51 CAKA MASEHI KET lagi mempergunakan bahasa Jawa Kuna. Pun di lapangan keagamaan mungkin semasa baginda agaknya lebih mementingkan ajaran agama itu, syahdan jikalau ditilik dari arca-arca yang menjadi lambang kebesaran baginda itu. Sebaliknya dapatlah dinyatakan pula, bahwa pengaruh agama Buddha tetap mengalami kemuduran pada masa itu, sebab selain daripada para pemimpinnya, agaknya bantuan dari pihak resmi tidak dapat diharapkan lagi. 1115 3. Sri Suradipha (p.63) Di desa Gobleg pada sebuah pura bernama Pura Desa, terdapat sebuah prasasti bertahun 1115. Di dalam prasasti itu tersebutlah nama seorang raja ‘Sri Suradipa’. Selain daripada menyebutkan nama baginda raja itu, ternyata prasasti itu membicarakan juga tentang halnya: ‘dharma I Er Tabar karaman Indrapura’, dan tentang ‘Bhatara Bukit Tunggal’. Artinya ialah: adat desa di Er Tabar yang berkewajiban menyelenggarakan pemujaan untuk Dewa Indra di Bukit Tunggal. Jadi prasasti itu sama maksudnya dengan prasasti yang terdapat di desa itu juga bertahun 914, dan yang sudah dibicarakan terlebih dahulu pada pasal 2 bab II, yaitu semasa Sri Kesari Warmadewa bertakhta. Kemudian terdapat lagi prasasti di Angsari bertahun 1119, juga menyebutkan nama baginda raja itu, yaitu Sri Suradhipa. Prasasti itu membicarakan juga antara lain tentang: ‘patapan i thani Latengan’, artinya ialah sebuah tempat pertapaan yang terletak di Latengan. Jadi prasasti itu ialah selaku pembaharuan dari prasasti Angsari yang telah dibicarakan terlebih dahulu dada pasal 2 bab Ii, ternyata maksudnya memperlihatkan gambaran yang sama dengan prasasti itu. Lain daripada kedua buah prasasti tersebut di atas, terdapat pula sebuah prasasti lain yang dikirakan penerbitannya terjadi semasa beginda raja itu bertakhta. Prasasti itu kini tersimpan di Provensiaal en Stedelijk Museum di kota Surabaya (Jawa Timur). Tersebutlah di dalam prasasti itu antara lain ‘hara babi’, artinya desa Babi. Desa Babi itu terletak sekarang di daerah Bali Timur. Menilik bunyinya prasasti itu, dapatlah ditentukan bahwa prasasti itu serupa maksudnya dengan prasasti yang terdapat di desa itu, dan yang telah dibicarakan terlebih dahulu pada pasal 9 bab II, yaitu semasa baginda Anak Wungsu bertakhta. Meskipun prasasti yang tersimpan di Provinciaal en Stedelijk Museum di kota Surabaya itu sebenarnya tidak menyebutkan nama raja dan bilangan tahun penerbitannya, namun memperhatikan bentuk huruf dan sifat bahasa yang tertera di dalam prasasti itu, maka para ahli lalu berkeyakinan, bahwa prasasti itu diterbitkan semasa baginda raja Sri Suradhipa bertakhta, yaitu di antara tahun 1098-1119. Sekarang timbullah pertanyaan, siapakah sebenarnya beginda raja itu? Dapatkah baginda itu dikatakan asal keturunan dari dynasti Salonding? Gelar Warmadewa yang biasa dipergunakan oleh dynasti Salonding itu ternyata tiada certantum di belakang nama baginda, menyebabkan dugaan kea rah itu tiada mempunyai dasar-dasar yang kuat. Jikalau baginda tidak berasal dari Bali, dari manakah kedatangan baginda itu? Dari Jawa Timur-kah? Pertanyaan-pertanyaan itu memang sukar dijawab, sebab para raja di situ, baik yang bertakhta di tempat-tempat lain di seluruh Nusantara pada masa itu, ternyata tiada ada sama sekali yang mempergunakan gelar menyerupai nama baginda untuk dipakai bahan pertimbangan. Pada masa itu masih bertakhta di kerajaan Kediri (Jawa Timur) baginda raja Kameswara I (1115-1130), seperti telah diterangkan pada pasal 2 di atas. Kesederhanaan atau kesingkatan nama baginda raja itu, tidak memungkinkan mengadakan pengupasan dan pembahasan secara mendalam untuk mengetahui asal-usul baginda raja itu. Pun ketidak-adaan arca-arca dan candi-candi yang tertulis menyatakan keadaan baginda itu, maka asal mula beginda itu tinggal gelap sampai sekarang.
52 CAKA MASEHI KET Kemungkinan beginda itu setelah mangkat dijenazahkan di Gunung Kawi pada tebing sungai Pakerisan yang terletak di sebelah timur desa Tampaksiring, sebab di situ sekarang terdapat beberapa buah candi berleret-leret yang tiada diketahui untuk siapa sebenarnya candi-candi itu, terletak di sebelah-menyebelah candi untuk penjenazahan baginda Anak Wungsu, seperti telah diterangkan pada pasal 9 bab II. Jikalau candi-candi itu sebuah di antaranya untuk penjenazan baginda Sri Suradhipa, maka dapatlah dinyatakan, bahwa baginda itu tergolong ke dalam kekeluargaan dynasti Salonding. Akan tetapi, alas an itu agaknya tiada begitu kuat, kemungkinan penjenazahan untuk silsilah Warmadewa dan silsilah Dharmawangsa itu sudah dapat dipersatukan dan dicandikan pada sesuatu tempat yang bersamaan letaknya, mengingat jalinan kekeluargaan kedua belah pihak sudah rapat benar oleh ikatan tali perkawinan yang berulang-ulang terjadi timbal balik. Memang pada beberapa tempat di antara sungai Pakerisan dan sungai Petanu, terutama di sekitar desa Pejeng, terdapat banyak arca-arca peninggalan zaman purba, bahkan ratusan jumlahnya, akan tetapi untuk siapa sebenarnya arca-arca itu, para ahli tiada berani menentukannya. Hanyalah yang berisi tulisan-tulisan saja dapat ditentukan dan dipertanggung-jawabkan maksudnya. Arcaarca sebanyak itu di antaranya ada yang merupakan ‘Bhatara Guru, Bhatara Brahmam, Bhatara Gana atau Ganesha, Bhatari Durga, Bhatari Parwati dan sebagainya. Demikianlah keadaan beginda itu, sementara prasasti-prasasti baginda tersebut di atas semuanya mempergunakan bahsa Jawa Kuna. 1072 4. Sri Jayasakti dan Sri Jayakusuma (p.64) Setelah kekuasaan baginda raja Sri Suradhipa yang tersebut di atas berakhir, maka terdapatlah 4 buah prasasti yang menyebutkan nama seorang raja Sri Jayasakti bertakhta di Bali. Kemungkinan Sri Jayasakti itu ialah putra mahkota dari baginda Sri Suradhipa tersebut, ataukah keturunan dari baginda Sri maharaja Jauasakti yang tersebut pada pasal 8 bab I, yang mula-mula mendatangkan nenek-moyang orang-orang Bali Hindu dari Jawa ke Bali pada pertengahan abad ke-III sesudah Masehi. Seperti telah diterangkan pada pasal dan bab itu, bahwa baginda itulah yang menerbitkan prasasti ‘Catur Jadma’ yang masih tersipmpan sekarang di desa Sading, dan yang dikatakan oleh Dr. R. Goris bilangan tahun Saka yang tertulis di dalam prasasti itu agaknya kelitu dibuat oleh penulisnya. Ternyata bilangan Saka tertulis di dalam prasasti itu dengan angka 172, tetapi mestinya 1072, yang dapat disamakan dengan tahun Masehi 1150. Prasasti itu diterbitkan atas nama Sri Jayengrat, mungkin Sri Jayasakti yang dimaksud olehnya. Pun prasasti itu ada hubungannya dengan prasasti yang terdapat di desa itu juga, dan yang bertahun 1001, yaitu yang sudah diutarakan pada pasal 7 bab II. Adapun 3 buah prasasti lain lagi yang menyebutkan nama baginda raja Sri Jayasakti itu, ialah yang sekarang terdapat: 1. di desa Manik Liu / Lambean bertahun 1133, serta membicarakan juga tentang ‘karaman Manikalyu’, artinya adat desa Manikliu; 2. di desa Buwahan bertahun 1146, serta membicarakan juga tentang perkaranya orang-orang desa Kedisanterhapdap orang-orang desa Abang, jadi sama hal dan maksudnya dengan prarasti Buwahan yang bertahun 994, yaitu yang sudah pernah sipersoalkan pada pasal 7 bab II, semasa baginda raja suami-istri Gunapriyadharmapatni / Dhamrodayana Warmadewa bertakhta, dan 3. di desa Prasi bertahun 1148, serta membicarakan juga tentang perkaranya orang-orang desa Besan terhadap orang-orang desa Kulamba (sekarang: Kusamba) dan orang-orang desa Dahwan (sekarang: Dawan). Kecuali prasasti-prasasti tersebut di atas, terapat lagi 5 buah prasasti-prasasti lain yang penerbitannya dikirakan semasa baginda raja Sri Jayasakti bertakhta. Prasasti-prasasti itu sekarang tersimpan di desa Bebandem, Landih/Nongan., Depas (?), Tampak Gangsul dan pausa di Pura Bukit Indrakila. Meskipun prasati-prasasti itu tidak menyebutkan bilangan tahun dan nama
53 CAKA MASEHI KET baginda raja itu, namun menilik dari nama-nama pegawai kerajaan yang tertulis paa tiap-tiap prasasti itu, adalah menununjukkan persamaan besar dengan prasasti-prasasti tersebut di atas. Hal itulah menyebabkan timbul dugaan, bahwa prasasti-prasasti itu dibuat dan diterbitkan semasa. Prasasti-prasasti yang terdapat di desa Bebandem dan di desa Landih / Nongan itu, dikirakan bersamaan waktunya diterbitkan, yaitu pada tahun 1146. Begitu juga halnya prasasti-prasasti yang terdapat di desa Depaa dan yang di Tamopak Gangsul itu dikirakan bersamaan waktunya diterbitkan, yaitu di antara tahun 1146-1150. Sedangkan yang terdapat di desa Dausa di Pura Bukit Indrakila, kemungkinan penerbitannya terjadi di sekitar tahun 1150. Prasasti yang terdapat di desa Bebandem itulah yang menerangkan adanya sebuah pertapaan ‘wihara Bahung’, yang terletak di lereng Gunung Agung, dan yang telah diutarakan pada pasal 12 bab I. Akan tetapi di mana bekas pertapaan itu terletak, tidak ada orang yang mengetahui sekarang. Sementara itu prasasti yang terdapat di desa Landih / Nongan itu, hanyalah menerangkan adanya ‘karaman Landih’, artinya adat desa Landih. Sedangkan prasasti yang terdapat di desa Depaa itu, ternyata membicarakan lagi tentang: ‘karaman Indrapura’, serta menyebutkan pula ‘Bhatara Bukit Tunggal di Er Tabar’; jadi maksud prasasti itu adalah sama dengan prasasti Gobleg yang bertahun 914, yaitu yang sudah dibicarakan pada pasal 2 bab II, semasa Sri Kesari Warmadewa bertakhta. Adapun prasasti yang terdapat di Tampak Gangsul soalnya tidak begitu terang, lantaran hurufnya amat rusak sukar dapat dibaca, akan tetapi prasasti yang terdapat di desa Dausa di Pura Bukit Indrakila itu, ternyata membicarakan lagi tentang perkaranya orang-orang desa Canigayan, yaitu sama halnya dengan prasasti Dausa yang sudah diutarakan pada pasal 9 bab II semasa baginda Anak Wungsu bertakhta. Sekianlah banyaknya prasasti-prasasti yang menerangkan adanya baginda raja Sri Jayasakti itu, dan sesudah itu tidak terdapat lagi prasasti-prasasti lain yang menyebutkan nama baginda. Oleh karena itu para ahli lalu mengambil kesimpulan, bahwa baginda itu bertakhta di Bali selama 27 tahun, yaitu dari tahun 1133 hingga tahun 1150. Setelah itu terdapat waktu terluang hingga 27 tahun lamanya, artinya selama itu tidak ada raja yang bertakhta menurut sebutan di dalam prasastiprasasti itu. Baru pada tahun 1177 terdapat lagi nama seorang raja di dalam prasasti lain, yang riwayatnya akan dilanjutkan nanti pada pasal 5 di bawah ini. Sekarang timbul pertanyaan, apakah mungkin selama itu di Bali tidak ada raja yang memerintah? Pertanyaan itu segera memperoleh jawaban dari kitab-kitab perpustakaan (p.65) yang bercorak ‘legendaris’ dan ‘tradisionil’. Kitab-kitab itu ialah bernama: Rajapurana, Aji Jayakusuma, dan Caturyoga. Kitab-kitab itu merenangkan, bahwa pada suatu masa pernah memerintah di Bali seorang raja bernama Sri Jayakusuma. Baginda itulah katanya yang menciptakan adanya hari-hari raya Galungan dan Kuningan, yang hingga sekarang masih dirayakan tiap-tiap 210 hari sekali oleh sekalian penduduk di Bali, bahkan dipandang sebagai hari-hari raya kebangsaan. Ceritanya adalah sebagai berikut. Konon katanya baginda raja Sri Jayakusuma itu mula-mula mengabaikan ibadat untuk memuja pura-pura yang disebut ‘Sadkahyangan' (baca pasal 2 bab II) sehingga sekalian Dewa-dewa turun dari Kahyangan, guna mencegah tindakan baginda raja yang menyimpang daripada adat-istiadat keagamaan itu. Dewa-dewa itu lalu memberi nasehat kepada beginda raja, agar supaya syaratsyarat keagamaan itu dipugari, untuk mencegah malapetaka dan bencana alam yang mungkin nanti menimpa pulau Bali. Ketika beginda tidak mengindahkan nasehat Dewa-dewa itu, ternyata
