The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Pendidikan Indonesia merilis Risalah Tahunan dengan judul "Berani Terbuka". Judul yang diangkat tahun ini menggambarkan keterbukaan jumlah aduan dan kasus kekerasan seksual yang berhasil ditangani di lingkungan kampus, yang nantinya dapat menjadi strategi pencegahan kekerasan seksual di masa yang akan datang.

Risalah Tahunan ini berisi kepastian hukum PPKS UPI, data kasus kekerasan seksual 2020-2022 yang telah ditangani, akses publik terhadap SPPKS, serba serbi kegiatan dan gerakan mahasiswa yang telah dilakukan sebagai bentuk pencegahan dan advokasi kasus kekerasan seksual, dan lain-lain.

Rilisnya Risalah Tahunan yang disusun oleh tim SPPKS UPI dan Gender Research Student Center UPI ini merupakan salah satu cara untuk menjaga nama baik kampus dengan berani membuka berapa banyak kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan yang berhasil ditangani oleh kampus.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Nida Nurhamidah, 2023-08-28 02:06:12

BERANI TERBUKA SPPKS UPI

Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Pendidikan Indonesia merilis Risalah Tahunan dengan judul "Berani Terbuka". Judul yang diangkat tahun ini menggambarkan keterbukaan jumlah aduan dan kasus kekerasan seksual yang berhasil ditangani di lingkungan kampus, yang nantinya dapat menjadi strategi pencegahan kekerasan seksual di masa yang akan datang.

Risalah Tahunan ini berisi kepastian hukum PPKS UPI, data kasus kekerasan seksual 2020-2022 yang telah ditangani, akses publik terhadap SPPKS, serba serbi kegiatan dan gerakan mahasiswa yang telah dilakukan sebagai bentuk pencegahan dan advokasi kasus kekerasan seksual, dan lain-lain.

Rilisnya Risalah Tahunan yang disusun oleh tim SPPKS UPI dan Gender Research Student Center UPI ini merupakan salah satu cara untuk menjaga nama baik kampus dengan berani membuka berapa banyak kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan yang berhasil ditangani oleh kampus.

BERANI TERBUKA Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Pendidikan Indonesia R I S A L A H T A H U N A N P E N C E G A H A N D A N P E N A N G A N A N K E K E R A S A N S E K S U A L U P I 2 0 2 2


BERANI TERBUKA Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Pendidikan Indonesia


Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Pendidikan Indonesia RISALAH TAHUNAN 2020-2022 PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL


Penulis Hani Yulindrasari Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi Azmi Mahatmanti Sheila Rotsati Jasmine Agida Hafsyah Febriagivary Adam Firdyansyah Ananda Suci Aryani Nida Nurhamidah Anggi Meilani Andily Aprilia Rahmawati Salma Putri Hafidza Mentari Putri Dewi Meliana Lalita Putri Prasasti Suci Rahayu Annisa Aulia Ika Setyaningrum Firman Nurdiansyah Editor Sheila Rotsati Jasmine Agida Hafsyah Febriagivary Hani Yulindrasari Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi Azmi Mahatmanti Layout Nida Nurhamidah Ayana Anissa Aulia Diterbitkanoleh SPPKSUPI GedungLPPMLt.4Ruang33,UniversitasPendidikanIndonesia, JalanSetiabudhi229,Bandung,JawaBarat,Indonesia(40154) Telp.6281316570771 [email protected] instagram@[email protected] -I-


About Us 01 02 Rektor Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Dr. H. M. Solehuddin, M.Pd., M.A. Kata Pengantar 03 Mengenal SPPKS UPI 04 Tridharma dan Tiga Dosa Perguruan Tinggi 05 Kasus Kekerasan Seksual Di Kampus 06 Kepastian Hukum Pencegahan dan Penaganan 07 Kekerasan Seksual di UPI Data Kasus Kekerasan Seksual 08 2020-2022 Akses Publik Terhadap SPPKS 09 Fenomena Gunung Es 10 Serba Serbi Gerakan Mahasiswa 11 Sekolah Advokasi Gender Sekilas Kegiatan 12 13 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 14 UPI dinobatkan Menjadi Kampus Inspiratif Anti Kekerasan Nasional 15 Profil Ketua dan Sekretaris SPPKS 16 Kata Mereka 17 Publikasi Data Penulis dan Kontributor D a f t a r isi -III III 1 4 6 7 8 13 27 31 33 36 44 46 48 52 54 16 Glosarium 55


Kata pengantar Dengan rasa bangga, saya menyampaikan sambutan atas laporan tahunan Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Laporan ini merupakan hasil kerja keras dan dedikasi tim dalam upaya mencegah dan menangani kekerasan seksual yangmerupakanmasalahseriusdalammasyarakat. Kekerasan seksual adalah masalah serius yang mempengaruhi banyak individu dalam masyarakat kita. Laporan ini memberikan wawasan yang berharga tentang kejadian kekerasan seksual, tren, dan upaya yang telah dilakukan oleh Satuan dalam menjalankan tugasnya. Analisis mendalam dan data yang dikumpulkan membantu kita dalam memahami kompleksitas masalah ini, serta memberikan landasan untuk langkah-langkahselanjutnya. Laporan ini memberikan gambaran yang komprehensif tentang kinerja Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual selama satu tahun terakhir. Data, analisis, dan rekomendasi yang terdapat dalam laporan ini sangat berharga dalam memahami tantangan yang dihadapi, kemajuan yang telah dicapai, dan area yang memerlukanperhatianlebihlanjut. Saya mengakui pentingnya peran Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ini dalam memberikan perlindungan dan dukungan kepada korban kekerasan seksual. Dengan sensitivitas, empati, dan keprofesionalan yang tinggi, anggota Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ini telah memberikan bantuan yang pentingbagimereka yangmembutuhkannya. Kitaharusmemberikanapresiasi kepada mereka atasupaya luarbiasa ini. Namun, laporan ini juga mengungkapkan tantangan yang kita hadapi. Kekerasan seksual masih menjadi masalah yang mendalam di masyarakat kita. Oleh karena itu, Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual harus terus memperkuat strategipencegahandanpenanganankekerasanseksual. Saya inginmengapresiasi capaiantimSatuan Pencegahandan Penanganan Kekerasan Seksual dalam mendapatkan penghargaan Unit Kerja Cerdas Berkarakter dari Pusat Penguatan Karakter Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Penghargaan ini merupakan pengakuan atas upaya nyata Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam memberantas kekerasan seksual dan memberikan perlindungan bagi korban. Tugas yang diemban oleh Satuan ini tidaklah mudah, dan saya mengakui komitmen dan dedikasi yang telah ditunjukkan olehseluruhanggota tim. Laporan tahunan ini tidak hanya menjadi alat evaluasi, tetapi juga menjadi landasan untuk perbaikan dan pengembangan program serta kebijakan yang lebih efektif. Rekomendasi yangterdapatdalamlaporaninimenjadipanduanbagikita semuadalam menghadapi tantangankekerasanseksualdenganlebihbaik. -III-


Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual memainkan peran yang sangat penting dalam melindungi dan membantu korban kekerasan seksual. Dengan kerjasama antara tim Satuan, lembaga terkait, dan masyarakat, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Saya mendorong semua anggota Satuan untuk terus mengembangkan keahlian dan pengetahuan mereka dalam bidang ini. Pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan akan memperkuat kemampuan Satuan dalam mencegah, mendeteksi, dan menangani kasus kekerasan seksual dengan lebih baik. Saya juga mengajak seluruh anggota Satuan untuk menjalin kemitraan dengan lembaga lainnya, seperti kepolisian, lembaga medis, dan organisasi masyarakat, guna meningkatkan koordinasi dan kolaborasi dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Terakhir, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan berkontribusi dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Keberhasilan Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual tidak akan terwujud tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari semua pihak terkait.. Khususnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota tim yang telah berkontribusi dalam penyusunan laporan ini. Kerja keras, dedikasi, dan semangat Anda semua adalah kunci keberhasilan kami. Saya juga ingin mengapresiasi korban yang telah memberikan keberanian untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami. Saya berharap laporan tahunan ini dapat menjadi panduan yang berharga bagi langkah-langkah kita selanjutnya dalam mewujudkan masyarakat yang bebas dari kekerasan seksual. Mari terus bekerja bersama-sama untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak korban serta mencegah terjadinya kekerasan seksual di masyarakat. Terima kasih atas perhatian dan kerjasama Anda semua. Hormat Saya, Prof. Dr. H.M.Solehuddin,M.Pd.,M.A., RektorUniversitas PendidikanIndonesia -IV-


