1 PRASASTI BALI KUNO HISTORIOGRAFI DALAM DENYUT SEJARAH BANGSA Jika teks-teks yang memantulkan suasana renungan kesejarahan sempat kita perhatikan maka tampaklah bahwa kritik pertama tentang penulisan sejarah dari wilayah yang kini bernama Indonesia dilancarkan oleh seorang putra bangsa yang sedang belajar di negeri asing. Kritik ini dilancarkan oleh Muhammad Hatta (1902- 1980), Ketua Perhimpunan Indonesia, pada 1928 ketika ia dihadapkan ke pengadilan Den Haag, karena ia dan tiga orang kawannya dituduh merencanakan “persekongkolan” anti-pemerintah kolonial. Dalam pidato pembelaannya yang berjudul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka), Hatta tidak sekadar membantah tuduhan yang diarahkan kepadanya dan kawan-kawannya tetapi juga memaparkan proses tumbuhnya cita-cita nasionalisme Indonesia. Ia menguraikan landasan historis perjuangan organisasinya dan membayangkan masa depan bangsa yang diperjuangkannya bersama-sama teman-temannya se-Tanah Air. Dalam konteks ini ia melancarkan kecaman terhadap corak pelajaran sejarah yang diberikan di sekolah-sekolah pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Para pelajar di sekolah-sekolah pemerintah, kata ia, hanya disuruh dan dibujuk “untuk mencintai dan mengagumi pahlawan-pahlawan kemerdekaan Eropa, seperti Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi, Willem van Oranye dan banyak lagi.” Sebaliknya, kata Hatta selanjutnya, sejarah Tanah Airnya sendiri dilukiskan sebagai sejarah Hindia Belanda, yang bermula “dengan datangnya Tuan Houtman di Teluk Banten.” Anak-anak sekolah “diharuskan membeo guru-guru mereka dan menganggap pahlawan-pahlawan Indonesia seperti Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar dan banyak lagi yang lain sebagai pemberontak, pengacau, bandit dan entah apa lagi. Pada hal mereka adalah juga pahlawan-pahlawan seperti halnya Willem van Oranye, Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi dan sebagainya. Kepada mereka kami semua merasa berhutang budi.” Dua tahun kemudian (1930) dalam pidato pembelaannya yang berjudul Indonesia Menggugat di pengadilan Bandung, Sukarno tidak melakukan protes sejarah, tetapi berkisah betapa ia membagi sejarah Indonesia atas tiga periode: “masa lalu yang gemilang”, “masa kini yang gelap gulita” dan “ masa depan yang penuh harapan”. Esensi utama dari pidato pembelaan Hatta, sebagai seorang pemimpin pergerakan nasional, tidak terlupakan, tetapi protes dan keluhannya tentang pengajaran sejarah terlewatkan begitu saja bahkan juga ketika perkembangan historiografi Indonesia sedang dibicarakan. Sedangkan visi sejarah yang romantik dari Sukarno tentang sejarah Indonesia biasanya diperlakukan pancaran idealisme kebangsaan. Karena itu bisalah dipahami jika kritik atas historiografi kolonial memakai buku lima jilid Geschiedenis van Nederlandsch Indie, yang diedit oleh Stapel sebagai awal wacana. Gara-gara sedemikian “kolonial”-nya visi kesejarahan buku yang diterbitkan ketika pergerakan nasionalisme Indonesia telah semakin matang ini sehingga van Leur, seorang ilmuwan muda, sempat terkaget-kaget juga. Mengapa tidak? Sedemikian tebalnya orientasi kolonialisme yang terpancar dari buku ini sehingga untuk mengisahkan pemakaman seorang mantan gubernur jenderal saja buku ini menghabiskan kertas berpuluh-puluh halaman. Tetapi, sebaliknya, realitas dan dinamika kehidupan anak negeri, kata van Leur, hanya dilihat “dari dek kapal, lantai atas benteng dan gallery dari rumah niaga”. Jika begini halnya karya yang dianggap sebagai “buku standar” sejarah Hindia Belanda ini, maka apakah mungkin sejarah kepulauan Indonesia terlepas dari jebakan Neerlando-sentrisme? Jawab atas pertanyaan hipotetis ini tidak bisa didapatkan, karena tidak lama setelah van Leur melancarkan kritik yang pedas itu Perang Dunia II, yang telah berkecamuk di Eropa, telah melebarkan sayapnya ke Asia Timur. Van Leur sendiri tewas dalam perang laut yang terjadi di Laut Jawa. Tidak lama kemudian “Hindia Belanda” pun takluk pada kehebatan militer dan semangat bushido balatentara Dai Nippon pada Maret 1942. Setelah hampir tiga setengah tahun mengalami penderitaan fisik dan ekonomi di bawah kekuasaan militerisme Jepang, meskipun sempat juga ditempa oleh semangat dan sekadar keterampilan kemiliteran, maka akhirnya, sebagaimana dijanjikan Tokyo, “fajar kemerdekaan pun menyingsing” . Dalam suasana inilah sekitar enam puluh orang tokoh masyarakat dan pemimpin pergerakan kebangsaan yang berada di pulau Jawa diundang oleh pemerintah militer Jepang untuk aktif dalam sidang-sidang Badan Pemeriksa Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah memperdebatkan landasan filosofis dan konstitusional dari negara-bangsa yang “dijanjikan Dai Nippon” itu, akhirnya BPUPKI dalam waktu yang cukup singkat berhasil juga merumuskan Pembukaan UUD (yang berisikan Pancasila) dan rancangan UUD. Maka begitulah ketika waktunya setelah datang, tetapi tanpa tanpa campur tangan sistem kekuasaan Jepang, Proklamasi
2 Kemerdekaan Indonesia pun dikumandangkan. Tetapi sejak tanggal Proklamasi itu (17 Agustus 1945) Indonesia menginjakkan langkah ke dalan gelora revolusi nasional. Setelah melalui pahit getir suasana revolusi dan perang Kemerdekaan dan diancam pula pemberontakan oleh para pembangkang, antara lain ketika apa yang disebut sebagai ”Peristiwa Madiun” (1948), maka akhirnya karena intervensi PBB, Konferensi Meja Bundar (KMB) diadakan di Den Haag. Kesimpulan akhir terjadi pada 27 Desember 1949 ketika apa yang secara resmi disebut soevereiniteit overdraft 'penyerahan kedaulatan'—terjadi. Indonesia sejak itu telah diakui sebagai negara merdeka yang berdaulat. Ketika suasana sosial-politik telah mulai agak tenang dan para ilmuwan pun mulai menyesuaikan diri dengan situasi baru, maka perdebatan tentang penulisan sejarah bermula kembali. Willem Philippus Colhaas, ahli sejarah kolonial dan guru besar di Universitas Utrecht, tampil dengan tulisan sangat kritis pada van Leur. Sementara itu H.J. de Graaf, ahli sejarah Kesultanan Mataram, tetap terpukau dengan dinamika sejarah Jawa dan melupakan wilayah lain. Tetapi di waktu itu pulalah G.J. Resink, Guru Besar Fakultas Hukum Universitet Indonesia, seorang ahli hukum internasional dan sejarah kolonialisme—di samping seorang penyair (dalam bahasa Belanda)—mempersoalkan landasan akademis penulisan sejarah Indonesia. Lebih dari sekadar masalah metodologi dan pendekatan teoretis, ia mengingatkan dua hal yang penting. Pertama, ia membantah dengan sangat keras pernyataan, yang bahkan sampai sekarang masih terlalu biasa dikatakan oleh para tokoh politik dan guru-guru sejarah, bahwa “Indonesia 350 tahun berada di bawah penjajahan Belanda”. Bagi Resink pernyataan ini adalah sebuah mitos kesejarahan yang sangat menyesatkan. Kalau hukum internasional yang digunakan sebagai landasan dalam penentuan hak dan kedaulatan politik, kata dia, maka kekuasaan Belanda yang mencakup semua wilayah yang disebut “Hindia Belanda” itu hanya berlangsung sekitar 37 tahun saja. Dengan kata lain Belanda memerlukan waktu sekitar 300 tahun untuk bisa menguasai seluruh wilayah yang disebut "Nederlandsch Indie" itu. Tetapi, kedua, di saat semangat penulisan sejarah yang bercorak Indosentris sedang mengebu-gebu Resink mengingatkan, jangan sampai sikap ini tergelincir pada “regiosentrisme”—ketika kajian kesejarahan malah dipusatkan pada daerah tertentu dan menjadikannya sebagai representasi dari Indonesia secara keseluruhan. Dalam suasana perdebatan mengenai landasan pemahaman sejarah Indonesia ini sedang mengegebu-gebu ini para penulis buku pelajaran sejarah Indonesia seakan-akan telah sepaham saja untuk menggunakan landasan normatif yang nasionalistis dalam menguraikan peristiwa dan tokoh sejarah—“jelek” kata Belanda, “bagus” kata kita atau sebaliknya. Dalam suasana penulisan sejarah yang nasionalistis inilah pula Mohammad Yamin ( 1903- 1962), yang sejak muda telah mendendangkan cinta Tanah Air (mula-mula Sumatra, kemudian Indonesia), memperkenalkan “lima periode sejarah Indonesia”—mulai dari “zaman prasejarah” dan mencapai puncaknya dengan “Abad Proklamasi”. Seperti halnya dengan Bung Karno, bagi Yamin sejarah Tanah Air bukanlah sekadar rangkaian kisah yang memantulkan kejayaan yang pernah dialami bangsa tetapi adalah pula petunjuk menuju masa depan yang penuh harapan. Tetapi bukankah sejarah tidak bisa disamakan saja dengan visi romantik perjalanan historis kehidupan bangsa? Bukankah secara akademis penulisan sejarah adalah hasil rekonstruksi kritis tentang rangkaian peristiwa yang terjadi dalam perjalanan waktu? Bukankah pula hal-hal seperti ini hanya mungkin dilakukan berdasarkan bacaan kritis terhadap sumber-sumber sejarah yang otentik? Romantisme dalam visi kesejarahan adalah hal yang wajar saja tetapi apakah rekonstruksi yang dihasilkan itu bisa dipertanggungjawabkan secara akademis? Bagaimanakah fakta keterpisahan geografis dan bahkan perbedaan pengalaman daerah-daerah yang kini telah membentuk suatu kesatuan negara-bangsa (nation-state) dan secara emosional telah pula dikatakan sebagai “Tanah Air” bisa dikisahkan dalam suatu helaan napas sebagai “sejarah nasional”? Sejarah nasional dalam peralihan rezim pemerintahan Dalam suasana menemukan kesesuaian antara rekonstruksi sejarah otentik dan visi nasional inilah Seminar Sejarah Nasional diselenggarakan di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, 14-18 Desember 1957. Seminar sejarah yang pertama ini boleh dikatakan sebuah panorama dari keragaman visi kesejarahan nasionalistis yang tidak terlupakan. Berbagai pandangan tentang makna kebangsaan, beragam visi kesejarahan dan bahkan kecenderungan ideologis disampaikan para peserta yang terdiri atas ilmuwan, cendekiawan, pendidik, bahkan juga politisi dari berbagai partai politik, di samping para guru dan dosen sejarah dan ahli arkeologi. Tetapi dalam keriuhan wacana yang penuh antusiasme ini sebuah fakta sederhana tidak bisa terlupakan—kesadaran akan pentingnya sejarah nasional dengan visi kesejarahan nasional yang jernih adalah suatu kemestian yang tidak bisa dianggap enteng.
3 Makna dari keragaman sikap ini bertambah berarti juga karena sejak awal 1950-an berbagai karya kesejarahan tentang Indonesia tulisan ilmuwan asing telah semakin banyak memasuki pasaran Indonesia—Kahin, van Niel, Wertheim, van Leur, Schrieke, Gongrijp dan lain-lain. Tulisan-tulisan mereka bukan saja semakin membuka pintu pengetahuan tentang struktur dan dinamika masa lalu Indonesia, tetapi juga menggugah kesadaran akan keharusan sejarah Tanah Air ditulis oleh anak bangsa sendiri. Kesadaran ini bertambah menaik karena dalam masa ini pula Indonesia (khususnya Jakarta dan Yogyakarta) sempat menjadi tuan rumah bagi ceramah A. Toynbee, filsuf sejarah spekulatif yang sedang berada di puncak kemasyhuran, sedangkan sejarawan Belanda terkemuka, Jan Romein, sempat mengadakan seri ceramah di Jakarta dan Yogyakarta dan bahkan menulis refleksi intelektualnya tentang Indonesia, In de ban van Prambanan. Betapa pun perdebatan politik dan ideologis sedang menjadi-jadi dan kabinet pun sering pula tergelincir, namun dasawarsa 1950 boleh juga dikatakan sebagai masa ketika hasrat untuk menjadi bagian dari dinamika kemajuan dunia ilmu pengetahuan telah bemula pula. Jika kesimpulan akhir dari Seminar Sejarah Nasional dibaca kembali mungkin akan terasa juga betapa sederhananya program yang akan dijalankan. Sekarang tentu bisa juga dikatakan bahwa apa yang dirumuskan adalah hal yang sewajarnya saja. Sejarah nasional ialah hasil penelitian yang berdasarkan prinsip yang sederhana—Indonesia-sentris—tetapi memerlukan kecanggihan disiplin ilmu sejarah yang otentik. Prinsip ini bukanlah berarti sekadar pembalikan landasan nilai—dari yang bersifat kolonial menjadi nasional—dan tidaklah pula hanya berarti terlepas dari kungkungan visi Neerlando-sentris. Karya kesejarahan bukanlah pula sekadar mengelus-elus masa lalu yang konon gemilang tetapi adalah hasil usaha rekonstruksi ilmiah yang obyektif dan kreatif tentang rangkaian dari pergumulan anak bangsa untuk mengatasi nasib yang membelenggu dan gelora perjuangan untuk mencapai tatanan sosial-politik yang diidam-idamkan. Karena itu adalah suatu kemestian untuk mendapatkan pengenalan obyektif tentang corak dari struktur kemasyarakatan serta dinamika kehidupan anak bangsa, baik dalam kesendirian masing-masing unsur bangsa atau pun dalam hubungannya dengan unsur lain. Prinsip kesejarahan Indonesia-sentris bukanlah sebuah landasan teori, yang bergumul dengan masalah historical causality (sebab-akibat dalam sejarah) dan sebagainya, tetapi hasrat normatif untuk memahami corak dan bentuk dinamika kehidupan bangsa dalam rentangan perjalanan waktu. Konsep Indonesia-sentris bukanlah sekadar berarti pembebasan dari visi Neerlando-sentris tetapi adalah sikap akademis yang bertolak dari pilihan bahwa yang menjadi perhatian utama ialah dinamika perjalanan kesejarahan anak bangsa. Dengan kata lain pendekatan Indonesia-sentris adalah sikap akademis untuk mendapatkan pemahaman yang akurat tentang berbagai peralihan struktural dan perubahan kultural yang mungkin terjadi dalam perjalanan waktu. Kini sudah sekian puluh tahun masa berlalu sejak Seminar Sejarah Nasional ini diadakan. Berbagai corak dan ragam pengalaman telah dialami bangsa kita. Maka tolehan reflektif ke belakang—ke berbagai peristiwa masa lalu yang telah ditinggalkan—kini telah pula bisa dilayangkan. Seketika tolehan ini telah dilakukan tampaklah betapa Seminar Sejarah Nasional yang pertama ini adalah pula kesempatan terakhir bagi para ilmuwan, cendekiawan dan politisi untuk bertukar pikiran tentang dinamika dan alur kehidupan bangsa secara terbuka. Tidak lama setelah seminar ini suasana konflik politik dan ideologi telah semakin mewarnai kehidupan bangsa. Berbagai ragam keresahan sosial-politik daerah pun semakin meluas dan mendalam pula. Segala corak kegelisahan dan bahkan perlawanan yang terjadi di beberapa daerah serta berbagai gejolak sosial politik yang seperti enggan saja untuk berhenti. Akhirnya semua ini disudahi saja dengan Dekrit Presiden 05 Juli 1959. Dijadikan sebagai landasan hukum yang baru di saat Indonesia telah berada dalam naungan SOB—undang-undang negara dalam bahaya perang—berarti kemungkinan untuk menolak dekrit yang mengingkari UUDS 1950 ini telah pula tertutup. Begitulah dengan Dekrit Presiden ini maka Republik Indonesia pun “kembali ke UUD 1945”. Dengan landasan konstitusional dan ideologis yang baru ini Republik Indonesia pun memasuki zaman sebagaimana yang dikatakan Bung Karno, dengan mengutip ucapan seorang ilmuwan asing, "a summary of many revolutions in one generation”. Diskusi dan eksplorasi intelektual secara terbuka pun mulai dihambat oleh dinding ideologis yang telah didirikan oleh sistem kekuasaan, yang didukung oleh semangat serba-revolusioner. Tetapi sebagai bangsa, kata Presiden, Indonesia tetap melandaskan diri pada konsep “kepribadian bangsa”. Ironis mungkin, tetapi di saat dominasi ideologis yang diterapkan negara telah mulai menghambat sifat keterbukaan dari kemerdekaan berpikir, maka di saat itu pula usaha pendalaman pengetahuan sejarah bangsa semakin berkembang juga. Meskipun secara resmi dan terbuka aspek-aspek tertentu dari sejarah bangsa banyak ditampilkan sebagai propaganda untuk memperkuat semangat konfrontatif yang revolusioner dalam situasi konflik ideologis dengan kekuatan yang disebut "Old Established Forces" (OLDEFO), tetapi di belakang segala corak yang serbaresmi itu latihan akademis serta usaha pemantapan landasan intelektual untuk mendapatkan le histoire realite berdasarkan keharusan etik dan disiplin keilmuan yang obyektif berlangsung
4 juga. Ilmu dan teori sejarah serta filsafat sejarah yang beragam-ragam itu semakin banyak juga dipelajari. Dalam masa inilah pula satu-dua universitas mulai menghasilkan sarjana dalam ilmu sejarah. Pada 1966, ketika Sartono Kartodirdjo menyelesaikan disertasinya yang berjudul The Peasant’s Revolt of Banten in 1888 di Universitas Amsterdam, maka Indonesia pun mempunyai seorang pemegang gelar akademis tertinggi—doktor dalam ilmu sejarah. Ironis mungkin, tetapi bisa jugalah dikatakan bahwa di saat Republik Indonesia mulai memasuki periode baru dalam sejarah kontemporernya, maka di waktu itu pula “episode baru” dalam perkembangan ilmu dan kajian sejarah bermula. Hanya saja penambahan jumlah ilmuwan memakan waktu yang lama juga. Barulah pada 1970 dua disertasi sejarah—satu sejarah ekonomi dan satu sejarah sosial-politik—tentang dua daerah yang berbeda di Sumatra dihasilkan. Keduanya adalah hasil universitas luar negeri. Tetapi sejak pertengahan 1970-an arus “kelahiran”para ahli sejarah telah semakin deras. Kebebasan akademis di bawah dominasi negara Setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945 maka rezim Demokrasi Terpimpin seperti dengan begitu saja membawa dirinya ke suasana keterpencilan internasional. Entah nasib, entah sudah direncanakan, ketika ini pulalah malapetaka sosial dan politik yang teramat tragis menerpa kehidupan bangsa dan negara. Gerakan 30 September (G-30-S) terjadi. Seketika gerakan yang telah membunuh enam jenderal dan seorang perwira menengah ini menampilkan diri sebagai bagian dari usaha kudeta maka di waktu itu pula konflik internal bermula—di Jakarta kemudian bahkan hampir di seluruh penjuru Tanah Air. Dalam suasana inilah berbagai corak “aksi sepihak “ dan penghinaan ideologis yang pernah terjadi di masa kejayaan Demokrasi Terpimpin bermain dengan teramat keras dalam struktur ingatan dari sebagian besar anak bangsa. Seketika dendam atas rasa keterhinaan mental dan rasa keterpencilan politik yang pernah dialami itu mendapat saluran maka pada waktu itu pula Indonesia terjerumus ke dalam kancah krisis sosial dan tragedi kemanusiaan yang teramat parah. Entah berapa puluh—atau bahkan mungkin—ratusan ribu anak bangsa, yang dituduh sebagai pengikut komunisme, dengan begitu saja kehilangan nyawa dan kebebasan. Entah berapa pula banyaknya mereka yang dicurigai itu diperlakukan sebagai “pariah” dalam konstelasi kenegaraan dan bahkan juga dalam pergaulan sosial yang terbuka. Ketika akhirnya pada Maret 1968 Presiden Sukarno meletakkan jabatan sebagai kepala negara, maka Orde Baru, di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, meninggalkan “revolusi” dan menjadikan “pembangunan nasional” sebagai semboyan dan program negara yang utama. Maka setapak demi setapak perubahan dari peta Indonesia pun terjadi—kota-kota baru dibangun, jembatan-jemabatan baru dibuat dan seterusnya. Sementara itu jumlah sekolah dan universitas pun semakin menaik pula. Tetapi dalam perjalanan waktu Orde Baru semakin lama semakin memperlihatkan dirinya sebagai penyambung yang otentik dari tradisi otoritarianisme yang sentralistis dari rezim yang telah digantikannya. Ironis mungkin tetapi ketika semangat dan gaya membangun masa depan yang diajarkan oleh Orde Baru itu sedang menaik maka di waktu itu pula Seminar Sejarah Nasional II diadakan di Yogyakarta pada Agustus 1970. Hanya saja kini para politisi dan opinion makers telah asyik di wilayah kegiatan mereka masing-masing. Seminar Sejarah Nasional II adalah pentas yang memberi kesempatan bagi para profesional dari dunia kajian sejarah untuk tampil. Praktis semua makalah yang dipersembahkan adalah hasil rekonstruksi atau interpretasi atas peristiwa yang terjadi dalam perjalanan waktu. Tetapi terlepas dari latihan keilmuan ini seminar nasional ini menghasilkan dua putusan penting, yaitu pembentukan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan penulisan buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang terdiri atas enam jilid. Entah direncanakan, entah tidak, komposisi kepengurusan organisasi (MSI) dengan tim editor dari SNI tidak berbeda. Sartono Kartodirdjo dipilih sebagai ketua MSI sekaligus Editor Umum SNI. Tetapi ketika periode perubahan kepengurusan MSI telah datang, sebuah “tragedi” (ataukah lebih baik disebut saja “kemelut integritas keilmuan”?) terjadi pada SNI. Semua penulis jilid V (tentang zaman pergerakan kebangsaan) kecuali asisten kelompok, mencoret nama mereka, meskipun tulisan mereka tetap menjadi milik panitia dan diterbitkan juga, kecuali satu bab. Nama penulis bab ini malah telah lebih dulu dicoret oleh ketua proyek—sang penulis rupanya telah masuk “daftar hitam” rezim yang berkuasa. Tradisi “pengunduran” ini berlanjut juga karena pada cetakan yang ketiga. Sartono Kartodirdjo, sang pencetus ide dan ketua dewan redaksi, menghapus namanya pula.
