P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | i POLICY BRIEF INOVASI ADMINISTRASI NEGARA Adi Suryanto, et.al. (Editors) Copyright @ 2021 Lembaga Administrasi Negara. All Right Reserved. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang. Judul Buku : Policy Brief Inovasi Administrasi Negara Penerbit : Asosiasi Profesi Widyaiswara Indonesia Tempat Terbit : Jakarta Tahun Terbit : 2021 Cetakan Ke : 1 (Pertama) ISBN : 978-623-98929-1-3 IKAPI : Nomor Anggota 599/Anggota Luar Biasa/DKI/2021 Redaksi: Gedung Atmodarminto, BPPK Kementerian Keuangan Jl. Purnawarman No.99, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Email : [email protected] Website : https://www.bppdapwi.com Whatsapp : 083840572182
ii| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a POLICY BRIEF INOVASI ADMINISTRASI NEGARA Editor: 1. Adi Suryanto 2. Tri Widodo WU 3. Agus Sudrajat Reviewer: 1. Tri Widodo WU 2. Agus Sudrajat 3. Widhi Novianto 4. Muhammad Syafiq 5. Ichwan Santosa 6. Haris Faozan 7. Madya Putra Yaumil Ahad Penulis: 1. Ichwan San 2. Haris Faozan 3. Desy Fajar Lestari 4. Hidayaturahmi 5. Dewi Oktaviani 6. Yuliardi Agung Pradana 7. Putra Budi Darmawan 8. Candra Setya Nugroho 9. Sulistianingsih 10.Mohd Febrianto 11.Avrina Dwijayanti 12.Azizah Puspasari Staf Pendukung: 1. Yoga Suganda 2. Madya Putra Yaumil Ahad Desain Sampul dan Tata Letak 1. Agus Pahrul Sidik 2. Arif Ramadhan
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | iii KATA PENGANTAR KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA RI Segala puji kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah membuka ruang pemikiran dan menginspirasinya dengan berbagai gagasan kebaikan untuk dituangkan dalam bentuk tulisan, sebagai sebuah legacy dalam kehidupan. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara merupakan sebuah legacy dari para Pejabat Fungsional LAN yang diharapkan dapat mewarnai diskursus intelektual dan dinamika kebijakan administrasi negara kedepan. Di tengah hiruk pikuk berbagai persoalan yang menimpa bangsa ini, semoga hadirnya buku kecil ini dapat menginspirasi lahirnya kebaikan-kebaikan lain di masa yang akan datang. Mendorong berbagai perubahan yang dapat membawa bangsa ini menuju kesejahteraan dan kejayaan. Hadirnya policy brief ini merupakan salah satu wujud komitmen LAN dalam menciptakan evidence based policy. Kebijakan publik diharapkan tidak lagi dibuat atas dasar intuisi dari pimpinan, namun berdasarkan data dan informasi faktual. Sehingga, kebijakan publik benar-benar dapat tetap sasaran dan semakin menambah hadirnya negara di tengah masyarakat. Policy brief ini diharapkan menjadi panacea dari berbagai persoalan publik dalam bidang administrasi negara. Tantangan dan persoalan yang dihadapi ke depan tentunya akan lebih besar. New normal dan disrupsi inovasi menjadi dua tantangan yang nampak jelas di hadapan kita semua. Governansi pelayanan publik, tata kelola pemerintahan dan manajemen ASN diharapkan dapat beradaptasi dengan tantangan tersebut atau bahkan menjadikannya peluang untuk dapat berkontribusi optimal dalam membangun bangsa dan negara. Apresiasi yang setinggi-tingginya untuk Tanoto Foundation atas dukungannya dalam pengembangan kapasitas ASN, khususnya melalui penulisan Polbrief ini. Semoga spirit kolaborasi dalam kerangka pengabdian untuk negeri dapat terus berdenyut dalam nadi. Jakarta, 22 Desember 2021 Dr. Adi Suryanto, M.Si
iv| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a SALAM PEMBUKA CEO GLOBAL TANOTO FOUNDATION Tanoto Foundation sejak awal pendiriannya memiliki perhatian khusus terhadap dunia pendidikan. Sebuah organisasi filantropi yang bergerak di bidang pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan yang berkualitas. Rekam jejak kami telah menunjukkannya, dan dapat dengan mudah ditelusuri di era teknologi informasi seperti sekarang ini. Dalam kerangka pengembangan sumber daya manusia tersebut, Tanoto Foundation memberikan dukungan terhadap agenda pembelajaran bagi ASN di lingkungan LAN RI bertajuk “LAN Untuk Negeri”, yang salah satunya diwujudkan melalui penulisan Policy Brief (Polbrief) Inovasi Administrasi Negara ini. Semoga kerjasama sama yang dibangun tidak berhenti sampai di sini, namun terus berlanjut dalam berbagai agenda pengembangan SDM lainnya untuk mewujudkan kebaikan bagi negeri. Kerjasama LAN dan Tanoto Foundation semakin meneguhkan bahwa kita berada pada era governance. Quadruple Helix dalam pengembangan sumber daya manusia benar-benar terlaksana dengan baik. Pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dalam proses tersebut. Pemerintah, Sektor private, Civil Society, dan Akademisi bahu membahu dalam membangun bangsa dan negara tercinta ini. Terima kasih sebanyak-banyaknya kami ucapkan kepada Lembaga Administrasi Negara yang telah mewujudkan karya bersama ini. Semoga dapat mendatangkan manfaat dan kebaikan, selamat membaca. Jakarta, 22 Desember 2021 Dr. J. Satrijo Tanudjojo
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | v SAMBUTAN DEPUTI KAJIAN & INOVASI MANAJEMEN ASN LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA RI Buku Policy Brief Inovasi Administrasi Negara merupakan kumpulan Policy Brief yang ditulis secara individu maupun tim. Sebagian Polbrief merupakan sintesa pemikiran LAN di bidang manajemen ASN, reformasi birokrasi, dan pengembangan kompetensi ASN. Berbagai pemiikiran yang sebelumnya tertuang melalui laporan kajian yang relatif tebal dan membutuhkan cukup banyak waktu dan energi untuk mampu mencerna dan menikmatinya, disajikan secara singkat, padat, dan penuh dengan nutrisi. Policy Brief ini disusun oleh pejabat fungsional di lingkungan LAN, dengan latar belakang JF yang beragam, mulai dari Analis Kebijakan, Peneliti, hingga Dosen. Apresiasi untuk para penulis atas kontribusinya dalam sebuah kolaborasi yang apik. Michael Foucoult dalam karya fenomenalnya terkait teori “kuasa pengetahuan” mengungkapkan bahwa kekuasaan tidak hanya ada pada struktur. Pengetahuan dengan logika dan argumentasi yang solid memiliki kekuatan untuk menciptakan subjection atau kepatuhan. Hasil penelitian yang dikemas dalam policy brief akan menjadi pengetahuan yang powerful . Policy maker diharapkan dapat tergugah untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang lebih berbasis evidence. Tak lupa kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Tanoto Foundation atas kerjasamanya dalam agenda knowledge creation di lingkungan LAN RI. Sebuah ruang berharga bagi para pejabat fungsional LAN untuk beraktualisasi sekaligus mengembangkan diri dalam semangat pengabdian kepada negeri. Jakarta, 22 Desember 2021 Dr. Agus Sudrajat., S.Sos., MA
vi| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a DAFTAR ISI 1. REFORMASI BIROKRASI BERBASIS OUTCOME - MENCIPTAKAN COLLABORATIVE GOVERNANCE YANG EFEKTIF - Dewi Oktaviani (Peneliti Ahli Muda) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 2. PENGEMBANGAN MODEL MAGANG DAN PERTUKARAN PEGAWAI SEBAGAI AKSELERATOR PROFESIONALISME ASN - Ichwan Santosa (Analis Kebijakan Ahli Pertama) & Haris Faozan (Analis Kebijakan Ahli Utama) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11 3. MODEL REWARD SYSTEM UNTUK APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) BERKINERJA TINGGI –Azizah Puspasari (Analis Kebijakan Ahli Muda) . . 19 4. PRASYARAT MANAJEMEN TALENTA PADA INSTANSI PEMERINTAH - Candra Setya Nugroho (Analis Kebijakan Muda) & Sulistianingsih (Analis Kebijakan Ahli Muda) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25 5. PEMERINGKATAN KINERJA PNS SECARA TRANSPARAN DALAM KERANGKA IMPLEMENTASI PERMENPAN-RB NO. 8/2021 TENTANG SISTEM MANAJEMEN KINERJA PNS - Yuliardi Agung Pradana (Analis Kebijakan Ahli Pertama) & Putra Budi Darmawan (Analis Kebijakan Ahli Pertama) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32 6. PENGUATAN SISTEM PENILAIAN KINERJA ASN DALAM POLA KERJA BERBASIS KOMBINASI WFH DAN WFO - Hidayaturahmi (Dosen Lektor) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .37 7. PERALIHAN PEGAWAI NON-PNS/TENAGA HONORER MENJADI PPPK DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN INSTANSI PEMERINTAH - Mohd Febrianto (Analis Kebijakan Ahli Pertama) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 43 8. PENGUATAN NILAI-NILAI BELA NEGARA DALAM UPAYA MENANGKAL RADIKALISME DI LINGKUNGAN ASN - Desy Fajar Lestari (Analis Pengembangan Sistem Pembelajaran) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47 9. MENJEMBATANI AGILE BUREAUCRACY DAN DEMOCRATIC GOVERNANCE – Avrina Dwijayanti (Analis Kebijakan Ahli Pertama) . . . . . 51
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 1 Polbrief 1 REFORMASI BIROKRASI BERBASIS OUTCOME MENCIPTAKAN COLLABORATIVE GOVERNANCE YANG EFEKTIF Dewi Oktaviani - Peneliti Ahli Muda Abstrak GDRB Tahun 2010-2025 memiliki tujuan akhir terbentuknya Pemerintahan Indonesia yang berkelas dunia (world-class government) di tahun 2025. Namun demikian, proses reformasi birokrasi Indonesia selama ini belum berjalan dengan optimal. Hal ini terlihat dari hasil analisis yang memberikan banyak catatan kritis dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, antara lain: (1) Paradigma reformasi birokrasi masih berfokus pada perubahan di internal birokrasi; (2) Peta jalan (road map) reformasi birokrasi yang disusun oleh K/L/D belum terintegrasi secara langsung dengan RPJMN/D atau Renstra; (3) Silo mentality membuat pelaksanaan reformasi birokrasi belum terintegrasi dan terkoordinasi antar lembaga dengan baik; (4) Masih berorientasi pada pemenuhan dokumen (output-oriented); (5) Program reformasi birokrasi cenderung bersifat proyek; (6) Rendahnya keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam perencanaan dan evaluasi program reformasi birokrasi; dan (7) Terjadi penyeragaman area perubahan dan kegiatan RB. Kondisi tersebut telah mengantarkan kepada kebutuhan untuk merubah paradigma inward-looking menjadi outward –looking, dengan mengedepankan prinsip pelaksanaan reformasi birokrasi yang berorientasi pada outcome dan dapat menciptakan collaborative governance yang lebih efektif. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan konsep reformasi birokrasi berbasis outcome. Terdapat dua karakteristik utama yang membedakan model reformasi birokrasi berbasis outcome yaitu pertama, model reformasi birokrasi berbasis outcome pada intinya menekankan pada keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders) secara luas dalam proses perencanaan dan evaluasi program reformasi birokrasi. Kedua, menekankan bahwa program reformasi birokrasi berorientasi pada pencapaian sasaran strategis instansi maupun nasional. Kata Kunci: Reformasi, Birokrasi, Outcome. A. Pendahuluan PermenPANRB No. 25 Tahun 2020 yang diharapkan dapat menjadi solusi terbaik pelaksanaan RB selama kurang lebih 20 (dua puluh) tahun, hingga kini masih belum menunjukkan perubahan signifikan. Seperti yang pernah disampaikan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin: “Reformasi
2| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a birokrasi masih sebatas kulit saja. Belum menyentuh sampai ke dalam intinya, yaitu reformasi birokrasi yang menghasilkan birokrasi profesional dan berdaya saing”. Tidak sampai di situ, beliau juga kerap menekankan bahwa birokrasi juga harus lebih lincah (agile), sederhana, adaptif dan inovatif, serta mampu bekerja secara efektif dan efisien, yang harus dibangun secara sistematis dan berkelanjutan. Hasil kajian Reformasi Birokrasi Berbasis Outcome (PK2AN LAN, 2020), telah menemukan banyak catatan-catatan kritis dalam pelaksanaan reformasi birokrasi selama ini, seperti: (1) Paradigma reformasi birokrasi yang masih berfokus pada perubahan di internal birokrasi, belum melihat bagaimana dampak dari kegiatan reformasi birokrasi terhadap ketercapaian sasaran pembangunan atau manfaatnya bagi perbaikan pelayanan publik bagi stakeholders; (2) Peta jalan (road map) reformasi birokrasi yang disusun oleh K/L/D belum terintegrasi secara langsung dengan RPJMN/D atau Renstra; (3) Silo mentality membuat pelaksanaan reformasi birokrasi belum terintegrasi dan terkoordinasi antar lembaga dengan baik; (4) Masih berorientasi pada pemenuhan dokumen (output-oriented); (5) Program reformasi birokrasi cenderung bersifat proyek; (6) Rendahnya keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam perencanaan dan evaluasi program reformasi birokrasi; dan (7) Terjadinya penyeragaman area perubahan dan kegiatan, padahal tidak semua K/L/D memiliki permasalahan dan kapasistas sumber daya yang sama. Permasalahan reformasi birokrasi tersebut, pada kenyataannya masih terus berlanjut di tahun pertama pelaksanaan Road Map RB 2020-2024, di mana pelaksanaan Reformasi Birokrasi masih belum menujukkan hasil yang optimal. Hal ini dapat terlihat dari turunnya peringkat Indonesia dalam 2 (dua) indeks yang menjadi indikator pelaksanaan Reformasi Birokrasi, yaitu Government Effectiveness Index 2019 yang mengalami penurunan 9 peringkat, dan pada Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis Trancaparency International Indonesia (TII) Tahun 2020 di mana Indonesia mengalami penurunan skor dari 40 menjadi 37 (turun tiga poin dari tahun 2019), yang berimbas pada turunnya 17 peringkat dari posisi 85 ke posisi 102 dari 180 negara. Pobrief ini menawarkan konsep Collaborative governance
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 3 untuk membangun sinergi antar lembaga dalam mencapai pembangunan yang lebih efektif dan berkesinambungan demi pelaksananaan Reformasi Biorkrasi yang lebih baik. B. Permasalahan Reformasi Birokrasi Reformasi birokrasi dalam pelaksanaannya masih bersifat pelaksanaan kegiatan administratif belaka atau sekedar pemenuhan formalitas berbagai dokumen reformasi birokrasi (document-oriented). Bahkan, capaian pelaksanannya pun hingga kini, tampak belum menyentuh kemanfaatannya pada publik. Terlebih, keterlibatan pemangku kepentingan atau stakeholder, baik dalam hal perumusan program atau kegiatan reformasi birokrasi sampai pada tahap evaluasinya pun masih cukup sangat rendah. Pelaksanaan reformasi birokrasi selama ini lebih terkesan pada pelaksanaan sebuah proyek yang memiliki sifat “memaksa” bagi setiap instansi, yang terkesan sekedar untuk pemenuhan dokumen RB (check list) tanpa mempertimbangkan kemanfaatannya bagi publik. Terlebih dengan adanya penyeragaman pada 8 area perubahan, menjadikan pelaksanaan reformasi birokrasi dinilai terlalu kaku, yang menyebabkan setiap instansi cenderung hanya terpusat untuk memenuhi substansi terhadap areaarea perubahan tersebut. Terlebih bagi Pemerintah Daerah yang melaksanakan Reformasi Birokrasi hingga saat ini baru sejumlah 200-an (dari 500an lebih). Hal ini dikarenakan pemerintah daerah yang belum melaksanakan reformasi birokrasi masih dibayangi belum merasa perlu untuk melaksanakan reformasi birokrasi, terutama dengan melihat peraturan reformasi birokrasi yang terlalu ‘jelimet’. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi pemerintah daerah, Bila tidak melakukan Reformasi Birokrasi apa hukumannya bagi saya ? Jika melakukan reformasi birokrasi, maka apa yang akan saya dapat ? Apakah hanya untuk 8 area perubahan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi: organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan pola pikir (mindset) dan budaya kerja (cultural set) aparatur. Sumber: Perpres No. 81/2010
4| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a menaikan tunjangan kinerja saja, atau citra yang baik di mata publik ? dan Apakah bentuk Road map yang dilakukan harus seragam, tanpa melihat kebutuhan instansi masing-masing ? Padahal kondisi di dalam masih tidak ada yang berubah. Terlebih dengan berbagai bukti kasus korupsi atau kasus-kasus lainnya juga masih banyak yang terjadi. Gambaran kondisi tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa meski upaya perbaikan dalam program reformasi birokrasi telah dilakukan, namun tampaknya belum memberi dampak yang signifikan, bahkan masih menyisakan berbagai catatan, terutama tentang cara pandang dalam bagaimana implementasi reformasi birokrasi selama ini. Setidaknya ada dua catatan penting yaitu: Pertama, kegiatan reformasi birokrasi di instansi selama ini belum menyasar pada upaya menyelesaikan persoalan-persoalan strategis instansi dan juga nasional, seperti yang telah dituangkan dalam road map reformasi birokrasi dan juga Rencana Strategis (Renstra). Kedua, sebagian besar kegiatan reformasi birokrasi masih bersifat melakukan perubahan ke dalam (inward-looking) yang pada akhirnya lebih bersifat formalitas belaka. Selain itu, jika melihat dari Road Map RB 2020-2024 setidaknya terdapat 3 permasalahan yang dilihat dari aspek: a. Program Reformasi Birokrasi Dengan menggunakan konsep performance-based organization, seharusnya dapat lebih mengangkat isu-isu strategis yang menjadi persoalan dalam setiap lembaga pemerintah, menjadi dasar acuan dalam penyusunan Road map dan program-program reformasi birokrasinya. Program-program reformasi birokrasi tersebut harus menjadi jalan keluar sebagai upaya mengatasi persoalan-persoalan strategis dan mewujudkan target pembangunan. Namun demikian, faktanya selama ini, isu-isu strategis dan juga target-target pembangunan tersebut, dalam RPJMN/D atau rencana strategis (renstra) belum menjadi rujukan langsung bagi daerah dalam menyusun programprogram reformasi birokrasinya.
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 5 b. Kebijakan Makro Reformasi Birokrasi Sebagaimana disebutkan dalam Road Map RB 2020-2024 bahwa kebijakan Makro RB didesain sebagai panduan umum dengan indikator minimum yang harus dicapai bagi setiap instansi. Namun, kebijakan makro RB ini tampaknya belum sepenuhnya memandu arah reformasi birokrasi sesuai dengan fokus kebijakan RB yaitu perbaikan Tata Kelola Pemerintahan. Sementara, jika kebijakan RB tersebut ditarik ke dalam level messo, leading sector memiliki sasaran perubahan yang terbatas pada K/L saja. (contoh: Internalisasi nilai anti korupsi untuk ASN (KPK, LAN, Kemendagri, KASN, Kemendikbud, Kemendikti (BRIN), dan Kominfo). Selain itu, jika dihubungan ke level mikro pun, maka perubahan akan menjadi lebih bersifat intraorganisasional (pada masing-masing organisasi), yang berdampak pada belum mampunya mendorong perubahan yang berorientasi pada outcome. Terlebih, apabila belum mengoptimalkan atau minimnya pelibatan peran stakeholders non pemerintah dalam program RB yang ada, maka akan berimplikasi pada kurangnya dukungan (ownership) dari stakeholders. c. Area Perubahan Perbaikan area perubahan dalam Road Map 2020-2024 tampak masih terlihat belum dinamis. Perubahan hanya dilakukan pada nama area perubahan yaitu peraturan perundang-undangan menjadi deregulasi kebijakan dan cultural set menjadi manajemen perubahan. Sebenarnya dalam Road Map RB 2020-2024 memang telah disebutkan bahwa penetapan delapan area perubahan telah mempertimbangkan relevansinya dengan kondisi saat ini. Namun, melihat kondisi disruptif saat ini, seharusnya area perubahan tersebut dapat dirancang menjadi lebih dinamis. C. Rekomendasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Untuk keluar dari permasalahan tersebut, maka dibutuhkan adanya pergeseran paradigma dari inward-looking menjadi outward–looking dengan mengedepankan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi harus berorientasi pada
6| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a outcome. Konsep reformasi birokrasi berbasis outcome menjadi suatu metode reformasi birokrasi yang berbeda dengan metode selama ini. Seperti yang disampaikan dalam hasil kajian (PKAN LAN, 2020) Reformasi birokrasi berbasis outcome didefinisikan sebagai “Reformasi Birokrasi Berbasis Outcome adalah proses menata ulang, perubahan, terobosan, inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan berpikir dan bertindak di luar kebiasaan/ rutinitas dengan upaya yang luar biasa yang hasilnya memberi manfaat serta nilai tambah bagi organisasi dan stakeholders.” Pemaknaan outcome disini lebih kepada hal yang berkaitan langsung dengan ketercapaian pembangunan.. Untuk itu, reformasi birokrasi dijadikan sebagai faktor penggerak (enabling factor) dari ketercapaian sasaran pembangunan. Relasi Reformasi Birokrasi dan RPJMN 2020 - 2024