BERANI TERBUKA Paradigma Nama Baik Kampus "Berani Terbuka" menjadi judul yang kami angkat tahun ini. Judul ini menggambarkan bagaimana keterbukaan jumlah aduan dan kasus yang berhasil ditangani juga bisa menjadi strategi pencegahan kekerasan seksual. Walaupun identitas pelaku dirahasiakan untuk kepentingan korban, informasi tentang sanksi yang sudah pernah diberikan UPI kepada pelaku dapat membuat masyarakat kampus lebih berhati-hati dalam interaksi dengan individu lain. Secara tidak langsung, informasi tersebut dapat menimbulkan efek jera kepada pelaku dan orang-orang yang berpotensi menjadi pelaku. Dulu, menjaga nama baik kampus menjadi tameng dan alasan untuk menutup data kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Sekarang eranya sudah berubah, kampus harus berani membuka berapa banyak kasus yang dilaporkan dan berapa banyak kasus yang berhasil ditangani oleh kampus. Nama baik kampus, sekarang ini, dijaga dengan menunjukkan bahwa kampus berani memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan wewenang, hukum, dan aturan yang berlaku. Hani Yulindrasari, M. Gendts. Ph.D. Ketua Satgas SPPKS UPI


-1- MENGENAL SPPKS UPI Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di Universitas Pendidikan Indonesia dimulai pada tahun 2020 melalui berbagai jalur dan gerakan yang bersinergi antara gerakan mahasiswa dan akademisi. Dari sisi akademisi, upaya formal PPKS dilakukan melalui gugus tugas kampus nir kekerasan yang diinisiasi oleh Profesor Dr. Elly Malihah, M.Si sebagai Ketua Pusat Kajian Pengembangan Peranan Wanita/Gender dan Perlindungan Anak (PKPWPA) pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Universitas Pendidikan Indonesia. Di tahun yang sama, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia mendeklarasikan UPI sebagai Kampus Nir Kekerasan pada acara Masa Orientasi Kampus dan Kuliah Umum (MOKAKU) Agustus 2020. Dari sisi mahasiswa, BEM REMA UPI, dibawah kepemimpinan Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi, juga bergerak melakukan komunikasi intensif dengan pimpinan universitas untuk menciptakan kampus anti kekerasan terutama kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender. Selain BEM REMA UPI, organisasi kolektif mahasiswa seperti RESWARA juga gencar menyuarakan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender. Pada tahun 2021, Pusat Kajian Pendampingan Krisis (PKPK) dibentuk di bawah LPPM sebagai tindak lanjut dari hasil survey internal Universitas Pendidikan Indonesia yang dilakukan oleh Gugus Tugas Kampus Nir Kekerasan dan PKPWPA pada tahun 2020 tentang insiden kekerasan, khususnya kekerasan seksual yang melibatkan masyarakat kampus Universitas Pendidikan Indonesia. Hasil survey menunjukkan bahwa 90% responden dari berbagai unsur di UPI (mahasiswa, dosen, tendik) mengharapkan adanya satu lembaga khusus yang mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan yang ternyata menurut survey yang sama, banyak dialami oleh mahasiswa. Hasil survey juga menunjukkan bahwa 75% dari responden mengetahui kasuskasus kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswa UPI. m e n g e n a l Penulis : Hani Yulindrasari, M. Gendts. Ph.D.


-2- Sejak tahun 2021, UPI melalui PKPK membuka saluran aduan berupa hotline dan link aduan online. Awal tahun 2021 terbentuk juga unit kegiatan mahasiswa GREAT (Gender Research Student Centre) yang diketuai oleh Sheila Rotsati Jasmine (periode 2021). Pada bulan September 2021, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi disahkan. Sebagai konsekuensi, semua perguruan tinggi di Indonesia wajib memiliki Satuan Tugas PPKS. Di awal tahun 2022, merespon Permendikbud No. 30/2021 Rektor Universitas Pendidikan Indonesia secara cepat kemudian membentuk Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SPPKS) dan masuk ke dalam Struktur Organisasi dan Tata Kerja UPI. Sehingga PKPK berubah menjadi SPPKS dengan garis komando langsung kepada Rektor. Personil SPPKS kemudian dilengkapi menjadi 15 personil pada bulan September 2022. Pemilihan personal SPPKS mengikuti prosedur rekrutmen dan pemilihan ketua, sekretaris, dan anggota Satgas PPKS sesuai dengan Permendikbud No. 30/2021. SPPKS melaksanakan tugas melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia. Kegiatan yang sudah dilakukan SPPKS akan dijelaskan kemudian dalam laporan ini.Anggota Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ditetapkan tanggal 2 September 2022 dengan SK Rektor Nomor 1500/UN40/HK.02/2022, diantaranya; Hani Yulindrasari, S.Psi, MGendSt, PhD., sebagai ketua merangkap anggota yang berasal dari unsur pendidik, Firman Nurdiansyah, S.H. sekretaris merangkap anggota yang merupakan dari unsur tenaga kependidikan, dan adapun anggota dari unsur pendidik diantaranya Mustika Fitri, M.Pd, PhD., Irma Darmawati, M.Kep., Ns.Sp.Kep.Kom., Dr. Wawan Hermawan, M.Ag., Dr. Wina Nurhayati Praja, M.Pd., Irma Permatawati, S.Pd., M.Pd.,


-3- dan selanjutnya anggota yang berasal dari unsur mahasiswa ialah Adam Firdyansyah, Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi, S.Pd., Meliana Lalita Putri, Nida Nurhamidah, Ananda Suci Aryani, Mentari Putri Dewi , Prasasti Suci Rahayu, dan Melinda Amelia. Personil Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual tersebut dipilih oleh panitia seleksi yang dibentuk mengikuti prosedur Permendikbudristek No. 30/2021. Panitia seleksi tersebut ditetapkan dengan SK Rektor Nomor 1183/UN40/KP.09.00/2022. Berikut tim panitia seleksi dari unsur pendidik ialah Prof. Dr. Elly Malihah, M.Si., Prof. Vina Adriany, PhD., Dr. dan Lilis Widaningsih, S.Pd, M.T. Sementara dari unsur tenaga kependidikan, yaitu Cindya Hendriyana Noviandi, S.AP, dari unsur mahasiswa ialah Sheila Rotsati Jasmine, Sheilla Fristella dan Kahfi Achmad Muharram.


