MONOGRAF
PENGENDALIAN EUTROFIKASI
DANAU RAWAPENING
AGATHA SIH PIRANTI
Penerbit
Universitas Jenderal Soedirman
2019
Monograf
PENGENDALIAN EUTROFIKASI DANAU RAWAPENING
© 2019 Universitas Jenderal Soedirman
Cetakan Kesatu, September 2019
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
All Right Reserved
Penulis:
Agatha Sih Piranti
Editor Isi:
Dr. Triana Setyawardani, S.Pt., MP.
Editor Bahasa:
Dra. Dyah Wijayawati, M.Pd.
Diterbitkan oleh:
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Gd. BPU Percetakan dan Penerbitan (UNSOED Press)
Telp. (0281) 626070
Email: [email protected]
Anggota
Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia
Nomor : 003.027.1.03.2018
viii + 72 hal., 15,5 x 23 cm
ISBN: 978-623-7144-34-2
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit,
sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
photoprint, microfilm dan sebagainya.
iii
KATA PENGANTAR
Eutrofikasi adalah proses peningkatan nutrien (nitrogen dan fosfor)
yang telah melebihi daya tampung dan daya dukung perairan tersebut.
Kondisi eutrofikasi biasanya diawali dengan perubahan kualitas fisik dan
kimiawi air kemudian diikuti dengan perubahan secara biologis yang
sifatnya cenderung merugikan yaitu terjadinya blooming algae dan
makrofita akuatik yang mengganggu pemanfaatan danau/waduk dari
berbagai sektor seperti sektor pariwisata, kesehatan dan ekonomi. Di
Indonesia kasus eutrofikasi di beberapa tempat telah menimbulkan
permasalahan kualitas air dan mengganggu daya guna air.
Dalam monograf ini dibahas berbagai aspek yang menjadi
kemungkinan penyebab terjadinya eutrofikasi khususnya di Danau
Rawapening sebagai danau prioritas indonesia yang mengalami kondisi
eutrofikasi yang sangat parah dan perlu segera ditangani. Penyebab
terjadinya kondisi eutrofikasi sangat spesifik di masing-masing tipe
danau/waduk tergantung pada morfometri dan kemampuan dalam
menerima beban pencemar nutrien (N dan P) tersebut. Pada monograf ini
juga dibahas tentang karakteristik ekosistem Danau Rawapening, kualitas
air saat dilakukan observasi, alokasi beban pencemar air khususnya
nitrogen dan phosphorus baik yang berasal dari sumber eksternal dan
internal, dan daya tampung danau Rawapening terhadap beban pencemar
tersebut.
Penerbitan monograf tentang pengendalian eutrofikasi di Danau
Rawapening ini dimaksudkan untuk memberikan alternatif upaya
pengendalian eutrofikasi di Danau Rawapening yang didasarkan pada
informasi hasil-hasil penelitian terkini yang dilakukan di danau
Rawapening dan di perairan lainnya. Semoga karya ilmiah yang
dituangkan dalam monograf ini dapat memberikan sumbangsih dalam
upaya memperbaiki kualitas air danau Rawapening akibat dari terjadinya
eutrofikasi.
Purwokerto, 24 April 2019
Penyusun
v
DAFTAR ISI
Halaman
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Landasan Teori ........................................................ 1
B. Permasalahan ........................................................... 3
C. Metode Pemecahan Masalah ................................... 5
D. Temuan/Kebaruan.................................................... 6
BAB II. GAMBARAN UMUM EKOSISTEM DANAU
RAWAPENING
A. Pendahuluan ............................................................ 7
B. Lokasi Danau Rawapening ...................................... 7
C. Hidrologi Danau Rawapening ................................. 8
D. Fungsi Danau Rawapening ...................................... 12
BAB III. KUALITAS AIR DAN KONDISI 15
EUTROFIKASI DANAU RAWAPENING 16
A. Pendahuluan ............................................................ 16
B. Kualitas Air Danau Rawapening ............................
1. Penentuan Kelas Air Danau Rawapening .......... 26
2. Penentuan Status Mutu Air Danau 27
Rawapening .......................................................
C. Kondisi Eutrofikasi Danau Rawapening.................. 27
1. Dinamika nutrien N dan P secara spasial dan 29
temporal ............................................................. 33
2. Rasio TN dan TP ............................................... 34
3. Status Trofik Danau Rawapening ......................
4. Dampak Eutrofikasi di Danau Rawapening ......
BAB IV. ALOKASI BEBAN PENCEMAR AIR
A. Pendahuluan.............................................................
B. Sumber Pencemar Air dari DTA ............................. 39
39
1. Beban Pencemar P dari Limbah Penduduk......... 40
2. Limbah sawah..................................................... 41
3. Limbah ternak..................................................... 42
C. Beban Pencemaran dari Kegiatan Karamba Jaring
Apung (KJA) ........................................................... 42
BAB V. DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMAR AIR
DANAU RAWAPENING
A. Pendahuluan ............................................................ 45
B. Peran Danau Terhadap Input Nutrien ..................... 46
C. Daya Tampung Beban Pencemar Alami Danau ..... 49
vi
D. Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Saat 52
Penelitian (Juni - Agustus 2016) ..............................
55
BAB V. UPAYA PENGENDALIAN EUTROFIKASI 57
DANAU RAWAPENING 61
A. Pendahuluan ............................................................. 65
B. Pengendalian Eutrofikasi Berdasarkan Daya 67
Tampungnya ............................................................
C. Pengendalian Blooming Eceng Gondok ..................
BAB VI. KESIMPULAN............................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Status Mutu Air Danau Rawapening (STORET)
dibandingkan dengan BMA Kelas I, II, III dan IV ....... 26
Tabel 2. Status Trofik Danau Rawa Pening................................ 33
Tabel 3. Satuan Beban Limbah Peternakan (Sumber : WHO,
2010) ........................................................................... 40
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kecamatan pada DTA Danau dan
potensi pencemaran yang terjadi di danau
Rawapening .................................................................. 41
Tabel 5. Potensi Timbulan Beban Pencemaran Air Limbah
Sawah............................................................................ 41
Tabel 6. Potensi timbulan beban pencemar P dari limbah
ternak ke Danau Rawapening ....................................... 42
Tabel 7. Data Morfometri Danau dan Limbah KJA Danau
Rawapening .................................................................. 43
Tabel 8. Keseimbangan TP dan peran danau terhadap input
TP.................................................................................. 47
Tabel 9. Input, output nutrien ke/dari Danau Rawapening ......... 48
Tabel 10. Daya Tampung Danau Rawapening berdasarkan
Morfologi dan hidrologinya ....................................... 51
Tabel 11. DTBPA Danau Kondisi Survei Apabila Standar
Mesotrofik..................................................................... 52
Tabel 12. DTBPA Danau Kondisi Survei Apabila Standar
Eutrofik ......................................................................... 53
Tabel 13. Hasil Simulasi Perhitungan Model Beban
Pencemaran Air pada Badan Air Danau
Rawapening .................................................................. 58
Tabel 14. Rancangan Pengelolaan Ekosistem Perairan Danau
Rawapening .................................................................. 61
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Lokasi Danau Rawapening ......................................... 8
Gambar 2. Peta DAS Tuntang dan Sub DAS Rawapening
(KLH, 2011) ............................................................... 9
Gambar 3. Skema Sistem Hidrologi Danau Rawapening............. 12
Gambar 4. Skema lokasi pengukuran dan pengujian kualitas
air ................................................................................ 16
Gambar 5. Konsentrasi TSS Danau dibandingkan dengan
BMA Kelas I, II, III, dan IV ....................................... 18
Gambar 6. Konsentrasi BOD setiap stasiun dibandingkan
dengan BMA Kelas I, II, III, dan IV........................... 20
Gambar 7. Konsentrasi COD setiap stasiun dibandingkan
dengan BMA Kelas I, II, III, dan IV........................... 20
Gambar 8. Konsentrasi total P setiap stasiun dibandingkan
dengan BMA Kelas I, II, III, dan IV........................... 21
Gambar 9. Konsentrasi total bakteri coliform setiap stasiun
dibandingkan BMA Kelas I, II, III, dan IV................. 22
Gambar 10. Konsentrasi logam Pb setiap stasiun dibandingkan
BMA Kelas I, II, III, dan IV ....................................... 23
Gambar 11. Konsentrasi Logam Cd setiap stasiun dibandingkan
BMA Kelas I, II, III, dan IV ....................................... 23
Gambar 12. Konsentrasi H2S setiap stasiun dibandingkan
BMA Kelas I, II, III, dan IV ....................................... 25
Gambar 13. Distribusi konsentrasi TN dan NO3 secara spasial .... 27
Gambar 14. Distribusi TP di Danau Rawapening secara spasial.... 28
Gambar 15. Distribusi TN secara tempora ..................................... 29
Gambar 16. Distribusi TP secara temporal..................................... 29
Gambar 17. Rasio TN/TP antar stasiun di Danau Rawapening ..... 30
Gambar 18. Rasio TN/TP secara temporal ..................................... 31
Gambar 19. Distribusi klorofil secara spasial................................. 32
Gambar 20. Distribusi klorofil Secara Temporal ........................... 33
Gambar 21. Blooming Eceng Gondok Di Danau Rawapening ...... 35
Gambar 22. Beberapa jenis Makrofita akuatik yang tumbuh di
Danau Rawapening ..................................................... 37
Gambar 23. Batang Eceng Gondok yang dipanen menjadi
bahan kerajinan ........................................................... 38
Gambar 24. Tanah Gambut Danau Rawapening ............................ 38
Gambar 25. Rata-rata beban TP ke Danau Rawapening ................ 46
1
BAB 1.
PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Tingkat trofik suatu perairan menyatakan status nutrien dan
mencerminkan kesuburan perairan tersebut. Secara alamiah
kandungan nutrien (N dan P) akan bertambah besar (terakumulasi)
sejalan dengan bertambahnya umur ekosistem danau dan waduk
yang dinyatakan sebagai status trofik perairan. Mason (1991) dan
OECD (1982) menggolongkan status trofik perairan menjadi 4
tingkatan yaitu oligotrofik (nutrien rendah/produktifitas rendah),
mesotrofik (nutrien sedang/produktifitas sedang), eutrofik (nutrien
tinggi/produktifitas tinggi), dan Hiper-eutrofik (nutrien sangat
tinggi/produktifitas sangat tinggi). Oligotrofik adalah status trofik air
danau/waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar rendah.
Status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum
tercemar dari sumber unsur hara nitrogen dan Fosfor. Mesotrofik
adalah status trofik air danau/ waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar sedang. Status ini menunjukkan adanya peningkatan
kadar nutrien (Nitrogen dan Fosfor) namun masih dalam batas
toleransi karena belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran
air. Eutrofik adalah status trofik air danau/waduk yang mengandung
unsur hara dengan kadar tinggi. Status ini menunjukkan air telah
tercemar oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor. Eutrofikasi
adalah proses pengayaan nutrien yang disebabkan oleh peningkatan
pemasukan nutrien akibat aktifitas manusia yang memacu timbulnya
perubahan ekosistem sehingga perairan mencapai tingkat kesuburan
sangat subur. Hiper-eutrofik atau hipertrofik adalah status trofik air
danau/waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sangat
tinggi. Status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh
peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor.
Kondisi eutrofik-hipereutrofik dapat menimbulkan dampak
ekologi yang sangat kompleks bagi perairan dan selanjutnya dapat
mengganggu pemanfaatan danau atau waduk. Dampak ekologi yang
timbul dapat berupa hilangnya biodiversitas organisme karena hanya
algae tertentu yang mampu bertahan pada kondisi nutrien tinggi
2 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
sehingga menghilangkan daya kompetisi algae lain. Jenis algae yang
mampu bertahan biasanya dari jenis Cyanobacteria (Harper, 1992,
Horne & Goldmann, 1994). Cyanobacteria ini juga disebut blue
green algae bersifat kosmopolit atau mampu hidup di berbagai
macam kondisi perairan tawar, payau, asin yang bersuhu dingin
maupun panas dan di lingkungan di mana algae lain tidak mampu
tumbuh. Jenis Cyanobacteria dapat membentuk scum (lapisan buih)
yang menutupi permukaan perairan yang mengganggu estetika
danau/ waduk, misalnya jenis Microcystis. Ketika golongan algae ini
mati dan membusuk maka akan menimbulkan bau yang tidak enak
di perairan. Sel Cyanobacteria dapat mengeluarkan racun
(Cyanotoxin) ke dalam perairan, sehingga dapat meracuni hewan-
hewan dan juga manusia yang memanfaatkan perairan tersebut
sehingga dapat memperparah dampak eutrofikasi tersebut.
Tujuan pengelolaan ekosistem perairan berdasarkan UU No.
32 tahun 2009 dan PP Nomor 82 Tahun 2001 adalah untuk
melindungi kemampuan ekosistem perairan terhadap tekanan
perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu
kegiatan agar tetap mampu mendukung integritas fungsional sesuai
daya dukung ekosistem tersebut. Secara alami ekosistem danau
memiliki daya tampung (biocapacity) dalam mengabsorbsi
(bioasimilasi) nutrien dalam konsentrasi tertentu untuk mendukung
proses metabolisme organismenya.
Sebenarnya baku mutu nutrien menurut PP No 82 Tahun
2001 sudah dapat digunakan untuk penilaian status mutu air yang
mencerminkan tingkat pencemaran suatu badan air, namun nutrien
yang dipersyaratkan hanya nutrien terlarut (NO3, PO4, NO2) saja,
nutrien yang terikat dalam partikel (total nitrogen dan total fosfor)
belum ditentukan. Padahal aliran air sungai yang masuk ke danau
membawa nutrien hanya sebanyak 5 – 10 % dalam bentuk terlarut
dan sisanya (90 – 95%) nutrien masuk ke perairan dalam bentuk
terikat dengan partikel yang dapat dilepaskan kembali ke kolom air
(resuspensi) menjadi nutrien terlarut untuk siap digunakan algae dan
tanaman air (Horne and Goldmann, 1994). Akibat tidak
terpantaunya jumlah nutrien terikat yaitu total nitrogen (TP) dan
total fosfor (TP) tersebut diduga telah menjadi penyebab kurang
berhasilnya usaha pengelolaan eutrofikasi danau dan waduk di
Agatha Sih Piranti 3
Indonesia. Hal ini didukung dengan pendapat Pusarpedal (2011)
bahwa pada PP 82/2001 perlu dilakukan revisi dan koreksi serta
penambahan kriteria kriteria/baku mutu nutrien yaitu total nitrogen
(Total N) dan total fosfor (Total P) untuk danau.
Menurut Emmanuel et al, (2009) baik Total P dan Total N
dapat menjadi faktor penentu eutrofikasi bila konsentrasi Total N
lebih dari 8 kali kadar Total P, sementara TN akan membatasi
proses eutrofikasi jika kadarnya kurang dari 8 kali kadar TP.
Kriteria nutrien penentu eutrofikasi (N dan P) adalah kisaran
minimum dan maksimum banyaknya nutrien yang dapat menjadi
faktor penentu perkembangan algae sesuai dengan kisaran
toleransinya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan algae dan tanaman
air. Krebs (2012) menyatakan bahwa konsep kriteria nutrien
didasarkan pada konsep gabungan antara Hukum Minimum Liebig
dan Hukum Toleransi oleh Shelford. Faktor penentu ini dapat
mendekati atau melampaui ambang batas toleransi suatu kondisi
sehingga mencakup kisaran minimum atau maksimum yang harus
dipenuhi (CCME, 2016). Secara alami ekosistem danau memiliki
daya tampung (biocapacity) dalam mengabsorbsi (bioasimilasi)
nutrien dalam konsentrasi tertentu untuk mendukung proses
metabolisme organismenya (KLH, 2008). Daya dukung danau
terhadap masukan nutrien dicerminkan dalam tingkatan trofik yang
menunjukkan tingkat kesuburan perairan dan juga menunjukkan
status kualitas airnya. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya
eutrofikasi maka masukan nutrien N dan P dari daerah tangkapan air
dan dari kegiatan di dalam danau/waduk perlu dikendalikan
berdasarkan nutrien kriteria yang ditentukan agar tidak melampaui
daya tampungnya dan daya dukungnya.
B. Permasalahan
Danau Rawapening merupakan danau alami yang berada di
Kabupaten Semarang, ditetapkan sebagai salah satu danau prioritas
nasional Indonesia karena keberadaannya memberikan nilai manfaat
cukup strategis, namun mengalami permasalahan lingkungan yang
sangat serius dan harus segera ditangani (KLH, 2011).
Permasalahan yang terjadi karena danau mengalami kondisi
eutrofikasi yang cukup parah sehingga terjadi degradasi ekologi
4 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
berkaitan dengan proses eutrofikasi akibat masuknya nutrien
(nitrogen dan fosforus) dari sumber eksternal maupun internal danau
yang tidak terkendali (Hart, et al., 2004). Dampak eutrofikasi adalah
terjadinya deplesi oksigen di kedalaman, peningkatan TSS dan total
phosphor (Aida & Utomo, 2016; Piranti et al., 2017). Hal ini
disebabkan telah terjadi Blooming tanaman eceng gondok (Eichornia
crassipes) yang menutupi sekitar 70% permukaan danau
(Soeprobowati, 2014) dengan laju pertumbuhan eceng gondok
sebesar 1,1 tunas/hari (Piranti, et al, 2016). Kondisi ini
mengakibatkan terganggunya penetrasi cahaya ke dalam perairan.
Kondisi kualitas air yang kurang baik tersebut telah menimbulkan
kondisi kerusakan ekologi di antaranya menghambat pertumbuhan
ikan dan menyebabkan kematian ikan bila terjadi upwelling,
mengganggu pernafasan ikan karena insang ikan tersumbat oleh
sedimen, menurunnya populasi ikan endemik dan daya dukung
perairan untuk perikanan semakin berkurang (Aida & Utomo, 2016).
Dilaporkan juga oleh Muskananfola et al, (2013) dan Nugraha et al,
(2017) bahwa telah terjadi penurunan jumlah populasi ikan Wader
Ijo (Osteochilus vittatus) yang merupakan spesies ikan lokal
(endemik).
Selama ini untuk keperluan pemantauan kualitas perairan di
Indonesia sudah ada baku mutu berdasarkan PP No 82 Tahun 2001,
namun untuk penilaian tingkat eutrofikasi khusus untuk perairan di
Indonesia belum ada. Monitoring status trofik danau-danau di
Indonesia menggunakan kriteria nutrien yang berasal dari wilayah
temperate (4 musim), di antaranya berdasarkan Organisation for
Economic Cooperation Development (1982) dan Mason (1991).
Menurut Piranti (2012), penggunaan kriteria temperate tersebut
kurang tepat, karena ternyata berdasarkan penelitian di Waduk
Mrica (Waluyo, 2007 dan Piranti et al, 2012), di Danau Singkarak
(Suryono, et al, 2006), Danau Sentani (Umar dan Astuti, 2006) dan
Danau Rawapening (Soeprobowati & Suedi, 2007) menunjukkan
kandungan nutriennya jauh lebih tinggi dan telah jauh melebihi
kisaran kriteria nutrien temperate tersebut, bahkan di Danau
Rawapening telah mencapai 10 kali lipat (Piranti et al, 2012).