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 7 Desain Reformasi Birokrasi Berbasis Outcome Desain reformasi birokrasi berbasis outcome ini juga memiliki beberapa karakteristik utama yang menekankan bahwa program reformasi birokrasi berorientasi pada pencapaian sasaran strategis instansi maupun nasional. Hal ini yang membedakan dengan karakteristik reformasi birokrasi saat ini, dimana model reformasi birokrasi berbasis outcome lebih menekankan pada keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders) secara luas dalam proses perencanaan dan evaluasi program reformasi birokrasi. Perbandingan Model Reformasi Birokrasi Saat ini dan Berbasis Outcome No. Aspek Model RB Saat Ini Model RB Berbasis Outcome 1. Penetapan indikator kinerja program reformasi birokrasi Ditetapkan sendiri oleh instansi Target dan indikator kinerja ditetapkan bersama dengan para pemangku kepentingan. Berlaku konsep citizen-based demand. 2. Kedudukan area perubahan Area perubahan dipandang sebagai tujuan dan bukan sarana untuk mencapai tujuan RB Area perubahan disesuaikan dengan kebutuhan menjawab permasalahan instansi dan pencapaian sasaran strategis 3. Pemilihan area perubahan Dilakukan penyeragaman pada seluruh K/L/P Disesuaikan dengan kebutuhan, karakteristik organisasi dan kemampuan sumber daya organisasi
8| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a 4. Kegiatan RB pada area perubahan Cenderung distandarisasi dengan banyaknya kegiatan yang sama di tiap-tiap area perubahan antara K/L/D Kegiatan RB di setiap area perubahan ditujukan untuk menjawab kebutuhan perubahan dan pencapaian sasaran strategis 5. Fokus orientasi program RB Inward-looking, dengen berorientasi hanya pada pembenahan internal organisasi yang dibuktikan dengan kegiatan-kegiatan RB yang terstandarisasi Inward & outward-looking, dengan menitikberat program RB yang berkorelasi langsung terhadap permasalahan organisasi dan pencapaian sasaran strategis instansi, peningkatan pelayanan publik 6. Strategi implemetasi Penyeragaman berdasarkan standar yang ditetapkan oleh tim tingkat messo sehingga minim ownership Menekankan pada kreatifitas dan inovasi dalam memenuhi target reformasi dan pemanfaatannya oleh stakeholders 7. Ukuran keberhasilan Kelengkapan dokumen Kemampuan memberikan nilai tambah terhadap organisasi, stakeholders dan capaian sasaran pembangunan 8. Peranan stakeholders pengguna output instansi Dikesampingkan Ditempatkan sebagai bagian sentral proses perubahan. Dilibatkan dari proses perencanaan penyusunan program kegiatan hingga evaluasi RB 9. Peta jalan (road map) RB Tidak ada relasi dengan RPJMN/D/Renstra Terintegrasi dengan RPJMN/D/Renstra 10. Kontrol kebijakan Berbasis otoritas (kewenangan) Kontrol kebijakan RB didasari pada basis pengetahuan, melalui dukungan stakeholders pengetahuan (perguruan tinggi, LSM, media) dalam menetapan program-program RB 11. Evaluasi program RB Self-assesment dan penilaian dari Kemenpan RB Dilakukan oleh lembaga profesional serta bersama dengan stakeholders berdasarkan targettarget yang ditetapkan bersama. Sumber: LAN (2014 & 2020) Desain reformasi birokrasi berbasis outcome ini jika dikaitkan dengan Road Map RB 2020-2024 maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya sinkronisasi, sebagai berikut: 1. Program dan kegiatan prioritas yang memiliki dampak besar terhadap tata kelola pemerintahan dapat disusun ke dalam kebijakan makro RB. Program dan kegiatan ini dapat ditentukan dengan menarik program pada level messo
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 9 ke level makro. Hal ini dapat dilakukan pembahasan terlebih dahulu dalam forum RB Nasional untuk memberikan arah agar pelaksanaan program reformasi birokrasi dalam kebijakan makro akan menjadi jelas dalam implementasinya. Selain itu, dengan mengedepankan prinsip performance based reform dalam program RB yang berbasis outcome, maka isu-isu strategis yang menjadi persoalan dalam organisasinya, dapat menjadi dasar acuan untuk penyusun road map dan program-program reformasi birokrasi instansinya sehingga outcome yang dihasilkan akan lebih terukur dan dapat dirasakan langsung kemanfaatannya (memudahkan cascading program) terutama bagi stakeholders sebagai solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh instansinya tersebut. 2. Panduan atau indikator yang jelas akan memberikan kemudahan bagi Kementerian/ Lembaga leading sector dalam mewujudkan sasaran programnya. Untuk itu, diperlukan panduan yang lebih teknis untuk membantu mempermudah pelaksanaan program RB agar menjadi lebih terarah. Hal ini untuk memberikan jawaban terhadap beberapa instansi (khususnya Pemda) yang hingga saat ini belum melaksanakan RB. 3. Penentuan area perubahan dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan karakteristik organisasi, serta kemampuan sumber daya organisasinya. Hal ini akan memberikan keleluasaan instansi dalam menentukan area perubahan yang memang seharusnya dilaksanakan, sehingga tidak ada lagi terkesan pemenuhan administratif (check list). D. Penutup Reformasi birokrasi berbasis outcome diartikan sebagai sebuah proses menata ulang, perubahan, terobosan, inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan berpikir dan bertindak di luar kebiasaan/ rutinitas dengan upaya yang luar biasa yang hasilnya memberi manfaat serta nilai tambah bagi organisasi dan stakeholders. Pemahaman ini menjadi sebuah paradigma baru yang dapat memberikan insightterhadap pelaksanaan RB selama ini, terutama untuk merubah paradigma RB dari inward-looking menjadi outward –looking, dengan lebih
10| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a mengedepankan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi harus berorientasi pada outcome. Melalui reformasi birokrasi berbasis outcome ini, akan memberikan kemudahan untuk menciptakan Collaborative governance yang lebih efektif. Dengan mengedepakan pelibatan stakeholders dalam penetapan target yang ingin dicapai, akan memberikan kemudahan dalam menentukan outcome institusi untuk mencapai target pembangunan. Untuk itu, sebagai titik awal pelaksanaan program reformasi birokrasi ini, penentuan outcome apa yang akan dicapai menjadi penentu utama, sehingga institusi dapat lebih mudah merumuskan input, kegiatan serta output apa yang akan dilakukan dan dihasilkan nantinya, yang juga akan memberikan dampak pada sasaran pembangunan, serta hasilnya dapat dirasakan langsung oleh stakeholders. Pustaka Laporan Kajian Reformasi Birokrasi Berbasis Outcome. Pusat Kajian Kebijakan Administrasi Negara. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2020. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2020 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 .
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 11 Polbrief 2 PENGEMBANGAN MODEL MAGANG DAN PERTUKARAN PEGAWAI SEBAGAI AKSELERATOR PROFESIONALISME ASN Ichwan Santosa - Analis Kebijakan Ahli Pertama dan Haris Faozan - Analis Kebijakan Ahli Utama Abstrak Pengembangan kompetensi PNS dipandang belum memberikan dampak yang diharapkan, mengingat (diantaranya) hasil pengukuran Indeks Profesionalitas ASN Nasional memperlihatkan nilai dengan kualifikasi sangat rendah, yaitu 56,5. Belum efektifnya pengembangan kompetensi salah satunya disebabkan oleh desain program yang masih konvensional. Bentuk dan jalur bangkom sebagaimana tercantum dalam PerLAN No. 10/2018 tentang Pengembangan Kompetensi PNS belum diimplementasikan secara optimal. Mencermati hal tersebut, pengembangan kompetensi non-klasikal perlu dijadikan pemantik atau pendorong utama. Salah satu pengembangan kompetensi berbasis pelatihan non-klasikal yang dapat dijadikan pilihan adalah magang dan pertukaran pegawai. Sayangnya, kebijakan terkait magang dan pertukaran pegawai belum cukup memadai untuk mendorong implementasi magang dan pertukaran pegawai secara masif dan efektif. Tulisan ini menggambarkan beberapa problematika dalam kebijakan magang dan pertukaran pegawai, model magang dan pertukaran pegawai, serta rekomendasi kebijakan untuk dapat mengimplementasikan magang dan pertukaran pegawai secara efektif. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu : Pertama, penguatan definisi dan dasar pertimbangan pelaksanaan magang dan pertukaran pegawai. Kedua, penguatan pendekatan magang dan pertukaran pegawai. Ketiga, pengembangan scope magang dan pertukaran pegawai. Keempat, Penggambaran mekanisme yang jelas dan terukur. Implikasinya, terdapat kebutuhan untuk melakukan penyesuaian peraturan (revisi terhadap PerLAN No. 10 Tahun 2018) dan menyusun aturan teknis mengenai praktik magang dan pertukaran pegawai secara nasional melalui Peraturan bersama LAN dan BKN. A. Prolog Pengembangan kompetensi PNS dipandang belum memberikan dampak yang diharapkan, mengingat (diantaranya) hasil pengukuran Indeks Profesionalitas ASN Nasional yang dilakukan oleh BKN pada tahun 2018 memperlihatkan nilai dengan kualifikasi sangat rendah, yaitu 56,5. Bahkan, meski dengan level profesionalitas yang berbeda antara aparatur pemerintah pusat (rendah) dan daerah (sangat
12| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a rendah), namun secara kuantitatif pencapaian angkanya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (pusat 60,2 dan daerah 52,7). Belum efektifnya pengembangan kompetensi dapat disebabkan berbagai permasalahan, diantaranya yaitu: pemilihan bentuk dan jalur pengembangan kompetensi yang kurang relevan dengan kebutuhan ASN, manajemen bangkom yang cenderung administratif, desain program yang masih konvensional, atau bentuk dan jalur bangkom yang belum ter-explore sepenuhnya. Dalam konteks alternatif pilihan bentuk dan jalur pengembangan kompetensi, UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN dan berbagai peraturan turunannya, seperti PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS hingga Peraturan LAN No. 10 Tahun 2018 tentang Pengembangan Kompetensi PNS telah memperluas ruang pengembangan Kompetensi PNS, terutama dengan diperkenalkannya pengembangan kompetensi non klasikal. Salah satu alternatif pengembangan kompetensi dimaksud adalah program pertukaran pegawai (dengan sektor private) dan magang (antar instansi pemerintah). Program pertukaran pegawai merupakan salah satu model pengembangan kompetensi yang melalui itu PNS diharapkan dapat mempelajari competencies, experience, culture, dan value dari perusahaan swasta yang dipandang lebih advance dan adaptif dalam menyikapi perubahan lingkungan. Sementara melalui magang, transfer knowledge, keterampilan, dan keahlian diharapkan dapat terjadi secara cepat dan merata, sehingga mempersempit capacity gap antar ASN Sumber: Publikasi capaian merit sistem KASN 2018 dan 2019
