137 berapa kali surat itu harus dibaca, jumlah rakaat dan waktu pelaksanaannya. Selain itu, dalam shalat hajat dianjurkan setelah salam segera sujud dan memohon ampunan kepada Allah SWT atas dosa-dosanya serta memanjatkan doa atas segala hajat atau kebutuhannya. 3) Shalat Sunnat Istikharah Shalat sunnat istikharah merupakan shalat yang sengaja disunnahkan oleh Rasulullah s.a.w., sebagai media untuk menentukan pilihan diantara dua pilihan yang baik, sehingga membingungkan. Dalam keadaan seperti itu (galau), seperti bingung menentukan pasangan hidup apakah si A atau si B atau bingung menentukan apakah bekerja atau melanjutkan kuliah dan lain sebagainya, maka bagi setiap muslim disunnahkan untuk melaksanakan shalat Sunnah istikharah. Berhubungan dengan hal ini, Al-Ghazali jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa:” apabila kita bimbang atau ragu dalam melakukan sesuatu hal, mana yang lebih baik untuk dikerjakan dan mana yang tidak baik, sedangkan keadaan mendesak tetapi keputusan tidak diperoleh juga, maka lakukanlah shalat sunnat istikharah.” Kemudian, apabila kita terbiasa melakukan shalat sunnat istikharah ketika dihadapkan pada dua perkara baik yang membingungkan, maka jalan yang gelap akan menjadi terang, terbuka jalan menuju cita-cita, Allah memberikan futuh dan taufiq-Nya, tidak akan mendapatkan kekecewaan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan meyakinkan, dan senantiasa dibimbing oleh Allah SWT dalam menetukan jalan hidup, maka shalat istiharah harus dilakukan berulang-ulang dan dawwam (berkelanjutan).
138 a. Waktu Pelaksanaan Shalat sunnat istikharah dapat dilakukan kapan saja, siang atau malam. Kalau siang sewaktu dengan shalat sunnat isyraq (6.00- 6.30), dan kalau malam antara waktu shalat maghrib dan isya’. Namun demikian, sangat diutamakan dilakukan pada waktu tengah malam, yaitu sewaktu dengan shalat sunnat tahajjud (02.00-03.00). b. Jumlah Rakaat Shalat sunnat istikharah dikerjakan hanya 2 rakaat saja. c. Redaksi Niat ِن ِهِلِل تَعَالَى َر ْكعَتَْي َرةِ ْالِ ْستِ َخا ا ْي ُسنَّةَ ِ ِّ َصل ُ أ d. Surat yang dibaca setelah Fatihah Surat yang dibaca pada rakaat pertama setelah fatihah adalah surat al-Kafirun, dan pada rakaat kedua membaca surat al-ikhlash atau surat apa saja yang disukai. e. Tata Cara Pelaksanaan Secara umum, tata cara pelaksanaan shalat sunat istikharah sama dengan shalat sunnat pada umumnya, baik dari segi bacaan ataupun perbuatannya, yang membedakan hanya redaksi niat, nama surat yang dibaca setelah fatihah, berapa kali surat itu harus dibaca, jumlah rakaat dan waktu pelaksanaannya. Selanjutnya, setelah salam dianjurkan membaca doa sebagai berikut:
139 4) Shalat Sunnat Tahiyat al-Masjid Shalat sunnat ini adalah shalat yang dikhususkan untuk menghormati masjid sebagai tempat suci. Bagi setiap muslim atau muslimah yang memasuki masjid sebelum duduk disunnahkan melaksanakan shalat sunnat tahiyyat al-masjid. Hal itu berdasar pada sebuah hadits Nabi yang artinya berbunyi:”maka apabila seorang dari padamu masuk ke masjid, janganlah ia duduk sebelum ia shalat dua rakaat.” Apabila terlanjur duduk karena sengaja walaupun sebentar, maka shalat sunnat ini tidak boleh dilaksanakan terkecuali kalau lupa. a. Waktu Pelaksanaan Waktu pelaksanaan shalat sunnat ini adalah setiap memasuki masjid, baik untuk melaksanakan shalat fardhu ataupun sunnat. b. Jumlah Raka’at Rakaat shalat tahiyatul masjid adalah 2 rakaat saja. c. Redaksi Niat ِن ِهِلِل تَعَالَى َم ْس ِجِد َر ْكعَتَْي ْ ال تَ ِحيَّةَ ِّى ُسنَّةً َصِل اُ d. Surat yang dibaca setelah Fatihah Surat yang dibaca setelah fatihah bisa surat apa saja terutama yang paling dihafal. e. Tata Cara Pelaksanaan
140 Secara umum, tata cara pelaksanaan shalat sunat tahiyyat al-masjid sama dengan shalat sunnat pada umumnya, baik dari segi bacaan ataupun perbuatannya, yang membedakan hanya redaksi niat, nama surat yang dibaca setelah fatihah, berapa kali surat itu harus dibaca, jumlah rakaat dan waktu pelaksanaannya.
141
142 BAGIAN VI SHALAT KHAUF JAMA’ DAN QASHAR A. SHALAT KHAUF Pelaksanaan shalat khauf berbeda dengan pelaksanaan shalat dalam keadaan aman. Perbedaan itu ditentukan oleh situasi-situasi tesendiri, sehingga shalat ini memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh shalat dalam keadaan normal. Setidaknya ada 2 keadaan yang mempengaruhi bentuk shalat khauf ini sesuai dengan situasi perang, dimana keadaan demikian menjadi alasan Allah memberikan keringanan bagi hamba-Nya. Keadaankeadaan yang dimaksud adalah sebagai berikut: Pertama, apabila sedang berjaga-jaga dan bersiap siaga sebelum terjadinya pertempuran. Dalam kondisi seperti ini, shalat khauf dapat mengambil bentuk tertentu, berlainan sedikit dari bentuk shalat-shalat yang biasa dilakukan. Dikarenakan kaum muslimin ingin agar shalat tersebut dilaksanakan secara berjamaah, boleh menunjuk imam atau juga seseorang yang mewakili kedudukannya dalam mengatur pertempuran.
143 Kedua, apabila peperangan dengan musuh telah berkecamuk, dan barisan-barisan telah bercampur-aduk diliputi rasa khawatir yang amat sangat. Dalam situasi seperti ini tidak ada cara shalat tertentu. Namun masing-masing dapat melakukan shalat dengan cara apapun yang memungkinkan, contohnya dengan berjalan kaki, berlari, berdiri, naik kendaraan, menghadap kiblat ataupun tidak. Sementara ruku’ dan sujudnya cukup dengan isyarat, yakni dengan menggerakkan kepala yang menunjukkan ruku’ dan sujud. Isyarat sujud tentu melebihi isyarat ruku’. 1. Pengertian Shalat Khauf Menurut bahasa, kata al-khauf artinya khawatir atau takut. Lawan dari al-khauf adalah al-Amn yang berarti merasa aman. Adapun pengertian shalat khauf menurut istilah ialah shalat yang dilakukan dalam situasi perang melawan musuh. Atau dalam pengertian lain, shalat khauf adalah shalat yang dikerjakan dalam keadaan genting atau dalam kondisi berkecamuk perang. 2. Dasar Hukum Shalat Khauf Pelaksanaan shalat khauf berdasar pada firman Allah SWT, diantaranya QS. an-Nisa’, 4 : 102: ْ ا ٓ و ُ ذ ُ خ ۡ أ َ ۡ َل َ و كَ َ ع َّ م م ُ ه ۡ ِن م ٞ ة َ ِف ئ ٓ ا َ ط ۡ م ُ ق َ ت ۡ ل َ ف َ ة َٰ و َ ل ٱلصَّ ُ م ُ ه َ ل تَ ۡ م َ ق َ أ َ ف ۡ ِم فِيه نتَ ُ ا ك َ ِإَوذ ْ وا ُّ ل صَ ُ ي ۡ م َ َ َٰى ل ر ۡ خ ُ أ ٌ ة َ ِف ئ ٓ ا َ ِت ط ۡ أ َ ۡ تل َ و ۡ م ِكُ ئ ٓ ا َ ر َ ِمن و ْ وا ُ ون ُ ك َ ي ۡ ل َ ف ْ وا ُ د َ ج َ ا س َ ِذ إ َ ف ٞۖ ۡ م ُ ه َ ت َ لِح ۡ س َ أ و ُ ذ ُ خ ۡ أ َ ۡ َل َ و كَ َ ع َ م ْ وا ُّ ل صَ ُ ي ۡ ل َ ف ۡ ن َ ع َ ون ُ ل ُ ف ۡ غ َ ت ۡ و َ ل ْ وا ُ ر َ ف ِينَ كَ َّ ٱَّل َّ د َ و ۡ م ُ ه َ ت َ لِح ۡ س َ أ َ و ۡ م ُ ه َ ر ۡ ِحذ ْ ا ِن إ ۡ م ۡكُ ي َ ل َ ع َ اح َ ن ُ ج َ َل َ و ٗ ة َ ِحد َٰ َ و ٗ ة َ ل ۡ ي َّ م م ۡكُ ي َ ل َ ع َ ون ُ ِميل َ ي َ ف ۡ م تِكُ َ تِع ۡ م َ أ َ و ۡ م تِكُ َ لِح ۡ س َ أ
144 َ أ ْ ا ٓ و ُ ع ضَ َ ن ت َ أ ٰٓ َۡض َ ر َّ م م ُ نت ُ ك ۡ و َ أ ٍ ر َ ط َّ ِن م ى م ٗ ذ َ أ ۡ م ِكُ ب َ ن َ َك ۡ م ُ ك َ ر ۡ ِحذ ْ وا ُ ذ ُ خ َ و ٞۖ ۡ م َكُ ت َ لِح ۡ س ا ٗ ِين ه ُّ ا م ٗ اب َ ذ َ ع ينَ ِ فِر َٰ َ ك ۡ لِل َّ د َ ع َ أ ٱَّلل ََّ َّ ِن إ “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang- orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu”. 3. Kaifiyat Shalat Khauf Tata cara shalat khauf dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : Pertama, Posisi musuh berada diarah selain kiblat. Ketika musuh berada di arah selain kiblat, maka imam membagi Jemaah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berdiri menghadap pada musuh, sedangkan kelompok kedua berdiri dibelakang imam, kemudian imam beserta Jemaah kelompok kedua melaksanakan shalat satu rakaat, setelah itu mereka menyempurnakan shalatnya masing-masing, dan setelah selesai shalat mereka menghadap ke arah musuh. Kemudian, kelompok
