Mahroso Doloh
Mata Langit Diruncing
berkedip di lapangan langit hitam
manisan doa melintasi separuh kuburan
memberi salam pada kumpulan itu
pintu terbuka senyum yang terluka
terhunus malam yang setia pada gelap
berikan rahim embun membasahi;
tiangtiang bangsa selalu—
mengikis asap menerobos mendung pada jalanan
danaudanau yang buta arus
menunggu hujan sebilah pisau
kapal mencari ikan, pasaran tersenyum
menjadi pagi iktikaf pada embun
Purwokerto,April 2014
80
Kiblat Cinta
Lilin Jepara
Kita dipertemukan lilin Jepara
selalu menderaikan terang tak kehabisan
cahayanya melumuri anak cucu disini
pribumi; terdengar di Nusantara
terpaku di jutaan kalbu
cinta membara mengilhami Hawa
dalam sukma dengan tulus pengorbanan
dari belenggu antara langit dan bumi hitam dan putih
habis malam datanglah pagi
membuka mata pada kepala yang terpicik
habis gelap terbitlah terang
terkubur malang menggunung doa
dalam sujud terbungus kebangkitan
mewariskan terang jadi titi—
kepada-Nya
Purwokerto,April 2014
81
Mahroso Doloh
Melukis Cahaya
Kaulah puisiku
selalu terkunci di pintu kalbu
sungguh wajahmu mata tak bertatap
tapi aroma selalu jadi sahabat kuping-kuping
waktu bertabur
sehingga cinta terpendam kalbu
tak mampu bernyanyi dengan merdu;
kau bebaskan hawa di Nusantara
Purwokero,April 2014
82
Kiblat Cinta
Kau
Usai di makam itu
subuhmu merambat menjadi aksara
embun yang selalu bermadah
hingga kupu-kupu bershalawat tak kehabisan
apakah kau selalu mendengarnya
sebagaimana kau dengar suara perempuan menjerik pada
dunia;
dan ketika itu kau bertatih menggali surga dan hamburkan
mewariskannya menjadi benihbenih berdiri dengan diri
hingga tarianmu menjadi-jadi tak terlihat kaku
kau kuburkan lumpuh pada hawa
menjadi pohon, sayur mayur menakluk kehijauan kembali
setelah begitu lama namamu berlayar dalam nadi,
aku berlabuh pada dadamu; begitu kukuh
melintas ombak dan segala badai di cakrawala
dibanting doa pulau ke pulau hingga teluk dadamu sampai
terdengarlah suarasuara disegenap pelosok dunia
Purwokerto,April 2014
83
Mahroso Doloh
Kartini
KARam kembali memberi salam
pada dedaun yang lama lumpuh dan kering dalam basah
menunggu hujan membalik nasib
yang selama hanya diam pada doa
TInta setitik kata
menjadi senjata pembuka mata
dan tak lagi buta, tak mendiam katakata
seolah-olah nabi kaum hawa
NIat tulus; pagi sampai mentari ditelan bumi
kau dan kami berjabat kalbu menetes gerimis rindu
hanya pada angin kulihat indah wajahmu
biarpun lama sekian tahun tetap disanjung
setiap ulang tahunmu jutaan cahaya lilin shalawat tak
kesudahan
membalas tetesan keringatmu dulu menyuburkan di segenap
cakrawala
Purwokerto,April 2014
84
Kiblat Cinta
Warisan di Salam Kartini
Semoga kau dengar salamku ini
lihatlah kembang salam cinta; hawa
biarlah tangan tak sempat berjabat
tapi tetesan dari keringat tanganku
sudah menjadi kehijauan
yang begitu indah pada alam
dan ku harap lanjutkan keringat ini
jangan sampai kekeringan singgah pada bumi
semoga kau dengar salamku ini
jangan kau takut dengan hal-hal belum kau teguk
walau sepanas apapun jangan biar begitu saja
mainkan sedikit otak jernih itu
untuk bebas sepanjang waktu
dalam hidup seorang anak ke anak cucu
yakinkan itulah rela dari-Nya
Purwokerto,April 2014
85
Mahroso Doloh
Kepayang Kursi (1)
Terbening kursi dalam ruangan
pada fajar menyingsing
menunggu calon ratusan mata
dua mata yang jutaan mata
mata melihat kursi itu
kursi melihat mata itu
dan itu bukan permainan metafora;
tapi metafora itu dipermainkan
bukan permainan hidup
hidup dipermainkan—
memang kita adalah boneka
tak dapat menempati kursi empuk
Purwokerto,April 2014
86
Kiblat Cinta
Kepayang Kursi (2)
Di kamar tidur boneka dipeluki
hujan membasahi dan kedinginan
seberapa mahal boneka itu
ku senyum tanpa kecuali
tapi apakah boneka itu
diletak di kursi empuk, senantiasa
harum bajunya, tidak terlihat
di jalanan dan lampu-lampu merah
senyum rumit kau berikan
tak bisa dibaca; boneka bernapas ikan
berbaring melihat kursi sedang permimpi
kursi penuh oleh dasi-dasi
Purwokerto,April 2014
87
Mahroso Doloh
Kepayang Kursi (3)
Malam di siang hari
mimpi hangat atas kursi berjuta kaki
berjuta kaki di kursi tanpa kaki
kepayang kursi
kau riuh yang menjadi
bertabur bidadari
menutup mata selembar-selembar
tangan terbuka penuh udara
kursi sekolah tak pernah kududuki
keras lembutnya sekalipun tak nikmati
kau di kursi surga; melihatkah
kaki tenggelam tanah—
Purwokerto,April 2014
88
Kiblat Cinta
Kepayang Kursi (4)
Dedaun silih berganti
indah pohon; dedaun hijau yang tulus
daun di puncak badai bertamu
meskipun begitu, tetap dengan kukuh
menjaga kehijauan memberi teduh
di bawah pohon aku bersekolah
menanam pohon aku bernapas
naungan pohon merantai gerobak
jadikan pohon di puncak takwa
cumbuan waktu tidak sesaat
memberi medan penuh warna
kesana kemari senyuman makmur
Purwokerto,April 2014
89
