menganggukkan kepalanya dan berkata, “Oh, begitu rupanya. Baiklah kalau begitu aku pulang duluan, ya!” “Baiklah, hati-hati di jalan!” jawab Ibu Bebek dan Kura-kura. Dengan sabar Ibu Bebek dan Kura-kura bekerja hingga larut malam. Selesai bekerja, Ibu Bebek dan Kura-kura pun memanggul hasil kebunnya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Ibu Bebek dan Kura-kura disambut dengan amarah dari Bebek. “Hei! Dari mana saja kalian seharian ini? Mengapa kalian pulang sampai larut malam? Aku sangat lapar menunggu kalian pulang!” bentak sang Bebek. “Maaf, Nak. Jika Ibu tidak bekerja hingga larut malam, hasil kebunnya tidak akan cukup,” jawab Ibu Bebek. Meskipun Ibu Bebek dan Kura-kura sangat lelah, Ibu Bebek tetap memasak makanan untuk Bebek dan Kura-kura. Keesokan harinya Ibu Bebek dan Kura-kura bekerja lagi hingga larut malam. Karena Bebek merasa bosan, ia pun pergi keluar rumah untuk bermain-main di pinggir sungai. Sesampainya di sungai, ia bertemu dengan kancil. “Hai, Kancil!” sapa Bebek. “Hai, Bebek! Mengapa kamu ada di sini? Memangnya kamu tidak membantu ibumu dan Kura-kura bekerja? Kemarin aku bertemu dengan ibumu. Kasihan sekali ibumu. Ia terlihat sangat lelah bekerja,” ujar Kancil. Bebek menjawab, “Tidak, aku tidak ingin membantu mereka bekerja! Aku lelah. Aku hanya ingin bermain dan bermalas-malasan sepanjang waktu.”


70 Kancil yang mendengar itu langsung menggelengkan kepalanya. “Bebek, ibumu, dan Kura-kura adalah makhluk yang sangat baik dan rajin. Kamu harus membantunya dan jangan sampai ibumu dan Kura-kura kelelahan. Coba saja kamu bayangkan. Bagaimana jika ibumu dan Kura-kura meninggalkanmu seperti ayahmu dulu dan kamu harus hidup sendirian? Ibumu membesarkanmu seorang diri dengan sangat baik. Apakah kamu pantas bersikap seperti ini pada dirinya?” kata Kancil. Bebek pun berpikir sejenak. Ia bergidik ngeri membayangkan jika sang ibu tiada. “Ucapanmu benar. Aku harus segera menemui ibu dan Kurakura. Aku ingin meminta maaf kepada mereka,” jawab Bebek. Bebek langsung berjalan menuju kebun tempat Ibu Bebek dan Kura-kura bekerja. Sesampainya di kebun, Bebek langsung berlari menghampiri Ibu Bebek dan Kura-kura. “Ibu, Kura-kura, maafkan aku karena selalu bermalasmalasan dan tidak pernah membantu kalian bekerja. Aku juga selalu bersikap semena-mena dengan kalian. Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” kata Bebek. “Tidak apa-apa. Syukurlah jika kamu sudah menyadari perbuatanmu. Kamu tidak boleh mengulanginya lagi. Yuk, kita pulang! Kami sudah selesai bekerja dan hari sudah larut malam,” jawab Ibu Bebek. Akhirnya, Bebek pun sadar bahwa sikapnya selama ini salah dan berjanji pada dirinya sendiri untuk berubah menjadi baik dan akan berbakti kepada ibunya. Sejak saat itulah, Bebek menjadi anak yang berbakti kepada Ibunya. Ia menjadi anak yang baik, rajin, dan selalu membantu ibunya dan Kura-kura.