54 CAKA MASEHI KET penduduk pulau Bali menghadapi pelbagai kesukaran, misalnya penyakit menular (epidemie) terus menghebat, serta tanam-tananan di sawah dan di lading tidak mendatangkan hasil. Oleh karena itu barulah baginda insyaf akan kekeliruan langkahnya, seraya menyuruh lagi rakyatnya untuk memuja dan menyelenggarakan upacara perayaan bagi kepentingan 'Sadkahyangan' itu. Note: Menurut ajaran agama Buddha, bahwa untuk mencapai kesempurnaan batin ke arah keluruhan budi, diwajibkan melakukan persembahyang ke arah 6 penjuru alam. Persembahyang arah ke timur, ialah maksudnya untuk menghormati arwah leluhur, ke selatan ialah untuk menghormati arwah guru-guru agama yang memberikan didikan, ke barat ialah untuk keselamatan anak istri kaum keluarga, ke utara ialah untuk keselamatan kawan-kawan handai taulan, ke atas ialah untuk memuliakan agama, dan ke bawah ialah untuk keselamatan sesama hidup yang lebih rendah derajatnya. Cara melakukan persembahyangan serupa itu sebenarnya menurut kebiasaan agama Hindu-Kuna. Pada suatu ketika baginda pergi bertapa pada Pura Dalem Puri yang terletak di lereng Gunung Agung di lingkungan desa Besakih. Di situ baginda mendengar sabda gaib dari Bhatara Durga, bahwa keselamatan penduduk di Bali acap terganggu, adalah disebabkan oleh mengganasya Sang Kala Tiga katanya. Yang disebut Sang Kala Tiga itu, ialah Sang Buta Galungan, Sang Buta Galungan dan Sang Buta Anungkurat. Mahluk-mahluk ajaib itulah yang hinggap di dalam tubuh manusia karenanya. Merajajelanya mahluk-mahluk ajaib itu berbuat sekehendak hatinya, menyebabkan pula kematian orang-orang masih muda, sebelum mencapai umur lanjut. Note: Mahluk-mahluk ajaib itu sebenarnya sifat-sifat kejahatan yang dimiliki oleh manusia kebanyakan (baca pasal 1 bab II) Setelah baginda memperoleh petunjuk dari Bhatari Durga bagaimana caranya mencegah malapetaka itu, barulah baginda bersiap menciptakan hari-hari raya yang disebut Galungan dan Kuningan itu. Syarat-syarat menyelenggarakan hari-hari raya itu ditentukan demikian: 1. Enam hari sebelum hari raya Galungan menjelang, maka sekalian penduduk berkewajibkan terlebih dahulu mengadakan upacara perayaan yang bersifat untuk membersikan diri, baik mengenai rohani, maupun jasmani. (p.66) Perayaan itu dilakukan 2 hari berturut-tutur, ialah pada hari Kamis Wage wuku Sungsang yang disebut 'Sugi Manik Jawa', dan keesokan harinya pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang disebut 'Sugu Manik Bali' Note: 'Sugi' = cuci muka, dan 'Manik' = air suci atau air hidup. Penulis I Gusti Bagus Sugeriwa menyatakan di dalam kitab karangangnya yang bernama 'Hari raja Bali-Hindu', bahwa hari-hari itu diadakan olehnya bernama: 'Ulihan-Djawa' dan 'Ulihan-Bali'. Oleh karena itu ia memperoleh pengertian, bahwa pada hari tersebut pertama orang-orang mengumpulkan bahan-bahan untuk sesajen yang diperoleh mereka dari Jawa, dan keesokkan harinya ialah hari pengumpulan bahanbahan untuk sesajen yang terdapat di Bali katanya. Pengertian penulis sukar dapat diterima, ternyata hari raya yang disebut 'Ulihan' itu sebenarnya jatuh pada hari Minggu Wage wuku Kuningan, yaitu 4 hari berselang sesudah hari raya Galungan berlangsung. 1103 5. Sri Jaypangus (p.69) Pada pasal 4 di atas sudah dibayangkan sepintas lalu, bahwa setelah kekuasaan baginda raja Sri Jayasakti berakhir, maka tersubutlah nama seorang raja Sri Jayapangus bertakhta di Bali. Semasa baginda raja itu bertakta, lebih dari 30 buah prasasti terdapat, yang sebagain besar dengan jelas menyebutkan adanya baginda raja Sri Jayapangus itu. Seperti telah diterangkan pada pasal itu, kemungkinan baginda raja itu ialah putra-mahkota dari baginda raja Sri Jayakusunu, atau
55 CAKA MASEHI KET cucu dari baginda Sri Jayasakti yang telah mangkat itu. Suatu hal yang dapat dipandang ajaib, bahwa prasasti-prasasti yang diterbitkan semasa baginda raja Sri Jayapangus itu bertakhta, ada 23 buah banyaknya yang bertahun sama, yaitu tahun Saka 1103 (=1181 Masehi). Hanya sebuah saja yang terdapat bertahun Saka 1099 (= 1177 Maeshi), dari prasasti-prasasti yang sekian banyaknya diterbitkan semasa itu. Sebuah dari prasasti-prasasti yang bertahun sama itu, bunyinya antara lain sebagai berikut: 'Ing saka 1103 srawanamasa tihni nawami suklapaksa, ma, pa, bu, wara wayangwayang, irika diwasa ajna padika sri maharaja haji jayapangus arkayacjhna saha raja patni dwaya, paduka bhatari sri parameswara indujalancana, paduka sri mahadwei sasanka ja ketana umajar I para senapati umingsor I tanda takryan ring pakirqakiran i jro makabaihan...'dan sebagainya. Note: Diambil petikan dari prasasti yang tertulis di atas kepingan tembaga untuk baginda raja itu, yang sekarang tersimpan pada sebuah pura bernasma Pura Sakti, terletak di Banjar Bingin desa Selat (Karangasem). Salinannya secara bebas ialah demikian: 'Pada tahun Saka 1103 bukan ke-I (Juli/Augustus) tanggal ke-9, Mawulu, Pahing, Buddha (=Rebo), wuku Wayang, ketika itulah baginda raja Sri Jayapangus beserta permaisuri baginda Indu Jalancana yang bagaikan purnama cahaya kecantikannya, membuat firman ini di hadapan para senapati dan para rakryan yang menjadi anggota dari badan penasehat pusat...' dan sebagainya. 1103 Demikian bunyinya prasasti-prasasti itu yang bertahun sama sekalian selaku rata-rata pembukaannya, serta menyebutkan pula antara lain tentang adat-adat desa dan sebagainya. Prasasti-prasasti itu sekarang terdapat [di]: 1. Buwahan, ialah membicarakan adat di desa itu; 2. Panida-Kaja, ialah membicarakan tentang 'Balang-Batwan', artinya tanah alang di desa Batuan; 3. Batur, ialah membicarakan tentang 'karaman Air Abang', artinya adat desa di desa Abang, dan tentang 'Bhatara Tuluk Byu', artinya tempat pemujian di Tuluk Byu yang sekarang disebut Gunung Abang; 4. Sembiran, ialah membicarakan adat desa di desa Julah; 5. Kediri, ialah membicarakan tentang 'karaman Paskan' artinya adat desa di desa Pasekan; 6. Buwahan, ialah membicarakan tentang 'karaman Jhurahan', artinya adat desa di desa Juruhan (?); 7. Sukawana, ialah membicarakan tentang 'karaman Cintamani', artinya adat dea di desa Kintamani; 8. Daya, ialah membicarakan tentang 'karaman Daya', artinya adat desa di desa itu; 9. Pengotan, ialah membicarakan tentang 'karaman Basang Bara', artinya adat desa di desa Basang Bara, mungkin desa Babi yang dimaksudnya; 10. Pengotan, sama madsudnya dengan angka 9 di atas; 11. Batunya, ialah membicarakan tentang 'Karaman Batwan', artinya adat desa di desa Batwan; 12. Landih/Nongan, ialah membicarakan tentang 'karaman Landih', artinya adat di desa Landih; 13. Cempaga, ialah membicarakan tentang 'karaman i Cempaga', artinya adat desa di desa itu; 14. Bulian, ialah membicarakan tentang 'karaman Banu Bwah', artinya adat desa di desa itu; 15. Teba-Kauh, ialah membicarakan tentang 'karaman Bubahan', artinya adat desa Bumbahan (di situ terdapat 2 buah prasasti, tetapi yang sebuah tidak bertahun); 16. Sarin-Buana, ialah membicarakan tentang 'rukang karaman i Rabitantaka sepanjng thani', artinya kurang terang, mungkin dimaksudkannya adat desa di desa Buntaka (?) dan sekitarnya;
56 CAKA MASEHI KET 17. Serai, ialah membicarakan tentang 'regep buru di Srimukha, Bayung (i) tentang padang, 'Bunir, Batwan mwang Bon tbu', artinya peraturan mengenai tanah-tanah hutan persuruan yang terletak di Bayung, Bunar, Batuan dan Bon Tenbu di lingkungan desa adat di Srimukha. (p.70) 18). Conda/Pamecutan, ialah membicarakan tentang 'Sakar', artinya adat desa itu sekarang disebut Sakali; 18. Conda/Pemecutan, ialah membicarakan tentang 'Sakar', artinya adat desa itu sekarang disebut desa Sakali; 19. Dalung, ialah membicarakan tentang 'karaman Budur', artinya adat desa di desa Budur, mungkin desa Buduk yang dimaksud olehnya; 20. Pengotan, lantaran hurufnya kurang terang, tidak dapat diartikan maksudnya; 21. Mantring, serupa dengan angka 20 di atas; 22. Dausa, sama keadaanya dengan angka 20 dan 21 di atas; 23. Malat-Gede, ialah membicarakan tentang 'karaman Er Malat', artinya adat desa di desa Yeh Malet. 1177 Tulisan prasasti yang bertahun 1177 dan yang terpapat di desa Mantring itu, ternyata terdiri dari 7 baris tiap-tiap muka, yaitu berbeda keadaanya dengan prasati-prasati yang bertahunan sama tersebut di atas, yang semuanya tertulis 6 baris tiap-tiap muka. Di desa itu terdapat lagi sebuah prasasti lain tanpa menyebutkan bilangan tahun penerbitannya, namun ditilik dari bentuk tulisannya dan gaya bahasanya, ternyata prasasti itu diterbitkan semasa. Tersebutlah di dalam prasasti itu nama-nama dari beberapa buah desa yang terdapat sekarang di Bali, dan jelas pula menyebutkan: 'ateher pinarimandala thani karaman I Burwan': artinya ialah: 'tetap masih tunduk di bawah peraturan adat desa di desa Burwan'. Lain dari pada prasast-prasasti tersebut di atas, masih terdapat lagi beberapa buah prasasti lain, yang dapat dikirakan waktu penerbitannya selama baginda raja Sri Jayapangus bertahkta. Pengiraan itu berdasarkan atas pertimbangan secarqa ilmu pengetahuan, bahwa prasasti-prasasti itu ternyata menyebutkan nama-nama dari pegawai-pegawai kerajaan yang tersebut pula di dalam prasasti-prasasti tersebut di atas, begitu juga gaya bahasanya menundukkan persesuaian. Prasasti-prasasti yang dimaksukan itu, ialah yang sekarang terdapat di desa: 1. Prasi: yang membicarakan tentang 'Besan' dan 'Kulamba', artinya desa Besang dan Kusamba, jadi sama maksudnya dengan prasasti yang terdapat di desa itu bertahun 1148 (baca pasal 4 angka 3 di atas); 2. Selat, yang membicarakan 'Kanuruhan', artinya desa Kanyuruhan, yang sekarang disebut desa Selat. Prasasti itu sekarang dipuja-puja dan disimpan pada sebuah pura bernama Gaduh Sakti, serta dihormati sebagai 'Bhatara Ngerata Bumi', jelas menentukan batas-batsa dari desa itu. Yang menjadi perbatsasan dari desa itu di sebelah timur, ialah Air (= sungai) Anipi; di sebelah selatan, ialah Air patai, di sebelah barat, ialah Air Langrang yang sekarang disebut Tukad Langon, tetapi di sebelah utara tiada diterangkan apa yang menjadi perbatasannya. Selat artinya perbatasan atau tanah berantara, lazim juga disebut tanah 'kawalonan'; 3. Sukawati, yang membicarakan tentang 'karaman Sukhawati', artinya adat desa di desa itu. Tersebut juga di dalam prasasti itu tentang 'Bhatara Dharma Hanar', artinya Yang Dipertuhankan di Dharma Anjar', akan tetapi siapa yang dipertuhankan itu tiada disebutkan namanya. Tentang Dharma Hanar itu dikirakan terletak di desa Sawah Gunung, tiada jauh dari Pura Pengukur-Ukuran, yang sudah dibicarakan pada pasal 9 bab II; 4. Paguyangan, yang membicarakan tentang 'Er Saling', artinya sungai Saling, tetapi sungai mana
57 CAKA MASEHI KET yang dimaksudkannya, entahlah; 5. Jagaraga, yang membicarakan tentang 'Sukhapura' serta batas-batasnya, jadi sama maksudnya dengan prasasti Sangsit yang bertahun 1058, dan dan yang sudah dibicarakan pada pasal 9 bab II, semasa Anak Wungsu bertakhta; 6. Sukawana, yang membicarakan tentang 'karaman Cintamani', artinya adat desa di desa Kintamani, jadi sama halnya dengan prasasti Sukawana tersebut di atas; 7. Sarin-Buana, yang membicarakan tentang 'bhatara Teken Lwir aprbhawa', maksudnya kurang jelas, dan 8. Batur, yang membicarakan tentang 'karaman Manuraba (?)', artinya adat desa yang sekarang disebut desa Manuaba. Sekian banyaknya prasasti-prasasti yang diterbitkan semasa baginda raja Sri Jayapangus bertakhta. Hal itu menyatakan, bahwa baginda besar nian kekuasaannya pada masa itu. Raja-raja yang terdahulu sebelum baginda bertakhta, tidak ada yang menerbitkan prasasti sebanyak tiu. Kebanyakan prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh baginda Sri Jayapangu, ialah untuk membaharui atau menyempurnakan prasasti-prasasti yang dimiliki oleh orang-orang desa bersangkutan. Kecuali tersebut di dalam prasasti-prasasti itu, nama baginda sering juga disebutsebut oleh kitab-kitab perpustakaan, sebagai seorang raja yang bijaksana, serta paling (p.71) masyur namanya di Bali. 1194 Di desa Sawah Gunung pada sebuah pura yang bernama Pangukur-ukuran itu, terdapatlah sebuah batu tertulis. Tulisan-tulisan yang tergores pada batu itu menyebutkan antara lain: 'Mpukwing Dharma Hanar' dan 'Ratunakunjarpada', serta menyebutkan pula bilangan tahun Saka 1116 (= 1194 Masehi). Arti dari perkataan-perkataan itu adalah: pertapa di Dharma Anyar dan Ratunakunjarapada. Makna dari 'Dharma Hanar' itu sudah diterangkan pada angka 3 di atas, yaitu berkenaan dengan terdapatnya sebuah prasasti di desa Sukawati yang tanpa menyebutkan nama raja dan bilangan tahun pernerbitannya. Begitu juga tentang 'Kudjarpada' itu, sudah pula diterangkan pada pasal 9 bab II, semasa baginda raja Anak Wungsu bertakhta. Seperti dimaklumi, bahwa 'Kunjarapada' itu ialah 'Antakunjarapada' atau 'Ratnakunjarapada', yang tersebut di dalam prasasti Pandak Bandung itu, sehingga para ahli lalu menarik kesimpulan, bahwa 'Bhatara Dharma Hanar' yang tersebut di dalam prasasti yang terdapat di desa Sukawati itu, tiada lain dari pada baginda raja Sri Jayapangus yang dimaksudkan itu. Jadi dengan pernyataan itu agaknya dapatlah ditentukan, bahwa baginda raja Sri Jayapangus itu sudah mangkat tidak antara lama sebelum tahun itu di sana. Kiranya selaku 'rajarsi' baginda mulamula melakukan pertapaan di Goa Garbha yang terletak di tepi sungai Pakerisan itu (baca pasal 12 bab I), sehingga akhirnya mangkat ('lumah') di tempat itu. Sedangkan Pura Pengukur-ukuran itu, ialah bekas tempat baginda berpuja melakukan ibadat sehari-hari mengheningkan cipta, yang sekarang sudah berubah sifat dan betuknya menjadi sebuah pura besar untuk pemujaan umum. Letak Goa Garbha dan pura itu justru berkedatan dan berdampingan di situ, yaitu di pinggir sungai di bawah dan di atas. 1111 1189 Menurut bunyinya sebuah kitab perpusatakaan yang disebut 'Purana-Tattwa' itu, bahwa pada tahun Saka 1111 (=1189 Masehi) pernah datang dari Jawa ke Bali 7 orang guru-guru agama yang disebut 'Sapta-Pandita'. Mereka itu masing-masing bernama: Mpu Ketek, Mpu Kanandha, Mpu Wira Adnyana, Mpu Witadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka dan Mpu Dangka. Kedatangan