Tridharma dan Tiga Dosa Perguruan Tinggi Pendidikan dengan bentuk idealnya harus berorientasi pada upaya mewujudkan insan-insan yang mampu hidup dan menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai idealistis, proses pemanusiaan, pemerdekaan, dan pembudayaan. Perguruan Tinggi sebagai penyandang Tri Dharma wajib melaksanakan sistem pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat yang memiliki nilai progresif dan humanistis. Namun ternyata masih terdapat beberapa penghalang yang mengakibatkan kebebasan berpikir dan berpendapat menjadi terhambat bahkan dibatasi. Segala hambatan tersebut secara garis besar diakibatkan oleh sistem pendidikan terbelakang yang pada akhirnya menyebabkan dosa besar dalam dunia pendidikan. Dosa-dosa Pendidikan yang selama ini terjadi tetapi diabaikan dan cenderung dinormalisasi diantaranya adalah, kekerasan seksual, intoleran dan perundungan. Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi disebabkan karena ada ketimpangan relasi kuasa yang dipengaruhi oleh budaya feodal dan patriarki. Cita-cita Perguruan Tinggi yang tertuang dalam kerangka tentang pendidikan, penelitian dan pengabdian belum mampu menjawab semua cita-cita tersebut. Masih ditemukannya sikap feodal di dunia pendidikan tinggi berdampak pada maraknya perilaku kekerasan yang terjadi, seperti kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi. Pada hakikatnya, Pendidikan Tinggi merupakan mimbar bebas akademik, dimana setiap civitas akademik mempunyai hak yang sama untuk dapat menyuarakan segala pemikirannya. -4-


Struktur sosial di kampus yang hierarkinya ditentukan oleh posisi akademik, usia, angkatan, gender, mayoritas-minoritas, kondisi disabilitas, dan kondisi sosial lainnya. Hierarki sosial menyebabkan individu yang berada di posisi lebih tinggi, disadari atau tidak, memiliki kuasa dan privilese yang tidak dimiliki oleh individu yang posisinya lebih rendah, sehingga individu yang berada di posisi lebih rendah cenderung akan memiliki perasaan segan, ewuh pakewuh, harus menghormati, harus patuh, nurut, dan menundukkan diri di depan individu yang berada di hierarki sosial yang lebih tinggi. Seringkali, pada kasus-kasus kekerasan seksual, pelaku menyalahgunakan privilese dan kuasanya untuk mendapatkan keuntungan, baik seksual ataupun lainnya, dari korban yang biasanya berada di posisi di bawah dalam hierarki sosial di kampus. Setiap kampus memiliki konteks dan dinamika yang unik, dan ketimpangan relasi kuasa dapat bervariasi antara institusi. Relasi kuasa antar posisi sosial di kampus harus disadari adanya dan potensinya untuk disalahgunakan perlu dihilangkan. Menciptakan kesadaran, mendorong inklusi, memperkuat partisipasi mahasiswa, dan melibatkan semua pihak dalam pengambilan keputusan dapat membantu mengurangi ketimpangan kuasa di lingkungan kampus. Selain itu, perlu mengembalikan marwah pendidikan agar sesuai dengan tujuan yang sesungguhnya. Setiap kampus memiliki konteks dan dinamika yang unik, dan ketimpangan relasi kuasa dapat bervariasi antara institusi. Relasi kuasa antar posisi sosial di kampus harus disadari adanya dan potensinya untuk disalahgunakan perlu dihilangkan. Menciptakan kesadaran, mendorong inklusi, memperkuat partisipasi mahasiswa, dan melibatkan semua pihak dalam pengambilan keputusan dapat membantu mengurangi ketimpangan kuasa di lingkungan kampus. Selain itu, perlu mengembalikan marwah pendidikan agar sesuai dengan tujuan yang sesungguhnya. -5-


KASUS KEKERASAN SEKSUAL DI UPI Kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi bukanlah ilusi. Kampus sebagai lingkungan intelektual kenyataanya juga memiliki potensi terjadinya kekerasan seksual selama masih ada perilaku-perilaku individu menormalisasi budaya seksis yang sering berlindung di balik kata bercanda, hal demikian sering terjadi. Lingkungan kampus idealnya menjadi tempat yang mampu memfasilitasi civitas akademika mengaktualisasikan diri. Sejak diterbitkannya Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 maka setiap perguruan tinggi wajib mewujudkan lingkungan kampus nir kekerasan seksual. Menciptakan budaya zero tolerance for violence menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi. Merujuk angka kasus pada survei yang dilakukan Kemendikbud Ristek tahun 2020, 77% pelecehan seksual terjadi di lingkungan kampus dan 66% dari kasus yang terjadi korban tidak melaporkan kasusnya. Artinya, belum ada ruang aman dan jaminan keamanan ketika korban melaporkan kasusnya kepada pihak kampus. Pasca satu tahun diterbitkannya peraturan menteri, nyatanya kasus kekerasan seksual di kampus masih terjadi, bahkan laporan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukan peningkatan laporan. Tahun 2021 terdapat 426 kasus lalu meningkat 2022 sebanyak 536 kasus. Artinya pengimplementasian Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 perlu dipercepat. Perlu adanya tindak lanjut bagi tiap kampus yang belum mengimplementasikan peraturan tersebut, lalu tataran pengimplementasian juga tidak hanya berhenti pada pembentukan satgas namun perlu adanya upaya pencegahan yang terintegrasi bersama tiap civitas kampus. -6-


Kekerasan seksual di kampus layaknya fenomena gunung es yang tampak di permukaan sebenarnya hanya sebagian kecil dari bagian yang lebih besar yang tersembunyi. Fenomena gunung es kekerasan seksual terjadi karena faktor struktural, kultural, dan individual yang membuat pembicaraan tentang kekerasan seksual tidak dimungkinkan. Faktor struktural termasuk aturan, fasilitas pelaporan dan layanan, serta jaminan keamanan. Faktor kultural diantaranya adalah stigma negative terhadap korban kekerasan seksual, anggapan tabu tentang seksualitas, rape culture/budaya perkosaan yang cenderung menyalahkan korban, dan relasi kuasa yang ditentukan oleh hierarki sosial. Yang paling berat adalah faktor individual, yaitu bagaimana korban merasa takut melapor, merasa malu, takut disalahkan, trauma tidak ingin menceritakan kejadian traumatik yang dialaminya, dan berbagai perasaan lainnya Kampus yang penuh dengan insan intelektual sudah seharusnya menggunakan lensa keadilan dalam fenomena ini dan menyediakan ruang aman sehingga kasus-kasus kekerasan seksual bisa terangkat ke permukaan dan diatasi sampai ke akar masalahnya. Fenomena Gunung Es -7-


- 8 - Regulasi merupakan komponen penting dalam membangun sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Regulasi dibuat untuk mengatur perilaku dan memastikan keamanan serta perlindungan masyarakat. Dalam konteks penghapusan kekerasan seksual, regulasi memiliki peran kunci dalam membangun sistem pelaporan yang akuntabel dan berpihak pada korban, menjamin perlindungan bagi korban, penjatuhan hukuman bagi pelaku, dan mendorong upaya edukasi untuk menumbuhkan kesadaran, pemahaman yang akan membawa pada perubahan nilai mengenai kekerasan seksual. UPI memahami regulasi yang kuat dan berlaku secara konsisten dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan memastikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual, serta menegaskan tindak kekerasan seksual tidak akan ditoleransi dalam lingkungan kampus. Berangkat dari pemahaman dan cita-cita terhapusnya kekerasan seksual, UPI membuat Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. UPI memulai perumusan peraturan rektor mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sejak Desember 2021, tepat 3 bulan setelah Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 disahkan. UPI memahami peraturan rektor penting untuk menguatkan pembangunan sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Meninjau juga UPI belum memiliki peraturan yang secara komprehensif mengatur permasalahan kekerasan seksual, sehingga penyusunan peraturan merupakan suatu keharusan. Setelah proses panjang dengan melibatkan elemen dosen, tendik, dan mahasiswa dalam penyusunannya, akhirnya Peraturan Rektor No.2 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penananganan Kekerasan Seksual di Lingkungan UPI diterbitkan. Kepastian Hukum Pencegahan dan Penaganan Kekerasan Seksual di UPI