5 Terlepas dari segala kritik etis dan perdebatan akademis di sekitar buku yang dikatakan “standar” ini, SNImengalami ulang cetak dan revisi beberapa kali. Hanya saja jika direnungkan bukankah masa lalu, yang dikenang dan direkonstruksi sejarah itu, adalah pula pentas tempat terjadinya segala macam corak ironi? Maka bisalah dikatakan bahwa betapa pun kritik atas kecenderungan rezim Orde Baru untuk menguasai ingatan kolektif bangsa dan pengetahuan sejarah bisa terus juga dilayangkan, namun zaman Orde Baru adalah pula masa ketika ilmu sejarah dan studi sejarah Tanah Air mulai tumbuh dan bahkan bisa berkembang dengan cukup baik. Ternyatalah rezim Orde Baru ini hanya ingin menguasai rekonstruksi dan corak interpretasi kesejarahan tentang beberapa peristiwa sejarah tertentu, tetapi praktis memberi kebebasan bagi pengisahan peristiwa lain. Tentu bisa dimaklumi juga jika kisah kesejarahan peristiwa G-30-S dan kelanjutannya berada mutlak dalam dominasi sistem kekuasaan. Tetapi bagaimanapun juga masa Orde Baru harus dicatat sebagai periode politik ketika berbagai macam peristiwa sejarah yang pernah terjadi di hampir semua wilayah Tanah Air dan bahkan juga saat ketika riwayat tokoh pergerakan kebangsaan ditelaah, ditulis dan diterbitkan. Betapa pun mungkin dari sudut teori dan tingkat kejernihan akademis aktivitas penulisan ini kurang atau bahkan tidak memberi sumbangan yang berarti, tetapi program yang diperkenalkan ini berhasil juga merekam berbagai corak pengalaman kesejarahan yang terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. Kegiatan studi kesejarahan semakin meriah juga karena sejak 1970 boleh dikatakan secara teratur setiap empat tahun sekali Seminar— kemudian disebut Konferensi—Sejarah Nasional diadakan. Ketika konferensi ini telah berakhir maka berarti sekian jilid buku yang berisikan makalah tentang berbagai peristiwa kesejarahan di Tanah Air akan diterbitkan. Lebih daripada itu tidak pula jarang berbagai seminar nasional dan bahkan lokal diadakan untuk menjelajahi problem dan teori penulisan sejarah atau berusaha membuka vista baru dalam studi kesejarahan bangsa. Maka bisalah dipahami juga jika sejak istilah “seminar” telah diganti dengan "konferensi" tradisi baru di kalangan sejarawan pun bermula. Setiap konferensi adalah pula saat ketika para sejarawan secara resmi memberi penghargaan kepada cendekiawan yang masih hidup yang telah memberi sumbangan dalam perluasan pengetahuan sejarah bangsa. Jenderal Nasution, Rosihan Anwar, G.J. Resink, Rusli Amran, Ali Hasjmy adalah beberapa tokoh yang telah mendapat penghargaan ini. Jika rezim Demokrasi Terpimpin cenderung mencurigai kajian akademis tentang masalah sosial, ekonomi dan kebudayaan karya para ilmuwan yang berasal dari negara yang dianggap termasuk "Old Established Forces", maka tidak demikian halnya dengan Orde Baru. Sejak awal kehadirannya Orde Baru memperlihatkan sikap yang relatif lebih terbuka kepada dunia luar, meskipun cenderung curiga pada negara-negara komunis, terutama RRT. Di masa inilah pula hasil studi tentang berbagai aspek dan peristiwa kesejarahan—entah yang bersifat politik, ekonomi, antropologis dan sebagainya—karya ilmuwan asing semakin banyak memasuki pasaran akademis Indonesia. Studi-studi ilmuwan asing ini bukan saja dapat menambah ilmu pengetahuan tetapi tidak jarang pula memberi inspirasi akademis, bahkan mungkin juga pengaruh akademis, pada ilmuwan sosial dan sejarawan muda Indonesia. Umpamanya selama beberapa tahun (1970-1980) LIPI mengadakan kerja sama dengan KITLV, lembaga ilmiah dari Belanda, untuk menerjemahkan dan menerbitkan artikel-artikel lama yang bernuansa kesejarahan yang dinilai penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan di Tanah Air. Setiap terjemahan selalu didahului oleh pengantar akademis yang ditulis oleh ilmuwan Indonesia. Begitulah ketika kedewasaan akademis dan intelektual telah semakin menampakkan diri maka di waktu itu pula rasa-hayat kesejarahan yang bersuasana Indonesia-sentris semakin diperlakukan sebagai anjuran akademis untuk memperdalam pengetahuan tentang struktur kemasyakatan dan corak proses dan dinamika sejarah yang pernah dan mungkin masih dialami masyarakat bangsa. Betapa pun kecintaan kepada Tanah Air tidak berkurang dan hasrat untuk mendapatkan hikmah dari pengalaman bangsa di kelampauan tetap besar pula, tampak pula betapa para sejarawan semakin menjadikan diri mereka sebagai bagian dari dunia ilmu pengetahuan yang merelatifkan makna akademis dari batas-batas politik dan geografis kenegaraan. Dalam situasi akademis yang semakin terbuka inilah disiplin-disiplin keilmuan lain, terutama sosiologi, antropologi dan ilmu politik dan bahkan ekonomi semakin jauh melakukan “penetrasi akademis” ke dalam alur analisis dan bahkan corak rekonstruksi peristiwa yang dilakukan disiplin sejarah. Maka bisalah dipahami juga kalau sejak masa ini studi sejarah tentang bangsa-bangsa lain mulai digalakkan. Sejak kembali ke Tanah Air, Sartono Kartodirdjo telah memperkenalkan pendekatan yang dinamakannya “multidimensional”. Dengan pendekatan ini studi sejarah tidak lagi terpaku hanya pada urutan kejadian saja, tetapi juga pada struktur sosial-kultural yang merupakan wadah dari rangkaian kejadian itu. Dengan pendekatan ini maka sebagian sejarawan telah mulai membiasakan diri untuk mengikuti prinsip-prinsip dasar bahkan juga pergolakan landasan teori yang terjadi dalam ilmu-ilmu sosial yang lain itu. Sosiologi, khususnya
6 sosiologi perdesaan, umpamanya, memainkan peranan ketika dinamika kesejarahan masyarakat desa sedang diteliti. Dengan pendekatan ini maka para calon sejarawan tidak lagi terbatas berbagai corak aktivitas dan dinamika politik, tetapi telah meluaskan perhatian ke berbagai bidang kehidupan dan corak aktivitas kemasyarakatan yang lain. Hanya saja seketika sosiologi atau ilmu sosial lainnya telah ikut bermain dalam usaha rekonstruksi sejarah dan dalam usaha memberikan keterangan (explanation) sejarah, maka ketika itu pula pancingan bagi terjadinya pergumulan teori tidak selamanya bisa terhindarkan. Dalam suasana akademis inilah jumlah sarjana dan pascasarjana tamatan universitas dalam negeri bertambah banyak juga. Bahkan jumlah pemegang gelar M.A. dan Ph.D. hasil pendidikan luar negeri pun menaik pula. Meskipun perhatian dan studi tentang masa lalu wilayah Jawa masih dominan, tetapi makin lama makin tidak lagi menjadi pemegang monopoli perhatian. Bahkan boleh dikatakan jika perhatian para calon doktor sejarah semakin lebih banyak tertuju pada masyarakat desa atau kota kecil. Menjelang akhir abad ke-20 jumlah Dr. Atau Ph.D. sejarah sudah mencapai sekian puluh orang—lebih dari 50% dari mereka adalah hasil universitas Amerika Serikat, Australia, Belanda dan satu-dua dari Jerman dan Prancis.[2] Sejak awal 1970-an bukan saja jumlah sejarawan yang memegang gelar akademis tertinggi telah bertambah, hubungan akademis yang bersifat internasional pun mulai semakin intensif pula. Pada 1972 beberapa orang sejarawan menghadiri konferensi International Association of Historians of Asia (IAHA) di Manila. Ketika itulah Indonesia dipilih—bahkan diminta—secara aklamasi untuk menjadi tuan rumah konferensi IAHA berikutnya dan Sartono Kartodirdjo pun secara otomatis dipilih sebagai Presiden IAHA. Didukung oleh LIPI, maka UGM pun tampil sebagai tuan rumah konferensi reguler International Association of Historians of Asia (1975) ini. Konferensi internasional, yang dihadiri oleh para sejarawan dari Amerika Serikat, Belanda, Rusia, Inggris di samping para sejarawan dari beberapa negara Asia ini, dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden RI Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan mantan Wakil Presiden Mohamad Hatta tampil sebagai pembicara kunci. Dalam konferensi ini beberapa orang sejarawan muda Indonesia tampil menyajikan makalah mereka. Ternyata IAHA adalah pengalaman internasional pertama bagi sebagian besar sejarawan muda. Sejak 1972 sampai sekarang telah tiga kali Indonesia menjadi tuan rumah konferensi IAHA. Hubungan studi kesejarahan yang bersifat internasional bertambah kuat juga ketika para ilmuwan Belanda dan Indonesia yang bertemu pada IAHA di Yogyakarta bersepakat untuk mengadakan konferensi bersama kesejarahan secara berkala dengan tuan rumah diatur secara bergantian. Tema utama konferensi bersama itu ditentukan secara bersama pula. Dalam konferensi ini batas-batas yang keras antara ilmu sejarah, yang telah semakin akrab dengan cabang-cabang ilmu sosial lain, dengan arkeologi dan filologi dikaburkan saja. Meskipun memakai sumber utama yang berbeda-beda—arkeologi mempelajari inskripsi kuna yang ternukil di batu-batu, sedangkan sumber utama sejarah adalah tulisan di atas kertas atau hasil wawancara—tetapi bukankah kedua cabang ilmu ini sama-sama mempelajari dinamika dan peristiwa yang terjadi di masa lalu? Konferensi Sejarah Indonesia-Belanda yang pertama diadakan di Noordwijkerhout pada 1976. A. Teeuw, yang di Indonesia dikenal sebagai ahli sastra Indonesia/Melayu dan Jawa klasik, membuka konferensi ini secara resmi, sementara Henk Wesseling, ahli sejarah maritim Eropa, tampil sebagai pembicara kunci. Konferensi sejarah Belanda-Indonesia yang kedua diadakan di Makassar (1978) dengan pembicara kunci Mohammad Roem. Sedangkan seminar ketiga diadakan di Leiden (1980) dengan pembicara kunci Taufik Abdullah, yang kebetulan sedang menjadi visiting fellow di NIAS (Netherlands Institute for Advance Studies in Social Sciences and Humanities) di Wassenaar. Konferensi kelima diadakan di Yogyakarta (1982). Tetapi setelah konferensi ini hubungan akademis Indonesia-Belanda menjadi renggang—gara-gara J. Pronk, seorang menteri dari kabinet Belanda, tidak henti-hentinya mengecam pendudukan Indonesia atas Timor Timur dan krisis bersenjata yang disebabkannya. Ketika hubungan akademis masih berjalan baik sekian mahasiswa sejarah Indonesia mendapat kesempatan belajar di Belanda. Sebagian dari mereka berhasil mendapatkan gelar akademis tertinggi dalam ilmu sejarah. Meskipun secara langsung tidak begitu banyak melibatkan para sejarawan muda tetapi Yogyakarta-New DelhiLeiden-Cambridge Comparative Studies on India and Indonesia yang mengadakan seminar secara bergantian di keempat kota ini menjadi perangsang juga dalam hubungan keilmuan internasional. Memang secara resmi Yogyakarta hanya diwakili oleh dua orang ilmuwan (Sartono dan Taufik), tetapi setiap pertemuan selalu dihadiri ilmuwan-ilmuwan lain dari keempat negara. Akhirnya bolehlah dikatakan bahwa sejak keikutsertaan Indonesia dalam IAHA 1972 di Manila keterlibatan dalam berbagai corak pertemuan internasional telah semakin merupakan hal yang rutin bagi sebagian—andaikan masih belum bersifat umum—sejarawan Indonesia. Sementara itu Institut Agama Islam Negeri (IAIN), apalagi yang telah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), telah pula mengalami perubahan yang mendasar. Konsep studi Islam berarti juga pendalaman pengetahuan dalam ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan. Kecenderungan ini diperkuat oleh kerja sama antara Departemen
7 Agama dan McGill University (Montréal, Kanada) dan Biro Studi Indonesia yang berpusat di Leiden. Maka begitulah, di samping beberapa universitas di Amerika Serikat dan McGill di Kanada, Leiden juga menghasilkan doktor dalam berbagai aspek dari sejarah Islam di Indonesia. Ketika waktunya telah sampai maka semuanya pun ternyata harus berakhir juga. Tiba-tiba saja krisis moneter hebat melanda Tanah Air tercinta ini. Seketika itu pula bukan saja ekonomi negara menghadapi krisis yang cukup serius, landasan ideologis kekuasaan Orde Baru pun mulai goyah. Krisis ekonomi dan politik tidak terelakkan. Akhirnya Presiden Soeharto, seperti halnya dengan Bung Karno, melakukan lengser keprabon, meletakkan jabatan, tanpa usaha perlawanan sedikit pun. Begitulah pada Mei 1998 Orde Baru mengakhiri kariernya. Indonesian memasuki zaman Reformasi—kehidupan politik yang demokratis pun kembali berjalan, tetapi tantangan baru harus pula kita hadapi. “Reformasi”: sistem politik baru dan abad baru Sesuai dengan keharusan UUD 1945, yang mengatakan bahwa bilamana Presiden tidak lagi bisa berfungsi dalam masa kepresidenannya, maka Wakil Presiden berhak menggantikannya. Tetapi seketika sumpah jabatan sebagai Presiden baru diucapkan, maka B.J. Habibie dengan begitu saja menghadapi berbagai macam tantangan. Sementara itu Suharto, sang mantan Presiden, yang telah dianggapnya sebagai paman tercinta, telah pula menjauhinya. Meskipun menghadapi berbagai hambatan politik dan psikologis yang berat, Presiden Habibie tetap menjalankan tugasnya dan berusaha membawa Indonesia kembali ke suasana yang diharapkan UUD 1945. Dalam waktu kurang dari dua tahun Presiden Habibie berhasil menerbitkan sekian banyak undangundang yang memperkenalkan kembali desentralisasi dan otonomi daerah, kemerdekaan berserikat, kemerdekaan pers dan sebagainya. Ia pun mempersilakan Timor Timur, wilayah bekas jajahan Portugis yang diduduki Indonesia, untuk menentukan pilihan: “merdeka” atau “otonomi khusus”. Habibie harus membayar mahal kesemuanya ini ketika ia memutuskan untuk mengadakan Pemilihan Umum, sebelum masa jabatannya, sebagai kelanjutan dari masa tugas Presiden Soeharto, secara resmi berakhir. MPR, hasil pemilu yang diadakannya, menolak pidato pertanggungjawabannya. Maka ia pun memutuskan untuk tidak mencalonkan diri sebagai Presiden. “Reformasi”, katanya adalah “accelerated evolution”—dan ia dengan ikhlas menjalankannya. Ketika ia berhenti maka pada waktu itu pula peralihan kekuasaan mengikuti keharusan konstitusional. Di saat berbagai perubahan dalam UUD 1945 dilakukan oleh MPR, Habibie hanya memperhatikannya dengan penuh harapan. Selanjutnya biarlah ingatan dan pengetahuan masing-masing tentang dinamika politik kontemporer yang berbicara. Maka mestikah diherankan jika “kenangan" Habibie tentang peralihan kekuasaan ini yang diterbitkan dalam dua bahasa Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (Decisive Moments: Indonesia’s Long Road to Democracy) dikatakan sebagai salah karya sejarah yang terpenting ketika peralihan kekuasaan terjadi?[3] Kita telah memasuki abad ke-21, tetapi “Reformasi” harus bergumul dengan berbagai corak ujian. Kisah abadi sebuah negeri yang terbebas dari sistem otoriter pun tampil begitu saja. Mula-mula hanya terjadi di kalangan publik politik, tetapi tuntutan akan keharusan merevisi sejarah menyelinap ke wilayah pendidikan. Gugatan akan kebenaran sejarah terjadi terhadap kisah kesejarahan yang berada di bawah dominasi negara. Apakah yang terjadi sesungguhnya menjelang dan di saat peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto? Berbagai demonstrasi menuntut “kebenaran sejarah” pun terjadi. Apakah “kebenaran” itu mengharuskan pula perubahan dalam sistem seremoni kenegaraan? Masih haruskah upacara 1 Oktober—tanggal yang telah ditahbiskan sebagai “Hari Kesaktian Pancasila”—diadakan? Sementara itu di kalangan publik berbagai corak hipotesis kesejarahan (ataukah teori?) bertaburan. Siapakah yang berada di belakang pembunuhan para jenderal pada subuh 1 Oktober 1965 itu? Apakah benar peristiwa itu dikendalikan oleh PKI? Memang demikianlah faktanya, kata sejarawan resmi Orde Baru. Tetap, jika demikian, “mengapa begini” dan ”mengapa pula begitu”? Bukankah secara politik PKI sedang berada di atas angin?“, "Ah, kalau begitu jangan-jangan?” Tetapi apakah mungkin kebenaran sejarah (historical truth) yang otentik bisa didapatkan? Sekian banyak artikel dan buku, baik tulisan ilmuwan asing maupun sejarawan profesional atau amatiran dalam negeri, telah disampaikan ke wilayah publik, tetapi kontroversi masih enggan untuk berhenti.[4] Maka klaim “pelurusan sejarah” pun diperkenalkan, seakan-akan dengan klaim ini “kata akhir” dari sejarah yang otentik dan sahih telah didapatkan. Dengan klaim ini maka dinyatakanlah bahwa histoire-recite yang diperkenalkan adalah wakil yang otentik dari histoire-realite. Hanya saja seketika hal itu telah disampaikan maka di waktu itu pula batas “profesionalisme”, “kesombongan” dan “ambisi politik” bahkan “kenaifan” telah mengabur begitu saja. Bukankah sudah sejak masa awal pertumbuhannya ilmu sejarah—sebagai disiplin yang
8 berusaha merekonstruksi peristiwa yang konon pernah terjadi—selalu berusaha memperbaiki dirinya atau “meluruskan” apa yang sempat telah dianggap sebagai pantulan dari kebenaran? Bahkan siapa pun yang sempat belajar ilmu sejarah tahu juga bahwa apa yang disebut sebagai accepted history sekalipun hanya mungkin berlaku untuk jawab tentang “apa, bila, siapa, di mana” pada peristiwa yang pasti saja. Sedangkan jawaban tentang “bagaimana” dan ”mengapa” adalah wilayah "kepastian sejarah" yang senantiasa harus memperbaiki dirinya. Sementara itu berbagai karya sejarah dari ilmuwan asing yang cukup monumental semakin banyak juga memasuki pasaran perbukuan. Ada karya yang menulis kembali kisah sejarah tentang situasi kekuatan kolonialisme sedang menghadapi krisis internal sebelum semangat nasionalisme anak jajahan tampil sebagai penantang. Ada pula yang secara detail mengulas situasi di saat peralihan kekuasaan sedang terjadi. Di samping itu ada pula yang mengupas betapa keretakan yang pernah terjadi ketika proses ke arah integrasi kehidupan bangsa sedang berlangsung. Tidak pula kurang menariknya ialah dinamika intelektual Islam di dunia Melayu dan di dalam kebudayaan Jawa. Akhirnya siapakah yang bisa membantah bahwa biografi adalah salah satu tema bacaan kesejarahan yang paling menarik? Sudah bisa dibayangkan bahwa penyebaran buku-buku ini—dan tentu saja juga buku-buku penting lainnya— tidaklah terlalu meluas untuk dapat menjangkau seluruh masyarakat sejarawan Indonesia. Meskipun demikian perkembangan studi sejarah—terutama di kalangan pengajar universitas—setapak-setapak berjalan dengan baik juga. Hanya saja jika penerbitan buku yang dipakai sebagai indikasi dari aktivitas kajian sejarah maka tampaklah bahwa para ilmuwan bukanlah pemegang monopoli, bahkan jauh daripada itu. Jika saja popularitas yang dipakai sebagai ukuran maka mungkin Pramoedya Ananta Toer, sang novelis, akan tampil sebagai pemenang. Di samping novel sejarah yang menyebabkan ia pernah dicalonkan sebagai penerima Hadiah Nobel bidang sastra, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca (1980-1990), yang sambung bersambung, ia telah lebih dulu menulis biografi Kartini dan sejarah Hoakiau di Indonesia, sebuah buku yang membela kehadiran golongan non-pribumi ketika gejala anti-Cina telah semakin kelihatan. Jika saja dunia penerbitan digunakan sebagai ukuran maka tampaklah bahwa kisah hidup seseorang boleh dikatakan sebagai topik kesejarahan yang paling populer. Memoar atau kenangan hidup boleh dianggap sebagai kategori pertama dalam wilayah penulisan tentang kisah kehidupan seseorang. Bisalah dipahami juga jika semakin penting peranan kemasyarakatan dan/atau politik yang pernah dimainkan oleh seseorang, maka semakin menarik pula memoar yang mereka tulis. Terlepas dari pandangan tentang peranan politik yang pernah dijalankannya, memoar Ali Sastroamidjojo adalah contoh biografi yang menarik. Ia berkisah secara terbuka. Memoar yang ditulis Bung Hatta (1970, edisi baru 2011) memang sangat kaya dengan informasi tentang pengalaman politiknya sejak masa muda di Eropa sampai ketika ia memainkan peran terpenting dalam usaha penyelesaian konflik Indonesia-Belanda, tetapi memoar ini sangat enggan memuat pendapat sang penulis tentang orang lain. Sebaliknya otobiografi Bung Karno yang “as told to Cindy Adam” cukup royal memberi penilaian yang subyektif tentang tokoh-tokoh lain. Bung Karno memang mengisahkan kenangannya ketika ia sedang berada di puncak kekuasaan, meskipun buku ini terbit ketika krisis kewibawaan sedang dihadapinya. Corak kedua ialah kumpulan kenangan dari para kenalan, sahabat, dan pengamat tentang tokoh yang dikisahkan. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara adalah beberapa tokoh yang dikenang dalam beberapa penerbitan. Corak ketiga ialah biografi—kisah hidup seseorang secara lengkap yang ditulis oleh orang lain. Ketika terlibat dalam penulisan inilah keterampilan teknis kesejarahan dan biografi sang penulis/pengisah menampilkan dirinya. Biografi Azwar Anas, Rooseno, Hamengkubuwono IX, Awaloeddin Djamin, Jakob Oetama dan Alamsyah Ratu Perwiranegara adalah beberapa contoh dari biografi yang dikerjakan dengan cukup baik. Rak keempat, boleh dikatakan unik juga. Setelah memilih siapa yang dianggap 4 Serangkai Pendiri Republik (Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka) majalah Tempo menggabungkan biografi singkat dengan esai dari beberapa penulis tentang masing-masing tokoh. Barangkali tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa buku saku Manusia dalam Kemelut Sejarah—yang berisikan biografi singkat beberapa tokoh nasional yang waktu itu (masa 1970-an) boleh dikatakan agak kontroversial (Sukarno, Tan Malaka, Sjahrir, Amir Sjarifudin dan lain-lain) adalah pencetus perhatian pada para pelaku sejarah yang telah meninggalkan bekas dalam jejak sejarah. Bisalah dipahami juga jika buku yang terbit pertama kali pada 1978 ini sempat diterbitkan beberapa kali dan bahkan diterjemahkan ke bahasa asing. Sekian puluh tahun kemudian dengan gaya yang tidak terlalu berbeda tetapi jauh lebih komprehensif dan “teoretis”, Menerjang Badai Kekuasaan karya Daniel Dhakidae, secara ekstensif berkisah tentang liku-liku khidupan beberapa tokoh nasional yang unik dalam perjalanan sejarah bangsa. Setelah beberapa corak pengisahan tentang “para pelaku” sejarah ini maka perhatian terbesar yang kedua ialah kisah pengalaman kontemporer bangsa yang memprihatinkan. Reformasi rupanya tidak saja membuka
9 kembali pintu demokrasi tetapi juga melepaskan juga unsur-unsur konflik ke permukaan—seakan-akan dengan tiba-tiba Reformasi telah berubah menjadi “kotak Pandora” yang terbuka. Ketika Reformasi terjadi katup-katup konflik sosial, yang berhasil dikekang oleh sistem kekuasaan otoriter Orde Baru tiba-tiba terbuka. Berbagai corak konflik sosial yang teramat memprihatinkan terjadi di beberapa daerah. Ada konflik horizontal yang bernuansa agama, ada yang cenderung bersifat etnis dan bahkan ada yang menggabungkan keduanya. Maka tidaklah mengherankan jika konflik lokal ini tergelincir juga kepada konflik yang bersifat vertikal, ketika sistem kekuasaan terbawa dalam arus konflik. Sedangkan konflik yang bersifat separatisme terjadi di Aceh dan yang menggabungkan keduanya meletus di beberapa lokasi di Papua. Tetapi bagaimanakah dampak semua itu terhadap perkembangan historiografi? Berbagai jawab dan pemecahan diajukan, tetapi tidak bisa disangkal bahwa studi konflik telah menjadi perhatian sejarawan dan bahkan tidak jarang mendorong kerja sama sejarawan dengan ahli sosiologi, antropologi dan ilmu politik. Ketiga, jika saja daerah-daerah di Indonesia diberi peringkat berdasarkan jumlah studi sejarah yang telah dihasilkan maka bisalah dikatakan bahwa Jawa dan Bali kemudian dengan jarak agak jauh juga Aceh dan Minangkabau menduduki tempat tertinggi. Tetapi pada abad ke-21 kecenderungan ini telah mulai diguncang. Dengan kata lain wilayah lain—terutama wilayah Indonesia timur—semakin banyak mendapat perhatian studi sejarah. Beberapa disertasi yang berkisah tentang masa penjajahan dan revolusi di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) telah diterbitkan. Adalah sesuatu yang menarik juga jika diingat bahwa para penulis—di samping ilmuwan asing—adalah sejarawan yang berasal dari daerah lain. Beberapa sejarawan Bali, umpamanya, menerbitkan buku, yang semula berupa disertasi doktoral, tentang dinamika sejarah wilayah yang dulu disebut “Kepulauan Sunda Kecil” (sekarang terdiri atas tiga provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur). Namun harus dicatat juga bahwa Bima adalah daerah wilayah bagian timur yang paling banyak menghasilkan karya yang bernuansa kesejarahan. Beberapa bo, historiografi tradisional, telah diterbitkan. Jika nama mereka yang berjasa harus disebut maka bagaimanapun juga Henri Chambert-Loir (ilmuwan Prancis) dan Siti Maryam R. Salahuddin (putri Sultan Bima yang terakhir) tidak bisa dilupakan. Meskipun masih belum banyak ditulis, Kalimantan telah semakin menarik perhatian, seperti Kerajaan Sintang, 1822-1942 karya Helius Sjamsuddin yang menguraikan perlawanan antikolonialisme di salah satu wikayah di Kalimantan Barat. Tetapi bagaimanapun juga harus diakui bahwa Sulawesi, terutama wilayah keturunan Sawerigading, Bugis-Makasar, masih merupakan wilayah timur Indonesia yang paling banyak mendapat perhatian para sejarawan—lokal ataupun asing. Awal abad ke-21 boleh dikatakan sebagai masa ketika sebagian besar wilayah Indonesia mulai terbebas dari “kegelapan sejarah”, betapa pun berbagai aspek kehidupan sosial-kultural masih belum terjamah. Salah satu karya sejarah yang menarik juga ialah kisah perlawanan Nuku, raja Tidore (1780-1810) ,yang merupakan disertasi Muridan Widjojo (lulusan Universitas Leiden) yang telah diterbitkan Brill diterbitkan terjemahannya dengan judul Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di Maluku-Papua Sekitar 1780-1810. Keempat, ketika A.B. Lapian akhirnya berhasil membulatkan tekad untuk menyelesaikan disertasinya (dengan nilai cum laude), yang berjudul Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, maka halaman baru dalam historiografi Indonesia telah dibuka. Disertasi ini adalah pembuka pintu sejarah maritim. Meskipun disertasi ini barulah diterbitkan pada 2009 (cetakan kedua 2011) tetapi lewat kuliah dan artikel yang ditulis Lapian sejarah maritim mulai menarik perhatian para sejarawan muda. Setidaknya lima sejarawan Indonesia telah menulis sejarah maritim yang dipersembahkan di universitas di dalam dan di luar negeri. Laut Sulawesi, Lautan Hindia dan Laut Jawa, apalagi Selat Malaka, bukanlah “wilayah asing” dalam dunia historiografi modern Indonesia. Kelima, harus diakui juga sejarah Islam di Indonesia—terutama aspek pemikiran dan aktivitas politik—dari masa awal kedatangan Islam, terutama abad modern, adalah wilayah kajian yang paling banyak mendapat perhatian ilmuwan muda. Salah satu faktor dari gejala ini ialah “penetrasi yang direncanakan” dari ilmu-ilmu sosial dan filologi ke dalam IAIN, apalagi setelah IAIN menjadi UIN dan semakin banyak ilmuwan muda IAIN/UIN yang melanjutkan studi ke universitas-universitas di Barat. Jika dulu naskah-naskah Melayu lama dan Jawa hanya bisa "disantap" oleh sarjana filologi tamatan Fakultas Sastra, maka sejak akhir 1990-an naskahnaskah lama telah menjadi “makanan” bagi sarjana IAIN/UIN. Maka bisalah dimaklumi juga jika sebagaian dari penulis Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia (lima jilid, 2015) yang diterbitkan Dirjen Kebudayaan, berasal dari kalangan IAIN/UIN, meskipun penulis Sejarah Pemikiran Indonesia Modern (2014—editor Taufik Abdullah) hanya terdiri atas sejarawan dan filolog dari kalangan universitas saja. Di samping sejarah sosial, yang telah mulai populer sejak Sartono Kartodirdjo memimpin Jurusan Sejarah UGM, sejarah maritim, dengan pionir A.B Lapian serta sejarah politik yang tetap menarik perhatian, apalagi pada tahap daerah, sejarah pemikiran telah pula mulai menarik perhatian para sejarawan. Tetapi memang harus ditekankan juga bahwa meskipun studi sejarah pemikiran, yang relatif bersifat “independen” didorong oleh keinginan untuk memahami gejolak sosial dan politik, penerbitan yang relatif lengkap ialah sejarah pemikiran
10 Islam yang diterbitkan sebagai Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (tujuh jilid, 2002) , dengan ketua dewan redaksi Taufik Abdullah. Akhirnya—setelah tertahan beberapa lama—Indonesia dalam Arus Sejarah (sembilan jilid), dengan editor utama Taufik Abdullah dan A.B. Lapian—akhirnya diluncurkan secara resmi pada 2012. Iniah buku sejarah Indonesia yang terlengkap—mulai dari zaman prasejarah sampai dengan berakhirnya Orde Baru dan ditutup dengan epilog yang mengisahkan cuplikan peristiwa yang masih belanjut. Meskipun buku yang mencakup wilayah seluruh Tanah Air dan meliputi uraian sejak zaman terbentuknya kepulauan Nusantara buku ini sama sekali terlepas dari beban politik dan bahkan sejauh mungkin terbebas pula dari segala corak sentrisme, tetapi pada waktunya perlu juga mengalami revisi. Bukan karena apa-apa, sejak buku ini terbit perkembangan historiografi Indonesia masih terus berlanjut. Penutup Bagaimanakah perkembangan ilmu sejarah di Tanah Air tercinta ini selanjutnya? Jika mau berlagak jujur tentu bisa saja dikatakan “No body knows”, tetapi tanpa berlagak namun ditopang oleh pengetahuan dan pemahaman akan keharusan yang tidak terhindarkan maka bisalah dikatakan bahwa ilmu sejarah dan pengetahuan kesejarahan di Indonesia ini akan terus berkembang dengan baik. Betapa pun jurusan sejarah—di universitas manapun juga di negara yang diciptakan oleh kesadaran sejarah ini (jadi bukan “warisan nenek moyang” yang mitologis)—bukanlah jurusan yang “laku”, apalagi merupakan ”pilihan pertama” bagi para calon mahasiswa. Tetapi bukankah berbagai kejadian yang datang sambung bersambung membangkitkan juga rasa ingin tahu? ”Apakah yang terjadi pada waktu itu?" "Mengapa kejadian itu bisa terjadi?” ”Siapa yang berada di belakang layar peristiwa ini?" Seketika pertanyaan-pertanyaan seperti ini telah diajukan, maka apa pun mungkin disiplin ilmu yang akan dipakai untuk menjawabnya, jawaban kesejarahan tidak bisa terhindarkan. Seketika pertanyaan itu telah dirumuskan maka jawab sementara pun telah pula diperlukan. Betapa sulitnya mendapatkan jawaban jika saja jawaban sementara, yang mungkin hipotetis atau hanya dugaan belaka, belum diperkirakan. Sejarah adalah pemberi jawab pertama sebelum usaha untuk mendapatkan jawaban yang komperehsif dari pertanyaan yang ditanyakan bisa didapatkan. Maka janganlah heran jika salah satu dimensi kehidupan boleh juga dikatakan sebagai pantulan dari jawaban dari rentetan pertanyaan yang enggan untuk berhenti itu. Wilayah perhatian pada berbagai peristiwa yang pernah terjadi di bumi Nusantara ini dan bahkan di dunia luar akan semakin banyak juga harus dijelajahi. Berbagai corak dan kecenderungan teori dalam usaha menguraikan "bagaimana" peristiwa atau rangkaian peristiwa terjadi dan menerangkan "mengapa" hal ini “bisa begitu” akan selalu digali? Betapa pun halangan akan tetap menghadang, masa depan kajian sejarah akan semakin semarak. Hal ini semakin dimungkinkan karena jumlah sejarawan yang terlatih dan berkualitas secara akademis telah semakin banyak. Apalagi jumlah pertanyaan—bukan saja tentang apa yang baru saja terjadi, tetapi juga tentang hal-hal yang telah diketahui dan dikisahkan—yang ingin ditanyakan akan semakin bertambah banyak dan semakin kompleks. * Taufik Abdullah adalah mantan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kini Ketua Komisi Bidang Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Tulisan ini pernah disampaikan dalam ceramah Historiografi Indonesia dalam Perspektif Sejarah di Teater Salihara, Selasa, 26 Januari 2016. [1] Bagian pengantar makalah ini berdasarkan pada (1) Taufik Abdullah, ”Seminar Sejarah Nasional: “Kegagalan” yang Bahkan Membuahkan Hasil”, makalah dalam seminar Apresiasi Historiografi Indonesia: Ilmu
11 Sejarah dan Tantangan Masa Depan, Yogyakarta, 05 Mei 2014. (2) Taufik Abdullah, “Seminar Sejarah Nasional I: Nostalgia, Kilas-balik, Refleksi” dalam Jurnal Sejarah, vol. 14, 1, 2009. Baca juga Taufik Abdullah, “The Study of History” dalam Koentjaraningrat, ed., The Social Sciences in Indonesia (Jakarta: Indonesian Institute of Sciences, 1975) dan Taufik Abdullah, Nasionalisme dan Sejarah (Bandung; Satya Historika, 2001), 212-248. Latar belakang sosial-politik tulisan ini diambil dari Taufik Abdullah, Indonesia: Toward Democracy (Singapore: ISEAS, 2009). [2] Tentang situasi era 1980-an lihat Taufik Abdullah, “Pengalaman yang Berlalu, Tantangan yang Mendatang: Ilmu Sejarah di Tahun 1970-an dan 1980-an”, makalah Seminar Sejarah Nasional IV, dimuat kembali dalam Masyarakat dan Kebudayaan: Kumpulan Karangan untuk Prof. Dr. Selo Soemardjan (Jakarta: Djambatan, 1988), 244-267. [3] Lihat pula kumpulan tulisan dari beberapa ilmuwan asing dan Indonesia dalam Dewi Fortuna Anwar & Bridget Welsch, ed., Democracy Take-Off?: The B.J. Habibie Period (Jakarta: Sinar Harapan, 2013). [4] Lihat juga ,umpamanya Gerry van Klinken, “ The Battle for History after Suharto” dalam Mary S. Zurbuchen, ed., Beginning to Remember: The Past in the Indonesian PresentI (Singapore & Seatlte: Singapore University Press & University of Seattle Press, 2005), 233-260. Bagaimana Cara Melakukan Penelitian Sejarah? Irene Swastiwi Viandari Kharti Apr 25, 2018 • 5 min read konsep pelajaran SMA Kelas X Sejarah X Squad tahu nggak Prasasti Kebon Kopi, yang punya bentuk telapak kaki gajah? Awalnya tidak diketahui kenapa ada telapak kaki gajah di prasasti tersebut, karena biasanya pada prasasti yang ada adalah telapak kaki raja atau pemimpin lainnya. Para ahlipun melakukan penelitian panjang prasasti tersebut dengan berbagai metode penelitian sejarah. Akhirnya mereka mencapai kesimpulan bahwa telapak kaki tersebut adalah telapak kaki gajah Airavata, yang merupakan kendaraan Dewa Indra. Peneliti menyimpulkan hal tersebut, tidak asal, lho. Kira-kira hal apa saja ya yang dilakukan oleh para peneliti itu?
