The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by zahid.muharram, 2023-06-06 03:27:32

JPSP Vol. 7, No. 1, April 2023

JPSP Vol. 7, No. 1, April 2023

[email protected] jurnal.unpad.ac.id/jpsp jurnal.unpad.ac.id/jpsp/ Vol. 7, No. 1, April 2023 Mental Health Literacy Ditinjau dari Big Five Personality Traits pada Remaja di Yogyakarta Hesty Yuliasari, Putri Pusvitasari Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Resiliensi pada Penyintas Covid-19 Kartini Apriyuna Betty, Maria Nugraheni Mardi Rahayu Studi Subjek Tunggal: Efektivitas Teknik Shaping dan Token Economy untuk Meningkatkan Atensi dan Memori Kerja Anak Lamban Belajar Hasna Hafizhah Salma, Wuri Prasetyawati Gambaran Academic Hardiness pada Mahasiswa Program Studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran Raisya Indah Mewangi Rifandi, Kustimah Usri Pengaruh e-WOM terhadap Purchase Intention Mahasiswa pada Produk Beauty Brand Abigail Ruth Deborah Sinurat, Shafia Islaha, Michelle Astari Rumiris, Nadira Alfayza, Putri Nadhira Azka, Trifena Angelina Erawan, Salsabilla Utami Putri Agentic Engagement Peserta Didik Selama Pembelajaran Daring: Pengaruh Motivasi Intrinsik dan Perceived Teacher Autonomy Support Surayya Sakinah, Linda Primana, Erreina Saifa Aurelian, Kandida Dita Kusumadewi Self-Acceptance dan Infertility-Related Stress Dunamis Talitha Exousia Pelupessy, Diah Widiawati Retnoningtias, I Rai Hardika Benarkah Lagging Audiovisual Dapat Memunculkan Emosi?: Sebuah Kajian Emotional Stimulus Muhammad Fadhlan Qinthara, Nadhira Ivana Anshari, Bagus Bagaskara, Raden Dan Yuki Adhitya Fitrayana Al Fajr Suryadimulya, Efi Fitriana 1–12 13–24 25–35 36–47 48–56 57–68 69–80 81–89 Jurnal Psikologi Sains & Profesi (Journal of Psychological Science & Profession)


Jurnal Psikologi Sains & Profesi (Journal of Psychological Science & Profession) Volume 7, Nomor 1, April 2023 Jurnal Psikologi Sains & Profesi (Journal of Psychological Science & Profession) Universitas Padjadjaran terbit pada bulan April, Agustus, dan Desember setiap tahunnya. Jurnal ini memuat artikel-artikel ilmiah dalam bidang ilmu psikologi yang berkaitan dengan ruang lingkup Psikologi Klinis, Psikologi Klinis Anak, Psikologi Industri & Organisasi, Psikologi Pendidikan, Psikologi Sosial, dan Psikologi Umum & Eksperimen. Editor Yuliana Hanami, Universitas Padjadjaran Dewan Editorial Fredrick Dermawan Purba, Universitas Padjadjaran Anissa Lestari Kadiyono, Universitas Padjadjaran Editor Bagian Aulia Hanafitri, Universitas Padjadjaran Karolina L. Dalimunthe, Universitas Padjadjaran Hamdi Muluk, Universitas Indonesia Fida Nirmala Nugraha, Universitas Telkom Sri Tiatri, Universitas Tarumanegara Urip Purwono, Universitas Padjadjaran Editor Proofread & Layout Ananda Rainy Akram, Universitas Padjadjaran Mitra Bestari Bahril Hidayat, Universitas Islam Riau Dinie Ratri Desiningrum, Universitas Diponegoro Titi Sahidah Fitriana, Universitas YARSI Retno Hanggarani Ninin, Universitas Padjadjaran Irdha Zahra, Institut Kesehatan Indonesia Hari Setyowibowo, Universitas Padjadjaran Aulia Iskandarsyah, Universitas Padjadjaran Arief Budiarto, Universitas Jenderal Achmad Yani Asteria Devy Kumalasari, Universitas Padjadjaran Dhevy Puswiartika, Universitas Tadulako Eka Riyanti Purboningsih, Universitas Padjadjaran Endah Andriani Pratiwi, Universitas Jendral Achmad Yani Fitri Ariyanti Abidin, Universitas Padjadjaran Fitriani Yustikasari Lubis, Universitas Padjadjaran Gianti Gunawan, Universitas Maranatha Ihsana Sabriani Borualogo, Universitas Islam Bandung Ike Herdiana, Universitas Airlangga Ilham Medal Junjunan, Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia Miryam Wedyaswari, Universitas Padjadjaran Nanan, Universitas Islam Bandung Prida Harkina, Universitas Malahayati Rosatyani Puspita Adiati, Universitas Airlangga Puspita Adhi Kusuma Wijayanti, Universitas Padjadjaran Sukaesi Marianti, Universitas Brawijaya Rahayu Hardianti Utami, Universitas Negeri Padang Megawati Batubara, Universitas Padjadjaran Ditha Cahaya, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, Kemendikbud Whisnu Yudiana, Universitas Padjadjaran Vira Sandayanti, Universitas Malahayati Susanthi Pradini, Universitas Lampung Margaretha, Universitas Airlangga Laila Qodariah, Universitas Padjadjaran


Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena Jurnal Psikologi Sains & Profesi (Journal of Psychological Science & Profession) Volume 7, Nomor 1 yang terbit bulan April bisa kembali hadir di tahun 2023 ini. Kepada para pembaca, kami dari tim editorial mempersembahkan 8 (delapan) artikel ilmiah yang telah melewati proses review oleh para mitra bestari yang berkompeten di bidangnya, dengan topik bahasan artikel yang telah disesuaikan dengan ruang lingkup jurnal kami. Tim editorial mengucapkan terima kasih banyak kepada para penulis yang telah berkontribusi dengan mempercayakan artikelnya untuk diproses di jurnal kami, serta berusaha menuangkan gagasan ilmiahnya secara tertulis untuk penguatan ilmu psikologi dari berbagai macam perspektif. Kami juga tidak lupa mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para mitra bestari dan para mahasiswa magang yang telah meluangkan waktunya untuk membantu menelaah, mengedit, dan melakukan layout terhadap artikel-artikel dalam edisi ini agar layak dipublikasikan dan sampai pada para pembaca. Besar harapan kami agar semua artikel yang dimuat dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Selamat membaca. Editor, Yuliana Hanami


Vol. 7, No. 1, April 2023, 1–12 ISSN 2598-3075 E-ISSN 2614-2279 https://jurnal.unpad.ac.id/jpsp/ Jurnal Psikologi Sains & Profesi (Journal of Psychological Science & Profession) Mental Health Literacy Ditinjau dari Big Five Personality Traits pada Remaja di Yogyakarta Hesty Yuliasari* dan Putri Pusvitasari Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta *E-mail: [email protected] Abstrak Remaja merupakan generasi berkelanjutan yang dapat membangun bangsa dimana remaja yang sehat secara fisik dan mental dengan memiliki pengetahuan kesehatan mental akan mampu menghadapi perubahan zaman. Namun, pada kenyataannya dalam hal literasi kesehatan mental banyak diantaranya yang masih belum mendapatkan pengetahuan itu. Literasi kesehatan mental dapat ditinjau dari kepribadian seseorang. Kepribadian dapat diukur dengan Big Five personality traits, yang terdiri dari extraversion, agreeableness, conscientiousness, negative emotionality dan open-mindedness. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh Big Five personality traits terhadap mental health literacy pada remaja di Yogyakarta. Subjek penelitian terdiri dari 200 siswa berusia 13–18 tahun dan berdomisili di Yogyakarta. Alat ukur yang digunakan adalah Mental Health Literacy Scale (MHLS) dan Big Five Inventory. Analisis data menggunakan uji analisis regresi berganda dan uji korelasional antarvariabel. Hasil extraversion trait memiliki korelasi positif yang signifikan dengan literasi kesehatan mental (r = .01, p < .05), sedangkan negative emotionality trait memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan literasi kesehatan mental (r = -.015, p < .05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Big Five personality traits menjadi prediktor literasi kesehatan mental. Extraversion trait (β = .219, p < .05) merupakan prediktor yang lebih kuat dibandingkan dengan trait kepribadian lainnya. Kata kunci: literasi kesehatan mental, Big Five personality traits, remaja Mental Health Literacy Viewed from Big Five Personality Traits on Adolescent in Yogyakarta Abstract Adolescents are a milestone in the country's development in creating a sustainable generation that can build the nation. Therefore, intellectual teenagers are needed to face the changing times. But in reality, many of them still do not have the knowledge about mental health literacy. Mental health literacy can be viewed from a person's personality. Personality can be measured by the Big Five personality traits, that consist of agreeableness, conscientiousness, negative emotionality and open-mindedness traits. This study explores the effect of the Big Five personality traits and mental health literacy on adolescents in Yogyakarta. The participants of this study are 71 male students and 129 female students, aged 13–18 years, currently studying at junior high and high school education levels or equivalent, and domiciled in Yogyakarta. The Mental Health Literacy Scale (MHLS) and Big Five Inventory are used as measurement instruments. Data analysis used multiple regression analysis but also tested the correlation between variables. The result of extraversion trait had a significant positive correlation with mental health literacy (r = .01, p < .05), while the negative emotionality trait had a negative correlation with mental health literacy (r = -.015, p < .05). The results showed that the top five personality traits were predictors of mental health literacy. The extraversion trait (β = .219, p < .05) was a stronger predictor than other personality traits. Keywords: mental health literacy, Big Five personality traits, adolescents


Yuliasari dan Pusvitasari 2 Pendahuluan Remaja merupakan tonggak pembangunan negara dalam mencetak generasi berkelanjutan yang dapat membangun bangsa. Remaja yang siap menghadapi tantangan dan perubahan mampu menyelesaikan permasalahan dalam dirinya, secara fisik dan psikologis. Pemahaman dan pengenalan terhadap permasalahan psikologis pada remaja membantu mereka untuk mengidentifikasi masalah di diri ataupun di lingkungan agar dapat lebih diterima secara sosial. Sebagaimana diketahui, kesehatan dan kesejahteraan merupakan tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs) hingga tahun 2030. Data Riskesdas (2018) menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9.8% dari jumlah penduduk Indonesia. Angka ini meningkat dibandingkan data Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 6.1% (Riskesdas, 2018). Provinsi D.I Yogyakarta (DIY) yang diberikan julukan Kota Pelajar memiliki jumlah remaja dan pelajar yang cukup banyak. Artinya, kesejahteraan dan kesehatan remaja menjadi pembahasan penting terkait dengan kondisi remaja DIY. Namun, kenyataannya masih banyak kasus gangguan jiwa dan tingkat kesehatan mental yang rendah pada remaja DIY. Berdasarkan data Dinas Kesehatan tahun 2016, jumlah kasus gangguan jiwa di DIY tahun 2016 sebanyak 12,322 dari total penduduk 3,594 juta orang yang mengalami gangguan jiwa berat. Berdasarkan survei terhadap penanganan kesehatan mental pada remaja yang dilakukan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2021, penyelesaian masalah yang paling sering dilakukan adalah bercerita pada teman (98.7%), menghindari masalah yang dihadapi (94.1%), dan mencari informasi tentang cara mengatasi masalah dari internet (89.8%). Namun, sebagian juga berakhir dengan menyakiti diri mereka sendiri (51.4%), atau bahkan menjadi putus asa disertai keinginan mengakhiri hidup (57.8%). Adanya peningkatan kasus gangguan jiwa pada remaja dan penanganan permasalahan mengenai kesehatan mental remaja belum efektif dan tidak merata dipahami oleh semua kalangan. Hal ini tentu menjadi masalah yang penting dan berdampak terhadap perkembangan psikologis remaja di Yogyakarta. Adanya peningkatan gangguan mental berkaitan dengan adanya ketidak inginan remaja untuk mencari bantuan profesional dan tersebarnya informasi yang tidak relevan mengenai kesehatan mental dari yang bukan ahlinya. Remaja merasa permasalahanya kurang serius untuk ditangani dan lebih memilih temannya untuk menjadi sumber dukungan (Nurfadilah et al., 2021). Kurangnya perhatian orang tua terhadap perubahan perilaku yang terjadi pada remaja membuat remaja tidak mendapatkan dukungan sosial yang memadai. Permasalahan sosial dan kurangnya dukungan sosial rentan memicu depresi pada remaja, terutama ketika tidak adanya penerimaan diri dan lingkungan. Munculnya konflik internal dalam diri juga dapat memicu remaja untuk mengalihkan masalah dengan menggunakan zat sedatif, hingga memunculkan komorbiditas depresi (Yuliasari & Sari, 2018). Peran lingkungan terhadap kesehatan mental berbanding terbalik dengan kasus-kasus yang ada. Masih adanya penolakan terhadap gangguan jiwa menjadi salah satu penyebab terjadi stigma negatif pada remaja yang memiliki gangguan kejiwaan. Minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan jiwa oleh remaja dan orang di sekitarnya menunjukkan bahwa mereka belum memiliki bekal yang cukup mengenai masalah kejiwaan. Remaja dapat menjadi agen perubahan terhadap stigma negatif yang berkembang mengenai kesehatan mental. Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk memahami kesehatan mental dengan dimulai dari dirinya sendiri. Fokus responden yang mengarah pada usia remaja merupakan tujuan untuk meningkatkan literasi kesehatan mental sedini mungkin. Remaja merupakan usia yang paling tepat untuk memberikan edukasi, baik pada usia di bawahnya maupun pada orang dewasa, terutama lingkungan keluarga. Adanya perbedaan pemahaman dalam penggunaan media digital, dimana pada orang dewasa yang jarang menggunakan teknologi menjadi masalah tersendiri dalam edukasi literasi kesehatan mental. Hal ini dikarenakan usia remaja dianggap usia paling efektif dalam memulai edukasi berbasis media (Hadjimina & Furnham, 2017). Remaja juga dapat saling memengaruhi remaja lainnya secara positif dalam hal pemahaman dan kebiasaan terhadap suatu tren.


Yuliasari dan Pusvitasari 3 Pemahaman terhadap kesehatan mental atau lebih dikenal dengan mental health literacy adalah penentu signifikan kesehatan mental dan tolak ukur dalam meningkatkan kesehatan individu dan komunitas. Konsep mental health literacy dimasukkan ke dalam empat komponen, yaitu memahami cara mendapatkan dan memelihara kesehatan mental yang baik, memahami gangguan mental dan perawatan yang tepat, mengurangi stigma penyakit mental, dan meningkatkan efikasi mencari pertolongan profesional (Wei et al., 2015). Dalam memahami kesehatan mental, remaja dapat memulainya dari diri sendiri, sehingga diharapkan dapat memahami karakter dan kepribadian dirinya. Pada rentang kehidupan, masa remaja merupakan masa dimulainya pembentukan karakter diri agar menjadi individu yang berfungsi sepenuhnya di masyarakat. Karakter diri erat kaitannya dengan kepribadian remaja yang terbentuk dan menetap saat memasuki kematangan usia. Trait kepribadian merupakan karakteristik yang cukup stabil hingga memasuki usia dewasa. Adanya pemahaman terhadap trait kepribadian dalam diri remaja akan membantu remaja untuk memahami penyebab dan sumber masalah terkait permasalahan psikologis dalam diri ataupun penanganan yang harus dilakukan ketika menghadapi masalah. Kondisi ini mengarah pada mental health literacy atau literasi kesehatan mental. Mental health literacy (MHL) merupakan pengetahuan dan keyakinan mengenai gangguan mental yang melibatkan pemahaman, manajemen, dan pencegahan (Jorm, 2015). MHL terintegrasi dalam rekognisi, pengetahuan, dan sikap mengenai kesehatan mental (O’Connor & Casey, 2015; O’Connor et al., 2015). Pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan terkait kesehatan mental pada awalnya hanya berfokus pada praktisi. Semakin berkembangnya kasus gangguan mental membuat perlunya meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengenai kesehatan mental pada masyarakat umum. Penelitian Brooks et al. (2019) menjelaskan bahwa remaja cenderung bergantung pada dukungan teman sebaya dan keluarga daripada mencari bantuan profesional ketika menghadapi masalah. Adanya kesadaran dan pemahaman terhadap kesehatan mental salah satunya ditunjukkan dengan memahami peran tenaga profesional dalam menangani permasalahan psikologi, sehingga dapat bermanfaat dalam pencegahan gangguan mental remaja. Individu yang memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai kesehatan mental juga memiliki kesadaran yang mengarahkannya untuk menerima perawatan kesehatan mental. Individu membutuhkan wawasan yang cukup dalam mengidentifikasi keyakinannya terhadap layanan kesehatan mental yang dapat bermanfaat baginya (Ingram et al., 2016). Berdasarkan penjelasan tersebut, MHL merupakan pemahaman dan keyakinan berupa pengetahuan dan sikap terhadap kesehatan mental. MHL melibatkan berbagai komponen untuk mengetahui pencegahan gangguan mental, perkembangan gangguan mental, pilihan pencarian bantuan dan perawatan yang tersedia, strategi penanganan gangguan mental, serta keterampilan untuk menemukan pertolongan pertama dalam mendukung orang lain yang memiliki juga memiliki permasalahan kesehatan mental (Jorm, 2012; O’Connor & Casey, 2015). Remaja yang dapat memahami konsep MHL, terutama dalam menyikapi kesehatan mental akan berkaitan dengan prasangka diri terhadap pengalaman dan persepsi dirinya di lingkungan sosial. Begitu pula dengan pemahaman remaja mengenai kepribadian akan memengaruhi dalam mengevaluasi hasil yang diharapkannya melalui keyakinan yang dimilikinya (Yuan et al., 2018). Hal ini menjelaskan bahwa kepribadian dapat memengaruhi cara remaja dalam memahami kondisi psikologisnya. Berdasarkan McCrae dan Costa (Feist et al., 2018) trait kepribadian memengaruhi sikap dan persepsi terhadap perubahan di sekitar individu tersebut sebagai hasil dari trait bawaan. Trait merupakan dorongan dalam diri yang memengaruhi perilaku. Trait mewakili kepribadian yang ditunjukkan dalam pola respon berulang terhadap suatu hal, peristiwa, atau keadaan (Abood, 2019). Trait yang menjadi dorongan remaja dalam berperilaku akan mengarahkan remaja untuk mencari bantuan ketika menghadapi masalah yang memengaruhi kondisi psikologisnya. Hal tersebut pun dapat membantu remaja dalam beradaptasi dengan kondisi dirinya. Kemampuan adaptasi dan pemahaman terhadap kesehatan mental dipengaruhi oleh kepribadian seseorang. Individu dengan kepribadian tertentu cenderung bereaksi secara berbeda pada suatu lingkungan dibandingkan individu lainnya, sehingga akan memiliki kebutuhan yang berbeda pula dalam memahami sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa


Yuliasari dan Pusvitasari 4 kepribadian merupakan salah satu faktor yang memengaruhi MHL. Penelitian Bahrami et al. (2019) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi MHL berupa aspek psikologis dan demografi seperti kepribadian, usia, edukasi, riwayat gangguan mental, dan status ekonomi. Kepribadian dapat mencerminkan individu dalam menanggapi dan mengekspresikan diri terkait kondisi kesehatan mentalnya. Sperandeo et al. (2020) menjelaskan bahwa trait kepribadian menggambarkan perilaku adaptif seseorang yang ditunjukkan dengan reaksi diri ketika memiliki permasalahan psikologis. Remaja yang bereaksi terhadap adanya perubahan psikologis dalam dirinya menunjukkan adanya pemahaman terhadap gejala dan perubahan yang terjadi ketika menghadapi masalah. Menurut Feist et al. (2018), kepribadian dapat diukur dengan Big Five personality traits, yang merupakan suatu pendekatan untuk mengukur struktur kepribadian dengan mengelompokkannya ke dalam lima trait, yaitu agreeableness, extraversion, conscientiousness, neuroticism dan openness to experience. Konsep Big Five personality traits kemudian dikembangkan dengan perspektif yang lebih positif agar dapat lebih diterima oleh masyarakat, seperti perubahan nama neuroticism trait menjadi negative emotionality, dan openness to experience menjadi open-mindedness (Soto, 2018). McCrae dan Costa (Feist et al., 2018) menjelaskan individu dengan extraversion tinggi cenderung penuh kasih sayang, mudah bergaul, banyak bicara, menyukai kesenangan, dan bersemangat, sedangkan extraversion rendah berarti cenderung penyendiri, pendiam, serius, tidak peduli, dan tidak berperasaan. Remaja dengan extraversion trait cenderung lebih asertif untuk tidak terlibat pada kenakalan remaja dan memahami bahayanya perilaku berisiko (Habibi et al., 2013). Pemahaman terhadap faktor risiko dan penyebab gangguan mental dari MHL menunjukkan remaja menjadi lebih berani dalam mengungkapkan pendapat dan mencari informasi. Secara khusus, hal ini memberi remaja kemampuan untuk mengelola pikiran dan emosi secara positif, serta membangun hubungan sosial dan keluarga yang sehat dengan didasari oleh identitas diri yang kuat dan positif (Nobre et al., 2021). Individu dengan neuroticism atau negative emotionality yang tinggi akan cenderung merasa cemas, temperamental, emosi yang tidak stabil, dan rentan. Sementara itu, tingkatan yang rendah memunculkan sikap tenang, bangga dengan dirinya sendiri, yakin dengan diri dan tidak emosional. Remaja dengan neuroticism yang tinggi akan kesulitan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga menjadi lebih bergantung pada orang lain. Rasa bergantung pada orang lain dapat ditunjukkan dengan upaya yang lebih besar dalam mencari bantuan profesional untuk memahami kesehatan mental (Park, et al., 2017; Spiker & Hammer, 2018). McCrae dan Costa (Feist et al., 2018) juga menjelaskan openness trait yang tinggi menunjukkan sosok individu yang imajinatif, kreatif, inovatif, bebas, dan memiliki rasa penasaran. Individu dengan openness trait yang rendah berarti memiliki sifat realistis, konservatif, konvensional, tidak kreatif, dan tidak memiliki rasa penasaran. Remaja dengan open-mindedness trait mampu berpikir secara terbuka dan mengoptimalisasikan rekognisi terhadap suatu gangguan mental secara spesifik (Habibi et al., 2013; Kim et al., 2017). Individu dengan agreeableness yang tinggi cenderung berhati lembut, mudah percaya, dermawan, ramah, toleran, dan bersahabat. Namun jika tingkat trait ini cenderung rendah, maka sikap yang akan muncul adalah keras hati, penuh rasa curiga, kritis, dan mudah marah. Remaja dengan agreeableness trait lebih mudah menerima informasi ketika diberikan pemahaman baru mengenai kesehatan mental. Oleh karena itu, remaja dengan trait ini mampu mengevaluasi diri yang dapat membantunya untuk membangun interaksi positif dengan orang lain (Ingram et al., 2016; Kim et al., 2017). Conscientiousness trait yang tinggi memiliki ciri teliti, bekerja keras, teratur, tepat waktu, ambisius, dan gigih. Sementara itu, conscientiousness trait yang rendah dicirikan dengan sikap ceroboh, malas, tidak teratur, terlambat, tidak memiliki tujuan, dan mudah menyerah. Conscientiousness trait menunjukkan bahwa individu memiliki kesadaran terhadap kondisi dirinya, sehingga mendorong munculnya keinginan untuk menjadi individu yang optimal dalam melakukan sesuatu. Thalmayer (2018) menjelaskan bahwa conscientiousness trait mampu bekerja sama dengan terapis ketika melakukan sesi terapi karena cenderung memiliki motivasi dan keterikatan terhadap proses dan tugas yang