71 SINGA YANG JATUH DARI ROYALTI Raymond Aric Kurniawan/VII.7 Sekitar 40 tahun lalu, Kerajaan Singa akhirnya menguasai Kerajaan Harimau. Kerajaan Singa menjajah Kerajaan Harimau dengan sangat kasar. Mereka merendahkan status sosial rakyat Harimau. Sekarang Kerajaan Singa memiliki raja baru. Raja ini mengembangkan status sosial rakyat Harimau karena menurutnya, tidak adil jika mereka direndahkan. Raja ini memiliki dua anak, tetapi istrinya meninggal saat melahirkan. Anak pertama yang bernama Singha sangat pintar, berani, dan baik hati. Sedangkan anak kedua yang bernama Singta sangat ambisius dan terobsesi dengan pikirannya untuk menjadi peringkat pertama. Singta tidak memiliki banyak teman karena menurutnya, teman tidak memiliki manfaat baginya. Ia hanya memiliki satu teman yaitu Harimau. Sikap Harimau hampir berkebalikan dengan Singta. Ia sangat baik, rendah hati, setia, dan jujur.  Suatu hari Raja Singa memanggil kedua anaknya untuk bertemu di dalam istana. “Ayahanda, mengapa kamu memanggil kami berdua?” Singha bertanya. “Anakku, Ayah sudah menjadi raja selama 29 tahun. Dengan


72 kondisi kesehatan yang memburuk, sepertinya sebentar lagi Ayah harus mengundurkan diri,” ucap Raja Singa. Singha dan Singta kecewa dan saling menatap. Mereka mengetahui bahwa anak-anaknya ingin menjadi raja dan mereka memiliki ideologi yang berbeda untuk kerajaan mereka. “Namun sebelum Ayah lengser, Ayah juga ingin membuat nama Ayah spesial di sejarah kerajaan ini. Maka sebagai pertunjukan terakhir, Ayah akan berperang dengan Kerajaan Ular dengan bantuan kalian,” ujar sang Raja Singa. Kedua anaknya memiliki peringkat yang cukup tinggi di antara tentara. Singha merupakan pejabat Kementerian Pertahanan dan Singta merupakan Jenderal. Akan tetapi, meskipun mereka akan pergi berperang, mereka lebih fokus pada masalah siapa yang akan menjadi raja. Persiapan perang cukup lama dan selama persiapan dilakukan Singta berpikir bagaimana ia akan menjadi raja. Di tradisi kerajaan, anak tertua adalah anak yang akan menjadi raja setelah raja sebelumnya mengundurkan diri atau meninggal. Singta berpikir panjang tentang hal itu. Tak lama kemudian, Singta dan Harimau bertemu. “Singta! Aku mendengar tentang perang yang akan diadakan sebentar lagi. Ini akan menjadi perang pertamaku karena aku pun akan berpartisipasi di dalamnya!” kata Harimau. Setelah Singa mendengar perkataan Harimau, ia menyadari bahwa Harimau akan mengikuti pasukannya. Beberapa hari berlalu, Singta akhirnya mendapat rencana. Singta memiliki hubungan dekat dengan salah satu elit di Kerajaan Ular. Ia berpikir racun ular akan menjadi senjata yang berbahaya untuk Singha, kakaknya. Maka ia yakin Singha harus pergi mengobservasi racun ular untuk dapat membalas racun tersebut. Singta berencana menjebak Singha agar bertengkar dengan salah satu elit Ular. 