Mahroso Doloh
Ucapan Selamat
Hari masih tersisa sepertiga menjelang malam
kami menyaksi sumpah-sumpah telah kasidah
akan membara jadi perigi; dan doa-doa
kami ucapkan selamat atas kursi yang kau ingin
rembulan silih berganti dan mentari pagi selalu
mendaki kursi yang kau isikan sumpah—
sumpah jadi ayah dan ibu tercinta
kami tunggu layanan—sang bayi melihat dunia
senyum manis yang kau papar itu
atas kursi di puncak awan
kau menatap cerahan di langit biru
jangan hanya berziarah; kau berikan
Purwokerto,April 2014
90
Kiblat Cinta
Keunikan Senyum
Senyum salju penuh di depan rumah warga
pohon-pohon ikut bersenyum di sepanjang jalanan
apakah matahari sepuluh april masih tersenyum
jika iya, ku harap kau tersenyum merantai kalbu penuh
melati
terima kasih kau ucapkan
dengan Basmalah kau langkah tebah semak-semak hutan
simbah keringat menjerat di atas sajadah
memberi penawar kakek tua penjaga mushola
jangan kau tanam bunga kamboja pada mimpi-mimpi
tapi tanamkan para sufi atas kuburan berdoa oleh ribuan
orang
kepergian diselimuti aroma melati dan suci
senyum kau merata; kau pergi bertemu sang Maha Cinta
Purwokerto,April 2014
91
Mahroso Doloh
Bait Puisi Para Pejabat
Selamat pagi bapak ibu
suara pejabat melontar kuping-kuping
dengan manis senyumnya; menjadi sulit dimaknai
senyum bunga kamboja apa melati
sekalipun penuh wangi
bisa membusuk sampai ke hati
sekuntum bait puisi
merekah darah gembur di hati
nada-nada mengalun aroma surga
beri ceramah bagai kasidah cinta
sebening puisi menetes awan sunyi
menjadi kabut untuk yakin para Nabi
Purwokerto,April 2014
92
Kiblat Cinta
Doa Sebelum ke Makam
Matahari pagi nakhoda hidup ini
aku sudah tua tak melihat langkah di depan
tapi, anak cucuku masih bayi semua
apakah itu akan ku tinggal begitu saja
ku selalu berdoa agar di jendela dunia
tempat kau sumpah; menjadi tepat—
tempat aku merenung, melihat kekuningan sawah
yang penuh senyuman mewujud kehijauan mendatang
kutitipkan gunung, lautan dan semesta ini
menjadi kaki tangan dalam seharihari mengisi waktu
jangan kau tanam untuk kepentingan pribadi
menyulap mentah menjadi emas menghias diri
khalifah Ilahi
kemarau kau rimbah keringat menjadi-jadi
memberi mendung pada pintu ke pintu
terima kasih kau menjadi khalifah yang selalu
Purwokerto,April 2014
93
Mahroso Doloh
Ulang Tahun Sepuluh April
Harapan berpijar di rengkut lautan
karena redam dengan nanar sumpah-sumpah
bukankah Dia untuk mengikat keyakinan
kepada-Nya kening-kening menghampari
ulang tahunmu sepuluh april
sempatkah kau menyala lilin dan merata
menabur melati memberi harum di pintupintu
seperti Dia; purnama bulan di pelusuk dunia
ku ingin, di mushala itu terang gemilang
kau jadi imam menular para jamaah
merenung kepada Cinta; dan doa
dengan Zamzan itu Dia memandikan kita
Purwokerto,April 2014
94
Kiblat Cinta
Risalah Rakyat
Kau hidangkan nyala matahari
sebelum subuh menjelma
kau beri beribu doa tercatat di surat kabar
kau merapat bunga-bunga; kelopak—
berjuta medan merantai doa
memekarkan kemilauannya, sinar di ufuk-ufuk
hingga fajar jadi hakikat dan bermakna
aroma jalanan kau reguk sebagai sang kekasih
sebelum matahari berkubur
lima tahun kelak berikan embun yang mengkobar
membasahi rerumput kepanasan; kering
membuka hutan menjadi ladang-ladang
; napas
Purwokerto,April 2014
95
Mahroso Doloh
Kepada Siapa Aku Bertanya
Umpama badai menjelma dalam hidupku
menutup mata dalam gelombang ; bernapas ikan
beribu kapal bersuara mengundangku
semua berhias penuh warna dan senyuman
saat gemuruh dan gelegar
kemanakah aku harus mengatur telapak
apakah ada yang melabuh bahtera cinta
memberi ikan menjadi lauk untuk sarapan
aku sudahkah i’tikaf dalam sujud
apakah sujud hanya sisa yang menghanyut
aroma surga dan air mata bisakah diuntai mutiara
gemilang menjadi doa di penghujung senja
Purwokerto,April 2014
96
Kiblat Cinta
Bunga-bunga Rakyat
Butiran embun hening di kelopak bunga
semua merah dan semakin runcing
memberi hias taman ke taman
saat embun mengatarkan rembulan
Sepeti mimpi yang berkerut
saat melepas aroma surga yang bertakbir
jutaan amin dengan harapan kehijauan
menyejuk mata, relung kalbu pada sunyi
dalam udara berteduh kuldi
menghalang nestapa menyemai doa
dengan jasad yang kau selami
jadikan bunga di rembulan yang mengantar
: kuburan mentari
Purwokerto,April 2014
97
Mahroso Doloh
Suara di Kaki Bumi
Di kursi yang mana layak ku tempati
kau persila penuh dengan irama dan berpuisi
singgasana kau ikhlas untuk siapa
pada ku atau menjadi altar untukmu
sungguh gemang saat kau melontar doa-doa
menjadi mimpi-mimpi revolusi anak cucu
berangkutan bertemu guru tanpa sembilu
mewujud hari-hari istikharah aroma surga
kemarau tak juga kemarau
bumi merindangkan hujan
hujan merindangkan hijau
kau beserta aku merindang tangan-tangan—
dalam hujan dan cahaya yang redup
lapangkah kau berbunga bersedia ditimpa badai