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 13 K/L/D. Kombinasi program pengembangan kompetensi ini dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pilihan utama untuk meningkatkan profesionalisme ASN (melalui transfer dan/atau pertukaran competencies, experience, culture, dan value antar institusi). Policy brief ini akan membahas Pengembangan Model Magang dan Pertukaran Pegawai dalam konteks tersebut. B. Problematika Kebijakan Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh PIMBANGKOM ASN pada tahun 2020, ditemukan berbagai problematika kebijakan terkait magang dan pertukaran pegawai: 1. Rumusan scope magang dan pertukaran pegawai masih kurang tepat. Dalam kebijakan yang berlaku saat ini, UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS jo PP Nomor 17 Tahun 2020, hingga PerLAN Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pengembangan Kompetensi PNS, dijelaskan bahwa scope magang adalah antara instansi pemerintah, sementara scope pertukaran pegawai digambarkan dapat terjadi antara instansi pemerintah dengan swasta. Pada kenyataannya, kebutuhan magang dan pertukaran dapat bersifat intra organisasi (antar unit dalam organisasi) dan lintas sektor (public dan private). Hal ini memiliki presedennya, baik di dalam maupun luar negeri, 2. Terdapat inkonsistensi kebijakan mengenai magang dan pertukaran pegawai, misalnya mengenai penyebutan penggunaan istilah praktik kerja di instansi lain di Pusat dan Daerah pada UU ASN yang tidak digunakan lagi pada PP Manajemen PNS (istilah sejenis yang ditemukan adalah magang). Selain itu, dalam UU ASN terdapat 2 (dua) jalur bangkom yang pengkoordinasiannya dilakukan oleh BKN dan LAN di UU ASN yaitu praktik kerja di instansi lain di Pusat dan Daerah dan Pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta, sementara di PP Manajemen PNS hanya pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta yang disebutkan dikoordinasikan oleh LAN dan BKN,
14| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a 3. Penjelasan mengenai magang dan pertukaran pegawai dalam PerLAN No. 10 Tahun 2018 tentang Pengembangan Kompetensi PNS perlu diperkuat, misalnya pada definisi yang sangat sederhana, dimana pertukaran pegawai dideskripsikan sebagai “kesempatan untuk menduduki jabatan di sektor swasta”, dan dasar pertimbangan yang masih bersifat general, yaitu “kesenjangan kompetensi dan kesenjangan kinerja”, 4. Praktik magang dan pertukaran pegawai sudah terlanjur berjalan secara instansional. Namun demikian, K/L/D yang mengimplementasikan Program Pertukaran Pegawai dan Magang masih relatif sedikit. Selain itu, masingmasing memiliki pola atau modelnya masing-masing. Bahkan 2 (dua) jalur bangkom tersebut masih dipahami secara berbeda. Akan tetapi, terbuka celah untuk menyusun model nasionalnya melalui koordinasi LAN dan BKN, 5. Terdapat refleksi permasalahan dan tantangan implementasi kebijakan di masa lalu. Praktik yang magang dan pertukaran pegawai yang dilakukan K/L/D dengan pedoman lingkup instansi masing-masing memunculkan catatan permasalahan. Misalnya, kesulitan untuk melibatkan swasta dalam program pertukaran pegawai pada program pertukaran pegawai di Kementerian ESDM (Implementasi kebijakan pertukaran pegawai hanya terjadi satu arah, tidak terdapat pengiriman pegawai BUMN/swasta ke Kementerian ESDM), atau praktik magang yang tidak jelas sasaran dan outputnya (Pemprov DIY). Untuk itu, ditawarkanlah suatu konsep/model magang dan pertukaran pegawai yang bersifat nasional, dapat dikembangkan menjadi desain program instansional maupun nasional sesuai dengan kebutuhan. Model Magang dan Pertukaran Pegawai yang dikembangkan dengan mengacu pada amanat UU ASN dan turunannya dapat digambarkan sebagai berikut:
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 15 Sumber: Proyek Perubahan PKN Tingkat. II Seno Hartono (2018) Dengan memperhatikan adanya peluang untuk mengembangkan ruang lingkup magang dan pertukaran pegawai beyond yang diatur dalam kebijakan yang ada saat ini, maka perlu dilakukan re-definisi dan pengembangan konsep magang dan pertukaran pegawai. Re-definisi juga diperlukan untuk memperjelas pemahaman terhadap magang dan pertukaran pegawai, tidak hanya berdasarkan ruang lingkup interaksinya (satu arah atau dua arah), namun juga mengikuti filosofinya atau tujuan utamanya, dan detail lain yang menjadi aspek pengaturan yang diperlukan untuk mengimplementasikan pendekatan bangkom ini. C. Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka pengaturan kebijakan tentang Magang dan Pertukaran Pegawai direkomendasikan untuk dirumuskan dalam Peraturan Bersama Lembaga Administrasi Negara dan Badan Kepegawaian Negara, dengan penekanan pada penguatan beberapa substansi pengaturan, seperti:
16| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a 1. Penguatan definisi dan dasar pertimbangan pelaksanaan magang dan pertukaran pegawai MAGANG PERTUKARAN PEGAWAI Definisi: Penempatan pegawai di luar unit kerja/instansinya dalam jangka waktu tertentu untuk menguasai kompetensi tertentu -yang relevan dengan kebutuhan pelaksanaan tusinya- dengan melibatkan diri dalam proses pekerjaan terkait dibawah bimbingan dan pengawasan mentor/ahli di bidangnya (Job shadowing) Dasar pertimbangan: 1. Kebutuhan memberikan experience sebelum menduduki suatu jabatan /adanya resiko dalam menduduki jabatan jika tidak melakukan magang di bawah bimbingan ahli sebelumnya (mengurangi resiko) 2. Adanya kejenuhan dalam organisasi, membutuhkan new experience untuk new idea/updating competency 3. Adanya kebutuhan untuk mengakuisisi kompetensi secara utuh (matang) 4. Kebutuhan membangun empati, memperluas perspektif, dsj/memahami sistem di luar dirinya Definisi: Penempatan pegawai pada posisi tertentu di unit kerja lain atau instansi lain secara dua arah dalam jangka waktu tertentu yang diharapkan dapat menjadi sarana pertukaran nilai, budaya kerja, kompetensi dan pengalaman yang dipandang relevan dengan kebutuhan kedua organisasi yang melakukan pertukaran (menduduki jabatan) Dasar Pertimbangan: 1. Kebutuhan untuk membangun komunikasi, pengertian, dan kerjasama/sinergi (penguatan networking) dengan unit/instansi lain dalam konteks peningkatan efektivitas performa organisasi hingga problem solving (strategic values) 2. Kebutuhan untuk bertukar keunggulan masing-masing instansi 2. Penguatan pendekatan magang dan pertukaran pegawai MAGANG PERTUKARAN PEGAWAI 1. Bundling model atau menjadi bagian dalam desain pelatihan klasikal tertentu (contoh pelatihan Jabatan Fungsional dan Kepemimpinan) 2. Independent model atau menjadi desain program pelatihan tersendiri (fleksibel, dapat didesain berdasarkan kebutuhan). Independen atau menjadi desain program pelatihan tersendiri. 1. Insidental mungkin akan terjadi pada 2 (dua) organisasi yang tidak memiliki irisan kepentingan strategik yang kuat namun memiliki kompetensi, nilai, pengalaman yang dapat dipertukarkan. 2. Kerjasama jangka panjang sangat diharapkan terjadi pada organisasi yang memiliki irisan kepentingan sektoral.
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 17 3. Pengembangan scope magang dan pertukaran pegawai MAGANG PERTUKARAN PEGAWAI 1. Unit lain dalam instansi pemerintah 2. Instansi pemerintah lainnya (K/L/D) 3. Korporasi 4. Organisasi lainnya (menyesuaikan dengan kebutuhan pengembangan kompetensi) 1. Antar unit dalam instansi pemerintah 2. Antar instansi pemerintah (K/L/D) 3. Antara instansi pemerintah dengan korporasi 4. Antara instansi pemerintah dengan organisasi lainnya (menyesuaikan dengan kebutuhan pengembangan kompetensi) 4. Penggambaran mekanisme yang jelas dan terukur
18| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a D. Epilog Pengembangan kompetensi diharapkan dapat bertransformasi. Paradigma pengembangan kompetensi yang cenderung administratif-formal berubah menjadi substantif-strategik. Untuk itu, pengelolaan bangkom perlu didorong untuk dapat mewujudkan analisis kebutuhan bangkom yang presisi, penentuan peserta bangkom yang merepresentasikan kebutuhan organisasi, desain program bangkom yang efektif, hingga pencapaian target yang jelas dan terukur. Inisiasi ini dapat dimulai melalui jalur bangkom strategik seperti magang dan pertukaran pegawai. Dalam kerangka mendorong implementasi pertukaran pegawai dan magang dalam format yang ideal, terdapat kebutuhan untuk melakukan penyesuaian peraturan (revisi terhadap PerLAN No. 10 Tahun 2018) dan menyusun aturan teknis mengenai praktik magang dan pertukaran pegawai secara nasional melalui Peraturan bersama LAN dan BKN. Pustaka Laporan Kajian Model Magang dan Pertukaran Pegawai. Pusat Inovasi Manajemen Pengembangan Kompetensi ASN. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2020 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil Peraturan Lembaga Administrasi Negara Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pengembangan Kompetensi PNS
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 19 Polbrief 3 MODEL REWARD SYSTEM UNTUK APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) BERKINERJA TINGGI Azizah Puspasari – Anallis Kebijakan Ahli Muda Abstrak Tantangan utama dalam implementasi kebijakan pemberian reward bagi ASN adalah memadukan bentuk reward yang diterima bagi pegawai berkinerja tinggi. Reward yang diterima merupakan perpaduan finansial dan non-finansial yang akan memotivasi pegawai dalam berkinerja, sehingga menghasilkan predikat yang termasuk kategori berpredikat sangat baik dan baik sesuai dengan mekanisme penilaian kinerja yang telah diatur. Policy Brief ini merekomendasikan model reward system yang merupakan perpaduan dari finansial dan non-finansial berdasarkan pemetaan atas bentuk reward system dari instansi BUMN dan pemerintah daerah yang telah berhasil melaksanakannya. A. Pendahuluan Pembenahan sistem manajemen kinerja menjadi aspek krusial dalam mewujudkan penilaian kinerja yang lebih objektif dan transparan, serta reward dan punishment yang lebih jelas. Hal ini dipandang penting mengingat berbagai penelitian menyatakan bahwa sistem reward yang baik akan menjadi daya tarik bagi calon pegawai terbaik sekaligus mampu mempertahankan pegawai terbaik organisasi atau pegawai yang berkinerja tinggi. Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2019 (PP30/2019) tentang Penilaian Kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki reward melalui penilaian kinerja yang lebih terukur. Ditindaklanjuti dalam kebijakan turunannya yaitu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Kinerja Pegawai Negeri Sipil. Dalam kebijakan tersebut, pegawai berkinerja tinggi atau memiliki predikat kinerja sangat baik akan mendapatkan
20| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a reward berupa prioritas talent pool dan pengembangan kompetensi dan penghargaan lainnya yang diatur dengan peraturan perundangan. Dalam kenyataannya, beberapa instansi pemerintah masih menggunakan kebijakan lama, sehingga beberapa kelemahan dalam penilaian kinerja masih belum teratasi. Pemberian reward kepada pegawai yang berkinerja tinggi juga masih sangat bervariasi, tergantung pada kebijakan internal dan instrumen penilaiannya. Fokus reward dalam bentuk finansial dan non-finansial di PP 30/2019 itu sendiri ternyata masih belum beragam dan menciptakan sebuah lingkungan kerja nyaman yang dibutuhkan pegawai. Policy brief ini akan menawarkan Model Reward System untuk ASN berkinerja tinggi yang dapat mewujudkan rasa keadilan dan kelayakan. Model dihasilkan melalui ekstraksi berbagai model reward system yang berlaku di instansi-instansi terpilih. B. Pembahasan Masalah Kebijakan pemberian reward bagi ASN yang berlaku di birokrasi pemerintah Indonesia, masih cenderung belum dimaksimalkan untuk memperbaiki iklim bekerja dan memotivasi pegawai. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1964 tentang Pemberian Penghargaan Kepada Pegawai Negeri yang Melakukan Kewajibannya secara Luar Biasa (PP 35/1964) merupakan salah satu peraturan sebagai inisatif untuk memberikan motivasi atau semangat kerja bagi PNS berkinerja tinggi yang mempunyai peran penting dalam pembangunan negara. Namun demikian, dinamika dan penyesuaian atas nilai inflasi yang ada menjadikan komponen dan mekanisme pemberian reward sesuai PP 35/1964 dianggap kurang relevan dipraktikkan di masa sekarang, walaupun bentuk reward sudah mencakup sisi finansial dan nonfinansial yang menjadi komponen signifikan dalam keberhasilan pemberian reward untuk memotivasi pegawai. Terbitnya PP 30 tahun 2019 sebagai pengganti dari PP 46 tahun 2011 mengarahkan penilaian kinerja pegawai secara keseluruhan dengan melihat kinerja yang dihasilkan. Penilaiannya tidak hanya dilakukan oleh Pejabat Penilai
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 21 Kinerja PNS, namun juga berdasarkan penilaian rekan kerja setingkat dan/atau bawahan langsung melalui metode 360°. Penilaian kinerja tersebut didasarkan pada pengukuran kinerja yang dapat dilakukan setiap bulan, triwulanan, semesteran, atau tahunan serta didokumentasikan dalam dokumen pengukuran kinerja (disesuaikan dengan kebutuhan organisasi). Hasil dari pengukuran kinerja tersebut akan dikategorikan berdasarkan angka yang diperoleh dengan sebutan/predikat: 1) Sangat Baik (nilai 110 < x < 120 dan menciptakan ide baru dan/atau cara baru dalam peningkatan kinerja yang memberi manfaat bagi organisasi atau negara); 2) Baik, nilai 90 < x < 120, tanpa ide baru; 3) Cukup, nilai 70 < x < 90; 4) Kurang, nilai 50 < x <70; dan 5) Sangat Kurang, nilai <50. Pengaturan pemberian reward dalam PP 30/2019 baru mencakup 2 hal, yaitu: prioritas untuk pengembangan kompetensi yang diterima bagi PNS yang selama 2 (dua) tahun berturut-turut mendapatkan penilaian dengan predikat baik dan diikutsertakan dalam program kelompok rencana suksesi (talent pool) pada instansi bersangkutan. Padahal menurut Buhai, Cottini, & Nielseny (2008), untuk meningkatan produktivitas kinerja sebuah organisasi, yang dibutuhkan adalah perbaikan dimensi fisik lingkungan kerja (iklim internal). Amstrong (2009), menambahkan bahwa cara yang lebih pasti dalam mewujudkan peningkatan motivasi pegawai, komitmen dan kinerja adalah dengan menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan, menantang, dan memberdayakan di mana individu dapat menggunakan kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan yang berarti yang menunjukkan penghargaan kepada mereka. Ketepatan pemberian penghargaan non finansial menjadi penting karena dapat memprediksi kinerja karyawan, semakin menantang suatu tujuan, semakin tinggi tingkat kinerjanya dan semakin tinggi kepuasan yang dirasakan (Mondy, 2008). Beberapa instansi baik dari pemerintah pusat maupun daerah, telah mempraktekkan pemberian reward dari segi finansial dan non finansial. Misalnya, dalam pengembangan model, ada beberapa bentuk reward yang relatif sama. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang sangat menarik, misalnya Pemerintah
22| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a Provinsi Jawa Barat memiliki sistem kinerja pegawai yang telah terintegrasi pada sistem kepegawaian dan sistem karir. Selain itu, model pemberian tambahan reward bisa mencapai 100 % dari Tunjangan Tambahan Penghasilan, yang dalam hal ini sangat memotivasi kinerja pegawai. Sedangkan Pemerintah kota Yogyakarta menyajikan “nilai gotong royong” dalam pemberian Tunjangan Tambahan Penghasilan yang didasarkan atas nilai kinerja organisasi. Untuk mengembangkan model Reward ASN berkinerja tinggi dilakukan pemetaan pada Person Reward yang diperoleh, meliputi Gaji / Salary, Tunjangan Hari Raya, Bantuan Biaya Perumahan, Rumah, Fasilitas, telekomunikasi, alat Kerja, Tunjangan Pajak, Jaminan Sosial, Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Fasilitas Kerja, Tunjangan Cuti Tahunan/Besar, Winduan. Pesangon, Program Pensiun dan Bantuan Hukum. Position Reward meliputi Take Home Pay (THP), Bantuan Kemahalan, Kemahalan Daerah, Kendaraan, Lingkungan Kerja, Bobot Jabatan, Fasilitas Jabatan, Fasilitas Perjalanan Dinas dan Benefit Pasca Kerja. Performance Base Reward meliputi Jasa produksi, Faktor Industri, Bonus, Mid Term Incentive, Sales Incentive, Insentive, Loan, Talent Pool, Talent Mobility, Tunjangan Kinerja, Career and Enviromental Rewards, Career Management (talent mobility, succession management, dan lainnya), Fast Track Program (Career Opportunity), Pembelajaran Formal, Development program (training, coaching, GPD/MP, dll), Employee reward & recognition, Flexible Reward (Point Based Reward), Work / life program (WAP, EVP, Olimpiakom, dll), Working environment dan menjadi Keanggotaan profesi. C. Rekomendasi Kebijakan Untuk memperbaiki system reward terhadap ASN berkinerja tinggi, terdapat beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, dan Biro/Unit Kerja yang menangani pengelolaan Sumber Daya Manusia di setiap instansi pemerintah pusat (Kementerian/Lembaga) dan pemerintah daerah, yaitu:
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 23 1. Berdasarkan pemetaan, maka Model Reward ASN berkinerja tinggi berdasarkan predikat pegawai kinerja tinggi, sebagai berikut : Jenis Reward Level Kinerja Tinggi (Diatas Ekspektasi) Level Kinerja Tinggi (Diatas Ekspektasi) Predikat Sangat Baik Predikat Baik Non Finansial Talent Pool / Promosi / Fast Track Instansional atau nasional √ Prioritas Pengembangan Kompetensi (scolarship, training, coaching, GPD/MP, dll), √ √ Talent Mobility / Rotasi / Pengayaan Jabatan √ √ Work / Life Program √ Fasilitas √ √ Flexible Reward (Point Based Reward) √ √ Finansial Insentif / Tunjangan Kinerja / Bonus / Jasa Produksi √ Kemudahan Pinjaman √ 2. Mekanisme pemberian reward secara instansional dikoordinasikan oleh unit kerja yang menangani pengelolaan SDM, Keuangan dan atasan langsung. Teknis dalam pemberian reward dimulai dengan Penilaian Kinerja sesuai dengan PP 30/2019 dan Permenpan 8/2021, yang selanjutnya akan terlihat hasil/angka yang menunjukkan predikatnya. Untuk pegawai berkinerja tinggi yang akan mendapatkan reward dalam bentuk finansial, mekanismenya dilakukan oleh unit kerja yang mengelola SDM dan unit kerja
24| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a yang mengelola keuangan. Selanjutnya, reward dalam bentuk non finansial dikoordinasikan mekanismenya dengan Biro/bagian yang mengelola SDM dan atasan langsung. 3. Dalam hal acuan penilaian kinerja bagi pegawai berkinerja tinggi, perlu disusun kebijakan atau aturan turunan dari PP30/2019, yang mengatur penilaian bagi pegawai berkinerja tinggi di setiap instansi atau dibuat secara generik yang berlaku untuk semua instansi yang ditetapkan dengan peraturan mengenai pemberian reward. Pemberian reward dalam bentuk non-finansial yang mengakibatkan pembebanan anggaran pada APBN diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. D. PENUTUP Pemberian reward dalam bentuk finansial dan non finansial merupakan perpaduan yang sangat signifikan dalam memotivasi pegawai. Untuk mewujudkan efektivitas implementasi sistem reward pegawai berkinerja tinggi, maka sistem manajemen kinerja pegawai perlu didesain secara holistik dan terintegrasi dengan sistem lainnya dalam siklus manajemen aparatur sipil negara yaitu: perencanaan sumber daya manusia, pengembangan karier, pengembangan kompetensi, serta reward and dicipline. Pustaka Pusat Kajian Manajemen Aparatur Sipil Negara. 2020. Laporan Kajian Model Kesejahteraan ASN (Insentif untuk ASN Berkinerja Tinggi). Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Armstrong, M. (2009). A Handbook of Human Resource Management Practice (11 Ed.) Cambridge, UK: Kogan Page Limited. Buhai, S., Cottini, E., & Nielseny, N. (2008). The impact of Workplace Conditions on Firm Performance (Working Paper Number 08-13). Retrieved from http://www.hha.dk/nat/wper/08-13_sebu.pdf Mondy, R.W. (2008). Human Resource Management, International Edition, Pearson Education International, New Jersey USA. Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2019 (PP30/2019) tentang Penilaian Kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1964 tentang Pemberian Penghargaan Kepada Pegawai Negeri yang Melakukan Kewajibannya secara Luar Biasa Peraturan Menteri Pendayagunaan Apartur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Kinerja Pegawai Negeri Sipil