145 pertama datang dan melaksanakan shalat satu rakaat beserta imam, setelah itu mereka menyempurnakannya dan mengakhirinya dengan salam; Jamaah dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berdiri bersiap siaga dan menjaga kawannya. Sedangkan kelompok yang lain menunaikan shalat jamaah bersama dengan imam. Bersama kelompok yang kedua ini, imam melakukan shalat satu rakaat. Apabila ia bangkit untuk menunaikan rakaat kedua, maka kelompok ini memisahkan diri dari imam, dengan menyelesaikan sendiri rakaat yang kedua, kemudian pergi menggantikan kelompok yang pertama tadi untuk berjaga-jaga. Kelompok pertama datang lalu ma’mum kepada imam, dan imam hendaknya memperpanjangkan berdirinya pada rakaat kedua supaya kelompok ini bisa tersusul, lalu imam melanjutkan shalatnya bersama kelompok ini untuk rakaat kedua, yang bagi mereka baru merupakan rakaat pertama. Oleh sebab itu, ketika imam melakukan duduk tasyahud, mereka justeru bangkit untuk menyelesaikan rakaat kedua, lalu menyusul imam yang masih tetap dalam tasyahudnya, menunggu mereka. Setelah itu mereka salam bersama. Kedua, Posisi musuh berada pada arah kiblat. Pada posisi ini, imam membuat Jemaah menjadi dua barisan, kemudian imam beserta Jemaah melakukan takbiratulihram; dan apabila imam bersujud, maka sujud pula salah satu barisan dan barisan lain tetap berdiri tegak menjaganya. Dan apabila imam beserta Jemaah barisan pertama bangun dari sujudnya, maka barisan lainnya bersujud kemudian bangun dari sujud seperti halnya barisan pertama.103
146 Ketiga, Sangat takut oleh musuh, serta sedang berkecamuk atau berlangsungnya peperangan. Dalam keadaan peperangan seperti ini seseorang melaksanakan shalat sebisanya, apakah sambil berjalan, berkendaraan menghadap kiblat atau tidak. Apabila seluruh pasukan ingin melaksanakan shalat dengan berjamaah, tidak ingin membagi shalatnya menjadi beberapa kelompok dengan tujuan untuk memperoleh keutamaan satu jamaah yang besar, maka hendaklah imam mengatur mereka menjadi dua shaf, atau empat shaf, atau bisa lebih banyak lagi. Jikalau imam sedang sujud, maka yang ikut bersujud hanyalah shaf yang terdekat dengannya saja (shaf pertama) jika jamaah dibagi menjadi dua shaf. Apabila jamaah dibagi menjadi empat shaf, maka yang ikut bersujud adalah dua shaf yang terdekat (shaf pertama dan kedua), demikian seterusnya. Sedangkan yang lain tetap berdiri untuk menjaga kawankawannya terhadap serangan musuh yang tiba-tiba. Apabila imam telah bangkit dari sujudnya beserta mereka yang bersujud bersamanya (yang shaf pertama tadi), barulah shaf yang lain kemudian sujud sampai menyusul imam berdiri untuk melaksanakan rakaat yang kedua. Apabila imam sujud untuk rakaat kedua, maka dilakukan oleh mereka yang tadi tidak ikut sujud di rakaat pertama (shaf kedua) sedangkan mereka yang ikut sujud di rakaat pertama (shaf pertama) tetap berdiri. Setelah imam duduk bertasyahud, hendaknya mereka (shaf pertama) menyusul mengerjakan rakaat kedua sampai di tutup dengan salam. Cara shalat seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w., pada perang ‘Usfan. Dengan demikian hal ini telah menjadi suatu sunnah pada tiap keadaan yang menyerupainya.
147 B. Shalat jama’ dan Qashar Kesulitan atau kemadharatan, seperti dalam perjalanan (safar), hujan lebat dan sakit menjadi pemboleh seseorang menjama’ atau meng-qashar shalat fardhu. Hanya saja, tidak semua shalat fardhu dapat di-jama’ atau di-qashar. Dari kelima waktu shalat fardhu, ada yang dapat di-jama dan di-qashar, yaitu shalat fardhu yang 4 rakaatnya (ar-ruba’iyah) , seperti dzuhur, ashar dan ‘isya, ada yang bisa di-jama’ tidak dapat di- qashar seperti maghrib, dan ada pula yang tidak dapat di-jama’ dan di-qashar, seperti shalat subuh. Pelaksanaan shalat jama’ dan qashar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu taqdim dan ta`khir. Shalat jama’ takdim adalah melaksanakan shalat ashar di waktu dhuhur dan melaksanakan shalat ‘isya pada waktu shalat maghrib dengan ketentuan sebagai berikut: (Nawawi, t.th) 1) Niat jama’ diucapkan atau diiqrarkan pada waktu shalat pertama (dhuhur atau maghrib); 2) Mendahulukan pemilik waktu shalat, yaitu dhuhur atau maghrib; dan 3) Tidak boleh terpisah antara shalat yang pertama dengan shalat yang kedua (dhuhur dan ashar atau maghrib dan ‘isya); Sedangkan shalat jama’ ta`khir adalah melaksanakan shalat dhuhur di waktu shalat ashar atau melaksanakan shalat maghrib pada waktu shalat ‘isya dengan ketentuan bahwa niat jama’ diucapkan atau diiqrarkan sebelum habis waktu shalat dhuhur atau shalat maghrib. (Nawawi, t.th) Redaksi niat shalat jama’ atau
148 qasar tentu sangatlah beragam, berikut ini adalah salah satu contohnya: 1. Niat Shalat Jama’ Apabila musafir hendak melakukan shalat jama’ dengan jama’ taqdiim, maka ia harus berniat jama’ pada waktu pelaksanaan shalat yang pertama. Niat jamak dilakukan bersamaan dengan takbiiratul ihraam. Bacaan lafal niat sholat jamak taqdiim shalat zhuhur di-jama’ taqdiim dengan ashar: ِدْي م عَ ْصِر َج ْم َع تَقْ ْ ْربَ َع َر َكعاَ ت َم ْج ُمْو ًعا بِال َ ُّظ ْهِر أ ْر َض ال ِى فَ ِّ َصل ُ أ ِ َما ًما هلل تَعَالَى ُمْو ًما/إ ْ َمأ ushalli fardhoduhri arba'a raka'aatin majmuuan bil'ashri jam'a taqdiiman makmuman/imaaman lillai ta'ala Artinya: Saya melakukan shalat fardhu zhuhur sebanyak empat rakaat dikumpulkan dengan shalat ashar dengan jama’ taqdiim (menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala. Niat shalat maghrib di-jama’ taqdiim dengan isya: ِدْي م ِع َشا ِء َج ْم َع تَقْ ْ َم ْغِر ِب ثََال َث َر َكعاَ ت َم ْج ُمْو ًعا بِال ْ ْر َض ال ِى فَ ِّ َصل ُ أ ِ َما ًما هلل تَعَالَى ُمْو ًما/إ ْ َمأ . ushalli fardhol maghribi tsalatsa raka'atin majmuu'an bil'isyaai jam'a taqdiimi makmuman/imaman lillahi ta'ala.
149 Artinya: Saya melakukan shalat fardhu maghrib sebanyak tiga rakaat dikumpulkan dengan shalat isya’ dengan jama’ taqdiim (menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala. Bacaan sholat jamak sendirian: ِع َشا ِء َج ْم َع ْ َم ْغِر ِب ثََال َث َر َكعاَ ت َم ْج ُمْو ًعا بِال ْ ْر َض ال ِى فَ ِّ َصل أ ِدْي م هلل ُ تَقْ .تَعَالَى Ushalli fardhol maghribi tsalatsa raka'atin majmuu'an bil'isyaai jam'a taqdiimi lillahi ta'ala. Jama’ taqdiim ialah: mengerjakan shalat di waktu yang pertama. Semisal menjama’ shalat zhuhur dengan ashar, maka kedua shalat tersebut dikerjakan di waktunya shalat zhuhur. Jama’ ta’khiir ialah mengerjakan shalat di waktu yang kedua. Semisal men-jama’ shalat maghrib dengan isya’, maka kedua shalat tersebut dilaksanakan pada waktunya shalat isya’. Seorang musafir bisa menjama’ shalatnya jika berada dalam perjalanan yang diperbolehkan untuk meng-qashar shalat, seperti yang telah diterangkan di atas. Orang yang men-jama’ shalatnya harus berstatus musafir sampai selesainya shalat yang kedua. Apabila sebelum melaksanakan shalat yang kedua ada niat mukim, maka tidak boleh melakukan jama’ sebab udzurnya dianggap habis. Muslim yang berstatus musafir atau sedang bepergian juga bisa melakukan sholat jamak qashar sekaligus. Jamak qashar yakni mengumulkan sholat dalam satu waktu dan meringkasnya. Dalam artian, bisa melaksanakan shalat dzuhur dengan ashar masing-masing dikerjakan dua rakaat dengan dua kali salam.