58 CAKA MASEHI KET mereka itu di Bali ialah atas undangan baginda raja di sana katanya, guna membantu serta memimpin perayaan besar yang dilangsungkan di Besakih pada waktu itu. Note: Kedatangan guru-guru agama itu dinyatakan di dalam kitab itu dengan sebutan Candrasangkala 'Eka wak medi kudara', yang dapat disamakan dengan bilangan tahun Saka 1111. Salah serorang dari Mpu itu pernah tersebut namanya pada pasal 13 bab I, yaitu Mpu Witha Dharma, tetapi orangnya tak mungkin sama, melainkan salah seorang keturunannya yang datang kemudian ke Bali. Jikalau ditinjau dari sudut perhitungan tahun manakala para guru-guru agama itu datang di Bali, tetaplah waktunya perayaan besar yang disebut 'Ekadasa-Rudra' itu harus diadakan di Besakih di dalam tahun itu. Seperti telah diterangkan pada pasal 6 bab I, bahwa perayaan besar dan istimewa sifatnya itu harus dilangsungkan tiap-tiap seratus tahun sekali, terhitung sejak tahun Saka 11 (= 89 Masehi). Jadi perayaan yang diselenggarakan dan dipimpin oleh guru-guru agama itu, ialah perayaan 'Ekadasa-Rudra' yang ke-XI agaknya. Ketika itu ternyata baginda raja Sri Jayapangus masih bertakhta, jadi teranglah, bahwa kedatangan para guru-guru agama itu pasti atas undangan baginda. Jikalau memang demikian halnya, dapatlah sekarang dinyatakan, bahwa baginda raja Sri Jayapangus itu memuliakan ajaran agama Siwa. Rudra = Siwa. Kemungkinan agama Siwalah yang menjadi dasar keagamaan di Bali pada masa itu, dan diakui sebagai agama resmi. Menurut bunyinya kitab itu juga, bahwa baginda raja Sri Jayapangus itu beristana di Pejang (Pajang) yang sekarang disebut Péjeng. Pernyataan kitab itu agaknya dapat diterima kebenarannya, sebab di desa itu sekarang terdapat sebuah pura besar untuk pemujaan umum yang disebut 'Pura Pusering Jagat'. Perkataan 'Pura Pusering Jagat' itu dapatlah diartikan: Pusat dunia, atau Pusat Kerajaan, oleh karena itu dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa pura itu ialiah diciptakan dan didirikan mula-mula baginda, yaitu untuk memusatkan perhatian sekalian penduduk di Bali, baik di kalangan keagamaan dan pemerintahan. Sebab itulah nama baginda tetap harum sampai sekarang di Bali, dipandang sebagai seorang raja yang bijaksana, menegak adat-istiadat dan agama. 6. Sri Ekajaya Lancana dan Sri Dhanadhiraja (p.72) Di desa Kintamani terdapat sebuah prasasti tanpa menyebutkan nama raja, serta bilangan tahun penerbitannya. Prasasti itu membicarakan lagi tentang 'karaman Cintamani', artinya adat desa di desa Kintamani. Memperhatikan bentuk tulisan dan gaya bahasanya, ternyata prasasti itu menunjukkan persamaan sifat dengan 2 buah prasasti lain yang terdapat di desa itu juga, yang masing-masing bertahun sama 1200. Prasasti yang bertahun sama itu kecuali membicarakan lagi tentang 'karaman Cintamani' itu, jelas pula menerangkan adanya 2 orang raja: 'Sri maharaja haji Ekajaya Lancana' dan 'Sri Arjayadengjaya Ketana'. Menurut pendapat Dr. R. Goris, bahwa yang tersebut belakangan yaitu Sri Arjayadengjaya Ketana itu, ialah ibunda dari baginda yang tersebut pertama. Jikalau memang benar demikian halnya, maka dapatlah dinyatakan, bahwa ibunda baginda itu ialah seorang janda dari baginda raja Sri Jayapangus yang telah mangkat. Sedang baginda raja Sri Ekajaya Lancana itu dapat kiranya dipastikan, bahwa baginda itu ialah putra dari baginda raja Sri Jayapangus tersebut. Istilah 'Jaya' yang tersisip pada gelar baginda raja itu, adalah memperkuat dasar pertimbangan, bahwa baginda itu memang dari silsilah baginda raja yang telah mangkat itu. Akan tetapi istilah 'Lancana' yang menjadi tambahan perkataan untuk gelar baginda itu, patut kiranya diadakan penyelidikan lagi lebih
59 CAKA MASEHI KET jauh. Pada masa itu terdapat di Jawa Timur seorang raja bernama Sri Kameswara II bertakhta di kerajaan Kediri (1185). Dan sebagai pengganti dari baginda itu ialah Sri Sarweswara Sringgala Lancana yang bertakhta di kerajaan itu dari tahun 1194 hingga tahun 1200. Kedua orang baginda raja tersebut, ternyata dari silisliah baginda raja Airlanggha yang ceritanya termuat pada pasal 7, 8, dan 9 bab II berturut-turut. Jkalau pandangan diarahkan ke situ, serta perhatian dicurahkan terhadap istilah 'Lancana' yang dipergunakan juga untuk gelar baginda raja di kerajaan Kediri yang bertakhta semasa, maka tidaklah menyimpang dari pada dugaan, bahwa baginda raja Sri Ekajaya Lancana itu ada menpunyai hubungan kekeluargaan dengan raja-raja di kerajaan itu. Kemungkinan ibunda baginda yang disebut Sri Maharaja Sri Arjayadengjaya Ketana itu berasal dari sana, sehingga baginda Sri Ekajaya Lancana turut mempergunakan istilah itu, ialah untuk menghormati keturunan ibunda baginda. Keadaan itu jelas menggambarkan, betapa luasnya kekuasaan kerajaan Kediri itu telah dapat mempengaruhi lagi kerajaan di Bali oleh politik perkawinan itu. Akan tetapi hal itu tidaklah mengherankan, jikalau diingat adanya baginda raja Airlanggha yang berasal dari Bali itu, yang dapat dianggap selaku penubuh dari dynasti raja-raja di Jawa Tumur, yaitu semenjak kerajaan di situ bangkit lagi dari keruntuhannya (baca pasal 7 bab II). Note: Semasa baginda raja Sri Sarweswara Sringgala Lancana bertakhta (1194-1200) terdapat seroang pujangga besar di kerajaan Kediri bernama Mpu Tanakung. Kemasyuran namanya itu ialah oleh penerbitan kitab-kitabnya yang bernama: 'Lubdaka' dan 'Werttasancaya'. 1204 Sementara itu terdapat lagi sebuah prasasti di Bangli pada sebuah pura bernama Pura Kehen, bertahun 1204. Prasasti itu menerangkan adanya seorang raja di Bali bernama Sri Dhanadiraja, dengan permasyurinya bernama Sri Dhana Dewi. Ayahnda baginda raja itu dikatannya bernama Bhatara Parameswara, sedang ibunda baginda dikatakannya bernama Bhatara Guru Sri Adhikunc(...). Prasasti itu kecuali menerangkan adanya bagnda raja beserta dengan sekalian keluarganya itu, ternyata mebicarakan dengan panjang lebar adanya perayaan-perayaan pada tiaptiap pura yang terdapat di lingkungan desa di situ, yang menjadi kewajiban orang-orang desa menyelenggarakannya pada waktu yang ditentukan. Tersebut pula di dalam prasasti itu adanya sebuah pura bernama 'Hyang Wukir', yang menjadi pemujaan umum bagi penduduk di sana. Pun tapal batas dari tiap-tiap desa yang berkewajiban menyelenggarakan pura itu diterangkan di dalam prasasti itu dengan jelas satu per satu, serta bahan-bahan yang harus dikeluarkan oleh tiap-tiap penduduk bagi kepentingan perayaan-perayaan untuk pura-pura itu. Pada lembaran penghabisan dari prasasti itu terdapat lukisan Bhatara Guru bertangan empat ('caturbhuja') di dalam sebuah lingkaran yang merupakan pancaran dari cahaya terang. Lukisan itu disebut 'rerajahan', artinya gambaran yang bersifat gaib yang dianggap mempunyai pengaruh kekuatan (magische kracht). Note: Prasasti itu ada hubungannya dengan prasasti Sangsit yang bertahun 1058 dan yang termuat pada pasal 9 bab II. Adanya prasasti itu mengesankan, bahwa terjadi pergeseran kekuasaan di Bali berselang 4 tahun lamanya pada masa itu. (p.73) Seperti diterangkan di atas, bahwa prasasti yang menerangkan adanya baginda raja Sri
60 CAKA MASEHI KET Ekajaya Lancana itu bertahun 1200, sedangkan prasasti yang menerangkan adanya baginda raja Sri Dhanadhiraja itu bertahun 1204. Akan tetapi begaimana halnya sehingga terjadi pergeseran itu, tidak terdapat keterangannya lebih jauh. Kemungkinan baginda raja yang namanya tersebut lebih dahulu mangkat selagi masih muda, lalu digantikan oleh baginda raja yang namanya tersebut belakangan. Akan tetapi ada kemungkinan juga, bahwa pergeseran itu terjadi lantaran perebutan kekuasaan, yang diakibatkan oleh pergantian kekuasaan di kerajaan Kediri (Jawa Timur). Seperti telah diterangkan di atas, bahwa baginda raja Sri Sarweswara Sringgala Lancana bertakhta di kerajaan Kediri hingga tahun 1200, dan sesudah itu digantikan oleh putranya yang bernama Kertajaya (1200-1222). Bahkan menurut dugaan, ternyata baginda raja Sri Ekajaya Lancana itu tidak dapat dikatakan bersaudara kandung, sebab ibunya baginda dari kedua raja itu ternyata namanya berlainan tersebut di dalam prasasti itu. Yang menjadi pertanyaan lagi, siapakah sebenarnya ayahnda baginda Sri Dhanadhiraja itu yang disebut Bhatara Parameswara. Kemungkinan ayahnya baginda itu tiada pernah menjadi raja di Bali, sebab prasasti-prasasti lain tidak ada yang menerangkan adanya baginda Bhatara Parameswara, sebelum baginda Sri Ekajaya Kancana dan Sri Dhanadiraja bertakhta. Jikalau Parameswara itu ialah untuk sebutan baginda raja Sri Jayapangus setelah mangkat, maka dapatlah dinyatakan, bahwa Sri Ekajaya Lancana dan Sri Dhanadhiraja itu menang bersaudara, akan tetapi berlainan ibu. Dan jikalau memang halnya demikian, dapatlah sekarang dikirakan, bahwa pergantian kekuasaan itu terjadi, adalah diakibatkan oleh percekcokan di kalangan permaduan dari ibunda baginda yang sama-sama sudah menjadi janda, setelah bagnda Sri Jayapangus yang disebut Bhatara Parameswara itu mangkat. Akan tetapi dugaan-dugaan itu tidada dapat dianggap sudah kuat alasannya, sebab kitab-kitab perpustakaan di Bali tidak ada yang menerangkan terjadinya peristiwa itu. Walaupun kejadian itu tinggal gelap, namun pengaruh kekuasaan di Jawa Timur itu tiada dapat diabaikan atas kedjadian di Bali, oleh percecokan yang mungkin terjadi di kalangan kekeluargaan. Hal itu akan dapat dinyatakan kemudian. 1200 7. Sri Hyang ning Hyang Adidewa Lancana (p.74) Seorang Tonghwa bernama Chau Ju Kua yang menjadi Inspektur perdagangan luar negeri dari kerajaan Tjongkok, pernah berkunjung ke pulau Jawa pada tahun 1925. Ia menerangkan kisah perjalanannya antara lain, bahwa kerajaan Kediri di Jawa Timur ketika itu sedang memuncak kebesarannya. Kekuasaan kerajaan itu sampai ke Mali, yang terletak di sebelah timur pulau Jawa katanya. Mali itu nistyaya Bali yang dimaksudkannya, maklumlah orang Tionghwa itu tidak fasih lidahnya menyebutkan sesuatu yang masih asing baginya. Keterangan orang Tionghwa itu agaknya sedikit keliru, sebab ketika itu kerajaan Kediri sudah runtuh, serta digantikan oleh kerajaan Singhasari yang muncul di Jawa Timur. Seperti telah diterangkan pada pasal 6 di atas, bahwa yang menjadi raja di kerajaan Kediri di antara tahun 1200 - 1222 ialah baginda raja Kertajaya, yang lazim juga disebut Prabhu Dangdang Gendis. Baginda itu dianggap sebagai raja di kerajaan yang penghabisan dari silsilah raja Airlanggha. Kekalahan baginda menghadapi penyerbuan laskar dari Tumapel dekat ganter pada tahun 1222, mengakibatkan kerajaan Kediri itu runtuh, serta baginda sendiri gugur dalam pertempuran itu. Yang menjadi pemimpin dari kaum penyerbu ialah Ken Arok yang menjadi Akuwu di Tumapel. Sesudah kerajaan Kediri itu [..]lituh, maka Akuwu itulah yang mendirikan kerajaan Singhasari, dan sebagai seorang raja yang besar kekuasaannya, Ken Arok lalu mempergunakan gelar 'abhiseka'-nya: 'Sri Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi (1222-1247). Peristiwa itu sudah banyak diitulis oleh para
