Vol. 7, No. 1, April 2023, 48–56 ISSN 2598-3075 E-ISSN 2614-2279 https://jurnal.unpad.ac.id/jpsp Jurnal Psikologi Sains & Profesi (Journal of Psychological Science & Profession) Pengaruh e-WOM terhadap Purchase Intention Mahasiswi pada Produk Beauty Brand Abigail Ruth Deborah Sinurat*, Shafia Islaha, Michelle Astari Rumiris, Nadira Alfayza, Putri Nadhira Azka, Trifena Angelina Erawan, dan Salsabilla Utami Putri Universitas Padjadjaran *E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat pengaruh dari e-WOM terhadap purchase intention mahasiswi pada produk beauty brand. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif eksperimental dengan rancangan between participant pre-test dan post-test. Digunakan alat ukur dari Iswara dan Jatra (2017) untuk mengukur purchase intention dengan dasar teori Schiffman dan Kanuk (2007). Pengambilan sampel menggunakan teknik convenience sampling dengan jumlah 116 partisipan. Melalui uji Wilcoxon, didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (z = -2,160, p = .31) antara skor purchase intention yang diberikan partisipan kelompok kontrol pada pre-test (M = 12.69, SD = 3.51) dan post-test (M = 13.22, SD = 3.61). Namun, terdapat perbedaan yang signifikan (z = -4,927, p < .05*) antara skor purchase intention yang diberikan partisipan kelompok eksperimen pada pre-test (M = 12.62, SD = 3.79) dan post-test (M = 14.55, SD = 3.59). Hal ini mengimplikasikan bahwa terdapat pengaruh dari e-WOM terhadap purchase intention mahasiswi pada produk beauty brand. Kata kunci: e-WOM, purchase intention, mahasiswi, produk beauty brand Influence of e-WOM on the Purchase Intention of Female College Students on Beauty Brand Products Abstract This study aimed to see the influence of e-WOM on the purchase intention of female college students on beauty brand products. This study used a quantitative experimental approach with the between-participant pre-test and post-test design. The measuring instrument from Iswara and Jatra (2017) was used to measure the purchase intention based on the theory of Schiffman and Kanuk (2007). This study used the convenience sampling technique with 116 participants. Through the Wilcoxon test, it was found that there was no significant difference (z = -2,160, p = .31) between the purchase intention score given by the control group participants on pre-test (M = 12.69, SD = 3.51) and post-test (M = 13.22, SD = 3.61), but there was a significant difference (z = -4,927, p < .05*) between the purchase intention scores given by the experimental group participants on pre-test (M = 12.62, SD = 3.79) and post-test (M = 14.55, SD = 3.59). This implies that there is an influence of e-WOM on the purchase intention of female college students on beauty brand products. Keywords: e-WOM, purchase intention, college student, beauty brand product
Sinurat, Islaha, Rumiris, Alfayza, Azka, Erawan, dan Putri 49 Pendahuluan Di era digital saat ini, banyak sekali kemudahan yang didapatkan masyarakat dari penggunaan media sosial. Kemudahan ini dirasakan oleh hampir seluruh golongan masyarakat, tak terkecuali mahasiswa. Tidak hanya memudahkan, media sosial juga dapat dikatakan sebagai bagian penting dari kehidupan bagi mahasiswa yang merupakan generasi Z dan telah terbiasa dengan internet sejak dini (Singh & Dangmei, 2016 dalam Firamadhina & Krisnani, 2020). Maka dari itu, tidak heran jika mahasiswa sangat memperhatikan citra dirinya di media sosial, terutama bagi perempuan (mahasiswi). Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa mahasiswi merupakan salah satu kelompok pengguna situs jejaring sosial terbanyak (Walsh et al., 2013). Hal ini dapat terjadi karena mereka sangat peduli dengan apa yang orang lain nilai mengenai diri mereka di media sosial (Taylor & Strutton, 2016). Bagi mahasiswi, salah satu cara untuk menampilkan yang terbaik dari diri mereka adalah dengan mempercantik diri menggunakan produk kecantikan (Girindra et al., 2018). Berdasarkan catatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tahun 2021, jumlah industri kosmetik meningkat sebesar 20.6% menjadi 819 industri dan pada bulan Juli 2022, jumlahnya telah meningkat menjadi 913 industri (Direktorat Pengawasan Kosmetik, 2022). Banyaknya produk kecantikan yang tersedia di pasaran menjadi pertimbangan bagi para mahasiswi untuk membeli produk kecantikan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Dengan banyaknya pilihan produk dari beauty brand, tentunya mahasiswi akan mencari informasi mengenai produk kecantikan tersebut melalui media sosial yang kemudian memengaruhi intensi untuk membeli. Melihat peran media sosial yang menjadi bagian sangat penting dalam kehidupannya, maka memungkinkan untuk mahasiswi mencari informasi mengenai beauty brand tersebut dari media sosial. Salah satu informasi yang dapat diperoleh dari media sosial adalah melalui electronic word-of-mouth (e-WOM). E-WOM adalah bentuk komunikasi yang tercipta dari mulut ke mulut secara daring mengenai informasi dari suatu produk tertentu (Residona, 2019). Platform e-WOM yang paling sering digunakan adalah media sosial karena di dalamnya terdapat diskusi antarkonsumen, endorse profil atau produk tertentu, menampilkan preferensi ke jaringannya, like dan comment, post konten bersama brand, dan hal-hal lainnya (Erkan & Evans, 2016). Lee dan Choeh (2020) menjelaskan bahwa konsumen juga mempresentasikan pikirannya mengenai suatu produk melalui e-WOM hingga dapat mendorong orang lain melalui opini mereka mengenai produk tersebut. Biasanya, konsumen yang puas dengan produk tertentu akan mengirimkan komentar positif agar orang lain mengetahui manfaat dari pengalaman berbelanja mereka. Banyaknya orang yang melakukan review atau rating juga berdampak positif terhadap reputasi produk tersebut, sehingga turut berpengaruh pada engagement konsumen terhadap produknya. Salah satu contoh dari e-WOM adalah ketika konsumen dari suatu brand menuliskan ulasan mengenai suatu produk di media sosial (Susilowati & Santoso, 2021), seperti di media sosial milik pribadi atau di kolom komentar dari media sosial brand tersebut. Cara ini dapat membentuk persepsi konsumen terkait beauty brand tersebut, terbukti dari bagaimana konsumen saat ini lebih memilih untuk melihat opini dari konsumen lain sebelum membuat keputusan untuk membeli (Hussain et al., 2018 dalam Residona, 2019). E-WOM yang mengindikasikan penilaian yang baik terhadap suatu produk mengimplikasikan bahwa konsumen yang telah menggunakan produk tersebut puas dengan produk terkait, begitu pula sebaliknya (Cheung et al., 2009). Konsumen pun menggunakan e-WOM sebagai alat pertukaran informasi mengenai suatu produk melalui internet, yang dapat dinilai kredibel dan dapat dipercaya (Sánchez-Torres et al., 2018). Adanya e-WOM sebagai referensi dapat digunakan oleh calon konsumen dalam memahami karakteristik dari suatu produk disebut sebagai brand image. Brand image yang kuat dan baik dari suatu produk dapat meningkatkan intensi calon konsumen dalam melakukan pembelian (Purwianti & Niawati, 2022). Hal ini menjelaskan mengapa e-WOM dapat memengaruhi intensi dalam melakukan pembelian, atau yang dikenal sebagai
Sinurat, Islaha, Rumiris, Alfayza, Azka, Erawan, dan Putri 50 purchase intention, yang kemudian akan memiliki pengaruh besar terhadap keputusan mereka dalam membeli suatu produk. Menurut Pandjaitan (2018), purchase intention adalah kecenderungan konsumen untuk membeli suatu produk atau membuat suatu aksi yang berkaitan dengan kemungkinannya untuk membeli. Pengukuran purchase intention merupakan langkah terbaik untuk memprediksi pembelian karena peningkatan intensi pembelian mengarah pada peningkatan kemungkinan terjadinya pembelian (Ariyani & Irawanto, 2014; Schiffman & Kanuk, 2007). Intensi seseorang untuk membeli atau menggunakan suatu produk dan jasa dipengaruhi oleh rangsangan dari luar. Persepsi pembeli terhadap suatu produk, seperti mengenai harga, kualitas, penampilan, dan manfaat dari produk tersebut dapat meningkatkan purchase intention seseorang (Schiffman & Kanuk, 2007). Terdapat beberapa hal yang dapat digunakan untuk mengukur purchase intention menurut Schiffman dan Kanuk (2007) dalam Iswara & Jatra, 2017), yaitu (1) pertimbangan pembelian produk; (2) ketertarikan untuk mencoba; (3) keinginan untuk membeli produk, dan; (4) keinginan untuk menggunakan produk. Penelitian-penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa e-WOM berpengaruh terhadap purchase intention seseorang. Para pengguna brand membagikan informasi mengenai produk dari brand tersebut, penawaran, serta layanan yang tersedia melalui peer-to-peer. Kemudian, mereka membentuk brand advocacy (rekomendasi produk) dan loyalitas terhadap brand tersebut. Pada akhirnya, para pengikut dari akun media sosial brand tersebut menjadi pembeli dari produk yang dijualnya. E-WOM juga dapat meningkatkan popularitas brand sehingga dapat membujuk purchase intention konsumen (Kala & Chaubey, 2018). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Sarma dan Choudhury (2015), Ruiz-Mafe et al. (2018), Erkan dan Evans (2016), dan Sa’ait et al. (2016) juga membuktikan bahwa e-WOM berpengaruh secara langsung terhadap purchase intention para konsumen. Berdasarkan fenomena yang terjadi, maka penelitian ini difokuskan untuk melihat pengaruh e-WOM terhadap purchase intention mahasiswi pada produk beauty brand. Mahasiswi dipilih sebagai kelompok konsumen yang menjadi fokus penelitian karena konsumen berjenis kelamin perempuan ditemukan lebih terikat dengan ulasan di media sosial dibandingkan konsumen laki-laki, serta lebih mudah terpengaruh oleh orang lain ketika membeli sebuah produk dari beauty brand (Dalziel & De Klerk, 2021). Dalam penelitian ini, mahasiswi dipilih lebih spesifik sebagai representasi kelompok konsumen perempuan karena keterikatan mahasiswi, sebagai generasi Z, dengan media sosial, yang telah dijabarkan sebelumnya. Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif eksperimental dengan rancangan between participant pretest dan post-test. Variabel independen dalam penelitian ini adalah penggunaan e-WOM, dan variabel dependennya adalah purchase intention. E-WOM adalah bentuk komunikasi yang tercipta dari mulut ke mulut secara daring mengenai informasi dari suatu produk tertentu (Residona, 2019). Purchase intention merupakan kecenderungan konsumen untuk membeli suatu produk atau membuat suatu aksi yang berkaitan dengan kemungkinannya untuk membeli (Pandjaitan, 2018). Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswi dengan teknik pengambilan sampel convenience sampling yang dilakukan melalui media sosial. Convenience sampling dipilih sebagai teknik pengambilan sampel karena tidak memungkinkan untuk mendapatkan data setiap anggota dalam populasi (Etikan et al., 2016). Pada penelitian ini, diperoleh partisipan penelitian sejumlah 116 orang yang terbagi ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebanyak masing-masing 58 orang. Data demografi dari partisipan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Keseluruhan prosedur penelitian dilakukan secara daring. Calon partisipan yang setuju menjadi partisipan penelitian
Sinurat, Islaha, Rumiris, Alfayza, Azka, Erawan, dan Putri 51 dibagi menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, yang kemudian diarahkan untuk membuka sebuah tautan Google Form. Sebelumnya, tim peneliti telah menyiapkan gambar produk beauty brand fiktif yang digunakan hanya untuk keperluan penelitian ini, yaitu produk kecantikan untuk bibir dengan nama LIPDNA beserta shades atau warnawarna yang tersedia untuk penjualan. Pada form yang diisi oleh kelompok eksperimen, terdapat gambar produk beserta alat ukur purchase intention yang harus diisi oleh partisipan untuk melihat intensi awal partisipan dalam membeli produk tersebut. Setelah itu, partisipan dalam kelompok eksperimen diarahkan pada form yang berisi tangkapan layar unggahan Instagram produk tersebut dengan angka likes yang tinggi, beserta komentar positif dari beberapa akun fiktif terhadap produk tersebut. Partisipan kemudian mengisi alat ukur purchase intention kembali. Pada form untuk kelompok kontrol, terdapat gambar produk yang sama dengan yang diberikan pada kelompok eksperimen. Kemudian, partisipan dalam kelompok kontrol mengisi alat ukur purchase intention yang sama pula. Setelahnya, partisipan dalam kelompok kontrol diarahkan pada form yang berisi tangkapan layar unggahan Instagram produk tersebut dengan angka likes yang rendah dan tanpa disertai komentar. Partisipan kemudian mengisi alat ukur purchase intention kembali. Penelitian ini menggunakan alat ukur dari Iswara dan Jatra (2017) untuk mengukur purchase intention dengan dasar teori Schiffman dan Kanuk (2007). Alat ukur ini telah memiliki reliabilitas yang baik dengan Cronbach’s alpha sebesar .94 dan validitas yang juga baik dengan koefisien korelasi setiap item berada di atas .3. Sebelum melakukan uji beda, dilakukan uji normalitas terlebih dahulu untuk memastikan bahwa data berdistribusi normal, serta uji homogenitas untuk memastikan bahwa data bersifat homogen. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S). Jika syarat melakukan uji beda terpenuhi, uji beda akan dilakukan dengan uji t. Namun jika syarat melakukan uji beda tidak terpenuhi, uji beda akan dilakukan dengan uji Wilcoxon dan uji Mann-Whitney. Semua uji yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software IBM SPSS Statistics 24. Tabel 1. Data Demografi Partisipan n % Usia 17 1 .86 18 4 3.45 19 14 12.07 20 28 24.14 21 59 50.86 22 10 8.62 Asal Universitas Universitas Padjadjaran 80 68.97 Universitas Indonesia 5 4.31 Universitas Gadjah Mada 4 3.45 Universitas Diponegoro 4 3.45 Universitas Katolik Parahyangan 4 3.45 Institut Teknologi Sepuluh Nopember 2 1.72 Universitas Negeri Jakarta 2 1.72 Unika Atma Jaya 2 1.72 Universitas Pendidikan Indonesia 2 1.72
Sinurat, Islaha, Rumiris, Alfayza, Azka, Erawan, dan Putri 52 n % Universitas Negeri Jakarta 2 1.72 Universitas Airlangga 1 .86 Universitas Islam Bandung 1 .86 Universitas Negeri Malang 1 .86 Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta 1 .86 Universitas Yarsi 1 .86 Universitas Tarumanagara 1 .86 Telkom University 1 .86 President University 1 .86 Politeknik Negeri Bandung 1 .86 Hasil Melalui uji reliabilitas, diperoleh α = .940 yang menunjukkan bahwa alat ukur purchase intention yang digunakan memiliki reliabilitas yang baik. Selain itu, dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov untuk melihat apakah data yang diperoleh dalam penelitian ini berdistribusi normal. Ditemukan bahwa data pre-test dan post-test tidak berdistribusi normal (pre-test: KS = .118, p < .05; post-test: KS = .124, p < .05). Data tidak berdistribusi normal, sehingga uji beda untuk skor pre-test dan post-test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan dengan uji Wilcoxon. Uji Wilcoxon dilakukan untuk melihat perbedaan antara skor purchase intention yang diberikan partisipan kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen pada pre-test dan post-test. Hasil uji analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (z = -2,160, p = .31) antara skor purchase intention yang diberikan partisipan kelompok kontrol pada pre-test (M = 12.69, SD = 3.51) dan post-test (M = 13.22, SD = 3.61),. Namun, terdapat perbedaan yang signifikan (z = -4,927, p < .05*.) antara skor purchase intention yang diberikan partisipan kelompok eksperimen pada pre-test (M = 12.62, SD = 3.79) dan post-test (M = 14.55, SD = 3.59). Skor rata-rata variabel purchase intention diukur menggunakan analisis deskriptif. Berdasarkan analisis yang dilakukan, diketahui bahwa skor rata-rata purchase intention kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada pre-test lebih rendah dibandingkan post-test. Hasil analisis deskriptif dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Analisis Deskriptif N Min. Maks. M SD Kelompok kontrol Pre-test 58 4 20 12.69 3.51 Post-test 58 4 20 13.22 3.61 Kelompok eksperimen Pre-test 58 4 20 12.62 3.79 Post-test 58 6 20 14.55 3.59 Pembahasan Berdasarkan hasil pengolahan data, ditemukan bahwa terdapat perbedaan antara nilai pre-test dengan post-test pada kelompok eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa eksperimen yang diberikan kepada kelompok responden terbukti memberikan pengaruh pada purchase intention terhadap produk tersebut yang tidak didapatkan oleh kelompok responden kontrol. Bentuk eksperimen yang diberikan berupa komentar positif serta friends tagging dari orang awam
Sinurat, Islaha, Rumiris, Alfayza, Azka, Erawan, dan Putri 53 berkaitan dengan beauty product untuk bibir dengan nama LIPDNA pada media sosial Instagram product tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Iswara dan Jatra (2017) yang menemukan adanya pengaruh dari e-WOM terhadap purchase intention seseorang. Semakin positif e-WOM yang terdapat di internet, makin tinggi pula purchase intention untuk membeli produk tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian dari Sulthana & Vasantha (2019) yang mengungkapkan bahwa review orang lain di media sosial (e-WOM) memiliki pengaruh terhadap purchase intention. Hasil penelitian ini memberikan bukti tambahan bahwa pernyataan tersebut benar dan signifikan dalam memengaruhi purchase intention para responden. Hal ini dapat terjadi karena ulasan atau komentar positif yang ditulis konsumen suatu produk brand di media sosial dapat membuat orang lain membentuk persepsi yang baik terhadap brand tersebut (Susilowati & Santoso, 2021; Hussain et al., 2018 dalam Residona, 2019). Penelitian ini juga mengkaji mengenai hal apa saja yang menjadi pertimbangan individu dalam membeli produk kecantikan. Tabel 3. Hasil Data Penunjang Pertimbangan dalam Membeli Produk Kecantikan n Harga 72 Kualitas produk 38 Review atau testimoni 36 Merek atau brand tersebut sendiri 22 Shade atau warna yang diberikan 21 Kandungan dalam produk 18 Kecocokan 17 Kebutuhan 17 Manfaat atau kegunaan produk 16 Ketahanan produk 14 Packaging atau kemasan atau bentuk produk 12 Keamanan 3 Kenyamanan 2 Promo atau diskon yang tersedia 2 Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa harga, kualitas produk, dan review menjadi tiga hal yang paling dipertimbangkan partisipan ketika membeli produk. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian sebelumnya bahwa review dan informasi mengenai suatu produk (seperti harga dan kualitas produk) memengaruhi purchase intention mahasiswa terhadap beauty products secara signifikan (Cho & Sagynov, 2015; Lee et al., 2019). Selain itu, brand awareness dan perceived usefulness juga turut berperan dalam memengaruhi purchase intention (Cho & Sagynov, 2015). Data penunjang dari penelitian ini pun makin membuktikan bahwa review berperan penting pada purchase intention mahasiswi dalam membeli beauty products. Review daring yang bersifat positif pada beauty products akan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pula terhadap purchase intention (Rabiah et al., 2019). Oleh karena itu, review merupakan sebuah bentuk e-WOM yang penting di era penjualan daring ini (Jiménez & Mendoza, 2013). Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor purchase intention yang diberikan partisipan kelompok eksperimen pada pre-test dan post-test. Hal ini menunjukkan bahwa e-WOM
Sinurat, Islaha, Rumiris, Alfayza, Azka, Erawan, dan Putri 54 berpengaruh terhadap purchase intention. Sejalan dengan temuan sebelumnya, Sejalan dengan temuan sebelumnya, makin positif e-WOM yang terdapat di internet, maka makin tinggi pula purchase intention mahasiswi. Bentuk e-WOM yang diberikan pada penelitian ini berupa komentar positif yang berkaitan dengan produk yang ditampilkan, sehingga hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Iswara dan Jatra (2017). Hubungan pengaruh ini dapat terjadi karena adanya persepsi yang terbentuk terkait suatu brand saat membaca ulasan yang diberikan oleh konsumen brand tersebut. Persepsi yang terbentuk menjadi baik ketika ulasan yang diberikan (komentar dan review) juga positif. Data penunjang yang didapatkan turut membuktikan bahwa review merupakan hal yang penting dalam purchase intention, dengan hasil yang menunjukkan bahwa terdapat tiga hal yang menjadi pertimbangan partisipan dalam membeli produk, yaitu harga, kualitas produk, dan juga review. Dari hasil penelitian yang didapatkan, peneliti menyarankan kepada beauty brand agar menggunakan e-WOM sebagai salah satu strategi marketing yang digunakan karena telah terbukti adanya pengaruh e-WOM terhadap purchase intention. Bentuk dari e-WOM yang digunakan dapat berupa mengaktifkan media sosial dari beauty brand tersebut agar terbentuk banyak komentar positif yang dapat memengaruhi orang yang melihat untuk membeli produk tersebut. Selain itu, karena partisipan penelitian ini hanya terbatas kepada populasi yang menggunakan beauty product berupa lip product, penelitian berikutnya dapat menjangkau populasi dengan produk kecantikan lain seperti skincare, haircare, atau brand lain yang bukan brand kecantikan. Penelitian selanjutnya juga dapat melakukan eksperimen terhadap brand dengan konsumen berjenis kelamin laki-laki agar dapat melihat apakah e-WOM juga berpengaruh terhadap purchase intention laki-laki. Daftar Pustaka Ariyani, T. & Irawanto, D. W. (2014). The role of perceived product attributes and brand awareness in creating consumer purchase intention on local fashion brand (empirical study on potential consumer of screamous clothing-retail company, Malang). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 3(1). Cheung, M. Y., Luo, C., Sia, C. L., & Chen, H. (2009). Credibility of electronic word-of-mouth: informational and normative determinants of on-line consumer recommendations. International Journal of Electronic Commerce, 13(4), 9–38. Cho, Y. C. & Sagynov, E. (2015). Exploring factors that affect usefulness, ease of use, trust, and purchase intention in the online environment. International Journal of Management & Information Systems, 19(1), 21–36. Dalziel, R. C., & De Klerk, N. (2021). Media and group influence on Generation Y consumers’ attitudes towards beauty products. Spanish Journal of Marketing – ESIC, 25(1), 111–132. https://doi.org/10.1108/SJME-12-2019-0104 Direktorat Pengawasan Kosmetik. (2022, August 3). Key Personnel Paham CPKB Merupakan Kunci Sukses Industri Kosmetik Dalam Negeri. https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/27620/KEY-PERSONNELPAHAM-CPKB-MERUPAKAN-KUNCI-SUKSES-INDUSTRI-KOSMETIK-DALAM-NEGERI.html Erkan, I. & Evans, C. (2016). The influence of eWOM in social media on consumers’ purchase intentions: An extended approach to information adoption. Computers in Human Behavior, 61, 47–55. https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.03.003 Etikan, I., Musa, S. A., & Alkassim, R. S. (2016). Comparison of convenience sampling and purposive sampling. American Journal of Theoretical and Applied Statistics, 5(1), 1–4. https://doi.org/10.11648/j.ajtas.20160501.11 Firamadhina, F. I. R., & Krisnani, H. (2020). Perilaku generasi Z terhadap penggunaan media sosial TikTok: TikTok sebagai media edukasi dan aktivisme. Share: Social Work Journal, 10(2), 199–208. https://doi.org/10.24198/share.v10i2.31443.