Yuliasari dan Pusvitasari 5 dimiliki selama mengikuti psikoterapi. Jika melihat pada keseluruhan trait, remaja yang memiliki MHL yang tinggi akan memiliki extraversion, agreeableness, conscientiousness dan open-mindedness trait yang tinggi, dan memiliki negative emotionality trait yang rendah. Berdasarkan penjelasan di atas, banyak remaja mengalami permasalahan terkait kesehatan mental yang memengaruhi perannya untuk dapat mengoptimalisasikan diri. Kepribadian sebagai bagian dari diri individu akan memengaruhi kesadaran terhadap kesehatan mental dan pemahaman yang dimiliki mengenai kesehatan mental pada remaja. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Big Five personality traits terhadap mental health literacy pada remaja. Peneliti ingin mengkaji dan memprediksi mental health literacy berdasarkan Big Five personality traits pada remaja. Big Five personality traits yang ada pada remaja akan memprediksi literasi kesehatan mentalnya sehingga mendorong remaja untuk dapat lebih peduli terhadap kesehatan mental nya. Remaja yang peduli dengan isu kesehatan mental dan memiliki kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental di usianya akan berdampak pada keberfungsian remaja di masyarakat dan pada usia dewasanya nanti. Hal ini pun menjadi fokus penelitian untuk memprediksi trait kepribadian melalui Big Five personality traits terhadap literasi kesehatan mental sehingga meningkatkan peran remaja dalam kesehatan mental di masyarakat berdasarkan trait kepribadiannya. Remaja dengan trait kepribadian extraversion, agreeableness, conscientiousness dan open-mindedness yang tinggi, serta memiliki trait negative emotionality yang rendah akan menunjukkan literasi kesehatan mental yang tinggi sehingga meningkatkan kepedulian terkait kesehatan mental. Metode Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan alat ukur modifikasi dari Mental Health Literacy Scale (O’Connor & Casey, 2015) dan Big Five Inventory (Soto & John, 2017). Mental Health Literacy Scale (MHLS) merupakan instrumen untuk mengukur kesehatan mental yang terdiri dari 35 pertanyaan, sedangkan Big Five Inventory digunakan untuk mengungkap Big Five personality traits yang terdiri dari 30 pernyataan. Instrumen telah dimodifikasi ke dalam bahasa Indonesia dengan melakukan penyesuaian berupa pemilihan kata yang lebih sederhana dan berkaitan dengan kondisi remaja. Dengan demikian, alat ukur dapat diberikan kepada remaja dalam bahasa yang lebih mudah dipahami. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling. Dengan teknik ini, peneliti melakukan pengambilan sampel secara acak berdasarkan anggota populasi yang ada. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini memiliki kriteria laki-laki atau perempuan, berusia 13–18 tahun, jenjang pendidikan SMP dan SMA atau setara, dan berdomisili di Yogyakarta. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei–Juni 2021 dengan melibatkan 100 siswa SMP/MTS dan 100 siswa SMA/SMK di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap alat ukur yang digunakan. Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan perbandingan r tabel dan r hitung. Hasil analisis validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa koefisien validitas skala MHLS berkisar antara .300–.732 dengan nilai reliabilitas sebesar α = .717. Adapun koefisien validitas dan reliabilitas untuk setiap traits-nya adalah sebagai berikut: open-mindedness (r = .559–.855, α = .793), conscientiousness (r = .537–.749, α = .730), extraversion (r = .343–.770, α = .723), agreeableness (r = .330–.621, α = .765), dan negative emotionality (r = .347–.670, α = .741). Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, dilakukan uji normalitas, uji linieritas, dan uji multikolinieritas sebagai uji asumsi pada variabel mental health literacy dan Big Five personality traits. Peneliti melakukan analisis data menggunakan IBM SPSS 25 melalui uji korelasi antarvariabel dan uji analisis regresi berganda dengan metode enter untuk melihat nilai r dan r square.


Yuliasari dan Pusvitasari 6 Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh Big Five personality traits terhadap literasi kesehatan mental pada remaja di Yogyakarta. Data pada Tabel 1 menunjukkan deskripsi statistik responden berdasarkan usia, jenjang pendidikan, jenis kelamin, dan pengalaman mendapatkan informasi tentang kesehatan mental. Tabel 1. Karakteristik Demografis Usia, Jenis Kelamin, dan Kelas Responden Karakteristik n % Usia 13 28 14% 14 40 20% 15 11 5.5% 16 9 4.5% 17 112 68% Jenis kelamin Laki-laki 71 35.5% Perempuan 129 64.5% Kelas VII 30 15% VIII 50 25% XI 120 60% Mendapatkan informasi kesehatan mental Belum pernah 154 77% Sudah pernah 46 23% Berdasarkan usia responden, sebagian besar responden berusia 17 tahun yang sebanyak 112 orang (68%). Berdasarkan usia jenis kelamin, sebagian besar merupakan responden perempuan sebanyak 129 orang (64.5%) sedangkan responden laki-laki sebanyak 71 orang (35.5%). Berdasarkan Kelas sebagian besar responden berada di kelas XI sebanyak 120 orang (60%), diikuti kelas VIII sebanyak 50 orang (25%) dan kelas VII sebanyak 30 orang (30%). Berdasarkan pengalaman pernah atau tidaknya mendapatkan informasi mengenai kesehatan mental, sebagian besar respon menjawab tidak sebanyak 154 orang (77%), sedangkan responden yang pernah mendapatkan informasi kesehatan mental sebanyak 46 orang (23%). Hasil uji linieritas antara variabel mental health literacy dengan extraversion diperoleh F sebesar .784 (p = .674), variabel mental health literacy dengan open-mindedness diperoleh F sebesar 1.538 (p = .342), variabel mental health literacy dengan conscientiousness diperoleh F sebesar 1.112 (p = .075), variabel mental health literacy dengan agreeableness diperoleh F sebesar 1.232 (p = .231), variable mental health literacy dengan negative emotionality diperoleh F sebesar 1.407 (p = .700). Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi menemukan adanya korelasi antarvariabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak menunjukkan korelasi antara variabel independen. Pengujian terhadap multikolinieritas dapat dideteksi dengan menggunakan tolerance value dan variance inflation factor (VIF). Dapat dikatakan tidak terjadi multikolinieritas apabila nilai VIF < 10 dan nilai tolerance > .10 (Sugiyono, 2016). Hasil uji multikolinieritas dapat dilihat pada Tabel 2.


Yuliasari dan Pusvitasari 7 Tabel 2. Uji Multikolinieritas Variabel Tolerance VIF Agreeableness .344 1.491 Extraversion .344 1.491 Conscientiousness .344 1.491 Negative emotionality .344 1.491 Open-mindedness .344 1.491 Hasil multikolinieritas menunjukkan bahwa pola hubungan antara variabel mental health literacy dengan seluruh traits bersifat linier, sehingga dapat dilakukan uji hipotesis menggunakan analisis regresi berganda. Sebelum melakukan uji hipotesis, peneliti melakukan uji korelasi untuk melihat hubungan antarvariabel penelitian. Hasil uji korelasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Uji Korelasi Antarvariabel Variabel 1 2 3 4 5 6 1. Mental health literacy 1 2. Agreeableness .025* 1 3. Extraversion .01** .05** 1 4. Conscientiousness .025* .03* .021* 1 5. Negative emotionality -.015* -.034* - .04* -.03* 1 6. Open-mindedness .022* .027* .03* .049* -.025* 1 Keterangan: *p < .05, **p < .01 Hasil analisis menunjukkan bahwa empat Big Five personality traits, yaitu openness to experience (β = .371, p < .05), conscientiousness (β = .129, p < .05), extraversion (β = .219, p < .05), agreeableness (β = 0.274, p < .05), dan negative emotionality (β = -.173, p < .05) dapat memprediksi mental health literacy pada remaja. Koefisien determinasi F = 9.465 (p = .040 < .05, R 2 = .108) menunjukkan variasi dalam literasi kesehatan mental dapat dijelaskan sebesar 10.8% dari variasi Big Five personality traits. Dengan kata lain, 89.2% variasi dalam literasi kesehatan mental tidak dapat dijelaskan oleh Big Five personality traits, sehingga banyak variabel lainnya yang memengaruhi mental health literacy selain Big Five personality traits. Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya Big Five personality traits dapat memprediksi mental health literacy, yang artinya Big Five personality traits memiliki kontribusi terhadap literasi kesehatan mental remaja. Shi et al. (2015) menjelaskan bahwa setiap traits memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap pemahaman kesehatan mental atau literasi kesehatan mental. Hasil uji analisis menunjukkan bahwa extraversion merupakan prediktor yang paling kuat dibandingkan dengan trait kepribadian lainnya. Individu dengan extraversion trait menyukai interaksi dengan orangorang dan aktivitas berkelompok sehingga akan cenderung aktif dan optimis. Ketika menghadapi permasalahan yang memengaruhi kondisi psikologisnya, individu ekstrovert akan berusaha menggali informasi dan berkomunikasi dengan orang lain untuk dapat memahami perubahan psikologis dalam dirinya. Untuk menghindari kondisi depresi, ekstrovert lebih memilih melindungi dirinya dari emosi negatif dan berusaha untuk bahagia dengan cara berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain (Abdel-Khalek, 2014).


Yuliasari dan Pusvitasari 8 Hasil penelitian menunjukkan open-mindedness mencerminkan perilaku yang menyukai hal baru dan inovatif, cenderung menjadi imajinatif, sensitif, intelektual, dan memiliki minat yang luas, sehingga memiliki kecenderungan untuk berpikir terbuka dan mampu mengoptimalkan kemampuan kognitif dalam memahami mental health literacy (Zhou et al., 2017). Open-mindedness juga mencerminkan keterbukaan terhadap perilaku menolong yang mengarah pada keinginan untuk dapat memahami, memanfaatkan, dan mengakses informasi dengan cara yang mendukung untuk menjaga kesehatan mental (Alexi et al., 2018). Remaja dengan trait open-mindednesscenderung terbuka dalam menerima saran dan masukan, serta pemahaman terkait pemahaman kesehatan mental. Hasil penelitian menunjukkan agreeableness trait berkorelasi positif dengan mental health literacy. Individu yang memiliki agreeableness trait yang tinggi cenderung ramah dan dapat menerima pemahaman terkait literasi kesehatan mental. Dalam hal ini individu akan cenderung mampu membangun hubungan sosial dan interpersonal yang baik dalam lingkungannya sehingga memudahkannya untuk diajak bekerjasama dan peduli dengan lingkungan sekitar (Mendiburo‐Seguel et al., 2015). Remaja dengan agreeableness trait juga mudah diajak berkomunikasi mengenai pengetahuan baru terkait kesehatan mental sehingga dapat mempermudah proses intervensi. Remaja dengan agreeableness trait pun cenderung lebih ramah dan memiliki kepatuhan untuk mengikuti prosedur yang berkaitan dengan program kesehatan mental. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa extraversion trait memiliki hubungan yang positif dengan mental health literacy. Remaja dengan extraversion trait dalam penelitian Hengartner et al. (2016) cenderung aktif dan mudah bergaul dengan lingkungan, sehingga memiliki kecenderungan bersikap positif dalam bertindak dan berinteraksi. Individu yang memiliki extraversion trait dinilai penuh semangat, asertif, dan menghindari hal-hal buruk sehingga tidak suka melakukan tindakan yang berisiko. Dengan kata lain, remaja dengan extraversion trait mudah menerima penjelasan tentang mental health literacy dan dapat secara aktif menginformasikan kepada lingkungannya. Remaja yang memiliki extraversion trait juga lebih ekspresif dalam mengutarakan hambatan ataupun permasalahan yang dialaminya, sehingga memudahkan tenaga profesional untuk memberikan penanganan yang sesuai. Conscientiousness trait dalam penelitian ini memiliki korelasi yang positif pula dengan mental health literacy. Remaja dengan conscientiousness trait memiliki kontrol diri yang baik sehingga akan cenderung bersikap penuh kehatihatian dan teliti dalam menerima informasi. Penelitian Buecker et al. (2020) menjelaskan bahwa trait ini mampu menerima dan memiliki kesadaran akan kesehatan mental, serta mampu meningkatkan mental health literacy. Oleh karena itu, individu dengan conscientiousness trait dapat lebih diandalkan dan bertanggung jawab dalam memahami permasalahan yang dihadapi. Keberadaan trait ini membuat remaja dapat memiliki pemahaman yang baik mengenai mental health literacy. Hal ini selaras dengan pendapat Thalmeyer (2018) bahwa conscientiousness trait mampu bekerja sama dengan terapis ketika melakukan sesi terapi karena menunjukkan sikap tanggung jawab dengan memiliki motivasi dan keterikatan terhadap proses dan tugas yang dimiliki selama mengikuti psikoterapi. Di sisi lain, penelitian ini menunjukkan bahwa neuroticism trait memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan mental health literacy. Neuroticism trait yang rendah tentu merupakan hal yang lebih baik. Sebab menurut Bucourt et al. (2017), individu dengan neuroticism yang tinggi memiliki kecemasan yang lebih besar, kecenderungan depresi, kemarahan, sikap bermusuhan, impulsivitas, kesadaran diri yang rendah, dan kerentanan emosional (emosi tidak stabil), sehingga dapat berdampak buruk terhadap penerimaan terkait mental health literacy. Remaja dengan neuroticism trait akan memiliki hambatan dalam memahami kesehatan mental, sehingga kurang memiliki kesadaran terhadap kesehatan mental terutama dalam lingkungan sosial. Remaja yang memiliki negative emotionality rendah lebih dapat menerima dan mencari informasi, serta berani mengungkapkan pendapat tentang mental health literacy. Hal ini selaras dengan (Park et al., 2017; Spiker & Hammer, 2018) bahwa negative emotionality yang rendah akan memunculkan rasa tenang, bangga dengan dirinya sendiri, kuat, dan tidak emosional.


Yuliasari dan Pusvitasari 9 Dalam penelitian ini, sebagian besar responden belum pernah mendapatkan informasi tentang kesehatan mental yang cukup untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Berdasarkan uji t yang telah dilakukan, ditemukan adanya perbedaan literasi kesehatan mental antara responden yang belum pernah dan yang sudah pernah mendapatkan informasi tentang kesehatan mental (t = .445, p = .12 > .05). Adanya informasi tentang kesehatan mental ini penting untuk diketahui oleh remaja. Ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Campos et al. (2018) bahwa terdapat dampak positif setelah remaja mendapatkan informasi tentang kesehatan mental khususnya dalam meningkatkan pengetahuan dan pengurangan stereotip terkait masalah kesehatan mental. Sikap ini berkaitan dengan pertolongan pertama dan perilaku mencari bantuan baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh kepribadian seseorang, ditinjau dengan Big Five personality traits, yang merupakan salah satu pendekatan untuk mengukur struktur kepribadian dengan mengelompokkan lima traits, yaitu agreeableness, extraversion, conscientiousness, neuroticism, dan openness to experience. Sejalan dengan Grevenstein dan Bluemke (2015) yang menemukan bahwa beberapa tipe kepribadian dalam Big Five personality traits cenderung merupakan kepribadian yang stabil dan memiliki korelasi yang baik dengan permasalahan terkait kesehatan mental. Maka dari itu pemahaman kepribadian dapat membantu remaja mencari informasi untuk bisa meningkatkan kualitas diri sehingga dalam hal ini akan meningkatkan kesejahteraan psikologis seperti halnya terkait kepuasan hidup. Kelemahan dalam penelitian ini adalah proses pengambilan data yang tidak dikontrol oleh peneliti karena peneliti tidak mengawasi pengambilan data secara langsung. Selain itu, terdapat perbedaan pemahaman terkait item pernyataan berdasarkan data demografis subjek penelitian di wilayah perkotaan dan bukan perkotaan sehingga dapat memengaruhi proses pengisian skala. Peneliti juga tidak secara spesifik menpertimbangkan jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dalam penelitian ini sehingga dapat memengaruhi hasil penelitian. Dengan demikian, penelitian selanjutnya disarankan dapat mempertimbangkan wilayah demografis dan jenis kelamin sebagai faktor yang kemungkinan memengaruhi literasi kesehatan mental pada remaja. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa Big Five personality traits dapat digunakan untuk memprediksi mental health literacy pada remaja di Yogyakarta. Extraversion, agreeableness, conscientiousness dan open-mindedness traits ditemukan berkorelasi positif dengan mental health literacy, sedangkan negative emotionality trait berkorelasi negatif dengan mental health literacy. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kecenderungan extraversion, agreeableness, conscientiousness dan open-mindedness traits pada remaja, maka semakin tinggi pula mental health literacy pada remaja, dan begitu pula sebaliknya. Sementara itu, semakin tinggi kecenderungan neuroticism atau negative emotionality trait pada remaja, maka akan semakin rendah pengaruhnya terhadap mental health literacy. Bagi remaja disarankan untuk lebih sadar dengan keadaan dirinya dan belajar untuk memahami keadaan diri dan kepribadian yang dimiliki, sehingga dapat lebih fleksibel dalam menempatkan diri dalam lingkungan yang berbeda. Bagi masyarakat, untuk dapat meningkatkan literasi kesehatan mental sejak usia dini pada anak-anak. Ditinjau dari Big Five Personality bahwa setiap trait berpengaruh pada pemahaman kesehatan mental atau literasi kesehatan mental individu. Pemahaman terhadap kesehatan mental dapat dimulai dari diri sendiri. Berdasarkan hasil penelitian ini, sebagian besar remaja belum pernah mendapatkan pemahaman terkait kesehatan mental. Oleh karena itu, pemahaman terhadap kesehatan mental dapat dilakukan dengan cara meningkatkan literasi digital melalui sosial media, karena pada saat ini penggunaan media berbasis digital berkembang pesat pada kalangan remaja. Edukasi berbasis digital mengenai kesehatan mental akan memudahkan remaja dalam mengakses dan menyebarkan informasi seputar kesehatan mental. Hal ini pun dapat direalisasikan dengan dukungan dari seluruh komponen masyarakat.


Yuliasari dan Pusvitasari 10 Daftar Pustaka Abdel-Khalek, A. (2014). Extraversion, personality, mental health and religiosity: Significant associations. In The psychology of extraversion. 55-73. Abood, N. (2019). Big Five traits: A critical view. Gadjah Mada International Journal of Business, 21(2), 159-186. Alexi, N., Moore, K., & Argyrides, M. (2018). Openness to help-seeking for mental illness among Greek-Cypriots. Health Promotion International, 33(6), 990–998. doi:10.1093/heapro/dax040 Bahrami, M. A., Bahrami, D. & Chaman-Ara, K. (2019). The correlations of mental health literacy with psychological aspects of general health among Iranian female students. International Journal of mental Health System, 13(59), 1-7. Brooks, H., Irmansyah, I., Lovell, K., Savitri, I., Utomo, B., Prawira, B., Iskandar, L., Renwick, L., Pedley, R., Kusumayati, A., & Bee, P. (2019). Improving mental health literacy among young people aged 11–15 years in Java, Indonesia: co-development and feasibility testing of a culturally-appropriate, user-centred resource (IMPeTUs) – a study protocol. BMC Health Service Research, 19(484), 1-9. Bucourt, E., Martaillé,V., Mulleman, D., Goupille, P., Joncker-Vannier, I., Huttenberger, B., & Courtois, R. (2017). Comparison of the Big Five personality traits in fibromyalgia and other rheumatic diseases. Joint Bone Spine, 84(2), 203-207. Buecker, S., Maes, M., Denissen, J. J., & Luhmann, M. (2020). Loneliness and the Big Five personality traits: A meta– analysis. European Journal of Personality, 34(1), 8-28. Campos, L., Dias, P., Duarte, A., Veiga, E., Dias, C. C., & Palha, F. (2018). Is it possible to “find space for mental health” in young people? Effectiveness of a school-based mental health literacy promotion program. International Journal of Environmental Research and Public Health, 15(7), 1426. Feist, J., Feist, G.J., & Roberts, T. A. (2018). Theories of personality (9th ed.). New York: McGraw-Hill Education. Grevenstein, D., & Bluemke, M. (2015). Can the Big Five explain the criterion validity of sense of coherence for mental health, life satisfaction, and personal distress?. Personality and Individual Differences, 77, 106-111. Habibi, Z., Sadeghi, H., Haghrangbar, F., Madanipour, K., Azarnoosh, A. (2013). The study of personality characteristics and mental health in addicts. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 84, 509-513. Hadjimina, E., & Furnham, A. (2017). Influence of age and gender on mental health literacy of anxiety disorders. Psychiatry Research, 251, 8–13. https://doi.org/10.1016/j.psychres.2017.01.089 Hengartner, M. P., Kawohl, W., Haker, H., Rössler, W., & Ajdacic-Gross, V. (2016). Big Five personality traits may inform public health policy and preventive medicine: Evidence from a cross-sectional and a prospective longitudinal epidemiologic study in a Swiss community. Journal of Psychosomatic Research, 84, 44-51. Ingram, P. B., Lichtenberg, J. W., & Clarke, E. (2016). Self-stigma, personality traits, and willingness to seek treatment in a community sample. Psychological Services. http://dx.doi.org/10.1037/ser0000086 Jorm, A.F. (2012). Mental health literacy : Empowering the community to take action for better mental health. American Psychologist, 67(3), 231-243. Jorm, A. F. (2015). Why we need the concept of “mental health literacy ”. Health Communication, 30(12), 1166-1168. doi: 10.1080/10410236.2015.1037423 Kim, H., Zhang, Q., & Svynarenko, R. (2017). Personality traits and health literacy. Journal of Family Medicine & Community Health, 4(1), 1102.