61 CAKA MASEHI KET sarjana akhli sejara, jadi kedatangan orang Tionghwa itu di pulau Jawa ialah semasa kerajaan Singhasari itu sedang bangkit sebenarnya. Kemungkinan kerajaan Singhasari yang memperoleh kejayaan itu meluaskan pengaruh kekuasaannya sampai ke Bali sebagai diterangkan oleh orang Tionghwa itu, maklumlah yang menjadi raja di Bali, sekeluarga dengan raja-raja di kerajaan Kediri yang menderita kekalahan itu. Keterangan orang Tionghwa itu, serta terjadinya perebutaan kekuasaan di Jawa Timur itu, ternyata cocok dengan keterangan sebuah kitab perpustakaan di Bali yang bernama 'Tutur Usana Bali'. Kitab itu turut menerangkan bahwa pada suatu masa pernah berkuasa di Bali seorang raja yang dikatakannya bernama Ratu Cenangrok. Pernyatan kitab itu kiranya dapat dianggap, bahwa kekuasaan Ken Arok itulah yang dimaksudkan olehnya. Akan tetapi bagaimana sifat kekuasaan itu atas Bali, tidak diterangkan oleh kitab itu lebih jauh. Sementara itu terdapatlah sebuah prasasti di desa Bulian bertahun 1260. Prasasti itu menerangkan adanya seorang raja di Bali bergelar: Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang ning Hyang Adidewa Lancana. Note: Prasasti itu dihubungkan oleh para akhli pengetahunan peninggalan purbakala dengan adanya sebuah canda bernama Candi Dasa yang terletak dekat pantai di daerah Bali Timur. Pada candi itu terdapat tulisan-tulisan kuna yang berbunyi: 'ana-ning candi dasa wani sasih angalih'. Perkataan-perkataan itu berarti: 'ananing candi dasa' = adanya Candi Dasa, sedang 'wani sasih angalih' itu ialah Candrasangkala yang diduga mempuyai bilangan tahun Saka 1182 (=1260 Masehi). Seorang sarjana bernama Damste berpendapat, bahwa perhitungan Candrasangkala itu mestinya demikian: 'wani' = angka 1, 'sasih' = 1 juga, dan 'angalih' = angka 2. Oleh karena itu maka pernyataan tulisan itu dapat diartikan bilangan angka (1) 112 menurut system Suryasangkala, atau angka (1) 211 menurut system Candrasangkala. Pendapat sarjana itu tidak dapat dibenarkan oleh Dr.R.Goris, ia tetap berkeyakinan, bahwa tulisan-tulisan itu mengandung ati bilangan tahun Saka 1182. Alasan-alasannya tiada diterangkan olehnya lebih jauh. Memperhatikan gelar baginda raja itu, maka tidak perlu diragu-ragukan lagi, bahawa baginda itu ialah putra dari salah seorang raja yang tersebut pada pasal 6 di atas. Perkataan 'Parameswara' dan 'Lancana' yang tercantum pada gelar baginda itu, justru dapat memperkuat anggapan itu. Oleh karena itu lalu timbul dugaan, bahwa baginda itulah yang mengakui kedaulatan kerajaan Singhasari di Jawa Timur atas Pulau Bali, meskipun secara samar-samar untuk menghindari ancaman yang berbaya dari kerajaan itu yang sedang memuncak kebesarannya. Semenjak kapan dan berapa tahun lamanya baginda raja bertakhta di Bali, tidak terdapat kererangannya lebih jauh. 1254 Dalam pada itu kitab sejarah Indonesia menerangkan, bahwa baginda raja di kerajaan Singhasari yang bernama Kertanagara (1254-1292), pernah menaklukkan Bali pada tahun 1284. Hal itu menyatakan, bahwa Bali tiada suka tunduk lagi di bawah kekuasaan itu, sehingga lasykar dari kerajaan Singhasari lalu diseberangkan ke Bali, guna menudukkan kekuasaan di situ. Akan tetapi sayang benar pernyataan kitab itu kurang jelas, siapa sebenaanya yang menjadi raja ketika itu di Bali. Menurut dongengan yang tersar di Bali dari mulut ke mulut, bahwa ketika laskar dari Jawa datang melakukan penggempuran ke Bali, konon katanya Sri Pudungan yang menghadapinya. Sri Pudungan itu berkeraton di Pejang, menyambut kedatangan musuh itu dengan sengit. Pertarungan yang hebat dan dasyat terjadi di desa Sawah Gunung, yang dahulu katanya bernama Sawa Gunung. 'Sawa' artinya mayat atau bangkai, dan 'Gunung' = gunung. Dari pengertian itu lalu menimbulkan anggapan, bahwa desa itu bekas menjadi lapangan pertempuran, di mana terdapat gunung bangkai, karena gugurnya para perwira kedua belah pihak yang sedang menyabung nyawa
62 CAKA MASEHI KET di situ. Pun nama dari Pura Pengukur-ukuran yang terdapat di desa itu juga dipakai alasan untuk menyatakan, bahwa di situ pernah terjadi perang tanding mempergunakan senjata keris seorang melawan seorang. 'Pengukur-ukuran' itu asal katanya 'maukur', yang berarti saling tikam dengan keris. Dongengan itu sukar dapat diterima keseluruhannya, sebab prasasti-prasasti yang sekian banyaknya terdapat di Bali, tidak ada yang menerangkan adanya baginda raja itu. Kemungkinan baginda Sri Pujungan itu ialah Sri Hyang ning Hyang Adidewa Lancana yang dimaksudkannya, akan tetapi kebenarannya akan sukar dapat dipertanggung jawabkan. Kemungkinan juga sesudah baginda raja Sri Hyang ning Hyang Adidewa Lancana mengakhiri kekuasaannya, terdapat lagi seorang raja yang bernama Sri Pujungan itu, dan yang berani menentang kekuasaan baginda raja Kertanagara yang bertakhta di kerajaan Singasari (Jawa Timur). Sementara itu seorang sarjana bernama Friedrich beranggapan, bahwa Sri Pujungan itu aialah Sri Tabanendra Warmadewa sebenarnya, mengingat Pujungan itu ialah nama sebuah desa yang sekarang terdapat di daerah Tabanan (Bali Barat). Anggapan sarjana itu lebih-lebih lagi tiada dapat dipakai pegang dengan kuat, karena alasannya tiada jauh berbeda dengan keadaan dongen itu. Tentang adanya Sri Tabanendra Warmadewa itu, sudah dimuat ceriteranya terlebih dahulu 1260 8. Sri Bhatara Mahaguru Dharmottunggu Warmadewa dan Sri Walajaya Krttaningrat (p.76) Pada penghabisan pasal 7 di atas sudah dibayangkan selayang pandang, bahwa sesudah tahun 1260 keadaan di Bali tinggal gelap lebih dari 60 tahun lamanya. Selama itu tidak terdapat lagi prasasti-prasasti yang menerangkan adanya raja-raja yang bertakhta di Bali. Setelah itu terdapatlah sebuah prasasti di desa Pengotan bertahun 1296, menerangkan adanya seorang raja-patih di Bali bernama Kebo Parud. Nama dari raja-patih itu, begitu juga nama-nama dari pegawai-pegawai bahawannya yang tersebut di dalam prasasti itu mengesankan, bahwa mereka itu berasal dari kerajaan Singhasari (Jawa Timur). Justru perkataan 'kebo' yang tercantum pada pangkal nama dari raja-patih itu, begitu juga nama-nama dari pelbagai hewan yang menjadi hiasan dari nama-nama pegawai negeri sebawahannya selaku titel kepangkatannya masing-masing, dapat memperkuat keyakinan, bahwa mereka itu memang berasal dari sana. Menurut sepanjang penyelidikan, bahwa kebiasaan mempergunakan nama-nama hewan untuk tanda kepangkatan itu, adalah tercipta semasa baginda raja Sri Kronsyarijadhipa bertakhta di kerajaan Singahsari (1181-1185). Pada waktu itulah nama-nama kepangkatan itu tercipta dengan mempergunakan nama-nama pelbagai hewan dan binatang liar, misalnya gajah untuk sebutan mahapatih atau patih-mangkubhumi, kebo (=kerbau) ialah untuk sebutan patih, begitu selanjutnya nama-nama dari para mentri bawahannya semua diberi tambahan serupa itu, yaitu: 'mahisa'; artinya kerbau putih, ‘lembu’ artinya sapi, ‘kuda’ atau ‘jaran’, dan sebagainya. Nama-nama kepangkatan itu bukan saja dipergunakan untuk menyatakan bahwa mereka menjadi pegawai negeri memegang pemerintahan, melainkan berlaku juga untuk tanda kepangkatan di kalangan ketentaraan. Jadi mereka yang mendapat sebutan demikian, ialah suatu tanda, bahwa mereka menjabat 2 jenis pekerjaan, yaitu selaku pemimpin rakyat dan selaku kepala pasukan. Prasasti tersebut di atas kecuali menerangkan adanya raja-patih itu, juga membicarakan antara lain tentang 'desa basang ara', yaitu sama halnya dengan prasasti yang terdapat di desa itu juga yang bertahun 1181, dan yang sudah diterangkan pada pasal 5 angka 9 di atas, semasa Sri Jayapangus bertakhta. Kemungkinan sesudah Bali dapat ditaklukkan oleh baginda Kertanagara pada tahun 1284 (baca pasal 7 di atas), segera dikirim dari kerajaan Singhasari ke Bali beberapa orang pegawai negeri untuk memegang kekuasaan di bawah pimpinan raja-patih itu.
63 CAKA MASEHI KET Di desa Sukawana terdapat pula sebuah prasasti bertahun 1300, turut juga menerangkan adanya Kebo Parud yang menjadi raja-patih itu. Sifat prasasti itu sama dengan prasasti tersebut di atas, juga membicarakan tentang 'desa sikawana', yang sudah pernah dipersoalkan terlebih dahulu. 1300 Lain dari pada kedua buah prasasti tersebut di atas, tidak terdapat lagi prasasti-prasasti lain yang menerangkan adanya Kebo Parud yang menjadi raja-patih di Bali. Kemungkinan tidak antara lama sesudah tahun itu (1300), kekuasaan raja-patih itu telah berakhir di Bali, yang diakibatkan oleh terjadinya perebutan kekuasaan dengan penumpahan darah secara besar-besaran di Jawa Timur. Menurut kitab-kitab sejarah Indonesia yang sudah banyak ditulis oleh para sarjana ahli sejara, bahwa menjelang penghabisan abad ke-XIV terjadilah perang saudara di Jawa Timur yang mengalirkan banyak darah. Di antaranya ialah ketika kerajaan Singhasari di bawah baginda Kertanagara digempur oleh Adipati atau 'Natha' dan Kediri yang bernama Jayakatwang, sehingga kerajaan itu hancur lebur, serta baginda raja Kertanagara sendiri gugur dalam pertempuran itu. Peristiwa itu terjadi pada bulan Mei 1292. Note: Baginda raja Kertanagara disebut juga Prabhu Siwa-Buddha, lantaran memeluk agama Siwa dan Buddha yang diperpadukan olehnya itu. Dua tahun kemudian sesudah itu, angakatan perang dari Tiongkok yang besar jumlahnya mendarat di pulau Jawa, bersedia hendak menghukum baginda raja Kertanagara, atas perbuatan baginda dahulu dapat menghinakan utusan Kaisar Khu Bilai bernama Meng Ki. Oleh karena baginda telah mangkat seperti keterangan di atas, maka angkatan perang Tiongkok itu lalu berhadap-hadapan dengan laskar kerajaan Kediri di bawah baginda Jayakatwang itu. Pertempuran itu terjadi ialah atas dorongan Raden Wijaya yang menjadi menantu dari baginda raja Kertanagara itu, sehingga kerajaan Kediri itu menderita kekalahan, karena baginda Jayakatwang dapat ditawan dan dipenjarakan di Ujung Galu oleh musuhnya itu. Di sanalah baginda Jayakatwang itu mengakhiri riwayat hidupnya, peristiwa itu terjadi pada tahun 1294. Beberapa hari sesudah itu, Raden Wijaya berhasil mengusir angkatan perang Tiongkok itu dari Jawa dengan kekuatan senjata, sehingga Raden Wijaya itu sanggup kemudian mendirikan kerajaan Majapaht yang amat masyur namanya kelak. (p.77) Sebagai raja yang besar kekuasaannya itu, Raden Wijaya lalu mempergunakan gelar resminya: Kertarajasa Jayawardana, selaku pembina dari kerajaan Majapahit pertama kali (1293- 1309). Kekacauan yang terjadi di Jawa Timur itu memberi kesempatan kepada ahli waris kekuasaan di Bali untuk membebaskan diri dari ikatan kekuasaan kerajaan Singhasari yang sudah runtuh dari kebesarannya itu. Bangkitlah lagi kekuasaan di Bali itu dinyatakan oleh 2 buah prasasti yang terdapat de desa Cempaga sama-sama bertahun 1324. Sebuah di antaranya yang diterbitkan di dalam bulan Srawana atau bulan ke-I (Juli/Agustus) menerangkan, bahwa di dalam tahun itu sudah terdapat di Bali seorang raja yang dikatakannya bernama: 'paduka bhatara guru, kalih putunira paduka aji sri tarunajaya'. Artinya aialah baginda raja Bhatara Guru bertakhta di Bali, beserta dengan cucunda baginda yang bernama Sri Tarunajaya. Akan tetapi prasasti yang diterbitkan di dalam bulan Asuji atau bulan ke-III (September/Oktober), yaitu 3 bulan kemudian, hanyalah menyebutkan nama dari baginda raja: 'paduka bhatara Sri Mahaguru' saja. Jadi kesimpulannya, bahwa semenjak tahun 1324, atau beberapa tahun sebelumnya, ternyata kekuasaan di Bali itu sudah bangkit kembali dari keruntuhannya, oleh dan
64 CAKA MASEHI KET karena usaha baginda raja yang disebut: 'Sri Mahaguru' itu. Perlu juga diterangkan, bahwa prasasti yang terdapat di desa Cempaga itu, dan yang terbit di dalam bulan Srawana, kecuali menerangkan adanya baginda raja itu, ternyata membicarakan tentang 'karaman Hyang Putih', dan adanya 'Bhatara ring Candri Manik'. Maksudnya ialah keadaan adat desa di desa Hyang Putih, dan adanya seorang raja yang dijenazahkan di Candri Manik. Baik nama dari desa itu, maupun nama dari Candri Manik itu, tidak ada orang yang mengetahui sekarang di Bali, entah di mana letaknya. Sementara itu prasasti yang diterbitkan di dalam bulan Asuji, ternyata menerangkan adanya 'karaman campaga', artinya adat desa di desa Cempaga tersebut. Jelas diterangkan dalam prasasti itu tentang permohonan orang-orang desa di sana, agar supaya memperoleh kebebasan dari pembayaran pajak. Alasannya ialah karena desa itu pernah diserbu oleh penduduk desa Hyang Tumpu yang menjadi tentangannya, sehingga penduduk desa Cempaga itu menderita pelbagai kesukaran, lantaran rumah-rumah mereka banyak terbakar, harta benda mereka habis dirampas oleh musuhnya itu. Pun tiada sedikit jumlah kawan-kawan mereka tertawan akibat dari penyerbuan itu, di antara ada yang melarikan diri meninggalkan desanya. Akhirnya permohonan mereka yang beralasan itu, ternyata dibenarkan dan dikabulkan oleh baginda raja. Note: Prasasti itu ternyata ada hubungannya dengan prasasti Cempaga yang bertahun 1181 (baca pasal 5 angka 13 tersebut di atas). Di desa Bedulu pada sebuah pura bernama Pejaksaan terdapat sebuah candi kecil berisi tulisan angka menyebutkan bilangan tahun Saka 1264 (=1324 Masehi). Sekarang timbul pertanyaan, siapakah sebenarnya baginda raja itu? Pertanyaan itu segera mendapat jawaban dari sebuah prasasti yang terdapat di desa Tumbu bertahun 1325. Di dalam prasasti itu jelas tersebut gelar baginda selengkapnya, ialah: 'Sri maharaja Sri bhatara Mahaguru Darmottungga Warmadewa'. Dari keterangan prasasti itu dapatlah sekarang dinyatakan, bahwa baginda itu berasal dari dynasti Salonding yang mempergunakan gelar Warmadewa, sebagai keterangan pada bab II dalam beberapa pasal berturut-turut. Prasasti yang terdapat di desa Tumbu itu, kecuali menerangkan adanya baginda raja itu, juga membicarakan antara lain tentang 'karaman Tumbu', artinya adat desa di desa Tumbu. Kemudian terdapat lagi sebuah prasasti di desa Salumbung bertahun 1328, menerangkan adanya seorang raja yang namanya berlainan. Tersebut di dalam prasasti itu ialah: 'paduka bhatara Sri Walajaya Krttaningrat, beserta 'ibunira sira paduka bhatara Sri Mahaguru. Maksudnya ialah baginda raja Sri Walaya Krttaningrat, beserta dengan ibunda baginda yang telah janda, yaitu bekas permaisuri dari baginda Sri Mahaguru yang telah mangkat. Dapatlah dikira-kirakan, bahwa baginda Sri Walajaya Krttaningrat itu ilalah tiada lain dari pada Sri Tarunajaya tersebut di atas. Perkataan 'Walajaya' dan 'Tarunajaya' itu adalah menunjukkan persamaan arti, yaitu nama-nama berarti: jejaka yang sedang jaya. Prasasti yang terdapat di desa Selumbung itu, kecuali menerangkan adanya baginda raja dan ibunda baginda itu, ternyata membicarakan juga antara lain tentang 'karaman Salumbung', artinya adat desa di desa itu. Tersebut juga di dalam prasasti itu tentang adanya 'Sanghyang Candri ring Linggabhuana', akan tetapi siapa raja itu yang dimaksudkan oleh prasasti itu yang dijenazahkan di tempat itu, serta di mana letak Linggabhuana itu tidak terdapat bekas-bekasnya sekarang. Note: Pada sebuah batu yang terdapat di desa Krambitan, terdapat tulisan angka yang menyembutkan bilangan tahun Saka 1250 (=1328 Masehi). Tetapi apa maksudnya tulisan itu tidaklah terang, hanya bilangan tahunnya ada bersamaan dengan prasasti yang terdapat di desa