12 Prasasti Kebon Kopi I. (Sumber: disparbud.jabarprov.go.id). 1. Heuristik Heuristik adalah metode pertama yang dilakukan dalam penelitian sejarah. Pada tahap ini, para peneliti sejarah mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah yang dibutuhkan. Sumber yang bisa digunakan terbagi menjadi dua, yaitu: a. Sumber primer: berasal langsung dari para pelaku sejarah, seperti naskah, prasasti, artefak, dokumen-dokumen, foto, bangunan, catatan harian, hasil wawancara, video, dll. Sumber sejarah primer yang dapat digunakan.
13 b. Sumber sekunder: sumber sekunder berasal dari pihak yang bukan pelaku sejarah, melainkan pihak lain di luar para pelaku sejarah (peneliti misalnya). Benda-benda yang termasuk sumber sekunder antara lain adalah laporan penelitian, ensiklopedia, catatan lapangan peneliti, buku, dll. Sebagai contoh, misalnya kamu ingin meneliti satu candi. Kamu harus mengetahui latar belakang candi tersebut melalui laporan penelitian ataupun buku. Kemudian untuk mendapatkan ukuran, foto, dan hal-hal lain yang aktual, kamu perlu mendapatkan data primer sehingga kamu harus mengunjungi candi tersebut secara langsung. Sumber sejarah sekunder yang dapat digunakan. Meski begitu, terdapat beberapa tantangan yang perlu dihadapi dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah, seperti; - bahasa: bahasa yang digunakan dalam sumber sejarah bukanlah bahasa yang dipakai saat ini, sehingga sulit dipahami. Misalnya, Bahasa Indonesia kuno atau Bahasa Belanda kuno. - Usia sumber sejarah: banyak sumber sejarah yang usianya sudah tua, sehingga sangat rapuh jika disentuh/digunakan. - Akses sumber sejarah: tidak semua orang bisa mengakses sumber sejarah yang dibutuhkan. - Sulit dipahami: ada beberapa catatan sejarah yang menggunakan tulisan tangan dan terkadang sulit dipahami. 2. Kritik/Verifikasi Setelah melakukan heuristik, metode selanjutnya adalah kritik atau disebut juga verifikasi. Ini adalah metode untuk autentikasi (membuktikan sumber sejarah yang bersangkutan adalah asli) dan kredibilitas sumber sejarah. Ada dua macam kritik yang dilakukan: a. Kritik estern (autentisitas): kritik terhadap keakuratan dan keaslian sumber, seperti materi sumber sejarah (dokumen dengan tulisannya) dan para pelaku sejarahnya. Aspek yang dikaji adalah waktu (penanggalan), bahan pembuat sumber, dan pembuktian keaslian. b. Kritik intern (kredibilitas): kritik terhadap kredibilitas sumber. Artinya, peneliti perlu menguji isi (konten) sumber, baik secara kebendaan maupun tulisan. Kritik intern yang dapat dilakukan misalnya; - melihat usia informan. Semakin tua usianya, umumnya daya ingat dan kemampuan panca inderanya sudah berkurang. - Menganalisis peran informan dalam peristiwa sejarah yang sedang diteliti. - Melakukan cek silang antara informan satu dengan informan lainnya. 3. Interpretasi/Eksplanasi Metode penelitian sejarah yang ketiga adalah interpretasi. Di sini peneliti melakukan penafsiran akan makna atas fakta-fakta yang ada serta hubungan antara berbagai fakta yang harus dilandasi oleh sikap
14 objektif. Kalaupun membutuhkan sikap subjektif, haruslah subjektif rasional. Rekonstruksi peristiwa sejarah disampaikan secara deskriptif dan harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran. Ada dua cara melakukan interpretasi, yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan). Pada metode ketiga ini, peneliti dituntut untuk berimajinasi yang terbatas. Batasan di sini adalah faktafakta sejarah yang ada tidak boleh menyimpang. Selain itu peneliti harus sangat berhati-hati karena di sini sangat rentan bagi peneliti untuk memasukkan sisi subjektifnya. 4. Historiografi/Penulisan Sejarah Metode terakhir adalah historiografi. Penulisan sejarah merupakan upaya peneliti sejarah dalam melakukan rekonstruksi sumber-sumber yang telah ditemukan, diseleksi, dan dikritisi. Pada tahap ini, peneliti perlu memperhatikan beberapa kaidah penulisan, seperti; - bahasa dan format penulisan yang digunakan harus baik dan benar menurut tata bahasa. - Memperhatikan konsistensi, misalnya penggunaan tanda baca, penggunaan istilah, dan rujukan sumber. - Istilah dan kata-kata tertentu harus digunakan sesuai konteks permasalahannya. Baca juga: Memahami Sejarah Melalui Historiografi Salah satu contoh hasil historiografi. (Sumber: goodreads.com). Itu dia, Squad, metode penelitian sejarah yang harus dilakukan berurutan. Jangan terbalik-balik, ya. Kalau kamu masih ragu dalam melakukan metode-metode di atas, kamu bisa tanyakan ke guru les kamu melalui RuangLesOnline.
15 CAKA MASEHI KET 654 732 Sejarah Sunda yang disebut ‘Hikayat Parahyangan’ menceritakan, bahwa karajaan Kaling yang terletak di Jawa Tengah kemudian menjelma menjadi kerajaan besar bernama Mataram dengan ibu kotanya di Medang. Pembina dari kerajaan itu mula-mula, ialah seorang raja bernama Sanjaya, ayahnya bernama Sanaha. Daerah kekuasaan kerajaan itu kian hari bertambah luas, bukan saja meliputi daerah-daerah sebagian besar di pulau Jawa, melainkan terus menjalar arah ke timur sampai ke Bali. Riwayat kebesaran kerajaan itu tertulis di atas sebuah batu piagam yang bertahun Saka 654 (732 Masehi). Piagam itu sekarang masih terdapat di desa Canggal, di keresidemen Kedu (Jawa Tengah). Sanjaya terkenal seorang raja yang memeluk agama Siwa. Kemungkinan pada waktu itulah agama Siwa mulai hidup subur, karena pengaruh kekuasaan raja itu. Akan tetapi setelah baginda itu mangkat, dan digantikan oleh seorang putranya bernama Pancapana dengan gelarnya Rake Panangkaran (a), maka agama Buddha di Bali memperoleh kemajuan, sebab baginda yang baru naik tahta itu ternyata memeluk agama Buddha-Mahayama. Sekalipun demikian namun agama Siwa di Bali yang lebih dahulu sudah berkembang itu tiada mengalami kemunduran karena desakan agama Buddha itu. Kedua aliran keagamaan itu ternyata dapat hidup berdampingan merupakan syncretisme, buktinya bekas wihara-wihara (bihara) yang sekarang banyak terdapat pada beberapa tempat di Bali, sebagian asal didirikan oleh muni-muni Buddha, dan sebagian lagi asal didirikan oleh rahib-rahib Siwa. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab kedua aliran itu dasar dan tujuannya memang sama, ialah sama-sama menuju ke arah cita-cita mencapai: ‘Moksa, Mukti atau Nirwana’. Mereka berkeyakinan, bahwa untuk mancapai cita-cita itu ialah dengan jalan usaha membebaskan jiwa dari belenggu ikatan-ikatan karma, yang ber(w)ujud kelahiran, kematian dan penderitaan duniawi. Sedang ikatan-ikatan itu dapat dilepaskan oleh kekuatan batin menemuh empat jenis syarat selaku jalan yang masing-masing disebut ‘Marga’, ialah: Karma Marga, Jnana Marga, Bakti Marga dan Yega Marga. Wihara-wihara itu letaknya kebanyakan pada tebing-tebing di pinggir sungai, yang terbanyak ialah sepanjang sungai Pakerisan, Wos dan Kungkang. Nama dari wihara-wihara yang terdapat di situ, ialah di sungai: Pakerisan: 1) Gunung Kawi terletak di sebelah timur desa Tampaksiring; 2) Krobokan terletak pada pertemuan batang air sungai Kerobokan; 3) Goa Gharba terletak di sebelah timur desa Patemen, dekat sebuah pura bernama Pangukur-ukuran; Wos: 1) Goa Raksasa, terletak dekat sebuah pura bernama Gunung Lebah yang disebut juga Pura Pacampuhan (lihat pasal 2 di atas); 2) Jukut-Paku, terletak di antara desa Nagari dan Singakerta; 3) Nagari, terletak di desa Nagari; Kungkang: 1) Telaga Wajah, terletak dekat desa Sapat. Kecuali wihara-wihara tersebut di atas, terdapat lagi tempat pertapaan, yakni: 1) Goa Gajah, terletak di sebelah barat desa Bedahulu; 2) Yeh Pulu, terletak di sebelah timur desa Bedahulu; 3) Gunung Kawi, terletak di sebelah timur desa Babitra. Dekat desa Riang Gde terdapat sebuah patilasan merupakan candi, bukan tempat untuk bertapa. Candi itu disebut Goa Patinggi, terletak pada suatu tebing, dan tingginya lebih dari 10 meter. Candi
16 CAKA MASEHI KET itu sama bentuknya dengan Candi Kalebutan, yang terletak di sebelah barat desa Pejeng. Menurut bunyinya prasasti-prasasti yang terdapat dan masih tersimpan baik pada beberapa buah desa, seharusnya di Bali masih ada lagi tempat-tempat pertapaan serupa itu, ialah: 1) Wihara Bahung, terletak di lereng Gunung Agung; 2) Wihara Bakhul, terletak di Bukit Petung; 3) Thanim Baru, terletak di sekitar desa Kintamani; 4) Dharmakuta, terletak di sekitar desa Julah, dan 5) Hyang Karimana, terletak di sekitar desa Bangli. Prasasti-prasasti itu menyebutkan pula, bahwa lain daripada tempat-tempat pertapaan tersebut di atas, seharusnya terdapat lagi bangun-bangunan serupa itu yang tiada diterangkan namanya masing-masing, ialah di sekitar danau Tamblingan dan Batur, begitu juga di desa Songan dan Batuan. Akan tetapi tempat-tempat pertapaan itu sampai sekarang jawatan purbakala belum berhasil mencari bekas-bekasnya, mungkin masih terpendam di bawah tanah, akibat terjadinya bencana alam di masa lampau. Menurut penyelidikan di kalangan arkeologi, kemungkinan wihara-wihara itu didirikan di dalam abad kedelapan dari tarikh Masehi. Pendapat itu dikuatkan oleh penemuan benda-bedna daripada tanah liat di sebelah selatan desa Pejeng. Benda-benda itu beratus-ratus jumlahnya, merupakan meterai kecil-kecil (p.22) berbentuk bundar, garis menengahnya rata-rata 21,2 cm. Tiap dua buah dari meterai itu dibungkus oleh tanah liat juga yang berbentuk stupa kecil-kecil, dan pada kedua belah muka dari meterai-metrai itu terdapat tulisan-tulisan dalam bahasa Sansekerta yang bunyinya sebagai berikut: ‘Ye dharma hetu prabhawa, Hetun tesan tathagate hywadat, Tesanca ye niredha, Ewam wadi mahasramanah’. Menurut keterangan Dr. R.Goris dalam kitab karangannya yang bernama ‘Sedjarah Bali Kuna’, bahwa arti dari perkataan-perkataan itu ialah demikian: ‘Keadaan tentang sebab-sebab kejadinya itu, sudah diterangkan oleh Tathagata (Buddha); Tuan Mahatapa itu telah menerangkan juga apa yang harus diperbuat orang supaya dapat menghilangkan sebab-sebab itu’. Memperhatikan bunyi tulisan-tulisan itu, ternyata di sana dahulu bekas pemusatan agam Buddha. Ucapan-ucapan itu ialah mentra-mentra dari agama Buddha, yang dipakai sebagai jimat (’amulet’) untuk menolak marabahaya. Note: Benda-benda itu disimpan di Musium di kota Denpasar, dan sebagian lagi disimpan di desa Pejeng pada sebuah pura bernama Panataran Sasih. Terdapat pada tahun 1925, ketika tebing sawah yang terletak di sebelah selatan desa Pejeng tiba-tiba gugur. Dr. W.F. Stutterheim ketika berkunjung ke Bali pada tahun 1931 guna memeriksa benda-benda itu, ia menemukan lagi bendabenda serupa itu puluhan jumlahnya pada perempatan jalan raya di desa Blahbatu. Oleh karena benda-benda itu terdapat di sana, yaitu tiada jauh letaknya dengan sungai Petanu yang airnya dianggap cemar oleh masyarakat di Bali lantaran dikutuk oleh Dewa Indra, maka ia lalu berpendapat, bahwa benda-benda itu mempunyai kekuatan gaib (magische kracht). Keterangannya itu terdapat di dalam kitab ‘Mededeelingen van de Kirtya Liefrinck Van der Tuuk afdeeling III - 1931’. Tulisan-tulisan yang sama bunyinya dengan tulisan-tulisan pada benda-benda itu, terdapat di atas pintu Candi Kalasan yang terletak di Jawa Tengah. Tulisan-tulisan yang terdapat di situ bertahun Saka 700 (778 Masehi), oleh karena itu kebanyakan para ahli berkenyakinan, bahwa wihara-wihara yang terdapat di Bali itu didirikan sejaman. Pun Candi Borobudur yang terdapat di Jawa Tengah, dan oleh para ahli penyelidik peninggalan benda-benda kuna dikirakan waktu mendirikannya di sekitar tahun 775 sesudah Masehi, maka dugaan bahwa wihara-wihara di Bali didirikan semasa
17 CAKA MASEHI KET atau sejaman, lebih-lebih mendapat sandaran yang kuat. 720 789 Menurut bunyinya sebuah kitab kuna yang bernama ‘Purana Tattwa’, bahwa di dalam abad kedelapan dari tarikh Masehi, terdapat dua orang guru agama dari Jawa ke Bali. Mereka itu bersaudara kandung, masing-masing bernama Mpu Gni Jaya dan Mpu Wittadharma, tiba di Bali pada tahun Saka 720 (789 Masehi). Perjalanan mereka itu katanya melalui sebuah desa di Bali bernama Kuntul Gading, akan tetapi di mana letak desa itu sekarang sukar diketahui. Dari sana mereka meneruskan perjalananannya menuju arah ke timur mendaki sebuah bukit bernama Tulukbyu, akhirnya tiba di Besakih di lereng Gunung Agung, yaitu di tempat suci yang tersebut pada pasal 7 di atas. Kedatangan guru-guru agama itu di Bali, ialah guna memperdalam ajaran ‘Caturlokapala’ yang tersebut pada pasal 5 di atas, bagaimana caranya masyarakat di Bali harus menyelenggarakan upacara-upacara pemujaan bagi Dewa-dewa yang berkahyangan di atas gunung-gunung itu. Mpu Gni Jaya kemudian melakukan pertapaan di lereng Gunung Lempuyang, sedang Mpu Wittadharma mendirikan asrama pada sebuah desa bernama Gelgel, yang letaknya di tengahtengah masyarakat ramai. Memperhatikan nama Mpu Gni Jaya itu hampir sama dengan gelar Dewa yang berkahyangan di Gunung Lempuyan seperti diterangkan pada pasal 5 dan 6 di atas, dan setelah tiba di Bali ia melakukan pertapaan di lereng gunung itu, dapatlah dinyatakan, bahwa ia itu seorang Brahmana penganut agama Brahmana. Ditilik dari sudut perjalanannya, kemungkinan ia sedang menunaikan kewabijannya selaku ‘Vanaprastha’, yang sudah mencapai tingkatan ‘Parivrajaka’, artinya orang yang mengasingkan diri dari dunia ramai, pergi ke hutan-hutan untuk mengasah budi menurut syarat-syarat keagamaan yang tersebut di dalam kitab-kitab Veda. Sedang ‘Parivrajaka’ artinya ialah tingkat terakhir dari kehidupan kaum Brahmana, berkewajiban mengembara melakukan pertapaan guna mencapai moksha. Tiada antara lama sesudah guru-guru itu tiba di Bali, banyak lagi para ulama yang disebut rsi, muni, bikshu dan sebagainya, menyusul kemudian. Mereka itulah yang mendirikan wihara-wihara yang tersebut pada pasal 12 di atas. Di antara para ulama itu, terdapat seorang bernama Sang Kulputih, yang paling terkenal namanya sampai sekarang di Bali. Ia tiba di Bali beserta istrinya dan seorang anaknya bernama Dukuh Sogra. Tinjauan diarahkan sebentar ke belakang, sebelum melangkah ke depan. Ternyatalah perkembangan sejarah mulai dari permulaan zaman hingga abad kedelapan, dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Orang-orang Bali Aga yang dianggap sebagai pendukuk asli, ternyata beberapa puluh abad sebelum menjelang permulaan abad dari tarikh Masehi, sudah terdapat di Bali. b. Dari pemberitaan orang-orang asing ternyata, bahwa pada pertengahan abad permulaan dari tarikh Masehi, sudah terdapat sebuah kerajaan di Bali, dengan pemerintahan teratur baik. c. Semenjak permulaan abad dari tarikh Masehi ternyata pula, bahwa masyarakat di Bali sudah terpengaruh oleh kebudayaan Hindu, meskipun merupakan selaput tipis. d. Orang-orang Bali Hindu ternyata semenjak pertengahan abad ketiga dari tarikh Masehi, mulai datang dari Jawa ke Bali. Maka semenjak itulah terdapat dua jenis golongan suku
18 CAKA MASEHI KET bangsa di Bali, yakni orang-orang Bali Aga dan orang-orang Bali Hindu. e. Pemberitaan dari orang-orang Tionghwa menyatakan pula, bahwa pada abad ketujuh dari tarikh Masehi, sudah terdapat di Bali sebuah kerajaan besar, yang pernah mengadakan hubungan langsung dengan kerajaan Tiongkok. Kerajaan itu meluaskan kekuasannya sampai ke Jawa Timur, akan tetapi seabad kemudian, yaitu pada abad kedelapan, ternyata kerajaan itu jatuh di bawah kekuasaan sebuah kerajaan besar yang terdapat di Jawa Tengah. Maka sejak itulah pengaruh Hinduisme mulai menampakkan coraknya lebih nyata di Bali, banyak didirikan biara-biara pada beberapa tempat di sana-sini. Siwa Siddhanta Kecuali ‘Padanda’ (pendita) Buddha, ternyata sekalian pendita yang sekarang terdapat di Bali, ialah Siddhanta atau Sridantah. Oleh karena mereka itu hingga sekarang masih ada, maka tiada perlulah diterangkan lagi hal ikhwalnya lebih jauh. Hanya perlu diterangkan, bahwa di samping kitab suci weda-weda yang dipergunakan berpuja, mereka mengutamakan itab ‘Bhuwang kosa’, selaku Padanda Siwa. Kitab itu memuat 10 jenis syarat-syarat yang disebut ‘dasa sila’ yang menjadi pegangan mereka itu. Lain dari kitab itu banyak lagi kitab-kitab yang disebuti: ‘tutur’ atau ‘tatwa’, yang menjadi pelanjaran mereka untuk mencapai ‘moksha’ artinya membebaskan jiwa dari ikatan keduniawan. Note: Seorang sarjana bangsa India bernama Narendra Dev Pandit berpendapat, bahwa yang mula-mula menyebarkan agama siwa di Indonesia, ialah seorang Rishi bernama Agastya berasal dari India Selatan. Pendapatnya itu bersandarkan piagam Canggal yang tersebut pada pasal 12 Bab I, yang menyebutkan seorang raja di Jawa Tengah menyuruh rakyatnya mendirikan sebuah pura untuk memuja Siwa, mencontoh bentuk candi Kunyaruknya, yang terletak di asrama Rishi itu. Tulisan yang tergores di atas batu hitam terdapat di Dinaya (Jawa Timur) yang bertahun Saka 682 (760 Masehi) memperkuat lagi pendapat itu, sebab tulisan itu menceritakan tentang pembuatan arca untuk Rishi itu. Begitu juga dongeng Aji Saka yang tersebut pada pasal 5 bab I, ia beranggap pula, kemungkinan Rishi Agastya sebenarnya yang dimaksud. Keterangannya itu termuat pada halaman 30 dari kitab karangannya yang bernama Sedjarah agama Hindu. Pasupata Kaum atau sekte Pasupata itu menitik, beratkan pelajarannya pada keilmuan yang disebut Kosika, Gargya, Mitra, Kaurasya, Patanjala. Kebetulan dari lima jenis filsafat itu disebut ‘Panca Kosika’. Ternyata keilmuan itu sekarang dimiliki oleh Padanda Siwa. Begitu juga lingga yang mula-mula menjadi lambang dari kaum Pasupata itu, ternyata juga diwarisi oleh mereka itu untuk menjadi lambang Siwa. Bhairawa (p.27) Kaum atau sekte Bhairawa itu mementingkan ilmu hitam yang tergolong ‘tantrisme’. Pelajaran mereka itu disebut juga ‘pangiwa’, artinya tangan kiri atau ‘Wama sakta’. Mereka tiada berusaha memadamkan hawa nafsu, bahkan terus memperbesar keadaannya; sebab munurut kepercayaan mereka, bahwa dengan jalan demikian tujuan mencapai moksha itu akan lebih cepat menguasai kuburan. Durga ialah sakti dari Siwa, asal mulanya disebut ‘Candi’. Masyarakat di Bali beranggapan, bahwa ucapan ‘Candi’ yang kemudian diubah menjadi ‘tjandi’, bukan untuk menyebutkan Durga.