Sinurat, Islaha, Rumiris, Alfayza, Azka, Erawan, dan Putri 55 Girindra, A., Weliangan, H., & Pardede, Y. O. K. (2018). Citra tubuh dan kepercayaan diri pada mahasiswa pengguna kosmetik wardah. Jurnal Psikologi, 11(2), 143–152. https://doi.org/10.35760/psi.2018.v11i2.2259. Iswara, I. G. A. D. & Jatra, I. M. (2017). Peran brand image dalam memediasi pengaruh electronic word of mouth terhadap purchase intention (Studi kasus pada produk smartphone Samsung di kota Denpasar). E-Jurnal Manajemen Unud, 6(8), 3991–4018. Jiménez, F. R. & Mendoza, N. A. (2013). Too popular to ignore: The influence of online reviews on purchase intentions of search and experience products. Journal of Interactive Marketing, 27(3), 226–235. Kala, D., & Chaubey, D. S., (2018). The effect of eWOM communication on brand image and purchase intention towards lifestyle products in India. International Journal of Services, Economics and Management, 9(2), 143–157. https://doi.org/10.1504/IJSEM.2018.096077 Lee, J. E., Goh, M. L., & Noor, M. N. B. M. (2019). Understanding purchase intention of university students towards skin care products. PSU Research Review: An International Journal. https://doi.org/10.1108/PRR-11-2018-0031 Lee, S., & Choeh, J. Y.. (2020) Using the social influence of electronic word-of-mouth for predicting product sales: The moderating effect of review or reviewer helpfulness and product type. Sustainability, 12(19), 7952. https://doi.org/10.3390/su12197952. Pandjaitan, D. R. H. (2018). An analysis of brand awareness influence on purchase intention in Bandar Lampung city’s online transportation service (study on Y generation consumers). In The 2018 International Conference of Organizational Innovation (ICOI-2018), 626–738. https://doi.org/10.18502/kss.v3i10.3418 Purwianti, L., & Niawati.. (2022). Analysis of e-WOM, brand attitude, brand image on purchase intention. SEIKO: Journal of Management & Business, 5(1), 356–366. https://journal.stieamkop.ac.id/index.php/seiko/article/view/1664/1089 Rabiah, A. S., Rita, Parashakti, R. D., Mahfud, I., & Adha, S. (2019). Online consumer review and beauty influencer on cosmetics purchase intention of Indonesian female consumers. Journal of Business, Management, and Accounting, 1(1), 34–47. Residona, A. S. (2019). Pengaruh electronic word of mouth (ewom) terhadap purchase intention produk skincare dengan brand image sebagai variabel mediasi (Studi pada pengakses akun Instagram @wardahbeauty di Kota Malang). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 7(2), 82–94. Retrieved from https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/5961 Ruiz-Mafe, C., Bigne-Alcañiz, E., Sanz-Blas, S., & Tronch, J. (2018). Does social climate influence positive eWOM? A study of heavy-users of online communities. BRQ Business Research Quarterly, 21(1), 26–38. https://doi.org/10.1016/j.brq.2017.12.001 Sa’ait, N., Kanyan, A. & Nazrin, M. F. (2016). The effect of e-WOM on customer purchase intention. International Academic Research Journal of Social Science, 2(1), 73–80. Sarma, A. D. & Choudhury, B. R. (2015). Analysing electronic word-of-mouth (eWOM) in social media for consumer insights – a multidisciplinary approach. International Journal of Science, Technology & Management, 4(01), 978– 990. Schiffman, L. G. & Kanuk, L. L. (2007). Consumer behavior (9 th ed.). New Jersey: Prentice-Hall Inc. Sulthana, A. N., & Vasantha, S. (2019). Influence of electronic word of mouth eWOM on purchase intention. International Journal of Scientific & Technology Research, 8(10), 1–5. Susilowati, D., & Santoso, T. (2021). Analisa pengaruh electronic word of mouth pada media sosial terhadap keputusan pembelian. Jurnal Profitabilitas, 1(2), 95–101.
Sinurat, Islaha, Rumiris, Alfayza, Azka, Erawan, dan Putri 56 Taylor, D. G., & Strutton, D. (2016). Does Facebook usage lead to conspicuous consumption? The role of envy, narcissism and self-promotion. Journal of Research in Interactive Marketing, 10(3), 231–248. https://doi.org/10.1108/JRIM-01-2015-0009 Torres, J. A. S., Arroyo-Cañada, F., Solé-Moro, M., Argila-Irurita, A. (2018). Impact of gender on the acceptance of electronic word-of-mouth (eWOM) information in Spain. Contaduría y Administración, 63(4), 1–19. https://doi.org/10.22201/fca.24488410e.2018.1428 Walsh, J. L., Fielder, R. L., Carey, K. B., & Carey, M. P. (2013). Female college students’ media use and academic outcomes: Results from a longitudinal cohort study. Emerging Adulthood, 1(3), 219–232. https://doi.org/10.1177/2167696813479780
Vol. 7, No. 1, April 2023, 57–68 ISSN 2598-3075 E-ISSN 2614-2279 https://jurnal.unpad.ac.id/jpsp/ Jurnal Psikologi Sains & Profesi (Journal of Psychological Science & Profession) Agentic Engagement Peserta Didik Selama Pembelajaran Daring: Pengaruh Motivasi Intrinsik dan Perceived Teacher Autonomy Support Surayya Sakinah, Linda Primana*, Erreina Saifa Aurelian, dan Kandida Dita Kusumadewi Universitas Indonesia *E-mail: [email protected] Abstrak Pandemi COVID-19 berdampak kepada pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Berdasarkan kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan pendidikan sekolah dasar hingga perguruan tinggi, perubahan pembelajaran tatap muka di sekolah selama masa pandemi menjadi belajar dari rumah (BDR) diterapkan pada seluruh tingkat pendidikan melalui pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring. Peserta didik membutuhkan adaptasi untuk melakukan PJJ agar tetap terjaga keterlibatannya selama proses pembelajaran. Keterlibatan belajar peserta didik dalam PJJ, membutuhkan adanya interaksi secara timbal balik antara guru dan peserta didik, yang disebut sebagai agentic engagement. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support yang dipersepsikan peserta didik terhadap agentic engagement dalam PJJ pada masa pandemi COVID-19. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik non-probability sampling. Partisipan penelitian ini adalah sejumlah 333 peserta didik tingkat SMA Negeri kelas XII di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Alat ukur yang digunakan yaitu Agentic Engagement Scale, Questionnaire Motivation Dimension, dan Learning Climate Questionnaire. Analisis regresi berganda dengan menggunakan IBM Statistic Package for Social Science (IBM SPSS Statistic Version 26.0) menunjukkan bahwa agentic engagement dapat diprediksi oleh motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support sebesar 34.5% (R 2 = .345, p < .05). Untuk dapat terlibat secara aktif dan berkontribusi dalam PJJ, peserta didik diharapkan memiliki motivasi yang sifatnya internal dan mempersepsikan adanya dukungan otonomi dari guru dalam belajar. Kata kunci: keterlibatan agen, motivasi intrinsik, persepsi dukungan otonomi guru, pembelajaran jarak jauh (PJJ) di SMA, belajar dari rumah (BDR) Student Agentic Engagement During Online Learning: The Effect of Intrinsic Motivation and Perceived Teacher Autonomy Support Abstract The COVID-19 pandemic had an impact on the implementation of learning in schools. Based on the government’s policy regarding face-to-face learning education in schools during the pandemic, learning from home is applied to all levels of education through distance learning. Students need to adapt to distance learning to maintain their involvement during the learning process. Student learning engagement in distance learning requires reciprocal interaction between teachers and students, known as agentic engagement. This study aims to determine the effect of intrinsic motivation and perceived teacher autonomy support by students on agentic engagement in PJJ during the COVID-19 pandemic. This study uses quantitative non-probability sampling, namely convenience sampling. The participants of this study are 333 students of class XII SMA in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi (Jabodetabek). The measuring instruments used are the Questionnaire Motivation Dimension, Learning Climate Questionnaire, and Agentic Engagement Scale. Multiple regression analysis using the IBM Statistical Package for Social Science (IBM SPSS Statistic Version 26.0) showed that intrinsic motivation and perceived teacher autonomy support predict agentic engagement of students by 34.5% (R2 = .345, p < .05). In conclusion, students are expected to have intrinsic motivation and perceived teacher autonomy support to support their engagement in distance learning. Keywords: agentic engagement, intrinsic motivation, perceived teacher autonomy support, distance learning in senior high school, learning from home
Sakinah, Primana, Aurelian, dan Kusumadewi 58 Pendahuluan Sejak munculnya pandemi COVID-19 di Indonesia pada bulan Maret tahun 2020 menjadikan perubahan salah satunya ke bidang pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi secara bersamaan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) melalui daring (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2020). Peserta didik membutuhkan adaptasi agar mampu menghadapi perubahan baru melalui metode PJJ yang dapat memengaruhi kemampuan penyerapan informasi (Purwanto, 2020). Kondisi belajar dari rumah memberi dampak pada keterlibatan belajar peserta didik. PJJ yang dilakukan peserta didik di rumah memiliki banyak tantangan tidak seperti di sekolah dimana lingkungan belajar sudah tertata. Dibutuhkan dukungan dari guru agar peserta didik dapat terlibat dalam belajar dan tetap dapat berprestasi. Guru dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik dengan berupaya memilih bentuk dukungan. Contohnya gaya mengajar yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dan memberikan otonomi kepada peserta didik dalam belajar (Putri et al., 2019). Selain dapat mendorong peserta didik membangun pengetahuannya, gaya mengajar guru yang mendukung otonomi peserta didik juga dapat membangun pengetahuan, membentuk karakter, membimbing perilaku dan kepribadian peserta didik. Suasana belajar yang menyenangkan dapat membuat peserta didik menjadi semakin tertarik untuk berprestasi (Al Khumaero & Arief, 2018). Agentic engagement merupakan salah satu dari empat dimensi yang terdapat di dalam konsep student engagement. Proyek survei dalam National Survey of Student Engagement memperkenalkan student engagement sebagai suatu usaha dari peserta didik agar dapat berpartisipasi ketika proses belajar berlangsung (Kuh, 2001; 2003; 2009). Tiga dimensi dari student engagement, yaitu behavioral engagement yang meliputi perhatian peserta didik terhadap tugas tampak pada usaha dan ketekunan peserta didik; emotional engagement meliputi tidak adanya kebosanan saat belajar, tidak ada kemarahan dan kecemasan, peserta didik tampak memiliki minat dan antusiasme dalam belajar, dan; cognitive engagement yang meliputi strategi dalam pengaturan diri ketika belajar dengan menggunakan strategi berpikir sehingga dirinya terlibat aktif (Fredrick et al., 2004; Lei et al., 2018; Reeve & Tseng, 2011; Shernoff et al., 2016). Penelitian Reeve dan Tseng (2011) terkait keterlibatan peserta didik menemukan dimensi keempat, yaitu agentic engagement. Agentic engagement didefinisikan sebagai keterlibatan peserta didik pada instruksi maupun tugas yang diberikan saat pembelajaran yang menunjukkan kontribusi secara aktif dan konstruktif terhadap proses belajar yang diterima. Agentic engagement memiliki karakteristik proaktif, sadar bahwa dirinya terlibat dalam belajar, mengoptimalkan kesempatan dan sumber daya pembelajaran, berkomunikasi secara aktif dalam membangun sebuah rencana belajar selama aktivitas belajar dan tidak menjadikan alasan bahwa dirinya tidak mampu atau menyalahkan pihak lain seperti guru yang tidak efektif saat mengajar di kelas sebagai kendala dalam pembelajaran (Reeve & Tseng, 2011). Dalam agentic engagement terdapat perilaku seperti turut memberi saran atau masukan saat belajar, menyampaikan sumber informasi tertentu, berkontribusi aktif, mengajukan pertanyaan, dan berkomunikasi tentang hal yang dibutuhkan dan dipikirkan. Hal ini menunjukkan tujuan atau target yang tercapai, berkomunikasi tentang suatu minat atau keinginan, memaksimalkan kesempatan belajar yang dimiliki, menginternalisasi pembelajaran yang didapat secara relevan dengan pengalaman pribadi, berpendapat mengenai ide atau gagasan untuk menemukan solusi atas permasalahan, menggali klarifikasi, menentukan pilihan, dan berkomunikasi tentang hal yang disukai maupun tidak disukai. Selain itu, peserta didik juga berhak meminta bantuan. Contohnya, meminta untuk dibimbing belajar, meminta umpan balik, dan memiliki latar belakang pengetahuan yang bersifat konkret dari konsep yang abstrak (Reeve, 2013; Reeve & Tseng, 2011). Peserta didik yang memiliki agentic engagement berperan aktif dan mampu menciptakan lingkungan belajar yang suportif (Reeve & Shin, 2020). Proses belajar dalam PJJ pada masa pandemi memberikan pengaruh dari penggunaan bentuk dukungan gaya mengajar guru yang mendorong kemandirian peserta didik dapat memunculkan dampak yang signifikan terhadap keterlibatan belajar peserta didik (Cahya, 2020). Peserta didik yang tidak terlibat pada aktivitas di kelas memiliki
Sakinah, Primana, Aurelian, dan Kusumadewi 59 kecenderungan menunjukkan performa yang buruk seperti berisiko putus sekolah (Balfanz et al., 2007). Guru yang memahami peserta didik berkenan untuk memicu peserta didik agar aktif bertanya dan menggali informasi yang belum diketahuinya dari guru sebagai narasumber yang baik (Khunaini & Sholikhah, 2021). Keterlibatan peserta didik dapat dibentuk dari lingkungan sekitar. Guru merupakan salah satu peran yang penting dalam keterlibatan peserta didik (Fredricks et al., 2004). Hal utama sebagai bentuk dukungan dari guru yang memengaruhi keterlibatan peserta didik adalah autonomy support. Sebagai proses aktif yang melibatkan guru mendapati peserta didik merasa diterima dari sudut pandang peserta didik dengan mendengarkan pendapat peserta didik, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk memilah serta mengambil keputusan pada aktivitas kelas. Guru memberikan alasan yang masuk akal mengenai pentingnya peserta didik memberi umpan balik saat menyampaikan suatu materi pelajaran. Guru juga dapat meminta peserta didik untuk mengerjakan tugas, menetapkan aturan dalam kelas yang telah disepakati bersama (Ryan & Deci, 2017). Selain dipengaruhi oleh lingkungan, keterlibatan peserta didik juga didorong oleh motivasi yang berasal dari dalam dirinya (Jang et al., 2010). Motivasi intrinsik dapat membuat energi peserta didik terlihat dalam bentuk perilaku yang proaktif. Misalnya, memusatkan perhatian saat guru menerangkan pembelajaran di kelas karena merasa penting dan terdorong untuk menguasai pelajaran lebih dalam (Skinner & Pitzer, 2012). Perlunya agentic engagement pada waktu pembelajaran ditampilkan peserta didik tergantung dari guru yang menerapkan autonomy support agar peserta didik lebih dapat menerima, mengolah, dan menghayati hal yang dilakukan selama pembelajaran (Rohinsa et al., 2019). Dalam penelitian Chiu (2022), selama pandemi COVID-19, peserta didik dibantu proses belajarnya melalui pembelajaran jarak jauh secara daring, motivasi merupakan hal utama untuk mendukung keterlibatan peserta didik. Guru dapat memberikan dukungan otonomi kepada peserta didik selama pembelajaran jarak jauh secara daring, karena hal tersebut membantu peserta didik merasa dirinya terlibat secara interpersonal (Louwrens & Hartnett, 2015). Penelitian terdahulu terkait agentic engagement peserta didik dalam pembelajaran daring menjelaskan perlunya meningkatkan kesadaran guru mengenai pentingnya agentic engagement dalam pembelajaran daring. Interaksi antara guru dan peserta didik sangat menentukan agentic engagement peserta didik. Proses pembelajaran seyogianya memerhatikan kebutuhan psikologis peserta didik (Dong & Liu, 2020). Terdapat perpaduan faktor internal dan eksternal dalam meningkatkan agentic engagement, salah satunya motivasi peserta didik (Reeve & Tseng, 2011). Motivasi intrinsik yang bersifat noninstrumental dapat memperlihatkan bahwa individu lebih mementingkan dorongan proses keterlibatan pada hasil yang didapatkan dari usaha mereka sendiri (Legault, 2017). Jika memiliki motivasi intrinsik, individu dapat melakukan segala sesuatu dengan senang atau melewati sebuah tantangan dan bukan karena dorongan eksternal ataupun imbalan (Ryan & Deci, 2000). Motivasi intrinsik berawal dari pandangan bahwa manusia cenderung aktif dalam mengembangkan dirinya secara alamiah dengan proaktif (Ryan & Deci, 2000). Jika individu memiliki motivasi intrinsik, terdapat perasaan yang menyenangkan, dihargai dalam mengikuti aktivitas tersebut karena terdapat spontanitas pengalaman yang menarik (Deci et al., 2017). Hal ini berkaitan dengan motivasi intrinsik pada peserta didik dalam pembelajaran. Mereka tidak bergantung pada penghargaan atau hadiah dari orang lain karena baginya, hadiah adalah perasaan puas yang ada pada diri sendiri (Ryan & Deci, 2017). Motivasi yang sifatnya otonom dan berasal dari dalam diri (autonomous motivation) memang terbukti memiliki korelasi yang positif dengan agentic engagement (Reeve, 2013). Selanjutnya, Reeve (2013) menemukan terdapat peningkatan agentic engagement jika guru terampil dalam mengajar. Pengalaman yang ditawarkan juga dapat meningkatkan motivasi peserta didik agar terlibat aktif dengan upaya guru memberikan umpan balik yang konstruktif maka peserta didik dapat meregulasi dari aktivitas belajarnya. Winstone et al. (2017) mengemukakan jika pemberian umpan balik oleh guru merupakan kontribusi dari faktor eksternal agentic engagement. Bentuk dari kontribusi berupa umpan balik bergantung pada kualitas hubungan antara guru dan peserta didik (Jonsson, 2013). Dengan demikian, adanya dukungan dari guru terhadap proses pembelajaran