Yuliasari dan Pusvitasari 11 Mendiburo‐Seguel, A., Páez, D., & Martínez‐Sánchez, F. (2015). Humor styles and personality: A meta‐analysis of the relation between humor styles and the Big Five personality traits. Scandinavian Journal of Psychology, 56(3), 335- 340. Nobre, J., Oliveira, A. P., Monteiro, F., Sequeira, C., & Ferré-Grau, C. (2021). Promotion of mental health literacy in adolescents: A scoping review. International Journal of Environmental Research and Public Health, 18(18), 9500. https://doi.org/10.3390/ijerph18189500 Nurfadilah, N., Rahmadani, A., & Ulum, B. (2021). Profil sikap mencari bantuan layanan psikologis pada mahasiswa. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 12(1), 15-30. O’Connor, M., & Casey, L. (2015). The Mental Health Literacy Scale (MHLS): A new scalebased measure of mental health literacy. Psychiatry Research, 229(1), 511-516. O’Connor, M., Casey, L., & Clough, B. (2015). Measuring mental health literacy –a review of scale-based measures. Journal of Mental Health, 23, 197–200. Park, S., Lee, Y., Seong, S. J., Chang, S. M., Lee, J. Y., Hahm, B. J. & Hong, J. P. (2017). A cross-sectional study about associations between personality characteristics and mental health service utilization in a Korean national community sample of adults with psychiatric disorders. BMC Psychiatry, 17(170), 1-6. Riset Kesehatan Dasar. (2018). Hasil utama Riskesdas tahun 2018. http://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf Shi, M., Liu, L., Wang, Z. Y., & Wang, L. (2015). The mediating role of resilience in the relationship between big five personality and anxiety among Chinese medical students: a cross-sectional study. PLOS ONE, 10(3), e0119916 Soto, C. J. (2018). Big Five personality traits. In M. H. Bornstein, M. E. Arterberry, K. L. Fingerman, & J. E. Lansford (Eds.), The SAGE encyclopedia of lifespan human development (pp. 240-241). Thousand Oaks, CA: Sage. Soto, C. J. & John, O. P. (2017). The Next Big Five Inventory (BFI-2): Developing and assessing a hierarchical model with 15 facets to enhance bandwidth, fidelity, and predictive power. Journal of Personality and Social Psychology, 113(1), 117–143. Spiker, D. A., & Hammer, J. H. (2018). Mental health literacy as theory: Current challenges and future directions. Journal of Mental Health, 1-5. doi: 10.1080/09638237.2018.1437613 Sperandeo, R., Messina, G., Iennaco, D., Sessa, F., Russo, V., Polito, R., Monda, V., Monda, M., Messina, A., Mosca, L. L., Mosca, L., Dell'Orco, S., Moretto, E., Gigante, E., Chiacchio, A., Scognamiglio, C., Carotenuto, M., & Maldonato, N. M. (2020). What does personality mean in the context of mental health? A topic modeling approach based on abstracts published in pubmed over the last 5 years. Frontiers in Psychiatry, 10, 938. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2019.00938 Sugiyono. (2016). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: PT Alfabet. Thalmeyer, A.G. (2018). Personality and mental health treatment: Traits as predictors of presentation, usage, and outcome. Psychological Assesment, 30(7). Wei, Y., McGrath, P. J., Hayden, J., & Kutcher, S. (2015). Mental health literacy measures evaluating knowledge, attitudes and help-seeking: A scoping review. BMC Psychiatry, 15(291), 1-20. Yuan, Q., Seow, E., Abdin, E., Chua, B. Y., Ong, H. Y., Samari, E., Chong, S. A., & Subramaniam, M. (2018). Direct and moderating effects of personality on stigma towards mental illness. BMC Psychiatry, 18(358), 1-10.


Yuliasari dan Pusvitasari 12 Yuliasari, H. & Sari, E. P. (2018). Supportive-expressive therapy untuk mengatasi penyalahgunaan zat adiktif. In Isu-isu sosial menghadapi dunia tanpa batas. 45-52. Zhou, Y., Li, D., Li, X., Wang, Y., & Zhao, L. (2017). Big Five personality and adolescent internet addiction: The mediating role of coping style. Addictive Behaviors, 64, 42-48.


Vol. 7, No. 1, April 2023, 13–24 ISSN 2598-3075 E-ISSN 2614-2279 https://jurnal.unpad.ac.id/jpsp/ Jurnal Psikologi Sains & Profesi (Journal of Psychological Science & Profession) Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Resiliensi pada Penyintas Covid-19 Kartini Apriyuna Betty* dan Maria Nugraheni Mardi Rahayu Universitas Kristen Satya Wacana *E-mail: [email protected] Abstrak Covid-19 menimbulkan berbagai tantangan dan stigma masyarakat, khususnya bagi penyintas Covid-19. Banyak penyintas Covid19 yang mengalami kesulitan dan tantangan sehingga membutuhkan dukungan sosial untuk bangkit dari kesulitan yang dialami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan resiliensi pada penyintas Covid-19. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah penyintas Covid-19 di seluruh Indonesia. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 241 penyintas Covid-19 dari berbagai provinsi di Indonesia dengan kriteria yang sudah ditentukan. Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling. Alat ukur untuk variabel dukungan sosial adalah Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS; 12 item valid, α = .920) dan skala resiliensi, yakni Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC; 25 item valid, α = .952). Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Spearman. Dihasilkan r = .556 dengan signifikansi .000 (p < .05). Artinya, ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dan resiliensi pada penyintas Covid-19. Makin tinggi dukungan sosial, maka makin tinggi resiliensi penyintas Covid-19. Sebaliknya, makin rendah dukungan sosial, maka makin rendah resiliensi yang dimiliki oleh penyintas Covid-19. Kata kunci: dukungan sosial, resiliensi, penyintas Covid-19 The Relationship Between Social Support and Resilience in Covid-19 Survivors Abstract Covid-19 causes various challenges and stigma in society, especially for the survivors. Many Covid-19 survivors experienced difficulties and challenges and needed social support to overcome their difficulties. The research aimed to determine the relationship between social support and the resilience of Covid-19 survivors. Quantitative research was used as the method. The population in this research was Covid-19 survivors in Indonesia. The samples of the research were 241 Covid-19 survivors from different provinces. Accidental sampling was used as the technique in this research. The Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS; 12 valid items, α = .920) and the resilience scale called the Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC; 25 valid items, α = .952) were used as the measuring instruments for the social support variable. Hypothesis testing using Spearman's Product Moment Correlation technique showed that r = .556 with a significance value of .000 (p < .05). It meant a significant positive relationship existed between the social support and resilience of Covid-19 survivors. The higher the social support, the higher the resilience of the Covid-19 survivor, and conversely, the lower the social support, the lower the resilience of the Covid-19 survivor. Keywords: social support, resilience, Covid-19 survivors


Betty dan Rahayu 14 Pendahuluan Pada awal tahun 2020, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang terdampak coronavirus disease 2019 (Covid-19). Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) resmi menyatakan Covid-19 sebagai pandemi. Covid-19 adalah virus yang menyerang sistem pernapasan hingga menyebabkan kematian. Seseorang yang terpapar Covid-19 akan merasakan gejala seperti demam, batuk, pilek, kelelahan, dan sesak napas (Kemenkes, 2020). Covid-19 merupakan bencana global yang menyerang hampir seluruh negara di dunia. Hampir seluruh negara melaporkan kasus positif dan angka kematian yang sangat tinggi. Situs resmi satuan tugas penanganan Covid-19 yang melansir peta sebaran Covid-19 menyebutkan jumlah kasus global mencapai lebih dari 759 juta, dengan jumlah korban hampir mencapai 6.8 juta jiwa. Di Indonesia sendiri, total kasus masyarakat yang terkonfirmasi Covid-19 pada pertengahan Maret 2023 adalah sebanyak 6,739,067 orang, total kasus sembuh sebanyak 6,574,788 orang, dan total kasus meninggal sebanyak 160,948 orang. Saat penelitian dilakukan di tahun 2022, pandemi belum berakhir dan belum dapat diprediksikan kapan akan berakhir. Bencana Covid-19 menyebabkan kematian terjadi di mana-mana dan tidak sedikit individu berjuang untuk melawan paparan Covid-19 yang dialami. Individu yang mengalami gejala Covid-19 dan telah dinyatakan sembuh dari Covid-19, telah melewati masa isolasi mandiri di rumah maupun di rumah sakit, serta telah mendapatkan perawatan dapat disebut sebagai penyintas Covid-19. Munculnya coronavirus tidak hanya berdampak negatif pada kondisi fisik, namun juga pada kondisi psikologis individu. Penelitian yang dilakukan oleh Brooks et al. (2020) menyatakan bahwa pandemi Covid-19 memberikan banyak sekali dampak psikologis bagi seseorang, seperti takut, frustrasi, cemas, stres, dan depresi. Hal ini dikarenakan adanya karantina mandiri yang cukup lama sehingga tidak dapat bertemu dengan keluarga, serta perasaan panik terutama bagi individu yang lebih tua. Penelitian yang dilakukan oleh Zalukhu (2021) menyatakan bahwa dampak psikologis Covid-19 bagi masyarakat di antaranya adalah perubahan cara berpikir; perubahan emosi seperti takut, cemas, dan khawatir; serta perilaku sosial seperti menghindar, stigmatisasi, prasangka, dan diskriminasi. Individu yang terpapar dan penyintas Covid-19 pun mendapatkan stigma sosial dari masyarakat, seperti diskriminasi dan prasangka negatif (Indriati, 2021). Di Indonesia, banyak kasus penyintas Covid-19 yang tidak diterima oleh lingkungan sosialnya. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan dan Susilo (2021) menyatakan bahwa penyintas Covid-19 banyak menjadi bahan perbincangan masyarakat. Penyintas Covid-19 diperbincangkan sebagai “pembawa virus” dan “penular virus”. Masyarakat merasa ketakutan jika berada dekat penyintas Covid-19 meski telah dinyatakan pulih dari virus Covid-19. Menurut Pelupessy dan Bramanwidyantari (2020), stigma sosial dari masyarakat memberi dampak negatif bagi kondisi psikologis penyintas Covid-19 karena dapat memicu emosi sedih, serta rasa takut, kecewa, dan khawatir. Jika stigma sosial ini dibiarkan, tekanan sosial dari masyarakat makin lama akan menimbulkan masalah kesehatan mental atau masalah psikologis yang lebih serius bagi pasien dan penyintas Covid-19 (Indriati, 2021). Berdasarkan penjelasan mengenai kondisi penyintas Covid-19 tersebut, peneliti kemudian melakukan wawancara terhadap tujuh partisipan penyintas berusia 20–40 tahun yang melakukan isolasi mandiri di rumah, dengan beberapa partisipan lainnya sempat dirawat di rumah sakit karena kondisi yang memburuk. Ketujuh partisipan mengatakan bahwa ketika terpapar dan dinyatakan positif Covid-19, mereka merasa cemas dan takut karena banyaknya pemberitaan di media sosial tentang bahaya Covid-19. Adanya kematian orang di sekitar akibat Covid-19 juga memicu rasa stres. Selain itu, terdapat rasa takut akan menularkan virus ke orang terdekat dan dijauhi oleh lingkungan sekitar setelah sembuh dari Covid-19 seperti di tempat kerja dan di lingkungan tempat tinggal mereka sangat dibatasi. Banyak masyarakat yang menolak penyintas diisolasi di lingkungan tempat tinggal mereka. Konsekuensi negatif dari stigma masyarakat sangat memperburuk kondisi mental penyintas Covid-19. Hasil penelitian juga menyatakan bahwa stigma masyarakat membuat penyintas takut untuk berinteraksi dengan orang lain yang menyebabkan beban psikologis


Betty dan Rahayu 15 tersendiri. Penyintas menjadi takut untuk mencari pengobatan dan memberi tahu orang lain tentang kondisi yang mereka alami. Hal ini pun dapat memperburuk kondisi penyintas (Bhanot et al., 2021). Selain itu, stigma yang diberi oleh masyarakat memicu kecemasan yang berlebihan bagi penyintas Covid-19 (Zakiyah, 2021). Terdapat kasus lain ketika keluarga penyintas juga mendapatkan stigma dari masyarakat karena adanya ketakutan berlebihan terkait kondisi penyintas Covid-19 (Wati & Hadi, 2021). Tidak hanya itu, penelitian Prastika (2022) menunjukkan bahwa penyintas dan keluarga juga mendapat label penyebar dan penular virus, dihakimi sebagai orang yang menakutkan dan berbahaya, dikucilkan dalam interaksi sosial, serta mendapat diskriminasi pada pekerjaan dan kehidupan sosial sehari-hari. Stigma ini menimbulkan rasa stres, cemas, emosi, trauma, dan memicu tekanan pada penyintas Covid-19 (Indiarti, 2021). Salah satu faktor yang membuat kesehatan mental individu penyintas Covid-19 menurun adalah kemampuan resiliensi individu yang buruk. Jika individu memiliki kemampuan resiliensi yang buruk, maka kesehatan mentalnya akan cenderung menurun karena tidak mampu bertahan dan bangkit dari kondisi sulit yang dialaminya. Namun, jika individu penyintas Covid-19 memiliki kemampuan resiliensi yang baik, maka ia akan dapat bangkit dari kondisi sulit yang dialami sehingga turut berdampak positif pada kondisi mentalnya (Li et al., 2021). Menurut Soeklola (2020), usia 18—30 tahun lebih mudah merasa takut dan cemas karena usia tersebut merupakan usia produktif, di mana individu lebih banyak mengakses dan mendapatkan banyak informasi dari media sosial tentang pandemi Covid-19 yang dapat meningkatkan terjadinya stres. Selain itu, penelitan juga menemukan bahwa banyaknya angka kematian terjadi pada pasien yang berusia 60 tahun ke atas karena distress psikologi yang meningkat di usia tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Qiu et al. (2020) menyatakan bahwa individu, khususnya wanita dengan usia 18—30 tahun cenderung memiliki resiliensi rendah karena banyak memperoleh informasi dari media social. Informasi tentang tingginya angka kematian yang terjadi di mana-mana yang dapat memicu stres sehingga dapat memperburuk resiliensi individu. Saat pandemi Covid-19, wanita juga jauh lebih mungkin mengembangkan stres pascatrauma. Kondisi ini membuat wanita lebih mudah untuk mengalami stres dan depresi, imunitas mereka menurun dan proses pemulihan terhambat, mereka pun dapat terjangkit virus kembali. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Khoiri dan Muhopilah (2021), dampak pandemi Covid-19 sangat berpengaruh terhadap kondisi mental seseorang. Oleh karena itu, perlu adanya kapasitas dalam diri seseorang untuk beradaptasi dengan setiap perubahan dan melalui setiap kondisi sulit di tengah pandemi Covid-19. Resiliensi sangat diperlukan, terutama bagi penyintas Covid-19. Dengan kemampuan resiliensi yang baik, individu dapat mengatasi dan beradaptasi dengan kondisi sulit yang dialami, seperti stres, cemas, takut, dan tekanan baik dari dalam diri maupun luar diri (Rahmasari & Rizaldi, 2021). Penelitian Li et al. (2021) menyatakan bahwa resiliensi berhubungan positif dengan kesehatan mental individu selama pandemi Covid-19. Resiliensi memungkinkan individu untuk mampu beradaptasi dengan keadaan yang dihadapi dan memiliki dampak positif bagi kesehatan mental individu di masa pandemi. Resiliensi memainkan peran penting dalam melindungi kesehatan mental, mempercepat pemulihan, dan mengurangi dampak negatif dari krisis Covid-19. Menurut Connor dan Davidson (2003), resiliensi merupakan kualitas pribadi yang memungkinkan seorang individu untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan. Terdapat lima aspek yang menunjukkan resiliensi tinggi pada individu, yaitu: (1) memiliki kompetensi pribadi; (2) memiliki standar tinggi dan keuletan; (3) memiliki kepercayaan pada naluri pribadi; (4) memiliki toleransi terhadap pengaruh negatif; (5) memiliki efek penguatan dari stres; (4) adanya penerimaan positif terhadap perubahan; (5) memiliki hubungan yang aman; dan (6) memiliki kontrol diri dan spiritual yang baik. Jadi dapat dikatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat bangkit, beradaptasi, dan tetap bertahan dalam situasi yang menekan.


Betty dan Rahayu 16 Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan dan Susilo (2021) menemukan bahwa dinamika resiliensi penyintas Covid-19 muncul karena kolaborasi antara faktor risiko, faktor protektif, dan faktor spiritual. Faktor risiko ada pada saat proses pemulihan Covid-19, yakni penyintas mendapat stigma sosial dari masyarakat yang memberi dampak emosional dan rasa tidak nyaman pada penyintas. Faktor protektif terdiri dari beberapa komponen resiliensi yang mampu membuat penyintas beradaptasi dan mengelola emosi. Faktor spiritual dan dukungan sosial mampu membuat individu untuk bangkit dari masalah fisik dan psikologis akibat Covid-19. Oleh karena itu, penyintas Covid-19 diharapkan mempunyai kemampuan resiliensi yang baik dan tinggi karena akan membantu dalam proses pemulihan dan bangkit dari situasi sulit yang dialami (Safitri & Noveykayati, 2021). Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi resiliensi seseorang, salah satunya adalah dukungan sosial. Saltzman et al. (2020) menyatakan bahwa selama masa krisis Covid-19, dukungan sosial dapat digunakan sebagai mekanisme koping. Dukungan sosial menjadi suatu hal yang penting sebagai bentuk pertolongan dan pemulihan bagi individu di masa sulit. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Rahmasari dan Rizaldi (2021) mengenai resiliensi pada lansia penyintas Covid-19 dengan penyakit bawaan, yang menunjukkan bahwa penyintas Covid-19 resilien karena ada beberapa faktor yang turut memengaruhi, salah satunya dukungan sosial. Namun, penelitian tersebut tidak langsung mengukur faktor dukungan sosial sehingga dibutuhkan penelitian lanjutan untuk mendukung penelitian tersebut. Oleh karena itu, dukungan sosial menjadi faktor penting untuk dimiliki setiap individu agar tetap bertahan dalam situasi sulit dan menekan. Menurut Zimet et al. (1988), dukungan sosial adalah suatu bentuk dukungan, bantuan, dan peneguhan yang diberikan kepada individu ketika berada dalam situasi yang sulit. Adanya dukungan sosial dapat membantu individu mengatasi situasi sulit yang dialami. Dukungan sosial yang diterima oleh individu dapat berasal dari orang-orang terdekat individu, seperti keluarga, teman, dan orang-orang di sekitar yang dianggap penting oleh individu. Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang mengorelasikan dukungan sosial dengan resiliensi. Penelitian yang dilakukan oleh Jannah dan Rohmatun (2018) menemukan bahwa dukungan sosial berkaitan positif dengan resiliensi pada seseorang, di mana dukungan sosial yang tinggi dari orang lain akan memengaruhi resiliensi seseorang. Penelitian lain juga dilakukan oleh Kerebungu dan Santi (2021), yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dukungan sosial terhadap resiliensi. Dukungan sosial yang berasal dari keluarga, teman, dan perusahaan yang merumahkan dive guide (pekerja pariwisata yang bergerak di bidang penyelaman sebagai pemandu selam) akibat pandemi Covid-19 dapat membuat mereka mampu bertahan dan bangkit dari kesulitan yang dihadapi. Terdapat perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zakiyah (2021) mengenai “Hubungan Dukungan Keluarga dan Kecemasan Pada Penyintas Covid-19 di Tulungagung”. Menindaklanjuti penelitian tersebut, penelitian ini mengkorelasikan variabel dukungan sosial dengan resiliensi pada penyintas Covid-19 dengan metode penelitian dan subjek yang berbeda. Selain itu, penelitian ini masih minim dilakukan sehingga menjadi penting untuk dikaji, khususnya dalam situasi sulit Covid-19 yang terjadi pada saat penelitian dilakukan, yaitu ketika adanya perubahan dan perbedaan di sebagian aspek kehidupan masyarakat, bagaimana dukungan sosial yang diberikan masyarakat di tengah kondisi Covid-19, serta ketahanan seseorang sehingga dapat bertahan dalam menghadapi Covid-19. Penelitian mengenai penyintas Covid-19 penting untuk diketahui oleh masyarakat, terutama bagi penyintas Covid-19 yang telah dinyatakan sembuh dari Covid-19. Penyintas Covid-19 mengalami kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan yang berlebihan akibat stigma negatif dari masyarakat. Jika terus dibiarkan, kondisi ini dapat memperburuk kesehatan mental penyintas Covid-19. Berdasarkan fenomena pandemi Covid-19 yang terjadi, Covid-19 memiliki dampak bagi kehidupan masyarakat, khususnya penyintas Covid-19. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai peran dari masyarakat dan lingkungan sekitar untuk penyintas Covid-19 agar mampu bertahan dalam kondisi sulit yang dialami.


Betty dan Rahayu 17 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan resiliensi pada penyintas Covid19. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah terdapat hubungan positif dan signifikan antara dukungan sosial dengan resiliensi pada penyintas Covid-19. Metode Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan resiliensi pada penyintas Covid-19. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Populasi dalam penelitian ini adalah penyintas Covid-19 di seluruh Indonesia. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Menurut Sugiyono (2017), accidental sampling adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara insidental atau kebetulan ditemui oleh peneliti, sesuai dengan kriteria peneliti, serta bersedia menjadi subjek dapat diikutsertakan sebagai sampel. Peneliti menggunakan accidental sampling karena saat pandemi situasi tidak memungkinkan peneliti dan partisipan untuk bertemu. Penelitian ini dilakukan saat adanya penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Indonesia yaitu bulan Januari—Maret 2023 sehingga penyebaran kuesioner dilakukan dengan penyebaran melalui tautan Google Form secara daring. Hal ini dilakukan agar siapa saja yang mendapatkan tautan tersebut dan sesuai dengan kriteria serta bersedia menjadi partisipan, maka akan dijadikan sebagai sampel penelitian. Peneliti juga melihat jumlah keseluruhan populasi sampel tidak diketahui sehingga dipilih teknik accidental sampling. Jumlah sampel yang diperoleh adalah sebanyak 241 penyintas Covid-19 dari berbagai provinsi di Indonesia. Adapun kriteria sampel penelitian, yakni: (1) penyintas Covid-19 berusia 20–50 tahun; (2) mengalami gejala Covid-19; (3) dinyatakan positif Covid-19 dan sembuh antara bulan Juli—September 2021; (4) penyintas Covid-19 yang mengalami gejala Covid-19; (5) pernah menjalani perawatan atau isolasi di rumah maupun rumah sakit. Beberapa data demografi yang digali adalah jenis kelamin, usia, asal daerah, pekerjaan, periode positif dan sembuh Covid-19, tempat menjalani isolasi mandiri, serta riwayat penyakit bawaan. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat dukungan sosial pada penyintas Covid-19 adalah skala dari Zimet et al. (1988), yakni Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). MSPSS memiliki dua belas item bersifat favorable yang terdiri dari tiga aspek dukungan sosial, yakni dukungan keluarga (family support), dukungan teman (friend support), dan dukungan yang berasal dari orang sekitar (significant other support). MSPSS diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh peneliti, kemudian dilakukan review ulang kelayakan item. Dihasilkan reliabilitas skala keseluruhan adalah .920. Skala yang digunakan adalah skala Likert dengan empat alternatif jawaban, yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai) dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Seleksi item pada variabel dukungan sosial menghasilkan dua belas item dari ketiga aspek dukungan sosial, dengan rentang skor corrected item-total correlation .573 sampai dengan .728 (lebih besar dari .3) sehingga dianggap memuaskan (Azwar, 2012). Reliabilitas MSPSS untuk subskala dukungan sosial menunjukkan nilai reliabilitas Cronbach's alpha sebesar .920. Penelitian ini juga menggunakan alat ukur Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) untuk mengukur resiliensi pada penyintas Covid-19. Skala ini dikembangkan oleh Connor dan Davidson (2003). CD-RISC memiliki 25 item bersifat favorable yang terdiri dari lima aspek resiliensi. CD-RISC diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh peneliti, kemudian dilakukan review ulang kelayakan item. Didapatkan reliabilitas sebesar .952. Skala yang digunakan adalah skala Likert dengan empat alternatif jawaban, yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Hasil seleksi item pada variabel resiliensi sebanyak 25 item dan memiliki rentang skor corrected item-total correlation .949 sampai dengan .952. Reliabilitas skala CD-RISC menunjukkan reliabilitas Cronbach’s alpha untuk skala secara keseluruhan adalah .952.