dalam ruang yang sudah-sudah berbenah bidadari
sudi menghanyut geram derita saat sapa melontar
Purwokerto,April 2014
98
Kiblat Cinta
Kabut di Kampus Biru
Kampus biru kau selalu menyebut
taat dan sujud suara bergema
ayat-ayat kau selalu menyebut
bukan Kitab kau tak kenalan dan berkata bidah
tapi menjilat mata dan membumi bayang-bayang hitam
dengan membuta mata-mata yang nyata
saat kabut bernyala menjilat kepala dan kau menari
kau jadi wadah terbuka meledani kabut hitam
apa arti apakah tafsirmu kata unggul
dan apakah arti modern dan islami
ketika tembok-tembok dan suara-suara menjerik-jerik
kau memejam, tuli dan membuta
satu kata kau tak berkata
bibir telah dikunci oleh budaya
seni yang kau setia tanpa setetes menguranginya
budaya bukan cahaya tapi kabut memunuhi jiwa-jiwa
Purwokerto, 4 Maret 2014
99
Mahroso Doloh
Smokol
-Tugas Analisis Cerpen Smokol
Smokol kau jadi puisi aku malam ini
kau masukan kepayang kepala kecil ini
oh...aku pergi aku balik aku tersesat
tak bisa aku tembuskan jalan kau, Smokol
Smokol aku bengong
aku tanya ke pohon-pohon tua di kebun
tapi jawabannya aku juga tertutup pohon-pohon kepayang
Smokol,
ini harus bagaimana? padahal bumi memuntah cahaya
aku harus pergi, tiket satu minggu lalu aku sudah tetap
aku harus bagaimana?
kau suruh aku menyeberang aku menyeberang
malah kau memutarkan
aku harus bagaimana
Purwokerto, 4 Maret 201
100
Kiblat Cinta
Merah Putih Mengecewa
Di puncak pohon-pohon tanah ini
terbayang merah putih serambi Mekah
berlari-lari di televisi tidak ada yang Cina
kebanyakan wajah memuat gatungan baju
merah putih di puncak pohon-pohon ini
engkau sudah bebas dari batas-batasan barat
semua umat mayoritas Muhammad
kaum ibu berjalanan Aisyah
tapi setelah aku tumbuh di kebun-kebunnya
ternyata semua itu bayang-bayangan kosong
rakyat-rayat yang lapar di pinggir-jalan
serambi Mekah berada di tangan-tangan barat
aku kecewa kenyataan di kebun SBY
aku kira kebun ini dapat aku menumpan mandi
tapi ternyata kebun ini hanya berisi rumput-rumput yang
kering
yang mengalami lapar dan dahaga
Purwokerto, 4 Maret 2014
101
Mahroso Doloh
Raja Pemilu
Aku pribadi pendatang
saat fajar menyingsing mata terlihat memandang;
barisan gerobak-gerobak mencari nafkah di sepanjang—
jutaan tangan mengayung-ngayung yang
menari di jalan getir menggendong sebongkah jantung tanpa
berdosa dan bertelanjang
di segenap rute-rute di bumi tercinta Hyang
aku menghitung lampu-lampu jalan yang
berurutan dan diakhiri oleh sebilah tongkat serta kaki yang
patah membelalang
membawa kecapi-kecapi yang dibikin dari tasbih dan madah
berdetingan kotoran lumang
tapi setiap hari tongkat itu menjadi raja
angin membawa gelombang menjilat kuping-kuping kita
gelombang yang lahir dari bibir politisi, pusat dan daerah
serta kota
beragam dan selalu dijunjung, tapi setelah pemilu tiba
dan usai, fajar menyingsing tongkat dan tangan-tangan yang
mengayung fakta
menjadi getir dan membawa gelombang keruyuk untuk lima
tahun ke depan yang derita—
Purwokerto, Januari 2014
102
Kiblat Cinta
Banyumas Seindah Negerimu
Banyumas seindah negerimu
embun pagi memaniskan mataku
gunung Slamet merayu-rayu kalbu
Ronggeng dan batik membuatku kehilangan titik salju
fajar menyingsing ku melihat di setiap penjuru
sungai serayu mengalirkan jiwa luhur, mataku terpaku
Telaga sunyi
pancuran tiga dan tujuh kumenyaksi
bumi perkemahan kebun raya terperi
negeri mutiara pusaka Ilahi
yang tak terlukis dada sebelum ku kunjungi
Ahmad Tohari
cukup indah namamu, senantiasa terperi
yang persis tajam otaknya tak terhenti
Srintil menjadi bidadari dan menari
teguh menggalas adab budaya tak pernah goyah dan bakti
menjilat daun kudus di dadaku rantai memuji
lantaran aku berlari disini
tak pernah ku duga jalanan ini;
bertemu dengan seorang penyair selama ini ku cari-cari
yang dicintai ranting-ranting budaya dan seni
yang tersimpan filosof dan Sifatul Din bercabang tak henti
diiringi ahlussuluk kesendirian para sufi
sekelumit rindu takkan hanyut
menumpang mandi dan berteduh larut
agar bisa ku temui cablaka, blakasuta untuk ku rangkut
setetes dzikir bisa kutitip, tuntut
menabur bunga-bunga profetik ke jauh-jauh ufuk dan sudut
semoga persih tabliq di talapak Muhammad melesat salut
Purwokerto, Januari 2014
103
Mahroso Doloh
Nafas
Fajar menyingsing
membawa gairah terbening
setiap langkah tanpa merinding
Kau menjelita rerumput; kering
di pegunungan dingin ku sapa
kaki tangan mengayuh bersama
berbakti, makruf bumi tercinta
memapar hutan ladang jadi ladang-ladang berbunga
diiringi rengkong saat panen tiba
jalan pulang-pergi silih senyum dan suara
bekerjacowog, mbloak wongdesa
umat limpah rahmat Sang Kuasa
marak fajar rute-rute untuk bersujud
jutaan gerimis menyelimut badan penuh maksud
setetes lautan nafas sang bayi yang menakjub
Rahmat selalu shalawat semesta bertahajud
Purwokerto, Januari 2014
104
Kiblat Cinta
