Kecil-Kecil Punya Karya®
BULAN TIDAK BOHONG
Penulis: Hanifah, dkk.
Ilustrasi sampul: Heindry Kurniawan
Ilustrasi isi: Agus Willy
Penyunting naskah: Dadan Ramadhan
Desain sampul dan isi: Iwan Yuswandi
Proofreader: Wawan Kurniawan
Layout sampul dan seting isi: Tim Artistik
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Diterbitkan pada Mei 2012, oleh:
DAR! Mizan
Anggota Ikapi
PT Mizan Pustaka
Jln. Cinambo No. 135 Cisaranten Wetan
Ujungberung, Bandung 40294
Telp. (022) 7834310--Faks. (022) 7834311
BULANTIDAKBOHe-mOail: [email protected], hAttpN://wTwwI.mDizaAn.coKm BOHONGBULAN
Hanifah, dkk.
Bulan tidak bohong/Hanifah, dkk; penyunting, Dadan Ramadhan
—Cet. I,—Bandung: DAR! Mizan, 2012.
68 hlm.; Ilust.: 21 cm. (Kecil-Kecil Punya Karya®)
ISBN: 978–602–242–017–0
1. Kreativitas. I. Judul.
II. Dadan Ramadhan. III. Seri.
899. 221 3K
Didigitalisasi dan didistribusikan oleh:
Kantor Pusat:
Gedung Ratu Prabu I Lantai 6
Jln. T.B. Simatupang Kav. 20, Jakarta 12560 - Indonesia
Telp. (021) 78842005 – Faks. (021) 78842009
e-mail: [email protected]
http://www.mizan.com
Perwakilan:
Jln. Jagakarsa I No. 12, Jakarta 12620 - Indonesia
Telp. (021) 7865767 – Faks. (021) 7863283
Pengantar
Dalam rangka menyambut peluncuran film Ambilkan Bulan
produksi Mizan Productions dan Falcon Pictures, Kecil-Kecil
Punya Karya (KKPK), divisi buku anak dan remaja di bawah
naungan Penerbit Mizan, menyelenggarakan lomba menulis
cerpen bertema “ambilkan bulan”.
Lomba ini dibagi dalam dua kategori, yaitu untuk siswa SD
dan SMP dan berhasil menjaring lebih dari 160 peserta dari selu-
ruh Indonesia. Lomba menulis cerpen ini bertujuan antara lain
untuk menemukan bibit-bibit baru penulis cilik tanah air. Karya
yang menjadi pemenang akan diterbitkan dalam bentuk buku
digital (E-book) oleh Mizan Digital Publishing (MDP) yang dapat
diunduh di www.mizan.com. Lomba ini juga menyediakan hadiah
uang tunai total sebesar 6 (enam) juta rupiah.
Masih dalam rangkaian kegiatan menyambut film Ambil-
kan Bulan, Penerbit Mizan juga mengeluarkan novel anak-anak
berjudul Ambilkan Bulan yang ditulis oleh Shara, penulis cilik
yang karya-karyanya best seller. Shara, yang bernama lengkap
Wanda Amyra Mayshara, telah menulis empat buah buku yang
semuanya diterbitkan oleh DAR! Mizan. Buku kelimanya, Ambil-
kan Bulan ini, ditulis berdasarkan skenario film Ambilkan Bulan
karya Jujur Prananto. Buku ini telah diluncurkan pada 1 Mei 2012
yang lalu.
Satu lagi yang turut menyemarakkan kehadiran film Ambil-
kan Bulan adalah album Ambilkan Bulan. Album ini berisi sepu-
luh lagu ciptaan AT Mahmud yang sudah sangat kita kenal,di
antaranya “Ambilkan Bulan”, “Paman Datang”, “Anak Gembala”,
dan “Libur T’lah Tiba”. Lagu-lagu itu dinyanyikan oleh sepuluh
artis penyanyi dan grup band, termasuk Lana Nitibaskara, pen-
yanyi jazz cilik pemeran utama film Ambilkan Bulan. Penyanyi
lainnya adalah Sheila on 7, SID, Numata, She, The Changcuters,
Coklat, Judika, rif, Tangga, dan Astrid. Album ini dirilis oleh Sony
Music bekerja sama dengan Bank BNI.
Filmnya akan beredar serentak di bioskop-bioskop tanah
air pada 28 Juni 2012, bersamaan dengan liburan sekolah. Film
ini digarap oleh Ifa Isfansyah, Sutradara Terbaik FFI 2011 dengan
Helmy Yahya selaku produser eksekutif. Para pemainnya, selain
Lana adalah Agus Kuncoro, Astri Nurdin, dan Landung Simatu-
pang.
Pada dasarnya, rangkaian kegiatan yang diberi nama Am-
bilkan Bulan ini merupakan persembahan kami untuk AT
Mahmud dan anak-anak Indonesia, di samping sebagai bentuk
kepedulian kami terhadap pentingnya lagu, buku, dan film untuk
anak-anak. Semoga ini menjadi langkah awal yang baik bagi kita
semua untuk lebih peduli terhadap hiburan yang sesuai bagi
anak-anak.