19 CAKA MASEHI KET Perkataan candi itu lazim sekarang dipergunakan untuk mengatakan bangun-bangunan yang dianggap olehnya mempunyai kekuatan gaib (magische kracht). Misalnya sebuah pintu gerbang yang bentuknya pecah dua (Jawa: Kori kembar), mereka sebut: ‘tjandi bentar’. ‘Bentar’ artinya pecah atau belah. Hampir sekalian pura-pura di Bali sekarang mempergunakan pintu gerbang yang bentuknya demikian, selaku pintu permulaan masuk ke halaman pura-pura itu. Begitu juga tiap-tiap istana atau ‘puri’ untuk raja-raja di Bali, semuanya mempergunakan pintu gerbang serupa itu, ialah karena dianggap pintu itu mempunyai kekuatan gaib, dapat menambah kesaktian raja-raja yang bersemayam di sana. Dongeng Calon Arang yang menceritakan adanya seorang janda (‘rangda’) di Girah yang mempunyai kesaktian luar biasa semasa Airlangga bertahta di Jawa Timur, memberi kesan betapa hebatnya pengaruh tantrisme dari dahulu kala di Bali. Begitu juga adanya sebuah arca yang terdapat di Bali merupakan Durga mahisa suramardani, lebih-lebih lagi mengesankan bekas-bekas pengaruh tantrisme itu. Note: Sebuah patung dari pada batu cadas yang bentuknya tinggi besar terdapat pada sebuah pura bernama Kebo Edan di desa Pejeng, adalah lambang kebesaran bagi kaum Bhairawa itu. Raut muka patung itu begitu hebat dan dahsyat menyerupai raksasa, selanjutnya mengbangkitkan rasa takut memandangnya. Kemungkinan di sekitar tempat itu bekas pemusatan Bhairawa yang mengabdikan dirinya di bawah kebesaran Durga. Golongan kaum Bhairawa itu tiada terdapat lagi sekarang di Bali. Tetapi pelajarannya masih juga dimiliki oleh orang-orang yang gemar mempelajari ilmu hitam. Mereka mempelajari ilmu itu katanya secara diam-diam, amat dirahasiakan. Mahir dalam pelajaran itu katanya dapat menjadi orang siluman berganti rupa atau (w)ujud, misalnya menjadi kera, babi dan sebagainya. Orang-orang yang memperoleh pelajaran serupa itu disebut ‘leyak’, dipandang membahayakan bagi masyarakat. Wesnawa Kaum Wesnawa yang memuja kemuliaan Wisnu itu, mula-mula terbagai menjadi dua golongan, dan masing-masing disebut ‘Bhagawata’ dan ‘Pancarata’. Seperti telah diterangkan di atas, bahwa kedua golongan itu tiada terdapat lagi sekarang di Bali. Namun ajarannya masih juga ada bekasbekasnya, ternyata masyarakat di Bali masih menghormati kemuliaan Wisnu itu. Segolongan suku bangsa yang disebut Sengguhu, ternyata masih berpegangan teguh pada ajaran untuk memuliakan kebesaran Wisnu itu, Mereka dianggap golongan rendah, akan tetapi diwajibkan turut serta memimpin ‘yajna’ (upacara keagamaan), yang sifatnya besar-besaran untuk kepentingan umum. Manakal Sengguhu itu berpuja untuk kepentingan upacara parayaan itu, ternyata lambang kebesaran Wisnu dipergunakan olehnya. Kulit keong sebagai ‘Sangka’ yang disebut juga ‘sungu’ yang menjadi lambang kebesaran Wisnu, begitu juga ‘gantha’ atau ‘wajra’ dan ‘cakra’, semua dipergunakan oleh mereka pada waktu berpuja menghadapi sesaji untuk Wisnu. Pun pujian mereka itu ternyata diarahkan ke dasar bumi, di mana berkediam makhluk-makhluk ajaib pendukung dunia, seperti telah diterangkan di atas. Baik Naga Basukih maupun Kurma raya yang disebut Bhadawangnala itu, dianggap sebagai kedudukan Wisnu, yang menjamin kesentosan dunia. Beberapa buah pemujaan untuk ‘Sapta patala’ yang kini masih terdapat pada beberapa tempat di Bali, mengesankan pula adanya peninggalan dari ajaran kaum Wesnawa itu. ‘Sapta Patala’ itu,
20 CAKA MASEHI KET ialah alam gelap tujuh lapis yang menjadi dasar bumi, yaitu tempat kediaman makhluk-makhluk ajaib tersebut di atas. Kesimpulannya ialah, meskipun kaum itu sudah lemyap, namun ajarannya (p.28) masih berbekas juga. Boddha atau Sogata Seperti diterangkan di atas, bahwa kaum Boddha atau Sogata itu hingga sekarang masih melakukan peranan penting dalam kalangan keagamaan di Bali. Pemusatan dari kaum itu terdapat di desa Budakeling, yang terletak di daerah Karangasem (Bali Timur). Mereka tergolong juga di dalam kaum Brahmana, yaitu sederajat dengan para Brahmana yang menjunjung kemuliaan Siwa. Kitab suci yang diutamakan oleh mereka itu ialah: ‘Sanghyang Kamayanikan’, yaitu pelajaran Buddha Mahayana yang berselaput unsur-unsur tantrisme. Oleh karena kaum itu masih ada sekarang di Bali, maka hal ihwalnya tiada perlu lagi diterangkan lebih jauh. Note: Kitab ‘Sanghyang Kamayanikan’ itu sudah diterjemahkan dan dibahas ke dalam bahasa Belanda oleh K.Kats, dan diterbitkan olehnya pada tahun 1910. Menurut pendapat sarjana Narendra Dev Pandit yang namanya sudah pernah disebut, kemungkinan agama itu mula-mula disebarkan dari India ke Indonesia oleh seorang pangeran bernama Gunawarman yang berasal dari Kashmir (Indi Utara) sejak tahun 423 sesudah Masehi. Brahmana Orang-orang Hindu mengatakan Brahmana itu ialah kaum Smarta. Masyarakat di Bali ternyata tiada mengetahui keselarasan sebutan itu, mereka menganggap Brahmana itu ialah golongan yang tertinggi dalam pembagian kaste (kaste-stelsel). Di India kaum Smarta itu memuliakan Brahma sebagai pencipta dari semesta alam. Menurut kepercayaan mereka, bahwa selaku manifestasi (bukti) dari Brahma, ialah: Wisnu, Siwa, Durga, Surya dan Ganesa. Seperti telah diterangkan di atas pada pasal 6 bab I, bahwa faham kedewaan itu ternyata mengalami perubahan di Bali. Siwa sebagai Mahadewa dipandang paling mulia kedudukannya terdapat di pusat atau di tengah-tengah. Di sekeliling Siwa terdapatlah Durga di utara, Ganesa di timur, Agastya sebagai wakil Brahma di selatan, dan Nandiswara sebagai wakil Wisnu di barat. Akan tetapi di antara kitab-kitab suci keagamaan di Bali, ada juga yang menerangkan, bahwa Mahadewa itu aialah: ‘Lokapala ring pascima’. Artinya ialah Mahadewa itu penjaga mata angina di sebelah barat. Hal ini ternyata bersangkut-pauk dengan ajaran ‘Caturlokapala’ yang tersebut pada pasal 5 bab I. Kesimpulannya ialah, bahwa kaum Smarta itu disebut kaum Brahmana sekarang di Bali, lantaran mereka memuja Brahma. Dari Brahma menjadi Brahmana. Rsi Di Dalam perpustakaan Jawa kuna, nama Rsi itu acap tersebut. Kaum Rsi itu berkewajiban menjaga dan mengatur tata-tertib pada tempat-tempat pertapaan, mereka tiada tergolong ke dalam sekte Brahmana-wangsa, namun dipandang sebagai pendita ahli filsafat. Seperti telah diterangkan pada pasal 13 bab I, bahwa kaum Rsi itu turut datang dari Jawa ke Bali, yaitu bersamaan dengan kepergian guru-guru agama itu. Oleh karena kaum pertapa boleh dikatakan tiada terdapat sekarang di Bali, maka dengan sendirinya kaum Rsi itu turut juga lenyap. Menurut pendapat umum di Bali, bahwa Rsi itu ialah pendita, tetapi bukan dari golongan Brahmana, malainkan dari golongan Ksatrya dan Wesya (triwangsa). Sebelum mereka itu menjadi
21 CAKA MASEHI KET Rsi, terlebih dahulu harus mencucikan ‘kerochiannya’ dengan upacara keagamaan yang disebut ‘dwijati’. Istilah ‘dwijati’ itu bermakna lahir dua kali, sebab itu mereka disebut ‘Dwiya’. Akan tetapi kaum Rsi itu tiadalah berhak memberikan ‘tirtha’ (wijwater) ciptaannya kepada sekalian penduduk, melainkan terbatas kepada anggota-anggota keluarganya saja. System atau cara-cara itu dapatlah dibandingkan dengan keadaan di India. Di sana terdapat sebutan ‘Dewarsi’ dan ‘Rajarsi’, terdiri dari golongan raja-raja dan para Ksatrya, yang sudah melakukan syarat-syarat pencucian rohani sebagai tersebut di atas. Jadi Rsi itu hanya sebutannya saja masih tinggal di Bali, sementara kaum Triwangsa belum ada yang melaksanakan hak kewajibannya itu. Sora Kaum Sora itu hany memuja ‘Surya’, yaitu Dewa Matahari yang dianggap olehnya satu-satunya Dewa memberikan berkah kebahagian hidup baginda. Untuk memuja kemulian Surya itu, mereka mengutamakan kitab-kitab suci yang disebut ‘Agni purana’ dan ‘Garuda purana’. Ditinjau dari sudut pemujuan, (p.29) ternyata ‘Agni purana’ itu sudah diselimuti oleh faham Wesnawa, sedang ‘Garuda purana’ itu sudah pula bercampur dengan faham Smarta (orthodox). Para ahli keagamaan berpendapat, bahwa pemujaan Surya itu dianggap sebagai milik Nusantara asli, berlaku dari permulaan zaman, seperti telah dibayangkan pada pasal 4 bab I. Pemujaan itu hingga sekarang masih berlaku di Bali, tetapi sudah dipersatukan dengan aliran SiddhantaBrahmanisme. Padanda-padanda Siwa di Bali turut memuja Surya manakala mereka memimpin upacara keagamaan yang agak penting sifatnya. Surya itu dianggap sebagai saski untuk mengesahkan ‘yajna’ itu. Dalam hal itu maka Surya itu lalu disebut ‘Siwaditya’, artinya perpaduan Siwa dengan Surya. Pemujaan Surya itu disebut ‘Suryasewana’ atau ‘Suryacana’. Pelaksanaannya tidak terbatas di kalangan kaum triwangsa saja, melainkan meluas bebas di kalangan segenap lapisan masyarakat. Tiap-tiap orang yang ingin mencucikan batinya dan sadar, bahwa matahari itu memberikan berkah kesuburan hidupnya di dunia, mereka berkewajiban melakukan ibadat itu. Ganapatya Arca Gnesa banyak terdapat di Bali, mencatakan, bahwa kaum Gapanatya pernah mempengaruhi masyarakat di pulau itu. Lenyapnya kaum itu sekarang di Bali, menyebabkan arca-arca itu terletak pada tempat-tempat yang tiada dapat dipandang layak. Kebanyakan terdapat pada tempat-tempat yang dianggap keramat atau angker, dan dipandang sebagai ‘taulan’, artinya arca yang bertuah mempunyai kekuatan gaib, dapat menolak segala marabahaya. Anehnya masyarakat masih menghormati Ganesa itu sebagai Bhatara Gana atau Ganapatya selaku Dewa dari kebijaksanaan, akan tetapi arca-arca itu tiada turut dipuja-puja selaras dengan patung-patung dari Dewa-dewa lain. Arca Ganesa itu dikumpulkan pada sebuah rumah-rumahan yang terletak di laur halaman pura, seakan-akan diabaikan kepentingannya. Sewaktu-waktu di pura itu diadakan perayaan untuk memuja Dewa-dewa yang berkhahyangan di sana, ternyata arca-arca Ganesa itu tidak turut serta dipuja sebagaimana mestinya. Sebab-sebabnya sukar terdapat keterangan yang pasti. Masalah sekte-sekte itu kiranya sudah cukup memberikan gambaran tentang corak dan sifat-sifat keagamaan di Bali pada masa silam. Masyarakat di Bali ternyata menerima ajaran-ajaran Hinduisme itu dengan suka-rela, memandang pandanda Siwa dan padanda Buddha yang masih ada sekarang di lapangan keagamaan mereka sebagai ‘dwitunggal’. Mereka patuh menganut
22 CAKA MASEHI KET ajaran-ajaran dari kedua kependitaan itu, baik kepada padanda Siwa, maupun padanda Buddha mereka sama-sama mohon ‘tirtha’ (wijwater) guna kepentingan ibadatnya. Oleh karena itu maka dari adanya dua golongan keagamaan yang agak berlainan sifatnya itu, sekali-kali tiada dapat diartikan, bahwa masyarakat di Bali sudah terpecah menjadi dua golongan, yaitu sebagian memeluk agama Siwa, dan sebagian memeluk agama Buddha. Sekali-kali bukan. Kedua aliran keagamaan itu justru mereka dapat persatukan, sehingga merupakan perbauran dan perpaduan dari jalinan faham berbentuk Siwa-Buddha. Kedua aliran itu mereka terima dengan kesadaran dan keyakinan, meskipun di India antara kedua faham keagamaan itu terjadi pertentengan. Bagi orang-orang Bali Aga memang berlainan halnya memandang adanya faham Siwa-Buddha itu. Mereka tidak memerlukan ‘tirtha’ ciptaan dari kedua golongan kependitaan itu, meskipun mereka tetap mengakui pengaruh Hinduisme itu meresap juga ke dalam masyarakatnya. (baca pasal 8 bab I). Sewaktu-waktu mereka melakukan ibadat, cukup ‘tirtha’ dari ketua atau pemimpinnya masingmasing dipergunakan olehnya . Kewtua atau pemimpin dari golongan mereka itu disebut ‘Dukuh’ atau ‘Sima Mpu’. Note: Di kalangan orang-orang Bali Hindu dari kewargaan yang disebut ‘Pande’ dan ‘Pasek’, terdapat juga di antaranya yang mengabaikan ‘tirtha’ ciptaan dari padanda Siwa dan Buddha, lebih mengutamakan ciptaan dari ketua atau pemimpinnya masing-masing. Memperhatikan bab-bab itu, dapatpah kiranya disimpulkan, bahwa pengaruh kebudayaan dari India itu, tidaklah begitu mengekang atau membatasi masyarakat di Bali pada garis-garis yang tertentu, dalam hal itu mereka melakukan idabat dalam lingkaran Hinduisme. Mereka mendapat kelonggaran berpikir secara luas dalam halnya memilih jenis madzab-madzab yang berkenan hatinya, dengan kenyakinan, bahwa semua madzab-madzab itu berinti-sarikan pada hukum ‘dharma’. Menurut ajaran orang-orang Hindu itu, bahwa hukum ‘dharma’ itu sekali-kali bukan didasarkan atas ajaran dari seorang suci yang dapat dianggap sebagai Nabi, atau seorang ahli filsafat yang membanggakan akan keluruhan ilmunnya, melainkan atas dasar pengertian yang sehat mengabdikan dari pada ilmu ketahunan (theologie). Ajaran hokum ‘dharma’ itu bersemboyankan: ‘Paropakarah punyaya, papaya parapidanam’. Maksud dari perkataan-perkataan itu ialah: ‘berbuat kebajikan, sayangilah nyawa segenap makhluk’. Tuntutan dari hokum ‘dharma’ itu menhendaki agar supaya tiap-tiap penganutnya menhindarkan diri dari tiga macam kejahatan, yakni (p.30): 1. berpikir jahat terhadap orang lain disebut: ‘Manacika' 2. berbicara jahat terhadap orang lain disebut : ‘Wacika’, dan 3. berbuat jahat terhadap orang lain disebut ‘Kayika’ Di dalam kitab-kitab Weda tersebut antara lain : ‘Ekam eva adwitiyam Brahma’. Makna dari ucapanucapan itu aialah: ‘cuma ada satu Tuhan saja, yang disebut orang berbeda-beda. Ada yang menyatakan, bahwa Tuhan itu ialah Sanghyang Widhi, ada juga mengatakan Sanghyang Tunggal, Prama Siwa, Narayana dan sebagainya. Padahal semua ucapan-ucapan itu tujuannya ke arah satu jurusan, ialah pengabdian mutlak terhadap Tuhan nan Esa. Alam pikiran orang-orang Bali dalam halnya mengabdi pada kebesaran dan kemuliaan Tuhan itu, dapatlah dipandang ganjil, apabila dunia luar kurang memahaminya. Meskipun perabadan mereka
23 CAKA MASEHI KET sudah terpengaruh oleh faham Hinduisme, namun mereka tetap memuliakan kebesaran Mahadewa yang berkahyangan di Gunung Agung. Dengan peranteran Mahadewa itu mereka berkeyakinan, bahwa sembah baktinya akan mencapai tujuannya semula, yaitu ke arah Tuhan nan Esa yang tiada berujud terdapat di mana-mana, karena kesucian dan keluhurannya maka mengasih dan penyayang terhadap umatnya. Oleh karena itulah mereka tiada memerlukan pergi berziarah ke India ke tempat kelahiran fahamfaham yang dianutnya itu, cukup dengan jalan memusatkan ciptanya seragam di Besakih pada sebuah pura besar yang menjadi pemujaannya itu. Dengan disertai mengadakan upacara perayaan 5 macam yang disebut: ‘Panca jadna’, mereka berkeyakinan pula, bahwa syarat-syarat keagamaan itu sudah cukup ditunaikan olehnya. Kesimpulan ialah, bahwa perpaduan faham yang tiada dipaksakan itu, akhirnya dapat menjelmakan perabadan yang berkesopanan, sehingga menjadi pegangan yang kuat bagi sekalian penduduk sekarang di Bali. Sri Kesari Warmadewa (p.31) Menurut bunyi sebuah kitab yang bernilai ‘tradisionil’, dan yang bernama ‘Rajanapurana’, tersebutlah antara lain, bahwa ada suatu masa terdapat di Bali seorang raja bernama Sri Wira Dalem Kesari. Baginda itu katanya bertasal dari Daha (Jawa Timur), mendirikan sebuah istana pada suatu tempat disebut Kahuripan, terletak di lungkungan desa Besakih. Di situ baginda mendirikan sebuah tempat pemujaan disebut ‘Pamrajan Salonding’, yaitu tempat baginda memuja tiap-tiap hari melakukan ibadat. Oleh baginda itlulah pura Panataran Agung di Besakih yang masih sederhana bentuknya itu, mulai diubah dan diperbesar keadaannya. Sesudah selesai mengerjakan pura itu, baginda mendirikan lagi beberapa buah di sekitar tempat pemujaan itu, dan namanya masing-masing sebagai berikut: 1. Pura Gelap untuk mumuja Iswara; 2. Pura Kiduling Kreteg untuk memuja Brahma; 3. Pura Hulun Kulkul untuk memuja Mahadewa; 4. Pura Batumadeg untuk memuja Wisnu; 5. Pura Manik Mas untuk memuja Bhatara Mas Malilit (?); 6. Pura Basukian untuk memuja Naga Basukih; 7. Pura Pucak untuk memuja Bhatara Kiwa Tengen (?); 8. Pura Pangubengan untuk memuja sekalian Dewa-dewa; 9. Pura Tirtha untuk memuja sumber mata air suci si situ; 10. Pura Dalem Puri untuk memuja Durga. Lain daripada pura-pura tersebut di atas, baginda menciptakan lagi 6 buah pura besar untuk umum yang disebut ‘Sadkahyangan’. Yang disebut Pura Sadkahyangan itu, adalah: 1. Pura Panataran Agung tersebut di atas; 2. Pura Bukit Gamengan yang terletak di lereng Gunung Lempuyang; 3. Pura Batukaru yang terletak di lereng Gunung Batu Kau; 4. Pura Huluwatu yang terletak di tanah tinggi di Bukit Badung; 5. Pura Erjeruk yang terletak di pantai selatan samudra Hindia; 6. Pura Panataran yang terletak di desa Pejeng. Di dalam kitab Rajapurana itu ditentukan oleh baginda, kapan penduduk di Bali harus melakukan persembahyangan pada tiap-tia- pura itu, dengan disertai upakara dan upacara untuk menyatakan chidmatnya. Pun ada waktu itu pula perayaan besar yang disebut: ‘Nyepi’ untuk pergantian tahun Saka harus dilangsungkan pada tiap-tiap bulan kesembilan yang disebut ‘Caitra’, di kala bulan mati
24 CAKA MASEHI KET (‘tilem’). Hal itu sudah diceritakan terlebih dahulu pada penghabisan pasal 8 bab I sepintas lalu. Memperhatikan kegiatan baginda beryoga dan bersemadhi memuja Dewa-dewa, serta letak istana baginda di atas tanah pegunungnan, dapatlah dinyatakan, bahwa baginda itu ialah ‘raja rsi’ gemar melakukan pertapaan. Yang menjadi pertanyaan sekarang, kapankah baginda itu sebenarnya bertakhta, untuk memperkuat keyakinan. Jawatan purbakala dan beberapa orang sarjana yang amat rajin melakukan penyelidikan di lapangan ‘anthropologie’, sungguh besar jasanya dalam hal itu. Dari usaha mereka itu ratusan jumlah piagam-piagam (oorkonden) telah terkumpul dan diperiksa, sehingga tabir kegelapan itu akhirnya dapat disingkapkan. Di antara mereka itu patut dicacat di sini nama dua orang sarjana bangsa barat, yaitu: Dr. W.F. Stutterheim dan Dr. P.V. van Stein Callenfels, yang paling giat melakukan penyelidikan atas benda-benda peninggalan zaman purba. Kebaynyakan piagam-piagam yang sudah diperiksa oleh mereka itu tertulis di atas kepingankepingan tembaga merupakan ‘prasasti’ (inskripsi), tetapi tiada kurang juga banyaknya yang tertulis di atas batu-batu yang memuat catatan-catatan bersejarah. Tulisan-tulisan itu mempergunakan dua jenis bahasa, yaitu sebagian bahasa Bali Kuna dan sebagian lagi bahasa Jawa Kiuna. Bahasa Sanskerta kadang -kadang tersisip juga di antara kedua jenis bahasa itu, mereka menganggap, bahwa tulisan-tulisan yang mempergunakan bahasa Bali Kuna itu ada lebih tua, artinya lebih lama keadaan waktunya ditulis. Huruf yang dipergunakan menulis prasasti-prasasti itu ialah pra-Nagari menyatakan kekunaaanya, sedang tahun-tahun yang tersebut di situ ialalh tahun Saka semuanya. Note: Dr. R. Goris ternyata tiada kurang juga jasanya dalam lapangan kebudayaan. I sudah berhasil menyusun dan mengumpulkan prasasti-prasasti itu yang berjumlah 174 buah di dalam sebuah kitab yang diberinya nama: ‘Prasasti Bali’. Kitabnya itu sudah diterbitkan oleh Lembaga Bahasa dan Budaja Universitet Indonesia dalam tahun 1954. Maka untuk memudahkan cara berpikir mengingatkan masalah perhitungan tahun itu, di sini akan dipergunakan perhitungan tahun dari tarikh Masehi, agar jangan terlalu membingungkan. Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa selisih (p.32) tahun Saka dengan tahun Masehi ialah 78 tahun, misalnya jikalau tahun Saka 100, menjadi tahun Masehi 178. 1. Sukawana bertahun 882; 2. Bebetin bertahun 896; 3. Trunyan bertahun 911 (sebanyak 2 buah bertahun sama) 4. Bangli (Pura Kehen) tidak bertahun, tetapi melihat coraknya mungkin sejaman; 5. Gobleg (Pura Desa) bertahun 914, dan: 6. Angsari tidak bertahun, tetapi melihat coraknya mungkin sejaman. 882 a. Prasasti Sukawana Di dalam prasasti itu tersebut tiga soal, yakni: 1. peristiwa para bhiksu yang mendirikan sebuah tempat pertapaan atau makdis, dan sebuah ‘satra’ (sejenis pasanggrahan) di pegunungan Cintamani, yang sekarang disebut Kintamani. Oleh karena letak bangun-bangunan itu, di lingkungan hutan larangan tempat raja-raja berburu, maka para bhiksu itu mohon izin terlebih dahulu. Sebab itulah maka prasasti itu diterbitkan dengan
25 CAKA MASEHI KET ketentuan, bahwa para bhiksu itu diharuskan memberi penginapan kepada orang-orang yang kemalaman di dalam perjalanan melalui pegunungan itu. Penerimaan tamu-tamu itu dengan syaratsyarat pula, yaitu harus disediakan tikar dan diberikan makan sekedarnya. Sebagai pembalasan jasa, maka bhiksu-bhiksu itu dibebeaskan sama sekali dari pembayaran pajak; 2. sebagaimana halnya dengan adanya prasasti-prasasti lain yang nanti akan diuraikan juga sekadar perlunya berturut-turut, ternyata prasasti itu mumuat perundang-undangan mengenai pembagian waris, yaitu bagi orang-orang yang telah meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak; 3. kewajiban tiap-tiap kepala rumah tanggah membayar iuran dan pelbagai sumbangan untuk menyelenggarakan pura-pura pemujaan mereka, terutama bagi kepentingan sebuah pura bernama ‘Hyang Api’ yang paling dimuliakan oleh mereka itu. 896 b. Prasasti Bebetin Di dalam prasasti yang terdapat di desa Bebetin itu, tersebut juga tiga soal terpenting sebagai berikut: 1. tentang keharusan orang-orang desa ‘Kuta di banwa Bharu’, menerima para pendagang yang berniaga di dalam desanya, dan cara mereka harus bertindak apabila terdapat perahu-perahu terdampar di pantai; 2. tentang pemberian nama ‘dadimpara’ (?) ahli pertukangan di desa itu, ialah: ‘undagahi lancang’ bagi duang-duang (?) yang pandai membuat perahu atau jukung. ‘undahagi batu’ bagi tukang batu, dan ‘undahagi penarung’ bagi tukang membuat tembuasan saluran air yang sekarang lazim disebut ‘tukang aung’. 3. tentang pemberian nama dari bara ahli seni bunyi-bunyian, ialah: ‘pamukul’, artinya tukang gamelan, ‘pegending’, artinya tukang nyanyi, ‘pa(r)padaha’, artinya tukang gendang, ‘parbangsi’, artinya tukang serunsi, ‘pasuling’, artinya juru suling, dan ‘parwayang’, artinya dalang. Memperhatikan hali tu, dapatlah sekarang dikirakirakan, bahwa desa itu terletak di pinggir pantai mempunyai sebuah pelabuhan. Akan tetapi sekarang di Bali tidak terdapat desa yang bernama demikian, sedang desa Bebetin yang menyimpan prasasti itu terletak di atas tanah penggunungan. Kemungkinan desa ‘Kuta di banwa Bharu’ itu dahulu pernah mengalami kesukaran dari gangguan bajag-bajag laut, sehingga terpaksa penduduknya mengungsi ke pedalaman. Sebab itulah kiranya desa itu lenyap. 911 c. Prasasti Trunyan Prasasti yang terdapat di desa Trunyan itu sebanyak dua buah, baik corak maupun tahunnya sama. Di dalam prasasti-prasasti itu juga tiga hal, (p.33) tetapi agak berlainan sifatnya. Tersebutlah di dalam prasasti-prasasti itu tentang: 1. kewajiban penduduk membayar pajak tiap-tiap tahun kepada pegawai kerajaan dan ditentukan tiap-tiap tanggal kesembilan dari bulan ketujuh yang disebut: ‘Magha Mahanawami’; 2. jenis sumbangan dari tiap-tiap rumah tangga untuk kepentingan upacara perajaan bagi Bhatara Da Tonta, yang amat dimuliakan oleh penduduk desa itu. Perayaan itu harus dilangsungkan tiap-
26 CAKA MASEHI KET tiap tahun sekali; jatuh pada bulan ‘Bhadrawada’, yang sekarang disebut ‘Sasih karo’; 3. persoalan orang-orang Trunyan (‘anak banwa di Trunan’) yang mengalih ke ‘banwa Air Rawang’, sedang ‘banwa Air Rawang’ itu belum merupakan desa yang berdiri sendiri. Oleh karena itu maka orang-orang yang berpindah tempat itu diharuskan tinggal tunduk di bawah kekuasaan desanya semula. d. Prasasti Bangli (Pura Kehen) Meskipun prasasti yang terdapat di Bangli itu tidak menyebutkan nama raja dan tahun, namun ditilik dari corak dan nama pegawai-pegawai kerajaan yang tersebut di situ, cukup mengesankan, bahwa prasasti itu diterbitkan di antara tahun 911-914. Tersebut di dalam prasasti itu, ialah tentang berdirinya sebuah pertapaan yang terletak di lingkungan halaman sebuah pura bernama Hyang Karimana, yang disebut juga Hyang Api. Naskah aslinya menyebutkan ‘wangunan pertapanan di Hyang kahimana juga nangan Hyang Api’… di wanwa di Simpat bunut’. Sekarang perkataan ‘Simpat bunut’ itu sudah berubah menjadi Sidembunut, yaitu nama sebuah desa yang terletak di lingkungan kota Bangli. 914 e. Prasasti Gobleg (Pura Desa) Prasasti yang terdapat di desa Gobleg itu, ternyata hanya memuat 2 hal, yaitu: 1. ‘Ida Hyang di Bukit Tunggal paradayan indrapura’. Artinya ialah Dewa yang berkahyangan di Pura Bukit Tunggal itu Indra; 2. tentang perbatasan sebuah desa yang disebut: ‘Er Tabar’. f. Prasasti Angsari Sebagaimana halnya dengan prasasti Bangli yang tersebut pada huruf d di atas, kemungkinan prasasti yang terdapat di Angsari itu diterbitkan bersamaan waktunya, yaitu di antara tahun 911- 914. Baik huruf dan coraknya, maupun kata-katanya yang dapat dibaca, menunjukkan persamaan itu. Akan tetapi karena tulisannya terputus-putus, sehingga sukar dibaca kalimat-kalimat yang memberi arti, apa yang dimaksudkan oleh prasasti itu. Sekalian prasasti-prasasti tersebut di atas ternyata belum memberikan jawaban yang tegas dalam persoalan ini. Syukurlah sebuah tugu besar daripada batu cadas yang terdapat pada suatu tempat bernama Blanjong di desa Sanur, sanggup memberikan pertologan untuk membuka tabir kegelapan itu. Pada sebelah menyebelah tugu itu terdapat tulisan-tulisan, sebagian mempergunakan bahasa Bali Kuna, dan sebagian lagi mempergunakan bahasa Sansekerta. Tersebut di dalam tulisan-tulisan itu antara lain, ialah nama seorang raja: Kesari Warmadewa, yang beristana di Singha Dwala. Kecuali itu tersebut juga pada tuylisan batu itu tahun ‘Candrasangkala’, yang bunyinya: ‘Khacara – Wahni – Murti’. Sebutan Candrasankala itu justru menjadi persoalan lagi. Dr. R.Goris sependapat dengan Prof. Sten Konow, bahwa sebutan Candrasankala itu dapat diartikandemikian: 1. ‘Khecara’ yang berarti bintang (planeet), dapat disamakan dengan angka 9; 2. ‘Wahni’ yang berarti ?? atau ‘agni’, dapat disamakan dengan angka 3;