Sajak Orang Merantau
Tak tahu bulan sabit yang harus ku tulis
aku adalah rembulan dikelilingi bintang romantis
orang berkata sajakku adalah puitis
aku bilang anggap saja ini setangkai bunga narsis
aku merantau menggali doa-doa
pafas dingin kulit menjadi kata-kata
gunung Slamet ku menjilat dua belah mata
menggalas cahaya taaruf berbagai budaya
ada bongkel yang bernadanada
tangan dan kaki dilingkar gelang-gelang
setiap gerakan diiringi kerincingan
senyum Srintil sangat menyenang
sungai serayu jutaan kata
walaupun belum sampai di muara
mengalir dengan gelombang sayang dan cinta
memberi nafas pada penduduk cablaka
hidup sama rata
adalah doa pulau jawa
Purwokerto, Januari 2014
105
Mahroso Doloh
Setangkai Gelombang Karyamin
Sepertiga rembulan kumelihat senyummu
demi waktu terus membuat terpaku
diijab-kabul bidadari hanya mengumpul batu
aku mengerti rembulan menyinari kerikil
tubuh rubah batupun tumpah
mengalir hiburan dan omong brecuh
mekar bunga melihatmu yang mbloak
aku pungut akarmu yang ksatria
Diktum jadi kolam renang bagi
aku yang sambil menyelam menangkap ikan
untuk mengisi lambung yang keruyuk
walau keruyuk, tapi merantai senyuman
merasa bajul buntung—
jika tanpa merajut senyummu itu
sebelum rembulan di telan tanah
sudikan aku melafal kulanuwun
Purwokerto, Januari 2014
_____________________
*Sajak “Setangkai Gelombang Karyamin” ditulis dengan berdasarkan
cerpen “Senyum Karmin” karya Ahmad Tohari.
106
Kiblat Cinta
Mengkiblatkan Cinta Kepada Cahaya
Oleh Dimas Indianto S.1
Cinta memang luar biasa. Cinta tak pernah habis dituliskan.
Cinta meruang dan mewaktu. Semua orang mengalami
perasaan yang disebut cinta. Cinta mempunyai banyak
dimensi, dari cinta eros sampai cinta mahabbah. Cinta tak
pernah selesai dibahas, tak pernah usang dijadikan cerita. Pun
dengan puisi. Penyair tak bosan menuliskan puisi ikhwal cinta.
Sehingga puisi cinta akan terus ada dan mengada. Padahal,
menulis puisi cinta itu hal yang sangat sulit. Setidaknya itu
yang diakui oleh Paul B. Janeczko dalam pengantarnya di
buku “Ketika Kau Tersipu” (2004). Puisi cinta menuntut
penyair untuk bisa membuka teks, agar pembaca bisa hadir
dan mengatakan “penyair ini begitu memahami perasaanku”.
Artinya, agar puisi tidak menjadi aku-penyair semata, namun
aku-publik. Sebab, semua orang merasakan cinta, mempunyai
cerita cinta, dan kenangan-kenangan indah tentang cinta,
maka itu, ketika dituangkan ke dalam sebentuk puisi,
tantangannya adalah bagaimana “pengalaman” yang menjadi
isi puisi itu tidak kehilangan ruh ketika puisi sampai pada
pembacanya.Contohnya adalah puisi cinta berjudul“aku ingin”
karya Sapardi Djoko Damono. Puisi itu sederhana, namun
maknanya—meminjam istilah W.S. Rendra—meruang dan
mewaktu, sehingga usia cinta lebih lama dari usia percintaan.
1 Dimas Indianto S. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Menulis puisi, cerpen, esai, artikel, dan jurnal. Sering
diundang membaca puisi baik di pertemuan sastrawan bertaraf lokal,
nasional, maupun internasional. Puisinya sering memenangkan lomba
kepenulisan puisi. Puisinya tersebar di berbagai buku antologi dan koran-
koran nasional. Buku kumpulan puisi pertamanya berjudul Nadhom
Cinta (2012). Sekarang bergiat sebagai pengasuh komunitas Pondok
Pena, Purwokerto.
107
Mahroso Doloh
Membaca buku kumpulan puisi berjudul “Kiblat Cinta”,
saya dihadapkan dengan sebuah kitab cinta. Mahroso Doloh,
seorang penyair kelahiran Thailand yang belum genap tiga
tahun berada di Indonesia, menawarkan puisi-puisi manis
yang sarat muatan cinta, dari cinta eros kepada lawan jenis,
cinta nasionalis kepada tanah kelahirannya, cinta berdimensi
sosial kepada lingkungan sekitar, juga cinta yang berdimensi
ruh atau transendental.
Kiblat Cinta
Kemana akan kusimpan sebuah cinta
jika aksara tak menjadi kata-kata
bahkan terucap hanya terpaksa
menjadi ombak hanya ketika
dalam puisi menggunung cinta
mencari arah tak terhingga
tak ingin cinta;
yang menjadi titi neraka
dengan cinta; beribu cinta
menbuat taubat di sela-sela malam
menderai gerimis hitam
menjadi secawan zamzam
dengan cinta; beribu cinta
angin, panas dan hujan
semua terasa pada telubuk kalbu
hanya mencari kiblat Cinta
Patani, September 2014
Puisi ini merepresentasikan esensi dari buku ini. Adalah
sebuah keresahan yang dirasakan oleh Mahroso Doloh
yang menjadikan ia terpanggil untuk menuliskannya dalam
108
Kiblat Cinta
sebentuk puisi, ia mencurahkan pemikiran, perasaan, dan
harapan-harapannya. Ia melihat dan merasakan bahwa
fenomena “cinta” baik dalam konteks spesial yakni cinta antar
jenis kelamin manusia maupun cinta yang hakiki, yakni cinta
yang berdimensi transendental. Ia mengatakan /Kemana
akan kusimpan sebuah cinta/ jika aksara tak menjadi kata-kata/
bahkan terucap hanya terpaksa/ menjadi ombak hanya ketika. Ia
khawatir jika cinta yang ada tidak memberikan kemanfaatan.