Berikut ini adalah nama-nama pemenang Lomba Menulis
Cerpen Ambilkan Bulan:
KATEGORI SD:
Juara I : Bulan Tidak Bohong, karya Nur Fadhilah, dari SD
Muhammadiyah Dhuri
Juara II : Anak yang Takut Akan Kegelapan, karya Yin Chan Hee
Juara III : Menangkap Bulan, karya Intania Raihan, SD Karakter
KATEGORI SMP:
Juara I : Namaku, Doa Mereka, karya Faridatul Mardhiyyah,
SMPN 15, Serang
Juara II : Aku, Bapak, dan Bulan, karya Sabrina Hilmawati,
SMP Islam Didaktika
Juara III : Bulan untuk Cinta dari Ayah, karya Dini Larasati.
: @ambilkanbulan
: Film Ambilkan Bulan
Pengantar Penerbit
Assalamu ‘alaikum ....
Tidak terasa seri Kecil-Kecil Punya Karya® (KKPK)
sudah berjalan lebih dari lima tahun. KKPK lahir
pada Desember 2003. Penulis yang pertama kali
mengusung seri KKPK adalah Sri Izzati, 8 tahun, yang
masih duduk di kelas V SD Istiqamah, Bandung.
Sri Izzati membuat karya berjudul Kado untuk Umi.
KKPK memang diniatkan sebagai wadah yang dapat
dimanfaatkan oleh anak-anak dalam menciptakan
prestasi pada bidang tulis-menulis.
Setelah karya Sri Izzati, pada Januari 2004 ter-
bit kumpulan puisi karya Abdurahman Faiz, Untuk
Bunda dan Dunia. Tidak lama setelah karya Faiz,
muncul Dunia Caca (Putri Salsa) dan May, Si Kupu-
Kupu (Dena).
5
Ketika para pelopor KKPK beranjak remaja, seri
KKPK tidak pernah kehilangan penulis. Anak-anak
yang semula hanya menjadi pembaca KKPK, de
ngan penuh semangat mengirim karya tulis mereka.
Nama-nama baru pun terus bermunculan dalam seri
KKPK. Bukan jumlah penulis cilik saja yang semakin
banyak, ide-ide baru pun tumbuh menyemarakkan
seri KKPK. Seiring berjalannya waktu, KKPK tidak
lagi berisi puisi dan cerita, ada juga yang mengirim
kisah nyata, reportase, sketsa, sampai komik.
Saat ini, hampir semua anak Indonesia mengenal
KKPK. Mereka senantiasa menunggu kisah-kisah ba
ru dari teman-teman mereka yang menjadi penulis
KKPK. Sebagian lagi dari mereka terus berkreasi agar
dapat menjadi penulis KKPK.
Semoga KKPK semakin dicintai anak-anak
Indonesia.
Wassalamu ‘alaikum ....
Penerbit
6
Isi Buku
Bulan Tidak Bohong — 9
Anak yang Takut
Kegelapan — 19
Menangkap Bulan! — 23
Namaku, Doa Mereka — 31
Aku, Bapak, dan Bulan — 43
Bulan untuk Cinta dari Ayah — 51
7
Bulan Tidak Bohong
Hanifah Nur Fadhilah
(Pemenang I Kategori SD)
Ambilkan bulan, Bu.
Itu adalah kalimat pertama dari sebuah lagu
yang pertama kali Disa hafal. Disa adalah
anak umur 5 tahun waktu itu. Ibu sangat sayang
kepada Disa, ibu selalu menemaninya bermain
dan bercerita.
“Ibu!” Disa baru saja pulang dari Taman
Kanak-Kanak, wajahnya ceria dan ingin segera
bicara banyak dengan ibundanya.
Ibu memeluk dan mencium kening Disa
dengan sayang. “Sepertinya anak kesayangan
ibu punya cerita menarik hari ini.”
Disa mengangguk bersemangat.
“Tadi ibu guru mengajari Disa dan teman-
teman bernyanyi lagu bagus.”
9
“Lagu apa, Sayang?” ibu merapikan jilbab
Disa yang agak miring.
“Disa lupa Ibu. Tapi ada kata bulannya. Besok
coba Disa tanya ke bu guru lagi.”
Ibu memeluk Disa lagi dengan gemas.
Ambilkan bulan, Bu.
Pagi ini suara burung yang rajin bangun pagi
sudah saling bersahutan seakan ingin mengenal
satu sama lain. Disa bangun pukul lima pagi
kemudian merapikan tempat tidurnya. Selimut
warna biru kesayangan Disa dilipat dengan hati-
hati dan ditaruh di atas bantal.
Disa menuju ke meja belajarnya dan meraih
benda asing yang baru kemarin malam resmi
menjadi penghuni baru di kamarnya. Benda
itu terletak di dalam kotak pipih kecil berselimut
kertas bergaris warna-warni dengan pita biru
kelap-kelip di karton penutupnya.
Pelan-pelan dia membuka kotak itu lagi,
senyumnya merekah melihat apa isinya.
Sebuah jam tangan dengan foto kecil Disa
dan ibu serta ayah di dalamnya.
10
“Sayang, ayo, sarapan!” ibu memanggil
Disa.