Berdasarkan kajian tersebut respon biologis yang ditimbulkan oleh
danau-danau tersebut juga tidak sesuai dengan ketentuan tingkatan
Agatha Sih Piranti 5
trofiknya (Piranti et al, 2012). Menurut Piranti, et al., (2004), Waduk
Wadaslintang mengandung TN 1.326 µg/L, TP 66,7 µg/L (hiper -
eutrofik), namun kandungan klorofil hanya 9 ug/l (mesotrofik) dan
menurut Suprobowati & Suedi (2007), Danau Rawa Pening
mengandung TN 825 µg/L, TP 71 µg/L (hipereutrofik) dan namun
berdasarkan klorofilnya 21,72 ug/l masih berstatus eutrofik. Danau
Rawapening mengandung TP 0,55 – 0,65 mg/L, TN 5,2 – 8,8 mg/L
(hipereutrofik) dan klorofil 12,3 – 14,6 µg/L (mesotrofik) dan
keragaman algaenya masih cukup tinggi (Piranti et al, 2012). Hal
tersebut menunjukkan bahwa biokapasitas danau dan waduk di
Indonesia berbeda dengan danau-danau di wilayah temperate dan
respon yang dihasilkanpun akan berbeda, sehingga penggunaan
kriteria nutrien untuk penilaian tingkat eutrofikasi danau di Indonesia
menjadi tidak tepat.
Upaya mengendalikan eutrofikasi dengan mengendalikan
masuknya nutrien N dan P baik dari external maupun internal untuk
mencegah eutrofikasi di Danau Rawapening telah dilakukan namun
hasilnya belum seperti yang diharapkan. Daya tampung dan daya
dukung perairan dalam menerima beban pencemar itu berbeda untuk
setiap jenis perairan. Kemampuan daya tampung dan daya dukung
terhadap beban pencemar tergantung pada morfometri yang meliputi
kedalaman, debit air masuk dan outflow, volume, waktu tinggal
air (Machbub, 2010).
C. Kerangka Pemecahan Masalah
Untuk dapat mengendalian eutrofikasi danau harus diketahui
terlebih dahulu mengetahui karakteristik dan fungsi danau, serta
mengkaji kualitas air dan kondisi eutrofikasi terkini. Karakteristik
danau dan hasil dari kajian kualitas air dan kondisi eutrofikasi
tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar perhitungan daya
tampung beban pencemar air Danau. Alokasi beban pencemar air
yang masuk ke danau juga perlu diperhitungkan agar dapat
dilakukan upaya pengendaliannya untuk memenuhi standard kualitas
air yang telah ditentukan dan memenuhi daya tampungnya beban
pencemaran air danau/waduk tersebut.
Buku monograf ini disusun berdasarkan hasil penelitian multi
tahun selama 3 tahun (2014 – 2016) yang didanai oleh Hibah
6 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
Fundamental yang berjudul “Kriteria Nutrien Penentu Eutrofikasi
dan Total Maksimum Daily Load (TMDL) Sebagai Dasar Dalam
Upaya Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening” dan “Kajian
Input Nutrien Secara Internal Dan Aksternal : Upaya Pengendalian
Danau Rawapening Secara Berkelanjutan”.
D. Temuan/ Kebaruan
Kebaruan dari tulisan ini adalah menyajikan metode
pengendalian eutrofikasi dengan memperhitungkan nutrien penentu
eutrofikasi khususnya untuk Danau Rawapening. Pengendalian
eutrofikasi dilakukan dengan merancang pengelolaan ekosistem
yang tujuannya adalah untuk mengendalikan masuknya nutrien yang
menjadi penentu terjadinya eutrofikasi di Danau Rawapening tidak
melampaui daya dukung dan daya tampungnya.
7
BAB II.
GAMBARAN UMUM EKOSISTEM DANAU
RAWAPENING
A. Pendahuluan
Danau Rawapening merupakan danau yang terjadi secara
alamiah karena igir Payung Rong telah membendung Kali Tuntang
sehingga menjadi bendungan dengan bentuk agak membulat karena
terkait dengan proses geologi yang membentuknya. Luas danau
adalah 2.770 Ha dengan kapasitas air maximum sebesar 65 Juta m3
dan kapasitas minimum sebesar 25 Juta m3.
Danau Rawapening merupakan satu dari 15 danau yang
masuk dalam prioritas pemulihan kerusakan danau di Indonesia.
Dalam pengelolaan danau yang berkelanjutan diperlukan data
tentang daya dukung dan daya tampung danau terhadap beban
pencemaran yang masuk. Daya tampung beban pencemaran air
danau tergantung pada karakteristik dari kondisi lingkungan di
sekitarnya. Pada bab II ini akan dijelaskan karakteristik ekosistem
danau yang meliputi lokasi danau, morfologi dan hidrologi danau,
informasi kondisi daerah tangkapan air. Dari informasi karakteristik
danau tersebut akan diperoleh data mengenai kondisi ekosistem
danau yang akhirnya akan dipergunakan untuk mengelola perairan
sehingga pemanfaatan perairan secara berkelanjutan.
B. Lokasi Danau Rawapening
Secara administrasi Danau Rawapening berada di Kabupaten
Semarang Jawa Tengah sekitar 32 Km sebelah selatan kota
Semarang dan berada di ketinggian antara 455 – 465 meter di atas
permukaan laut (dpl) serta dikelilingi oleh tiga Gunung: Merbabu,
Telomoyo, dan Ungaran. Letak danau ini strategis karena berada di
tepian jalan raya nasional Semarang - Solo dan Semarang –
Yogyakarta, serta berada di jalan antar Ambarawa – Kota Salatiga.
Areal Danau Rawapening meliputi 4 Kecamatan di Kabupaten
Semarang yakni : Sebelah Utara : Kecamatan Bawen, Sebelah
Selatan : Kecamatan Banyubiru, Sebelah Timur : Kecamatan
Tuntang, dan Sebelah Barat : Kecamatan Ambarawa (Gambar 1).
8 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
Gambar 1. Lokasi Danau Rawapening
C. Hidrologi Danau Rawapening
Daerah tangkapan air Danau Rawapening berada di wilayah
Kabupaten Semarang dan kota Salatiga. yang meliputi 72 desa yang
berada di 10 kecamatan. Daerah tangkapan air (DTA) danau
Rawapening merupakan bagian hulu DAS Tuntang. Secara
administratif Sebagian besar DTA Rawapening terletak di
Kabupaten Semarang, dan secara geografis terletak pada koordinat
110o17’ BT s/d 110o30’ BT dan 7o5’ LS s/d 7o25’ LS. Peta DAS
Tuntang dan DTA Rawapening disajikan pada Gambar 2.
Agatha Sih Piranti 9
Gambar 2. Peta DAS Tuntang dan Sub DAS Rawapening (KLH, 2011)
Luas daerah tangkapan air Danau Rawapening adalah 25.079
ha yang meliputi 9 sub sub DAS (KLH, 2011).
10 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
1. Sub-DAS Galeh, terdiri dari Sungai Galeh dan Sungai
Klegung
Sub DAS Galeh melewati daerah di Kecamatan Banyubiru
(Wirogomo, Kemambang, Rowoboni, Tegaron, Kebondowo,
Banyubiru dan Ngrapah) dan Kecamatan Jambu (Bedono,
Kelurahan, Brongkol, Rejosari dan Banyukuning). Luas sub DAS
Galeh mencapai 6.121 ha.
2. Sub-DAS Torong, yaitu Sungai Torong
Sub DAS Torong melewati daerah di Kecamatan Ambarawa
dan Bandungan (Ngampin, Panjang dan Pojoksari) dan
Kecamatan Jambu (Jambu, Gondoriyo, Kuwarasan, Kebondalem
dan Genting). Berdasarkan letaknya sub DAS Torong berada di
sebelah barat danau Rawapening, dengan luas wilayah 2.687 ha..
3. Sub-DAS Panjang, terdiri dari Sungai Panjang dan
Sungai Kupang
Sub DAS Panjang melewati daerah di Kecamatan
Ambarawa dan Bandungan (Bejalen, Lodoyong, Kranggan,
Pasekan, Baran, Jetis, Duren, Bandungan, Kenteng dan Candi).
Berdasarkan letaknya sub DAS Panjang berada di sebelah utara
danau Rawapening, dengan luas wilayah 4.893,24 ha.
4. Sub-DAS Legi, yaitu Sungai Legi
Sub DAS Legi melewati daerah di Kecamatan Banyubiru (
Desa Sepakung dan sebagian Desa Rowoboni) yang wilayahnya
memanjang dari bagian hulu di lereng Gunung Telomoyo hingga
bermuara ke Danau Rawapening.
5. Sub-DAS Parat, yaitu Sungai Parat
Sub DAS Parat melewati daerah di Kecamatan Banyubiru
(Desa Gedong dan Desa Kebumen), Kecamatan Tuntang
(Gedangan, Kalibeji dan Rowosari). Sub DAS Parat berada di
sebelah selatan danau Rawapening, dengan luas wilayah 4.638,35
ha yang meliputi 16 desa dari 3 Kecamatan (Banyubiru, Getasan
dan Tuntang) Kabupaten Semarang. Sungai utamanya adalah
sungai Parat dan sungai Muncul dengan mata air di punggung
Gunung Merbabu dan Gunung Gajah Mungkur.
Agatha Sih Piranti 11
6. Sub-DAS Sraten, yaitu Kali Sraten
Sub DAS Sraten hanya melewati daerah di Kecamatan
Getasan, yaitu; Desa Batur, Tajuk, Jetak, Samirono, dan Desa
Sumogawe.
7. Sub-DAS Rengas, terdiri dari Sungai Rengas dan
Sungai Tukmodin
Sub DAS Rengas hanya melewati daerah di Kecamatan
Ambarawa dan Bandungan meliputi kelurahan Tambakboyo,
Kelurahan Kupang dan Desa Mlilir. Berdasarkan letaknya sub
DAS Rengas berada di sebelah utara Danau Rawapening, dengan
luas wilayah 1.751 ha.
8. Sub-DAS Kedung Ringin, yaitu Sungai Kedung Ringin
Sub DAS Kedungringin melewati daerah Kecamatan
Tuntang (Desa Kesongo, Lopait dan Tuntang). Sub DAS
Kedungringin berada di sebelah timur Danau Rawapening,
dengan luas catchment area 774,86 ha. Di sub-sub DAS
Kedungringin mengalir sungai Ngreco, Ndogbacin dan sungai
Praguman, yang ketiganya bermuara di Danau Rawapening. Sub
DAS Kedungringin merupakan sub DAS yang paling kecil,
dengan mata air di sekitar Gunung Kendil.