Apalagi jika cinta menimbulkan suatu yang merugikan. Jika
dalam konteks lebih sempit, cinta antar dua insan manusia
misalnya, adalah cinta yang sekadar kamuflase-kamuflase
belaka, sehingga aksara tak menjadi kata-kata/ bahkan terucap
hanya terpaksa/, padahal cinta itu memberi, tanpa berharap
menerima, sebagaimana disampaikan Erich Fromm, bahwa
dalam mencintai, yang dibutuhkan adalah kesanggupan untuk
senantiasa memberi kepada yang dicinta, tanpa mengharapkan
balasan. Sebaliknya, jika cinta hanya dipahami sebagaimana
definisi umum yakni give and receive, maka cinta akan timpang,
ketulusan akan dipertanyakan, dan bisa jadi akan berakhir
menjadi ombak hanya ketika. Maka itu, Mahroso Doloh khawatir
dan /tak ingin cinta;/yang menjadi titi neraka.
Sebaliknya, Mahroso menginginkan /dengan cinta; beribu
cinta/ membuat taubat di sela-sela malam/ menderai gerimis
hitam/ menjadi secawan zamzam. Artinya, keberadaan cinta,
memberikan kontribusi positif: cinta menjadikan seseorang
justru menjadi lebih baik. Maka itu, Mahroso menuliskan
puisi “Kutuliskan Cinta”; /Kutuliskan cinta pada dedaun/ yang
selalu memberi mendung di telubuk hati/ tempat dikau dan aku
menghirup angin/ menjadi rantai senyum berbunga/ tapi, jangan
membuta/siapa pemilik angin itu/.
Mahroso menginginkan, agar cinta mengingatkan—sekalipun
dalam euporia—siapa pemberi cinta itu: Dzat Yang Maha
Cinta. Dalam ranah itu, Mahroso banyak menyimbolkannya
dengan diksi “cahaya” dalam puisi-puisi cintanya, seperti puisi
“Mahligai Cinta”:/di pagi hari/ embun berdoa pada Cahaya/
109
Mahroso Doloh
agar hujan menemani bungabunga/ saat kau mencium tanganku/
Qudrat di atas qudrat tertulis; semoga/ di dalam mahligai cinta//.
Pun dalam puisi “Semarak Tikus”/ permukaan bumi diterpa
segenap penjuru/ terik mentari; hanya satu yang kau kejar/ bukan
malaikat dan bukan juga nabi/ apa lagi mencari Cahaya/ jika bukan
demikian/ siapkah kau hampar alis berjamaah para malaikat/.
Namun begitu, Mahroso—melalui puisi-puisinya—juga
menebarkan cinta terhadap tanah kelahirannya: Patani. Untuk
itu terdapat sub judul tersendiri, yakni Untukmu Patani.
Menjelaskan bahwa sebagai seorang warga negara, Mahroso
mempunyai tanggungjawab untuk senantiasa menjaga rasa
cintanya sekalipun ia sedang tidak berada di negeri asalnya.
Suara Patani
….
jangan mudah terlena
wajah berbunga belum tentu itu surga
disana dan merata banyak penjaga
tapi kenapa selalu menderita
darahdarah mengalir dibalas dengan jutaan ketawa
ini negara apa?
kau bilang kedamaian milik kita
tapi kenapa kau sendiri membakarkannya
anak-anak dihilangkan ayah penuh sengsara
para ustadz, ulama menjadi tersengka
ini permainan politik belaka
menabur najis tak terhingga
hari ini mari kita bicara
jangan biar begitu saja
jangan sampai anak cucu kecewa
ayo kita bangkitkan surga
dalam negeri yang tercinta
bumi bertuah bumi pusaka
hapuskan penindasan yang menggoda
110
Kiblat Cinta
peri kemanusiaan kita tegakan semula
ketidakadilan kita hanyutkan di samudra
dengan satu syahadat menjadi rantai kita
berjuang sampai jasad melayang cinta
walau hujan kunjungi sebentar dengan campuran airmata
walau dalam lautan darah; yakinkan itu balasan surga
simpulkan tangan sesama
Satu Patani Harapan Kita
Purwokerto, September 2014
Puisi ini adalah bentuk kepeduliannya terhadap negeri
asalnya. Sementara itu, tersebab dirinya tinggal di Banyumas
untuk kepentingan studi, ia pun menuliskan sebuah puisi
yang merepresentasikan perasaannya terhadap bumi
Banyumas. Tentu apa yang ia tuliskan adalah lesatan-lesatan
ingatan, dan segala yang ia tangkap dari hasil permenungan
dan pengalamannya selama hidup di Banyumas. Mahroso
menjadikan puisi sebagai kesaksian atas lingkungan hidup
tempat ia menjalani hari-harinya.