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 25 Polbrief 4 PRASYARAT MANAJEMEN TALENTA PADA INSTANSI PEMERINTAH Candra Setya Nugroho dan Sulistyaningsih - Analis Kebijakan Ahli Muda Abstrak Banyaknya kasus jual beli jabatan merupakan salah satu masalah yang mendasari perlunya untuk memperbaiki sistem pengelolaan SDM Aparatur, khususnya pemilihan pemimpin Instansi pemerintah. Salah satu strategi yang dilakukan adalah penerapan manajemen talenta. Beberapa kondisi yang ada pada saat ini masih belum mendukung dalam penerapan sistem tersebut. Sebagai sistem baru yang diadopsi dari sektor swasta, maka instansi pemerintah perlu mengetahui persyaratan manajemen talenta agar berjalan dengan baik. Persyaratan tersebut yaitu pola pikir pengembangan (development mindset), budaya kinerja (performance culture), sponsor/ dukungan pemimpin (executive sponsorship), dan sistem informasi sumber daya manusia yang baik (good human resource information sistem). A. Pendahuluan Pemerintah melalui UndangUndang No. 05 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara berupaya untuk membangun sistem merit dalam manajemen ASN. Hal ini salah satunya tercermin dalam pemilihan pimpinan instansi pemerintah yang dilakukan melalui penerapan sistem open bidding atau lelang jabatan. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan sistem ini masih memiliki celah yang memungkinkan terjadinya praktik jual beli jabatan. Sumber Detikcom, KPK.GO.ID
26| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a Kasus jual beli jabatan terjadi di beberapa daerah hingga instansi pusat, antara lain: Kabupaten Klaten, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Jombang dan Kementerian Agama (sumber: KPK.go.id). Kasus jual beli jabatan bahkan mengalami peningkatan dari Tahun 2015- 2016. Pada Tahun 2015, terdapat 191 kasus yang meningkat pada Tahun 2016 menjadi 278 kasus. Masih banyaknya kasus jual beli jabatan menunjukkan bahwa sistem pemilihan pimpinan instansi pemerintah masih menjadi masalah serius yang harus diselesaikan. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mengatakan bahwa korupsi yang dihasilkan dari jual beli jabatan sangat fantastis, yaitu mencapai Rp.35 Triliun. Bahkan, terdapat harga yang dibandrol bagi setiap jabatan atau posisi, mulai dari pengawas sampai jabatan pimpinan tinggi (JPT). Untuk mewujudkan sistem pemilihan pimpinan instansi pemerintah yang lebih mendukung penerapan sistem merit, maka implementasi manajemen talenta perlu didorong di seluruh instansi pemerintah. Policy Brief ini akan membahas berbagai prasyarat yang dibutuhkan untuk menerapkan manajemen talenta di instansi pemerintah. B. Masalah Kebijakan Dalam rangka mendorong dan memberikan pedoman penerapan manajemen talenta di instansi pemerintah, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 3 Tahun 2020 tentang Manajemen Talenta Aparatur Sipil Negara. Meskipun manajemen talenta Sumber KASN, TEMPO, KEMENPAN RB, KOPRI, www.katadata
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 27 sudah memiliki kebijakan yang menjadi payung hukum dalam penerapannya, akan tetapi secara praktek penerapan manajemen talenta instansi pemerintah tidak serta merta berjalan dengan sendirinya. Praktik manajemen talenta sudah dilakukan secara parsial oleh beberapa instansi pemerintah, misalnya pembuatan talent pool, pengelompokan pegawai kedalam kriteria talent (nine box), dan lain-lain. Saat ini, terdapat 24 instansi pemerintah yang ditunjuk sebagai percontohan penilaian penerapan manajemen talenta (JPNN.com). Pemilihan 24 instansi pemerintah ini didasarkan pada perolehan predikat sangat baik dalam Indeks Sistem Merit. Percontohan ini menjadi permulaan untuk memperbaiki manajemen talenta di instansi tersebut. Keberadaan 24 instansi percontohan penilaian manajemen talenta menjadi salah satu indikasi bahwa manajemen talenta belum diterapkan secara menyeluruh di instansi pemerintah. Sebagai sebuah sistem baru dalam pengelolaan SDM Aparatur, penerapan manajemen talenta kemungkinan besar akan terhambat oleh terlembaganya sistem lama. Hambatan yang dialami antara lain: 1. Pola Pikir Lama Paradigma dalam pengelolaan SDM lama akan menjadi hambatan utama dalam penerapan manajemen talenta. Hal ini karena pengelola SDM masih terbiasa dan merasa nyaman dengan paradigma atau sistem sebelumnya. Sistem sebelumnya masih belum menunjukkan komitmen dalam mendorong pengembangan SDM secara maksimal dan adil serta proporsional. Masih banyak instansi pemerintah yang belum memenuhi kewajibannya untuk memberikan pengembangan pegawainya minimal 20 JP/tahun; 2. Budaya Kinerja Rendah Masih belum optimalnya budaya kinerja yang dilakukan oleh Instansi pemerintah ditandai dengan masih banyaknya laporan atas keluhan yang dialami masyarakat. Data selama tahun 2018, Ombudsman menerima
28| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a 8.456 laporan pengaduan dugaan mal administrasi pelayanan publik yang mana angka ini, meningkat 6,3% dari tahun 2017; 3. Tidak Adanya Sistem Pengkaderan Saat ini sangat minim atau bahkan tidak ada Instansi pemerintah yang mempunyai perencanaan terkait pemberian bimbingan oleh pemimpin atau pegawai senior (berpengalaman) bagi kadernya (calon pimpinan) atau pegawai yang lebih junior. Meskipun saat ini bimbingan tesebut sudah dilakukan, tetapi hal tersebut tidak direncanakan dengan sistematis dan sesuai kebutuhan organisasi secara menyeluruh. 4. Sistem Informasi SDM yang Belum Optimal Saat ini mayoritas Instansi pemerintah sudah memiliki sistem informasi SDM, tetapi kondisinya masih belum memadai untuk pelaksanaan manajemen talenta. Saat ini sistem informasi lebih berkaitan dengan kehadiran dan target dan capaian kinerja SDM saja, belum dilengkapi dengan perencanaan pengembangan karir. Sebagai upaya untuk menerapkan manajemen talenta, maka instansi pemerintah perlu mengatasi berbagai hambatan di atas dan menyiapkan prasyarat dalam pelaksanaan manajemen talenta. Hal ini ditujukan untuk mendorong penerapan manajemen talenta agar dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan. C. Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan deskripsi masalah di atas, untuk dapat menerapkan manajemen talenta pada Instansi pemerintah secara optimal diperlukan prasayarat sebagai berikut (PKP2A I LAN, 2015): 1. Pola Pikir Pengembangan (Development Mindset) Instansi pemerintah harus mempunyai pola pikir pengembangan (development mindset) agar program manajemen talenta dapat berhasil. Pola pikir ini merupakan suatu pola pikir yang mengutamakan pengembangan pribadi-pribadi pegawai yang ada dalam Instansi tersebut.
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 29 Dengan demikian, agar instansi pemerintah berhasil dalam mengelola program manajemen talenta, maka instansi pemerintah harus memiliki development mindset, yaitu selalu berpikir untuk mengembangkan Pegawai Negeri Sipil. 2. Budaya Kinerja (Performance Culture) Instansi pemerintah harus memiliki, menghayati, dan mengimplementasikan budaya kinerja tinggi (high performance culture) agar dapat mengimplementasikan manajemen talenta. Ini adalah situasi ketika Instansi senantiasa berusaha menemukan indikator kinerja setiap posisi, menjadikannya sebagai dasar untuk menilai keberhasilan seseorang serta sebagai alat ukur dalam memberikan kompensasi kepada setiap orang. Dengan demikian, agar instansi pemerintah berhasil dalam mengelola program manajemen talenta, maka instansi pemerintah harus memiliki performance culture agar keberhasilan seorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan indikator kinerjanya. 3. Sponsor/ Dukungan Pemimpin (Executive Sponsorship) Instansi pemerintah harus memiliki eksekutif puncak, board of director, atau pemimpin senior yang menjadi sponsor atau pendukung utama pengembangan pegawai-pegawai berpotensi tinggi agar dapat berhasil mengelola program manajemen talenta. Dengan demikian, agar instansi pemerintah berhasil dalam mengelola program manajemen talenta, maka instansi pemerintah harus memiliki executive sponsorship yang dapat mengabdikan dirinya untuk memberikan bimbingan, pendidikan, dan pemberdayaan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diproyeksi sebagai calon pemimpin masa depan. 4. Sistem Informasi Sumber Daya Manusia yang Baik (Good Human Resource Information Sistem) Instansi pemerintah harus menghadirkan infrastruktur, investasi, dan sistem informasi SDM yang akurat dalam mendukung pengelolaan program manajemen talenta. Secara terus menerus Instansi memelihara
30| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a dan perbaruan data untuk merekam posisi pegawai berada, pernah ke posisi dan penugasan mana saja, dan ke mana seharusnya pegawai dipindahkan dalam rangka pengembangan kompetensi pegawai tersebut setiap waktu. Sistem informasi Sumber Daya Manusia (SDM) juga perlu memuat informasi core competencies organisasi, profil kompetensi pegawai, serta riwayat pengembangan kompetensi pegawai. Berger (2004 p 23-33) mengungkapkan terdapat 4 (empat) langkah utama dalam mengelola talent yaitu : pertama, mengidentifikasi core competencies organisasi dan menyiapkan tool untuk melakukan assessment. Kedua, mengidentifikasi program pengembangan kompetensi untuk memenuhi core competencies. Ketiga, melakukan penilaian kompetensi dan forecasting terhadap potensi pegawai. Keempat, menyiapkan action plan untuk mengelola setiap talent. Sistem informasi SDM diharapkan dapat mengakomodasi keempat tahapan pengelolaan manajemen talenta tersebut. D. Penutup Manajemen talenta merupakan sistem yang sudah teruji mampu mewujudkan manajemen SDM yang profesional (merit), dengan sektor swasta sebagai presedennya. Mengetahui prasyarat penerapan manajemen talenta adalah salah satu kunci agar instansi pemerintah dapat menyiapkan diri untuk meminimalisir hambatan yang mungkin muncul dan mendistraksi penerapan manajemen talenta di masa yang akan datang. Kebutuhan untuk melakukan perbaikan pengelolaan SDM Aparatur memang tidak akan pernah berhenti. Namun demikian, bergerak maju harus dilakukan dengan memperbaiki warisan kesalahan di masa lalu, sebagai sebuah prasyaratnya.