9. Sub-DAS Ringis, yaitu Sungai Ringis
Sub DAS Ringis melewati daerah Kecamatan Tuntang
tepatnya di Desa Jombor, Kesongo dan Candirejo serta
Kecamatan Sidorejo (Kelurahan Sidorejo, Blotongan), dan
Kecamatan Argomulyo (Kelurahan Pulutan dan Mangunsari)
Kota Salatiga. Sub DAS Ringis berada di sebelah timur Danau
Rawapening luas catchment area 1.584,84 ha yang terdiri dari 7
desa/Kelurahan dan 3 Kecamatan (Tuntang, Sidomukti dan
Sidorejo). Di sub-sub DAS Ringis mengalir Sungai Tengah dan
Sungai Tapen, yang keduanya bermuara di Danau Rawapening.
Sumber air yang masuk ke Danau Rawapening berasal dari 9
sungai yaitu sungai Legi, Parat, Galeh, Torong, Panjang, Sraten,
Kedungringin, Rengas, dan Muncul.
Skema sistem sungai sebagai inlet Danau Rawapening
seperti tertera pada Gambar 3.
12 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
Gambar 3. Skema Sistem Hidrologi Danau Rawapening (KLH, 2011)
D. Fungsi Danau Rawapening
Fungsi utama dari Danau Rawapening untuk menahan laju
aliran air permukaan dan menampung aliran permukaan yang
kemudiaan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan masyarakat.
Danau Rawapening dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan di
antaranya adalah untuk keperluan irigasi persawahan, sumber air
baku minum, PLTA, pengendali banjir, Pariwisata, budidaya ikan
menggunakan karamba, dan pemanfaatan gambut untuk kompos
(KLH, 2011).
Untuk keperluan irigasi persawahan meliputi wilayah
Tuntang Jelok (374 ha), Glapan Barat (10.113 ha), Glapan Timur
(8.671 ha), Suplesi di Pelayaran Buyaran (909 ha). Air Danau
Rawapening dimafaatkan untuk sumber air baku minum diambil dari
dua sumber yaitu Sumber Air Muncul sebesar 500 liter/detik, dan
Kanal Tuntang sebesar 250 liter/detik. Pembangkit listrik tenaga air
(PLTA) berasal dari 2 sumber yaitu PLTA Jelok (15 megawatt) dan
PLTA Timo sebesar 10,5 megawatt. Pariwisata Danau Rawapening
yang banyak diminati pengunjung di antaranya Bukit Cinta,
Jembatan Biru, Kolam Renang Muncul. Tanaman air Eceng Gondok
(Eichornia crassipes) sangat melimpah di Danau Rawapening,
bahkan keberadaannya telah menutupi hampir 70% permukaan
Agatha Sih Piranti 13
perairan (Soeprobowati dan Suedy, 2014). Sisa-sisa tanaman air
dalam danau yang mati dan membusuk di dasar danau disebut tanah
gambut. Tanah gambut yang mengandung bahan organik tinggi ini
oleh para penambang gambut diambil untuk dijadikan bahan dasar
pupuk organik maupun media tanam jamur dengan produksi sebesar
11.500 m3/tahun.
15
BAB III.
KUALITAS AIR DAN KONDISI EUTROFIKASI DANAU
RAWAPENING
A. Pendahuluan
Kriteria kualitas atau mutu air diukur dan diuji berdasarkan
parameter tertentu dan menggunakan metoda tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kualitas air adalah
tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau
kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan
membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan. Baku mutu
air merupakan ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
Eutrofikasi adalah proses meningkatnya nutrien N dan P yang
ditandai dengan melimpahnya algae dan makrofita akuatik. Kondisi
eutrofikasi dapat menimbulkan dampak ekologi yang sangat
kompleks bagi perairan dan selanjutnya dapat mengganggu
pemanfaatan danau atau waduk tersebut. Kondisi eutrofikasi ini
diukur dengan parameter kandungan nutrien dan klorofil danau
(Horne and Goldmann, 1992). Menurut Seller dan Markland (1987)
Status trofik suatu perairan ditentukan oleh 4 parameter yaitu total P,
total N, kecerahan air dan klorofil-a. Status oligotrofik apabila
kandungan total N sebesar ≤ 650 µg/l, total P ≤ 10 µg/l, khlorofil-a ≤
2 µg/l, dan kecerahan > 10 m. Mesotrofik apabila total N sebesar ≤
750 µg/l, total P ≤ 30 µg/l, khlorofil-a ≤ 5 µg/l, dan kecerahan > 4 m.
Eutrofik total N sebesar ≤ 1900 µg/l, total P ≤ 100 µg/l, khlorofil-a ≤
15 µg/l, dan kecerahan > 2.5 m. Hypereutrofik total N sebesar >
1900 µg/l, total P ≤ 100 µg/l, khlorofil-a ≤ 200 µg/l, dan kecerahan >
2.5 m.
Pada bab ini akan dikaji tentang kualitas air Danau
Rawapening yang meliputi status mutu dan kelas air sesuai
peruntukannya serta kondisi eutrofikasi perairan tersebut pada saat
dilakukan kajian. Dinamika nutrien penyebab eutrofikasi dan
klorofil di Danau Rawapening secara spasial dan temporal juga
dikaji untuk mengetahui distribusinya sehingga dapat dirancang
pengelolaannya secara spasial dan temporal.
16 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
B. Kualitas Air Danau Rawapening
Penentuan kualitas air Danau Rawapening dilakukan
pengukuran terhadap parameter kualitas air menurut PP nomor 82
Tahun 2001 pada musim kemarau dan penghujan pada 7 (tujuh)
lokasi di Danau Rawapening yaitu : 1) daerah muara sungai Torong
dan muara Sungai Galeh, 2) daerah Pariwisata Bukit Cinta dan
daerah Tempat Pelelangan Ikan, 3) daerah mata air, 4) daerah muara
Sungai Sraten, 5) daerah muara Sungai Legi dan Sungai Muncul, 6)
daerah muara Sungai Kedungringin, 7) daerah outlet danau (Sungai
Tuntang). Skema lokasi pengukuran dan pengujian disajikan pada
Gambar 4.
KETERANGAN
R1 : daerah muara sungai S.
Torong dan S. Galeh
R2 : daerah bukit cinta dan
daerah TPI,
R3 : daerah mata air,
R4 : daerah muara S. Sraten,
R4 : daerah muara S.
Sraten,
R5 : daerah muara S. Legi
dan S. Muncul,
R6 : daerah muaraN S.
Kedungringin,
R7: daerah outlet (air keluar)
S. Tuntang
Sumber : BPPD Jawa Tengah (2000)
Gambar 4. Skema lokasi pengukuran dan pengujian kualitas air
Kelas air Danau Rawapening ditentukan dengan
membandingkan parameter yang diukur dengan baku mutu kualitas
air yang dipersyaratkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Sumberdaya air
diklasifikasikan menjadi 4 peringkat berdasarkan kelayakan untuk
dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. Kelas satu merupakan air
yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
Agatha Sih Piranti 17
dengan kegunaan tersebut. Kelas dua merupakan air yang
peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu
air yang sama dengan kegunaan tersebut. Kelas tiga merupakan air
yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut. Kelas empat merupakan air yang peruntukannya
dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan
lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
Keberadaan Danau Rawapening digunakan sebagai tempat
rekreasi, budidaya air, PLTA, dan di daerah hilir (Sungai Tuntang)
digunakan sebagai sumber air minum PDAM. Oleh karena itu,
peruntukan air Danau Rawapening diharapkan paling tidak harus
memenuhi persyaratan mutu air kelas II. Penilaian status mutu dan
kelas air ini dilakukan dengan dilakukan dengan membandingkan
nilai parameter kualitas air dari hasil pengukuran di lapangan dengan
baku mutu perairan sesuai peruntukannya yang berlaku di Indonesia
yakni mengacu pada PP RI No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan pengendalian Pencemaran Air sesuai
peruntukannya yaitu baku mutu air.
Penentuan status mutu air danau dan waduk dilakukan dengan
Metode Storet yang merupakan metode untuk mengetahui status
mutu air dengan membandingkan antara data kualitas air dengan
baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya. Metode ini
telah dibakukan dalam Pedoman Penentuan Status Mutu Air pada
Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115
Tahun 2003. Dengan metoda Storet ini dapat diketahui parameter-
parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air.
Secara prinsip metoda Storet adalah membandingkan antara data
kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan
peruntukannya guna menentukan status mutu air. Cara untuk
menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan sistem
nilai dari “US-EPA (Environmental Protection Agency)” dengan
mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas yaitu Kelas A : baik
18 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
sekali, skor = 0 memenuhi baku mutu; Kelas B : baik, skor = -1 s/d -
10 cemar ringan; Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30 cemar sedang;
dan Kelas D : buruk, skor ≥ -31 cemar berat.
1. Penentuan Kelas Air Danau Rawapening
Berdasarkan hasil observasi selama 3 bulan (Juli,
Agustus dan September 2016) (Piranti et al, 2018)
menunjukkan bahwa ada 8 parameter yang melebihi baku mutu
kualitas air kelas I - IV yaitu Total Suspended Solid (TSS),
Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand
(COD), orthophosphate (PO4), dan Total Coliform, H2S, Logam
Cadmium (Cd), Plumbum (Pb) dan Total Coliform (Piranti,
2018). Hasil evaluasi masing-masing parameter yang melebihi
baku mutu kualitas air tercantum pada Gambar 5 –12.
Total Suspended Solid (TSS) adalah zat tersuspensi yang
biasanya terdiri dari zat organik dan anorganik yang melayang-
layang dalam air, secara fisika zat ini sebagai penyebab kekeruhan
pada air. Hasil observasi kandungan TSS di Danau Rawapening
telah melebihi baku mutu air kelas I– IV (Gambar 5).