“Iya, Ibuuu ….” Disa menutup kotak itu
lagi.
Disa menuju ruang makan lalu duduk di
kursinya. Tangannya terlipat di atas meja kemudian
tersenyum, di samping kanannya ayah juga
tersenyum dan memeluk tubuh mungil Disa.
“Ambilkan bulan, Bu.” dia bernyanyi pelan.
“Bulan sudah tidak nampak, Sayang.” Ayah
menyahut dengan candaan. Ibu ikut tersenyum.
Yang selalu bersinar di langit.
Selalu ada yang istimewa dari setiap orang,
khususnya anak-anak. Mereka memiliki imajinasi
yang luar biasa. Tak heran mereka seakan memiliki
teman imajinasi, yang hanya bisa berbicara dan
bergaul dengan anak tersebut.
Sejak Disa mengenal lagu Ambilkan Bulan,
Bu, imajinasi Disa memulai petualangannya.
Dia memiliki seorang teman imajinasi juga,
namanya Poporo. Ibu sering tersenyum melihat
Disa mengobrol dengan imajinasinya itu.
11
“Disa Sayang, sedang apa?” ibu duduk di
sampingnya, tangan Disa berlepotan krayon.
“Sedang menggambar Poporo.” Disa nyengir
sambil menyerahkan kertas gambarnya itu.
Akhirnya ibu mengetahui seperti apa Poporo
itu. Dia adalah makhluk lucu dengan kepala bulat
bersinar dan matanya seperti bintang.
Di langit bulan benderang.
Umur Disa 6 tahun ketika dia diajak ayah
dan ibunya mengunjungi nenek di desa untuk
yang pertama kalinya. Dia sangat gembira.
Sejak malam sebelumnya, Disa sudah heboh
menentukan barang apa yang akan dibawa.
Udara dingin menyapa Disa malam ini.
Dia berbaring di karpet yang ada di halaman
rumah nenek. Ayah datang dari dalam rumah
membawakan dua selimut untuk mereka.
“Ayah, kenapa di rumah kita jarang terlihat
bulan seindah ini?”
“Disa mau menebak dulu apa alasannya?”
Ayah melempar balik pertanyaan.
12
“Hmmm ... kalau di rumah kita, bulannya
enggak sebersih ini, Ayah.”
“Benar, dan penyebabnya adalah karena
rumah kita berada di kota yang sangat ramai.
Disa tahu banyak kendaraan yang melewati
jalan-jalan di waktu siang? Asap kendaraan itu
mengotori langit kita.” Ayah menjelaskannya
dengan sabar.
“Ada lagi, Yah?” Disa tertarik dengan pen
jelasan ayahnya barusan.
“Ada. Disa tahu apa bedanya kota kita dan
desa nenek ini?”
“Di kota panas, Yah. Terus .... Ah, ya, kalau
malam banyak cahaya lampu, tapi di sini tidak ....
Apa hubungannya, Ayah?” Disa masih bertanya-
tanya.
Ayah menarik napas panjang. Menikmati
kesejukan dan bersihnya udara.
“Disa tahu kalau cahaya lampu mirip asap
kotor mobil? Bedanya hanya cahaya lampu
terlihat lebih bersih. Terlalu banyak kendaraan itu
tidak bagus, tapi kebanyakan lampu juga kurang
13
baik. Cahaya lampu itu memenuhi langit dan
akhirnya menutupi kerlip bintang. Jangankan
bintang, bulan pun terlihat hanya samar.” Ayah
mengakhiri penjelasannya.
Apakah bulan yang benderang hanya untuk
orang yang tinggal di desa? Disa bergumam
sangat pelan, matanya mulai menghangat.
Cahayanya sampai ke bintang.
Disa kelas 3 SD. Dia membaca sebuah buku
bergambar yang di dalamnya menjelaskan
tentang benda-benda langit.
“Apa buku ini salah?” ungkap Disa dengan
nada kecewa.
Bulan memantulkan cahaya matahari.
Sedangkan bintang memancarkan cahayanya
sendiri.
“Bagaimana bisa cahayanya sampai ke
bintang kalau bulan hanya memantulkan cahaya
benda lain? Berarti lagu kesukaanku itu bohong?”
Raut mukanya bingung dan kecewa.
14
Ambilkan bulan, Bu!
“Lagu itu enggak bohong, Disa,” ibu men
jelaskan halus.
Sejak kemarin sore setelah membaca buku
tentang benda langit, Disa terus meminta
penjelasan ibu. Disa kecewa kalau lagu favoritnya
itu benar-benar bohong.
“Tapi kenapa di buku tulisannya begitu?” Disa
menjawab ketus.
“Karena maksudnya berbeda, Disa.”
“Disa bingung, Ibu.”
“Maksud lagu itu cahayanya bulan sangat
terang, Disa. Sehingga cahayanya bisa dilihat dari
tempat yang sangat jauh. Dalam lagu itu tempat
yang dianggap jauh adalah bintang ....”
“Ibu, kepala Disa pusing banget,” Disa
menyela penjelasan ibu.
Ibu langsung berjongkok di samping Disa.
Panik.
“Tenang, Sayang. Tarik napas panjang.”
Disa tak sadarkan diri.