27 CAKA MASEHI KET 3. ‘Murti’ yang berarti tubuh atau ‘sarira’ dari Bhatara Siwa, dapat disamakan dengan angka 8. Oleh karena menurut system Candrasankala perhitungannya harus dibalik dari belakang ke muka, maka terdapatlah blangan tahun Saka 839 atau tahun Masehi 917. Sementara itu Dr. R. Goris menerangkan, bahwa Sri Kesari Warmadewa itu, ialah seorang raja yang memeluk agama Buddha. Dari keterangan sarjana itu dapatlah sekarang diambil kesimpulan, bahwa benda itu lebih layak dikatakan lonceng untuk kepentingan biara bagi para bhiksu agama Buddha. Sebagaimana telah dimaklumi dari uraian beberapa pasal terlebih dahulu, ternyata di sekitar desa Pejeng itu banyak terdapat bekas biara-biara daripada bhiksu agama Buddha, sehingga dapat mempertebal keyakinan, bahwa benda itu memang lonceng sebenrarnya. Kenyataan sekarang benda itu masih dihormati oleh sekalian penduduk desa di sana, bahkan dipandang sebagai bulan, mungkin lantaran bentuknya bundar seakan-akan bulan purnama. Sebab itulah maka pura itu di mana benda yang dianggap suci itu terletak, lalu disebut Pura Panataran Sasih atau Pura Panataran Bulan. Bulan = Sasih, artinya Rembulan dalam bahasa Jawa. Besar kemungkinan, bahwa pada masa itulah agama Buddha di Bali sedang mencapai puncak kemajuannya, maklumlah rajanya tampil ke muka menjadi pendorong dari keagamaan itu. Oleh karena itu dapatlah dinyatakan, bahwa Sri Kesari Warmadewa menciptakan 6 buah pura besar yang disebut ‘Sadkahyangan’ itu, ialah untuk mengabaikan ajaran ‘Caturlokapala’ yang tersebut pada pasal 5 bab I. Penciptaan dari Sadkahyangan itu mungkin dipergunakan oleh baginda untuk menyesuaikan perkembangan agama Buddha di Bali dengan perkembanagn agama itu di Jawa yang berpusat di Candi Borobudur. Sebagai dimaklumi, bahwa di atas candi itu terdapat 6 buah patung Buddha, ialah untuk: Aksobbya, Ratnasambhawa, Amithaba, Amogahdisha, Wairocana dan Sakyamuni. Demikianlah halnya, bahwa Sadkahyangan yang terdiri dari 6 buah pura di Bali, ialah untuk memuja Buddha-Buddha itu sebenarnya. Kayakinan menjadi bertambah tebal, apabila perhatian dicurahkan pada (p.35) suatu perayaan yang disebut ‘Bhatara Turun Kabéh’, yang dilangsungkan tiap-tiap tahun sekali di Besakih. Seperti telah diceritakan pada pasal 7 dan 13 bab I, ternyata perayaan itu diadakan tiap-tiap tahun pada bulan kesepuluh yang disebut: ‘Waisakha’ waktu bulan purnama, yaitu bertetepan dengan hari raya bagi umat Buddha di seluruh dunia. Oleh karena itu maka orang tidak menyangsikan lagi, bahwa perayaan besar yang dilangsungkan di Besakih pada waktu itu, ialah untuk mumuja kebesaran Buddha semata-mata. Menurut pendapat Dr. W.F. Stutterheim, bahwa bekas pertapaan bhiksu Buddha yang terdapat di tepi sebelah selatan sungai Petanu yang disebut Lwa Gajah itu, kemungkinan didirikan pada masa itu. Dekat di situ terdapat juga sebuah pertapaan untk bhiksu Siwa, terletak di tepi sebelah utara dari sungai itu. Hal itu membuktikan, bahwa kedua jenis keagamaan itu dapat hidup damai berdampingan. Pertapaan untuk bhiksu Siwa itu dahulu disebut Air Gajah, sekarang lazim disebut Goa Gajah. Adanya pertapaan itu sudah diterangkan terlebih dahulu pada pasal 12 bab I. Para ahli pengetahuan kebanyakan berpendapat, bahwa Sri Kesari Warmadewa itu, ialah penubuh dari dynasti ‘Salonding’ yang mempergunakan gelar Warmadewa. Di Besakih sekarang masih terdapat 20 bilah kepingan gangsa merupakan bunyi-bunyian, dan disebut ‘Gamelan Salonding’, bekas peninggalan raja itu. ‘Gamelan Salonding’ itu dianggap suci dan bertuah, oleh karena itu amat dimuliakan oleh sekalian umat Hindu-Bali. Tentang istana baginda di Singha Mandawa dan di Singhadwala tersebut di dalam prasasti-prasasti
28 CAKA MASEHI KET itu, dapatlah kiranya diartikan demikian: ‘Singha’ = kesari; sedang ‘mandawa’ atau ‘dwala’ = ‘mandala’, yang berarti makdis atau tempat suci. Di dalam kitab Rajapurana itu, istana baginda tersebut Kahuripan, justru membayangkan kebangkitan sebuah kerajaan di Jawa Timur, dengan ibu kotanya tersebut demikian. Jikalau baginda itu memang benar berasal dari tanah seberang, maka batu besar yang terdapat di Blanjong yang memuat tambo baginda itu, dapatlah dianggap sebagai batu peringatan mula-mula baginda tiba di Bali. Sebab tempat itu ternyata terletak di pinggir pantai. Kesimpulannya ialah, bahwa baginda raja itu bertahta di Bali kira-kira sejak tahun 882 hingga tahun 914. NB. Lain daripada prasasti-prasasti tersebut di atas, terdapat juga piagam baginda itu tertulis di atas sebuah batu, yang kini masih tersimpan pada Pura Desa di desa Penempahan dekat Tampaksiring, yang dahulu disebut desa Penempihan. 915 Sri Ugrasena (p.36) Pada pasal 2 di atas telah disingggung sepintas lalu, bahwa di desa Srodokan terdapat sebuah prasasti bertahun 915 menyebutkan nama raja lain. Ternyata di dalam prasasti tersebutlah nama seorang raja Sri Ugrasena. Oleh karena baginda raja itu tidak mempergunakan gelar Warmadewa, maka orang tidak berani memastikan, bahwa baginda itu memang tergolong ke dalam dinasti Salonding itu. Sementara asal usul baginda belum dapat dinyatakan, baiklah semua prasasti yang terdapat dan menyebutkan nama baginda raja itu ditelaah dulu satu per satu. Jumlah prasasti yang menyembutkan nama baginda raja Sri Ugrasena itu ada sebanyak 9 buah. Prasasti-prasasti itu terdapat pada beberapa buah desa, menyebutkan pula bilangan tahun-tahun tertentu, sebagai tersebut di bawah ini: 915 a. Prasasti Srokadan Seperti telah diterangkan di atas, bahwa prasasti yang terdapat di desa Srokadan itu bertahun 915, denga jelas menmyebutkan nama baginda raja itu beristana di Singhamandawa. Kecuali itu tersubut juga di dalam prasasti itu antara lain, ialah halnya: ‘anak wanwa di Sadungan makablah hulu kayu’. Artinya ialah: anak negeri di Sadingan di bawah kekuasaan pegawai kehutanan (houtvester). Tetapi di mana letak Sadungan itu, sukar sekarang ditentukan. Kemungkinan desa Srodakan itulah yang dimaksudkan oleh prasasti itu, mengingat batsa-batsa terdapat itu yang terletak di sebelah menyebelahnya. Tersubut di dalam prasasti itu, bahwa Sadungan itu berbataskan di sebelah timur sungai Sungsang, di sebelah selatan ‘padang kahirun’ (padang rumput), di sebelah barat sungai Melangit, dan di sebelah utara ‘meputunan’ (hutan). Ternyata sekarang desa Srodokan itu memang terletak di sana, akan tetapi apa sebabnya desa itu berganti nama, sukarlah terdapat keterangannya. Kesimpulannya ialah prasasti itu mengutarakan tentang perbatasan wilayah desa itu. 917 b. Prasasti Babahan Babahan ialah nama sebauh desa, di mana terdapat sebuah prasasti bertahun 917, yang menyebutkan juga nama bagina raja itu. Kecuali itu tersebut juga di dalam prasasti itu antara lain, ialah tentang perjalanan bagina ke Buwunan. Perjalanan itu dilakukan oleh beginda di dalam tahun itu pada bulan ‘Srawana’ (Juli/Agustus), waktu mana baginda dapat berkunjung ke Bukit Ptung, di
29 CAKA MASEHI KET tempat pertapaan bhiksu Dharmmeswara dan Dharmmacchaya. Akan tetapi di mana letak pertapaan-pertapaan atau biara-biara itu, tidak terdapat bekas-bekasnya sekarang. 922 c. Prasasti Sembiran Sembiran juga nama sebuah desa, di mana terdapat sebuah prasasti bertahun 922, yang menyebutkan nama istana dan nama baginda raja sama sebagai di atas. Di dalam prasasti itu tersebut juga antara lain, ialah tentang perbatasan wilayah desa Julah, di mana terdapat sebuah Bandar. Desa Julah itu katanya di bawah Pemerintahan seorang pegawai negeri yang disebut: ‘Ser’. Jabatan itu kiranya dapat disamakan dengan jabatan ‘Her’ pada zaman Jawa Kuna, atau dengan sebutan Pangeran pada zaman sekarang. Ternyata perkataan ‘Ser’ itu hingga sekarang masih berkesan di kalangan orang-orang desa yang bertempat tinggal di pegunungan, mereka menyembutkan salah seorang pegawai desanya dengan perkataan ‘Saih’. Kemungkinan perkataan itu asal rekaman dari ucapan ‘Ser’ tersebut. Oleh karena desa itu mempunyai sebuah Bandar, maka tersebutlah di dalam prasasti itu undangundang peraturan pantai yang dikatakannya: ’taban karang’. Peraturan itu membolehkan orangorang desa di sana merampas muatan perahu-perahu yang terdampar di pantai itu. Lain daripada itu tersebut juga di dalam prasasti itu, ialah tentang kewajiban penduduk di sana, mengadakan perayaan tiap-tiap tahun sekali pada hari yang ditentukan untuk memuja Bhatara Punta Hyang. Ketentuan-ketentuan yang tersebut di dalam prasasti itu, dapatlah kiranya disimpulkan, bahwa tanggungan orang-orang desa menyelenggarakan upacara perayaan untuk memuja Bhatara Punta Hyang tiap tahun yang tidada sedikit menalan biaya itu, maka prasasti itu lalu diterbitkan, guna memberi ijin kepada orang-orang desa di situ mempergunakan semua penghasilan yang diperoleh dari Bandar itu. 924 d. Prasasti Pengotan Prasasti yang terdapat di desa Pengotan ternyata bertahun 924, juga menyebutkan nama istana dan raja itu. Di dalam prasasti itu tersebut juga antara lain, ialah tentang: ‘anak marbuatthaji di Kandungan me di Silihan’. Arti daripada perkatan-perkataan itu, ialah: anank negeri di Kandungan dan di Silihan. Tetapi di mana letak tempat-tempat itu sekarang, sukar diketahui. (p.37) Penduduk pada kedua tempat itu katanya di bawah pemerintahan seorang Ser. Di bawah Ser itu terdapat golongan patih, terdiri dari: Wrsabha, Waranasi, Pancakala, Pituha, Maniringin, Tira, Waduan Tanda, Makrun, Kalula, Pungkuran, Tahan Taku, Pada Raksa, Juru Tunggal, Juru Nuam, Juru Wanyaga, Maninghal dan Saiwadhani. Memperhatikan nama dari pejabat-pejabat itu, rupanya sebagian penegak dari adat-istiadat, sebagian pegwai pemerintahan, dan sebagian lagi bertugas mengatur pengairan. Lain daripada itu tersebut juga di dalam prasasti itu nama-nama dari ahli pertukangan dan kesenian, misalnya: Pande Besi (tukang besi), Pande Mas (tukang Mas), Pamukul (juru palu gamelan), Mangyahit kajang (tukang tenun), Macadar (?), Mangikat (tukang membuat atap), Mangnila (tukang celup), Mamangkudu (tukang tebang?), dan Marundan (?). Hal itu menyatakan, bahwa pembagian pekerjaan diatur sebaik-baiknya, menurut bakat dan keahlian mereka masing-
30 CAKA MASEHI KET masing. 933 e. Prasasti Batunya Di desa Batunya terdapat sebuah prasasti bertahun 933, juga menyebutkan nama istana dan beginda raja itu. Kecuali itu tersebut juga di dalam prasasti itu, ialah tentang: ‘anak banwa di haran’, artinya anak negeri di Haran. Mereka itu diwajibkan menyelenggarakan ‘satra’ dan Pura Hyang Api, yang terletak di desa Manasa dan Batuan. ‘Satra’ itu didirikan oleh 3 orang ngiksu, namanya masing-masing tersebut: Padmadewa, Sabhu dan Widyateya. Perayaan untuk memuja keluruhan Pura Hyang Api itu ditentukan tiap-tiap tahun sekali, jatuh pada bulan ‘Magha’ (bulan ketujuh). Di mana letak ‘Satra’ itu sekarang, tidak terdapat bekas-bekasnya lagi. 935 f. Prasasti Dausa Di desa Dausa terdapat sebuah prasasti bertahun 935, juga menyebutkan nama istana dan baginda raja itu. Prasasti itu sekarang tersimpan pada sebuah pura bernama Pura Bukit Indrakila. Sebagaimana halnya prasasti Batunya tersebut di atas, ternyata prasasti itu menyebutkan juga tentang penyelenggegaraan sebuah pura bernama Hyang Api di Parcanigayan, dan sebuah ‘satra’ di Tanah Winait. Akan tetapi di mana letak temnpat-tempat tersebut, sukar dicari bekas-bekasnya sekarang. 966 g. Prasasti Serai Serai ialah nama sebuah desa, di mana terdapat sebuah prasasti bertahun 966, yang menyebutkan juga nama istana dan baginda raja itu. Maksud dari prasasti itu, hamper sama dengan prasasti Sembiran yang tersebut pada angka 3 di atas, juga menbicarakan tentang penyelenggaraan pemujaan bagi Bhatara Punta Hyang. Lain daripada itu tersebut juga di dalam prasasti itu tentang: ‘anak mabwatthayi di Buru’, artinya kira-kira negeri yang berkewajiban menjaga hutan larangan tempat baginda raja berburu. NB. Kemungkinan prasasti itu diterbitkan sesudah lama baginda raja itu mangkat. Hal itu dapat dibuktikan nanti dengan adanya prasasti lain yang terdapat kemudian. 942 h. Prasasti Dausa II Di desa Dausa terdapat lagi sebuah prasasti yang tersimpan di pura itu juga, tetapi bertahun 942. Prasasti itupun menyebutkan juga nama istana dan baginda raja itu. Akan tetapi jikalau diperhatikan bentuk huruf dan susunan bahasanya, kemungkinan prasasti itu diterbitkan semasa Sri Jayasakti bertahta. Siapa Sri Jayasakti itu, nanti akan diterangkan hal ihwalnya kemudian. Di dalam prasasti itu tersebut juga tentang: ‘Parcanigayan’ itu, jadi sama halnya dengan prasasti Dausa yang telah diterangkan pada angka 6 di atas. Oleh karena itu maka hal ihwalnya tiada perlu diuraikan lagi. 936 i. Prasasti Gobleg Sebuah pura bernama Batur terletak di desa Gobleg, di situ terdapat juga sebuah prasasti, yang disangka oleh para ahli ilmu pengetahuan diterbitkan semasa baginda raja Sri Ugrasena bertahta. Prasasti itu tidak bertahun, akan tetapi memerhatikan nama-nama pegawai negeri atau pejabat-
31 CAKA MASEHI KET pejabat yang tersebut di dalam prasasti itu hamper samasemuanya dengan yang tersebut di dalam prasasti yang diterangkan pada masa itu. Prasasti itu hanya tinggal sebagian, mungkin pada bagian lain yang telah hilang itu menyebutkan nama baginda raja itu. Di dalam prasasti yang masih ketinggalan itu, tersebut antara lain, ialah: ‘anak banwa di tamblingan’, artinya anak negeri di Tamblingan. Padahal (p.38) Tamblingan itu ialah nama sebuah danau, yang terletak tidak jauh dari desa Gobleg tersebut. Peristiwa itu dapatlah disangkut-pautkan dengan prasasti Gobleg yang tersebut pada pasal 2 huruf e di atas. Sekian jumlah prasasti-prasasti yang sekarang terdapat di Bali, yang menyebutkan nama baginda raja Sri Ugrasena, beristana di Singhamandawa. Maksud dari prasasti-prasasti itu hanya dipetik sekedar yang dianggap perlu, untuk memperlihatkan gambarannya. Dari pernyataan prasasti- prasasti itu, dapatlah sekarang ditentukan, bahwa raja Sri Ugrasena itu selaku pengganti dari baginda raja Sri Kesari Warmadewa bertahta di Bali selama 27 tahun, yaitu dari tahun 915 hingga tahun 942. Dr. R. Goris dalam halnya membahas siapa adanya Sri Ugrasena itu, masih berpegangan teguh pada bunyinya kitab kekawin Hariwangsa, yang menceritakan adanya seorang raja bernama Ugrasena, yang diangkat kembali menjadi raja di Dwarawati oleh kemanakannya yang bernama Krisnha (lihat pasal 2 di atas). Kesimpulannya ia tetap beranggapan, bahwa Sri Ugrasean itu memang berasal dari Jawa, kemungkinan putra mahkota dari Sri Kesari Warmadewa yang mendahuluinya. Dalam pada itu C.C.Berg dalam kitab karangannya yang bertitel ‘De Middeljavaansche Historische Traditie’, menerangkan, bahwa Sri Ugrasean itu memang berasal dari Bali. Pendapatnya itu berdasarkan bunyi sekalian prasasti- prasasti itu, ternyata semuanya masih mempergunakan bahasa Bali Kuna, dan bukan Jawa Kuna. Memang prasasti-prasasti yang menyebutkan nama baginda raja itu, ternyata semuanya mempergunakan istilah: ‘Yuma pakatahu’, yaitu bahasa Bali Kuna khas sebagai pembuka kata. Padahal pada masa itu di Jawa Timur sudah berdiri sebuah kerajaan besar di bawah pemerintahan Mpu Sindok (929-947). Sebagai seorang raja yang besar kekuasaannya, ternyata baginda raja itu mempergunakan gelar ‘abhiseka’: Sri Baginda Rake Hino Mpu Sindok Sri Isyanawikrama Dharmattunggadewa. Andaikata kerajaan itu berpengaruh sampai ke Bali, sudah tentu tata bahasa yang tersebut di dalam prasastiprasasti itu dapat dipengaruhi olehnya, sehingga sedikit banyak terdapat kata-kata yang bersifat Jawa Kuna terselip di dalamnya. Dengan alasan itulah maka sarjana itu berpendapat, bahwa Cri Ugrasena itu tiada dapat dinyatakan berasal dari Jawa. Patut diterangkan juga, bahwa sesudah prasasti yang terdapat di desa Gobleg itu, ternyata prasasti-prasasti yang terdapat kemudian, tiada lagi mempergunakan istilah ‘Yumu pakatahu’ itu. Hal itu akan diterangkan nanati berturut-turut di bawah ini. 877 955 Sri Tabanendra Warmadewa / Sri Subhadrika Dharmmadewi (p.39) Di desa Sembiran terdapat lagi sebuah prasasti bertahun 951, dengan tidak menyebutkan nama raja. Oleh karena prasasti itu tidak lagi mempergunakan istilah ‘Yuma pakatahu’ sebagai pembuka kata, maka prasasti itu tiada dapat digolongkan pada kumpulan prasasti- prasasti untuk Sri Kesari Warmadewa dan Sri Ugrasena tersebut di atas, meskipun prasasti itu masih mempergunakan bahasa Bali Kuna. Perubahan corak dari prasasti itu mengesankan, bahwa di dalam tahun itu sudah bertahta raja lain
32 CAKA MASEHI KET di Bali. Prasasti itu menyebutkan antara lain: ‘banwa di julah’, artinya desa Julah, jadi sama sifatnya dengan prasasti Sembiran yang sudah diutarakan pada pasal 3 angka 3 tersebut di atas. Sementara itu terdapatlah 3 buah prasasti di desa Manik Liu, semuanya bertahun 955. Ketiga buah prasasti itu ternyata tidak berbeda makdusnya, menyatakan, bahwa prasasti itu bekas milik 3 buah desa yang sama kepentingannya. Sebagai kata permulaan dari prasasti-prasasti itu, tersebutlah: ‘Saka 877 bulan Srawana sukla partipada rggas pasar wijayapura, tatkala tyurun anugrahan sang ratu Sri aji Tabanendra Warmadewa, me sang ratu luhur, Sri Subhadrika Dharmmadewi, umanugrahan samgat juru mangjahit kajang’, dan sebagainya. Jikalau uraian prasasti- prasasti itu diterjemahkan secara bebas, maka maksudnya kira-kira demikian: ‘Tahun Saka 877 (tahun Masehi 955) pada bulan Juli/Agustus, di kala bulan terang waktu hari pasaran Wijayapura, maka pada waktu itulah baginda Sri Tabanendra Warmadewa beserta dengan yang mulia Sri Subhadrika Dharmadewi memberi titah kepada ‘samgat’ (nama jawatan) selaku pegawai pertenunan, dan sebagainya. Demikianlah bunyi prasasti- prasasti itu menyatakan, bahwa pada tahun itu terspat di Bali raja lakiistri bertahta, ialah Sri Tabanendra Warmadewa dan Sri Subhadrika Dharmadewi. Hali itu menyatakan pula, bahwa Sri Ugrasena sudah mangkat sebelum tahun itu. Memperhatikan nama-nama dari raja laki-istri itu, teranglah Sri Tabanendra Warmadewa itu asal keturunan dari dinasti Salonding; akan tetapi Sri Subhadrika Dharmadewi itu masih menjadi tekateki. Kebanyakan para ahli berpendapata, bahwa raja itu bersuami istri sama-sama memerintah, sedang permasyirinya itu tersebut Yang mulia, menyatakan akan ketinggian derajatnya. Dari mana asal mula kelahiran putri itu, justru yang menjadi persoalan sekarang. Dalam hal itu para ahli lekas mengarahkan pandangannya ke Jawa Timur, di mana terspat sebuah kerajaan besar yang menjadi tetangga pulau Bali terdekat. Sebagaimana telah dibayangkan pada pasal 3 di atas, bahwa pada waktu itu di sana memerintah seorang raja bernama Mpu Sindok, dengan gelar ‘abhisekanya’ Isana dan Dharmmatunggadewa. Dari gelar beginda raja itu yang tersebut belakangan, para ahli lalu berkeyakinan, bahwa putri itu berasal dari dinasti itu, sebab istilah Dharmmatunggadewa itu bercorak sama dengan istilah Dharmadewi yang menjadi hiasan dari gelar putri itu. Sebab itulah maka putri atau permaisuri dari baginda raja Sri Tabanendra Warmadewa itu mendapat sebutan Yang mulia di dalam prasasti-prasasti itu, sesuai dengan keluruhan derajat keturunannya. Kemungkinan juga dari perkawinan itu, peradaban di Jawa Timur mulai berpengaruh di Bali. Akan tetapi, bagaimana sifat kemasyarakatan di Bali setelah raja-putri itu turut memerintah, sukar terdapat keterangannya, sebab prasasti-prasasti lain tidak ada lagi yang meyebutkan nama baginda raja, suami-istri itu. Hanyalah dapat dikira-kirakan saja, bahwa kedatangan putri itu tidak begitu besar pengaruhnya di kalangan pemerintahan, mengingat nama putri itu tersebut belakangan dari nama suamnya. Bahwa prasasti-prasasti itu masih mempergunakan bahasa Bali Kuna, lebih-lebih lagi memperkuat kenyakinan itu. Oleh karena di dalam prasasti-prasasti itu tiada tersebut di mana letak istananya, dapatlah sementara ditentukan masih di Singhamandawa atau Singhadwala, yaitu di desa Besalih tempat istana leluhurnya semula. Kesimpulannya dapatlah dinyatakan, bahwa dari adanya prasasti- prasasti itu ternyata baginda raja suami-istri bertahta di Bali dari tahun 943 hingga tahun 961. Sebab sesudah itu terdapat lagi beberapa buah prasasti yang menyebutkan nama raja lain. Siapa nama raja itu akan dilanjutkan ceritanya pada pasal 5 di
33 CAKA MASEHI KET bawah ini. Note: Friedrich berpendapat, bahwa Sri Tabanendra Warmadewa itu, agaknya Sri Pujungan yang tersebut di dalam kitab ‘Usana’. Ia mendasarkan pendapatnya itu dari adanya sebuah desa bernama Pujuangan yang terletak di daerah Tabanan sekarang. Tabanendra itu diartikan raja yang memerintah di daerah Tabanan (baca hal. 144 dari kitab: ‘De Dorpsrepubliek Tenganan Pangrinsingan’ oleh Dr. V.E. Korn). 884 5. Sri Candrabhavasingha Warmadewa (p.40) Di sebelah timur desa manukaya, yaitu di tepi sungai Pakerisan, terdapat sekarang sebuah telaga besar tempat peremadian umum disebut ‘Tirtha Empul’. Dari sama telaga itu sudah mengesankan, bahwa airnya dianggap suci oleh sekalian penduduk di Bali. ‘Tirtha’ artinya air suci atau air hidup, sedang ‘Empul’ bermakna memancur, jadi kesingkatannya ialah air memancur (Bali: ‘kelebutan’). Di situ terdapat sebuah piagam bertulis yang bunyinya sebagai berikut: ‘Swasta saka warsatita 884 bulan kartika sukla (tra) yodasi, rgaspar wijayaopura, tatkalan sang ratu (sri) candrabhayansingha warmadewa, masamahin tirtha di (air) mpul’ dan sebagainya. ‘Pada tahun Saka 884 (Masehi 962) bulan ke-empat (Oktober/November) tanggal 13 hari pasaran wijayapura , ketika itulah baginda raja Sri Candrabhayasingha Warmadewa menbangun permandian ‘Tirtha Empul’, dan sebagainya. Dari penjelasan piagam itu teranglah sudah, bahwa di dalam yahun itu Sri Candrabhayasingha Warmadewa bertahta di Bali. Jelas pula tersebut pada piagam itu, bahwa baginda asal keturunan dari dinasti Salonding. Kemungkinan baginda itu ialah putra mahkota dari baginda raja suami-istri yang tersebut pada pasal 4 di atas. Anehnya terdapat lagi sebuah prasasti di desa Kintamani bertahun 967, masih menyembutkan nama baginda raja sumai-istri itu, ialah Sri Tabanendra Warmadewa & Sri Subhadrika Dharmadewi. Akan tetapi kekusutan itu dapatlah diartikan demikian. Pada waktu itu baginda raja suami-istri itu sebenarnya masih hidup, tetapi sudah menyerahkan kekuasaannya kepada putra mahkotanya itu. Menurut kebiasaan raja-raja pada zaman itu, setelah usianya lanjut lalu pergi bertapa ke hutanhutan, menunaikan kewajiban sebagai ‘Rajarsri’. Sebab itu kemudi pemerintahan lalu diserahkan kepada penggantinya, agar supaya kegemarannya bertapa itu jangan terganggu karemanya. Tersebut juga di dalam prasasti itu di antara lain: ‘sang ratu sang siddha dewata sang lumah di Air Madatu’. Arti dari perkataan-perkataan itu, ialah: ‘baginda raja yang telah mangkat dijenazahkan di sungai Madatu’. Akan tetapi sungai mana yang tersebut demikian, sekarang tidak dikenal lagi di Bali. Sementara itu para ahli berpendapat, bahwa raja yang telah mangkat dan dijenazahkan di Air Madatu itu, ialah Sri Ugrasena yang dimaksudkan oleh prasasti itu. Akan tetapi apa yang menjadi alasannya mereka berpendapat demikian, tidak terdapat keterangannya lebih jauh. Kecuali itu tersebut juga di dalam prasasti itu sebuah ‘satra’ terletak di Air Mih. Air Mih itu masih terdapat sekarang, yaitu terletak di sebelah selatan Kalanganyar, di lingkungan desa Kintamani. Akan tetapi siapa yang mendirikan ‘satra’ itu, tidak diterangkan oleh prasasti itu.