- 9 - Secara substansi Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual memiliki muatan yang sama dengan Permendikbud. No 30 Tahun 2021, beberapa bagian disesuaikan dengan konteks alur birokrasi dan peraturan di UPI. UPI berkomitmen mewujudkan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang inklusif, adil gender dan berpihak pada korban. Peraturan Rektor terdiri dari sepuluh bab yang mengatur aspek-aspek penting sebagai berikut, Mekanisme pencegahan kekerasan seksual di UPI difokuskan melalui 3 Strategi, yaitu : 1) pembelajaran; 2) penguatan tata kelola; 3) penguatan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Poin kesatu dilakukan melalui pengembangan dan pengintegrasian materi gender dan kekerasan seksual ke dalam mata kuliah, bahan ajar/kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi lainnya. Poin kedua berkaitan dengan upaya edukasi mengenai kekerasan seksual melalui seminar, kampanye publik, diskusi, pelatihan, dan media informasi. Selain itu, pembentukan layanan aduan yang memfasilitasi pendampingan dan pemulihan korban kekerasan seksual di lingkungan UPI serta terhubung dengan berbagai pihak seperti pihak keamanan atau lembaga apapun yang dapat membantu meningkatkan keamanan dan pemenuhan kebutuhan korban, analisis pengaturan tata ruang dan pembangunan fasilitas kampus yang kondusif untuk mencegah kekerasan seksual. Definisi Kekerasan Seksual Jenis dan derajat kasus Kekerasan Seksual Mekanisme Pencegahan Mekanisme Penanganan Korban Mekanisme Penanganan Pelaku Kelembagaan Pendanaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Peraturan dibangun dengan dasar pemahaman kekerasan seksual disebabkan ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender. Jenis kekerasan seksual mengacu pada Permendikbud No. 30 Tahun 2021 dengan mempertimbangkan kemungkinan perkembangan jenis kekerasan seksual sehingga menambahkan


- 1 0 - Adapun poin ketiga dilakukan dengan pemberian materi gender dan anti kekerasan seksual dalam masa orientasi mahasiswa, tenaga kependidikan baru UPI ataupun rekruitmen lainnya serta memastikan seluruh pimpinan/pejabat UPI termasuk organisasi kemahasiswaan bebas dari rekam jejak sebagai pelaku kekerasan seksual. Mekanisme penanganan terbagi ke dalam dua sasaran, yaitu penanganan korban dan penanganan pelaku. Mekanisme penanganan korban harus dilakukan atas dasar kepentingan terbaik bagi korban. UPI menjamin korban kekerasan seksual berhak mendapatkan pelayanan berupa pelayanan medis, psikologis dan/atau hukum sesuai dengan kebutuhan korban. Tujuan proses pelayanan adalah mengupayakan pemulihan bagi korban, sehingga proses pelayanan dapat berlangsung baik jangka pendek atau panjang tergantung kebutuhan korban. Selama proses penanganan korban akan didampingi oleh pendamping terlatih dari pihak SPPKS. Selama proses penanganan, korban, saksi, dan pendamping berhak atas hak pelindungan. UPI menjamin pelindungan atas kerahasiaan identitas, pelindungan dari pemberitaan secara berlebihan, pelindungan dari ancaman dan/atau kekerasan, serta jaminan keberlanjutan pendidikan atau pekerjaan di lingkungan kampus. Mekanisme penanganan pelaku dilakukan dengan asas keadilan. SPPKS akan memanggil pihakpihak yang terlibat dalam kasus untuk melakukan proses investigasi. Simpulan hasil investigasi akan menjadi dasar penetapan sanksi. Penetapan sanksi diberikan dengan mempertimbangkan jenis dan derajat kasus serta dampak yang ditimbulkan. Sanksi administratif terdiri atas 1) sanksi administratif ringan; 2) sanksi administratif sedang; 3) sanksi administratif berat. Sanksi administratif ringan berupa teguran dan/atau surat peringatan dari pihak SPPKS, sanksi administratif sedang berupa skorsing atau pemberhentian sementara.


Adapun sanksi administratif berat berupa pemberhentian dari pekerjaan atau status mahasiswa. Pengesahan Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual merupakan hasil perjuangan panjang gerakan anti kekerasan seksual. Bukan tujuan akhir, melainkan salah satu capaian yang akan membuka capaian-capaian berikutnya. Tentu setelah pengesahan peraturan, kita memiliki tugas besar untuk membumikan serta mengimplementasikan peraturan ini sampai akhirnya kita mewujudkan cita-cita bersama yakni menghapuskan kekerasan seksual dan mewujudkan UPI sebagai ruang aman. - 1 1 -


-12-


P E M A P A R A n -13- D A T A A D U A N 2 0 2 0 - 2 0 2 2


JUMLAH DATA ADUAN 2020-2022 jumlah aduan kasus 2020 2021 2022 75 50 25 0 Jumlah aduan dalam rentang waktu Mei 2020 hingga Desember 2022 adalah 135 kasus. Diagram di atas menunjukkan terdapat fluktuasi jumlah aduan setiap tahunnya. Pada tahun 2020, awal mula Pusat Krisis bersama BEM REMA UPI menyediakan layanan pengaduan, terdapat 43 aduan kasus Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual. Dalam rentang waktu 2 minggu setelah penyediaan layanan aduan, terdapat 23 aduan kasus pelecehan seksual yang dilaporkan melalui link aduan bit.ly/antikekerasan. 23 aduan yang masuk merupakan kasus yang telah terjadi sebelum tahun 2020. Temuan ini mengindikasikan korban memiliki keinginan untuk melapor namun tidak ada saluran pelaporan yang tersedia. Pada tahun 2021, masih saat pandemi angka pelaporan menurun. Pusat Krisis bersama GREAT UPI menerima 24 aduan. Baru pada tahun 2022 setelah aktivitas kampanye mulai masif dilakukan, jumlah aduan kasus mengalami peningkatan signifikan, terdapat 68 aduan kasus yang dilaporkan. Peningkatan jumlah aduan bisa disebabkan oleh meningkatnya kepercayaan civitas akademika kepada SPPKS dan karena dimulainya kembali perkuliahan offline sehingga interaksi fisik antar mahasiswa meningkat. 43 24 68 Jumlah aduan kasus Tahun 2020-2022 -14-


JENIS KELAMIN KORBAN DAN PELAKU Perempuan 88.1% Laki Laki 11.9% Jenis Kelamin Korban Kekerasan Seksual 119 16 Data menunjukkan mayoritas korban kekerasan seksual berjenis kelamin perempuan. Terdapat 119 korban (88.1%) perempuan dari jumlah total 135 kasus. Laki-laki juga mengalami kekerasan seksual, data menunjukkan 16 (11.9%) kasus kekerasan seksual menimpa lakilaki sebagai korban. Ketimpangan relasi kuasa dianggap sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Selalu ada relasi kuasa dalam setiap relasi, sehingga selalu ada potensi penyelewengan kekuasaan dalam bentuk kekerasan seksual. Perempuan dan laki-laki dapat menjadi korban kekerasan seksual, meski dengan tingkat kerentanan yang berbeda. Jenis kelamin menjadi salah satu sumber kerentanan bagi individu. Di masyarakat yang menganut konstruk gender tradisional, perempuan mengalami subordinasi, dianggap sebagai kelas nomor dua sedangkan laki-laki mendominasi, dianggap sebagai kelas nomor satu. Sehingga, ketika perempuan berada dalam situasi relasional dengan laki-laki, perempuan menjadi rentan mengalami ketimpangan relasi kuasa. Sedikitnya korban kekerasan seksual laki-laki ini tidak berarti bahwa laki-laki lebih imun terhadap kekerasan seksual tetapi bisa disebabkan oleh stigma negatif terhadap laki-laki yang menjadi korban. Ketakutan tidak dipercaya sebagai korban, dianggap lemah, dan dianggap tidak berdaya menjadi beberapa alasan laki-laki korban kekerasan seksual enggan untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. -15-