73 Seminggu sebelum perang dimulai, Singta mengirimkan pesan ke Kerajaan Ular tanpa sepengetahuan Raja. Salah satu perwakilan elit Ular yang mendapat pesannya. Elit Ular menyadari apa yang ingin dilakukan Singta terhadap Singha dan ia menyetujui rencana Singta. Seminggu kemudian, perang pun dimulai dan tak lama kemudian racun ular sudah menyakiti banyak pasukan Singha. Singha pergi untuk mengobservasi dan bertemu dengan Singta. “Kak! Di sini ada singa yang akan mati. Tolong bantu dia!” Singta berteriak. Singha langsung berlari ke arah Singta. Saat ia mengobservasi, badan Singha terkena racun dari Elit Ular yang menggigitnya dari belakang. Singha dan Elit Ular mulai bertengkar dan selama mereka bertengkar, racun ular menjadi lebih kuat. Singha dapat mengalahkan Elit Ular, tetapi badannya sangat lemah. “Singta, bolehkah kamu mencarikan aku obat?” Singha bertanya sambil tergeletak tak berdaya di tanah. Singta tentu saja menolak permintaan kakaknya dan ia sengaja meninggalkan Singha agar kakaknya itu mati. Harimau dan prajurit lainnya di pasukan Singha lari karena jumlah ular yang mulai muncul sangat banyak dan saat mereka berlari Harimau melihat Singha yang sedang sekarat. “Tuan! Apa yang terjadi denganmu?” Harimau bertanya dengan panik. “Singta meninggalkan aku dan menginginkan aku mati karena ia ingin menjadi raja,” jawab Singha di sela kesakitan yang dirasakannya.  Harimau yang baik hati langsung mencari dan memberi Singha obat, tetapi Singha tetap merasakan sakit yang luar biasa sehingga Harimau berinisiatif untuk membawanya ke kerajaan.  Setelah mereka sampai di kerajaan, Raja kecewa akan kondisi Singha dan tindakan Singta. Sementara itu, Singta yang masih di zona perang merasa sangat senang karena ia berpikir akan menjadi


74 Raja setelah Singha meninggal. Ia tidak tahu jika Singha sudah diselamatkan oleh Harimau. Singta berpesan supaya pasukannya lari karena jumlah Ular terlalu banyak sehingga berbahaya untuk mereka. Beberapa hari kemudian, Kerajaan Singa menyerah terhadap Kerajaan Ular dan Raja Singa merasa kesal. Raja Singa dan sang Menteri pergi ke ruangan Singta. “Singta! Kamu telah menghancurkan bangsa kita dan reputasi Ayah!” teriak Raja Singa. Singta kecewa. Ia berpikir bahwa tidak ada satu anggota keluarga kerajaan yang mengetahui tindakannya. “Ayanda, mengapa kamu marah seperti ini? Memangnya apa yang telah Ananda lakukan?” kata Singta berpura-pura tidak mengetahui tindakannya. “Jangan bermain-main dengan Ayah! Kamu meninggalkan kakakmu supaya ia mati. Bagaimana mungkin Ayah akan menerimamu menjadi raja? Ini adalah pengkhianatan maka Ayah akan mengasingkanmu ke pulau yang jauh dari kerajaan ini!” Raja Singa berbicara dengan amarah yang tak terkendali. “Kumohon jangan, Ayah! Ayah telah tertipu, Ananda bersumpah bahwa Ananda tidak melakukan apa yang kamu katakan!” Singta masih berusaha menutupi perbuatannya. Raja Singa tidak peduli dengan alasan Singta lagi dan langsung berpesan kepada Menteri untuk membawa Singta ke kapal dan mengasingkannya di pulau terpencil dan jauh.  Singha masih saja sakit akibat racun Ular sehingga Raja Singa tidak dapat membuatnya menjadi raja. Maka Raja Singa memutuskan untuk membuat Harimau menjadi raja sementara waktu sampai Singha sembuh. Raja menobatkan Harimau menjadi raja karena ia jujur, baik hati, rela mengorbankan persahabatannya untuk kebaikan, dan dapat membuat status sosial keluarga


75 Harimau baik lagi. Selama Harimau menjadi raja, ia mengatur kerajaannya dengan baik karena ia selalu jujur dan disukai masyarakat kerajaannya. Sementara itu, di pengasingan Singta hidup sendiri dan mulai menyadari kesalahannya. Ia memahami bahwa ia harus selalu jujur.  Sampai hari terakhir Harimau sebagai raja, ia selalu disukai oleh masyarakat kerajaan. Ia dapat memimpin bangsa dengan sangat baik karena ia selalu jujur terhadap masyarakat. Ia diingat sebagai salah satu raja yang paling baik di sejarah kerajaan karena kejujurannya. Oleh karena itu, kita semua harus mengikutinya dan juga bersikap jujur.