65 CAKA MASEHI KET Selumbung itu, sehingga dapat menarik perhatian karenanya. (p.78) Adanya baginda raja itu kiranya tidak akan menyimpang dari pada kebenaran, apabila dihubungkan dengan pernyataan kitab-kitab 'Usana Bali' dan 'Purana-Tatwa' yang sama-sama menerangkan adanya seorang raja di Bali pada waktu yang bersamaan, yang disebut olehnya bernama Sri Masula-Msuli. Diterangkan oleh kitab-kitab itu, bahwa kelahiran baginda itu konon karena ciptaan alam. Pada sebuah pura bernama Batu-Madeg yang tertelak di lereng Gunung Agung (baca pasal 2 bab II) terdapat pohon nyur, maka dari buah kelapa yang masih muda di situ katanya baginda mulamula terlahir. Baginda bernama Sri Masula-Masuli, karena kelahiran baginda dianggap kembar lakiperempuan yang disebut: 'Buncing'. Sebab itu baginda disebut juga Dalem Buncing. Dalem = maharaja, dan Buncing artinya: kawin. Masula ialah nama baginda sendiri, sedang Masuli ialah nama dari permaisuri baginda, maka dari sebutan itu ternyata baginda sudah kawin dengan saudara perempuan sekelahiran selagi di dalam kandungan. Perkawinan yang bersifat 'buncing' itu dipandang sah oleh hukum adat, bahkan dianggap akan mendatangkan berkah keselamatan dan kebahagian kelak. Akan tetapi jikalau kelahiran itu terjadi di kalangan rakyat jelata, yaitu bukan di kalangan raja-raja atau orang bangsawan, lalu dianggap berdosa dengan istilah 'Manak-salah'. 'Manak' artinya beranak, dan 'salah' artinya berdosa atau bersalah. Jadi dengan istilah itu sudah dinyatakan, bahwa kelahiran yang disebut 'buncing' yang terjadi di kalangan rakyat jelata itu sudah dianggap bersalah atau berdosa, meskipun kelahiran itu memang kehendak alam. Kejadian itu dianggap berdosa, karena menyerupai sifat kelahiran rajanya, maka bayi-bayi itu dipandang sudah terkutuk, mungkin akan mendatangkan malapetaka bagi seluruh desa di mana bayi-bayi itu terlahir. Maka untuk menghidari malapetaka akibat dari kelahiran yang berdosa itu, bayi laki-prempuan yang baru lahir itu lalu diasingkan tempatnya ke luar desa, atau dekat kuburan. Pengasingan itu terjadi selama 42 hari, selaku ujian untuk menentukan, apakah kelahiran itu memang menjadi kehendak alam. Selamat masih hidup selama itu, barulah bayi-bayi itu dibolehkan membawa pulang kembali ke rumahnya. Sekalipun demikian namun seluruh desa di mana terjadinya 'Manak-salah' itu masih dipandang cemar, sebelum diadakan upacara perayaan yang disebut 'Mesadi', untuk membersihkan keadaan itu yang bersifat penyucian. Pada waktu yang ditentukan upacara itu lalu dilangsungkan, orang-orang desa sibuk menyelenggarakan pembersihan desanya secara gotong-royong. Semua arca alat pemujaan dibawa dan diusung ke laut guna dibersihkan atau disucikan kembali di sana. Perayaan itu disebut: 'Makihis' atau 'Melasti', merupakan arak-arakan besar beramai-ramai pergi ke pantai. Sesudah itu barulah desa itu dipandang bersih, terhindar dari pada kutuk dan noda. Demikian asal mula adanya kepecayaan 'Manak-salah' itu, semenjak baginda raja Sri MasulaMasuli bertakhta di Bali. Kepercayaan itu akhirnya menjelma menjadi udang-undang hukum adat, yang harus ditaati oleh sekalian penduduk, demi keselamatan desanya. Kepercayaan itu hingga sekarang masih berkesan di Bali, sehingga adanya baginda raja Sri Masulua-Masuli yang tersebut di dalam kitab-kitab itu tiada dapat diabaikan. Note: Masalah 'Manak Salah' itu disebut juga di dalam kitab yang bernama 'Batur-Kalawasan'. Semenjak Indonesia Merdeka, adat mengenai 'Manak-salah' itu dinyatakan tidak berlaku lagi oleh pemerintah Daerah Bali (baca surat keputusan dari Pemerintah itu tgl. 5 Juni 1951 No. 6/1951. Menurut keterangan kitab-kitab itu selanjutnya, bahwa selama baginda raja itu bertakhta, keadaan di Bali tinggal aman dan makmur. Sebagian daerah Jawa Timur menjadi daerah takluknya
66 CAKA MASEHI KET kekuasaan di Bali katanya, begitu juga pulau-pulau Madura, Lombok, Sumbawa sampai ke Bima yang terletak di sebelah timur dari pulau Bali, penduduknya semua tunduk di bawah kebesaran baginda raja itu. Akan tetapi bagaimana asal mulanya dan caranya baginda dapat menaklukkan daerah dan pulau-pulau itu, sama sekali tidak diterangkan oleh kitab-kitab itu. Namun dapat dikira-kirakan, bahwa keadaan di Jawa Timur yang sedang kacau itu, memungkinkan baginda meluaskan kekuasannya samapai ke sana. Ketiadaan keterangan-keterangan lagi untuk membuktikan kekuasaan baginda sampai ke daearah dan pulau-pulau itu, maka sukarlah caranya mempertanggung jawabkan kebenarannya. Akan tetapi tidaklah mustahil, bahwa kekuasaan di Bali itu sedang mencapai puncak kebesarannya pada masa itu, dan menjadi saingan kerajaan Majapahit di Jawa Timur yang sedang jaya. Pada masa itu bertakhta di kerajaan Majapahit seoraang ratu bernama Sri Gitarja yang disebut juga Bhre Kahuripan dengan gelar resminya: 'Tribhuanatunggadewi Jaya Wisnuwardhani (1328-1350). Kebesaran dan kejayaan kerajaan itu semata-mata karena kecakapan seorang ahli negara yang bernama Gajah Mada yang berpangkat patih-mangkubumi. Bagaimana sifat perhugungan kerajaan Majapahit dengan kekuasaan di Bali pada masa itu, nanti akan dilanjuntkan ceriteranya pada pasal 9 di bawah ini. 1329 9. Sri Astasura Ratna Bumibanten (p.79) Pada sebuah pura bernama 'Pusering Jagat' yang terletak di desa Pejeng, di situ terdapat sebuah batu besar berisi tulisan-tulisan kuna. Tulisan-tulisan itu merupakan Candrasangkala: melukisakan ..., mata, panah dan orang. Oleh para ahli lukisan itu dinyatakan bilangan tahun Saka 1251 (=1329 Masehi). Oleh karena tulisan-tulisan itu tergores di situ, maka timbullah anggapan, bahwa tulisan angka itu suatu peringatan, adanya seorang raja di Bali yang beretakhta mulai dinobatkan pada tahun itu. Sebagai telah dimaklumi, bahwa Pura Pusering Jagat itu adalah salah sebuah pura yang terpenting di Bali, selaku lambang kebesaran dan pemusatan kemesyarakatan, serta menjadi pemujaan segenap penduduk. Keadaan pura itu diterangkan pada penghabisan pasal 5 di atas. Akan tetapi bagi saja siapa peringatan itu diperuntukkan, haruslah diadakan penyelikikan lebih jauh lagi. Sementara itu terdapatlah sebuah arca terletak di atas Gunung Panulisan, pada sebuah pura bernama Tegeh Koripan. Pada punggung arca itu terdapat tulisan-tulisan kuna yang menyebutkan adanya seorang raja bernama: 'Astasura Ratna Bumibanten'. Pun di samping tulisan-tulisan itu terdapat pula lukisan angka yang mempunyai bilangsan tahun Saka 1254 (=1332 Masehi). Note: Sarjana Damais berpendapat, bahwa Candrasankala yang terlukis di situ merupakan gambaran: mata-kapak-sagara atau gunung, harus diartikan tahun Saka 1352. Tetapi pendapatnya itu dibantah oleh Dr.R.Goris, ia lebih condong apabila bilangan tahun Saka itu dijadikan 1257. Bantahannya itu beralasan, mengingat Bali nanti digempur oleh Majapahit pada tahun Saka 1265 (=1343 Masehi). Adanya baginda raja itu dijelaskan lagi oleh sebuah prasasti yang terdapat di desa Langgahan bertahun Saka 1259 (=1337 Masehi). Di dalam prasasti itu tersebut nama baginda: 'paduka bhatara Sri Astasura-ratna-bumi-banten'. Jadi sebutan prasasti itu tidak berbeda dengan bunyinya tulisan yang tergores di atas punggung arca yang terdapat di atas Gunung Panulisan itu, yaitu sama-sama menyatakan adanya baginda raja itu, yang mungkin sudah bertakhta sejak tahun 1329, menurut batu peringatan yang terdapat di Pura Pusering Jagat tersebut di atas.
67 CAKA MASEHI KET Adapun prasasti yang terdapat di desa Langgahan itu, bukan saja menerangkan adanya baginda raja itu, melainkan menyebutkan juga adanya 'Wihara Bahung', yang terletak di lereng Gunung Agung. Persoalan 'Whihara Bahung' itu sudah diterangkan pada pasal 12 bab I dan pasal 5 di atas, akan tetapi keterangan prasasti itu adalah sebagai penjelasan, bahwa Wihara Bahung itu ialah tempat pertapaan Mpu Dangupadhaya Kangka, yang menjadi penasehat baginda raja di Bali. Lain dari pada itu banyak lagi terdapat keterangan-keterangan menurut uraian prasasti itu, di antaranya ialah adanya Panji Singharaja, yang dikatakannya berpangkat Kanca ketiga pada waktu itu. Nama-nama geria (rumah-rumah pendita) diterangkan di dalam prasasti itu berturut-turut yang tersebut 'Kasaiwan' (untuk agama Siwa) ialah: Air Garuda, Air Gajah, Antakunjarapada atau Ratnakunjarapada, Bimor, Dharma Hanar, Haritanten, Kanyabhuwana, Kusumadanta, Lokeswara, Suryamandala dan Udayalaya. Begitu juga geria-geria untuk agama Buddha yang disebut 'Kasogatan', ialah: Bajrasikhara, Badaha, Wihara Bahung, Buruan, Cang(h?)ini, Dharmarnya, Knsala, Kuti-Hanar, Lwa gajah, Nalanda dan Waranasi. Geria-geria tersebut kebanyakan tidak dikenal sekarang di Bali. Hanya beberapa buah di antaranya yang masih dapat dikira-kirakan bekas-bekasnya, ialah sebagai sudah diterangkan pada pasal 12 bab I, pasal 2 bab II dan pasal 7 bab II. Menurut pendapat para ahli, bahwa baginda raja Sri Astasura Ratna Bumibanten itu, ialah raja penghabisan yang bertahta di Bali dari silsilah Darmadewa. Runtuhnya kekuasaan baginda raja itu, adalah disebabkan oleh serangan kerajaan Majapahit yang ceriteranya akan dilanjutkan kemudian. Keterangan petilasan-petilasan itu agaknya tiada akan menyimpang dari pada kenyataan, apabila disesuaikan dengan keterangan sebuah kitab perpustakaan yang bernama: 'usana-Jawa'. Menurut keterangan kitab itu, bahwa yang menjadi raja di Bali semasa itu ilalah Sri Gajah Wahana katanya, yang disebut juga Sri Tapolung. Baginda itu ialah putra dari baginda raja Sri Masula-Masuli yang tersebut pada pasal 8 di atas, akan tetapi dari perkawinan baginda dengan seorang wanita dari kalangan rendah. Baginda raja Sri Galah Wahana itu amat masyur akan kesaktiannya, demikian diterangkan oleh kitab itu selanjutnya. Baginda mempunyai 2 orang patih termuka, masing-masing bernama Pasung Gerigis dan Kebo Iwa. Pasung Gerigis bertempat tinggal di desa Tengkulak, dan Kebo Iwa tinggal di desa Blahbatu. Mereka amat setia kepada rajanya, Pasung Gerigis terkenal akan kepewiraannya, sedang Kebo Iwa dipandang orang kuat, karena tubuhnya besar (p.80) tinggi luar biasa. Oleh karena Kebo Iwa selamanya tinggal membujang, maka ia disebut juga Kebo Taruna. Ia tiada mempunyai kawan hidup selama-lamanya, wanita-wanita di Bali tidak ada yang sanggup menjadi pasangannya, lantaran tubuhnya yang luar biasa besar dan tingginya itu. Menurut kepercayaan kebanyakan penduduk di Bali hingga sekarang, bahwa segala bangun-bangunan peninggalan purbakala yang bentuknya amat besar luar biasa, yang tak mungkin dikerjakan oleh manusia biasa, adalah perbuatan Kebo Iwa Itu. Kemasyuran baginda raja Sri Gajah Wahana oleh kesaktiannya itu, ialah karena baginda dipandang mempunyai kesanggapan berkunjung ke surga setiap waktu. Perjalanan baginda apabila hendak pergi ke surga itu, dilakukan oleh baginda mula-mula dari Penelokan, yang terletak di tepi danau Batur. Di situ baginda beryoga memusatkan ciptannya di atas sebuah batu besar, dengen dikawal oleh kedua orang patihnya itu. Sesudah selesai mengucapkan mentera-mentera, batang leher baginda lalu dipenggal oleh Pasung Gerigis, menurut syarat-syarat yang sudah dibisikan oleh rajanya itu terlebih dahulu.