Laki Laki 93.8% Tidak Diketahui 3.7% LANTAS, APAKAH MUNGKIN PEREMPUAN MENJADI PELAKU? Ditinjau dari ketimpangan relasi kuasa, baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi pelaku. Konstruk gender juga memepengaruhi kecenderungan jenis kelamin pelaku kekerasan seksual. Data menunjukkan terdapat dua kasus kekerasan seksual dengan perempuan sebagai pelaku. Pada aduan yang diterima SPPKS, mayoritas pelaku adalah laki-laki, sebanyak 93.6% (76 orang), dan 2,5% (orang) pelaku adalah perempuan. Data menunjukkan ada ketimpangan relasi kuasa dalam setiap kasus kekerasan seksual. Dapat dilihat dari status korban dibanding pelaku. Sebanyak 96,5% (131 orang) korban berstatus sebagai mahasiswa UPI, 1,5% (3 orang) korban berstatus sebagai pihak eksternal UPI. Dalam konteks ini, pihak eksternal merupakan korban di luar lembaga UPI yang mengalami tindak kekerasan seksual oleh civitas akademik UPI. Jenis Kelamin Pelaku Kekerasan Seksual 76 3 2 Perempuan 2.5% -16-


Data menunjukkan sebanyak 36 mahasiswa, 14 pihak eksternal, 15 dosen, 4 orang tenaga kependidikan, dan 5 orang anonim dilaporkan sebagai pelaku. Jumlah pelaku kekerasan seksual tidak sama dengan jumlah korban, sebab satu pelaku melakukan tindak kekerasan seksual pada beberapa korban. Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan menunjukkan beberapa pola, yaitu : 1) Pelaku mahasiswa – korban mahasiswa 2) Pelaku dosen – korban mahasiswa 3) Pelaku tenaga kependidikan – korban mahasiswa 4) Pelaku eksternal UPI- korban mahasiswa 5) Pelaku mahasiswa – korban eksternal UPI Pada pola nomor 2 dan 3 sudah jelas gambaran ketimpangan relasi kuasa yang terjadi. Pelaku memiliki usia dan jabatan yang lebih tinggi dibandingkan korban. Pada kasus antar mahasiswa, korban berjenis kelamin perempuan dengan status angkatan yang lebih muda dibanding pelaku. Adapun pelaku berjenis kelamin laki-laki dengan status angkatan yang lebih tua dari korban. Pada beberapa kasus korban dan pelaku berasal dari jurusan yang berbeda, beberapa berasal dari jurusan yang sama. Pada pola nomor 4 dan 5, sama seperti pola kasus yang terjadi pada mahasiswa. Pelaku berjenis kelamin laki-laki dan lebih tua dari korban sedangkan korban berjenis kelamin perempuan dan berusia lebih muda atau seumur dengan pelaku. Melihat data melalui kacamata interseksional, dapat dipahami identitas seseorang berpengaruh pada tingkat kerentanan dalam mengalami kekerasan seksual. -17-


RAGAM JENIS KASUS KEKERASAN SEKSUAL Ragam Jenis Kasus Kekerasan Seksual 81 18 7 8 5 4 11 Pelecehan Seksual 60.0% KBGO 13.3% KDRT 0.7% Flirting 5.9% Kekerasan Fisik 3.7% Kekerasan Akademik 3.0% Lain-lain (Pencemaran Nama Baik, Perselisihan, Pemerasan, dsb.) 8.1% Jenis kasus yang dilaporkan ke SPPKS beragam, data menunjukkan dalam rentang Mei 2020-Desember 2022, dari 135 laporan yang diterima, sebanyak 81 kasus Pelecehan Seksual, 18 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online, 1 kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga, 7 kasus Kekerasan dalam Pacaran, 8 kasus flirting/grooming, 5 kasus kekerasan fisik, 4 kasus kekerasan akademik dan 11 kasus lainnya (tidak terkategorikan). Adapun rincian penjelasan jenis kekerasan yang dikategorikan oleh SPPKS UPI: 1) Pelecehan Seksual Data di atas menunjukkan pelecehan seksual menjadi jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi. Dari jumlah 135 aduan, 81 kasus di antaranya merupakan kasus Pelecehan seksual. Menurut KOMNAS Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual melalui sentuhan fisik dan non-fisik dan sasarannya merupakan organ seksual dan seksualitas korban. Terdapat beberapa bentuk Pelecehan seksual, yakni: a) Pelecehan Fisik Pelecehan fisik mencakup sentuhan yang tidak diinginkan dan tidak berdasarkan persetujuan dilayangkan pada tubuh seseorang. Menurut UU no. 12 tahun 2022, Pelecehan seksual fisik adalah perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitasnya. -18-


Pelecehan seksual fisik yang dilaporkan seperti meraba atau meremas bagian-bagian tertentu dari tubuh, mencubit, mencium paksa, mencolek dagu, memeluk paksa, fingering, memaksa untuk meraba area tubuh tertentu. Pelecehan fisik di UPI meningkat seiring dibukanya kembali perkuliahan luar jaringan. Terdapat 33 aduan kasus pelecehan fisik selama kurun waktu 2022. Hal tersebut mengalami peningkatan setelah sebelumnya pada tahun 2021 mengalami penurunan jumlah aduan karena perkuliahan masih dalam jaringan, hanya terdapat 4 kasus pelecehan seksual fisik. Pelecehan fisik dapat menimbulkan dampak tidak nyaman pada korban. Korban memiliki kerentanan untuk bersosialisasi, keengganan untuk disentuh, dan menyalahkan dirinya sendiri atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku. b) Pelecehan nonfisik Menurut UU No. 12 tahun 2022, pelecehan nonfisik adalah perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Lingkup pelecehan seksual nonfisik dapat terjadi secara verbal/lisan, non-verbal/isyarat, pelecehan visual, dan pelecehan secara psikologis/emosional. Dilaporkannya kasus pelecehan nonfisik seiringan dengan meningkatnya kesadaran mengenai beragamnya jenis kekerasan seksual. Kekerasan seksual kerapkali dianggap tidak berlaku jika tidak merugikan unsur fisik. Pada tahun 2022, pelecehan nonfisik (berupa verbal) terjadi dan dilaporkan sebanyak 11 kasus. Pada tahun 2021 mengalami penurunan, yaitu hanya terdapat 2 kasus. Kasus yang kerap terjadi adalah catcalling, komentar yang merendakan korban secara seksual, eksibisionisme, dan lainnya. Tentunya, tidak serta merta keberanian untuk melaporkan kasus kekerasan seksual tiba tiba muncul. Perlunya peningkatan kesadaran yang mengenalkan beragam bentuk kasus kekerasan seksual hingga para pelapor dapat melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. -19-