15
Untuk menerangi tidurku yang lelap.
Ini sudah hari kelima Disa di rumah sakit,
koma. Gejala leukimia Disa baru diketahui dua
tahun ini. Sebelumnya Disa juga pernah koma,
namun tidak lama seperti sekarang ini.
Aku merasa ada di dunia asing. Sangat tenang,
tak ada suara, tak ada orang lain.
“Disa … bangun, Sayang.” Ibu cemas berada
di samping tempat tidur Disa. Ibu berlinang air
mata.
Detak jantung Disa terlihat pelan. Ayah berada
di sisi lainnya. Ayah membisikkan sesuatu.
Suara apa itu? Damai sekali. Aku mengenal
syair itu. Aku menyukainya. Ambilkan bulan,
Bu.
Detak jantung Disa mendadak meningkat.
Dia seperti mendapat aliran energi baru. Kelopak
matanya bergerak pelan. Matanya akhirnya
terbuka. Ibu yang sudah lima hari menjaga Disa
di ruangan ini menangis terharu.
“Disa, Sayang … akhirnya bangun.” Ibu
bergetar mengatakannya.
16
“Disa di mana, Ibu, Ayah?” tanyanya lirih.
“Disa minta maaf telah menuduh lagu favorit
Disa bohong,” lanjutnya.
Ibu dan ayah berpandangan. Mereka kemudian
tersenyum.
“Tidak apa-apa, Sayang,” ibu berbisik.
Di malam gelap.
Disa duduk di kursi roda. Sejak dibisiki lagu
Ambilkan Bulan, Bu oleh ayahnya, kesehatan
Disa semakin membaik. Dia sekarang berada
di halaman rumah nenek untuk yang kedua
kalinya.
Perasaannya bahagia sekali berada di sini.
Malam ini sangat gelap, bintang berkelip jelas.
Yang lebih istimewa bulan seakan menyambutnya
kembali. Bulan purnama berwarna keperakan
penuh, cahayanya menghangatkan matanya.
18
Anak yang Takut Kegelapan
Yin Chan Hee
(Pemenang II Kategori SD)
Dulu, ada seorang anak yang bernama Martin.
Dia takut akan kegelapan. Setiap malam,
dia akan mengangis sampai ibunya mengizinkan
Martin untuk tidur dengannya. Tetapi, ibunya
menjadi lelah sehingga meminta Martin untuk
tidur sendiri.
Martin jadi takut setiap kali ibunya mematikan
lampu kamar. Satu temannya pernah menceritakan
bahwa kalau tidur tanpa menutup jendela, hantu-
hantu bisa masuk! Martin segera berdiri dan
menuju ke jendela kamarnya. Rupanya, jendela
kamar Martin terbuka. Saat itu, dia melihat
bulan.
Dia ingin sekali mengambil bulan itu. Martin
segera ke kamar ibu dan membangunkannya. Dia
19
meminta ibu untuk mengambilkan bulan. Ibunya
menjadi bingung. Dia segera mendapat ide. Ibu
Martin meniup sebuah balon dan mengecat balon
itu dengan warna kuning. Sambil mengecat, ibu
Martin menyanyikan sebuah lagu yang berjudul
Ambilkan Bulan.
Ambilkan bulan, Bu …
Ambilkan bulan, Bu …
Yang selalu bersinar di langit
Di langit bulan benderang
Cahayanya sampai ke bintang
Ambilkan bulan, Bu …
Untuk menerangi
Tidurku yang lelap di malam gelap
Saat dia sudah selesai menyanyi, balon yang
ditiup ibu sudah selesai dicat. Lalu, dia me
masukkan sebuah kaca bening yang berbentuk
20
bulan. Kaca itu adalah kaca khusus yang
bisa bercahaya bahkan dalam kegelapan. Ibu
memberikan balon itu kepada Martin.
Karena bentuk dan warnanya sama, Martin
menganggap balon itu adalah bulan dan memeluk
ibunya. Berkat balon itu, Martin sudah berani tidur
sendiri. Ibunya jadi senang. Kadang-kadang, dia
juga tertawa sedikit karena Martin menganggap
balon itu bulan.
22
Menangkap Bulan!
Intania Raihan
(Pemenang III Kategori SD)
Cita-citanya menjadi astronaut. Di kamarnya,
banyak koleksi teropong. Baju astronautnya,
sudah banyak! Tapi sejujurnya itu bukan baju
yang dipakai banyak astronaut. Tapi baju yang
bergambar roket astronaut. Koleksi ensiklopedia
bulannya, tak terhitung. Ya, itulah Mary.
Mary Clary, seorang anak berumur 6 tahun.
Dia bercita-cita menjadi astronaut perempuan.
Dia menemukan cita-citanya itu sejak dia diajak
oleh ibu ke museum astronomi. Kegemarannya
melihat bulan setiap malam, membuat dirinya
yakin bisa menjadi astronaut. Mary ingin bisa
melihat bulan lebih dekat, itulah impiannya
menjadi astronaut, walaupun dia tahu kalau
menjadi astronaut bukan perkara yang mudah.
23
Lagipula, menjadi astronaut tidak hanya sekadar
melihat bulan, dan bisa pergi kapan pun ke sana
dengan roket.