Banyumas Seindah Negerimu
Banyumas seindah negerimu
embun pagi memaniskan mataku
gunung Slamet merayu-rayu kalbu
Ronggeng dan batik membuatku kehilangan titik salju
fajar menyingsing ku melihat di setiap penjuru
sungai serayu mengalirkan jiwa, mataku terpaku
Telaga sunyi
pancuran tiga dan tujuh kumenyaksi
bumi perkemahan, kebun raya terperi
negeri mutiara pusaka Ilahi
yang tak terlukis dada sebelum kukunjungi
111
Mahroso Doloh
Ahmad Tohari
cukup indah namamu, senantiasa terperi
yang persis tajam otaknya tak terhenti
Srintil menjadi bidadari dan menari
teguh menggalas adab budaya tak pernah goyah dan bakti
menjilat daun kudus di dadaku rantai memuji
lantaran aku berlari di sini
tak pernah diduga, jalanan ini
bertemu dengan seorang penyair selama ini ku cari-cari
yang dicintai ranting-ranting budaya dan seni
yang tersimpan filosof dan Sifatul Din bercabang tak henti-henti
diiringiahlussuluk kesendirian para sufi
sekelumit rindu takkan hanyut
menumpang mandi dan berteduh larut
agar bisa ku temui cablaka, blakasutauntuk ku rangkut
setetes dzikir bisa kutitip, tuntut
menabur bunga-bunga profetik ke jauh-jauh ufuk dan sudut
semoga persih tabliqdi tapak Muhammad melesat salut
Purwokerto, Januari 2014
Religiusitas perpuisian Mahroso Doloh yang direpresentasikan
dengan diksi “cahaya” di dalam buku ini, mengingatkan saya
pada konsep cahaya sebagaimana didefinisikan Murata dan
Chittick, adalah apa yang menghilangkan kegelapan, dan
ketidakjelasan, iluminasi, irradiasi, ketakterselubungan, dan
penampakan (2005: 128&132). Sementara, dalam perspektif
Islam, cahaya merupakan representasi Tuhan. Cahaya dalam
pengertian mistik ini dapat ditelusuri dari Q. S. an-Nur [24]:
35 yang artinya:
Tuhan adalah cahaya (pada) Langit dan Bumi. Perumpamaan
cahaya Tuhan adalah seperti sebuah relung yang tidak tertembus,
yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca
112
Kiblat Cinta
(dan) aca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak
berkahnya,yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelahTimur
(sesuatu) dan tidak pula di sebelah Barat (nya), yang minyaknya
saja (hampir-hampir) menerangi, walaupun tidak disentuh api.
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis).
Cahaya dalam ayat di atas diartikan sebagai “sang cahaya”
sebagai salah satu nama indah Tuhan (al-asma al-husna).
Cahaya (al-Nur) merupakan cahaya yang memancar dari
Cahaya Tuhan Yang Tercipta yang keberadaannya menyinari
suatu objek menjadi jelas dan terang sehingga mata manusia
menjadi bisa melihatnya (Kurniawan, 2009: 87). Definisi ini
senada dengan yang disampaikan Muhammad Mahmud Hijazi,
bahwa cahaya adalah sinar yang tertangkap oleh indera, dan
dengannya mata dapat melihat sesuatu (Ensiklopedi Islam,
1994: 45). Hal ini berarti, cahaya diartikan sebagai esensi
yang tampak dengan sendirinya, dan membuat benda-benda
di sekeliling menjadi nampak. Cahaya menjadikan segala
objek wujud di alam semesta dapat terlihat dan diidentifikasi
oleh penglihatan manusia. Maka itu, dengan puisi-puisi dalam
buku ini, Mahroso ingin mengajak kepada jamaah pembaca,
agar cinta yang sudah terlanjur dan menjadi keniscayaan
manusia, diarahkan kepada cahaya: agar cinta menjadikan
manusia menjadi lebih baik, lebih mengenal siapa pemberi
rasa cinta itu: dengan kata lain, Mahroso mengajak pembaca
untuk mengkiblatkan cinta kepada Cahaya. []
113
Mahroso Doloh
Endorsement
“Mahroso Doloh, anak muda yang sangat berbakat. Dengan
tempo waktu yang terhitung sangat singkat mampu
menembus dinding batas antara Indonesia dan Melayu Pattani
baik secara kebahasaan, maupun kultural. Hingga akhirnya
mampu menggunakannya dalam kumpulan karya puisinya
“Kiblat Cinta” bernuansa romantis-religius.”
Hamam Supriyadi, Ph.D (Wakil Kepala Pusat Studi Sosial Asia
Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada, Indonesia
“Saya sangat apresiatif dengan puisi dari Mohroso Doloh ini.
Ia mampu menjalin simbol-simbol sebagai kekuatan puisi.
Bahkan, ia juga turut memunculkan unsur alam sebagai pesona
di dalam puisi. Maka, ia mudah saja ketika harus menulis tema
religius maupun nasionalisme untuk diwacanakan pada publik
seperti yang ada dalam buku ini.”
Arif Hidayat (Dosen dan Sastrawan)
"Sajak-sajak yang indah dan bermakna.”
Yanwi Mudrikah (Penyair dan pemilik Kumpulan Sajak Rahim
Embun)
“Sajak dalam Kiblat Cinta pantas dan layak dibaca untuk
memahami sebuah cinta.
Good Luck Mahroso!
Yustin Safrilia Nur Alfian (Penyiar Radio Gradiosta dan
Mahasiswa PBSI)
114
Kiblat Cinta
Puisi-puisi Mahroso Doloh itu sejuk. Serupa angin pagi hari
yang berbeda. Berbeda karena teknik, corak, dan nuansa
yang ada dalam puisi-puisinya adalah nuansa Melayu dalam
keindonesiaan. Hal ini tak terlepas dari proses imajinatif
hidup Mahroso yang Melayu, tetapi pengalaman imajinatif
ini disampaikan dalam citra-citra keindonesiaan yang kental.
Inilah khasnya puisi-puisi Mahroso Doloh.
Heru Kurniawan (Penulis cerita anak, sastrawan dan dosen ilmu
bahasa dan sastra)
Menikmati puisi karya Mahroso Doloh, seperti menikmati
secangkir coklat. Hangat, manis serta romantis. Penyair dari
Patani ini seolah mengajak saya menyelami lautan bernama
cinta. Ada puisi di dalam puisi. Ungkapan yang estetik dan
apik mampu membius saya ke dasar yang paling dalam. Hati.
membuat saya terhanyut bahkan tersesat. Tasbih-tasbih cinta
untuk pencipta, membuat saya seolah kembali jatuh cinta
dengan cinta. Puisi yang mendamaikan, menyejukkan, seperti
pohon rindang di tengah tanah gersang.