68 CAKA MASEHI KET Kepala baginda yang sudah putus dari tubuhnya itu segera melayang ke udara, bersama-sama dengan kepulan asap Gunung Batur yang berapi itu. Sesudah puas tinggal di surga, kepala baginda datang lagi dari udara, seraya melekat pada tubuh baginda yang tinggal di atas batu besar itu, bagaikan patung laiknya. Baginda hidup kembali sebagai sediakala, perbuatan itu sudah sering kali dilakukan oleh baginda. 1133 Tentang adanya baginda raja Sri Gajah Wahana itu, meskipun nama baginda tidak pernah juga tercantum di dalam prasasti-prasasti itu, namun pernyatakan membuktikan, bahwa baginda itu ialah raja di Bali yang penghabisan dan yang disebut juga Dalem Behadulu. Pembuktian itu akan dijelaskan nanti pada pasal 2 di bawah ini. Selain dari pada prasasti-prasasti dan batu-batu tertulis yang sudah diutarakan berturut-turut pada bab II dan III itu, ternyata ada lagi beberapa buah prasasti lain terdapat di Bali, yang kini masih tersimpan di sana-sini pada beberapa desa. Sayang prasasti-prasasti itu tidak menyebutkan bilangan tahun dan nama-nama raja yang menerbitkannya, sehingga sukar untuk menentukan keselahannya[?]. Prasasti-prasasti itu tertulis di atas kepingan-kepingan tembaga menyatakan kekuasaannya, bahkan di antaranya ada yang dianggap lebih kuna diterbitkan dari pada prasastiprasasti yang sudah pernah dibicarakan itu. Adanya prasasti-prasasti itu ba[?]juga diterangkan satu per satu untuk direnungkan bersama-sama, dan terdapatnya prasasti-prasasti itu ialah di desa: 1. Manik Liu. Bentuk huruf dan sifat prasasti itu hamir sejenis dengan prasasti yang terdapat di desa itu juga yang bertahun 1133, dan yang sudah pernah dibicarakan pada pasal 4 bab III. Akan tetapi gaya bahasanya adalah menyerupai prasasti Sawan/Blantih yang bertahun 1098 (baca pasal 2 bab III) atau prasasti Goblek bertahun 1115 (baca pasal 3 bab III). Tersebut di dalam prasasti itu antara lain, ialah: “sang senapati maniringin”, artinya ialah: hulubalang di Manjiringin, dan ‘tlas sinaksyaken”, artinya ialah: habis disaksikan, yang bermakna disahkan. Pada penutup prasasti itu tersebutlah kata-kata: “teher parimandalanira taninya cinacurdesa”. Artinya kira-kira ialah: tetap menjadi desa perdikan dari petani-petani keempat buah desa itu. 2. Sibang-kaja. Memperhatikan bentuk dan corak prasasti itu, kemungkinan diterbitkan semasa Sri Ugrasena bertakhta. Sejenis dengan prasasti Goblek yang tdak bertahun itu (baca pasal 3 bab II), sehingga penerbitannya juga di antara tahun 1048-1181. 3. Lukluk, Ubung dan Pamejutan. Keping-keping tembaga untuk prasasti itu terpisah-pisah (p.84) letaknya: sebagian terdapat di desa Lukluk, sebagian lagi terdapat de desa Ubung dan Pamejutan. Tersebut di dalam prasasti itu di antaranya, ialah ”karaman samuran”, artinya ialah: adat desa di Samuran (?). Tersebut pula: “Hyang Karampas”, yang menjadi tempat kediaman seorang pendita beragama Siwa. Di mana letak Hyang Karampas itu, sukar diketahui bekas-bekasnya sekarang. Memperhatikan bentuk huruf prasasti itu, agaknya sejenis dengan prasasti Sibang-kaja yang tersebut pada angka 2 di atas. Kemungkinan prasasti itu diterbitkan semasa Anak Wungsu atau Sri Jayapangus bertakhta. 4. Ngis. Tersebut di dalam prasasti itu antara lain: “thani baraha”, artinya ialah: orang-orang tani di Beraha. Di mana letak Baraha itu sukar ditentukan sekarang. Oleh karena prasasti itu ditulis 7 baris tiap-tiap muka, maka timbullah anggapan, bahwa prasasti itu sejenis dengan prasasti Mantring yang bertahun 1181, yang diterbitkan semasa Sri Jayapangus bertakhta (baca pasal 5 bab III). 5. Bebetin. Tersebut di dalam prasasti itu adanya: “paduka sri maharaja sri samajaya”, artinya ialah: Yang mulia baginda raja Sri Samajaya. Kemungkinan baginda itu adalah Sri Jayapangus yang
69 CAKA MASEHI KET disebut juga demikian, sebab nama-nama dari pegawai-pegawai negeri yang tersebut di dalam prasasti itu semuanya sama dengan yang tersebut di dalam prasasti-prasasti penerbitan baginda itu. Misalnya kepangkatan “samgat” tersebut antara lain di dalam prasasti itu yang menerima perintah baginda raja, sehingga dapat mempertebal keyakinan, bahwa prasasti itu diterbitkan pada masa dan oleh baginda raja itu. 6. Cempaga. Tersebut di dalam prasasti itu antara lain: “tokyen wara sanmata anugrahanira”, artinya kira-kira ialah: sebab itulah maka diperkenankan olehnya. Lagi pula tersebut: “karaman campaga”, artinya ialah: adat desa di desa Cempaga. Walaupun di dalam prasasti itu ada tersebut nama Sri Jayapangus, namun para ahli belum berani menyatakan, bahwa prasasti itu memang diterbitkan oleh baginda itu. Kekusutan bunyi prasasti itu, menyebabkan keragu-raguan itu. 7. Teba-kauh. Tersebut di dalam prasasti itu antara lain: “karaman Lubanan”, artnya ialah: adat desa di Lubunan. Kemungkinan Lubunan itu adalah Lumbanan yang dimaksudkan olehnya. Lumbanan itu ialah nama sebuah desa yang masih terdapat sekarang. Tersebut juga di dalam prasasti itu pelbagai upacara keagamaan yang harus diselenggarakan oleh orang-orang desa di situ. Memperhatikan sifatnya, agaknya prasasti itu sejenis dengan prasasti yang terdapat di desa itu juga, dan yang sudah dibicarakan pada pasal 5 bab III angka 15. 8. Klungkung. Tulisan prasasti itu tidak terang, hanya 2 patah kata saja yang masih dapat dibaca, yang menyebutkan: “Dharma Er-ara”. Maksudnya kira-kira ialah: tanah perdikan di Er-ara. Tetapi di mana letak Er-ara itu, tidak terdapat bekas-bekasnya sekarang. Sifat prasasti itu agaknya sejenis dengan prasasti-prasasti yang diterbitkan semasa Sri Jayapangus bertakhta (baca pasal 5 bab III). 9. Angsari. Prasasti itu tertulis 13 baris tiap-tiap muka, adalah menyatakan akan kekunaannya. Kemungkinan prasasti itu diterbitkan antara tahun 914-915, menilik coraknya adalah serupa dengan prasasti Gobleg yang bertahun 914 (baca pasal 2 bab II), atau dengan prasasti Srokadan yang betahun 915 (baca pasal 3 bab II). Tetapi jikalau ditilik dari keadaan prasasti itu ditulis 13 baris tiap-tiap muka, kemungkinan prasasti itu diterbitkan lebih dahulu dari pada prasasti-prasasti yang dipakai perbandingan itu. Bahkan lebih lama pula dari pada semua prasasti-prasasti yang sudah dibicarakan itu. Tersebut di dalam prasasti itu antara lain nama seorang penjabat: “Gamarohana”, yang dapat dibandingkan dengan sebutan kepangkatan di dalam prasasti Gobleg yang bertahun 1115 (baca pasal 3 bab III), di mana tersebut “Gajarohana” yang berpangkat “juru wadwa”, artinya petugas yang mengatur pasukan. 10. Mantring. Tersebut antara lain di dalam prasasti itu, ialah: “karaman pagar balatungan”, artinya ialah: adat desa di Pagar Balatungan. Akan tetapi desa mana yang dimaksudkannya itu, sukar ditentukan sekarang. Menilik dari sifat dan betuk prasasti itu, kemungkinan diterbitkan semasa Sri Jayapangus bertakhta (baca pasal 5 bab III). 11. Gobleg. Gaya prasasti itu menunjukkan sifatnya sejenis dengan prasasti Trunyan yang bertahun 1049, atau dengan prasasti Sukawana yang bertahun 1054 (baca pasal 9 bab II yang tersebut pada angka 1 dan 4). Akan tetapi jikalau diperhatikan bentuk huruf-hurufnya, sama sekali tidak menunjukkan persamaan dengan prasasti-prasasti yang dipakai perbandingan itu. Tersebut di dalam prasasti itu antara lain: “karaman tamblingan”, artinya ialah adat-istiadat di Tamblingan. Sedangkan Tamblingan itu, ialah nama sebuah danau yang terletak di sebelah barat danau Beratan. Prasasti itu mempergunakan bahasa Jawa-Kuna, sekarang tersimpan di Pura Batur yang terletak di desa itu. 12. Manik-Liu. Terdapat lagi sebuah prasasti di desa itu, tetapi hanya (p.85) selembar saja, yaitu lembaran penghabisan dari prasasti lain yang kebetulan terdapat di sana. Ucapan “sapatha” yang berarti sumpah tersebut di dalam [?]mbaran itu menyatakan, bahwa kepingan tembaga itu selaku
70 CAKA MASEHI KET penutup dari prasasti lain yang bersangkutan. Tersebut juga di dalam prasasti itu antara lain, ialah pelbagai ketentuan upacara-upacara keagamaan yang harus diselenggaralan oleh penduduk desa Buyan dan Tarunyan, yaitu tiap-tiap tahun sekali jatuh pada bulan “Magha” (Januari/Februari), bertepatan dengan hari-hari pemungutan sejak yang dilakukan oleh Pemerintah. Memperhatikan sifat prasasti itu, dikirarakan penerbitannya semasa baginda Anak Wungsu bertakhta (baca pasal 9 bab II). Sekian banyak prasasti-prasasti yang masih menjadi buah pertimbangan para ahli, dan yang belum dapat ditentukan keadaannya. Lain dari pada prasasti-prasasti tersebut di atas, terdapat juga sebuah prasasti di mesium Frankfurt am Main, negeri Jerman yang serupa keadaannya. Prasasti itu kira-kira diterbitkan semasa Anak Wungsu atau Sri Jayapangus bertakhta, menilik dari bentuk dan coraknya. Sebagai telah dimaklumi, bahwa di situ ada terdapat sebuah prasasti [in?] yang bertahun 859, dan yang sudah pernah dibicarakan pada pasal 6 bab [?]. Pada sebuah pura bernama Pura Batur yang terletak di desa Penebel (Su-antaya?) terdapat sebuah batu bertulis. Tulisan-tulisan yang tergores di situ berbunyi: “bhatara sang i dalem”. Arti dari perkataan-perkataan itu ialah: Dewa yang berkhayangan di Dalem, atau raja yang telah mangkat dijenazahkan di sana. Jikalau perkataan-perkataan itu dimaksudkan untuk menerangkan adanya penjenazahan seorang raja, sudah tentu salah seorang raja yang tersebut pada bab II dan III dijenazahkan di sana. Akan tetapi jikalau perkataan-perkataan itu mengandung arti pemujaan untuk Dewa-dewa, maka dapatlah ditentukan, bahwa pura [d?] ialah pemujaan untuk Durga, ataukah pemujaan untuk Dewi Danau, mengingat adanya pura itu bernama Pura Batur. Keterangan lebih jauh sukar diberikan. Sementara itu terdapat 3 buah candi dan sebuah prasada yang masih menjadi buah pertimbangan. Seperti diketahui menurut kebiasaan, bahwa candi-candi [?] prasada itu ialah untuk penjenazahan raja-raja atau orang-orang terkemuka yang dipangang sudah berbuat jasa semasa hidupnya. Candi-candi dan prasada yang dimaksudkan itu, ialah: Candi Bakungan yang terletak pada suatu tempat bernama Cekik di daerah Bali Utara, tiada jauh dari Gilimanuk; Sebuah candi terletak pada sebuah pura bernama Susuhunan Wadon, yang terdapat di Pulau Serangan (Bali-Selatan); Sebuah candi terletak pada pertemuan aliran sungai Kerobokan dan sungai Pakersan, yang terdapat di sebelah utara desa Tampaksiring di BaliTengah; Sebuah prasada yang terletak di desa Kapal. Sekian jumlah candi-candi dan prasada yang masih gelap keadaannya, sedang menurut keterangan prasasti-prasasti itu, masih ada lagi tempat-tempat penjenazahan raja-raja selain dari pada yang sudah dibicarakan pada bab I dan III, yang hingga sekarang belum diketahui di mana letaknya. Tempat-tempat penjenazahan itu dikatannya bernama: Dewasthana, Air Talaga dan Senamukha. Kemungkinan candi-candi itulah yang dahulu disebut demikian, akan tetapi dugaan itu tiada dapat dipertangung jawabkan. Ketiadaan bahan-bahan yang diperoleh untuk membuktikan kebenaran hal itu, maka persangkaan itu tiada dapat diletakkan alas dasar yang kuat. Patung orang kuat itu sekarang terdapat pada sebuah pura bernama Pura Gaduh, yang terletak di desa Blahbatu. Patung itu hanya berujud kepala saja, dipuja-puja oleh keturunan keluarganya yang disebut “Karang-Buncing”, yang merupakan segolongan suku warga di Bali. Oleh karena di muka pintu gerbang pura itu terdapat 2 buah patung merupakan gajah sebelah-menyebelahnya, maka timbullah dugaan, bahwa patung-patung dan pintu gerbang itu ialah Candrasangkala yang
71 CAKA MASEHI KET mempunyai bilangan tahun Saka 929 (=1007 Masehi) dengan pengertian: “asta ngapit lawang”. Sesudah Kebo Iwa meninggal dunia, belum juga ada tanda-tanda, bahwa kekuasaan di Bali akan suka menyerah. Bahkan sebaliknya kebencian orang-orang Bali terhadap kerajaan Majapahit itu semakin memuncak, setelah tersiar kabar, bahwa kematian Kebo Iwa itu karena ditipu-dayakan oleh pembesar-pembesar di (p.97) sana. Semejak itu Pasung Gerigis yang menjadi raja-patih di Bali mulai bersiap-siap oleh keyakinannya, bahwa pemerintah di kerajaan Majapahit sudah berbuat curang. Ketka diadakan sidang perwakilan rakyat di Bedahulu di bawa pimpinan raja-patih Pasung Gerigis, terdapatlah kata sepakat berjuang bersama-sama mempertahankan kemerdekaan tanah air. Kebulatan tekad itu didukung oleh segenap pemimpin-pemimpin rakyat, yang namanya dan tempat tinggalnya tersebut di bawah ini: - Giri Kmana berkedudukan di Denbukit (Bali-Utara), - Tunjung Tutur berkedukuan di Cianyar (Bali-Timur), - Tunjung Biru berkedudukan di desa Cianyar (Bali-Timur), - Ki Buwahan berdudukan di desa Batur (di pedalaman), - Ken Tambyak berdudukan di desa Jimbaran (Bali-Selatan), - Ki Kopang berdudukan di desa Sraya (Bali-Timur), dan - Ki Walungsingkal berdudukan di desa Taro (di pedalaman). Selain dari pada pemimpin-pemimpin rakyat tersebut, terdapat lagi 2 orang pembesar terkemuka yang siap sedia menyerahkan jiwa raganya demi kehormatan tanah airnya: ialah Gudug Basur yang berpangkat demung, dan Si Kala Gemet yang berpangkat tumenggung. Sementara itu Gajah Mada mendengar kabar, bahwa kekuasaan di Bali sudah siap sedia kala akan mengadakan perlawanan, segera menyusun kekuatannya. Kesatuan-satuan tentara yang besar jumlahnya mulai bergerak dari Majapahit arah ke timur di bawah pimpinan Gajah Mada sendiri, dengan dibantu oleh seorang panglima perang bernama Arya Damar. Tiba di pantai Banyuwangi mereka berhenti sebentar mengadakan permusyawaratan, bagaimana caranya melakukan peng[?] pertempuran itu. Diambil keputusan, bahwa pendaratan harus dilakukan serentak dari 4 jurusan. Ditentukan selanjutnya, bahwa Gajah Mada sendiri harus memimpin pendaratan yang akan dilakukan di pantai timur Gunung Agung, Arya Damar memimpin pendaratan yang akan dilakukan di pantai Bali-Utara, yang terdiri dari kesatuan-kesatuan tentara dari Palembang, sedang pendaratan di pantai BaliSelatan diserahkan pimpinannya kepada 6 orang perwira masing-masing bernama: Arya [K?]enceng, Arya Sentong, Arya Bleteng, Arya Belog, Arya Panagalasan dan Arya [P?]anuruhan. Mereka masing-masing mengepalai kesatuan-kesatuan tentara sebanyak +/- 15.000 orang, sedang pendaratan di pantai Bali-barat harus dilakukan oleh kesatuan-kesatuan tentara dari Sunda yang berjumlah +/- 2000 orang, di bawah pimpinan penglima-raja[?] yang bernama Adipati Takung yang disebut juga Orang-Agung atau Urang-Jaya[?] dengan bibantu oleh seorang perwira bawahannya bernama Lagut. Jumlah tentara di bahwa pimpinan Gajah Mada tiada terhitung banyaknya, akan tetapi persatuan-persatuan tentara dari Palembang di bawah Arya Damar itu ada sebanyak +/- 20.000 orang. Ditentukan pula, bahwa apabila nanti kelihatan di sebelah timur pulau Bali api menyala atau asap mengepul, adanya suatu tanda, bahwa serangan umum harus dimulai, masing-masing harus menggerakkan tentaranya serempak untuk mengepung Bedahulu. Demikianlah kesimpulan dari keputusan itu, mereka lalu menyeberangkan tentaranya masing-