Sakinah, Primana, Aurelian, dan Kusumadewi 60 dapat memengaruhi agentic engagement peserta didik. Persepsi peserta didik terhadap lingkungan belajarnya, terutama dukungan dari guru yang memberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembelajaran, disebut juga sebagai perceived teacher autonomy support (Benlahcene et al., 2021; Reeve, 2013; Reeve & Shin, 2020). Perceived teacher autonomy support adalah persepsi peserta didik pada guru yang mendukung otonomi dalam mengambil keputusan, berkehendak, dan memberikan dorongan moral saat belajar. Guru yang dipersepsikan peserta didik sebagai sosok yang memberi kesepakatan untuk berpendapat, menghargai ide-idenya, dan memberikan umpan balik dapat membuat peserta didik termotivasi dalam belajar karena kebutuhan otonomi peserta didik terpuaskan. Jika guru mendukung peserta didik untuk memiliki otonomi dalam belajar, peserta didik merasa adanya pembelajaran yang diinginkan karena mendapatkan kesempatan untuk mengolah proses berpikirnya (Benlahcene et al., 2021; Reeve & Jang, 2006). Dampak dari perceived teacher autonomy support adalah performa dan suasana kelas dapat lebih kondusif karena suasana belajar diwarnai dengan inisiatif para peserta didik yang kreatif, adaptif, adanya pemahaman konseptual yang baik, percaya diri, tekun, serta memiliki emosi positif (Ryan & Deci, 2017). Dengan merujuk pada permasalahan yang dipaparkan di awal tulisan ini, peserta didik mengalami tantangan dalam menjalani pendidikannya pada masa pandemi COVID-19 melalui pembelajaran jarak jauh atau belajar dari rumah (BDR). Peserta didik dituntut untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran daring. Begitu pula dengan guru yang perlu menyesuaikan instruksi pembelajaran. Dalam konteks pembelajaran daring, peserta didik diharapkan aktif memiliki inisiatif untuk bertanya dan berkontribusi dalam pembelajaran. Di pihak lain, guru perlu mendorong dan mendukung peserta didik untuk bebas mengemukakan pendapatnya. Dengan kata lain, agentic engagement peserta didik sangat penting demi prestasi belajarnya. Telah disampaikan dalam pemaparan tentang riset-riset sebelumnya bahwa motivasi intrinsik sebagai faktor internal dan faktor eksternal perceived teacher autonomy support sebagai yang dipersepsikan peserta didik terhadap gurunya dapat memengaruhi agentic engagement peserta didik. Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui seberapa besar pengaruh motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support secara bersama-sama memprediksi agentic engagement peserta didik SMA Negeri kelas XII di Jabodetabek dalam PJJ pada masa pandemi karena penelitian agentic engagement sebelumnya di Indonesia lebih banyak dilakukan sebelum pandemi pada mahasiswa dan sekolah menengah pertama. Penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), mengingat jumlah penambahan kasus COVID-19 masih tinggi di wilayah tersebut dan adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat (Saptoyo, 2021), sehingga pembelajaran yang seharusnya berlangsung di sekolah jadi dilakukan di rumah. Penelitian ini diharapkan memperkaya ilmu pengetahuan khususnya pada bidang psikologi pendidikan, terutama mengenai agentic engagement yang belum banyak diteliti di Indonesia. Penelitian ini berfokus pada motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support yang memprediksi agentic engagement peserta didik. Hal ini menjadi wawasan bagi guru, konselor, ataupun psikolog sekolah untuk menginformasikan ke peserta didik tentang dorongan dari dalam diri mereka yang dapat berperan penting untuk memengaruhi keterlibatan peserta didik dalam belajar selama proses PJJ agar lebih optimal saat menjalani pembelajaran, memberikan pendapat, dan merasa ingin terlibat secara aktif pada aktivitas pembelajaran. Metode Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif noneksperimental karena tidak ada manipulasi atau pemberian perlakuan terhadap responden (Gravetter & Forzano, 2018). Metode pengambilan sampel adalah nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling. Kriteria partisipan penelitian ini adalah peserta didik SMA Negeri kelas XII di wilayah Jabodetabek, dengan pengumpulan data yang dilakukan menggunakan Google Form. Partisipan berjumlah 333 peserta didik kelas XII SMA Negeri di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek); berjenis kelamin perempuan dan laki-laki; berusia 16, 17, dan 18 tahun, dan; sedang atau setidaknya
Sakinah, Primana, Aurelian, dan Kusumadewi 61 pernah mengalami pembelajaran daring minimal satu tahun terakhir, dengan mengambil peminatan IPA dan IPS. Metode yang digunakan dalam penelitian ini sudah direkomendasikan untuk perhitungan sample size serta power analysis, yaitu dengan G*Power, karena tidak dipungut biaya dan mudah digunakan (Kang, 2021). Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini melakukan proses perekrutan partisipan dengan formulir Google Form. Pada Google Form, dimulai dengan pembuka, data diri (berisikan data demografis peserta didik), lembar consent (persetujuan), dan terakhir berisi debriefing penelitian. Peneliti juga mengatur calon partisipan yang tidak memenuhi kriteria tidak dapat mengisi kuesioner pada tautan yang telah disediakan dan langsung diarahkan ke bagian akhir tautan. Formulir disebarluaskan melalui kenalan peneliti, rekan satu payung penelitian yang telah memenuhi kriteria melalui media sosial, dan pengambilan data langsung pada peserta didik kelas XII SMA Negeri di Jakarta. Penelitian ini menggunakan tiga instrumen alat ukur, yaitu alat ukur agentic engagement, motivasi intrinsik, dan perceived teacher autonomy support. Agentic engagement diukur menggunakan Agentic Engagement Scale (AES) yang dikembangkan oleh Reeve dan Tseng (2011). Alat ukur ini merupakan self-report berisi lima pernyataan dengan tujuh poin skala Likert (1 = sangat tidak setuju sampai dengan 7 = sangat setuju). Berdasarkan masukan dari expert judgment, terdapat dua pernyataan dari skala asli yang mengandung pengertian ganda sehingga satu pernyataan dipecah menjadi dua pernyataan. Pernyataan “I let my teacher know what I need and want” menjadi “Saya memberitahu guru saya apa yang saya butuhkan; Saya memberitahu guru tentang apa yang saya inginkan”, dan “During this class, I express my preferences and opinions” menjadi “Selama pembelajaran, saya menyampaikan hal yang saya suka; Selama pembelajaran, saya menyampaikan pendapat saya”. Motivasi intrinsik diukur menggunakan Questionnaire of Motivation Dimensions (QMD) yang diciptakan oleh Maulana et al. (2011). Alat ukur berbasis self-report ini berisi enam belas pernyataan yang mengukur motivasi belajar peserta didik dalam kategori introjected, identified, internalized, dan intrinsik. Penilaian dalam alat ukur terdiri dari lima poin skala Likert dengan pilihan jawaban 1 = sangat tidak setuju hingga 5 = sangat setuju. Salah satu contoh pernyataan dalam QMD yaitu “Saya belajar karena belajar merupakan pilihan aktivitas yang bermanfaat buat saya”. Perceived teacher autonomy support diukur menggunakan The Learning Climate Questionnaire (LCQ) yang merupakan instrumen student self-report milik Williams dan Deci (1996). Peneliti menggunakan versi pendek enam bulir pernyataan yang disebut sebagai LCQ-6. Penilaian LCQ-6 menggunakan tujuh poin skala Likert dengan 1 = sangat tidak setuju, 4 = netral, dan 7 = sangat setuju. Proses adaptasi alat ukur LCQ ke dalam bahasa Indonesia telah dilakukan sebelumnya oleh Salsabila (2012) yang meneliti autonomy support dengan keterlibatan peserta didik dalam belajar. Contoh bulir pernyataannya yaitu “Saya merasa guru menyetujui cara apapun yang saya gunakan dalam penyelesaian tugas”. Ketiga instrumen penelitian telah mengalami proses adaptasi melalui translasi bahasa, expert judgment oleh dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang memiliki kepakaran di bidang Psikologi Pendidikan, uji keterbacaan pertama pada lima belas peserta didik SMA, dan uji coba yang dilakukan pada 39 peserta didik SMA. Hasil pengujian psikometri pada ketiga instrumen penelitian menunjukkan bahwa ketiga instrumen memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang baik untuk mengukur masing-masing konstruk dengan nilai reliabilitas AES sebesar α = .84, QMD sebesar α = .71, dan LCQ-6 sebesar α = .90. Nilai Cronbach’s alpha di atas .6 dapat diterima berdasarkan Ursachi et al. (2015), maka dapat disimpulkan bahwa ketiga alat ukur tersebut memiliki konsistensi dalam mengukur variabel penelitian. Hasil uji validitas bulir ketiga alat ukur berkisar antara .30–.73, yang berarti sudah memenuhi kriteria validitas bulir yang baik (Kaplan & Saccuzzo, 2013). Teknik analisis data menggunakan analisis regresi berganda pun digunakan untuk menguji sejauh mana motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support dalam memprediksi agentic engagement. Proses pengolahan data melalui analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak IBM Statistic Package for Social Science (IBM SPSS Statistics Version 26.0).
Sakinah, Primana, Aurelian, dan Kusumadewi 62 Hasil Setelah melakukan pengambilan data, diperoleh 333 partisipan dari peserta didik kelas XII jenjang pendidikan menengah atas di Jabodetabek. Berikut ini adalah gambaran persebaran data demografis partisipan. Tabel 1. Karakteristik Partisipan Karakteristik n % Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki 236 97 70.9 29.1 Jurusan IPA IPS 214 119 64.3 35.7 Usia 16 tahun 17 tahun 18 tahun 13 270 50 3.9 81.1 15 Asal Domisili Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi 284 18 10 7 14 85.3 5.4 3 2.1 4.2 Sebagian besar dari partisipan penelitian ini berjenis kelamin perempuan (70.9%). Apabila dilihat dari jurusannya, terdapat 214 peserta didik jurusan IPA dan 119 peserta didik jurusan IPS. Berdasarkan usia, dapat disimpulkan bahwa seluruh partisipan berada dalam tahap perkembangan remaja. Berdasarkan asal domisili, mayoritas sekolah berasal dari Jakarta (85.29%). Tidak meratanya persebaran domisili partisipan penelitian disebabkan oleh penelitian yang lebih banyak tersebar di Jakarta daripada di daerah lain. Pada Tabel 2, diketahui bahwa partisipan memiliki agentic engagement pada kegiatan belajar di kelas (M =4.96, SD = 1.06) yang berarti partisipan memiliki agentic engagement selama PJJ. Selain itu motivasi intrinsik memeroleh rerata yang lebih rendah (M = 3.51, SD = .50) daripada perceived teacher autonomy support (M = 4.77, SD = 1.07). Hal ini menunjukkan bahwa partisipan cenderung membutuhkan bentuk dukungan dari guru secara kondusif daripada motivasi dari dalam diri mereka sendiri untuk terlibat secara aktif selama PJJ. Tabel 2. Hasil Deskriptif Data Variabel N Skala Likert Min. Maks. M SD Agentic engagement 333 1-7 2.29 7.00 4.96 1.06 Motivasi intrinsik 333 1-5 1.69 4.88 3.51 .50 Perceived teacher autonomy support 333 1-7 2.00 7.00 4.77 1.07 Berdasarkan kategorisasi data pada Tabel 3, terlihat agentic engagement berada pada kategorisasi yang tinggi (N = 172) dan perceived teacher autonomy support memprediksi agentic engagement peserta didik yang tinggi pula (N = 169). Sementara itu, pada motivasi intrinsik peserta didik memprediksi agentic engagement peserta didik dalam kategorisasi
Sakinah, Primana, Aurelian, dan Kusumadewi 63 tingkat sedang (N = 196). Artinya perceived teacher autonomy support dengan kategori lebih tinggi lebih memungkinkan untuk memprediksi agentic engagement peserta didik dibandingkan motivasi intrinsik yang berada pada kategori sedang. Tabel 3. Kategorisasi Data Variabel M SD Rendah Sedang Tinggi N % N % N % Agentic engagement 28 7 15 4.5 146 43.8 172 51.7 Motivasi intrinsik 48 10.6 6 1.8 196 58.9 131 39.3 Perceived teacher autonomy support 20 3.3 37 11.1 127 38.1 169 50.8 Hasil uji analisis regresi berganda pada Tabel 4 menunjukkan bahwa motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support secara bersama-sama memprediksi agentic engagement peserta didik dalam PJJ (R2 = .345, F = 86.99, p < .01). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa variabel motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support secara bersama-sama memprediksi agentic engagement peserta didik dalam PJJ sebesar 34.5%. Tabel 4. Hasil Uji Multiple Regression Motivasi Intrinsik dan Perceived Teacher Autonomy Support terhadap Agentic Engagement R R 2 F p .59 .345 86.99 .000** Keterangan: **p. < .001 Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa nilai β motivasi intrinsik adalah sebesar .110 dengan nilai p = .14 < .05. Hal ini menunjukkan variabel motivasi intrinsik memprediksi agentic engagement peserta didik dalam PJJ. Adapun perceived teacher autonomy support memperoleh nilai β sebesar .584 dan p = .000 < .001. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa perceived teacher autonomy support memprediksi agentic engagement peserta didik dalam PJJ. Tabel 5. Prediksi Masing-Masing Variabel Independen Variabel Unstandardized Coeffficients Standardized Coefficients B SE β t p (Constant) 1.409 .404 3.486 .001** Motivasi intrinsik .232 .094 .110 2.468 .014* Perceived teacher autonomy support .574 .044 .584 13.087 .000** Keterangan: *p < .05, **p < .001 Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa terdapat 34.5% motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support secara bersama-sama memprediksi agentic engagement peserta didik SMA Negeri kelas XII di Jabodetabek dalam PJJ. Di samping itu diketahui pula pengaruh masing-masing variabel, yaitu variabel motivasi intrinsik sebesar 11% (β = .110, p = .014 < .05) dan variabel perceived teacher autonomy support memprediksi sebesar 58.4% (β = .584, p = .000 < .05). Pembahasan Peserta didik yang memiliki motivasi intrinsik memprediksi agentic engagement, mereka memperhatikan pelajaran yang berlangsung, mengerjakan tugas yang sesuai dan korespondensi antar peserta didik dengan guru yang
Sakinah, Primana, Aurelian, dan Kusumadewi 64 lancar menggunakan media elektronik. Bukan hanya motivasi intrinsik saja yang memengaruhi agentic engagement, tetapi juga terdapat faktor lainnya, seperti teman sebaya, keterlibatan guru atau orang tua, serta pembelajaran dari lingkungan setempat. Beberapa penelitian mendukung adanya hubungan positif yang selaras antara perceived teacher autonomy support dengan agentic engagement. Dari hasil penelitian ini, diperoleh 34.5% motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support secara bersamaan memprediksi agentic engagement. Hal tersebut menunjukkan sebesar 65.5% faktor-faktor lain yang memberikan kontribusi pada agentic engagement, seperti dukungan dari orang tua (Kurt & Tas, 2018), pemberian umpan balik dari guru, lamanya pengalaman yang diberikan guru saat aktivitas di kelas, ataupun keterampilan dari guru (Reeve, 2012; Reeve, 2013; Reeve & Tseng, 2011). Dari penelitian ini, peneliti juga melihat peserta didik walaupun dengan kondisi yang tidak bertemu secara fisik tetapi masih tetap mendapatkan kesempatan untuk berkontribusi aktif selama PJJ. Hal ini menandakan pembelajaran yang berlangsung secara daring yang disesuaikan dengan situasi diri mereka sendiri menunjukkan perceived teacher autonomy support dapat memprediksi agentic engagement peserta didik selama pembelajaran daring. Pada penelitian Murayama et al. (2013), dijelaskan bahwa motivasi intrinsik merupakan faktor utama yang sangat penting pada peserta didik karena dapat memunculkan gairah meraih prestasi selama proses belajar. Adanya motivasi intrinsik dalam diri peserta didik dapat meningkatkan minat untuk mendaftarkan diri mengikuti les tambahan demi tercapainya prestasi yang diimpikan oleh peserta didik. Peserta didik yang memiliki motivasi intrinsik di dalam dirinya berkenan untuk memunculkan ide, mengungkapkan perasaan, memberikan umpan balik yang positif dalam pembelajaran, memecahkan masalah secara kreatif dan mengerjakan tugas sekolah yang logis (Froiland et al., 2016). Penelitian Reeve (2013) menunjukkan bahwa perceived teacher autonomy support dan agentic engagement memiliki nilai korelasi sebesar .44, yang berarti terdapat hubungan antara perceived teacher autonomy support dengan agentic engagement. Penelitian Hart et al. (2019) menemukan peserta didik pada sesi luring memiliki performa akademik yang buruk, begitu pula saat pembelajaran daring berlangsung peserta didik tersebut tidak menampilkan kemampuan yang optimal. Perceived teacher autonomy support diharapkan mampu menolong peserta didik dalam mencapai target yang objektif selama proses belajar (Hafen et al., 2012; Ryan & Deci, 2000). Proses belajar tentunya menghasilkan sebuah prestasi dari peserta didik. Berdasarkan penelitian dari Pratama (2019), ditemukan adanya korelasi positif antara perceived teacher autonomy support dan prestasi belajar peserta didik, dengan sumbangan efektif sebesar 5.1% dari perceived teacher autonomy support terhadap prestasi belajar peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa perceived teacher autonomy support membuat peserta didik semakin berprestasi dalam suatu mata pelajaran di kelasnya. Peserta didik memiliki banyak persiapan demi menunjang tujuan dan rencana setelah lulus SMA, sehingga aktivitas yang dilakukan tidak hanya fokus untuk meraih prestasi dan pengembangan diri mereka sendiri, tetapi juga orientasi untuk memasuki perguruan tinggi yang diimpikan. Peserta didik memerlukan dukungan guru yang fleksibel untuk memberi masukan dari perspektif dan kondisi peserta didik. Tujuannya agar peserta didik lebih aktif terlibat pada kegiatan pembelajaran. Perceived teacher autonomy support mampu memberikan sumbangsih selama proses belajar pada peserta didik untuk meraih target pendidikan yang mereka inginkan (Hafen et al., 2012; Ryan & Deci, 2000). Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan variabel agentic engagement, motivasi intrinsik, dan perceived teacher autonomy support. Maka dapat dikatakan penelitian ini masih kurang komprehensif. Penelitian dengan metode lainnya memungkinkan untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam terkait motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support yang memprediksi agentic engagement peserta didik. Namun secara keseluruhan, penelitian ini memiliki manfaat untuk membantu penelitian agentic engagement, motivasi intrinsik, dan perceived teacher autonomy support.