“Ibu, aku ingin melihat bulan, Bu! Aku ingin
melihat bulan lebih dekat!” kata Mary suatu hari.
Saat itu, mereka berdua sedang duduk di sofa
sambil menikmati cokelat hangat buatan ibu.
Cuaca hari itu tidak bersahabat. Hujan lebat
membasahi kebun dan taman rumah Mary.
Cuaca pun membuat udara menjadi dingin.
“Kamu boleh, kok, kalau ingin melihat bulan.
Tapi, kalau kamu ingin menjadi astronaut, kamu
harus banyak belajar. Supaya pintar,” kata ibu
mengingatkan. Mary hanya mengangguk pelan.
Dia sudah tidak menduga kalau seandainya nanti,
dia bisa mewujudkan cita-citanya.
Awan biru mulai mendatangi pagi ini. Itu
tandanya, pagi cerah datang! Matahari ikut terbit,
dan saat itu Mary bangun dari tidur. Mary melihat
jam dinding, pukul 06.00!
Tak terlalu siang untuk bangun pagi. Lagipula,
hari ini libur. Mary mandi dan segera sarapan. Di
24
sana sudah ada ayah dan ibu. Sarapan pagi itu
adalah roti panggang keju kesukaan Mary.
Sesudah makan, seperti biasa, Mary membaca
sedikit buku ensiklopedia koleksinya. Judulnya,
1001 tentang Bulan dan Alam Semesta.
Sebenarnya, Mary tidak pernah membaca
semuanya. Dia hanya membaca tentang bulan
saja. Jadi, setiap hari, kadang Mary bisa membaca
10 buku. Itu minimalnya. Wajar saja, dia hanya
membuka halaman tentang bulan!
Ketika Mary sudah bosan, Mary memutuskan
untuk membuka internet di komputernya. Kali ini
yang ditujunya adalah sebuah web tentang alam
semesta. Dan yang dicari, adalah BULAN!
Sekali lagi, Mary mencari banyak berita
tentang bulan. Dan, kali ini banyak berita-berita
yang belum pernah dibacanya.
Tapi yang membuat Mary penasaran, ada
satu artikel yang membuatnya bingung. Judul
artikel itu adalah “Misteri dalam Bulan” dimulai
dari pertanyaan “ada apa di dalam bulan?”.
Mary bingung dengan artikel itu, tapi ketika
dia membuka artikel itu, tak bisa dibuka.
26
Malah komputernya yang error. Dia mencoba
mematikan komputernya, berulang-ulang.
Tapi, tetap saja artikel itu tidak terbuka! Mary
sebetulnya sangat penasaran dengan artikel aneh
itu. Tapi dari pada komputernya malah rusak,
dia memutuskan tidak membukanya lagi. Mary
menatap ke jendela kamarnya. Sudah siang. Dia
memutuskan untuk makan siang dan tidur.
Sore datang dan berlalu berubah malam.
Sudah pukul 20.00! Malam itu, bulan muncul
lagi. Yang datang adalah bulan sabit. Bulan itu
bersinar cerah. Mary menatap bulan itu. Ibu pun
muncul di belakang Mary.
“Mary, kamu belum tidur? Waktu sudah
malam,” ibu mengingatkan.
“Tidak! Aku masih betah untuk melihat
bulan,” kata Mary. “Ingin menangkap bulan.”
“Oh, kalau begitu … tangkap saja bulan itu …
nanti kalau sudah dapat, berikan ke ibu. Ibu mau
masuk ke dalam lagi,” kata ibu menutup pintu.
Mary pun berdiri dari duduknya dan berlari,
melompat. Misinya kali ini menangkap bulan!
27
Dia jadi tertantang untuk melihat bulan
walaupun dia tahu, bulan itu sangat susah
ditangkap.
Apa salahnya mencoba, pikir mary.
Maka, dia menghabiskan setengah jam, masih
terus melompat untuk mendapatkan bulan. Ibu
pun keluar lagi menghampiri Mary yang duduk
di halaman rumahnya.
“Gimana? Sudah dapat belum?” tanya ibu.
“Mary belum dapat. Tapi, pasti, Mary akan
dapatkan bulan itu,” kata Mary.
“Mary, kita masuk dulu, yuk!” ajak ibu untuk
duduk di dalam rumah.
“Ibu, Mary belum dapat bulan, masa ibu
sudah ajak Mary ke dalam?” tanya Mary. Maka,
kedua ibu-anak itu duduk di sofa.
“Kamu tahu jarak bumi ke bulan?” tanya ibu.
“Tentu. Jaraknya sangat jauh!” kata Mary.
“Oh! Berarti sekarang aku tidak bisa mengambil
bulan!”
“Ya, mungkin sekarang kamu tidak bisa
men gambil bulan. Bulan jaraknya sangat jauh
28
sekali!” kata ibu. “Tapi, kalau kamu mau jadi
astronaut, kamu bisa melihat bulan lebih dekat.
Kamu bahkan bisa berdiri di atasnya,” kata ibu.
“Oh, berarti aku bisa mengambil bulan
kalau aku jadi astronaut!” seru Mary. Ibu
mengangguk.