34 CAKA MASEHI KET Juga di desa Kintamani terdapat lagi sebuah prasasti lain, tetapi tidak menyebutkan nama raja dan tahun bilamana prasasti itu diterbitkan. Hanya tersebut di dalam prasasti itu ialah luas wilaya desa Kintamani itu, dengan batas-batasnya berkeliling. Oleh karena itu tidklah perlu uraian prasasti itu diterangkan lebih lanjut di sini. Lain daripada piagam dan prasasti-prasasti tersebut di atas, tidak terdap at lagi tulisan-tulisan yang menerangkan adanya Sri Candrabhayasingha Warmadewa itu. a. Hinayana Penganut-penganut dari aliran Hinayana itu ternyata lebih taat melakukan ibadat menurut petunjukpetunjuk yang diberikan oleh Buddha Gautama untuk mencapai (p.43) Nirwana. Mereka berusaha sendiri-sendiri menempuh jalan menuju arah keluruhan itu, dengan tidak mengharapkan pertolongan dari orang lain. Sebab itulah mereka mengabaikan adanya Dewa-dewa itu, dengan keyakinan, bahwa Dewa-dewa itu tidak akan berkesanggupan menolong mereka untuk mencapai tujuan itu. Nasib mereka pada kelahiran yang akan datang, adalah ditentukan oleh perbuatan mereka sekarang. Kenyataan pelajaran itu lebih sukar bagi tiap-tiap orang yang hendak mengikutinya, oleh karena itu maka aliran itu lalu disebut ‘Kendaraan kecil’. Note: Penganut dari aliran Hinayana itu sekarang terdapat di Ceylon, Birma dan Siam. b. Mahayana Penganut-penganut dari aliran Mahayana itu memandang Buddha sebagai Mahadewa, sehingga perkataan Buddha itu tidak dipergunakan lagi oleh mereka untuk panggilan bagi tiap-tiap orang yang memperoleh penerangan, lantaran sudah menerima Bodhi. Merekapun beranggapan, bahwa Buddha itu tinggal di sorga, hanyalah Dyani Buddha yang berkewajiban membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia, bagaimana caranya menerima Bodhi, untuk mencapai Nirwana kelak. Dyani Buddha itu mereka samakan dengan Dewa-dewa, dank arena pertolongannya maka tujuan terakhir itu akan lekas tercapai. Oleh karena faham itu memungkinkan orang banyak dapat mengikutinya, maka aliran itu lalu disebut ‘Kendaraan Besar’. NB. Penganut dari aliran Mahayana itu sekarang terdapat di Tibet, Tiongkok dan Jepang. Dahulu terbesar di seluruh Indonesia, tetapi sekarang masih tinggal di Bali saja. Pada hakekatnya cerita itu ialah memperlambangkan adanya kejahatan yang pernah menggangu orang-orang Bali melakukan ibadat. Adanya Indra yang tersebut di dalam hikayat itu, pasti bukan Dewa Indra yang berada di kahyangan, melainkan pemimpin dari golongan Indra yang didewadewakan oleh sekalian pengikutnya. Sri (p.44) Candrabhayasingha Warmadewa pemuja dari aliran Mahayana dipandang selaku Mahadewa, minta bantuan kepada kekuasaan di Jawa imur, di mana memrintah keluarga ibunda baginda yang diperlambangkan oleh penulis-penulis dari kitab-kitab itu selaku Parama Siwa. Hal itu menyatakan, bahwa agama Buddha-Mahayana di Bali sudah berselimutkan ajaran Siwa. Konon katanya sesudah pertempuran itu berakhir, lalu sekalian Dewa-dewa itu berkumpul di desa Bedulu, mengadakan muktamar dengan dihadiri oleh sekalian pemimpin-pemimpin agama di Bali. Bagaimana keputusan muktamar itu tidak diterangkan dengan jelas di dalam kitab-kitab perpustakaan itu, akan tetapi menilik dari adanya sebuah pura besar sekarang di situ, yaitu sebagai peringatan dari adanya muktamar itu, dapatlah dikira-kirakan sifat keputusan yang telah diambil pada waktu itu. Pura itu bernama ‘Samuan Tiga’, mengesankan, bahwa sifat tiga jenis yang
35 CAKA MASEHI KET menjadi dasar permasyawaratan itu. Sifat iga jenis itu ialah: ‘Brahma, Wismu dan Siwa, yang telah diperpadukan untuk menjadi inti dari keagamaan di Bali. ‘Samuan’ artinya muktamar, dan ‘Tiga’ = tiga. Semenjak itulah dasar keagamaan di Bali mulai disahkan atas penegertian ‘Trimurthi’ atau ‘Tritunggal’, yaitu persatuan dari ajaran Brahma, Wisnu dan Siwa. Keputusan itu merupakan jalan tengah, sebab kedua aliran agama Buddha itu ternyata menjadi pangkal pertikaian, Akan tetapi oleh keputusan itu bukanlah berarti aliran Mahayanba itu dihapuskan sama sekali, melainkan agak disederhanakan, agar jangan lagi menyinggung golongan-golongan lain. Buktinya semua pura-pura yang diciptakan oleh penubuh dari dinasti Salonding yang mendasarkan pembentukannya itu atas faham Mahayana tetap masih berdiri tegak, terus dipuja-puja oleh sekalian penduduk di Bali hingga sekarang. Kenyataannya bahwa semenjak itulah aliran Hinayana itu tiada diterima pertumbuhannya oleh masyarakat Bali, sebab aliran itu ternyata sudah tiada dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat. Pembahasan secara demikian atas ketarangan kitab-kitab perpustakaan itu, agaknya lebih mendekati kenyataan, apabila ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan. Jikalau memang demikian halnya, dapatlah sekarang dinyatakan, bahwa semasa baginda raja Sri Candrabhayasingha Warmnadewa bertahta, pernah terjadi pertikaian agama di Bali. Masa baginda bertahta itu sekurang-kurangnya 17 tahun, yaitu dari tahun 962 hingga tahun 975. Sesudah itu tersebutlah nama raja lain di dalam prasasti-prasasti itu sebagain pengganti beginda itu. 975 6. Sri Janasadhu Warmadewa & Sri Wijaya Mahadewi (p.45) Di desa Sembiran terdapat lagi sebuah prasasti bertahun 975. Di dalam prasasti itu tercantum nama seorang raja ‘Sri Janasadhu Warmadewa’. Memperhatikan nama baginda raja itu teranglah sudah, bahwa baginda itu asal keturunan dari dinasti Salonding. Dan kemungkinan juga, bahwa baginda itu ialah putra dari Sri Candrabhayasingha Warmadewa, yang tersebut pada pasal 5 di atas. Maksud dari penerbitan prasasti itu ilalah berhubungan dengan hal ihwalnya desa Julah, yaitu sama sifatnya dengan prasasti Sembiran yang duah dibicarakan terlebih dahulu pada pasal 3 dan 4 di atas. Tersebut juga di dalam prasasti itu antara lain: ‘sang ratu sang lumah di bwa rangga’, artinya ialah: baginda raja yang wafat di Bwa Rangga. Jadi maksud selengkapnya yang dibicarakan oleh prasasti itu ialah: baginda raja Sri Janasadhu Warmadewa yang pernah bertahta di Bali di sekitar tahun itu, telah mangkat di Bwa Rangga. Akan tetapi di mana letak penjenazahan baginda itu, tidak terdapat bekas-bekasnya sekarang. Karena ketidakadaan prasasti-prasasti lain lagi yang menyebutkan nama baginda raja itu, maka sukarlah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya perkembangan di Bali selama baginda itu bertahta. Sementara itu terdapatlah sebuah prasasti lagi di desa Gobleg bertahun 983. Di dalam prasasti itu disebut ‘di tatkalan sri maharaja sri wijaya mahadewi, masuruhang padukanda siwiyan dini di Bali’. Artinya ialah: ‘Ketka Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi mengikrarkan pengangkatan baginda menjadi ratu di Basli Sekarang timubullah pertanyaan, siapakah sebenarnya ratu atau raja putri itu? Mungkinkah kiranya, bahwa ratu itu ialah permaisuri dari baginda raja Sri Janasadhu Warmadewa tersebut di atas? Jikalau memang demikian halnya, dari manakah asalnya ratu itu? Dr. Goris menyatakan pendapatnya, kemungkinan ratu itu asal dari Jawa Timur. I menyadarkan pendapatnya itu pada sebuah prasasti bertahun 859, yang kini masih tersimpan di museum Frankfort am Main (Jerman). Di dalam prasasti itu tersebut: ‘Sri Mahadewi siniwi ing Kadiri’, artinya ilaha seorang raja bernama Sri Mahadewi yang bertahta di dalam tahun ini di Kediri (Jawa
36 CAKA MASEHI KET Timur)’. Oleh persuaian nama itulah maka ia berkayakinan, bahwa Sri Wijaya Mahadewi itu berasal dari kerajaan Kediri. Maksud dari prasasti Gobleg itu, ternyata sama dengan prasasti-prasasti yang terdapat di situ 2 buah, dan yang sudah dibicarakan terlebih dahulu pada pasal 2 dan 3 di atas. Tersebut sekali lagi di dalam prasasti itu ialah: ‘ida hyena di bukit tunggal di banna di air tabar’, artinya ‘pemujaan di Bukit Tunggal yang terletak di Air Tabar’. Oleh karena tidak ada lagi prasasti-prasasti lain yang menyebutkan nama ratu itu, maka sukarlah caranya sekarang menelaah, apa gerangan sebab-sebabnya maka nama baginda raja Sri Janasadhu Warmadewa tidak turut serta tercantm dalam prasasti itu. Mungkinkah hal itu menyatakan, bahwa permaisuri baginda lebih berkuasa di atas tahta kerajaan itu, sehingg nama suaminya tidak perlu dicantumkan di dalam prasasti-prasasti, atau suratan-suratan yang bersifat resmi. Jikalau memang demikan halnya, ternyatalah, bahwa ketika perkawinan agung itu dilangsungkan, sudah terdapat kata sepakat dan diadakan perjanjian terlebih dahulu bahwa ratu itulah yang harus diakui oelh rakyat di Bali sebagai raja-putri yang duduk di atas mahkota. Pembahasan itu agaknya mendekati kenyataan, jikalau ditinjau dari segi-segi keterangan prasasti itu, bahwa ratu itu pernah mengikrarkan pengangkatannya menjadi ratu di Bali. Akan tetapi ada kemungkinan juga, bahwa pengumuman itu terjadi sesudah sumaninya mangkat di Bwa Rangga. Pda masa itu bertahta di Jawa Timur seorang raja bernama Sri Makutawangsawardhana, yaitu dari Mpu Sindok yang tersebut pada pasal 3 di atas. Kemungkinan juga kerajaan di Bali itu dapat dipengaruhi oleh kekuasaan di Jawa Timur pada masa itu, oleh ikatan tali perkawinan. Akan tetapi jikalau titilik dari bunyinya prasasti-prasasti itu, akagnya pengaruh itu tidak begitu erat ikatannya, sebab prasasti-prasasti itu ternyata masih mempergunakan bahasa Bali Kuna. Sayang prasasti-prasasti itu tidak menyebutkan di mana letak istana baginda raja dan ratu itu. Kesimpulannya dapatlah dinyatakan, bahwa hubungan kekuasaan di Jawa Timur dengan kekuasaan di Bali amat rapat pada masa itu. Pun dapat juga dikira-kirakan, bahawa baginda raja dan ratu itu bertahta di Bali tahun 975 hingga tahun 988. Sesudah itu tersebutlah nama raja suami istri di dalam prasasti-prasasti lain, yang amat masyur di Bali. 993 7. Gunapriyadharmapatni / Dharmadayana Warmadewa (p.46) Pada pasal 2 di atas duah diterangkan, bahwa di desa Bebetin terdapat sebuah prasasti tanpa menyebutkan nama raja. Hanya tersebut di dalam prasasti itu bilangan tahun Saka saja, waktu mana prasasti itu diterbitkan. Akan tetapi sebuah prasasti lain yang terdapat juga di desa itu jelas menyebutkan nama ratu suami-istri, dan bilangan tahun Saka tertentu. Prasasti itu ternyata mempergunakan bahasa Bali Kuna, dan sebagai permulaan kata, tersebutlah: ‘Punah di Çaka 911 wulan posa krsna trayodaçi rggas pasar bwijajakranta, tatkalan sang ratu luhur çri gunapriyadharmapatni, sang ratu maruhani çri dharmodayana warmadewa, munangrahan tu asnak banua di banwa bharu’, dan sebagainya’ Artinya ialah: Pada tahun Saka 911 (989 M.) bulan Desember/Januari tanggal 13 waktu bulan mati hari pasaran Wijayakranta, ketika itulah ratu yang mulia Sri Gunapriyadharmapatni yang bersuamikan Sri Dharmoyayana Warmadewa beranugrah kepada anak negeri di desa Bharu’, dan sebagainya. Lain daripada prasasti itu, terdapat lagi beberapa buah prasasti lain yang menyebutkan nama ratu
37 CAKA MASEHI KET suami-istri itu, ialah: a. di desa Serai bertahun 993; b. di desa Buwahan bertahun 994; c. di desa Sading bertahun 1001; d. di desa Batur bertahun 1011, dan e. sebuah piagam di Gunung Panulisan bertahun 1011. Kecuali prasasti-prasasti dan piagam tersebut, terdapat juga di Calcutta (India Timur) sebuah batu bertulis (1006-1007) yang disebut ‘Calcutta stone’ menerangkan, bahwa seorang putri dari Jawa bernama Mahendratta, kawin dengan seorang pengeran dari Bali bernama Udayana. Mehendratta itu ialah Gunapriyadharmapatni, dan Udayana itu aialah Dharmodayana Warmadewa. NB. Batu bertulis peninggalan purbakala itu (Calcutta stone) diangkut dari Indonesia ke India pada waktu pemerintah Inggris berkuasa di pulau Jawa di bawah pemerintahan Raffles pada tahun 1811-1816. Memperhatikan bunyinya prasasti-prasasti dan piagam tersebut, ternyatalah pada tahun-tahun itu bertahta di Bali seorang ratu berasal dari Jawa bersama-sama dengan suaminya, yaitu seorang pangeran dari Bali berasal keturunan dari sinasti Salonding. Pun pernyataan petilasan-petilasan itu dapatlah dianggap, bahwa kedudukan ratu itu lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan suaminya, sebab semua prasasti-prasasti itu mencantumkan nama ratu itu lebih dahulu. Menurut kitab sejarah Indonesia, ternyata ratu itu dengan nama lengkapnya Mahendratta Gunapriyadarmapatni, ialah salah seorang putri dari baginda raja Sri Makutawangsawardhana yang bertahta di Jawa Timur (lihat pasal 6 di atas), atau ipar dari baginda raja Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramattunggadewa yang bertahta di situ pada tahun 990-1007. Prof.Dr. N.J.Krom berpendapat, bahwa Sri Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramattunggadewa itu kemungkinan berasal dari Bali, dan karena perkawinannya dengan putri mahkota di situ (suadara perempuan dari Mahendratta Gunapriyadarmapatni) lalu diangkat menjadi raja dengan kekuasan penuh menggantikan mertuanya yang tiada mempuyai putra mahkota. NB. Baginda raja Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramattunggadewa itulah yang menerbitkan kitab ‘Çiwa çasana’ yang menjadi pokok pegangan bagi para pendita Siwa di Bali, dan kitab hokum ‘Purwadhigama’. Kitab-kitab itu diterbitkan oleh baginda pada tahun 991. Perkawinan agung antara putri Jawa dengan pangeran di Bali itu, ternyata besar pengaruhnya di Bali. Semenjak itu kebanyakan prasasti-prasati itu mempergunakan bahasa Jawa Kuna, tiada lagi mempergunakan bahasa Bali Kuna. Pangeran Dharmodayana Warmadewa yang disebut juga dengan singkat Udayana, ternyata mangkat +/- 10 tahun kemudian daipada kemangkatan permaisurinya itu. Peristiwa itu terjadi [ada tahun 1011, atau tidak antara lama sesudah itu, yaitu di ‘Banyu-Wka’ katanya. Akan tetapi di mana letak ‘Banyu-Wka’ itu, para ahli ternyata belum berani menentukannya. Tentunya penjenazahan baginda itu tiada jauh letaknya dari desa Buruan atau dari Bukit Dharma, yaitu di tepi sungai dekat di situ. ‘Banyu’ = air atau sungai, dan ;Wka’ = anak atau kecil. Dari perkataan-perkataan itu dapatlah diartikan, bahwa baginda itu dijenazahkan atau dicandikan pada tebing sebuah sungai di mana terdapat sumber mata air. Di sebelah utara desa Tegallinggah, yaitu di tebing sungai Pakerisan, (p.48) terdapat sekarang 2 buah candi kembar, dan dekat di situ terdapat beberapa buah pencuran yang airnya dianggap suci. Kemungkinan candi-candi itulah yang menjadi penjenazahan dari baginda ratu suami-istri itu, sebab letaknya tiada begitu jauh dari desa Buruan atau dari Bukit Dharma. Akan tetapi karena pada candi-candi itu tiada terdapat tulisan-tulisan yang menyerangkan hal itu, maka persangkaanitu tiada
38 CAKA MASEHI KET dapat dipertanggungjawabkan. Note: Lantaran terjadi tanah longsor pada tebing sungai itu, barulah candi-candi itu diketemukan oleh jabatan purbakala. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1953. Di atas Bukit Dharma terdapat lagi sebuah patung Buddha-Amoghapasa. Patung itu terletak di sebelah patung Durgamahisa-asura-mardhini itu, memperlambangkan pangeran Udayana semasa hidupnya memeluk agama Buddha dari aliran Mahayana. Hal itu manyatakan, bahwa ratu suamiistri itu berlainan agama, akan tetapi dapat hidup rukun dan damai, lantaran yang satu dengan yang lain dapat memahami fahamnya masing-masing. 989 a. Prasasti Bebetin Selain daripada menyebutkan nama baginda ratu sumai-istri itu, ternyata prasasti Bebetin yang bertahun 989 itu menerangkan juga antara lain tentang hal ihwal orang-orang desa: “Kuta di banwa Bharu’, jadi sama halnya denga prasasti Bebetin yang sudah dibicarakan terlebih dahulu pada pasal 2 huruf b, yaitu semasa Sri Kesari Warmadewa bertahta. Oleh karena itu acaranya, tiada usah diuraikan lagi, cukuplah diterangkan, bahwa prasasti itu masih mempergunakan bahasa Bali Kuna. 993 b. Prasasti Serai (a) Di desa Serai terdapat lagi sebuah prasasti bertahun 993 yang menyebutkan nama baginda ratu suami-istri itu. Prasasti itu ternyata selaku tambahan dari prasasti Serai yang sudah diceritakan terlebih dahulu pada pasal 3 angka 7, yaitu semasa Sri Ugrasena bertahta. Tambahan dari prasasti itu menerangkan: ‘anak mabwattaji di Buru’, jadi sama halnya dengan prasasti yang telah dipersoalkan itu. Dijelaskan di dalam prasasti itu nama tempat-tempat yang termasuk linkungan ‘anak mabwatthaji di Buru’ ialah: ‘Bayung, Bunar, Linyongan dan Srimukha. Ternyata prasasti itulah yang menerangkan terjadinya perubahan bentuk dan susunan badan panasehat pusat sebagai diterangkan di atas. Tersebut juga di dalam prasasti itu nama senapati Kuturan yang akan menghiasi lembaran sejarah pulau Bali. Lain daripada itu tersebut juga di dalam prasasti itu nama wihara-wihara (tempat-tempat pertapaan) yang terdapat pada masa itu, ialah: 1. Punyanta kasaiwan dangacarya Phali, 2. Air Garuda kasaiwan denararnya Dewangga, 3. Binor kasaiwan dangacarnya Widhyka, 4. Canggini kasogatan dangupadhyaya Sudhar, 5. Bajrasikara kasogatan dangupadhyaya Muni, dan 6. Nalanda kasogatan dangupadyaya Dhanawan. Memperhatikan nama-nama dari wihara-wihara itu dapatlah dinyatakan, bahwa dari angka 1 sampai dengan angak 3 ialah untuk yogiswara atau pertapa agama Siwa, dan dari angka 4 sampai dengan dngak 6 ialah untuk para muni atau bhiksu agama Buddha. ‘Kasaiwan’ artinya asrama untuk orang-orang Siwa, sedang ‘Kasogatan’ artinya asrama untuk orang-orang Buddha. ‘Dangacarya’ = guru agama Siwa, dan ‘dangupadyaya’ = guru agama Buddha. (p.49) Akan tetapi di mana letak wihara-wihara itu sekarang, kecuali Canggini, tidak terdapat bekasbekasnya lagi. Canggini sekarang disebut Cangi, terletak di sebelah timur desa Sakah. Di situ terdapat sekarang sebuah pura, gopuranya membuktikan bekas peninggalan zaman purba. Sedang Nalanda ialah nama sebuah perguruan tinggi agama Buddha yang terletak di Benggala
39 CAKA MASEHI KET (India Timur). Perguruan tinggi itu masyur namanya di seluruh dunia, acap kali dikunjungi oleh para bhiksu dari pelbagai tempat, guna memperdalam ajaran agama Buddha yang sedang memuncak kemajuannya pada masa itu. NB. Di antara para pengunjung ke perguruan tinggi itu terdapat nama Yi Tsing, seorang bhiksu Buddha bangsa Tionghwa berziarah ke sana kira-kira pada tahun 671- 681, dan seorang kawannya lagi bernama Hiuan Tsang berziarah ke sana kira-kira pada tahun 630-650. Pada perguruan tinggi itu terdapat juga sebuah wihara yang didirikan oleh beginda raja Sailendra dari kerajaan Sriwijaya pada tahun 582-861, khusus untuk pada bhiksu dari Indonesia. Ketika baginda raja Sailendra mendirikan candi di Klurak dekat Prambanan (Jawa Tengah), sengaja dipanggil Kumara Ghosa dari Nalanda pada tahun 782 (baca kitab ‘The Bronzes of Nalanda and Hindu Javanese Art’, karangan Dr. A.J. Bernet kempers. Pernyataan prasasti itu membayangkan, bahwa agama Siwa dan agama Buddha sedang berkembang pada masa itu di Bali. Prasasti itu ternyata masih mempergunakan bahasa Bali Kuna. 994 c. Prasasti Buwahan (b) Buwahan ialah nama sebuah desa terletak di tepi danau Batur. Di situ terdapat sebuah prasasti bertahun 994, menyebutkan nama baginda ratu suami-istri itu. Tersebutlah antara lain di dalam prasasti itu tentang persoalan orang-orang dari desa Kedisan berhadapan dengan orang-orang desa dari desa Buwahan itu. Katanya desa Buwahan itu sudah padat penduduknya, mereka kekurangan tanah untuk berladang, beternak dan tiada mempunyai hutan lagi tempat mencari kayu api. Maka atas permohonan orang-orang desa itu lalu diambil keputusan, bahwa kedua desa itu (Kedisan dan Buwahan) mulai dipisahkan dari penggabungannya, sama-sama berdiri sendiri. Pemisahan untuk berdiri sendiri itu disebut ‘swatantra I kawakanya’, artinya boleh mengurus kepentingannya sendiri-sendiri, yaitu sama-sama berotonomi. Oleh kerana penduduk desa Buwahan itu memang benar kekurangan tanah, maka baginda suamiistri itu lalu menizinkan mereka membeli sebidang tanah hutan panjangnya 900 depa dan lebarnya 100 depa. Tanah hutan itu disebut ‘alas burwan haji’, artinya tempat perburuan milik kerajaan. Prasasti itu ternyata mempergunakan 2 jenis bahasa, yaitu bahasa Bali Kuna dicampur dengan bahasa Jawa Kuna. 1001 d. Prasasti Sading (c) Di desa Sading terdapat lagi sebuah prasasti bertahun 1001, juga menyebutkan nama baginda ratu suami-istri itu. Kecuali tersebut juga di dalam prasasti itu antara lain, ialah keadaan di desa Bantiran, jadi sama halnya 8 bab I. Oleh karena keadaan prasasti itu tidak lengkap, maka sukarlah diterangkan maksudnya agak jelas. Tersebut di dalam prasasti itu pada kepingan tembaga yang masih dapat dibaca, ialah tentang kewajiban penjaga sebuah ‘satra’ yang terdapat di desa Bantiran itu. Mereka diharuskan menyediakan tikar, makanan dan minuman sekedarnya bagi orang-orang yang datang menginap di situ, lantaran kemalaman di tengah jalan. Prasasti itu ternyata mempergunakan bahsas Bali Kuna lagi. 1011 e. Prasasti Batur (d) Di desa Batur pada sebuah pura bernama Pura Abang terdapat sebuah prasasti bertahun 1011. Di dalam prasasti itu hanya tercantum nama baginda Dharmodayana Warmadewa saja, tanpa turut serta baginda ratu Gunapriyadharmapatni. Hal itu menyatakan, bahwa beginda ratu sudah mangkat pada waktu itu. Akan tetapi prasasti itu ternyata mempergunakan bahasa Jawa Kuna, tersebut