TSS
450 400 400
400
350
TSS mg.L-1 300 162.8 195.6 218.8 242.1 174.4 201.1 140.9
250
200
150
100 50 50
50
0
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 Kelas I Kelas Kelas III Kelas
II IV
stasiun
Sumber : Piranti (2018)
Gambar 5. Konsentrasi TSS Danau dibandingkan dengan BMA Kelas I,
II, III, dan IV
Agatha Sih Piranti 19
Limbah cair yang mempunyai kandungan zat tersuspensi
tinggi tidak boleh dibuang langsung ke badan air karena di
samping dapat menyebabkan pendangkalan juga dapat
menghalangi sinar matahari masuk kedalam dasar air sehingga
proses fotosintesa mikroorganisme tidak dapat berlangsung.
Keberadaan TSS di perairan yang melebihi batas ambang dapat
menganggu kehidupan organisme perairan yaitu 50 mg/l untuk
air klas II dan 400 mg/l untuk klas III (PP No. 82 Tahun 2001).
Total padatan tersuspensi ini menyerap panas dari sinar
matahari, sehingga dapat meningkatkan suhu air dan kemudian
mengurangi tingkat oksigen terlarut. Fotosintesis juga menurun,
karena kurang cahaya menembus air. TSS juga dapat
menghancurkan habitat ikan karena padatan tersuspensi
mengendap di bagian bawah akhirnya menyelimuti dasar
sungai. Padatan tersuspensi juga dapat menutupi telur ikan dan
serangga air, dan dapat mencekik larva serangga yang baru
menetas. Padatan tersuspensi juga dapat membahayakan ikan
langsung karena menyumbat insang, mengurangi tingkat
pertumbuhan, dan menurunkan ketahanan terhadap penyakit.
Biological Oxygen Demand (BOD) merupakan parameter
pengukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk
mengurai hampir semua zat organik yang terlarut dan
tersuspensi dalam air buangan. Perairan yang banyak
mengandung sampah organik, maka jumlah oksigen yang
diperlukan oleh mikroorganisme untuk memecah sampah
tersebut akan besar dan ini berarti angka BOD dan COD nya
tinggi. Angka BOD dan COD tinggi berarti angka DO rendah,
karena banyak oksigen yang digunakan untuk memecah sampah
tersebut. Fluktuasi kandungan BOD dan COD di masing-
masing stasiun observasi di danau Rawapening disajikan pada
Gambar 6 dan Gambar 7.
20 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
BOD
BOD mg.L-1 14
12
12
10
8
6
6 3.8 4.8 3.7 3.6 4.0 5.0 4.2 3
4
2
2
0
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 Kelas I Kelas Kelas IIIKelas IV
II
Gambar 6. Konsentrasi BOD setiap stasiun dibandingkan dengan BMA
Kelas I, II, III, dan IV (Sumber : Piranti, 2018)
COD
120
100
100
COD mg.L-1 80
60 50
40 22.1 24.5 26.6 25.4 25.9 29.2 26.2 25
20
10
0
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 Kelas 1 Kelas 2 Kelas3 Kelas 4
Gambar 7. Konsentrasi COD setiap stasiun dibandingkan dengan BMA
Kelas I, II, III, dan IV (Sumber : Piranti, 2018)
Perairan yang mempunyai BOD tinggi dan DO yang
rendah umumnya akan menimbulkan bau tidak sedap karena
pemecahan sampah organik akan berlangsung anaerob (tanpa
oksigen). Proses anaerob merupakan pecahan sampah (oksidasi)
yang tidak menggunakan oksigen sehingga akan dihasilkan
senyawa – senyawa NH3, H2S, CH4 yang berbau tidak sedap.
Tingginya BOD dan COD serta rendahnya DO menyebabkan
hewan dan tumbuhan air tidak dapat berkembang dengan baik
Agatha Sih Piranti 21
dan bahkan mati. Nilai BOD dan COD di ekosistem perairan
yang bisa ditenggang keberadaannya sesuai peruntukaannya
untuk air kelas II adalah BOD 3 mg/l dan COD 25 mg/l (PP No
82 tahun 2001).
Fosfat ada dalam tiga bentuk: ortofosfat, metaphosphate
(atau polifosfat) dan organik fosfat yang masing-masing terikat
dalam senyawa fosfor dengan susunan kimia yang berbeda.
Bentuk-bentuk fosfat tersebut ada di dalam makhluk hidup dan
tanaman/hewan yang membusuk akan melepaskan ortofosfat
dalam bentuk ion. Ortofosfat juga diproduksi oleh proses alam
hasil pelapukan batuan, tetapi kegiatan manusia seperti
pembuangan limbah tanpa dan dari limpasan yang melewati
daerah pertanian dapat sebagai sumber PO4 di perairan.
Konsentrasi PO4 di perairan danau Rawapening berkisar antara
0,1 – 0,2 mg/L (Gambar 8).
Total PTotal P mg.L-1
6
5.0
5
4
3
2
1.0
1 0.2 0.2 0.1 0.2 0.2 0.2 0.1 0.2 0.2
0
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 Kelas 1 Kelas Kelas3 Kelas 4
2
Gambar 8. Konsentrasi total P setiap stasiun dibandingkan dengan BMA
Kelas I, II, III, dan IV (Sumber : Piranti, 2018)
Fosfor adalah salah satu elemen kunci yang diperlukan
untuk pertumbuhan tanaman dan hewan dan di danau ekosistem
cenderung menjadi nutrisi pembatas pertumbuhan dan berperan
dalam siklus Krebs dan penyusun DNA. Fosfat ini akan
merangsang pertumbuhan plankton dan tanaman air sebagai
produsen primer di ekosistem perairan (Horn and Goldmann,
1994). Plankton merupakan dasar dari rantai makanan.
22 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
Awalnya, produktivitas meningkat ini akan menyebabkan
peningkatan populasi ikan dan keanekaragaman hayati
keseluruhan sistem. Tapi ketika loading fosfat meningkat terus
akan ada penumpukan fosfat di danau atau permukaan
ekosistem air sehingga terjadi proses eutrofikasi yang ditandai
dengan terjadinya blooming algae dan tanaman air (Harper,
1992).
Air baku untuk air minum harus aman dan dapat dijamin
kualitas maupun kuantitasnya. Jika pasokan air menjadi
tercemar, konsumen bisa mendapatkan sakit parah. Parameter
yang paling penting sebagai indikator kualitas air minum adalah
total bakteri coliform jumlahnya tidak melebihi 5,000/100 ml.
Jumlah bakteri coliform di masing-masing statsiun disajikan di
Gambar 9.
Total Coliform
12,000 10,000 10,000
10,000
Total Coliform/100 ml sampel
8,000 5,500 6,400 6,133 6,400 6,166 6,800 5,933 5,000
6,000
4,000
2,000 1000
0
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 Kelas I Kelas Kelas Kelas
II III IV
Tabel 9. Konsentrasi total bakteri coliform setiap stasiun dibandingkan
BMA Kelas I, II, III, dan IV (Sumber : Piranti, 2018)
Bakteri coliform tidak menyebabkan penyakit, namun
kehadiran bakteri coliform di air minum menunjukkan bahwa
organisme penyebab penyakit (patogen) bisa hadir dalam sistem
air tersebut. Dengan adanya bakteri coliform dalam air Danau
Rawapening dengan jumlah rata-rata 6,190.48/100 ml.
berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa air Danau
Agatha Sih Piranti 23
Rawapening sudah bisa dikatakan tidak layak apabila
digunakan sebagai sumber air minum.
Danau Rawapening juga telah tercemar logam berat
bahkan konsentrasinya telah melebihi baku mutu kelas III dan
konsentrasinya telah melebihi baku mutu klas III yaitu logam
Cd dan Pb (Gambar 10 dan Gambar 11)
Pb 1.00
1
0.8
Pb mg.L-1 0.6
0.4
0.2 0.03 0.03 0.03 0.04 0.02 0.03 0.02 0.03 0.03 0.03
0
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Gambar 10. Konsentrasi logam Pb setiap stasiun dibandingkan BMA
Kelas I, II, III, dan IV (Sumber : Piranti, 2018)
Cd
Cd mg.L-1 0.025 0.02 0.02 0.02 0.02
0.02
0.015 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
0.01 0.01
0.01
0.005
0
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Gambar 11. Konsentrasi Logam Cd setiap stasiun dibandingkan BMA
Kelas I, II, III, dan IV (Sumber : Piranti, 2018)
Tingginya konsentrasi logam Cd dan Pb diduga karena
lokasi Danau Rawapening dikelingi oleh daerah perkotaan
dengan berbagai kegiatan industri (Kabupaten Semarang dalam
angka, 2016 dan Kabupaten kota Salatiga dalam angka, 2016).
Pencemaran perairan oleh logam berat Kadmium (Cd) sumber
24 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
pencemar diantaranya adalah industri pengolahan timah yang
limbahnya masuk ke danau melalui sungai. Kadmium merupakan
bahan beracun yang menyebabkan keracunan kronik pada
manusia, maka tingkat maksimun yang diperbolehkan di perairan
adalah 0,01 mg/L (PP No 82 Th 2001 Tentang Kualitas Air).
Kadmiun (Cd) adalah logam berat yang secara normal terdapat
pada tanah dan air dalam kadar rendah. Kadmium berasal dari
beberapa sumber yaitu sumber alami, pertambangan dan industri.
Gunung berapi merupakan sumber kadmium terbesar secara
alami. Kadmium tidak ditambang secara tersendiri, tetapi
merupakan bahan ikutan dari pengolahan tambang dan produksi
timah hitam (Pb), Seng (Zn), Kuprum (Cu), batu bara dan
minyak (Noviardi dan Widodo, 2013). Melalui interaksi dengan
rantai makanan akhirnya kadmium yang telah mencemari
lingkungan perairan akan sampai pada manusia.