2) KBGO Kekerasan berbasis gender online memiliki tingkatan kedua tertinggi dari aduan yang masuk. Terdapat 18 kasus Kekerasan berbasis gender online yang terjadi selama rentang waktu 2020 hingga akhir 2022. Menurut SAFENet, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) adalah kekerasan yang memiliki maksud untuk melecehkan korban berdasarkan gender atau seksualnya dengan difasilitasi oleh teknologi. KBGO memiliki beragam bentuk seiring berkembangnya teknologi, dalam konteks Universitas Pendidikan Indonesia, terdapat beberapa kasus KBGO yang pernah terjadi di UPI: a) Cyber Harassment Tindakan terus menerus mengejar seseorang untuk membuat korban takut dan terancam. Biasanya dalam kasus ini, korban akan melakukan spamming chat dan memanipulasi obrolan sehingga korban menjadi ketakutan dan keberatan dengan tindakan pelaku. Pelaku secara intens menghubungi korban tanpa mempedulikan perasaan korban yang ketakutan. b) Cyber Flashing Tindakan mengirimkan gambar atau pesan seksual yang tidak diinginkan atau tidak pantas melalui media elektronik atau digital, seperti pesan teks, media sosial, atau aplikasi komunikasi. Cyber Flashing membuat korban merasa takut dan risih karena ia mendapatkan gambar yang tidak secara persetujuan dikirimkan tiba tiba oleh pelaku melalui sosial media atau langsung terhubung melalui fitur pengiriman lainnya. Hal seperti ini pernah terjadi di Universitas Pendidikan Indonesia. c) Impersonating Tindakan meniru dan menyamar sebagai orang lain dengan maksud menipu dengan tujuan untuk mempermalukan, menghina, atau melakukan penipuan. Impersonating pun digunakan untuk mempermalukan korban dengan menyebarkan foto atau video mempermalukan korban di akun yang berpura pura menjadi korban. Hal tersebut sangat merugikan korban dan membuat korban takut. Impersonating termasuk kasus darurat yang tindaklanjutnya perlu diperhatikan dengan cepat. Pernah terjadi kasus impersonating di Universitas Pendidikan Indonesia. -20-


d) Morphing Tindakan mengedit video ataupun foto dengan wajah orang lain sebagai upaya merusak reputasi seseorang tersebut. Morphing menjadikan seseorang seakan menjadi ‘pelaku’ aktivitas seksual yang terekam atau ter-capture di foto. Yang sering terjadi, morphing diiringi oleh pemerasan atau ancaman untuk penyebaran konten tersebut di sosial media untuk meraup keuntungan. e) Non Consensual Intimate Imagery Tindakan memanfaatkan konten intim milik korban untuk mengancam dan mengintimidasi agar korban mau menuruti kemauannya dalam konteks relasi. Kasus ini merupakan bentuk KBGO yang sering terjadi diterima oleh SPPKS. f) Sextortion Tindakan mengeksploitasi seksual oleh pelaku yang menyalahgunakan kekuasaan atau otoritas yang dimiliki untuk memaksakan tindakan, gambar, atau video seksual dari korban. Sextortion dapat merugikan secara materiil atau seksual. Korban diperas terus menurus agar foto atau videonya tidak disebarkan. 3) KDRT Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang melanggar hak asasi manusia. KDRT terjadi ketika seseorang secara fisik, seksual, psikologis, atau ekonomi menyerang atau melukai pasangan atau anggota keluarga lainnya. Terdapat 1 aduan kasus KDRT selama 2020 hingga 2022. 4) Kekerasan Dalam Pacaran Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan meliputi kekerasan fisik, emosional, ekonomi dan pembatasan aktivitas. Kasus ini kerap susah untuk ditangani karena masih ada anggapan bahwa dalam permasalahan relasi adalah permasalahan personal. Korban yang terikat dalam cycle of abuse membuatnya terperangkap dan sulit untuk melepaskan pelaku dalam konteks hubungan. Terdapat 7 kasus kekerasan dalam pacaran selama 2020 hingga 2022. -21-


ALUR PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI UPI Merujuk pada Peraturan Rektor no. 2 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan kekersan seksual di UPI, terdapat beberapa tahapan yang dapat dilihat pada diagram berikut: -22- a) Tahap Pelaporan Pada tahap pelaporan, korban atau saksi dengan persetujuan korban dapat melakukan pelaporan. Pelaporan dapat dilakukan melalui hotline (081316570771) atau datang langsung ke kantor SPPKS di Gedung LPPM Lt.4. Secara umum, ada kasus yang bersifat darurat dan tidak darurat. Kasus darurat didefinisikan sebagai kasus yang sedang berlangsung sehingga korban rentan berada dalam ancaman serta berpotensi mendapatkan kekerasan yang lebih besar jika tidak diselesaikan. Kasus tidak darurat merupakan kasus-kasus lama yang baru dilaporkan.


b) Tahap Verifikasi Pada tahap verifikasi, laporan yang diterima akan dianalisis. Jika diperlukan SPPKS dapat memanggil pihak-pihak yang terkait dengan kasus untuk memberikan keterangan dengan mengedepankan asas terduga tidak bersalah dan kerahasiaan. Proses verifikasi menghasilkan kesimpulan mengenai jenis kekerasan, rekomendasi pelayanan korban, rekomendasi penanganan pelaku. Pada kasus darurat korban dan pelaku lebih mudah untuk identifikasi dan diverifikasi sehingga waktu verifikasi cenderung singkat dan langsung ke tahap layanan. Sedangkan pada kasus tidak darurat proses verifikasi dapat berlangsung lebih lama dipengaruhi perbedaan kondisi pelaku dan korban pada saat kejadian dengan pada saat kasus di laporkan. c) Tahap Pelayanan Pada tahap pelayanan korban akan mendapatkan bantuan sesuai kebutuhan dan kesediaan korban. SPPKS menyediakan layanan medis, psikologis, konseling, pendampingan sementara, perlindungan keamanan sementara, penyediaan tempat tinggal, layanan dan penanganan lainnya. Pada kasus darurat, pelayanan dan penanganan dilakukan paling lambat 1x24 jam sejak SPPKS mendapatkan aduan. SPPKS segera memenuhi kebutuhan korban berdasarkan mitigasi resiko kasus yang dialami korban. -23-


1) Pendampingan dan Pemulihan Selama proses penanganan berlangsung, terdapat pendamping yang ditugaskan oleh SPPKS untuk mendampingi korban. Pendamping bertugas membantu korban untuk menghadapi seluruh proses penanganan, mulai dari tahap verifikasi sampai tahap pelayanan selesai dilakukan. Pendamping membantu korban mengidentifikasi kebutuhan. Jika korban membutuhkan bantuan fisik, psikis, atau hukum. Pendamping akan berkoordinasi dengan pihak SPPKS untuk memenuhi kebutuhan korban. Berikut beberapa layanan pemulihan yang disediakan SPPKS : Bentuk penanganan yang tertera pada Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual merujuk pada Permendikbud no. 30 tahun 2021. Proses penanganan bersifat keadilan transformatif, SPPKS melakukan penanganan dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi korban. Seluruh proses penanganan dilakukan atas dasar persetujuan korban. SPPKS memberikan korban ragam pertimbangan, rekomendasi dan tidak diperbolehkan memaksakan suatu pilihan pada korban. Penanganan terdiri dari beberapa komponen, yaitu: a) Tindakan Medis Tindakan medis dilakukan untuk kasus yang menyakiti seseorang dan menyakiti bagian fisiknya. SPPKS melakukan 2 kali tindakan medis dalam kondisi kasus darurat dalam rentang 2020 hingga 2022. b) Terapi Fisik Terapi fisik dilakukan untuk menindaklanjuti dampak yang merugikan fisik. Tindakan ini untuk mengembalikan, mempertahankan, atau meningkatkan fungsi fisik seseorang melalui penggunaan berbagai teknik dan modalitas fisik. -24-


c) Terapi Psikologis Terapi psikologis memiliki bentuk perawatan yang bertujuan untuk membantu individu mengatasi masalah emosional, mental, atau perilaku yang mereka hadapi. Terapi psikologis melibatkan interaksi antara seorang klien dan seorang terapis yang terlatih secara profesional, dengan tujuan membantu klien memahami, mengelola, dan mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku mereka. 2) Sanksi administratif Penjatuhan sanksi administratif merupakan upaya menjamin ketidakberulangan kasus kekerasan seksual. Pemberian sanksi administratif mempertimbangkan hasil verifikasi kasus. Sanksi administratif dapat menjadi lebih berat mempertimbangkan beberapa kondisi seperti, korban merupakan penyandang disabilitas, dampak yang terjadi pada korban, pelaku merupakan anggota SPPKS atau menduduki jabatan struktural di lingkup Universitas. Pemberian sanksi administratif yang dibagi menjadi tiga, yakni: a) Sanksi administratif ringan Sanksi administratif ringan adalah sanksi yang ditangani oleh SPPKS. Pemberian surat peringatan dan perjanjian tidak akan melakukan lagi merupakan sanksi administratif ringan yang dibuat secara resmi oleh SPPKS. -25-


b) Sanksi administratif sedang Sanksi administratif sedang adalah sanksi yang direkomendasikan oleh SPPKS yang ditindaklanjuti oleh komisi disiplin. Sanksi administratif sedang dapat berupa skorsing, teguran dan pemberitahuan penindaklanjutan oleh prodi dan fakultas. c) Sanksi administratif berat Sanksi administratif berat adalah sanksi yang direkomendasikan oleh SPPKS dan diputuskan oleh komisi etik/komisi disiplin. Sanksi administratif berat dapat berupa Drop Out, rekomendasi pemecatan, dan skorsing 2 semester. -26-