40 CAKA MASEHI KET antara lain: ‘karaman i wingkang ranu air hawang’. Artinya ialah adat desa di Air Rawang, yang sekarang disebut desa Abang. Desa itu mula-mula bergabung menjadi satu dengan desa Trunyan. Oleh karena sering terjadi pertikaianantara penduduk dari kedua desa itu, maka semenjak itulah urusan desa Abang antara desa Trunyan dipisahkan, masing-masing boleh mendiri sendiri. Penduduk desa Air Rawang ditugaskan oleh baginda raja memelihara beberapa ekor kuda untuk berburu, oleh karena itu mereka diberi kebebasan membayar beberapa jenis pajak. Akan tetapi hukuman denda ditentukan dan dikenakan, apabila mereka alpa dengan kewajibannya itu. Turut menjadi saksi mengesahkan keputusan itu ialah guru-guru agama yang (p.50) disebut ‘dangacarya’: Bayantika, Nisita, Bhacandra dan senapati Kuturan. Lain daripada mereka itu tercantum juga nama-nama orang senapati, yaitu Pinatih dan Maniringin. Pinatih sekarang menjadi nama sebuah desa terletak di Swapraja Badung, tetapi Maniringin tiada terkenal lagi di mana letaknya. Lanjut diuraikan oleh prasasti itu nama-nama tempat dan guru-guru agama yang turut menjadi saksi untuk mengesahkan keputusan itu, ialah: ‘mpukwing kasogatan’ (pendita-pendita Buddha) di Nalanda, dangcarya di Kusala, dangacarya Manggopaya, ‘samdat’ (nama jabatan) Sulpika, dangarcaya Blongkeng (sekarang bernama Blingkang), dan ‘mpukwing kasaiwan’ (pendita-pendita Siwa) di Kanya, Wijut, Udayakala, Samidha, Jala Tirtha, Gatreswara, Tiksna, Catura (sekarang Catur), dan Kesanten. Akan tetapi di mana letak ‘gria-gria’, atau rumah-rumah pendita itu, kecuali yang sudah diberi keterangan sekedarnya, tidak terdapat bekas-bekasnya sekarang. 933 f. Piagam Gunung Panulisan (a) Tanah tinggi yang terletak di desa Sukawana bernama Gunung Panulisan. Di situ terdapat sebuah puna/paga (?) besar bernama Tegeh Koripan, dan pada pura itu terdapat sebuah patung berdiri laki perempuan merupakan kembar. Di belakang patung kembari itu terdapat tulisan-tulisan yang sudah rapuh keadaannya, hanya tulisan angkanya masih terang dapat dibaca, menyebut bilangan tahun Saka 933 (1011 Masehi). Oleh karena perhitungan tahun itu semasa baginda Udayana masih bertahta, maka kebanyakan para sarjana ahli sejarah lalu berpendapat, bahwa patung kembar itu ialah untuk baginda ratu suami-istri itu. Sekianlah banyaknya petilasan-petilasan yang menyebutkan nama baginda ratu suami-istri itu, yang akhirnya dapat disimpulkan demikian: 1. Semenjak baginda ratu sajoli itu bertahta, maka terjadilah perubahan besar di Bali, baik di lapangan kebudayaan, maupun mengenai politik pemerintahan. Peradaban Jawa Timur mulai besar pengaruhnya di Bali semenjak itu. Meskipun politik perkawinan serupa itu dusah pernah terjadi semasa Sri Tabanendra Warmadewa / Sri Subhadrika Dharmadewi bertahta (lihat pasal 4 di atas), namun pengaruhnya tidaklah sebesar sekarang ini. 2. Kemasyuran nama baginda ratu sejoli itu, ternyata mulai bersemarak semenjak putranya yang bernama Airlanggha itu menjadi seorang raja yang berkuasa di Jawa Timur. Besar kemungkinan, bahwa semasa baginda raja Airlanggha menyinkirkan ke hutan Wanagiri (1007-1010), bantuan dikirim oleh ayahnya baginda Udayana dari Bali ke sana, sehingga baginda raja Airlanggha akhirnya berkesanggupan mengusir musunyna itu, serta menduduki singgasana kerajaan mertuannya itu.
41 CAKA MASEHI KET 3. Memperhatikan hal-hal itu sekalian, dapatlah dinyatakan, bahwa hubungan Jawa Timur dengan Bali amat rapatnya pada masa itu, politik perkawinan yang terjadi berulang-ulang mempererat ikatan itu semata-mata. Hal itu akan dapat kena(?) dinyatakan kemudian. Kejadian kerajaan baginda ratu sejoli itu bukan saja terletak pada penopakan kekuasaan di Jawa Timur itu, melainkan kebijaksanaan senapati Kuturan tiada patut diabaikan. Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa nama senapati itu turut tercantum di dalam prasasti-prasasti Serai dan Batur tersebut di atas. Nama senapati itu sampai sekarang tinggal harum di Bali, dan sebagai ahli filsafat dan guru agama ia disebut juga Mpu Kuturan. Di samping kewajibannya turut mengemudikan Negara, ternyata Mpu Kuturan itu rajin benar mendidik rakyat di Bali dalam ilmu ketuhanan. Karena dorongan dan usahanya, banyak tempattempat oemujaan dibangun dan disempurnakan olehnya pada masa itu, terutama ‘Kahyangan Tiga’ yang menjadi dasar kekuatan masyarakat di Bali. ‘Kahyangan Tiga’ itu ialah 3 jenis pura yang mnasing-masing disebut Pura Puseh untuk memuja Brahma, Pura Desa atau Balai Agung untuk memuja Wisnu, dan Pura Dalem untuk memuja Durga, yaitu sakti dari Siwa. Persatuan dari ketiga jenis pura itu yang disebut ‘Kahyangan Tiga’ semenjak itu didirikan datuk pemujaan bagi tiap-tiap desa. Penyelenggaraan dan upacara prayaan bagi tiap-tiap pura itu dipertanggung-jawabkan kepada orang-orang desa, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh Mpu Kuturan. Oleh karena itu terbentuklah persekutuan orang-orang desa yang disebut ‘pakraman’, artinya adat desa yang bersendikan agama. Tiap-tiap kepala rumah tangga diwajibkan menjadi anggota dari persekutuan itu, atas dasar tanah-tanah yang terdapat di desa itu, baik merupakan sawah dan ladang, maupun tanah-tanah pekarangan tempat tinggal. Hali itu menyatakan, bahwa sekalian tanah-tanah itu asal mulanya bekas milik bersama (comminaal), dan bukan milik perseorangan (individu). Peraturan itu menentukan, bahwa barang siapa yang pindah dari desa itu, hak miliknya di sana dinyatakan hilang, akan tetapi di tempatnya yang baru mereka diwajibkan turut menjadi anggota desa dengan hak dan kewajiban serupa. Terlaksananya ketertiban baru yang sudah menjadi adat desa bersendikan (p.51) agama itu, ternyata dapat memperkuat ikatan orang-orang desa di lingkungannya masing-masing. Rasa senasib sepenanggungan mulai bangkit karenanya, segala pekerjaan dilaksanakan bersama-sama secara gotong royong, demi kesentosaan dan bahagiaan bersama. Kerukunan orang-orang desa itu dapat menciptakan perdamaian yang abadi, sehingga kerajaan baginda ratu suami-istri itu bertambah kuat, lantaran sekalian tenaga dapat dipersatukan dalam ikatan adat-istiadat dan keagamaan. Petugas yang berkewajiban melaksanakan persekutuan orang-orang desa itu terdiri dari 9 orang banyaknya pada tiap-tiap desa. Pada tiap-tiap pura itu terdapat seorang ‘pemangku’, sehingga jumlah mereka menjdai 3 orang untuk menyelenggarakan kepentingan ‘Kahyangan Tiga’ itu. Sebagai penegak adat-istiadat yang bersandarkan keagamaan itu terdapat 2 orang pejabat yang disebut Kubayan, dengan dibantu oleh 2 orang pejabat lagi yang disebut Bahu selaku penasehat, dan 2 orang Singgukan selaku penglaksana. Kesembilan orang itu merupakan sebuah badan pengurus desa, mereka mengadakan sidang sewaktu-waktu di Balai Agung yang terdapat di Pura Desa. Mpu Kuturan ternyata banyak menerbitkan kitab-kitab suci, sebuah di antaranya bernama ‘Purana Tattwa’, sejarah pura Mpu. Lain dari itu terdapat juga kitab-kitab karangannya bernama ‘Dewa tattwa’ dan ‘ Widhisastra’. Kitab ‘Dewa Tatttwa’ itu ialah sejarah Dewa-dewa, dan Kitab ‘Widhisastra’ itu ialah penentuan bagaimana caranya memuja Dewa-dewa itu. Kitab suci asal
42 CAKA MASEHI KET penerbitan Sang Kuputih yang bernama Kusuma Dewa (baca pasal 13 bab I) ternyata diubah dan disempurnakan olehnya, dengan tambahan syarat-syarat bagaimana caranya orang-orang mendirikan tempat-tempat pemujaan dan membuat arca-arca unrtuk kepentingan keagamaan itu. Lain daripada itu banyak lagi kitab-kitab karangannya yang merupakan filsafat dan ajaran-ajaran agama, untuk menjadi pegangan penduduk di Bali dalam hal mereka melakukan ibadat. Keharuman nama Mpu Kuturan itu bertambah-tambah, semenjak usahanya berhasil membangkitkan keinsyafan masyarakat di Bali, supaya sekalian penduduk mendirikan sebuah ‘sanggah’ pada tiap-tiap pekarangan rumah tangganya. ‘Sanggah’ itu merupakan tempat penujaan bagi tiap-tiap keluarga untuk memuliakan arwah leluhurnya yang dianggap sudah bersatu dengan Dewa-dewa itu. Akan tetapi perkataan ‘sanggah’ itu sebenarnya berasal katanya ‘sanggha’ atau ‘Sanggham’ dalam bahasa Sansekerta, yang berarti ikatan (?) dari orang-orang suci beragama Buddha. Dengan secara demikian dimaksudkan oleh Mpu Kuturan supaya tiap-tiap orang yang mendirikan ‘sanggah’ itu mengakui, bahwa ja(d)inya telah memeluk kesucian agama Buddha ituPendirian ‘Sanggah’ itu berdasarkan atas tiga azas yang disebut ‘Tri Sarana’, yakini (…): 1. Buddham saranam gatsyami, artinya di bawah bekesaran Buddha aku berlindung 2. Dharmmam saranam gatsami, artinya di bawah hokum ‘dharma’ aku berlindung, dan: 3. Sanggham saranam gatsyami, artinya di bawah ‘sanggah’ aku berlindung. Memperhatikan ucapan-ucapan itu manakala tiap-tiap penduduk di Bali melakukan pemujaan pada ‘sanggah’ itu, adalah suatu pengakuan, bahwa mereka sudah memuliakan Buddha, yang mengutamakan hokum ‘Dharma’. Azas dan tujuan hukum ‘dharma’ itu sudah diterangkan terlebih dahulu pada pasal 1 di atas. Kecakapan dan kebijaksanaan Mpu Kuturan sebagai ahli Negara dan selaku pempimpin agama, amat dikagumi oleh Dr. R.Goris. Ia membandingkan kedudukan senapati Kuturan itu dengan kedudukan Cardinal du Plessie duc de Richelieu dalam dunia Kristen di Eropa dalam abad ke-XVII, yang hamper sama kekuasaannya. NB. Richelieu itu mula-mula menjadi Uskup di Luçon pada tahun 1608, kemudian diangkat menjadi Cardinal pada tahun 1622, dan sejak tahun 1624 menjadi Perdana Mentri dari raja Louis XIII. Beliau itulah yang mendirikan perguruan tinggi Academie Française di negeri Prancis pada tahun 1635, kemudian meninggal pada tahun 1642. Kegiatan Mpu Kuturan pada lapangan keagamaan itu tidaklah mengherankan, sebab ia sendiri menganut agama Buddha dari aliran Mahayana. Karena rajanya yaitu Udayana ternyata seagama, maka kegiantannya itu berhasil dengan sebaik-baiknya. Mpu Kuturan kemudian melakukan pertapaan di desa Padang (Bali Timur) pada sebuah bukit di tepi pantai. Tempat pertapaannya itu sekarang sudah menjadi sebuah pura, dan disebut ‘Silayukti’. Dari sebutan pura itu dapatlah dikira-kirakan, betapa penghargaan masyarakat di Bali terhadap jasa guru besar itu. ‘Sila’ artinya peradaban, dan ‘yukti’ = kebaikan atau kesempurnaan. Kesimpulannya ialah peradaban yang sempurna menuju arah kebaikan. (p.52) Mpu Kuturan mempunyai seorang adik laki-laki bernama Mpu Bhrada, yang loazim juga disebut Mpu Pradah. Selagi masih mudah Mpu Bharada sudah pergi ke Jawa mengikuti perjalanan beginda raja Airlanggha. Note: Sarjana C.C. Berg mengatakan, bahwa kepergian Mpu Bharada dari Bali ke Jawa itu, semata-mata karena kesal hatinya dengan perbuatan Mpu Kuturan. Ketika Mpu Kuturan mendirikan ‘panewasikan’ atau ‘pangaskaran’ yang bernama ‘Silayukti’ itu, ia tiada diajak berunding oleh saudaranya itu. Kedatangan Mpu Panandha dari Jawa ke Bali yang sengaja diundang oleh Mpu Kuturan untuk membicarakan tentang pendirian tempat suci itu, menimbulkan salah terimanya,
43 CAKA MASEHI KET serta mendorong ingatannya meninggalkan pulau Bali, hendak mengadu nasibnya di pulau Jawa. Konon katanya setelah tiba di Jawa, Mpu Baradha lalu melakukan pertapaan di lereng Gunung Penanggungan pada suatu tempat bernama Lemah Tulis yang disebut juga Lemah Citra. Berkat keteguhan imamnya beryoga dan bersemadhi di situ, ia memperloleh kesaktikan luar biasa, sehingga masyur namannya semasa baginda raja Airlanggha bertahta di Jawa Timur. Ia ternyata menganut agama Buddha Mahayana disertai dengan kemahirannya dalam keilmuan ‘Tantrayana’ dari faham Bhairawa yang dapat menambah kesaktiannya itu. Ketika menerima penahbisasannya ia membulatkan ciptanya di tengah-tenga ‘ksetra’ (kuburan) di Wurare. 1016 8. Dharmawangsa Wardhana Marakata Pangkaja Stanotunggdewa (p.55) Di desa Sembiran terdapat sebuah prasasti bertahun 1016. Prasasti itu mempergunakan bahasa Bali Kuna, serta menyebutkan nama seorang ratu: ‘Sri Ajnadewi’. Tersebut juga di dalam prasasti itu antara lain, tentang adat-istiadat orang-orang desa Julah yang menjadi pokok persoalan. Jadi prasasti itu sama maksudnya dengan prasasti Sembiran yang tersebut pada pasal 3, 4 dan 6 di atas. Nama Senapati Kuturan turut tercantum di dalam prasasti itu, sebagai saksi turut mengesahkan keputusan yang diambil mengenai perkara orang-orang desa itu. Selain daripada prasasti itu, tidak terdapat lagi prasasti lain yang menyebutkan nama baginda ratu itu. Sekarang timbul pernyataan, siapakah sebenarnya baginda ratu itu? Di dalam kegelapan para ahli meraba-raba, kemungkinan baginda ratu itu adalah seorang putri dari Gunapriyadharmapatni / Dharmodayana Warmadewa yang telah mangkat di muka tahun itu. Jikalau memang demikian halnya, ternyata baginda ratu itu keturunan dari dinasti Salonding. Sementara itu terdapatlah sebuah prasasti di desa Batuan bertahun 1022. Prasasti itu mempergunakan bahasa Jawa Kuna, serta menyebutkan nama seorang raja: ‘Dharmawangsa Wardhana Marakata Pangkaja Stanotunggdewa’. Memperhatikan gelar dipergunakan oleh baginda raja itu, maka orang tiada meragu-ragukan lagi, bahwa baginda itu berasal dari Jawa Timur, yaitu salah seorang putra dari baginda raja di sana yang bergelar Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramattunggadewa yang telah gugur ketika kerajaan baginda itu diserang oleh musuh (1007). Kemungkinan pada waktu kerajaan itu sedang diserbu oleh musuh itu, baginda itu berada atau dapat menyingkir ke Bali, kemudian kawin dengan baginda ratu tersebut di atas. Karena perkawinan itu maka naginda raja itulah mengangkat diri menjadi raja di Bali, setelah mertuanya yaitu Gunapriyadharmpatni / Dharmodayana Warmadewa mengkat. Jadi jikalau memang demikian halnya, ternyata baginda raja Airlanggha yang memegang kekuasaan di Jawa Timur itu beripar dengan baginda raja itu. Seperti telah dibayangkan pada pasal 7 di atas, bahwa pada suatu ketika Mpu Bharada pernah diutus oleh beginda raja Airlanggha pergi ke Bali, guna mengadakan perundingan dengan Mpu Kuturan, berkenaan dengan masalah pergantian raja di Bali. Kepergian Mpu Bharada ke Bali itu niscaya tiada antara lama sesudah ayahnya baginda mangkat. Rupa-rupanya baginda raja Airlanggha khawatir akan terjadi pwerebutan kekuasaan di Bali, terutama akan terjadi kegoncangan di Jawa Timur, apabila iparnya itu berhasrat pulang kembali untuk merebut kekuasannya. Perjalanan Mpu Bharada itu ternyata berhasil dengan memuaskan. Ia berhasil mendesak dan menginsyafkan sekalin senapati di Bali, terutama saudaranya yang menjadi penasehat agung, supaya baginda Dharmawangsa Wardhana Marakata Pangkaja Stanotunggdewa ditetapkan menjadi raja di Bali. Anjurannya itu dapat diterima oleh para senapati dan Mpu Kuturan, mengingat
44 CAKA MASEHI KET ayahnya baginda itu berasal dari Bali, syah dan menurut keterangan Prof. Dr. N.J. Krom. Permufakatan yang merupakan perdamaian itu memuaskan kedua belah pihak, sehingga kekhawatiran baginda raja Airlanggha itu tidak ada lagi oleh karenanya. Semenjak itu baginda raja Airlanggha aman sentosa memegang kekeuasaan di Jawa Timur, sebaliknya baginda Dharmawangsa Wardhana Marakata Pangkaja Stanotunggdewa puas tinggal di Bali diakui sebagai raja oleh segenap lapisan masyarakat di sana. Kemungkinan pada waktu itulah Mpu Bharada membawa sebagian abu jenazah dari baginda Udayana yang telah mangkat itu dari Bali ke Jawa untuk baginda raja Airlanggha, yang kemudian ditaruh pada tempat permadian di Jalatunda yang terletak di lereng Gunung Pananggungan. Pemindahan abu itu dimaksudkan oleh baginda raja Airlanggha untuk menghindarkan segala bencana yang mungkin mengancam kekuasannya di Jawa Timur. Lain daripada prasasti Batuan itu, terdapat lagi beberapa buah prasasti lagi yang menyebutkan nama baginda raja Dharmawangsa Wardhana Marakata Pangkaja Stanotunggdewa, yakni: 1) di desa Sawan bertahun 1023; 2) di desa Kesihan bertahun 1023 juga, dan 3) di desa Buwahan bertahun 1025. 1022 a. Prasasti Batuan Batuan ialah nama sebuah desa yang mula-mula disebut Baturan di dalam prasasti itu. Prasasti itu bertahun 1022, kecuali menyebutkan nama baginda raja itu, tercantum juga di dalam prasasti itu nama-nama dari Bhiksu Widya, bhiksu Sukaji, mpungku di Udalaya, dangacarnya Tiksana dan senapati Kuturan (p.56) Setelah itu diterangkan oleh prasasti itu adanya perkebunan milik kerajaan yang harus dijaga oleh orang-orang desa di situ. Keterangan itu beristilah: ‘makmitan kebwan paduka haji sang siddha dewata lumah ring nger wka, ing nger paku’, artinya ialah penjagaan perkebunan bekas kepunyaan baginda raja yang telah mangkat di Banyu Wka dekat sungai Paku. Yang dimaksudkan baginda raja yang telah mangkat itu ialah Udayana, sebagai diterangkan pada pasal 7 di atas. Lain daripada itu tersebut juga di dalam prasasti itu: ‘I haji sang lumah ring nger madatu’, artinya ialah baginda raja yang telah mangkat di Air Madatu. Yang dimaksudkan itu ialah baginda raja Sri Ugrasena (lihat pasal 3 di atas), akan tetapi di mana letak Air Madatu itu tidak terdapat keterangannya sekarang. Diterangkan juga di dalam prasasti itu tentang perpisahan urusan desa Sukawati dengan desa Batuan itu, yang dahulu merupakan kesatuan. Semenjak itu kedua desa itu masing-masing berdiri sendiri. Dijelaskan 0leh prasasti itu tentang adat-istiadat di desa Batuan itu, terutama peraturan melakukan ibadat bagaimana caranya memuja Bhatara Punta Hyang. Prasasti itu ternyata mempergunakan bahasa Jawa Kuna, begitu juga adanya prasasti-prasasti lain yang terdapat kemudian. 945 1023 b. Prasasti Sawan (a) Note: Prasasti itu mula-mula tersimpan di desa Bila, kemudian dipindahkan dan dimiliki oleh prangorang desa Sawan. Di desa Sawan terdapat sebuah prasasti bertahun 1023, kecuali menyebutkan nama baginda raja itu, diterangkan juga di dalam prasasti itu tentang kesukaran yang dialami oleh desa Bila. Desa itu mula-mula berpenduduk sebanyak 50 rumah tanggah, ternyata pada waktu itu hanya tinggal 10 rumah tangga saja. Karena beratnya beban yang dipikulkan oleh senapati Tunggalan di atas bahu rakyat di sana, maka mereka lalu meninggalkan desanya. Peristiwa yang menyedihkan itu tidak dapat diterima oleh baginda raja, sehingga baginda raja mengambil keputusan untuk meringankan
45 CAKA MASEHI KET penderitaan rakyat di situ. Mereka dibebaskan dari pembayaran pelbabai jenis pajak, serta kekuasaan senapati itu mulai dipersempit. 945 c. Prasasti Kesihan (b) Di Desa Kesihan terdapat sebuah arca peninggalam zaman kuna, serta di belakangnya arca itu terdapat tulisan-tulisan yang sudah rapuh keadaannya. Hanyalah tulisan angka yang tergores di situ masih utuh dan terang dapat dibaca, menyebutkan bilangan tahun Saka 945 (1023 Masehi). Ternyata arca itu dibuat semasa baginda raja itu bertahta, sebab sesudah itu terdapat lagi sebuah prasasti lain yang mnenyebutkan nama baginda itu. Oleh karena tulisan-tulisan itu tidak terang,m maka tidaklah dapat dinyatakan selanjutnya, apa gerangan maksudnya maka arca itu dibuat. NB. Arca itu diketemukan oleh Dr. W.F. Stutterheim di desa itu pada tahun 1928. 1025 d. Prasasti Buwahan (c) Di desa Buwahan yang terletak di tepi danau Batur, terdapat sebuah prasasti bertahun 1025. Kecuali menyebutkan nama baginda raja itu, ternyata prasasti itu mengutarakan juga antara lain tentang hal-ikhwal orang-orang desa Buwahan dapat membeli sebidang tanah hutan milik kerajaan. Tanah hutan itu disebut ‘alas i burwan haji’, artinya hutan tempat raja-raja berburu, panjangnya 1100 depa dan lebarnya 900 depa yang dapat dibeli oleh rakyat itu. Pembelian itu disahkan oleh badan pusat yang disebut: ‘pakirakiran i jro makabehan’ (penjelasannya baca pasal 7 di atas). Sekianlah bilangan prasasti-prasasti yang menyebutkan nama baginda raja itu, menyatakan, bahwa baginda itu mempunyai kekuasaan besar di Bali. Pun dari adanya prasasti-prasasti itu dapat juga dipastikan, bahwa baginda itu mendapat dukungan penuh dari sekalian senapati dan guruguru agama dalam melakukan kekuasaan itu. Hal itu tidaklah mengherankan jikalau ditinjau dari sudut politik dan kemasyarakatan, sebab ayahnda baginda itu berasal dari Bali sebagai keterangan di atas. Kesimpulannya dapatlah dinyatakan, bahwa dari jalinan kekeluargaan silsilah Dharmawangsa dengan silsilah Warmadewa sudah terikat erat oleh tali perkawinan itu, maka kedua kekuasaan itu tinggal aman dan sentosa, masing-masing berdiri sendiri dengan megahnya. Di dalam prasastiprasasti itu tersebutlah baginda raja Dharmawangsa Warmadewa Pangkaja Sthanottunggadewa itu ‘lumah ing Camara’, artnya mangkat di Camara. Akan tetapi di mana letak tempat yang bernama Camara itu, tidaklah terdapat bekas-bekasnya sekarang. 9. Anak Wungsu (p.57) Kesukaran yang kemudian dihapdapi oleh baginda raja Airlanggha di Jaw Timur, terpaksa baginda mengutus lagi Mpu Bharada ke Bali untuk kedua kalinya. Sifat kesukaran baginda itu ialah berkenaan dengan politik pemerintahan, mungkin akan terjadi pertikaian kelak di Jawa Timur, apabila beginda telah mangkat. Baginda mempunyai 2 orang putra sama-sama berhak menjadi raja menggantikan kedudukan baginda kemudian, maka untuk mencegah kejadian yang tiada didinginkan itu, baginda bersedia hendak mengatasi kesukaran itu selgi beginda masih hidup. Kemangkatan baginda raja Dharmawangsa Wardhana Marakata Pangkaja Stanuttunggadewa di Bali hendak dipergunakan oleh baginda untuk mengatasi kesukaran itu, maka Mpu Bharada lalu dikirim ke sana, guna menganjurkan kepada Mpu Kuturan dan para senapati di situ, agar supaya salah seorang putra baginda dapat diterima menjadi raja di Bali.