Sakinah, Primana, Aurelian, dan Kusumadewi 65 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support secara bersama-sama dapat memprediksi agentic engagement peserta didik SMA Negeri kelas XII di Jabodetabek dalam PJJ selama masa pandemi. Motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support secara bersama-sama memengaruhi agentic engagement peserta didik dalam PJJ. Peserta didik yang termotivasi secara intrinsik dapat terlibat secara aktif pada pembelajaran di kelas. Dukungan otonomi dari guru yang dipersepsikan peserta didik pun turut memengaruhi keterlibatan peserta didik dalam PJJ pada masa pandemi. Dengan demikian keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran akan menjadi lebih optimal jika mereka memiliki motivasi intrinsik dan memersepsikan gurunya mendukung otonominya dalam belajar. Peserta didik akan lebih aktif dalam mengajukan pertanyaan, mengutarakan pendapat, dan terlibat dalam interaksi yang timbal balik dengan gurunya. Implikasi dari penelitian ini bukan hanya penting untuk peserta didik, tetapi juga dapat memberikan wawasan bagi guru, psikolog pendidikan, ataupun psikolog sekolah. Para psikolog dapat membuat atau mengembangkan intervensi, memberikan webinar, seminar, workshop, pelatihan, psikoedukasi, atau bentuk lainnya kepada peserta didik, orang tua, dan guru mengenai pentingnya agentic engagement kepada peserta didik. Psikolog pendidikan atau psikolog sekolah juga dapat mengambil tema agentic engagement untuk bahan psikoedukasi kepada peserta didik, guru, dan orang tua selama pembelajaran daring dan pembelajaran tatap muka. Selain itu, guru, psikolog pendidikan, atau psikolog sekolah dapat mengenali motivasi para peserta didik untuk mendorong peserta didik agar lebih aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Penelitian ini dilakukan pada peserta didik SMA Negeri kelas XII di wilayah Jabodetabek. Penelitian selanjutnya disarankan dapat dilakukan dengan cakupan wilayah yang lebih luas dan jumlah partisipan yang lebih banyak untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat mengenai pengaruh motivasi intrinsik dan perceived teacher autonomy support terhadap agentic engagement dalam PJJ. Selain itu, variabel-variabel lain yang dapat memengaruhi agentic engagement, seperti dukungan dari teman belajar, dukungan orang tua, dan iklim sekolah, juga dapat diteliti untuk mengetahui besaran perannya sebagai prediktor terhadap agentic engagement. Daftar Pustaka Al Khumaero, L., & Arief, S. (2018). Pengaruh gaya mengajar guru, disiplin belajar, dan teman sebaya terhadap prestasi belajar. Economic Education Analysis Journal, 6(3), 698–710. Balfanz, R., Herzog, L., & Mac Iver, D. J. (2007). Preventing student disengagement and keeping students on the graduation path in urban middle-grades schools: Early identification and effective interventions. Educational Psychologist, 42(4), 223–235. https://doi.org/10.1080/00461520701621079 Benlahcene, A., Awang-Hashim, R., Kaur, A., & Wan-Din, W. (2021). Perceived autonomy support and agentic engagement among Malaysian undergraduates: The mediatory role of personal best goals. Journal of Further and Higher Education, 1–13. https://doi.org/10.1080/0309877x.2021.1879743 Cahya, L. (2020). Pengaruh gaya mengajar guru terhadap motivasi belajar siswa kelas 3 SDN Ngebruk 01 Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Seminar Nasional Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (pp. 461-471). Chiu, T. K. F. (2022). Applying the self-determination theory (SDT) to explain student engagement in online learning during the COVID-19 pandemic. Journal of Research on Technology in Education, 54(S1), S14–S30. https://doi.org/10.1080/15391523.2021.1891998
Sakinah, Primana, Aurelian, dan Kusumadewi 66 Deci, E. L., Olafsen, A. H., & Ryan, R. M. (2017). Self determination theory in work organizations: The state of a science. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, 4(1), 19–43. doi:10.1146/annurev-orgpsych-032516-113108 Dong, Y., Liu, S. (2020). An investigation into students’ agentic engagement in online english listening learning. Journal of Language Teaching and Research, 11(3), 409–417. http://dx.doi.org/10.17507/jltr.1103.09 Fredricks, J. A., Blumenfeld, P. C., & Paris, A. H. (2004). School engagement: Potential of the concept, state of the evidence. Review of Educational Research, 74(1), 59–109. https://doi.org/10.3102/00346543074001059 Froiland, J. M., Davison, M. L., & Worrell, F. C. (2016). Aloha teachers: Teacher autonomy support promotes Native Hawaiian and Pacific Islander students’ motivation, school belonging, course-taking, and math achievement. Social Psychology of Education, 19(4), 879–894. https://doi.org/10.1007/s11218-016-9355-9 Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2018). Research methods for the behavioral sciences. (6th ed.). Canada: Cengage Learning. Hafen, C. A., Allen, J. P., Mikami, A. Y., Gregory, A., Hamre, B., & Pianta, R. C. (2012). The pivotal role of adolescent autonomy in secondary school classrooms. Journal of Youth and Adolescence, 41, 245– 255. https://doi.org/10.1007/s10964-011-9739-2 Hart, C. M., Berger, D., Jacob, B., Loeb, S., & Hill, M. (2019). Online learning, offline outcomes: Online course taking and high school student performance. AERA Open, 5(1), 1–17. https://doi.org/10.1177/2332858419832852 Jang, H., Reeve, J., & Deci, E. L. (2010). Engaging students in learning activities is not autonomy support or structure but autonomy support and structure. Journal of Educational Psychology, 102(3), 588–600. https://doi.org/10.1037/a0019682 Jonsson, A. (2013). Facilitating productive use of feedback in higher education. Active Learning in Higher Education. 14, 63-76. doi:10.1177/ 1469787412467125 Kang, H. (2021). Sample size determination and power analysis using the G*Power software. Journal of Educational Evaluation for Health Professions, 18, 17. https://doi.org/10.3352/jeehp.2021.18.17 Kaplan, R.M., Saccuzzo, D. P. (2013). Psychological testing: Principles, applications, and issues. (9th ed). Boston: Cengage Learning. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2020). Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19). Khunaini, N., & Sholikhah, N. (2021). Pengaruh penggunaan learning management system Google Classroom dan gaya mengajar guru terhadap motivasi belajar pada pembelajaran daring. Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(5), 2079– 2091. https://doi.org/10.31004/edukatif.v3i5.737 Kuh, G. D. (2001). Assessing what really matters to student learning: Inside the national survey of student engagement. Change: The Magazine of Higher Learning, 33(3), 10–17. https://doi.org/10.1080/00091380109601795 Kuh, G. D. (2003). What we're learning about student engagement from NSSE: Benchmarks for effective educational practices. Change: The Magazine of Higher Learning, 35(2), 24–32. https://doi.org/10.1080/00091380309604090 Kuh, G. D. (2009). What student affairs professionals need to know about student engagement. Journal of College Student Development, 50(6), 683–706. https://doi.org/10.1353/csd.0.0099 Kurt, U., & Tas, Y. (2018). The relationships between parental involvement, students’ basic psychological needs and students’ engagement in science: A path analysis. Journal of Education in Science, Environment, and Health, 4(2), 183–192. https://doi.org/10.21891/jeseh.436730 Legault, L. (2017). Self-determination theory. Encyclopedia of Personality and Individual Differences, 1-9. https://doi.org/10.1007/978-3-319-28099-8_1162-1
Sakinah, Primana, Aurelian, dan Kusumadewi 67 Lei, H., Cui, Y., & Zhou, W. (2018). Relationships between student engagement and academic achievement: A metaanalysis. Social Behavior and Personality: An International Journal, 46(3), 517– 528. https://doi.org/10.2224/sbp.7054 Louwrens, N., & Hartnett, M (2015). Student and teacher perceptions of online student engagement in an online middle school. Journal of Open, Flexible and Distance Learning, 19(1), 27–43. Maulana, R., Opdenakker, M. C., den Brok, P., & Bosker, R. (2011). Teacher–student interpersonal relationships in Indonesia: profiles and importance to student motivation. Asia Pacific Journal of Education, 31(01), 33–49. https://doi.org/10.1080/02188791.2011.544061 Murayama, K., Pekrun, R., Lichtenfeld, S., & Vom Hofe, R. (2013). Predicting long-term growth in students’ mathematics achievement: The unique contributions of motivation and cognitive strategies. Child Development, 84(4), 1475–1490. http://doi.org/10.1111/cdev.12036. Pratama, M. (2019). Peran dukungan otonomi guru terhadap prestasi belajar matematika siswa. Jurnal Riset Aktual Psikologi, 10(2), 182. https://10.24036/rapun.v10i2.106675 Purwanto, A. (2020). The impacts of leadership and culture on work performance in service company and innovative work behavior as mediating effects. Journal of Research in Business, Economics, and Education, 2(1), 283–291. https://doi.org/ 10.13140/RG.2.2.20095.36001 Putri, V. J., Subarno, A., & Susantiningrum. (2019). Pengaruh gaya mengajar guru dan perhatian orang tua terhadap motivasi belajar siswa di SMK Batik 1 Surakarta. Jurnal Informasi dan Komunikasi Administrasi Perkantoran, 3, 32–39. https://doi.org/10.20961/jikap.v3i4.35511 Reeve, J. (2012). Handbook of research on student engagement. New York: Springer Science + Business Media. Reeve, J. (2013). How students create motivationally supportive learning environments for themselves: The concept of agentic engagement. Journal of Educational Psychology, 105, 579–595. https://doi.org/10.1037/a0032690 Reeve, J., & Jang, H. (2006). What teachers say and do to support students' autonomy during a learning activity. Journal of Educational Psychology, 98(1), 209–218. https://doi.org/10.1037/0022-0663.98.1.209 Reeve, J., & Shin, S. (2020). How teachers can support students’ agentic engagement. Theory Into Practice, 59(2), 150– 161. https://doi.org/10.1080/00405841.2019.1702451 Reeve, J., & Tseng, C. (2011). Agency as a fourth aspect of students’ engagement during learning activities. Contemporary Educational Psychology, 36(4), 257–267. https://doi.org/10.1016/j.cedpsych.2011.05.002 Rohinsa, M., Djunaidi., & Cahyadi, S. (2019). Peran teacher autonomy support terhadap engagement siswa melalui pemenuhan kebutuhan psikologis dasar. Jurnal Psikologi, 15(2). http://dx.doi.org/10.24014/ jp.v14i2.7423 Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2017). Self-determination theory: basic psychological needs in motivation, development, and wellness. New York: Guilford Press. Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68–78. https://doi.org/10.1037/0003-066x.55.1.68 Salsabila, A. (2012). Hubungan antara dukungan kemandirian dari guru dan keterlibatan peserta didik dalam belajar [Skripsi, Universitas Indonesia Depok]. Saptoyo, R. D. A. (2021). 7 hari PPKM darurat, mobilitas masyarakat turun hingga 15 persen. Kompas. https://www.kompas.com/tren/read/2021/07/13/111053565/7-hari-ppkm-darurat-mobilitas-masyarakatturun-hingga-15-persen?page=all Shernoff, D. J., Kelly, S., Tonks, S. M., Anderson, B., Cavanagh, R. F., Sinha, S., & Abdi, B. (2016). Student engagement as a function of environmental complexity in high school classrooms. Learning and Instruction, 43, 52–60. https://doi.org/10.1016/j.learninstruc.2015.12.003
Sakinah, Primana, Aurelian, dan Kusumadewi 68 Skinner, E. A., & Pitzer, J. R. (2012). Handbook of research on student engagement. New York: Springer Science. Ursachi, G., Horodnic, I. A., & Zait, A. (2015). How reliable are measurement scales? External factors with indirect influence on reliability estimators. Procedia Economics and Finance, 20, 679–686. https://doi.org/10.1016/s2212- 5671(15)00123-9 Williams, G. C., & Deci, E. L. (1996). Internalization of biopsychosocial values by medical students: A test of selfdetermination theory. Journal of Personality and Social Psychology, 70(4), 767–779. https://doi.org/10.1037/0022-3514.70.4.767 Winstone, N. E., Nash, R. A., Parker, M., & Rowntree, J. (2017). Supporting learners' agentic engagement with feedback: A systematic review and a taxonomy of recipience processes. Educational Psychologist, 52(1), 17– 37. https://doi.org/10.1080/00461520.2016.1207538
Self-Acceptance dan Infertility-Related Stress Dunamis Talitha Exousia Pelupessy, Diah Widiawati Retnoningtias*, dan I Rai Hardika Program Studi Psikologi, Universitas Dhyana Pura *E-mail: [email protected] Abstrak Wanita diharapkan mampu menerima diri dengan kondisi infertilitas agar mengurangi tekanan psikologis. Faktanya, wanita yang mengalami infertilitas cenderung memiliki penerimaan diri rendah yang berdampak terhadap stres. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara self-acceptance dan infertility-related stress pada wanita. Karakteristik subjek penelitian adalah berjenis kelamin perempuan dan belum memiliki anak setelah menikah selama minimal dua belas bulan. Sampel penelitian berjumlah 68 orang dan didapatkan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Self-acceptance diukur dengan Unconditional Self-acceptance Questionnaire – Short Scale milik Popov dan Sokic (2022). Infertility-related stress diukur dengan Copenhagen Multi-Center Infertility Psychosocial Infertility-Fertility Problem Stress Scale dari Sobral et al. (2017). Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik product moment Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self-acceptance berkorelasi negatif dengan infertility–related stress (p = .009 < .05). Dengan kata lain semakin tinggi self-acceptance, maka infertility-related stress yang dirasakan akan semakin menurun. Sementara itu semakin rendah self-acceptance, maka semakin meningkat infertility-related stress. Temuan ini menunjukkan bahwa self-acceptance mampu dicapai dengan adanya dukungan dari lingkungan sosial. Wanita dengan kondisi infertilitas memerlukan dukungan positif dan bukan stigma negatif terkait infertilitas. Temuan ini dapat memunculkan ide penelitian selanjutnya mengenai intervensi berbasis self-acceptance pada wanita dengan kondisi infertilitas. Kata kunci: self-acceptance, infertility-related stress, wanita dengan infertilitas Self-Acceptance and Infertility-Related Stress Abstract Women are expected to be able to accept themselves with infertility to reduce psychological pressure. Women who experience infertility tend to have low self-acceptance which has an impact on stress. This ideal condition, which expects women to be able to accept themselves with infertility conditions, is contrary to the fact that there is a tendency for low self-acceptance in women with infertility conditions. Previous studies conducted a study of infertility-related stress which is related to other psychological constructs but has not been linked to self-acceptance. Studies on self-acceptance and infertility-related stress are important to do because a link between self-acceptance and infertility-related stress can help women work on self-acceptance. This study aims to examine the relationship between self-acceptance and infertility–related stress in women. The characteristics of research subjects were female and had not bear any children after being married for at least one year. The research sample consisted of 68 people and was obtained using purposive sampling technique. Self-acceptance was measured using Popov & Sokic (2022)'s Unconditional Self-acceptance Questionnaire - Short Scale. Infertility-related stress was measured with the Copenhagen Multi-Center Infertility Psychosocial Infertility-Fertility Problem Stress Scale from Sobral et al (2017). Data analysis was performed using Pearson's product moment technique. The results show that self-acceptance has a negative correlation with infertility–related stress (p = .009 < .05). This shows that the higher the self-acceptance, the lower the perceived infertility-related stress. Meanwhile, the lower the self-acceptance, the higher the infertility-related stress. These findings indicate that self-acceptance can be achieved with the support of the social environment. Women with infertility conditions need positive support and not negative stigma related to infertility. These findings can lead to further research ideas regarding self-acceptance-based interventions in women with infertility conditions. Keywords: self-acceptance, infertility-related stress, women with infertility