72 CAKA MASEHI KET masing ke pulau Bali, segera melakukan pendaratan pada tempat-tempat yang telah ditentukan itu. Agra Samprangan dan Sri Smara Kapakisan (p.96) Sri Krasna Kapakisan yang tersebut pada pasal 3 di atas, sukar ditentukan waktunya dan lamanya menjadi adipati di Samprangan. Kitab-kitab “Kidung Pamancangah” dan “Babad Dalem” yang dipergunakan untuk bahan-bahan pelajaran mengetahui kekuasaan Majapahit pertama di Bali hingga selanjutnya, sama sekali tidak menyebutkan bilangan tahun, kapan adipati itu mulai datang di Bali dan lamanya menganku jabatan itu sehingga meninggal dunia. Jikalau ditinjau dari waktu semula menerima angakatannya itu selagi patih-mangkubumi Gajah Mada masih hidup, dapatlah dikira-kirakan, bahwa kedatangan di Bali ialah sebelum tahun 1346, dan meninggal dunia sesudah Sri Hayam Wuruk bertahta di kerajaan Majapahit (1350-1389). Di sebelah timur Pura Panataran Agung di Besakih terdapat sekarang sebuah “meru” atapnya bertingkat sembilan, ialah untuk memuja arwah mendiang Sri Kresna Kapakisan yang pernah menjadi adipati di Bali berkedudukan di Samprangan. Madiang meninggalkan 4 orang anak lakilaki, yang diwajibkan oleh pemerintah di Majapahit salah seorang di antaranya memangku jabatan itu. Nama-nama dari anak-anaknya itu berturut-turut, ialah: Agra Samprangan, Dewa Tarukan, Dewa Ktut dan Dewa Tegalbesung. Tiga orang tersebut pertama beribukan putri bangsawan, sedang Dewa Tegalbesung itu beribukan seorang wanita dari kalangan rendah. Oleh karena itu Agra Samprangan di antara saudara-suadara itu kelahirannya paling tua, maka menurut adat-istidat di kalangan orang-orang bangsawan, dialah yang disahkan menjadi adipati di Samprangan menggantikan kedudukan ayahnya. Agra Samprangan sesudah memangku jabatan itu, ternyata sikapnya amat lembek; serba lambat bertidak menjalankan tugasnya. Kegemarannya bersolek serta kesibukannya melayani para istrinya yang cantik-cantik itu, menyebabkan ia tiada memperoleh kesempatan memperhatikan kepentingan rakyatnya. Apabila hendak bersolek, maka diletakkanlah sebuah pasu berisi air di halaman, yang dipergunakan olehnya selaku cermin. Sambil memandang bayangan mukanya di dalam air itu, ia mulai mengenakan pakaiannya hingga berjam-jam lamanya. Oleh karena itu maka para mentri yang menunggu di luar kesal menantikannya, sehingga tiada jarang terjadi rapat besar yang hendak dilangsungkan terpaksa ditunda, lantaran adipati Agra Samprangan selesai berhias. Sebab itulah maka ia mendapat julukan dari rakyatnya Dalem Ile, karena langkahnya serba lambat. “Ile” = lambat atau pemalas. Sikap Agra Samprangan yang disebut juga Dalem Ilé, akhirnya menimbulkan kekecewaan para mentri itu. Mereka memandang adipati itu kurang cakap memegang pimpinan, dikhawatirkan olehnya karena kemalasannnya itu akan berbahaya kelak. Persoalan negeri yang penting-penting tinggal terbelengkalai, karena adipati tiada sempat membicarakannya. Oleh karena itu terjadilah permufakatan bersama di kalangan para menteri itu, hendak mengabaikan pimpinan Agra Samprangan. Sementara itu terjadilah peristiwa yang menyedihkan pada suatu ketika di Samprangan. Dewa Tarukan yang sering mabuk karena gemar minum tuak, menyebabkan terjadinya peristiwa itu, demikian keterangan sebuah kitab yang bernama “Babad Pulasari”. Dewa Tarukan mempunyai seorang anak angkat bernama Kuda Panandangkangkajar, konon
73 CAKA MASEHI KET katanya berasal dari kerajaan Blambangan (Jawa Timur). Anak angkatnya itu amat dicintainya, lantaran pandai mengambil hati. Pemuda itu tiada pernah melalaikan kewajibannya, menyediakan Dewa tarukan tiap-tiap hari minuman keras, serta makan-makanan yang lezat-lezat. Oleh karena itu Dewa Tarukan cinta benar kepadanya, segala kehendaknya dipenuhi. Kuda Panandangkajar jatuh cinta kepada salah serorang putri dari adipati Agra Samprangan yang bernama Dewa Ayu Muter. Keinginannya hendak kawin dengan putri itu pernah dibicarakannya dengan Dewa Tarukan, ternyata ayah angkatnya itu tiada menaruh keberatan. Malah didorongkan olehnya, sabaiknya perkawinan itu dilangsungkan dengan jalan melarikan putri itu, sebab dengan jalan meminang lebih dulu, tak mungkin baginya. Oleh karena itu Kuda Panandangkajar lalu melarikan putri itu, akan tetapi malang nasibnya, ia beserta dengan kakasihnya itu tiba-tiba mati tertikam oleh keris pusaka bakal mertuanya itu. Keris itu bernama “Tanda Langlang” amat bertuah, dapat membunuh orang yang berani berbuat dosa terhadap adipati. Kematian pemuda dan pemudi yang sedang berkasih-kasihan itu, mendorong Dewa Tarukan harus meninggalkan kota Samprangan selekas-lekasnya. Dia khawatir menghadapi pembalasan dendam dari saudaranya itu, oleh kesadarannya perbuat salah. Oleh karena itu ia lalu melarikan diri ke pegunungan, seraya manyamar menjadi petani yang melarat, agar supaya orang-orang yang melakukan pengejaran sukar mencahari tempat persembunyiannya. Memang sesudah Dewa Tarukan meninggal rumahnya, Agra Samprangan segera mengerahkan sepusakan tentara untuk mengejarnya, dengan tugas membunuh adiknya yang mendurhaka itu. Akan tetapi perjalanan pasukan bersenjata itu ternyata sia-sia, Dewa (p.97) Tarukan yang malang itu disembunyikan oleh sekalian kepala-kepala desa yang didatanginya. Mereka terharu melihat bangsawan yang sedang dirundung malang itu dikejar-kejar oleh pasukan bersenjata itu, serta kesediaannya menjatuhkan derajat kebangsawannya demi keselamatan jiwanya, menyebabkan mereka tergerak hatinya untuk memberikan perlindungan. Sesudah bertahun-tahun lamanya Dewa Tarukan dikejar-kejar tidak juga dijumpai oleh pasukan bersenjata itu, maka pengejaran itu lalu dihentikan. Dalam pada itu Dewa Tarukan selama bersembunyi, sudah 5 kali melakukan perkawinan dengan anak-anak gadis dari kepala-kepala desa itu yang masih cinta dan setia kepadanya. Dari perkawinannya yang berlulang-ulang itu, dia sudah mempunyai orang anak laki-laki, yang kemudian menjadi bakal golongan kewargaan yang disebut: Pulesari, Sekar, Belayu, Balangan, Bebandem dan Kedampal. Dewa Tarukan sesudah berumur lanjut, akhirnya menamatkan riwayat hidupnya yang malang itu pada sebuah desa bernama Pulesari. Pembakaran mayatnya diselenggarakan oleh kepala-kepala desa di situ pada suatu tempat bernama Cungkub Tampuagan. Sebelum pembakaran mayat itu dilangsungkan, ternyata orang “pinandita” (guru-guru agama) memercikan “tirtha-pengentas” (air suci) untuk memberishkan jasanya itu, sebagai syrarat memungkinkan rohnya nanti berpindah tempat ke alam baka. Ketiga orang pinandita itu ialah: Dukuh B/Dunga, Dukuh Pantungan dan Dukuh Jatituhuh. Mereka itu dipandang selaku Brah [m]ana, karena kewajiban dan kesanggupannya menciptakan air suci itu untuk kepetingan masyarakat dalam ceranya penduduk di Bali melakukan ibadat di lapangan kerohanian. Peristiwa itu terjadi pada tahun Saka 1336 (=1416 Masehi). Sebagai bukti bahwa peristiwa itu memang benar terjadi, ialah sebuah pura yang sekarang terdapat di situ bernama Dalem Tampuagan. Pura itu menjadi pemujaan bagi golongan kewargaan tersebut di atas, ialah untuk memuja kemuliaan arwah Dewa Tarukan yang diakui olehnya selaku leluhurnya. Pemujuaan itu tetap dilakukan oleh mereka sampai sekarang. Lanjut diterangkan oleh kitab itu, bahwa ketika upacara pembakaran mayat Dewa Tarukan itu dilangsungkan, terjadilah hal-hal yang amat ajaib. Sumbangan rakyat yang berlimpah-limpah
74 CAKA MASEHI KET sehingga tiada habis dipergunakan untuk kepentingan upacara perayaan itu, lalu sisanya dibuang ke suangai karena sudah basi. Nasi-nasi yang dibuang di situ merupakan bubur mengalir, maka semenjak itulah katanya sungai itu diberi nama “Yeh Bubuh”. “Yeh” = air, dan “Bubuh” = bubur. Begitu juga halnya sebuah sungai yang terdapat di sebelah timur “Yeh Bubuh” itu kemudian disebut: “Yeh Jinah”, sebab di situlah katanya orang-orang dahulu membuang wang yang sudah rudak, tidak dapat dipergunakan lagi untuk alat pembayaran. “Jinah“ = wang. Demikianlah caranya kitab itu menggambarkan kejadian itu, akan tetapi apa memang benar demikian halnya, entahlah. Sementara itu Agra Samprangan yang itada berhasil mengangkap adiknya yang telah melarikan diri itu, akhirnya salah terima dengan rakyatnya. Terhadap para mentri itupun tiada kurang sebal hatinya, diduga mereka tiada suka membantunya. Oleh karena itu adipati selalu menolak kedatangan para mentri itu hendak berunding. Adapun para mentri itu yang sudah dari lama menbenci sikap adipati, lalu mangambil keputusan yang terakhir. Kyai Kubon Tubuh yang berpangkat tumenggung, ditugaskan oleh kawan-kawan melaksanakan keputusan itu. Kyai Kubon Tubuh itu ialah anak dari Arya Kutawaringin, menggantikan kedudukan ayahnya, setelah ayahnya meninggal. Tumenggung itu segera berangkat mencahari Dewa Ktut, yang sudah dari lama meninggalkan kota Samprangan. Dewa Ktut mengembara masuk desa, keluar desa, didorong oleh kegemarannya berjudi dan menyabung ayam. Sebab itu ia disebut juga Dewa Ktut Ngulesir, karena sering kalah berjudi. Kyai Kubon Tubuh berhasil menjumpai Dewa Ktut di desa Pandak, sesudah melakukan perjalanan berkeliling beberapa hari lamanya. Di situ Dewa Ktut asyik berjudi, dilayani oleh orang-orang desa, serta diberi pinjaman apabila ia kehabisan wang. Dewa Ktut agak terperanjat melihat kedatangan temenggung itu, seraya menanyakan apa maksudnya datang mendapatkan dirinya. Kyai Kubon Tubuh segera menerangkan maksud kedatangannya, ialah untuk menjemput Dewa Ktut agar pulang kembali ke Samprangan, karena tenaganya diperlukan oleh segenap rakyat. Diterangkan juga olehnya, bahwa menurut keputusan yang telah diambil oleh kawan-kawannya, hendaknya Dewa Ktut bersedia menjadi adipati menggantikan kedudukan saudaranya yang mengalpakan kewajibannya itu. Mula-mula Dewa Ktut menolak anjuran itu, takut dituduh oleh saudaranya merebut kekuasaan. Akan tetapi setelah Kyai Kubon Tubuh memberi keinsyafan, bahwa penolakan itu berarti kehilangan kekuasaan serta perbawa bagi sekalian keluarganya, barulah ia suka menerima anjuran itu. Dengan persasaan terharu ia lalu meninggalkan desa itu, sambil mengucapkan kata-kata merupakan janji kepada orang-orang desa yang memberikan kepuasan hatinya itu demikian: (p.98) “bilih sadhya ambhukit dalem ing sarajya sira andadekna kang wong Pangdak makadesi awangsa sanghyang, phalanipun subhkati”. Maknanya ialah: “Apabila aku berbahagia kelak memegang kekuasaan, aku bersedia mengangkat sekalian orang-orang desa Pandak ke tingkatan warga Sanghyang, berkat cintamu terhapdap diriku”. Perjalanan Dewa Ktut dari desa Pandak tidaklah menuju ke Samprangan, melainkan ke desa Gelgel yang terletak jauh di sebelah timur dari ibu-kota. Di situlah Dewa Ktut mulai bersusaha menyusun pemerintahan, dibantu oleh Kyai Kubon Tubuh yang amat setia kepadanya. Tidak antara lama kemudian desa Gelgel itu menjadi ramai, oleh perpindahan para mentri dan pegawai-pegawai negeri dari Samprangan ke sana. Sebaliknya ibu-kota Samprangan menjadi sunyi senyap, setelah
75 CAKA MASEHI KET ditinggalkan oleh sebagian besar penghuninya. Agra Samprangan membiarkan perpindahan orang-orangnya itu, sebab dia sendiri tidak menginginkan lagi kedudukan yang mulia itu. Dia lebih senang berasing-asing, dibandingkan menjadi adipati mem[u]singkan kepala. Keikhlasannya menyerahkan kekuasaannya itu kepada adiknya, manyebabkan tidak timbulnya persengketaan yang mengakibatkan pertumpuhan darah. Desa Gelgel sudah menjadi ibu-kota pusat pemerintahan, tampak kian hari bersemarak. Apalagi sesudah Dewa Ktut mendirikan sebuah keraton yang indah bentuknya, tampak kebesaran Gelgel semakin memuncak. Keraton itu diberi nama “Swecalinggarsapura”, diambil dari alas nama desa itu. “Sweca” artinya karunia, “linggarsa” artnya sukacita, dan “pura” artinya istana. Sedangkan perkataan “Gelgel” itu ialah bahasa Bali-kuna, yang berarti senang atau gembira. Di sekeliling keraton itu tampak kesibukan para mentri mendirikan rumah-rumah untuk tempat tinggal masing-masing. Para mentri itu ialah anak-anak dari para “menak” yang mula-mula datang ke Bali dari Jawa, mereka menggantikan kedudukan ayah-ayahnya, setelah ayah-ayahnya meninggal dunia di Samprangan, lantaran sudah tua berumur lanjut. Mereka itu ialah: 1. Pangeran Nyuh Aya beranak: Pangeran Patandakan, Cacaran, Satra, Pelangan, Akah, Kaloping dan Anggan; 2. Arya Kanuruhan beranak: Kyai Brangsingha, Kyai Tangkas dan Kyai Pagatepan; 3. Arya Wangbang (Bali) beranak: Kyai Pinatih, Kyai Panataran dan Kyai Tohjiwa; 4. Arya Wangbang (Jawa) beranak: Kyai Su[d]ahet, Kyai Pering dan Kyai Cagahan; 5. Arya Kenceng beranak: Kyai Tabanan dan Kyai Tegehkori; 6. Arya Belog (=Tan Wikan) beranak: Kyai [K]aba-[K]aba dan Kyai Buringkit; 7. Arya Pangalasan beranak: Kyai Jilantik dan Kyai Camenggahon; 8. Arya Dalancang beranak: Kyai Kapal; 9. Arya Kutawaringin beranak: Kyai Kubon Tubuh; 10. Arya Manguri beranak: Kyai Dauh; 11. Arya Gajah Para beranak: Kyai Tianyar; 12. Tan Kawur beranak: Kyai Pacung; 13. Tan Mundur beranak: Kyai Abiansemal; dan 14. Tan Kober beranak: Kyai Cacaha. Sekian banyaknya para mentri yang mendukung pemerintahan baru yang beribu-kota di Gelgel, di bawah pimpinan Dewa Ktut selaku adipati. Di antara mereka itu ternyata Pangeran Patandakan diangkat menjadi perdana-mentri atau patih-agung menggantikan kedudukan ayahnya, Kyai Pinatih menjadi demung, dan Kyai Kubon Tubuh menjadi tumenggung sebagai diterangkan di atas. Kecakapan dan kecerdasan Dewa Ktut menjadi adipati segera diakui oleh segenap rakyatnya, berkat kesanggupannya mengikuti politik ayahnya. Bersamaan dengan berdirinya keraton Swecalinggarcapura itu, ia mendirikan juga sebuah pura besar yang diberinya nama Pura Dasar. Dari nama pura itu sudah dapat dinyatakan, bahwa Dewa Ktut mulai meletakkan dasar-dasar kekuasaannya semenjak itu. Pada halaman puran itu terdapat sebuah “meru” untuk pemujaan bagi segolongan suku-warga asal keturunan mandiang Patih Ulung, yang terletak di samping “meru” pemujaan Dewa Ktut beserta dengan sekalian keluarganya. Letak “meru” itu berdampingan menjadi satu halaman, adalah membuktikan, bahwa Dewa Ktut menghargai kedudukan mereka itu, demi kesentausaan kekuasaannya. Memang setelah pura itu didirikan, ternyata golongan kekeluargaan itu lebih giat bekerja membantu Dewa Ktut dalam usahanya mengamankan seluruh BaLI. Pada suatu ketika adipati Dewa Ktut mendapat panggilan dari baginda raja Sri Hayam Wuruk, guna