150 Berikut bacaan niat shalat zhuhur di-jama’ taqdiim dengan ashar secara qashar. ْص ًرا ِ ِهلل ِدْي م قَ عَ ْصِر َج ْم َع تَقْ ْ ِن َم ْج ُمْو ًعا بِال ْ ُظ ْهِر َر ْكعَتَْي ْر َض ال ِى فَ ِّ َصل ُ أ .تَعَالَى ushalli fardoduhri rak'ataini majmuu'an bil'ashri jam'a taqdiimin qashran lillahi ta'ala. Artinya: Saya niat shalat fardhu zhuhur dua rakaat di-jama’ taqdiim dengan ashar sambil diqashar karena Allah Ta’ala. Lafal Niat shalat ashar di-jama’ taqdiim dengan zhuhur secara qashar. ْص ًرا ِ ِهلل ِدْي م قَ ْ ُّظ ْهِر َج ْم َع تَقْ ِن َم ْج ُمْو ًعا بِال عَ ْصِر َر ْكعَتَْي ْ ْر َض ال ِى فَ ِّ َصل ُ أ .تَعَالَى Artinya: Saya niat shalat fardhu ashar dua rakaat di-jama’ taqdîm dengan zhuhur sambil diqashar karena Allah Ta’ala. Dalil shalat qashar ini termaktub dalam Alquran; اِ ْن ِۙ وةِ ٰ ُص ُرْوا ِم َن ال َّصل ْي ُكْم ُجنَا ٌح اَ ْن تَقْ َس َعلَ ْي ْر ِض فَلَ ْالَ ْم فِى ا َواِذَا َض َرْبتُ ِخ ا ْفتُ وا ُّمبِ ْينً ْوا لَ ُكْم َع ُدًّ ِرْي َن َكانُ ْ ٰكِف اِ َّن ال ۗ ُرْوا ِذْي َن َكفَ َّ ْفتِنَ ُكُم ال ْم اَ ْن يَّ Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu. (QS. An Nisa: 101) Dalam ayat tersebut, Ibnu katsir menerangkan bahwa shalat jamak qashar ini hanya boleh dilakukan jika perjalanan yang
151 dilakukan mengandung ketaatan, seperti berjihad, atau haji atau umrah, atau mencari ilmu atau ziarah, atau lain-lainnya yang semisal. Boleh pula dalam rangka bepergian yang mubah (tidak diharamkan). Keterangan Hadis ْن َ ْي ُكْم ُجنَا ٌح أ َس َعلَ ْي َخ َّطا ِب لَ ْ ِن ال ُت ِلعُ َمَر ْب ْ ل قَا َل قُ َميَّةَ ُ ِن أ َع ْن يَ ْعلَى ْب ِم َن النَّا ُس فَقَا َل َع ِجْب ُت َ ُروا فَقَ ْد أ ِذي َن َكفَ َّ ْفتِنَ ُكْم ال ْن يَ َ ْم أ ْن ِخْفتُ ِ ُص ُروا ِم ْن ال َّصَالةِ إ تَقْ ُت َر ُسو َل ْ ل َ َسأ ِمَّما َع ِجْب َت ِمْنهُ فَ ِل َك فَقَا َل َصَدقَةٌ َ َع ْن ذَ م َّ َو َسل ْي ِه َّى ََّّللاُ َعلَ ََِّّللا َصل ُمقَ َّدِم ُّي َحَّدثَنَا ْ ْك ر ال بِي بَ َ َصَدقَتَهُ و َحَّدثَنَا ُم َح َّمُد ْب ُن أ ُوا بَل ْي ُكْم فَاقْ َصَّد َق ََّّللاُ بِ َها َعلَ تَ قَا َل َحَّدثَنِي َعْب ُد ال َّر ِن ُج َرْيج ر َع ْن َعْبِد ْن اْب يَ ْحيَى َع بِي َع َّما َ ِن أ ْحم ِن ْب ُن َعْبِد ََِّّللا ْب ِن ِل َحِدي ِث اْب ْ َخ َّطا ِب بِ ِمث ْ ِن ال ُت ِلعُ َمَر ْب ْ ل قَا َل قُ َميَّةَ ُ ِن أ ِن بَابَْي ِه َع ْن يَ ْعلَى ْب ََِّّللا ْب َس ْدِري ِ إ Yala bin Umayyah, katanya; "Aku berkata kepada Umar bin Khattab mengenai ayat yang berbunyi Tak ada dosa atasmu mengqashar shalat, jika kamu khawatir terhadap orang-orang kafir yang hendak memberi cobaan kepadamu." QS. Surat An nisa; 101, sementara manusia saat ini dalam kondisi aman (maksudnya tidak dalam kondisi perang)." Umar menjawab; "Sungguh aku juga pernah penasaran tentang ayat itu sebagaimana kamu penasaran, lalu aku tanyakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang ayat tersebut, beliau lalu menjawab: "Itu (mengqashar shalat) adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian. Oleh karena itu, terimalah sedekah-Nya." Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Bakr Al Muqaddami, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu Juraij katanya; telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Abdullah bin Abu Ammar dari Abdullah bin Babaihi, dari Yala bin Umayyah katanya; Aku pernah bertanya kepada Umar bin Khatthab semisal hadis Ibnu Idris. (HR. Muslim) [No. 686 Syarh Shahih Muslim] Shahih.
152
153 BAGIAN VII SHALAT JUM’AT Selain shalat berfungsi sebagai bentuk pembinaan mental pribadi seorang muslim, juga shalat sebagai fungsi sosial. Karenanya, Islam mensyariatkan shalat dilaksanakan secara berjama’ah. Shalat yang dilaksanakan sendiri-sendiri, nilai atau pahalanya jauh dibawah shalat yang dilaksanakan secara berkelompok. Setiap hari Jum’at kaum muslimin diwajibkan melaksanakan shalat jum’at secara berjma’ah yang sebelumnya diawali oleh khutbah dua dan dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur. A. Pengertian Shalat Jum’at Shalat jum’at adalah shalat yang dilaksanakan pada hari jum’at sebanyak dua raka’at yang dilakukan setelah khutbah dua dan dilaksanakan setelah tergelincirnya matahari (waktu dhuhur).
154 B. Dasar Hukum Shalat Jum’at 1. Al-Qur`an QS. Al-Jum’ah, 62 : 9-11 َ ِذ إ ْ ا ٓ و ُ ن َ ام َ ء ِينَ َّ ا ٱَّل َ ه ُّ ي َ أ ٰٓ َ ي ِ ٱَّلل َّ ِ ر ۡ ذِك َٰ َ َِل إ ْ ا ۡ و َ ع ۡ ٱس َ ةِ ف َ ع ُ م ُ ۡ ِم ٱۡل ۡ و َ ةِ ِمن ي َٰ و َ ل لِلصَّ ودِيَ ُ ا ن ُ ة َٰ و َ ل ِت ٱلصَّ َ ِضي ُ ا ق َ ِذ إ َ ف َ ون ُ م َ ل ۡ ع َ ت ۡ م ُ نت ُ ِن ك إ ۡ م كُ َّ ل ٞۡ َي َ خ ۡ م لِكُ َٰ َ ذ َ ع ۡ ي َ ۡ ٱۡل ْ وا ُ ر َ ذ َ و ٱَّلل ََّ ْ وا ُ ر ُ ك ۡ ٱذ َ ِ و ٱَّلل َّ ِ ل ضۡ َ ِمن ف ْ وا ُ غ َ ت ۡ ٱب َ ۡر ِض و َ ۡ ِِف ٱۡل ْ وا َِشُ َ ٱنت َ ف ۡ م كُ َّ ل َ ع َّ ا ل ثَِيٗ َ ك ِ ٱَّلل َّ َ ا ِعند َ م ۡ ل ُ ا ق ٗ ِم ئ ٓ ا َ ق َ وك ُ ك َ ر َ ت َ ا و َ ه ۡ َ َِل إ ْ ا ٓ و ُّ ض َ ا ٱنف ً و ۡ ه َ ل ۡ و َ أ ً ة َ ر َٰ تِجَ ْ ا ۡ و َ أ َ ا ر َ ِإَوذ َ ون لِحُ ۡ ف ُ ت ِقِنيَ َٰز َّ ٱلر ُۡ َي َ خ ٱَّلل َُّ َ ةِِۚو َ ر َٰ ِجَ ٱتل ِمنَ َ ِ و و ۡ ه َّ ٱلل ِنَ م ٞۡ َي َ خ Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak- banyak supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah sebaik-baik pemberi rizki.