46 CAKA MASEHI KET Keberangkatan Mpu Bharada dari Jawa ke Bali terjadi kira-kira tidak antyara lama sebelum tahun 1042. Kedatangannya di situ diterima oleh Mpu Kuturan di Silayukti, mereka segera mengadakan perundingan dengan dihadiri oleh sekalina guru-guru agama dan para senapati. Mpu Bharada menerangkan apa maksudnya ia diutus oleh baginda raja Airlanggha pergi ke Bali, ialah sematamata untuk menciptakan perdamaian demi kebahagian bersama. Diharapkan oleh Mpu Bharada agar supaya sekalian rekan-rekannya di Bali, terutama saudaranya Mpu Kuturan dapat memahami kesukaran yang dihadapi oleh baginda raja Airlanggha di Jawa Timur, apabila nasib kedua orang putra baginda itu tidak ditentukan sekarang. Atas nama baginda raja Airlanggha ia menganjurkan agar supaya sekalian hadirin suka menerima salah seorang putra baginda itu menjadi raja di Bali untuk menggantikan baginda raja Dharmawangsa Warmadhana MNarakata Pangkaja Stanottunggadewa yang telah mangkat itu. Anjuran Mpu Bharada itu ternyata ditolak oleh Mpu Kuturan beserta dengan kawan-kawannya itu. Mereka menyatakan hasratnya serentak, hendak menegakkan kembali silsilah Warmadewa di Bali. Keputusan telah diambil katanya, guna mengangkat pengeran Anak Wungsu menjadi raja di Bali untuk mengisi kekosongan mahkota itu. Pangeran Anak Wungsu itu ialah adinda beginda raja Airlanggha yang paling muda, atau putra bungsu dari gabinda ratu suami-istri Gunapriyadharmapatni / Dahrmodayana Warmadewa. Penolakan Mpu Kuturan beserta dengan sekalin kawan-kawannya itu dapat dipahami oleh Mpu Bharada. Pencalonan pengeran Anak Wungsu untuk menjadi raja di Bali sudah pada tempatnya demikian pendapatnya, oleh karena itu ia lalu pulang kembali keJawa untk memaklumkan hal itu kepada rajanya. 1049 Pangeran Anak Wungsu dinobatkan menjadi raja di Bali bertetapan waktunya dengan kemnangkatan saudaranya di Jawa Timur, yaitu pada tahun 1049. Prasasti-prasasti bagnda Anak Wungsu yang lebih dari 20 buah jumlahnya terdapat sekarang di Bali, menyebutkan adanya baginda itu: ‘anak wungçunira kalih bhatari lumah I buruan, bhatara lumah i banu wka’. Artinya ialah: putra Wungsu dari ibunda yang dijenazahkan di Buruan, dan ayahnya yang dijenazahkan di banyu Wka. Dari keterangan prasasti-prasasti itu jelaslah sudah, bahwa baginda Anak Wungsu itu ialah putra terbungsu dari baginda ratu suami-istri (p.58) itu, yaitu Gunapriyadharmapatni / Dharmodayana Warmadewa. Kesederhanaan sebutan baginda di dalam prasasti itu menyatakan, bahwa baginda pasih muda sudah dinobatkan menjadi raja di Bali ketika itu. Di antara prasasti-prasasti itu terdapat sebuah tidak bertahun menyebutkan nama seorang raja Walaprabhu, oleh Dr. R. Goris disangka, bahwa baginda Anak Wungsu sebenarnya yang dimaksudkan oleh prasasti itu. Ia menyalin bahasa Sanskerta dari perkataan ‘Walaprabhu’ itu, ialah raja kecil atau raja yang masih muda. 1049 Prasasti-prasasti beginda yang sekian banyaknya itu ternyata sebagian mempergunakan bahasa Bali Kuna, dan sebagian lagi mempergunakan bahasa Jawa Kuna. Kebanyakan prasasti-prasasti yang diterbitkan semasa baginda Anak Wunfsu bertahta, maksudnya sama dengan prasastiprasasti yang terdahulu, yaitu selaku pembarahuan yang disahkan kembali. Oleh karena itu tidaklah perlu maksud tiap-tiap prasasti baginda itu dipetik satu persatu, cukuplah kiranya diterangkan di mana prasasti-prasasti itu sisimpan sekarang. Sepanjang penyelidikan ternyata prasasti-prasasti baginda itu terdapat sekarang di desa: 1. Trunyan bertahun 1049, sebanyak 2 buah; 2. Bebetin bertahun 1050; 3. Dawan bertahun 1053; 4. Sukawana bertahun 1053; 5. Batunya bertahun 1055; Sangsit bertahun 1061; 7. Dausa bertahun 1061; 8. Sawan/Blantih bertahun 1065; 9. Sembiran bertahun 1065; 10. Serai bertahun 1067; 11.
47 CAKA MASEHI KET Pengotan bertahun 1069; 12. Manik Liu, sebanyak 2 buah tidak bertahun, akan tetapi menyebutkan nama beginda raja itu; 13. Pandak Badung (?) bertahun 1071; 14. Klungkung bertahun 1073 sebanyak 3 buah; 15. Sawan bertahun 1073; 16. Eentah di mana mula-mula terdapat bertahun 1077. Prasasti-prasasti tersebut di atas itu, terdapat lagi petilasan-petilasan atau piagam-piagam peninggalan baginda raja itu misalnya sebuah arca berbentuk raksasa terdapat pada sebuah pura di desa pejeng yang bernama Pura Pagulingan. Tulisanb-tulisan yang tergores di belakang arca itu menyebutkan nama pegawai kerajaan semasa baginda bertahta, oleh karena itu meskipun nama baginda raja sendiri tidak turut tercantum, namun dapat dipastikan, bahwa arca itu dibuat semasa itu. Begitu juga halnya prasasti-prasasti yang terdapat lagi di desa Ubung dan Sukawati, ternyata nama-nama dari pegawai-pegawai kerajaan yang tersebut di dalam prasasti-prasasti itu sama dengan yang tersebut di dalam prasasti Pandak Badung yang bertahun 1071 itu, maka orang tidaklah meragu-ragukan lagi, bahwa prasasti-prasasti itu diterbitkan semasa baginda bertahta, meskipun di dalam prasasti-prasasti itu tidak turut tercantum nama baginda dan bilangan tahun penerbitannya. 1071 Di dalam prasasti Pandak Badung itu tersebut antara lain sebuah wihara terletak di Antakunjarapada katanya. Para ahli berpendapat, bahwa Antakunjarapada itu dapat disamakan dengan Batuakunjarapada, yang terletak dekat Goa Garbha di tepi sungai Pekerisan, yaitu di sebelah timur-laut desa Patemon. Di situ sekarang terdapat sebuah pura besar bernama Pangukurukuran, dan di sebelah timur pura itulah terletak Goa Garbha itu, seperti telah diterangkan pada pasal 12 bab I. Pada dinding sebuah tebing yang terletak di desa Sangsit terdapat tulisan-tulisan yang berbunyi: ‘Wulan cetra sukla’. Tulisan-tulisan itu ternyata Candrasangkala yang berarti bilangan tahun Saka 993 (1071 Mashi). Pastilah tulisan-tulisan ituy digoreskan semasa baginda Anak Wungsu bertahta, meskipun tidak diketahui apa maksudnya orang membuat peringatan di situ. Sementara itu terdapatlah sebuah arca kembar terletak di atas Gunung Panulisan. Di belakang arca itu tertulis bilangan tahun Saka 996 (1074 Masehi). Para ahli berpendapat, bahwa arca kembar itu, ialah lembang kebesaran dari baginda Anak Wungsu beserta dengan permaisurinya. Nama dari permaisuri baginda itu dinyatakan oleh sebuah arca berujud perempuan yang terdapat di sebelah arca kembar itu, ternyata di belakang arca peempuan itu terdapat tulisan-tulisan yang menyebutkan nama Bhatari Mandul. Bilangan tahun Saka yang tergores pada arca itupun ternyata sama waktunya dengan yang tertera pada arca kembar itu. Memperhatikan nama permaisuri baginda itu mengesankan, bahwa beliau tidak pernah beranak. Mandul artinya tiada pernah hamil atau duduk perut. Arca Bhatari Mandul itu ada hubungannya dengan prasasti yang terdapat di desa (p.59) Dausa bertahun 1061 tersebut di atas. Tersebutlah di dalam prasasti itu antara lain, tentang orang-orang desa Parcanigayan yang diwajibkan turut serta menyelenggarakan pemujaan untuk Bhatari Mandul itu. Mereka mohon kebebasan dari kewajiban itu, sebab mereka sudah mempunyai tanggungan tuntuk menyelenggarakan upacara perayaan bagi Bhatara di Bukit Humitang. Permohonan orang-orang desa itu diluluskan, maka semenjak itulah kewajiban menyeleng gerakan pemujaan untuk Bathari Mandul itu dipertanggung jawabkan kepada orang-orang desa Sukawana saja. 1077 Pada pura Panataran di desa Tampaksiring terdapat 2 buah arca berdiri laki perempuan. Kemungkinan araca-arca itu memperlambangkan baginda raja Anak Wungsu beserta dengan permaisurinya yang lain lagi, akan tetapi persangkaan itu tidak dapat dipertanggung-jawabkan
48 CAKA MASEHI KET kebenarannya, lantaran tidak terdapat tulisan-tulisan pada arca-arca itu yang menerangkan demikian. Kecuali itu terdapat pula huruf-huruf kuna yang diduga digoreskan semasa baginda raja itu bertahta. Misalnya yang terdapat di tebing sungai Pakerisan berbunyi: ‘mas pirak’, dan di muka pintu Goa Gajah berbunyi: ‘kamon’ dan ‘sahy(w)angça’. Begitu juga 2 buah prasasti yang masingmasing terdapat di desa Babi dan Klandis tanpa menyebutkan bilangan tahun dan nama baginda raja itu, akan tetapi nama-nama dari pegawai-pegawai kerajaan yang tercantum di dalam prasastiprasasti itu menyatakan, bahwa prasasti-prasasti itu diterbitkan semasa baginda raja itu bertahta, yaitu di sekitar tahun 1077. 1077 Dalam pada itu terdapat lagi huruf-huruf kuna yang terores pada sebuah candi yang terletak di Gunung Kawi, yaitu di tebing sungai Pakerisan di sebelah timur desa Tampaksiring berbunyi: ‘haji lumah ing jalu’. Artinya ialah: raja yang mangkat di Jalu. Para akhli berpendapat, bahwa candi itu ialah penjenazahan dari baginda raja Anak Wungsu yang telah mangkat sesudah tahun 1077. Note: Di antara para akhli ada juga yang berpendapat, bahwa perkataan ‘haji lumah ing jalu’ itu ialah Candrasankala yang mempunyai bilangan tahun 1023 Saka (1101 Masehi). Jikalau memang demikian halnya, maka bilangan tahun itu ialah untuk peringatan kapan candi-candi itu selesai didirikan agaknya demikian. Di sebelah menyebelah candi itu terdapat lagi beberapa buah candi yang diduga untuk penjenazahan keluarga baginda raja itu. Di situ terdapat sebuah wihara tempat bertapa, kemungkinan wihara itu bekas tempat beginda bertekun mengheningkan cipta setelah berusia lanjut selaku ‘rajarsi’. Sekianlah bilangan petilasan-petilasan peninggalan baginda raja Anak Wungsu itu, membuktikan, bahwa baginda lama dapat bertahta di Bali. Seperti telah diuraikandi dalam bab itu berturut-turut, ternyata prasasti-prasasti peninggalan baginda raja Sri Kesari Warmadewa sampai Sri Janasadhu Warmadewa dan Sri Wijaya Mahadewi bertakhta, semuanya masih mempergunakan bahasa Bali Kuna. Hali itu menyatakan, bahwa peradaban di Bali tinggal asli, belum menerima pengaruh dari luar. Akan tetapi setelah beginda ratu suami-istri Gunapriyadharmapatni / Dharmodayana Warmadewa bertakhta, barulah terjadi perubahan di Bali pada lapangan politik dan kebudayaan. Semenjak itu corak prasasti-prasasti itu mulai memperlihatkan perubahan, sebagian mempergunakan bahasa Jawa Kuna, dan sebagian lagi masih mempergunakan bahasa Bali Kuna. Hal itu menunjukkan, bahwa masyarakat di Bali tiada sanggup lagi mempertahankan keasliannya, ternyata politik perkawinan itu besar nian pengaruhnya. Maka semenjak itulah dapat ditentukan, bahwa peradaban di Bali mulai didesak oleh pengaruh Jawa yang dimasukkan oleh baginda raja itu. Semasa baginda Anak Wungsu bertakhta, ternyata pengaruh dari Jawa itu belum lagi memperlihatkan kemajuannya. Buktinya ialah prasasti-prasasti peninggalan baginda raja itu sebagian masih mempergunakan bahasa Jawa Kuna. Akan tetapi setelah baginda raja itu mangkat, dan digantikan oleh raja-raja lain, ternyata pengaruh dari Jawa itu semakin pesat kemajuannya di Bali. Hal itu akan dapat dinyatakan kemudian. Terdesaknya peradaban di Bali oleh pengaruh dari Jawa itu, mengakibatkan juga agama Buddha di situ mengalami kemunduran. Kemunduran itu mulai tampak, setelah Mpu Kuturan meninggal dunia. Mpu Panandha yang diserahi oleh Mpu Kuturan untuk menyelenggarakan ‘panawasikan’ atau ‘pangaskaran’ di Silayukti itu, ternyata tiada mempunyai kemampuan untuk menyempurnakannya (baca catatan akan noot (NB) yang termuat pada pasal 7 bab II). Meskipun Mpu Pastika datang kemudian dari Jawa ke Bali untuk membantu Mpu Panandha melanjutkan usaha dalam lapangan keagamaan itu, namun hasilnya ternyata sia-sia belaka. Maka semenjak itulah tempat suci pemusatan agama Buddha itu tinggal terlantar, sehingga agama Siwa yang menjadi saingannya memperoleh kesempatan untuk mengembangkan sayapnya. Hal itu tidaklah mengherankan, sebab
49 CAKA MASEHI KET baginda Anak Wungsu ternyata menganut agama Siwa, sehingga agama Siwa itu mulai bergerak memperlihatkan kemajuannya. Baik Mpu Panandha maupun Mpu Pastika sama-sama menamatkan riwayat hidupnya kemudian di Silayukti. Di situ terdapat sekarang tempat-tempat pemujaan bagi arwah kedua orang pendita itu, di samping tempat pemujaan arwah Mpu Kuturan yang masyur namanya itu. Tempat-tempat pemujaan itu kini diselenggarakan oleh kesatuan atau ikatan tujuh jenis kewargaan di Bali yang disebut Pasek, Bandesa, Kabayan, Ngukuhin, Dangka, Salahin dan Gaduh. Hal ini menyatakan, bahwa golongan kewargaan itu adalahketurunan dari pendita guru-guru agama tersebut, yang tergolong juga ke dalam tingkatan Brahmana menurut system ‘Caturwarna’ atau ‘Caturwangsa’. Adanya golongan ketujuh jenis kewargaan itu, sudah diceritakan terlebih dahulu pada pasal 13 bab I. Kesimpulannya dapatlah dinyatakan, bahwa baginda Anak Wungsu bertakhta, ternyata agama Siwa itu mulai memgang peranan penting di Bali, diakui sebagai agama kerajaan. Akan tetapi kemajuan agama itu tidaklah berarti dapat membasmi perkembangan agam Buddha yang menjadi saingannya itu, ternyata masyarakat di Bali masih banyak juga menganut agama Buddha yang mengalami kemunduran itu. Kedua jenis ajarannya agama itu diperpadukan dan dianut oleh masyarakat di Bali, sebagaimana telah diterangkan pada pasal 1 bab II. 1088 Sri Sakalendu Kirana Isana Gunadharma Laksmidhara Wijayattunggadewi (p.61) Di desa Pengotan terdapat 2 buah prasasti masing-masing bertahun 1088 dan 1011. Prasasti-prasasti itu menyebutkan nama seorang raja-putra atau ratu ‘Sri Sakalendu Kirana Isana Gunadharma Laksmidhara Wijayattunggadewi. Pun di desa Sawan / Blantih terdapat lagi sebuah prasasti bertahun 1098, juga menyebutkan nama baginda ratu itu. Siapakah sebenarnya baginda ratu itu? Mungkinkah baginda itu putri mahkota dari Anak Wungsu yang telah mangkat dengan tidak meninggalkan putra mahkota? Jilalau baginda ratu itu memang benar putri mahkota dari Anak Wungsu, maka dapatlah dikirakirakan, bahwa baginda itu dilahirkan oleh permaisuri Anak Wungsu yang diarcakan di Pura Panataran di desa Tampaksiring, dan bukan oleh Bhatari Mandul yang diarcakan di Pura di atas Gunung Panulisan (lihat pasal 9 bab II). Akan tetapi memperhatikan gelar beginda yang panjang itu, agaknya beginda mempergunakan gelar dari pihak ibunda dan ayahnda, yaitu merupakan perpaduan dari silsilah Dharmawangsa di Jawa Timur dengan silsilah Warmadewa di Bali. Hal itu dapat dinyatakan dengan kias atau arti dari kata-kata yang menjadi hiasan dari gelar baginda yang panjang itu. Perkataan-perkataan itu dapat diartikan demikian: 1. Çakala mengesankan, bahwa beginda itu memiliki sebagian gelar dari baginda raja Kameçwara I di kerajaan Kediri (Jawa Timur), yang bertakhta di dalam tahun 1115-1130. Gelar baginda raja itu selengkapnya ialah: Çri Maharaja Rake Sirikan Çri Kameçwara Çakalabhuwanatuçtikirana Sarwanirwarjawirya Parakrma Digjayottunggadewa; 2. Indu Kirana artinya cahaya bulan purnama, sedang perkataan itu menjadi sebutan dari permaisuri baginda raja Kediri tersebut di atas, yang bersasl dari kerajan Janggala; 3.Içana atau Isyana, ialah gelar yang biasa dipergunakan oleh keturunan dari Mpu Sindok di Jawa Timur (baca pasal 3 bab II); 4. Gunadharma mengesankan, bahwa baginda ratu itu mungkin keturunan atau cucu dari baginda ratu Ganupriyadharmapatni; 5. Laksmidhara artinya putri yang mulia; 6. Wijayottunggadewi mengesankan sekali lagi, bahwa baginda ratu itu memang asal keturunan dari Mpu Sindok tersebut di atas. Selaku missal perhatikanlah gelar ‘abhiseka’ dari baginda raja Airlanggha (baca pasal 7 bab II).
50 CAKA MASEHI KET Note: Dr. Goris membahas persoalan itu hamper secara dalam kitab karangannya yang bertitel ‘Sedjarah Bali Kuna’ muka 10. Demikianlah arti atau makna dari kata-kata yang menghiasi gelar baginda ratu itu, sehingga dapat menarik kesipulan, bahwa ibunda baginda itu berasal dari kerajaan Kediri (Jawa Timur). Hal itu menyatakan pula, bahwa pengaruh Jawa semakin meluas pada masa itu di Bali. Prasasti-prasasti tersebut di atas yang menyebutkan nama baginda ratu itu, ternyata tidak banyak memperlihatkan gambaran tentang corak dan betuk masyarakat di Bali selama baginda bertakhta. Malah prasasti-prasasti yang terdapat di desa Pengotan itu disangsikan oleh para ahli tentang keasliannya, sebab prasasti-prasasti itu menyebutkan bilangan tahun Saka 110 atau 123, yang seharusnya ditulis 1010 dan 1023 (1088 dan 1101 Masehi). Kemungkinan prasasti-prasasti itu ditulis beberapa tahun kemudian selaku salinan dari naskah aslinya, maka memperhatikan bentuk huruf dan kalimat-kalimat bahasanya, kemungkinan ditulis semasa baginda raja Sri Jayapangus bertakhta. Siapa adanya Sri Jayapangus itu, nanti akan diceritakan pada pasal 5 di bawah ini. Prasasti-prasasti yang terdapat di desa Pengotan itu disebut juga: ‘Piagam ratu Pingit’, hanya membicarakan tentang perkaranya orang-orang desa Pemur=teran dengan orang-orang desa Abang, yaitu soal tanah yang menjadi pangkal perselisihan. Di dalam prasasti-prasasti itu tersebut nama-nama dari pegawai-pegawai kerajaan semasa baginda Anak Wungsu bertakhta. Sementara itu prasasti yang terdapat di desa Sawan/Blantih yang bertahun 1098 itu, hanyalah membicarakan tentang: ‘nayaka njalan’ dan ‘guguran kaparimandala I Sukhapura’, jadi sama maksudnya dengan orasasti Sangsit yang bertahun 1058, yaitu semasa baginda Anak Wungsu bertakhta (lihat pasal 9 bab II). Begitu juga halnya prasasti Sawan / Blantih yang bertahun 1065, dan yang sudah dibicarakan terlebih dahulu semasa baginda Anak Wungsu bertajta; ternyata menyebutkan pula ‘Hulu kaynjalan di Guguran’, jadi maksudnya serupa saja. Di halaman sebuah pura Penataran Panglan yang terletak di desa Pejeng, terdapat sebuag arca merupakan ‘Hariti’ dan sebuah lagi merupakan ‘Parwati’. Di belakang arca-arca itu terdapat tulisantulisan, yang berbunyi: ‘bhatari I banu Palasa’ di belakang arca ‘Hariti’ itu, berbunyi: ‘sang ring guha’ yang tergores (p.62) di belakang arca ‘Parwati’ itu. Arti dari bunyinya tulisan-tulisan itu ialah: ‘bhatari I banu Palasa’ = ratu yang mangkat disungsi Palasa, dan ‘sang ring guha’ = dipertuan di Goa. Pada tulisan-tulisan itu terdapat juga bilangan tahun Saka 1013 (1091 Masehi), baik yang tergores pada arca ‘Hariti’ itu, maupun yang tertera pada arca ‘Parwati’ yang terletak di sebelahnya. Oleh karena bilangan tahun itu bertetapan semasa baginda ratu itu bertakhta maka para ahli lalu menduga, bahwa arca-arca itu ialah lambing kebesaran dari baginda ratu itu. Dari bunyinya tulisantulisan itu lalu menimbulkan persangkaan, bahwa baginda ratu itu pernah melakukan pertapaan pada sebuah goa, dan sesudah mangkat dijenazahkan di sungai Palasa. Akan tetapi di mana letak goad an sungai Palasa itu, para ahli tiada berani menentukannya. Kemungkinan goad an sungai itu terletak di sebelah barat desa Pejeng, di mana sekarang terdapat bekas tempat pertapaan dan sebuah candi yang disebut Candi Kalebutan (baca pasal 12 bab I). Jikalau arca-arca itu memang benar selaku lambing kebesaran dari baginda ratu itu, dapatlah lalu dinyatakan, bahwa baginda selagi hidupnya memuliakan Indra dan Siwa. Rariti = Indra, sedang Parwati itu ialah sakti dari Siwa, yang disebut juga Dewi Uma atau Giri Putri (baca pasal 6 bab I). Oleh karena tulisan prasasti-prasasti itu dan huruf-huruf yang tergores pada arca-arca itu semuanya mempergunakan bahasa Jawa Kuna, maka jelaslah menunjukkan, bahwa semasa baginda ratu itu bertakhta pengaruh kebudayaan Jawa semakin pesat kemajuannya di Bali. Kemajuannya itu ternyata melebihi daripada semasa baginda Anak Wungsu bertakhta, sebab ketika itu prasasti-prasasti itu sebagian masih mempergunakan bahasa Bali Kuna, dan sebagian