76 CAKA MASEHI KET menhad[l]iri rapat besar yang dilangsungkan di ibu-kota kerajaan Majapahit. Dengan disertai banyak pengikutnya di bawah pimpinan Pangeran Patandakan, Kyai Pinatih dan Kyai Kubon Tubuh, bertolaklah Dewa Ktut dari Bali memenuhi panggilan itu. Dengan mempergunakan 2 buah perahu besar menyeberangi Selat-Bali, tibalah rombongan adipati di (p.99) ibu-kota Majapahit, selama 7 hari berlayar. Kesibukan tampak di ibu-kota setelah para adipati dari Bali, Palembang, Madura, Pasuruhan dan Blambangan semuanya datang memenuhi panggilan itu. Mereka disediakan tempat penginapan masing-masing, sebelum rapat besar itu dilangsungkan. Makanan dan minuman berlimpah-limpah disuguhkan untuk para adipati itu, beserta dengan sekalian pengiringnya yang tiada sedikit jumlahnya. Gelgel merdeka dan bedaulat (p.100) Sesudah pemerintahan di kerajaan Majapahit menempatkan perwakilannya di Bali, mulamula di Samprangan kemudian dipindah ke Gelgel masih terdapat lagi beberapa buah prasasti dan batu-batu bertulis pada beberapa tempat. Peninggalan-peninggalan itu merupakan benda-benda kuna, terdapat sekarang: 1306 1384 di desa Batur (Pura Abang) ialah sebuah prasasti bertahun Saka 1306 (=1384 Masehi). Tersebut di dalam prasasti itu antara lain, ialah tentang persoalan orang-orang desa “Hor Abang” antara orangorang desa Pemuteran. Lain dari pada itu tercantum juga di dalam prasasti itu pernyataan seorang raja yang menerbitkan, ialah: “sira nagara Wengker” artinya Yang Dipertuan di Wengker. Niscaya yang dimaksudkan itu ialah Wijayarajasa, yang tersebut juga raja Wengker. Wijayarajasa itu ialah paman dari baginda raja Sri Hayam Wuruk yang bertahta ketika itu di kerajaan Majapahit. Penjelasannya lebih lanjut akan diterangkan lagi di bawah ini. Note: Persoalan orang-orang desa itu sudah pernah dibicarakan pada pasal 2 bab III, yaitu berkenaan dengan prasasti Pengotan yang bertahun Saka 1010. 1398 di desa Gobleg (Pura Batur)juga merupakan sebuah prasasti bertahun Saka 1320 (=1398 Masehi). Tersebut di dalam prasasti itu antara lain, ialah: “pande wsi tambelingan”, artinya: tukang besi di Tamblingan. Lain dari pada itu tersebut juga di dalam prasasti itu: “sang mukta ring wisnubhawana”. Artinya ialah: almarhum di alam Wisnu. Almarhum itu aialah baginda raja Wengker itu juga, sebagai tersebut di atas. Nama-nama dari pegawai-pegawai negeri yang tersebut di dalam prasasti itu semuanya mempergunakan istilah “arya”, adalah menyatakan keaslian perabadan Majapahit, berpengaruh di Bali. 1429 di desa Péréan berbentuk batu bersurat [panila?] sebuah pura yang terletak di desa itu. Tulisan itu hanya menyebutkan bilangan tahun Sakan 1351 (=1429 Masehi), sebab itu tiada dapat dinyatakan siapa maksud penyataan tadi. di desa Sembung Sobangan, ialah tulisan-tulisan yang tergores pada gedung pemujaan yang terletak di pura Dalem Sakenan. Tulisan-tulisan itu sudah rusak, hanya angkanya saja masih terang kelihatan, ialah bilangan tahun Saka 1355 (=1433 Masehi). Menurut keterangan orang-orang desa di situ, bahwa gedung itu ialah untuk memuja Pandawa Wawu Rawu katanya. Keterangan mereka itu sukar dapat diterima, apabila Pandawa Wawu Rawu itu Mpu Nirartha dimaksudkan olehnya. Mpu Nirartha itu sekalian Brahmana yang sekarang terdapat di Bali, sedang kedatangan pendita itu dari Jawa ke Bali ialah pada pertengahan abad ke-XV (baca pasal 2 di bawah ini). 1444 di Besakih, ialah tulisan-tulisan yang tertera di atas 2 buah papan, masing-masing bertahun Saka 1366 (=1444 Masehi) dan 1380 (=1458 Masehi). Tulisan-tulisan itu ternyata mengutarakan tentang
77 CAKA MASEHI KET sejarah Pura Besakih itu, yang sudah dikupas oleh Dr.R.Goris dalam kitab karangannya bernama “De Pura Besakih” pada halaman 261-280 (lihatlah pasal 7 bab I). 1471 di Besakih, ialah piagam yang tersimpan pada pura batu Madeg, piagam mana menyebutkan bilangan tahun Saka 1393 (=1471 Masehi). Piagam itu lazim disebut: Piagam Bradah” (= Mpu Bharada); maksud piagam itu sudah pernah dibicarakan pada pasal 8 bab II, yaitu berkenaan dengan pernyataan piagam itu di antaranya ada juga menyebutkan bilangan tahun Saka 929 (= 1007 Masehi), dan: 1471 di desa Selat, ialah sebuah piagam atau prasasti bertahun Saka 1393 (=1471 Masehi). Piagam itu lazim disebut “Bhatara Ratu Putra”, sifat dan maksudnya adalah sama dengan piagam yang tersebut pada angka 6 di atas. 2. Gelgel merdeka di bawah Sri Batur-Enggong (p.102) Kitab-kitab “Babad-Dalem dan Kidung-Pamancangah” yang menceriterakan tentang kebangkitan Samprangan dan kebesaran Gelgel itu, agaknya kurang sempurna susunanya. Kitabkitab tadi menerangkan, bahwa Sri Smara Kapakisan yang tersebut pada pasal 4 bab IV, sesudah wafat hanya meninggalkan seorang putra yang menggantikan kedudukannya di keraton Gelgel. Raja-putra itu bernama Sri Batur-Enggon, berkat ketangkasan dan kecakapannya, sanggup mengangkat derajat keraton Gelgel itu ke atas puncak kebesarannya. Ketidak sempurnaan susunan kitab-kitab tadi dapatlah dinyatakan, bahwa Sri Batur-Enggon tak mungkin putra dari Sri Smara Kapakisan. Alasannya ialah Sri Smara Kakapisan wafat kira-kira pada penghabisan abad ke-XIV, padahal Sri Batur-Enggon bertahta di keraton Gelgel baru pada pertengahan abad ke-XVI. Bertatahtanya Sri Batur-Enggon di dalam pertengahan abad itu, terdapat keterangan-keterangannya dari sumber-sumber lain yang lebih dapat dipercaya kebenarannya. Hal itu akan dapat dinyatakan sebentar lagi. Jarak waktu antara kemangkatan Sri Smara Kapakisan dengan adanya Sri Batur-Enggong bertahta, ternyata tiada kurang dari 150 tahun lamanya. Hal itu menmbulkan kesangsian, apabila Sri Batur-Enggong ialah putra dari Sri Smara Kapakisan yang terus menggantikan kedudukan ayahnya itu. Jarak waktu selama itu sama sekali tiada memberi kemungkinan kejadian itu, bahkan terdapat kecenderungan kemungkinan sekurang-kurangnya 2 atau 3 orang raja seharusnya bertahta sebelum Sri Batur-Enggong. Akan tetapi bagaimana juga pun, usaha mengadakan penyelidikan untuk menyempurnakan kekusutan itu, namun kesudahannya sia-sia belaka. Oleh karena itu ahli lalu mengambil kesimpulan, bahwa adanya Sri Batur-Enggong itu lebih layak apabila dikatakan sebagai keturunan saja dari Sri Smara Kapakisan, dan bukan sebagai putranya. Sarjana C.C.Berg dan Dr. R.Goris pernah mencoba mencahari keterangan dalam hal itu, tetapi hasilnya ternyata tiada memuaskan juga. Mereka melakukan penyelidikan di sekitar Pura Besakih, di mana terdapat beberapa buah “meru” untuk memuja roh-roh leluhur raja-raja di Bali. Mereka memperoleh keterangan dari orang-orang desa di situ, bahwa sebuah “meru” yang beratapkan sebelas tingkat, adalah untuk memuja arwah Ratu Tegalbesung katanya. Oleh karena itu mereka lalu beranggapan, bahwa Ratu Tegalbesung itu dapat disamakan dengan Sri Smara Kapakisan yang selayaknya memperoleh penghormatan setinggi itu. Jasanya mendirikan keraton Gelgel pertama kali, sehingga bersemarak kemudian, patutlah sudah arwah orang besar itu dibuatkan “meru” beratap sebelas tingkat. Akan tetapi jikalau ditinjau kembali dengan mengadakan penyelidikan yang lebih seksama ternyata, bahwa Ratu Tegalbesung itu bukan lain daripada Dewa Tegalbesung sebenarnya, maka anggapan sarjana-sarjana itu sukar dapat diterima. Sebagai dimaklumi, bahwa Dewa Tegalbesung itu ialah salah seorang suadara dari Sri Smara Kapakisan yang beribukan seorang wanita dari kalangan
78 CAKA MASEHI KET rendah (baca pasal 4 bab IV). Karena kelahirannya itu, tidak mungkinlah Dewa Tegalbesung itu sesudah meninggal dunia mendapat penghormatan setinggi itu; orang-orang lebih percaya, bahwa “meru” yang beratap sebelas tingkat itu, ialah untuk memuja arwah Sri Smara Kapakisan sebenarnya. Kemungkinan Dewa Tegalbesung itu dapat mengendalikan pemerintahan selagi kemanakannya Sri BaturEnggong masih muda, akan tetapi jarak waktu yang sekian lamanya itu, tak mungkin dia sendiri yang menjadi wali memegang kekuasaan. Kekusutan dalam hal itu baiklah dilampaui saja, kejadian keraton Gelgel selama Sri Batur-Enggong bertahta tidak dapat diabaikan. Pada masa itulah penduduk di Bali mengalami zaman keemasan, kemakmuran menjamin kebahagiaan rakyat. Baginda Sri Batur-Enggon terkenal sebagai susuhunan atau “dalem” di Bali yang paling besar kekuasannya, sehingga terdapat kata-kata bersemboyan: “aengan teken Dewa-Enggong”. Maksudnya ialah: lebih hebat dari Sri Batur-Enggong. Ucapan itu mengesankan kekaguman orangorang Bali, apabila mereka memandang sesuatu yang tidada ada taranya. Baginda Sri Batur-Enggong berpendirian kuat, titahnya yang merupakan undang-undang pantang dibantah. Keamanan dan ketertiban tinggal terjamin, berkat kesanggupan baginda menegakkan keadilan. Tidak pernah terjadi kejahatan atau pelanggaran, sebab pencuri dan orang-orang jahat itu sudah dijamin kehidupannya, sehingga mereka menghentikan perbuatannya yang melanggar hukum. Apabila terdapat pengemis atau pengangguran akibat kemiskinan kekurangan makan, maka pegawai-pegawai negerilah yang dipersilahkan, karena dianggap tiada mempunyai kemampuan menciptakan kemakmuran. Untuk menjamin tindakan pemerintah yang tegas itu, baginda membentuk barisan penggempur, dengan diberinya nama “Dulang-Mangap”. Barisan itu beranggautakan prajurit-prajurit pilihan sejumlah 1600 orang, di bawah pimpinan seorang panglimanya bernama Ki Ularan. Mererka diasramakan di dalam kota, siap sedia bergerak sewaktu-waktu mendapat perintah dari yang berwajib atasannya. (p.103) Yang menjadi patih-agung ketika itu ialah Kyai Batan Jeruk, yaitu salah seorang anak dari Pangeran Patandakan, yang sudah meninggal dunia semasa Sri Smara Kapakisan menjadi adipati. Sedangkan para mentri lainnya, tersebut namanya masing-masing sama dengan yang termuat pada pasal 4 bab IV, menyatakan, bahwa mereka itu adalah keturunan atau anak cucu dari pada Kyai tersebut. Kemerdekaan baginda Sri Batur-Enggong bergerak menentukan nasib pulau Bali, ternyata sesudah kerajaan Majapahit runtuh dari puncak kebesarannya. Menurut kitab “pararaton”, bahwa keruntuhan kerajaan besar itu terjadi pada tahun Saka 1400 (= 1478 Masehi). Pernyataan itu dengan sebutan Cadrasangkala: “sirna hilang krtaning bhumi”. “Sirna” = 0, ‘hilang” = 0, “krtaning” = 4, dan “bhumi” = 1. Semenjak itulah dapat sudah dianggap, bahwa kekuasaan di Gelgel itu mulai terlepas dari ikatan kerajaan Majapahit. Jikalau ditilik dari perhitungan waktu, kemungkinan kekuasaan di Bali itu sudah lama melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Majapahit, yaitu lama sebelum Sri Batur-Enggong bertahta di keraton Gelgel. Kekacauan yang terjadi di kerajaan besar itu, memberi kesempatan kepada baginda susuhannya Sri Batur-Enggong menyatakan kemerdekaannya.
79 CAKA MASEHI KET Semasa baginda itu bertahta, ternyata pulau Lombok dan pulau Sumbawa sudah bernaung di bawah payung kebesaran kerajaan Gelgel. Begitu juga sebagian daerah dari Jawa-Timur dapat dikuasai oleh pemerintah di Gelgel, hal ihwalnya akan diceriterakan sebentar lagi. Ketika baginda masih muda, pernah datang ke Gelgel utusan dari Mekka katanya, guna mendesak baginda supaya memeluk agama Islam. Desakan itu ditolak oleh baginda, dengan pernyataan, bahwa baginda sama-sekali tiada mempunyai ingatan akan mengabaikan kepercayaan yang dimilikinya semula. Menurut pendapat padar ahli, kemungkinan utusan yang dikatakan oleh kitab-kitab itu dari Mekka, ialah Falatehan atau Fatahillah, yang kemudian bergelar Sunan Gunung Jati. Mereka hubungan pendapatnya itu dengan tindakan penyebar agama itu di Pasuruhan (Jawa-Timur) dalam tahun 1546. Sebagai dimaklumi, bahwa penyebar agama itu mulai bertindak di situ di dalam tahun itu, atas titah sultan Trenggana yang bertahta di kerajaan Demak. Ketika itulah terjadi pengungsian orang-orang Jawa-Hindu ke Bali secara besar-besaran oleh desakan agama Islam itu. Di antara mereka itu terdapat seorang pendita bernama Mpu Nirartha, yang akan masyur namanya di Bali. Kisah perjalanan pendita itu dari Jawa ke Bali, diterangkan oleh kitab-kitab: “Babad Brahmana Kamenuh” dan “Brahmana-Purana” sebagai berikut: Note: Pengungsian orang-orang Jawa-Hindu dari Ibu-kota kerajaan Majapaht karena desakan agama Islam itu, terjadi pula pada tahun 1526. Mereka kebanyakan mengungsi ke pegunungan Tengger, di situlah mereka terus menetap samapai sekarang. Mpu Nirartha selagi masih muda memeluk agama Buddha. Karena jatuh cinta dengan seorang gadis Brahmana bernama Diah Komala yang memeluk agama Siwa, maka ia lalu memeluk agama Siwa juga, untuk memungkinkan perkawinannya dengan gadis yang dicintainya itu. Perkawinan itu dilangsungkan di Daha, sehingga mereka kemudian memperoleh 2 orang anak, yaitu seorang perempuan dan seorang laki-laki. Note: Anak laki-laki dari Mpu Nirartha itlah kemudian menurunkan golongan suku Brahmana di Bali yang disebut: “Watek Kamenuh”. Desakan agama Islam itu memaksa Mpu Nirartha dengan sekalian keluarganya meninggalkan rumahnya di Daha. Mereka pergi ke Pasuruhan, mendapatkan kaum keluarga di sana. Di Pasuruhan Mpu Nirartha kawin lagi dengan salah seorang anak perempuan dari Mpu Manawasikan, sehingga kemudian mereka memperoleh 2 orang anak laki-laki dari perkawinan itu. Note: Anak-anak dari Mpu Nirartha itulah kemudian menurunkan golongan suku Brahmana di Bali yang disebut: “Watek Manuaba”. Karena desakan agama Islam itu juga, maka pendita itu meninggalkan lagi Pasuruhan dengan sekalian keluarganya, mereka pergi ke kerajaan Blangbangan, di situ mereka mendapat perlindungan beginda raja yang dikatakannya bergelar Sri Juru. Baginda itu ialah cucu dari adipati Blangbangan yang mula-mula ditempatkan oleh almarhum patih-mangkubumi Gajah Mada, seperti diterangkan pada pasal 3 bab IV. Di kerajaan Blangbangan Mpu Nirartha kawin lagi dengan adik perempuan dari Sri Juru. Dari perkawinan itu ia kemudian memperoleh 3 orang anak, (p.104) yaitu seorang perempuan dan 2 orang laki-laki.
80 CAKA MASEHI KET
81 dikumpulkan di Lembah Pakerisan ( suecan Ida Sang Hyang Sesandih )