Betty dan Rahayu 18 Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Dilakukan juga uji asumsi berupa uji normalitas dan uji linieritas. Sementara itu, hubungan antara variabel dukungan sosial dan resiliensi pada penyintas Covid-19 diuji menggunakan uji korelasi nonparametrik Spearman. Hasil Sebanyak 241 responden telah bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini dengan mengisi kuesioner yang disebarkan secara daring. Data demografi responden dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Demografi Data Demografi n % M SD Jenis kelamin Perempuan 180 74.7% 1.75 .436 Laki-laki 61 25.3% Usia 20—30 tahun 172 71.4% 31—40 tahun 49 20.3% 1.37 .633 41—50 tahun 20 8.3% Asal daerah Jawa 155 64.3% 1.70 1.153 Nusa Tenggara 41 17% Sumatera 20 8.3% Kalimantan 16 6.7% Maluku 6 2.5% Papua 3 1.2% Pekerjaan Mahasiswa 101 41.9% 2.35 1.547 Karyawan swasta 52 21.6% ASN/PNS 32 13.3% Ibu rumah tangga (IRT) 28 11.6% Tenaga kesehatan 21 8.7% Buruh 3 1.2% Guru 2 0.8% Dosen 2 0.8% Periode gejala positif dan sembuh Covid-19 Juli 168 69.7% Agustus 58 24.1% 1.37 5.98 September 15 6.2% Tempat menjalani isolasi Rumah (tinggal bersama keluarga) 137 58.6% 1.86 1.236 Rumah (tinggal sendiri) 49 20.3% Kos/asrama 22 9.1% Rumah sakit 17 7.1% Wisma karantina yang disediakan pemerintah 16 6.6% Riwayat penyakit bawaan Tidak memiliki penyakit bawaan 208 86.3% 1.14 .344 Memiliki riwayat penyakit bawaan 33 13.7%


Betty dan Rahayu 19 Sampel penyintas Covid-19 yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 241 responden, dengan mayoritas responden memiliki jenis kelamin perempuan sejumlah 180 responden (74.7%) dan rentang usia 20—30 tahun sebanyak 172 responden (71.4%). Sampel penelitian berasal dari enam pulau besar di Indonesia yang terdiri dari 21 provinsi. Jumlah responden tertinggi berada di pulau Jawa, yaitu sebanyak 155 responden (64.3%). Sampel penelitian ini memiliki latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda, di mana sebagian besarnya adalah mahasiswa dengan jumlah 101 responden (41.9%). Sebanyak 137 responden (56.8%) diketahui menjalani isolasi di rumah (tinggal bersama keluarga). Sebanyak 208 responden (86.3%) tidak memiliki riwayat penyakit bawaan. Pada Tabel 2 diperoleh hasil data kategorisasi variabel dukungan sosial atau variabel X. Rata-rata responden dalam penelitian ini memiliki kategorisasi dukungan sosial tinggi. Sebanyak 154 responden berada pada kategori dukungan sosial tinggi dengan persentase sebesar 64%, 75 responden berada pada kategori sedang dengan persentase sebesar 31%, dan 12 responden pada kategori rendah dengan persentase sebesar 5%. Tabel 2. Kategorisasi Dukungan Sosial Interval Kategori n % 12 ≤ X < 24 Rendah 12 5 24 ≤ X < 36 Sedang 75 31 36 ≤ X < 48 Tinggi 154 64 Total 241 100 M 37.59 SD 7.45 Sementara itu, pada Tabel 3 diperoleh hasil data kategorisasi variabel resiliensi atau variabel Y. Rata-rata responden dalam penelitian ini memiliki kategorisasi resiliensi tinggi. Sebanyak 150 dari 241 responden menunjukkan skor resiliensi kategori tinggi dengan persentase sebesar 62%, 84 responden berada pada kategori sedang dengan persentase sebesar 35%, dan 7 responden pada kategori rendah dengan persentase sebesar 3%. Tabel 3. Kategorisasi Resiliensi Interval Kategori n % 25 ≤ X < 50 Rendah 7 3 50 ≤ X < 75 Sedang 84 35 75 ≤ X < 100 Tinggi 150 62 Total 241 100 M 77.15 SD 12.50 Kemudian, dilakukan uji asumsi, yaitu uji normalitas dan uji linieritas. Hasil uji normalitas KolmogorovSmirnov menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal. Variabel dukungan sosial (X) menunjukkan nilai KS-Z = 1.364 dengan nilai signifikansi .048 (p < .00). Sementara itu, Variabel resiliensi (Y) menunjukkan nilai KS-Z = 1.804 dengan nilai signifikansi .003 (p < .05). Hasil uji linieritas dengan analisis varians antara variabel dukungan sosial dan resiliensi menunjukkan F-beda = 153.161 dan nilai signifikansi .000 (p < .05). Artinya, hubungan kedua variabel adalah linier. Tabel 4 menunjukkan hasil uji korelasi untuk mengetahui hubungan antara variabel dukungan sosial dan resiliensi pada penyintas Covid-19 dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Spearman. Uji korelasi menunjukkan hasil r = .556 dengan nilai signifikansi .000 (p < .05). Artinya, terdapat hubungan positif yang signifikan


Betty dan Rahayu 20 antara dukungan sosial dan resiliensi pada penyintas Covid-19. Makin tinggi dukungan sosial, maka makin tinggi resiliensi pada penyintas Covid-19. Sebaliknya, makin rendah dukungan sosial, maka makin rendah resiliensi pada penyintas Covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima. Tabel 4. Uji Hipotesis Variabel Spearman Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N Dukungan sosial dan resiliensi .556 .000 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Jannah dan Rohmatun (2018) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara dukungan sosial dengan resiliensi. Makin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh penyintas banjir rob Tambak Lorok, maka makin tinggi resiliensi yang dimiliki. Begitu pula sebaliknya, makin rendah dukungan sosial yang diterima oleh penyintas banjir rob Tambak Lorok, maka makin rendah resiliensi yang dimiliki. Jika dikaitkan dengan penyintas Covid-19, maka penyintas yang mendapatkan dukungan sosial yang bersumber dari keluarga, teman, dan orang-orang yang dianggap penting akan mampu beradaptasi dengan kondisi sulit yang dialaminya dan menjadi resilien. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penyintas Covid-19 yang memiliki tingkat dukungan sosial tinggi akan mampu untuk bertahan dalam kondisi sulit yang dialaminya dan bangkit dengan kemampuannya ketika dihadapkan dengan berbagai situasi yang penuh dengan tekanan. Dukungan sosial merupakan persepsi kepedulian, kenyamanan, penghargaan, dan bantuan yang diterima seorang dari suatu kelompok atau orang lain (Uchino, 2009). Dengan adanya dukungan sosial, individu akan merasa tidak sendiri, diterima, dihargai, dan didukung sehingga ia akan optimis untuk bangkit dan melewati kondisi sulit yang dialami. Individu akan membentuk ketahanan yang baik atau resiliensi tinggi. Individu yang memiliki dukungan sosial yang tinggi akan memiliki resiliensi yang baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dianto (2017) bahwa individu yang memiliki dukungan sosial dari keluarga, teman, dan orang-orang di sekitar akan menjadi lebih optimis dalam menghadapi masalah kehidupan yang dimiliki, terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologis, memiliki tingkat kecemasan yang rendah, serta memiliki kemampuan untuk mencapai keinginannya. Dukungan sosial juga akan membantu individu menghadapi segala situasi yang menimbulkan tekanan. Pada Tabel 5 dilakukan uji korelasi sumber-sumber dukungan sosial dengan resiliensi pada penyintas Covid19. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa dukungan yang berasal dari keluarga memiliki korelasi yang lebih tinggi, yakni .570. Tabel 5. Korelasi Sumber Dukungan Sosial dengan Resiliensi Variabel Spearman’s Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N Dukungan sosial keluarga dan resiliensi .570 .000 Dukungan sosial teman dan resiliensi .480 .000 Dukungan sosial orang terdekat dan resiliensi .401 .000 Pembahasan Dukungan sosial yang utama didapatkan individu umumnya berasal dari keluarga. Korelasi tertinggi dengan resiliensi ditemukan pada dukungan keluarga, yakni sebesar .570 karena sebagian besar penyintas Covid-19 dalam penelitian ini banyak mendapatkan dukungan dari keluarga. Keluarga selalu membantu memberikan dukungan ketika penyintas berada dalam kondisi sulit yang dialami. Hal ini dapat dilihat dari bentuk dukungan emosional yang diberikan keluarga kepada penyintas, seperti memberikan dorongan semangat agar individu menjadi lebih resilien dalam


Betty dan Rahayu 21 menghadapi masa sulit yang dialami. Dengan adanya dukungan dari keluarga, individu merasa mampu melewati kondisi sulit yang dialami dan merasa memiliki hubungan yang dekat sehingga dapat meningkatkan resiliensi. Seperti yang diketahui, keluarga merupakan orang terdekat bagi individu. Dukungan yang bersumber dari keluarga memberi pengaruh besar bagi penyintas Covid-19. Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rehuella dan Dewi (2022), dukungan sosial dari keluarga yang berupa dukungan emosional, penghargaan, informasional, dan instrumental sangat berperan penting dan berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan seseorang di masa pandemi, khususnya pada ibu yang bekerja dari rumah selama pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa adanya dukungan dari keluarga dapat membantu individu penyintas Covid-19 bangkit dari kesulitan yang dialami. Ia akan merasa mampu untuk mencapai tujuannya meskipun berada dalam kesulitan, mampu menerima pengaruh negatif dari luar, dan yakin bahwa dirinya kuat menghadapi situasi yang menekan. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Cinintya dan Arruum (2018) bahwa sumber dukungan sosial terbesar adalah berasal dari keluarga. Saat individu mendapatkan dukungan emosional dan dukungan informasional dari keluarganya, ia bisa menerima situasi sulit yang dialami sehingga mendorongnya menjadi resilien. Selain keluarga, teman merupakan orang yang dekat dengan individu. Teman dapat memberi bantuan bagi individu ketika berada dalam kesulitan. Dukungan dari teman kerja atau teman lainnya sangat berperan penting dalam membantu penyintas melewati masa sulit yang dialami. Dengan adanya dukungan dari teman kepada individu penyintas Covid-19, maka penyintas Covid-19 akan merasa dipedulikan, memiliki hubungan yang aman, serta nyaman dan dekat dengan temannya. Hal ini akan membuat individu bangkit dari kondisi sulit yang dialaminya untuk mencapai ketahanan yang baik. Sesuai dengan penelitian dari Octa et al. (2014), adanya dorongan, penghargaan, kepedulian, serta nasihat dari teman sebaya akan membantu individu beradaptasi terhadap berbagai permasalahan yang dialami meskipun dalam situasi sulit atau menekan sehingga akan mencapai resiliensi yang baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dukungan sosial dengan orang terdekat memiliki korelasi paling rendah dari ketiga sumber dukungan lainnya. Hal ini karena sebagian partisipan penyintas Covid-19 dalam penelitian ini merasa kurang atau belum memiliki orang yang spesial yang dapat berbagi suka duka dengannya. Selain itu, mereka merasa kurang dipedulikan oleh orang-orang terdekat di sekitar—seperti tetangga dan masyarakat sekitar—yang dapat membantunya dalam kondisi sulit. Hal ini membuat penyintas merasa kurang memiliki hubungan yang aman dengan orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Febriyanti (2019) menunjukkan bahwa dukungan sosial yang paling utama dibutuhkan oleh penyintas adalah dukungan sosial yang berasal dari keluarga dan teman dekat. Namun,, dukungan dari orang terdekat juga berkontribusi dalam membentuk resiliensi penyintas. Dengan adanya dukungan sosial dari orangorang sekitar, penyintas Covid-19 akan merasa dihargai dan dicintai. Mereka akan mampu mengontrol dirinya dalam situasi yang menekan dan yakin bahwa mereka dapat bangkit dari kondisi yang dialaminya karena ada orang-orang di sekitar yang selalu mendukung. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Kerebungu dan Santi (2021) mengenai peran dukungan sosial terhadap resiliensi pada dive guide yang dirumahkan akibat pandemi Covid-19 di Manado. Penelitian ini menyatakan bahwa adanya dukungan sosial dari kelompok sosial serta keluarga dekat dapat membuat individu mudah menyesuaikan diri dengan keadaan sulit, serta merasa dihargai dan dipedulikan sehingga ia akan memiliki perasaan yang aman dan cenderung mengembangkan sikap positif terhadap dirinya sendiri. Ia juga akan beradaptasi dengan permasalahan yang dialaminya sehingga menjadi resilien penyintas Covid-19 yang mendapatkan dukungan sosial akan merasa diperhatikan dan diterima orang lain sehingga akan lebih mudah dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya dan bangkit dari permasalahannya karena ada orang lain yang bersedia menolong dan mendukung individu. Hal ini sesuai dengan penelitian Febriyanti (2019) yang menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting pembentuk resiliensi seseorang, termasuk pada penyintas yang mengalami trauma pascabencana dan kejadian yang tidak menyenangkan.


Betty dan Rahayu 22 Memiliki kemampuan resiliensi yang baik sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan mental penyintas Covid-19. Dukungan sosial merupakan faktor penting untuk meningkatkan resiliensi individu penyintas Covid-19 di masa pandemi. Dukungan sosial yang diterima oleh penyintas dapat mengurangi kecemasan dan stres yang dialami pasca mengalami dan sembuh dari Covid-19. Ketika penyintas mendapat dukungan sosial, baik dari keluarga, teman, maupun orang-orang terdekat, penyintas akan merasa tidak sendirian, tidak mudah menyerah, dan tidak mudah putus asa karena ada orang di sekitarnya yang membantu memberikan dukungan. Hal ini membuat individu mampu mencapai ketahanan yang baik. Penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar penyintas Covid-19 memiliki kemampuan resiliensi yang tinggi, artinya penyintas Covid-19 mampu bangkit kembali ketika menghadapi kesulitan yang dialami dalam menghadapi Covid-19. Hal ini berarti penyintas Covid-19 dalam penelitian ini memiliki kemampuan untuk dapat mencapai tujuannya meskipun berada dalam kesulitan. Penyintas Covid-19 juga memiliki keyakinan bahwa dirinya kuat dalam menghadapi situasi yang menekan. Mereka juga memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri dan perilaku dalam situasi yang sulit. Selain itu, ada kepercayaan penyintas Covid-19 bahwa masalah sulit dan kondisi yang mereka alami merupakan takdir Tuhan. Mereka tetap yakin dan percaya akan dapat melewati situasi sulit karena pertolongan dari Tuhan. Secara umum, hasil penelitian ini memunculkan implikasi bahwa peningkatan resiliensi pada penyintas Covid19 dapat dilakukan dengan memanfaatkan dukungan sosial dari keluarga, teman, dan orang-orang terdekat di sekitar individu, khususnya dukungan yang bersumber dari keluarga. Dengan memanfaatkan dukungan sosial tersebut, penyintas Covid-19 dapat bertahan dan mampu melewati masa sulit yang dialami, serta dapat menjaga kesehatan fisik dan mentalnya. Jika memiliki kemampuan resiliensi yang baik, individu tersebut dapat mampu mengatasi kondisi sesulit apa pun, tidak mudah putus asa, lebih optimis, dan lebih memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan kehidupan yang sejahtera dan lebih baik. Simpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan sosial dan resiliensi pada penyintas Covid-19. Artinya, makin tinggi dukungan sosial yang diterima penyintas, maka makin baik pula resiliensinya sebagai penyintas Covid-19. Berdasarkan hasil penelitian, dukungan sosial sangat memiliki peran penting dalam membantu penyintas Covid-19 agar tetap bertahan dan bangkit dari kondisi sulit yang dialami. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sumber dukungan sosial yang paling banyak diperoleh individu penyintas berasal dari keluarga penyintas. Maka dari itu, teman dan orang-orang di sekitar individu diharapkan dapat memberikan dukungan pada penyintas karena dorongan dan dukungan sosial akan membantu membentuk resiliensi yang baik pada penyintas Covid-19. Penelitian ini masih memiliki keterbatasan, yakni sampel penelitian yang tidak merepresentasikan keseluruhan populasi penyintas Covid-19 karena peneliti tidak meneliti seluruh penyintas Covid-19 yang dianggap sebagai populasi dalam penelitian. Oleh sebab itu, peneliti berikutnya diharapkan untuk memperluas populasi dengan cara meneliti penyintas Covid-19 yang lebih banyak. Penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat meneliti variabel lain yang memengaruhi resiliensi penyintas Covid-19. Selain itu, peneliti selanjutnya dapat menambahkan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi resiliensi penyintas, seperti spiritualitas, harga diri, emosi positif, dan lain-lain. Kemudian, diharapkan pula penelitian lebih mendalam terkait faktor yang memengaruhi mengapa sumber dukungan sosial pada teman dan orang lain lebih rendah dibanding dengan sumber dukungan keluarga. Diperlukan pula penelitian lebih lanjut mengenai korelasi variabel sumber dukungan sosial lain dengan resiliensi pada penyintas Covid-19 secara lebih spesifik.


Betty dan Rahayu 23 Daftar Pustaka Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi (2 nd ed.). Pustaka Pelajar. Bhanot, D., Singh, T., Verma, S.K., & Sharad, S. (2021). Stigma and discrimination during Covid-19 pandemic. Frontiers in Public Health, 8(577018), 1-11. https://doi.org/10.3389/fpubh.2020.577018 Brooks, S. K., Webster, R. K., Smith, L. E., Woodland, L., Wessely, S., Greenberg, N., & Rubin, G. J. (2020). The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence. Rapid Review, 395(10227), 912-920. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30460-8 Cinintya, S., A & Arruum, L. R. (2018). Pengaruh dukungan keluarga dan pasangan terhadap resiliensi Ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autisme. Psikodimensia, 17(1), 1-9. https://doi.org/10.24167/psidim.v17i1.1293 Connor, K. M., & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new Resilience scale: The Connor-Davidson Resilience scale (CD-RISC). Depression and Anxiety, 18(2), 76–82. https://doi.org/10.1002/da.10113 Dianto, M. (2017). Profil dukungan sosial orang tua siswa di SMP Negeri Kecamatan Batang Kapas Pesisir Selatan. Jurnal Counseling Care, 1(1), 42-51. https://doi.org/10.22202/jcc.2017.v1i1.1994 Febriyanti, F. (2019). Pengaruh dukungan sosial terhadap resiliensi dimoderasi oleh kebersyukuran pada penyintas gempa bumi di Lombok. [Tesis, Universitas Muhammadiyah Malang]. https://eprints.umm.ac.id Helmy, Y. A., Fawzy, M., Elaswad, A., Sobieh, A., Kenney, S. P., & Shehata, A. A. (2020). The Covid-19 pandemic: A comprehensive review of taxonomy, genetics, epidemiology, diagnosis, treatment, and control. Journal of Clinical Medicine, 9(4). https://doi.org/10.3390/jcm9041225 Indriati, S (2021). Dahsyatnya stigma bagi kesehatan mental penyintas Covid-19. https://rsjd-surakarta.jatengprov.go.id Jannah, S. N., & Rohmatun, R. (2018). Hubungan antara dukungan sosial dengan resiliensi pada penyintas banjir tambak rob lorok. Proyeksi, 13(1), 1-12. http://dx.doi.org/10.30659/jp.13.1.1-12 Khoiri O, W., & Muhopilah, P. (2021). Model konseptual resiliensi di masa pandemi Covid-19: Pengaruh religiusitas, dukungan sosial dan spiritualitas. Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 6(1), 1-18. https://doi.org/10.20885/psikologika.vol26.iss1.art1 Kerebungu, K., & Santi, E. (2021). Peran dukungan sosial terhadap resiliensi pada dive guide yang dirumahkan akibat pandemi Covid-19 di Manado. Memperkuat Kontribusi Kesehatan Mental dalam Penyelesaian Pandemi Covid 19: Tinjauan Multidisipliner, April, 378–386. Kurniawan, Y., & Susilo, M. N. I. B. (2021). Bangkit pasca infeksi: Dinamika resiliensi pada penyintas Covid-19. Philanthropy: Journal of Psychology, 5(1),131-156. http://dx.doi.org/10.26623/philanthropy.v5i1.3326 Li, F., Luo, S., Mu, W., Li, Y., Ye, L., Zheng, X., Xu, B., Ding, Y., Ling, P., Zhou, M., & Chen, X. (2021). Effects of sources of social support and resilience on the mental health of different age groups during the Covid-19 pandemic. BMC Psychiatry, 21(1), 1–14. https://doi.org/10.1186/s12888-020-03012-1 Octa, M., L, Elita. V., & Woferst, R. (2014). Hubungan dukungan sosial teman sebaya terhadap tingkat resiliensi remaja di Panti Asuhan. JOM PSIK, 1(2), 1-9. Pelupessy, D., & Bramanwidyantri, M. (2020). Sebagian besar penyintas Covid-19 dan keluarganya mendapat stigma. LaporCovid-19. https://laporcovid19.org/post/sebagian-besar-penyintas-covid-19-dan-keluarganyamendapat-stigma Prastika, V. A. (2022). Analisis stigma sosial pada penyintas Covid-19 (Studi kasus di Dukuh Karangtal, Kelurahan Gunting, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. [Skripsi, Universitas Sebelas Maret]. https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/89655/Analisis-Stigma-Sosial-Pada-Penyitas-Covid-19