76 AWI, SI MONYET Thomas Jayden Suryanata/VII.7 Di sebuah hutan, hiduplah seekor monyet yang sangat suka bermain dan jahil. Namanya Awi. Selain suka bermain, Awi sangat suka memakan makanan di hutan terutama buah-buahan. Awi sering menghabiskan makanan di hutan sehingga hewan lain tidak bisa mendapatkan makanan di hutan. Banyak hewan pergi meninggalkan hutan tersebut karena makanan di hutan menjadi sedikit. Awi tinggal bersama keluarganya. Ayah dan ibu Awi memiliki tanaman dan tumbuhan buah di halaman belakang rumah mereka. Ayah dan ibunya sering memanggil Awi untuk membantu mereka, tetapi Awi sering mengabaikannya dan pergi bermain. Suatu hari ada kawanan kelinci datang ke hutan tersebut. Saat sedang mencari makanan, Awi bertemu dengan kawanan kelinci itu. “Halo, siapa namamu?” tanya seekor kelinci. “Namaku Awi,” jawab Awi kepada Kelinci. Mereka berkenalan dan kawanan kelinci ini sedang kelaparan dan sedang ingin mencari makanan. “Awi, apakah kamu memiliki makanan untuk kami? Kami sedang kelaparan,” tanya Kelinci. Awi memiliki makanan, tetapi tidak ingin membaginya. “Makananku tidak akan cukup untuk kalian semua. Nanti


77 aku akan kehabisan makanan dan kelaparan,” jawab Awi. Kelinci berkata, “Kami sangat kelaparan. Kami hanya ingin sedikit makanan.” Awi berkata, “Sudah kubilang tidak! Ini adalah persediaan aku hari ini.” Kawanan kelinci yang kesal akan sifat Awi pun pergi meninggalkannya. Keesokan harinya ada kelinci yang sedang mencari makan. Kelinci itu melihat ada buah di atas pohon. Kelinci tersebut ingin mendapatkan buah itu, lalu datanglah Awi ke tempat kelinci tersebut. “Hei Kelinci, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Awi. “Aku ingin mengambil buah di atas pohon itu, tetapi aku tidak bisa memanjat pohon,” jawab Kelinci kepada Awi. Awi sedang kelaparan saat itu. Kelinci bertanya kepada Awi, “Awi, apakah kamu bisa menolongku untuk mengambil buah tersebut? Kamu kan bisa memanjat pohon.” Awi pun memiliki ide bahwa ia akan menipu kelinci itu. “Aku akan membantumu!” jawab Awi. Setelah memanjat pohon, Awi mengambil buah tersebut dan langsung memakannya. “Hei Awi, itu buahku. Aku yang menemukannya. Mengapa kamu memakannya?” tanya Kelinci dengan kesal. “Kamu berhasil ditipu, hahaha. Kamu pikir aku akan membantumu? Hahaha,” Awi menjawab tanpa rasa bersalah. Kelinci itu pun berkata kepada Awi, “Awi, kamu harus berhenti bersikap egois. Kamu seharusnya bersikap peduli terhadap sesama hewan.” Awi pun mengabaikan perkataan kelinci itu dan pergi meninggalkannya. Keesokan harinya, Awi yang sedang kelaparan