“Makanya, rajin belajar supaya bisa meng
gapai impian … apalagi kamu mau jadi astronaut,”
kata ibu.
“Ya, Bu, Mary akan rajin belajar supaya bisa
jadi astronaut!” Mary berseru senang.
29
Namaku, Doa Mereka
Faridatul Mardhiyyah
(Pemenang I Kategori SMP)
“Hai, Bintang Kecil!”
Aku mendengus. Lagi-lagi panggilan
itu. Aku sebal sekali dipanggil begitu. Namaku
memang Bintang, tapi bukan berarti bintang
selalu identik dengan kecil, kan?
Kalau ada yang bertanya kenapa namaku
Bintang, tanya saja kepada kedua orangtuaku.
Aku sendiri tidak tahu kenapa kedua orangtuaku
menamaiku Bintang. Mungkin kapan-kapan
aku akan bertanya. Ah, sudahlah. Aku malas
membahasnya.
“Bintang Kecil! Udah ngerjain PR IPS, belum?”
tanya Shinta.
Aku melengos. Malas menatap sahabatku
yang jail itu. “Jangan panggil aku Bintang Kecil!”
seruku.
31
“Oh, maaf,” ujar Shinta pelan.
Aku mengerling ke arah Shinta. “Memangnya
IPS ada PR?”
“Ada!” Shinta menunjukkan buku tulisnya.
Aku bergumam kecil. Ooo … ternyata PR
yang dibuku tulis itu. Aku melirik bangku Ninda.
Kosong. Ninda belum datang. “Lihat PR-mu,
dong!” ujarku memelas.
“Enak saja! Semalaman aku belajar … kamu
juga, dong!” seru Shinta melenggang ke luar
kelas.
Aku mencibir. Katanya sahabat, best friends
forever. Tapi kenapa tidak mau membantuku?
Aku tahu, mencontek bukan hal yang baik, tapi
aku dalam bahaya sekarang. Yah, walaupun itu
berlebihan, sih.
“Nih, contek aja!” Ninda memberikan buku
tulisnya.
Aku melirik sekilas buku tulisnya dan
memandang Ninda dengan tatapan aneh.
“Enggak apa-apa?”
“Iya. Cepat salin sebelum masuk!” kata Ninda
seraya duduk.
32
Ragu-ragu aku mengambil buku tulis Ninda.
Tuhan, semoga ini acara mencontekku untuk yang
terakhir kalinya. Dengan mengucap bismillah,
aku salin hasil kerja Ninda itu.
Hari ini hari Senin. Ya, hari ini waktunya me
laksanakan upacara bendera. Katanya, ini adalah
kegiatan yang membosankan. Tapi menurutku
tidak begitu. Walaupun harus berp anas-panas
ria, tapi bukankah ini salah satu cara untuk
menghargai jasa para pahlawan?
Setelah kegiatan upacara bendera selesai,
aku berlari-lari masuk ke kelas, karena sudah
tidak sabar untuk duduk setelah sekian lama
berdiri. Aku membuka tas dan mengeluarkan
benda berharga: sebotol air! Kalian tentu pernah
mendengar, bahwa manusia bisa hidup tanpa
makan, tapi manusia tidak akan bisa hidup tanpa
air. Wah, bagaimana kalau nanti bumi tanpa air,
ya? Pasti sangat tidak enak!
33
Aku meneguk air lumayan banyak. Eits,
jangan berpikir kalau aku ini kelaparan dan tidak
memiliki uang untuk jajan. Enak saja! Aku ini
haus, tahu!
“Bintang, awas!” teriak Shinta. Tapi peringatan
itu sudah terlambat, keningku terkena kapur yang
dilempar Shinta. Sebenarnya, aku tidak marah,
karena pasti Shinta tidak sengaja. Buktinya
dia memberi peringatan kepadaku. Tapi, yang
membuat hatiku panas adalah tulisan di papan
tulis. Di sana tertulis: yang namanya Bintang
norak banget!
Memangnya namaku senorak itu? Aku maju
ke depan kelas dan menunjuk tulisan itu. “Siapa
yang nulis ini?!” tanyaku emosi. “Jujur aja! Aku
lebih suka orang jujur daripada bohong!” ucapku
terdengar parau. Tak ada yang mengaku, semua
diam menatapku. “Kalau kalian enggak suka
dengar nama aku, bilang di depan, jangan di
belakang!” ucapku bergetar. Sedikit demi sedikit,
butiran-butiran hangat jatuh dari pelupuk mataku.
Shinta dan Ninda sampai maju ke depan untuk
34
menenangkanku. Sampai Bu Ifah datang pun,
aku masih menangis.
Aku makan siang dengan cepat dan lahap.
Kejadian tadi pagi membuatku lapar setengah
mati.
“Tumben makannya lahap?” goda ibu setelah
aku selesai makan. Aku tak mengindahkan
perkataan ibu dan segera masuk ke kamarku
dengan mimik yang sama saat aku datang ke
rumah, yaitu cemberut.
“Bintang, kamu kenapa?” tanya ibu di balik
pintu. Belum aku menjawab, ibu sudah membuka
pintu. “Kok, diem aja? Tumben,” komentar ibu
sambil melihat seisi kamarku.