155 2. Al-Hadits HR. Ahmad dan Muslim : “Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Nabi s.a.w., bersabda: " Sungguh saya berniat hendak menyuruh seseorang menjadi imam bagi orang- orang yang berjama’ah, lalu saya pergi membakar rumah orang-orang yang meninggalkan jum’at”. HR. Daruquthni “Dari Jabir r.a. berkata: Sunnah telah berlaku, bahwa pada tiap-tiap empat puluh orang lebih, wajib jumat”. C. Syarat Sah Shalat Jum’at Shalat jum’at adalah shalat yang wajib dilaksanakan oleh seseorang yang memenuhi tujuh syarat. Ketujuh syarat itu adalah: 1. Islam 2. Baligh (dewasa) 3. Berakal sehat 4. Merdeka 5. Laki-laki 6. Sehat; 7. Istithan (penduduk tetap)
156 Shalat jum’at itu sendiri dapat dilaksanakan pada suatu tempat apabila memenuhi tiga syarat. Ketiga syarat tersebut adalah : 1) Adanya sebuah perkampungan; 2) Jumlah jema’ah minimal terdari dari 40 orang ahli jum’at; dan 3) Cukup waktu (waktu dhuhur) Secara lengkap syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1) Dilakukan dengan berjamaah, tidak kurang dari 40 orang laki-laki dan ahli jum’at 2) Salat jum’at dilakukan di tempat yang menetap, seperti di kota atau desa 3) Dikerjakan pada waktu zhuhur sebanyak dua rakaat 4) Didahului dengan dua khutbah yang dilakukan dengan cara berdiri dan duduk antara keduanya Apabila keluar dari ketentuan waktu yang telah ditentukan atau tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka dilaksanakan shalat dzuhur saja. D. Fardhu / Rukun Shalat Jum’at Ada tiga ketentuan fardhu shalat jum’at, yaitu: pertama, khutbah dua; kedua, khatib (orang yang berkhutbah) berdiri dan duduk diantara khutbah dua; dan ketiga, shalat dua raka’at secara berjama’ah. Berbeda dengan shalat pada ‘idain, dimana
157 shalat tersebut dikerjakan sebelum khutbah, sedangkan dua raka’at shalat jum’at dilaksanakan setelah khutbah dua. E. Rukun dan Syarat Khutbah Jum’at 1. Rukun Menurut Abdul al-Mu’thy pengarang kitab Syarh Kasyifat al-Suja ‘ala Safinat al-Naja fi Ushul al-Din wa al-Fiqh, bahwa rukun khutbah dua dalam khutbah jum’at ada lima. Apabila salah satu atau lebih rukun itu terabaikan, maka khutbahnya dianggap batal. Kelima rukun tersebut adalah: (Al-Ghamidi, 2010) a. Membaca Kalimat Alhamdulillah b. Membaca shalawat atas Nabi c. Washiyat al-Taqwa d. Membaca salah satu ayat al-Qur`an pada khutbah pertama atau kedua e. Mendoakan kaum muslimin 2. Syarat Khutbah dua dalam khutbah jum’at dapat dilaksanakan apabila memenuhi ketentuan syarat- syaratnya. Apabila syarat itu tidak terpenuhi, maka khutbah dua tersebut tidak sah dilaksanakan. Abdul Mu’thy menyebutkan 10 syarat yang harus terpenuhi dalam khutbah dua. Kesepuluh syarat dimaksud adalah sebagai berikut:
158 a. Bersih dari hadats kecil dan besar b. Bersih dari najis, baik najis yang menempel pada pakaian, badan ataupun tempat c. Menutup aurat d. Berdiri bagi yang mampu e. Duduk diantara dua khutbah selama kira- kira tuma`ninah dalam shalat f. Berturut-turut diantara dua khutbah g. Berturut-turut antara dua khutbah dengan shalat jum’at h. Khutbah disampaikan dengan menggunakan bahasa Arab i. Khutbahnya didengarkan sekurang-kurangnya oleh 40 orang j. Khutbah dilaksanakan pada waktu dzuhur F. Hai`at Shalat Jum’at Adapun hai`at shalat jum’at ada empat macam, yaitu: a. Mandi besar (adus) b. Membersihkan badan; c. Memakai pakaian serba putih; dan d. Memotong kuku dan memakai wangi-wangian
159 Ketika khutbah dua berlangsung diharuskankan para jama’ah untuk berdiam tidak berbicara walaupun satu patah katapun serta mendengarkan khutbah secara seksama. Apabila ada jema’ah yang berbicara, bercanda ataupun melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan ke-khusyu’- an dalam mendengarkan khutbah, maka ia termasuk ‘lagha’, yaitu gugur mendapatkan pahala jum’at. Kemudian, apabila ada seseorang yang baru masuk masjid dan mendapati imam sedang berkhutbah, maka disunnahkan baginya tidak duduk terlebih dahulu sebelum melaksanakan shalat sunnat tahiyat al-masjid sebanyak dua raka’at. G. Amaliah (Aurad) setelah Shalat Jum’at Setelah selesai khutbah dua dan shalat jum’at, para jema’ah sebaiknya tidak langsung pulang, akan tetapi diharapkan mampu maanfaatkan waktu beberapa menit saja untuk melakukan amalan-amalan atau aurad sebagai tambahan kebaikan, seperti dzikir dengan mengucapkan kalimat thayyibah, yaitu : lailaahaillah sebanyak 165 atau lebih. Atau amalan-amalan lainnya yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah SWT yang diantaranya, yaitu membaca surat alFatihah, al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Naas masing-masing 7 kali. Barangsiapa yang mampu melakukannya maka baginya akan mendapatkan pahala berupa: pertama, dimaafkan dosa- dosanya yang telah lalu dan dosa yang akan datang; kedua, diberikan pahala baginya sejumlah bilangan orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya; ketiga, dijauhkan dari kejelekan sampai hari jum’at berikutnya; keempat, dijaga agamanya, urusan dunianya, keluarganya, dan keturunannya.
160 Selain amalan diatas, ada pula amalan atau aurad lain yang tidak kalah penting dan tidak kurang keistimewaannya apabila mampu diamalkan setelah selesai shalat jum’at, sebagaimana dikutif oleh al-Manawi dari Abu al-As’ad al- Qusyairy, bahwa ia (al-Qusyairy) pernah mengucapkan aurad dibawah ini sebanyak 4 (empat) kali. Dan barangsiapa yang mampu mengamalkannya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya (kaya raya) serta akan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangkasangka. Aurad dimaksud adalah : Menurut al-Quthub Abd al-Wahab al-Sya’rani, bahwa barangsiapa yang mendawamkan atau terbiasa membaca dua bait dibawah ini pada setiap hari Jum’at setelah selesai shalat jum’at sebanyak 5 kali, maka Allah akan mewafatkan orang tersebut dalam keadaan Islam tanpa keragu-raguan. Kedua bait tersebut adalah: H. Orang yang Boleh Meninggalkan Shalat Jum’at Tidak semua umat Islam diperintah melaksanakan shalat jum’at. Hanya mereka yang memenuhi syarat saja yang wajib melaksanakannya. Sementara mereka yang tidak memenuhinya, maka baginya tidak wajib melaksanakan shalat jum’at yang diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Perempuan 2. Anak Kecil 3. Orang sakit yang sulit pergi ke masjid atau khawatir kalau pergi sakitnya akan bertambah parah. 4. Musafir (seseorang yang sedang dalam perjalanan)
161 5. Orang yang mempunyai utang dan takut dipenjara, sedang ia dalam kesempitan 6. Orang yang sedang bersembunyi karena takut kepada penguasa yang dzalim. 7. Semua orang yang mendapat udzur, yaitu yang diberi keringanan dari syarat untuk meninggalkan jama’ah, seperti adanya hujan lebat, lumpur, udara yang sangat dingin, dan lain sebagainya.
162
163 BAGIAN VIII PUASA RAMADHAN A. Pengertian Puasa Puasa adalah suatu bentuk “ibadah dalam Islam yang berarti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan ibadah tersebut pada siang hari (mulai terbit fajar sampai terbenam matahari)”; Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “Ṣiam” atau “Ṣaum” yang secara etimologis berarti menahan diri dari sesuatu. Termasuk dalam pengertian ini, menahan diri berbicara dengan orang lain; sebagaimana disebutkan dalam Q.S.Maryam [19]: 26 تُ ۡ ر َ ذ َ ِ ن ِّن إ َِلٓ و ُ ق َ ا ف ٗ د َ ح َ أ ِ ََش َ ب ۡ ٱل ِمنَ َّ ِن ي َ ر َ ا ت َّ ِم إ َ ف ٞۖ ا ٗ ن ۡ ي َ ِي ع ر َ ق َ ِِب و َ ٱۡش ۡ َ ِ و لُك ُ َ ف ا ٗ ِن ِسي إ َ م ۡ و َ ۡ ٱَل َ ِم ل كَ ُ أ ۡ ن َ ل َ ا ف ٗ م ۡ و َِّنَٰمۡح صَ لِلر Artinya: “Maka katakanlah (Hai Maryam), sesungguhnya aku telah berNazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini”.