AKSES PUBLIK TERHADAP SPPKS UPI Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual makin masif dilakukan sejak SPPKS resmi didirikan. Meski sebelumnya UPI telah memilki lembaga yang fokus dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, banyak strategi pencegahan dan penanganan yang tidak dapat dilakukan saat itu menimbang tidak ada regulasi pendukung serta berbagai hal lainnya yang menjadi keterbatasan. Pada tahun 2021-2023 kesadaran civitas akademika UPI mengenai kekerasan seksual mulai meningkat, dilihat dari mulai banyak organisasi kemahasiswaan yang mengadakan kajian mengenai tema kekerasan seksual, angka pelaporan juga meningkat. Namun demikian, peningkatan kesadaran belum merata. Memasuki pertengahan 2022 ketika SPPKS diresmikan dan dinaikkan status kelembagaannya, banyak strategi dapat dieksekusi. Kegiatan kampanye pada tahun 2022-2023 berfokus pada peningkatan kesadaran publik untuk melaporkan kekerasan seksual, serta peningkatan pengetahuan publik mengenai kekerasan seksual. Beragam pendekatan pun dilakukan seperti kegiatan sosialisasi, pemasangan banner berisikan informasi dan hotline aduan kekerasan seksual, pemasangan stiker berisikan hotline aduan kekerasan seksual, kegiatan peningkatan kapasitas seperti Sekolah Advokasi Gender. Sasaran kampanye yang dilakukan adalah seluruh civitas akademik UPI. -27-


Mengetahui 84% Tidak Mengetahui 16% Banner/Pamflet/Sticker 20.3% Dosen 16.2% Sosialisasi Fakultas/Jurusan 14.1% Teman Mahasiswa 13.1% Social Media (Youtube/Instagram) 12.1% Seminar/Webinar 10.7% Komunitas Mahasiswa 7.7% MOKAKU 3.8% Sumber Informasi Responden mengenai adanya SPPKS UPI Melalui kampanye yang dilakukan harapannya tidak ada lagi salah pemahaman mengenai kekerasan seksual, serta civitas akademik UPI mengetahui ada ruang aman tempat melaporkan kekerasan seksual. Data menunjukkan terjadi tren peningkatan pengaduan kasus sejak SPPKS berdiri yakni 24 kasus pada tahun 2021 menjadi 82 kasus pada tahun 2022. Peningkatan jumlah aduan kasus merupakan pertanda baik, sebab artinya civitas akademika UPI memiliki kesadaran untuk melapor dan menaruh kepercayaan setelah sebelumnya merasa takut untuk melapor akibat stigma yang melekat pada korban kekerasan seksual. Pada survey yang dilakukan pada 169 responden menunjukkan 84% publik kampus telah mengetahui adanya Satuan Tugas dan Penanganan Kekerasan Seksual, sebanyak 16% responden menyatakan tidak mengetahui adanya SPPKS UPI. Menelusuri aktivitas kampanye yang efektif kepada civitas akademik UPI. Sebanyak 51 responden menyatakan mengetahui SPPKS UPI melalui sosialisasi fakultas/jurusan. Selanjutnya terdapat 59 responden mengetahui layanan bantuan dan pendampingan kasus kekerasan seksual melalui dosen, dan sebanyak 74 responden mengetahui SPPKS UPI dengan sendirinya melalui Banner/Pamflet/Sticker yang telah dipasang di beberapa titik di wilayah kampus UPI. Responden yang Mengetahui SPPKS UPI -28-


civitas akademika UPI mengetahui alur pelaporan kekerasan seksual serta memahami bahwa kasus kekerasan seksual perlu dilaporkan agar korban mendapatkan bantuan. Setelah beragam kampanye yang dilakukan, Data menunjukkan 103 dari 169 responden mengetahui alur aduan kekerasan seksual, serta 142 dari 169 responden memilih opsi melapor ke hotline kampus yang disediakan jika mengetahui ada tindak kekerasan seksual yang terjadi. Memahami bahwa kekerasan seksual berakar pada ketimpangan relasi kuasa dan ketidakadilan gender yang melahirkan budaya perkosaan di masyarakat. Normalisasi terhadap kekerasan seksual sudah terlanjur tumbuh menjadi kesadaran kolektif. Namun demikian, bukan berarti kesadaran dan pemahaman yang keliru tidak dapat diubah. Kami percaya nilai-nilai ketidakadilan yang dikonstruksi pasti dapat didekonstruksi, dan kemudian direkonstrusi menjadi berkeadilan melalui serangkaian aktivitas kampanye yang sistematis dan massif. -29-


-30-


Serba Serbi Gerakan Mahasiswa Dikatakan sebagai insan terpelajar dan memiliki intelektual yang mumpuni, mahasiswa tergolong pada kaum borjuasi kecil. Mahasiswa juga dianggap sebagai pionir dalam suatu perubahan. Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus banyak disuarakan dan ditemukan oleh mahasiswa. Hal ini menunjukkan kepedulian mahasiswa terhadap suatu permasalahan di sekitarnya belum meredup. Di Beberapa kampus, seperti UPI gerakan mahasiswa dalam menghapuskan kasus kekerasan seksual dilakukan dengan membangun kesadaran lewat kampanye maupun diskusi yang dilakukan. Seperti halnya membentuk UKM GREAT (Gender Research Student Center) sebagai bentuk langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di lingkungan UPI. -31-


Salah satu bentuk upaya pencegahan yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa dengan pemasangan kampanye cetak didukung oleh pihak kampus. Hal tersebut memuat langkah atau cara pelaporan yang dapat dilakukan ketika terjadi tindak kekerasan seksual. Dalam memudahkan pelaporan, konten yang tertuang pada banner maupun stiker tidak hanya sebatas bentuk edukasi propaganda masa luas, akan tetapi menambahkan nomor hotline, akun media sosial seperti Instagram great.upi dan upilawanks serta alamat surel yang dapat dihubungi. Pemasangan media cetak ini dilakukan dengan menyasar titik vital dan strategis di sekitar kampus, seperti gedung tiap fakultas, dan titik-titik sentral kampus. Kampanye ini bertujuan untuk menyebarkan informasi terkait membangun awareness pada seluruh warga kampus untuk menciptakan ruang aman. -32-


Hal ini diperkuat dengan data rekapitulasi yang disuguhkan oleh Komnas Perempuan tahun 2015-2020 terdapat 27% aduan kekerasan seksual yang berasal dari pendidikan tinggi, didukung dengan temuan Dirjen Dikti Ristek bahwa 77% dosen menyatakan bahwa adanya kekerasan seksual di lingkup kampus. Sementara itu di lingkungan UPI, sebanyak 68 aduan di tahun 2022 (Data SPPKS UPI). Hal tersebut menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia masih darurat kekerasan seksual. Meski sudah adanya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi serta Peraturan Rektor UPI No 2 Tahun 2023 yang terkait, upaya preventif dan kuratif tetap dibutuhkan untuk semakin banyak pihak yang memahami isu gender terutama kekerasan seksual dan bukan sekedar paham secara pengetahuan, akan tetapi bisa cakap dalam penanganan kasus kekerasan melalui proses advokasi maupun pendampingan. Maka dari itu, hadirlah program Sekolah Advokasi Gender (SAG) sebagai salah satu upaya untuk menjawab permasalahan tersebut. SAG hadir sesuai dengan semangat pencegahan yang tertuang dalam Permendikbud No. 30 Tahun 2021. Lewat kegiatan ini diharapkan menjadi pengawalan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang dilakukan secara komprehensif. -33- Sekolah Advokasi Gender