78 mencari makanan di hutan. Akan tetapi, ia tidak menemukan satu pun makanan. Ia berkata dalam hati, “Pasti para kelinci itu mengambil semua makanannya. Aku harus mencari makanan-makanan tersebut.” Saat Awi sampai di tepi sungai untuk minum, ia melihat rumah para kelinci tersebut yang telah dibuat oleh kawanan kelincinya. Ia menghampiri rumah para kelinci dan melihat makanan-makanan yang hendak dimakan oleh para kelinci. Awi tergiur melihat makanan itu sehingga ia ingin mengambil makanannya. Saat tidak ada kelinci yang melihat, Awi langsung mengambil makanan-makanan tersebut dan kabur dari rumah para kelinci. Ketika kawanan kelinci hendak memakan makanan yang telah diambil, makanannya sudah tidak ada. Para kelinci pun kebingungan. Mereka berpikir bahwa ada makhluk yang mencuri makanannya. Ketika para kelinci sedang mencari makanan yang hilang itu, mereka melihat Awi yang sedang makan dengan santai di atas pohon. Para kelinci pun mengetahui bahwa Awi yang mencuri makanannya. “Hei, Awi! Itu makanan kami. Kami sudah mengumpulkannya tadi. Mengapa kamu mencurinya?” kata seekor kelinci. Awi pun berkata, “Aku sedang kelaparan dan membutuhkan makanan untuk hidup.” Awi pun pergi meninggalkan para kelinci yang malang. Awi masih merasa tidak bersalah dan belum memperbaiki sifatnya. Suatu hari, ada pemburu liar yang ingin memburu hewan. Pemburu tersebut melihat Awi yang sedang makan buah-buahan. Pemburu memasang perangkap di tempat Awi. Pemburu itu meletakkan buah pisang untuk memancing Awi. Saat selesai, pemburu tersebut membuat suara agar Awi berjalan ke arah perangkap. Ketika Awi melihat pisang itu, ia langsung mengambil


79 pisang itu. Akan tetapi, Awi terkena perangkap pemburu tersebut sehingga Awi terjebak. Pemburu yang sedang menunggu di semaksemak mendatangi Awi. Awi panik karena hendak dibawa pergi oleh pemburu. Awi meminta tolong karena ia terperangkap. “Tolong, tolong, siapa pun tolong!” teriak Awi dengan kencang. Kawanan kelinci yang sedang mengumpulkan makanan mendengar teriakan Awi. Mereka bergegas menghampiri suara teriakan tersebut. Saat sampai di sana, pemburu tersebut ingin membawa Awi. Akan tetapi, para kelinci langsung menghampiri pemburu itu. Kawanan kelinci menggigit dan mencakar pemburu tersebut. Pemburu tersebut kesakitan dan mencoba untuk melawan para kelinci. Pada akhirnya, pemburu tersebut pun lari dan meninggalkan hutan. Kawanan kelinci melihat Awi yang sedang terperangkap. Kawanan kelinci melepaskan Awi dari perangkapnya. “Terima kasih, Kelinci. Tanpa kalian, apa jadinya aku,” kata Awi. Awi juga mengakui bahwa dirinya salah dan meminta maaf. “Maafkan aku karena telah mencuri makanan kalian dan sikapku yang egois. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi,” kata Awi. Para kelinci pun memaafkan Awi karena Awi berjanji tidak akan bersikap egois dan jahat. Awi kini menjadi anak yang baik dan peduli sesama. Awi sering membantu ayah dan ibunya dan kawanan kelinci. Ketika Kelinci sedang kesusahan, Awi datang untuk membantu mereka. Begitulah sikap kita terhadap sesame. Kita harus berbuat baik dan peduli sesama. Kita tidak boleh bersikap egois pada sesama karena menabur kasih itu akan berbuah kebaikan, sedangkan menabur dosa akan berbuah petaka seperti yang dialami oleh Awi.