Timbal (Pb) adalah logam lunak kebiruan atau kelabu
keperakan yang lazim terdapat dalam kandungan endapan sulfit
yang tercampur mineral-mineral lain, terutama seng dan
tembaga. Penggunaan Pb terbesar adalah dalam industri baterai,
kendaraan bermotor seperti timbal metalik dan komponen-
komponennya. Timbal digunakan pada bensin untuk kendaraan,
cat dan pestisida. Pencemaran Pb dapat terjadi di udara, air,
maupun tanah. Badan perairan yang telah kemasukan senyawa
atau ion-ion Pb akan menyebabkan jumlah Pb yang ada
melebihi konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian bagi
biota perairan tersebut (Lestari dan Edward, 2004). Tingkat
maksimun kandungan Pb yang diperbolehkan di perairan adalah
0.03 (PP No 82 Th 2001 Tentang Kualitas Air) Kedua jenis
logam berat ini mempunyai nilai toksisitas yang sangat tinggi
bagi manusia dan banyak dihasilkan sebagai limbah industri
yang berada di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS). Pupuk
pertanian khususnya pupuk fosfat mengandung logam berat Pb
antara 5 – 156 ppm (Kurnia et al. 2005) dan 7 ppm Cd untuk
tanah netral. Apabila pupuk tersebut digunakan secara terus
menerus dengan dosis dan intensitas yang tinggi dapat
meningkatkan Pb dan Cd yang tersedia dalam tanah sehingga
ketika air limpasan melewati areal pertanian tersebut dapat
Agatha Sih Piranti 25
meningkatkan konsentrasi Pb dan Cd di perairan. Apabila
manusia mengkonsumsi ikan yang telah mengakumulasi logam
berat Pb maka dapat mengakibatkan anemia, kemandulan,
penyakit ginjal, kerusakan syaraf dan kematian. Sedangkan
keracunan Cd dapat menyebabkan tekanan darah tinggi,
kerusakan jaringan jaringan testicular, kerusakan ginjal dan
kerusakan selsel butir-butir darah merah (Istarani dan
Pandebesie, 2014)
Hidrogen Sulfida (H2S) merupakan gas berbau busuk
yang dihasilkan dari proses penguraian senyawa belerang dari
bahan organik oleh bakteri anaerob yang terjadi pada air
tercemar yang tidak mengandung oksigen terlarut. Proses
anaerob ini biasanya terjadi di perairan yang airnya tidak
bersirkulasi dan tidak mempunyai kontak langsung dengan
udara sehingga mengurangi kemampuan air untuk melarutkan
oksigen. Semakin berat tingkat pencemaran air maka oksigen
terlarut semakin sedikit begitu juga dengan jenis organisme
aerobnya. Ketika oksigen terlarut tidak tersedia lagi maka
penguraian bahan organik akan dilakukan oleh mikroorganisme
anaerob yang mengeluarkan gas asam sulfida (H2S) dan gas
metana (CH4) (Khiatuddin, 2003). Konsentrasi H2S juga telah
melebihi baku mutu klas III (Gambar 12). Tingginya
konsentrasi sulfida (H2S) pada air Danau Rawapening tersebut
menunjukkan bahwa adanya proses degradasi bahan organik
secara anaerob.
H2S
0.012 0.01 0.01 0.01
H2S (mg.L-1) 0.01 0.008
0.008 0.006 0.005
0.006 0.005
0.004 0.002 0.002 0.002
0.002
0
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 Kelas I Kelas Kelas Kelas
II III IV
Gambar 12. Konsentrasi H2S setiap stasiun dibandingkan BMA Kelas I,
II, III, dan IV (Sumber : Piranti, 2018)
26 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
2. Penentuan Status Mutu Air Danau Rawapening
Status mutu air Danau Rawapening pada saat dilakukan
observasi apabila dibandingkan dengan BMA Kelas I dan II
menunjukkan bahwa di semua stasiun kondisinya tercemar
berat, namun apabila dibandingkan dengan BMA kelas 3,
stasiun pengamatan (R1, R2, R5, R6, R7) kondisinya tercemar
sedang, hanya di stasiun R3 dan R4 yang berada pada kondisi
tercemar berat (Tabel 1 ).
Tabel 1. Status Mutu Air Danau Rawapening (STORET) dibandingkan
dengan BMA Kelas I, II, III dan IV (PP No. 82/2001)
BMA Kelas 1 BMA Kelas II BMA Kelas III BMA Kelas IV
Stasiun Indeks Status Indeks Status Indeks Status Indeks Status Mutu
Storet Mutu Storet Mutu Storet Mutu Storet
R1 -234 tercemar -49 tercemar -20 tercemar 0 memenuhi
berat berat sedang BMA
R2 -214 tercemar -64 tercemar -20 tercemar 0 memenuhi
berat berat sedang BMA
R3 -254 tercemar -81 tercemar -46 tercemar 0 memenuhi
berat berat berat BMA
R4 -248 tercemar -82 tercemar -42 tercemar 0 memenuhi
berat berat berat BMA
R5 -214 tercemar -70 tercemar -30 tercemar 0 memenuhi
berat berat sedang BMA
R6 -210 tercemar -70 tercemar -30 tercemar 0 memenuhi
berat berat sedang BMA
R7 -198 tercemar -61 tercemar -22 tercemar 0 memenuhi
berat berat sedang BMA
Sumber : Piranti (2018)
Keterangan : R1 : daerah muara sungai S. Torong dan S. Galeh, R2 : daerah
bukit cinta dan daerah TPI, R3 : daerah mata air, R4 : daerah
muara S. Sraten, R5 : daerah muara S. Legi dan S. Muncul, R6 :
daerah muara S. Kedungringin, R7: daerah outlet (air keluar) S.
Tuntang.
Hal ini menunjukkan bahwa air Danau Rawapening tidak
sesuai apabila dimanfaatkan sesuai peruntukan air kelas 1 dan 2
yaitu sebagai sumber baku air minum dan sarana rekreasi air.
Air Danau Rawapening hanya layak digunakan untuk
Agatha Sih Piranti 27
peruntukan air Kelas III dan IV yaitu untuk budidaya perikanan
dan mengairi pertamanan/irigasi.
C. KONDISI EUTROFIKASI DANAU RAWAPENING
Kondisi eutrofikasi dapat digambarkan dengan konsentrasi
nutrien di danau khususnya total nitrogen (TN) dan total fosfor (TP).
1. Dinamika nutrien N dan P secara spasial dan temporal
Secara spasial konsentrasi TN dan TP di Danau
Rawapening paling rendah di daerah Mata Air Pening dan paling
tinggi berada di stasiun 5 atau daerah budidaya ikan
menggunakan karamba yang berada di sekitar muara Sungai Legi
(Gambar 13) dan Gambar 14). Mata air Pening merupakan
sumber air yang berasal dari aliran air tanah yang muncul sebagai
mata air (spring) sehingga di daerah sekitar mata air tersebut
kandungan nutrien (N dan P) paling rendah dibandingkan dengan
di stasiun lainnya. Daerah sekitar budidaya ikan menggunakan
karamba kandungan nutrien N dan P relatif paling tinggi. Hal ini
disebabkan sisa pakan yang tidak termakan an faeses ikan yang
jatuh ke dasar perairan akan menjadi sumber nutrien dan
meningkatkan kandungan nutrien di perairan.
Nitrogen (N)
konsentrasi (mg/l)10.00 6.40 7.06 8.17 6.95
8.00 4.69 5.22 6.96 6.07
6.00
4.00 5.66 5.294.76
2.00 4.89
2.71
1.47
0.00
Muara S. Bukit Mata Air Muara S. Daerah Muara S. Outlet (S.
Torong Cinta & Pening Muncul Karamba Kd.ringin Tuntang)
TPI
TN NO3
Gambar 13. Distribusi konsentrasi TN dan NO3 secara spasial
(Sumber : Piranti, 2018)
28 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
Fosfor (P)
Konsentrasi (mg/l) 0.50 0.42 0.43 0.43
0.30 0.28 0.33
0.40 0.34 0.39 0.38
0.27 0.30
0.30 0.21 0.23
0.19
0.20
0.10
0.00
Muara S. Bukit Mata Air Muara S. Daerah Muara S. Outlet (S.
Torong Cinta & Pening Muncul Karamba Kd.ringin Tuntang)
TPI
TP PO4
Gambar 14. Distribusi TP di Danau Rawapening secara spasial (Sumber :
Piranti, 2018)
Berdasarkan kajian secara temporal yang disajikan pada
Gambar 15 dan Gambar 16 terlihat bahwa konsentrasi TN dan TP
paling tinggi yaitu pada menjelang akhir musim penghujan (bulan
maret). Besarnya kandungan nutrien berbanding lurus dengan
besarnya debit sungai yang masuk ke Danau Rawapening
sehingga menentukan besarnya input nutrien ke danau (Piranti,
2015). Tingginya konsentrasi TN dan TP disebabkan aktifitas
manusia di daerah tangkapan air. Total fosfor (TP) masuk ke
perairan dalam bentuk partikel dan diendapkan dalam partikel
sedimen. Horne & Goldmann (1994) mengatakan bahwa dalam
perairan alami hanya sebanyak 5 – 10 % fosfor yang masuk ke
perairan berada dalam bentuk terlarut dan 90 – 95 % fosfor
masuk ke perairan terikat dalam sedimen dan mengendap di dasar
perairan sebagai senyawa P205 yang dapat menjadi sumber fosfor
internal yang dapat dilepaskan kembali (resuspensi) menjadi
bentuk terlarut di perairan.