164 Kuda yang diam dan tidak bergerak disebut “Ṣaim”, demikian juga angin yang tenang disebut “Ṣaum”; Dengan demikian dapat dipahami bahwa, dalam Puasa terkandung pengertian “ketenangan” (Tinggi, 1983) Puasa dalam pengertian terminologis ialah: Suatu ibadah yang diperintahkan Allah, dilaksanakan dengan cara menahan makan, minum dan hubungan seksual (menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa) dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan disertai niat. (Sabiq, 1983) Al-Kahlani mendefinisikan puasa dengan: menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain yang diperintahkan untuk menahan diri menurut cara yang telah ditentukan syara’. (Al-Kahlani, t.tt) Sedangkan Az-Zuhaili mendefinisikan puasa dengan: menahan diri dari segala yang membatalkan puasa diwaktu siang hari, sejak terbit fajar sadiq (sinar putih yang terbentang di ufuk timur), hingga terbenam matahari, atau menahan diri dari syahwat perut dan faraj (kemaluan), dan dari sesuatu yang masuk kedalam rongga kerongkongan, baik berupa obat-obatan, makanan, minuman dan semacamnya, pada waktu yang telah ditentukan, (Zuhayli, 1989) yang dilakukan oleh orang muslim yang berakal, tidak haid, tidak nifas, dengan melakukanny secara yakin. Serangkaian dalam pengertian terminologis (syar‟i) ini, Puasa digambarkan dalam Q.S.Al-Baqarah [2]: 187, pada intinya “menahan hawa nafsu dari makan, minum dan hubungan seksual dari terbit fajar hingga terbenam matahari. (Islam D. J., 2010) Lafaz ayatnya sbb:
165 َ ل ۡ َ َل ۡ م كُ َ ل َّ ِحل ُ أ اسٞ ِۡلَ ۡ م ُ نت َ أ َ و ۡ م كُ َّ ل اسٞ ِۡلَ َّ ن ُ ه ۡ م ِكُ ئ ٓ ا نِسَ َٰ َ َِل إ ثُ َ ف َّ اِم ٱلر َ ِ ي ٱلص َ ة ٞۖ ۡ م نكُ َ ا ع َ ف َ ع َ و ۡ م ۡكُ ي َ ل َ ع ابَ َ ت َ ف ۡ م سَ كُ ُ نف َ أ َ ون ُ ان َ ت ۡ َ َت ۡ م ُ نت ُ ك ۡ م كُ َّ ن َ أ ٱَّلل َُّ َ لِم َ ع َّ ن ُ ه َّ ل ۡ م كُ َ ل ٱَّلل َُّ بَ َ ت َ ا ك َ م ْ وا ُ غ َ ت ۡ ٱب َ و َّ ن ُ وه َِشُ َٰ َ ب َٰٔـنَ ۡ ٱل َ ف ُ م كُ َ ل ني َّ َ َ ب َ ت َ ي َٰ َّت َّ َ ح ْ وا ُ ب َ ٱۡش ۡ َ و ْ وا ُُ ُك َ و َ َل َ ِِۚ و ل ۡ َّ ٱَل َ َِل إ َ ام َ ِ ي ٱلص ْ وا ُّ تِم َ أ َّ م ُ ث ِِۖ ر ۡ ج َ ف ۡ ٱل دِ ِمنَ َ و ۡ س َ ۡ ِط ٱۡل ۡ ي َ ۡ ٱۡل ِمنَ َض ُ ي ۡ ب َ ۡ ٱۡل ط ُ ۡ ي َ ۡ ٱۡل ُ ب َ ر ۡ ق َ ت َ ٗل َ ِ ف ٱَّلل َّ ُ ود ُ د ُ ح كَ ۡ تِل ِۗ ِج ِد َٰ سَ َ م ۡ ِِف ٱل َ ون ُ ِكف َٰ َ ع ۡ م ُ نت َ أ َ و َّ ن ُ وه َِشُ َٰ َ ب ُ ت لِكَ َٰ َ ذ َ ك ا َ وه َ ون ُ ق َّ ت َ ي ۡ م ُ ه َّ ل َ ع َ ا ِس ل َّ تِهِۦ لِلن َٰ َ اي َ ء ٱَّلل َُّ ُ ِ ني َ ب ُ ي Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) jangan kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat- ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”. Mencermati beberapa definisi di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa, puasa yaitu: ibadah yang diperintahkan Allah kepada hamba- Nya yang beriman, dengan cara menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual (menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa), menurut cara yang ditentukan syara’ dari terbit fajar sampai terbenam matahari,
166 dengan disertai niat. Juga, disertai menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan porno (yang merangsang) Mengambil makna puasa dalam arti menahan diri dari segala yang membatalkan dan merusak niat puasa; Al-Gazali dalam Ihya‟ Ulumuddin, membaginya kepada tiga tingkat; yaitu 1) Puasa umum, 2) Puasa Khusus dan 3) Puasa Khușus al-Khawaș. 1) Puasa Umum, yang dimaksud disini adalah puasa hanya dengan menahan diri dari makan, minum, serta hubungan seksual ansich. Artinya, mereka melaksanakan puasa, sementara perbuatan yang lain sepanjang tidak membatalkan puasa, sebagaimana ditetapkan oleh syara’ tetap dilakukan olehnya; seperti: mencuri, berjudi, dan lain perbuatan yang bersifat menjurus kepada maksiat dan dosa. 2) Puasa Khusus; ialah selain ia menahan diri dalam pengertian puasa umum di atas, ditambah dengan menahan diri dari perkataan, pandangan, pengelihatan dan perbuatan yang cenderung mengarah kepada hal-hal yang tidak baik (negatif/ tidak pantas). 3) Puasa Khușus al-Khawaș, adalah puasa disamping menahan diri dari pengertian kedua tingkatan di atas, juga ditambah dengan puasa hati; artinya menahan hati dari segala kecenderungan yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat keduniaan. B. Macam dan Dasar Hukum Puasa 1. Macam-macam Puasa Puasa dibagi atas beberapa macam, diantaranya:
167 a) Puasa Ramaḑan b) Puasa Qaḑa c) Nazar d) Puasa Kaffȃrat (Tebusan, denda) e) Puasa Tațauwu‟ (Sunah) Kelima macam puasa tersebut, bila ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya, puasa dibagi dua; yaitu puasa yang dilaksanakan di bulan Ramaḑan, dan puasa yang dilaksanakan di luar bulan Ramaḑan. Bila dilihat dari segi hukumnya, puasa dibagi kepada empat, yaitu; 1) Puasa Wajib 2) Puasa Sunah 3) Puasa Makruh 4) Puasa Haram 2. Dasar Hukum Puasa a. Puasa Wajib, Yang meliputi: 1. Puasa bulan Ramaḑan,2. Puasa qaḑa, 3. Puasa Nazar, dan 4) Puasa kaffȃrat. 1) Puasa Ramaḑan, Adalah puasa yang diwajibkan atas setiap Muslim selama sebulan penuh pada bulan Ramaḑan; Puasa Ramaḑan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Para ahli fiqh telah sepakat menetapkan bahwa puasa dalam bulan Ramaḑan hukumnya wajib; Kewajiban (Perintah) untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramaḑan ditetapkan
168 berdasarkan al-qur‟ȃn, sunah dan kesepakatan para ulama (Ijma‟); Dalil yang menyatakan kewajiban berpuasa disebut dalam QS. Al- Baqarah [2]: 183 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (Islam D. B., 2010) Sejarah agama-agama didunia, telah membuktikan bahwa semua agama yang dianut umat manusia mengenal puasa dan menjadikannya sebagai salah satu bentuk ritual (AlQordhowy, 1979); Hanya saja pada umumnya, puasa yang dilakukan agama-agama terdahulu itu, sebagai tanda berkabung, kemalangan dan duka cita; Mereka berpuasa saat menerima musibah. Bukti sejarah ini menampakkan bahwa, usia puasa telah begitu lanjut, hampir seusia dengan umat manusia. Encyclopedia Britannica menyebutkan, bahwa hanya agama konghucu sajalah yang tidak mengenal aturan puasa; Sedangkan pada agama Zaratustra yang sering disebut tidak mengenal aturan puasa, tercantum suruhan kepada para pendetanya untuk sekurang-kurangnya puasa Lima tahun sekali. Agama Nasarani, walaupun kini dianggap tidak begitu penting menjalankan ibadah puasa, tapi tercatat bawa Yesus Kristus bukan saja menjalankan puasa empatpuluh hari, melainkan juga menjalankan puasa pada hari penebusan; bahkan Yesus Kristus memerintahkan kepada muridnya untuk berpuasa seperti tercantum dalam Injil Matius [6]: 16-16 yang
169 menyebutkan: “Dan apabila puasa, janganlah kamu menyerupai orang munafik…” Kewajiban puasa bagi Agama Yahudi, tercantum secara jelas dalam Kitab Taurat yang dikenal dengan istilah hari Asyura (pada hari kesepuluh dari bulan ke-tujuh) (Tinggi, 1983). Dasar hukum berupa Sunah (hadis), yang menerangkan kewajiban berpuasa antara lain, adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar sebagai berikut: Dari Ibnu Umar r.a, Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:: Islam dibangun diatas lima pondasi; Pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah, mendirikan salat, menunaikan (membayar) zakat, puasa pada bulan Ramaḑan, dan melaksanakan haji ke Baitullah bagi orang yang mampu” (HR. Bukhari dan Muslim). Puasa Ramaḑan mulai diwajibkan oleh Allah Swt atas umat Muhammad Saw pada Tanggal 10 Ramaḑan, satu setengah tahun sesudah hijrah; Ketika itu Nabi Muhammad s.a.w baru saja diperintah untuk mengalihkan arah Kiblat dari Baitulmakdis (Yerusalem) ke Ka‟bah di Masjidilharam (Mekah) (Nasional, 2007). Puasa Ramadhan wajib dimulai ketika melihat atau menyaksikan bulan pada awal bulan Ramaḑan; Apabila langit dalam keadaan berawan yang mengakibatkan bulan tidak dapat dilihat atau disaksikan, maka bulan Ramaḑan disempurnakan tigapuluh hari; Hal ini didasarkann pada Q.S.Al-Baqarah [2]: 185