Betty dan Rahayu 24 Qiu, J., Shen, B., Zhao, M., Wang, Z., Xie, B., & Xu, Y. (2020). A nationwide survey of psychological distress among Chinese people in the Covid-19 epidemic: Implications and policy recommendations. General Psychiatry, 33(2), 19-21. https://doi.org/10.1136/gpsych-2020-100213 Rahmasari, D., & Rizaldi, A. (2021). Resiliensi pada lansia penyintas Covid-19 dengan penyakit bawaan. Jurnal Penelitian Psikologi, 8(5), 1–15. Rehuella, E., & Dewi, K. (2022). Dukungan keluarga dan psychological well-being ibu work from home saat pandemi Covid-19 di Denpasar. Jurnal Psikologi Sains dan Profesi, 6(1), 66–75. https://doi.org/10.24198/jpsp.v6i1.35939 Resnick, B., Gwyther & Karen. (2011). Resilience in Aging: Concepts, Research, and Outcomes. Springer. Safitri, A. M., & Noveykayati, I. (Desember, 2021). The social support effects on resilience of Covid- 19s’ survivors. In International Seminar of Multicultural Psychology (ISMP 1st) (pp. 189–196). Sarafino, E. P & Smith, T. W. (2011). Health Psychology: Biopsychosocial interaction (2 nd ed.). John Wiley & Sons, Inc. Sasongko, B., Mariyanti, S., & Safitri, M. (2020). Hubungan dukungan sosial dengan resiliensi pada perempuan yang mengalami Infertilitas. JCA Psikologi, 1(2). 114-123. Satgas penanganan covid-19 (2023). Peta sebaran Covid-19. https://covid19.go.id/peta-sebaran-covid19 Sugiyono. (2017). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan kombinasi (mixed methods). Alfabeta. Soeklola. (2020). Kesehatan mental dalam kondisi pandemi virus corona. Alomedika. https://www.alomedika.com/kesehatan-mental-dalam-kondisi-pandemik-virus-corona Southwick, S. M., Vythilingam, M., & Charney, D. S. (2005). The psychobiology of depression and resilience to stress: Implications for prevention and treatment. Annual Review of Clinical Psychology, 1, 255–291. Uchino, B. N. (2009). Understanding the links between social support and physical health: A live-span perspective with emphasis on the separability of perceived and received support. Perspective on Psychological Science, 4(3), 236- 255. https://doi.org/10.1111/j/1745.2009.01122.x Wati, R. L., & Hadi, E. N. (2021). Stigma masyarakat terhadap penyintas Covid-19 di kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. PREPOTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(2), 1143–1151. https://doi.org/10.31004/prepotif.v5i2.2503 Zakiyah, L. (2021). Hubungan antara dukungan keluarga dan kecemasan pada Penyintas Covid-19 di Tulungagung. [Skripsi, UIN Satu Tulungagung]. http://repo.uinsatu.ac.id Zaltzman, L. Y., Hansel, T. C., & Bordnick, P. S. (2020). Loneliness, isolation, and social support factors in post-Covid19 mental health. Psychological Trauma: Theory, Research, Practice, and Policy, 12, 55–57. https://doi.org/10.1037/tra0000703 Zalukhu, J. (2021). Dampak pandemi Covid-19 terhadap psikologis masyarakat. OSF Preprints. https://osf.io Zimet, G. D., Dahlem, N. W., Zimet, S. G., & Farley, G. K. (1988). The Multidimensional Scale of Perceived Social Support. Journal of Personality Assessment, 52(1), 30–41. https://doi.org/10.1207/s15327752jpa5201_2


Studi Subjek Tunggal: Efektivitas Teknik Shaping dan Token Economy untuk Meningkatkan Atensi dan Memori Kerja Anak Lamban Belajar Hasna Hafizhah Salma* dan Wuri Prasetyawati Universitas Indonesia *E-mail: [email protected] Abstrak Pandemi COVID-19 berdampak pada bidang pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami kesulitan belajar. Beberapa anak di jenjang sekolah dasar terlihat lebih lambat dalam mengenal huruf. Beberapa di antaranya juga terlihat kesulitan membaca dan berhitung sehingga tertinggal secara akademik dibandingkan teman-teman sekelasnya. Anak lamban belajar memiliki keterbatasan atensi dan memori kerja. Kapasitas atensi dilihat dari kemampuan anak mempertahankan fokusnya dalam mengerjakan suatu tugas tanpa melakukan kegiatan lain yang tidak berkaitan dengan tugas tersebut. Memori kerja dilihat dari kemampuan mengingat anak saat sedang melakukan kegiatan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat efektivitas dari penerapan teknik shaping dan token economy dengan permainan puzzle dalam meningkatkan kapasitas atensi dan memori kerja. Penelitian ini penelitian ini merupakan penelitian subjek tunggal. Subjek adalah seorang anak perempuan lamban belajar yang berusia 7 tahun 10 bulan dan berada di jenjang kelas 1 sekolah dasar. Pada proses analisis data, peneliti menggunakan analisis visual dengan gambaran grafik. Hasil penelitian ini adalah teknik shaping dan token economy dikatakan efektif dalam meningkatkan kapasitas atensi dan memori kerja anak. Efektivitas dilihat dari keberhasilan subjek mencapai target perilaku, yakni dapat bertahan lebih dari 18 menit perilaku on-task dan berhasil menyelesaikan minimal 10 puzzle dengan benar. Implikasi penelitian ini dapat diterapkan oleh orang tua untuk memberi dukungan kepada anak lamban belajar dengan menggunakan sistem penguatan terencana secara berkala untuk mempertahankan atensi anak ketika sedang melakukan suatu kegiatan. Selain itu, penggunaan puzzle juga terbukti dapat meningkatkan kapasitas memori kerja anak lamban belajar. Kata kunci: modifikasi perilaku, teknik shaping, teknik token economy, lamban belajar, anak sekolah dasar Single-Case Study: Effectiveness of Shaping and Token Economy in Improving Attention and Working Memory of Slow Learners Abstract The COVID-19 pandemic has affected the education sector in Indonesia, including children with learning difficulties. Some children at the elementary school stage seem slower to recognize letters, read and do arithmetic, so they are left behind academically compared to their classmates. Slow learners need more attention and working memory. Attention capacity is seen from the child’s ability to maintain focus on doing a task without doing other activities that are not related to the task. Working memory is seen from the child's ability to remember while doing the activities. This research is a single-subject case design that aims to see the effectiveness of applying shaping techniques and token economy techniques with a puzzle in increasing the attention capacity and working memory of a seven-year-old slow learner in 1st-grade elementary school. Data analysis was conducted using visual analysis with graphics. As a result, the shaping and token economy techniques are effective in increasing children's attention capacity and working memory, which can be seen from the subject’s ability to achieve the target behavior, which can last more than 18 minutes of on-task behavior and complete at least ten puzzles correctly. Parents can apply the implications of this research to support slow-learner children by using a regularly planned reinforcement system to maintain the child's attention while doing an activity. In addition, using puzzles has also been shown to increase the working memory capacity of slow-learner students. Keywords: behavior modification; shaping; token economy; slow learner; elementary school


26 Pendahuluan Dampak dari pandemi COVID-19 adalah semakin tingginya learning gap dan tertinggalnya anak-anak dengan kebutuhan khusus (UNICEF, 2022). Salah satu kelompok anak berkebutuhan khusus yang tidak membutuhkan pendidikan khusus adalah anak lamban belajar (Vasudevan, 2017). Anak lamban belajar atau borderline intellectual functioning adalah anak dengan kemampuan intelektual yang berfungsi pada taraf borderline dan low average, dengan rentang IQ mulai dari 70 hingga 89 (Chauhan, 2011; Fernell & Gillberg, 2020). Anak lamban belajar menunjukkan karakteristik berupa lemah dalam berpikir dan bernalar, kemampuan bahasa yang belum berkembang, ketidakmampuan meregulasi emosi, regresi, dan kemampuan fantasi yang menonjol (Vasudevan, 2017). Ariani (2016), Ariati (2013), Chauhan (2011), dan Shaw (2010) menyebutkan beberapa ciri lainnya dari anak lamban belajar, di antaranya sebagai berikut: (1) anak menampilkan kapasitas kognitif yang terbatas karena fungsi eksekutif (termasuk memori kerja) yang lemah (Shaw, 2010; Ariani, 2016). Dampaknya adalah mereka tidak memiliki regulasi diri dan strategi belajar yang efektif. Pada akhirnya, anak lamban belajar membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar; (2) anak memiliki rentang atensi yang pendek sehingga mudah terdistraksi dan berpindah-pindah dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain padahal aktivitas tersebut belum diselesaikan; (3) anak menunjukkan daya ingat yang rendah, khususnya saat mengorganisasikan informasi baru dengan informasi yang telah mereka ketahui sebelumnya; (4) anak memiliki masalah akademik yang menonjol. Anak lamban belajar menunjukkan penalaran verbal yang kurang dan perkembangan yang lambat di awal masa sekolah sehingga sulit mengejar ketertinggalan dengan teman-teman di kelasnya (Chauhan, 2011; Ariani, 2016); (5) anak menunjukkan kemampuan auditori yang lemah sehingga sulit mengikuti instruksi verbal yang panjang tanpa dipenggal secara bertahap; (6) anak tidak mampu mengekspresikan ide-ide yang dimiliki; (7) anak menampilkan motivasi belajar yang rendah karena kesulitan belajar yang dihadapinya; (8) pada beberapa kasus, anak menunjukkan perasaan tidak aman, menarik diri dari pergaulan, dan perilaku kurang matang (tidak sesuai dengan tahapan perkembangan usianya seperti regresi); (9) anak masih dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas dengan teknik dan pendekatan khusus dalam pembelajaran (trainable). Masalah utama anak lamban belajar adalah kurang berkembangnya kemampuan regulasi diri, termasuk atensi dan memori kerja yang terbatas, sehingga membuat anak lamban belajar terlihat kurang siap sekolah di jenjang pendidikan yang setara dengan perkembangan usia anak (Imai-Matsumara & Schultz, 2021). Dengan kapasitas atensi yang kurang berkembang, anak lamban belajar menjadi sulit duduk tenang dalam waktu yang lama untuk mengerjakan suatu tugas (Miller et al., 2005). Anak lamban belajar harus dibedakan dengan gangguan belajar lainnya, seperti kesulitan belajar spesifik, gangguan pemusatan perhatian (ADHD), dan tunagrahita (ID). Perbedaannya dapat ditemui dalam DSM-V yang dijabarkan pada Tabel 1. Terdapat beberapa upaya yang dapat membantu anak mengembangkan kapasitas atensi dan memori kerja, di antaranya adalah metode bercerita dengan suara lantang (Manurung & Simatupang, 2019; Zulfitria et al., 2021), terapi bermain (Hatiningsih, 2013), dan modifikasi perilaku (Miltenberger, 2016). Peneliti menilai penggunaan metode modifikasi perilaku lebih tepat untuk meningkatkan kapasitas atensi dan memori kerja anak lamban belajar karena proses pelaksanaannya melihat perubahan perilaku yang terukur melalui target perilaku. Modifikasi perilaku adalah proses mengubah perilaku bermasalah menjadi hampir menyerupai target perilaku yang diharapkan dengan menggunakan prinsip behavioristik. Metode modifikasi perilaku cocok untuk diterapkan pada anak yang perkembangan kognitifnya berada dalam tahap konkret operasional (Miltenberger, 2016). Teknik modifikasi perilaku yang digunakan dalam intervensi ini adalah teknik shaping dan token economy.


27 Tabel 1. Perbedaan Lamban Belajar dengan Gangguan Belajar Lainnya Fungsi Psikologis Slow Learner SLD ADHD ID Memori Umumnya terbatas Umumnya tidak Umumnya tidak Umumnya sangat terbatas Kecerdasan Semua aspek akademis bermasalah (IQ antara 70–89) Seringnya salah satunya saja antara membaca / menulis / berhitung bermasalah (IQ di atas 90) Samar, ada yang bermasalah secara merata pada seluruh aspek akademis, ada yang tidak bermasalah IQ di bawah 70 Atensi dan Konsentrasi Cenderung terbatas Rata-rata Sangat terbatas Sangat terbatas Bina Diri Rata-rata atau sedikit di bawah rata-rata Rata-rata Rata-rata Kurang mampu melakukan fungsi bina diri (membutuhkan bantuan / pendampingan) Persepsi Umumnya terbatas / bermasalah Umumnya terbatas (karena ada kelainan di otaknya) Umumnya tidak bermasalah Umumnya terbatas / bermasalah Sumber: DSM V (American Psychological Association, 2013) Teknik shaping merupakan metode successive approximation, yakni dilakukan modifikasi secara bertahap menuju target perilaku yang diharapkan dengan adanya reinforcement sehingga mencapai target akhir (Martin & Pear, 2015). Target perilaku dapat berupa topografi (gerakan fisik), frekuensi, latensi, intensitas, atau durasi (Miltenberger, 2016). Selain reinforcement, teknik shaping juga menggunakan prompt untuk memicu subjek merubah perilakunya sesuai target perilaku yang diharapkan. Prompt didefinisikan sebagai stimulus untuk meningkatkan kemungkinan munculnya perilaku baru yang diharapkan (Martin & Pear, 2007). Terdapat dua kategori prompt, yaitu stimulus prompt dan response prompt. Stimulus prompt dilakukan dengan menambah atau mengurangi stimulus sehingga respons dilakukan secara tepat (Miltenberger, 2016). Stimulus prompt dapat berupa petunjuk pelaksanaan intervensi; hal apa saja yang boleh atau harus dilakukan dan hal apa saja yang tidak boleh dilakukan, serta; konsekuensi yang dapat diterima oleh subjek. Sementara itu, response prompt dapat dilakukan dengan verbal, gesture, mencontohkan, atau gerakan fisik (Miltenberger, 2016). Tujuan dari response prompt adalah mengembalikan perilaku klien yang tidak sesuai dengan target perilaku agar mengarahkannya kembali pada target perilaku yang sesuai atau mendekati target yang diharapkan. Penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Anjani dan Tjakrawiralaksana (2019) serta Nasa. Pudjiati, dan Tjakrawiralaksana(2017) menggunakan teknik shaping untuk membantu meningkatkan kapasitas atensi anak ADHD. Namun, sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian mengenai penerapan teknik shaping untuk meningkatkan kemampuan atensi anak lamban belajar. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat apakah teknik shaping dapat membantu meningkatkan kapasitas atensi anak lamban belajar sehingga dapat mendorong anak untuk ikut serta dalam pembelajaran di kelas. Adapun token economy merupakan teknik modifikasi perilaku yang menggunakan conditioned reinforces (token) secara sistematis dan pada akhirnya akumulasi keberhasilan target perilaku dapat ditukar dengan backup reinforcers (Parmawati et al., 2015; Hasibuan, 2013; Andrianie, 2009). Pada literatur lain, token economy dijelaskan oleh Rohmaniah et al. (2016) yang dikutip dalam Aprilianti, Heryanto, & Mulyasari (2017) sebagai berikut: “Token economy merupakan suatu wujud modifikasi perilaku yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan dengan


28 pemakaian token (tanda-tanda). Individu menerima token dengan cepat setelah mempertunjukkan perilaku yang diinginkan. Token itu dikumpulkan dan dapat dipertukarkan dengan suatu objek atau kehormatan yang penuh arti.” Token economy sering digunakan untuk anak yang motivasi internal untuk berprestasinya belum berkembang, karena anak akan lebih senang dan fokus dengan kegiatan bermain yang lebih menarik daripada mengerjakan tugas dan materi pelajaran sekolah yang menjenuhkan (Peter, 2000, dalam Hasibuan, 2013). Biasanya, token dan backup reinforcers akan disesuaikan dengan keinginan dan minat subjek sebagai dorongan eksternal untuk mengubah perilakunya agar sesuai atau mendekati target perilaku yang diharapkan. Dengan mempertimbangkan karakteristik anak lamban belajar yang minim dorongan untuk melakukan kegiatan, peneliti menggunakan token economy untuk membantu jalannya proses intervensi agar anak dapat mengikuti setiap sesi kegiatan intervensi. Selain itu, kondisi anak lamban belajar juga memiliki memori kerja yang belum berkembang secara optimal. Literatur mengungkapkan bahwa kegiatan menyusun puzzle dapat membantu meningkatkan kemampuan memori kerja pada anak (Safitri et al., 2014; Audria & Efendi, 2017; Sutinah, 2019). Pada kegiatan menyusun puzzle, anak diharuskan bertahan hingga puzzle selesai tersusun sebagai gambar yang utuh. Subjek pun harus mengingat potongan-potongan puzzle dan mengkonstruksikan antara satu potongan puzzle dengan potongan lainnya. Kegiatan menyusun puzzle dapat membantu anak membangun penalarannya melalui ingatan jangka pendek, menggugah daya imajinasi anak, serta membedakan figure and ground, dan hubungan yang berpola. Pada prosesnya, kegiatan menyusun puzzle ini membutuhkan atensi, konsentrasi, dan memori kerja yang dikerahkan secara optimal. Anak lamban belajar membutuhkan intervensi dini untuk bisa mempertahankan atensi dan meningkatkan kapasitas memori kerja untuk siap pembelajaran secara klasikal. Kemudian, berdasarkan uraian di latar belakang, peneliti melihat adanya urgensi untuk mengetahui apakah teknik shaping dan token economy dapat diterapkan pada anak lamban belajar atau tidak. Dengan demikian, pada penelitian ini, peneliti ingin membuktikan efektivitas teknik shaping dan token economy untuk meningkatkan kapasitas atensi dan memori kerja pada anak lamban belajar berusia 7–8 tahun yang berada pada jenjang kelas 1 sekolah dasar. Metode Penelitian ini merupakan penelitian single-case study dengan menggunakan desain A-B-A’ (A = fase praintervensi, B = fase intervensi, dan A’ = fase pascaintervensi) berdasarkan Miltenberger (2016). Desain penelitian A-B-A’ merupakan desain quasieksperimental yang digunakan untuk melihat efek dari perlakuan yang diberikan dari sebelum dan setelah intervensi yang diharapkan agar mencapai target perilaku yang diharapkan (Prahmana, 2021). Teknik sampling yang digunakan adalah convenience sampling. Menurut Sugiyono (2018), convenience sampling adalah teknik pengambilan subjek penelitian berdasarkan kesesuaian kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Penelitian ini hanya menggunakan satu sampel sebagai subjek, atau disebut dengan subjek tunggal. Subjek dalam penelitian ini adalah X, seorang anak berusia 7 tahun 10 bulan yang didiagnosis sebagai anak lamban belajar dengan kecerdasan intelektual di bawah rata-rata (IQ = 80–84 berdasarkan skala Stanford-Binet). X memiliki kapasitas atensi dan memori kerja yang terbatas. Ia hanya mampu bertahan pada proses pengerjaan tugas sekitar 8–12 menit, padahal idealnya anak berusia 7–8 tahun sudah mampu bertahan dalam pengerjaan tugas selama 21–35 menit. Rentang atensi yang pendek tersebut membuatnya mudah terdistraksi dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan kegiatan utama. Selain itu, ia juga memiliki memori kerja yang kurang berkembang sehingga ia sulit mengingat kegiatan yang sedang berlangsung. Hal ini pun berdampak pada proses akademik. X menjadi kesulitan untuk mengenali dan memahami konsep huruf dan angka meskipun sudah diberikan intervensi dini. Hal tersebut membuatnya menjadi tertinggal secara akademik dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Selain itu, ia pun menampilkan sikap mudah menyerah dan cenderung menghindari proses belajar. Kondisi X pun harus segera ditangani agar ia dapat meningkatkan kapasitas atensi dan memori kerjanya untuk dapat mengejar ketertinggalannya di kelas. Adapun X belum pernah dan tidak sedang menjalankan intervensi yang lain.Intervensi ini bertujuan untuk mengubah perilaku X agar sesuai atau hampir sesuai dengan target perilaku yang diharapkan, yaitu (1) kapasitas


29 atensi mencapai lebih dari 18 menit saat mengerjakan suatu tugas, dan; (2) X dapat menyelesaikan hingga 10 puzzle dengan benar. Target perilaku ini ditentukan berdasarkan kemampuan awal X menyusun puzzle secara utuh pada sesi pemeriksaan sebelumnya, yakni dua puzzle denganpeningkatan keberhasilan puzzle setiap sesinya. Pelaksanaan intervensi ini dilakukan sebanyak sembilan sesi dengan prosedur yang dijelaskan pada paragraf berikutnya. Pelaksanaan intervensi ini terdiri dari tiga fase dengan sembilan sesi. Fase pertama adalah fase praintervensi yang terdiri dari tiga sesi. Sesi pertama merupakan sesi psikoedukasi terhadap ibu X. Psikoedukasi dilakukan untuk meningkatkan pemahaman ibu X dalam mendampingi X belajar dan mengimplementasikan proses intervensi di rumah setelah intervensi selesai dilaksanakan. Sesi kedua dan ketiga merupakan pengambilan data baseline terhadap X. Fase kedua adalah fase intervensi yang terdiri dari lima sesi yang berlangsung selama enam hari kerja (28 Juli–4 Agustus 2022). Fase ketiga adalah fase pascaintervensi yang terdiri dari satu sesi. Setiap sesi berdurasi sekitar 60 menit. Tabel 2. Prosedur Pelaksanaan Intervensi A-B-A’ Praintervensi (A) Intervensi (B) Pascaintervensi (A’) (1) Psikoedukasi orang tua (2) Pengambilan data baseline anak (1) Pelaksanaan intervensi menggunakan reinforcement, prompt, dan token (2) Dilakukan dalam enam sesi (30–60 menit per sesi), setiap hari kerja (28 Juli–4 Agustus 2022) (1) Pengambilan data pascaintervensi (2) Penukaran token Secara teknis, perilaku yang boleh muncul dalam intervensi ini adalah perilaku mengerjakan puzzle yang diberikan oleh peneliti hingga selesai tanpa melakukan hal lain yang tidak berkaitan dengan penyelesaian puzzle-nya tersebut, kecuali perilaku bertanya, menjawab pertanyaan peneliti, serta meminta bantuan yang berkaitan dengan pengerjaan tugas.. Sementara itu, perilaku yang tidak diperbolehkan adalah berhenti mengerjakan tugas selama lebih dari 30 detik dengan melihat ke arah lain atau melihat sekelilingnya selain tugas yang sedang dikerjakan, memainkan objek lain, membicarakan hal yang tidak berkaitan dengan tugasnya, mengganggu orang lain, atau mengajak orang lain bicara (seperti ibu atau kakaknya). Pemberian token dilakukan di awal fase intervensi. Token yang diberikan adalah berupa stiker bintang berwarna merah muda yang memang disukai oleh partisipan. Skema pemberian token dapat dilihat pada Tabel 3. Adapun pengumpulan data atensi dilakukan dengan menggunakan teknik pencatatan durasi (Miltenberger, 2016) dengan indikator keberhasilan yang tertera pada Tabel 3. Pada penelitian ini, peneliti menerapkan teknik shaping dengan memberikan stimulus prompt di awal pertemuan. Peneliti menjelaskan cara menyusun puzzle, dan X diminta untuk mengikuti gambar yang ada sesuai dengan yang dicontohkan oleh peneliti. Pada fase intervensi, peneliti memberikan response prompt secara verbal dengan kata “hebat” atau “keren” jika X berhasil menyelesaikan puzzle dengan tepat, atau melalui gestur gerakan tepuk tangan atau mengangkat ibu jari. Peneliti mengurangi response prompt yang diberikan dari sesi intervensi pertama ke sesi kedua, ketiga, keempat, dan kelima, hingga akhirnya pada fase pascaintervensi, peneliti tidak memberikan prompt dalam bentuk apapun. Selain itu, peneliti juga melakukan follow up setelah tiga bulan pascaintervensi. Tabel 3. Skema Pemberian Token Fase Sesi ke- Jumlah Token yang Diterima Praintervensi Baseline 1 dan 2 - Intervensi 1 Jika hanya berhasil menyelesaikan minimal 2 puzzle, maka mendapatkan 3 Bintang. Bonus: Jika rata-rata atensi mencapai 10 menit: 1 Bintang