Agatha Sih Piranti 29
9.00 7.72
6.20
8.00 Mar 6.05
7.00 5.84 4.97
Nitrogen (mg/l)
6.00 Jul 4.52
3.56
5.00 Ags
4.00 4.73
3.00
2.00
1.00
0.00
Feb
TN NO3
Gambar 15. Distribusi TN secara temporal (Sumber : Piranti, 2018)
0.60 0.48 0.50
konsentrasi mg/l 0.50
0.40 0.30
0.30 0.22
0.35
0.20 0.32
0.10 0.22 0.18
0.00
Feb Mar Jul Ags
TP PO4
Gambar 16. Distribusi TP secara temporal (Sumber : Piranti, 2018)
2. Rasio TN dan TP
Rasio TN/TP dapat digunakan untuk mengetahui jenis
nutrien yang berperan sebagai nutrien pembatas pertumbuhan
(Florida Lakewatch, 2000) dan dapat digunakan untuk menilai
jenis dan atau macam populasi yang mungkin ada atau
mendominasi suatu perairan (Retnaningdyah et al, 2010). Dengan
mengetahui rasio TN/TP dapat membantu mengantisipasi dan
menghindari terjadinya dominasi komunitas algae tertentu yang
dapat menurunkan kualitas air seperti Cyanophyta. Secara spasial
rasio TN/TP di Danau Rawapening berkisar antara 11 – 20 dan
secara temporal berkisar antara 12- 20 (Gambar 17 dan Gambar
30 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
18). Florida Lakewatch (2000) menyatakan bahwa ketika rasio
TN/TP < 10 maka faktor pembatasnya adalah nitrogen, ketika
rasio TN/TP 10 – 17 faktor pembatasnya TN dan TP, sedangkan
ketika rasio TN/TP > 17 faktor pembatasnya fosfor. Berdasarkan
penilaian tersebut maka pertumbuhan algae di perairan Danau
Rawapening lebih ditentukan oleh TP dan sewaktu-waktu
ditentukan oleh rasio TN/TP. Pada kondisi dimana nitrogen
merupakan faktor pembatas pertumbuhan algae di perairan, pada
umumnya jenis-jenis algae yang tumbuh adalah kelompok algae
biru yang mampu melakukan fiksasi nitrogen dari udara (Putri et
al, 2014). Secara kajian temporal, rasio TN/TP di danau rawa
pening mengalami peningkatan dari bulan februari ke bulan
Agustus. Pada musim kemarau rasio TN/TP cenderung lebih
tinggi dibanding musim penghujan. Pada bulan Februari dan
Maret yang mewakili musim penghujan rasio TN/TP cenderung
lebih rendah dibandingkan pada musim kemarau (bulan Juli dan
Agustus).
Ratio TN/TP
25.0
20.0 18.8 18.6 19.5
Rasio TN/TP 14.5 16.2
15.0 11.8 12.3
10.0
5.0
0.0
Muara S. Bukit Mata Air Muara S. Daerah Muara S. Outlet (S.
Torong Cinta & Pening Muncul Karamba Kd.ringin Tuntang)
TPI
Gambar 17. Rasio TN/TP antar stasiun di Danau Rawapening (Sumber :
Piranti, 2018)
Agatha Sih Piranti 31
Ratio TN/TP Ratio TN/TP
25
20 20 20
15 15
10 12
5
0
Feb Mar Jul Ags
Gambar 18. Rasio TN/TP secara temporal
Untuk mengetahui jumlah algae di perairan dapat juga
dilakukan dengan mengukur konsentrasi klorofil (Florida
lakewatch, 2000). Berdasarkan kandungan klorofil a-nya, Danau
Rawa Pening berada pada status oligotrofik. Hal ini karena
kandungan klorofil a yang terukur merupakan ekspresi dari
fitoplankton (produsen primer). Produktivitas primer ditentukan
oleh kandungan klorofil a. Jika di suatu perairan terjadi blooming
mikroalga, tentu saja kandungan klorofilnya akan tinggi. Namun,
yang terjadi di Danau Rawa Pening, mikroalga kalah bersaing
dengan tumbuhan tingkat tinggi sehingga populasinya rendah dan
tumbuhan air yang mendominasi. Itulah sebabnya kandungan
klorofil a di Danau Rawa Pening kurang mengekspresikan status
trofik.
Konsentrasi klorofil di Danau Rawapening selama
penelitian berkisar antara 2.19 - 4.80 mg/l dan paling tinggi di
daerah outlet danau (hulu Sungai tuntang) dan paling rendah di
daerah mata air yang ada di danau (Gambar 19).
32 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
Klorofil
Klorofil (mg/l) 6.00 4.01 4.80
5.00
4.29
3.94 3.64 3.83
4.00
3.00 2.19
2.00
1.00
0.00
Muara S. Bukit Mata Air Muara S. Daerah Muara S. Outlet (S.
Torong Cinta & Pening Muncul Karamba Kd.ringin Tuntang)
TPI
Gambar 19. Distribusi klorofil secara spasial
Secara umum kelimpahan algae di Danau Rawapening
sangat rendah disebabkan karena sangat melimpahnya tumbuhan
air jenis eceng gondok (Eichornia crassipes). Perkembangan
algae di perairan selain ditentukan oleh ketersedian nutrien juga
ditentukan oleh intensitas cahaya, oksigen, suhu dan retensi air
(Harper, 1992). Pada perairan yang banyak ditumbuhi tumbuhan
air maka penetasi cahaya akan menghalanginya sehingga
pertumbuhan algae juga rendah.
Berdasarkan kajian secara temporal rata-rata konsentrasi
klorofil paling rendah pada bulan Februari dan meningkat terus
sampai bulan Agustus (Gambar 20). Meskipun input nutrient dari
daerah tangkapan air menurun namun konsentrasi nutrien di
danau meningkat. Hal ini karena nutrient yang terikat dalam
sedimen danau dapat dilepaskan kembali ke kolom air yang
kemudian digunakan oleh tumbuhan air dan algae untuk
pertumbuhan dan perkembangnnya.
Agatha Sih Piranti 33
Klorofil
6.00 4.87
Klorofil (mg/l) 5.00 4.10
4.00 2.92 3.37
3.00
2.00
1.00
0.00
Feb Mar Jul Ags
Gambar 20. Distribusi klorofil Secara Temporal (Februari – Agustus
2015)
3. Status Trofik Danau Rawapening
Tingkat trofik suatu perairan digunakan untuk menyatakan
status nutrien suatu badan air dan mencerminkan kesuburan
perairan tersebut. Secara alamiah kandungan nutrien (N dan P)
akan bertambah besar (terakumulasi) sejalan dengan bertambahnya
umur ekosistem danau dan waduk yang dinyatakan sebagai status
trofik perairan tersebut. Dari data total N, P klorofil dan penetrasi
cahaya seperti terlihat dalam maka status trofik Danau Rawapening
pada kisaran eutrofik sedang – berat (Tabel 2).
Tabel 2. Status Trofik Danau Rawa Pening
Stasiun Lokasi Rata- Status Trofik
rata TSI
daerah muara sungai S. Torong 66.16 Eutrofik sedang
R1 dan S. Galeh
R2 daerah bukit cinta dan daerah TPI 76.73 Eutrofik berat
R3 daerah mata air 68.29 Eutrofik sedang
R4 daerah muara S. Sraten 66.28 Eutrofik sedang
daerah muara S. Legi dan S. 67.82 Eutrofik sedang
R5 Muncul
R6 daerah muara S. Kedungringin 68.52 Eutrofik sedang
daerah outlet (air keluar) S. 67.64 Eutrofik sedang
R7 Tuntang
34 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
4. Dampak Eutrofikasi di Danau Rawapening
Danau Rawapening tidak mengalami blooming algae
namun blooming makrofita akuatik yaitu eceng gondok
(Eichornia crassipes). Perairan yang mendapatkan suplai nutrien
tinggi, namun tidak menyebabkan perairan tersebut mengalami
blooming algae karena perairan tersebut mempunyai sistem
penyimpan nutrien (nutrien storage) yang bervariasi dari masing-
masing perairan (Horne and Goldman, 1994). Sistem penyimpan
tersebut misalnya terikat dalam sedimen di dasar perairan. Fosfor
tidak mempunyai fase gas dalam siklusnya, maka ketika telah
terikat dalam partikel sedimen, fosfor tidak dengan mudah
terlepas ke dalam kolom air. Fosfor dilepaskan ke kolom air
melalui proses yang terjadi di lapisan interstitial (water-sediment
interface) jika tersedia oksigen (oxic condition).
Nitrat dan ortofosfat merupakan bentuk dari nutrien
terlarut yang dapat langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton
(algae). Rendahnya konsentrasi nitrat dan fosfat dalam kolom air
dapat disebabkan karena terjadi akumulasi bahan organik (dalam
bentuk biomassa) di perairan. Respon biologi yang terjadi di
perairan danau Rawa Pening seharusnya berada pada kondisi
yang sangat eutrofik, namun berdasarkan kandungan nitrat dan
fosfatnya ternyata sangat rendah. Prihartanto (2005) menyatakan
bahwa melimpahnya tumbuhan tingkat tinggi seperti Eichornia
crassipes, Tipha latifolia, Hydrilla verticillata, Pistia, dan
Salvinia dan lainnya menyebabkan rendahnya konsentrasi fosfat
di perairan karena digunakan untuk pertumbuhannya. Perairan
yang didominasi oleh tumbuhan tingkat tinggi biasanya
kelimpahan algae akan rendah karena terjadi kompetisi nutrien
dan kesulitan perolehan cahaya oleh algae. Soeprobowati dan
Suedy (2014) menyatakan bahwa mikroalgae di perairan danau
Rawa Pening tidak mengalami blooming karena perairan
didominasi oleh tumbuhan tingkat tinggi terutama eceng gondok
(E. crassipes).
Makrofita akuatik juga berperan sebagai produsen primer
perairan yang keberadaannya ditentukan oleh nutrien N dan P.
Berdasarkan Piranti et al (2016) konsentrasi Total P di Danau
Rawapening sebesar 0.274 mg/L atau 27.4 µg/l. Kondisi ini
Agatha Sih Piranti 35
belum melebihi baku mutu yang dipersyaratkan yaitu sebesar 1
mg/l atau 100 µg/l (Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001). Kondisi total P di Danau Rawapening disebabkan karena
P di danau telah digunakan untuk pertumbuhan eceng gondok
yang menutupi sekitar 70% luas permukaan danau (Soeprobowati
dan Suedy, 2014) seperti terlihat pada Gambar 21.