170 “Barangsiapa yang menyaksikan bulan diantara kamu, hendaklah berpuasa” (Q.S.Al-Baqarah [2]: 185) Ada lagi hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, yang lafaz hadisnya sbb: Dari Abi Hurairah r.a bersabda Rasulullah Saw (yang dikenal dengan sebutan Abu Qasim): “Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat-nya; Akan tetapi, apabila engkau tidak melihatnya, maka sempurnakan jumlah bulan Sya‟ban (atau Ramaḑan atau bulan lainnya) menjadi tigapuluh hari.” (HR Bukhari). 2) Puasa qaḑa, Adalah puasa yang wajib dikerjakan karena meninggalkan puasa di bulan Ramaḑan, baik karena uzur, sakit atau musafir (bepergian), sebanyak hari yang ditinggalkannya; Firman Allah Q.S.Al-Baqarah [2]: 185 Artinya: “Maka jika diantara kamu ada yang sakit, atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (di luar bulan Ramaḑan). Hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyebutkan: Artinya: “Barangsiapa meninggal dunia (mati), dan masih ada kewajiban puasa atasnya, maka dipuasakanlah (diqaḑa) oleh walinya. Terdapat silang pendapat bagi fuqaha, ada juga fuqaha yang mengatakan bahwa, jika seseorang meninggal dunia,
171 sedang ia mempunyai tanggungan puasa, maka segolongan fuqaha berpendapat bahwa seseorang tidak berpuasa atas nama orang lain, akan tetapi walinya harus mengeluarkan makanan (fidyah) atas namanya; Bahkan ada juga pendapat yang memisahkan antara puasa Nazar dengan puasa wajib, dalam hal ini, untuk puasa Nazar, walinya harus berpuasa atas nama yang meninggal itu. Sedangkan untuk puasa wajib, maka tidak ada puasa atas nama orang tersebut. (Rusyd, 1980) Alasan lain bagi fuqaha yang berpendapat apabila meninggal dunia (mati), dan masih ada kewajiban puasa atasnya, maka dipuasakanlah (diqaḑa) oleh walinya, karena berpedoman pada hadis Ṣahih dari Ibnu Abbas sebagai berikut: Artinya: Berkata ibnu Abbas: Seseorang laki-laki datang kepada Nabi Saw, kemudian berkata, “ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal, sedangkan dia ada kewajiban puasa sebulan, apakah aku harus mengqaḑa‟nya atas namanya?” Rasulullah berkata, “Andaikan ibumu mempunyai hutang, apakah engkau harus melunasinya?” jawab lelaki itu, “Ya” Berkatalah Rasulullah Saw, “Begitu pula hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.” 3) Puasa Nazar, ialah puasa yang wajib dilaksanakan oleh orang yang berNazar, sebanyak hari yang diNazarkan. Nazar, telah disyari‟atkan kepada umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad Saw; Puasa Nazar, dapat disimak (disinyalir) dari pernyataan Siti Maryam yang menguraikan Nazarnya, sebagaimana ditegaskan dalam: Q.S. Maryam [19]: 26
172 Maka katakanlah (Hai Maryam), Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah; Maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini (Q.S.Maryam [19]: 26). Ditegaskan juga dalam: Q.S.Ali Imran [3]: 35 (Ingatlah), ketika istri Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesung-guhnya aku bernazarkan kepada Engkau anak yang ada dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Makdis); Karena itu, terimalah (Nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui” Nazar, artinya mewajibkan atau mengharuskan pada dirinya; Maksudnya, mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Nazar, disyari‟atkan berdasarkan al-qur’an dan hadis; Dalam al- Qur‟an, nazar disebutkan dalam: Q.S.Al-Hajj [22]: 29; juga dalam Q.S.Al-Baqarah [2]: 270 “…Dan hendaklah mereka menyempurnakan Nazar-Nazar mereka, dan hendaklah mereka melakukan țawaf keliling rumah tua itu (Baitullah)” (Q.S.Al-Hajj [22]: 29. Firman Allah dalam QS.Al-Baqarah [2]: 270 ا َ م َ ۥ و ُ ه ُ م َ ل ۡ ع َ ي ٱَّلل ََّ َّ ِن إ َ ف ٖ ر ۡ ذ َّ ِن ن م م ُ ت ۡ ر َ ذ َ ن ۡ و َ ٍة أ َ ق َ ف َّ ِن ن م م ُ ت ۡ ق َ نف َ أ ٓ ا َ م َ و ٍ ار نصَ َ أ ۡ ِمن لِ ِمنيَ َٰ َّ لِلظ
173 “Apa saja infak yang kamu nafkahkan atau apasaja yang kamu Nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya, tidak ada seorang penolongpun bagi orang yang berbuat ẓalim” (QS.Al- Baqarah [2]: 270). Dipertegas lagi dalam QS.At-Taubah [9]: 75-77 sebagai berikut: َ ق َّ د صَّ َ َ لِهِۦ ۡل ضۡ َ ا ِمن ف َ ن َٰ ى َ ات َ ء ۡ ِن ئ َ ل ٱَّلل ََّ َ د َ ه َٰ َ ع ۡ ن َّ م م ُ ه ۡ ِمن َ ۞و ِمنَ َّ ن َ ون ُ ك َ َ ۡل َ و َّ ن َ ون ِضُ ر ۡ ع ُّ م م ُ ه َّ و ْ وا َّ ل َ و َ ت َ ِهِۦ و ب ْ وا ُ ِل َ لِهِۦ َب ضۡ َ ِن ف م م ُ ه َٰ ى َ ات َ ء ٓ ا َّ م َ ل َ ف لِ ِحنيَ َٰ ٱلص َّ ا َ ِم ب َ و ُ وه ُ د َ ع َ ا و َ م ٱَّلل ََّ ْ وا ُ ف َ ل ۡ خ َ أ ٓ ا َ ِم ۥ ب ُ ه َ ن ۡ و َ ق ۡ ل َ ِم ي ۡ و َ ي َٰ َ َِل إ ۡ ِم ِه وب ُ ل ُ ا ِِف ق ٗ اق َ نِف ۡ م ُ ه َ ب َ ق ۡ ع َ أ َ ف ُ ِذب َكۡ ي ْ وا ُ ن َ َك َ ون Artinya: Dan diantara mereka ada orang yang telah berjanji (berikrar) kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami Termasuk orangorang yang saleh”. Ketika Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia- Nya, mereka menjadi kikir dan berpaling dengan karunia itu, dan mereka selalu menentang/membelakangi (kebenaran). “Maka Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri janji yang telah mereka ikrarkan kepa-da-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta”. Dasar hadis yang berkenaan dengan Nazar ini, sebagaiman hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar r.a, Rasulullah bersabda: “Barang
174 siapa yang berNazar untuk taat kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya, dan barangsiapa yang berNazar untuk maksiat, maka janganlah Nazar itu dilaksanakannya”. Bagi setiap muslim dibolehkan untuk berNazar, yang berarti menunjukkan bahwa hukum bernazar itu mubah; ada pendapat yang mengatakan makruh; bahkan “sebagian ulama berpendapat hukumnya haram”, karena terdapat larangan nabi tentang nazar. Akan tetapi para Ulama telah sepakat bahwa hukum melaksanakan Nazar itu wajib (sesuai yang diNazarkannya), asalkan Nazar tersebut bertujuan untuk melakukan kebaikan (taqarrub) kepada Allah, dan bukan untuk tujuan maksiat. Terhadap orang yang berNazar tetapi tidak melaksanakannya, baik sengaja atau karena tidak mampu melaksanakanya, diharuskan membayar kaffarat (denda) yang jumlahnya, sama dengan kaffarat melanggar sumpah; Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah s.a.w: “Dari Abi Khair, dari Uqbah bin Ȃmir, dari Rasulullah bersabda: Denda Nazar adalah denda sumpah” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasȃi, dan Ahmad) Maksud hadis ini, memilih alternatif sebagaimana kaffarat sumpah, secara berurutan sbb: memberi makan 10 orang fakir miskin (untuk setiap orang, seukuran dengan yang dimakan untuk kebutuhan sehari), memberi pakaian 10 orang fakir miskin, memerdekakan hamba sahaya atau puasa 3 hari. Prihal mengganti Nazar dengan perbuatan yang lain diperbolehkan, akantetapi ia tetap diharuskan membayar kaffarat sebagai sanksi atas Nazar yang tidak dilaksanakannya.