70 Pendahuluan Gagasan mengenai betapa indahnya memiliki anak telah lama dikampanyekan oleh masyarakat. Banyak budaya memandang bahwa menjadi orang tua merupakan salah satu ketentuan penting untuk mencapai pencapaian pribadi, penerimaan sosial, serta pemenuhan identitas seksual (Chehreh et al., 2018). Pandangan bahwa memiliki anak merupakan komponen penting dalam perkawinan mampu membuat individu merasa telah mencapai penerimaan sosial ketika memiliki anak sendiri. Hal tersebut dapat dikarenakan adanya pengaruh budaya, seperti ekspektasi dan tekanan tinggi bagi sepasang suami-istri untuk memiliki anak (Hajela et al., 2016). Memiliki anak juga dipandang sebagai bukti dari womanhood atau manhood (Hajela et al., 2016). Artinya, kunci dari pencapaian pribadi terletak pada pembuktian dari womanhood atau manhood yang bisa tercapai ketika memiliki anak sendiri. Selebihnya, memiliki anak merupakan suatu hal yang diharapkan dari aktivitas seksual dalam hubungan pernikahan (Shafaie et al., 2014). Poin tersebut dapat menjelaskan bahwa memiliki anak sendiri menimbulkan rasa pemenuhan identitas seksual sebagai pasangan suami istri. Gagasan tersebut berkontribusi terhadap keinginan suami istri untuk memiliki, membesarkan, dan mendidik anak sendiri. Wanita memandang memiliki anak sebagai hal yang penting, yaitu memunculkan rasa terpenuhi dan meningkatkan self-esteem karena telah memenuhi ekspektasi diri sebagai wanita dan lingkungan sosial, serta mendapat alasan untuk hidup (Cernigliaro et al., 2018). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pihak wanita secara dominan menjadi kunci dari keputusan untuk memiliki anak. Kondisi medis terkait ketidakmampuan memiliki anak dikenal dengan istilah infertilitas. World Health Organization menyatakan bahwa infertilitas adalah penyakit sistem reproduksi yang menyebabkan ketidakmampuan untuk hamil setelah minimal dua belas bulan melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa pengaman. Infertilitas primer merujuk pada ketidakmampuan untuk hamil dalam dua belas bulan berhubungan seksual tanpa pengaman, sementara infertilitas sekunder merujuk pada ketidakmampuan untuk hamil kembali atau mempertahankan kehamilan (HIFERI et al., 2013). Penyebab infertilitas berbeda antara wanita dan pria. Pada wanita, infertilitas disebabkan oleh 15% faktor tuba dan pelvik, 15% faktor ovulasi, 5% faktor polip endometrium dan kelainan uterus. Sementara itu, infertilitas pada pria disebabkan oleh 33% faktor abnormalitas, jumlah, kemampuan gerak sperma, dan morfologi sperma (Pasaribu et al., 2019). Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui dengan jelas bahwa penyebab infertilitas terletak setara pada wanita dan pria. Data yang tersedia oleh World Health Organization menunjukkan bahwa antara 48 juta pasangan dan 186 juta individu mengalami infertilitas. Sebagian besarnya merupakan penduduk di negara berkembang yang berjumlah 186 juta pasangan yang mengalami infertilitas (Pasaribu et al., 2019). Data ini menunjukkan maraknya kasus infertilitas yang patut untuk diberi perhatian sehingga sebuah prevensi terhadap faktor risiko infertilitas dapat dilakukan. Badan Pusat Statistik mengeluarkan data pada tahun 2012 mengenai kasus infertilitas di Indonesia yang terlihat meningkat secara konsisten. Konsensus Penanganan Infertilitas memaparkan data bahwa di antara lima negara, Indonesia berada pada posisi kedua dalam kasus infertilitas di Asia (HIFERI et al., 2013). Data dari Perhimpunan Fertilisasi In Vitro di Indonesia menunjukkan bahwa diperkirakan terdapat 7.5 juta penduduk Indonesia yang berusia reproduktif mengalami infertilitas, dengan 1.3 juta kasus infertil terdapat pada penduduk Jawa Barat (Pasaribu et al., 2019). Selanjutnya, di Bali tercatat ada sejumlah 174 kasus infertilitas yang melakukan tindakan in vitro fertilization pada tahun 2019 (Adnyana et al., 2021). Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa Indonesia memiliki kasus infertilitas yang cukup besar. Infertilitas memiliki dampak besar secara psikis. Infertilitas mampu menyebabkan munculnya gangguan depresi, stres, kecemasan, self-esteem rendah, serta menurunnya kepuasan seksual dan tingkat kualitas hidup (Bakhtiyar, 2019). Kondisi infertilitas mampu membawa stres dan dampak negatif pada aspek psikologis dan sosial individu (Hajela et al., 2016). Wanita dengan kondisi infertilitas mampu menyebabkan stres kronis yang memunculkan gejala-gejala kecemasan dan depresi (Lakatos et al., 2017). Distres yang dirasakan sebagai akibat dari kegagalan dalam usaha untuk hamil lebih besar terjadi pada wanita dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan adanya konstruksi sosial mengenai bagaimana cara wanita dan pria harus merespon situasi negatif (Wischmann & Thorn, 2013). Selain itu, infertilitas juga memunculkan infertility-related stress yang didefinisikan sebagai tekanan yang dirasakan dari lingkungan sosial sekitar, hubungan perkawinan, serta kesehatan fisik dan mental akibat adanya
71 kondisi infertilitas. Tekanan yang disebabkan karena kondisi infertilitas ini mencakup tiga domain, yaitu domain marital, personal, dan sosial (Sobral et al., 2017). Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita Tanzania melaporkan stres infertilitas lebih tinggi daripada wanita di negara dengan tingkat kesuburan rendah (Groene et al., 2021). Penelitian Groene et al. (2021) juga mengemukakan bahwa wanita yang menetap di dalam negara dengan tingkat kesuburan tinggi mengalami tekanan dari ekspektasi sosial mengenai memiliki anak sendiri. Sebanyak 22% pasien di klinik in vitro fertilization mengalami stres akibat kondisi infertilitas dengan gejala yang termanifestasikan dalam bentuk fisik (Wiweko et al., 2017). Studi terdahulu pada 140 wanita dengan infertilitas menunjukkan tingkat stres infertilitas pada wanita adalah 35,71% dengan kategori rendah, 30,71% dengan kategori sedang, 27,86% dengan kategori tinggi, dan 5,71% dengan kategori sangat tinggi, serta wanita dengan usia 26-35 tahun dan usia pernikahan 1-5 tahun lebih rentan mengalami stres (Retnoningtias et al., 2020). Subjek infertil juga diketahui lebih banyak mengalami stres pada domain pribadi dibandingkan dengan domain stres lainnya (Jafarzadeh-Kenarsari et al., 2021). Salah satu coping mechanism untuk mengatasi stres adalah emotion-focused coping, yang artinya individu mencari dukungan emosional, melihat sisi positif dari situasi yang menekan, dan mengimplementasikan penerimaan diri terhadap kondisi yang dialami (Popa et al., 2020). Terdapat suatu bentuk terapi yang berfokus pada membangun penerimaan diri, yaitu acceptance and commitment therapy yang dapat menurunkan infertility-related stress. Studi terdahulu menunjukkan bahwa wanita mengalami penurunan infertility-related stress secara global, serta penurunan sexual infertility stress, social infertility stress, psychological distress, dan depresi setelah melalui acceptance and commitment therapy (Peterson & Eifert, 2011). Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa penerimaan diri merupakan hal penting untuk dimiliki atau diusahakan oleh wanita dengan kondisi infertilitas agar stres yang dialami berkurang. Sejalan dengan itu, penerimaan diri merupakan proses berkelanjutan untuk menghadapi hidup dan diri sendiri dengan jujur (Hoffman et al., 2013). Self-acceptance merujuk pada dua pengertian, yaitu: (1) conditional acceptance, diartikan sebagai penerimaan diri yang muncul karena individu mencapai ekspektasi atau standar tertentu, dan; (2) unconditional acceptance yang merupakan kemampuan individu untuk menerima diri sendiri tanpa bergantung terhadap pendapat atau penerimaan dari orang lain (Popov & Sokic, 2022). Penerimaan diri meliputi beberapa ciri, yaitu memiliki tingkat kecemasan rendah, tingkat depresi rendah, tingkat keyakinan irasional rendah, serta mampu bersikap objektif terhadap perilaku diri sendiri dan kritik orang lain (Falkenstein & Haaga, 2013). Studi terdahulu menegaskan bahwa penerimaan diri merupakan hal yang penting untuk meminimalisasi dampak negatif secara psikologis, seperti kecemasan, depresi, atau keyakinan irasional. Faktanya, 72% responden wanita dengan kondisi infertilitas cenderung memiliki penerimaan diri negatif (Windarti et al., 2019). Kondisi ideal yang mengharapkan wanita mampu menerima diri dengan kondisi infertilitas tentunya bertolak belakang dengan fakta mengenai kecenderungan penerimaan diri negatif pada wanita dengan kondisi infertilitas. Kesenjangan ini memunculkan ketertarikan dalam diri peneliti untuk mengkaji keterkaitan antara self-acceptance dan infertility-related stress. Hal ini pun diperkuat dengan belum adanya penelitian mengenai hubungan self-acceptance dan infertility-related stress. Adapun penelitian yang telah mengkaji self-acceptance dan infertility-related stress diketahui menggunakan metode eksperimen (Peterson & Eifert, 2011). Selain itu, penelitian mengenai infertility-related stress sudah banyak dilakukan, tetapi dikaitkan dengan konstruk psikologis lain seperti emotional distress dan marital dissatisfaction (Gana & Jakubowska, 2016), sexual satisfaction (Radoš et al., 2020), family adaptability dan family cohesion (Lei et al., 2021), family sense of coherence dan quality of life (Ngai & Loke, 2021), resiliensi (Saputra et al., 2021), self-compassion (Assrid et al., 2021), serta kesepian (Anindhita et al., 2021). Belum adanya penelitian mengenai self-acceptance dan infertility-related stress menjadi landasan bahwa penelitian dengan topik ini penting untuk dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca mengetahui kaitan antara self-acceptance dan infertility-related stress. Metode Pendekatan penelitian ini adalah kuantitatif. Kuantitatif merupakan pendekatan yang fokusnya terletak pada analisis data berbentuk angka dengan menggunakan metode statistika (Azwar, 2013). Kuantitatif digunakan untuk
72 mengkaji populasi tertentu, menguji hipotesis dengan menggunakan statistik, dan menarik kesimpulan yang dapat digeneralisasi (Sugiyono, 2013). Jenis penelitian ini adalah korelasional. Tujuan penelitian korelasional adalah untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih (Sugiyono, 2013). Populasi merupakan objek atau subjek yang memiliki karakteristik tertentu yang akan diteliti peneliti (Sugiyono, 2013). Populasi penelitian ini adalah infinit, karena jumlah populasi tidak diketahui secara pasti atau detil. Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling karena ditentukan karakteristik tertentu yang diperlukan dalam sampel penelitian. Karakteristik sampel penelitian adalah wanita yang belum memiliki anak setelah dua belas bulan usia pernikahan. Penentuan jumlah sampel yang tidak diketahui secara pasti dapat menggunakan rumus Lemeshow (Hatmawan & Riyanto, 2020). Hasil perhitungan rumus Lemeshow diperoleh jumlah sebanyak 96 sampel. Pencarian sampel dilaksanakan selama kurun waktu Maret hingga Juni 2022. Dalam proses pencarian sampel selama empat bulan, peneliti memperoleh 77 sampel, namun terdapat 8 sampel yang tidak sesuai kriteria terkait usia pernikahan dan jenis kelamin, serta 1 sampel yang tidak lengkap menjawab kuesioner. Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti menggunakan 68 sampel. Jumlah ini masih sesuai dengan kriteria minimal sampel berdasarkan literatur yang ada. Sampel minimal yang dapat digunakan adalah 30, dan ukuran sampel lebih dari 30 atau kurang dari 500 sesuai untuk penelitian korelasi (Alwi, 2015). Selanjutnya, kenormalan dari distribusi terlihat pada sampel yang lebih dari 30 (Nurudin et al., 2014). Pengumpulan data dilakukan dengan alat ukur Unconditional Self-acceptance Questionnaire (USAQ) – Short Scale dan Copenhagen Multi-Center Infertility Psychosocial Infertility-Fertility Problem Stress Scale (COMPI-FPSS). USAQ – Short Scale terdiri dari aspek conditional self-acceptance dan unconditional self-acceptance (Popov & Sokic, 2022). Contoh item pada alat ukur ini adalah: “walaupun saya tidak mendapat pengakuan dari orang lain, saya tetap merasa layak” (item 9); “ketika saya dikritisi atau merasa gagal, saya merasa seperti orang yang tidak berguna” (item 1). COMPI-FPSS terdiri dari aspek domain marital, personal, dan sosial (Sobral et al., 2017). Contoh item pada alat ukur ini adalah: “menghadapi masalah kesuburan ini membuat saya sangat stres” (item 1); “tingkat stres yang disebabkan masalah kesuburan telah membebani kehidupan pernikahan anda” (item 5). Uji validitas menunjukkan bahwa R hitung pada USAQ – Short Scale bergerak dari .682–.791, dan R hitung pada COMPI-FPSS bergerak dari .653–.876. Hal ini menunjukkan bahwa kedua alat ukur dinyatakan valid karena R hitung lebih besar daripada R tabel (Azwar, 2013). Uji reliabilitas menunjukkan nilai Cronbach’s alpha pada USAQ – Short Scale adalah .921 dan pada COMPI-FPSS adalah .906. Hal ini menunjukkan bahwa kedua alat ukur dinyatakan reliabel, karena nilai Cronbach’s alpha lebih besar dari .6 (Azwar, 2013). Analisis data dilakukan dengan uji asumsi dan uji hipotesis. Uji asumsi mencakup uji normalitas dan uji linieritas. Uji hipotesis dilakukan dengan uji korelasi menggunakan Pearson’s correlation. Analisis data dilakukan dengan program Statistical Package for Social Science (SPSS) 26. Hasil dan Pembahasan Uji statistik deskriptif dilakukan untuk mengetahui tingkat self-acceptance dan infertility-related stress dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar subjek penelitian memiliki self-acceptance dalam kategori tinggi, serta infertility-related stress dalam kategori rendah dan sedang. Hasil uji statistik deskriptif disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tingkat Self-Acceptance dan Infertility-Related Stress Kategori Self-Acceptance Infertility-Related Stress n % n % Rendah 2 2.9 30 44.1 Sedang 19 27.9 29 42.6 Tinggi 47 69.1 9 13.2 Total 68 100 68 100 Uji normalitas dilaksanakan untuk melihat normalitas data. Uji normalitas merupakan uji statistik untuk melihat residual data yang didapatkan berdistribusi normal atau tidak normal (Sugiyono, 2017). Uji normalitas
73 merupakan salah satu bagian dari uji asumsi klasik sebagai acuan penentuan pengujian hipotesis yang dilaksanakan dengan parametrik atau nonparametrik. Teknik yang digunakan untuk melakukan uji normalitas adalah menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Dasar pengambilan keputusan dalam uji normalitas adalah nilai signifikansi > .05 maka data berdistribusi normal. Nilai signifikansi < .05 maka data berdistribusi tidak normal. Uji normalitas menunjukkan nilai signifikansi self-acceptance adalah .059 dan nilai signifikansi infertility-related stress adalah .200 sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua data berdistribusi normal. Uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Skala Asymp. Sig N USAQ – Short Scale COMPI-FPSS .059 .200 68 68 Uji linieritas merupakan bagian dari uji asumsi klasik untuk menentukan data yang diperoleh linier atau tidak linier. Uji linieritas dilakukan untuk melihat hubungan yang linier atau tidak linier antara variabel bebas dan variabel terikat (Sugiyono, 2017). Dasar pengambilan keputusan dalam uji linieritas adalah nilai signifikansi deviation of linearity > .05 maka data linier. Nilai signifikansi < .05 maka data yang diperoleh tidak linier. Hasil uji linieritas menunjukkan nilai signifikansi deviation of linearity adalah .721 sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang diperoleh adalah linier. Artinya, terdapat hubungan linier antara self-acceptance dan infertility-related stress. Uji linieritas disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Uji Linieritas Skala Deviation from Linearity F Sig. USAQ - Short Scale dan COMPI-FPSS -813 .721* Penentuan hipotesis dalam penelitian kuantitatif korelasional dilakukan dengan uji korelasi. Hasil uji asumsi menunjukkan data normal dan linier sehingga uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik parametrik. Uji statistik parametrik yang digunakan untuk uji korelasional adalah Pearson’s correlation dengan bantuan program Statistical Package for Social Science (SPSS) 26. Standar uji korelasional adalah nilai signifikansi < .05 maka terdapat hubungan antara kedua variabel. Nilai signifikansi > .05 maka tidak terdapat hubungan antara kedua variabel. Nilai signifikansi dari hasil uji hipotesis adalah .009 sehingga disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara self-acceptance dan infertility-related stress. Artinya, hipotesis adanya hubungan antara self-acceptance dan infertility-related stress diterima. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa hubungan antara kedua variabel berarah negatif. Artinya, semakin meningkat self-acceptance, maka semakin menurun infertility-related stress. Begitu pula sebaliknya, jika self-acceptance menurun, maka infertility-related stress akan meningkat. Nilai koefisien korelasi -.316 menunjukkan bahwa hubungan tersebut termasuk dalam kategori hubungan lemah. Uji hipotesis dapat dilihat pada Tabel 4, dan kriteria tingkat kekuatan korelasi Pearson’ correlation dicantumkan pada Tabel 5. Tabel 4. Hasil Uji Korelasi Pearson’s Correlation Skala Deviation from Linearity Correlation Coefficient Sig. N USAQ - Short Scale dan COMPI-FPSS -.316 .009* 68 Keterangan: *p < .05
74 Tabel 5. Kriteria Tingkat Kekuatan Korelasi Pearson’s Correlation Nilai Koefisien Korelasi Kriteria Tingkat .00–.20 .21–.40 .41–.60 .61–.80 .81–1.00 Tidak ada hubungan Hubungan lemah Hubungan sedang Hubungan kuat Hubungan sempurna Uji korelasi dilakukan pada aspek-aspek self-acceptance dengan skor total infertility-related stress. Nilai signifikansi uji korelasi aspek conditional self-acceptance dengan infertility-related stress adalah sebesar .008. Koefisien korelasi -.320 menunjukkan adanya hubungan yang lemah dan berarah negatif. Artinya, terdapat hubungan negatif antara conditional self-acceptance dan infertility-related stress. Conditional self-acceptance meningkat, maka infertility-related stress menurun. Conditional self-acceptance menurun, maka infertility-related stress meningkat. Di sisi lain, nilai signifikansi uji korelasi aspek unconditional self-acceptance dengan infertility-related stress adalah sebesar .068. Koefisien korelasi -.222 menunjukkan tidak adanya hubungan. Artinya, tidak terdapat hubungan antara unconditional self-acceptance dan infertility-related stress. Uji korelasi aspek conditional self-acceptance dan unconditional self-acceptance dari USAQ – Short Scale dengan infertility-related stress dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Uji Korelasi Aspek USAQ-Short Scale dengan Infertility-Related Stress Aspek Deviation from Linearity Correlation Coefficient Sig. N Conditional self-acceptance -.320 .008* 68 Unconditional self-acceptance -.222 .068 68 Keterangan: *p < .05 Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keterkaitan antara self-acceptance dan infertility-related stress pada wanita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara self-acceptance dan infertility-related stress. Hasil penelitian ini akan dibahas sebagai berikut. Pertama, self-acceptance berhubungan dengan infertility-related stress. Temuan penelitian ini mendukung studi terdahulu bahwa adanya penurunan infertility-related stress setelah pemberian intervensi acceptance and commitment therapy (Peterson & Eifert, 2011). Wanita dengan kondisi infertilitas yang mampu menerima diri sendiri akan lebih mudah mengatasi infertility-related stress pada domain marital, personal, dan sosial. Sebaliknya, wanita dengan kondisi infertilitas yang mengalami kesulitan untuk menerima diri akan menyebabkan peningkatan infertility-related stress yang terjadi pada ketiga domain yang sama. Artinya, wanita dengan kondisi infertilitas yang mampu menerima dirinya akan menunjukkan rasa bahagia, yang kemudian akan turut mengurangi rasa cemas atau depresi dalam diri. Studi terdahulu menunjukkan bahwa self-acceptance berkorelasi positif dengan kebahagiaan, serta berkorelasi negatif dengan kecemasan dan depresi (Szentagotai & David, 2013). Adanya penerimaan diri yang menurunkan emosi negatif akan menyebabkan munculnya emosi positif dan kepuasan hidup. Studi lain menemukan bahwa tingginya penerimaan diri diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kecemasan, depresi, dan emosi negatif, serta diasosiasikan dengan tingginya kesejahteraan subjektif (Popov, 2018). Kedua, terdapat hubungan negatif antara self-acceptance dan infertility-related stress. Artinya, ketika self-acceptance meningkat, maka infertility-related stress akan menurun. Sebaliknya, ketika self-acceptance menurun, maka infertility-related stress akan meningkat. Hal yang perlu dipahami adalah ketika wanita dengan infertilitas tidak mampu menerima diri atau kondisinya, maka akan muncul perasaan cemas, stres, frustrasi, bahkan depresi. Berbeda halnya ketika wanita dengan infertilitas mampu menerima diri atau kondisinya, maka rasa penghargaan dirinya akan meningkat, yang kemudian akan turut meningkatkan perasaan bahagia. Hal ini sejalan dengan studi sebelumnya