80 HIU DAN PENYU Keenan Elbert Japit/VII.8 Di sebuah laut yang sangat terkenal dan indah, ada seekor hiu yang sangat sombong dan angkuh. Hiu itu bernama Ali. Ali dikenal oleh banyak hewan dikarenakan sifatnya yang tidak disukai oleh hewan lain.  Saingan Ali adalah seekor penyu yang sangat disukai oleh hewan-hewan laut lainnya. Penyu itu bernama Baya. Penyu sangat disukai oleh hewan-hewan laut lainnya dikarenakan sifatnya yang bijak dan suka membantu. Suatu hari ada seekor udang yang sedang bersembunyi dari Ikan Nila. Ikan Nila sangat suka makan Udang. Ali yang melihat kejadian itu langsung tertawa terbahak-bahak. Ikan Nila yang melihatnya pun langsung kabur karena takut akan Ali. “Wahai Udang, mengapa kamu bersembunyi dari Nila itu? Oh, iya itu kan karena tubuhmu yang mungil dan kecil itu!” ucap Ali kepada Udang. Udang kesal akan ucapan Ali. “Ali, aku tidak suka ikan-ikan besar seperti Nila. Kamu lihat betapa kecilnya tubuhku jika dibandingkan dengan Ikan Nila,” ucap Udang. Ali pun pergi sambil tertawa terbahak-bahak. Udang hanya bisa menatap Ali dengan kesal.  Tak lama kemudian, Ali melihat Kepiting yang sedang bersembunyi dari jaring nelayan. Ali yang melihat itu langsung tertawa terbahak-bahak.


81 “Wahai Kepiting, mengapa kamu bersembunyi dari jaring itu? Apakah karena seperti Udang yang tubuhnya kecil dan mungil itu?” tanya Ali kepada Kepiting. “Tubuhku kecil dan tajam. Bayangkan jika aku tersangkut di jaring itu, akan sangat sulit bagiku untuk kabur dari jaring,” ucap Kepiting. “Lihatlah diriku. Tubuhku sangat besar dan gagah. Tidak ada yang berani kepada diriku,” ucap Ali. Tak lama kemudian, sirip Ali tersangkut di jaring tersebut. Kepiting yang melihatnya langsung memanggil temannya yaitu Udang. “Hei Udang, bantu aku memotong jaring ini,” kata Kepiting. Mereka membantu memotong jaring tersebut hingga Ali pun berhasil lolos. Akan tetapi, Ali masih saja sombong dan pergi tanpa mengucapkan terima kasih. Suatu hari Baya sedang bersembunyi dari ikan paus. Ali yang sedang tertawa terbahak-bahak melihat itu. “Hai Baya, mengapa kamu bersembunyi? Apakah karena seperti Udang yang memiliki tubuh yang mungil atau karena seperti Kepiting yang memiliki tubuh yang kecil dan tajam-tajam?” tanya Ali. Tak lama kemudian, ada nelayan yang sedang memancing ikan yang besar. Ali yang melihat itu pergi meninggalkan Baya karena tergoda oleh pancingan tersebut. Ali pun terperangkap dan mulai ditarik oleh para nelayan. Baya yang melihat itu memanggil teman-temannya untuk membantu Ali. Walaupun pada awalnya kesulitan, mereka berhasil meloloskan Ali. Namun, bukannya mengucapkan terima kasih, Ali malah melanjutkan membandingkan diri mereka dengan dirinya dan mempermalukan Baya di hadapan hewan-hewan yang lain. “Hei Baya, kamu belum menjawab pertanyaanku yang tadi,”