175 Prinsip yang harus dipatuhi dalam berNazar, yaitu: a. Keinginan Nazar harus diucapkan (dilafalkan), bukan hanya tersirat dalam hati; b. Tujuan Nazar semata karena Allah; c. Tidak dibenarkan untuk suatu perbuatan yang dilarang atau makruh; d. Jika yang berNazar meninggal dunia sebelum melaksanakan Nazarnya, maka Nazar tersebut harus dipenui oleh keluarganya. (Nasional, 2007) Ditinjau dari segi lafal atau sigat-nya, Nazar dibagi kepada dua, yaitu: a. Nazar muțlak (gairu masyruț); yaitu Nazar yang dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah, tanpa ada sebab atau syarat tertentu; misalnya: berNazar untuk sujud syukur, berNazar untuk puasa pada hari tertentu. b. Nazar muqaiyad (masyruț); yaitu Nazar yang dilakukan karena mempeoleh suatu nikmat atau meraih kesuksesan tertentu. Misalnya, berNazar ketika lulus dalam ujian, memperoleh suatu keuntungan, karena terhindar dari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa dan keluarga. Ditinjau dari segi isi, Nazar terbagi kepada dua, yaitu: a. Nazar untuk mengerjakan suatu perbuatan, seperti mengerjakan perbuatan ibadah yang disyari‟atkan dan atau perbuatan mubah; b. Nazar untuk meningglkan perbuatan yang dilarang atau yang makruh hukumnya, seperti berNazar untuk meningglkan kebiasaan merokok dll (Nasional, 2007).
176 4) Puasa Kaffarat, Adalah puasa yang dilakukan seseorang karena melanggar suatu aturan yang telah ditentukan, seperti: Jika seseorang yang dengan sengaja bersetubuh pada siang hari di bulan Ramaḑan tanpa „uzur, maka baginya wajib mengqaḑa dan Kaffȃrat. Jika seorang bersumpah dengan sengaja, dan kemudian dilanggarnya, maka kaffarat sumpah tersebut adalah “memberi makan 10 orang miskin, bila tidak, maka kaffaratnya berupa puasa selama 3 hari” Jika orang Islam dengan tidak sengaja membunuh orang Islam lain, dan ia tidak cukup mampu untuk menebus dengan memerdekakan budak yang beriman (istilah budak untuk saat ini tidak relevan lagi), maka Ia diwajibkan menjalankan puasa 2 bulan berurut-turut (Q.S.4-An-Nisa‟: 92) (Tinggi, 1983) Membunuh dengan sengaja binatang buruan (yang boleh dimakan atau tidak, kecuali: Burung Gagak, Elang, Kalajengking, Tikus, Anjing buas termasuk Ular) padahal ia sedang melakukan Ihram, maka kaffaratnya: mengganti dengan binatang ternak sebagai hadyu (qurban) yang disembelih di tanah haram; atau memberi makan orang miskin senilai harga binatang ternak tersebut, atau berpuasa yang jumlah harinya sebanyak mud yang diberikan kepada fakir miskin.
177 Catatan: Boleh menyembelih binatang ternak (ukuran Qurban); Boleh Memberi makan fakir miskin senilai harga ternak (sehingga dapat dihitung berapa orang fakir miskinkah dari nilai harga tersebut) Boleh berpuasa, Seorang fakir miskin mendapat satu mud/ ± 6, 5 ons (Tinggi, 1983) (± Rp 15.000 sudah layak makan 1 orang miskin); Bila harga ternak Rp 900.000: Rp 15.000 × 1 hari = 60 hari = 2 bulan berturut-turut. 5) Puasa Tațauwu’ (Sunah); Adalah puasa yang tidak diparḑukan (tidak diwajibkan) yang seringkali disebut dengan puasa sunah, sehingga tidak dihukum durhaka atau tidak berdosa (tidak celaka) bagi seseorang yang sengaja meninggalkannya. Puasa sunah ini meliputi puasa-puasa sebagai berikut: 1. Puasa yang dilakukan selama enam hari pada bulan Syawal. Puasa enam hari ini dapat dilakukan secara berturut-turut atau tidak, tetapi yang pertama (berturutturut) lebih baik daripada yang kedua; Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Ayub R.a: “Barangsiapa yang melakukan puasa selama enam hari sesudah puasa Ramaḑan, ia seakan-akan telah berpuasa wajib sepanjang tahun.” (Al-Syaukani, t.th) 2. Puasa pada hari Senin dan Kamis. Hal ini didasarkan pada hadis Usamah bin Zaid: “Nabi s.a.w berpuasa pada hari Senin dan Kamis”. Sewaktu beliau ditanya tentang hal ini, beliau menjawab bahwa amalan-amalan manusia
178 dilaporkan pada hari Senin dan Kamis” (Al-Kahlani, t.tt). 3. Puasa hari Arafah, yaitu puasa yang dilakukan pada (Tanggal 9 Zulhijah) bagi orang yang tidak sedang melakukan ibadah haji. Hal ini berdasarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah yang artinya: “puasa hari Arafah dapat menghapus dosa 2 tahun, setahun yang lampau dan setahun mendatang.” Dan hadis dari Abi Qatadah yang diriwayatkan oleh Muslim, Nabi s.a.w bersabda: “Tiadalah dari hari yang paling banyak Allah membebaskan hambanya dari api neraka selain hari Arafah. Bagi orang yang sedang melakukan haji, puasa pada hari itu tidak disunahkan, bahkan sebaiknya disunahkan untuk tidak berpuasa. 4. Puasa pada hari kedelapan bulan Zulhijah (sebelum hari Arafah). Puasa ini disunahkan tidak hanya bagi orang yang melakukan haji, tetapi juga bagi orang yang tidak melakukan haji; 5. Puasa Tasu’a dan Asyura; yaitu puasa yang dilakukan pada Tanggal 9 dan 10 Muharam. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Muslim dari Ibnu Abbas r.a berkata: “jika aku masih hidup sampai masa (bulan) depan, aku akan melaksanakan puasa pada hari yang ke 9 dan 10 Muharam”: dan hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah Rasulullah bersabda: “Puasa hari „Asyura (10 Muharam) itu menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. 6. Puasa pada bulan-bulan yang terhormat (al-Asyhur alharam), yaitu puasa yang dilakukan pada bulan-bulan zulqaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab; Keempat bulan ini merupakan bulan yang paling baik untuk melaksanakan
179 puasa sesudah bulan Ramadhan; hal ini berdasarkan hadis riwayat Muslim dari Abi Hurairah, sesungguhnya nabi bersabda: “Ṣalat yang paling baik setelah Ṣalat yang diwajibkan adalah salat tengah malam, dan puasa yang lebih baik setelah bulan Ramadhan ialah puasa pada bulan-bulan terhormat”. Menurut ahli fiqh Hanafiyah, puasa yang dianjurkan ini adalah tiga hari setiap bulan tersebut, yaitu hari Kamis, Jum‟at dan Sabtu (Zuhayli, 1989). Puasa bulan Sya‟ban, hal ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar R.a 7. Puasa yang dilakukan selang satu hari (hari ini berpuasa, besok tidak) atau puasa Nabi Daud; puasa seperti ini lebih utama daripada puasa-puasa sunah lainnya; Hal ini dijelaskan Rasulullah s.a.w dalam hadis sahih yang diriwayatkan Rasulullah s.a.w dalam hadis sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab: “Puasa sunnah yang terbaik ialah puasa yang dilakukan Nabi Daud, seharinya ia berpuasa dan seharinya tidak.” 8. Puasa selama tiga hari dalam setiap bulan (Hijrah), waktu yang paling baik untuk melakukan puasa ini ialah pada Tanggal 13, 14, 15; Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Nasa‟i dan Ibnu Hibban, bahwa pahala puasa yang dilaksanakan selama tiga hari ini nilainya sama dengan puasa yang dilakukan sepanjang tahun; 6) Puasa Makruh. Puasa makruh ini terbagi atas tiga macam: 1. Puasa yang dilakukan pada hari Jum‟at, kecuali beberapa hari sebelumnya telah berpuasa; Hal ini
180 didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang isinya melarang orang berpuasa pada hari jum‟at, kecuali telah berpuasa sehari sebelumnya atau sesudahnya; 2. Puasa Wișal, yaitu puasa yang dilakukan secara bersambung tanpa makan atau minum pada malam harinya; 3. Puasa dahri, puasa yang dilakukan terus menerus. 7) Puasa Haram, yakni puasa yang mencakup puasa-puasa sebagai berikut: 1. Puasa sunah yang dilakukan oleh seorang istri tanpa izin suaminya; Seorang istri hendak melakukan puasa sunah, harus terlebih dahulu diketahui dan mendapat izin dari suaminya; Hal ini didasarkan pada hadis yang menjelaskan bahwa tidakhalal bagi seorang istri untuk berpuasa (sunah) sewaktu suami berada dirumah (ditempat), kecuali atas izinnya (HR. Bukhari dan Muslim); 2. Puasa yang dilakukan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Aḑha; Larangan ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang menyebutkan: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w melarang berpuasa pada dua hari raya Idul Fitri dan Idul aḑha;