75 bahwa pasangan dengan infertilitas, yang dapat menerima kondisi infertilitas dan menanamkan perasaan positif, mampu untuk tidak merasa rendah diri dan tetap merasa bahagia dalam pernikahannya (Simarmata & Lestari, 2020). Rasa bahagia yang dirasakan pada individu dengan infertilitas dilandasi oleh nilai diri yang dipegang kuat (Elvina & Maulin, 2013). Oleh karena itu, wanita dengan infertilitas yang mampu menerima diri akan turut mampu menghargai diri dan menilai diri secara positif. Adanya kemampuan menghargai diri dan menilai diri secara positif ini pun dapat menurunkan stres infertilitas. Temuan penelitian ini mendukung studi terdahulu yang menunjukkan adanya korelasi negatif antara salah satu aspek resiliensi, yaitu positive acceptance of change, dengan infertility-related stress (Saputra et al., 2021). Artinya, saat wanita dengan infertilitas mampu menerima diri dan menerima perubahan akibat kondisi infertilitas yang dialami, maka infertility-related stress yang dirasakan akan menurun. Pernyataan ini diperkuat oleh data penelitian yang menunjukkan bahwa 69.1% wanita memiliki skor self-acceptance tinggi yang disertai dengan skor infertility-related stress yang rendah. Ketiga, uji korelasi antara aspek self-acceptance dengan infertility-related stress. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara conditional self-acceptance dengan infertility-related stress. Artinya, conditional self-acceptance meningkat, maka infertility-related stress menurun. Conditional self-acceptance menurun, maka infertility-related stress meningkat. Temuan ini menunjukkan bahwa terdapat kondisi yang bersifat esensial terhadap penerimaan diri individu dengan infertilitas. Secara umum, penerimaan diri dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mencakup pemahaman diri, harapan realistis, adanya dukungan sosial, kestabilan emosi, konsep diri positif, kemampuan meraih keberhasilan, teladan percaya diri dari orang lain, dan pola asuh orang tua (Hurlock, 2013). Secara khusus, penerimaan diri pada wanita infertilitas dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu mendapatkan sikap sosial yang positif, tidak menghadapi hambatan dari lingkungan sosial, dan memiliki pola asuh yang baik di masa kanak-kanak (Nurhasyanah, 2012). Sejalan dengan itu, adanya dukungan emosional dari keluarga dan lingkungan sosial, yang disertai dengan hubungan pernikahan bebas tekanan merupakan faktor eksternal yang mendukung penerimaan diri dan harga diri pada individu dengan infertilitas (Simarmata & Lestari, 2020). Sikap positif yang diperoleh dari lingkungan sosial merupakan salah satu faktor yang memengaruhi penerimaan diri pada wanita dengan kondisi infertilitas. Wanita dengan infertilitas memiliki persepsi positif mengenai dukungan yang didapat dari institusi, keluarga, atau teman (Dembińska, 2019). Sikap positif atau dukungan dari lingkungan sosial akan membantu wanita dengan infertilitas memiliki harga diri positif, konsep diri positif, dan harapan. Ketiga hal tersebut pada akhirnya akan membantu proses penerimaan diri wanita pada kondisi infertilitas yang dialaminya. Penjelasan ini setara dengan data yang diperoleh peneliti, yaitu bahwa secara dominan subjek menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju pada pertanyaan mengenai adanya beban yang dimunculkan dari kondisi infertilitas pada hubungan dengan keluarga, keluarga pasangan, atau teman. Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat kemungkinan subjek penelitian memiliki faktor eksternal yang mendukung proses penerimaan diri. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa terdapat kondisi tertentu yang mampu menumbuhkan self-acceptance dalam diri wanita dengan infertilitas. Keempat, uji korelasi antara aspek self-acceptance dengan infertility-related stress menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara unconditional self-acceptance dengan infertility-related stress. Unconditional self-acceptance merujuk pada kemampuan individu untuk menerima diri sendiri di balik kekurangan atau pendapat orang di sekitarnya (Popov & Sokic, 2022). Artinya, seorang individu akan tetap mampu menerima diri sendiri meski dengan keberadaan kekurangan diri atau pendapat orang lain mengenai dirinya. Dengan kata lain, adanya kelemahan dalam diri atau pendapat dari lingkungan sosial tidak akan memengaruhi kemampuan individu untuk menerima dirinya. Faktanya, hal ini terjadi secara berbeda pada wanita dengan infertilitas. Wanita dengan infertilitas mengalami frustasi sosial karena mengharapkan penerimaan sosial, tetapi tidak bisa mencapainya karena kondisi infertilitas yang dialaminya (Podolska & Bidzan, 2011). Hal ini menegaskan bahwa penerimaan sosial merupakan aspek penting pada wanita dengan infertilitas untuk dapat menerima dirinya. Alih-alih mendapatkan penerimaan sosial, wanita dengan kondisi infertilitas justru mendapatkan tekanan. Studi terdahulu menyebutkan bahwa wanita dengan infertilitas di Indonesia mengalami tekanan sangat besar dari lingkungan sosial yang pada akhirnya berakibat pada perceraian (Harzif et al., 2019). Selain tekanan sosial, wanita dengan infertilitas juga kurang menerima dukungan dari orang lain. Rendahnya
76 dukungan yang diperoleh dari orang tua, saudara kandung, dan sahabat dapat mengarah pada kemunculan stres (Oktafriani & Abidin, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya dukungan dari orang lain turut memunculkan tekanan sehingga wanita dengan infertilitas merasa kesulitan untuk menerima diri sendiri yang kemudian berdampak pada tingkat infertility-related stress. Kondisi ini menegaskan bahwa penerimaan diri pada wanita dengan infertilitas bukan dari diri sendiri, melainkan masih dipengaruhi oleh pendapat atau dukungan orang lain. Studi sebelumnya menyebutkan bahwa penerimaan diri pada wanita infertilitas dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu kemampuan memahami diri, harapan realistis, kestabilan emosi, konsep diri stabil, dan perspektif diri yang luas (Nurhasyanah, 2012). Dalam mengatasi kondisi infertilitas, wanita akan melakukan strategi koping tertentu. Studi terdahulu menunjukkan bahwa kebanyakan wanita dengan infertilitas melakukan escape avoidant, yaitu denial, sebagai strategi koping terhadap stres infertilitas (Komalasari & Septiyanti, 2017). Penggunaan strategi koping denial menunjukkan bahwa wanita dengan infertilitas tidak menerima kondisi stres yang dialami, tetapi menghindari stres tersebut. Berdiam di tahap denial akan menghambat proses penerimaan diri, karena individu yang tidak mampu keluar dari tahap denial akan merasa kesulitan menerima kenyataan terkait kondisi dirinya sehingga sulit untuk mencapai tahap penerimaan diri. Ketika individu tidak mencapai tahap penerimaan diri, maka hal tersebut akan menghambat tahap resolution to infertility. Resolution to infertility merupakan tahap ketika individu sudah menerima keadaan, memiliki keinginan dan usaha untuk mengatasi infertilitas. Di sisi ideal, wanita dengan infertilitas yang mulai menerima kondisinya akan mampu mengatasi kesulitan dan mengalami tekanan emosi yang rendah mengenai infertilitas (Tedjawidjaja & Rahardanto, 2015). Hasil penelitian ini menunjukkan pentingnya self-acceptance sebagai salah satu solusi dalam menangani infertility-related stress. Self-acceptance dapat meningkatkan optimisme, hubungan positif dengan orang lain, kebebasan, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan dalam hidup, dan kesejahteraan psikologis (Haji-Adineh et al., 2019). Adanya peningkatan pertumbuhan pribadi, optimisme, hubungan positif dengan orang lain, dan kesejahteraan psikologis menunjukkan bahwa tidak terjadinya stres pada domain marital, personal, dan sosial. Simpulan Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, terdapat hubungan antara self-acceptance dan infertility-related stress pada wanita. Kedua, terdapat hubungan negatif antara self-acceptance dan infertility-related stress. Self-acceptance meningkat, maka infertility-related stress menurun. Self acceptance menurun, maka infertility-related stress meningkat. Ketiga, ada hubungan negatif antara conditional self-acceptance dengan infertility-related stress. Conditional self-acceptance meningkat, maka infertility-related stress menurun. Conditional self-acceptance menurun, maka infertility-related stress meningkat. Keempat, tidak ada hubungan antara unconditional self-acceptance dengan infertility-related stress. Hasil penelitian ini membawa kesadaran mengenai pentingnya self-acceptance bagi wanita dengan infertilitas. Selain itu, terdapat faktor-faktor yang bersifat bersyarat dan berperan penting dalam membantu wanita dengan infertilitas untuk membangun dan mempertahankan self-acceptance. Terdapat tiga saran yang dapat diajukan dari hasil penelitian ini. Pertama, wanita dengan infertilitas menyadari pentingnya peranan self-acceptance dalam mengatasi infertility-related stress. Wanita dengan infertilitas diharapkan memahami bahwa self-acceptance tidak semata-mata terjadi, tetapi tercapai melalui penerimaan akan situasi yang sedang dialami dan penerimaan akan dirinya. Wanita dengan infertilitas diharapkan dapat mengusahakan self-acceptance akan kondisi infertilitas sehingga dapat mengurangi infertility-related stress. Kedua, melalui hasil penelitian ini, diharapkan pembaca semakin memahami kondisi infertilitas dan menyadari pentingnya memberikan dukungan kepada wanita dengan infertilitas untuk membantunya membangun self-acceptance dalam dirinya. Ketiga, peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian berbasis intervensi dengan topik self-acceptance sehingga dapat diketahui lebih rinci mengenai pengaruh self-acceptance terhadap infertility-related stress. Selain itu, peneliti selanjutnya
77 juga dapat melakukan penelitian mengenai hubungan antara self-acceptance dengan infertility-related stress pada subjek pria agar diketahui pula kaitan antara kedua variabel tersebut pada subjek yang berbeda. Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih kepada subjek penelitian yang bersedia dengan sepenuh hati berpartisipasi dalam penelitian ini. Kesediaan yang didasari dengan keluasan hati untuk menjadi subjek penelitian sangat membantu peneliti melakukan kajian ini. Peneliti berharap dengan tersajinya hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangsih bagi keilmuan psikologi, khususnya dalam topik self-acceptance dan infertility-related stress. Selain itu, peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Berliana Sari Oktaria yang telah membantu proses pencarian subjek. Daftar Pustaka Adnyana, I. B. P., Kurniawan Artha, I. B. R., Tanjung, Anton, & Rahman, L. (2021). Karakteristik faktor penyebab infertilitas pada pasien yang menjalani in-vitro fertilization (IVF). Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science, 4(1), 49–55. https://doi.org/10.24198/obgynia/v4.n1.245 Alwi, I. (2015). Kriteria empirik dalam menentukan ukuran sampel pada pengujian hipotesis statistika dan analisis butir. Formatif: Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA, 2(2). https://doi.org/10.30998/formatif.v2i2.95 Anindhita, I. G. A. I. T., Retnoningtias, D. W., & Ayuningtias, A. U. H. (2021). Hubungan stres infertilitas dengan kesepian pada wanita infertil di Bali. Insight, Jurnal Ilmiah Psikologi, 23(1), 78–90. https://doi.org/10.26486/psikologi.v23i1.1411 Assrid, A., Retnoningtias, D. W., & Hardika, I. R. (2021). Hubungan self-compassion dengan infertility-related stress pada dewasa awal yang mengalami infertilitas. Journal Psikogenesis, 9(2), 186–195. https://doi.org/10.24854/jps.v9i2.2135 Azwar, S. (2013). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bakhtiyar, K. (2019). An investigation of the effects of infertility on women’s quality of life: A case-control study. BMC Women’s Health, 19(114), 9. https://doi.org/10.1186/s12905-019-0805-3 Cernigliaro, D., Barrington, C., Perez, M., Donastorg, Y., & Kerrigan, D. (2018). Factors related to fertility desire among female sex workers living with HIV in the Dominican Republic. BMC Women’s Health, 18(1), 117. https://doi.org/10.1186/s12905-018-0613-1 Chehreh, R., Ozgoli, G., Abolmaali, K., Nasiri, M., & Mazaheri, E. (2018). Comparison of the infertility-related stress among couples and its relationship with infertility factors. International Journal of Women’s Health and Reproduction Sciences, 7(3), 313–318. https://doi.org/10.15296/ijwhr.2019.52 Dembińska, A. (2019). Selected psychological and sociodemographic correlates of the acceptance of one’s own infertility in women. Psychiatria i Psychologia Kliniczna, 19(3), 308–314. https://doi.org/10.15557/PiPK.2019.0032 Elvina, E., & Maulin, V. V. R. (2013). Gambaran self-esteem pada pasangan suami istri yang mengalami infertilitas. Jurnal Ilmiah Psikologi Manasa, 2(1), 79–92. https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/Manasa/article/view/156 Falkenstein, M. J., & Haaga, D. A. F. (2013). Measuring and characterizing unconditional self-acceptance. In M. E. Bernard (Ed.), The Strength of Self-acceptance (pp. 139–151). Springer New York. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-6806-6_9 Gana, K., & Jakubowska, S. (2016). Relationship between infertility-related stress and emotional distress and marital satisfaction. Journal of Health Psychology, 21(6), 1043–1054. https://doi.org/10.1177/1359105314544990
78 Groene, E. A., Mutabuzi, C., Chinunje, D., Shango, E. M., Kulasingam, S., & Majinge, C. R. (2021). Comparing infertility-related stress in high fertility and low fertility countries. Sexual & Reproductive Healthcare, 29, 100653. https://doi.org/10.1016/j.srhc.2021.100653 Hajela, S., Prasad, S., Kumaran, A., & Kumar, Y. (2016). Stress and infertility: A review. International Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology, 5(4), 940–943. Haji-Adineh, S., Rafiean, S., Tavakoli, S. M., & Farisat, A. (2019). The effectiveness of acceptance and commitment therapy on optimism about life and psychological well-being in infertile women. Vesnu Publication, 6(4), 201–208. https://doi.org/10.22122/ijbmc.v6i4.178 Harzif, A. K., Santawi, V. P. A., & Wijaya, S. (2019). Discrepancy in perception of infertility and attitude towards treatment options: Indonesian urban and rural area. Reproductive Health, 16(1), 126. https://doi.org/10.1186/s12978-019-0792-8 Hatmawan, A., & Riyanto, S. (2020). Metode riset penelitian kuantitatif penelitian di bidang manajemen, teknik, pendidikan dan eksperimen. CV Budi Utama. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia, Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia, Ikatan Ahli Urologi Indonesia, & Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. (2013). Konsensus penanganan infertilitas. Hoffman, L., Lopez, A. J., & Moats, M. (2013). Humanistic psychology and self-acceptance. In M. E. Bernard (Ed.), The strength of self-acceptance: Theory, practice and research (pp. 3–17). Springer. Hurlock, E. (2013). Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga. Jafarzadeh-Kenarsari, F., Ahmad-Amraji, L., & Abouzari-Gazafroodi, K. (2021). Evaluation of infertility-related stress and its associated factors in infertile clients: A cross-sectional study. Preventive Care in Nursing and Midwifery Journal, 11(1), 1–10. Komalasari, G., & Septiyanti, R. (2017). Koping stres wanita menikah yang belum dikaruniai anak. JPPP - Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 6(2), 61–65. https://doi.org/10.21009/JPPP.062.01 Lakatos, E., Szigeti, J. F., Ujma, P. P., Sexty, R., & Balog, P. (2017). Anxiety and depression among infertile women: A cross-sectional survey from Hungary. BMC Women’s Health, 17(1), 48. https://doi.org/10.1186/s12905-017-0410-2 Lei, A., You, H., Luo, B., & Ren, J. (2021). The associations between infertility-related stress, family adaptability and family cohesion in infertile couples. Scientific Reports, 11(1), 24220. Radoš, S. N., Vraneš, H. S., Tomić, J., & Kuna, K. (2020). Infertility-related stress and sexual satisfaction: A dyadic approach. Journal of Psychosomatic Obstetrics & Gynecology, 43(1), 18–25. https://doi.org/10.1080/0167482X.2020.1752658 Ngai, F.-W., & Loke, A. Y. (2021). Relationships between infertility-related stress, family sense of coherence and quality of life of couples with infertility. Human Fertility, 25(3) 1–13. https://doi.org/10.1080/14647273.2021.1871781 Nurhasyanah. (2012). Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan diri pada wanita infertilitas. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 1(1), 143–151. https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jppp/article/view/345 Nurudin, M., Mara, M. N., & Kusnandar, D. (2014). Ukuran sampel dan distribusi sampling dari beberapa variabel random kontinu. Buletin Ilmiah Matematika, Statistik, dan Terapannnya, 3(1), 1–6. http://dx.doi.org/10.26418/bbimst.v3i01.4461 Oktafriani, Y., & Abidin, Z. (2021). Memaknai pengalaman tanpa anak: studi fenomenologi pada suami-istri yang mengalami infertilitas. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi Universitas Negeri Padang), 12(1), 67. https://doi.org/10.24036/rapun.v12i1.111589 Pasaribu, I. H., Rahayu, M. A., & Marlina, R. (2019). Faktor-faktor yang memengaruhi infertilitas pada wanita di Rumah Sakit Dewi Sri Karawang. Health Sciences Growth Journal, 4(2), 62–73. https://journal.unsika.ac.id/index.php/HSG/article/view/3113