“Aku, kan, belum menjawab ‘masuk’!” seruku
sebal.
“Oh, oke. Ayo, sekarang bilang ‘masuk’.”
ucap ibu seraya duduk di tepi ranjang single-ku.
Aku menatap ibu sebal. Heran, deh, masa ibu
35
tidak tahu maksudku? Aku membelakangi ibu
dan menarik selimut sampai menutupi sebagian
kepalaku. Sambil menangis, aku menceritakan
kejadian tadi pagi.
“Kamu enggak suka ya?” tanya ibu tersenyum.
Tapi aku yakin, hati ibu tidak tersenyum.
“Aku suka, kok, tapi ….”
“Bintang, maaf kalau nama yang ibu berikan
terkesan jelek atau kuno,” ucap ibu. “Ibu
hanya ingin kamu menjadi bintang kecil yang
bersinar. Tak lebih. Bukankah setiap orangtua
menginginkan anaknya menjadi bersinar?” lanjut
ibu sambil tersenyum.
Dengan mata yang masih sembap, aku duduk
dan menatap ibu dalam-dalam. Siap bertanya
yang lainnya. “Jadi, Izdihar Bintang itu artinya
apa?” tanyaku.
Ibu tersenyum tipis. “Izdihar berasal dari
bahasa Arab yang artinya berkilau. Jadi, kamu
adalah Bintang yang berkilau,” terang ibu.
Aku berdecak kagum. “Makasih, ya, Bu, sudah
mau menjadi teman curhatku,” ujarku. “Maaf,
36
kalau aku suka mempermasalahkan soal namaku.
Sekarang aku janji, aku tak akan begitu lagi!”
Ibu mengangguk dan mengangkat sebelah
alisnya. “Janji?”
“Janji!” seruku mantap. “Oh, iya, aku boleh
ikut study tour?” tanyaku. Dan setelah itu, kami
mengobrol panjang lebar.
Malam ini aku akan berangkat study tour. Aku
akan diantar ayah ke sekolah. “Bu, ini.” Aku
memberikan sepucuk surat pada ibu. “Tapi,
jangan dibaca dulu! Dibacanya nanti saja, kalau
aku sudah berangkat atau besok pagi.” Aku
terkekeh kecil.
“Wah, kira-kira apa, ya? Ibu jadi tidak sabar
untuk membacanya,” ibu tertawa pelan. Setelah
bercakap sebentar, aku pamit kepada ibu … dan
tak lupa, meminta doa agar aku selamat sampai
tujuan.
38
“Hati-hati, ya! Jaga kesehatan dan perilaku!”
ucap ibu cukup keras karena aku sudah agak
jauh.
Aku menoleh ke belakang yang semakin
lama, ibu semakin kecil. “Iya!” seruku keras.
Aku masih menoleh ke belakang, namun ibu
sudah tak terlihat kembali, seakan hilang. Aku
menatap ke depan, melihat cahaya lampu kota
yang begitu menawan. Detik berikutnya, aku
tersenyum mengingat perkataan ibu tadi. Ibu
memang begitu, beliau menyuruhku untuk selalu
menjaga perilaku di mana pun berada.
Sebuah benda bergetar dari saku celanaku.
Dengan sigap, aku merogoh saku celana dan
mendapati benda mungil yang masih bergetar
heboh. Ternyata, itu SMS dari ibu.
Bintang, suratnya bikin ibu terharu! Oya, knp
kmu ga bilang kalau kmu menang lomba mnulis
39
cerpen? Ibu sampai kaget dpt kiriman paket utk
Bintang.
Aku tertawa membaca SMS dari ibu. Aku
memang sudah tahu kalau aku menang lomba
menulis cerpen dari facebook. Dengan cepat aku
membalas SMS dari ibu. Sekarang, aku tahu,
namaku adalah doa mereka.
Teruntuk ibu tercinta .…
Ibu bingung enggak aku menulis surat seperti ini?
Aku hanya ingin mencoba menulis surat kok. Maaf kalau
surat ini aneh!
Ibu, sekarang aku tidak akan mengungkit soal
namaku lagi. Aku yakin, apa pun nama yang ayah dan ibu
berikan kepadaku, ayah dan ibu pasti memberikan yang
terbaik. Terima kasih, lho, sudah mau berbagi cerita
denganku. Ternyata curhat sama ibu asyik! Oh, ya, ibu
berharap aku akan menjadi bintang kecil yang bersinar,
kan? Dan sekarang aku sudah menjadi bintang kecil
40
yang bersinar belum? Hehehe … jangan menjawab, Bu!
Aku malu sendiri, aku kayak pamer saja, ya?
Kalau aku bintang, ibu mau enggak jadi bulannya?
Bulan dan bintang selalu bersama, kan? Sekalipun
langit itu hitam, bulan dan bintang akan tetap membagi
sinarnya, yah, walaupun mereka enggak akan selalu
bersama, sih. Kita memang membutuhkan matahari.
Setidaknya bulan enggak akan bersinar tanpa bantuan
matahari. Eh? Bintang memang disinari matahari?