181 3. Puasa pada tiga hari tasyriq (11, 12 dan 13 Zulhijah); Dari Anas, bahwasanya Nabi s.a.w telah melarang berpuasa Lima hari dalam satu tahun, yaitu: Hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Aḑha, dan hari Tasyriq (HR. Dar Quțni) 4. Puasa yang dilakukan dalam keadaan haid dan nifas; 5. Menurut Mazhab Syafi‟i, puasa yang dilaksanakan pada pertengahan akhir bulan Syakban 6. Puasa yang dilakukan oleh seseorang yang takut terjadi mudarat bagi dirinya, apabila ia melakukan puasa. C. Rukun dan Syarat Puasa 1. Rukun Puasa Mayoritas ahli fiqh menetapkan dua macam yang menjadi rukun puasa, meliputi: a. Niat. Yang dimaksud dengan niat adalah berkehendak atau berkeinginan untuk mengerjakan puasa pada esok harinya, dengan sadar dan sengaja yang dilakukan dimalam hari sebelum terbit fajar. Dalam ajaran Islam, kedudukan niat dalam setiap perbuatan amatlah penting, karena dengan niatlah suatu pekerjaan dapat dibedakan apakah dia ibadah atau adat kebiasaan saja. Hadis Nabi s.a.w yang ditulis oleh Al-Syaukani dalam Nailu AlAuțar, yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Umar yang lafaz dan artinya sbb:
182 Artinya: Dari Umar bin Khattab bahwa Nabi s.a.w bersabda: Sesungguhnya perbuatan itu hanya dengan niat, dan sesungguhnya (yang diperoleh) bagi setiap orang hanya sekedar apa yang diniatkannya. Niat, menurut jumhur fuqaha harus dikerjakan pada malam hari; Puasa yang tidak memakai niat dimalam harinya dipandang tidak sah, berdasarkan hadis nabi yang artinya: “Dari Hafșah Ummil Mukminin r.a, sesungguhnya Nabi bersabda: Siapa yang tidak melakukan niat puasa dimalam harinya sebelum terbit fajar, maka puasanya tidak sah (HR. al-Khamsah)” Puasa yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah puasa ramaḑan (wajib), karena menurut mereka pada puasa sunnat dibolehkan melaksanakan niat disiang harinya sebelum makan dan minum b. Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Firman Allah QS.2 Al-Baqarah: 187 yang lafaz dan artinya sbb: َ ل ۡ َ َل ۡ م كُ َ ل َّ ِحل ُ أ ۡ م ُ نت َ أ َ و ۡ م كُ َّ ل اسٞ ِۡلَ َّ ن ُ ه ۡ م ِكُ ئ ٓ ا نِسَ َٰ َ َِل إ ثُ َ ف َّ اِم ٱلر َ ِ ي ٱلص َ ة ا َ ف َ ع َ و ۡ م ۡكُ ي َ ل َ ع ابَ َ ت َ ف ۡ م سَ كُ ُ نف َ أ َ ون ُ ان َ ت ۡ َ َت ۡ م ُ نت ُ ك ۡ م كُ َّ ن َ أ ٱَّلل َُّ َ لِم َ ع َّ ن ُ ه َّ ل اسٞ ِۡلَ َ و ۡ م كُ َ ل ٱَّلل َُّ بَ َ ت َ ا ك َ م ْ وا ُ غ َ ت ۡ ٱب َ و َّ ن ُ وه َِشُ َٰ َ ب َٰٔـنَ ۡ ٱل َ ف ٞۖ ۡ م نكُ َ ع َٰ َّت َّ َ ح ْ وا ُ ب َ ٱۡش ۡ َ و ْ وا ُُ ُك َ ام َ ِ ي ٱلص ْ وا ُّ تِم َ أ َّ م ُ ث ِِۖ ر ۡ ج َ ف ۡ ٱل دِ ِمنَ َ و ۡ س َ ۡ ِط ٱۡل ۡ ي َ ۡ ٱۡل ِمنَ َض ُ ي ۡ ب َ ۡ ٱۡل ط ُ ۡ ي َ ۡ ٱۡل ُ م كُ َ ل ني َّ َ َ ب َ ت َ ي
183 َ ٗل َ ِ ف ٱَّلل َّ ُ ود ُ د ُ ح كَ ۡ تِل ِۗ ِج ِد َٰ سَ َ م ۡ ِِف ٱل َ ون ُ ِكف َٰ َ ع ۡ م ُ نت َ أ َ و َّ ن ُ وه َِشُ َٰ َ ب ُ ت َ َل َ ِِۚ و ل ۡ َّ ٱَل َ َِل إ ُ ب َ ر ۡ ق َ ت َ ون ُ ق َّ ت َ ي ۡ م ُ ه َّ ل َ ع َ ا ِس ل َّ تِهِۦ لِلن َٰ َ اي َ ء ٱَّلل َُّ ُ ِ ني َ ب ُ ي لِكَ َٰ َ ذ َ ك ا َ وه Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu; Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid; Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya; Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa” 2. Syarat Puasa Ada dua syarat yang harus dipenuhi seseorang dalam melaksanakan puasa. Kedua syarat itu terdiri dari syarat wajib puasa dan syarat sah puasa. a. Syarat Wajib Puasa Syarat Wajib adalah syarat yang menyebabkan seseorang agar dia wajib melaksanakan puasa. Para ulama telah menetapkan syarat wajib puasa di bulan ramaḑan sebagai berikut;
184 1) Beragama Islam Persayaratan Islam ini dapat dipahami dari ayat al-qur’an yang memerintahkan berpuasa kepada orang-orang yang beriman kepada Allah swt (Q.S.2 al-Baqarah: 183). Berdasarkan ayat itu, orang kafir tidaklah dituntut melaksanakan puasa di bulan Ramaḑan. Ahli fiqh mazhab Hanafi berpendapat, bahwa orang kafir tidak dituntut melaksanakan syari‟at Islam seperti halnya ibadah puasa; Demikian juga terhadap orang murtad; jika mereka melaksanakan puasa, maka puasanya dipandang tidak sah; Jikaorang kafir yang masuk Islam dipertengahan bulan Ramaḑan, diwajibkan melaksanakan puasa pada hari yang tersisa dari bulan itu, dan tidak diwajibkan meng-qaḑa puasa yang tertinggal sebelumnya; karena pada saat kekafirannya belum ada kewajiban puasa baginya. 2) Baligh (sampai umur); dan Berakal Puasa tidak diwajibkan bagi anak kecil, orang gila, orang yang pingsan, dan orang yang mabuk; hal ini berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Turmizi dari Ali r.a sbb: Dari Ali r.a, sesungguhnya Nabi s.a.w bersabda: “Diangkat pena (tidak dituliskan dosa) dari tiga hal, yaitu: dari orang yang gila sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai ia bangun, dan anak-anak sampai ia bermimpi (baligh)” HR Ahmad, Abu Daud dan Turmużi.
185 3) Mampu (Kuat berpuasa) dan Menetap (bermukim) Mengenai persyaratan kuat berpuasa, mengandung arti bahwa orang yang sakit yang mengakibatkan tidak kuat berpuasa, baik karena tua atau karena sakit yang tidak diharapkan sembuhnya, tidak diwajibkan atasnya puasa, tetapi wajib bayar fidyah; Sedangkan persyaratan menetap ditempat tinggalnya (mukim) menunjukan bahwa bagi orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) tidak dituntut berpuasa, namun mereka wajib menggantinya pada hari-hari lain diluar bulan Ramaḑan sebanyak hari yang ditinggalkannya. Firman Allah Q.S.2 Al- Baqarah: 185 Artinya: “...Barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain…” Orang sakit yang dimaksud adalah orang yang bila ia berpuasa, maka penyakitnya akan bertambah parah atau semakin sulit penyembuhannya. b. Syarat Sah Puasa Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam menetapkan syarat sahnya puasa. Para ahli fiqh dari Mazhab Hanafi menetapkan tiga syarat bagi sahnya puasa: 1. Niat 2. Bersih dari haiḑ dan nifas 3. Terhindar dar segala yang membatalkan puasa
186 Mazhab Hanbali juga menetapkan tiga syarat bagi sahnya puasa: 1. Islam 2. Niat 3. Bersih dari Haiḑ dan Nifas Mazhab Maliki menetapkan empat syarat bagi sahnya puasa: 1. Niat 2. Suci dari haiḑ dan nifas 3. Islam 4. Dilakukan pada masa-masa yang dibolehkan berpuasa Mazhab Syafi‟i menetapkan empat syarat bagi sahnya puasa: 1. Islam 2. Berakal 3. Suci dari haid dan nifas 4. Niat (menurut sebagian Syafi‟iyah) (Zuhayli, 1989) Jika diperhatikan pendapat para ahli fiqh tersebut, dapat dipahami bahwa syarat sah puasa yang disepakati oleh kebanyakan ahli fiqh adalah: Islam, niat dan suci dari haid dan nifas. Adapun persyaratan Islam menurut fuqaha Hanafiyah adalah syarat wajib puasa, bukan syarat sah puasa; Sedangkan menurut Syafi‟iyah, Malikiyah dan Hanabilah, Islam adalah syarat sah puasa bukan syarat wajib puasa. Menurut kebanyakan ulama, menentukan niat perlu dilakukan bagi setiap puasa wajib; yang berpuasa harus meyakini puasa yang akan dilaksanakannya pada keesokan hari, puasa Ramaḑan, puasa Qaḑa, puasa Kaffarat atau puasa Nazar. Pada