79 Peterson, B. D., & Eifert, G. H. (2011). Using acceptance and commitment therapy to treat infertility stress. Cognitive and Behavioral Practice, 18(4), 577–587. https://doi.org/10.1016/j.cbpra.2010.03.004 Podolska, M. Z., & Bidzan, M. (2011). Infertility as a psychological problem. Ginekol Pol, 82(1), 44–49. https://journals.viamedica.pl/ginekologia_polska/article/view/46385/33172 Popa, C. O., Schenk, A., Rus, A., Szasz, S., Suciu, N., Alexandru, D., & Cojocaru, C. (2020). The role of acceptance and planning in stress management for medical students. Sciendo, 66(3), 101–105. https://doi.org/10.2478/amma-2020-0020 Popov, S. (2018). When is unconditional self-acceptance a better predictor of mental health than self-esteem? Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy, 37(3), 251–261. https://doi.org/10.1007/s10942-018-0310-x Popov, S., & Sokic, J. (2022). Psychometric characteristics of a Serbian translation of the unconditional self-acceptance questionnaire and the development of a short form. Psihologija, 55(1), 107–122. https://doi.org/10.2298/PSI200820005P Retnoningtias, D. W., Hardika, I. R., & Dharmeswari, M. P. R. (2020). Profil infertility-related stress pada perempuan infertil di Bali. Prosiding SINTESA, 79. https://jurnal.undhirabali.ac.id/index.php/sintesa/article/view/1237 Saputra, I. M. A. N., Retnoningtyas, D. W., & Rahardika, I. R. (2021). Hubungan resiliensi dengan infertility-related stress pada wanita. Journal of Psychological Science and Profession, 5(3), 213. Shafaie, F., Mirghafourvand, M., & Rahimi, M. (2014). Perceived stress and its social-individual predictors among infertile couples referring to infertility center of Alzahra Hospital in Tabriz in 2013. International Journal of Women’s Health and Reproduction Sciences, 2(5), 291–296. https://doi.org/10.15296/ijwhr.2014.47 Simarmata, O. Y., & Lestari, M. D. (2020). Harga diri dan penerimaan diri pasangan menikah tidak memiliki anak di Bali. Jurnal Psikologi Udayana, 112-121. https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/57810 Sobral, M. P., Costa, M. E., Schmidt, L., & Martins, M. V. (2017). COMPI Fertility Problem Stress Scales is a brief, valid and reliable tool for assessing stress in patients seeking treatment. Human Reproduction, 32(2), 375–382. https://doi.org/10.1093/humrep/dew315 Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2017). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Szentagotai, A., & David, D. (2013). Self-acceptance and happiness. In M. E. Bernard (Ed.), The strength of self-acceptance (pp. 121–137). Springer New York. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-6806-6_8 Tedjawidjaja, D., & Rahardanto, M. S. (2015). Antara harapan dan takdir: Resolution to infertility pada perempuan infertil. Jurnal Experientia, 3(1), 109-119. https://doi.org/10.33508/exp.v3i1.783 Windarti, Y., Wahyuni, N. S., & Rosjidi, C. H. (2019). Tingkat penerimaan diri wanita usia subur yang mengalami infertil di salah satu rumah sakit swasta di Ponorogo. Health Sciences Journal, 3(1), 1–7. Wischmann, T., & Thorn, P. (2013). (Male) infertility: What does it mean to men? New evidence from quantitative and qualitative studies. Reproductive BioMedicine Online, 27(3), 236–243. Wiweko, B., Anggraheni, U., Elvira, S. D., & Lubis, H. P. (2017). Distribution of stress level among infertility patients. Middle East Fertility Society Journal, 22(2), 145–148. https://doi.org/10.1016/j.mefs.2017.01.005
Vol. 7, No. 1, April 2023, 81—89 ISSN 2598-3075 E-ISSN 2614-2279 https://jurnal.unpad.ac.id/jpsp/ Jurnal Psikologi Sains & Profesi (Journal of Psychological Science & Profession) Benarkah Lagging Audiovisual Dapat Memunculkan Emosi?: Sebuah Kajian Emotional Stimulus Muhammad Fadhlan Qinthara*, Nadhira Ivana Anshari, Bagus Bagaskara, Raden Dan Yuki Adhitya Fitrayana Al Fajr Suryadimulya, dan Efi Fitriana Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran *E-mail: [email protected] Abstrak Dalam kehidupan sehari-hari, kata lagging sering kali digunakan pada sebuah kondisi adanya ketidaksesuaian waktu antara eksekusi yang dilakukan dengan hasil atau outcome dari eksekusi tersebut. Lagging yang dialami oleh pelajar dapat berdampak negatif dalam kegiatan pembelajaran. Proses pembelajaran berfokus pada kognitif pelajar, namun tidak terlepas juga dari faktor emosi. Situasi pembelajaran dapat memunculkan pengalaman emosional pada suasana kelas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lagging pada media pembelajaran audiovisual terhadap achievement emotion pada pelajar. Penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimen. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Achievement Emotions Questionnaire – Short Version (AEQ-S) yang mengukur emosi pada kondisi pembelajaran. Sampling kuota acak dilakukan terhadap 60 pelajar yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dengan jumlah 30 partisipan dan kelompok eksperimen berjumlah 30 partisipan yang diberikan stimulus lagging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lagging media pembelajaran audiovisual sebagai emotional stimulus dapat memengaruhi achievement emotion pada pelajar, ditunjukkan dengan kelompok eksperimental yang mengalami peningkatan pada emosi marah (anger), pasrah (hopeless), bosan (boredom), dan rendahnya emosi harapan (hope). Kata kunci: lagging, achievement emotion, emotional stimulus Can Audiovisual Lagging Evoke Emotion?: A Study of Emotional Stimulus Abstract In everyday life, the word lagging is often used in a condition where there is a mismatch between the execution time and the outcomes of the execution. Lagging experienced by students can have a negative impact on learning activities. The learning process focuses on the learner's cognitive ability and cannot be separated from emotional factors. Learning situations can lead to emotional experiences in the classroom atmosphere. This study aims to determine whether lagging on audiovisual learning media has an effect on achievement emotion in students. This research uses an experimental approach. The measuring instrument used in this study is the Achievement Emotions Questionnaire-Short Version (AEQ-S) which measures the construct of emotion in learning conditions. Random quota sampling was conducted to 60 students. Furthermore, 60 participants are divided into two separate groups with 30 participants in the control group and 30 participants in the experiment group that are given the lagging stimulus. In this study, a total of 60 participants were divided into two groups, namely the control group, which consisted of 30 participants and the experimental group, which consisted of 30 participants, which were divided based on the lagging stimulus that were given to them. The results showed that lagging audiovisual learning media as an emotional stimulus could affect achievement emotion in students where the experimental group experienced an increase in anger, hopeless, bored, and hopeless emotions. Keywords: lagging, achievement emotion, emotional stimulus
Qinthara, Anshari, Bagaskara, Suryadimulya, dan Fitriana 82 Pendahuluan Indonesia yang terkena dampak wabah virus corona menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Dampak dari adanya PPKM tersebut membuat adanya pembatasan ruang publik sehingga pembelajaran dilakukan di rumah atau disebut pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pada situasi PJJ, media pembelajaran yang digunakan secara online adalah media audiovisual. Salah satu temuan pada penelitian Yuzulia (2021) menyatakan bahwa siswa tidak dapat menikmati proses PJJ karena adanya lagging yang mereka alami. Dalam segi bahasa, kata lagging berasal dari bahasa Inggris lag yang berarti bergerak atau berkembang secara lambat (tertinggal). Dalam kehidupan sehari-hari, kata lagging seringkali digunakan pada kondisi adanya ketidaksesuaian (latensi) antara eksekusi yang dilakukan dengan hasil dari eksekusi tersebut. Secara teknis, Lagging sendiri merupakan fenomena yang terjadi akibat adanya latensi tinggi pada suatu jaringan (Halbhuber, 2022). Lagging media, baik dalam konteks gaming, permainan musik, dan pembelajaran telekonferensi, dapat memengaruhi performa seseorang (Zha & Zhang, 2019; Barlette & Bocko, 2006; Essel et al., 2021). Interferensi sendiri memiliki banyak jenis, Lagging media pembelajaran merupakan salah satu jenis interferensi yang berasal dari luar. Salah satu jenis interferensi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah prolonged fixated crosses yaitu merupakan stimulus relevan mengganggu yang tertangkap atensi namun hanya bisa ditunggu agar stimulus tersebut menghilang (Zickerick, 2020). Penelitian Zickerick (2020) juga menambahkan bahwa distraksi dan prolonged fixated crosses mengaktivasi bagian otak yang sama dalam pengujian elektroensefalografi (EEG) sehingga interferensi ini dapat berpengaruh pada kinerja working memory. Mishra (2013) mengatakan bahwa interferensi berdampak negatif terhadap kinerja working memory, serta menurunkan akurasi memori visual dan audio. Selain memiliki pengaruh secara kognitif, terdapat bukti-bukti penelitian terdahulu mengenai lagging sebagai emotional stimulus dalam sistem working memory yang pada akhirnya memunculkan respon emosi. Penelitian yang dilakukan oleh Zha dan Zhang (2019) menemukan bahwa lagging yang ditambahkan ke dalam proses bermain game berpengaruh dalam penurunan emosi senang serta peningkatan pada emosi marah dan jijik (disgust). Di sisi lain, Lehman et al. (2012) meneliti tentang empat kondisi pembelajaran komputer yang menyebabkan kebingungan pada siswa, dan menemukan bahwa informasi yang berbeda dari komputer dapat menimbulkan kebingungan akibat adanya tanggapan yang salah. Kerusakan perangkat elektronik yang terjadi ketika seseorang sedang memahami informasi dari perangkat elektronik juga mendukung terjadinya lagging pada komputer yang digunakan sehingga menimbulkan tingkat kebingungan yang tinggi (Lehman et al., 2012). Proses pembelajaran yang berfokus pada kognitif pelajar juga tidak terlepas dari faktor emosi (Pekrun et al., 2002). Stimulus pembelajaran dapat membangkitkan emosi pelajar yang memiliki pengaruh penting terhadap fungsi psikologis seperti motivasi, atensi, sikap, dan lainnya (Pekrun et al., 2000; Sandanayake et al., 2011; Pousada et al., 2017). Dalam penelitian ini akan dikaji lebih dalam mengenai dampak interferensi eksternal pada suatu media pembelajaran terhadap fungsi emosi individu, khususnya emosi yang muncul dalam proses belajar (achievement emotion). Penelitian Daniels dan Stupnisky (2012) yang mengeksplor kemunculan emosi dalam lingkungan pembelajaran online mengungkapkan bahwa ketergantungan pada teknologi pembelajaran online dapat mengurangi kontrol jika komputer rusak dan internet yang lambat. Dalam fenomena keseharian, lagging yang diakibatkan oleh lambatnya koneksi internet berdampak pada program pembelajaran online yang menjadi terputus-putus dalam menyajikan tampilannya (Yuzulia, 2021). Penelitian Loderer et al. (2020) yang mengukur hubungan antara emosi dengan pembelajaran technology-based setting mengutarakan bahwa emosi dianggap memengaruhi komponen penting dari proses belajar seperti atensi, motivasi, dan hasil pembelajaran, serta juga sebagai pendorong pembelajaran dalam technology-based setting. Hasil penelitian tersebut pun menunjukkan bahwa timbulnya lagging akibat kurangnya kontrol pembelajaran karena permasalahan perangkat keras dan lunak dapat memengaruhi pengalaman emosi yang dirasakan pelajar dalam proses pembelajaran. Untuk membatasi spektrum emosi yang diujikan dari banyaknya emosi yang dapat
Qinthara, Anshari, Bagaskara, Suryadimulya, dan Fitriana 83 dirasakan manusia, peneliti menggunakan definisi achievement emotion oleh Pekrun et al. (2002). Definisi ini menjelaskan bahwa terdapat emosi-emosi khusus yang dirasakan pelajar ketika menjalani suatu kegiatan pembelajaran. Pendekatan konstruk dan penelitian oleh Pekrun et al. (2002) ini juga sudah menguji emosi-emosi melalui aktivitas sistem saraf sehingga memiliki kesesuaian yang cukup dengan konteks penelitian. Pekrun et al. (2002) mengidentifikasi emosi-emosi yang muncul dalam proses pembelajaran. Definisi emosi yang dibangun Pekrun (2007) didasarkan pada control value theory, yaitu meliputi faktor afektif seperti rasa tidak nyaman, faktor kognitif seperti perasaan khawatir, motivasi seperti dorongan untuk kabur dari situasi, dan fisiologis seperti aktivasi saraf perifer. Emosi-emosi ini dijelaskan sebagai respons otak dari stimulus yang diberikan, dalam hal ini adalah stimulus media pembelajaran (Pekrun, 2000). Menurut Pekrun et al. (2011), achievement emotion merupakan emosi yang berkaitan langsung dengan aktivitas pencapaian atau hasil pencapaian, termasuk hasil prospektif seperti harapan (hope) dan kecemasan (anxiety), serta hasil retrospektif seperti kebanggaan (pride) dan rasa malu (shame). Oleh karena itu, pengaruh emosi terhadap pembelajaran dan pencapaian dimediasi oleh beberapa mekanisme afektif, kognitif, fisiologis, dan motivasional. Penelitian Pekrun et al. (2002) juga menghasilkan temuan berupa pengelompokkan emosi yang dibedakan berdasarkan efeknya terhadap performa siswa, yaitu: 1) positive activating emotion, seperti enjoyment, hope, dan pride; 2) positive deactivating emotion, seperti relief, relaxation, dan contentment; 3) negative activating emotion, seperti anger, anxiety, dan shame, serta; 4) negative deactivating emotion, seperti boredom dan hopelessness. Berdasarkan pengelompokkan emosi ke dalam empat rumpun besar tersebut, Sandanayake et al. (2011) mengembangkan model pembelajaran spiral dengan empat kuadran yang mengartikan bahwa emosi berubah saat pelajar bergerak melewati kuadran tersebut. Empat kuadran tersebut terdiri dari kuadran I (positive constructive), kuadran II (negative constructive), kuadran III (negative unlearning), dan kuadran IV (positive unlearning). Teori tersebut menjelaskan bahwa pada masa awal proses belajar, pelajar berada pada kuadran I yang ditandai dengan banyaknya pengalaman emosi awe, satisfaction, enjoyment dan curiosity. Seiring berjalannya waktu dan dengan semakin banyaknya informasi yang diterima, emosi pelajar akan bergerak dari kuadran I ke kuadran II dan seterusnya. Pada kuadran II mulai muncul perbedaan antara struktur pengetahuan pelajar dan informasi yang diterima sehingga secara pasif terbentuk emosi negatif seperti disappointment, puzzlement, dan confusion. Pada kuadran III, terjadi proses unlearning dan pembentukan emosi yang lebih negatif seperti frustration, discard, dan misconceptions dibandingkan kuadran II. Setelah miskonsepsi selesai, individu pindah ke kuadran IV. Emosi yang muncul pada kuadran IV didominasi oleh emosi positif yang pasif seperti hopefulness dan fresh research. Pengalaman emosi pelajar di setiap kuadran dirasakan secara berbeda-beda sehingga hal inilah yang membuat dinamika diagram menjadi sebuah spiral. Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah lagging pada media pembelajaran audiovisual berpengaruh terhadap achievement emotion pada pelajar. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pelajar mengenai dampak dari lagging terhadap aspek emosi dalam kegiatan pembelajaran dan bagi pengajar mengenai dampak dari lagging terhadap emosi pelajar dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Metode Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan eksperimen atau experimental approach. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah lagging sebagai emotional stimulus, dan menggunakan achievement emotions sebagai variabel terikat. Penelitian ini dilakukan dengan metode post-test only design, yaitu treatment diberikan sebelum variabel dependen diukur (Christensen, 2007). Pada penelitian ini, skor post-test achievement emotion antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dibandingkan untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian stimulus berupa video pembelajaran yang mengalami lagging terhadap achievement emotion. Penelitian ini menggunakan alat
Qinthara, Anshari, Bagaskara, Suryadimulya, dan Fitriana 84 ukur Achievement Emotion Questionnaire – Short Version (AEQ-S) yang merupakan bentuk ringkas dari alat ukur sebelumnya, yaitu AEQ oleh Bieleke et al. (2021). Alat ukur ini mengukur delapan emosi yang muncul dalam situasi pembelajaran, yaitu enjoyment, pride, hope, anger, anxiety, shame, hopelessness, dan boredom. Kedelapan emosi tersebut dapat diukur dalam tiga situasi yang dibuat berdasarkan emosi yang dirasakan pelajar, yaitu emosi-emosi yang berhubungan dengan kelas, proses pembelajaran, dan pelaksanaan ujian. Contoh pertanyaan dalam alat ukur ini adalah “Saya senang mengikuti pematerian ini”, “Saya merasa bangga terhadap diri saya”, “Saya merasa penuh harapan”, “Saya marah, Saya merasa tegang saat pemberian pematerian materi”, “Saya merasa malu”, “Saya merasa putus asa”, dan “Saya merasa bosan”. Alat ukur ini memiliki pilihan rentang jawaban 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Peneliti melakukan prosedur adaptasi dan uji coba alat ukur untuk menghasilkan properti psikometri alat ukur yang telah diadaptasi dalam versi bahasa Indonesia. Hasil uji reliabilitas dan validitas menunjukkan bahwa alat ukur ini reliabel dan valid dalam mengukur achievement emotion dengan nilai reliabilitas dan validitas disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Uji Reliabilitas dan Validitas Variabel Reliabilitas Keterangan Validitas Keterangan AEQ-S .707 Reliabel Chi-square = 2264.43 CFI = .83 NFI = .73 RMSEA = .12 Valid Emosi Positif .799 Reliabel Enjoyment .861 Reliabel Hope .671 Reliabel Pride .753 Reliabel Emosi Negatif .928 Reliabel Anger .877 Reliabel Anxiety .776 Reliabel Shame .942 Reliabel Hopelessness .833 Reliabel Boredom .909 Reliabel Peneliti merekrut partisipan penelitian menggunakan teknik purposive sampling dengan acuan partisipan yang ikut penelitian tertarik dengan pembelajaran kesehatan mental menyesuaikan dengan video pembelajaran. Hal ini dilakukan sebagai kontrol eksternal, yaitu atensi dan kebosanan. Proses rekrut menghasilkan partisipan sebanyak 67 orang dengan 7 orang mengundurkan diri sehingga tersisa 60 partisipan. Selanjutnya, peneliti melakukan pengacakan menggunakan random quota sampling untuk membagi 60 partisipan menjadi 30 sampel kelompok eksperimen dan 30 sampel kelompok kontrol. Partisipan pun diminta untuk menonton video media pembelajaran audiovisual yang mengenai topik kesehatan mental dengan durasi 4 menit 30 detik. Kelompok kontrol diberikan video pembelajaran yang normal tanpa lagging, sedangkan kelompok eksperimental diberikan stimulus lagging berupa audiovisual yang patah-patah (berdurasi 3–5 detik), suara menghilang (3–4 detik), layar hitam (5–8 detik), suara melambat (4–6 detik), dan percepatan video (3–4 detik). Variasi gangguan ini tersebar secara acak sepanjang durasi media belajar dengan variasi durasi yang beragam pula. Setelah pemberian treatment, partisipan diminta mengisi kuesioner AEQ-S untuk mengukur tingkat achievement emotion. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi situasi signifikan yang mereka alami dan menggambarkan perasaan mereka saat berada dalam situasi lagging tersebut. Data skor AEQ-S berbentuk multidimensi sehingga dilakukan uji beda dua kelompok independen untuk melihat signifikansi perbedaan emosi-emosi yang dirasakan oleh kedua kelompok. Hasil uji analisis distribusi data menunjukkan bahwa seluruh data tidak berdistribusi normal sehingga digunakan uji nonparametrik Mann–Whitney U untuk membandingkan skor emosi AEQ-S antara kelompok eksperimental dengan kelompok kontrol. Skor yang dibandingkan meliputi rata-rata skor emosi enjoyment, hope, pride, anger, anxiety, hopelessness, shame, dan boredom.