82 ucap Ali. “Apakah kamu bisa memakan ubur-ubur? Apakah kamu bisa bersembunyi saat ada nelayan yang ingin memancing?” tanya Baya. “Tentu saja aku tidak bisa. Aku memiliki badan yang besar dan gagah,” ucap Ali. “Itulah maksudku. Tuhan menciptakan kita dengan keistimewaan yang berbeda-beda. Jangan menyamakan kita semua agar bisa seperti dirimu,” ucap Penyu. Ali yang mendengar nasihat dari Penyu pun mulai berpikir bahwa tindakannya selama ini salah. Ali pun malu dan pergi dari hadapan hewan-hewan yang lain. Setelah beberapa hari Ali tidak muncul, akhirnya Ali muncul di depan rumah Udang. “Oh, Udang, maafkan aku telah berkali-kali jahat dan mengejek dirimu,” ucap Ali. Udang yang mendengar itu pun berkata, “Tidak apa-apa, Ali. Setiap makhluk hidup pasti pernah melakukan kesalahan.” Ali yang mendengar itu terharu akan kebaikan hati Udang yang mau memaafkan dirinya walaupun ia telah sombong dan mengejek Udang. Ali pun pergi dengan hati yang masih terharu. Tidak lama kemudian, Ali pergi ke tempat tinggal Kepiting dan meminta maaf. “Hai Kepiting, maafkan diriku yang dulu selalu mengejekmu. Aku tahu perbuatanku dulu salah,” ucap Ali. Kepiting berkata, “Tidak apa-apa, Ali. Semua makhluk hidup pasti pernah melakukan kesalahan.” Ali yang mendengar itu makin terharu karena ternyata hewan yang diejeknya selama ini memiliki hati yang sangat baik. Ali pun pergi dari rumah itu dengan hati yang sangat menyesal karena telah pernah mengejek Kepiting dan Udang. Ali pun pergi


83 menemui Baya dan menceritakan semuanya. “Karena itulah, kita harus menghargai semua makhluk hidup. Walaupun kita memiliki kelebihan, setiap hewan pasti memiliki keunikan masing-masing,” ucap Baya. Ali pun menjadi hewan yang baik, suka menolong, dan selalu menghargai semua makhluk hidup. Ada pepatah yang mengatakan hormatilah orang lain sebagaimana kamu ingin dihormati.


84 KUPU-KUPU YANG SOMBONG Regina Tania/VII.8 Di sebuah pedalaman hutan hiduplah seekor kupu-kupu yang bernama Indah. Indah merupakan kupu-kupu yang sangat cantik. Indah suka sekali memamerkan sayap yang cantik dengan warna yang mencolok. Hewan-hewan di hutan pun merasa tak percaya diri. Oleh karena itu, Indah menjadi lebih sombong hingga sampai ada hewan yang merasa sangat tersakiti dan ada juga yang menjauhinya. Salah satu hewan itu adalah kupu-kupu lain yang merupakan teman baiknya sendiri. Kupu-kupu itu bernama Ralda. Saking sedihnya, Ralda pun bercerita kepada kelinci yang merupakan salah satu teman baiknya. Kelinci itu bernama Vara. Vara sangat tidak setuju dengan perbuatan yang dilakukan oleh Indah. Ia pun terpikirkan suatu ide untuk Indah. Keesokan harinya Vara menghampiri Indah dan berkata, “Indah, maukah kamu mememaniku untuk berkeliling hutan?” Karena Indah sedang bosan, ia pun berkata,  “Oh, boleh, memangnya tujuan kita mau apa?” Vara sambil tersenyum berkata, “Ada deh, kamu ikuti aku aja.” Indah pun menurutinya. Vara pun mengajak Indah ke sebuah lorong hutan. Lorong hutan itu sangat asing untuk Indah karena Indah jarang sekali keluar jauh dari tempat tinggalnya. Indah merasa sangat takut. Setelah keluar dari lorong hutan itu, terdapat