Hahaha. Sungguh bodohnya diriku! Yang begini saja
tidak tahu!
Ibu mengerti tidak yang aku tulis tadi? Eum, matahari
itu diibaratkan Tuhan, bulan itu ibu, dan bintang itu
aku. Maksudku itu, kita enggak akan bisa hidup tanpa
bantuan-Nya. Bintang, jika dilihat dari bumi seperti
memiliki bentuk yang indah, padahal aslinya tidak indah.
Sekalipun aku terlihat punya banyak kelebihan, tapi
tetap, dong, aku punya kekurangan juga.
Ibu, makasih, ya, sudah mau jadi teman curhatku
kemarin. Aku seneng banget! Nah, sekarang, ibu mau
jadi bulanku, enggak? Agar aku bisa memberikan yang
41
terbaik untuk ibu … Seperti lagu Ambilkan Bulan, Bu
aku ingin ibu menemaniku di malam yang gelap .…
Ambilkan bulan, Bu
Ambilkan bulan, Bu
Yang selalu bersinar di langit
Di langit bulan benderang
Cahayanya sampai ke bintang
Ambilkan bulan, Bu
Untuk menerangi tidurku yang lelap
Di malam gelap
42
Aku, Bapak, dan Bulan
Sabrina Hilmawati
(Pemenang II Kategori SMP)
Ambilkan bulan, Bu …
Ambilkan bulan, Bu …
Yang selalu bersinar di langit
Di langit bulan benderang
Cahayanya sampai ke bintang
Ambilkan bulan, Bu …
Untuk menerangi tidurku yang lelap
Di malam gelap
Lagu karya Pak AT. Mahmud ini selalu aku se
nandungkan tanpa sadar setiap melihat bulan
di malam hari. Pertama kali aku mendengarnya
43
ketika berusia 4 tahun. Pikiranku melayang akan
kenangan indah bersama bapak.
Aku masih ingat setiap menjelang hari raya
Idulfitri, bapak selalu mengajak aku dan ibu
mudik ke rumah pakde, di Bojonegoro. Rumah
pakde selalu ramai bila musim liburan. Saudara
dan keponakan datang untuk menginap hingga
lebaran usai.
Di sana, terutama pada malam hari, anak-
anak kecil seperti kami akan berkumpul di
halaman rumah tetangga untuk bermain dengan
sepupu serta anak-anak tetangga. Dan, para ibu
biasanya sibuk di dapur membuat penganan kecil
untuk lebaran seperti kue kering, madu mongso,
tape ketan hijau dan sebagainya.
Sementara itu, bapak, pakde dan para bapak
lainnya duduk santai tak jauh dari tempat kami
bermain. Mereka terlihat serius berbicara namun
kadang diselingi suara tawa keras. Entah apa
yang sedang diperbincangkan, biasanya kami
hanya menatapnya dengan penuh keheranan.
Bila malam telah larut, saatnya untuk pulang,
bapak akan menggendongku di punggungnya.
44
Dia bersenandung kecil. Meski tak merdu, aku
selalu menyukai senandungnya. Suatu malam,
saat berjalan pulang menuju rumah pakde dalam
gendongan bapak, aku menengadah menatap
langit. Aku melihat bulan yang bulat sempurna
dengan cahaya putihnya yang indah. Bulan
itu mengikuti langkah kecil kami. Aku merasa
heran.
“Pak, bulannya bagus, deh. Terang sekali
sinarnya,”
“Itu bulan purnama, Rin,” jawab bapak.
“Pak, bulannya ngikutin kita!” seruku
senang.
“Tidak, sayang, bulan tidak mengikuti kita.”
Bapak menghentikan langkahnya dan
menurunkanku dari punggungnya. Kemudian,
menggenggam tangan kecilku dan mengajak ber
jalan pelan sambil bercerita.
“Bulan itu sebenarnya diam saja di langit.
Tapi karena bulan itu besaaar, setiap kali kita
berjalan, seolah-olah dia sedang mengikuti kita,”
kata Bapak
“Sebesar apa bulan itu, Pak?”
46
“Hm ... besar sekali ….”
“Sebesar bumi?”
“Ya, kira-kira seperti itulah,”
“Kita bisa mengambil bulan enggak, Pak?”
“Tentu saja tidak, Sayang, karena jarak bulan
jauuuh sekali dari bumi,”
“Kalau kita ke sana … bisa, ya, Pak?”
“Bisa, tapi, harus menggunakan pesawat luar
angkasa,”
“Pesawat luar angkasa? Apa itu, Pak?”
“Sejenis pesawat terbang, tapi dibuat khusus
untuk pergi ke luar bumi,”
“Wah, nanti kalau besar, aku mau jalan-jalan
ke bulan, ah!”
“Boleh, tapi, kamu harus rajin belajar biar
pandai dan bisa membuat pesawat luar angkasa.
Terus, Bapak boleh ikut enggak, jalan-jalan ke
bulan?”
“Iya, dong. Bapak dan ibu pasti aku ajak
juga,”
Kini, bila mengingatnya lagi, aku suka ter
senyum sendiri. Aku tahu, waktu itu semuanya
terlalu susah untuk dimengerti. Sebesar apa, sih,
47