30 Jika rata-rata atensi lebih dari 10 menit: 2 Bintang 2 Jika hanya berhasil menyelesaikan minimal 4 puzzle, maka mendapatkan 6 Bintang. Bonus: Jika rata-rata atensi mencapai 12 menit: 1 Bintang Jika rata-rata atensi mencapai lebih dari 12 menit: 2 Bintang 3 Jika hanya berhasil menyelesaikan minimal 6 puzzle, maka mendapatkan 9 Bintang. Bonus: Jika rata-rata atensi mencapai 14 menit: 1 Bintang Jika rata-rata atensi mencapai lebih dari 12 menit: 2 Bintang 4 Jika hanya berhasil menyelesaikan minimal 8 puzzle, maka mendapatkan 12 Bintang. Bonus: Jika rata-rata atensi mencapai 16 menit: 1 Bintang Jika rata-rata atensi mencapai lebih dari 12 menit: 2 Bintang 5 Jika hanya berhasil menyelesaikan minimal 10 puzzle berbeda, maka mendapatkan 15 Bintang Bonus: Jika rata-rata atensi mencapai 18 menit: 1 Bintang Jika rata-rata atensi mencapai lebih dari 18 menit: 2 Bintang Pascaintervensi Akumulasi token (termasuk penukaran) Akumulasi: 50 Bintang: Spidol / krayon / alat mewarnai 51–54 Bintang: ditukar tas sekolah berwarna merah muda 55 Bintang: ditukar dengan boneka Barbie Analisis data menggunakan analisis visual dengan bantuan grafik. Analisis visual digunakan untuk membandingkan hal yang diamati dari pola yang diproyeksikan untuk setiap fase terhadap pola aktual setelah dimanipulasi oleh pemberian perlakuan dari variabel (Kratochwill et al., 2010; Widodo et al., 2021). Intervensi ini dikatakan berhasil jika grafik setelah intervensi lebih tinggi dari sebelum intervensi. Hasil Hasil intervensi modifikasi perilaku menggunakan teknik shaping dan token economy pada X menunjukkan adanya peningkatan rata-rata durasi perilaku on-task behavior dari fase baseline, intervensi, dan pascaintervensi. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa teknik shaping dapat meningkatkan atensi pada anak berkebutuhan khusus (Nasa, 2017; Anjani & Tjakrawiralaksana, 2019). Rata-rata durasi perilaku on-task pada X disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-Rata Durasi Perilaku On-Task X Fase Rata-Rata Durasi Baseline (A) 8 menit 51 detik Intervensi (B) 27 menit 10 detik Pascaintervensi (A’) 30 menit 44 detik Dengan mengacu pada Tabel 4, diketahui bahwa X mampu meningkatkan kapasitas atensinya mencapai target durasi sesuai anak seusianya, yakni berkisar 21–35 menit. Kapasitas atensi tersebut merupakan kapasitas ideal bagi anak berusia 7–8 tahun (Miller et al., 2005). Sementara itu, perilaku off-task yang ditampilkan oleh X memiliki durasi rata-rata 2 menit dengan menunjukkan perilaku merengek “capek”, “lelah”, berkata “lapar” dan meminta makanan kepada ibunya, mengambil barang atau mainan, atau bercerita dengan ibunya.


31 Figur 1. Hasil pencatatan durasi perilaku on-task X pada fase A, B, A’ Keterangan: Figur ini menunjukkan analisis visual peningkatan durasi on-task pada X dari sebelum intervensi (A), intervensi (B), dan pascaintervensi (A’). Figur 1 menunjukkan bahwa X mengalami peningkatan durasi perilaku on-task dari fase baseline hingga akhir fase intervensi. Meskipun terjadi sedikit penurunan dari sesi intervensi ketiga ke sesi intervensi keempat, namun kembali terjadi peningkatan yang signifikan dari sesi intervensi keempat ke sesi intervensi kelima. Peneliti mencatat bahwa pada hari keempat intervensi (Selasa, 2 Agustus 2022), X sempat tantrum sekitar 15–30 menit di tengah-tengah perilaku on-task mengerjakan puzzle karena ia masih ingin bermain dengan anak asisten rumah tangga ibunya yang masih berusia tiga tahun. Hal tersebut membuat X menjadi tidak dapat mempertahankan atensi. Akhirnya, X harus mengulangi perilaku on-task dari menit ke 00:00 kembali (trial kedua). Sementara itu pada sesi intervensi kelima, X menunjukkan suasana hati yang baik. X tidak mengalami tantrum dan mampu mempertahankan atensinya dalam perilaku on-task menyusun puzzle. Selanjutnya pada fase pascaintervensi, X menampilkan perilaku on-task yang menurun sekitar delapan menit dari sesi intervensi kelima. Peneliti menilai kondisi tersebut terjadi karena terdapat peningkatan kapasitas memori sehingga waktu pengerjaan X mengerjakan puzzle menjadi lebih cepat. X mampu lebih mudah mengingat bagian-bagian puzzle dan dapat menyusunnya dengan lebih cepat dibandingkan sesi intervensi sebelumnya. Selain itu peneliti tidak lagi memberikan prompt apapun pada fase pascaintervensi. Meski pun begitu, penurunan durasi perilaku on-task X dari sesi intervensi kelima ke pascaintervensi tidak kurang dari target perilaku yang diharapkan. Peneliti menilai, X dapat bertahan menyelesaikan puzzle di sesi pascaintervensi adalah token yang telah X dapatkan sebelumnya dan hendak ditukarkan dengan hadiah boneka Barbie yang sesuai dengan keinginannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa X melakukan usahanya dengan optimal. Secara keseluruhan, peningkatan durasi perilaku on-task pada X menjadi sekitar 30 menit termasuk ke dalam rentang waktu fokus ideal anak usia 7–8 tahun, yakni 21–35 menit. Dengan demikian, modifikasi perilaku yang diberikan pada X dapat dinilai efektif.


32 Figur 2. Frekuensi Penyelesaian Puzzle dengan Benar Pada Figur 2, terlihat adanya peningkatan jumlah puzzle yang selesai dikerjakan dengan benar oleh X. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kapasitas memori kerja X selama proses intervensi berlangsung. X dapat memahami susunan puzzle dengan semakin baik karena dilatih terus menerus dengan dorongan poin dan hadiah akhir melalui teknik token economy. Berdasarkan Figur 2, dapat dilihat pula bahwa X menggunakan kapasitas memorinya dengan optimal untuk menyelesaikan sepuluh puzzle dengan benar secara mandiri. Pemberian prompt gestur (dibenarkan langsung posisi puzzle-nya) hanya dilakukan pada sesi intervensi pertama hingga ketiga, selebihnya X mengerjakan secara mandiri meskipun beberapa kali menggunakan tambahan prompt verbal. Meskipun begitu, jumlah pemberian prompt verbal semakin berkurang dari sesi intervensi pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, hingga pascaintervensi yang tidak melibatkan pemberian prompt apapun. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa token economy dapat membantu anak berkebutuhan khusus untuk meningkatkan target perilaku yang diharapkan (Parmawati et al., 2015). Pembahasan X menjadikan prompt dan poin yang didapatkan di awal intervensi sebagai pembelajaran yang bermakna sehingga seiring waktu X memunculkan respons perilaku semiotomatis. X dapat mengerjakan 14 puzzle dengan durasi yang lebih singkat pada pascaintervensi, namun jumlah puzzle yang dikerjakan dengan benar tetap sama, yakni 10 puzzle. Kedua hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan performa X dalam mencapai target perilaku yang disebabkan oleh transfer of learning dengan mekanisme low road transfer (Perkins & Salomon 1992, dalam Chairunnisa & Kemala, 2020). Maksud dari low road transfer adalah kegiatan menyusun puzzle dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan meningkatnya kemampuan mengingat kembali (recall) aturan sederhana yang telah dijelaskan dan dipelajari sebelumnya (Sulasamono, 2012; Mansyur, 2018). Hal ini terjadi karena proses pengkondisian yang masuk ke dalam prinsip belajar dengan pendekatan behavioristik. Di sisi lain, hal ini juga membuktikan bahwa bermain puzzle dapat meningkatkan kapasitas atensi dan memori kerja karena harus menunjukkan fokus dan terdapat proses berpikir serta mengingat dalam satu waktu (Safitri et al., 2014; Audria & Efendi, 2017; Sutinah, 2019). Temuan lain dalam penelitian ini adalah ketika mendapatkan poin bintang, X menghitungnya satu per satu sehingga kemampuan menghitung X menjadi lebih baik dari sebelum pelaksanaan intervensi. Awalnya, X hanya bisa


33 menyebutkan angka 1–10. Setelah mendapatkan bintang, X dapat menyebutkan angka 1–20 secara berurutan meskipun terkadang masih tertukar pada 16, 17, 18, 19, dan 20. Hal ini menjadi bukti tambahan adanya peningkatan kapasitas memori kerja pada diri X melalui proses yang menyenangkan untuknya. Setelah tiga bulan pascaintervensi, X menunjukkan peningkatan kapasitas atensi dan memori kerja. X tampak lebih dapat mempertahankan fokusnya dalam proses belajar mengajar. X juga mampu mengingat huruf A sampai Z dan mulai membaca kata dalam penggalan suku kata. Di sisi lain, ingatan X tentang angka juga menjadi lebih banyak daripada sebelumnya, meliputi kemampuan berhitung, menjumlahkan, dan mengurangkan. Selama proses pelaksanaan modifikasi perilaku, terdapat hal yang tidak bisa peneliti kontrol, yaitu kondisi internal dari diri X (perubahan suasana hati dan emosinya). Kondisi lain yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti adalah kondisi eksternal berupa kehadiran anak asisten rumah tangga. Kedua kondisi tersebut berdampak pada munculnya perilaku tantrum di sesi pelaksanaan intervensi keempat. Oleh karena itu, kehadiran orang lain dalam pelaksanaan intervensi menjadi catatan peneliti untuk melakukan kesepakatan dengan orang tua dalam menentukan batasan kehadiran pihak luar pada setiap sesi intervensi. Menurut Miltenberger (2016), kondisi eksternal tidak bisa diubah pada saat pelaksanaan intervensi berlangsung, tetapi dapat menjadi catatan peneliti untuk perbaikan pelaksanaan intervensi berikutnya. Simpulan Pemberian Intervensi berupa teknik shaping dan token economy dapat dikatakan efektif karena X berhasil mencapai target perilaku yang telah ditetapkan. Pertama, intervensi ini memberikan perubahan yang signifikan terhadap rentang durasi fokus X, yang semula hanya berkisar 8–12 menit (di bawah kapasitas kemampuan fokus ideal anak usia 7–8 tahun) menjadi kisaran 30 menit (berada dalam kapasitas kemampuan fokus ideal anak usia 7–8 tahun). Kedua, intervensi ini memberikan peningkatan terhadap jumlah tugas yang dikerjakan dengan benar oleh X. Pada pelaksanaan penelitian, terdapat beberapa gangguan eksternal yang tidak bisa dikontrol, seperti kehadiran orang lain saat pelaksanaan intervensi, dan gangguan internal dari dalam diri X berupa suasana hati yang berubah. Meski demikian, X masih mampu mencapai target perilaku yang telah ditetapkan. Limitasi penelitian ini terletak pada proses pengambilan data yang kurang detail dalam mencatat prompt yang digunakan saat pelaksanaan intervensi. Penelitian berikutnya diharapkan lebih memperhatikan pencatatan prompt selama intervensi berlangsung. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa penelitian ini merupakan penelitian subjek tunggal sehingga dapat terjadi perbedaan hasil intervensi pada subjek yang berbeda meskipun dengan langkah yang sama, karena adanya perbedaan karakteristik individu, seperti tingkat kecerdasan (meskipun sama-sama lamban belajar, dapat memungkinkan dinamikanya berbeda), kepribadian, dan hal-hal lain yang membuat unik setiap individu. Implikasi penelitian ini adalah orang tua dapat melatih anak lamban belajar dengan memperhatikan karakteristik anaknya masing-masing melalui permainan puzzle atau sejenis yang dapat meningkatkan fungsi eksekutif (atensi, konsentrasi, dan memori kerja). Orang tua juga dapat memberi dukungan melalui sistem reward yang terencana secara berkala untuk mempertahankan perilaku yang sudah berubah sesuai target perilaku, dalam hal ini berupa mempertahankan atensi dan memori kerja anak. Daftar Pustaka American Psychological Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5 th ed.). Andrianie, P. S. (2009). Penerapan positive reinforcement dengan teknik token economy untuk meningkatkan rentang perhatian anak slow learner [Tesis tidak dipublikasikan]. Anjani, S., & Tjakrawiralaksana, M. A. (2019). Penerapan teknik shaping untuk meningkatkan durasi on-task behavior pada anak dengan masalah atensi. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 7(2). Aprilianti, Heryanto D., & Mulyasari, E. (2017). Penerapan teknik modifikasi perilaku token ekonomi untuk meningkatkan kedisiplinan siswa kelas V sekolah dasar. Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, II(IV), 63–75.


34 Ariani, R. (2016). Strategi metakognitif melalui pendekatan resiprokal untuk meningkatkan pemahaman bacaan pada siswa slow learner di tingkat sekolah dasar. [Tesis, Universitas Indonesia]. https://lib.ui.ac.id/detail?id=20422943&lokasi=lokal Ariati, F. (2013). Efektivitas metode word building untuk mengajarkan membaca pada anak slow learner usia 7–8 tahun [Tesis, Universitas Indonesia]. https://lib.ui.ac.id/detail?id=20350567&lokasi=lokal Audria, R. D., & Efendi, M. (2017). Model pembelajaran make a match berbantuan puzzle untuk meningkatkan kemampuan memori visual siswa tunarungu. Jurnal Ortopedagogia, 3(1), 56-61. Chairunnisa, R. S., & Kemala, C. N. (2020). Penerapan teknik shaping untuk meningkatkan durasi perilaku on-task anak dengan masalah atensi. Jurnal Psikologi Insight, 4(1), 15-31. https://doi.org/10.17509/insight.v4i1.24636 Chauhan, S. (2011). Slow learner: Their psychology and educational programmes. International Journal of Multidisciplinary Research, 1(8), 279–288. Fernell, E., & Gillberg, C. (2020). Borderline intellectual functioning. Neurocognitive Development: Disorders and Disabilities, 174, 77–81. https://doi.org/10.1016/b978-0-444-64148-9.00006-5 Hasibuan, F. D. K. (2013). Program modifikasi perilaku untuk membentuk kebiasaan belajar pada siswa sekolah dasar (metode kasus tunggal) [Tesis tidak dipublikasikan]. Hatiningsih, N. (2013). Play therapy untuk meningkatkan konsentrasi pada anak attention deficit hyperactive disorder (ADHD). Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan (JIPT), 1(2), 324-342. ISSN: 2301-8267. Imai-Matsumura, K., & Schultz, D. (2021). Development of the START program for academic readiness and its impact on behavioral self‑regulation in Japanese kindergarteners. Early Childhood Education Journal, 50, 855-866. Kratochwill, T. R., Hitchcock, J., Horner, R. H., Levin, J. R., Odom, S. L., Rindskopf, D. M., & Shadish, W. R. (2010). Single-case designs technical documentation. https://eric.ed.gov/?id=ED510743 Manurung, M. P., & Simatupang, D. (2019). Meningkatkan konsentrasi anak usia 5–6 tahun melalui penggunaan metode bercerita di TK ST Theresia Binjai. Jurnal Usia Dini, 5(1), 58-75. Martin, G., & Pear, J. (2007). Behavior modification: What it is and how to do it (8 th ed.). Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Martin, G., & Pear, J. (2015). Behavior modification: What it is and how to do it (10 th ed.). Pearson. Miller, L. J., Anzalone, M., Cermak, S. A., Lane, S. J., Osten, B., Wieder, S., et al. (2005). Diagnostic manual for infancy and early childhood: ICDL-DMIC. Interdisciplinary Council on Developmental and Learning Disorder. Miltenberger, R. G. (2016). Behavior modification (6th ed.). Wadsworth Cengage Learning. Nasa, A. F. (2017). Penerapan teknik shaping dalam meningkatkan durasi perilaku on-task pada anak dengan attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) [Tesis tidak dipublikasikan]. Nasa, A. F., Pudjiati, S. R., & Tjakrawiralaksana, M. A. (2017). Application of a shaping technique to increase on-task behavior duration in children with ADHD. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 135, 149-165. Parmawati, S. B., Prasetyawati, W., & Prianto, R. M. A. (2015). Efektivitas pendekatan modifikasi perilaku dengan teknik fading dan token economy dalam meningkatkan kosakata siswa tuna rungu prelingual profound. Jurnal Psibernetika, 8(1), 19–34. Prahmana, R. C. I. (2021). Single subject research (Teori dan implementasinya: Suatu pengantar). UAD Press. Safitri, D., Syukri, M., & Yuniarni, D. (2014). Peningkatan kemampuan daya ingat melalui permainan puzzle pada anak usia 5–6 tahun. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa, 3(6). http://dx.doi.org/10.26418/jppk.v3i6.5667 Shaw, S. R. (2010). Rescuing students from the slow learner trap. In Principal leadership. https://www.nasponline.org/Documents/Resources%20and%20Publications/Handouts/Families%20and%2 0Educators/Slow_Learners_Feb10_NASSP.pdf Sugiyono. (2018). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan kombinasi (Mixed methods). Bandung: Penerbit Alfabeta.


35 Sutinah. (2019). Terapi bermain puzzle berpengaruh terhadap kemampuan memori jangka pendek anak tunagrahita. Jurnal Endurance: Kajian Ilmiah Problema Kesehatan, 4(3), 630–639. United Nations International Children's Emergency Fund. (2022, Maret 30). Dengan 23 negara belum membuka kembali sekolah secara penuh, pendidikan berisiko menjadi ‘pemisah terbesar’, seiring pandemi COVID-19 memasuki tahun ketiganya. https://www.unicef.org/indonesia/id/press-releases/dengan-23-negara-belum-membuka-kembali-sekolah-s ecara-penuh-pendidikan-berisiko Vasudevan, A. (2017). Slow learners – Causes, problems and educational programmes. International Journal of Applied Research, 3(12), 308–313. Widodo, S. A., Kustantini, K., Kuncoro, K. S., & Alghadari, F. (2021). Single subject research: Alternatif penelitian pendidikan matematika di masa new normal. Journal of Instructional Mathematics, 2(2), 78-89. https://doi.org/10.37640/jim.v2i2.1040 Zulfitria, Z., Rahmatunnisa, S., & Khanza, M. (2021). Penggunaan metode bercerita dalam pengembangan kemampuan kognitif pada anak usia dini. Yaa Bunayya: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 53–60.