85 sisi lain hutan yang sangat indah serta didukung dengan hewanhewan yang sangat cantik. Pada pandangan pertama ada danau yang cukup besar. Di danau itu ada banyak kura-kura. Ada yang di atas batu, ada yang sedang berenang, dan ada yang bersembunyi di balik batu.  Indah tercengang karena kura-kura memiliki warna yang menawan serta memiliki motif yang cantik pada cangkangnya. Kura-kura pun melihat ada kupu-kupu dan mulai mengejek kupu-kupu itu karena tidak memiliki motif yang bagus seperti mereka. Kupu-kupu pun menjawab, “Walau begitu, aku memiliki warna yang lebih indah pada sayapku.” Kura-kura itu mendengarkan sambil tertawa dan tidak membalas perkataan Indah.  Setelah selesai melewati daerah perairan, mereka sampai lagi di suatu tempat yang terdapat hewan sangat unik yaitu burung merak. Merak itu memiliki bulu yang panjang, cantik, serta memiliki motif dan warna bulu yang sangat indah. Burung merak itu memiliki sayap yang mekar dan bulu yang memanjakan mata. Di sini Indah direndahkan oleh burung merak itu hingga ada burung merak yang melempar sesuatu ke tubuhnya. Indah sangat sedih sehingga ingin menangis. Indah pun berkata dengan tegas, “Hei ini sayapku juga cantik. Aku bisa terbang, tetapi kalian tidak, lagi pula aku juga tidak suka dihina!” Merak itu pun membantah,  “Baiklah, jika kamu tidak ingin dihina, kamu tidak boleh menghina orang lain. Pasti pada saat menghina orang lain kamu juga tidak memikirkan perasaan mereka!” Indah pun mulai berpikir dan mengeluarkan suara yang sangat kecil, “Benar juga ya. Aku menghina makhluk lain hanya untuk kebahagiaanku sendiri. Aku tidak pernah tuh memikirkan perasaan mereka.”


86 Setelah binatang-binatang sekitar mendengar itu, mereka langsung merasa gembira. Di tengah kegembiraan itu Indah berkata, “Oke teman-teman. Aku ingin meminta maaf atas semua perbuatan yang telah aku lakukan. Aku juga berjanji tidak akan menghina makhluk lain.”  Ternyata semua ini sudah direncanakan oleh Vara dan rencana itu berhasil. Indah pun terkejut sambil tertawa riang. Ia pun sangat berterima kasih kepada mereka semua yang telah menyadarkannya. Saat perjalanan kembali ke daerah asalnya, Indah dan Vara bertemu dengan burung cendrawasih. Indah sangat kagum akan segala hal yang dimiliki burung itu. Burung cendrawasih memiliki warna bulu yang indah dan sangat halus. Ia juga memiliki suara yang merdu dan tentunya bisa terbang di langit. Saat itu juga Indah tersenyum dan berkata, “Wah, Burung, bulumu cantik sekali.” Burung itu menanggapinya sambil berkata halus, “Terima kasih. Kamu juga memiliki warna yang mencolok. Itu juga membuat aku kagum.” Vara yang melihat perbincangan itu merasa sangat bangga akan apa yang dilakukan oleh Indah.  Saat Indah sudah sampai di habitatnya, hewan-hewan di sana merasa ada yang janggal pada perilaku Indah. “Halo teman-teman. Aku kembali. Aku ingin meminta maaf atas perbuatan yang telah aku perbuat dan telah membuat kalian tersinggung. Aku sudah belajar bahwa direndahkan dapat membuat makhluk sakit hati. Aku juga berjanji agar tidak menghina orang lain lagi,” kata Indah. Ralda dan Vara yang mendengar perkataan itu merasa sangat gembira. Mereka menghampiri Indah dan memeluknya dengan senang hati. Hewan-hewan di sana pun bergembira dan memaafkan Indah.


87 Dalam cerita ini kita dapat belajar bahwa jika kita tidak menghormati dan menghargai orang lain. Kita juga tidak akan dihormati dan dihargai oleh orang lain. Jadi, jika kita ingin dihormati dan dihargai oleh orang lain, kita harus menghormati dan menghargai mereka. Cerita ini juga memiliki pesan moral yang berkaitan dengan slogan di SMP Pahoa yaitu “Berpikir sebelum berkata, berkata sebelum bertindak, bertindak dengan bijaksana.”


Click to View FlipBook Version