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 31 Pustaka Berger Lance A. 2004. Four Steps to Creating a Talent Management System dalam Berger, Lance A dan Berger Dorothy R (editor). Talent Management Handbook. Creating Organizational Excellence by Identiyfing, Developing, and Promoting Your Best People. The McGrow-Hill Companies Laporan Kajian Manajemen talenta Dalam Pengembangan Karier Pegawai Negeri Sipil. Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I, Jatinangor. Lembaga Administrasi Negara, 2015. Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.3 Tahun 2020 tentang Manajemen Talenta Aparatur Sipil Negara JPPN.Com. 2021. Artikel berita edisi 21 Maret 2021 berjudul “24 Instansi Pemerintah ini jadi pilot project penilaian penerapan manajemen talenta ASN, ini Daftarnya” diakses di https://www.jpnn.com/news/24-instansipemerintah-ini-jadi-pilot-project-penilaian-penerapan-manajemen-talentaasn-ini-daftarnya
32| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a Polbrief 5 PEMERINGKATAN KINERJA PNS SECARA TRANSPARAN DALAM KERANGKA IMPLEMENTASI PERMENPAN NOMOR 8 TAHUN 2021 TENTANG SISTEM MANAJEMEN KINERJA PNS Yuliardi Agung Pradana dan Putra Budi Darmawan – Analis Kebijakan Ahli Pertama Abstrak Penilaian kinerja yang objektif akan menciptakan lingkungan kerja yang positif dan mendorong motivasi berprestasi pegawai. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa sistem penilaian kinerja hingga saat ini belum mampu mereduksi subjektivitas pimpinan secara signifikan dalam melakukan penilaian terhadap bawahannya. Terbitnya PermenPAN dan RB No. 8/2021 Tentang Sistem Manajemen Kinerja PNS membawa harapan baru bagi terwujudnya objektivitas sistem penilaian kinerja ASN. Policy brief ini kemudian menawarkan model transparansi kinerja sebagai implementasi dari PermenPAN dan RB No. 8/2021 Tentang Sistem Manajemen Kinerja Pegawai Negeri Sipil. Melalui penerapan sistem ini, tanpa seleksi terbuka pun, calon-calon terkuat yang akan menduduki jabatan strategis telah tertera dalam high performance group pada sistem penilaian kinerja tersebut. Model tersebut memiliki lima karakteristik yaitu: pertama, pelaksanaan monitoring dan evaluasi capaian SKP dan Perilaku Kerja setiap bulan berjalan. Kedua, penerapan penilaian 360˚ terhadap ASN. Ketiga, hasil penilaian kinerja juga perlu disandingkan dengan peran/kontribusi ASN dalam pencapaian rencana strategis unit kerja. Keempat, penilaian terhadap komponen Prestasi Kerja tersebut terbuka secara transparan pada sebuah sistem yang dapat diakses oleh seluruh ASN dalam organisasi. Kelima, penilaian terhadap komponen Prestasi Kerja tersebut terbuka secara transparan pada sebuah sistem yang dapat diakses oleh seluruh ASN dalam organisasi. A. Pendahuluan Penilaian kinerja yang objektif adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif dan mendorong motivasi berprestasi pegawai. Untuk itu, model penilaian kinerja yang digunakan akan sangat berperan penting dalam mewujudkan lingkungan kerja yang positif dan mendorong motivasi pegawai untuk menunjukkan performa terbaiknya. Hingga saat ini, berbagai peraturan terkait penilaian kinerja telah dikeluarkan untuk mendorong terwujudnya objektivitas penilaian kinerja ASN. Namun demikian, berbagai penelitian mengungkapkan bahwa sistem penilaian kinerja hingga saat ini belum mampu
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 33 mereduksi subjektivitas pimpinan secara signifikan dalam melakukan penilaian terhadap bawahannya. Menurut BKN, hasil Pilot Project Manajemen Kinerja PNS Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019, menunjukkan bahwa kinerja hampir semua PNS masuk dalam kategori baik (bahkan, sekitar 20 persen memperoleh nilai amat baik). Pada sisi lain, Ombudsman RI menyatakan telah menerima 7.204 laporan laporan masyarakat yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik (Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 "Mengawal Pelayanan Publik di Masa Pandemi Covid-19"). Hal ini menunjukkan bahwa kinerja individu pegawai dan kinerja organisasi belum berjalan linier. Terbitnya PermenPAN dan RB No. 8/2021 Tentang Sistem Manajemen Kinerja Pegawai Negeri Sipil telah mengatur bagaimana implementasi dari penilaian kinerja. Penilaian kinerja ASN dilakukan dengan menggabungkan nilai SKP dan Perilaku Kerja. Nilai SKP diperoleh dengan membandingkan realisasi dan target SKP, sedangkan nilai perilaku membandingkan standar perilaku kerja dengan penilaian perilaku kerja. Hal ini membawa harapan baru bagi terwujudnya objektivitas sistem penilaian kinerja ASN. Policy brief ini akan menawarkan model transparansi kinerja sebagai implementasi dari PermenPAN dan RB No. 8/2021 Tentang Sistem Manajemen Kinerja Pegawai Negeri Sipil. B. Analisis Masalah Dengan perkembangan TIK yang masif, beberapa instansi pemerintah telah menerapkan manajemen kinerja berbasis TI. Namun demikian, sistem berbasis TI adalah instrument pasif (bukan AI) yang memerlukan dukungan SDM pengelola kinerja, penilai kinerja, dan tim penilai kinerja untuk dapat menjalankan sistem yang dibangun secara objektif. BKN melalui Direktorat Kinerja ASN pada kurun waktu dua tahun (2018- 2019), melakukan evaluasi penerapan manajemen kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dari hasil evaluasi tersebut diperoleh data bahwa sebagian besar instansi belum menerapkan manajemen kinerja secara baik (50% hanya berpredikat cukup
34| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a dan 11,7% bahkan buruk). Berbagai penelitian mengungkapkan 4 faktor penyebab subjektivitas penilaian kinerja sebagai berikut: 1. Sasaran kerja dan beban kerja yang diperjanjikan sebagai indikator kinerja pegawai tidak disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi yang terdapat dalam hasil analisa jabatan. 2. Pembuktian indikator sasaran kerja masih dapat dimanipulasi karena tidak tersedia sistem informasi kinerja yang mampu mengunci pembuktian pencapaian sasaran kerja. 3. Penilaian perilaku kerja hanya dilakukan 90˚ oleh atasan langsung yang berakibat munculnya rasa belas kasihan atau rasa tidak suka pimpinan yang berdampak pada biasnya kinerja pegawai. 4. Penilaian kinerja hanya dilakukan sekali dalam setahun sehingga tidak mampu menunjukkan progress kinerja pegawai yang dinilai dan cenderung membuat atasan langsung hanya menilai hasil akhir dan melupakan proses dari upaya pencapaian kinerja tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dibangun pola penilaian kinerja yang transparan dan berkelanjutan sebagai salah satu upaya dalam menentukan suksesor pada jabatan-jabatan yang strategis ke depan. Pola pemeringkatan kinerja ASN yang dilakukan secara transparan dapat menjadi terobosan baru. Pemeringkatan kinerja menjadi alternatif dalam menilai kinerja ASN karena dapat menggambarkan profil kinerja ASN secara nasional. Pola penilaian kinerja dengan pemeringkatan akan semakin memotivasi pegawai dalam meningkatkan kinerja. C. Rekomendasi Kebijakan Adapun beberapa gagasan terkait dengan implementasi model pemeringkatan kinerja transparan antara lain: 1. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi capaian SKP dan Perilaku Kerja setiap bulan berjalan. Komponen dalam pemeringkatan kinerja diisi dengan SKP dan Perilaku Kerja. Namun monitoring dan evaluasi capaian SKP dan
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 35 Perilaku Kerja perlu dilakukan tidak hanya pada akhir tahun, akan tetapi pada setiap bulan berjalan. 2. Penerapan penilaian 360˚ terhadap ASN. Penilaian dilakukan tidak hanya secara subjektif oleh atasan/pimpinan. Penilaian dilakukan dengan seluruh rekan sejawat dalam satu unit kerja. Penilaian ini menjadi komposisi persentase dalam aspek capaian Perilaku Kerja. 3. Hasil penilaian kinerja juga perlu disandingkan dengan peran/kontribusi ASN dalam pencapaian rencana strategis unit kerja. ASN membuat daftar output kinerja dalam kurun waktu sebulan, yang hasilnya terbuka/transparan terlihat oleh satu unit kerja dalam sebuah sistem. 4. Selain itu ASN juga dinilai berdasarkan kinerja tambahan seperti kemampuan dan kontribusinya dalam pemikiran di luar unit kerja. Kinerja tambahan dapat berupa development commitment dan community involvement. Jenis kinerja ini mendorong pegawai untuk berkontribusi terhadap pencapaian sasaran unit kerja/instansi di luar tugas pokok jabatannya. Pengetahuan dan wawasan di luar unit kerja menjadi komponen presentase tambahan bagi ASN. 5. Penilaian terhadap komponen Prestasi Kerja tersebut terbuka secara transparan pada sebuah sistem yang dapat diakses oleh seluruh ASN dalam organisasi. Dalam setiap output kinerja ASN nantinya akan dihasilkan kelompok kinerja pada setiap periode bulan dan tahun berjalan dengan high performance, middle performance, dan low performance. Pemeringkatan kinerja tahunan yang dimaksudkan untuk menyusun profil kinerja PNS dalam satu unit dan/atau Instansi Pemerintah, dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan prioritas pengembangan kompetensi dan pengembangan karier pegawail. Pada akhirnya capaian kinerja dengan pemeringkatan tersebut akan terhubung dengan kompensasi, pengembangan diri, dan karir pegawai. Untuk itulah diperlukan perubahan manajemen kinerja dengan capaian kinerja individu yang selaras dengan ukuran kinerja organisasi. Keseluruhan sistem harus dibangun dengan memanfaatkan TI.
36| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a D. Penutup Pemeringkatan performance ASN secara transaparan dalam sebuah sistem menjadi dasar kebutuhan bidang Sumber Daya Manusia dalam menentukan talent pool yang akan menduduki jabatan strategis organisasi. Dengan demikian, tanpa seleksi terbuka pun, calon-calon terkuat yang akan menduduki jabatan strategis sudah telah terlihat rekam jejak maupun pencapaiannya yang tertera dalam high performance group pada sistem penilaian kinerja tersebut. Pustaka Laporan Kajian Pengembangan Manajemen Talenta Bagi Pegawai Negeri Sipil di Instansi Daerah. Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur II, Makassar. Lembaga Administrasi Negara, 2018. PerMenPAN dan RB No. 8/2021 Tentang Sistem Manajemen Kinerja Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang penilaian kinerja Pegawai Negeri Sipil
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 37 Polbrief 6 PENGUATAN SISTEM PENILAIAN KINERJA ASN DALAM POLA KERJA BERBASIS KOMBINASI WFH DAN WFO Hidayaturahmi – Dosen Lektor Abstrak Hasil penilaian kinerja ASN di tatanan normal baru cenderung menunjukkan adanya penurunan kinerja baik secara kualitas maupun kuantitas, yang disebabkan oleh faktor individu, dukungan organisasi, dan dukungan manajemen, yaitu system kerja ASN. SE Menpan RB Nomor 30 tahun 2020 mengatur bahwa sistem kerja ASN menjadi terbagi dua, yaitu pelaksanaan tugas kedinasan di rumah dan pelaksanaan tugas kedinasan di kantor. Kebijakan ini kemudian direvisi menjadi SE Menpan RB Nomor 67 tahun 2020, dimana kedua sistem pelaksanaan tugas tersebut disesuaikan dengan situasi perkembangan kasus covid 19 baik secara nasional maupun lokal wilayah dimana instansi ASN berada. Perubahan pola kerja ASN ini memerlukan perhatian dan tindak lanjut pada kemungkinanan dilakukannya perubahan kebijakan pada sistem penilaian kinerja ASN. Hal ini ditujukan untuk dapat memberikan objektivitas penilaian yang sesuai dengan tugas dan tanggungjawab serta potensi sumber daya yang dimiliki pegawai. Penguatan sistem penilaian kinerja yang berbasis kombinasi WFH dan WFO menjadi rekomendasi dalam kajian ini. A. Pendahuluan Pandemi covid 19 yang telah terjadi sejak tahun 2019 di seluruh belahan dunia telah membuat perubahan tatanan kehidupan bagi seluruh masyarakat. Perubahan-perubahan gaya hidup dan kebiasaan dalam kehidupan manusia mau tidak mau harus dapat menyesuaikan dengan keadaan yang baru dimana social distancing dan physical distancing menjadi karakter baru yang harus dijalankan oleh masyarakat dalam melakukan interaksi dengan sesama manusia. Begitu pula dengan organisasi sektor pemerintah, dimana pemerintah juga harus melakukan penyesuaian jam operasional perkantoran sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan. Berdasarkan Surat Edaran Menteri PAN RB nomor 58 tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara Dalam Tatanan Normal Baru, diatur
38| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a adanya ketentuan pola kerja dengan pelaksanaan tugas kedinasan di rumah (Work from Home/ WFH) dan pelaksanaaan tugas kedinasan dari kantor (Work from Office/WFO). Kedua istilah ini kemudian menjadi suatu sistem tatanan baru yang berlaku di dunia kerja saat ini baik di sektor swasta maupun sektor pemerintah. Dalam SE Menteri PAN RB tersebut diatur bahwa penentuan ASN yang dapat melaksanakan tugas kedinasan di rumah (WFH) dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek, salah satunya adalah hasil penilaian kinerja pegawai. Dalam UU ASN Nomor 5 tahun 2014 pasal 75 diatur mengenai penilaian kinerja, dimana disebutkan bahwa penilaian kinerja ASN didasarkan pada sistem prestasi dan sistem karir. Pertanyaannya adalah: bagaimana memastikan bahwa kedua sistem ini dapat berjalan sesuai dengan tujuannya yaitu untuk menjaga efektivitas pembinaan ASN di tatanan normal baru? Kebijakan penilaian kinerja ASN saat ini mengacu pada Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 1 tahun 2013 tentang ketentuan pelaksanaan PP Nomor 46 tahun 2011 tentang penilaian prestasi kerja PNS dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2019 tentang penilaian kinerja PNS. PP nomor 30 tahun 2019 tersebut mengamanatkan penilaian kinerja wajib dilakasanakan dalam kerangka sistem manajemen kinerja PNS yang terdiri atas perencanaan kinerja, pelaksanaan, pemantauan dan pembinaan kinerja, penilaian kinerja serta tindak lanjut hasi penilaian kinerja, yang dikelola dalam suatu sistem informasi kinerja. Dalam peraturan terbaru, Peraturan Menpan RB nomor 8 tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Kinerja PNS juga belum diatur dengan jelas batasan manajemen kinerja dengan perspektif WFH Dan WFO. B. Analisis Masalah Beberapa data dan studi menunjukkan adanya permasalahan dalam kualitas kinerja ASN. Kementerian PAN RB mengidentifikasi berbagai keluhan masyarakat terkait kinerja pelayanan publik di masa pandemi. Keluhan paling banyak terkait pelayanan administrasi kependudukan sebanyak 153 laporan, pelayanan kelistrikan 116 laporan, perpajakan 40 laporan, perijinan 20 laporan, keimigrasian
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 39 11 laporan, dan minyak dan gas 8 laporan (Tempo 2020). Berdasarkan survei litbang Kompas pada tanggal 22-24 April 2020, juga diketahui terdapat kekhawatiran publik di tengah pandemi covid 19, yaitu kesulitan memperoleh bahan pokok sebanyak 38%, tidak adanya pelayanan kesehatan berkualitas sebanyak 23%, menurunnya profesionalitas ASN sebanyak 9,2%, tidak dapat mengurus surat menyurat dan perijinan yang berdampak pada bisnis sebanyak 8%, dan tidak mendapatkan pekerjaan sebanyak 7,3% (Ombudsman 2020). Berkaitan dengan hal ini, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai, yaitu (Simanjuntak 2011): pertama, Faktor individu, yaitu kemampuan dan ketrampilan untuk melakukan kerja; Kedua, Faktor dukungan organisasi, yaitu bentuk pengorganisasian, penyediaan sarana dan prasarana kerja, kenyamanan lingkungan kerja, serta kondisi kerja; Ketiga, Faktor dukungan manajemen, yaitu kemampuan manajerial para manajemen atau pimpinan untuk membentuk sistem kerja dan hubungan industrial yang aman dan harmonis. Ketiga faktor ini penting dalam mempengaruhi kinerja pegawai. Apabila salah satunya mengalami hambatan, maka akan mempengaruhi total kualitas kinerja secara keseluruhan. Berkaitan dengan WFH yang menuntut kemampuan pegawai untuk dapat mengoperasionalkan pelaksanaan tugasnya di rumah, maka dibutuhkan kemampuan dan ketrampilan khususnya dalam bidang digital. Sebagai contoh untuk mengikuti rapat-rapat melalui media online zoom, penyusunan laporan berbasis aplikasi, dan sebagainya. Berkaitan dengan dukungan organisasi, dimana dalam kondisi normal organisasi bertanggung jawab dalam menyediakan sarana dan prasarana pendukung kerja. Sebaliknya ketika WFH setiap pegawai dituntut untuk dapat menyediakan sarana dan prasarana pendukung secara mandiri. Misalnya penyediaan paket data, atau jaringan internet. Kalaupun sarana tersebut dapat disediakan secara mandiri oleh pegawai terkadang kendala jaringan yang berasal dari provider juga dapat menimbulkan masalah di luar kemampuan pegawai. Beberapa studi juga menunjukkan adanya hambatan dalam pelaksanaan WFH yaitu: penggunaan teknologi yang terkadang mengalami gangguan saat berdinas di
40| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a rumah dan juga adanya keterbatasan pada dukungan perangkat dalam bekerja yang tersedia di rumah (Ashal 2020). Ketiga, faktor dukungan manajemen, dalam hal ini bagaimana manajemen atau pimpinan dapat menciptakan sistem kerja yang kondusif, yaitu pada system penilaian kinerja dan indikator yang digunakan. Belum adanya penilaian kinerja yang objektif atas kombinasi WFH dan WFO menimbulkan potensi terjadinya opportunistics dan free-riding behaviour yang tidak sehat. Padahal, penilaian kinerja yang objektif akan dapat meningkatkan optimalisasi kinerja pegawai dan dapat berkontribusi pada organisasi yang berkinerja maksimal. SE MENPAN RB nomor 58 tahun 2020 mengatur bahwa pola kerja ASN di masa pandemi yang masih berlangsung hingga saat ini diberlakukan dengan pola WFH dan WFO sesuai dengan perkembangan kondisi dan situasi di masing-masing wilayah. SE Menpan RB ini tidak secara cepat direspon pada sistem penilaian kinerja yang baru sesuai dengan perubahan pola kerja yang ada. Hal ini mulai menimbulkan kekhawatiran publik atas kinerja pelayanan ASN dan menurunnya kualitas dan kuantitas kinerja ASN dari hasil evaluasi kinerja oleh karena sistem penilaian kinerja belum dapat diterapkan dalam pola kerja kombinasi WFH dan WFO. C. Rekomendasi Kebijakan Dengan adanya situasi tersebut di atas, dibutuhkan intervensi terhadap kebijakan sistem penilaian kinerja untuk menjamin objektivitas penilaian kinerja. Beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam penguatan proses penilaian kinerja dalam pola kerja kombinasi WFO dan WFH adalah sebagai berikut: 1) Merumuskan target output yang jelas untuk setiap pegawai. Sehingga tidak terjadi opportunistics dan free-riding behaviour. Pola kerja kombinasi WFO dan WFH benar-benar sebagai bagian dari konsep flexible work arrangement kemudian benar-benar dapat memotivasi peningkatan kinerja pegawai;
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 41 2) Mengembangkan budaya digital. Digitalisasi proses kerja dan pelayanan di era disrupsi dan era new normal menjadi sebuah keniscayaan. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua hal yang perlu disiapkan yaitu: a. Sistem kerja dan pelayanan publik berbasis digital. Hal yang perlu diperhatikan dalam membangun sistem tersebut bahwa digitalisasi tidak hanya dipandang sebagai proses mengubah dari proses offline ke online, namun ada reviu dari proses bisnis existing. Sharing data dan informasi antar unit kerja internal dan eksternal perlu dilakukan. Mobile service juga perlu disiapkan untuk semakin mempermudah pelaksanaan tugas dan fungsi pegawai dan pelayanan publik. Apabila hal tersebut telah terpenuhi, maka bisa dikatakan digitalisasi yang dilakukan sudah pada tahap digital government; dan b. Menyiapkan progran-program pengembangan kompetensi untuk pengembangan kompetensi pegawai. D. Penutup Sistem penilaiain kinerja yang tidak objektif akan menciptakan demotivasi pegawai. opportunistics dan free-riding behaviour tentunya akan banyak bermunculan. Oleh karenanya, langkah-langkah penguatan sistem penilaian kinerja harus dilakukan dengan baik. Target kinerja organsiasi harus dapat dilakukan cascading sampai level individu, segingga terbagi rata. Sehingga WFH dan WFO dapat menimbulkan dampak pada peningkatan motivasi kerja bukan sebaliknya. Pustaka Ashal, R.A.,2020. Pengaruh Work From Home Terhadap Kinerja Aparatur Sipil Megara di Katro Imigrasi Kelas I Khusus TPI Medan, Jurnal lmiah Kebijakan Hukum, Juli, vol.14:223-242. Muttaqin, T., 2020. Penilaian Kinerja Pegawai Berbasis WFH dan WFO, Proyek Perubahan, Jakarta: LAN. Simanjuntak, P.J., 2011. Manajemen dan Evaluasi Kinerja, Jakarta: FEUI. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
42| P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil Surat Edaran Menpan RB Nomor 58 tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai ASN dalam Tatanan Normal Baru Ombudsman Republik Indonesia, 8 Mei 2020. Evaluasi Pelayanan Publik Selama Pandemi, https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--evaluasi-pelayananpublik-selama-pandemi (akses 26 Juli 2021). Tempo, 24 Juni 2020. Kinerja ASN di Era New Normal Wajib di Evaluasi, https://bisnis.tempo.co/read/1357415/kinerja-asn-di-era-new-normalwajib-dievaluasi-ini-sebabnya (akses 26 Juli 2021)
P o l i c y B r i e f I n o v a s i A d m i n i s t r a s i N e g a r a | 43 Polbrief 7 PERALIHAN PEGAWAI NON PNS/TENAGA HONORER MENJADI PPPK DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN INSTANSI PEMERINTAH Mohd Febrianto – Analis Kebijakan Ahli Pertama Abstrak Kehadiran PP 56 tahun 2012 menjadi penutup bagi pegawai non PNS/ tenaga honorer untuk diangkat menjadi CPNS. Namun demikian, lahirnya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN tenyata masih menyisakan tugas bagi pemerintah untuk membenahi status kepegawaian di instansi pemerintah yang hanya terdiri dari PNS dan PPPK. Aturan pelaksana pada PP 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK menjadi solusi bagi instansi pemerintah dalam membenahi status SDM pemerintah sehingga memiliki pola karir yang jelas dan terukur. PP tersebut mengamanahkan bahwa setiap pegawai non PNS/tenaga honorer diberikan masa transisi 5 tahun untuk dapat beralih menjadi CPNS atau CPPPK sesuai dengan syarat dan prosedur yang berlaku. Namun hingga saat ini masih terdapat beberapa instansi pemerintah yang melakukan rekrutmen tenaga honorer -yang seharusnya sudah dihentikan sejak terbitnya PP tersebut-. Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap implikasi dari kebijakan tersebut, serta menetapkan kebijakan yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan eksisting. A. Pendahuluan Manajemen pegawai non PNS atau tenaga honorer dinilai tidak seusai dalam mewujudkan Indonesia maju. Mulai dari perekrutan yang tidak dilakukan secara selektif hingga jenjang karir yang tidak jelas dan dapat diukur. Pegawai non PNS dipekerjakan tidak melalui skema yang jelas. Bahkan, masing-masing unit kerja di setiap instansi dapat mempekerjakan tenaga non PNS tersebut tanpa adanya kejelasan dan kepastian hukum. Tak heran jika banyak pegawai non pns atau tenaga honorer yang tidak memiliki keahlian. Oleh karena itu penghapusan tenaga honorer bertujuan untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdasarkan SDM yang berkeahlian (Rahma, 2020). Implementasi UU ASN yang lahir pada tahun 2014 diharapkan dapat menjadi pintu awal untuk membenahi status kepegawaian SDM di instansi pemerintah. Dalam Pasal 6 UU No. 5/2014 tentang ASN, hanya terdapat 2 (dua) status