SAG berisikan kegiatan pencerdasan dan pelatihan tentang advokasi korban berbasis gender. Dalam pelaksanaannya peserta akan mempelajari sencivitas gender, konsep dasar kekerasan seksual berbasis gender, keterampilan dasar komunikasi pendamping, advokasi, praktik dan tindak lanjut. Adapun keberhasilan proyek sosial ini yang ditinjau dari kemampuan teoritis maupun praktis peserta, serta kemampuan peserta dalam melaksanakan rencana tindak lanjut. Pengukuran keberhasilan dalam proyek ini menggunakan pre test, post test, dan monitoring rencana tindak lanjut. Adapun tujuan umum dari SAG menggunakan pendekatan berbasis kampus guna dimana sasaran utamanya yakni mahasiswa, pendampingan sebaya menjadi alasan awal mula konsep proyek sosial ini dikembangkan, pendekatan sebaya dalam beberapa kasus di UPI memperkecil ketakutan atas lahirnya stigma dan stereotip pada kasus kekerasan seksual, terlebih UPI sebagai kampus besar juga membuat beberapa korban merasa enggan melapor. Selanjutnya para peserta yang selanjutnya diproyeksikan menjadi pendamping kasus kekerasan seksual dapat saling memberi edukasi isu gender dan memiliki kemampuan dalam advokasi isu kekerasan berbasis gender dengan prinsip berkeadilan dan berpihak pada korban. Hasil yang diharapkan dari program ini adalah semakin mudahnya proses penanganan atau pengadvokasian kasus kekerasan seksual yang di lingkungan kampus. Seperti pemangkasan alur birokrasi. -34-


SAG menjadi salah satu langkah baru di lingkup Universitas Pendidikan Indonesia untuk mencegah serta menangani terjadinya kasus kekerasan seksual, serta menciptakan budaya nir anti kekerasan juga ruang aman bagi seluruh civitas akademika. Semangat mahasiswa untuk memberantas kasus kekerasan seksual di UPI harus diwadahi. Sampai saat ini peserta yang terlibat tersebar di beberapa fakultas dengan jumlah total peserta 82 orang dari berbagai fakultas dan kampus daerah. -35-


SSeekkiillaass KKeeggiiaattaann Dalam upaya mewujudkan kampus nir kekerasan seksual perlu dilakukan pencegahan secara holistik dengan menimbang warga kampus yang terdiri dari beragam lapisan, sehingga beragam pula pendekatan yang digunakan. Proses edukasi melalui kegiatan seminar dijadikan salah satu pendekatan yang digunakan untuk memberikan edukasi kekerasan seksual pada warga kampus terutama pada lapisan mahasiswa, tenaga pendidik, dan pengajar di lingkup Universitas Pendidikan Indonesia. Dikemas dengan beragam topik untuk memahami kekerasan seksual dan penanganannya secara komprehensif. Berikut ulasan singkat seminar yang telah berlangsung. -36-


Gelar Wicara SPPKS mengadakan seminar bertajuk Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) berkolaborasi dengan Community Organizer Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung, UPT Puskesmas Ledeng, dan Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung bertempat di Auditorium, FPOK lantai 4. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan warga kampus mengenai kesehatan seksual dan reproduksi yang menjadi bagian penting bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Bandung, 13 Oktober 2022 Bukan hanya gelar wicara, kegiatan ini berisikan skrining kesehatan secara gratis untuk tes penyakit menular, dan penyakit tidak menular. Rangkaian kegiatan dimulai dari seminar oleh narasumber, diantaranya Iwan Djugo (Community Organizer Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung) dan Irma Darmawati M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.Kom (Dosen Prodi Keperawatan dan Anggota SPPKS UPI), selanjutnya pemeriksaan tes kesehatan bersama UPT Puskesmas Ledeng dan Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung. -37-


Kegiatan dihadiri oleh 118 peserta yang berasal dari mahasiswa, ormawa UPI, serta perwakilan kampus daerah, serta para tamu undangan dari Camat Kecamatan Sukasari, Wakil Kelurahan Isola, Polsek Sukasari, dan Warga Peduli AIDS Sukasari juga turut hadir sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terintegrasi dengan warga kampus maupun warga sekitar lingkungan kampus. -38-


ROADSHOW Kampus UPI tersebar di 6 wilayah. Kampus utama berlokasi di jalan setiabudhi, 5 kampus lainnya berada pada beberapa wilayah, yaitu BERSAMA UPI KAMPUS DAERAH Roadshow Edisi Kampus Daerah merupakan strategi menjadikan kampus UPI sebagai kampus nir kekerasan seksual secara holistik, untuk itu keberadaan kampus daerah yang berada diluar kampus pusat dipandang bukan menjadi bagian terpisah dalam berkomitmen mengawal upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terintegrasi. Berikut gambaran singkat pelaksanaan, UPI Kampus Daerah Cibiru, UPI Kampus Daerah Sumedang, UPI Kampus Daerah Purwakarta, UPI Kampus Daerah Tasikmalaya, dan UPI Kampus Daerah Serang. Roadshow dengan tajuk “Bersama Kita Cegah dan Tangani Kekerasan Seksual di UPI” di gelar di Aula Bale Tampomas UPI Kampus Sumedang. Kegiatan dilaksanakan mulai pukul 10.00 - selesai. Narasumber kegiatan ini yaitu Hani Yulindrasari, Ph.D. (Ketua SPPKS UPI) dan Firman Nurdiansyah, S.H. (Sekretaris SPPKS UPI). Tak hanya mahasiswa dari lima prodi, dosen, serta civitas akademika lain pun turut antusias mengikuti kegiatan ini. -39-


Selanjutnya yakni, Kampus Daerah Serang yang dilakukan pada 16 November 2022 pukul 13.00 sampai selesai. Narasumber kegiatan ini yaitu Hani Yulindrasari, Ph.D. (Ketua SPPKS UPI), Firman Nurdiansyah, S.H. (Sekertaris SPPKS UPI), dan Dr. Wina Nurhayati, M.Pd. (Anggota SPPKS UPI). Kegiatan ini disambut antusias oleh warga kampus UPI Serang. Peserta yang ditargetkan 250 orang melebihi perkiraan, terdaftar 410 peserta yang menghadiri Roadshow edisi Kampus Serang. Tak hanya mahasiswa dari 5 prodi yang ada di Kampus Serang, Dosen dan Tenaga kependidikan pun menyambut baik dan menghadiri sosialisasi tersebut, Direktur UPI kampus Serang pun hadir dari awal hingga akhir acara sosialiasi ini. Selanjutnya yakni perjalanan ke Purwakarta pada 17 November 2022. Acara berlangsung penuh antusias di Ruang Auditorium UPI Kampus Purwakarta. Narasumber kegiatan ini yaitu Hani Yulindrasari, Ph.D. (Ketua SPPKS UPI), Firman Nurdiansyah, S.H. (Sekertaris SPPKS UPI), dan Dr. Wina Nurhayati, M.Pd. (Anggota SPPKS UPI). Dihadiri oleh 55 peserta delegasi dari setiap program studi membuat kegiatan ini berjalan dengan kondusif dan disambut antusias oleh peserta seminar. Kegiatan seminar dimulai pukul 13.00-selesai. -40-


Click to View FlipBook Version