Vol. 7, No. 1, April 2023, 36–47 ISSN 2598-3075 E-ISSN 2614-2279 https://jurnal.unpad.ac.id/jpsp/ Jurnal Psikologi Sains & Profesi (Journal of Psychological Science & Profession) Gambaran Academic Hardiness pada Mahasiswa Program Studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran Raisya Indah Mewangi Rifandi* dan Kustimah Usri Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran *E-mail: [email protected] Abstrak Mahasiswa program studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran mempunyai tuntutan akademik yang tinggi seperti jadwal yang padat, ekspektasi lingkungan sekitar, materi ajar yang banyak, pemberlakuan SOP, kerja tim, perbedaan karakteristik dokter supervisor, hingga lingkungan pertemanan yang dinamis. Hal-hal tersebut perlu dikelola agar mahasiswa dapat memberikan performa yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran academic hardiness pada mahasiswa program studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran menggunakan Revised Academic Hardiness Scale (RAHS). Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan populasi penelitiannya adalah mahasiswa program studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran. Teknik random sampling digunakan untuk memilih partisipan yang sesuai dengan kriteria, dan didapatkan 86 mahasiswa program studi Profesi Dokter yang menjalani masa klinik di rumah sakit. Pengambilan data dilakukan secara daring menggunakan platform kuesioner daring pada bulan November–Desember 2021. Berdasarkan uji statistik deskriptif, 74.4% mahasiswa memiliki tingkat academic hardiness yang tinggi (M = 78.98, SD = 8.767) dengan skor rerata commitment, challenge, dan control yang tinggi pula. Hal tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa program studi Profesi Dokter mempersepsikan tuntutan akademik sebagai suatu tantangan yang dapat dijadikan pengembangan diri melalui upaya pengelolaan perilaku selama masa klinik, regulasi emosi, dan keterlibatan personal dengan tugas akademik yang dimilikinya. Dari ketiga dimensi, aspek control memiliki skor rerata tertinggi. Artinya, mahasiswa program studi Profesi Dokter memiliki karakteristik bersedia dan meyakini bahwa dirinya mampu menghadapi tuntutan akademik selama masa klinik dengan usaha mengelola perilaku dan regulasi emosi sebagai proses pembelajaran, sesulit apapun itu. Kata kunci: academic hardiness, mahasiswa program studi Profesi Dokter, kuantitatif Academic Hardiness of Medical Profession Study Program Students in Universitas Padjadjaran Abstract Medical Profession students in Universitas Padjadjaran have high academic demands such as busy schedules, expectations of the surrounding environment, lots of teaching materials, implementation of SOPs, teamwork, different characteristics of supervisor doctors, to a dynamic friendship environment. These things need to be managed so that students can provide optimal performance. This study aims to describe academic hardiness in Medical Profession students in Universitas Padjadjaran using the Revised Academic Hardiness Scale (RAHS). This research is a descriptive study with the research population is Medical Profession students in Universitas Padjadjaran. A random sampling technique was used to select participants who fit the criteria, and it was found that 86 students of the Medical Profession study program underwent clinical periods at the hospital. Data collection was carried out online using an online questionnaire platform from November 2021 to December 2021. Based on descriptive statistical tests, 74.4% of students have high academic hardiness (M = 78.98, SD = 8.767) with a high average score for each dimension (commitment, challenge, and control). It shows that students perceive academic demands as a challenge that can be used as self-development through efforts to manage behavior during the clinical period, emotional regulation, and personal involvement with the academic assignments they have. Of the three dimensions, the control aspect has the highest average score, which means that Medical Profession students have the characteristics of willingness and confidence that they can face academic demands during the clinical period with effort and emotional regulation as a learning process no matter how difficult it is. Keywords: academic hardiness, medical profession students, quantitative


Rifandi dan Usri 37 Pendahuluan Mahasiswa program studi Profesi Dokter perlu menyelesaikan studinya selama masa klinik agar dapat memperoleh gelar dokter umum. Selama masa klinik, mahasiswa menggunakan sistem pembelajaran dengan proses belajar komprehensif terhadap masalah klinik yang ada, dimulai sejak pasien masuk rumah sakit sampai keluar dari rumah sakit, sekaligus menangani lingkungan penderita (Christyanti et al., 2010). Masa klinik menuntut mahasiswa untuk mengasah keterampilan klinisnya melalui pelayanan kesehatan langsung terhadap pasien. Sistem pembelajaran yang berlaku selama masa klinik dapat berdampak positif maupun negatif. Secara positif, masa klinik membantu mahasiswa secara optimal mengeksplorasi keterampilan klinis bersama dokter supervisor (Ginting, 2019) untuk dapat bertanggung jawab dan terbiasa atas perannya sebagai dokter sesungguhnya (Macan et al., 2017). Namun di sisi lain, selama mengikuti program studi Profesi Dokter atau biasa disebut sebagai masa klinik, mahasiswa dituntut untuk menjalankan dua peran, yaitu sebagai mahasiswa dan tenaga medis (Pangesti, 2012). Adanya dualitas peran ini berpotensi menyebabkan stres (Macan et al., 2017). Berdasarkan data awal yang diperoleh dari wawancara terhadap tujuh mahasiswa program studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran (Unpad), diperoleh gambaran terkait stresor yang terjadi selama menjalani masa klinik. Stresor-stresor tersebut antara lain jadwal yang padat, ekspektasi orang-orang sekitar, materi banyak, keberadaan SOP, kerja tim, perbedaan karakteristik dokter supervisor, hingga lingkungan pertemanan yang dinamis. Selanjutnya, diketahui pula bahwa mahasiswa merasa kebingungan dan kewalahan, serta khawatir tuntutan akademik tersebut memengaruhi prestasi akademik. Hal tersebut merupakan gambaran respons negatif terhadap stresor akademik (Barseli et al., 2017) yang membuat mahasiswa perlu mempunyai strategi untuk dapat menghadapinya agar performa kerja selama masa klinik tetap terjaga. Benishek et al. (2005) menggagas suatu framework yang dapat membantu individu menghadapi stres akademik melalui persepsi yang positif terhadap tuntutan akademik, atau disebut sebagai academic hardiness. Academic hardiness merupakan framework yang menjelaskan tentang bagaimana seseorang bereaksi terhadap tuntutan akademik (Benishek et al., 2005). Dengan adanya academic hardiness, seseorang dapat mempersepsikan bahwa dirinya mampu menghadapi tantangan akademik dengan cara memandang bahwa tugas yang sulit adalah suatu hal yang dapat mengembangkan diri (challenge), berusaha meregulasi emosi diri (control), serta bersedia terlibat secara personal dalam tugas akademik (commitment). Academic hardiness menjadi penting bagi mahasiswa karena dapat memberikan motivasi dan komitmen dalam menghadapi tuntutan akademik (Karimi & Venkatesan, 2009), meningkatkan psychological well-being (Wardani, 2020), berkorelasi positif dengan performa akademik (Karimi & Venkatesan, 2009), dan menjadi prediktor peningkatan self-efficacy dalam menghadapi tuntutan akademik (Cheng et al., 2019). Berdasarkan hasil pengambilan data awal yang dilakukan peneliti, mahasiswa memberikan respons negatif terhadap stresor akademik saat menjalani masa klinik. Respons tersebut membuat mahasiswa program studi Profesi Dokter Unpad perlu memiliki strategi dalam menghadapi stresor akademik agar performanya selama masa klinik terjaga. Academic hardiness dapat berperan penting bagi mahasiswa dalam menghadapi stresor akademik karena dapat membantu orang tersebut mempersepsikan tuntutan akademik secara positif. Mengacu pada fenomena tersebut, maka perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut mengenai persepsi mahasiwa program studi Profesi Dokter Unpad terhadap tuntutan akademik berdasarkan academic hardiness framework. Tinjauan literatur yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa belum ditemukan studi yang mengulas variabel academic hardiness pada mahasiswa program studi Profesi Dokter, khususnya di Universitas Padjadjaran. Peneliti juga mengeksplorasi berbagai aspek penunjang seperti IPK, durasi pelaksanaan masa klinik, riwayat mengulang masa klinik, jumlah kegiatan nonakademik, dan jenis kegiatan nonakademik dalam penelitian academic hardiness terdahulu. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat academic hardiness pada berbagai kelompok dalam aspek tersebut. Pada penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa terdapat hubungan positif antara


Rifandi dan Usri 38 academic hardiness dan prestasi akademik (Bansal & Pahwa, 2015; Benishek & Lopez, 2001). Oleh karena itu, peneliti menduga bahwa seseorang dengan IPK tinggi akan memiliki skor academic hardiness yang lebih tinggi pula. Pada aspek durasi pelaksanaan, penelitian lain menemukan bahwa semakin seseorang berpengalaman menghadapi tuntutan maka kemampuannya mengelola suatu tuntutan pun akan semakin baik (Hafifah et al., 2017). Hasil penelitian tersebut membuat peneliti menduga bahwa semakin lama mahasiswa menjalani masa klinik maka akan semakin terbiasa dalam mengelola tuntutan akademik. Adapun riwayat mengulang berkaitan dengan durasi masa klinik yang lebih lama. Terakhir, berdasarkan kegiatan nonakademik, peneliti menduga bahwa jumlah dan jenis kegiatan nonakademik akan berdampak pada perbedaan skor academic hardiness mahasiswa. Ketika mahasiswa mengikuti beberapa kegiatan nonakademik, hal tersebut secara langsung akan membuat mahasiswa menghadapi lebih banyak tuntutan, yang pada akhirnya akan berdampak pada pengalamannya dalam mengelola tuntutan akademik (Hafifah et al., 2017). Pada penelitian Hafifah et al., (2017) pun dijelaskan bahwa terdapat perbedaan tingkat academic hardiness berdasarkan jenis kegiatan nonakademik yang diikuti oleh mahasiswa, seperti bekerja dan berorganisasi. Hasilnya menunjukkan bahwa mahasiswa dengan kegiatan berorganisasi memiliki skor academic hardiness yang lebih tinggi. Berdasarkan tinjauantinjauan tersebut, peneliti tertarik untuk melihat gambaran academic hardiness pada mahasiswa program studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran. Peneliti juga mengeksplorasi bagaimana gambaran academic hardiness pada mahasiswa program studi Profesi Dokter berdasarkan beberapa kelompok dalam aspek penunjang yakni IPK, durasi pelaksanaan masa klinik, riwayat mengulang masa klinik, jumlah kegiatan nonakademik, dan jenis kegiatan nonakademik. Metode Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk menggambarkan variabel academic hardiness pada mahasiswa program studi Profesi Dokter. Pengukuran academic hardiness dilakukan dengan menggunakan Revised Academic Hardiness Scale (RAHS) milik Benishek et al. (2005), versi Bahasa Indonesia yang sebelumnya diterjemahkan oleh Masago (2018). Alat ukur berjumlah 25 item yang terdiri dari sembilan item dimensi commitment, 6 item dimensi challenge, dan 10 item dimensi control. Berdasarkan uji reliabilitas menggunakan Cronbach’s alpha yang mengacu pada Kaplan dan Saccuzzo (2005), alat ukur ini dinyatakan reliabel dengan nilai α = .739 (α > .7). Selain itu, didapatkan juga nilai reliabilitas untuk setiap dimensinya, yaitu α = .728 untuk dimensi commitment, α = .739 untuk dimensi challenge, dan α = .659 untuk dimensi control. Berdasarkan content validity index (CVI), proporsi rata-rata item dinilai relevan (SCVI = .96, S-CVI ≥ .9), sehingga item alat ukur dapat dikatakan valid berdasarkan Polit dan Beck (2006). Populasi penelitian ini adalah mahasiswa program studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran tahun 2021 yang berjumlah 239 orang. Peneliti menggunakan teknik simple random sampling, yakni dengan memilih secara acak sampel dari populasi tanpa memperhatikan strata dalam populasi penelitian. Berdasarkan bound of error sebesar .1, diperoleh ukuran sampel penelitian sebanyak 72 orang. Pengambilan data dilakukan pada bulan November 2021 sampai Desember 2021 terhadap 86 mahasiswa program studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran yang sedang menjalani masa klinik di rumah sakit dan bersedia menjadi responden dengan mengisi kuesioner pada platform kuesioner daring. Dalam mengisi kuesioner, mahasiswa diminta untuk memilih antara skala 1 sampai 4 pada seluruh pernyataan yang ada sesuai dengan kondisinya masing-masing. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik statistik deskriptif dengan memperhitungkan frekuensi untuk melihat nilai rata-rata, proporsi, dan central tendency melalui IBM SPSS 22. Peneliti pun melakukan uji beda dengan menggunakan one-way ANOVA karena variabel academic hardiness memiliki skala interval dan kelompok pembedanya memiliki skala kategorikal dengan dua atau lebih kategori, misalnya IPK memiliki kategori rendah, sedang, dan tinggi. Sebelum melakukan uji beda, peneliti melakukan uji normalitas dan uji homogenitas sebagai syarat dari uji one-way ANOVA.


Rifandi dan Usri 39 Hasil Secara umum, terdapat 86 mahasiswa yang bersedia menjadi subjek penelitian, dengan rentang usia 21–27 tahun. Ditemukan bahwa academic hardiness pada mahasiswa program studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran berada pada kategori tinggi (M = 78.92, SD = 8.767). Kategori skor academic hardiness terdiri dari kategori rendah (skor 0–49), kategori cukup tinggi (skor 50–74), dan kategori tinggi (skor 75–100) yang diperoleh dari perhitungan kuartil 1, kuartil 2, dan kuartil 3 pada rentang skor 25 (total skor skala terendah) sampai 100 (total skor skala tertinggi). Tingkat academic hardiness responden selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Gambaran Academic Hardiness Mahasiswa Program Studi Profesi Dokter Kategori n % Rendah 0 0 Sedang 22 25.9 Tinggi 64 74.4 Berdasarkan Tabel 1, academic hardiness tinggi ditunjukkan oleh besarnya persentase jumlah responden yang berada dalam kategori tinggi dari skor academic hardiness, yakni sebesar 74.4%. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa tidak ada responden dalam penelitian yang memiliki academic hardiness rendah. Di samping itu, peneliti membuat kategori skor pada dimensi academic hardiness berdasarkan perhitungan kuartil 1, kuartil 2, dan kuartil 3 dari rentang skor terendah hingga tertinggi pada setiap dimensinya. Tabel 2 menunjukkan gambaran dimensi academic hardiness yang dimiliki oleh mahasiswa: Tabel 2. Gambaran Academic Hardiness Mahasiswa Program Studi Profesi Dokter Variabel M Rendah (Skor 0–17) Cukup Tinggi (Skor 18–26) Tinggi (Skor 27–36) Commitment 28.31 1 27 58 Rendah (Skor 0–11) Cukup Tinggi (Skor 12–17) Tinggi (Skor 18–24) Challenge 18.36 3 30 53 Rendah (Skor 0–16) Cukup Tinggi (Skor 17–32) Tinggi (Skor 33–40) Control 32.24 0 45 41 Apabila ditinjau lebih lanjut tentang gambaran commitment, challenge, dan control sebagai dimensi academic hardiness, skor rerata tertinggi yang dimiliki mahasiswa program studi Profesi Dokter adalah pada dimensi control (M = 32.24, SD = 3.447). Skor rerata aspek commitment (M = 28.31) dan challenge (M = 18.36) juga berada pada kategori tinggi. Kemudian jika dilihat dari tingkatan yang terdapat dalam setiap dimensinya, mayoritas mahasiswa memiliki commitment tingkat tinggi (67.4%), challenge tingkat tinggi (61.6%), dan control dengan tingkat cukup tinggi (52.3%). Pada beberapa mahasiswa, masih terdapat dimensi yang memiliki tingkatan rendah, yakni commitment (1.2%) dan challenge (3.5%).


Rifandi dan Usri 40 Berdasarkan uji one-way ANOVA terhadap data penelitian ini yang diketahui berdistribusi normal (p = .200* > .05), diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan rata-rata academic hardiness (p > .05) pada seluruh kelompok pembeda. Hasil uji one-way ANOVA dituliskan selengkapnya pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Uji Beda Aspek-Aspek Academic Hardiness Kelompok Pembeda M n Test Homogenity of Variance One-way ANOVA Sig. Sig. Lama menjalani masa klinik .237 .766 Belum lama (X < 14 bulan) 78.13 15 Cukup lama (14 ≤ X < 20) 79.09 20 Lama (X ≥ 20 bulan) 75 50 IPK .968 .535 Rendah (X < 3.27) 82.50 6 Sedang (3.27 ≤ X < 3.63) 78.24 42 Tinggi ( X > 3.63) 79.11 38 Jumlah kegiatan nonakademik .266 .949 Tidak ada 79.04 45 1 78.35 20 2 79.80 15 3 77.67 6 Jenis kegiatan .471 .767 Tidak ada 79.04 45 Organisasi 79.52 21 Bekerja 77.25 8 Organisasi & bekerja 80.57 7 Organisasi & lain 72 3 Lain-lain 81 2 Keterangan: Mean antara kategori kelompok pembeda dikatakan berbeda jika hasil uji one-way ANOVA menghasilkan p < .05 Pembahasan Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun tidak terdapat perbedaaan yang signifikan dari academic hardiness pada seluruh kelompok pembeda, setiap kategori di dalam kelompok tersebut memiliki skor rerata yang lebih besar daripada kategori lainnya. Pada kelompok dengan lama praktik cukup lama, terdapat skor rerata yang lebih besar dari kelompok lainnya (M = 79.09). Hal yang sama juga terjadi pada kelompok IPK rendah (M = 82.50), kelompok dengan jumlah kegiatan nonakademik sebanyak 2 kegiatan (M = 79.80), serta kelompok dengan jenis kegiatan nonakademik lain-lain, yang terdiri dari melakukan hobi dan berolahraga (M = 81.00). Kategori dengan skor rerata lebih besar menunjukkan bahwa kategori tersebut memiliki skor academic hardiness lebih tinggi daripada kategori lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran dinamika academic hardiness mahasiswa program studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas skor rerata academic hardiness yang diperoleh oleh mahasiswa program studi Profesi Dokter berada dalam kategori tinggi. Hasil tersebut bertentangan dengan hasil dari pengambilan data awal, di mana mahasiswa menunjukkan respons negatif terhadap tuntutan akademik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa program studi Profesi Dokter Universitas


Rifandi dan Usri 41 Padjadjaran bereaksi secara positif terhadap tuntutan akademik yang dimiliki. Reaksi positif mahasiswa terhadap tuntutan akademik sesuai dengan karakteristik individu yang memiliki commitment, challenge, dan control yang baik dalam menghadapi tuntutan akademik menurut Benishek et al. (2005), yaitu bersedia terlibat secara konsisten menghadapi tuntutan akademik, memandang masalah sebagai pembelajaran jangka panjang, dan berkeyakinan dapat mencapai tujuan pendidikan melalui usaha serta regulasi emosi dalam mengatasi tuntutan akademik. Selain itu, penelitian lain juga menyebutkan bahwa individu yang memilki academic hardiness akan menilai tuntutan akademik secara positif dengan menjadikannya sebagai tantangan dibandingkan ancaman (Kamtsios & Karagiannopoulou, 2015). Perbedaan antara hasil penelitian ini dengan fenomena yang diperoleh dari pengambilan data awal kemungkinan dapat terjadi akibat adanya perbedaan teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data awal untuk mengungkap fenomena penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara terhadap tujuh responden terpilih. Data yang diperoleh dari wawancara tersebut tidak dapat semata-mata digeneralisasi untuk populasi penelitian. Hal tersebut didukung oleh Bastian et al. (2018) yang mengutarakan bahwa data wawancara yang dilakukan terhadap beberapa informan tertentu saja tidak dapat langsung digeneralisasi seperti hasil penelitian kuantitatif, tetapi juga membutuhkan beberapa bentuk generalisasi analitik terlebih dahulu. Sementara itu, teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengungkap pertanyaan penelitian ini adalah dalam bentuk survei berupa kuesioner Revised Academic Hardiness Scale (RAHS) yang termasuk dalam instrumen self-report. Instrumen self report mengarahkan responden untuk menjawab pertanyaan tentang dirinya sendiri yang digunakan untuk mengukur belief, sikap, perasaan, dan pendapat (Singleton & Straights, 2010). Teknik pengumpulan data tersebut berpotensi membuat responden cenderung memberikan respons yang positif sehingga hasil penelitian dapat menjadi bias. Penggunaan instrumen self-report dalam penelitian memiliki kelemahan, yaitu memungkinkan munculnya social desirability, di mana responden akan merespons item-item pertanyaan alat ukur dengan memberikan jawaban yang dapat diterima secara sosial atau responden tidak menjawab sesuai kondisi yang sebenar-benarnya (Demetriou et al., 2015). Tingginya tingkat academic hardiness para mahasiswa program studi Profesi Dokter Unpad dapat diakibatkan oleh optimisme, yang berarti seseorang memiliki pengharapan positif terhadap apapun yang terjadi dalam hidupnya. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa seseorang dengan optimisme akan memiliki penilaian positif terhadap tuntutan yang dimiliki serta merasa bersedia dan yakin bahwa dirinya mampu mengelola tuntutan sehingga terhindar dari penyakit akibat stres (Dewi et al., 2019). Selain itu, adanya konsep kerja tim yang menuntut satu mahasiswa dengan rekan lainnya bekerja sama dalam satu departemen selama masa klinik dapat berkontribusi pada tingginya academic hardiness mahasiswa Profesi Dokter. Hal tersebut didukung oleh penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa dukungan sosial seperti dari rekan-rekan sekitar dapat membuat seseorang menilai tuntutan hidup secara positif, seperti meyakini bahwa dirinya mampu mengelola tuntutan yang ada dalam hidup, menganggap tuntutan sebagai hal yang wajar, serta cenderung bersedia melibatkan diri dalam menghadapi suatu tuntutan untuk mencapai tujuan tertentu (Biaggi & Kiswantomo, 2020). Apabila ditinjau dari dimensi academic hardiness, mahasiswa program studi Profesi Dokter Unpad memiliki skor rerata yang lebih tinggi pada aspek control daripada commitment dan challenge. Hal tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa meyakini bahwa dirinya mampu mengelola tuntutan akademik melalui upaya yang dilakukan untuk mengelola tuntutan dan regulasi emosi agar dapat mencapai tujuan akademik (Benishek et al, 2005). Artinya, para mahasiswa akan merasa yakin dapat mengontrol perilaku dan emosinya dalam menghadapi tuntutan akademik selama menyelesaikan masa klinik. Mahasiswa dengan control tinggi akan membuat dirinya optimis (Pratiwi, 2019) dan tidak abai dalam menghadapi permasalahan akademik (Febrianti et al., 2020). Adanya control sebagai dimensi academic hardiness yang memiliki skor rerata paling tinggi pada mahasiswa dapat muncul karena adanya bimbingan dan pemantauan dari dokter supervisor serta SOP yang berlaku selama menjalani masa klinik. Selama masa klinik, dokter supervisor memberikan informasi yang perlu diketahui dan dilakukan khususnya selama penanganan pasien, sehingga