Mulasih Tary (Novelis dan penikmat sastra)
“Membaca puisi Mahroso Dolloh membuat saya merasa
tenang. Seperti embun yang menetes di dedaunan, indah
dan selalu ada hikmah pada tiap tetes kata-katanya. Sentuhan
Melayu yang ada dalam sajak Negeri Patani ini membuat
semuanya unik dan indah dalam bingkai kesederhanaan.”
Titi Anisatul Laely (Penulis Kreatif di Rumah Kreatif Wadas
Kelir)
115
Mahroso Doloh
“Mencermati puisi-puisi yang ditulis Mahroso Doloh pada
Kiblat Cinta ini, saya seperti disuguhi fenomena-fenomena
yang sarat akan renungan pikir dari penyairnya. Fenomena air
mata, saya tangkap cukup dominan pada penggalan “Untukmu
Patani”.Yang menarik, Mahroso justru mampu menjelmakan
fenomena air mata itu menjadi mata air karya! Dengan apik
Mahroso mampu mengerahkan seluruh panca inderanya
untuk kerja kreatifnya, sehingga ada jarak estetis antara “aku
lirik” penyair dengan fenomena yang menjadi pijakan idenya.
Meski, nuansa kesedihan muncul pada beberapa puisi yang
ditulisnya, tetapi optimisme dan respon kritis atas fenomena
tersebut justru membuat puisi-puisi yang ditulis Mahroso
memiliki ruh. Ia tidak terjebak pada gaya penyair sentimentil
yang cenderung hanya meratap-ratap. Mahroso justru
mengajak para pembaca puisinya untuk melakukan refleksi,
perenungan yang dalam, sehingga puisi yang ditulisnya bukan
sekadar puisi curhat, tetapi puisi yang sarat dengan pesan
moral. Puisi yang membuat pembacanya berpikir”.
Eko Sri Israhayu, Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaan FKIP
Universitas Muhammadiyah Purwokerto sekaligus sebagai dosen
Prodi PBSI FKIP UMP
“Kumpulan sajak ini seolah menjadi tetesan hujan yang
membersihkan kekeruhan cinta yang pernah kita jilati
hingga melahirkan cinta sejati dari-Nya. Dengan bahasa
yang sederhana penulis mengajak kita untuk merenung dan
mengembalikan cinta pada Pemilik Cinta.”
WantoTirta, Penyair, dan “Presiden Guritan Banyumas” Indonesia
116
Kiblat Cinta
“Kumpulan sajak ini membuat saya termenung. Buah karya
penulis muda kelahiran Patani ini mampu menuangkan cita-
citanya dan berdaya bangkitkan jiwa anak bangsa yang lama
terlena.”
Usman Tanjung, Ketua Program Studi Pbs. Melayu JISDA Jala
Thailand Selatan.
“Dalam kesempatan menekuni sajak-sajak Mahroso Doloh;
terutama lewat fb, saya dapat merasakan kemampuannya yang
sangat terserlah dan mempunyai potensi yang menjanjikan
berbanding penulis-penulis Patani yang seusiabahkan yang
lebih veteran daripadanya. Dengan persekitaran kehidupan
masyarakat Merlayu Patani yang jauh berbeza dengan realiti
kehidupandi di Malaysia, Indonesia mahupun Brunei, saya
yakin kesempatannya untuk mengangkat isu-isu kontempora
melalui sajak-sajaknya cukup luas.”
Nawawee Mohammad, Penyair, Jerteh, Terengganu, Malaysia
27 September 2014
Membaca sajak-sajak yang ditulis oleh penyair Mahroso
Doloh, saya menemukan nafas ke-Melayu-an. Namun,
penyair ini berusaha menuliskan sajaknya dengan Bahasa
Indonesia. Di antara kedua bahasa ini di dalam sajaknya tarik-
menarik. Sebagaimana tarik-menarik antara tradisionalitas
dan modernitas, antara religiositas dan romantisme cinta
remaja yang berangkat dewasa.
Abdul Wachid BS, Penyair Indonesia, dosen-tetap Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, Jawa Tengah.
117
Mahroso Doloh
“Membaca sajak-sajak dalam Kiblat Cinta kita dapat merasakan
bahwa puisi Mahroso Doloh tidak hanya mengandung nilai-
nilai romantis atau hiburan saja, tapi juga mengandung nilai-
nilai seorang hamba terhadap Yang Maha Kuasa atau hakikat
manusia sebagai makhluk profetik.”
Muhammad Abdul Khodir, Mahasiswa Jurusan Derasat
Islamiah Al Azhar University, Cairo
118
BIODATA
Mahroso Doloh, mahasiswa
Prodi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Universitas Muham-
madiyah Purwoketo, Indonesia.
Lahir pada 24 Februari 1992, di
Pakalesong, No.31/1, 6 Tuyong,
Nongchik, Patani 94170 (Thailand
Selatan). Mahroso adalah anak
yang kedua dari empat saudara.
Ibunya Zainab binti Husen dan ayahnya Kosim bin Ismail, seorang
pedagang minuman (air tebu). Mahroso dikenal juga dengan nama
Muhammad Rosul bin Kosim dan sekarang ia dikenal sebagai Penyair
Muda Negeri Patani (Thailand Selatan).
Masa kecil, Mahroso sangat dekat atau akrab dengan kakeknya
(al-marhum H. Abdul Kodir), kakeknya adalah seorang imam masjid
Nurul Huda Pakalesong. Dengan pendekatan tersebut dapat
dikatakan Mahroso berkembang di ranah religius yang agak kuat.