Qinthara, Anshari, Bagaskara, Suryadimulya, dan Fitriana 85 Delapan emosi tersebut dibagi menjadi dua muatan berbeda, yaitu skor emosi bermuatan positif (enjoyment, hope, dan pride), dan skor emosi bermuatan negatif (anger, anxiety, hopelessness, shame, dan boredom). Hasil Hasil uji statistik dibagi menjadi statistik deskriptif yang meliputi skor mean dan standar deviasi AEQ-S, emosi positif, emosi negatif, dan emosi per dimensi, serta statistik inferensial yang terdiri dari uji beda per muatan emosi dan per dimensi emosi. Penelitian ini tidak memasukkan karakteristik khusus partisipan (jenis kelamin, pendidikan, dan lainnya) karena tujuan utamanya adalah melihat emosi yang dirasakan dengan asumsi semua partisipan setara. Hasil uji statistik menunjukkan hasil yang beragam. Secara umum, terdapat perbedaan yang signifikan pada skor tiga emosi negatif (anger, hopeless, dan boredom) dan satu emosi positif (hope) antara kelompok eksperimental dengan kelompok kontrol. Hasil signifikansi menunjukkan bahwa perbedaan ini muncul akibat stimulus lagging yang diberikan. Hasil pengujian statistik deskriptif dan statistik inferensial penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Uji Beda Skor AEQ-S Per Jenis Emosi Variabel Kelompok M SD p Kesimpulan Emosi positif Eksperimental 3.07 .75 .06 Tidak signifikan Kontrol 3.42 .52 Emosi negatif Eksperimental 2.04 .56 .001 Signifikan Kontrol 1.65 .5 Enjoyment Eksperimental 3.25 .76 .27 Tidak signifikan Kontrol 3.43 .61 Hope Eksperimental 3.29 .67 .032* Signifikan Kontrol 3.62 .57 Pride Eksperimental 2.68 1.09 .053 Tidak signifikan Kontrol 3.21 .81 Anger Eksperimental 2.04 .92 .001* Signifikan Kontrol 1.35 .41 Anxiety Eksperimental 1.66 .8 .560 Tidak signifikan Kontrol 1.52 .67 Hopeless Eksperimental 1.95 .86 .006* Signifikan Kontrol 1.43 .51 Shame Eksperimental 1.45 .81 .379 Tidak signifikan Kontrol 1.6 .93 Boredom Eksperimental 3.1 1.1 .021* Signifikan Kontrol 2.36 1.18 Keterangan: * p < .05 (two-tailed) Berdasarkan Tabel 2, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p < .05) pada mean variabel emosi negatif antara kelompok eksperimental (Me = 2.04; SDe = .56) dengan kelompok kontrol (Mk = 1.65; SDk = .5). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok eksperimental merasakan lebih banyak emosi negatif dibandingkan dengan kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p < .05) pada pengujian emosi positif partisipan, namun pengujian lanjutan pada dimensi emosi hope menunjukkan bahwa kelompok kontrol (Mk = 3.62, SDk = .57) merasakan emosi hope yang lebih tinggi dibandingkan kelompok eksperimental (Me = 3.29, SDe = .67).
Qinthara, Anshari, Bagaskara, Suryadimulya, dan Fitriana 86 Pengujian lanjutan juga dilakukan pada dimensi emosi negatif, yaitu anger, anxiety, hopeless, shame, dan boredom. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan mean pada variabel emosi anger (Mk = 1.35; SDk = .41; Me = 2.04; SDe = .92; p < .05), hopeless (Mk = 1.43; SDk = .51; Me = 1.95; SDe = .86; p < .05), dan boredom (Mk = 2.36; SDk = 1.18; Me = 3.1; SDe = 1.1; p < .05). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok eksperimental yang ditugaskan untuk menonton media belajar berstimulus lagging membuat mereka lebih merasakan emosi anger, hopeless, dan boredom dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa lagging media pembelajaran audiovisual sebagai emotional stimulus dapat memengaruhi achievement emotion pelajar. Pengujian secara umum dan per dimensi emosi yang dilakukan membuktikan bahwa stimulus lagging membuat kelompok eksperimen merasakan emosi negatif lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol yang berdasarkan Kort’s learning spiral model menandakan adanya perpindahan kuadran. Pengujian lanjutan per dimensi emosi menunjukkan bahwa lagging dapat mempercepat perpindahan individu dari kuadran I yaitu ketika individu merasakan emosi positif yang konstruktif (seperti awe, satisfaction, enjoyment, dan curious) menuju kuadran II yang banyak ditandai oleh emosi negatif yang konstruktif (seperti confusion dan disappointment). Bahkan perpindahan ini dapat lanjut ke kuadran III yang banyak ditandai dengan emosi negatif yang melibatkan proses unlearning (seperti frustration, discarding, boredom, anger, dan anxiety) dibandingkan individu yang tidak mengalami lagging pada media pembelajarannya (Sandanayake et al., 2011). Selain itu, ditemukan pula perbedaan pada emosi hope yang lebih rendah pada kelompok eksperimen. Dapat dikatakan bahwa lagging media pembelajaran audiovisual sebagai emotional stimulus dapat memengaruhi achievement emotion pada pelajar dengan cara mempercepat individu merasakan emosi negatif unlearning (seperti frustration, discarding, boredom, anger, dan anxiety) dan sulit merasakan emosi positif unlearning (seperti hope dan insight) (Sandanayake et al., 2011). Hal tersebut sejalan dengan penelitian eksperimental sebelumnya yang dilakukan oleh Pekrun et al. (2003) tentang pengaruh extra-task emotions on task-related attention. Pekrun et al. (2003) menemukan bahwa keadaan emosi individu yang diberikan gambar afektif atau ingatan peristiwa kehidupan yang buruk dapat mengurangi sumber daya kognitif yang tersedia untuk kebutuhan tugas (task purposes), seperti yang ditunjukkan oleh event-related brain potentials. Berkurangnya cognitive resource yang dimaksud disebabkan oleh terganggunya fungsi working memory dalam memproses stimulus netral akibat adanya stimulus emosional. Hal ini termasuk ke dalam fenomena interferensi. Penelitian ini pun menunjukkan adanya emosi negatif yang muncul pada diri partisipan. Menurut Tyng et al. (2007), kemunculan emosi negatif ini dapat mengganggu proses belajar dan memori. Selain itu, terdapat pula keselarasan antara teori Pekrun dengan hasil penelitian Artino yang menemukan bahwa emosi negatif boredom berhubungan secara negatif dengan metakognisi (Artino & Jones, 2012). Hubungan antara metakognisi dengan emosi negatif didukung oleh penelitian Pekrun et al. (2007) yang menjelaskan bahwa emosi yang dirasakan berkaitan dengan jenis aktivitas, kemampuan mengontrol aktivitas tersebut dan pada nilainya. Penelitian ini pun menunjukkan kemunculan emosi boredom pada kelompok eksperimen. Menurut penelitian Pekrun et al. (2007), boredom muncul akibat aktivitas pembelajaran yang tidak dinilai secara positif maupun negatif. Hal ini terjadi akibat beberapa faktor. Misalnya, tuntutan dari aktivitas pembelajaran terlalu rendah, seperti kegiatan yang monoton, kurangnya tantangan, dan kurangnya nilai intrinsik. Selain itu, tuntutan pembelajaran yang melebihi kemampuan atau tidak dapat dipenuhi juga dapat menimbulkan kesulitan dalam menemukan makna dari aktivitas yang dilakukan sehingga mengurangi nilai intrinsik dari aktivitas tersebut. Pada penelitian ini, partisipan dituntut untuk memperhatikan video pembelajaran dengan seksama karena di akhir penelitian terdapat tes mengenai materi pembelajaran. Partisipan yang mengalami lagging tidak dapat menerima
Qinthara, Anshari, Bagaskara, Suryadimulya, dan Fitriana 87 informasi dari materi pembelajaran yang dibutuhkan dengan baik dan komprehensif. Hal ini menyebabkan partisipan merasa kesulitan dalam menghadapi tantangan berupa tes materi dan menemukan makna dari pembelajaran yang ditayangkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Noteborn et al. (2012) yang menemukan bahwa kegiatan belajar yang lebih menekankan pada konsep dibandingkan praktiknya dirasa lebih membosankan oleh pelajar. Hal ini dapat menjadi alasan partisipan untuk tidak menilai aktivitas pembelajaran secara positif atau negatif sehingga muncul kebosanan pada diri partisipan. Hal ini sejalan dengan penelitian Pekrun et al. (2010) yang menunjukkan bahwa emosi kebosanan merupakan emosi yang paling sering dirasakan dalam setting pembelajaran dan dapat menghasilkan gangguan fungsi psikologis seperti atensi, motivasi, regulasi diri dan peforma akademik (Pekrun et al., 2010). Selanjutnya akan dibahas mengenai emosi yang muncul berdasarkan control value theory. Jika aktivitas yang dilakukan dapat dikontrol, tetapi aktivitas tersebut dinilai negatif, maka emosi anger akan muncul. Pada penelitian ini, hal tersebut terjadi ketika video dapat ditonton, namun terdapat lagging pada video yang mengakibatkan informasi yang diterima dari video pembelajaran tidak tersampaikan dengan jelas dan memerlukan usaha lebih secara psikologis untuk memahami materi sehingga memunculkan emosi anger akibat lagging. Anger sendiri muncul dari perasaan bingung karena partisipan tidak dapat mengerti isi dari pembelajaran yang diberikan (Tyng et al., 2017). Kemudian jika aktivitas tersebut memiliki nilai (value) tetapi tidak dapat dikontrol dan terdapat hambatan pada aktivitas tersebut, maka akan turut memunculkan rasa frustasi. Sebagaimana halnya pada penelitian ini, video pembelajaran yang ditampilkan memiliki nilai yang positif karena berkaitan dengan kesehatan mental yang dianggap bermanfaat untuk diketahui. Namun, hambatan berupa lagging yang tidak dapat dikontrol muncul pada video tersebut. Nilai atau rasa kebermanfaatan yang diterima dari materi video pun tidak tersampaikan dengan baik sehingga memunculkan emosi hopeless. (Daniels & Stupnisky, 2012). Simpulan Achievement emotion berkaitan langsung dengan pengalaman pembelajaran dan hasil pencapaian, serta memiliki pengaruh terhadap performa siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stimulus lagging media pembelajaran audiovisual dapat memengaruhi achievement emotion pelajar dengan menimbulkan emosi anger, boredom, dan hopeless yang tinggi, serta emosi hope yang rendah. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan berupa penyesuaian durasi video dan tingkat keparahan lagging yang lebih tinggi, dan situasi kelas yang lebih nyata seperti dilakukan pada jam pelajaran. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya dapat membuat durasi video yang lebih panjang dengan stimulus lagging yang lebih parah. Penelitian selanjutnya juga dapat menggunakan setting penelitian yang lebih ideal, yaitu secara langsung dilakukan di dalam ruangan kelas yang nyata agar individu dapat lebih merasakan atribut kelas yang riil. Saran teoritis meliputi penggunaan bioassessment dan stimulus lagging yang terstandarisasi agar dapat dilakukan observasi secara objektif dan bukti ilmiah yang lebih komprehensif. Peneliti lain juga dapat melakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh lagging terhadap outcome atau hasil pembelajaran menggunakan pendekatan control-value theory. Saran praktis penelitian ini ditujukan pada penyelenggara pendidikan dan para pelajar yang menjalani pembelajaran secara daring agar dapat memaksimalkan kondisi jaringan untuk meminimalisasi situasi lagging. Daftar Pustaka Artino, A. R., & Jones, K. D. (2012). Exploring the complex relations between achievement emotions and self-regulated learning behaviors in online learning. The Internet and Higher Education, 15(3), 170-175. 10.1016/j.iheduc.2012.01.006. Bieleke, M., Gogol, K., Goetz, T., Daniels, L., & Pekrun, R. (2021). The AEQ-S: A short version of the Achievement Emotions Questionnaire. Contemporary Educational Psychology, 65, 101940.
Qinthara, Anshari, Bagaskara, Suryadimulya, dan Fitriana 88 Christensen, L. B. (2007). Experimental methodology. Boston: Pearson. Daniels, L. M., & Stupnisky, R. H. (2012). Not that different in theory: Discussing the control-value theory of emotions in online learning environments. The Internet and Higher Education, 15(3), 222-226. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2012.04.002. Essel, H. B., Vlachopoulos, D., Adom, D., & Tachie-Menson, A. (2021). Transforming higher education in Ghana in times of disruption: Flexible learning in rural communities with high latency internet connectivity. Journal of Enterprising Communities: People and Places in the Global Economy, 15(2), 296-312. Lehman, B., D'Mello, S., & Graesser, A. (2012). Confusion and complex learning during interactions with computer learning environments. The Internet and Higher Education, 15(3), 184-194. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2012.01.002. Loderer, K., Pekrun, R., & Lester, J. C. (2020). Beyond cold technology: A systematic review and meta-analysis on emotions in technology-based learning environments. Learning and Instruction, 70, 101162. https://doi.org/10.1016/j.learninstruc.2018.08.002. Mishra, J., Zanto, T., Nilakantan, A., & Gazzaley, A. (2013). Comparable mechanisms of working memory interference by auditory and visual motion in youth and aging. Neuropsychologia, 51(10), 1896-1906. https://doi.org/10.1016/j.neuropsychologia.2013.06.011 Noteborn, G., Carbonell, K. B., Dailey-Hebert, A., & Gijselaers, W. (2012). The role of emotions and task significance in virtual education. The Internet and Higher Education, 15(3), 176-183. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2012.03.002. Pekrun, R. (2000). A social-cognitive, control-value theory of achievement emotions. In J. Heckhausen (Ed.), Motivational psychology of human development: Developing motivation and motivating development (pp. 143–163). Elsevier Science. https://doi.org/10.1016/S0166-4115(00)80010-2 Pekrun, R., Goetz, T., Titz, W., & Perry, R. P. (2002). Academic emotions in students' self-regulated learning and achievement: A program of qualitative and quantitative research. Educational Psychologist, 37(2), 91-105. https://doi.org/10.1207/S15326985EP3702_4. Pekrun, R., Frenzel, A. C., Goetz, T., & Perry, R. P. (2007). The control-value theory of achievement emotions: An integrative approach to emotions in education. In Emotion in education (pp. 13-36). Academic Press. https://doi.org/10.1016/B978-012372545-5/50003-4 Pekrun, R., Goetz, T., Daniels, L. M., Stupnisky, R. H., & Perry, R. P. (2010). Boredom in achievement settings: Exploring control–value antecedents and performance outcomes of a neglected emotion. Journal of Educational Psychology, 102(3), 531. Pekrun, R., Goetz, T., Frenzel, A. C., Barchfeld, P., & Perry, R. P. (2011). Measuring emotions in students’ learning and performance: The Achievement Emotions Questionnaire (AEQ). Contemporary Educational Psychology, 36(1), 36-48. https://doi.org/10.1016/j.cedpsych.2010.10.002. Pousada, M., Caballé, S., Conesa, J., Bertrán, A., Gómez-Zúñiga, B., Hernández, E., ... & Moré, J. (2018). Towards a web-based teaching tool to measure and represent the emotional climate of virtual classrooms. In Advances in internetworking, data & web technologies: The 5th international conference on emerging internetworking, data & web technologies (EIDWT-2017) (pp. 314-327). Springer International Publishing. Sandanayake, T. C., Madurapperuma, A. P., & Dias, D. (2011). Affective E learning model for recognising learner emotions. International Journal of Information and Education Technology, 1(4), 315. Tyng, C. M., Amin, H. U., Saad, M. N. M., & Malik, A. S. (2017). The influences of emotion on learning and memory. Frontiers in Psychology, 8. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.01454
Qinthara, Anshari, Bagaskara, Suryadimulya, dan Fitriana 89 Yuzulia, I. (2021). The challenges of online learning during pandemic: Students’ voice. Wanastra: Jurnal Bahasa dan Sastra, 13(1), 8-12. https://doi.org/10.31294/w.v12i1 Zha, M., & Zhang, Y. (2019). The effects of network latency on player gaming experience [Doctoral dissertation, Worcester Polytechnic Institute]. Zickerick, B., Thönes, S., Kobald, S. O., Wascher, E., Schneider, D., & Küper, K. (2020). Differential effects of interruptions and distractions on working memory processes in an ERP study. Frontiers in Human Neuroscience, 14. https://doi.org/10.3389/fnhum.2020.00084.)