Sumber : Koleksi Pribadi
Gambar 21. Blooming Eceng Gondok di Danau Rawapening
Kondisi tersebut menyebabkan konsentrasi total P perairan
Danau Rawapening belum melebihi baku mutu karena terserap
menjadi biomassa tanaman air diantaranya eceng gondok
tersebut. Tosepu (2011) menyatakan bahwa Eceng gondok di
perairan dapat berfungsi sebagai penyaring pollutan dan dapat
menyerap logam berat. Menurut Trisaksi (2014), pertumbuhan
36 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
eceng gondok di Danau Rawapening berfluktuasi selama periode
2000-2013, perkembangan eceng gondok yang signifikan terjadi
pada tahun 2005 dan 2013. Pesentase luas tutupan eceng gondok
sekitar 25% pada tahun 2000, mengalami peningkatan menjadi
65% pada tahun 2005, menurun kembali menjadi 32% pada tahun
2009 dan selanjutnya meningkat kembali menjadi 45% pada
tahun 2013. Besarnya peningkatan luas tutupan eceng gondok
karena didukung dengan cepatnya pertumbuhan eceng gondok
tersebut, Berdasarkan penelitian oleh Piranti dan Rahayu (2016)
tentang kecepatan pertumbuhan eceng gondok di Danau
Rawapening menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhannya
rata-rata adalah 1,4 tunas/hari.
Danau Rawapening memiliki keragaman makrofita akuatik
sebanyak 11 jenis (Supono, 2006) yaitu Eichhornia crassipes
(Mart.) Solms, Salvinia cucullata Roxb.ex Bory, Hydrilla
verticillata (L.f.) Royle, Pistia stratiotes L, Ipomoea aquatica
Forsk, Cyperus cephalotes Vahl, Cyperus pilosus Vahl, Chara sp,
Ceratophyllum submersum, Alternanthera philoxeroides (mart.)
Griseb, Nymphoides indica (L.) OK. Beberapa jenis makrofita
akuatik yang tumbuh di Danau Rawapening seperti terlihat pada
Gambar 22a-22f.
Jenis eceng gondok yang tumbuh di danau Rawapening
adalah jenis Eichornia crassipes yang berbatang panjang
(mencapai + 1 meter) dapat dipanen. Hasil panen batang eceng
gondok (Gambar 23) dan dimanfaatkan sebagai bahan baku
beraneka kerajinan tangan seperti tas, sepatu dan lainnya.
Pemanenan biomassa eceng gondok berupa batang eceng gondok
dilakukan oleh petani eceng gondok yang melakukan pemanenan
setiap hari. Berdasarkan personal komunikasi dengan petani
eceng gondok yang bernama Sriyanto (komunikasi personal),
jumlah petani eceng gondok di Danau Rawapening berjumlah
sekitar 20 orang. Petani tersebut setiap hari memanen batang
eceng gondok untuk dijual kepada pengepul (Gambar 23). Hasil
batang eceng gondok yang dipanen setiap hari sekitar 6
kwintal/hari/petani.
Agatha Sih Piranti 37
a. Eichornia crassipes b. Ceratophyllum sp
c. Chara sp d. Hydrilla sp
e. Pistia sp f. Nitella sp
Sumber : Koleksi Pribadi
Gambar 22. Beberapa jenis Makrofita akuatik yang tumbuh di Danau
Rawapening.
Biomassa Eceng Gondok yang tidak dipanen dan sisa-sisa
daun yang telah dipanen batangnya akan dibuang begitu saja ke
dalam danau. Sisa daun-daun dan tanaman yang tidak dipanen
maka akan membusuk dan mengendap di Danau menjadi tanah
gambut (Gambar 24). Tanah gambut ini dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk organik (kompos) dengan rata-rata produksi
11.500 m3/th.
38 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
Sumber : Koleksi Pribadi
Gambar 23. Batang Eceng Gondok yang dipanen menjadi bahan
kerajinan
Sumber : Google
Gambar 24. Tanah Gambut Danau Rawapening
39
BAB IV
ALOKASI BEBAN PENCEMAR AIR DANAU
RAWAPENING
A. Pendahuluan
Sumber pencemar nutrien penyebab eutrofikasi (N dan P)
yang masuk ke danau Rawapening berasal dari berasal air runoff
(limpasan) dari permukaan tanah wilayah pertanian dan dari daerah
permukiman dan perkotaan. Proses masuknya nutrien (N dan P) dari
DTA ke badan perairan dapat melalui dua cara yaitu penapisan air
drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut dari tanah; dan erosi
permukaan tanah atau gerakan dari partikel tanah halus masuk ke
sistem drainase (McDowell and Wilcock, 2004). Oleh karena itu,
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh masuknya bahan
pencemar akibat aktivitas manusia di DAS akan mempengaruhi
ekosistem danau/waduk. Sedimen di dasar danau/waduk dapat
berperan sebagai sumber nutrien khususnya fosfor bagi perairan
tersebut melalui proses resuspensi (internal loading). Pada bab III
ini akan dibahas beban pencemar yang masuk ke danau rawapening
yang berasal dari dua sumber yaitu dari DTA dan dari kegiatan
perikanan di danau.
B. Sumber Pencemar dari Daerah Tangkapan Air
Sumber beban pencemaran pada daerah tangkapan air (DTA)
danau atau Sub-DAS Rawapening adalah berasal limbah penduduk,
limbah ternak dan limbah sawah. Perhitungan beban pencemaran air
dari sumber DTA dihitung dengan model non point source,
berdasarkan data statistik jumlah penduduk, jenis dan jumlah ternak
dan luas sawah tiap kecamatan yang ada di DTA Rawapening (BPS,
2016).
Perhitungan besarnya beban pencemaran dari DTA dilakukan
dengan mengidentifikasi besarnya limbah penduduk, ternak dan
sawah yang ada di kawasan DTA Danau Rawapening. Besarnya
beban pencemar air khususnya limbah P sebagai penyebab
eutrofikasi danau ditentukan berdasarkan jumlah jenis penghasil
limbah (penduduk, sawah, dan ternak) (BPS, 2016) dikalikan dengan
40 Pengendalian Eutrofikasi Danau Rawapening
jenis satuan beban pencemaran yang ditentukan oleh World Health
Organization (WHO) yang tercantum dalam PerMenLH No.1 Tahun
2010. Satuan beban pencemar limbah P dari penduduk adalah
sebesar 3,8 gram/penduduk/hari (limbah yang tidak diolah) dan
sebesar 0,8 mg / penduduk/hari (diolah lewat septic tank), limbah
sawah sebesar 10 kg/hektar/musim dan limbah peternakan
ditentukan oleh jenis ternak dengan ketentuan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Satuan Beban Limbah Peternakan (Sumber : WHO, 2010)
No Ternak BOD Total N Total P TSS
Gr/ekor/hari Gr/ekor/hari Gr/ekor/hari Gr/ekor/hari
1 Sapi potong 455,56 121,67 31,39 3.344,44
2 Sapi perah 694,44 235 42,5 4.258,33
3 Kuda 405,56 264,72 45,56 3.000,00
4 Babi 182,78 40,56 12,78 271,67
5 Domba 254,44 75 78,06 440
6 Kambing 146,94 44,44 13,72 469,44
7 Itik 17,78 25,28
Perhitungan besarnya beban pencemar air khususnya limbah P
sebagai penyebab eutrofikasi danau Rawapening sebagai berikut :
1. Beban Pencemar P dari Limbah Penduduk
Potensi beban pencemaran limbah penduduk dihitung
berdasarkan jumlah penduduk yang bermukim DTA danau.
Jumlah penduduk yang bermukim di DTA danau rawapening
sebanyak 310.384 jiwa dan koefisien timbulan beban pencemaran
per jiwa yaitu P 3,8 gr/orang/hari (WHO, 2010) sehingga potensi
beban Total P yang masuk ke danau rawapening yang berasal
dari limbah penduduk sebesar 431 ton/tahun (Tabel 4).
Agatha Sih Piranti 41
Tabel 4.Jumlah Penduduk Kecamatan pada DTA Danau dan potensi
pencemaran yang terjadi di danau Rawapening
No Kecamatan Jumlah Jumlah Potensi beban
Penduduk penduduk di pencemaran TP dari
DTA Danau
penduduk (ton/th)
1 Tuntang 62.060 27.306 37,87
2 Banyubiru 41.066 41.066 56,96
3 Ambarawa 59.598 59.598 82,66
4 Bandungan 34.166 19.475 27,01
5 Bawen 54.464 10.348 14,35
6 Jambu 37.470 30.725 42,62
7 Getasan 48.966 33.787 46,86
8 Argomulyo 42.821 13.891 19,27
9 Sidomukti 41.931 41.931 58,16
10 Sidorejo 52.357 32.257 44,74
Jumlah 474.899 310.384 431,00
2. Limbah Sawah
Potensi beban pencemaran air limbah sawah dihitung
berdasarkan jumlah luas sawah dan jumlah musim tanam. Jumlah
musim tanam dihitung dua kali setahun. Koefisien timbulan total
P limbah sawah yaitu sebesar 10 kg P/ha/musim tanam. Sawah
yang terluas pada DTA Rawapenimng terdapat di kecamatan
Tuntang, Banyubiru dan Bawen. Berdasarkan luas sawah 6.228,7
ha maka hasil perhitungan potensi beban pencemaran Total P
sebesar 125 ton P/tahun (Tabel 5).
Tabel 5. Potensi Timbulan Beban Pencemaran Air Limbah Sawah
No Kecamatan Luas Sawah (Ha) Potensi beban
pencemar P ton/thn
1 Tuntang 1.460,50 29,21
2 Banyubiru 1.224,40 24,49
3 Ambarawa 18,99
4 Bandungan 949,50 17,20
5 Bawen 860,00 22,20
6 Argomulyo
7 Sidomukti 1,11 3,70
8 Sidorejo 184,80 1,22
61,20 7,57
378,30
Jumlah 6.228,70 125,00
Sumber : Piranti et al (2016)