Rifandi dan Usri 42 mahasiswa dapat menghadapi masa klinik dengan yakin, baik berupa penanganan pasien, penggunaan alat pemeriksaan, dan pemilihan obat yang tepat (Shafira & Syauqy, 2019). Adanya informasi dari para dokter supervisor membantu mahasiswa meyakini bahwa dirinya mampu menyelesaikan masa klinik dengan melewati prosesnya satu per satu. Informasi jelas dan rinci yang diberikan membantu mahasiswa mendapat kejelasan terkait apa yang perlu dilakukan selama menjalani perannya sebagai dokter. Dengan begitu, tidak akan terjadi ketaksaan peran atau ketidakjelasan peran yang berpotensi pada keyakinan mahasiswa dalam menghadapi tuntutan tersebut (Macan et al., 2017). Selain itu, dalam pengajaran pun mahasiswa diberikan modul yang dikembangkan berdasarkan kompetensi yang perlu dimiliki oleh mahasiswa (Fajrin et al., 2017). Modul membantu mahasiswa memperoleh informasi secara jelas dan rinci mengenai tahapan proses pembelajaran praktik klinik. Modul disusun agar mahasiswa dapat mengorganisasikan pengalaman kliniknya dalam proses pembelajaran (Shafira & Syauqy, 2019) sehingga dapat menstimulasi mahasiswa untuk mengelola perilaku dan emosinya berdasarkan kebutuhan pembelajaran. Dokter supervisor pun memperbolehkan mahasiswa untuk melakukan tugas akademik selama masa klinik sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya sehingga memungkinkan mahasiswa merasa yakin bahwa dirinya mampu menyelesaikan masa klinik karena hal tersebut sesuai dengan kompetensinya. Penelitian Shafira dan Syauqy (2019) menunjukkan bahwa dokter supervisor menyesuaikan pengajaran dengan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang dimiliki mahasiswa sehingga tuntutan yang perlu dihadapi selama masa klinik tidak akan melebihi kemampuan para mahasiswa program studi Profesi Dokter. Terakhir, dokter supervisor turut membantu mahasiswa untuk meyakini bahwa dirinya mampu menyelesaikan masa klinik melalui adanya umpan balik yang diberikan terhadap performa mahasiswa selama masa klinik, baik untuk kemampuan anamnesis, kemampuan berkomunikasi dengan pasien, maupun pemeriksaan fisik yang dilakukan. Umpan balik yang diberikan para dokter supervisor dapat membantu mahasiswa untuk mengetahui kekurangan dari performa yang sudah dilakukan selama masa klinik dan berupaya untuk memperbaikinya agar sesuai dengan prinsip kedokteran (Fajrin et al., 2017; Shafira & Syauqy, 2019). Selain itu, umpan balik yang diberikan oleh dokter supervisor juga dapat memberikan dukungan sosial yang berimplikasi pada peningkatan harga diri mahasiswa sehingga dirinya akan lebih percaya diri dalam menunjukkan usahanya selama masa kinik (Clynes, 2014 dalam Fajrin et al., 2017). Dalam penelitian lain juga ditemukan bahwa dukungan sosial dari orang-orang sekitar secara konstruktif dapat membantu individu berani dan termotivasi sehingga dirinya menjadi lebih yakin untuk menghadapi tuntutan akademik yang ada (Biaggi & Kiswantomo, 2020; Macan et al., 2017; Maddi, 2006). Walaupun aspek control menjadi aspek dengan skor rerata tertinggi dibandingkan dimensi academic hardiness lainnya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa program studi Profesi Dokter memiliki commitment dan challenge dengan kategori tinggi pula. Adanya commitment yang tinggi pada mahasiswa program studi Profesi Dokter dapat terjadi karena mahasiswa sudah melewati masa adaptasi di 1–6 bulan pertama. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa mahasiswa program studi Profesi Dokter yang dapat beradaptasi dan bersosialisasi setelah melewati bulan-bulan awal lebih memiliki motivasi dan mau berkomitmen menjalani masa klinik (Ginting, 2019). Sementara itu, tingginya challenge yang muncul pada mahasiswa dapat disebabkan oleh adanya bimbingan dari para dokter supervisor dan materi belajar yang memadai selama menjalani masa klinik. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dokter supervisor membantu mahasiswa untuk menjadi pembelajar mandiri, dan materi yang memadai menunjang mahasiswa untuk terus belajar menjalankan peran layaknya dokter sesungguhnya (Sanjaya et al., 2018; Shafira & Syauqy, 2019). Adanya dorongan untuk menjadi pembelajar mandiri dan mengetahui perannya sebagai dokter membantu mahasiswa belajar dengan giat dalam masa klinik. Adanya challenge yang tinggi pun dapat muncul pada mahasiswa dari kepatuhannya terhadap dokter supervisor dan SOP yang berlaku. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa mahasiswa program studi Profesi Dokter akan berusaha menghadapi tuntutan yang ada karena adanya kepatuhan terhadap seluruh aturan dokter supervisor dan prosedur yang berlaku


Rifandi dan Usri 43 selama menjalani masa klinik (Margolang & Kolopaking, 2017). Kepatuhan tersebut digambarkan dengan usaha mahasiswa menghadapi seluruh tuntutan yang diberikan sesulit apapun itu agar tidak memperoleh konsekuensi negatif jika mengabaikannya, khususnya konsekuensi yang berkaitan dengan dampak negatif terhadap pasien. Kepatuhan tersebut membuat mahasiswa mau menghadapi tuntutan sebagai proses pembelajaran sesulit apapun itu, daripada memperoleh konsekuensi lainnya, agar kelak dirinya lebih siap menjadi dokter bagi pasiennya. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa terdapat beberapa mahasiswa dengan challenge kategori rendah dalam menyelesaikan masa klinik. Bagi mahasiswa dengan challenge rendah menunjukkan bahwa dirinya belum sepenuhnya menjadikan proses yang dihadapi selama masa klinik sebagai proses pembelajaran. Selanjutnya, mahasiswa program studi Profesi Dokter Unpad dengan academic hardiness tinggi dapat lebih baik dalam mengelola tuntutan akademik selama menjalani masa klinik sehingga dapat mencegah stres akademik yang berdampak negatif bagi dirinya. Hal tersebut dapat terjadi karena berdasarkan penelitian Cheng et al. (2019), academic hardiness merupakan prediktor munculnya self-efficacy yang membantu mahasiswa pada berbagai tingkat (sarjana, magister, dan doktoral) dan bidang (ekonomi, bisnis, kesehatan, manajemen, dan lainnya) untuk meyakini bahwa dirinya mampu menghadapi tuntutan akademik sehingga stres akademik dapat dikelola dengan baik. Dalam menghadapi tuntutan akademik, mahasiswa dengan hardiness tinggi pun cenderung memiliki stres yang rendah (Putri & Sawitri, 2017). Berdasarkan data penunjang dan demografi, mahasiswa program studi Profesi Dokter Unpad yang sedang menjalani masa klinik di rumah sakit memiliki berbagai karakteristik. Karakteristik umum yang dimiliki mahasiswa adalah dari aspek usia. Mayoritas mahasiswa program studi Profesi Dokter berada dalam tahap emerging adulthood, yaitu usia 18–25 tahun (Arnett, 2018). Karakteristik tersebut dapat menjadi salah satu faktor tingginya academic hardiness mahasiswa progam studi Profesi Unpad. Menurut Chen et al (2017), usia menjadi faktor seseorang dalam mengelola stres. Semakin tinggi usia, maka semakin banyak stres yang perlu dikelola, sehingga semakin baik pula individu tersebut dalam menghadapi stresor. Terlebih lagi, pada tahap emerging adulthood, individu menjadi terbiasa dengan kehadiran stresor karena tingginya identity exploration dan ketidakstabilan dalam berbagai aspek kehidupan (Arnett, 2018). Oleh karena itu, karakteristik mahasiswa program studi Profesi Dokter yang menilai tuntutan akademik secara positif sebagai tantangan dapat muncul akibat faktor usia yang membuatnya semakin baik dalam menghadapi tuntutan akademik. Selanjutnya, dengan berbagai data demografi dan data penunjang lainnya, peneliti melakukan uji beda yang berdasarkan pada lama praktik, IPK, jumlah kegiatan nonakademik, dan jenis kegiatan. Hasil uji beda variabel academic hardiness menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dari academic hardiness pada berbagai kelompok yang diujikan. Meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan, ditemukan bahwa setiap kategori di dalam kelompok tersebut memiliki skor rerata yang lebih besar daripada kategori lainnya. Pada kelompok lama praktik yang menunjukkan durasi mahasiswa program studi Profesi Dokter melakukan masa klinik di rumah sakit, mahasiswa yang cukup lama praktik dengan durasi berkisar 14 hingga 19 bulan memiliki skor rerata academic hardiness yang lebih besar. Lama praktik ini berkaitan erat dengan pengalaman mahasiswa program studi Profesi Dokter dalam mengelola tuntutan yang memicu stres akademik, seperti praktik menghadapi pasien secara langsung di bawah supervisor, menyelesaikan kasus medis sulit, ekspektasi sebagai dokter sesungguhnya, perlunya menguasai materi banyak untuk ujian, lingkungan belajar yang dinamis dan kompetitif, dan lainnya. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa semakin banyak pengalaman menghadapi stresor, maka semakin positif penilaian seseorang dan semakin baik pengelolaan stresnya (Hafifah et al., 2017). Meskipun begitu, terdapat penelitian lain menunjukkan bahwa jika seseorang terlalu banyak memperoleh tuntutan akademik dalam waktu yang lama maka membuat jenuh dan semakin stres (Dewi et al., 2019). Penelitian tersebut mendukung temuan penelitian ini yang menunjukkan bahwa skor rerata academic hardiness mahasiswa program studi Profesi Dokter dengan pengalaman praktik kategori lebih lama, tidak lebih tinggi daripada kategori


Rifandi dan Usri 44 belum lama dan cukup lama. Berdasarkan hasil penelitian, lama menjalani masa klinik tersingkat adalah tujuh bulan sehingga mahasiswa sudah dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada dalam masa klinik. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Willda et al. (2016) yang menunjukkan bahwa pada satu hingga enam bulan pertama, mahasiswa program studi Profesi Dokter beradaptasi dengan hal baru dalam masa klinik sehingga akan lebih baik dalam menghadapi tuntutan akademik. Selain itu, pada data demografi, terdapat satu mahasiswa program studi Profesi Dokter Unpad yang memiliki riwayat mengulang satu kali dan memiliki tingkat academic hardiness dalam kategori sedang atau cukup tinggi. Hal tersebut membuktikan penelitian Hafifah et al. (2017) yang mengungkap bahwa semakin seseorang berpengalaman menghadapi tuntutan akan lebih positif dalam menilai tuntutan itu sesuai dengan temuan pada satu mahasiswa yang mengulang masa klinik dalam penelitian ini. Pada kelompok IPK, hasil uji one-way ANOVA menunjukkan bahwa mahasiswa dengan kategori IPK rendah memiliki skor rerata academic hardiness yang lebih tinggi. Hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan dugaan peneliti, yakni seseorang dengan prestasi akademik tinggi memiliki skor academic hardiness yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa prestasi akademik dapat didukung oleh tingginya academic hardiness (Bansal & Pahwa, 2015; Benishek & Lopez, 2001). Meskipun begitu, hasil tersebut sejalan dengan penelitian Creed et al. (2013) yang menunjukkan bahwa academic hardiness tidak berasosiasi dengan prestasi akademik seperti IPK. Dalam penelitian ini, mahasiswa dengan IPK rendah memiliki skor rerata academic hardiness yang lebih tinggi daripada mahasiswa dengan IPK sedang maupun tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa tetap mampu menilai positif segala hal yang dihadapi selama masa klinik sebagai pembelajaran (termasuk mendapat IPK rendah), meyakini bahwa dirinya mampu mengontrol perilaku dan emosinya, serta bersedia untuk mengelola seluruh tuntutan yang ada untuk mencapai tujuan akademik. Selanjutnya, pada mahasiswa program studi Profesi Dokter Unpad yang memiliki kegiatan nonakademik, academic hardiness lebih tinggi dimiliki oleh mahasiswa dengan dua kegiatan nonakademik. Hal tersebut dapat terjadi karena dengan mengikuti lebih dari satu kegiatan nonakademik, seorang individu akan menghadapi lebih banyak tuntutan berbeda, yang kemudian dapat membantunya untuk menjadi lebih baik dalam mengelola tuntutan yang dimiliki (Hafifah et al., 2017). Hal serupa juga terjadi pada mahasiswa bekerja dengan tuntutan berupa keterikatan kontrak, dan pada mahasiswa berorganisasi yang dihadapkan dengan tuntutan berupa fleksibilitas waktu (Febrianti et al., 2020). Kemudian apabila meninjau jenis kegiatan nonakademik, penelitian ini menghasilkan temuan bahwa mahasiswa dengan kegiatan kategori lain-lain (berupa melakukan hobi dan berolahraga) memiliki skor rerata academic hardiness yang lebih tinggi daripada jenis kegiatan nonakademik lainnya. Kegiatan seperti menjalani hobi dan berolahraga termasuk ke dalam aktivitas leisure time (Das et al., 2019) yang dapat membantu mahasiswa mengelola stresnya. Leisure time juga membantu seseorang untuk dapat berpikir jernih dan memiliki jeda dari tuntutan, sehingga dapat menghadapinya dengan karakter yang positif, seperti meyakini bahwa dirinya mampu menghadapi tuntutan yang ada satu per satu dan meyakini bahwa tuntutan adalah tantangan (Qian et al., 2013). Oleh karena itu, melakukan hobi dan berolahraga dapat berkontribusi pada tingginya skor rerata academic hardiness mahasiswa dibandingkan kegiatan lainnya. Penelitian ini memiliki limitasi yang terletak pada proses penelitiannya. Peneliti hanya mengukur gambaran academic hardiness dengan survei kuantitatif melalui Revised Academic Hardiness Scale (RAHS) sehingga tidak dapat diketahui faktor-faktor yang secara spesifik berkontribusi terhadap tingginya academic hardiness mahasiswa program studi Profesi Dokter Unpad. Peneliti tidak mengeskplor hal tersebut secara lebih lanjut seperti dengan mengombinasikan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam penelitian ini. Sebagaimana diketahui, penelitian kualitatif dapat digunakan untuk membantu menjelaskan gejala secara lebih menyeluruh dan mendalam (Mulyadi, 2013). Bryman dalam Mulyadi (2013) pun mengungkapkan bahwa metode kualitatif dapat membantu menunjang teknik pengumpulan data melalui kuesioner, misalnya dengan melakukan wawancara kepada informan yang


Rifandi dan Usri 45 memahami secara komprehensif tentang objek penelitian untuk menyingkap makna dari data statistik yang diperoleh dari metode kuantitatif. Selain itu, tinjauan literatur peneliti juga menemukan bahwa dokter supervisor dapat cukup berkontribusi terhadap tingginya academic hardiness mahasiswa program studi Profesi Dokter. Hal tersebut didukung oleh besarnya peran dokter supervisor bagi mahasiswa selama menjalani masa klinik yang membantu mahasiswa meyakini bahwa dirinya mampu terlibat dalam masa klinik secara konsisten, mengontrol perilaku dan emosinya, serta meyakini bahwa masa klinik merupakan kesempatan belajar untuk menjadi dokter sungguhan (Shafira & Syauqy, 2019). Peran dokter supervisor selama masa klinik di antaranya membantu memberikan informasi yang jelas dan terarah kepada mahasiswa dalam mendalami perannya sebagai dokter sungguhan (Shafira & Syauqy, 2019, Macan et al., 2017), memberikan umpan balik terhadap performa mahasiswa (Fajrin et al., 2017; Shafira & Syauqy, 2019), dan mendorong mahasiswa menjadi pembelajar mandiri selama masa klinik (Sanjaya et al., 2018; Shafira & Syauqy, 2019). Namun karena peneliti hanya mengukur gambaran academic hardiness melalui kuesioner RAHS, penelitian ini tidak dapat menjelaskan pengaruh peran dokter supervisor terhadap tingkat academic hardiness mahasiswa selama masa klinik. Simpulan Mahasiswa program studi Profesi Dokter Universitas Padjadjaran (Unpad) mengalami berbagai tuntutan akademik selama masa klinik di rumah sakit. Meski demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki academic hardiness tinggi dalam menghadapi tuntutan tersebut. Dari ketiga dimensi academic hardiness, aspek control memiliki skor rerata tertinggi. Selain itu, penelitian ini mengungkap bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan antara tingkat academic hardiness jika dibandingkan dengan berbagai aspek seperti IPK, lama praktik, serta jumlah dan jenis kegiatan nonakademik. Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan untuk penelitian academic hardiness di masa mendatang, seperti perlunya menelusuri lebih lanjut perihal faktor-faktor yang mendasari munculnya academic hardiness mahasiswa. Peneliti selanjutnya dapat megeksplorasi faktor-faktor munculnya academic hardinesss dengan mengombinasikan metode kuantitatif dan kualitatif dalam pengumpulan data penelitian. Selain itu, dapat diteliti pula variabel academic hardiness dengan variabel lain seperti peran dokter supervisor sebagai fasilitator praktik pembelajaran selama masa klinik. Penelitian selanjutnya dapat mengulas lebih mendalam tentang bagaimana pengaruh peran dokter supervisor terhadap academic hardiness mahasiswa. Daftar Pustaka Arnett, J. J. (2018). Adolescence and emerging adulthood: A cultural approach (6 th ed.). Bansal, P., & Pahwa, J. (2015). Hardiness and achievement motivation as factors of academic achievement. Elixir Psychology, 78. Barseli, M., Ifdil, & Nikmarijal, N. (2017). Konsep stres akademik siswa. Jurnal Konseling dan Pendidikan, 5(3), 143–148. Bastian, I., Winardi, R., & Fatmawati, D. (2018). Metoda wawancara. Benishek, L. A., Feldman, J. M., Shipon, R. W., Mecham, S. D., & Lopez, F. G. (2005). Development and evaluation of the revised academic hardiness scale. Journal of Career Assessment, 13(1), 59–76. https://doi.org/10.1177/1069072704270274 Benishek, L. A., & Lopez, F. G. (2001). Development and initial validation of a measure of academic hardiness. Journal of Career Assessment, 9(4), 333–352. https://doi.org/10.1177/106907270100900402 Biaggi, K., & Kiswantomo, H. (2020). Kontribusi social support terhadap hardiness pada mahasiswa Fakultas Psikologi. Humanitas, 4(2), 192–204.


Rifandi dan Usri 46 Cheng, Y. H., Tsai, C. C., & Liang, J. C. (2019). Academic hardiness and academic self-efficacy in graduate studies. Higher Education Research and Development, 38(5), 907–921. https://doi.org/10.1080/07294360.2019.1612858 Christyanti, D., Mustami’ah, D., & Sulistiani, W. (2010). Hubungan antara penyesuaian diri terhadap tuntutan akademik dengan kecenderungan stres pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya. Insan, 12(03), 3–15. https://doi.org/10.1057/9780230274099 Creed, P. A., Conlon, E. G., & Dhaliwal, K. (2013). Revisiting the academic hardiness scale: revision and revalidation. Journal of Career Assessment, 21(4), 537–554. https://doi.org/10.1177/1069072712475285 Chen, Y., Peng, Y., & Xu, H. (2017). Age differences in stress and coping: Problem-focused strategies mediate the relationship between age and positive Affect. The International Journal of Aging and Human Development, 86(4). http://dx.doi.org/10.1177/0091415017720890 Das, S., Nazrul, F., Educational, S., Centre, T., & Barman, P. (2019). Nature of spending leisure time among the college students and its effects on their mental health. Humanities & Social Sciences Reviews, 7(5). https://doi.org/10.18510/hssr.2019.75116 Demetriou, C., Ozer, B. U., & Essau, C. A. (2015). Self-report questionnaires. The Encyclopedia of Clinical Psychology, 1– 6. https://doi.org/10.1002/9781118625392.wbecp507 Dewi, I. K., Nasir, M., & Salma. (2019). Optimisme dan hardiness pada dokter muda di Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh. Psikoislamedia Jurnal Psikologi, 4(1), 48–56. Fajrin, A. M., Husin, F., Anwar, A. D., Mose, J. C., Wirakusumah, F. F., & Nurihsan, I. (2017). Upaya meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam praktik asuhan persalinan melalui model pembelajaran praktik klinik kebidanan. Jurnal Pendidikan Dan Pelayanan Kebidanan Indonesia, 3(1), 13. https://doi.org/10.24198/ijemc.v3i1.62 Febrianti, Y. P., Nuqul, F. L., & Khotimal, H. (2020). Academic hardiness pada mahasiswa aktivis dan mahasiswa yang bekerja. Psyche 165 Journal, 1(13), 79–87. Ginting, K. (2019). Persepsi mahasiswa kedokteran tentang kesiapan menghadapi kepaniteraan klinik di rumah sakit umum daerah deli serdang. [Skripsi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara]. http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/1113 Hafifah, N., Widiani, E., & Hastutiningtyas, W. R. (2017). Perbedaan stres akademik pada mahasiswa program studi Ilmu Keperawatan berdasarkan jenis kelamin di Fakultas Kesehatan Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang. Nursing News, 2(3). Kamtsios, S., & Karagiannopoulou, E. (2015). Exploring relationships between academic hardiness, academic stressors and achievement in university undergraduates. Journal of Applied Educational and Policy Research, 1(1), 53–73. Karimi, A., & Venkatesan, S. (2009). Mathematics anxiety, mathematics performance and academic hardiness in high school students. International Journal of Educational Sciences, 1(1), 33–37. https://doi.org/10.1080/09751122.2009.11889973 Macan, H. H., Septa, T., Lisiswanti, R., Rahim, T., & Puspita, R. D. (2017). Hubungan stresor dengan kejadian stres pada mahasiswa kepaniteraan klinik. Jurnal Agromed Unila, 4(2), 1–8. Maddi, S. R. (2006). Hardiness: The courage to grow from stresses. Journal of Positive Psychology, 1(3), 160–168. https://doi.org/10.1080/17439760600619609 Margolang, R. H., & Kolopaking, R. (2017). Pengaruh kepribadian big five dan coping stress terhadap kecerdasan emosi pada mahasiswa kedokteran di Jakarta. TAZKIYA Journal of Psychology, 5(2), 255–274. Masago, P. V. (2018). Studi deskriptif mengenai academic hardiness pada mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan 2017 Universitas "X" Bandung. [Skripsi, Universitas Kristen Maranatha]. http://repository.maranatha.edu/24962/ Mulyadi, M. (2013). Penelitian kuantitatif dan kualitatif serta pemikiran dasar menggabungkannya. Jurnal Studi


Rifandi dan Usri 47 Komunikasi Dan Media, 15(1), 128. https://doi.org/10.31445/jskm.2011.150106 Pangesti, A, A. (2012). Pengaruh konflik peran terhadap terjadinya burnout pada mahasiswa koass. JPPP - Jurnal Penelitian Dan Pengukuran Psikologi, 1(1), 1–6. https://doi.org/10.21009/jppp.011.01 Polit, D. F., & Beck, C. T. (2006). The content validity index: Are you sure you know what's being reported? Critique and recommendations. Research in Nursing & Health, 29(5), 489-497. Pratiwi, R. (2019). Academic hardiness pada mahasiswa aktivis organisasi intra kampus. [Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta]. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/77430 Putri, S. A., & Sawitri, D. R. (2017). Hubungan antara hardiness dengan stres akademik pada taruna tingkat II Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang. Empati, 6(4), 319–322. Qian, X. L., Almeida, D. M., & Yarnal, C. (2013). Does leisure time as a stress coping resource increase affective complexity? Applying the dynamic model of affect (DMA). Journal of Leisure Research, 45(3), 393–414. https://doi.org/10.18666/JLR-2013-V45-I3-3157 Sanjaya, I. M. B., Susani, Y. P., & Lestari, R. (2018). Persepsi mahasiswa terhadap lingkungan belajar linik Fakultas Kedokteran Universitas Mataram dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Jurnal Kedokteran Unram, 7(4), 1–7. Shafira, N. N. A., & Syauqy, A. (2019). Supervisi klinik stase mayor pada Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi. Jambi Medical Journal, 7(1), 1–7. https://doi.org/10.22437/jmj.v7i1.7112 Singleton, Jr., R. A., & Straights, B. C. (2010). Approaches to social research (5th ed.). New York: Oxford University Press Wardani, R. (2020). Academic hardiness, skills, and psychological well-being on new student. Jurnal Psikologi, 19(2), 188–200. https://doi.org/10.14710/jp.19.2.188-200 Willda, T., Nazriati, E., & Firdaus. (2016). Hubungan resiliensi diri terhadap tingkat stres pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Journal of Chemical Information and Modeling, 3(1), 1–9.


Click to View FlipBook Version