Sejak kecil Mahroso dididik oleh kakek dan kedua orangnya untuk
senantiasa shalat berjamaah di masjid dan setiap malam setelah
maghrib Mahroso dan adik-adiknya ngaji bersama. Mahroso
bersekolah SD, SMP, dan SMA di sekolah yang sangat biasa, bukan
sekolah yang favorit seperti teman-temannya. SD-nya di Sekolah
Pakalesong yang berada di desanya. Setelah lulus SD Mahroso
langsung ditempatkan ke sebuah pesantren di Sekam, Palas, Patani
atau yang dikenal dengan Pondok Ji. Loh Sekam. Tapi, sayangnya
Mahroso bisa bertahan di pesantren tersebut hanya satu tahun saja,
kemudian ia melanjutkan lagi di sebuah sekolah sekaligus dengan
pesantren yang dekat dengan rumahnya, yaitu Pondok Takdam atau
Ma’had Al-hidayah. Di pondok Takdam Mahroso hanya menjadi siswa
biasa (pulang-pergi atau laju), tidak menjadi santri yang benar-benar
tinggal atau menginap di ma’hadnya. Cukup satu tahun, Mahroso
pindah ke sekolah atau pondok yang lain lagi dan di sekolah inilah
yang dapat dikatakan sebagai sumber atau taman yang paling banyak
menumbuhkan ilmu agama dan religiusitas ke dalam jiwanya. Sekolah
tersebut adalah Sekolah Bakong Pitaya atau Ma’had Al-Islahiyah
Addiniyah Pondok Hutan Agu. Kebetulan sekolah tersebut bersedia
sampai tingkat SMA sehingga Mahroso pun tamat SMA di sekolah
tersebut. Perlu diketahui bahwa di Patani atau wilayah Selatan
Thailand kebanyakan sekolah yang dilahir dengan latar belakang
pesantren, jadi sekolah-sekolah di sana tidak hanya mempelajari ilmu
dunia saja, tapi malah lebih memperkuatkan ilmu agama atau ilmu
akhirat.
Setelah lulus SMA Mahroso memilih jalur studinya di Program
Studi Mass Communication di Ramkhamheng University Bangkok
Thailand (kampus terbuka) sementara itu, Mahroso mengiringi juga
dengan ilmu agama atau kelas sanawi di Mahad Darul Ma’arif Patani.
Satu tahun di Ramkhamheng University kemudian pada tahun
angkatan 2012 Mahroso mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan
studi di Universitas Muhammadiyah Purwokerto Indonesia.
Mahroso, saat berada di kampungnya ia sering disuruh untuk
membaca Kutbah Jumat dan Kutbah Hari Raya Idul Fitri maupun Idul
Adha. Dengan nada yang kuat, permainan suara yang membuat para
jamaah meneteskan air mata, bahkan ada beberapa warga yang
mengatakan Mahroso adalah calon seorang imam atau khotib di hari
mendatang.
Dengan latar belakang demikian, hingga menjadikan puisi yang
ditulis oleh Mahroso bernuansa romantis sekaligus religius yang
tarik menarik antara kemelayuan dengan bahasa Indonesia, hal ini
pernah diungkapkan oleh Penyair Indonesia (Abdul Wachid B.S.).
Adanya kemelayuan karena tidak terlepas dari lingkungan di Patani
yang berbahasa Melayu dalam sehari-hari dan Mahroso sendiri
sebagai salah seorang keturunan Melayu. Mahroso sangat mencintai
kesenimanan. Sebelum ia berhijrah ke Indonesia ia bergiat juga
sebagai penyanyi lagu anasyid. Grup anasyidnya adalah Mutiara.
Hijrah Mahroso ke Indonesia. Dalam waktu tak berapa tahun
dia diminta untuk menjadi guru kursus bahasa Thailand di SMP
Muhammadiyah 1 Purwokerto dan di wilayah sekitar Kota
Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Sambil proses mendalami ilmu
berkaitan dengan Bahasa dan Sastra Indonesia sehingga ia sempat
mengajar menulis puisi di Jamiah Islam Syeh Daud Al-Fathoni (JISDA)
Yala Thailand Selatan untuk memenuhi permintaan Kepala Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastera Melayu. Selain itu, ia pernah menjadi
Guru Al-Quran dan Guru Agama di Sekolah Melayu Nurulhuda
Pakalesong.
Mahroso tertarik dengan karya sastra (puisi); setelah mengikuti
mata kuliah Kajian Puisi pada semester dua tahun 2012 dengan dosen
Abdul Wachid B.S. (penyair). Sekarang ia aktif di Forum Diskusi
Sastra Pojok Stasium, menjadi Relawan di Komunitas Rumah Kreatif
Wadas Kelir, bergiat juga di Komunitas Penyair Institute dan ia
sempatkan dirinya untuk mengikuti kelas belajar menulis (fiksi dan
non fiksi) di Sekolah Kepenulisan STAIN Purwokerto (SKSP).
Bukunya yang telah diterbit adalah Cakap Berbahasa Indonesia-
Thailand (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014). Puisinya pernah
bergabung di Lentera Sastra II: Antologi Puisi Lima Negara (Cilegon,
2014). Karya ilmiahnya berupa proposal makalah yang diajukan
sebagai perlombaan membuat PKM (Program Kreativitas
Mahasiswa) 2013-2014 lolos dan didanai oleh DIKTI. Profil
prestasinya sudah dimuat di beberapa media surat kabar dan
majalah. Mahroso pernah mendapatkan penghargaan pembaca puisi
terbaik dalam kegiatan pementasan musikalisasi puisi di “Panggung
untuk Puisi” yang diselenggarakan oleh panitia Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2012 di
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Selain itu, Mahroso pernah
menjadi perwakilan baca puisi di acara Temu Penyair Asia Tenggara
di Cilegon Indonesia sebagai perwakilan dari Patani Thailand Selatan.
Hp : +62857-2622-6705/ +6684-747-9852, Email :
[email protected], www.facebook.com/Mahroso Doloh.